10
Fisiografi Pulau Sumatra Posisi strategis Prov. Sumsel Ditulis oleh Administrator dan pulau Sumatra Sekilas Pulau sumatra Provinsi Sumatera Selatan terletak dilereng bagian selatan pulau Sumatera antara antara 1 0 - 4 0 LS dan 102 0 -108 0 BT dengan luas 9.716.800 ha. Letak strategis posisi geografis Provinsi Sumatera Selatan : Bagian timur, berada dilereng pegunungan Bukit Barisan terlindung dari peluang bencana alam seperti gempa bumi yang sering terjadi di sepanjang kawasan deretan gunung berapi yang berada ditepi barat. Bagian Selatan, sebagai lereng atas merupakan daerah perbukitan dengan luas 769.000 ha (7,70%) dengan ketinggian >100 m dpl. Lereng tengah sebagian besar berombak sampai berbukit dengan luas 3.107.000

Fisiografi Pulau Sumatra

Embed Size (px)

DESCRIPTION

geologi regional sumatra

Citation preview

Page 1: Fisiografi Pulau Sumatra

Fisiografi Pulau Sumatra

Posisi strategis

Prov. Sumsel

Ditulis oleh Administrator dan pulau Sumatra 

Sekilas Pulau sumatra

Provinsi Sumatera Selatan terletak dilereng bagian selatan pulau Sumatera antara antara 10-

40 LS dan 1020-1080BT dengan luas 9.716.800 ha.

Letak strategis posisi geografis Provinsi Sumatera Selatan :

Bagian timur, berada dilereng pegunungan Bukit Barisan terlindung dari peluang bencana

alam seperti gempa bumi yang sering terjadi di sepanjang kawasan deretan gunung berapi

yang berada ditepi barat.

Bagian Selatan, sebagai lereng atas merupakan daerah perbukitan dengan luas 769.000 ha

(7,70%) dengan ketinggian >100 m dpl. Lereng tengah sebagian besar berombak sampai

berbukit dengan luas 3.107.000 ha memiliki tinggi tempat 25-100 m dpl, memiliki kondisi

curah hujan type A maka lereng atas sampai tengah memiliki laju erosi dan pencucian hara

yang sangat tinggi. Lereng bawah dengan ketinggian <25 m dpl dan luas 5.471.000 ha

memiliki fisiografi dengan pola aliran sungai sejajar dan lebar .

Page 2: Fisiografi Pulau Sumatra

·       

Pada fisiografi datar ini seluas 2.980.000 ha merupakan daerah rawa yang berbatasan

langsung dengan laut seluas 961.000 ha merupakan lahan rawa pasang surut.

Dengan kondisi demikian, Sumatera Selatan memiliki daya saing spasial dan temporal

berupa kekayaan mineral vulkan dan marine, terutama dilahan rawa pasang surut.

Pemanfaatan sumber daya mineral antioksidan, baik untuk kesehatan melalui

pengembangan produk pertanian yang sehat dan berdaya saing kuat, sehingga diharapkan

dapat memperbaiki harga jual produk pertanian dan mensejahterakan masyarakat.

Terakhir Diperbaharui ( 11 February 2009 )

GEMPA YOGYA DAN DINAMIKA PALUNG JAWA

Hampir dua bulan berlalu sejak daerah Yogya dan sekitarnya dihantam gempa tektonik

berkekuatan 6.3 skala Richter, namun hingga kini satu pertanyaan masih terus menghantui:

Mengapa gempa sedahsyat itu terjadi di Yogya? Apakah ada hubungannya dengan Gunung

Merapi yang sedang aktif? Tim BPPT (Tempo, Edisi 5-11 Juni 2006) telah melakukan

penelitian awal untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas dan menyimpulkan bahwa

gempa Yogya terjadi akibat pelepasan energi di sesar Opak yang tertekan dari dua arah

sekaligus, dari utara sesar ini ditekan Merapi dan dari selatan patahan itu ditekan oleh

lempeng samudera India-Australia yang menunjam di palung Jawa. Kesimpulan ini

menganggap aktifitas Merapi sebagai salah satu penyebab gempa, namun penulis

berpendapat lain. Aktifitas Merapi yang tinggi sampai saat ini dan sekaligus gempa yang

terjadi merupakan akibat dari dinamika palung Jawa yang merupakan sumber terjadinya

gesekan akibat lempeng India-Australia menunjam di bawah pulau Jawa yang merupakan

bagian dari lempeng benua Eurasia.

Gempa akibat penunjaman lempeng umumnya merupakan gempa-dalam (kedalaman >30

km), namun yang terjadi di Yogya adalah gempa-dangkal dengan kedalaman sekitar 10 km.

Kedangkalan gempa ini terbukti dari daya rusaknya yang tinggi dan memicu terjadinya sesar

(patahan) ataupun mengaktifkan sesar tua yang terpendam. Di Jawa Barat terdapat sesar

aktif Cimandiri dan sesar Lembang, yang secara alamiah merupakan daerah yang lebih

rentan digoncang gempa. Namun ternyata sesar-sesar aktif ini luput dari goncangan gempa,

Page 3: Fisiografi Pulau Sumatra

gempa justru terjadi di Yogya yang selama ini dikenal tidak memiliki sesar aktif. Faktor-faktor

apakah yang menyebabkan gempa-dangkal muncul di Yogya dan bukannya di jalur-jalur

sesar aktif yang sudah ada?. Tulisan ini bermaksud memaparkan kondisi dan dinamika

palung Jawa yang dianggap menjadi sumber terjadinya gempa Yogya. Ulasan ditekankan

pada bagian palung Jawa yang berdekatan dengan daerah Yogya, yakni di sebelah selatan

Jawa Tengah dan Jawa Timur, meliputi kondisi fisiografi serta distribusi seismisitasnya

(kegempaannya). Gempa Kobe, Jepang, yang terjadi pada tahun 1995 akan dijadikan

pembanding karena dianggap sebagai analogi gempa Yogya. Diharapkan tulisan ini dapat

memberikan pemahaman yang mendasar tentang prinsip-prinsip yang berkaitan dengan

terjadinya gempa yogya.

Fisiografi palung Jawa dan fenomena gunung bawah-laut

Pulau Jawa merupakan bagian dari suatu busur kepulauan yang dikenal sebagai busur

Sunda (Sunda arc) yang terletak di tepi Asia Tenggara dan terbentang mulai dari kepulauan

Andaman-Nicobar di barat sampai busur Banda (Timor) di timur. Busur Sunda merupakan

busur kepulauan hasil dari interaksi lempeng samudera (disini lempeng India-Australia yang

bergerak ke utara dengan kecepatan 7 cm/tahun ) yang menunjam di bawah lempeng

benua (disini Lempeng Eurasia) (Gambar-1 A). Penunjaman lempeng terjadi di selatan

busur Sunda berupa palung (trench) yang dikenal sebagai palung Jawa. Disamping itu,

penunjaman lempeng juga menghasilkan sepasang busur volkanik dan non-volkanik. Busur

volkanik terdiri dari rangkaian gunung berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau

busur Sunda, sedangkan busur non-volkanik merupakan rangkaian pulau-pulau yang

terletak di sisi samudera busur volkaniknya. Rangkaian pulau seperti Siberut, Simeleu, Nias

di barat Sumatra merupakan bagian busur non-volkanik yang muncul ke permukaan laut,

sedangkan di selatan Jawa busur ini berada di bawah laut. Busur non-volkanik disusun oleh

material-material yang berasal dari daratan, laut dangkal, laut dalam dan kepingan lantai

samudera yang terseret, tergencet dan tercampur secara tektonik ketika lempeng samudera

menunjam ke palung. Himpunan batuan yang campur aduk di dalam palung ini, disebut

melange, membentuk prisma akresi (accretion prism) di sisi dalam palungnya.

Palung Jawa, panjang total sekitar 5600 km, terentang mulai dari kepulauan Andaman-

Nicobar di barat sampai ke Sumba di timur, memiliki corak yang beragam. Hal ini

disebabkan oleh arah penunjaman dan kecepatan lempeng tidak seragam. Minster dan

Jordan (1978, dalam Ghose and Oike, 1988) memperkirakan kecepatan lempeng 6

cm/tahun dekat ujung utara Sumatra sampai 7,8 cm/tahun di dekat pulau Sumba. Arah

Page 4: Fisiografi Pulau Sumatra

penunjaman yang hampir tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur menghasilkan

ragam penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di bagian Sumatra dimana

terbentuk sesar mendatar (sesar Semangko) karena arah penunjaman lempengnya miring

dan bahkan hampir sejajar di bagian kepulauan Andaman. Ke arah ujung timur palung Jawa,

di bagian Sumba dan Timor, sistem tektonik yang lebih kompleks berkembang disini dimana

yang terjadi bukan lagi penunjaman melainkan tumbukan (collision) antara busur Banda

dengan tepi baratlaut kontinen Australia. Dimensi prisma akresi serta kedalaman palung

juga beragam dari barat ke timur seiring dengan berkurangnya ketebalan sedimen pada

lempeng samudera yang menunjam.

Selat Sunda, yang memisahkan Sumatra dan Jawa, merupakan batas geodinamik yang

penting dimana terdapat perubahan sudut penunjaman yang menyolok antara bagian timur

dan baratnya (Zen, 1983). Disebelah barat selat Sunda, aktifitas gempa umumnya tidak

melebihi kedalaman 200 km sedangkan di sebelah timurnya kedalaman aktifitas gempanya

meningkat mendekati 350-500 km. Unsur geodinamik lain yang dapat mempengaruhi

dinamika palung adalah kondisi morfologi permukaan lempeng samuderanya. Permukaan

lantai samudera bisa relatif halus atau kasar karena adanya tonjolan-tonjolan yang terdiri

dari gunung-gunung bawah laut (seamount), pematang tengah samudera, dan plato basalt.

Dengan demikian menjadi tidak terhindarkan lagi penunjaman lempeng samudera

membawa juga seamount atau bentuk morfologi bawah-laut lainnya kedalam palung.

Salah satu ciri palung di selatan Jawa adalah terdapatnya sejumlah seamount. Fenomena

menarik ini telah diteliti oleh Tim Indonesia-Japan Deep Sea Expedition “Java Trench” 2002

(Kompas, 13 Oktober 2002) dan telah dipetakan oleh Masson dkk (1990) dengan

menggunakan GLORIA long-range sidescan sonar swath yang meliputi daerah seluas

45x1300 km pada garis bujur 108° – 120° BT (Gambar-1 B-E). Morfologi utama di lantai

Page 5: Fisiografi Pulau Sumatra

samuderanya adalah Roo Rise, suatu plato bawah-laut yang besar yang menjulang sekitar

2000 m dari dasar laut. Ujung depan dari Roo Rise ini telah memasuki palung Jawa di

daerah antara garis bujur 112° – 115° BT yang ditandai oleh mendangkalnya palung di

daerah tersebut (Gambar-1 B). Disamping Roo Rise yang terbesar, juga berhasil dikenali

banyak gunung bawah-laut lainnya dengan diameter lebih dari 10 km dan dalam berbagai

tahap penunjaman, mulai dari yang sedang menunjam sampai yang menunjam sepenuhnya

ke dalam palung (Gambar-1 D, dan E). Kedalaman palungnya berkisar antara <5600> 7000

m dengan bagian terdalam terletak di sebelah timur 111° BT dan antara 115° dan 119° BT.

Gambar-1 D menunjukkan hasil pemetaan pada jalur palungnya. Sepuluh gunung bawah-

laut berhasil dikenali dengan dimensi berkisar mulai dari <10>

Dinamika Palung Jawa: Distribusi spasial dan temporal seismisitas

Palung merupakan tempat menunjamnya lempeng samudera. Selama penunjaman

berlangsung, lempeng samudera bergesekan dengan lempeng yang menumpang diatasnya.

Gesekan antar lempeng ini menimbulkan aktifitas seismik atau gempa tektonik yang

bersumber di permukaan lempeng yang menunjam. Kedalaman sumber gempa tergantung

jarak horisontalnya terhadap sumbu palung, makin menjauhi palung ke arah daratan sumber

gempa akan semakin dalam (deep earthquke) dan sebaliknya mendekat ke palung

gempanya merupakan gempa dangkal (shallow earthquake) (Gambar-2 B). Oleh karena itu

distribusi aktifitas seismik secara spasial dan temporal di suatu wilayah mencerminkan

Page 6: Fisiografi Pulau Sumatra

dinamika palung nya.

Dengan menggunakan dua basis data, NOAA hypocenter data file (mulai Januari 1900

sampai Mei 1981) dan ISC data file (mulai Januari 1971 sampai Desember 1983), Ghose

dan Oike (1988) mengevaluasi distribusi spasial dan temporal aktifitas seismik sepanjang

busur Sunda. Berdasarkan peta distribusi seismisitas (Gambar-3A) dapat diidentifikasi

lokasi-lokasi yang paling sering mengalami gempa (ditunjukkan oleh kerapatan titik gempa

yang tinggi). Lokasi-lokasi ini terdapat di ujung utara Sumatra, di utara pulau Simeuleu,

tenggara Nias, ujung selatan pulau Siberut, selatan Jawa Barat, di selatan Jawa antara

107°-110° BT, dan di baratdaya Sumba. Yang menarik, di Sumatra ternyata seismisitas

dangkal yang bersumber dari palung tidak banyak melampar ke daratan (inland), sebaliknya

di Jawa secara keseluruhan daratan pulau Jawa lebih sering mengalami gempa dangkal.

Dua faktor penyebabnya kemungkinan adalah: Pertama, sumber gempa dangkal di Sumatra

lebih berasosiasi dengan aktifitas sesar-mendatar Sumatra; sedangkan di Jawa tidak

terdapatnya suatu sistem sesar utama mengakibatkan gempa dangkal yang terjadi

berasosiasi dengan aktifitas penunjaman lempeng di palung sehingga lebih mungkin

ditransmisikan ke seluruh pulaunya. Kedua, jarak palung ke daratan di Sumatra lebih jauh

dibandingkan dengan yang di Jawa. Sementara itu jalur gunung-api aktif (yang biasanya

berkaitan dengan kedalaman zona subduksi sekitar 100 km) di pulau Jawa terletak di bagian

tengahnya, sedangkan di Sumatra jalur gunung-api aktifnya terletak di sisi barat dekat

dengan pantai Samudera India. Hal ini menyebabkan aktifitas seismik di bagian kontinen

yang dangkal lebih besar di Jawa daripada di Sumatra.

Kenampakan lain yang menarik perhatian dari Gambar-3A adalah terdapatnya “zona

tenang” (silent zone) atau seismic gap di selatan Jawa di sekitar garis bujur 110° BT.

Daerah zona tenang secara seismik ini memiliki lebar

Page 7: Fisiografi Pulau Sumatra

sekitar 75 km berarah utara-

selatan terhadap palung Jawa. Aktifitas seismik kecil mungkin terjadi juga di silent zone ini,

namun absennya gempa dengan magnitude >4 (bahkan di daerah sumbu palungnya)

merupakan suatu fenomena yang harus dicermati.

Gambar-3B merupakan plot peristiwa gempa dengan magnitude >6 berdasarkan NOAA

Data File. Peta ini memperlihatkan sejumlah peristiwa gempa di palung Sumatra yang

secara umum jauh lebih besar kekuatannya dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa. Ini

menunjukkan gaya gesekan antar-lempeng lebih besar di Sumatra. Meskipun demikian, dua

gempa besar dengan magnitude >8 terjadi juga di selatan Jawa yang menunjukkan secara

lokal adanya zona tegasan kompresif yang tinggi di wilayah ini.

Untuk mengetahui apakah yang mendominasi dinamika penunjaman lempeng di tiga

wilayah, Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara, adalah faktor tektonik yang bersifat lokal atau

regional, Ghose dan Oike (1988) mengevaluasi variasi temporal (menurut waktu kejadian)

seismisitas di ketiga wilayah tersebut. Gambar-3C menunjukkan distribusi temporal gempa-

gempa berkekuatan 6 atau lebih selama kurun waktu seabad (dari tahun 1900 sampai Mei

1981). Pada gambar ini nampak bahwa hubungan antara banyaknya (N) peristiwa gempa

dengan magnitude >6 terhadap waktu secara keseluruhan menunjukkan pola yang hampir

mirip di ketiga wilayah tektonik Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara. Antara tahun 1935-

1940, jumlah gempa cenderung meningkat. Kemudian dari tahun 1940 sampai sekitar 1960,

dalam kurun 20 tahun, terjadi sedikit gempa besar di seluruh ketiga segment Busur Sunda.

Selanjutnya sampai Mei 1981, aktifitas seismik meningkat lagi. Kemiripan pola temporal

seismisitasnya ini membuktikan bahwa variasi tegasan tektonik (tegasan kompresif akibat

penunjaman lempeng Samudera India-Australia ke bawah Asia Tenggara) menurut waktu

untuk ketiga segment busur Sunda adalah sama, dan mengontrol secara keseluruhan pola

temporal jangka panjangnya. Dalam jangka waktu yang panjang ini dinamika subduksi

menimbulkan efek lokal yang berbeda-beda tergantung dari kondisi interaksi lempeng di

masing-masing segment, misalnya pada Gambar-3D, dalam kurun waktu yang sama, yakni

Page 8: Fisiografi Pulau Sumatra

dari tahun 1900 sampai 1981, jumlah atau frekuensi gempa di Sumatra jauh lebih banyak

dibandingkan yang terjadi di Jawa maupun di Nusa Tenggara. Dari sini dapat disimpulkan

bahwa walaupun kondisi geodinamiknya berbeda secara spasial, bagi busur Sunda secara

keseluruhan, periode naik-turunnya aktifitas gempa tidak dipengaruhi unsur spasialnya (atau

lokasinya).