19
FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF Oleh : DEVAR INDIRAN dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.M.Si BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FK UNUD/RSUP SANGLAH 2017

FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

FISIOLOGI DAN MANAJEMEN

TRANSFUSI MASIF

Oleh :

DEVAR INDIRAN

dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.M.Si

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FK UNUD/RSUP SANGLAH

2017

Page 2: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF ................................. 1

PATOFISIOLOGI ABNORMALITAS HEMOSTASIS YANG

BERHUBUNGAN DENGAN TRAUMA ......................................................... 2

TRAUMA DAN DISFUNGSI ENDOTELIAL ................................................. 2

TRANSFUSI MASIF ......................................................................................... 3

PENDEKATAN TERAPI UNTUK TRANSFUSI MASIF DAN

KOAGULOPATI EFEK MERUGIKAN DARI TRANSFUSI .......................... 4

PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF .......................................... 4

PERUBAHAN HEMOSTASIS PERIOPERATIF ............................................. 5

KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF ........................................................... 6

PERAN SEL DARAH MERAH DAN ANEMIA .............................................. 6

PENYEBAB PERDARAHAN DALAM KONDISI

KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF ........................................................... 7

HIPOTERMIA, ASIDOSIS, DAN KOAGULOPATI ....................................... 7

KOAGULOPATI DILUSI ................................................................................. 8

FIBRINOLISIS .................................................................................................. 8

HIPOFIBRINOGENEMIA ................................................................................ 9

PEMANTAUAN HEMOSTASIS SELAMA TRANSFUSI MASIF ................. 10

TERAPI KOAGULOPATI SELAMA TRANSFUSI MASIF ........................... 11

PLASMA/ FRESH FROZEN PLASMA ............................................................ 12

PEMBERIAN PLATELET ................................................................................ 13

OBAT ANTIFIBRINOLITIK ............................................................................ 13

PROKOAGULAN .............................................................................................. 14

PERDARAHAN POSTPARTUM ..................................................................... 16

RESUSITASI MULTIMODAL: DAMAGE CONTROL

RESUSCITATION ............................................................................................. 16

KESIMPULAN .................................................................................................. 17

Page 3: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 31-1 ................................................................................................. 11

GAMBAR 31-2 ................................................................................................. 12

Page 4: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

Hemoragik karena perdarahan tidak terkontrol merupakan sebuah masalah klinis

yang umum dijumpai oleh dokter yang menangani luka trauma, pasien

pembedahan, dan pasien obstetrik. Terdapat banyak istilah yang digunakan untuk

menggambarkan masalah yang mengancam nyawa ini, termasuk koagulopati

transfusi masif atau trauma-induced coagulopathy. Koagulopati kompleks yang

muncul dalam situasi tersebut nantinya akan mempengaruhi efikasi terapi

hemostasis lainnya. Kerusakan jaringan karena trauma, intervensi pembedahan,

setelah persalinan pada pasien obstetrik, atau yang berhubungan dengan sirkulasi

korporeal saat bypass kardiomyopati atau oksigenasi membran ekstrakorporeal juga

berkontribusi terhadap kondisi koagulopati.

Hemostasis merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan vaskuler dan

gangguan endotel vaskuler serta telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Setelah

pembedahan atau trauma dimana terdapat kerusakan jaringan luas, sebagai

tambahan dari hilangnya darah secara masif, integritas endotel juga terganggu;

koagulopati yang terjadi setelah kerusakan jaringan serta kehilangan darah

memproduksi perubahan kompleks di vaskulatur yang dikenal dengan

endotelialopati. Hilangnya aspek penting dari regulasi vaskuler juga dapat tampak

sebagai disseminated intravascular coagulation (DIC), sebuah gangguan

keseimbangan pada efek antikoagulan dan prokoagulan.

Manajemen hemostasis setelah luka trauma dan perdarahan yang mengancam

nyawa telah berubah seiring waktu dari resusitassi awal dengan kristaloid/ koloid

dan sel darah merah (RBC) menjadi pemberian plasma/ fresh frozen plasma (FFP)

dan platelet sebagai tambahan terhadap RBC. Pengalaman belajar dari studi medan

perang dan sipil merupakan hal penting untuk perkembangan pendekatan terapi

multipel yang telah dikombinasikan dalam protokol transfusi masif yang rasional.

Studi retrospektif melaporkan peningkatan survial dengan penggunaan plasma dan

platelet secara dini sebagai bagian dari protokol tersebut. Bab ini akan membahas

fisiologi dari transfusi masif serta pendekatan terapi modern.

Page 5: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

PATOFISIOLOGI ABNORMALITAS HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN

DENGAN TRAUMA

Hemoragik merupakan penyebab mortalitas utama yang muncul setelah luka

trauma dan bertanggungjawab setidaknya pada 50% kematian dalam 24 jam setelah

mengalami luka dan 80% kematian trauma intraoperatif. Evolusi resusitasi cairan

yang pada mulanya melibatkan kristaloid, dan diikuti oleh transfusi RBC, serta

FFP/ plaasma, platelet, dan cryoprecipitate sebagai tambahan baik secara empiris

atau sesuai dengan pemeriksaan penunjang laboratorium. Terapi terdahulu berdasar

pada terapi koagulopati setelah resusitasi awal dan stabilisasi pasien. Observasi

terkini terhadap pasien trauma dan pada medan perang ditemukan bahwa pemberian

plasma secara dini akan menghasilkan perbaikan yang lebih awal, dimana beberapa

studi melaporkan bahwa penggunaan kristaloid dalam volume besar berhubungan

dengan peningkatan perdarahan dan survival yang lebih rendah.

TRAUMA DAN DISFUNGSI ENDOTELIAL

Efek syok hemoragik pada fungsi endotelial telah dijabarkan dan istilah trauma

endoteliopati diajukan untuk mengambbarkan kerusakan dan disfungsi endotelial

sistemik yang berkontribusi terhadap koagulopati, inflamasi, permeabilitas

vaskuler, edema jaringan, dan disfungsi sistem multi organ. Disfungsi endotel

terjadi secara sekunder karena kerusakan vaskuler dan beberapa faktor lainnya yang

muncul akibat syok, iskemik, dan pelepasan mediator inflamasi. Plasma secara

menyeluruh memiliki fungsi restoratif pada endothelial tight junction agar dapat

melakukan modulasi integritas vaskular yang lebih baik dibandingkan dengan

kristaloid dalam studi model in vitro. Plasma mengandung serine protease inhibitor

multipel yang memiliki efek anti inflamasi. Endotelium menjadi permeabel pada

syok hemoragik dan cairan ekstravaskuler berpindah ke intravaskuler. Plasma

mengandung protein untuk mempertahankan osmolaritas namun juga terdapat serin

protease inhibitor multipel yang mencakup antithrombin (juga dikenal sebagai

antithrombin III), C1 esterase inhibitor, tissue factor pathwayinhibitor (TFPI),

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), α2-antiplasmin, dan beberapa inhibitor

penting lainnya dalam respon antiinflamasi. Kristaloid memiliki faktor tersebut

secara minimal dan diperkirakan meningkatkan edema interstisial, kerusakan paru,

dan memicu disfungsi sistem multi organ.

Page 6: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

Aktivasi inflamasi yang diikuti kerusakan jaringan berkontribusi terhadap disfungsi

endotelial dan juga memiliki peran penting dalam fibrinolisis. Dengan adanya

kerusakan jaringan, sistem fibrinolitik teraktivasi merubah plasminogen menjadi

plasmin, sebuah enzim penting yang memecah fibrin. Plasmin dan generasinya

dihambat oleh PAI-1, thrombin-activafibrinolysis inhibitor (TAFI), dan α2-

antiplasmin. Sehingga, fibrinolisis diatur oleh berbagai serin protease inhibitor

yang bersirkulasi dibawah kondisi fisiologis yang dapat terkuras karena perdarahan

masif. Sebagai hasil dari aktivasi patologis ini, terapi antifibrinolitik merupakan

komponen penting dalam pendekatan multimodal, dimana keberhasilan telah

dilaporkan dalam berbagai populasi pasien yang menjalani pembedahan. Sebagai

tambahan terhadap kontribusi diatesis perdarahan, generasi plasmin menyebabkan

beberapa efek lainnya, termasuk cell signalling, respon proinflamasi, dan aktivasi

kaskade komplemen.

TRANSFUSI MASIF

Transfusi masif didefinisikan sebagai transfusi yang menggunakan lebih dari 10

unit RBC dalam 24 jam setelah terapi awal dan muncul pada setidaknya 10%

trauma militer dan 5% pasien trauma sipil. Pasien yang mengalami perdarahan

akutan menerima lebih dari 10 unit RBC dalam 6 jam trauma memiliki mortalitas

yang lebih tinggi. Transfusi masif sendiri tampaknya merupakan sebuah penanda

kerusakan yang lebih berat daripada efek langsung transfusi. Perkekmbangan

strategi transfusi masif dan penggunaan protokol meningkatkan survival dan telah

menjadi evolusi penting dalam manajemen pasien trauma, luka perang, dan bahkan

perdarahan masif di rumahsakit yang muncul setelah perdarahan postpartum atau

perdarahan masif saat pembedahan.

PENDEKATAN TERAPI UNTUK TRANSFUSI MASIF DAN KOAGULOPATI

Layanan transfusi, bank darah, dokter, dan rumahsakit telah mengembangkan dan

menerapkan protokol untuk secara cepat menyediakan produk darah bagi pasien

yang mengalami perdarahan akut dan masif. Studi observasional dan analisis

retrospektif dari trauma militer dan sipil melaporkan perbaikan hasil dengan

pemberian whole blood atau whole blood yang setara dengan transfusi masif yang

Page 7: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

melibatkan rasio transfusi 1:1:1 untuk RBC, plasma, dan platelet. Namun juga

terdapat data bertentangan yang mengatakan adanya peningkatan morbiditas dan

mortalitas yang berhubungan dengan transfusi produk plasma. Studi terkini

mengevaluasi rasio plasma kritis dalam trauma dan akan dipertimbangkan secara

detail dalam bab ini.

EFEK MERUGIKAN DARI TRANSFUSI

Seluruh transfusi memiliki risiko dan perhatian khusus karena plasma merupakan

hal penting. Risiko utama yang mengancam nyawa dari pemberian plasma

mencakup kerusakan paru yang berkaitan dengan transfusi, kelebihan cairan

sirkuler yang berkaitan dengan transfusi, reaksi transfusi hemolitik, dan anafilaksis

(fenomena tersebut telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Bab 28, Blood Products

and Blood Components). Menguraikan penyebab efek merugikan setelah transfusi

merupakan hal sulit karena pasien yang lebih kritis memiliki prognosis yang lebih

buruk dan juga membutuhkan transfusi yang lebih banyak, serta alasan yang

mendasari kebutuhan transfusi beragam akan selalu mempengaruhi interpretasi

hasil klinis.

PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF

Abnormalitas hemostasis setelah transfusi masif dan/ atau trauma dapat muncul

sebagai hasil dari berbagai faktor dan tidak secara langsung berhubungan dengan

pemberian darah. Bersama dengan koagulopati, hipotermia dan asidosis

melengkapi trias yang memberikan mortalitas lebih tinggi dalam manajemen

trauma akut. Faktor tersebut berperan dalam berkurangnya atau penurunan fungsi

lokal dari faktor hemostasis yang disebabkan kehilangan darah, kerusakan jaringan,

dan/ atau konsumsi faktor-faktor tersebut. resusitasi volume dengan kristaloid,

koloid, dan RBC atau penggunaan sistem pemecah sel setelah kehilangan darah

dapat menyebabkan dilusi koagulopati. Keseimbangan hemostasis antara

antikoagulan dengan aktivitas prokagulan dapat menghilang karena kerusakan

jarignan setelah trauma (termasuk trauma kepala), hipoksia jaringan/ asidosis,

combusio/ sepsis, atau kejadian fisik lainnya khususnya dalam kondisi intraoperatif

dari suction serta reinnfusi debris.

Page 8: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

Hipotermia dapat menjadi faktor penting yang memicu atau memperburuk

koagulopati, karena kaskade enzim terganggu, kerusakan ini tampak pada awal

pada sedikit penurunan temperatur tubuh, meskipun 35˚C. Fungsi platelet juga

terganggu dengan hipotermia, serta disfungsi platelet dapat muncul karena

peningkatan fibrinogen degradation products (FDP) dan kadar D-dimer.

Pertimbangan penting lainnya adalah faktor yang mempengaruhi anemia, yaitu

penurunan RBC adenosine disphosphate dan penurunan kemampuan difusi platelet;

dan efek acidemia, dimana mencakup hikalsemia dengan transfusi masif.

PERUBAHAN HEMOSTASIS PERIOPERATIF

Pasien trauma dan pembedahan memiliki beragam derajat kerusakan vaskular dan

kekurangan darah. Hilangnya darah hingga 30% dari volume total darah secara

umum dapat ditoleransi hanya dengan resusitasi cairan. Faktor koagulan secara

progresif mengalami dilusi hingga 30% normal setelah kehilangan volume darah,

dan turun hingga 15% setelah kehilangan dua volume darah. Dengan hemodilusi

berat, generasi thrombin, langkah penting dalam pembentukan kloot terganggu

dengan penurunan kadar prokoagulan. Generasi thrombin juga terganggu dengan

thrombositopenia. Fibrinogen dan faktor XIII, bahan penting untuk pembentukan

klot juga menurun tanpa faktor pengganti yang sessuai selama resusitasi cairan.

Meskipun klot dapat terbentuk, rendahnya kadar fibrinogen dan/ atau faktor XIII

akan menyebabkan penurunan kekuatan klot, temuan yang sering dipantau

menggunakan thromboelastography atau thromboelastometry. Rendahnya kadar

protein klot mempengaruhi kemampuan fibrin untuk melakukan polimerasi.

KOAGULOPATI TRANSFUSI MASIF

Karena standart pemeriksaan laboratorium seringkali membutuhkan waktu lama,

dan dengan perdarahan berat, beberapa volume darah mungkin dapat digantikan

pada saat hasil tersedia, pemeriksaan laboratorium memiliki peran yang tidak pasti

dalam membuat keputusan dalam berbagai kondisi dimana transfusi masif

dibutuhkan. Sehingga, protokol transfusi telah dikembangkan dimana dosis pasti

FFP dan platelet diberikan setelah sejumlah unit RBC telah diberikan, seringkali

dengan rasio 1:1:1. Apakah rasio pasti ini mencegah berkembangnya koagulopati

atau memperbaiki perdarah masih belum pasti dalam pembedahan jantung, namun

Page 9: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

pada pasien trauma dan kondisi pembedahan non kardiak, terdapat perkembangan

data yang menyatakan rasio tetap tersebut memperbaiki survival.

Dengan perdarahan yang mengancam nyawa, seperti yang terlihat pada pasien

trauma, transfusi dengan rasio tetap dari RBC, FFP, dan platelet sebaiknya

diberikan. Transfusi dengan rasio plasma/FFP: platelet” RBC memberikan nilai

positif terhadap survival. Sebagai hasil, Army Surgeon General membentuk

ketentuan klinis dimana 1:1:1 (plasma/FFP: platelet: RBC) untuk korban perang

yang direncanakan menerima transfusi masif. Satu studi besar yang melibatkan

pasien warga sipil yang menerima transfusi masif menunjukkan perbaikan survival

dengan penggingkatan penggunaan platelet. Praktik resusitasi militer AS kini

menggunakan pendekatan seimbang, menggunakan 1:1:1 sebagai cairan resusitasi

primer untuk sebagian besar kasus trauma. Studi terkini sedang berjalan untuk

menentukan berapa rasio optimal yang sebaiknya digunakan dalam berbagai

kondisi klinis.

PERAN SEL DARAH MERAH DAN ANEMIA

Anemia juga berkontribusi terhadap perdarahan seperti yang dilaporkan pada

pasien non pembedahan karena mekanisme multipel yang mencakup deposit nitric

oxide, margination of platelet, serta kontribusi terhadap proses hemostasis,

meskipun hematokrit ideal untuk menekan risiko ini belum jelas. Transfusi RBC

diberikan untuk berbagai alasan dan hal ini semakin dikenal karena peran

pentingnya dalam hemostasis. RBC dapat melepaskan adenosine diphosphate,

aktivator penting bagi platelet. Platelet juga berkontribusi sebagai dasar inisiasi klot

dengan memfasilitasi pembentukan thrombin. Studi menunjukkan bahwa aktivasi

FXIII dan fibrin cross-linking mungkin berperan penting dalam mediasi retensi

RBC antar klot.

PENYEBAB PERDARAHAN DALAM KONDISI KOAGULOPATI

TRANSFUSI MASIF

Faktor risiko untuk berkembangnya koagulopati transfusi masif umumnya

berkaitan dengan luka pembedahan atau trauma yang menyebabkan hemoragik.

Pasien sebaiknya dievaluasi penggunaan obat tambahan yang dapat mempengaruhi

koagulasi, termasuk obat antiplatelet (clopidogrel, prasugrel, ticagrelor), obat

Page 10: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

antikoagulan (dabigatran, rivaroxaban, apixaban, warfarin), atau obat parenteral

seperti low-molecular-weight heparin. Pemantauan obat tersebut telah dibahas

dalam bab sebelumnya. Banyak pemeriksaan koagulasi standart yang digunakan

untuk evaluasi hemoragik tidak dapat menentukan secara pasti efek obat antiplatelet

(seperti aspirin, clopidogrel, prasugrel, atau ticagrelor) seperti pemeriksaan

kompleks fungsi platelet yang digunakan secara klinis umumnya tidak efektif

dengan perdarahan yang signifikan.

HIPOTERMIA, ASIDOSIS, DAN KOAGULOPATI

Hipotermia memiliki efek multipel karena koagulasi merupakan proses enzimatik.

Saat temperatur pasien menurun, proses enzimatik yang berfungsi maksimal pada

temperatur tubuh normal menjadi terganggu. Hipotermia dapat menghasilkan

berbagai defek hemostasis yang mencakup disfungsi platelet reversibel dan

peningkatan fibrinolisis. Sebagai tambahan, prothrombin time (PT) dan activated

partial thromboplastin time (aPTT) menjadi memanjang pada suhu 34˚C atau lebih

rendah bila dibandingkan dengan pengukuran pada suhu 37˚C. Saat sampel darah

diambil dari pasien hipotermia, pemeriksaan sebenarnya dilakukan pada suhu 37˚C,

sehingga pengaruh hipotermia pada koagulopati dan perdarahan mungkin tidak

diketahui oleh para klinisi. Secara keseeluruhan, hipotermia merupakan faktor

penentu yang penting terhadap defek perdarahan dalam koagulopati yang terjadi

pada pasien trauma dan merupakan trias letal yang dijabarkan sebagai hipotermia,

asidosis, dan koagulopati. Hipotermia dan asidosis juga dapat mencegah

pembentukan thrombin, komponen penting dalam pembentukan klot. Hipotermia

diperkirakan menghambat fase inisiasi, dimana asidosis menghambat fase

penyebaran (propagation) pembentukan thrombin. Mempertahankan normothermia

merupakan hal penting yang menjadi bagian dari rencana terapi multimodal untuk

menekan kehilangan darah dalam kasus hemoragik signifikan pada kasus trauma,

pembedahan, atau koagulopati yang muncul karena sebab apapun. Dalam kondisi

perioperatif, alat penghangat darah dan alat penghangat lainnya sebaiknya

digunakan untuk mencegah dan menterapi hipotermia.

KOAGULOPATI DILUSI

Page 11: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

Sebelum pembentukan protokol transfusi masif, koagulopati dilusi merupakan

penyebab umum perdarahan pada pasien dengan perdarahan aktif. Perdarahan dan

koagulopati berhubungan dengan transfusi masif pada 21 tentara yang mengalami

trauma akut yang muncul setelah transfusi 20 hingga 25 unit stored whole blood.

Dalam laporan ini, thrombositopenia dilusi merupakan penyebab utama perdarahan

dan diperkirakan terjadi karena penurunan kadar platelet pada stored blood.

Transfusi sekitar 15 hingga 20 unit menyebabkan dilusi volume darah yang

signifikan,dan penurunan kritis pada jumlah platelet sekitar 20.000 hingga

30.000/mm3, jauh dibawah target rekomendasi platelet untuk pasien perdarahan

akut.

FIBRINOLISIS

Fibrinolisis merupakan komponen penting untuk mencegah pembentukan klot

berlebih dan keseimbangan hemostasis namun fibrinolisis berlebih seperti yang

umum muncul pada pasien trauma dapat menyebabkan perdarahan. Fibrinolisis

dimulai oleh mekanisme yang mencakup stimulasi tissue plasminogen activator

yang dilepaskan sebagai respon kerusakan endotel vaskular, respon stress, dan

mekanisme lainnya. Plasmin memecah fibrinogen dan von Willebrand’s factor

(vWF), memecah reseptor dari platelet (glycoprotein Ib), dan membentuk produk

degradasi yan gmengikat glycoprotein reseptor IIb/IIIa, kemudian mengganggu

fungsi platelet. Aktivasi kontak yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan

aktivasi hemostasis juga mengaktifkan kallikrein yang memicu pembentukan

plasmin namun juga terlibat pada tahapan proinflamasi yang mencakup kemotaksis

dan kemokinesis. Aktivasi kontak menyebabkan pemecahan glycoprotein reseptor

Ib dari platelet dan pembentukan FDP yang menghasilkan pembentukan multimer

yang berikatan dengan glycoprotein reseptor IIb/IIIa untuk mencegah platelet-

fibrinogen cross-linking, serupa dengan efek glycoprotein reseptor inhibitor

IIb/IIIa, abciximab. Perubahan Th dalam fibrinolisis memberikan pengaruh negatif

pada fungsi platelet.

HIPOFIBRINOGENEMIA.

Fibrinogen merupakan komponen penting dalam pembentukan klot dan merupakan

protein reaktan fase akut. Fibrinogen bersirkulasi dalam konsentrasi tertinggi dari

Page 12: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

faktor koagulasi lainnya, dan nilai normal kadar plasma berkisar 200 hingga

400mg/dL namun peningkatan pada kehamilan dan seperti pada respon non-

specific anabolic postoperatif yang diikuti dengan kerusakan jaringan. Pada

trimester akhir kehamilan, respon fisiologis normal adalah kemampuan

hiperkoagulan untuk menurunkan risiko komplikasi perdarahan selama persalinan.

Meskipun sering terjadi thrombositopenia dilusi benign, dengan jumlah platelet

80.000 hingga 150.000/mm3, kadar fibrinogen meningkat berkisar 400 hingga

600mg/dL. Selama persalinan, keadaan hemostasis sistemik terbentuk dengan

konsumsi platelet dan faktor koagulasi (termasuk fibrinogen) untuk memungkinkan

terjadinya pembekuan; hemostasis kemudian menjadi normal kembali dalam 4

hingga 6 minggu postpartum.

Bila kadar fibrinogen yang turun sekitar 80 hingga 100mg/dL, pemeriksaan standart

clot-based coagulation termasuk PT dan partial thromboplastin time (PTT) dapat

terpengaruh. Perubahan tersebut tidak dapat dikoreksi dengan transfusi

FFP/plasma; namun, cryoprecipitate digunakan atau konsentrat fibrinogen di

negara yang tidak memiliki cryopercipitate (lihat bab sebelumnya mengenai blood

and hemostasis). Alogaritma transfusi terdahulu hanya direkomendasikan untuk

terapi awal saat kadar fibrinogen kurang dari 100mg/dL dan akan sulit untuk

mengembalikan efek rendahnya kadar tersebut dalam fungsi hemostasis. Pedoman

Eropa terfokus pada peran kadar fibrinogen normal pada pasien perdarahan, dan

studi terkini juga mendukung efek potensial blood-sparing dari konsentrat

fibrinogen.

PEMANTAUAN HEMOSTASIS SELAMA TRANSFUSI MASIF

PT dan aPTT seringkali digunakan untuk pemantauan koagulopati selama transfusi

masif. PT dipertimbangkan sebanding dengan hilangnya faktor koagulan dan/ atau

hemodilusi namun faktor lain juga bertanggungjawab. Pemeriksaan standart

koagulasi tersebut memiliki keterbatasan dalam evaluasi perdarahan karena defek

koagulasi multipel yang muncul. Pemeriksaan standart plasma-based coagulation

juga tidak memberikan informasi mengenai fungsi platelet atau interaksi dengan

faktor koagulan dan dapat tampak memanjang bahkan dengan kadar faktor

Page 13: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

koagulan normal karena defisiensi vitamin C. sebagai hasil, pemeriksaan koagulasi

lainnya juga digunakan untuk mengelola transfusi masif.

Pengukuran whole blood viscoelastic dilanjutkan untuk memperluas pengelolahan

trauma, perdarahan perioperatif, dan koagulopati transfusi masif serta mencakup

thromboelastography (TEG; Hemonetics Corporation, Braintree, MA) atau

thromboelastometry (ROTEM; TEM International, Cary, NC). Beberapa

keuntungan menggunakan sistem tersebut adalah kemampuan mendapatkan

informasi secara cepat untuk diagnosis dan manajemen koagulopati serta

memberikan metode untuk alogaritma dan manajemen yang menuju kearah

keberhasilan. Thromboelastometry memberikan informasi mengenai pembentukan

klot dan polimerasi fibrin serta penggunaannya telah dilaporkan untuk evaluasi

koagulasi abnormal yang dipicu oleh trauma. Kekuatan klot ditentukan oleh

amplitudo maksimal TEG dan kekuatan klot maksimal pada ROTEM dipengaruhi

oleh kadar fibrinogen namun juga oleh kontribusi platelet terhadap klot. Sebagai

tambahan, penggunaan ROTEM FIBTEM assay, kadar fibrinogen sistemik dapat

dengan cepat ditentukan. Peran pemeriksaan penunjang ini dalam transfusi masif

berlangsung untuk mengembangkan strategi terapi untuk transfusi dan

pembentukan alogaritma terapi. Di negara Eropa dimana cryoprecipitate mungkin

tidak tersedia, assay digunakan sebagai panduan terapi baik untuk konsentrat

fibrinogen dan pemberian konsentrat kompleks prothrombin.

TERAPI KOAGULOPATI SELAMA TRANSFUSI MASIF

Bagan alir dan contoh aktivasi serta protokol institusi untuk transfusi masif

ditunjukkan dalam Gambar 31-1 dan 31-2. Pertimbangan spesifik untuk manajemen

telah didiskusikan dan juga dimasukkan dalam perspektif tersebut dengan

mempertimbangkan komponen terapi individual.

PLSMA/ FRESH FROZEN PLASMA

Secara keseluruhan, protokol transfusi masif merupakan alat terapi penting untuk

menangani perdarahan mengancam nyawa setelah trauma. Plasma/ FFP

mengandung beragam faktor untuk hemostasis dan kini lebih banyak

dipertimbangkan sebagai komponen penting. Sebagian besar penelitian yang

melaporkan efek menguntungkan dari rasio plasma yang tinggi adalah penelitian

Page 14: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

retrospektif dan melibatkan plasma/ transfusi FFP: RBC dengan rasio 1:1 atau lebih

untuk trauma. Rasio optimal dari plasma/ FFP: RBC belum diketahui, namun studi

prospektif yang mencakup penelitian terkini dari North American Pragmatic,

Randomized Optimal Platelets and Plasma Ratios study (ClinicalTrials.gov

number, NCT01545232) akan memberikan informasi terbati. Uji acak ini berasal

dari 12 rumahsakit berbeda yang mengevaluasi hasil dari pasien trauma yang

membutuhkan transfusi masif yang didefinisikan dengan pemberian RBC lebih dari

10 unit dalam waktu 24 ja, dan mortalitas secara keseluruhan akan dinilai. Terdapat

perbedaan utama dalam manajemen perdarahan berat di AS dan Eropa. Berdasar

pedoman Eropa terkini, dokter saat ini menggunakan faktor konsentrat berdasar

panduan thromboelastometry (ROTEM), dengan konsentrat kompleks

prothrombin, fibrinogen, dan faktor XIII. Fibrinogen dan konsentrat faktor lainnya

telah digunakan selama bertahun-tahun di Eropa, karena cryoprecipitate tidak selalu

tersedia di seluruh negara. Terapi berupa multimodal dan membutuhkan dukungan

hemodinamik dan hemostasis serta usaha untuk menentukan sumber perdarahan.

Sebuah contoh protokol transfusi masif tercantum dalam Gambar 31-3.

PEMBERIAN PLATELET

Setelah terjadi luka trauma atau perdarahan postoperatif yang signifikan, jumlah

platelet kritis untuk transfusi seringkali berdasar terapi konsensus daripada data

objektif yang sesungguhnya. Meskipun dianjurkan pada 50.000 atau lebih, ambang

batas untuk pemberian platelet, terutama pada kasus koagulopati dilusi, masih

belum jelas seperti rasio ideal untuk platelet terhadap komponen darah lainnya.

Sebagian besar usaha protokol untuk mengembangkan strategi yang menyerupai

penggantian whole blood dengan RBC:plasma/FFP: platelet dengan rasio 1:1:1

dengan perdarahan masif.

Penilaian fungsi platelet pada pasien perdarahan merupaka hal yang tidak mungkin;

oleh karena itu, pemberian platelet empirik masih jarang dilakukan. Bila pasien

menerima obat antiplatelet dalam jangka waktu dekat, bahkan platelet dan hitung

jumlah platelet tidak membantu. Bila pasien telah menerima obat antiplatelet atau

mengalami perdarahan setelah pemisahan dari bypass kardiopulmoner, maka

disfungsi platelet sebaiknya dicurigai dan pemberian konsentrat platelet

Page 15: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

dipertimbangkan. Terdapat hal merugikan yang signifikan dan potensial yang

berhubungan dengan pemberian platelet.

OBAT ANTIFIBRINOLITIK

Karena peran penting fibrinolisis pada perdarahan dan trauma, obat antifibrinolitik

asam tranexamat semakin sering digunakan sebagai strategi terapi. Penghambatan

fibrinolisis selama perdarahan akut memiliki berbagai keuntungan termasuk

memfasilitasi pembentukan klot awal pada lokasi perdarahan yang mudah hancur,

serupa dengan destruksi klot yang terlihat pada pasien hemofilia. Studi Clinical

Randomization of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH 2) yang

terfokus pada asam tranexamat yang digunakan sebagai obat terapi bagi pasien

trauma dalam prospective randomized placebo-controlled trial menggunakan

loading 1 gram diikuti dengan 1 gram setiap 8 jam pada 20.211 pasien trauma.

Mortalitas secara keseluruhan menurun dari 14.5% hingga 16.0% (relative risk,

0.91; P=0.0035), dimana kematian sebelumnya karena perdarahan (4.9%

berbanding 5.7%; relative risk, 0.85; P=0.0077). Asam tranexamat juga disetujui di

Amerika Serikat untuk perdarahan menstruasi yang berlebih dengan dosis 1.3 gram

tiga kali sehari (dosis total ~4 gram), tanpa laporan masalah keamanan yang

signifikan. Disamping efikasi dan keamanan asam tranexamat, dokter sering kali

mengganti epsilon-aminocaproic acid, analog lysine lainnya, meskipun obat ini

masih belum dipelajari sejauh asam tranexamat dan tidak tersedia di beberapa

negara Eropa.

PROKOAGULAN

Berbagai jenis obat telah digunakan atau dipelajari pada trauma dan koagulopati

transfusi masif, termasuk recombinant activated factor VII dan konsentrat

kompleks prothrombin. Penggunaan obat diluar label untuk meningkatkan

pembentukan klot setelah pembedahan mator dan atau luka trauma merupakan hal

yang rasional namun pendekatan empirik untuk terapi perdarahan yang mengancam

nyawa dan sering digunakan sebagai “usaha terakhir” bagi pasien yang sedang

mengalami perdarahan dan berada dalam risiko kematian atau kejadian merugikan

lainnya. Saat dokter menerima pasien yang terus mengalami perdarahan disamping

intervensi terapi standart, mereka memiliki dua pilihan. Mereka dapat melanjutkan

Page 16: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

untuk memberikan intervensi standart (yang telah gagal) atau memberikan

prokoagulan seperti recombinant activated factor VII dan konsentrat kompleks

prothrombin. Dokter dibenarkan dalam memilih rencana pemberian prokoagulan

untuk beberapa alasan. Pertama, terdapat bukti klinis bahwa pasien dengan

perdarahan refrakter akan mengalami prognosis buruk kecuali kehilangan darah

dapat dikontrol dalam waktu cepat. Kedua, bertahan dengan intervensi standart

tampaknya tidak akan mencapai tujuan ini dan akan memaparkan pasien terhadap

risiko pemberian produk darah yang tidak diperlukan. Ketiga, data efikasi dan

keamanan dari sebagian besar uji acak tidak dapat digunakan pada kondisi tersebut

karena pasien dengan perdarahan refrakter tidak ditelliti. Keempat, meskipun data

keamanan dari uji acak menggunakan hal tersebut, dimana keseluruhan

menyarankan prokoagulan berdasarkan pada efeknya dalam meningkatkan risiko

komplikasi thromboemboli, risiko ini relatif terhadap membiarkan perdarahan dan

kehilangan darah untuk terjadi. Kelima, data pengamatan dari Eropa dan beberapa

data uji acak pada pasien perdarahan menyarankan bahwa penggunaan terapi

prokoagulan dan konsentrat efektif untuk kehilangan darah yang bersifat refrakter

menggunakan faktor konsentrat sesuai dengan alogaritma. Implikasi etik dan hal

yang tidak praktis seperti percobaan, tidak memungkinkan data tambahan dari

placebo-controlled randomized trials untuk mengevaluasi hemoragik yang

mengancam nyawa dapat dilakukan.

Page 17: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

PERDARAHAN POSTPARTUM

Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting perdarahan yang mengancam

nyawa dan masih menjadi penyebab utama mortalitas maternal. Laporan publikasi

terkini dari ahli obstetrik internasional, ginekologi, anestesiologi, hematologi, dan

transfusion medicine melakukan review literatur komprehensif untuk

mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi prognosis buruk. Mereka

mendefinisikan perdarahan postpartum persisten berat sebagai “perdarahan akut

yang lebih dari 1.000 ml dalam 24 jam setelah persalinan yang berlangsung terus

meskipun telah diberikan penanganan awal seperti obat uterotonik lini pertama dan

masase uterin.” Seperti pada perdarahan mengancam nyawa secara keseluruhan,

alogaritma terapi yang mencakup protokol transfusi masif merupakan hal penting.

Kelompok tersebut menyarankan pemeriksaan koagulasi untuk dilakukan untuk

mengarahkan terapi. Bila terapi awal gagal untuk menghentikan perdarahan dan

atonia uteri masih terjadi, intervensi lini kedua dan ketiga, termasuk manuver

mekanik dan pembedahan, yaitu intrauterine ballon tamponade atau hemostatic

brace suture dengan histerektomi merupakan pilihan akhir pembedahan untuk

perdarahan yang tidak terkontrol. Pilihan farmakologi mencakup obat hemostatik,

termasuk asam tranexamat bersama dengan protokol transfusi masif untuk

pemberian produk darah juga merupakan hal penting untuk menekan kehilangan

darah dan mengoptimalkan prognosis dalam manajemen wanita dengan perdarahan

postpartum persisten berat.

RESUSITASI MULTIMODAL: DAMAGE CONTROL RESUSCITATION

Menangani perdarahan yang mengancam nyawan dan tidak terkontrol merupakan

masalah klinis yang muncul setelah luka trauma, selama prosedur pembedahan

mayor, dan setelah persalinan. Dari informasi yang dipelajari dari pertempuran dan

korban medan oerang, pendekatan multimodal dan multispesialistik telah dilibatkan

yang mencakup perspektif dari ahli bedah, anestesi, ahli kedokteran gawat darurat,

dan spesialis transfusion medicine untuk pendekatan resusitasi optimal terhadap

syok hemoragik. Dokter dan peneliti dari berbagai spesialistik telah menciptakan

istilah damage control resuscitation, sebuah strategi multimodal. Konsep ini

digunakan hanya untuk (a) fase awal dan peningkatan penggunaan plasma, platelet,

dan RBC sementara meminimalisir penggunaan kristaloid; (b) strategi resusitasi

Page 18: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

hipotensif; (c) menghindari hipotermia dan asidosis yang dapat menyebabkan

koagulopati; (d) penggunaan terapi tambahan seperti kalsium, THAM

(trishydroxymethyl aminomethane, alternatif alkalizing agent dari sodium

bikarbonat), dan asam tranxamat serta penggunaan obat prokoagulan off label; dan

(d) kontrol perdarahan definit awal.

KESIMPULAN

Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif merupakan hal kompleks,

masalah klinis multifaktorial. Saat melakukan evaluasi kasus koagulopati dalam

kondisi ini, farmakoterapi terdahulu termasuk riwayat penggunaan antikoagulan

harus dipertimbangkan. Peran hipotermia, koagulopati dilusi, disfungsi platelet dan

fibrinolisis sebaiknya dipertimbangkan. Evaluasi kadar fibrinogen menunjukkan

aspek penting bagi seluruh alogaritma transfusi, khususnya bagi pasien dengan

transfusi masif dan perdarahan yang mengancam nyawa. Alogaritma transfusi

merupakan aspek penting dan relatif baru dalam manajemen perioperatif; mereka

berusaha untuk menyediakan faktor adekuat dan penggantian hemostasis, meskipun

rasio ideal berbagai komponen darah dan faktor konsentrat masih dalam penentuan.

Perubahan signifikan dalam manajemen telah menjadi hal penting dalam strategi

resusitasi dan kristaloid tidak lahi menjadi hal primer dalam resusitasi; strategi

primer kini menggantikan kehilangan darah akutdengan plasma atau produk yang

mengandung plasma disamping sejumlah besar kristaloid dan RBC. Contoh

protokol transfusi masif dan aktivasi protokol transfusi masif dicantumkan dalam

Gambar 31-1 dan 31-2. Beberapa review tersedia sebagai bahan bacaan tambahan

dalam subjek ini.

Page 19: FISIOLOGI DAN MANAJEMEN TRANSFUSI MASIF

DAFTAR PUSTAKA

1. Pamela F, James PR, Steven S. Pharmacology & Physiology in Anesthetic

Practice : Physiology and Management of Massive Transfusion. 5th ed. 2015.