Upload
anok-coker
View
971
Download
2
Embed Size (px)
FISIOLOGI MUAL DAN MUNTAH
PENDAHULUAN : MENGAPA MEKANISMENYA TIDAK DIKETAHUI ?
Selama bertahun-tahun mual dan muntah telah dihubungkan dengan penggunaan anestesi
umum pada prosedur bedah, gambaran efek samping ini, yang diinduksi oleh eter dan kloroform,
dimuat dalam buku-buku farmakologi dan terapi. Salah satu penjelasan awal yang menyeluruh dari
fenomena ini dibuat oleh Jhon Snow, yang dipublikasikan pada tahun 1848, dalam jangka waktu
18 bulan setelah diperkenalkannya anestesi di Inggris [93]. Ia mengamati bahwa muntah lebih
sering terjadi bila pasien baru saja makan. Pada sebagian besar kasus, muntah hanya terjadi selama
beberapa menit namun pada kasus lain dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari. Ia
mengira bahwa gerakan tubuh segera setelah operasilah yang memicu terjadinya muntah.
Perawatan postoperasi juga menyertakan anggur (yang menurutnya lebih berguna dari mencium
garam) dan cairan Battley’s yang terdiiri dari opium.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan penurunan insiden dan intensitas masalah ini
karena penggunaan zat-zat anestesi yang kurang mengakibatkan emesis, meningkatkan medikasi
pre dan postoperasi (misalnya analgesia), perbaikan teknik operasi dan identifikasi faktor penyulit
dari pasien itu sendiri [33]. Namun, terlepas dari kemajuan-kemajuan tersebut, mual dan muntah
masih sering terjadi sehubungan dengan pembedahan dan anestesia dan disebut sebagai “masalah
kecil yang besar” [56] yang mempengaruhi pandangan umum. Walau anestesi telah digunakan
dalam mendukung prosedur bedah selama lebih 150 tahun, namun mengapa mekanisme mual dan
muntah masih belum diketahui? Hal ini mungkin disebabkan oleh empat faktor..
Kompleksitas dari masalah tersebut. Penelitian klinis dari fenomena tersebut seharusnya
dapat memberikan petunjuk penting tentang mekanisme mual dan muntah namun pertimbangan
akan berbagai variabel menunjukkan betapa sulitnya untuk mendapat lebih dari sekedar petunjuk
umum. Bila kita mengambil contoh sederhana dengan menggunakan 2 variabel pasien (umur,
jenis kelamin), 3 variabel lokasi operasi (kepala dan leher, abdomen, lokasi lainnya), 2 variabel
premedikasi dan 3 macam obat anestesi maka jumlah kombinasi yang mungkin terjadi adalah 36.
Maka jelaslah bahwa untuk mengidentifikasi suatu mekanisme atau untuk menilai efek dari
intervensi terhadap emesis membutuhkan jumlah pasien yang besar dalam percobaan yang sangat
terkendali.
Penilaian yang tidak adekuat dari fenomena tersebut. Walau telah banyak dilakukan
percobaan secara klinis, namun secara umum fenomena tersebut belum dinilai secara tepat; banyak
penelitian yang tiidak berhasil membedakan antara mual dan muntah, atau mual-mual dan muntah,
walau sebagian besar namun tidak semua, dari penelitian-penelitian yang terakhir telah menilai
sepenuhnya variabel-variabel tersebut. Sebagai tambahan , sebelumya hanya sedikit informasi detil
1
tentang perlangsungan dari mual dan muntah postoperasi ( Postoperative Nausea dan Vomiting;
PONV), yang merupakan sumber petunjuk yang sangat berguna tentang mekanismenya.
Regimen-regimen (obat-obatan) antiemetik yang tidak adekuat. Walau emesis merupakan
gejala penyakit yang umum, yang merupakan efek samping dari berbagai terapi ( misalnya
kemoterapi sitotoksik, radioterapi, L-dopa) dan merupakan akibat dari rangsangan “alamiah”
(misalnya pergerakan, kehamilan), fisiologi dari mekanisme emetik bukan merupakan bahan
penelitian yang serius semenjak penelitian klasik dari Wang dan Borison diakhir 1940-an dan
1950-an [102-104]. Minat terhadap mekanisme dasarnya muncul kembali akhir-akhir ini karena
perhatian lebih tertuju pada mual dan muntah yang sangat mencemaskan yang ditimbulkan oleh
kemoterapi antikanker. Sebagai tambahan, keberhasilan dari antagonis reseptor 5-
hidroksitriptamin-3 (5-HT3) (misalnya ondasteron dan granisteron) dalam mengatasi emesis telah
memberikan gambaran penting mengenai jalur yang berperan dalam emesis tersebut [8]. Bila
antagonis reseptor 5-HT3 ternyata juga efektif untuk mengatasi PONV seperti halnya pada
pengobatan anti kanker maka mungkin akhirnya ada peluang untuk mengidentifikasi mekanisme
predominan yang terlibat didalamnya
Model hewan. Salah satu faktor utama yang telah membatasi penelitian fisiologis dan
farmakologis dari mekanisme PONV adalah kurangnya model hewan yang sesuai. Kebanyakan
spesies laboratorium seperti tikus dan kelinci tidak muntah sesuai dengan stimulus yang diberikan,
walau mereka nampaknya mengalami ‘equivalen perilaku’ dari mual. Karnivora (kucing, anjing,
dan musang) dan primata laboratorium (monyet, marmoset), sejauh yang diketahui memberi respon
nyaris pada semua stimulus emetik manusia, termasuk terhadap obat sitotoksik dan radiasi, walau
terdapat perbedaan sensifitas antara masing-masing spesies. Namun, spesies-spesies ini nampaknya
tidak mengalami gejala-gejala pada kehamilan, dan emesis post operasi dan post anestesi bukanlah
sesuatu hal yang sering dialami. Bila terjadi PONV, hal itu dapat segera dialami setelah
premedikasi (misalnya morfin) atau terhadap prosedur bedah tertentu, walau sekali lagi hal tersebut
berbeda antara masing-masing spesies. Sebagai contoh, muntah merupakan suatu sequele yang
sering terjadi setelah vagotomi trunkus pada anjing (dan manusia) namun jarang pada musang
(pengamatan yang tidak dipublikasikan dari Bingham dan Andrews). Mungkin bukanlah suatu hal
yang mengejutkan bila binatang tidak mengalami PONV karena baik pada bedah eksperimental
maupuin bedah kedokteran hewan tidak dapat menyerupai pengalaman klinis dari pasien yang
mengalami bedah elektif atau bedah darurat.
Apapun penyebab adanya perbedaan antara manusia dan binatang, kurangnya model yang
sesuai jelas mempengaruhi identifikasi mekanismenya dan penyusunan terapi rasional berdasarkan
pemahaman tersebut. Akibatnya penelitian PONV cenderung untuk melakukan percobaan klinis
terhadap zat-zat yang aktifitas anti emetiknya diketahui dapat melawan stimulus lain seperti
pergerakan (misalnya atropin) atau gangguan motilitas gastrointestinal (misalnya domperidom,
2
metoklopramide). Hal ini diikuti dengan percobaan terhadap antagonis reseptor 5HT3 seperti
ondansetron (Zofran) yang diketahui efektif untuk melawan emesis yang disebabkan karena
kemoterapi sitotoksik dan radioterapi [6, 37].
Dengan memperhitungkan batasan-batasan tersebut, makalah ini mencoba untuk
menjelaskan mekanisme spesifik aktivasi refleks emetik yang dapat ditimbulkan oleh premedikasi
tindakan bedah dan anestesi. Walaupun makalah ini sebagian besar sifatnya sangat spekulatif,
mekanisme yang dibahas secara umum telah terbukti. Sebelum mendiskusikan mekanisme aferen,
integrasi dan motorik dari refleks tersebut, mungkin sangat berguna untuk melakukan peninjuan
tentang mual dan muntah dalam konteks biologis secara umum dibandingkan secara klinis.
MUAL DAN MUNTAH DALAM KONTEKS BIOLOGIS DAN KLINIS
Defenisi dan Fungsi
Mual memang tidak mengenakkan, namun tidak menyakitkan, sensasi ini terbatas pada
faring dan abdomen bagian atas yang berhubungan dengan keinginan untuk muntah atau perasaan
tidak bisa menahan muntah. Hal tersebut bisa singkat maupun berkepanjangan, sering muncul
dalam bentuk “gelombang” dan mendahului muntah ataupun muncul sendiri. Muntah mungkin
dapat menigkatkan sensasi mual.
Muntah merupakan pengeluaran isi saluran cerna bagian ataas secara paksa melalui mulut
dan biasanya, walaupun tidak selalu, diawali dengan mual-mual dimana tidak terjadi pengeluaran
secara paksa namun melibatkan aktivitas kelompok otot yang sama (lihat di bawah). Muntah
janganlah dikacaukan dengan gastro-oesophageal refluks atau regurgitasi, karena keduanya tidak
bersifat kuat maupun melibatkan pola aktivitas otot yang sama seperti pada muntah.
Mual dan muntah secara klinis sering disebut sebagai suatu efek samping yang tidak
diinginkan namun secara alamiah hal tersebut memiliki fungsi spesifik yang membantu usaha
mempertahankan hidup dari binatang. Sebagai dampak dari proses makan, minum serta bernafas,
tubuh akan terpapar bahan-bahan racun [38]. Indera penglihatan, perasa dan penghidu semuanya
digunakan untuk mendapatkan informasi tentang makanan sebelum menelan, namun banyak racun
yang tidak terasa pahit, berbau busuk maupun berwarna terang sehingga tidak dapat dikenali oleh
penginderaan tersebut yang merupakan pertahanan pertama tubuh. Setelah makanan yang tercemar
melewati sfingter oesophagus bagian atas, makanan tersebut hanya bisa dikeluarkan dari tubuh
melalui muntah atau mungin dengan jalan diare. Agar racun dapat dikeluarkan maka ia harus
dikenali terlebih dahulu, hal ini dapat dilakukan oleh detektor di lumen usus bagian atas(pre-
absorptif) dan di sirkulasi (post-absorptif). Detektor-detektor ini memicu serangkaian reaksi yang
dapat disimpulkan dan dijelaskan sebagai berikut : (i) mual untuk mencegah pemasukan lebih
lanjut dan untuk memfasilitasi terbentuknya penolakan sehingga makanan akan ditolak sebelum
dimakan ketika ditemukan kembali kelak ; (ii) relaksasi gaster untuk mengurangi pengosongan
3
lambung dari makanan tercemar dan retroperistaltik intestinal untuk mengembalikan makanan yang
tercemar ke lambung ; dan (iii) mual dan muntah untuk mengosongkan lambung.
Meninjau mual dan muntah dari perspektif ini akan mempengaruhi pandangan klinis
mengenai hal ini. Pertama, sejauh yang dapat dipastikan, refleks muntah merupakan suatu refleks
defensif dari traktus gastrointestinal. Mekanisme pengeluaran makanan yang tercemar tersebut
ditemukan disemua golongan binatang, mulai dari invertebrata, seperti bintang laut, hingga
vertebra, seperti ikan (misalnya trout, hiu dan tuna), amphibi (misalnya katak) dan burung
(misalnya pelikan, rajawali), walaupun mekanisme motoriknya berbeda dengan yang terjadi pada
mammalia. Agar muntah dapat timbul pada spesies manapun, yang dibutuhkan atau suatu
rangsangan yang memicu salah satu sistem pendeteksi; tidak terdapat sistem yang khusus untuk
masing-masing jenis rangsangan. Kedua, mual dan muntah yang timbul karena makanan yang
tercemar dianggap sebagai sesuatu hal yang “wajar” karena hal itu menimbulkan stimulus untuk
mengeluarkan makanan tersebut namun pada kebanyakan konteks klinis lain, mual dan muntah
merupakan sesuatu hal yang “tidak wajar” karena hal tersebut memiliki efek merugikan seperti
yang dijelaskan dibawah ini.
Konsekwensi dari PONV
Bila PONV tidak disertai dengan efek yang berbahaya terhadap pasien, baik secara nyata
maupun potensial, maka tidak terlalu perlu untuk mengenal mekanisme dan menyusun terapinya..
Namun, ini bukan masalah utamanya dan efek dari mual dan muntah mungkin lebih berat dari yang
diperkirakan sebelumnya. Hal tersebut dapat diklasifikasi dalam 3 tipe.
Fisik. Mual-mual dan muntah merupakan suatu kejadian fisik yang cukup berat dan hal
tersebut dapat memberikan stres yang cukup besar terhadap struktur-struktur tertentu, bahkan pada
subjek yang sehat terutama bila terjadi berulang-ulang. Hal ini termasuk terjadinya robekan pada
oesophagus yang dapat menyebabkan perdarahan (Mallory-Weiss Syndrome) dan ruptur
oesophagus (syndroma Boerhaave), fraktur iga, herniasi gaster, kejang otot dan kelemahan,
robekan pada kutaneus tubuh bagian atas. Kejadian dari hal-hal tersebut pada PONV sangat rendah
karena PONV biasanya bersifat ringan dan singkat, namun daftar tersebut di atas berguna untuk
menggambarkan gaya yang terlibat dalam kejadian muntah dan mengapa dapat menyebabkan luka
yang sulit sembuh, perdarahan intraokuler dan perdarahan di lipatan kulit pada tubuh bagian atas
setelah bedah plastik.
Masalah fisik utama yang berhubungan dengan muntah pada periode postoperasi atau
aspirasi dari muntahan dan terpicunya refleks-refleks kardiorespiratorius. Suatu bagian dari
program motoris dan refleks muntah dapat memastikan terlindunginya jalan nafas namun, karena
efek dari anestesi, koordinasi refleks dapat terganggu pada beberapa pasien. Hal yang sama dapat
terjadi pada konsumsi alkohol berlebihan atau pada pasien dengan kerusakan batang otak.
Mekanisme yang mendasari kegagalan dari refleks protektif otomatis terhadap jalan nafas tersebut
4
masih belum jelas, namun hal tersebut menunjukkan adanya efek lain dari obat-obat anestesi
terhadap neuron batang otak..Walaupun dalam keadan anestesi bedah yang dalam, binatang dan
manusia dapat bernafas secara spontan dan jarang mengalami muntah. Ketika terjadi muntah
tekanan intratoraks melebihi tekanan atmosfir karena terjadi perpindahan tekanan intra abdominal
ke toraks, sehingga untuk terjadi aspirasi dari muntahan harus ada rangsangan inspirasi dan
pembukaan glottis pada saat terjadi fase pengeluaran muntah. Yang lebih memberatkan dari
kegagalan mekanisme koordinasi tersebut, mungkin juga terjadi depresi mekanisme yang biasanya
meningkatkan tingkat kesadaran sebelum terjadi muntah.
Metabolik. Akibat metabolik dari muntah sudah banyak yang dijelaskan termasuk
diantaranya adalah anoreksi, dehidrasi, alkalemia. Efek-efek metabolit tersebut cenderung untuk
terjadi ketika muntah terjadi berkepanjangan dan jarang menjadi masalah pada PONV karena
perlangsungannya yang singkat.
Psikologis. Dampak psikologis dari mual dan muntah yang berhubungan kemoterapi dan
radioterapi antikanker sudah lama dikenal namun PONV mungkin juga memiliki efek-efek
tersebut. Mual merupakan suatu rangsangan yang sangat kuat dan dapat menimbulkan penolakan
seumur hidup terhadap makanan tersebut [80]. Penolakan tersebut merupakan suatu hal yang wajar
dan merupakan suatu bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap makanan yang beracun.
Dalam konteks bedah mual (dan muntah) berhubungan dengan operasi yang dialami dan dapat
menimbulkan penolakan terhadap pembedahan lebih lanjut, walaupun pada kebanyakan pasien hal
tersebut tidak menjadi masalah karena pembedahan berulang tidak sering terjadi di kehidupan satu
individu. Sebagai tambahan, bila pasien mengalami PONV, harus dipikirkan bahwa hal tersebut
mungkin berulang. Pada salah satu penelitian insiden dari PONV tiga kali lebih besar pada pasien
yang sebelumnya pernah mengalami PONV [81]. Hal ini menunjukkan sensitifitas refleks emetik
dapat berubah karena input yang besar, walaupun jalurnya tidak jelas. Observasi ini memiliki
dampak yang lebih luas karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa sensitivitas ddari
satu individu terhadap rangsang emetik tertentu dapat disebabkan karena riwayat emetik
sebelumnya. Hal ini mungkin bertanggungjawab terhadap peningkatan insidens dari mual dan
muntah setelah pembedahan, terapi antikanker dengan obat-obatan sitotoksik dan kehamilan pada
pasien yang sensitif terhadap rangsang gerakan. Bila jalur emetik disensitasi oleh stimulus lain
karena pergerakan, sangat tidak beralasan bila tidak terjadi sensitasi silang antara stimulus-stimulus
yang berbeda.
MENGAPA MUAL DAN MUNTAH POSTOPERASI TERJADI ?
Bagian di atas menjelaskan bahwa mual dan muntah merupakan suatu respon yang
alamiah yang merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh melawan racun dalam percernaan :
lalu mengapa anestesi dan pembedahan dapat menimbulkan mual dan muntah ? Alasannya tidak
terletak pada apakah ada sesuatu hal yang khusus dari anestesi dan pembedahan namun karena
5
banyak sekali situasi klinis dimana terjadi mual dan muntah, dimana sebagian pengobatan tersebut
mempunyai kemampuan untuk mengaktifasi detektor-detektor emetik. Dan tidaklah penting untuk
mengetahui detektor-detektor khusus untuk tiap-tiap jenis stimulus namun penting untuk
menunjukkan bagaimanan stimulus mengaktifasi pemicu dari sitem-sistem tersebut. Logika dari
pendekatan ini menjadi jelas bila kita mempertimbangkan bahwa refleks muntah yang ada pada
binatang berkembang jauh sebelum munculnya pengobatan medis : detektor-detektor yang memicu
refleks yang berkembang untuk mengidentifikasi zat-zat yang berpotensi berbahaya secara alamiah
dan bukan secara klinis. Argumen yang sama dapat diterapkan pada motion sikness dimana,
walaupun hal tersebut dapat disebabkan karena mengendarai beberapa jenis binatang (misalnya
unta), hal tersebut lebih sering dihubungkan dengan sarana transportasi yang dibuat oleh manusia.
Muntah yang disebabkan oleh makaanan yang terkontaminasi yang ada dalaml lumen
perut merupakan suatu hal yang wajar karena hal tersebut menyebabkan pengeluaran dari stimulus
oleh karena itu bersifat self limiting. Berbeda dengan hal tersebut banyak stimulus emetik yang
berkaitan dengan tindakan klinis terdapat didalam plasma dan walaupun hal tersebut bisa memicu
muntah, stimulusnya tetap ada, yang menyebabkab pengulangan respon emetik seperti yang terjadi
pada beberapa macam obat. Walaupun secaraa garis besar kita dapat menerangkan “mengapa”
anestesii dan pembedahan dapat menimbulkan mual dan muntah pertanyaan "“bagaimana” lebih
sulit untuk dijawab dan belum ada jawaban yang memuaskan, walaupun sangat mungkin untuk
mengenali sebagian kemungkinan yang ada. Sebelum membahas mekanisme spesifik tersebut,
mekanisme dasar dari emetis akan dipaparkan secara singkat untuk memberikan kerangka diskusi.
MEKANISME UMUM DARI EMESIS
Ada tiga bagian basar yang berkaitan dengan refleks muntah : detektor-detektor emetik,
mekanisme integral dan lepasan motoris.. Hal tersebut akan dibahas secara terpisah.
Detektor-detektor emetik
Pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah bagaimana bagian-bagian yang berbeda-beda
dapat menimbulkan PONV, seperti premedikasi opioid, manipulasi secara anestesi dan bedah,
sistem deteksi pemicu yang telah berevolusi terutama untuk mendeteksi racun dalam pencernaan ?
Bagain tulisan dibawah menggambarkan bagaimana caranya sistem emetik distimulasi dan
bagaiaman rangsang tersebut berkaitan dengan PONV dan menimbulkan aktivasi yang akan
dijelaskan dibagian selanjutnya.
Aferen visceral abdominal. Karena fungsi utama dari refleks muntah adalah melindungi
dari termakannya racun dalam makanan, tidaklah mengagetkan bila lambung memiliki sistem
deteksi yang dapat mengaktivasi refleks tersebut. Afferen dari lambung dapat dianggap sebagai
perlindungan lapis kedua dalam melawan keracunan melalui makanan, apabila racun tersebut dapat
melewati deteksi oleh indera penglihatan, perasa dan penghidu yang merupakan pertahan garis
6
pertama [38]. Nervus vagus meupakan nervus utama yang terlibat dalam proses mendeteksi
rangsang emetik dan jalur abdominalnya mengandung sekitar 80-90 % serat afferen. Stimulasi
elektris dari afferen vagus abdominal mampu menimbulkan emesis dalam 20 detik, hal ini
menggambarkan potensi jalur tersebut untuk menimbulkan ejeksi cepat dari isi gaster [6]. Ada dua
jenis serat aferen vagus yang terlibat dalam respon emetik : (i) mekanoreseptor, terdapat dalam
muskulus dari dinding lambung yang diaktivasi baik oleh kontraksi maupun distensi dari lambung
[4, 49]. Distensi dari antrum gaster (misalnya karena makan berlebih) atau usus halus proksimal
(misalnya oleh obstruksi) dapat menimbulkan mual dan muntah melalui stimulasi dari aferen-
aferen tersebut : (ii) kemoreseptor, terdapat dalam mukosa saluran cerna bagian atas, memonitor
keadaan dalam lingkungan intraluminal.. Reseptor-reseptor ini peka terhadap kerusakan mukosa,
asam, alkali, cairan hipertonis, temperatur dan bahan-bahan iritan (misalnya tembaga sulfat)
[4,48,49]. Dari pengamatan lesi didapatkan bahwa emesis diinduksi oleh sodium klorida hipertonik
dan tembaga sulfat intragaster dikurangi atau dihilangkan dengan vagotomi sangat memungkinkan
bahwa aferen mukosalah yang bertanggung jawab akan hal itu [6,104]. Emesis nyang ditimbulkan
oleh toksin bakteri intraluminal, seperti Enterotoksin Stapilokokkus, dapat pula dihilangkan dengan
vagotomi [96] dan mungkin zat-zat seperti itu dapat mengaktivasi aferen vagal mukosa, walaupun
hal tersebut belum diteliti secara formal.
Substrat pada kemoreseptor mukosa polymodal belum diketahui namun hipotesa yang ada
saat ini mengatakan bahwa ikatan yang serupa dengan hal tersebut pada tastebud’s atau pada badan
karotis dengan “sel detektor” yang merespon serrangkaian rangsangan dan melepaskan
nerotrasmitter ke aferen tujuannya dalam jarak dekat. Dalam usus halus, sel enterokromaffin
dikatakan merupakan suatu sel detektor, walau hal ini masih menunggu pembuktian melaui suatu
penelitian.
Area postrema. Penelitian Wang dan Borison (102-104) membawa perubahan besar dalam
pemahaman bagaimana zat-zat emetik dideteksi dan pada akhirnya menimbulkan refleks muntah.
Seperti telah diketahui bahwa emesis dapat ditimbulkan oleh pemberian bahan-bahan kimia
kepermukaan dorsal dari batang otak dan dianggap bahwa hal ini disebabkan karena rangsangan
langsung ke pusat muntah yang diperkirakan terdapat di daerah ini. Namun ,Wang dan Borison
[102,104] membuktikan bahwa beberapa ransangan yang dideteksi oleh sel-sel di daerah postrema
yang disebut zona pemicu kemoreseptor terhadap emesis, yang selanjutnya menyebabkan emesis.
Walau tidak ada keraguan bahwa bila area postrema diberi rangsang yang cukup akan
menimbulkan emesis, penggambarannya sebagai zona pemicu kemoreseptor telah menimbulkan
anggapan bahwa semua zat-zat kimia dalam sirkulasi akan menimbulkan emesis bila melalui jalan
ini.
Daerah postrema pada manusia merukan suatu struktur berbentuk U sepanjang beberapa
millimeter yang terdapat dibagian kaudal dari ventrikel IV di regio obex [66]. Secara signifikan,
7
daerah postrema terdapat di hewan dengan (misalnya musang) maupun tanpa (misalnya tikus)
refleks emetik, yang menunjukkan kemungkinan daerah tersebut memiliki fungsi yang lain selain
emesis [25]. Daerah postrema merupakan salah satu organ sirkumventrikular dari otak yang berada
di luar sawar darah otak dan sawar cairan serebrospinal [66]. Karena itu daerah tersebut relatif
lebih permeabel terhadap molekul polar dalam darah atau cairan serebrospinal, suatu kemampuan
yang membuat deraeh tersebut cocok untuk fungsi kemoreseptor umum.
Sistem Vestibuler. Sistem labirin vestibuler sangat penting dalam menimbulkan emesis
karena rangsang pergerakan. Walau pentingnya suatu respon emetik terhadap pergerakan masih
sangat membingungkan, namun Treisman [98] mengemukakan bahwa ketika seekor binatang
diracuni binatang tersebut tidak dapat berdiri kokoh dan labirin terstimulasi oleh gerakan
mengayun tersebut. Jelas bahwa mekanisme seperti ini tidak berlaku pada pasien, walau pergerakan
tiba-tiba dari kepala harus dihindari setelah pengobatan untuk mengurangi input labirin ke pusat
muntah, terutama pada pasien yang relatif tidak bergerak dalam posisi terlentang. Input dari labirin
ini juga harus dipikirkan ketika memindahkan pasien yang berbaring di kereta pembedahan, karena
input tambahan ini dapat menimbulkan muntah. Penelitian eksperimental pada manusia
menunjukkan bahwa posisi dari kepala ( yang menentukan tingkat stimulasi labirin ) dapat
mempengaruhi respon emetik terhadap apomorfin [53] yang bekerja melalui area postrema, dan
tidak ada alasan mengapa rangsang emetik lain tidak terpengaruh dengan cara yang sama.
Hanya terdapat sedikit bukti bahwa sistem vestibuler mungkin terlibat secara langsung
dalam respon emetik terhadap beberapa obat. Penelitian pada anjing mengungkapkan bahwa
pengeluaran sistem vestibuler dapat mengurangi respon emetik terhadap Lobelin, L-dopa dan
nikotin namun tidak terhadap pilocarpin atau apomorfin [71]. Penjelasan yang paling masuk akal
bahwa obat-obat tersebut memiliki kemampuan untuk mengeluarkan aferen vestibuler dan untuk
memfasilitasi efek utamanya pada mekanisme emetik.
Higher influences. Penelitian pada hewan yang dideserebrasi mengungkapkan bahwa
lintasan integratif dari komponen motorik refleks emetik terdapat dalam batang otak dan hewan
seperti ini dapat memberi respon terhadap rangsang emetk yang bekerja melalui area postrema,,
vagus atau bahkan labirin vestibuler. Peran dari fungsi cerebral lebih tinggi sampai saat ini masih
belum jelas namun masih diragukan apakah input dari area-area tersebut (misalnya sistem limbik)
dapat menimbulkan mual dan muntah.
Input tersebut nampaknya mempunyai fungsi utama memfasilitasi modulasi sensitivitas
dari mekanisme emetik batang otak daripada berfungsi sebagai detektor utama dari rangsang
emetik.
Input yang tidak jelas. Mual dan muntah dapat diaktivasi dari beberapa daerah lain
dari tubuh. Rasa yang tidak enak dapat menimbulkan mual dan muntah, walaupun belum jelas
apakah hal tersebut merupakan respon utama atau sekunder dalam hubungannya dengan perasaan
8
sakit yang dialami sebagai akibat dari pemaparan sebelumnya (penolakan yang dipelajari). Mual,
dan terutama tersedak , dapat ditimbulkan dengan rangsang mekanis dari aferen faringeal yang
diproyeksi ke batang otak dalam nervus glossofaringeal. Mungkin terdapat kewaspadaan yang
meningkat dari regio tersebut yang berhubungan dengan mual
Setelah penggunaan yang berlebih dari gastronomi, maka orang-orang di Roma sering
pergi ke Vomitorium dan menstimulasi timpaninya dengan bulu untuk menginduksi emesis secara
cepat. Prosedur ini menstimulasi cabang aurikuler dari nervus vagus, yang dikenal sebagai nervus
Arnold’s atau nervus Alderman’s..
Aferen ventrikuler kardial dapat menimbulkkan mual dan muntah pada manusia dan
hewan percobaan dan aktivasi dari aferen-aferen tersebut mungkin dapat menyebabkan gejala-
gejala terrsebut (terutama mual) sebelumnya , atau dalam hubungannya dengan infark miokard
[1,92].
Pengaturan refleks muntah..
Komponen motoris dari refleks tersebut dimediasi oleh nervus otonomik dan somatik.
Semua jalur motorik tersebut mempunyai fungsi nonemetik. Misalnya, inervasi non-adrenergik,
non kolinergik, nervus vagus pada lambung memediasi relaksasi gaster untuk penyimpanan
makanan dan nervus frenikus menkontraksikan diafragma untuk inspirasi. Pada refleks muntah
jalur motorik tersebut dan jalur lainnyadiaktifasi dengan pola tersendiri. Muntah dapat dianggap
sebagai program motoris khusus yang melibatkan koordinasi antara berbagai sistem fisiologis dan
antara komponen otonomik dan somatik dari sistem saraf. Gambaran tentang tingkat koordinasi
tersebut dapat diperoleh dengan mengobservasi kontraksi retrograde pada usus halus yang tidak
dimulai sebelum lambung bagian proksimal berelaksasi dan muntah tidak dimulai hingga kontraksi
retrograde telah mencapai lambung [61].
Istilah pusat muntah telah dipergunakan secara luas untuk menggambarkan mekanisme
pusat koordinasi emetik. Seperti halnya di area fisiologi lain, terminologi seperti ini hanya
digunakan untuk memudahkan penyebutan dari sistem koordinasi sebagai pengganti terhadap
dekskripsi dari substrat neuroanatomi yang melakukan fungsi tersebut.
Koordinasi dari komponen-komponen motorikdari refleks muntah terdapat pada batang
otak. Disinilah motor neuron nervus vagus yang mempersarafi lambung dan jantung muncul dari
nukleus motoris dorsalis nervus vagus dan nukleus ambigus. Sebagai tambahan, kelompok respirasi
dorsal dan ventral yang mengatur output nervus frenikus dari corda spinalis cervikal terletak dalam
batang otak demikian pula halnya neuron presimpatik yang mempertahankan tonus simpatis dari
jantung dan pembuluh darah. Output dari nukleus tersebut harus dikoordinasikan untuk
menghasilkan pola karakteristik dari muntah seperti yang dijelaskan diatas. Kandidat yang
menjanjikan untuk tugas tersebut adalah nukleus traktus solitarius. Nukleus ini mungkin
merupakan nukleus integratif utama terhadap informasi aferen viseral dan sebagai tambahan bagian
9
ventralnya membentuk grup neuron respiratorius dorsalis yang terlibat dalam pengaturan respirasi
[70]. Kandidat lain sebagai area koordinasi adalah formasio retikuler parviseluler yang mana
dilaporkan mempunyai hubungan neuroanatomis yang sesuai untuk fungsi tersebut.i
Komponen motorik dari refleks muntah.
Walaupun ejeksi yang sering sangat hebat dari isi gastroentestinal bagian atas merupakan
bagian paling nyata dari refleks muntah, hal tersebut hanya mewakili akumulasi dari serangkaian
kejadian motoris yang melibatkan baik divisi otonomik dan somatik dari sistem saraf. Agar
mudahnya kita akan membagi refleks tersebut kedalam dua bagian, yang biasanya saling berurutan
yaitu: pre-ejeksi dan ejekdsi.
Pre-ejeksi Fase pre-ejeksi atau prodromal ditandai dengan sensasi mual, yang merupakan
dasar fisiologi yang kurang dipahami. Terdapat beberapa tanda-tanda yang dapat diamati antara
lain keringat dingin, vasokonstriksi kutaneus dan dilatasi pupil yang dimediasi oleh nervus
simpatik dan salivasi dimediasi oleh nervus parasimpatis. Sebagai tambahan, yang terjadi pada
fungsi viseral seperti tahikardi dan penurunan sekresi gaster, keduanya barangkali dimediasi oleh
aktivasi simpatik. Segera sebelum onset dari fase ejeksi terdapat relaksasi yang jelas dari lambung
bagian proksimal yang dimediasi oleh eferen nervus vagus yang mengaktivasi neuron
postganglionik pada dinding lambung [48]. Neuron-neuron tersebut mungkin menggunakan
polipeptida vasoaktif intestinal ( VIP=vasoaktive intestinal polypeptida ) atau nitrik oksida sebagai
neurotransmiternya .Berhubungan dengan hal tersebut, kontraksi retrograde muncul dari usus
halus bagian tengah dan berjalan menuju lambung. Kontraksi retrograde tersebut biasanya berada
dibawah kontrol nervus vagus dan transmitter yang terlibat didalamnya adalah asetilkolin. Kedua
kejadian motoris dari lambung ini sangat menarik perhatian karena keduanya memiliiki fungsi yang
jelas pada refleks tersebut-relaksasi gaster yang berguna untuk membatasi toksin yang tertelan ke
dalam lambung dan siap untuk dikeluarkan [39,61]. Fase preejeksi biasanya diikuti oleh faes ejeksi.
Fase ejksi Fase ini terjadi muntah yaitu pengeluaran dari isi perut. Fungsi dari muntah
masih belum jelas namun hal tersebut berkaitan dengan usaha untuk melawan barier antirefluks
multikomponen yang terdapat pada regio gastroesofageal junction. Baik mual maupun muntah
terutama melibatkan kontraksi dari muskulus somatik dari abdomen dan diafragma. Ketika terjadi
mual-mual, muskulus abdominal dan seluruh diafragma berkontraksi secara bersamaan sedangkan
pada saat muntah diafragma periesofageal berelaksasi, yang diperkirakan untuk memfasilitasi
pasase dari isi gaster ke dalam esofagus kemudian ke luar [7,70]. Karena itu ekspulsi dari isi gaster
disebabkan oleh penekanan dari lambung karena penurunan diafragma dan kontraksi muskulus
abdominal yang berada dibawah pengaruh motorneuron somatis. Selama mual-mual dan muntah,
binatang-binatang percobaan mengambil posisi tubuh tertentu, yang dianggap untuk
mengoptimalkan kompressi terhadap perut oleh muskulus somatik dan untuk mengurangi tarikan
terhadap kelompok otot-otot tersebut dan struktur-struktur lain yang terlibat dalam muntah[7].
10
BAGAIMANA MUAL DAN MUNTAH POSTOPERASI DIPICU ?
Sangat mungkin tidak hanya ada satu keadaan lingkungan pembedahan yang merupakan
penyebab utama dari PONV namun mungkin penyebab tersebut bersifat multifaktorial dengan
kontribusi yang berbeda-beda dari masing-masing faktor bergantung dari keadaan klinisnya..Dari
penelitian-penelitian yang dilakukan mungkin dapat diidentifikasi pemicu yang paling sering
menimbulkan PONV dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut dijelaskan secara terpisah..
Faktor-faktor tersebut ditempatkan dalam urutan sementara sesuai dengan pemaparan yang terjadi
pada pasien.
Faktor-faktor Preoperatif
Makanan
Induksi dari anestesi segera setelah makan diketahui berhubungan dengan emesis baik
pada saat induksi maupun pada periode postoperatif [22,87]. Pada kasus pembedahan elektif sangat
mungkin untuk memastikan kapan pasien terakhir kali makan namun pada kasus korban kecelakaan
hal ini mungkin tidak bisa dilakukan. Sebagai tambahan, walaupun ahli anestesi telah memberikan
cukup waktu agar terjadi pengosongan lambung (4-5 jam), hal ini mungkin belum cukup
memastikan bahwa perut telah kosong karena adanya variasi individual yang besar dari laju
pengosongan lambung yang normal dimana fase cair sebagai eksponen dan fase solid sebagai linier
setelah fase kosong. Terlebih lagi laju pengosongan tergantung volume dan komposisi kimia dari
makanan, dimana makanan berlemak lebih lambat dikosongkan. Sebagai tambahan, trauma yang
berhubungan dengan kecelakaan tersebut mungkin menyebabkan perlambatan pengosongan
aktivasi simpatis.
Walau nampaknya sangat jelas bahwa adanya makanan memperhebat mual-mual dan
muntah, mekanismenya masih harus dipikirkan. Makanan. kecuali bila dimakan dalam jumlah
besar, bukan merupakan suatu rangsangan emetik oleh karena itu mengapa harus mengalami
kondisi tersebut ? Seperti yang telah dikemukakan di atas, emesis postoperatif nampaknya tidak
sering terjadi pada binatang laboratorium, namun emesis sering muncul bila diinduksi. Pada
musang (carnivora), urethane (etil karbamat) yang diberikan secara i.p. menghasilkan anastesi
yang cukup, stabil dan bertahan lama terutama cocok untuk penelitian neuropsiologis. Waktu yang
dibutuhkan untuk anestesi pembedahan adalah sekitar 10 menit. Pada sebagian besar hewan, ketika
urethane diberikan hewan tersebut secara cepat menjadi immobil, walaupun mungkin terjadi salvasi
berlebihan. Namun bila hewan tersebut tidak dipuasakan selama sekurang-kurangnya 12 jam,
mual-mual dan muntah terjadi hampir pada semua binatang beberapa menit setelah pemberiannya
(Bingham & Andrew’s, Observasi yang tidak dipublikasikan). Emesis ini muncul setelah hewan
tersebut tidak mengalami kehilangan kontrol postural sebelum terjadi anestesi pembedahan dan
diperkirakan terjadi pada anestesi tahap kedua (fase eksitasi). Karena sifat dari anestesi dan jalur
pemberiannya maka obserasi ini tidak memiliki hubungan dengan kejadian pada manusia, namun
11
hal tersebut menggambarkan suatu nilai yang penting yaitu : 2 stimulus dimana masing-masing
bila sendiri tidak menimbulkan emesis dapat bergabung untuk menimbulkan respon tersebut.
Makanan menimbulkan aktivitas aferen nervus vagus abdominal baik karena volume dan
komposisinya dan kombinasi tersebut bersama dengan efek sentral dan anestesi dapat
menghasilkan dorongan emetik yang cukup. Sebagai tambahan, dalam fase ini ketika refleks
postural hilang, hewan tersebut mungkin mengalami nistagmus yang memberikan stimulus
"prometic" tambahan melalui ketidaksesuaian vestibulo-visual seperti yang terjadi pada motion
sickness.
Setelah makan, lambung juga melepaskan beberapa hormon (misalnya gastrin, motilin,
peptida YY), dimana sebagian dikatakan memiliki kemampuan mengaktivasi neuron di area
potresma ketika ada dalam bentuk mikropeptida dan dapat menimbulkan emesis ketika diberikan
secara sistemik dalam dosis tinggi ke dalam sistem ventriculer serebral [29, 30, 31, 60]. Hormon-
hormon lambung yang bersikulasi juga dapat mensensitasi area postrema dan meningkatkan refleks
emetik dari ransangan yang lain. Terdapat pula peningkatan 5-HT dalam vena porta hepar setelah
makan [86] atau setelah pemberian analog gastrin yaitu pentagastrin [46] dan hal ini mungkin juga
mempunyai efek senstasi terhadap aferen gastrointestinal seperti yang terjadi setelah pemberian
obat-obatan sitotoksik dan radiasi yang meningkatkan efek samping emetik dari antikanker
tersebut.
Pada manusia, masalah muntah selama fase induksi dari anestesi dapat dikurangi dengan
menggunakan teknik induksi cepat dikombinasikan dengan penekanan krikoid (manuver Sellick's)
ketika kesadaran mulai hilang [76].
Diskusi di atas memunculkan masalah umum yang akan menjadi thema berulang dalam
bahasan ini, mengenai interaksi antara beberapa rangsangan atau sensitisasi terhadap suatu
rangsang. Hal tersebut juga menggambarkan kesulitan dalam menjelaskan mekanisme dari PONV
karena bahkan masalah sederhana tentang interaksi antara makanan dan anestesi pada fase induksi
memiliki beberapa mekanisme.
Adanya makanan di dalam perut dilaporkan juga meningkatkan insidens dari mual dan
muntah pada periode postoperasi [22]. Mekanisme yang terlibat didalamnya mungkin serupa
dengan yang dijelaskan di atas namun diperberat oleh faktor-faktor perioperatif dan post operatif
yang akan dijelaskan di bawah.
Walau penulis telah mengkonsentrasikan pada efek proemetik dari makanan, efek yang
menimbulkan mual dari pengurangan makanan seharusnya tidak dianggap enteng karena lebih
sering pasien mengalami pembedahan setelah melakukan puasa. Palazzo dan Stanin [75]
melaporkan suatu penelitian kecil dari sukarelawan yang sehat yang menunjukkan bahwa 56 %
wanita mengalami mual setelah puasa pada fase sadar selama 7 jam sedang pada pria hanya 38 %
mengalami mual, yang dimulai kira-kira 8,5 jam setelah puasa. Walau penelitian ini mungkin tidak
12
secara langsung dapat dipakai terhadap pasien yang biasanya tidak diberikan makanan padat
semalam sebelum pembedahan keesokan paginya, namun hal ini mungkin relevan pada pasien
yang pembedahannya ditunda hingga lain waktu pada hari yang sama.
Stres Psikologis
Pasien sering khawatir akan pembedahan selanjutnya dan mengalami berbagai tingkat
respon stres. Peran sesungguhnya dari stres terhadap induksi dari emesis sangat kurang dijelaskan,
walau baik pada penelitian pada hewan atau manusia mengemukakan bahwa perangsang elektrik
pada korteks serebral dapat menimbulkan emesis. Sebagai tambahan, terdapat beberapa respon
endokrin terhadap stres termasuk sekresi dari ACTH, growth hormone, dan prolaktin.
Kemungkinan keterlibatan hormon-hormon tersebut dalam PONV dibahas lebih rinci di bawah
sebagai bagian pertimbangan tentang respon endokrin terhadap pembedahan.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pasien yang gelisah dapat secara tidak sengaja
menelan udara dalam jumlah besar sebelum operasi dan hal ini menambah distensi dari traktus
gastro intestinal bagian atas yang diperkirakan berperan dalam pembentukan PONV (lihat di bawah
ini). Dikatakan bahwa aerophagi terjadi pada 10 % kasus [75].
Alasan dari pembedahan
Dampak terhadap PONV akibat masalah yang mendasari perlu intervensi pembedahan
sering tidak diperhatikan namun mungkin merupakan faktor yang signifikan pada beberapa kasus.
Pada pasien dimana mual dan muntah merupakan bagian dari kelainan yang menyebabkan mereka
harus dioperasi (misalnya peningkatan tekanan intrakraniel, obstruksi traktus gastrointestinal
bagian atas). Mungkin sistem emetik sudah berada dalam keadaan tersensitasi. Argumen ini
mungkin juga berlaku pada aborsi yang dilakukan pada bagian awal trimaster pertama ketika
terjadi mual dan muntah waktu hamil pada sebagian besar wanita. Suatu survei dari 1000 wanita
melaporkan 85 % insiden mual dan 50 % insiden muntah. Mekanisme yang menyebabkan
terjadinya mual muntah pada kehamilan tidak diketahui namun dikatakan bahwa hal tersebut
mungkin menunjukkan keadaan dimana mekanisme emetik sentral sudah tersensitasi. Pengaruh
dari hormon seks terhadap refleks emetis digambarkan oleh lebih sensitifnya wanita terhadap
hampir semua rangsang emetik (misalnya pergerakan, kemoterapi, sitotoksik). Hal tersebut
meningkatkan resiko terjadinya PONV setelah ligasi tuba dalam delapan hari pertama menstruasi
[16].
13
Faktor-faktor perioperatif
Premedikasi
Perbedaan pada premedikasi pasien dianggap sebagai salah satu faktor utama yang
menyebabkan perbedaan besar dari PONV antara berbagai penelitian. Dua kelas utama dari obat-
obat premedikasi yang digunakan adalah analgetik dan antiemetik. Pengaruh dari antiemetik yang
saat ini banyak digunakan terhadap insidens dari PONV didiskusikan pada makalah lain pada
terbitan ini namun perlu diingatkan bahwa atropin dalam dosis yang sering dipakai yaitu 0,6 mg
i.m. dapat memperlambat pengosongan lambung. Hal ini dapat menyebakan stasis gaster post
pembedahan yang kemudian menimbulkan PONV.
Analgetik utama yang telah diteliti dalam konteks PONV adalah morfin dan pethidin.
Dengan mempertimbangkan peranannya dan peran obat-obat lain terhadap PONV bagaimana efek
intrinsik emetik dan antiemetik yang mungkin tergantung dosis perlu untuk dipertimbangkan
bersama dengan lama kerjanya. Rumitnya masalah tersebut dapat digambarkan dengan melihat
penelitian pada hewan mengenai efek emetik dari morfin. Pada musang, ambang dosis dari emesis
yang ditimbulkan oleh morfin (mual dan muntah) adalah 0,1 mg/kg s.c. dengan semua hewan
dikelompok tersebut memberi respon terhadap dosis 0,2 mg/kg s.c. Ketika dosis dinaikkan baik
inseden maupun jumlah emesis berkurang hingga pada dosis 5 mg/kg tidak ada respon terhadap
morfin walau hewan tersebut tidak menunjukkan reaksi yang nyata [97]. Pengamatan yang sama
pada kucing menimbulkan pikiran adanya pusat antiemetik yang diaktipasi oleh opioid [34].
Dikatakan bahwa efek enetik dari morfin dan opioid-opioid lain (misalnya loperamide) adalah
melalui aksi pada reseptor opioid (mungkin ) yang diketahui terdapat pada area postrema (aplasi
area postrema akan menghilangkan respon emetik). Ketika dosis dari morfin ditingkatkan,
dikatakan bahwa pusat antiemetik yang dianggap terdapat di formasio retikularis dapat dimasuki
dan diaktivasi yang menyebabkan penurunan dorongan emetik. Hipotesa ini didukung oleh tidak
hanya oleh kurva berbentuk bel dari dosis-respon yang ditemukan pada morfin, pethidin dan
loperamid, namun juga oleh penelitian yang menggambarkan efek antiemetik dari dosis tinggi dari
morfin dan fentanil melawan berbagai rangsang emetik termasuk obat-obatan sitotoksik [14]. Tipe
dari reseptor opioid yang terlibat dalam komponen antiemetik dari kurva tersebut belum dapat
diidentifikasi dengan pasti, walau reseptor sangat dicurigai pada penelitian dengan fentanil [14]
dan penelitian pada manusia dengan afentanil [83], penelitian lain menggunakan loperamide juga
mencurigai reseptorδ. Identifikasi dari tipe reseptor mungkin dapat menuntun pada identifikasi
obat-obat antiemetik spektrum luas.
Berbeda dengan efek antiemetik dari reseptor antagonis 5 HT3 melawan emesis yang
diinduksi obat sitotoksik dan radiasi, zat-zat tersebut tidak menghalangi emesis yang ditimbulkan
oleh morfin, morfin-6-glukoronik atau loperamid pada musang [20,97]. Dengan memandang
perbedaan metabolisme dari morfin pada musang dan manusia, maka haruslah hati-hati dalam
14
menerapkan hasil-hasil tersebut pada manusia, walaupun hingga saat ini musang masih digunakan
untuk menilai efektifitas antagonis dari kelas ini. Efek emetik dari morfin dan morfin 6
glukoromida dihambat oleh naloxone.
Pertanyaan mengenai kontribusi relatif dari morfin sendiri dan metabolisnya pada efek
terapi dan toksik sudah sering dibahas. Pada manusia metabolik utama dari morfin adalah morfin 3
glukoronida dan morfin 6 glukoronida, yang kemudian membentuk 10 % dari produk metabolit
dari morfin. Morfin 3 glukoronida nampaknya tidak memiliki aksi analgetik atau ikatan dengan
reseptor-reseptor opioid. Percobaan klinis dari morfin 6 glukoronida menunjukkan bahwa zat
tersebut memiliki aktivitas analgetik (0,15 – 0,6 mg/kg) namun berbeda dengan morfin zat tersebut
tidak menimbulkan mual, disforia atau efek-efek kardio respiratorius yang bermakna secara klinis
(97). Secara umum, nampaknya emetik dan efek-efek samping lain merupakan akibat dari aksi
molekul-molekul tertentu dan bukan dari salah satu metabolitnya.
Tiga aksi lain dari opioid dapat pula menimbulkan PONV. Pertama, morfin dan pethidin
dalam dosis analgetik menurunkan pengosongan lambung. Hal ini menyebabkan akumulasi dari
sekret lambung dan saliva yang tertelan, yang mungkin meningkatkan distensi perut. Di mana efek
dari morfin terhadap pengosongan lambung mungkin dapat dipertahankan, pengosongan yang
terhambat ini akan berlanjut hingga periode post operatif ketika pasien mencoba untuk
mengkonsumsi cairan bahkan makanan. Penurunan pengosongan lambung ini dilaporkan
berhubungan dengan peningkatan tonus antrum dan duodenum [74]. Dan teregang pada tahapan
ini, pada dinding muskuler lebih tinggi dari pada keadaaan distensi yang sama tanpa adanya
morfin, yang mengakibatkan peningkatan pelepasan aferen mekanoreseptif yang diketahui dapat
memicu terjadinya emesis ketika distimulasi secara adekuat.
Kedua, baik morfin maupun pethidin nanpak meningkatkan sensitifitas refleks emetik
dengan mengaktivasi stimulasi labirin yang ditunjukkan oleh peningkatan insidens mual dan
muntah ketika berjalan, berbeda dengan ketika berbaring , pada pasien yang diberi opioid [89].
Mekanisme dari efek ini tidak diketahui namun opioid mungkin mempunyai efek pada nukleus
vestibuler dimana serat dan neuron yang mengandung leuenkephalin dipermukaan [68].
Kemungkinan ini nampaknya sangat kecil karena bila opioid langsung mengaktivasi sistem
vestibuler, insidens emesis pada pasien yang berbaring akan lebih tinggi. Kemungkinan
alternatifnya adalah aktikvasi area postrema dan pusat muntah oleh opioid mengurangi ambang
untuk memicu oleh rangsang lain seperti gerakan. Mekanisme ini didukung oleh penelitian yang
menunjukkan bahwa ambang emetik dari apomorfin (yang bekerja di area postrema) tergantung
pada posisi kepala hal ini diperkirakan karena perbedaan tingkat stimulasi labirin [53].
Ketiga, morfin dan opioid lain meningkatkan pelepasan 5-HT dari usus halus, mungkin
dengan disinhibisi dari inhibisi tonus jalur saraf menuju sel-sel enterokromaffin [82]. Pelepasan
dari 5-HT terlibat dalam mekanisme emesis yang diinduksi oleh terapi antikanker (lihat di atas).
15
Nampaknya mekanisme ini tidak memainkan peranan utama pada PONV, karena antagonis resptor
5-HT3 tidak menghambat emeisis yang diinduksi pada hewan baik oleh morfin, morfin 6
glukkoronida atau loperamid [20,97].
Cara lain yang memungkinkan bagi opioid untuk mempengaruhi emsis adalah melalui
pelepasan vasopressin (ADH) dari pituitari posterior. Vasopressin tidak hanya dihubungkan dengan
mual dan muntah tapi penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa ia juga mengurangi
motilitas usus.
Intubasi
Pada tahap tertentu selama insersi jalan napas melalui mulut maka tidak dapat dihindari
akan terjadinya stimulasi terhadap aferen mekanoreseptif pharingeal yang diproyeksikan ke batang
otak, terutama melalui nervus glossopharingeal. Stimulasi dari afren-afren tersebut dapat
menimbulkan refleks tersedak, bila stimulasi tersebut berlanjut, dapat terjadi mual-mual bahkan
muntah. Reflek sedak mungkin terpicu pada hewan yang dianestesi (misalnya musang yang
dianestesi dengan urethan), walau ketika jalan napas buatan tersebut terpasang, sedakan tersebut
berkurang. Hal ini mungkin merupakan akibat dari kombinasi antara adaptasi dari aferen-aferen
tersebut dan peningkatan kedalaman anestesi. Stimulasi reseptor iritan dalam laring dan saluran
napas atas tidak mungkin menyebabkan mual dan muntah karena, walau aferen-aferen tersebut
dapat menimbulkan refleks batuk, tidak ada bukti bahwa reseptor-reseptor tersebut dapat memicu
emesis.
Faktor-faktor Intraperatif
Dua hal utama dari faktor intraoperatif yang dapat menimbulkan PONV, adalah anestesi
dan prosedur pembedahan. Pengaruh dari kedua hal tersebut dan berbagai komponennya terhadap
PONV akan dibahas di bawah.
Anestesia
Karena PONV dilaporkan terjadi pada penggunaan obat anestasi dari berbagai macam
struktur, kita harus mempertimbangkan apakah derajat anestasi itu sendiri dapat berperan pada
terjadinya emesis sebagai tambahan terhadap efek langsung secara formakologis dari obat-obat
anestesi.
Bagaimana derajat anestesi dapat menimbulkan emesis postoperatif ? Walau anestesia
telah digunakan untuk menghambat emesis yang diinduksi oleh radiasi [106], dan halothan sendiri
dilaporkan memiliki efek antiemetik pada konsentrasi rendah [108], derajat anestasi masih dapat
menyebabkan PONV. Selama anestesia pasien mungkin dalam posisi terlentang dan tidak bergerak
untuk waktu tertentu, terutama bila digunakan pelumpuh otot. Kepala pada khususnya akan
menjadi tidak bergerak yang menyebabkan pengurangan pelepasan tonus dari labirin vestibuler
selama dilakukan pembedahan. Bahkan ketika tidur tubuh tidak mencapai tahapan immobilitas
seperti ini. Ketika pasien mulai terbangun dari anestesi, bagian kepala sering merupakan bagian
16
tubuh pertama yang bergerak, terutama bila pasien berusaha untuk duduk, yang mengakibatkan
gerakan vestibuler secara tiba-tiba yang lebih diperberat jika pasien dikembalikan ke bangsal dalam
keadaan mengantuk seperti ini. Sebagai tambahan. mungkin terjadi nistagmus dan diameter pupil
mungkin tidak kembali normal setelah premedikasi dengan antikolinergik yang menyebabkan
terjadinya ketidaksesuaian atau konflik vestibulo-visual yang juga dapat terjadi karena beberapa
jenis gerakan (misalnya gerakan mengayun, perjalanan lewat laut) [36].
Anestetik
Efek-efek secara umum. Bila derajat anestesi itu sendiri merupakan penyebab utama
PONV maka insidens dari PONV mungkin tidak begitu bervariasi dan, terutama, tidak begitu
berbeda antara anestesi inhalasi dan I.V. Oleh karena itu, sifat-sifat obat-obat farmakologis dan
sifat-sifat terkait lain dari obat-obat anestesi itu sendirilah yang memegang peranan utama. Walau
sekilas hal tersebut nampaknya sudah jelas karena bila zat-zat anestesi bersifat emetik maka
mengapa emsis terjadi terutama pada saat induksi dan pemulihan dan jarang pada saat terjadi
anestesi dimana konsentrasinya paling tinggi ? Jawabnya diperkirakan terletak pada banyaknya
efek dari zat-zat anestesi : di mana emesis yang diinduksi oleh zat-zat anestesi namun dihambat
oleh tahap anestesi pembedahan. Dan walaupun obat-obatan anestesi (emetik) mengaktifasi jalur
emetik selama ia masih ada, efeknya hanya muncul di luar periode anestesi. Walau hipotesis ini
memberi kerangka kerja konseptual, hal tersebut belum diujicoba secara resmi bahkan beberapa
penelitian mempertentangkan efek-efek tersebut. Sebagai contoh, pada manusia dan musang,
konsentrasi sub-anestesi dari halothan dapat mengurangi emesis yang diinduksi baik oleh stimulasi
aferen vagus atau oleh zat-zat anestesi lain (trichloroethylene dan nitrousaxida [108]). Efek anti
emetik dari halothane ini beserta induksinya dan waktu pemulihannya yang cepat mungkin
menyebabkan rendahnya insidens emesis dengan mengunakan zat tersebut. Potensi sifat antiemetik
dari anestesi inhalasi yang lain belum dipelajari, walau efek seperti itu nampaknya tidak ada pada
siklopropana, nitrik oksida dan eter sehubungan dengan tingginya insidens emesis dibandingkan
dengan halothan [33,45]. Pada musang yang dianestesi dengan urethan, walau emesis yang induksi
oleh apomorfin dan cisplatinum dapat dihambat, hewan tersebut masih dapat memberi respon
terhadap stimulasi aferen vagus abdominal, larutan hipertonik intragaster (misalnya NaCl) dan
kadang terhadap radiasi [6,10 observasi yang tidak dipublikasikan]. Kurang diketahuinya hubungan
antara potensi anestetik dari berbagai zat dan potensi emetiknya memberikan gambaran bahwa
mekanisme emesisnya terletak pada sifat-sifat farmakologis dari zat itu sendiri.
Hanya sedikit penelitian mengenai hubungan antara dosis dan responnya yang telah
dilakukan yang berhubungan dengan mual dan muntah dengan dosis anestasi pada saat tidak terjadi
pembedahan. Suatu penelitian [78] menunjukkan hubungan secara umum antara persentase nitrik
oksida (20-40 %) dengan insidens dan intensitas mual. Dengan pemberian 40 % nitrik oksida rasa
mual bertahan untuk beberapa jam.
17
Efe-efek farmakologis dari zat-zat anestesi. Aksi farmakologis dari zat-zat anestesi yang
mendapat perhatian yang besar adalah interaksinya dengan reseptor adrenergetik atau efek
adrenomimetiknya. Jenkins dan Lahay [54] mengemukakan bahwa zat-zat seperti siklopropana dan
dietil eter yang berhubungan dengan tingginya insidens dari PONV peningkatan konsentrasi
katekolamin dalam sirkulasi sedangkan halothane dan metoksifluran yang menimbulkan tingkat
PONV yang lebih rendah tidak meningkatkan konsentrasi katekolamin dan bahkan memiliki sifat
menghambat reseptor adrenergik. Hipotesa ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa
emsisi dapat diinduksi pada kucing dengan injeksi intra serebroventrikuler dari antagonis reseptor
adrenergik yang bekerja pada reseptor alfa-adrenergik. Emesis tidak ditimbulkan oleh aktivasi beta
adrenoreseptor. Penelitian terakhir melibatkan baik reseptor alfa 1 dan alfa 2 di area postrema
terhadap emesis [17]. Karena konsentrasi katekolamin disirkulasi yang meningkat, yang mungkin
menjadi sumbernya adalah medulla adrenal yang menunjukkan peningkatan dorongan simpatis
[91]. Emesis kemudian akan muncul sebagai efek dari katekolamin terhadap area postrema dan dari
catatan penelitian terhadap neuron pada anjing menunjukkan baik adrenalin maupun noradrenalin
menyebabkan pelepasannya [29]. Bila hipotesa ini benar maka antagonis antagonis alfa-adrenergik
seharusnya dapat menghambat PONV namun anehnya kemungkinan ini nampaknya tidak pernah
diuji secara langsung, walau antagonis reseptor beta-adrenergik seperti propanolol memiliki
manfaat terhadap muntah berulang pada anak-anak [105]. Pelepasan adrenalin oleh aktivasi
medulla adrenal yang kuat ini juga terlibat dalam mekanisme dari emesis yang diinduksi oleh
hipotesa dan rasa sakit [75,85].
Keterlibatan area postrema dalam PONV telah diuji hanya pada penelitian eksperimental
sejauh yang diketahui oleh penulis. Muntah terjadi pada anjing dan monyet setelah pemberian
siklopropan [12]. Pada anjing, insidens emsisi selama pemulihan dari anestesi siklopropana (33,3%
dalam oksigen), yang diberikan 10-30 menit setelah pemberian makanan, yang berhubungan
dengan lamanya anestesi : 5 menit-35 % ; 10 menit – 66 % ; 15 menit – 80 %; 20 menit – 100 %.
ablasi dari area postrema menyebabkan anjing tersebut mempunyai sifat refrakter terhadap efek
emetik dari siklopropana walau diberikan 3 – 6 x dari dosis ambang emetik. Penelitian ini jelas
melibatkan area postrema dalam emesis yang diinduksi oleh siklopropana anamun hal tersebut
tidak memungkinkan untuk membedakan antara efek primer dari anestesi terhadap area postrema
dengan efek sekunder melalui pelepasan bahan-bahan emetik endogen seperti adrenalin yang
kemudian bekerja di area postrema.
Seperti yang telah dikatakan di atas, telah dilakukan pencatatan tentang area postrema dan
sesuai dengan kebutuhannya penelitian-penelitian tersebut telah dilakukan terhadap hewan-hewan
yang dianestesi [2, 26, 29,31] atau terhadap jaringan yang diisolasi [28]. Pada anjing yang
dianestasi dengan sodium thiamil 25 mg/kg IV dan pentabarbiton 25 mg/kh I.V, tidak tercatat
adanya aktifitas seraf secara spontan dari area postrema [29,31]. Berbeda pada tikus yang
18
dianestesi dengan urethan dan kloralos dan kucing yang dianestesi dengan pentobarbiton, pada area
postrema secara spontan aktif [2]. Neuron area postrema juga menjadi aktif secara spontan pada
jaringan yang diperoleh secara invitro dengan frekuensi berkisar 0,4 – 22 Hz [28]. Dari penelitian-
penelitian terbatas ini tidak mungkin untuk menarik kesimpulan yang berguna mengenai efek dari
obat-obatan anestesi terhadap area postrema, terutama karea tidak ada pencatatan pada hewan yang
dianestesi dengan anestesi inhalasi yang lebih bersifat emetik.
Walau perhatian terpusat pada efek dari obat-obatan anestasi terhadap area postrema
sebagai penyebab emesis, terdapat kemungkinan lain yang mungkin melibatkan pusat anti emetik
[34]. Diperkirakan area dari batang otak ini bila dalam keadaan aktif akan menghambat pusat
muntah dan akan menghambat emsis. Obat-obatan anestesi memiliki efek-efek yang berbeda
terhadap neuron pada bagian-bagian otak yang berbeda [11] dan mungkin PONV muncul karena
pusat tersebut sangat sensitif terhadap efek depresan dari zat-zat anestesi dan lambat untuk
memulihkan aktivitas tonusnya pada periode post anestsi. Karena PONV dapat disebabkan baik
oleh efek emetik langsung dari zat-zat anestesi dan pembedahan dan difasilitasi oleh efek tidak
langsung dari inhibisi berkepanjangan dari pusat antiemetik.
Pencatatan penelitian tentang aferen vagus abdominal yang diketahui memiliki
kemampuan untuk memicu emesis tidak menggambarkan nervus tersebut diaktifasi oleh obat
anestesi seperti urethan atau barbiturat. Bila aferent-aferent tersebut terlibat dalam PONV, hal
tersebut mungkin terjadi dengan mengirimkan pola sinyal abnormal dari motilitas gastrointestinal
yang berhubungan dengan pembedahan dan anestesia.
Bagian di atas memusatkan perhatian terhadap efek farmakologis tertentu terhadap input
utama dari mekanisme koordinasi emetik dari batang otak. Walau obat-obat anestesi memiliki efek
farmakologis yang lebih umum terhadap otak dan PONV mungkin merupakan ekspresi dari efek-
efek tersebut pada jalur refleks emetik. Misalnya, terdapat bukti-bukti yang cukup dari penelitian
pada tikus bahwa banyak obat anestesi (misalnya pentobarbiton, dietil eter, halothan dan nitrous
oxida) yang mempengaruhi metabolisme 5-HT dalam otak [3,27,41]. Setelah anestesi halothan dan
nitrous oxida, terjadi pengurangan sintesis dan utilisasi 5-HT, yang pertama mungkin disebabkan
oleh penurunan triptophan hidroksilase. Efek tersebut terjadi baik di batang otak dan jaringan
otak dalam 5 menit setelah anestesia. Penelitian dengan dietil eter pada tikus menunjukkan obat
tersebut meningkatkan sintesa 5-HT seperti halnya pentobarbiton mengurangi perombakan 5-HT
[3]. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa obat-obat anestesi dapat memicu emesis melalui
modulasi dari pelepasan neurotrasnmitter pada lokasi-lokasi di otak yang diketahui dapat
mengaktifasi emesis atau di batang otak seperti nukleus traktus solitarius yang menerima input dari
area postrema dan aferen vagus.
Efek fisik dari anestesi volatil. Angka kejadian dari PONV lebih besar bila menggunakan
zat volatil daripada bila menggunakan anestesi I.V. dimana PONV dapat diperberat oleh efek fisik
19
dari zat-zat anestesi. Walau dikatakan peningkatan tekanan di telinga bagian tengah juga
dipengaruhi [39], namun efek utamanya dikatakan terjadi diusus [75, 76]. Pertama, selama
ventilasi manual dengan menggunakan masker (terutama bila dilakukan oleh ahli anestesi yang
kurang berpengalaman [51]) gas dapat masuk ke dalam lambung dan usus halus bagian atas yang
menyebabkan distensi dan aktivasi eferen-eferen abdominal, vagal dan splanikus yang kemudian
dapat memicu emesis. Palzzo dan Strunin [76] mengatakan bahwa distensi merupakan suatu
faktor penting dan menyatakan bahwa emesis lebih jarang terjadi bila ventilasi seperti tersebut
tersebut dihindari dengan melakukan periode preoksigenasi [57]. Kedua, usus mengalami distensi
oleh gas, terutama nitrik oksida. Pada kadar nitrik oksida sebesar 75 % diperkirakan volume usus
akan meningkat sebesar 500 ml dari anestesia [lihat 56, 51]. Di lambung, volume yang terdistensi
tersebut kurang secara bermakna karena lambung mempunyai kapasitas penampungan yang
cukup besar namun pada usus halus dampaknya lebih besar. Perlu diingat bahwa refleks
sendawa mungkin tertekan pada saat terjadi anestesia dan pada periode pastoperatif dimana hal
tersebut dapat menyebabkan akumulasi berkepanjangan dan gas di dalam lambung yang
seharusnya bisa dihindari. Sebagai tambahan, karena motilitas usus halus dan usus besar
dikurangi maka eliminasi gas gastrointestinal dalam bentuk flatus juga menurun, yang dapat
menyebabkan akumulasi gas yang dapat menyakitkan.
Efek endokrin dari obat-obat anestesi. Efek endoktrin dari anestesi dan pembedahan
sangatlah rumit dan kontribusi relatifnya terhadap perubahan-perubahan yang diamati masih
belum diketahui. Pembahasan dari pokok bahasan yang luas ini berada diluar cakupan dari tinjauan
ini, namun, sebagian besar hormon peptida (angiotensin II, AVP, bombesin, gastrin, insulin,
neuropeptida Y, neurotensin, somatostatin, TRH, VIP) [29,30] diketahui dapat menimbulkan
emesis baik bila diberikan secara I.V. maupun diberikan ke dalam ventrikel serebral dari hewan,
maupun diberikan bersamaan, biasanya pada dosis yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk
menimbulkan kerja fisiologis yang normal. Mekanisme induksi dari emesis dikatakan melalui area
postrema dan sebagaian besar (tapi tidak semua) peptida-peptida tersebut dapat mengaktifasi
neuron-neuron postrema diberikan secara mikro infeksi tekanan atau dengan iontophoresis.
Efek kardiovaskuler dari obat anestesi. Tekanan arteri sering menurun selama terjadi
anestesia dan hal tersebut diperberat oleh perdarahan dan manipulasi pembedahan. Hipotensi dapat
menimbulkan mual dan mungkin muntah, walau mekanismenya belum jelas. Salah satu
kemungkinannya adalah hipotensi dapat menimbulkan sejumlah pelepasan impuls simpatis yang
menyebabkan pelepasan adrenalin dari medulla adrenal yang kemudian dapat memicu emesis
melalui kerjanya pada area postrema. Mekanisme yang lainnya yang mungkin terjadi melibatkan
aktivasi mekanoreseptor dari aferen vagus di mana akson yang tidak bermyelinnya terdapat di
ventikel jantung. Fungsi fisiologis sebenarnya dari eferen tersebut tidak jelas, namun aferen-aferen
tersebut dapat memicu emesis dan mungkin bertanggung jawab terhadap mual dan muntah yang
20
berhubungan dengan pingsan akibat rangsang vaso-vagal, dan infark miokard infero-posterior [92].
Reseptor-reseptor tersebut dapat diaktivasi oleh beberapa kondisi, termasuk iskemia miokard dan
tachicardia dengan hipovolemia [92]. Yang terakhir dapat terjadi baik selama anestesia atau pada
periode postoperatif di mana pasien mencoba untuk duduk tegak sehingga terjadi pengumpulan
darah di vena-vena di tubuh bagian bawah. Aferen-aferen jantung tersebut juga menimbulkan
relaksasi lambung terutama melalui aktivitasi aferen vagus non-adrenergik, neuron inhibisi non-
kolinergik dan hal ini dapat menambah perlambatan pengosongan lambung yang berhubungan
dengan anestesia dan pembedahan [1,55].
Hipotensi secara umum dianggap lebih mungkin untuk terlibat pada mual dan muntah
yang terjadi selama anestesia spinal. Pada penelitian pada pasien dengan anestesia spinal yang
menjalani pembedahan gynekologi, insidens emesis lebih besar ketika tekanan darah sistolik < 80
mnHg. Usaha untuk mempertahankan tekanan darah dengan menggunakan efedrin mengurangi
insidens emesis dari 60 % menjadi 10 % [85].
Efek gastrointestinal dari obat-obatan anestesi. Anestesi dapat menimbulkan mual dan
muntah dengan menyebabkan gangguan motilitas gastrointestinal yang mungkin diperberat oleh
efek dari pembedahan itu sendiri terhadap fungsi usus. Walau obat-obatan anestesi meningkatkan
motilitas usus secara keseluruhan, efek obat-obat anestesi yang relevan dengan emesis adalah
efeknya pada sfingter bagian bawah oesophagus dan motilitas lambung.
Efek dari obat-obat anestesi pada stingter oesophagus bagian bawah (lower oesophagus
sphincter = LOS) sangatlah penting bukan karena efek tersebut dapat menimbulkan emesis tapi
terutama karena peran dari LOS untuk mencegah refluks dari isi lambung ke dalam oesophagus
dan regurgitasi ke dalam mulut dengan resiko aspirasi yang ada terutama pada subjek yang
terlentang. Secara umum, anestesi inhalasi menimbulkan penurunan tekanan sfingter oesophagus
bagian bawah. Hal ini dilihat pada nitrik oksida dalam oksigen yang diperkuat oleh halotan dan
enfluran [35]. Penelitian terakhir menunjukkan penurunan jumlah kontraksi spontan LOS dan
amplitudo kontraksi LOS yang diprovakasi (oleh distensi ballon) pada peningkatan konsentrasi
halotan (05, - 20,0 MAC). Penulis mengatakan mekanisme dari penurunan tersebut tidak
disebabkan karena efek perifer dari obat anestesi namun hal tersebut menunjukkan kerja di pusat
pada jalur batang otak dalam mengatur aliran impuls vagus menuju LOS [42].
Pola umum dari motilitas lambung yang nampak pada penelitian dengan hewan adalah
penekanan motilitas lambung dan usus halus bagian atas oleh obat-obat anestesi seperti
pentobarbiton, urethan, siklopropana, dan halotan walau dilaporkan pula terjadinya stimulasi pada
penggunaan efer yang bertahan selama periode anestesia [74] dan penelitian terakhir dari anestesia
enfluran pada tikus gagal untuk menunjukkan efeknya terhadap pengosongan lambung [15].
Mekanisme dari penekanan ini sering dikatakan berhubungan dengan efek perifer,
misalnya pelepasan asetilkolin dari pleksus myenterikus atau peningkatan pelepasan impuls
21
simpatis memiliki efek langsung atau melalui pelepasan adrenalin. Namun, penelitian terakhir pada
musang menunjukkan bahwa mungkin terdapat mekanisme vagus. Motilitas antrum gaster
dimonitor dengan menggunakan alat penimbul strain miniatur yang diimplantasi dan pengaruh dari
anestesi dengan pentobarbiton terhadap kompleks motoris (MMC) yang bermigrasi juga di monitor
[47]. MMC muncul pada fase interdigestif (misalnya aktivitas MMC terjadi pada pasien yang tidak
diberikan makanan sebelum pembedahan) dan hal tersebut merupakan letupan periodik dari
aktifitas motorik yang berasal dari lambung dan bergerak sepanjang usus halus hingga ileum
terminalis. Pada manusia periodisitas MMC adalah sekitar 90 menit. Pada penelitian dengan
musang, pentobarbiton dapat menghilangkan siklus MMC namun aktifitas tersebut mulai kembali
pada tahap ketika refleks withdrawl anggota gerak tubuh telah kembali, walaupun hewan-hewan
tersebut mampu melakukan gerakan spontan. Efek dari pentobarbiton pada MMC tidak
terpengaruh oleh nalokson atau guanethidin namun diubah oleh vagotomi abdominal kronik.
Prosedur tersebut mencegah penghentian MMC oleh pentobarbiton namun terjadi penurunan
amplitudonya, penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa penurunan motilitas gaster dalam
anestesi mungkin disebabkan oleh mekanisme vagus atau peningkatan pada jalur inhibisi non-
adrenergik, non-kolinergik vagus, atau karena kedua-keduanya.
Bagaimana caranya obat-obatan anestesi merubah kerja-kerja vagus tersebut ? Salah satu
mekanisme yang mungkin adalah melalui area postrema. Relaksasi glaster yang dimediasi vagus
dapat ditimbulkan oleh obat-obatan yang bersifat emetik seperti morfin dan apopmorfin pada area
postrema [65] dan efek serupa dapat terjadi baik pada efek penekanan emesis maupun motilitas dari
obat-obat anestesi. Perlu diingat bahwa penurunan motilitas gaster hampir selalu menyertai mual
dan muntah dan efek terhadap motilitas yang ditemukan pada obat-obat anestesi mungkin
merupakan gambaran yang lebih umum aktivitas dari mekanisme emesis daripada merupakan efek
khusus dari obat-obat anestesi pada sistem saraf otonom. Penjelasan yang sama dapat dipakai untuk
aktifitas simpatis yang mengikuti anestesi di mana hal ini juga terjadi sehubungan dengan mual dan
muntah. Kemungkinan kedua adalah efek yang lebih selektif dari obat-obat anestesi pada aliran
impuls vagus dari batang otak dengan memodulasi neurotransmisi pada jalur refleks batang otak.
Walau penelitian pada hewan menunjukkan bahwa obat-obat anestesi dan anestesia itu
sendiri dapat menurunkan motilitas gaster, karena alasan yang kuat informasi ini tidak tersedia
pada manusia, walau mungkin terjadi efek yang serupa, terutama bila digabung dengan efek dari
pembedahan (lihat di bawah)
Selama anestesi dan pembedahan, penurunan motilitas antrum gaster berhubungan dengan
relaksasi dari sfingter pilorik mungkin dapat meningkatkan aliran balik dari cairan empedu ke
dalam lambung. Cairan empedu diketahui bersifat iritan terhadap mukosa gaster dan hal ini dapat
memberi rangsangan tambahan tehadap emesis melalui rangsangan terhadap eferen mukosa vagus.
22
Efek kardiovaskuler secara umum dari obat-obat anestesi telah dijelaskan secara singkat di
atas namun beberapa obat-obat anestesi mungkin mempunyai efek yang lebih besar terhadap
sirkulasi mesenterikus dan mengurangi perfusi. Pentingnya hal tersebut terletak pada pengamatan
bahwa suatu periode iskemia yang cukup singkat dapat mensensitasi aferen usus terhadap rangsang
alamiahnya. Mekanisme dari hal tersebut mungkin melibatkan pelepasan lokal zat-zat seperti 5-
HT3, substansi P, bradikinin dan prostaglandin. Hal ini berarti pada periode postoperatif, ketika
fungsi usus yang normal kembali, sistem saraf pusat mungkin diserang oleh aktivitas eferen dalam
tingkat abnormal dari usus yang menambah dorongan untuk muntah dari faktor-faktor lain.
Efek dari obat-obat anestesi terhadap tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala, mual, muntah dan inhibisi motilitas gaster [44,52].
Karena efeknya yang menimbulkan vasodilatasi pada pembuluh darah serebral, maka halotan,
enfluran, isofluran dan ketamin menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menjadi
pemicu tambahan dari emesis. Barbiturat (thiopenton, pentobarbiton) dapat menurunkan takanan
intrakranial dan ketika digunakan secara bersamaan dengan obat-obat anestasi di atas dapat
menghilangkan semua kecenderungan penaikan tekanan (40).
Efek prosedur pembedahan secara umum
Kontribusi dari pembedahan itu sendiri terhadap PONV dapat dibagi menjadi dua bagian :
efek prosedur pembedahan apapun secara umum dan efek dari prosedur-prosedur pembedahan
tertentu yang dilaporkan terlibat dengan insidens PONV yang tinggi. Efek endokrin dan metabolik
sistemik secara umum dari pembedahan telah dikenali oleh ahli anestesi dan ahli bedah namun dari
sekian banyak faktor manakah yang paling berperan pada PONV ? Faktor-faktor tersebut dibahas
secara singkat untuk menjelaskan aspek tersebut.
Motilitas gastrointestinal. Walaupun obat-obat anestesi menurunkan motilitas, efek dari
pembedahan lebih besar dan melampaui perlangsungan pembedahan, urutan dari pengaruhnya
terhadap motilitas nampaknya mulai dari insisi kulit pemisahan otot < laparatomi < manipulasi
usus [67]. Bahkan pada hewan dalam anestesia pembedahan yang paling dalam, distensi dalam
tingkat yang berbahaya dari usus cukup untuk menimbulkan perubahan refleks kordiovaskuler
yang juga menghasilkan refleks tersebut. Untuk memunculkan inhibisi motilitas gaster yang
dimediasi saraf simpatis [73]. Inhibisi motilitas juga memiliki komponen non-simpatis (inhibisi
vagus atau endokrin) seperti halnya simpatektomi ekperimental pada hewan hanya mengurangi
perlangsungan ileus postoperatif namun tidak mencegahnya [67].
Pentingnya perlambatan pengosongan lambung dan penurunan motilitas gaster yang
diinduksi oleh obat anestesi dan pembedahan terbagi menjadi dua hal. Pertama, selama
pembedahan perlambatan atau stasis yang menyebabkan akumulasi cairan, dapat menyebabkan
refluks dari cairan empedu ke dalam lambung dan dapat menyebabkan akumulasi gas (gas-gas
anestesi, udara yang tertelan sebelum pembedahan atau yang dihasilkan secara endogen). Semua
23
hal tersebut menimbulkan aktifasi aferen visceral gastrointestinal termasuk nosiseptor bila
stimulasinya cukup kuat. Karena pasien teranestesi bahkan mungkin terlumpuhkan, aktifasi dari
aferen-aferen tersebut tidak menyebabkan emesis, namun hal tersebut menyebabkan perubahan-
perubahan refleks endokrin, yang mana dapat melebihi lamanya perlangsungan pembedahan.
Ketika pasien secara bertahap kembali sadar dan stimulus distensif tersebut masih ada, kelebihan
rangsang aferen tersebut dapat meningkatkan perasaan tidak enak pada abdomen dan mual bahkan
memicu muntah. Sebagai tambahan stimulasi berkepanjangan dan aferen-aferen tersebut yang
terjadi selama pembedahan dapat menyebabkan sensitasi jalur saraf pusat yang terlibat untuk
nosisepsi dan emesis yang bertahan lama. Kedua, efek dari trauma pembedahan dapat bertahan
jauh setelah periode pembedahan sehingga ketika pasien sadar dan pulih dari anestesi,
pengosongan lambung dan motilitas usus mungkin masih berkurang dan usus mungkin belum
mampu untuk mengatasi makanan yang biasa bahkan ketika pasien ingin makan. Keadaan ini
merupakan analog dari pasien dengan perlambatan pengosongan lambung berat yang merasa mual
bahkan muntah setelah makan dalam posisi normal seperti halnya yang terjadi pada dispepsia non-
ulcer.
Efek endokrin. Efek endokrin dari anestesi dan pembedahan sangatlah rumit dan
bagaimana hal tersebut berhubungan dengan PONV baru mulai diteliti akhir-akhir ini. Selain
adrenalin, salah satu hormon yang keterlibatannya dengan respon terhadap anestesi dan
pembedahan telah diketahui adalah vasopression (AVP, ADH). Peningkatan hormon-hormon
tersebut selama pembedahan sebagian disebabkan karena efek dari analgesia, namun terutama
disebabkan oleh efek dari pembedahan itu sendiri. Anestesia (halotan, isofluran) dapat menurunkan
konsentrasi plasma basal dari vasopresin namun hormon tersebut ditingkatkan oleh prosedur
pembedahan [57]. Salah satu penelitian mengatakan bahwa manipulasi gaster merupakan prosedur
paling paten dalam menyebabkan pelepasan vasopresin dan penelitian tersebut melakukan
percobaan eksperimental pada anjing untuk mengetahui jalur yang terlibat [99]. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa jalur utamanya adalah aferen nonsiseptif splanikus tanpa peranan dari aferen
vagus. Hal ini berbeda dengan penelitian pada musang yang dianestesi di mana sitmulasi elektris
dari ujung sentral dari nervus vagus abdominal merupakan stimulus yang paten untuk pelepasan
vasopressin [50]. Apapun alasannya, tidak ada lagi keraguan bahwa vasopressin dilepaskan selama
pembedahan dalam jumlah yang berkali-kali lebih besar dari yang dibutuhkan untuk menimbulkan
aktiitas antidiuretik maksimal. Alasan mengapa vasopressin sangat menarik perhatian karena
terdapat peningkatan serupa dari konsentrasi plasmanya pada manusia dengan rangsang emetik
lainnya seperti pergerakan, apopmorfin dan kemoterapi sitotoksik [7]. Peningkatan vasopressin
memiliki hubungan yang lebih dekat dengan mual daripada muntah namun masih belum jelas
apakah hal tersebut merupakan penyebab atau akibat dari muntah, walau beberapa penelitian
mengatakan bahwa kadar vasopressin meningkat sebelum onset dari mual.
24
Efek khusus dari pembedahan
Prosedur pembedahan tertentu dilaporkan berhubungan dengan insidens PONV yang
relatif tinggi dan bagian ini meninjau mekanisme yang mungkin terlibat di dalamnya.
Pembedahan oftalmik. Pembedahan mata dihubungkan dengan insidens PONV yang
sangat tinggi pada orang dewasa dan anak-anak. Suatu penelitian yang besar (dengan 607 pasien)
dari pasien berusia antara 1 hingga > 60 tahun memberikan karakterisasi yang jelas dari fenomena
tersebut [18]. Ada 2 jenis emesis yang diidentifikasi : emesis cepat, yang terjadi di meja operasi di
akhir pembedahan atau segera setelah pasien ada di bangsal pemulihan, dan emesis lambat, yang
terjadi di luar periode pemulihan tersebut. Angka kejadian dari emesis cepat lebih besar pada
pembedahan di mana tetap terjadi kedipan mata (10 %) daripada pembedahan okuler(1,8%) dan
orbita tanpa kedipan mata (2,7 %). Pada emesis lambat insidensnya adalah 57 % pada pembedahan
di mana tetap terjadi kedipan mata, 18 % untuk operasi okuler tanpa kedipan mata dan 23 % untuk
pembedahan orbita. Berbeda dengan anggapan umum bahwa anak-anak lebih sensitif terhadap efek
emetik dari pembedahan okuler, penelitian ini gagal untuk mengidentifikasi efek dari pembedahan
okuler, walau jenis kelamin wanita merupakan suatu faktor presisposisi baik pada prosedur dengan
kedipan maupun tanpa kedipan. Perjalanan waktu dari PONV diteliti pada anak-anak (usia rata-rata
7,2 tahun) setelah pembedahan strabismus tanpa pemberian antiemetik [63]. Dalam 12 jam setelah
pembedahan 25 % mengalami muntah, setelah 4-6 jam meningkat menjadi 60 % setelah 24 jam
meningkat sedikit menjadi 65 %. Pola ini mendukung kesimpulan dari penelitian di atas yang
menyatakan bahwa ada 2 komponen respon emetik setelah pembedahan tersebut.
Dikatakan bahwa setidaknya sebagian PONV yang disebabkan oleh refleks okulo-emetik
yang dipicu oleh manipulasi dan truma terhadap mata yang mengalami pembedahan dengan
kedipan [18]. Penulis mendukung pendapat tersebut dengan menunjukkan bahwa prosedur mata
intraoperatif yang cukup besar (pembedahan pelepasan retina) dan meningkatkan rasa tidak
nyaman pada mata berhubungan dengan peningkatan insidens dari emesis cepat dan lambat
sedangkan bila hanya sedikit dilakukan manipulasi atau rasa tidak nyaman yang timbul, maka
hanya terjadi insidens emesis yang rendah. Jalur aferen dari refleks tersebut masih belum diteleliti,
namun refleks oculo-cardiak yang lebih dikenal dapat memberi sedikit masukan [43].Tekanan
pada bola mata atau tarikan otot-otot ekstrinsik mata mengakibatkan refleks bradikardi karena
aktifasi eferen vagus dan penekanan eferen simpatetik. Jalur aferen adalah pada nervus trigemanus
yang mengarah ke otak di mana aliran otonom ke jantung bisa dipengaruhi. Sepertinya aktivasi dari
eferen trigeminus yang memicu muntah, meskipun ini belum didemonstrasikan secara langsung.
Mekanisme lain mungkin termasuk emesis yang tidak biasa pada pasien dengan trigeminal
neuralgia dimana diduga ada aktivasi jalur ini. Suatu mekanisme tambahan yang mungkin berperan
pada emesis ketika mata yang telah dioperasi dibuka perbannya, adalah ketidaksesuaian interokular
sementara antara mata normal dan mata dikoreksi dan ketidaksesuaian vestibulo-visual yang
25
terjadi. Kedua input ini mungkin menginduksi suatu motion sicknes-like state[lihat 36, peninjauan
neurofisiologis motion sickness].
Bedah THT. Kejadian yang tinggi dari emesis dihubungkan dengan pembedahan telinga
tengah mungkin tidak mengherankan dan sepertinya disebabkan oleh aktifasi jalur aferen vestibular
termasuk dalam motion sickness, khususnya jika sistem tersebut telah disensitasi oleh premedikasi
opioid. Sebagai tambahan pada aferen vestibuler, cabang aurikuler dari vagus (saraf Arnold)
mensuplai timpani mungkin juga terlibat sebagai stimulasi yang menginduksi emesis.
Mual, cegukan dan muntah mungkin diinduksi oleh stimulasi mekanik dari farings
mengakibatkan aktifasi aferen glossofaringeal yang mengarah ke otak. Kejadian dari muntah
setelah tonsilektomi pediatrik mendekati 81 %[101]. Trauma akibat pembedahan mungkin
mengacu pada peradangan dan sensitasi dari aferen ini sebagaimana yang terjadi pada pasien ini
dengan suatu "sore throat". Proses yang sama bisa diinduksi oleh adanya pipa orotrakeal dan
menyebabkan emesis pada periode post operative meskipun pipa tersebut telah dikeluarkan. Telah
dilaporkan bahwa insiden PONV lebih banyak pada pasien dengan pipa orotrakeal daripada pasien
dengan pipa nasotrakeal. Perbedaan ini digambarkan dengan sudut dimana pipa nampak pada
farings dan diramalkan berhubungan dengan sitifitas regional yang berbeda terhadap refleks
cegukan farings.
Alasan mengapa bedah hidung dapat menginduksi emesis adalah tidak jelas walaupun
stimulasi aferen hidung bisa merangsang bersin (melibatkan beberapa jalur motor somatik yang
sama pada muntah) dan sensasi nyeri, tidak ada laporan tentang induksi langsung emesis. Emesis
mungkin terjadi secara sekunder setelah nyeri namun juga dapat disebabkan oleh stimulasi
faringeal dan aferen-aferen gaster oleh darah yang tertelan dan ini bisa juga terjadi pada bedah
telinga dan tenggorokan.
Bedah abdominal. Operasi intra abdominal lebih mengakibatkan emesis daripada operasi
ekstra-abdominal tanpa melihat jenis kelamin pasien [75,76]. Selama pembedahan abdominal,tidak
dapat dihindari terjadinya kesalahan penempatan, manipulasi dan traksi pada usus dan mesenterik
yang berhubungan bahkan ketika usus bukanlah subjek dari prosedur bedah itu sendiri. Usus
dipersarafi dengan aferen vagus dan splanchnikus tidak merubah respons dari stimulasi mekanis
tipe ini [4,49] : tiap manuver pembedahan dipancarkan ke sistem saraf pusat. Sebagai tambahan,
pada traktus gastrointestinal, struktur pelvis dan intra sebagai dominal yang lain seperti ginjal,
saluran kemih dan uterus dipersarafi oleh aferen yang diaktifasi oleh stimulasi mekanik. Aferen
vagus mensuplai usus bagian atas, memiliki peran utama dalam memicu emesis dan meskipun
suatu peranan langsung terhadap aferen splanchnikus dalam mengaktivasi emesis tidak mungkin
untuk didemonstrasikan, mereka jelas memiliki peran tertentu yang didiskusikan secara lebih detail
di bawah ini.
26
Sebagai tambahan aktivasi langsung dari aferen, manipulasi bedah usus juga menginduksi
pelepasan 5-HT dari sel enterokromafin. Zat 5-HT ini bisa mengakibatkan aktivasi langsung dari
aferen dan juga memproduksi sensitisasi dan peleapasan subtansi dengan cakupan yang luas dari
dinding usus yang bisa memodulasi aktifitas aferen viseral (misalnya CCK, prostaglandin,
interleukin) atau memasuki sirkulasi kemudian bekerja pada daerah postrema (misalnya
neuropeptida Y).
Bedah ginekologik. Sebagai respon terhadap semua stimulasi emetik, wanita lebih sensitif
daripada lelaki jadi mungkin tidak mengherankan kalau bedah ginekologi seharusnya dihubungkan
dengan insiden yang tinggi dari PONV. Untuk memahami mekanisme PONV setelah pembedahan
ginekologi diperumit oleh status hormoral wanita sebelumnya (contoh : Insidensnya 4 x lebih
tinggi selama haid dan posteneropause[16]) observasi ini konsisten dengan pandangan bahwa
perubahan lingkungan endokrin mensensitasi mekanisme emetik batang otak terhadap kerja dari
stimulus emetik yang lain sebagaimana telah terjadi pada pregnancy sickness [9]. Satu observasi
menarik bahwa insiden dari PONV lebih tinggi ketika dilatasi disertai dengan kuretase daripada
kuretase sendiri. Observasi ini juga sesuai dengan laporan bahwa muntah lebih sering terjadi pada
operasi ginekologi saat vagina terisi penuh [77]. Penelitian pada tikus telah menunjukkan aferen
yang mensuplai uterus, ligamen panggul, dan serviks vagina yang menuju kekorda spinalis pada
saraf hipogastrik dengan suatu kontribusi minor dari saraf palvis. Aferen ini sensitif terhadap
pemasukan alat dan perabaan pada daerah lapangan reseptor stimulasi iskemik, bradikinin dan 5-
HT. Bukti yang terbatas menunjukan bahwa aferen : lebih sensitif pada uterus dan ketika jaringan
menjadi subjek manipulasi bedah. Dari observasi ini nyatalah bahwa tipe dari prosedur
pembedahan yang terjadi selama pembedahan ginekologi mentimulasi aferen-aferen ini dan
meskipun tidak ada bukti bahwa aferen seperti itu bisa menginduksi emesis secara langsung.
Mereka sepertinya mengkontribusi pengisian aferen umum pada sistem saraf pusat yang
mensensitasi jalur emetik pada sistem saraf pusat.
Pada prosedur laparaskopi, insufflasi dari kavitas abdominal menimbulkan
ketidaknyamanan abdominal jika abdomen tidak didekompresi secara adekuat setelah prosedur,
yang meningkatkan sensasi tidak menyenangkan yang timbul dari abdomen.
Perlangsungan PONV dan Peranan Faktor Post Operasi
Faktor-faktor yang digambarkan di atas mungkin terlibat pada periode post operatif jika
terdapat waktu yang cukup panjang atau faktor-faktor tersebut menginisiasi proses sekunder
(contoh : sensitisasi aferen) dengan efek jangka panjang. Ini mungkin jika kedua mekanisme
tersebut terlibat.
Secara tipikal, PONV bertahan < 24 jam dengan mual dan muntah dimana yang paling
kuat selama 2 jam pertama, meskipun pola sebenarnya tergantung pada banyak faktor. Secara
umum mual-mual dan muntah berkurang sebelum sensasi mual.
27
Obat-obatan dan anestetik
Dari obat-obatan yang diberikan sebelum operasi, morfin dan opioid lainnya merupakan
obat-obatan yang paling mungkin menyebabkan PONV karena obat-obatan tersebut masih ada
setelah periode postoperatif dan memiliki efek emetik langsung dan mensensitasi sistem vestibuler
serta menghambat motilitas lambung.
Bila obat-obatan anestesi memiliki efek farmakologis secara langsung terhadap
mekanisme muntah, mungkin dapat diduga bahwa obat-obatan yang paling berhubungan dengan
PONV tersebut dieliminasi paling lambat, namun laju eliminasi yang ditunjukkan sebagai
persentase dari konsentrasi awal alveolar tidak mendukung hal tersebut : Nitrous oxida >
siklopropana > halotan > eter [84]. Insiden emesis yang lebih rendah dari halotan mungkin karena
halotan ada untuk beberapa lama dalam konsentrasi sub anestetik yang mana mungkin bersifat
anti emetik [108].
Laju pemulihan dari anestesia juga mempengaruhi insidens dari PONV, karena sedasi itu
sendiri menekan refleks emetik. Terlebih lagi bila pemulihan tersebut cepat, pasien mungkin
mencapai keadaan tersadar dimana emesis dapat dipicu sebelum rangsang emetik menghilang.
Sebagai tambahan, ketika pasien sadar dia akan menyadari kondisinya dan mampu untuk
merasakan (dan melaporkan) mual dan rasa sakit. Mungkin juga terdapat ketidaksesuaian input
visual dan vestibular. Sebagai tambahan, perasaan "di luar kendali" dari tubuh, rasa melayang,
pening mungkin membuat pasien menjadi gelisah. Pentingnya memberi kepastian pada pasien
akan periode ini tidak boleh dianggap enteng. Menghilangkan input-input seperti itu mungkin dapat
menjadi suatu cara untuk menjelaskan mengapa tidur post operatif dalam periode yang lama
mungkin dapat mengurangi insidens PONV.
Penggunaan neostigmin untuk menfasilitasi reaksi balik dari hambatan neuromuskular
dikatakan berhubungan dengan peningkatan insidens PONV [59]. Hal ini mungkin merupakan
akibat dari stimulasi berlebih dari motilitas lambung yang dapat mengkatifiasi aferen vagus dan
memicu mekanisme emetik sentral yang tersensitasi oleh faktor-faktor lain.
Gangguan Fungsi Saluran Pencernaan Yang Berkepanjangan
Setelah pembedahan, terutama pembedahan umum dan pembedahan abdominal, terdapat
penurunan motilitas saluran cerna. Walau fungsi motorik gaster biasanya kembali sebelum fungsi
intestinal dan kolon, gangguan dari motilitas gasterlah yang biasanya menimbulkan gejala-gejala
post operatif seperti mual dan muntah, terutama ketika pasien mulai makan. Keterlambatan
penggosongan lambung disebabkan oleh aktifasi refleks inhibisi selama pembedahan dan aktifasi
berkelanjutan dari refleks-refleks tersebut, yang mungkin disebabkan oleh aktifasi dari nosiseptor
akibat kerusakan jaringan dan trauma. Manipulasi dari saluran cerna selama pembedahan mungkin
dapat menyebabkan pelepasan mediator lokal (misalnya 5-HT) yang menyebabkan sensitasi dari
aferen gastrointestinal. Dalam keadaan ini ketika pasien mencoba untuk makan, makanan tetap
28
tinggal di perut yang meningkatkan efek distentifnya terhadap cairan (saliva, sekret gaster,
empedu) yang telah terakumulasi. Suatu penelitian pada pasien dengan PONV, diaspirasi volume
sebesar 698 141 ml/24 jam dari lambung [32]. Dalam keadaan tersensitasi tersebut pelepasan
aferen yang diinduksi mungkin dapat menimbulkan emesis.
Walau aktifasi dari aferen gastrointestinal bagian atas awalnya nampak sebagai jalur yang
paling mungkin untuk induksi emesis pada periode awal postoperatif, namun peranannya masih
dipertanyakan. Agar aferen-aferen tersebut dapat memicu emesis mereka harus dalam keadaan aktif
sekurang-kurangnya pada jam-jam pertama postoperatif ketika emesis paling sering terjadi. Karena
kebanyakan pasien tidak mencoba untuk makan bahkan untuk meminum cairan yang cukup pada
periode ini, maka hal ini bukan merupakan rangsangan, atau motilitas berlebih, karena dikatakan
motilitas tertekan. Bila aferen viseral dalam keadaan aktif maka dorongan yang paling mungkin
timbul adalah dari mediator-mediator lokal yang dilepaskan karena manipulasi pembedahan namun
hal ini hanya terjadi pada pembedahan pelvis atau abdominal. Oleh karena itu, pada pembedahan
non abdominal peran dari aferen abdominal diawal PONV mungkin minimal namun akan memberi
kontribusi besar ketika pasien mulai makan dan minum sebelum fungsi normal gaster kembali.
Rasa sakit
Peran dari rasa sakit dalam menimbulkan PONV sulit dinilai dari sudut pandang
mekanismenya, walau penelitian pada manusia telah menyatakan adanya hubungan antara kedua
hal tersebut. Masalah dari penelitian tentang rasa sakit adalah pada penelitian dihewan bukti adanya
keterlibatan aferen nosiseptif splanikus dalam emesis itu terbatas. Jalur utama dari emesis adalah
melalui aferen vagus dimana aferen splanikus memiliki peran tersendiri tapi tidak menentukan.
Sebagai tambahan, PONV berhubungan dengan prosedur pembedahan diberbagai bidang yang
sebelumnya tidak pernah dikaitkan dengan aktifasi langsung dari mekanisme emetik (misalnya
uterus). Bagaimana hasil-hasil observasi yang saling bertentangan ini disatukan ?
Pada manusia ada bukti yang menyatakan bahwa rasa sakit sering berhubungan dengan
perasaan mual daripada muntah, salah satu penelitian melaporkan bahwa pada periode postoperatif
hanya 10 %pasien mengalami rasa sakit yang tidak mengalami episode mual berbeda dengan 50 %
dimana kedua hal tersebut saling berhubungan [75,76]. Telah diketahui bahwa bila subjek dibuat
mual maka mereka akan lebih mudah untuk muntah, maka rasa sakit dan muntah mungkin dapat
dihubungkan melalui mual. Jalur yang terlibat pada mual yang diinduksi nosiseptor tidak diketahui,
tapi aktifasi nosiseptor viseral mempengaruhi aktivitas pada batang otak baik di nukleus traktus
solitarius [13] dan diformasio reticularis [21,79,88]. Dari area-area ini informasi tersebut dapat
langsung masuk ke regio-regio dari korteks serebral yang terlibat dalam persepsi sadar.
Rasa sakit itu sendiri menimbulkan kesadaran secara umum atau menimbulkan
kewaspadaan sistem saraf pusat. Mungkin saja dengan meningkatkan tingkat kesadaran pasien
29
menjadi cukup sadar untuk mengalami mual yang ditimbulkan oleh input yang lain. Dan rasa sakit
tidak perlu menyebabkan mual hanya memfasilitasi pemunculannya.
Aktifasi dari noseseptor dapat pula menghasilkan perubahan pada sistem saraf pusat yang
lebih bertahan lama yang dapat merubah ambang emesis. Pada nyeri patologis (termasuk kerusakan
jaringan yang menyertainya) terjadi sensitasi aferen baik di lokasi perifer maupun sentral [107].
Sensitasi perifer disebabkan karena pelepasan berbagai zat (misalnya 5-HT, histamin, sitokin) dari
jaringan yang rusak atau terinflamasi. Sensitasi sentral disebabkan karena pelepasan
neurotransmiter aferen dengan durasi aksi yang panjang dan pelepasan asam amino eksitasi yang
memperlambat potensial sinapsis. Yang lebih menarik lagi, bahkan aktifasi aferen yang singkat
dapat merubah ekspresi gen dari neuron sistem saraf pusat yang mungkin mengakibatkan
modifikasi dari banyak aspek dari fungsi neuron [107]. Bila aktifasi nosiseptor menghasilkan
perubahan yang sama, misalnya pada nukleus traktus solitarius, hal ini dapat menjadi mekanisme
dari nyeri untuk menurunkan ambang induksi emesis melalui input konvensional (misalnya area
postrema, aferen usus).
Aktifasi dari jalur nosiseptor viseral dalam menginduksi mual merupakan mekanisme
yang mungkin menyebabkan mual postoperatif pada berbagai jenis pembedahan. Sebagai
tambahan, penelitian pada hewan menunjukkan refeks nyeri viseral dapat dikurangi dengan
antagonisme reseptor 5-HT3 oleh beberapa antagonisnya [73]. Dapatkah efek tersebut terlibat
dalam efek antiemetik dari ondosteron pada PONV ? Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi
karena ketika nyeri dan kecemasan post operatif diukur sebagai bagian dari penelitian terhadap
efek dari ondasteron terhadap PONV setelah prosedur laparoskopik, tidak ada pengaruh terhadap
variabel-variabel tersebut walau kejadian PONV berkurang [23].
Kesimpulan
Dari diskusi di atas jelaslah bahwa banyak faktor sehubungan dengan anestesia dan
pembedahan yang dapat menyebabkan induksi PONV. Walau hampir semua faktor-faktor dapat
memberikan penjelasan, namun bila belum terbukti secara ekperimental mekanisme dimana faktor-
faktor tersebut dapat menyebabkan refleks emetik, maka menurut pemahaman penulis hal tersebut
belum layak untuk dijadikan penjelasan. Terutama karena sedikitnya pemahaman tentang
mekanisme yang mendasari terbentuknya sensasi mual dan bagaimana nyeri dan mual
berhubungan. Salah satu area yang tidak diperhatikan dalam memahami keseluruhan mekanisme
dari PONV adalah mengidentifikasi peranan dari obat-obatan anestesi. Kita telah melihat
bagaimana obat-obat seperti alfentanil memiliki sifat antiemetik sebagai akibat dari kerjanya pada
reseptor opioid [83] yang menkan aktifasi dari jalur pusat emetik namun apakah mekanisme yang
sama menyebabkan efek serupa dari halotan dalam konsentrasi rendah ataukah hal tersebut
disebabkan oleh kerjanya sebagai antagonis reseptor adrenergik seperti yang telah dikatakan
sebelumnya ? [108]. Ada pendapat yang mengatakan bahwa potensi emetik dari obat-obatan
30
anestesi berhubungan dengan kemampuannya untuk melepas katekolamin [54] namun saat ini hal
tersebut belum diteliti secara aktif. Walau ada kemajuan dalam memahami efek dari zat anestesi
terhadap sistem somatosensoris [11], namun pengetahuan mengenai regio batang otak yang terlibat
dalam emesis seperti nukleus traktus solitarius dan area postrema. Masih belum jelas apakah efek
emetik dari berbagai obat anestesi berhubungan dengan kerja anestesinya adalah merupakan suatu
efek samping (misalnya aktifasi reseptor opioid), perbandingan secara superfisial dari sifat
hidrofobik relatif – pengurutan tingkat anestesi dan pengurutan tingkat emetik – mengungkapkan
sedikit persamaan bahwa emesis mungkin merupakan efek samping atau efek tidak langsung dari
zat-zat tersebut dan tidak berhubungan dengan kerja anestesinya.
Masalah PONV memiliki kesamaan dengan emesis yang ditimbulkan oleh kemoterapi
sitotoksik dimana struktur obat, kerja sitotoksik dan efek emetiknya kurang berhubungan. Namun
karena antagonis reseptor 5-HT3 sangat efektif melawan efek emetik dari berbagai obat-obat
sitotoksik dan tidak oleh stimulus lain [6], maka dikatakan bahwa potensi emetiknya merupakan
indeks dari kemampuannya untuk melepaskan 5-HT dari mukosa usus [8]. Data klinis awal
menunjukkan bahwa ondasteron pada dosis yang hampir sama dengan dosis yang efektif melawan
emesis yang diinduksi oleh obat-obat sitotoksik, memiliki efek terhadap PONV [58,62,64].
Sebagian besar data diperoleh dari pasien wanita yang menjalani prosedur ginekologis dan walau
hasilnya mengembirakan, hal tersebut tidak bisa disamakan dengan berbagai bentuk PONV. Alasan
utama dari hal ini adalah antagonis reseptor 5-HT3 tidak bersifat antiametik umum : ondasteron
tidak mempengaruhi emesis yang diinduksi oleh pergerakan pada manusia [95] atau emesis yang
diinduksi oleh iritan intragaster adalah morfin pada hewan [6,20,97]. Apakah dapat diterima,
bahwa walau antagonis reseptor 5-HT3 mungkin berguna pada prosedur abdominal karena prosedur
tersebut dapat melepaskan 5-HT dan mengaktifkan jalur aferen visceral atau area postrema dengan
cara yang sama seperti yang terjadi pada terapi antikanker, obat-obat tersebut mungkin tidak efektif
pada ENT adalah operasi mata. Namun, bila antagonis reseptor 5-HT3 efektif untuk mengatasi
mual dan muntah setelah berbagai anestetik dan prosedur pembedahan maka kita mungkin
menemukan kunci dari mekanisme PONV.
31