Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

  • Upload
    snowers

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    1/40

    FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS

    Jumat, 17 Desember 2010

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar menerima

    beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal

    paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute

    (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya

    nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak

    dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan membawa atau mengangkat

    objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar

    spine.

    Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang

    umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy

    lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi

    dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan

    skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa

    sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia,

    2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian

    yaitu mekanikal nyeri pinggang dan non-mekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    2/40

    pinggang terdiri dari lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome,

    herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur

    traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis

    lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri

    pinggang sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari

    mekanikal nyeri pinggang.

    Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau

    diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama

    yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia,

    obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia

    menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas.

    Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar

    (Jupiter Infomedia, 2009).

    Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang

    menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet

    joint). Kondisi ini terjadi pada usia 3045 tahun namun paling banyak terjadi pada usia

    45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko

    terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress

    mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar

    dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan).

    Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak

    kesegala arah (Ann Thomson, 1991).

    Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi

    fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    3/40

    Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat menurunkan

    nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat merangsang ujung saraf

    sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot lambat laun akan menurun

    (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat

    menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal

    melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Kondisi ini

    juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf

    Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti, beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas

    dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri

    pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi

    aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh

    fisioterapi kondisinya menjadi membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik

    mengambil topik penelitian ini.

    A. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah

    penelitian ini yaitu Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis

    lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa ?.

    B. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional lumbal

    akibat spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.

    2. Tujuan Khusus

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    4/40

    a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan Short Wave

    Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.

    b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave Diathermy

    (SWD) dan William Flexion Exercise.

    C. Manfaat Penelitian

    1. Manfaat Ilmiah

    a. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam penatalaksanaan

    kasusspondylosis lumbaldengan menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.

    b. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan lainnya

    yang ingin membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.

    c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar

    dalam melakukan penelitian lanjut.

    2. Manfaat Praktis

    Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan Praktek dalam

    penanganan kasusspondylosis menggunakan SWD dan William Flexion Exercise.

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Spondylosis Lumbal

    1. Pengertian

    Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi

    intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    5/40

    yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga

    dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua

    perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al,

    1991).

    Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan

    diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra

    tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang

    lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam

    (Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005),

    spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang

    vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan

    kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau

    kompresi akar saraf lumbosacral.

    Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang

    yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi

    umumnya terjadi pada segmen L4L5 dan L5S1. Komponen-komponen vertebra yang

    seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus

    vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).

    2. Etiologi

    Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau

    perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak

    berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok

    dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    6/40

    Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia

    45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-

    faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al,

    1991) :

    a. Kebiasaan postur yang jelek

    b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan

    mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.

    c. Tipe tubuh

    Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada

    vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :

    a. Faktor usia

    Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan

    merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang

    vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau

    spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu

    pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia

    70 tahun.

    b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

    Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian

    retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban

    pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus

    menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor

    yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    7/40

    c. Peran herediter

    Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus.

    Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan

    pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah

    mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar

    (47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan

    hanya 210% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.

    d. Adaptasi fungsional

    Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada

    diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin

    terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa

    pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional

    terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.

    3. Patologi TerapanSalah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan

    tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-

    bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang

    cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55%

    kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40

    tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat

    dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang

    melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur

    end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and

    Randolph M. Kessler, 2006).

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    8/40

    Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus

    sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada

    cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara

    bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang

    memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang

    dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan

    memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar.

    Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan

    harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,

    2006).

    Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,

    2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang

    mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3

    fase kemunduran yaitu :

    a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi

    abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi

    pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada

    facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik

    sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran

    synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga

    menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan

    cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul

    dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    9/40

    vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan

    melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika

    kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena

    adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi

    penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi

    pelebaran yang progresif pada area circumferential yang robek dimana bergabung

    kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya

    kandungan proteoglycan.

    b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang

    berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan

    permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus

    menerus pada tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk

    formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan

    serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada

    akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar

    circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.

    c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian

    posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit

    membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang

    terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan

    permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu

    kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    10/40

    Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan

    fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial

    terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas.

    Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun

    terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama

    kali terjadi pada L5 S1 dan pada L4 L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan

    intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada

    lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen

    gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang

    lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).

    Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat

    perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan

    degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari

    penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan

    penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat

    penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging

    (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan

    gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular

    superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral

    joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan

    mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang

    mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    11/40

    inferiorsuperior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan

    canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

    Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya

    penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan

    space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada

    radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu,

    osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat

    menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009).

    4. Gambaran Klinis

    Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi

    nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis,

    sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine

    (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

    Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam

    gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui

    pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi

    diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran

    klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang,

    nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang

    dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang

    (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

    Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi

    hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa

    timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    12/40

    fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan

    gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti

    mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat

    meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).

    5. Anatomi Biomekanik Lumbal

    Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum.

    Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis.

    Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.

    Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul

    dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian

    atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen

    gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang

    berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.

    Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan

    pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam

    bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan

    mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling berhadapan satu sama lain, serta

    processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat

    antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan

    permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis

    superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas

    dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa

    susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    13/40

    Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat

    dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut :

    a. Thoracolumbal junction

    Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana

    th12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet

    pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine

    memaksa th12hingga Th10 mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai

    ROM fleksi 550

    dan ekstensi 250.

    b. Lumbal spine

    Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak

    L3 sebesar 24 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun

    momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot

    disamping corpus itu sendiri.

    Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi

    bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu

    fleksi - ekstensi lumbal.

    c. Lumbosacral joint

    L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal

    mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint

    menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal.

    Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal

    Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat

    pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen

    fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    14/40

    intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior

    (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah segmen gerak yang

    terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional

    yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5-S1

    (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks.

    a. Diskus Intervertebralis

    Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,

    merupakan fibrocartilago compleks yang membentukarticulasio antara corpus vertebra,

    dikenal sebagaisymphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan

    kontribusi sekitar dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan

    yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan

    proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas

    pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu :

    1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,

    mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan

    unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus

    merupakan hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks

    mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid

    & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus

    pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan

    beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus &

    sebagaishock absorber.

    2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang

    nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    15/40

    sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o

    satu sama lainnya

    maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan

    shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus

    intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi saat

    pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat

    melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara

    mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring(gulungan pegas) terhadap

    beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan

    tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.

    Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur

    tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan

    intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan

    perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada

    L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari

    penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15

    25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan

    intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu

    150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140

    kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp.

    Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi

    berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.

    b. Facet Joint

    Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah

    dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    16/40

    axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus

    oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup

    kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet

    articular.

    Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih

    dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit

    posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior.

    Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian

    bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya

    terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis

    lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-

    sendi lumbal lainnya.

    Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk

    menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana -nya diberikan oleh sendi facet. Sendi

    facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine

    hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.

    Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot.

    Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :

    a. Ligamen longitudinal anterior

    Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis

    occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum,

    ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada

    antero-superior corpus vertebra.Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang

    tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    17/40

    b. Ligamen longitudinal posterior

    Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada

    bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior

    vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada

    lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior.

    Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak

    terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena

    banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki

    sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan

    fleksi lumbal.

    c. Ligamen flavum

    Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap

    lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen

    anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada

    serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen

    ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.

    d. Ligamen interspinosus

    Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan

    memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan

    sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

    e. Ligamen supraspinosus

    Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal,

    ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal.

    Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    18/40

    f. Ligamen intertransversalis

    Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan

    berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi

    kearah kontralateral.

    Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:

    a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia

    lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus

    spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:

    1) M. Transverso spinalis

    2) M. Longissimus

    3) M. Iliocostalis

    4) M. Spinalis

    5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris

    Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai

    stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.

    b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding

    abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine,

    yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis

    abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam

    mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada

    rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    19/40

    direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan

    posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior.

    c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang

    terdiri dari :

    1) M. Quadratus Lumborum

    2) M. Psoas

    Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.

    Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat

    fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur

    serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis

    inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak

    menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-

    ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada

    arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan

    ligamen longitudinal posterior.

    Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus

    fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior

    juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat

    yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling

    terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain.

    Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah

    ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus

    bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami

    peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    20/40

    relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari

    vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.

    Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadapvertebra bagian

    bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus

    spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam

    gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet

    vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal

    mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o

    dan ROM segmental sekitar 2o

    dan

    segmental unilateral sekitar 1o.

    B. Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal

    1. Problematik Fisioterapi

    Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio

    lumbal, khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal

    paha maupun ke daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada

    otot erector spine sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi

    ini dapat menimbulkan problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot

    erector spine lumbal, keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan

    fleksibilitas lumbal.

    2. Tindakan Fisioterapi

    a. Short Wave Diathermy (SWD)

    Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi

    yang terutama digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan

    tubuh.Diathermy juga dapat digunakan untuk menghasilkan efek-efek

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    21/40

    nonthermal.Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi terdiri atasshort wave

    diathermy (yang akan dibahas) danmicrowave diathermy.

    Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi

    elektromagnetik dengan arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications

    Commision (FCC) telah menetapkan 3 frekuensi yang digunakan pada short wave

    diathermy, yaitu :

    1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter

    2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter

    3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter

    Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah

    frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter.

    Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu

    arus Continuos SWD danPulsed SWD.

    1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik

    Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik,

    dimana energi tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut

    tidak menimbulkan aksi potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan

    kata lain tidak merangsang saraf motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi

    mempunyai osilasi lebih dari 500.000 siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000

    impuls setiap detik, sehingga durasinya 0,001 ms tiap detik.

    Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada

    sumber medan elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus

    (pulsed) akan terjadi pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik

    yang dihasilkan tergantung pada metode yang digunakan.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    22/40

    a) Metode medan kondensor

    Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat

    metal elektrode dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada

    metode ini, medan listrik lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena

    menggunakan plat metal elektrode.

    b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)

    Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet

    yang lebih kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan.

    Distribusi medan elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di

    jaringan superfisial apabila pemasangannya dililitkan.

    2) Metode Aplikasi

    Metode aplikasi SWD terdiri atas :

    a) Metode Induktive

    (1) Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatuplastic

    drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.

    (2) Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang

    tebal, dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus

    mengelilingi bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentukflat spiral. Kabel

    tersebut membentuk suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai

    perantara.

    b) Metode Capacitive/Condensor

    (1) Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid

    atauplate electrode atauspace platedan diposisikan oleh lengan penyanggah.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    23/40

    (2) Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal

    dimana dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang

    sesuai (seperti handuk).

    Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi

    contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode).

    Dalam penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya

    membahas aplikasi tersebut.

    Aplikasi Coplanar

    Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap

    jaringan yang diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan

    tidak terjadi aliran arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh

    lapisan jaringan sehingga absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam.

    Dengan demikian, metode ini hanya bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan

    efek yang dalam, maka dianjurkan untuk menerapkan jarak elektrode kulit yang cukup

    jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada jarak kali dari

    diameterelektrode/condensator.

    Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :

    a) Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi

    energi yang rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.

    b) Jarak elektrode kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat

    menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan point effek.

    3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)

    Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap

    jaringan yang menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    24/40

    cepat menyerap panas daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat

    menyerap panas daripada kulit. Secara fisiologis, jaringan otot tidak

    memiliki thermosensortetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga dengan adanya rasa

    panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah terjadioverthermal pada

    jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima panas daripada kulit.

    Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima jaringan melebihi

    batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963) ukuran

    subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.

    Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD

    pada kondisi artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian

    melarang pemberian CSWD pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi

    terdapat suatu asamHyaluronik yang suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif

    terhadap penambahan suhu. Dengan penambahan suhu 1o

    saja (terjadi pada pemberian

    CSWD) maka suhunya menjadi 37,4o, sementara pada suhu 37

    osaja akan mengaktifkan

    cairan/enzym hyaluronidase yang dapat merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan

    kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi tidak akan pernah mengalami

    regenerasi/reparasi.

    Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan

    efek fisiologis berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.

    4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)

    Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah

    satu efek terapi baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD

    pada hapusan susu, dan ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk

    untaian kalung. Kemudian bentuk tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    25/40

    eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam

    menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek fisiologisnya hanya timbul sedikit

    (pengaruh panas hanya minimal). PadaPulsed SWD, mempunyai energi/power output

    yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian, energi/power output rata-rata

    adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 80 watt (tergantung pada pemilihan

    frekuensipulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan subthermal

    dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapiPulsed SWD sangat cocok

    untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan

    kontraindikasi.

    Jika kita menerapkanPulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi

    rectangular dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat

    diatur sampai 1000 W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat

    diatur sampai nilai maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada

    pemilihan frekuensi pulsasi repetition (15 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas

    dalamPulsed SWD adalah mean power (watt).Mean poweryang dihasilkan sangat

    bergantung pada pemilihan intensitas arus dan frekuensi pulsasi repetition. Semakin

    rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka semakin rendah mean powernya.

    Dengan demikian, penerapanPulsed SWD dapat memungkinkan kita memilih intensitas

    arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan frekuensi pulsasi repetition yang

    selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.

    Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :

    a) Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio,

    hematoma.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    26/40

    b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia,

    myalgia, (akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica,

    tendovaginitis, akut dan kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik,

    laryngitis dan peritonsilar abcess, adneksitis dan mamma abcess.

    5) Efek Fisiologis

    a) Perubahan panas/temperatur

    (a) Reaksi lokal/jaringan

    (1) Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur

    1o

    C.

    (2) Meningkatkan vasomotion sphinctersehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya

    terjadi vasodilatasi lokal.

    (b) Reaksi general

    (1) Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan

    temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.

    (2) Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.

    b) Jaringan ikat

    Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit,

    tendon, ligament dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan;

    pemanasan ini tidak akan menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian

    SWD akan lebih berhasil jika disertai dengan latihan peregangan.

    c) Otot

    (1) Meningkatkan elastisitas jaringan otot.

    (2) Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat

    emosional dan kerusakan SSP.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    27/40

    d) Saraf

    (1) Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.

    (2) Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).

    6) Indikasi

    Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi

    subakut dan kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain,

    osteoarthritis, cervical syndrome, NPB dan lain-lain).

    7) Kontraindikasi

    Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor

    atau kanker, pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi

    menstruasi dan kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed

    SWD adalah tumor atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi

    menstruasi dan kehamilan. Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan

    kontraindikasi dari continuos SWD tetapi bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi

    yang rendah.

    b. William Flexion Exercise

    1) Pengertian

    William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937.

    Pada tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP

    dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program

    latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    28/40

    dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space

    diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala kronik LBP.

    William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak

    yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William

    flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama

    beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan

    temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab

    gangguan berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan

    diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi posterior pelvic tilting adalah penting

    untuk memperoleh hasil terbaik.

    2) Tujuan

    Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri,

    memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot

    abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas

    pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk

    mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor

    & ekstensor.

    3) Indikasi dan Kontraindikasi

    Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan

    disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari

    William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi

    diskus, atau protrusi diskus.

    4) Prosedur Pelaksanaan

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    29/40

    Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999)

    adalah sebagai berikut :

    a) Latihan I (pelvic tilting)

    Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas

    bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke

    bawah. Kemudian pertahankan 510 detik.

    Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise

    b) Latihan II (single knee to chest)

    Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas

    bed/lantai. Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 510 detik.

    Kemudian diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    30/40

    Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise

    c) Latihan III (double knee to chest)

    Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama.

    Tarik knee kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee

    selama 510 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan

    secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.

    Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise

    d) Latihan IV (partial sit-up)

    Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi

    ini angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5

    detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    31/40

    Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise

    e) Latihan V (hamstring stretch)

    Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan

    fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua

    lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.

    Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise

    f) Latihan VI (hip fleksor stretch)

    Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan

    knee dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan

    axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    32/40

    Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise

    g) Latihan VII (squat)

    Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan.

    Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki

    datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua

    knee.

    Gambar 2.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise

    C. Tinjauan Alat Ukur

    1. Visual Analogue Scale (VAS)

    MenurutInternational Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho

    DS (2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang

    tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    33/40

    aktual maupun potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan

    pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya

    kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri

    adalah pengalaman umum dari manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur

    medis serta surgical berkaitan dengan nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai

    pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan derajat patologis yang sama. Selain

    patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan faktor lingkungan

    mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang, riwayat personal

    dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas nyeri

    seseorang (Turk & Melzack, 1992).

    Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen

    afektif. Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali

    dapat diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi

    derajat intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada

    berapa besar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan

    komponen afektif nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah

    laku pasien yang kompleks dimana pasien mungkin melakukan secara minimal,

    melepaskannya, atau mengakhiri stimulus noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini

    akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang cara-cara individu/seseorang

    merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri hebat yang dirasakan.

    Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan

    affektif nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988).

    Ambang rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat

    terjadi nyeri hebat secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    34/40

    hebat secara berulang pada waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan

    toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena

    sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada setiap orang tidak akan sama

    caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa nyeri secara efektif

    pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan komponen sensorik

    dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.

    Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk

    memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap

    ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan

    ujung kanan diberi tanda bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai

    disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien.

    Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien

    (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian

    skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara

    potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya

    seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih

    sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ;

    McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien

    khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala

    verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin

    sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga

    supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen

    et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    35/40

    yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal

    yang vital (Jensen & Karoly, 1992).

    VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)

    Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya

    Tidak ada nyeri sgt nyeri tk

    terthnkan

    2. Fleksibilitas Lumbal

    Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of

    motion (ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas

    adalah kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada

    pengaruh dari jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya

    beberapa ligamen, fascia, dan jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi

    otot-otot antagonis harus relaks (otot-otot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa

    terbatas).

    Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara

    pasif digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas

    menunjukkan pada ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif

    yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik

    untuk relatif tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi untuk potensial injury. Namun

    demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan

    untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian

    menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    36/40

    Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual

    fleksibilitas merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya

    fleksibilitas yang luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas

    yang sama pada seluruh sendi.

    Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang

    pembentuk sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau

    mengakhiri gerakan pada ROM yang luas.

    Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas

    jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi.

    Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang

    paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka

    extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus cartilaginous yang ada pada

    beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-sendi tersebut.

    Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot.

    Ekstensibilitas otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau

    kemampuan otot untuk memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan

    ekstensibilitas kapsul-ligamen pada sendi atau laxitas dari sendi.

    Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan

    ekstensibilitas otot erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine

    lumbal saat fleksi lumbal. Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang

    mencakup diskus intervertebralis dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal

    yang luas.

    Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi

    facet joint atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    37/40

    intervertebral joint dan menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga

    mempengaruhi fleksibilitas lumbal.

    Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton

    flexometer, dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur

    fleksibilitas trunk dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test

    bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.

    Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur

    fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :

    a. Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal

    dalam posisi 0otanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk

    mencegah adanya anterior tilting.

    b. Cara pengukuran :

    1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur

    jarak antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran

    awal dibuat saaat pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat

    dalam akhir ROM saat fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir

    menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa

    perbedaan 10 cm pada pita meteran adalah normal untuk pengukuran. AAOS

    menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu pengukuran rata-rata untuk pengukuran

    rata-rata orang dewasa yang sehat.

    2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur

    fleksi thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah

    lantai pada saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau

    fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    38/40

    sulit untuk mengisolasi dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak

    dianjurkan untuk mengukur fleksi thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk

    memeriksafleksibillitas tubuh secara umum.

    3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :

    a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.

    b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama

    (midline).

    c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis

    lurus kedua (midline).

    d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).

    e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak

    dari tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.

    f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20

    cm.

  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    39/40

    D. Kerangka Berpikir

    Faktor usia

    Kebiasaan postur yang jelak

    Aktifitas fisik yg berat & berlebihan

    Degenerasi diskus dan facet joint

    Spondylosis lumbal

    Nyeri dan gangguan fleksibilitas

    SWD dan William Flexion Exercise

    Penurunan nyeri dan penambahan fleksibilitas

    Diposkan oleh hamdy alfin di 02.51 1 komentar:Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

    Beranda

    Langganan: Entri (Atom)

    Pengikut

    http://www.blogger.com/profile/08812412757071384448http://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.htmlhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html#comment-formhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/http://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/feeds/posts/defaulthttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/http://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=twitterhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://www.blogger.com/share-post.g?blogID=3101284886088315614&postID=7437981918541996120&target=emailhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html#comment-formhttp://fisioterapishamdialfin.blogspot.com/2010/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.htmlhttp://www.blogger.com/profile/08812412757071384448
  • 7/30/2019 Fisioterapi Pada Penderita Lbp et causa Spondylosis

    40/40

    Arsip Blog

    2010 (1)o Desember(1)