Upload
john-stepl
View
21
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
_
Citation preview
BAB I
SEJARAH GEOLOGI DAN TEKTONIK LEMPENG
Kondisi Geologi
Indonesia berada pada zona pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo-
Australia, lempeng Eurasia dan lempeng samudra Pasifik. Pada Indonesia bagian barat secara
tektonik di dominasi oleh proses subduksi dari lempeng Indo-Australia pada lempeng eurasia.
Sedangkan di bagian timur proses tektonik lebih bervariasi selain subduksi dan pergeseran
mikrokontinen seperti New Guinea, terjadi pula proses kolisi antara lempeng benua Australia
dengan Banda Arc.
Pada bagian timur terutama pada sebagaian Banda Arc. Sumba dan Timor memiliki
tantanan dan sejarah tektonik yang menarik Secara fisiografis, pada bagian utara berbatasan
dengan pulau Jawa, bagian timur dibatasi oleh kepulauan Banda, bagian utara dibatasi oleh
laut Flores dan bagian selatan dibatasi oleh Samudra Hindia. Secara geologi nusa tenggara
berada pada busur Banda. Rangkaian pulau ini dibentuk oleh pegunungan vulkanik muda.
Pada teori lempeng tektonik, deretan pegunungan di nusa tenggara dibangun tepat di zona
subduksi indo-australia pada kerak samudra dan dapat di interpretasikan kedalaman
magmanya kira-kira mencapai 165-200 km sesuai dengan peta tektonik Hamilton (1979).
Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di penggabungan tiga lempeng utama
diantaranya lempeng indo-australia, Eurasia dan pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng
tersebut menimbulkan kompleks tektonik khususnya di perbatasan lempeng yang terletak
ditimur Indonesia. Sebagian besar busur dari kepulauan Nusa Tenggara dibentuk oleh zona
subduksi dari lempeng Indo-australia yang berada tepat dibawah busur Sunda-Banda selama
diatas kurun waktu tertier yang mana subduksi ini dibentuk didalam busur volcanik
kepulauan Nusa Tenggara.
Busur volkanik pada bagian timur wilayah sunda secara langsung dibatasi oleh kerak
samudra yang keduanya memiliki karakteristik kimia yang membedakanya dari lava pada
bagian barat busur Nusa Tenggara. Hal inilah salah satu yang melandasi teori bahwa terdapat
mekanisme yang berbeda antara Indonesia bagian barat dengan bagian timur terutama Nusa
Tenggara.
Gambar 1.1 citra SRTM daerah Indonesia Timur yang menunjukkan kondisi tektonik yang
komplek yang melibatkan 3 lempeng makro dan beberapa mikrokontinen.
Menurut Hamilton di bagian barat barisan pegunungan Nusa Tenggara dibentuk pada
massa Kenozoic. Batuaan Volkanik didalam busur Banda dari kepulauan Nusa Tenggara
yang diketahui lebih tua dari batuan pada awal miocene, ditemukan pada kedalaman 150 km
dibawah zona gempa. Wilayah seismic di Jawa terbentang pada kedalaman maksimal 600 km
ini merupakan indikasi dari subduksi dari sub-ocean lithosfer milik lempeng Australia.yang
terletak di bawah busur Banda. Pada awal pleistosen di seberang Timor menunjukkan adanya
tabrakan dari Timor dengan Alor dan Wetar, setelah semua lautan dimusnahkan oleh zona
subduksi. Ukuran dari deretan kepulauan volkanik perlahan-lahan akan semakin kecil dari
timur pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa , Flores, Wetar sampai ke Banda. Penurunan ini
sangat terlihat nyata pada bagian timur Wetar, kemungkinan ini karena pantulan jumlah
subduksi dari kerak samudra, Yang secara tidak langsung gerakannya berupa dip-slip
di bagian barat Wetar dan gerakan strike-slip dibagian timurnya. Kemungkinan busur
vulkanik dibagian timur wetar lebih muda dan kemungkinan busur volkanik yang asli di
Kolisi
Subduksi
bagian timur Wetar telah disingkirkan oleh pinggiran batas benua Australia. Sesuai dengan
teori tektonik lempeng, Nusa Tenggara dapat dibagi menjadi menjadi empat struktur tektonik
yaitu busur belakang yang terletak di laut Flores, busur dalam yang dibentuk oleh kepulauan
vulkanik diantaranya Bali, Lombok, Sumbawa, Cmodo, Rinca, Flores, Andora, Solor,
Lomblen, Pantar, Alor, Kambing dan Wetar. Busur volkanik luar yang dibentuk oleh
kepulauan non-volkanik diantaranya Dana, Raijua, Sawu, Roti, Semau dan Timor, dan
dibagian depan busur dibagi kedalam dua bagian yaitu inner arc (busur dalam) dan outer arc
(busur luar) dan bagian dalam ialah lembah yang dalam diantaranya lembah (basin) Lombok
dan Sawu.
Gambar 1.2 Proses Tektonik pulau Sumba dan terbentuknya Banda Arc (Satyana, 2012)
Tektonik Lempeng
Dari ilustrasi yang disampaikan oleh Soeria-Atmadja et al pada tahun 1998 menceriterakan
bahwa pada Miosen Awal (45-40 juta tahun yang lalu Sumba merupakan bagian dari
lempeng benua Eurasia yang mengalami pergeseran akibat adanya dorongan dari arah utara
kaliamantan yang juga membentuk melange zone pada Kalimantan Tengah. Proses
pergerakan berlangsung secara segmented sehingga terdapat bagian mikrokontinen yang
bergerak lebih cepat dari yang lain. Pergerakan ini juga di akibatkan oleh adanya gerak
counter clockweis dari kawasan Asia Tenggara. Pada saat awal Sumba mengalami pergeseran
pada Oligosen Akhir pulau Sulawesi belum terbentuk, hanya terdapat Sulawesi Selatan yang
memang merupakan bagian dari lempeng eurasia. Sumba terus mengalami pergeseran ke
Selatan hingga tertahan oleh lempeng Australia. Lempeng Australian. Pada bagian timur
lempeng Australia mengalami kolisi dengan Banda Arc yang kemudian membentuk pulau
Timor. Selain terjadi kolisi pada bagian barat terjadi subduksi lempeng indo-australia yang
menghasilkan busur gunung api pada busur pulau Banda. Seperti Flores dan Sumbawa
sebagai Island Volcanic Arc.
Tektonik Sumba
Sumba memiliki posisi tektonik yang unik pada kompleks Banda Arc. Dari
kenampakan fisiografisnya Sumba tampak terisolasi dari busur Banda. Pada bagian utara
dibatasi oleh flores dan sumbawa sebagai fore arc volcanic island. Sedangkan pada bagian
selatan dibatasi oleh zona kompleks subduksi pada bagian barat dan zona kolisi pada bagian
timur. Zona subduksi terjadi antara india oceanic crust dan island arc sedangankan zona kolisi
terjadi antara lempeng benua Australia dengan island arc yang direpresentasikan pada kondisi
geologi Pulau Timor.
Hal yang menarik lainnya adalah pulau Sumba memiliki karakteristik deformasi
berbeda dari Timor, Roti, dan cekungan Savu. Kepulauan dan cekungan di sekitar sumba
memiliki kondisi tektonik yang kompleks dan deformasi yang intens sebagai bagian dari zona
kolisi. Sedangkan pada Sumba deformasi yang terjadi tidak intens. Hal ini merupakan salah
satu yang melandasi munculnya hipotesa bahwa Sumba merupakan mikrokontinen yang
berasal dari luar komplek zona kolisi.
Chamalaun et al. (1982) dan Wensink (1994) mengemukakan tiga model geodinamik
untuk Sumba yaitu sebagai berikut:
a. Semula Sumba merupakan bagian dari Kontinen Australia yang telah terpisah ketika
cekungan Wharton telah terbentuk, terapung dan bergerak ke arah utara kemudian
terperangkap di belakang Palung Jawa bagian timur (Audley-Charles, 1975; Otofuji et
al., 1981).
b. Sumba pernah menjadi bagian dari Paparan Sunda yang kemudian terapung dan
bergerak ke arah selatan selama pembukaan Cekungan Flores (Hamilton, 1979; Von
der Borch et al., 1983; Rangin et al., 1990)
c. Sumba merupakan salah satu mikrokontinen atau bagian dari kontinen yang lebih
besar di dalam Tethys, yang kemudian terfragmentasi (Chamalaun dan Sunata, 1982).
Pada tahun 1998 Soeria Atmadja dan kawan-kawan membuat rekonstruksi pergerakan
Sumba yang menunjukkan bahwa Sumba merupakan pergerakan mikrokontinen bagian dari
Sundaland yang mengarah ke selatan akibat subduksi pada utara pulau Kalimantan. Segmen
mikrokontinen Sumba bergerak lebih cepat dan
Gambar 1.3 Pergerakan detattachment dan emplacement Pulau Sumba (modified after
Hamilton, 1979 and Burollet and Salle, 1982)
Tektonik Pulau Timor
Pulau Timor dianggap sebagai contoh dari kolisi busur benua aktif. Mengacu pada
Charlton and Wall, kolisi terjadi selama periode Neogene antara Australian passive margin
dan busur kepulauan yang berlokasi di sekitar Banda arc masa kini. Selama peristiwa kolisi
ini berlangsung, sebagian besar terranes telah mengalami imbrikasi oleh proses thrusting,
tertumpuk di bawah dan di depan pre-collisional fore-arc complex. Berdasarkan penelitian
terbaru yang dilakukan di daratan maupun offshore, menunjukkan bahwa setidaknya terjadi
dua peristiwa tektonik utama yang telah dibedakan dari Cretaceous Akhir dan Pliosen
Tengah. Peristiwa tektonik pertama (1) yaitu thrusting, terjadi pada Eosen/Oligosen Akhir
yang mana menghasilkan unit allochtonous opfiolitik, metamorfik, dan sedimentary.
Kemudian, peristiwa tektonik kedua (2) yaitu kolisi antara batas benua Australia dan busur
kepulauan Banda selama Awal Pliosen paling akhir.
Gambar 1.4 Model tektonik untuk Pulau Timor (modified from Reed et al, 1996)
Timor Blok mengalami geodinamika yang sangat panjang dan rumit Sejarah sebagian
diterbitkan oleh Villeneuve et al. (2004), Harris (2006), Ishikawa et al. (2007) dan Kaneko et
al. (2007). Model yang diberikan di sini mengasumsikan bahwa bagian awal dari Timor,
selanjutnya disebut sebagai "Initial Timor blok", yang mana berasal dari selatan, mencapai
Sunda plate pada Akhir Eosen (37,2 + 0,9 Ma) ketika tutupan ophiolitic, kompleks Mutis
yang berasal dari basal (153,6 3.4 Ma) mengalami obduksi di atasnya (Sopaheluwakan,
1990). Kemudian bertabrakan dengan margin aktif Eurasia oleh Oligosen Awal sebelum
pengendapan batugamping Cablac. Setelah itu, blok Timor terlepas dari lempeng Sunda dan
pindah ke selatan sampai tabrakan selatan dengan benua Australia pada Pliosen Tengah,
seperti yang dibuktikan oleh umur diorit dalam seri vulkanik Manamas (10,5 1.2 Ma).
Sejak saat ini, blok Timor pindah ke utara -timur laut bersama-sama dengan benua Australia
dan saat ini mengalami backthrusting "South Banda basin". Akibatnya, Timor "Unit
allochthonous", dianggap sebagai bagian dari Eurasia margin aktif yang bertambah ke "Initial
Timor blok" selama kolisi Oligosen dengan lempeng Asia. Lalu Unit Kolbano, outcropping
di depan zona selatan dari Pulau Timor dianggap bagian dari shelf Australia, digabungkan ke
daratan Timor selama tabrakan Pliosen Tengah dengan Benua Australia.
Tektonik Pulau Sumbawa dan Pulau Flores
Secara fisiografis Pulau Sumbawa dan Pulau Flores memanjang pada arah barat-timur
dan bersayat oleh perlembahan yang berarah terutama timurlaut-baratdaya dan barat laut-- -
tenggara. Teluk Saleh merupakan teluk terbesar dan membagi pulau ini atas dua bagian
utama yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Bagian utara pulau terdiri dari jalur Gunungapi Kwarter dengan puncak tertinggi 2851
meter diataspermukaan laut (Gunung Tambora). Bagian selatan Pulau Sumbawa terdiri dari
pegunungan-pegunungan yang kasar dan tak teratur yang disayat oleh sistim perlembahan
yang berarah timurlaut-baratdayadan timurlaut-tenggara. Daerah telitian termasuk dalam
bagian selatan pulau yang merupakan perbukitan bergelombang kuat yang kasar dan tidak
teratur.Struktur geologi dan tektonik Pulau Sumbawa berada di busur kepulauan berarah
barat-timur akibat penunjaman lempeng Australia terhadap batas kontinen lempeng Indo-
Pasifikdi selatan Pulau Sumbawa (Hamilton, (1979), dalam Darman dan Sidi, 2000).
Dengan tatanan dan struktur geologi yang rumit dan komplek sehingga menarik
perhatian banyak ahli geologi untuk melakukan penelitian seperti Zollanger (1855), Verbek
(1908), Sepper(1917), Bower (1943),Van Bemmelen (1949), dan Sudradjat, dkk (1998).
Sumbawa dipercayai merupakan continental yang berasal dari batu sedimen gamping.
Flores pada bagian utara dibatasi oleh cekungan Flores dan pada bagian selatan
berbatasan langsung dengan cekungan Savu. Flores merupakan busur magmatik dengan
banyak gunungapi yang masih aktif. Flores merupakan penghujung timur dari busur
magmatik Sunda yang membentang dari barat ke timur
BAB II
IMPLEMENTASI SETTING TEKTONIK TERSEBUT DALAM REKAMAN
PROSES MAGMATISME, METAMORFISME, STRATIGRAFI DAN STRUKTUR
GEOLOGI
A. PULAU SUMBA
Sumba adalah sebuah pulau yang menarik dan masih menjadi perdebatan dari segi
geologi. Pulau ini unik secara geologi karena memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan pulau- pulau didekatnya (di sekitar Nusa Tenggara). Sumba memiliki
posisi yang khas (lihat gambar 1) terkait dengan busur Sunda-Banda yang merepresentasikan
sebuah potongan terisolasi dari kerak benua terhadap busur kepulauan vulkanik aktif
(Sumbawa, Flores) dalam cekungan muka busur, terletak di bagian utara pada transisi antara
Palung Jawa (bidang subduksi) dengan Timor Trough (bidang kolisi). Hal tersebut tidak
menunjukkan efek kompresi yang kuat, berbeda dengan pulau-pulau sistem busur sebelah
luar (Savu, Roti, Timor), sedangkan unit magmatik pulau Sumba menjadi bagian yang
substansial pada stratigrafi Kapur Akhir hingga Paleogen.
Secara batimetri, Sumba merupakan punggungan yang memisahkan cekungan muka
busur Savu (kedalaman > 3000 m) di bagian timur dan cekungan muka busur Lombok
(kedalaman > 4000 m) di bagian barat. Studi seismik refraksi menunjukkan (Barber et al.,
1981) bahwa Sumba merupakan kerak benua dengan tebal 24 km (Chamalaun et al., 1981).
Beberapa ahli berpendapat bahwa Sumba merupakan mikrokontinen atau fragmen kontinen
(Hamilton, 1979; Chamalaun dan Sunata, 1982; Wensink, 1994, 1997; Vroon et al., 1996;
Soeria-Atmadja et al., 1998) yang didasarkan pada studi tektonik yang dilengkapi data
paleomagnetik dan geokimia.
Chamalaun et al. (1982) dan Wensink (1994) mengemukakan tiga model geodinamik
untuk Sumba yaitu sebagai berikut:
a. Semula Sumba merupakan bagian dari Kontinen Australia yang telah terpisah ketika
cekungan Wharton telah terbentuk, terapung dan bergerak ke arah utara kemudian
terperangkap di belakang Palung Jawa bagian timur (Audley-Charles, 1975; Otofuji et
al., 1981).
b. Sumba pernah menjadi bagian dari Paparan Sunda yang kemudian terapung dan
bergerak ke arah selatan selama pembukaan Cekungan Flores (Hamilton, 1979; Von
der Borch et al., 1983; Rangin et al., 1990)
c. Sumba merupakan salah satu mikrokontinen atau bagian dari kontinen yang lebih
besar di dalam Tethys, yang kemudian terfragmentasi (Chamalaun dan Sunata, 1982).
Gambar1. Tektonik dari busur kepulauan Indonesia bagian timur (modified after
Hamilton, 1979 and Burollet and Salle, 1982)
1. Magmatisme
40K-
40Ar dating merupakan analisa kimia berdasarkan major and trace elements
yang digunakan untuk menentukan umur sampel batuan magmatik seperti intrusi
granodiorit, aliran lava, dan subvulcanic dykes dengan komposisi mafik- intermediet dari
singkapan di Pulau Sumba. Hasil dari 40
K-40
Ar dating ini bahwa aktivitas magmatik
Pulau Sumba dibagi menjadi tiga periode oleh Abdullah (1994) yaitu Santonian-
Campanian (86-77Ma), Maastrichtia- Thanetian(71-56), dan Lutetian- Rupelian (42- 31
Ma). Dimana karakteristik dari tipe magma ini secara umum didominasi oleh seri kalk-
alkalin (KCA) dan seri minor potasik kalk-alkalin (KCA), dimana seri ini
dikarakteristikkan oleh kandungan K2O, Al2O3 (tinggi), dan TiO2 (rendah) yang
mengidentifikasikan merupakan tipe dari lingkungan busur kepulauan.
1.1. Santonian- Campanian episode (86-77Ma)
Hasil dari episode magma ini merupakan penyusun Formasi Masu di Sumba
Timur (Effendi and Apandi, 1994), dan mengandung kumpulan dari pyroclastic breccia,
tuff, dan lav flow, yang diterobos oleh granidiorite. Komposisi dari tubuh batuannya
(major trace element) merupakan tipikal kalk-alkalin potasik kalk-alkalin dan tidak
ditemukannya unsur Nb, Zr, dan Ti yang menunjukkan anomali dari busur vulkanik. K-
Ar menunjukkan umur dari intrusi granit 83,71,8 Ma dan 85,4 1,6 Ma, dimana batuan
vulkaniknya (basalt, basaltik-andesit, andesit) memberikan umur 77,21,8Ma, 78,61,7
Ma, 82,61,9 Ma, 85,42 Ma, dan 85,92,0 Ma.
1.2. Maastrichtia- Thanetian episode (71-56)
Magma tipe ini terdapat pada daerah Tanadaro, Waikabubak Timur, dan
sepanjang pantai Waikabubak bagian tenggara. Batuan penyusun umumnya intrusi
granodioritik dan andesitik dan volcanic unit dengan komposisi utama basaltik.
1.3. Lutetian- Rupelian episode (42- 31 Ma)
Hasil dari tipe magma berupa endapan volkanik dan sedimen neritik ini
menyusun kompleks volkanik Lamboya dan Jawila (Wesink and Van Bergen, 1995) di
Sumba Barat. Umur K-Ar berkisar 42,3 3,2 Ma sampai 31,4 1,1 Ma. Terdapat fase
dimana tidak terdapat magmatic event pada 42, 37, dan 31 Ma. Unit volkanik meliputi
porphyritic baslat, basaltic- andesit, dacitic flow, dan pyroclastic deposit denga fenokris
20-30%. Fenokris nya tersusun atas plagioklas, klinopiroksen, hornblende, magnetit, dan
kadang muncul alterasi olivin. Massa dasar menunjukkan tekstur intergranular dengan
plagioklas, granodiorit, klinopiroksen, olivin atau fluidal textur. Batuan dengan tipe
magma ini mengandung unsur kimia low- K hingga medim-K kalk-alkalin dengan
kandungan light rare earth element (Rb, Ba, dan K) dan negatif anomali Nb, Zr, Ti.
Neogen merupakan periode ketika transgresi tersebar luas, dengan endapan volkanik
turbidit yang sama dengan cekungan Lombok dan Sawu forearc. Dimana ketika ini Sumba
telah berada pada posisi dalam forearc basin pada sistem busur Sunda- Banda.
2. Metamorfisme
Metamorfisme pada daerah ini tidak begitu berkembang karena daerah ini merupaka
hasil dari kolisi antara kerak Benua dan kerak Benua. Dimana pada pulau Sumba terjadi
proses metamorfisme tingkat rendah pada seri Mesozoikum .
3. Stratigrafi
Stratigrafi Sumba telah banyak didiskusikan oleh para ahli yaitu: van Bemmelen,
1949; Laufer dan Kraeff, 1957; Burollet dan Salle, 1982; Chamalaun et al., 1982; Von der
Borch et al., 1983; Fortuin et al., 1992; Effendi dan Apandi, 1994; Abdullah, 1994; Fortuin et
al., 1994, 1997. Pulau Sumba tersusun dari sedimen tidak termetamorfosis hingga sedikit
termetamorfosis berumur Mesozoikum, secara tidak selaras dilapisi oleh endapan berumur
Tersier dan Kuarter yang sedikit sekali terdeformasi; ketebalan total mencapai lebih dari 1000
m (van Bemmelen, 1949). Teras-teras terumbu karang yang menutupi tepi bagian yang
mengarah ke laut dari Formasi Sumba berumur Neogen, hampir secara kontinu tersingkap ke
permukaan di sepanjang pantai barat, pantai utara dan pantai timur Sumba (Hamilton, 1979).
3.1. Seri Mesozoikum
Batuan berumur Mesozoikum tersingkap ke permukaan terutama di sepanjang pantai
seperti halnya pada bagian selatan dari Sumba Barat (Patiala, Wanokaka dan Konda Maloba)
dan pada bagian selatan dari Pegunungan Tanadaro (Sungai Nyengu dan Labung). Tipe
sedimen pada seri ini berupa batulanau karbonatan dengan batulempung vulkanogenik,
namun terkadang juga menunjukkan gejala-gejala metamorfisme tingkat rendah, berlapis
dengan batupasir, konglomerat, batugamping, dan runtuhan vulkaniklastik. Secara
keseluruhan terpotong oleh intrusi berumur Kapur Akhir dengan kisaran komposisi dari
mikrogabro hingga diorit-kuarsa, dan juga oleh dike granodioritic serta kalk-alkalin berumur
Paleogen. Pada tipe sedimen ini menunjukkan struktur slump berskala besar dan perekahan
yang kuat, sedimen tersebut merupakan Formasi Lasipu (Prasetyo, 1981). Kumpulan
mikrofosil di dalam beberapa sampel mengindikasikan umur Coniacian hingga Campanian
Awal (Burollet dan Salle, 1982); banyak Inoceramus sp. hadir. Material-material detrital
salah satunya memberikan kesan asal-muasal dari kontinen, atau lingkungan busur
kepulauan; hal tersebut tampak terlihat pada kipas bawah laut berumur Mesozoikum dengan
endapan laut dangkal (Von der Borch et al., 1983) atau lingkungan batial laut terbuka
(Burollet dan Salle, 1982).
3.2 Seri Paleogen
Selama Paleogen, Sumba merupakan bagian dari busur magmatik yang dikarakterisasi
oleh seri batuan vulkanik kalk-alkalin (Sumba Barat) dan sedimen laut dangkal. Endapan
yang menyusun seperti tuf, ignimbrit, greywackes, sisipan batugamping foraminifera, napal,
mikro-konglomerat dan batulempung. Batuan tersebut secara tidak selaras dilapisi batuan
berumur Mesozoikum dan bergiliran secara tidak selaras dilapisi oleh Seri Neogen.
3.3 Seri Neogen
Seismik refleksi lepas pantai menunjukkan sedimen laut dalam berumur Neogen
membentuk sikuen sedimenter awal dari cekungan muka busur yang menghilang ke arah
punggungan (Fortuin et al., 1992; Van der Werff et al., 1994a, b; Van der Werff, 1995;
Fortuin et al., 1997). Kejadian mereka merefleksikan posisi stabil dari Punggungan Sumba di
dalam cekungan muka busur sejak inisiasi sistem palung-busur Sunda selama Oligosen Akhir
dan Miosen Awal (Silver et al., 1983; Reed, 1985; Barberi et al., 1987). Sedimen Neogen di
Sumba memperlihatkan dua fasies yang berbeda: pada bagian barat, mereka
direpresentasikan kebanyakan oleh batugamping terumbu, batugamping bioklastik,
batugamping chalky dan napal, berlapis dengan napal tufaan, sedangkan sedimen dari bagian
timur Sumba didominasi endapan turbidit vulkanik dengan perlapisan kapur pelagic dan
batugamping chalky (Fortuin et al., 1994). Pada bagian pusat Sumba, fasies sedimenter
tersebut menunjukkan hubungan menjari. Batuan tersebut umumnya tidak terganggu secara
tektonik.
3.4 Seri Kuarter
Keseluruhan pulau telah mengalami pengangkatan dengan cepat terhadap elevasinya
sekarang, seperti yang diindikasikan oleh teras-teras berumur Kuarter yang mencapai
ketinggian tidak kurang dari 500 m (Jouannic et al., 1988), dengan kecepatan rata-rata 0.5
mm/tahun pada bagian utara dan tengah Sumba (Pirazzoli et al., 1991). Teras-teras tersebut
terdiri dari batupasir, konglomerat, napal dan batugamping terumbu menonjol yang secara
tidak selaras dilapisi sedimen berumur Neogen dengan kemiringan relatif tidak curam di
sepanjang pantai barat, pantai utara dan pantai timur. Secara lokal, endapan berumur Kuarter
diendapkan secara tidak selaras di atas batuan berumur Mesozoikum di sepanjang pantai
baratdaya.
4 Struktur
Struktur geologi Sumba yang ada menunjukkan bahwa pulau ini dihasilkan dari
deformasi tektonik yang lemah. Bukti dari lipatan intensif atau kolisi adalah sedikitnya
variasi batuan pada Late Cretaceous Neogene. Kecuali untuk seri kompresif minor pada Lte
Paleogen, Sumba mengalami rezim tektonik ekstensional (Abdullah, 1994) :
Pada 62 Ma, lempeng Indo- Australia bergerak ke Utara 15-20 cm/ tahun dan subduksi
dengan Lempeng Eurasia (Sunda microcontinent) menghasilkan formasi busur magmatik
kalk- alkalin Sumatra, bagian barat dari Jawa, Sumba, dan Sulabesi Barat. Antara 55- 50 Ma
(Early Eocene0, lempeng Eurasia mengalami rezim ekstensional. Rifting, dimulai pada
Paleosen berkembang hingga spreading, dikarenakan memisahnya Kalimantan dan Sulawesi
Barat. Pembukaan berlanjut sampai Late Eocene (45- 40 Ma), dengan pergerakan lempeng
Indo- Australia berkurang dari 11 cm/ tahun menjadi 6 cm/ tahun pada Oligosen (32- 30 Ma).
Kecepatan pergerakan lempeng yang berkurang ini diakibatkan oleh fenomena roll- back
(Dewey, 1980) pada overriding plate (Sundaland), dengan pergerakan ke arah selatan busur
magmatik. Rotasi anticlockwise Kalimantan menghasilkan kompresi di laut china selatan,
terjadi subduksi ke selatan dan berkembangnya busur magmatik Kalimantan Barat. Ketika
Sulawesi Timur (lempeng Pasifik) subduksi ke arah selatan, dengan berkembangnya busur
magmatik Paleogen di Sulawesi Utara.
Ketika Miosen, kecepatan pergerakan Lempeng Indo- Autralia konstan pada 6 cm/ tahun,
saat itu intensitas dari spreading menjadi lebih kuat di back arc basin, berpindahnya Sumba
bagian tenggara menjadi jebakan antara busur magmatik dan Sunda Trench. Di Jawa busur
magmatik bergerak ke utara pada Late Miocene sampai Neogene busur Sunda- Banda. Pada
waktu yang sama Sumba juga telah terjebak/ terperangkap di bagian outer- arc basin dan
bergabung dengan endapan turbidit vulkanikalstik dan karbonat. Akhirnya, pada Pliosen
kecepatan pergerakan lempeng Australia meningkat menjadi 6- 7 cm/ tahun, kompresi aktif
pada lempeng Eurasia. Selama beberapa juta tahun kolisi terjadi di Indonesia timur dengan
usur kepulauan, termasuk fragmen kontinen Sumba dan kerak kontinen Australia,
menghasilkan uplift dari Sumba, Savu, Roti, dan Timor. Lanjutan dari uplift ini dibuktikan
oleh Quarternary reef limestone terrace di pulau tersebut.
Pulau Sumba memiliki kesamaan dengan sabuk magmatik Sulawesi bagian Selatan-Barat
(van Leeuwen, 1981: Simandjuntak, 1993, dll), (a) dimana keduanya memiliki tipe Late
Cretaceous- Paleocene magmatism dan stratigrafi yang sama sehingga mendukung bahwa
Sumba merupakan bagian dari busur magmatik Andean dekat dengan sabuk Sulawesi Barat
dan pantai tenggara Kalimantan pada batas lempeng Asia. Selain itu, pada Late Cretaceous
Banda Allochthon pada posisi berada di utara busur Sunda menunjukkan WNW- ESE left
lateral strike slip fault dengan lepasnya bagian timur busur Sunda. Sesar ini dihasilkan oleh
pergerakan lempeng pasifik. (b) Kemudian, ketika Paleogen tingkat pergerakan dari lempeng
Indo- Australia berkurang, yang menunjukkan generasi back arc basin dan formasi marginal
sea. Back arc berkembang menghasilkan migrasi Sumba ke arah Selatan. (c) Migrasi ke
selatan ini diperkuat dengan data paleomagnetik baru (Wensink, 1994). Dari Neogen hingga
Kuarter pulau Sumba terperangkap dalam forearc basin di depan busur volkanik Sunda
bagian Timur. (d) Selanjutnya, terjadi kolisi antara Australia dengan busur Banda yang
berarah Utara- Barat sehingga menyebabkan Sumba uplifed atau terangkat 0,5 mm/tahun
dengan ditemukannya reef limestone terrace.
5. Kesimpulan Pulau Sumba
Berdasarkan data paper yang didapatkan bahwa Pulau Sumba merupakan pulau yang
terbentuk dan merupakan bagian dari paparan Sunda. Hal tersebut didasarkan pada:
A. Urutan stratigrafi Sumba pada Paleogen sama dengan urutan stratigrafi
Sulawesi Selatan (Burollet & Salle, 1981; Simandjuntak, 1993).
B. Extruded magma Sumba yang berumur Late Cretaceous-Paleogen mirip secara
petrokimia dan geokronologi dengan arc volcanism di tepi Sundaland
(Abdullah, 1994, 2010).
C. Data paleomagnetik Sumba dari Late Cretaceous sampai Paleogen
menunjukkan posisi Sumba pada Late Cretaceous ada di 18.3 N, pada
Paleosen ada di 7.4 N dan pada Miosen Awal di posisinya sekarang di 9.9 S
(Wensink, 1994).
D. Data isotop Pb-Nd batuan Sumba menunjukkan karakteristik yang sama
dengan data isotop batuan di Sulawesi (Vroon et al, 1996). (5) Sumba
mengandung foram besar yang khas foram besar Eosen yang hidup di wilayah
tropis, yaitu Assilina, Pellatispira, dan Biplanispira; dan tak pernah ditemukan
foram besar wilayah subtropis yang khas Australia yaitu Lacazinella (Lunt,
2003).
B. Pulau Timor
Model struktur geologi dipulau timor dapat dibagi menjadi 3 yaitu imbricate, overthrust
dan rebound model.
a. Imbricate model, timor diinterpretasikan sebagai kumpulan dari naterial yang
imbricated dan chaotic yang berada pada hanging wall dari zona subduksi.
Kteredapatan struktur yang chaotic pada timor diinterpretasikan sebagai zona
melange. Akibat adanya timor trough yang berada pada bagian selatan dari timor
menghasilkan zona melange yang mengahsilkan model struktur yang imbricated dan
chaotic
b. Overthrust model, pada awalnya timor di interpretasikan sebagai produk plate
tektonik. Lalu di ketahui bahwa timor sendiri terbentuk akibat adanya sesar naik yang
berupa thrust fault termasuk di dalamnya material samudra maupun benua yang
tersesarkan kemudan naik terhadap batas kerak australia. Perbedaan yang cukup jelas
bahwa dibentuk oleh model overthrust antara parautochthonous terhadap kerak
australia dan allochtonus yang bukan berasal dari kerak australia.
c. Rebound model, model ini menunjukan batas kerak autralia yang memasuki subduksi
busur banda, subduksi ini menghasilkan isostasi pada daerah timor through diamana
isostasi ini menyebabkan terbentuknya model rebound yang terjadi pada batuan yang
ductile yang juga dikontrol oleh steepfault.
Implikasi setting tektonik terhadap proses metamorfisme adalah munculnya 3 group
umum dari batuan metamorf pada timor
1. High-grade metamorphic
Batuan metamorf yang emiliki grade paling tinggi adalah garnet meta-anorthosite
yang berada pada bagian barat timor, kehadiran mineral garnet menunjukan bahwa batuan ini
berada pada fasies granulite yang termetamorfisme pada suhu dan tekanan yang tinggi. Selain
dari fasies granulit pada group ini terdapat batuan metamorf dari fasies amphibolite. Pada
batuan di group ini batuan yang menunjukan tekstur high pressure terbentuk dahulu
kemudian baru bataun yang bertekstur low pressure. Batuan metamorf pada group ini
menunjukan fragmen yang berasal dari kerak enua tua dan pembentukan dari garnet dari
group ini membutuhkan tekanan lebih besar dari 5 kbar dan terbentuk pada kedalaman sekitar
15-20 Km
774
2. Fasies Greenschist
Batuan pada fasies ini terbentuk akibat adanya replacement mineral mineral high
grade dengan mineral mineral yang memiliki grade dibawahnya seperti mmineral albit,
epidote, klorit dan actinolit. Juga ditemukannya relict dai garnet yang menunjukan grade
semula dari batuan metamorf ini menunjukan grade tinggi selain itu mineral glaucopan juga
menunjukan metamorfisme grade tinggi.
3. Slate
Batuan pada group ini tersebar pada bagian utara dari pulau timor, metamorfisme dari
group ini menunjuka metamorfisme terhadap batugampin dan batuan vulkanik yang berumur
permian dan batuan metamorf yang terbentuk diantranya slate atau batu sabak, sekis mika
dan gneiss
Implementasi setting tektonik terhadap stratigrafi
Stratigrafi daerah timor merupakan hal yang cukup menarik sebab pulau timor sendiri
merupakan pulau yang terbentuk akibat pertemuan antara kerak yang berasal dai australia
dengan kontinen yang ada diindonesia, dengan begitu akan ada dua stratigrafi yang cukup
berbeda diakrenakan berbedanya lingkungan pengendapan dari dua daerah yang bertemu
tersbut. Stratigrafi pada timior dibagi menjadi 2 yaitu allochthon dan parautochthon
a. Allochthon
Merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan urut-urutan batuan yang
terbentuk pada daerah sumba dan sulawesi dengan. Dengan daerah daera yang
termasuk allochthon mutis complex, palelo group (formasi noni, hanulasi, metan),
batugamping cablac dan vulkanik ocussi.
b. Parautochhon
Merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan batuan yang berada di timor
terbentuk pada daerah lain dalam hal ini australia. Batuan paparan australia yang
tersingkap ditimor dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kekneno dan kolbano. Batuan
pada jenis ini memiliki umur mulai dari permian hingga paleogen
Implikasi setting tektonik terhadap magmatisme pada timor
Akibat pulau timor ini telah measuki fase kollisi sehingga akan muncul kepermukaan
kerak samudra serta mantel bagian atas kepermukaan atau yang sering disebut sebagai
serie ofiolit, oleh karena itu batuan beku yang banyak muncul adalah batauan beku
ultramafik hingga mafik dan paling asam adalah batuan beku intermediet. Ditambah
lagi pulau timor ini awalnya merupakan island arc sehingga magma sulit untuk
terdifferensiasi menjadi leih asam. Batuan beku yang terdapat pada timor bermacam
macam diantaranya adalah seperti dibawah ini.
a. Peridotite, ,merupakan batuan beku ultramfik yang biasanya menyusun mantel
bumi, peridotit ini irip dengan peridotit yang tedapat di abyssal. Peridotit disini
dapat tersingkap akibat adanya ofiolit yang menyebabkan tersingkapnya kerak
samudra dan juga mantel bagian atas
b. Hasil kristalisasi magma. Batuan beku memiliki jenis gabbro namun gabro disini
berbeda dengan gabro yang terbentuk pada zoan pemekaran tengah samudra dan
juga terbentuk basalt. Dan juga telah diinterpretasikan bahwa pembentukannya
berkaitan dengan busur kepulauan paragenesis.
c. Batuan vulkanik, batuan ini mengisi bagian paling besar dari series ofiolit dan
memiliki afinitasnya berupa thoelitic. Batuan beku yang muncul pada group ini
adalah andesit
C. PULAU SUMBAWA
Apabila dilihat dari implementasi setting tektonik terhadap rekaman proses
magmatisme, metamorfisme, stratigrafi, dan struktur geologi. Pertama adalah struktur geologi
dan stratigrafi dari Pulau Sumbawa, struktur geologi yang berkembang dari Pulau Sumbawa
sendiri sangat berkaitan dengan penunjaman Lempeng Hindia yang memiliki arah utara
timur laut yang menerus dari Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa dan menerus ke arah timur
hingga membentuk Busur Kepulauan Banda yang terbentuk pada masa Kenozoikum yang
ditandai dengan kehadiran dari batuan gunung api kalk-alkalin dari busur Banda yang masih
aktif hingga sekarang oleh batuan sedimen pinggiran benua yang terletak diatas batuan
metamorf. Pulau pulau vulkanik yang berada di sebelah timur dari Pulau Sumbawa sendiri
disebut sebagai Busur Banda. Batas antara Busur Sunda dengna Busur Banda dinamakan
Sumba Fracture oleh Audley-Charles (1975).
Pada daerah Sumbawa salah satunya adalah daerah Batu Hijau. Pada daerah ini terdiri
dari struktur yang memiliki arah Barat Barat Laut yang merupakan Zona Sesar Tongkoloka
Puna, Katala, dan Petung, serta struktur yang berarah Utara Timur Laut yaitu Zona
Pataham Nono, Bambum dan Rene. Secara umum, patahan patahan tersebut hanya sedikit
mengakibatkan adanya penggantian dari zonasi alterasi dan zonasi mineralisasi.
Zona Sesar Tongoloka-Puna terdiri dari pusat tubuh bijih, panjang kurang lebih 400 m
dengan arah barat-baratlaut, kemiringannya 600-70
0. Endapan yang terletak pada timurlaut
yaitu Zona Sesar Katala, panjangnya kurang lebih 525 m dengan arah barat-baratlaut. Batas
selatan terjadi pada bagian tenggara dari endapan dengan arah utara-timurlaut dan
kemiringannya 750-80
0 ke arah tenggara. Urat urat dan dike kecil pada peta permukaan
menunjukkan pola yang sama dengan struktur berarah timurlaut.
Berdasarkan proses mineralisasi, batuan di Batu Hijau dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu batuan pra-mineralisasi dan batuan host-mineralisasi. Batuan pra-mineralisasi
mendominasi penyebaran litologi pada area penambangan, yang terdiri atas batuan volkanik,
intrusi andesit, dan intrusi diorite. Batuan yang berperan dalam mineralisasi (host-
mineralisasi) tersusun atas batuan intrusi tonalit. Batuan pra-mineralisasi di Batu Hijau
berumur pertengahan Miosen Awal hingga pertengahan Pliosen Awal, sedangkan batuan
host-mineralisasi berumur pertengahan Pliosen Tengah (Garwin, 2000).
Stratigrafi daerah Batu Hijau dimulai dari satuan batuan yang paling tua ke muda
adalah Satuan Batuan Vulkanik, Satuan Andesit Porfir, Satuan Diorit, dan Satuan Tonalit.
Satuan Batuan Vulkanik terdiri dari batuan volkaniklastik berukuran halus (tuf halus), tuf
kristal, dan intrusi andesit porfiritik. Intrusi kedua adlaah diorite kuarsa porfitik dan diorite
kuarsa ekuigranular. Semua seri batuan ini diintrusi oleh batuan tonalit tua dan batuan tonalit
muda (Garwin, 2000). Urutan pembentukan batuan didasarkan pada hubungan potong-
memotong antar batuan.
Kolom stratigrafi satuan litologi di daerah Batu Hijau (Garwin, 2000)
Peta Geologi area penambangan terbuka Batu Hijau
1. Satuan Tuf Andesitik
Tuf andesitic merupakan litologi yang paling dominan di Batu Hijau. Batuan ini memiliki
ketebalan batuan lebih dari 1500 m. Satuan tuf andesitic ini terdiri atas dua unit batuan
utama, yakni tuf halus dan tuf kristal. Kontak antara dua unit batuan tersebut berisfat
gradasional (Garwin, 2000).
Secara makroskopis, kenampakan batuan secara umum berwarna abu-abu gelap,
berstruktur masif, dengan komposisi yang dominan adlah kristal dan litik yang berupa
batulempung tufaan, batupasir, breksi, dan konglomerat. Tuf halus yang berada di bagian
bawah tersusun oleh batulempung tufaan, batupasir, dan breksi dengan ketebalan 150-200
m(Gerteisen, 1998). Pada area tambang, tuf halus ini tersusun oleh 10-20% pecahan
plagioklas dan hornblende serta litik berukuran
tidak memiliki perlapisan dan memiliki pemilahan yang buruk. Massa dasar dari unit ini
mengandung butir berukuran lempung, material gelasan, dan hancuran fragmen kristal
(Garwin,2000) menginterpretasikan bahwa unit batuan ini berumur Miosen awal
Miosen tengah, diendapkan pada daerah fore arc dalam lingkungan bawah laut.
Ketidakhadiran aliran lava dala unit batuan ini mengindikasikan bahwa sumber erupsi
jauh dari daerah Batu Hijau. Pengendapan unit Tuf andesitic tersebut seiring dengan
aktivitas volkanik andesitic yang terjadi di daerah ini.
Pada bagian atas dari tuf kristal terdapat batuan aglomerat dengan fragmen berukuran
bongkah yang tertanam dlaam matriks tuf litik kristal. Unit batuan aglomerat hanya
memiliki jumlah kecil di area penambangan. Unit aglomerat ini kemungkinan diendapkan
sebagai endapan laharik dalam lingkungan pengendapan subaerial dan subaquaeous.
2. Satuan Diorit
Batuan ini berumur lebih muda dari batuan andesit porfir dan secara geokimia memiliki
keasaman kandungan K2O < 0,8% dan secara tekstural menunjukkan tekstur porfiritik
hingga ekuigranular (Mitchell dkk, 1998). Secara umum, intrusi diorite di Batu Hijau
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Diorite kuarsa ekuigranular
Diorite kuarsa ekuigranular merupakan intrusi pra-mineralisasi terbesar. Secara
regional batuan ini memotong batuan andesit porfiritik dan diorite kuarsa porfiritik.
Batuan ini berbutir halus-sedang, tekstur ekuigranular, holokristalin. Fenokris
berukuran 1-3 mm berupa plagioklas, hornblende, dan kuarsa. Massa dasar berupa
mikrokristalin kuarsa dan plaigoklas.
b. Diorite kuarsa porfiritik
Diorite kuarsa porfiritik merupakan batuan masif dengan tekstur porfiritik. Unit ini
sudah teralterasi kuat, berbutir halus-sedang, massa dasarnya berupa plagioklas,
kuarsa, hornblende dengan fenokris berupa plagioklas, hornbleda, dan biotit. Di area
penambangan batuan ini membentuk stock dan beberapa dike kecil.
3. Satuan Tonalit Porfir
Batuan tonalit porfir menerobos kontak antara batuan vulkanik dengan batuan diorite
kuarsa ekuigranular. Batuan ini membentuk stock dan dike yang semakin melebar ke
dalam dan menyempit kea rah permukaan. Batuan tonalit merupakan batuan pembawa
mineralisasi di endapan porfiri Cu-Au Batu Hijau. Pada daerah penelitian, intrusi tonalit
ini terbagi menjadi dua, yaitu tonalit tua dan tonalit muda, berdasarkan hubungan potong-
memotong dan perajahan radiometric (Garwin, 2000). Kedua intrusi ini mempunyai
kesaam komposisi dan fenokris, perbedaannya terletak pada umur, presentase urat kuarsa,
kelimpahan dan ukuran fenokris kuarsa, serta kadar Cu dan Au-nya. Kedua unit batuan
tersebut memiliki umur yang berdekatan yaitu tonalit tua, sedangkan tonalit muda.
Menurut Mitchell, dkk(1998), tonalit tua dan tonalit muda mempunyai karakteristik:
a. Tonalit teralterasi kuat
Batuan ini bertekstur porfiritik, berukuran butir halus-sedang, fenokris berupa kuarsa
berukuran 0,7 1 mm dengan kelimpahan lebih dari 20%, bentuk kristal umumnya
subhedral anhedral, dengan massa dasar yang ekuigranular tersusun oleh kuarsa,
hornblende, dan plagioklas. Dalam sayatan tipis, dapat terlihat bahwa plagioklas
dalam batuan ini diidentifikasi sebagai oligoklas, dan beberapa andesine. Plagioklas
ini secara intensif telah terubah dan terpotong oleh urat kuarsa. Mineral mafik
sebagian besar telah terubah menjadi biotit sekunder dan klorit. Satuan batuan ini
didaerah penelitian disertakan dengan tonalit tua.
b. Tonalit teralterasi lemah
Tonalit muda merupakan satuan intrusi batuan yang termuda di Batu Hijau. Menurut
Mitchell, dkk (1998), tonalit muda berwarna abu abu terang, dengan ukuran butir
sedang kasar, dicirikan dengan tekstur porfiritik, fenokris berupa kuarsa (5-10mm),
plagioklas, dan hornblende (2-10mm), dengan massa dasar yang ekuigranular,
berukuran kasar sedang. Fenokris hornblende yang berukuran cukup besar membuat
tonalit muda mudah dikenali. Perbedaan antara tonalit muda dengan tonalit tua adalah
kehadiran kuarsa (fenokris) yang relatif lebih kasar dan bentuk kristal rounded
bipiramid. Mineral mafik hadir lebih sedikit dalam tonalit muda dengan massa dasar
yang relatif lebih kasar dari tonalit tua. Hornblende hanya mengalami perubahan
menjadi mineral biotit sekunder dalam jumlah kecil. Urat urat kuarsa sangat jarang
dijumpai.
Pada Pulau Sumbawa proses magamtismenya terjadi pada saat adanya intrusi dari
ekuigranular kuarsa diorit yang memotong batuan andesit, intrusi andesit, dan diorite kuarsa
porfiritik. Hal ini yang mengindikasikan bahwa intrusi diorite yang paling muda
dibandingkan dengan batuan lainnya pada daerah tersebut. batuan dinding ini diintrusi oleh
setidaknya dua tonalit porfiri yang memiliki perbedaan tekstur.
D. PULAU FLORES
MAGMATISME
Flores pada bagian utara dibatasi oleh cekungan Flores dan pada bagian selatan
dibatasi oleh cekungan Savu yang merupakan busur magmatik dengan 13 gunung berapi
yang masih aktif. Flores merupakan penghujung timur dari busur magmatik Sunda yang
membentang dari barat ke timur (Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa).
Berdasarkan analisis stratigrafi dan analisis magmatis, flores terbentuk dari dua siklus,
yaitu:
1. Siklus Oligosen - Miosen Tengah-Miosen Atas
Siklus ini dicirikan oleh volkanik Timur-Barat (Formasi Kiro)
2. Siklus Miosen Akhir Plioquarter
Dicirikan dominasi batuan volkanik dimana dari sample batuan magmatik,
dengan beberapa diantaranya merupakan batuan grano-dioritik.
Berdasarkan dua siklus tersebut, memperlihatkan bahwa keduanya merupakan
magmatisme orogenik busur kepulauan yang berkaitan dengan subduksi. Dari sudut
pandang regional dan temporal, busur magmatik Flores bermula pada saat busur
magmatik Sumba mengakhiri aktivitasnya. Pada kala Oligosen, Sumba meninggalkan
posisinya di busur magmatik untuk selanjutnya berada pada posisi cekungan muka-busur
luar, dan semenjak itulah Flores muncul menggantikannya sebagai busur magmatik.
METAMORFISME
Metamorfisme di Pulau Flores kemungkinan juga terjadi karena adanya
evolusi tektonisme dari Zona Subduksi Flores-Wetar menjadi zona tumbukan antara
Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Kontinen Australia yang kemudian
membentuk lingkungan dengan tekanan dan temperatur metamorfisme pada fasies skiss
hijau hingga amfibolit.
STRATIGRAFI
Stratigrafi atau urut-urutan litologi yang menyusun Pulau Flores secara umum dari tua
ke muda menurut Koesoemadinata et al. (1994):
1. Formasi Kiro
2. Formasi Nangapanda, Formasi Bari, Formasi Tanahau
3. Intrusi Granit
4. Intrusi Diorit
5. Formasi Waihekang, Formasi Laka
6. Endapan Gunungapi tua
7. Endapan Gunungapi muda
Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal, kemudian menumpang menjari di
atasnya Formasi Nangapanda (Tmn), Formasi Bari (Tmb), Formasi Tanahau (Tmt)
berumur Miosen Tengah, selanjutnya diterobos batuan granit (Tmg) dan batuan diorit
(Tmd) berumur Miosen Akhir. Setelah itu berkembang di atasnya Formasi Waihekang
(Tmpw) yang menjari dengan Formasi Laka (Tmpl) berumur Pliosen, dan kemudian
ditutupi oleh produk kegiatan gunung api tua (QTv) berumur Pleistosen. Secara tidak
selaras di atasnya diendapkan kelompok batuan dan endapan paling muda atau sekarang
masih berlangsung pembentukannya yang diwakili oleh batuan gunung api muda (Qhv),
undak pantai (Qct), batugamping koral (Ql), dan aluvium (Qal).
Gb. Stratigrafi pulau Flores, Nusa Tenggara pada lembar Ruteng (Koesoemadinata et al.
1994).
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi pulau flores masuk ke dalam tektonik kepulauan Nusa Tenggara.
Kepulauan Nusa Tenggara terletak pada dua jalur geantiklin yang merupakan sambungan
dari bagian barat busur Sunda-Banda. Pulau flores masuk dalam busur tersebut. Wilayah
kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya merupakan bagian dari kerangka sistem
tektonik Indonesia. Daerah ini termasuk dalam jalur pegunungan Mediterania dan berada
pada zona pertemuan lempeng. Pertemuan lempeng ini bersifat konvergen. Kedua
lempeng tersebut saling bertumbukan sehingga salah satu lempeng tersebut menyusup ke
bawah lempeng Eurasia. Akibat adanya tumbukan ini, terbentuklah suatu palung laut
yang lebih dikenal sebagai Timor through pada sebelah selatan pulau timor.
Pergerakan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia mengakibatkan daerah
kepulauan Alor sebagai salah satu daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang cukup
tinggi di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas tumbukan lempeng (plate
collision). Pergerakkan lempeng ini menimbulkan struktur-struktur tektonik yang
merupakan penciri dari sistem tektonik Subduksi, yaitu: Benioff zone, palung laut,
punggung busur luar, cekungan busur luar, dan busur gunungapi. Pada pulau Flores,
Back arc thrust membujur di sepanjang laut flores sejajar dengan busur kepulauan bali
dan nusa tenggara. Adanya hal tersebut membentuk adanya suatu sesar naik pada bagian
belakang busur tersebut. Sesar naik tersebut merupakan penyebab utama adanya gempa
yang terjadi di pulau flores ini. Ada dua jenis sesar pada pulau flores ini, yaitu: Sesar
Naik pada segmen barat Flores yang lebih dikenal dengan Sesar Naik Flores dan Sesar
pada segmen timur yang lebih dikenal dengan sesar naik Wetar yang membujur dari
utara pulau Alor hingga pulau Romang.
BAB III
APLIKASINYA DALAM PEMBENTUKANSUATU CEKUNGANDAN
KEMUNGKINAN TERDAPAT MINERAL EKONIMIS
A. Mineral Bijih Mangan pada Pulau Timor
Geologi pada Pulau Timor sangatlah kompleks. Hal ini ditunjukkan dari kehadiran
batuan yang jenis dan umurnya yang bervariasi. Daerah ini sudah terdeformasi kuat dan
campuran batuan (olisostrom/melange) menutupi hampir 40% dari Pulau ini.
Beberapa periode pergerakan tektonik dari Pulau Timor sudah dipelajari. Periode
awal ditandai oleh pergerakan tektonik Benua Australia pada Kapur Akhir-Eosen ke arah
Utara yang menghasilkan kolisis antara Busur Pulau Paloe Timor dan kerak samudra Indo-
Australia. Kolisi ini menghasilkan batuan campuran (olisostrom/melange), endapan Formasi
Noni, Haulasi, dan Ofu, batuan ultrabasa-basa, metamorfisme Maubisse, Ailiu dan Formasi
batuan vulknaik Metan. Perlipatan kuat, sesar naik, dan sesar geser adalah struktur utama
pada area tersebut.
Pergerakan tektonik selanjutnya yaitu subduksi pada Miosen yang menghasilkan
kolisi dari northern margin Australia dan busur pulau. Kolisi ini menyebabkan formasi
batuan pre-Pliostosen terlipat kuat dan terpatahkan. Aktivitas tektonik ditandai oleh
keterdapatan gempabumi aktif, mud diapir/mud volcano, patahan aktif dan reaktivasi patahan
pre-Holosen dan uplifting.
Mud volcano pada Pulau Timor sangat berhubungan dengan scaly clay dari kompleks
Bobonaro yang menutupi hampir 4000km2
dari singkapan pada Pulau Timor. Secara
stratigrafi, Pulau Timor ditempati oleh tiga unit batuan termasuk autochton, paraautochton,
dan allochthon. Unit autochthonous dan paraautochtonous dari tertua ke termuda terdiri dari
Bisane, Aitutu, Nakfunu, Ofu, Noil Toko, Formasi Cablac , kelompok batuan Viqueque
(Batuputih dan Formasi Noele, konglomerat dan gravel, endapan aluvial), di mana unit
allochthonous terdiri dari sedimen dan batuan beku yang mengandung kompleks Mutis,
Maubisse, Noni, Haulasi, dan Formasi Metan, diorit, Formasi Mananas , batuan ultrabasa dan
kompleks Bobonaro.
Secara stratigrafi, daerah penelitian ditempati oleh:
Limestone calcilutite interkalasi claystone, chert, slate, marl dari Formasi Ofu dan
Nakfunu.
Scaly clay yang mengandung beberapa xenolith dari kompleks Bobonaro
Unit intrusi mud volcano yang terdiri dari clay yang mengandung sulfur
Endapan fluviatil
Struktur geologi didominasi oleh regime kompresi termasuk sesar naik dengan trend
Timur Laut-Barat Daya, sesar geser dekstral, lipatan dan clay diapir yang memotong lapisan
yang mengikat Mn.
Secara umum, dua tipe bijih mangan teridentifikasi pada lapangan yaitu Mn nodule dan
Mn layer. Mn nodule memiliki bentuk membola-melonjong dengan diameter rata-rata
milimeter sampai 6 cm dan ketebalan hampir 1 mm sampai 5 cm. Secara megaskopis, Mn
nodule berwarna abu-abu logam, masif, memiliki cerat coklat kemerah-merahan, yang
diidentifikasi sebagai manganit. Mn layer adalah tipe bijih Mn yang paling utama tersingkap
di daerah penelitian. Secara khas, Mn layer terbagi-bagi secara tidak teratur, sudah
terdeformasi kuat dan membentuk lensa atau lentikuler, berseling dengan claystone laut
dalam berwarna coklat kemerah-merahan dari formasi Nakfunu. Lebar Mn layer berkisar dari
2 cm hingga 10 cm.
B. Batu Hijau, Sumbawa
- Deposit Au-Cu
Tambang Batu Hijau adalah sebuah tambang yang memiliki cadangan emas dan
tembaga kelas dunia. Tambang tersebut masuk ke dalam jajaran tambang-tambang yang
keterdapatan mineral logamnya 10% dari total deposit yang ada. Cadangan emas dan
tembaga pada Tambah Batu Hijau terletak tepatnya pada bagian barat daya dari Pulau
Sumbawa (lihat gambar 3.1). Tambang Batu Hijau mengandung cadangan sebesar 914 juta
metrik ton dengan rata-rata presentase tembaga 0,525% dan kandungan emas 0,403 (
Clode et al., 1999 dalam Idrus et al., 2009). Mineralisasi pada daerah barat busur Sunda-
Banda dicirikan oleh tipe endapan sulfidasi rendah yang terkandung dalam sistem urat
epitermal. Di antaranya termasuk Mangani, Lebong Tandai dan Lebok Donok di Sumatra.
Tipe mineralisasinya berubah semakin ke arah timur Indonesia, ditandai dengan tipe
mineralisasi porfiri contohnya pada Tambang Batu Hijau yang menjadi pokok bahasan pada
sub-bab ini. Hal ini menjadi potensi tambang mineral logam dari Pulau Sumbawa, walaupun
cadangannya tidak sebesar Grahsberg, Papua.
Secara regional Pulau Sumbawa sebagai sistem busur kepulauan dihasilkan dari
tumbukan antara tiga lempeng yakni Lempeng Hindia-Australia, Eurasia dan Lempeng
Pasifik. Pulau Sumbawa dibatasi penunjaman subduksi Jawa ke arah utara pada bagian
Gambar 3.1 Letak geografis Tambang Batu Hijau pada peta Indonesia ( Idrus, et al., 2009)
selatan dan penunjaman subduksi Jawa ke arah utara pada bagian selatan serta penunjaman
subduksi Flores ke arah selatan pada bagian utara. Pada bagian selatan dari Pulau Sumbawa
dibatasi oleh kerak samudera yang berumur Tersier Awal, bersifat kalk-alkali kalium rendah
sampai andesit volkanik yang lemah alkali dan batuan vulkanoklastik berlapis, berasosiasi
dengan intrusi intermediet, sedikit sedimen laut dan batugamping. Morfologi dari daerah
Batu Hijau secara umum memperlihatkan kenampakan satuan perbukitan volkanik dan satuan
perbukitan intrusi. Satuan perbukitan volkanik tersusun oleh batuan penyusun berupa andesit
volkaniklastik dan intrusi andesit porfiri, sedangkan satuan perbukitan intrusi tersusun oleh
batuan intrusi berupa diorit dan tonalit. Perbukitan intrusi yang curam tersebut merupakan
hasil dari proses-proses tektonik. Pada satuan perbukitan volkanik memperlihatkan morfologi
yang sedikit terjal. Perbukitan volkanik ini terdiri atas beberapa gunung volkanik muda
contohnya Gunung Sangenges, Gunung Sakadet dan Gunung Bulupasak pada bagian barat
sementara di bagian timur terdapat Gunung Tambora, keempat gunung ini memberikan
kenampakan seperti gunungapi strato dengan pola aliran sungai radial.
Secara lebih spesifik penjelasan potensi ekonomis batuan dan kandungan mineral dari
Batu Hijau dapat ditinjau dari jenis litologinya. Batuan pre-mineralisasi terdiri dari perlapisan
batuan vulkanik andesitik, intrusi andesit dan setidaknya terdapat dua jenis diorit kuarsa yang
dibedakan berdasarkan teksturnya ( diorit kuarsa ekuigranular dan diorit kuarsa porfiritik).
Batuan vulkanik andesitik yang diendapkan pada umur 20-15 juta tahun yang lalu ( Garwin,
2002 dalam Idrus et al., 2009), merupakan tipe litologi yang paling umum dijumpai pada
daerah Batu Hijau. Intrusi andesit yang memotong batuan vulkanik andesitik memiliki umur
pembentukan yang lebih muda dari suksesi vulkaniklastik yang diterobosnya. Batuan beku
pada intrusi andesit merupakan unit intrusi termuda yang ditemukan pada daerah Batu Hijau.
Data dan kenampakan di lapangan menunjukkan diorit kuarsa ekuigranular menerobos batuan
volkaniklastik andesitik, intrusi andesit dan diorit kuarsa porfiritik. Kesemua batuan tersebut
digolongkan dalam unit batuan dinding atau batuan samping.
Kelompok batuan samping tersebut pada akhirnya diterobos lagi oleh dua buah intrusi
lain yang secara tekstural berbeda yaitu tonalit porfiri, dibedakan menjadi tonalit intermediet
dan tonalit muda. Intrusi tonalit ini mengindikasikan umur 3,76 juta tahun lalu- 3,67 juta
tahun yang lalu, dating dilakukan dengan isotop U-Pb Shrimp zirkon (Garwin, 2002 dalam
Idrus et al., 2009). Tonalit porfiri inilah yang membawa tembaga dan emas dalam tubuh
intrusinya. Tonalit porfiri ini mengambil tempat yang sangat berhubungan dengan pola
struktur N-S dan NE-SW ( Priowarsono & Maryono, 2002 dalam Idrus et al., 2009). (lihat
Gambar 3.2). Pada umumnya, sesar ini menunjukkan pergeseran kecil dari alterasi
hidrotermal dan zona mineralisasi, tercatat kurang dari 10 m dan diperkirakan mempunyai
jarak perpindahan sesar mendatar yang kecil.
Apabila tonalit yang membawa emas dan tembaga ditelaah lebih lanjut, mineralogi
dari tonalit porfiri intermediet dan muda hampir mirip. Keduanya ditandai dengan fenokris
yang tersusun atas hornblende, plagioklas, kuarsa, biotit, magnetit dan ilmenit. Pada tonalit
intermediet, plagioklas adalah mineral dominan penyusun fenokris dengan ciri-ciri optis
euhedral-subhedral berukuran 3-4 mm. Pada tonalit muda, fenokrisnya lebih didominasi
hornblende, yang umumnya dikelilingi oleh biotit prismatik.
Alterasi hidrotermal dan mineralisasi yang terdapat pada candangan deposit Batu
Hijau berkembang pada empat kelas yang saling tumpang tindih; early, transitional, late dan
very late. Batuan vulkaniklastik andesitik dan diorit kuarsa ekuigranular telah teralterasi
untuk membentuk zona early central biotite (potassic), early proximal actinolite (inner
propylitic), early distal chlorite-epidote (outer propylitic), transitional chloritesericite
Gambar 3.2 Kondisi geologi sederhana Batu
Hijau ( Idrus, et al., 2009)
Gambar 3.3 Penggolongan zona alterasi
pada Batu Hijau ( Idrus, et al., 2009)
(intermediate argillic), late pyrophylliteandalusite (advanced argillic), late sericite-
paragonite (argillic) and very late illite-sericite zones, whereas the tonalite porphyries are
only altered to form the early central biotite (potassic) (Idrus et al., 2009). Kandungan
tembaga dan emas paling tinggi berasosiasi dengan zona early central biotite ( potassic).
Pada zona alterarasi central biotit (potasik), batuan alterasinya berasosiasi dengan
tembaga dan emas. Zona alterasi ini dominan dihasilkan karena pengaruh larutan hidrotermal
magmatik (Idrus et al., 2009). Keterdapatan K- Feldspar yang sedikit menandakan magmanya
low-K calc alkaline dan bersifat tonalitik yang mengantarkan kepada sistem hidrotermal.
Kekurangan kandungan potasium tergolong pada magma yang mengalami sedikit
kontaminasi dari batuan kerak maupun sedimen laut dalam. Perkembangan dari sistem tidak
menerus dari EDM- stringers dan urat A pada zona alterasi menandakan jenis patahan yang
bersifat plastik daripada patahan brittle. Sifat alami plastis yang dimiliki veinlets menandakan
pembentukannya berada pada pengarus rezim litostatik. Mengingat hal tersebut kandungan
tembaganya menjadi meningkat 5-10 kali daripada batuan alterasi biasanya.
Kesimpulannya pada sistem porfiri Batu Hijau yang batuan alterasinya diprakarsai
oleh beberapa kali proses intrusi, menghasilkan keterdapatan dan asosiasi dengan emas dan
tembaga. Zona alterasi early central biotite ( potasik) mengalami pengkayaan Si, Fe, K, Rb,
S, Cu dan Au dengan pengurangan kandungan massa dan volume sebesar 6,54 1,78% (Idrus
et al., 2009). Secara general, elemen mayor seperti Ca, Mg, Na dan K berkurang dari batuan
yang lebih lemah teralterasi menuju zona alterasi late sebagai konsekuensi dari pemecahan
hornblende, biotit dan plagioklas. Tingkat kehilangan massa dan volume semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya level-level alterasi. Berkurangnya elemen-elemen dari zona
alterasi early, transisional menuju late berimplikasi pada pengurangan general aktivitas
elemen di dalam larutan hidrotermal selama proses alterasi.
- Deposit Skarn
Ada satu cadangan ekonomis lainnya yang terdapat pada Batu Hijau yaitu endapan Skarn
(lihat Gambar 3.4). Hal ini dipicu oleh beberapa intrusi yang terjadi dan menerobos batuan
samping yang sudah terbentuk sebelumnya. Tentu tambahan keterdapatan skarn di daerah
Batu Hijau menambah nilai ekonomis dari tambang tersebut. Host dari batuan Skarn ini
sendiri dipercaya memiliki kandungan karbonat sehingga saat diintrusi, terjadi proses
metasomatisme yang mengubah protolith menjadi batuan metamorf. Host batuan Skarn ini
diinterpretasi merupakan batuan calc-silicate pada perlapisan batuan volkaniklastik andesitik
yang telah disebutkan sebelumnya (lihat Gambar 3.2).
Litologi batuan ini dapat dideskripsi sebagai berikut, uymumnya berwarna hijau, coklat
kemerah-merahan, hitam, berbutir halus dan granular. Batuan calc-silika ini umumnya
berlapis berselang-seling dengan batuan volkaniklastik andesitik. Perlapisan berwarna hijau
pada batuan tersebut tersebut mengandung sebagian besar klinopiroksen ( diopsit dan
hedenbergit) yang berukuran halus, kemudian layer putih terdiri dari kalsit dan zeolit ( lihat
Gambar 3.5). Anortit, kuarsa, klorit dan epidot yang langka keterdapatannya juga dapat
dilihat pada sayatan tipis batuan. Anhidrit memiliki keterdapatan sebagai pengisi lubang-
lubang pada batuan, namun tidak berasosiasi langsung dengan pembentukan layer calc-silika.
Secara tekstur, klinopiroksen, andradite garnet, anortit dan kuarsa menampilkan waktu
prograde dari mineralisasi calc-silika, sementara itu kalsit, zeolit, kuarsa, klorit dan epidot
berhubungan dengan proses retrograde. Mineralisasi bijih ditunjukkan dengan kehadiran
magnetit, pirit dan kalkopirit. Sedangkan secara geokimia, keekonomisan cadangan Skarn
pada Batu Hijau dapat dilihat pada Tabel 3.1
Gambar 3.4 Posisi keterdapatan endapan Skarn pada
Tambang Batu Hijau
Gambar 3.5 Sayatan tipis contoh batuan calc-
silika yang berlapis dengan volkaniklastik
Tabel 3.1 Analisis geokimia dan kandungan senyawa atau
unsur pada batuan calc-silika (Skarn) ( Idrus et al, 2009)
Sebenarnya prediksi keterdapatan batuan Calc-
silika ini berdasarkan data pengeboran dalam, batuan ini
menumpang secara berselang-seling dengan batuan
volkaniklastik andesitik yang kontak dengan tonalit
porfiri kaya akan kandungan emas dan tembaga (
Setyandhaka et al.2008 dalam Idrus et al., 2009). Secara
genetis batuan ini merupakan hasil bentukan
metamorfisme kontak dan metasomatisme batuan
karbonat, termasuk di dalamnya batugamping dan
batugamping dolomit. Walaupun belum ada bukti fisik
nyata yang menghasilkan interpretasi protolith tersebut.
Keterkatitan yang sangat dekat antara batuan Calc-Silika
dengan volkaniklastik andesitik, dilihat dari
komposisinyayang kalsik. Konsentrasi CaO pada batuan
volkaniklastik 5,6-8,3 wt% ( N=6) ( Idrus, 2006 dalam
Idrus et al., 2009). Dengan tambahan data pengamatan
detail dari Proffet (2003) ditemukan keterdapatan oksida
Ti berukuran pasir pada sumur SBD196 (lihat Gambar
3,4), mendukung dugaan protolith berasal dari
volkaniklastik andesitik. Endapan ini terbukti sangat
ekonomis dilihat dari kekayaan unsur logam seperti Fe,
Al, Ti, Mn dan Ca ( lihat Tabel 3.1), sehingga menambah
keekonomisan Tambang Batu Hijau, Sumbawa.
DAFTAR PUSTAKA
Barber, A.J., M.G. Audley-Charles.1976. THE SIGNIFICANCE OF THE METAMORPHIC
ROCKS OF TIMOR IN THE DEVELOPMENT OF THE BANDA ARC, EASTERN
INDONESIA. Amsterdam; Elsevier Scientific Publishing Company,
Budiono, Kris. 2009. Identifikasi longsoran bawah laut berdasarkan penafsiran seismik
pantul di perairan Flores. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 1
Charlton.T.R., A.J. Barber., S.T.Barkham.1991. The Structural Evolution of the Timor
Complex, Eastern Indonesia. London; pergamon press
Hartono, Hill.Gendoet. 2010. Penelitian Awal Gunung Api Purba Di Daerah Manggarai
Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1.
Idrus, Arifudin. Jochen Kolb dan F. Michael Meyer. 2009. Mineralogy, Lithogeochemistry
and Elemental Mass Balance of the Hydrothermal Alteration Associated with the
Gold-rich Batu Hijau Porphiry Copper Deposit, Sumbawa Island, Indonesia.
Resource Geology Vol. 59, No.3 : 215-230.
Idrus, Arifudin. Jochen Kolb, Johan Arif, Dudy Setyandhaka dan Syamsul Kepli. 2009. A
Preliminary Study on Skarn-Related Calc-Silicate Rocks Associated with the Batu
Hijau Porphyry Copper Gold Depost, Sumbawa, Indonesia. Resource Geology Vol.
59, No.3 : 215-230.
Idrus, A., Ati, E. M., Harijoko A., dan Meyer, F. M. 2013. Characteristics and Origin of
Sedimentary-Related Manganese Layersin Timor Island, Indonesia. Indonesian
Journal of Geology
Ishikawa, akira., yoshiyuki keneko., ade kadarusman, tsutomu ota.2007. Multiple
generations of forearc maficultramafic rocks in theTimorTanimbar ophiolite,
eastern Indonesia.; Elsev ier
Milsom, J.2000. Stratigraphic Constraints on suture models for eastern indonesia. London;
Pergamon journal of asian earth science
Villeneuve, Michel, et al. 2009. Deciphering of six blocks of Gondwana origin within
Eastern Indonesia (South East Asia).
Villeneuve, Michel, et al. 2004. New Hyphothesis on the Origin of the Timor Island.
https://www.academia.edu/7756652/Tektonika_dan_Kaitannya_dengan_Keberadaan_Batua
n_Metamorf_di_Pulau_Timor. Diakses 1-04-2015 pukul 20.15