40
BAB I SEJARAH GEOLOGI DAN TEKTONIK LEMPENG Kondisi Geologi Indonesia berada pada zona pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo- Australia, lempeng Eurasia dan lempeng samudra Pasifik. Pada Indonesia bagian barat secara tektonik di dominasi oleh proses subduksi dari lempeng Indo-Australia pada lempeng eurasia. Sedangkan di bagian timur proses tektonik lebih bervariasi selain subduksi dan pergeseran mikrokontinen seperti New Guinea, terjadi pula proses kolisi antara lempeng benua Australia dengan Banda Arc. Pada bagian timur terutama pada sebagaian Banda Arc. Sumba dan Timor memiliki tantanan dan sejarah tektonik yang menarik Secara fisiografis, pada bagian utara berbatasan dengan pulau Jawa, bagian timur dibatasi oleh kepulauan Banda, bagian utara dibatasi oleh laut Flores dan bagian selatan dibatasi oleh Samudra Hindia. Secara geologi nusa tenggara berada pada busur Banda. Rangkaian pulau ini dibentuk oleh pegunungan vulkanik muda. Pada teori lempeng tektonik, deretan pegunungan di nusa tenggara dibangun tepat di zona subduksi indo-australia pada kerak samudra dan dapat di interpretasikan kedalaman magmanya kira-kira mencapai 165-200 km sesuai dengan peta tektonik Hamilton (1979). Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di penggabungan tiga lempeng utama diantaranya lempeng indo-australia, Eurasia dan pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng tersebut menimbulkan kompleks tektonik khususnya di perbatasan lempeng yang terletak ditimur Indonesia. Sebagian besar busur dari kepulauan Nusa Tenggara dibentuk oleh zona subduksi dari lempeng Indo-australia yang berada tepat dibawah busur Sunda-Banda selama diatas kurun waktu tertier yang mana subduksi ini dibentuk didalam busur volcanik kepulauan Nusa Tenggara. Busur volkanik pada bagian timur wilayah sunda secara langsung dibatasi oleh kerak samudra yang keduanya memiliki karakteristik kimia yang membedakanya dari lava pada bagian barat busur Nusa Tenggara. Hal inilah salah satu yang melandasi teori bahwa terdapat mekanisme yang berbeda antara Indonesia bagian barat dengan bagian timur terutama Nusa Tenggara.

Flores

Embed Size (px)

DESCRIPTION

_

Citation preview

  • BAB I

    SEJARAH GEOLOGI DAN TEKTONIK LEMPENG

    Kondisi Geologi

    Indonesia berada pada zona pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo-

    Australia, lempeng Eurasia dan lempeng samudra Pasifik. Pada Indonesia bagian barat secara

    tektonik di dominasi oleh proses subduksi dari lempeng Indo-Australia pada lempeng eurasia.

    Sedangkan di bagian timur proses tektonik lebih bervariasi selain subduksi dan pergeseran

    mikrokontinen seperti New Guinea, terjadi pula proses kolisi antara lempeng benua Australia

    dengan Banda Arc.

    Pada bagian timur terutama pada sebagaian Banda Arc. Sumba dan Timor memiliki

    tantanan dan sejarah tektonik yang menarik Secara fisiografis, pada bagian utara berbatasan

    dengan pulau Jawa, bagian timur dibatasi oleh kepulauan Banda, bagian utara dibatasi oleh

    laut Flores dan bagian selatan dibatasi oleh Samudra Hindia. Secara geologi nusa tenggara

    berada pada busur Banda. Rangkaian pulau ini dibentuk oleh pegunungan vulkanik muda.

    Pada teori lempeng tektonik, deretan pegunungan di nusa tenggara dibangun tepat di zona

    subduksi indo-australia pada kerak samudra dan dapat di interpretasikan kedalaman

    magmanya kira-kira mencapai 165-200 km sesuai dengan peta tektonik Hamilton (1979).

    Lempeng tektonik kepulauan Indonesia terletak di penggabungan tiga lempeng utama

    diantaranya lempeng indo-australia, Eurasia dan pasifik. Interaksi dari ke tiga lempeng

    tersebut menimbulkan kompleks tektonik khususnya di perbatasan lempeng yang terletak

    ditimur Indonesia. Sebagian besar busur dari kepulauan Nusa Tenggara dibentuk oleh zona

    subduksi dari lempeng Indo-australia yang berada tepat dibawah busur Sunda-Banda selama

    diatas kurun waktu tertier yang mana subduksi ini dibentuk didalam busur volcanik

    kepulauan Nusa Tenggara.

    Busur volkanik pada bagian timur wilayah sunda secara langsung dibatasi oleh kerak

    samudra yang keduanya memiliki karakteristik kimia yang membedakanya dari lava pada

    bagian barat busur Nusa Tenggara. Hal inilah salah satu yang melandasi teori bahwa terdapat

    mekanisme yang berbeda antara Indonesia bagian barat dengan bagian timur terutama Nusa

    Tenggara.

  • Gambar 1.1 citra SRTM daerah Indonesia Timur yang menunjukkan kondisi tektonik yang

    komplek yang melibatkan 3 lempeng makro dan beberapa mikrokontinen.

    Menurut Hamilton di bagian barat barisan pegunungan Nusa Tenggara dibentuk pada

    massa Kenozoic. Batuaan Volkanik didalam busur Banda dari kepulauan Nusa Tenggara

    yang diketahui lebih tua dari batuan pada awal miocene, ditemukan pada kedalaman 150 km

    dibawah zona gempa. Wilayah seismic di Jawa terbentang pada kedalaman maksimal 600 km

    ini merupakan indikasi dari subduksi dari sub-ocean lithosfer milik lempeng Australia.yang

    terletak di bawah busur Banda. Pada awal pleistosen di seberang Timor menunjukkan adanya

    tabrakan dari Timor dengan Alor dan Wetar, setelah semua lautan dimusnahkan oleh zona

    subduksi. Ukuran dari deretan kepulauan volkanik perlahan-lahan akan semakin kecil dari

    timur pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa , Flores, Wetar sampai ke Banda. Penurunan ini

    sangat terlihat nyata pada bagian timur Wetar, kemungkinan ini karena pantulan jumlah

    subduksi dari kerak samudra, Yang secara tidak langsung gerakannya berupa dip-slip

    di bagian barat Wetar dan gerakan strike-slip dibagian timurnya. Kemungkinan busur

    vulkanik dibagian timur wetar lebih muda dan kemungkinan busur volkanik yang asli di

    Kolisi

    Subduksi

  • bagian timur Wetar telah disingkirkan oleh pinggiran batas benua Australia. Sesuai dengan

    teori tektonik lempeng, Nusa Tenggara dapat dibagi menjadi menjadi empat struktur tektonik

    yaitu busur belakang yang terletak di laut Flores, busur dalam yang dibentuk oleh kepulauan

    vulkanik diantaranya Bali, Lombok, Sumbawa, Cmodo, Rinca, Flores, Andora, Solor,

    Lomblen, Pantar, Alor, Kambing dan Wetar. Busur volkanik luar yang dibentuk oleh

    kepulauan non-volkanik diantaranya Dana, Raijua, Sawu, Roti, Semau dan Timor, dan

    dibagian depan busur dibagi kedalam dua bagian yaitu inner arc (busur dalam) dan outer arc

    (busur luar) dan bagian dalam ialah lembah yang dalam diantaranya lembah (basin) Lombok

    dan Sawu.

    Gambar 1.2 Proses Tektonik pulau Sumba dan terbentuknya Banda Arc (Satyana, 2012)

    Tektonik Lempeng

    Dari ilustrasi yang disampaikan oleh Soeria-Atmadja et al pada tahun 1998 menceriterakan

    bahwa pada Miosen Awal (45-40 juta tahun yang lalu Sumba merupakan bagian dari

    lempeng benua Eurasia yang mengalami pergeseran akibat adanya dorongan dari arah utara

    kaliamantan yang juga membentuk melange zone pada Kalimantan Tengah. Proses

    pergerakan berlangsung secara segmented sehingga terdapat bagian mikrokontinen yang

    bergerak lebih cepat dari yang lain. Pergerakan ini juga di akibatkan oleh adanya gerak

  • counter clockweis dari kawasan Asia Tenggara. Pada saat awal Sumba mengalami pergeseran

    pada Oligosen Akhir pulau Sulawesi belum terbentuk, hanya terdapat Sulawesi Selatan yang

    memang merupakan bagian dari lempeng eurasia. Sumba terus mengalami pergeseran ke

    Selatan hingga tertahan oleh lempeng Australia. Lempeng Australian. Pada bagian timur

    lempeng Australia mengalami kolisi dengan Banda Arc yang kemudian membentuk pulau

    Timor. Selain terjadi kolisi pada bagian barat terjadi subduksi lempeng indo-australia yang

    menghasilkan busur gunung api pada busur pulau Banda. Seperti Flores dan Sumbawa

    sebagai Island Volcanic Arc.

    Tektonik Sumba

    Sumba memiliki posisi tektonik yang unik pada kompleks Banda Arc. Dari

    kenampakan fisiografisnya Sumba tampak terisolasi dari busur Banda. Pada bagian utara

    dibatasi oleh flores dan sumbawa sebagai fore arc volcanic island. Sedangkan pada bagian

    selatan dibatasi oleh zona kompleks subduksi pada bagian barat dan zona kolisi pada bagian

    timur. Zona subduksi terjadi antara india oceanic crust dan island arc sedangankan zona kolisi

    terjadi antara lempeng benua Australia dengan island arc yang direpresentasikan pada kondisi

    geologi Pulau Timor.

    Hal yang menarik lainnya adalah pulau Sumba memiliki karakteristik deformasi

    berbeda dari Timor, Roti, dan cekungan Savu. Kepulauan dan cekungan di sekitar sumba

    memiliki kondisi tektonik yang kompleks dan deformasi yang intens sebagai bagian dari zona

    kolisi. Sedangkan pada Sumba deformasi yang terjadi tidak intens. Hal ini merupakan salah

    satu yang melandasi munculnya hipotesa bahwa Sumba merupakan mikrokontinen yang

    berasal dari luar komplek zona kolisi.

    Chamalaun et al. (1982) dan Wensink (1994) mengemukakan tiga model geodinamik

    untuk Sumba yaitu sebagai berikut:

    a. Semula Sumba merupakan bagian dari Kontinen Australia yang telah terpisah ketika

    cekungan Wharton telah terbentuk, terapung dan bergerak ke arah utara kemudian

    terperangkap di belakang Palung Jawa bagian timur (Audley-Charles, 1975; Otofuji et

    al., 1981).

    b. Sumba pernah menjadi bagian dari Paparan Sunda yang kemudian terapung dan

    bergerak ke arah selatan selama pembukaan Cekungan Flores (Hamilton, 1979; Von

    der Borch et al., 1983; Rangin et al., 1990)

  • c. Sumba merupakan salah satu mikrokontinen atau bagian dari kontinen yang lebih

    besar di dalam Tethys, yang kemudian terfragmentasi (Chamalaun dan Sunata, 1982).

    Pada tahun 1998 Soeria Atmadja dan kawan-kawan membuat rekonstruksi pergerakan

    Sumba yang menunjukkan bahwa Sumba merupakan pergerakan mikrokontinen bagian dari

    Sundaland yang mengarah ke selatan akibat subduksi pada utara pulau Kalimantan. Segmen

    mikrokontinen Sumba bergerak lebih cepat dan

    Gambar 1.3 Pergerakan detattachment dan emplacement Pulau Sumba (modified after

    Hamilton, 1979 and Burollet and Salle, 1982)

    Tektonik Pulau Timor

    Pulau Timor dianggap sebagai contoh dari kolisi busur benua aktif. Mengacu pada

    Charlton and Wall, kolisi terjadi selama periode Neogene antara Australian passive margin

    dan busur kepulauan yang berlokasi di sekitar Banda arc masa kini. Selama peristiwa kolisi

    ini berlangsung, sebagian besar terranes telah mengalami imbrikasi oleh proses thrusting,

    tertumpuk di bawah dan di depan pre-collisional fore-arc complex. Berdasarkan penelitian

    terbaru yang dilakukan di daratan maupun offshore, menunjukkan bahwa setidaknya terjadi

  • dua peristiwa tektonik utama yang telah dibedakan dari Cretaceous Akhir dan Pliosen

    Tengah. Peristiwa tektonik pertama (1) yaitu thrusting, terjadi pada Eosen/Oligosen Akhir

    yang mana menghasilkan unit allochtonous opfiolitik, metamorfik, dan sedimentary.

    Kemudian, peristiwa tektonik kedua (2) yaitu kolisi antara batas benua Australia dan busur

    kepulauan Banda selama Awal Pliosen paling akhir.

    Gambar 1.4 Model tektonik untuk Pulau Timor (modified from Reed et al, 1996)

    Timor Blok mengalami geodinamika yang sangat panjang dan rumit Sejarah sebagian

    diterbitkan oleh Villeneuve et al. (2004), Harris (2006), Ishikawa et al. (2007) dan Kaneko et

    al. (2007). Model yang diberikan di sini mengasumsikan bahwa bagian awal dari Timor,

    selanjutnya disebut sebagai "Initial Timor blok", yang mana berasal dari selatan, mencapai

    Sunda plate pada Akhir Eosen (37,2 + 0,9 Ma) ketika tutupan ophiolitic, kompleks Mutis

    yang berasal dari basal (153,6 3.4 Ma) mengalami obduksi di atasnya (Sopaheluwakan,

    1990). Kemudian bertabrakan dengan margin aktif Eurasia oleh Oligosen Awal sebelum

    pengendapan batugamping Cablac. Setelah itu, blok Timor terlepas dari lempeng Sunda dan

    pindah ke selatan sampai tabrakan selatan dengan benua Australia pada Pliosen Tengah,

    seperti yang dibuktikan oleh umur diorit dalam seri vulkanik Manamas (10,5 1.2 Ma).

    Sejak saat ini, blok Timor pindah ke utara -timur laut bersama-sama dengan benua Australia

    dan saat ini mengalami backthrusting "South Banda basin". Akibatnya, Timor "Unit

  • allochthonous", dianggap sebagai bagian dari Eurasia margin aktif yang bertambah ke "Initial

    Timor blok" selama kolisi Oligosen dengan lempeng Asia. Lalu Unit Kolbano, outcropping

    di depan zona selatan dari Pulau Timor dianggap bagian dari shelf Australia, digabungkan ke

    daratan Timor selama tabrakan Pliosen Tengah dengan Benua Australia.

    Tektonik Pulau Sumbawa dan Pulau Flores

    Secara fisiografis Pulau Sumbawa dan Pulau Flores memanjang pada arah barat-timur

    dan bersayat oleh perlembahan yang berarah terutama timurlaut-baratdaya dan barat laut-- -

    tenggara. Teluk Saleh merupakan teluk terbesar dan membagi pulau ini atas dua bagian

    utama yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.

    Bagian utara pulau terdiri dari jalur Gunungapi Kwarter dengan puncak tertinggi 2851

    meter diataspermukaan laut (Gunung Tambora). Bagian selatan Pulau Sumbawa terdiri dari

    pegunungan-pegunungan yang kasar dan tak teratur yang disayat oleh sistim perlembahan

    yang berarah timurlaut-baratdayadan timurlaut-tenggara. Daerah telitian termasuk dalam

    bagian selatan pulau yang merupakan perbukitan bergelombang kuat yang kasar dan tidak

    teratur.Struktur geologi dan tektonik Pulau Sumbawa berada di busur kepulauan berarah

    barat-timur akibat penunjaman lempeng Australia terhadap batas kontinen lempeng Indo-

    Pasifikdi selatan Pulau Sumbawa (Hamilton, (1979), dalam Darman dan Sidi, 2000).

    Dengan tatanan dan struktur geologi yang rumit dan komplek sehingga menarik

    perhatian banyak ahli geologi untuk melakukan penelitian seperti Zollanger (1855), Verbek

    (1908), Sepper(1917), Bower (1943),Van Bemmelen (1949), dan Sudradjat, dkk (1998).

    Sumbawa dipercayai merupakan continental yang berasal dari batu sedimen gamping.

    Flores pada bagian utara dibatasi oleh cekungan Flores dan pada bagian selatan

    berbatasan langsung dengan cekungan Savu. Flores merupakan busur magmatik dengan

    banyak gunungapi yang masih aktif. Flores merupakan penghujung timur dari busur

    magmatik Sunda yang membentang dari barat ke timur

  • BAB II

    IMPLEMENTASI SETTING TEKTONIK TERSEBUT DALAM REKAMAN

    PROSES MAGMATISME, METAMORFISME, STRATIGRAFI DAN STRUKTUR

    GEOLOGI

    A. PULAU SUMBA

    Sumba adalah sebuah pulau yang menarik dan masih menjadi perdebatan dari segi

    geologi. Pulau ini unik secara geologi karena memiliki karakteristik yang berbeda

    dibandingkan dengan pulau- pulau didekatnya (di sekitar Nusa Tenggara). Sumba memiliki

    posisi yang khas (lihat gambar 1) terkait dengan busur Sunda-Banda yang merepresentasikan

    sebuah potongan terisolasi dari kerak benua terhadap busur kepulauan vulkanik aktif

    (Sumbawa, Flores) dalam cekungan muka busur, terletak di bagian utara pada transisi antara

    Palung Jawa (bidang subduksi) dengan Timor Trough (bidang kolisi). Hal tersebut tidak

    menunjukkan efek kompresi yang kuat, berbeda dengan pulau-pulau sistem busur sebelah

    luar (Savu, Roti, Timor), sedangkan unit magmatik pulau Sumba menjadi bagian yang

    substansial pada stratigrafi Kapur Akhir hingga Paleogen.

    Secara batimetri, Sumba merupakan punggungan yang memisahkan cekungan muka

    busur Savu (kedalaman > 3000 m) di bagian timur dan cekungan muka busur Lombok

    (kedalaman > 4000 m) di bagian barat. Studi seismik refraksi menunjukkan (Barber et al.,

    1981) bahwa Sumba merupakan kerak benua dengan tebal 24 km (Chamalaun et al., 1981).

    Beberapa ahli berpendapat bahwa Sumba merupakan mikrokontinen atau fragmen kontinen

    (Hamilton, 1979; Chamalaun dan Sunata, 1982; Wensink, 1994, 1997; Vroon et al., 1996;

    Soeria-Atmadja et al., 1998) yang didasarkan pada studi tektonik yang dilengkapi data

    paleomagnetik dan geokimia.

    Chamalaun et al. (1982) dan Wensink (1994) mengemukakan tiga model geodinamik

    untuk Sumba yaitu sebagai berikut:

    a. Semula Sumba merupakan bagian dari Kontinen Australia yang telah terpisah ketika

    cekungan Wharton telah terbentuk, terapung dan bergerak ke arah utara kemudian

    terperangkap di belakang Palung Jawa bagian timur (Audley-Charles, 1975; Otofuji et

    al., 1981).

  • b. Sumba pernah menjadi bagian dari Paparan Sunda yang kemudian terapung dan

    bergerak ke arah selatan selama pembukaan Cekungan Flores (Hamilton, 1979; Von

    der Borch et al., 1983; Rangin et al., 1990)

    c. Sumba merupakan salah satu mikrokontinen atau bagian dari kontinen yang lebih

    besar di dalam Tethys, yang kemudian terfragmentasi (Chamalaun dan Sunata, 1982).

    Gambar1. Tektonik dari busur kepulauan Indonesia bagian timur (modified after

    Hamilton, 1979 and Burollet and Salle, 1982)

    1. Magmatisme

    40K-

    40Ar dating merupakan analisa kimia berdasarkan major and trace elements

    yang digunakan untuk menentukan umur sampel batuan magmatik seperti intrusi

    granodiorit, aliran lava, dan subvulcanic dykes dengan komposisi mafik- intermediet dari

    singkapan di Pulau Sumba. Hasil dari 40

    K-40

    Ar dating ini bahwa aktivitas magmatik

    Pulau Sumba dibagi menjadi tiga periode oleh Abdullah (1994) yaitu Santonian-

    Campanian (86-77Ma), Maastrichtia- Thanetian(71-56), dan Lutetian- Rupelian (42- 31

    Ma). Dimana karakteristik dari tipe magma ini secara umum didominasi oleh seri kalk-

    alkalin (KCA) dan seri minor potasik kalk-alkalin (KCA), dimana seri ini

  • dikarakteristikkan oleh kandungan K2O, Al2O3 (tinggi), dan TiO2 (rendah) yang

    mengidentifikasikan merupakan tipe dari lingkungan busur kepulauan.

    1.1. Santonian- Campanian episode (86-77Ma)

    Hasil dari episode magma ini merupakan penyusun Formasi Masu di Sumba

    Timur (Effendi and Apandi, 1994), dan mengandung kumpulan dari pyroclastic breccia,

    tuff, dan lav flow, yang diterobos oleh granidiorite. Komposisi dari tubuh batuannya

    (major trace element) merupakan tipikal kalk-alkalin potasik kalk-alkalin dan tidak

    ditemukannya unsur Nb, Zr, dan Ti yang menunjukkan anomali dari busur vulkanik. K-

    Ar menunjukkan umur dari intrusi granit 83,71,8 Ma dan 85,4 1,6 Ma, dimana batuan

    vulkaniknya (basalt, basaltik-andesit, andesit) memberikan umur 77,21,8Ma, 78,61,7

    Ma, 82,61,9 Ma, 85,42 Ma, dan 85,92,0 Ma.

    1.2. Maastrichtia- Thanetian episode (71-56)

    Magma tipe ini terdapat pada daerah Tanadaro, Waikabubak Timur, dan

    sepanjang pantai Waikabubak bagian tenggara. Batuan penyusun umumnya intrusi

    granodioritik dan andesitik dan volcanic unit dengan komposisi utama basaltik.

    1.3. Lutetian- Rupelian episode (42- 31 Ma)

    Hasil dari tipe magma berupa endapan volkanik dan sedimen neritik ini

    menyusun kompleks volkanik Lamboya dan Jawila (Wesink and Van Bergen, 1995) di

    Sumba Barat. Umur K-Ar berkisar 42,3 3,2 Ma sampai 31,4 1,1 Ma. Terdapat fase

    dimana tidak terdapat magmatic event pada 42, 37, dan 31 Ma. Unit volkanik meliputi

    porphyritic baslat, basaltic- andesit, dacitic flow, dan pyroclastic deposit denga fenokris

    20-30%. Fenokris nya tersusun atas plagioklas, klinopiroksen, hornblende, magnetit, dan

    kadang muncul alterasi olivin. Massa dasar menunjukkan tekstur intergranular dengan

    plagioklas, granodiorit, klinopiroksen, olivin atau fluidal textur. Batuan dengan tipe

    magma ini mengandung unsur kimia low- K hingga medim-K kalk-alkalin dengan

    kandungan light rare earth element (Rb, Ba, dan K) dan negatif anomali Nb, Zr, Ti.

    Neogen merupakan periode ketika transgresi tersebar luas, dengan endapan volkanik

    turbidit yang sama dengan cekungan Lombok dan Sawu forearc. Dimana ketika ini Sumba

    telah berada pada posisi dalam forearc basin pada sistem busur Sunda- Banda.

  • 2. Metamorfisme

    Metamorfisme pada daerah ini tidak begitu berkembang karena daerah ini merupaka

    hasil dari kolisi antara kerak Benua dan kerak Benua. Dimana pada pulau Sumba terjadi

    proses metamorfisme tingkat rendah pada seri Mesozoikum .

    3. Stratigrafi

    Stratigrafi Sumba telah banyak didiskusikan oleh para ahli yaitu: van Bemmelen,

    1949; Laufer dan Kraeff, 1957; Burollet dan Salle, 1982; Chamalaun et al., 1982; Von der

    Borch et al., 1983; Fortuin et al., 1992; Effendi dan Apandi, 1994; Abdullah, 1994; Fortuin et

    al., 1994, 1997. Pulau Sumba tersusun dari sedimen tidak termetamorfosis hingga sedikit

    termetamorfosis berumur Mesozoikum, secara tidak selaras dilapisi oleh endapan berumur

    Tersier dan Kuarter yang sedikit sekali terdeformasi; ketebalan total mencapai lebih dari 1000

    m (van Bemmelen, 1949). Teras-teras terumbu karang yang menutupi tepi bagian yang

    mengarah ke laut dari Formasi Sumba berumur Neogen, hampir secara kontinu tersingkap ke

    permukaan di sepanjang pantai barat, pantai utara dan pantai timur Sumba (Hamilton, 1979).

    3.1. Seri Mesozoikum

    Batuan berumur Mesozoikum tersingkap ke permukaan terutama di sepanjang pantai

    seperti halnya pada bagian selatan dari Sumba Barat (Patiala, Wanokaka dan Konda Maloba)

    dan pada bagian selatan dari Pegunungan Tanadaro (Sungai Nyengu dan Labung). Tipe

    sedimen pada seri ini berupa batulanau karbonatan dengan batulempung vulkanogenik,

    namun terkadang juga menunjukkan gejala-gejala metamorfisme tingkat rendah, berlapis

    dengan batupasir, konglomerat, batugamping, dan runtuhan vulkaniklastik. Secara

    keseluruhan terpotong oleh intrusi berumur Kapur Akhir dengan kisaran komposisi dari

    mikrogabro hingga diorit-kuarsa, dan juga oleh dike granodioritic serta kalk-alkalin berumur

    Paleogen. Pada tipe sedimen ini menunjukkan struktur slump berskala besar dan perekahan

    yang kuat, sedimen tersebut merupakan Formasi Lasipu (Prasetyo, 1981). Kumpulan

    mikrofosil di dalam beberapa sampel mengindikasikan umur Coniacian hingga Campanian

    Awal (Burollet dan Salle, 1982); banyak Inoceramus sp. hadir. Material-material detrital

    salah satunya memberikan kesan asal-muasal dari kontinen, atau lingkungan busur

    kepulauan; hal tersebut tampak terlihat pada kipas bawah laut berumur Mesozoikum dengan

    endapan laut dangkal (Von der Borch et al., 1983) atau lingkungan batial laut terbuka

    (Burollet dan Salle, 1982).

  • 3.2 Seri Paleogen

    Selama Paleogen, Sumba merupakan bagian dari busur magmatik yang dikarakterisasi

    oleh seri batuan vulkanik kalk-alkalin (Sumba Barat) dan sedimen laut dangkal. Endapan

    yang menyusun seperti tuf, ignimbrit, greywackes, sisipan batugamping foraminifera, napal,

    mikro-konglomerat dan batulempung. Batuan tersebut secara tidak selaras dilapisi batuan

    berumur Mesozoikum dan bergiliran secara tidak selaras dilapisi oleh Seri Neogen.

    3.3 Seri Neogen

    Seismik refleksi lepas pantai menunjukkan sedimen laut dalam berumur Neogen

    membentuk sikuen sedimenter awal dari cekungan muka busur yang menghilang ke arah

    punggungan (Fortuin et al., 1992; Van der Werff et al., 1994a, b; Van der Werff, 1995;

    Fortuin et al., 1997). Kejadian mereka merefleksikan posisi stabil dari Punggungan Sumba di

    dalam cekungan muka busur sejak inisiasi sistem palung-busur Sunda selama Oligosen Akhir

    dan Miosen Awal (Silver et al., 1983; Reed, 1985; Barberi et al., 1987). Sedimen Neogen di

    Sumba memperlihatkan dua fasies yang berbeda: pada bagian barat, mereka

    direpresentasikan kebanyakan oleh batugamping terumbu, batugamping bioklastik,

    batugamping chalky dan napal, berlapis dengan napal tufaan, sedangkan sedimen dari bagian

    timur Sumba didominasi endapan turbidit vulkanik dengan perlapisan kapur pelagic dan

    batugamping chalky (Fortuin et al., 1994). Pada bagian pusat Sumba, fasies sedimenter

    tersebut menunjukkan hubungan menjari. Batuan tersebut umumnya tidak terganggu secara

    tektonik.

    3.4 Seri Kuarter

    Keseluruhan pulau telah mengalami pengangkatan dengan cepat terhadap elevasinya

    sekarang, seperti yang diindikasikan oleh teras-teras berumur Kuarter yang mencapai

    ketinggian tidak kurang dari 500 m (Jouannic et al., 1988), dengan kecepatan rata-rata 0.5

    mm/tahun pada bagian utara dan tengah Sumba (Pirazzoli et al., 1991). Teras-teras tersebut

    terdiri dari batupasir, konglomerat, napal dan batugamping terumbu menonjol yang secara

    tidak selaras dilapisi sedimen berumur Neogen dengan kemiringan relatif tidak curam di

    sepanjang pantai barat, pantai utara dan pantai timur. Secara lokal, endapan berumur Kuarter

    diendapkan secara tidak selaras di atas batuan berumur Mesozoikum di sepanjang pantai

    baratdaya.

  • 4 Struktur

    Struktur geologi Sumba yang ada menunjukkan bahwa pulau ini dihasilkan dari

    deformasi tektonik yang lemah. Bukti dari lipatan intensif atau kolisi adalah sedikitnya

    variasi batuan pada Late Cretaceous Neogene. Kecuali untuk seri kompresif minor pada Lte

    Paleogen, Sumba mengalami rezim tektonik ekstensional (Abdullah, 1994) :

    Pada 62 Ma, lempeng Indo- Australia bergerak ke Utara 15-20 cm/ tahun dan subduksi

    dengan Lempeng Eurasia (Sunda microcontinent) menghasilkan formasi busur magmatik

    kalk- alkalin Sumatra, bagian barat dari Jawa, Sumba, dan Sulabesi Barat. Antara 55- 50 Ma

    (Early Eocene0, lempeng Eurasia mengalami rezim ekstensional. Rifting, dimulai pada

    Paleosen berkembang hingga spreading, dikarenakan memisahnya Kalimantan dan Sulawesi

    Barat. Pembukaan berlanjut sampai Late Eocene (45- 40 Ma), dengan pergerakan lempeng

    Indo- Australia berkurang dari 11 cm/ tahun menjadi 6 cm/ tahun pada Oligosen (32- 30 Ma).

    Kecepatan pergerakan lempeng yang berkurang ini diakibatkan oleh fenomena roll- back

    (Dewey, 1980) pada overriding plate (Sundaland), dengan pergerakan ke arah selatan busur

    magmatik. Rotasi anticlockwise Kalimantan menghasilkan kompresi di laut china selatan,

    terjadi subduksi ke selatan dan berkembangnya busur magmatik Kalimantan Barat. Ketika

    Sulawesi Timur (lempeng Pasifik) subduksi ke arah selatan, dengan berkembangnya busur

    magmatik Paleogen di Sulawesi Utara.

    Ketika Miosen, kecepatan pergerakan Lempeng Indo- Autralia konstan pada 6 cm/ tahun,

    saat itu intensitas dari spreading menjadi lebih kuat di back arc basin, berpindahnya Sumba

    bagian tenggara menjadi jebakan antara busur magmatik dan Sunda Trench. Di Jawa busur

    magmatik bergerak ke utara pada Late Miocene sampai Neogene busur Sunda- Banda. Pada

    waktu yang sama Sumba juga telah terjebak/ terperangkap di bagian outer- arc basin dan

    bergabung dengan endapan turbidit vulkanikalstik dan karbonat. Akhirnya, pada Pliosen

    kecepatan pergerakan lempeng Australia meningkat menjadi 6- 7 cm/ tahun, kompresi aktif

    pada lempeng Eurasia. Selama beberapa juta tahun kolisi terjadi di Indonesia timur dengan

    usur kepulauan, termasuk fragmen kontinen Sumba dan kerak kontinen Australia,

    menghasilkan uplift dari Sumba, Savu, Roti, dan Timor. Lanjutan dari uplift ini dibuktikan

    oleh Quarternary reef limestone terrace di pulau tersebut.

  • Pulau Sumba memiliki kesamaan dengan sabuk magmatik Sulawesi bagian Selatan-Barat

    (van Leeuwen, 1981: Simandjuntak, 1993, dll), (a) dimana keduanya memiliki tipe Late

    Cretaceous- Paleocene magmatism dan stratigrafi yang sama sehingga mendukung bahwa

    Sumba merupakan bagian dari busur magmatik Andean dekat dengan sabuk Sulawesi Barat

    dan pantai tenggara Kalimantan pada batas lempeng Asia. Selain itu, pada Late Cretaceous

    Banda Allochthon pada posisi berada di utara busur Sunda menunjukkan WNW- ESE left

    lateral strike slip fault dengan lepasnya bagian timur busur Sunda. Sesar ini dihasilkan oleh

    pergerakan lempeng pasifik. (b) Kemudian, ketika Paleogen tingkat pergerakan dari lempeng

    Indo- Australia berkurang, yang menunjukkan generasi back arc basin dan formasi marginal

    sea. Back arc berkembang menghasilkan migrasi Sumba ke arah Selatan. (c) Migrasi ke

    selatan ini diperkuat dengan data paleomagnetik baru (Wensink, 1994). Dari Neogen hingga

    Kuarter pulau Sumba terperangkap dalam forearc basin di depan busur volkanik Sunda

    bagian Timur. (d) Selanjutnya, terjadi kolisi antara Australia dengan busur Banda yang

    berarah Utara- Barat sehingga menyebabkan Sumba uplifed atau terangkat 0,5 mm/tahun

    dengan ditemukannya reef limestone terrace.

  • 5. Kesimpulan Pulau Sumba

    Berdasarkan data paper yang didapatkan bahwa Pulau Sumba merupakan pulau yang

    terbentuk dan merupakan bagian dari paparan Sunda. Hal tersebut didasarkan pada:

    A. Urutan stratigrafi Sumba pada Paleogen sama dengan urutan stratigrafi

    Sulawesi Selatan (Burollet & Salle, 1981; Simandjuntak, 1993).

    B. Extruded magma Sumba yang berumur Late Cretaceous-Paleogen mirip secara

    petrokimia dan geokronologi dengan arc volcanism di tepi Sundaland

    (Abdullah, 1994, 2010).

    C. Data paleomagnetik Sumba dari Late Cretaceous sampai Paleogen

    menunjukkan posisi Sumba pada Late Cretaceous ada di 18.3 N, pada

    Paleosen ada di 7.4 N dan pada Miosen Awal di posisinya sekarang di 9.9 S

    (Wensink, 1994).

    D. Data isotop Pb-Nd batuan Sumba menunjukkan karakteristik yang sama

    dengan data isotop batuan di Sulawesi (Vroon et al, 1996). (5) Sumba

    mengandung foram besar yang khas foram besar Eosen yang hidup di wilayah

    tropis, yaitu Assilina, Pellatispira, dan Biplanispira; dan tak pernah ditemukan

    foram besar wilayah subtropis yang khas Australia yaitu Lacazinella (Lunt,

    2003).

  • B. Pulau Timor

    Model struktur geologi dipulau timor dapat dibagi menjadi 3 yaitu imbricate, overthrust

    dan rebound model.

    a. Imbricate model, timor diinterpretasikan sebagai kumpulan dari naterial yang

    imbricated dan chaotic yang berada pada hanging wall dari zona subduksi.

    Kteredapatan struktur yang chaotic pada timor diinterpretasikan sebagai zona

    melange. Akibat adanya timor trough yang berada pada bagian selatan dari timor

    menghasilkan zona melange yang mengahsilkan model struktur yang imbricated dan

    chaotic

    b. Overthrust model, pada awalnya timor di interpretasikan sebagai produk plate

    tektonik. Lalu di ketahui bahwa timor sendiri terbentuk akibat adanya sesar naik yang

    berupa thrust fault termasuk di dalamnya material samudra maupun benua yang

    tersesarkan kemudan naik terhadap batas kerak australia. Perbedaan yang cukup jelas

    bahwa dibentuk oleh model overthrust antara parautochthonous terhadap kerak

    australia dan allochtonus yang bukan berasal dari kerak australia.

    c. Rebound model, model ini menunjukan batas kerak autralia yang memasuki subduksi

    busur banda, subduksi ini menghasilkan isostasi pada daerah timor through diamana

    isostasi ini menyebabkan terbentuknya model rebound yang terjadi pada batuan yang

    ductile yang juga dikontrol oleh steepfault.

    Implikasi setting tektonik terhadap proses metamorfisme adalah munculnya 3 group

    umum dari batuan metamorf pada timor

    1. High-grade metamorphic

    Batuan metamorf yang emiliki grade paling tinggi adalah garnet meta-anorthosite

    yang berada pada bagian barat timor, kehadiran mineral garnet menunjukan bahwa batuan ini

    berada pada fasies granulite yang termetamorfisme pada suhu dan tekanan yang tinggi. Selain

    dari fasies granulit pada group ini terdapat batuan metamorf dari fasies amphibolite. Pada

    batuan di group ini batuan yang menunjukan tekstur high pressure terbentuk dahulu

    kemudian baru bataun yang bertekstur low pressure. Batuan metamorf pada group ini

    menunjukan fragmen yang berasal dari kerak enua tua dan pembentukan dari garnet dari

    group ini membutuhkan tekanan lebih besar dari 5 kbar dan terbentuk pada kedalaman sekitar

    15-20 Km

  • 774

    2. Fasies Greenschist

    Batuan pada fasies ini terbentuk akibat adanya replacement mineral mineral high

    grade dengan mineral mineral yang memiliki grade dibawahnya seperti mmineral albit,

    epidote, klorit dan actinolit. Juga ditemukannya relict dai garnet yang menunjukan grade

    semula dari batuan metamorf ini menunjukan grade tinggi selain itu mineral glaucopan juga

    menunjukan metamorfisme grade tinggi.

    3. Slate

    Batuan pada group ini tersebar pada bagian utara dari pulau timor, metamorfisme dari

    group ini menunjuka metamorfisme terhadap batugampin dan batuan vulkanik yang berumur

    permian dan batuan metamorf yang terbentuk diantranya slate atau batu sabak, sekis mika

    dan gneiss

    Implementasi setting tektonik terhadap stratigrafi

    Stratigrafi daerah timor merupakan hal yang cukup menarik sebab pulau timor sendiri

    merupakan pulau yang terbentuk akibat pertemuan antara kerak yang berasal dai australia

    dengan kontinen yang ada diindonesia, dengan begitu akan ada dua stratigrafi yang cukup

    berbeda diakrenakan berbedanya lingkungan pengendapan dari dua daerah yang bertemu

    tersbut. Stratigrafi pada timior dibagi menjadi 2 yaitu allochthon dan parautochthon

    a. Allochthon

    Merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan urut-urutan batuan yang

    terbentuk pada daerah sumba dan sulawesi dengan. Dengan daerah daera yang

    termasuk allochthon mutis complex, palelo group (formasi noni, hanulasi, metan),

    batugamping cablac dan vulkanik ocussi.

    b. Parautochhon

    Merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan batuan yang berada di timor

    terbentuk pada daerah lain dalam hal ini australia. Batuan paparan australia yang

    tersingkap ditimor dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kekneno dan kolbano. Batuan

    pada jenis ini memiliki umur mulai dari permian hingga paleogen

  • Implikasi setting tektonik terhadap magmatisme pada timor

    Akibat pulau timor ini telah measuki fase kollisi sehingga akan muncul kepermukaan

    kerak samudra serta mantel bagian atas kepermukaan atau yang sering disebut sebagai

    serie ofiolit, oleh karena itu batuan beku yang banyak muncul adalah batauan beku

    ultramafik hingga mafik dan paling asam adalah batuan beku intermediet. Ditambah

    lagi pulau timor ini awalnya merupakan island arc sehingga magma sulit untuk

    terdifferensiasi menjadi leih asam. Batuan beku yang terdapat pada timor bermacam

    macam diantaranya adalah seperti dibawah ini.

    a. Peridotite, ,merupakan batuan beku ultramfik yang biasanya menyusun mantel

    bumi, peridotit ini irip dengan peridotit yang tedapat di abyssal. Peridotit disini

    dapat tersingkap akibat adanya ofiolit yang menyebabkan tersingkapnya kerak

    samudra dan juga mantel bagian atas

    b. Hasil kristalisasi magma. Batuan beku memiliki jenis gabbro namun gabro disini

    berbeda dengan gabro yang terbentuk pada zoan pemekaran tengah samudra dan

    juga terbentuk basalt. Dan juga telah diinterpretasikan bahwa pembentukannya

    berkaitan dengan busur kepulauan paragenesis.

    c. Batuan vulkanik, batuan ini mengisi bagian paling besar dari series ofiolit dan

    memiliki afinitasnya berupa thoelitic. Batuan beku yang muncul pada group ini

    adalah andesit

    C. PULAU SUMBAWA

    Apabila dilihat dari implementasi setting tektonik terhadap rekaman proses

    magmatisme, metamorfisme, stratigrafi, dan struktur geologi. Pertama adalah struktur geologi

    dan stratigrafi dari Pulau Sumbawa, struktur geologi yang berkembang dari Pulau Sumbawa

    sendiri sangat berkaitan dengan penunjaman Lempeng Hindia yang memiliki arah utara

    timur laut yang menerus dari Pulau Sumatera hingga Pulau Jawa dan menerus ke arah timur

    hingga membentuk Busur Kepulauan Banda yang terbentuk pada masa Kenozoikum yang

    ditandai dengan kehadiran dari batuan gunung api kalk-alkalin dari busur Banda yang masih

    aktif hingga sekarang oleh batuan sedimen pinggiran benua yang terletak diatas batuan

    metamorf. Pulau pulau vulkanik yang berada di sebelah timur dari Pulau Sumbawa sendiri

    disebut sebagai Busur Banda. Batas antara Busur Sunda dengna Busur Banda dinamakan

    Sumba Fracture oleh Audley-Charles (1975).

  • Pada daerah Sumbawa salah satunya adalah daerah Batu Hijau. Pada daerah ini terdiri

    dari struktur yang memiliki arah Barat Barat Laut yang merupakan Zona Sesar Tongkoloka

    Puna, Katala, dan Petung, serta struktur yang berarah Utara Timur Laut yaitu Zona

    Pataham Nono, Bambum dan Rene. Secara umum, patahan patahan tersebut hanya sedikit

    mengakibatkan adanya penggantian dari zonasi alterasi dan zonasi mineralisasi.

    Zona Sesar Tongoloka-Puna terdiri dari pusat tubuh bijih, panjang kurang lebih 400 m

    dengan arah barat-baratlaut, kemiringannya 600-70

    0. Endapan yang terletak pada timurlaut

    yaitu Zona Sesar Katala, panjangnya kurang lebih 525 m dengan arah barat-baratlaut. Batas

    selatan terjadi pada bagian tenggara dari endapan dengan arah utara-timurlaut dan

    kemiringannya 750-80

    0 ke arah tenggara. Urat urat dan dike kecil pada peta permukaan

    menunjukkan pola yang sama dengan struktur berarah timurlaut.

    Berdasarkan proses mineralisasi, batuan di Batu Hijau dapat dibedakan menjadi dua,

    yaitu batuan pra-mineralisasi dan batuan host-mineralisasi. Batuan pra-mineralisasi

    mendominasi penyebaran litologi pada area penambangan, yang terdiri atas batuan volkanik,

    intrusi andesit, dan intrusi diorite. Batuan yang berperan dalam mineralisasi (host-

    mineralisasi) tersusun atas batuan intrusi tonalit. Batuan pra-mineralisasi di Batu Hijau

    berumur pertengahan Miosen Awal hingga pertengahan Pliosen Awal, sedangkan batuan

    host-mineralisasi berumur pertengahan Pliosen Tengah (Garwin, 2000).

    Stratigrafi daerah Batu Hijau dimulai dari satuan batuan yang paling tua ke muda

    adalah Satuan Batuan Vulkanik, Satuan Andesit Porfir, Satuan Diorit, dan Satuan Tonalit.

    Satuan Batuan Vulkanik terdiri dari batuan volkaniklastik berukuran halus (tuf halus), tuf

    kristal, dan intrusi andesit porfiritik. Intrusi kedua adlaah diorite kuarsa porfitik dan diorite

    kuarsa ekuigranular. Semua seri batuan ini diintrusi oleh batuan tonalit tua dan batuan tonalit

    muda (Garwin, 2000). Urutan pembentukan batuan didasarkan pada hubungan potong-

    memotong antar batuan.

  • Kolom stratigrafi satuan litologi di daerah Batu Hijau (Garwin, 2000)

  • Peta Geologi area penambangan terbuka Batu Hijau

  • 1. Satuan Tuf Andesitik

    Tuf andesitic merupakan litologi yang paling dominan di Batu Hijau. Batuan ini memiliki

    ketebalan batuan lebih dari 1500 m. Satuan tuf andesitic ini terdiri atas dua unit batuan

    utama, yakni tuf halus dan tuf kristal. Kontak antara dua unit batuan tersebut berisfat

    gradasional (Garwin, 2000).

    Secara makroskopis, kenampakan batuan secara umum berwarna abu-abu gelap,

    berstruktur masif, dengan komposisi yang dominan adlah kristal dan litik yang berupa

    batulempung tufaan, batupasir, breksi, dan konglomerat. Tuf halus yang berada di bagian

    bawah tersusun oleh batulempung tufaan, batupasir, dan breksi dengan ketebalan 150-200

    m(Gerteisen, 1998). Pada area tambang, tuf halus ini tersusun oleh 10-20% pecahan

    plagioklas dan hornblende serta litik berukuran

  • tidak memiliki perlapisan dan memiliki pemilahan yang buruk. Massa dasar dari unit ini

    mengandung butir berukuran lempung, material gelasan, dan hancuran fragmen kristal

    (Garwin,2000) menginterpretasikan bahwa unit batuan ini berumur Miosen awal

    Miosen tengah, diendapkan pada daerah fore arc dalam lingkungan bawah laut.

    Ketidakhadiran aliran lava dala unit batuan ini mengindikasikan bahwa sumber erupsi

    jauh dari daerah Batu Hijau. Pengendapan unit Tuf andesitic tersebut seiring dengan

    aktivitas volkanik andesitic yang terjadi di daerah ini.

    Pada bagian atas dari tuf kristal terdapat batuan aglomerat dengan fragmen berukuran

    bongkah yang tertanam dlaam matriks tuf litik kristal. Unit batuan aglomerat hanya

    memiliki jumlah kecil di area penambangan. Unit aglomerat ini kemungkinan diendapkan

    sebagai endapan laharik dalam lingkungan pengendapan subaerial dan subaquaeous.

    2. Satuan Diorit

    Batuan ini berumur lebih muda dari batuan andesit porfir dan secara geokimia memiliki

    keasaman kandungan K2O < 0,8% dan secara tekstural menunjukkan tekstur porfiritik

    hingga ekuigranular (Mitchell dkk, 1998). Secara umum, intrusi diorite di Batu Hijau

    dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

    a. Diorite kuarsa ekuigranular

    Diorite kuarsa ekuigranular merupakan intrusi pra-mineralisasi terbesar. Secara

    regional batuan ini memotong batuan andesit porfiritik dan diorite kuarsa porfiritik.

    Batuan ini berbutir halus-sedang, tekstur ekuigranular, holokristalin. Fenokris

    berukuran 1-3 mm berupa plagioklas, hornblende, dan kuarsa. Massa dasar berupa

    mikrokristalin kuarsa dan plaigoklas.

    b. Diorite kuarsa porfiritik

    Diorite kuarsa porfiritik merupakan batuan masif dengan tekstur porfiritik. Unit ini

    sudah teralterasi kuat, berbutir halus-sedang, massa dasarnya berupa plagioklas,

    kuarsa, hornblende dengan fenokris berupa plagioklas, hornbleda, dan biotit. Di area

    penambangan batuan ini membentuk stock dan beberapa dike kecil.

    3. Satuan Tonalit Porfir

  • Batuan tonalit porfir menerobos kontak antara batuan vulkanik dengan batuan diorite

    kuarsa ekuigranular. Batuan ini membentuk stock dan dike yang semakin melebar ke

    dalam dan menyempit kea rah permukaan. Batuan tonalit merupakan batuan pembawa

    mineralisasi di endapan porfiri Cu-Au Batu Hijau. Pada daerah penelitian, intrusi tonalit

    ini terbagi menjadi dua, yaitu tonalit tua dan tonalit muda, berdasarkan hubungan potong-

    memotong dan perajahan radiometric (Garwin, 2000). Kedua intrusi ini mempunyai

    kesaam komposisi dan fenokris, perbedaannya terletak pada umur, presentase urat kuarsa,

    kelimpahan dan ukuran fenokris kuarsa, serta kadar Cu dan Au-nya. Kedua unit batuan

    tersebut memiliki umur yang berdekatan yaitu tonalit tua, sedangkan tonalit muda.

    Menurut Mitchell, dkk(1998), tonalit tua dan tonalit muda mempunyai karakteristik:

    a. Tonalit teralterasi kuat

    Batuan ini bertekstur porfiritik, berukuran butir halus-sedang, fenokris berupa kuarsa

    berukuran 0,7 1 mm dengan kelimpahan lebih dari 20%, bentuk kristal umumnya

    subhedral anhedral, dengan massa dasar yang ekuigranular tersusun oleh kuarsa,

    hornblende, dan plagioklas. Dalam sayatan tipis, dapat terlihat bahwa plagioklas

    dalam batuan ini diidentifikasi sebagai oligoklas, dan beberapa andesine. Plagioklas

    ini secara intensif telah terubah dan terpotong oleh urat kuarsa. Mineral mafik

    sebagian besar telah terubah menjadi biotit sekunder dan klorit. Satuan batuan ini

    didaerah penelitian disertakan dengan tonalit tua.

    b. Tonalit teralterasi lemah

    Tonalit muda merupakan satuan intrusi batuan yang termuda di Batu Hijau. Menurut

    Mitchell, dkk (1998), tonalit muda berwarna abu abu terang, dengan ukuran butir

    sedang kasar, dicirikan dengan tekstur porfiritik, fenokris berupa kuarsa (5-10mm),

    plagioklas, dan hornblende (2-10mm), dengan massa dasar yang ekuigranular,

    berukuran kasar sedang. Fenokris hornblende yang berukuran cukup besar membuat

    tonalit muda mudah dikenali. Perbedaan antara tonalit muda dengan tonalit tua adalah

    kehadiran kuarsa (fenokris) yang relatif lebih kasar dan bentuk kristal rounded

    bipiramid. Mineral mafik hadir lebih sedikit dalam tonalit muda dengan massa dasar

    yang relatif lebih kasar dari tonalit tua. Hornblende hanya mengalami perubahan

    menjadi mineral biotit sekunder dalam jumlah kecil. Urat urat kuarsa sangat jarang

    dijumpai.

  • Pada Pulau Sumbawa proses magamtismenya terjadi pada saat adanya intrusi dari

    ekuigranular kuarsa diorit yang memotong batuan andesit, intrusi andesit, dan diorite kuarsa

    porfiritik. Hal ini yang mengindikasikan bahwa intrusi diorite yang paling muda

    dibandingkan dengan batuan lainnya pada daerah tersebut. batuan dinding ini diintrusi oleh

    setidaknya dua tonalit porfiri yang memiliki perbedaan tekstur.

    D. PULAU FLORES

    MAGMATISME

    Flores pada bagian utara dibatasi oleh cekungan Flores dan pada bagian selatan

    dibatasi oleh cekungan Savu yang merupakan busur magmatik dengan 13 gunung berapi

    yang masih aktif. Flores merupakan penghujung timur dari busur magmatik Sunda yang

    membentang dari barat ke timur (Sumatra, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa).

    Berdasarkan analisis stratigrafi dan analisis magmatis, flores terbentuk dari dua siklus,

    yaitu:

    1. Siklus Oligosen - Miosen Tengah-Miosen Atas

    Siklus ini dicirikan oleh volkanik Timur-Barat (Formasi Kiro)

    2. Siklus Miosen Akhir Plioquarter

    Dicirikan dominasi batuan volkanik dimana dari sample batuan magmatik,

    dengan beberapa diantaranya merupakan batuan grano-dioritik.

    Berdasarkan dua siklus tersebut, memperlihatkan bahwa keduanya merupakan

    magmatisme orogenik busur kepulauan yang berkaitan dengan subduksi. Dari sudut

    pandang regional dan temporal, busur magmatik Flores bermula pada saat busur

    magmatik Sumba mengakhiri aktivitasnya. Pada kala Oligosen, Sumba meninggalkan

    posisinya di busur magmatik untuk selanjutnya berada pada posisi cekungan muka-busur

    luar, dan semenjak itulah Flores muncul menggantikannya sebagai busur magmatik.

    METAMORFISME

    Metamorfisme di Pulau Flores kemungkinan juga terjadi karena adanya

    evolusi tektonisme dari Zona Subduksi Flores-Wetar menjadi zona tumbukan antara

    Zona Subduksi Flores-Wetar dan Lempeng Kontinen Australia yang kemudian

  • membentuk lingkungan dengan tekanan dan temperatur metamorfisme pada fasies skiss

    hijau hingga amfibolit.

    STRATIGRAFI

    Stratigrafi atau urut-urutan litologi yang menyusun Pulau Flores secara umum dari tua

    ke muda menurut Koesoemadinata et al. (1994):

    1. Formasi Kiro

    2. Formasi Nangapanda, Formasi Bari, Formasi Tanahau

    3. Intrusi Granit

    4. Intrusi Diorit

    5. Formasi Waihekang, Formasi Laka

    6. Endapan Gunungapi tua

    7. Endapan Gunungapi muda

    Formasi Kiro (Tmk) berumur Miosen Awal, kemudian menumpang menjari di

    atasnya Formasi Nangapanda (Tmn), Formasi Bari (Tmb), Formasi Tanahau (Tmt)

    berumur Miosen Tengah, selanjutnya diterobos batuan granit (Tmg) dan batuan diorit

    (Tmd) berumur Miosen Akhir. Setelah itu berkembang di atasnya Formasi Waihekang

    (Tmpw) yang menjari dengan Formasi Laka (Tmpl) berumur Pliosen, dan kemudian

    ditutupi oleh produk kegiatan gunung api tua (QTv) berumur Pleistosen. Secara tidak

    selaras di atasnya diendapkan kelompok batuan dan endapan paling muda atau sekarang

    masih berlangsung pembentukannya yang diwakili oleh batuan gunung api muda (Qhv),

    undak pantai (Qct), batugamping koral (Ql), dan aluvium (Qal).

  • Gb. Stratigrafi pulau Flores, Nusa Tenggara pada lembar Ruteng (Koesoemadinata et al.

    1994).

    STRUKTUR GEOLOGI

    Struktur geologi pulau flores masuk ke dalam tektonik kepulauan Nusa Tenggara.

    Kepulauan Nusa Tenggara terletak pada dua jalur geantiklin yang merupakan sambungan

    dari bagian barat busur Sunda-Banda. Pulau flores masuk dalam busur tersebut. Wilayah

    kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya merupakan bagian dari kerangka sistem

    tektonik Indonesia. Daerah ini termasuk dalam jalur pegunungan Mediterania dan berada

    pada zona pertemuan lempeng. Pertemuan lempeng ini bersifat konvergen. Kedua

    lempeng tersebut saling bertumbukan sehingga salah satu lempeng tersebut menyusup ke

    bawah lempeng Eurasia. Akibat adanya tumbukan ini, terbentuklah suatu palung laut

    yang lebih dikenal sebagai Timor through pada sebelah selatan pulau timor.

    Pergerakan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia mengakibatkan daerah

    kepulauan Alor sebagai salah satu daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang cukup

    tinggi di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas tumbukan lempeng (plate

    collision). Pergerakkan lempeng ini menimbulkan struktur-struktur tektonik yang

    merupakan penciri dari sistem tektonik Subduksi, yaitu: Benioff zone, palung laut,

    punggung busur luar, cekungan busur luar, dan busur gunungapi. Pada pulau Flores,

    Back arc thrust membujur di sepanjang laut flores sejajar dengan busur kepulauan bali

  • dan nusa tenggara. Adanya hal tersebut membentuk adanya suatu sesar naik pada bagian

    belakang busur tersebut. Sesar naik tersebut merupakan penyebab utama adanya gempa

    yang terjadi di pulau flores ini. Ada dua jenis sesar pada pulau flores ini, yaitu: Sesar

    Naik pada segmen barat Flores yang lebih dikenal dengan Sesar Naik Flores dan Sesar

    pada segmen timur yang lebih dikenal dengan sesar naik Wetar yang membujur dari

    utara pulau Alor hingga pulau Romang.

  • BAB III

    APLIKASINYA DALAM PEMBENTUKANSUATU CEKUNGANDAN

    KEMUNGKINAN TERDAPAT MINERAL EKONIMIS

    A. Mineral Bijih Mangan pada Pulau Timor

    Geologi pada Pulau Timor sangatlah kompleks. Hal ini ditunjukkan dari kehadiran

    batuan yang jenis dan umurnya yang bervariasi. Daerah ini sudah terdeformasi kuat dan

    campuran batuan (olisostrom/melange) menutupi hampir 40% dari Pulau ini.

    Beberapa periode pergerakan tektonik dari Pulau Timor sudah dipelajari. Periode

    awal ditandai oleh pergerakan tektonik Benua Australia pada Kapur Akhir-Eosen ke arah

    Utara yang menghasilkan kolisis antara Busur Pulau Paloe Timor dan kerak samudra Indo-

    Australia. Kolisi ini menghasilkan batuan campuran (olisostrom/melange), endapan Formasi

    Noni, Haulasi, dan Ofu, batuan ultrabasa-basa, metamorfisme Maubisse, Ailiu dan Formasi

    batuan vulknaik Metan. Perlipatan kuat, sesar naik, dan sesar geser adalah struktur utama

    pada area tersebut.

    Pergerakan tektonik selanjutnya yaitu subduksi pada Miosen yang menghasilkan

    kolisi dari northern margin Australia dan busur pulau. Kolisi ini menyebabkan formasi

    batuan pre-Pliostosen terlipat kuat dan terpatahkan. Aktivitas tektonik ditandai oleh

    keterdapatan gempabumi aktif, mud diapir/mud volcano, patahan aktif dan reaktivasi patahan

    pre-Holosen dan uplifting.

    Mud volcano pada Pulau Timor sangat berhubungan dengan scaly clay dari kompleks

    Bobonaro yang menutupi hampir 4000km2

    dari singkapan pada Pulau Timor. Secara

    stratigrafi, Pulau Timor ditempati oleh tiga unit batuan termasuk autochton, paraautochton,

    dan allochthon. Unit autochthonous dan paraautochtonous dari tertua ke termuda terdiri dari

    Bisane, Aitutu, Nakfunu, Ofu, Noil Toko, Formasi Cablac , kelompok batuan Viqueque

    (Batuputih dan Formasi Noele, konglomerat dan gravel, endapan aluvial), di mana unit

    allochthonous terdiri dari sedimen dan batuan beku yang mengandung kompleks Mutis,

    Maubisse, Noni, Haulasi, dan Formasi Metan, diorit, Formasi Mananas , batuan ultrabasa dan

    kompleks Bobonaro.

  • Secara stratigrafi, daerah penelitian ditempati oleh:

    Limestone calcilutite interkalasi claystone, chert, slate, marl dari Formasi Ofu dan

    Nakfunu.

    Scaly clay yang mengandung beberapa xenolith dari kompleks Bobonaro

    Unit intrusi mud volcano yang terdiri dari clay yang mengandung sulfur

    Endapan fluviatil

    Struktur geologi didominasi oleh regime kompresi termasuk sesar naik dengan trend

    Timur Laut-Barat Daya, sesar geser dekstral, lipatan dan clay diapir yang memotong lapisan

    yang mengikat Mn.

    Secara umum, dua tipe bijih mangan teridentifikasi pada lapangan yaitu Mn nodule dan

    Mn layer. Mn nodule memiliki bentuk membola-melonjong dengan diameter rata-rata

    milimeter sampai 6 cm dan ketebalan hampir 1 mm sampai 5 cm. Secara megaskopis, Mn

    nodule berwarna abu-abu logam, masif, memiliki cerat coklat kemerah-merahan, yang

    diidentifikasi sebagai manganit. Mn layer adalah tipe bijih Mn yang paling utama tersingkap

    di daerah penelitian. Secara khas, Mn layer terbagi-bagi secara tidak teratur, sudah

    terdeformasi kuat dan membentuk lensa atau lentikuler, berseling dengan claystone laut

    dalam berwarna coklat kemerah-merahan dari formasi Nakfunu. Lebar Mn layer berkisar dari

    2 cm hingga 10 cm.

  • B. Batu Hijau, Sumbawa

    - Deposit Au-Cu

    Tambang Batu Hijau adalah sebuah tambang yang memiliki cadangan emas dan

    tembaga kelas dunia. Tambang tersebut masuk ke dalam jajaran tambang-tambang yang

    keterdapatan mineral logamnya 10% dari total deposit yang ada. Cadangan emas dan

    tembaga pada Tambah Batu Hijau terletak tepatnya pada bagian barat daya dari Pulau

    Sumbawa (lihat gambar 3.1). Tambang Batu Hijau mengandung cadangan sebesar 914 juta

    metrik ton dengan rata-rata presentase tembaga 0,525% dan kandungan emas 0,403 (

    Clode et al., 1999 dalam Idrus et al., 2009). Mineralisasi pada daerah barat busur Sunda-

    Banda dicirikan oleh tipe endapan sulfidasi rendah yang terkandung dalam sistem urat

    epitermal. Di antaranya termasuk Mangani, Lebong Tandai dan Lebok Donok di Sumatra.

    Tipe mineralisasinya berubah semakin ke arah timur Indonesia, ditandai dengan tipe

    mineralisasi porfiri contohnya pada Tambang Batu Hijau yang menjadi pokok bahasan pada

    sub-bab ini. Hal ini menjadi potensi tambang mineral logam dari Pulau Sumbawa, walaupun

    cadangannya tidak sebesar Grahsberg, Papua.

    Secara regional Pulau Sumbawa sebagai sistem busur kepulauan dihasilkan dari

    tumbukan antara tiga lempeng yakni Lempeng Hindia-Australia, Eurasia dan Lempeng

    Pasifik. Pulau Sumbawa dibatasi penunjaman subduksi Jawa ke arah utara pada bagian

    Gambar 3.1 Letak geografis Tambang Batu Hijau pada peta Indonesia ( Idrus, et al., 2009)

  • selatan dan penunjaman subduksi Jawa ke arah utara pada bagian selatan serta penunjaman

    subduksi Flores ke arah selatan pada bagian utara. Pada bagian selatan dari Pulau Sumbawa

    dibatasi oleh kerak samudera yang berumur Tersier Awal, bersifat kalk-alkali kalium rendah

    sampai andesit volkanik yang lemah alkali dan batuan vulkanoklastik berlapis, berasosiasi

    dengan intrusi intermediet, sedikit sedimen laut dan batugamping. Morfologi dari daerah

    Batu Hijau secara umum memperlihatkan kenampakan satuan perbukitan volkanik dan satuan

    perbukitan intrusi. Satuan perbukitan volkanik tersusun oleh batuan penyusun berupa andesit

    volkaniklastik dan intrusi andesit porfiri, sedangkan satuan perbukitan intrusi tersusun oleh

    batuan intrusi berupa diorit dan tonalit. Perbukitan intrusi yang curam tersebut merupakan

    hasil dari proses-proses tektonik. Pada satuan perbukitan volkanik memperlihatkan morfologi

    yang sedikit terjal. Perbukitan volkanik ini terdiri atas beberapa gunung volkanik muda

    contohnya Gunung Sangenges, Gunung Sakadet dan Gunung Bulupasak pada bagian barat

    sementara di bagian timur terdapat Gunung Tambora, keempat gunung ini memberikan

    kenampakan seperti gunungapi strato dengan pola aliran sungai radial.

    Secara lebih spesifik penjelasan potensi ekonomis batuan dan kandungan mineral dari

    Batu Hijau dapat ditinjau dari jenis litologinya. Batuan pre-mineralisasi terdiri dari perlapisan

    batuan vulkanik andesitik, intrusi andesit dan setidaknya terdapat dua jenis diorit kuarsa yang

    dibedakan berdasarkan teksturnya ( diorit kuarsa ekuigranular dan diorit kuarsa porfiritik).

    Batuan vulkanik andesitik yang diendapkan pada umur 20-15 juta tahun yang lalu ( Garwin,

    2002 dalam Idrus et al., 2009), merupakan tipe litologi yang paling umum dijumpai pada

    daerah Batu Hijau. Intrusi andesit yang memotong batuan vulkanik andesitik memiliki umur

    pembentukan yang lebih muda dari suksesi vulkaniklastik yang diterobosnya. Batuan beku

    pada intrusi andesit merupakan unit intrusi termuda yang ditemukan pada daerah Batu Hijau.

    Data dan kenampakan di lapangan menunjukkan diorit kuarsa ekuigranular menerobos batuan

    volkaniklastik andesitik, intrusi andesit dan diorit kuarsa porfiritik. Kesemua batuan tersebut

    digolongkan dalam unit batuan dinding atau batuan samping.

    Kelompok batuan samping tersebut pada akhirnya diterobos lagi oleh dua buah intrusi

    lain yang secara tekstural berbeda yaitu tonalit porfiri, dibedakan menjadi tonalit intermediet

    dan tonalit muda. Intrusi tonalit ini mengindikasikan umur 3,76 juta tahun lalu- 3,67 juta

    tahun yang lalu, dating dilakukan dengan isotop U-Pb Shrimp zirkon (Garwin, 2002 dalam

    Idrus et al., 2009). Tonalit porfiri inilah yang membawa tembaga dan emas dalam tubuh

    intrusinya. Tonalit porfiri ini mengambil tempat yang sangat berhubungan dengan pola

    struktur N-S dan NE-SW ( Priowarsono & Maryono, 2002 dalam Idrus et al., 2009). (lihat

  • Gambar 3.2). Pada umumnya, sesar ini menunjukkan pergeseran kecil dari alterasi

    hidrotermal dan zona mineralisasi, tercatat kurang dari 10 m dan diperkirakan mempunyai

    jarak perpindahan sesar mendatar yang kecil.

    Apabila tonalit yang membawa emas dan tembaga ditelaah lebih lanjut, mineralogi

    dari tonalit porfiri intermediet dan muda hampir mirip. Keduanya ditandai dengan fenokris

    yang tersusun atas hornblende, plagioklas, kuarsa, biotit, magnetit dan ilmenit. Pada tonalit

    intermediet, plagioklas adalah mineral dominan penyusun fenokris dengan ciri-ciri optis

    euhedral-subhedral berukuran 3-4 mm. Pada tonalit muda, fenokrisnya lebih didominasi

    hornblende, yang umumnya dikelilingi oleh biotit prismatik.

    Alterasi hidrotermal dan mineralisasi yang terdapat pada candangan deposit Batu

    Hijau berkembang pada empat kelas yang saling tumpang tindih; early, transitional, late dan

    very late. Batuan vulkaniklastik andesitik dan diorit kuarsa ekuigranular telah teralterasi

    untuk membentuk zona early central biotite (potassic), early proximal actinolite (inner

    propylitic), early distal chlorite-epidote (outer propylitic), transitional chloritesericite

    Gambar 3.2 Kondisi geologi sederhana Batu

    Hijau ( Idrus, et al., 2009)

    Gambar 3.3 Penggolongan zona alterasi

    pada Batu Hijau ( Idrus, et al., 2009)

  • (intermediate argillic), late pyrophylliteandalusite (advanced argillic), late sericite-

    paragonite (argillic) and very late illite-sericite zones, whereas the tonalite porphyries are

    only altered to form the early central biotite (potassic) (Idrus et al., 2009). Kandungan

    tembaga dan emas paling tinggi berasosiasi dengan zona early central biotite ( potassic).

    Pada zona alterarasi central biotit (potasik), batuan alterasinya berasosiasi dengan

    tembaga dan emas. Zona alterasi ini dominan dihasilkan karena pengaruh larutan hidrotermal

    magmatik (Idrus et al., 2009). Keterdapatan K- Feldspar yang sedikit menandakan magmanya

    low-K calc alkaline dan bersifat tonalitik yang mengantarkan kepada sistem hidrotermal.

    Kekurangan kandungan potasium tergolong pada magma yang mengalami sedikit

    kontaminasi dari batuan kerak maupun sedimen laut dalam. Perkembangan dari sistem tidak

    menerus dari EDM- stringers dan urat A pada zona alterasi menandakan jenis patahan yang

    bersifat plastik daripada patahan brittle. Sifat alami plastis yang dimiliki veinlets menandakan

    pembentukannya berada pada pengarus rezim litostatik. Mengingat hal tersebut kandungan

    tembaganya menjadi meningkat 5-10 kali daripada batuan alterasi biasanya.

    Kesimpulannya pada sistem porfiri Batu Hijau yang batuan alterasinya diprakarsai

    oleh beberapa kali proses intrusi, menghasilkan keterdapatan dan asosiasi dengan emas dan

    tembaga. Zona alterasi early central biotite ( potasik) mengalami pengkayaan Si, Fe, K, Rb,

    S, Cu dan Au dengan pengurangan kandungan massa dan volume sebesar 6,54 1,78% (Idrus

    et al., 2009). Secara general, elemen mayor seperti Ca, Mg, Na dan K berkurang dari batuan

    yang lebih lemah teralterasi menuju zona alterasi late sebagai konsekuensi dari pemecahan

    hornblende, biotit dan plagioklas. Tingkat kehilangan massa dan volume semakin meningkat

    seiring dengan meningkatnya level-level alterasi. Berkurangnya elemen-elemen dari zona

    alterasi early, transisional menuju late berimplikasi pada pengurangan general aktivitas

    elemen di dalam larutan hidrotermal selama proses alterasi.

    - Deposit Skarn

    Ada satu cadangan ekonomis lainnya yang terdapat pada Batu Hijau yaitu endapan Skarn

    (lihat Gambar 3.4). Hal ini dipicu oleh beberapa intrusi yang terjadi dan menerobos batuan

    samping yang sudah terbentuk sebelumnya. Tentu tambahan keterdapatan skarn di daerah

    Batu Hijau menambah nilai ekonomis dari tambang tersebut. Host dari batuan Skarn ini

    sendiri dipercaya memiliki kandungan karbonat sehingga saat diintrusi, terjadi proses

    metasomatisme yang mengubah protolith menjadi batuan metamorf. Host batuan Skarn ini

  • diinterpretasi merupakan batuan calc-silicate pada perlapisan batuan volkaniklastik andesitik

    yang telah disebutkan sebelumnya (lihat Gambar 3.2).

    Litologi batuan ini dapat dideskripsi sebagai berikut, uymumnya berwarna hijau, coklat

    kemerah-merahan, hitam, berbutir halus dan granular. Batuan calc-silika ini umumnya

    berlapis berselang-seling dengan batuan volkaniklastik andesitik. Perlapisan berwarna hijau

    pada batuan tersebut tersebut mengandung sebagian besar klinopiroksen ( diopsit dan

    hedenbergit) yang berukuran halus, kemudian layer putih terdiri dari kalsit dan zeolit ( lihat

    Gambar 3.5). Anortit, kuarsa, klorit dan epidot yang langka keterdapatannya juga dapat

    dilihat pada sayatan tipis batuan. Anhidrit memiliki keterdapatan sebagai pengisi lubang-

    lubang pada batuan, namun tidak berasosiasi langsung dengan pembentukan layer calc-silika.

    Secara tekstur, klinopiroksen, andradite garnet, anortit dan kuarsa menampilkan waktu

    prograde dari mineralisasi calc-silika, sementara itu kalsit, zeolit, kuarsa, klorit dan epidot

    berhubungan dengan proses retrograde. Mineralisasi bijih ditunjukkan dengan kehadiran

    magnetit, pirit dan kalkopirit. Sedangkan secara geokimia, keekonomisan cadangan Skarn

    pada Batu Hijau dapat dilihat pada Tabel 3.1

  • Gambar 3.4 Posisi keterdapatan endapan Skarn pada

    Tambang Batu Hijau

    Gambar 3.5 Sayatan tipis contoh batuan calc-

    silika yang berlapis dengan volkaniklastik

    Tabel 3.1 Analisis geokimia dan kandungan senyawa atau

    unsur pada batuan calc-silika (Skarn) ( Idrus et al, 2009)

    Sebenarnya prediksi keterdapatan batuan Calc-

    silika ini berdasarkan data pengeboran dalam, batuan ini

    menumpang secara berselang-seling dengan batuan

    volkaniklastik andesitik yang kontak dengan tonalit

    porfiri kaya akan kandungan emas dan tembaga (

    Setyandhaka et al.2008 dalam Idrus et al., 2009). Secara

    genetis batuan ini merupakan hasil bentukan

    metamorfisme kontak dan metasomatisme batuan

    karbonat, termasuk di dalamnya batugamping dan

    batugamping dolomit. Walaupun belum ada bukti fisik

    nyata yang menghasilkan interpretasi protolith tersebut.

    Keterkatitan yang sangat dekat antara batuan Calc-Silika

    dengan volkaniklastik andesitik, dilihat dari

    komposisinyayang kalsik. Konsentrasi CaO pada batuan

    volkaniklastik 5,6-8,3 wt% ( N=6) ( Idrus, 2006 dalam

    Idrus et al., 2009). Dengan tambahan data pengamatan

    detail dari Proffet (2003) ditemukan keterdapatan oksida

    Ti berukuran pasir pada sumur SBD196 (lihat Gambar

    3,4), mendukung dugaan protolith berasal dari

    volkaniklastik andesitik. Endapan ini terbukti sangat

    ekonomis dilihat dari kekayaan unsur logam seperti Fe,

    Al, Ti, Mn dan Ca ( lihat Tabel 3.1), sehingga menambah

    keekonomisan Tambang Batu Hijau, Sumbawa.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Barber, A.J., M.G. Audley-Charles.1976. THE SIGNIFICANCE OF THE METAMORPHIC

    ROCKS OF TIMOR IN THE DEVELOPMENT OF THE BANDA ARC, EASTERN

    INDONESIA. Amsterdam; Elsevier Scientific Publishing Company,

    Budiono, Kris. 2009. Identifikasi longsoran bawah laut berdasarkan penafsiran seismik

    pantul di perairan Flores. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 1

    Charlton.T.R., A.J. Barber., S.T.Barkham.1991. The Structural Evolution of the Timor

    Complex, Eastern Indonesia. London; pergamon press

    Hartono, Hill.Gendoet. 2010. Penelitian Awal Gunung Api Purba Di Daerah Manggarai

    Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 1.

    Idrus, Arifudin. Jochen Kolb dan F. Michael Meyer. 2009. Mineralogy, Lithogeochemistry

    and Elemental Mass Balance of the Hydrothermal Alteration Associated with the

    Gold-rich Batu Hijau Porphiry Copper Deposit, Sumbawa Island, Indonesia.

    Resource Geology Vol. 59, No.3 : 215-230.

    Idrus, Arifudin. Jochen Kolb, Johan Arif, Dudy Setyandhaka dan Syamsul Kepli. 2009. A

    Preliminary Study on Skarn-Related Calc-Silicate Rocks Associated with the Batu

    Hijau Porphyry Copper Gold Depost, Sumbawa, Indonesia. Resource Geology Vol.

    59, No.3 : 215-230.

    Idrus, A., Ati, E. M., Harijoko A., dan Meyer, F. M. 2013. Characteristics and Origin of

    Sedimentary-Related Manganese Layersin Timor Island, Indonesia. Indonesian

    Journal of Geology

    Ishikawa, akira., yoshiyuki keneko., ade kadarusman, tsutomu ota.2007. Multiple

    generations of forearc maficultramafic rocks in theTimorTanimbar ophiolite,

    eastern Indonesia.; Elsev ier

    Milsom, J.2000. Stratigraphic Constraints on suture models for eastern indonesia. London;

    Pergamon journal of asian earth science

    Villeneuve, Michel, et al. 2009. Deciphering of six blocks of Gondwana origin within

    Eastern Indonesia (South East Asia).

  • Villeneuve, Michel, et al. 2004. New Hyphothesis on the Origin of the Timor Island.

    https://www.academia.edu/7756652/Tektonika_dan_Kaitannya_dengan_Keberadaan_Batua

    n_Metamorf_di_Pulau_Timor. Diakses 1-04-2015 pukul 20.15