31
BAB I PENDAHULUAN Pulau Bali telah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Namun tidak hanya di kalangan wisatawan domestik, keunikan budaya dan alam dari Pulau Bali pun telah menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Seiring dengan berkembangnya sektor pariwisata di Bali yang diikuti dengan gencarnya promosi dari pihak pemerintah dan swasta tentunya berimbas pada kenaikan jumlah wisatawan asing yang berkunjung secara signifikan. Hal ini kemudian membentuk citra Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata dunia. Terkait kenaikan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali, selain meningkatkan perekonomian daerah dari sektor pariwisata, tentunya juga akan menimbulkan isu tersendiri. Salah satunya adalah isu kesehatan. Telah diketahui bahwa wisatawan yang berkunjung ke Bali berasal dari berbagai negara. Wisatawan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dapat membawa penyakit (carrier) yang kemudian bisa ditularkan kepada atau dari individu dan masyarakat di tempat/negara asal maupun di tempat tujuan. Terkait dengan masalah inilah kemudian muncul 1

Forensik Suicide

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Pulau Bali telah dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di

Indonesia. Namun tidak hanya di kalangan wisatawan domestik, keunikan budaya

dan alam dari Pulau Bali pun telah menarik perhatian wisatawan dari berbagai

penjuru dunia. Seiring dengan berkembangnya sektor pariwisata di Bali yang

diikuti dengan gencarnya promosi dari pihak pemerintah dan swasta tentunya

berimbas pada kenaikan jumlah wisatawan asing yang berkunjung secara

signifikan. Hal ini kemudian membentuk citra Bali sebagai salah satu destinasi

pariwisata dunia.

Terkait kenaikan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali, selain

meningkatkan perekonomian daerah dari sektor pariwisata, tentunya juga akan

menimbulkan isu tersendiri. Salah satunya adalah isu kesehatan. Telah diketahui

bahwa wisatawan yang berkunjung ke Bali berasal dari berbagai negara.

Wisatawan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dapat

membawa penyakit (carrier) yang kemudian bisa ditularkan kepada atau dari

individu dan masyarakat di tempat/negara asal maupun di tempat tujuan. Terkait

dengan masalah inilah kemudian muncul istilah kedokteran wisata atau travel

medicine. Kedokteran wisata atau travel medicine adalah bidang ilmu kedokteran

yang mempelajari persiapan kesehatan dan penatalaksanaan masalah kesehatan

orang yang bepergian (travellers). Bidang ilmu ini baru saja berkembang dalam

tiga dekade terakhir sebagai respons terhadap peningkatan arus perjalanan

internasional di seluruh dunia.

Masalah akan menjadi bertambah pelik apabila kemudian timbul kasus

kematian wisatawan asing di Bali. Kasus kematian ini tentunya membutuhkan

penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui latar belakangnya, ditilik dari cara

kematian (manner of death) maupun sebab kematian (cause of death). Sebab

kematian (cause of death) adalah berbagai bentuk luka ataupun penyakit yang

mengakibatkan kerusakan fisiologis sehingga berujung pada kematian individu.

1

Sebagai contoh luka tembakan di kepala, luka tusukan di dada, adenocarcinoma

paru dan sebagainya. Sedangkan cara kematian (manner of death) menjelaskan

bagaimana sebab kematian didapat. Manner of death secara umum dapat

dikategorikan ke dalam alamiah (natural), pembunuhan (homicide), bunuh diri

(suicide), kecelakaan (accident) atau yang tidak dapat ditentukan (undetermined).

Dari sejumlah kasus kematian wisatawan asing di Bali, beberapa di

antaranya disebabkan oleh tindakan bunuh diri. Dari data kasus kematian

wisatawan asing di Bali periode Januari 2011 – Januari 2012 yang dilaporkan di

RSUD Sanglah, diketahui ada empat kasus kematian wisatawan asing dikarenakan

tindakan bunuh diri.

Fenomena bunuh diri sendiri kini telah menjadi masalah kesehatan global

yang menyangkut faktor biologis, psikologis dan sosial. WHO (World Health

Organization) mengestimasi bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian

terbesar ketiga belas di dunia. Bunuh diri merupakan fenomena kompleks dan

berbagai faktor dapat berperan dalam patogenesisnya.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bunuh Diri

Tindakan bunuh diri atau suicide (dari bahasa Latin suicidium) adalah

suatu tindakan sengaja dari seseorang yang menyebabkan kematian pada dirinya.

Perilaku bunuh diri sendiri dihubungkan tidak hanya dengan aksi pasti untuk

bunuh diri tapi juga spektrum luas percobaan untuk melakukan bunuh diri yang

bervariasi dari percobaan dengan tingkat bahaya yang tinggi (yang angka

kelangsungan hidupnya sangat tipis) hingga dengan bahaya rendah yang terjadi

dalam konteks krisis sosial dan mengandung elemen kuat untuk permohonan

bantuan. Dalam banyak data, pria dilaporkan memiliki angka keberhasilan bunuh

diri yang lebih tinggi, dimana di lain pihak wanita memiliki angka percobaan

bunuh diri yang lebih tinggi. Pria cenderung menggunakan metode yang lebih

berbahaya, merencanakan usaha bunuh diri dengan lebih cermat untuk

menghindari penemuan atau penyelamatan. Sedangkan wanita cenderung

menggunakan metode yang lebih tidak berbahaya dan memiliki angka

kelangsungan hidup yang tinggi dan subjek umumnya menunjukkan perilaku yang

mengharapkan penyelamatan dan bantuan.

2.2 Faktor Risiko Bunuh Diri

Beberapa studi telah melaporkan bahwa kelainan mental melatarbelakangi

sekitar 87% hingga 98% kasus bunuh diri. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan

bunuh diri umumnya merupakan komplikasi dari gangguan psikiatri, meskipun

dibutuhkan faktor resiko tambahan dikarenakan kebanyakan pasien psikiatri

umumnya tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya. Bunuh diri

sering dilakukan dalam keputusasaan atau dilatarbelakangi oleh kelainan mental,

seperti depresi, skizofrenia, alkoholik atau penyalahgunaan obat. Tiga penyakit

mental yang paling sering dikaitkan dengan resiko bunuh diri adalah gangguan

3

emosi, skizofrenia dan alkoholisme kronis. Akan tetapi banyak faktor lain juga

dihubungkan dengan risiko bunuh diri antara lain faktor sosio-ekonomi seperti

pengangguran, kesulitan keuangan, kemiskinan dan diskriminasi. Kemiskinan

mungkin bukan menjadi sebab langsung, akan tetapi dapat meningkatkan risiko

bunuh diri, mengingat individu yang miskin merupakan kelompok risiko tinggi

untuk mengalami depresi. Riwayat kekerasan fisik atau seksual semasa kecil juga

dapat menjadi faktor risiko tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, evaluasi medis

yang seksama direkomendikasikan untuk semua pasien dengan gejala psikiatrik

atau pasien dengan kondisi medis yang disertai gejala psikiatrik.

Berbagai studi juga menemukan adanya hubungan yang signifikan antara

tindakan bunuh diri dengan gangguan medis tertentu seperti nyeri kronis atau

trauma otak. Risiko meningkat pada pasien dengan lebih dari satu kondisi medis.

Gangguan tidur seperti insomnia dan sleep apnea juga telah disebutkan sebagai

indikator risiko depresi dan bunuh diri. Dalam beberapa kasus, gangguan tidur itu

sendiri dapat menjadi faktor risiko tersendiri dalam depresi. Dibandingkan dengan

risiko dari populasi secara umum, individu dengan penyakit yang potensial fatal

seperti kanker hanya menaikkan dua hingga empat kali risiko bunuh diri, kecuali

yang bersangkutan memiliki kelainan psikiatri. Penyakit sistem saraf pusat seperti

epilepsi, Huntington, cedera kepala dan kecelakaan cerebrovaskular memiliki

risiko relatif yang lebih tinggi untuk bunuh diri. Kelainan patologis di otak

mungkin dapat memicu depresi dan pikiran bunuh diri dan mungkin mengganggu

kontrol diri atas keinginan tersebut. Gangguan psikologis ini sering tidak

terdiagnosis dan ditangani pada pasien.

Selain itu dalam beberapa penelitian juga ditemukan adanya faktor genetik

dalam perilaku bunuh diri, seperti gen tryptophan hidroksilase (enzim biosintetik

yang membatasi serotonin) dan gen reseptor serotonin 5-HT2A atau dalam

kaitannya dengan perubahan fungsi serotonergik. Dalam studi pemetaan reseptor

otak postmortem dinyatakan adanya penurunan input serotonergik ke korteks

prefrontal orbital, area otak yang berperan dalam kontrol perilaku, dan

kemungkinan kondisi ini juga ditemukan pada orang dengan risiko perilaku bunuh

diri dan cenderung memiliki perilaku agresif dan impulsif. Penurunan fungsi

serotonergik lebih dihubungkan dengan perilaku bunuh diri yang lebih berbahaya.

4

Terlebih, jumlah reseptor serotonin berubah pada otak dari subjek pelaku bunuh

diri. Disfungsi otak pada subjek bunuh diri dibuktikan dengan penurunan tempat

ikatan (binding site) presinaps pada korteks prefrontal, seperti kekurangan ikatan

transporter serotonin pada ujung saraf seperti reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A.

2.3 Metode Bunuh Diri

Metode bunuh diri adalah setiap cara dari satu atau lebih orang dengan

tujuan melakukan atau berusaha untuk melakukan bunuh diri yang mana dapat

mengakibatkan kematian seseorang. Metode bunuh diri dapat diklasifikasikan ke

dua modus untuk menginterupsi proses kehidupan seseorang, yaitu secara fisik

atau kimiawi. Modus fisik (physical) biasanya berupa aksi melumpuhkan sistem

pernafasan atau sistem saraf pusat dengan merusak satu atau lebih komponen.

Modus kimiawi berfokus pada interupsi dari proses biologis seperti respirasi sel

atau kapasitas difusi. Metode kimiawi bunuh diri menunjukkan bukti aksi yang

sifatnya laten sedangkan metode fisik lebih menunjukkan bukti langsung.

2.3.1 Pendarahan (Bleeding)

Bunuh diri dengan melakukan eksanguinasi melibatkan penurunan volume

dan tekanan darah hingga dibawah level kritis dengan jalan merangsang

kehilangan darah yang masal. Hal ini biasanya disebabkan oleh kerusakan pada

arteri karotid, radial, ulnar atau femoral. Kematian dapat terjadi sebagai akibat

hipovolemia, dimana volume darah dalam sistem sirkulasi menjadi terlalu rendah

dan berujung pada berhentinya fungsi tubuh.

Orang yang bermaksud untuk melakukan bunuh diri, atau mencoba senjata

untuk mengetahui tingkat keefektifannya, mungkin pertama-tama akan membuat

potongan dangkal, atau disebut sebagai “luka ragu-ragu” atau “luka sementara”

seperti disebutkan di literatur. Umumnya berupa beberapa potongan paralel yang

tidak membahayakan. Salah satu tindakan berjenis ini adalah berupa mengiris

pergelangan tangan (wrist cutting). Mengiris pergelangan tangan kadang

dipraktekkan dengan tujuan menyakiti diri dan bukan bunuh diri. Namun, apabila

pendarahan terjadi berlebihan dan/atau dibiarkan tanpa penanganan, cardiac

arrhythmia, diikuti dengan hipovolemia, shock, kegagalan sirkulasi dan/atau

5

cardiac arrest dan kematian mungkin terjadi. Pada kasus percobaan bunuh diri

yang gagal, pelaku mungkin dapat mengalami cedera tendon otot fleksor

ekstrinsik atau saraf ulnar dan median yang mengontrol otot di tangan, yang dapat

berujung pada penurunan kemampuan sensorik dan/atau motorik dan nyeri

somatis atau otonom yang kronis. Pendarahan arterial ditandai dengan semburan

darah (yang seirama dengan detak jantung) dengan warna merah terang. Pendarah

vena menunjukkan aliran darah yang berwarna merah gelap. Pendarahan arterial

lebih sulit untuk dikontrol dan biasanya lebih mengancam jiwa.

2.3.2 Tenggelam (Drowning)

Bunuh diri dengan tenggelam adalah suatu tindakan sengaja

menenggelamkan diri ke dalam air atau cairan lain untuk mencegah pernafasan

dan menurunkan tingkat oksigen di otak. Dikarenakan alaminya tubuh manusia

cenderung mengapung di atas air, usaha menenggelamkan diri sering melibatkan

penggunaan objek berat. Seiring dengan level oksigen dalam darah yang menurun,

sistem saraf pusat akan mengirimkan sinyal involunter pada otot pernafasan untuk

berkontraksi dan bernafas di air. Kematian umumnya terjadi pada level oksigen

yang terlalu rendah untuk menopang sel otak

2.3.3 Sufokasi (Suffocation)

Bunuh diri dengan metode sufokasi adalah tindakan menghambat

kemampuan untuk bernafas atau membatasi pengambilan oksigen saat bernapas,

berujung pada hipoksia dan bahkan asfiksia. Hal ini mungkin melibatkan

penggunaan kantong plastik yang diikat disekeliling kepala atau menyekap diri

dalam ruangan tertutup tanpa oksigen. Namun tidak mungkin bagi seseorang

untuk melakukan bunuh diri hanya dengan menahan nafas, dikarenakan saat level

oksigen dalam darah menjadi terlalu rendah, otak akan mengirimkan refleks

involunter dan orang tersebut akan bernafas seiring dengan refleks otot

pernafasan. Meskipun seseorang telah melewati tahap menahan nafas hingga

kehilangan kesadaran, dalam kondisi ini tidak memungkinkan lagi untuk

mengontrol nafas, dan ritme normal pernafasan akan kembali terjadi. Oleh karena

itu usaha bunuh diri dengan metode ini umumnya disertai dengan menggunakan

6

depressan untuk membuat pelaku meninggal karena kekurangan oksigen sebelum

terjadi respon diatas. Kondisi ini menyebabkan banyak orang lebih memilih

metode menghirup gas beracun, dibanding metode menahan nafas. Helium, argon,

nitrogen dan karbon monoksida umum digunakan.

2.3.4 Hipotermia

Bunuh diri dengan metode hipotermia adalah kematian perlahan yang

melewati beberapa fase. Hipotermia dimulai dengan gejala ringan, secara bertahap

menjadi makin parah. Gejala dapat berupa menggigil, delirium, halusinasi,

kehilangan kordinasi, sensasi hangat hingga kematian.

2.3.5 Pembunuhan dengan Listrik (Electrocution)

Bunuh diri dengan menggunakan listrik (electrocution) melibatkan kejut

listrik untuk membunuh diri. Hal ini dapat menyebabkan arrhythmia pada jantung.

Luka bakar juga dapat terjadi, tergantung dari jumlah arus listriknya.

2.3.6 Melompat Dari Ketinggian

Bunuh diri dengan melompat dari ketinggian adalah aksi melompat dari

tempat tinggi seperti jendela, balkon atau atap dari gedung bertingkat, tebing,

bendungan atau jembatan. Dengan metode ini, dalam banyak kasus akan

menyebabkan efek yang parah apabila gagal, seperti kelumpuhan dan patah

tulang.

2.3.7 Senjata Api

Salah satu metode untuk bunuh diri adalah dengan menggunakan senjata

api. Umumnya, senjata diarahkan dalam jarak dekat, sering pada kepala, mulut,

dibawah dagu atau dada. Percobaan bunuh diri yang gagal dengan senjata api

dapat mengakibatkan nyeri kronis yang parah pada pasien disertai penurunan

kemampuan kognitif dan motorik, pendarahan subdural, pneumocephalus dan

kebocoran cairan cerebrospinal. Pada peluru yang diarahkan langsung ke lobus

temporal dapat terjadi komplikasi intracranial seperti abses, meningitis, aphasia,

hemianopsia dan hemiplegi. Sekitar lima puluh persen orang yang selamat dari

7

luka tembak pada tulang temporal akan mengalami kerusakan saraf facial. Bunuh

diri menggunakan senjata api cenderung berantakan dan bahkan dapat

menyebabkan bagian tubuh terlempar hingga melewati bagian bawah pintu yang

tertutup. Bunuh diri dengan menggunakan peluru hollow point (berongga) dapat

menyebabkan pecahnya kepala.

2.3.8 Gantung Diri

Dalam kasus gantung diri, subjek biasanya menggunakan beberapa tipe

pengikat, seperti kabel atau tali untuk membentuk lingkaran jerat di sekeliling

leher dan menempatkan ujung berlawanan ke objek tertentu. Tergantung dari

penempatan jerat dan faktor lainnya, subjek akan tercekik dan/atau mengalami

patah tulang leher. Pada kematian, sebab utama sering bergantung dari jarak

subjek jatuh sebelum tali menjadi tegang. Apabila subjek jatuh dalam jarak

pendek, subjek dapat meninggal karena tercekik, disebabkan kekurangan oksigen

ke otak. Subjek akan mengalami hipoxia, kesemutan, pening, penyempitan lapang

pandang, kejang dan acidosis pernafasan akut. Satu atau lebih arteri karotid

dan/atau vena jugular dapat tertekan dan menyebabkan ischemia otak dan kondisi

hipoksik pada otak yang dapat berujung pada kematian.

Pada subjek yang jatuh dalam jarak yang cukup besar, subjek umumnya

mengalami satu atau lebih fraktur pada tulang vertebra cervical, umumnya

diantara vertebra kedua dan kelima, yang dapat menyebabkan kelumpuhan atau

kematian. Pada kasus dimana jarak jatuh sangat besar, dapat terjadi dekapitasi.

Gantung diri lebih umum terjadi pada area pedesaan dibandingkan area perkotaan.

2.3.9 Tabrakan Kendaraan

Bunuh diri dengan menempatkan diri pada jalur kendaraan yang bergerak

cepat dapat menyebabkan efek fatal. Pada kasus subjek yang melemparkan dirinya

secara langsung ke depan kereta yang berjalan, atau menempatkan mobilnya ke

jalur rel, tingkat kematian mencapai 90% sehingga menyebabkan metode ini

sebagai salah satu metode yang paling fatal. Usaha bunuh diri yang gagal dengan

metode ini dapat menyebabkan cedera parah, seperti fraktur, amputasi, gegar otak,

kerusakan otak dan kelumpuhan fisik. Tidak seperti kereta bawah tanah, pada

8

bunuh diri yang dilakukan pada jalur rel di atas tanah subjek akan berdiri atau

menempatkan diri diatas rel, menunggu kedatangan kereta. Dikarenakan kereta

umumnya berjalan pada kecepatan yang tinggi (80 hingga 200 km/jam) masinis

biasanya tidak dapat mengendalikan/menghentikan kereta sebelum tabrakan

terjadi. Bunuh diri dengan cara ini dapat menyebabkan stress pasca-trauma pada

pengemudi kereta. Bunuh diri dapat dilakukan dengan cara melompat, berjalan,

berbaring atau duduk di atas rel. Kecelakaan yang terjadi pada subjek yang

melompat biasanya terjadi pada siang hari. Sedangkan pada subjek yang berjalan,

berbaring atau duduk di rel umumnya terjadi pada malam hari saat kemampuan

penglihatan pengemudi berkurang, menurunkan kemungkinan gagalnya usaha

bunuh diri.

Pada kecelakaan lalu lintas, beberapa kecelakaan mobil dilatarbelakangi

oleh tindakan bunuh diri. Metode ini dapat berupa menabrakkan mobil ke objek

tertentu ataupun melemparkan diri ke arah mobil yang berjalan. Akan selalu ada

risiko bahwa kecelakaan mobil dapat melibatkan pengguna jalan yang lain,

sebagai contoh mobil yang mengerem untuk menghindari pelaku bunuh diri dari

arah trotoar dapat mengalami tabrakan dengan pengemudi lain di jalan.

2.3.10 Zat Beracun

Bunuh diri dapat dilakukan dengan menggunakan racun dengan reaksi

cepat, seperti hidrogen sianida atau zat yang diketahui memilik level toksisitas

yang tinggi untuk manusia. Dosis yang memadai dari tanaman golongan

belladonna, castor dan lainnya juga bersifat toksik. Penggunaan tanaman beracun

biasanya memilik efek yang kurang cepat dan cukup menyakitkan.

Sekitar 30% dari kasus bunuh diri adalah dari keracunan pestisida.

Meracuni diri dengan bahan kimiawi perkebunan sangat umum terjadi pada

wanita di daerah pedesaan Cina dan digolongkan sebagai masalah sosial di negara

tersebut.

Overdosis adalah metode bunuh diri dengan cara meminum obat dalam

dosis yang lebih besar dari level yang dianjurkan atau dalam kombinasi yang

dapat berinteraksi untuk menyebabkan efek buruk atau meningkatkan level poten

salah satu zat. Keefektifan metode ini sangat bergantung pada obat yang dipilih

9

dan zat tambahan sepeti antiemetics untuk mencegah muntah. Barbiturat telah

lama digunakan sebagai pilihan dalam bunuh diri, namun makin sulit untuk

didapatkan oleh subjek potensial bunuh diri di beberapa tempat.

Pengguna metode ini umumnya menggunakan obat yang tersedia bebas

dan dosis yang tidak tentu. Dalam kasus ini, kematian tidak pasti terjadinya dan

dalam tindakan ini subjek dapat bertahan hidup namun dengan kerusakan organ

berat yang dapat berakibat fatal juga. Obat yang masuk secara oral juga dapat

dimuntahkan kembali sebelum terserap. Dikarenakan banyaknya dosis yang

diperlukan, muntah atau kehilangan kesadaran sebelum mencapai dosis optimal

adalah masalah yang sering ditemui dalam metode ini. Overdosis analgesik adalah

yang paling sering terjadi.

Cara lainnya adalah dengan menghirup karbon monoksida dalam level

tinggi. Kematian umumnya terjadi dikarenakan hipoxia. Pada kebanyakan kasus,

karbon monoksida digunakan dikarenakan mudah tersedia sebagai produk

pembakaran yang tidak sempurna, sebagai contoh dilepaskan oleh mobil dan

beberapa tipe pemanas. Karbon monoksida bersifat tidak berwarna dan tidak

berbau, sehingga keberadaanna tidak dapat dideteksi dengan penglihatan atau

penciuman. Zat ini beraksi dengan terikat pada hemoglobin subjek, menggantikan

molekul oksigen kemudian secara progresif menyebabkan kegagalan respirasi sel

dan kematian. Karbon monoksida juga dapat berbahaya bagi orang yang melintas

atau menemukan tubuh subjek.

Di masa lalu, sebelum adanya katalis udara atau alat kontrol kualitas udara

dan sejenisnya, bunuh diri dengan dapat dilakukan dengan menghidupkan mesin

mobil di ruangan tertutup seperti garasi, atau dengan menghubungkan knalpot

kendaraan ke kabin mobil dengan menggunakan selang. Asap pembuangan

kendaraan bermotor dapat mengandung hingga 25% karbon monoksida. Akan

tetapi teknologi mobil modern mengeliminasi hingga 99% produksi karbon

monoksida. Cara lainnya adalah dengan menggunakan alat panggang yang

menggunakan arang di dalam ruang tertutup.

2.4 Investigasi Kasus Kematian Akibat Bunuh Diri

Salah satu tugas yang cukup sulit bagi pemeriksa medis adalah

10

menentukan apakah suatu kematian merupakan kecelekaan atau sebagai akibat

dari niat untuk mengakhiri hidup. Pemeriksa medis harus mengumpulkan semua

informasi yang tersedia untuk membuat penetapan mengenai cara kematian.

Termasuk didalamnya adalah informasi dari investigasi pemeriksa sendiri, laporan

polisi, investigasi penyelidik lainnya dan diskusi dengan kerabat dan rekan dari

mendiang. Investigasi tempat kejadian dan pemeriksaan postmortem disertai

dengan kajian toksikologi lengkap dapat meyakinkan dugaan bunuh diri. Tempat

kejadian perkara terkait pada setiap investigasi, dan penting dalam penentuan

sebab dan cara kematian untuk skenario tertentu. Meskipun temuan pada tempat

kejadian dan otopsi dapat menunjukkan karakteristik kematian akibat bunuh diri,

penyidik harus cerdik dalam menemukan bagian-bagian yang mungkin telah

diubah secara sengaja untuk menutupi cara kematian yang sebenarnya. Adapun

hal-hal yang perlu diperhatikan untuk dalam dugaan apakah suatu kematian

adalah tindakan bunuh diri atau tidak antara lain

Bukti patologis (otopsi), toksikologis, laporan penyelidikan (laporan

polisi, foto/diagram dari lokasi kematian), bukti psikologis (pengamatan

dari tindakan, gaya hidup maupun kepribadian) dan pernyataan dari

mendiang atau saksi

Mendiang mengetahui tingkat bahaya potensial dari tindakannya untuk

mengakhiri hidup (sebagai contoh kasus kematian overdosis obat pada

apoteker)

Mendiang memiliki pikiran untuk bunuh diri

Terlihat memiliki obsesi terhadap pemikiran bunuh diri dari percakapan

ataupun tulisan

Mendiang memiliki proses berpikir yang kaku (tidak berkenan untuk

mempertimbangkan pilihan atau saran)

Mendiang memiliki pemikiran yang dikotomis (hitam/putih)

Menunjukkan perubahan emosi yang mendadak

Belakangan menunjukkan kepribadian impulsive (mudah kehilangan

kontrol)

Pernah mengalami depresi serius atau kelainan mental

Memiliki kelainan bipolar (manic-depressive)

11

Menunjukkan perilaku psikotik (mendengar suara-suara)

Belakangan mendapat perawatan psikiatri

Pernyataan tentang kematian yang merujuk pada tindakan mengakhiri

hidup atau bunuh diri

Ekspresi verbal atau non verbal secara eksplisit mengenai keinginan untuk

bunuh diri

Persiapan untuk kematian, melakukan hal yang tidak biasa atau tidak

diduga dalam konteks kehidupan mendiang (memberikan barang-barang

kesayangan kepada orang lain, dan sebagainya)

Bukti implisit atau tidak langsung dari keinginan untuk mati, seperti

ekspresi keputusasaan

Usaha untuk mencari tahu atau mempelajari lebih lanjut tentang kematian

(membeli pistol, mencari tahu dosis obat yang mematikan dan sebagainya)

Pencegahan atas tindakan penyelamatan (mengunci pintu dan sebagainya)

Melatih tindakan untuk mengakhiri hidup (menembakkan pistol kosong ke

kepala dan sebagainya)

Menunjukkan sikap atau tindakan akan bunuh diri (memasang tali di leher

dan sebagainya)

Adanya percobaan bunuh diri sebelumnya

Adanya ancaman bunuh diri sebelumnya

Mengalami kegagalan akademik

Kegagalan dalam pekerjaan atau pemecatan

Masalah keuangan

Kejadian yang menyebabkan stress berat atau adanya kehilangan yang

besar

Adanya konflik interpersonal

Mengalami perasaan bersalah atau mengalami penghinaan

Diasingkan dari kelompok tertentu

Mengetahui adanya kematian dari orang yang dikenal disebabkan oleh

bunuh diri

Gaya hidup yang sembrono

Riwayat pengangguran dalam waktu yang cukup lama

12

Memiliki perilaku adiktif (merokok, minum, berjudi)

Riwayat perilaku agresif

Riwayat kriminal

Tidak membaur dengan masyarakat

Mengalami kondisi rumah tangga yang tidak stabil

Pernah menjadi korban kekerasan dalam keluarga

Pernah mengalami riwayat kekerasan seksual

Riwayat bunuh diri sebelumnya dalam keluarga

Mendiang memiliki kondisi kesehatan fisik yang kurang baik

Menyatakan adanya keluhan fisik tanpa penyebab yang dapat diamati

Menyatakan adanya konflik identitas seksual dalam diri

Berikut disertakan contoh investigasi tempat kejadian perkara dalam kasus bunuh

diri.

Kasus 1

Saksi mendengar bunyi dentam yang keras dan melihat tubuh seorang pria

pada jalan di depan apartemen bertingkat (gambar 1 dan 2). Trauma kepala yang

jelas diasosiasikan dengan darah dan otak yang tercecer di mobil kantor pos yang

terletak di depan bangunan, bagian calvarium di jalan dan cerebrum yang terdesak

keluar sekitar 1,82 meter dari kaki jenazah. Abrasi berpola pada sisi tubuh kiri

menunjukkan pola ubin dari jalan tersebut (gambar 3). Mendiang tinggal di lantai

ke dua belas, tepat diatas lokasi tubuh ditemukan. Sebuah kursi di balkon telah

ditempatkan di depan selusur, dan terdapat jejak sepatu yang sama dengan jejak

sepatu mendiang. Cerebellum dan batang otak tercecer beberapa meter dari tubuh

dengan arah yang berlawanan dari tempat ditemukannya cerebrum. Tampak

bahwa mendiang jatuh dengan bagian kepala menghantam ubin terlebih dahulu,

yang berdampak pada fraktur tengkorak terbuka dan keluarnya cerebrum pada

celah tengkorak dan kulit kepala. Tubuh memantul sekali pada benturan pertama,

membalikkan kepala dan tubuh ke arah yang berlawanan dan melemparkan

cerebellum dan batang otak keluar melalui calvarium yang terbuka ke trotoar.

Penyebab kematian adalah trauma tumpul.

13

Pada tempat kejadian telah dikonfirmasi niat dari yang bersangkutan untuk

melakukan bunuh diri dengan kursi yang di tempatkan di depan selusur balkon,

sidik jari pada selusurnya dan isi saku (uang) tercecer di dapur. Tubuh yang

menantul pada benturan dari ketinggian termasuk tidak lazim. Orang yang dengan

sengaja melompat dari ketinggian mungkin mengambil ancang-ancang atau

mendorong dirinya sendiri dari bangunan, dimana orang yang jatuh dengan tidak

disengaja sering hanya jatuh dekat dengan sisi bangunan.

14

Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3

Kasus 2

Seorang wanita ditemukan dalam posisi terlentang di atas tempat tidur,

berpakaian lengkap. Bagian atas dari sisi depan kemejanya ternoda darah (gambar

4 dan gambar 5) Lubang peluru di kemeja, bra dan enam luka tembak pada dada

kiri dengan luka tembak kontak. Sebuah senapan digenggam jenazah di tangan

kiri. Enam peluru telah ditembakkan dari senapan tersebut. Analisis percikan

darah pada dinding di sebelah kiri tempat tidur (gambar 6) konsisten dengan

wanita ini duduk di tempat tidur saat subjek melakukan tembakan pertama.

Wanita ini terjatuh ke belakang seiring dengan menembakkan tiga tembakan

selanjutnya. Saat dalam posisi terlentang dan menyadari dirinya belum meninggal,

subjek memposisikan moncong senapan ke bagian bawah kiri puting dan

menembakkan dua tembakan terakhir. Hal ini menjelaskan jejak serupa dari empat

peluru pertama yang terdapat di tubuh dan jejak paralel dari dua peluru terakhir

yang ditembakkan dari arah yang berbeda. Penyebab kematian adalah tembakan

senjata api.

15

Gambar 4

2.5 Aspek Sosial dari Tindakan Bunuh Diri

2.5.1 Peraturan Perundang-undangan

Bunuh diri telah dianggap sebagai masalah kriminal di beberapa daerah di

Dunia. Sementara secara teknis menang benar orang yang berhasil melakukan

tindakan bunuh diri ada di luar jangkauan hukum, masih dapat dikenakan

konsekuensi hukum dalam hal penanganan jenazah atau nasib hak kepemilikan

yang bersangkutan atau anggota keluarga. Masalah terkait pembantuan usaha

bunuh diri atau percobaan bunuh diri telah diatur dalam hukum di beberapa

wilayah. Secara historis, hukum melawan tindakan bunuh diri dan pembunuhan

atas dasar belas kasihan muncul dari doktrin religius, sebagai contoh adanya klaim

bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menentukan kapan seseorang akan

mati.

16

Gambar 5

Gambar 6

Di negara bagian Victoria (Australia), meski bunuh diri itu sendiri tidak

lagi di masukkan sebagai tindakan pelanggaran kriminal, orang yang bertahan dari

tindakan bunuh diri dapat dikenakan tindak pembunuhan. Memberikan nasihat,

menghasut, membantu atau bersekongkol dalam usaha bunuh diri dimasukkan

sebagai tindakan kriminal dan hukum secara eksplisit memperbolehkan seseorang

untuk “menggunakan usaha sewajar dan seperlu mungkin” untuk mencegah

seseorang dari tindakan bunuh diri.

Di Inggris, hukum melawan bunuh diri dan percobaan bunuh diri berlaku

di hukum adat Inggris hingga tahun 1961. Hukum Inggris memandang bunuh diri

sebagai tindakan tidak bermoral, melawan Tuhan dan juga melawan Raja.

Di Irlandia, usaha bunuh diri tidak dianggap sebagai pelanggaran kriminal

dan dibawah hukum Irlandia usaha untuk membahayakan diri secara umum tidak

dipandang sebagai usaha bunuh diri. Pembantuan usaha bunuh diri dan euthanasia

sendiri adalah tindakan ilegal.

Di Belanda, pemberian dukungan moral pada usaha bunuh diri dari

seseorang tidak dianggap kejahatan, begitu juga pemberian informasi teknik

bunuh diri secara umum. Namun partisipasi dalam persiapan atau eksekusi dari

tindakan bunuh diri, termasuk didalamnya instruksi bunuh diri, digolongkan

dalam tindak kejahatan.

Sementara di Singapura, orang yang melakukan percobaan bunuh diri

dapat diberikan hukuman kurungan hingga jangka waktu satu tahun.

2.5.2 Pandangan Religius dan Budaya Terhadap Bunuh Diri

Pada yudaisme (agama Yahudi), bunuh diri secara teknis dilarang oleh

hukum Yahudi. Hal ini mungkin dapat diterima sebagai alternatif atas dosa

tertentu yang tak termaafkan, saat seseorang harus merelakan hidupnya

dibandingkan menanggung dosa tersebut.

Sedangkan pada agama Kristen (Christianity) , berdasarkan Gereja Katolik

Roma, kematian oleh tindakan bunuh diri dianggap sebagai dosa berat. Kepala

Gereja Katolik Roma menyebutkan bahwa hidup seseorang adalah milik Tuhan

dan merupakan hadiah kepada dunia dan bahwa menghancurkan hidup itu adalah

melawan kuasa Tuhan.

17

Menurut agama Islam, usaha bunuh diri juga dianggap sebagai dosa berat

dan tindakan yang dianggap sebagai ketidakpercayaan terhadap Tuhan.

Dalam agama Hindu, bunuh diri dianggap sama berdosanya dengan

membunuh orang lain. Orang suci dalam agama Hindu menyatakan bahwa

seseorang yang melakukan usaha bunuh diri akan menjadi bagian dari dunia roh,

mengembara di dunia hingga waktunya tiba. Akan tetapi, Hindu menerima hak

dari seseorang untuk mengakhiri hidupnya melalui usaha tanpa kekerasa berupa

berpuasa hingga meninggal yang disebut Prayopavesa. Akan tetapi Prayopavesa

hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak lagi memilik hasrat atau ambisi

tersisa, atau orang yang tidak memiliki kewajiban tersisa di hidupnya. Aliran Jain

(Jainism) memiliki ajaran serupa bernama Santhara. Sati, atau pengorbanan diri

oleh seorang Janda dengan membakar diri di hadapan jenazah suaminya masih

dapat ditemukan pada perkumpulan Hindu hingga abad pertengahan.

Sedangkan di Jepang, ada sebuah ritual untuk bunuh diri yang disebut

Seppuku (atau hara-kiri) yang paling sering dilakukan pada abad pertengahan,

meskipun beberapa kasus muncul di era modern. Metode ini juga sering dianggap

sebagai salah satu cara untuk menjaga harga diri atas beberapa bentuk kegagalan.

Ritual ini dilakukan oleh individu, dengan metode yang sangat menyakitkan untuk

mati. Dengan menggunakan baju upacara dengan pedang yang ditempatkan di

depan subjek dan kadang diletakkan diatas kain khusus, prajurit akan bersiap

untuk mati dengan menulis puisi kematian. Sedangkan seorang samurai akan

membuka kimono nya, mengambil wakizashi (pedang pendek) atau tanto dan

menusukkan ke abdomennya, membuat irisan pertama dari kiri ke kekanan

kemudian membuat irisan horizontal ke atas.

18

BAB III

SIMPULAN

Bunuh diri merupakan suatu usaha atau tindakan untuk menghilangkan

nyawanya sendiri dengan sengaja. Keputusan bunuh diri pada seseorang dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor biologis, kultural atau sosio-

ekonomi. Mayoritas pelaku bunuh diri diketahui memiliki gangguan psikiatrik

seperti depresi, skizofrenia atau pecandu alkohol kronis. Akan tetapi banyak

faktor lain juga dihubungkan dengan risiko bunuh diri antara lain faktor sosio-

ekonomi seperti pengangguran, kesulitan keuangan, kemiskinan dan diskriminasi.

Pasien dengan penyakit kronis ataupun penyakit pada sistem saraf pusat juga

diketahui memiliki risiko untuk melakukan bunuh diri yang tinggi. Beberapa studi

juga menghubungkan kemungkinan adanya faktor genetik dalam individu dengan

kecenderungan tindakan bunuh diri.

Dalam praktiknya, telah dikenal beberapa metode yang telah digunakan

sebagai metode bunuh diri. Metode bunuh diri dapat diklasifikasikan ke dua

modus untuk menginterupsi proses kehidupan seseorang, yaitu secara fisik atau

kimiawi. Metode bunuh diri bervariasi dari tindakan bunuh diri dengan jalan

pendarahan (bleeding) hingga dengan menggunakan zat beracun.

Dalam investigasi kasus yang dicurigai merupakan kasus bunuh diri,

pemeriksa medis harus dapat menentukan apakah suatu kematian merupakan

kecelekaan atau sebagai akibat dari niat untuk mengakhiri hidup. Pemeriksa medis

harus mengumpulkan semua informasi yang tersedia untuk membuat penetapan

mengenai cara kematian. Termasuk didalamnya adalah informasi dari investigasi

pemeriksa sendiri, laporan polisi, investigasi penyelidik lainnya dan wawancara

dengan kerabat dan rekan dari mendiang. Investigasi tempat kejadian dan

pemeriksaan postmortem disertai dengan kajian toksikologi lengkap dapat

menguatkan dugaan bunuh diri.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Woo M.J., Postolache T.T. The Impact of Work Environment on Mood

Disorders and Suicide : Evidence and Implications 2008; Int J Disabil

Hum Dev. 7(2): 185–200

2. Pompili M., Serafini G., et al. Suicidal Behavior and Alcohol Abuse 2010;

Int. J. Environ. Res. Public Health 7:1392-1431

3. Orden V.A.K., Witte K.T., et al. The Interpersonal Theory of Suicide

2010; Psychol Rev. April ; 117(2): 575–600

4. Mann J.J. A Current Perspective of Suicide and Attempted Suicide 2002;

136:302-311

5. Jobes D.A., Casey J.O., Berman A. L., Wright D.G. Empirical Criteria for

the Determination of Suicide Manner of Death 1991; Journal of Forensic

Sciences Vol.36:244-256

6. Dolinak D., Matshes E., Lew E. Forensic Pathology : Principles and

Practice 2005; Elsevier Academic Press

7. Tsokos M. Forensic Pathology Reviews : Volume 2 2005; Humana Press

Inc

8. Tsokos M. Forensic Pathology Reviews : Volume 3 2005; Humana Press

Inc

20