Upload
trandan
View
240
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
FORMULASI PASTA MI BERPROTEIN DAN BERSERAT
TINGGI BERBASISKAN TEPUNG DARI UBI KAYU DAN
SURIMI IKAN GABUS (Channa striata)
FARAH AISYAH SUKMAWATI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Formulasi Pasta Mi
Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi
Ikan Gabus (Channa striata)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Farah Aisyah Sukmawati
NIM C34110008
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
5
ABSTRAK
FARAH AISYAH SUKMAWATI. Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi
Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata). Dibimbing
oleh WINI TRILAKSANI dan JOKO SANTOSO.
Tepung surimi ikan gabus mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan pengayaan protein untuk produk berbasis
karbohidrat yang populer saat ini, yaitu mi. Penambahan rumput laut dan tepung porang
(glukomanan) pada mi dapat membentuk tekstur serta meningkatkan kandungan gizi mi. Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan produk olahan berbahan baku pangan lokal
yang cepat saji, bergizi dan mengandung serat menggunakan tepung mocaf sebagai bahan
baku serta pengayaan protein dengan tepung surimi ikan gabus. Hasil analisis sensori menunjukkan bahwa formula mi dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9%
menghasilkan mi dengan penerimaan terpilih. Mi kering formula terpilih memiliki
karakteristik yang meliputi kadar air 8,01%, kadar abu 4,21%, kadar protein 5,76%, kadar
lemak 0,96%, kadar karbohidrat 89,06%, serat pangan 8,38% (dari serat total), aktivitas air 0,52, cooking time 8,10 menit, cooking loss 32,04%, warna kecerahan 94,48,
kekerasan 1493,20 gf, kelengketan -307,70 gf, dan kekenyalan 71,79 gf. Informasi nilai
gizi dengan takaran saji 100 gram adalah total energi 356,84 kkal, %AKG karbohidrat 27,31%, %AKG protein 8,83%, %AKG lemak 1,41%, dan %AKG serat pangan 33,52%.
Kata kunci: ikan gabus, mi kering, serat pangan, tepung surimi, tepung porang
ABSTRACT
FARAH AISYAH SUKMAWATI. Formulation of Noodles Pasta High Fiber and Protein
Based on Flour from Cassava and Snakehead Fish (Channa striata) Surimi. Supervised
by WINI TRILAKSANI and JOKO SANTOSO.
Surimi powder of snakehead fish contains high protein, therefore it is potential as a
material for protein enrichment in carbohydrate based products that are popular
nowadays, namely udon noodles. The addition of seaweed and porang flour
(glucomannan) had an effect on texture noodles and also increase the nutrient of noodles. The aim of this study was to create processed fast-food product that formulated from
local ingredients, nutritious and contained of fiber using mocaf as raw material and surimi
powder of snakehead fish as enrichment protein material. The result of sensory analysis showed that the formula with the addition of 9% surimi powder of snakehead fish
produced noodles with the best acceptance. Udon dried noodles with the best formula had
characteristics as follow: 8.01% moisture content, 4.21% ash content, 5.76% protein
content, 0.96% fat content, 89.06% carbohydrate content, 8.38% dietary fiber (from total fiber), water activity 0.52, cooking time 8.10 minutes, 32.04% cooking loss, brightness
color 94.48, hardness 1493.20 gf, stickiness -307.70 gf, and springiness 71.79 gf.
Nutrition value information with serving size of 100 g contained calories 356.84 kcal, 27.31% daily value of carbohydrate, 8.38% daily value of protein, 1.41% daily value of
fat, and 33.52% daily value of dietary fibre.
Keywords: dietary fiber, dried noodles, porang flour, snakehead fish, surimi powder
7
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
9
FORMULASI PASTA MI BERPROTEIN DAN BERSERAT
TINGGI BERBASISKAN TEPUNG DARI UBI KAYU DAN
SURIMI IKAN GABUS (Channa striata)
FARAH AISYAH SUKMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
11
Judul Skripsi : Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi
Berbasiskan Tepung dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus
(Channa striata)
Nama : Farah Aisyah Sukmawati
NIM : C34110008
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui oleh
Dr Ir Wini Trilaksani MSc Prof Dr Ir Joko Santoso MSi
Pembimbing I Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Joko Santoso MSi
Ketua Departemen
Tangggal Lulus :
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Formulasi Pasta Mi Berprotein dan Berserat Tinggi Berbasiskan Tepung
dari Ubi Kayu dan Surimi Ikan Gabus (Channa striata)” dengan baik. Skripsi
disusun sebagai salah satu syarat penyelesaian studi di Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1 Dr Ir Wini Trilaksani, MSc dan Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku
dosen pembimbing sekaligus Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan, yang telah memberikan banyak arahan, masukan dan motivasi
selama penyelesaian tugas akhir. 2 Ir Heru Sumaryanto, MSi selaku dosen penguji atas segala masukan
yang diberikan kepada penulis. 3 Dr Kustiariyah Tarman, SPi, MSi selaku wakil komisi pendidikan, atas
segala masukan dan arahannya. 4 Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi
Hasil Perairan. 5 Bambang Riyanto, SPi, MSi dan Wahyu Ramadhan, SPi, MSi yang
senantiasa membantu dalam penyusunan skripsi. 6 Keluarga penulis terutama bapak (Arif Dibyo Pranowo, SE), mama
(Anita Yustisia) dan adik (Fahmi Muhammad Cokrosudibyo) yang
selalu memberi dukungan dan bantuan dalam kegiatan penelitian
maupun penulisan skripsi. 7 Nur Maghfiroh ATD, Rika Lestari, M Reza Fahlepi, M Wahyu Jati, Lina
Yustikaningsih, Azah Fajriah, Ajeng Novvita Sary, Elly Susanti,
Santiara Putri P dan Pipih Mahmudah yang senantiasa membantu dalam
penyelesaian skripsi ini. 8 Sila Kartika Sari dan Uli Fitri Handayani, yang selalu memberi inspirasi
dan motivasi kepada penulis. 9 Mba Dini, Mas Zaky, Mba Retno, Pak Junaedi selaku laboran yang
senantiasa membantu kegiatan penelitian. 10 Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2016
Farah Aisyah Sukmawati
15
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ii
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Perumusan Masalah ................................................................................. 3
Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
Manfaat Penelitian ................................................................................... 4
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 5
METODE PENELITIAN .............................................................................. 6
Waktu dan Tempat .................................................................................. 6
Bahan dan Alat ........................................................................................ 6
Tahap Penelitian ...................................................................................... 6
Prosedur Analisis .................................................................................... 12
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ................................................. 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 19
Karakteristik Tepung Surimi Ikan Gabus ................................................. 19
Karakteristik Bubur Rumput Laut (K. alvarezii) ...................................... 22
Karakteristik Tepung Porang .................................................................... 23
Karakteristik Sensori Mi Kering ............................................................... 24
Penentuan Formula Mi Kering Surimi Gabus Terpilih ............................. 29
Karakteristik Fisiko-kimia Formula Mi Kering
Surimi Ikan Gabus Terpilih, Kontrol dan Komersial ................................ 30
Sumbangan Gizi Mi Kering Surimi Gabus Terpilih terhadap
Angka Kecukupan Gizi ............................................................................ 37
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 37
Kesimpulan ............................................................................................. 37
Saran ....................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 38
LAMPIRAN ................................................................................................. 47
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... 65
DAFTAR TABEL
1 Formula mi kering ............................................................................... 10
2 Hasil proksimat ikan gabus .................................................................. 19
3 Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus ............................. 20
4 Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut ................................. 22
5 Karakteristik komposisi kimia tepung porang....................................... 23
6 Hasil analisis dengan metode Bayes ..................................................... 29
7 Karakteristik fisik mi kering formula terpilih, formula
kontrol dan komersial .......................................................................... 30
8 Karakteristik kimia mi kering formula terpilih, formula
kontrol dan komersial .......................................................................... 34
9 Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula
kontrol dan mi kering komersial ........................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian......................................................................... 7
2 Diagram alir pembuatan tepung surimi ikan gabus ............................... 8
3 Diagram alir pembuatan bubur rumput laut .......................................... 9
4 Diagram alir pembuatan mi kering dan analisis .................................... 11
5 Struktur kimia glukomanan .................................................................. 25
6 Karakteristik sensori mi kering dengan fortifikasi
tepung surimi ikan gabus .................................................................... 25
DAFTAR LAMPIRAN
1 Lembar penilaian uji sensori mi kering dan basah ................................ 49
2 Hasil uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn parameter sensori
Mi kering surimi gabus ........................................................................ 50
3 Penilaian indeks kinerja (metode Bayes) terhadap parameter sensori
mi kering ............................................................................................. 51
4 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan karakteristik fisik mi kering .................................................... 53
5 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan karakteristik kimia mi kering .................................................. 58
6 Perhitungan persentase sumbangan gizi mi kering ................................ 64
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia, sehingga pemenuhan
kebutuhan pangan menjadi krusial bagi setiap individu. Seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia, kebutuhan akan pangan juga
semakin meningkat. Menurut data BPS (2015) jumlah penduduk di Indonesia
tahun 2014 sebanyak 252,1 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 305,6 juta
jiwa pada tahun 2035. Sumber pangan akan menjadi permasalahan yang serius
karena sangat berkaitan dengan ketersediaan bahan baku pangan itu sendiri.
Masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi beras sebagai sumber
karbohidrat. Ariani (2010) menyatakan bahwa pemerintah dengan berbagai
program terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan, akan tetapi upaya
pencapaian produksi pangan kedepan tampaknya akan menemui kendala akibat
adanya perubahan iklim dan budaya pola makan masyarakat di Indonesia.
Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai
indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah
dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara
terintegrasi. Pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia masih tertumpu
pada protein nabati (Ariani 2010). Mengacu data SUSENAS tahun 2013
kontribusi protein hewani dalam pemenuhan kebutuhan total konsumsi protein
baru mencapai 31,7%, sedangkan protein nabati kontribusinya mencapai 68,3%.
Sumbangan protein ikan terhadap konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia
mencapai 57% (KKP 2013a). Hasil perikanan memiliki potensi yang baik untuk
pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani.
Ikan memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan sumber protein
hewani lainnya, salah satunya adalah kandungan protein tinggi yang
memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan fortifikasi pada berbagai
produk makanan. Protein ikan dapat difortifikasikan dalam bentuk daging lumat
atau tepung ikan mutu pangan dan protein hidrolisat (Irianto dan Soesilo 2007).
Protein ikan dalam bentuk daging lumat biasa disebut surimi.
Rawdkuen et al. (2009) menyatakan bahwa surimi merupakan daging lumat yang
merupakan protein hasil dari pemisahan tulang secara mekanis, dan penghilangan
komponen lemak, darah, enzim, serta protein sarkoplasma dengan perlakuan
pencucian air dingin dan ditambahkan bahan antidenaturasi pada proses
pembekuan (cryoprotectant) sebagai penstabil. Pengolahan surimi lebih lanjut ke
dalam bentuk tepung menjadi salah satu kajian yang penting dalam beberapa
tahun ini. Pembuatan tepung surimi merupakan inovasi pengembangan bentuk
protein yang mudah untuk diaplikasikan ke dalam produk pangan yang memiliki
kadar protein rendah. Santana et al. (2012) mengemukakan bahwa surimi dalam
bentuk tepung memiliki beberapa kelebihan daripada surimi dalam bentuk beku,
yaitu biaya distribusi pada skala industri yang lebih murah dan penyimpanan yang
lebih mudah. Salah satu ikan yang memiliki potensi untuk dijadikan produk
tepung surimi adalah ikan gabus.
Surimi yang berkualitas baik adalah yang berwarna putih (colorless), tidak
berbau (odorless) dan mengandung protein miofibril yang tinggi karena akan
2
berpengaruh pada kekuatan gelnya (Park dan Lin 2005). Ikan gabus (Channa
striata) merupakan ikan air tawar yang mengandung protein dan rendemen daging
yang cukup tinggi. Penelitian Tan dan Azhar (2014) menunjukkan bahwa
rendemen fillet ikan gabus sebesar 35,73% dan kadar protein dari tepung fillet
ikan gabus sebesar 87-94% (bk). Ikan gabus memiliki kadar protein yang tinggi
dan kadar lemak yang rendah. Kadar protein dan lemak ikan gabus berturut-turut
adalah 17,61% dan 1,34% (Prawira 2008). Ikan yang mengandung protein tinggi
dan lemak yang rendah sangat cocok untuk diolah menjadi surimi, karena akan
berpengaruh terhadap kekuatan gel pada surimi yang dihasilkan
(Guenneugues dan Morissey 2005).
Volume produksi ikan gabus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2013 angka produksi mencapai 36.205 ton dan tahun 2014 mencapai
39.030 ton (Ditjen Perikanan Tangkap 2015). Eksplorasi pemanfaatan ikan gabus
saat ini lebih cenderung pada bidang kesehatan, karena kandungan protein
albuminnya yang dapat membantu recovery pada luka. Kandungan albumin pada
ikan gabus, toman dan betutu segar berturut-turut adalah 1,15 g/100 mL; 1,36
g/100 mL dan 1,05 g/100 mL (Zakiah 2016). Sementara itu, pemanfaatan ikan
gabus dalam bidang pangan sebatas olahan ekstrak albumin, makanan khas daerah
ataupun ikan gabus asin yang dikeringkan. Oleh karena itu untuk meningkatkan
nilai jual ikan gabus dan memanfaatkannya menjadi bahan pangan kaya protein,
maka ikan gabus diolah dalam bentuk tepung surimi yang selanjutnya dapat
difortifikasikan ke dalam produk pangan.
Asupan makanan sehari-hari tidak cukup hanya mengandung komponen gizi
seimbang saja, seperti vitamin, lemak, protein, karbohidrat, mineral dan air.
Keberadaan serat makanan dalam menu makanan sangat dianjurkan untuk hidup
sehat. Serat makanan adalah kelompok zat tidak mengandung gizi, namun
memiliki fungsi sebagai unsur yang membantu dan menjaga keseimbangan
kesehatan dalam tubuh (Lubis 2009). Kecukupan asupan serat kini dianjurkan
mencapai 25-38 g/hari bagi orang dewasa (IOM 2005). Pergeseran pola makan
masyarakat Indonesia dari pola makanan berserat tinggi ke pola makanan berserat
rendah dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Hal tersebut dapat
dicegah dengan mengkonsumsi serat pangan (Muchtadi 2001). Rumput laut
merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung serat pangan dan dikenal
sebagai hidrokoloid. Jumlah produksi rumput laut pada tahun 2013 sebesar 3,4
juta ton. Salah satu jenis rumput laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
penting adalah Kappaphycus alvarezii (KKP 2013b). Menurut
Santoso et al. (2006) rumput laut jenis K. alvarezii mengandung serat pangan
yang cukup tinggi, yaitu 11,6 g/100g. Rumput laut ini juga mengandung
karaginan yang berfungsi sebagai pembentuk tekstur dan pengenyal. Oleh karena
itu, penggunaan rumput laut segar diharapkan dapat memberi tekstur kenyal serta
menambah kandungan gizi pada produk pangan yang dihasilkan.
Bahan pangan lain yang juga dapat berfungsi sebagai texturizer dan
mengandung serat pangan selain rumput laut adalah umbi porang. Umbi porang
sangat jarang dikonsumsi langsung karena mengandung kristal kalsium oksalat
yang menyebabkan rasa gatal, sehingga diproses untuk menghilangkan kalsium
oksalat dan hasil akhirnya dalam bentuk tepung porang yang kaya glukomanan.
Glukomanan merupakan soluble dietary fiber, sehingga tepung porang dapat
dijadikan sebagai sumber serat pangan (Lasmini 2002). Chua et al. (2010)
3
melaporkan bahwa glukomanan umumnya dimanfaatkan sebagai pembentuk
tekstur dan gel pada bidang pangan, minuman dan farmasi. Xiong et al. (2009)
juga mengemukakan bahwa glukomanan merupakan bahan pengisi yang efektif
untuk meningkatkan pembentukan gel protein miofibril. Tepung porang dan
rumput laut serta tepung surimi ikan gabus sangat potensial digunakan sebagai
bahan pengayaan gizi serat pangan dan protein untuk produk berbasis karbohidrat
yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia maupun Asia, yaitu mi.
Gan et al. (2009) menyatakan bahwa angka konsumsi tepung terigu untuk
pembuatan mi di negara-negara Asia mencapai 30-45%. Asosiasi mi instan dunia
menyatakan bahwa Indonesia termasuk kedalam negara yang mengkonsumsi mi
instan terbanyak kedua setelah China. Angka permintaan mi instan di Indonesia
pada tahun 2015 mencapai 13.200 ton, sedangkan China 40.430 ton
(WINA 2015). Disamping itu Indonesia masih mengimpor terigu setiap tahunnya.
Pada tahun 2013 tercatat impor terigu mencapai angka 5,08 juta ton
(Kemenperin 2013). Bahan baku lokal alternatif yang dapat digunakan untuk
pembuatan mi adalah ubi kayu (singkong). Tepung Modified Cassava Flour
(Mocaf) adalah tepung yang terbuat dari singkong yang mengalami proses
fermentasi terlebih dahulu dengan menggunakan mikroba bakteri asam laktat
(BAL) dan tepung ini memiliki sifat fisik yang paling mendekati tepung terigu
(Salim 2011). Penggantian tepung terigu dengan tepung mocaf pada pembuatan
mi akan berpengaruh terhadap kadar protein produk tersebut, karena menurut
Sunarsi et al. (2011) tepung mocaf tidak mengandung gluten, seperti halnya
tepung terigu. Tepung mocaf memiliki kadar protein rendah yaitu 1,2% jika
dibandingkan dengan tepung terigu yang mencapai 8-13%.
Menurut Fu (2008) regular salted noodles terbuat dari tepung terigu dan air
yang mengandung 2-8% garam dari bobot tepung terigu itu sendiri. Mi putih
bergaram umumnya diproduksi dalam bentuk mi basah dan mi kering. Perbedaan
mi tersebut dengan mi lainnya adalah ukuran lebar untaiannya sebesar 3,0 mm.
Beberapa penelitian mengenai mi putih bergaram diantaranya Wang et al. (2004)
mengenai pengaruh kandungan protein dan komposisinya pada kualitas mi putih
yang dihasilkan; Park dan Baik (2009) mengenai penambahan gluten pada mi
putih bergaram; dan penelitian Heo et al. (2012) mengenai pengaruh kadar
amilosa pada waktu pemasakan dan tekstur mi putih bergaram. Belum adanya
penelitian mengenai pembuatan white salted noodles di Indonesia, mendorong
dilakukannya penelitian pembuatan mi tersebut dengan menggunakan bahan baku
lokal yang dapat menggantikan tepung terigu sehingga masyarakat tidak
bergantung pada produk impor. Penambahan tepung surimi ikan gabus, rumput
laut dan tepung porang pada pembuatan produk mi kering diharapkan dapat
menambah kandungan protein dan serat pada produk serta untuk memperbaiki
tekstur sehingga diperoleh mi yang kenyal dan bergizi tinggi.
Perumusan Masalah
Terdapat berbagai macam jenis mi yang populer di Asia, salah satunya
adalah white salted noodles. Perilaku konsumsi masyarakat ibu kota Jakarta
menyebabkan mi tersebut digemari oleh masyarakat kalangan menengah keatas
karena besarnya pengaruh globalisasi yang terjadi. Berbagai macam variasi
4
produk mi berbasis terigu telah mendominasi di pasaran Indonesia. Secara tidak
langsung hal ini berdampak langsung pada ketergantungan impor terhadap bahan
baku terigu. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi konsumsi mi terigu
adalah dengan membuat mi yang berbahan baku produk lokal, yaitu ubi kayu
(singkong). Belum adanya pembuatan mi white salted noodles dengan
menggunakan bahan baku selain terigu, maka hal ini mendorong dilakukannya
pembuatan mi tersebut dengan bahan baku lokal yang diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan impor akan tepung terigu. Mi berbahan baku tepung
dari ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, namun rendah
kandungan gizi lainnya.
Hasil perikanan memiliki potensi yang besar untuk pemenuhan gizi
masyarakat. Ikan dapat menjadi solusi untuk pemenuhan kebutuhan protein di
Indonesia dengan mengolah ikan menjadi tepung surimi. Tepung surimi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengayaan protein pada produk makanan yang
rendah akan protein. Rumput laut mengandung serat pangan yang cukup tinggi
dan juga dapat berfungsi sebagai texturizer. Bahan pangan lain yang mengandung
serat pangan tinggi dan memiliki fungsi yang sama adalah tepung porang. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan gizi pada mi
yaitu dengan melakukan fortifikasi tepung surimi kering, rumput laut dan tepung
porang pada formulasi mi kering, sehingga dihasilkan mi kering yang kaya akan
kandungan protein dan serat.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah membuat mi kering berbahan baku
singkong dengan pengayaan protein yang berasal dari tepung surimi ikan gabus
serta pengayaan serat yang berasal dari rumput laut dan tepung porang. Tujuan
khusus dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan formula terpilih mi kering berbahan baku singkong yang
diperkaya dengan tepung surimi ikan gabus berdasarkan karakteristik sensori.
2. Menentukan pengaruh penambahan tepung surimi ikan gabus terhadap
karakteristik produk yang dihasilkan.
3. Menentukan karakteristik fisiko kimia mi kering formula terpilih dan formula
kontrol serta membandingkannya dengan mi kering komersial.
4. Menentukan persentase sumbangan zat gizi terhadap angka kecukupan gizi
(AKG) produk mi kering yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu dapat menghasilkan
produk baru mi kering yang pembuatannya menggunakan hasil perikanan yaitu
rumput laut dan ikan gabus. Ikan gabus yang diolah menjadi tepung surimi dapat
meningkatkan nilai tambah ikan gabus dan kandungan gizi protein pada mi
kering. Penambahan rumput laut dan tepung porang juga dapat menambah
kandungan serat dan memberi tekstur kenyal pada mi. Penggunaan bahan baku
singkong pada pembuatan mi kering dapat meningkatkan konsumsi pangan lokal,
5
sehingga mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menghasilkan inovasi baru untuk mengadopsi produk pangan
dari luar Indonesia dan memodifikasi pembuatannya dengan menggunakan bahan
baku lokal.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yaitu pembuatan tepung surimi ikan gabus dan
karakterisasi tepung surimi ikan gabus yang meliputi analisis kadar air; kadar
protein; kadar lemak; derajat putih; daya serap air; daya serap minyak; densitas
dan kekuatan gel. Penelitian ini juga mencakup pembuatan bubur rumput laut dan
karakterisasi bubur rumput laut, serta karakterisasi tepung porang. Penelitian
utama yang dilakukan adalah penentuan formula terpilih mi kering berdasarkan
analisis sensori (kenampakan, warna, aroma, rasa, kekerasan dan kekenyalan),
pengujian karakteristik mi kering yang meliputi analisis proksimat; analisis serat
pangan; uji aktivitas air (aw), cooking time, cooking loss dan analisis profil tekstur
(kekerasan, kelengketan dan kekenyalan), serta perhitungan persentase
sumbangan zat gizi terhadap angka kecukupan gizi (AKG).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2015.
Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium lingkungan Institut Pertanian
Bogor (IPB) dan di luar IPB, yaitu Laboratorium Diversifikasi dan Pengolahan
Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium
Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Laboratorium R & D Pasta dan Sereal SEAFAST Center, Laboratorium
Terpadu, Laboratorium Analisis Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, Laboratorium Analisis Terpadu Teknologi Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan, Balai Besar Industri Agro, serta Laboratorium Pengujian
Balai Besar Pascapanen Pertanian.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi empat, yaitu
bahan untuk pembuatan tepung surimi ikan gabus; bubur rumput laut; mi kering;
dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung
surimi ikan gabus adalah ikan gabus (jenis Channa striata yang diangkut dalam
keadaan hidup dari kolam budidaya di daerah Jakarta Utara), air, es batu, trehalosa
6% dan NaHCO3 0,75%. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan bubur
6
rumput laut adalah rumput laut kering (jenis Kappaphycus alvarezii yang
diperoleh dari Pontang, Serang, Banten), air dan CaO 5%. Bahan-bahan yang
digunakan untuk pembuatan mi kering adalah mocaf merk Mocaf, tepung porang
(80 mesh) yang diperoleh dari Pabrik Penepungan Porang Perum Perhutani Unit
II, Pare, Jawa Timur, tepung tapioka (kadar lemak total 3,9 g/100 g; karbohidrat
total 22 g/100 g; protein 2 g/100 g) yang diproduksi oleh PT Budi Starch and
Sweetener, Lampung, tepung maizena (kadar lemak 0,1 g/100 g; karbohidrat total
91 g/100 g; serat pangan 0,9 g/100 g dan protein 0,3 g/100 g) merk Maizenaku,
garam, air abu 1%, dan bubur rumput laut. Bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis meliputi akuades, minyak nabati, serbuk BaSO4, pelarut heksana, kjeltab
merk Merck, H3BO3 2%, indikator Brom Cresol Green-Methyl Red, HCl 0,01 N,
NaOH 30%, H2SO4 pekat, aquades, larutan tarmamyl, enzim protease, enzim
amiloglukosidase, NaOH 0,275 N, HCl 0,325 N, buffer fosfat pH 6.0, etanol 95%,
etil alkohol 78%, etil alkohol 95% dan aseton.
Alat yang digunakan meliputi gelas ukur, meat grinder (National MK
G20NR, Indonesia), stopwatch, cabinet dryer, blender (Philips, Belanda),
termometer, batang pengaduk, baskom, kain belacu, ayakan ukuran 60 mesh,
sudip, timbangan analitik (Sartorius TE64, Jerman), sendok, panci, spatula,
kompor, loyang aluminium, ekstruder pencetak mi (model MS9, Multifunctional
noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China),
cawan porselen, kompor listrik (Maspion, Indonesia), oven (Yamato tipe DV 41,
Jepang), desikator, soxhlet, labu lemak, labu kjeldahl, whiteness meter (Kett
Electricity Laboratory tipe C-100-3, Jepang), tabung sentrifugasi, penangas air,
sentrifugator (Beckman J2-21, Amerika; 3000rpm; 30 menit), dan texture
analyzer (TA-XT2i, Inggris). Ekstruder pasta yang digunakan memiliki
spesifikasi: diameter barrel 3,2 cm, diameter ulir 3,1 cm, kedalaman flight 0,9 cm,
lubang die berjumlah 12 buah dengan diameter masing-masing lubang adalah 3,0
mm.
Tahap Penelitian
Penelitian ini terdiri atas enam tahap, tahap pertama yaitu pembuatan tepung
surimi ikan gabus. Tahap kedua, pembuatan bubur rumput laut. Tahap ketiga,
formulasi mi kering. Tahap keempat, pembuatan dua formula mi kering dengan
fortifikasi tepung surimi ikan gabus. Tahap kelima, penentuan formula terpilih mi
kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus dengan metode Bayes. Tahap
keenam, membandingkan mi kering formula terpilih dengan mi kering komersial.
Mi dengan formula terpilih kemudian dihitung persentase sumbangan gizinya
terhadap AKG. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembuatan tepung surimi ikan gabus
Pembuatan tepung surimi ikan gabus mengacu pada metode penelitian
Ramadhan et al. (2014) yang dimodifikasi pada tahap pengeringan (Gambar 2).
Tahap pembuatan tepung surimi diawali dengan preparasi ikan gabus dalam
bentuk fillet, kemudian direndam pada larutan NaHCO3 dengan konsentrasi
0,75% selama 30 menit yang bertujuan untuk mengurangi kadar lemak. Fillet ikan
gabus kemudian digiling dengan menggunakan meat grinder. Daging ikan yang
sudah digiling kemudian dicuci dengan air dingin (suhu 10 °C) sebanyak satu kali.
7
Tahap berikutnya yaitu pemberian dryoprotectant berupa trehalosa 6% yang
mengacu pada perlakuan yang diberikan pada pembuatan tepung surimi oleh
Huda et al. (2012), kemudian dilakukan pengeringan yang mengacu pada
penelitian Susanti (2015) dengan menggunakan cabinet dryer pada suhu 40 oC
selama 4 jam. Tahap terakhir dilakukan penghancuran surimi kering dengan
menggunakan blender dan diayak pada ayakan 60 mesh sehingga diperoleh
tepung surimi. Tepung surimi kemudian dianalisis kadar airnya (BSN 2006b),
kadar lemak (BSN 2006c) dan kadar protein (BSN 2006
d), derajat putih
(ICC 2009), daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977),
densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), dan kekuatan gelnya (Park dan
Lin 2005).
Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Ikan gabus
Rumput laut
Karakterisasi:
Rendemen,
proksimat,
derajat putih,
daya serap air
dan minyak,
densitas
kamba, dan
kekuatan gel
Fortifikasi mi dengan tepung surimi ikan
gabus
Penentuan formulasi terbaik dengan metode
Bayes
Formulasi mi basah
Mi kering
Mi kering terbaik
Karakterisasi:
Proksimat,
serat pangan,
glukomanan
Karakterisasi:
Proksimat
dan serat
pangan
Karakterisasi:
kimia, fisik dan
AKG
Pengeringan mi
Tepung surimi
ikan gabus Bubur rumput laut
Pembuatan bubur
rumput laut
Tepung porang
Pembuatan
tepung surimi
Karakterisasi:
Sensori
8
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung surimi ikan gabus
(*modifikasi Ramadhan et al. 2014)
Pembuatan bubur rumput laut
Pembuatan bubur rumput laut mengacu pada metode penelitian Hudaya
(2008) yang dimodifikasi pada tahap perendaman rumput laut kering dalam air
tawar (Gambar 3). Tahap pembuatan bubur rumput laut diawali dengan
penimbangan rumput laut kering kemudian dilakukan pencucian dan perendaman
air tawar selama 5 hari. Tahap selanjutnya adalah pembilasan berulang dan
perendaman dalam larutan CaO 5% selama 5 jam, kemudian dilakukan
pembilasan dan penirisan. Tahap terakhir dilakukan penggilingan dengan blender
hingga menjadi bubur rumput laut. Larutan CaO 5% berfungsi untuk
meningkatkan rendemen yang dihasilkan dan kekuatan gel dari rumput laut
(Firdaus et al. 2015). Bubur rumput laut kemudian dianalisis proksimat (BSN
2006a,b,c,d
) dan total serat pangan (AOAC 2005).
Formulasi mi kering
Pembuatan mi kering dibagi menjadi dua tahap, yaitu formulasi adonan
sebagai penelitian pendahuluan dan pembuatan mi kering yang mengacu pada
metode penelitian Sary (2015) yang dimodifikasi. Formulasi adonan dimulai
dengan melakukan trial and error untuk proporsi yang sesuai antara tepung
mocaf, maizena dan tapioka. Hasil formulasi tersebut menunjukkan bahwa
Pemfilletan
*Ikan gabus (Channa striata)
Pencucian dengan air 10 oC (1:3) sebanyak 1 kali
Penambahan dryoprotectant trehalosa 6%
*Pengeringan dengan cabinet dryer pada suhu 40 oC, selama 4 jam
*Penghancuran dengan blender
*Pengayakan dengan ayakan ukuran 60 mesh
Perendaman dalam larutan NaHCO3 0,75% selama 30 menit
Tepung surimi ikan gabus
Pembilasan dengan air
Pelumatan dengan meat grinder
9
persentase yang sesuai untuk adonan mi kering adalah mocaf 35%, maizena 6%
dan tapioka 16%. Menurut metode Sary (2015) adonan tersebut kemudian dibuat
menjadi binder yang disiapkan dengan cara mendidihkan pati singkong (10% dari
masing-masing total pati singkong, yaitu tapioka dan mocaf) dan garam 2% ke
dalam air (1:7 w/v). Binder dicampur dengan tepung surimi ikan gabus, bubur
rumput laut, gel porang dan 90% pati singkong yang masih tersisa. Tepung porang
yang akan ditambahkan ke dalam adonan, harus dibuat dalam bentuk gel porang
terlebih dahulu. Mengacu pada metode Faridah dan Widjanarko (2014) gel porang
dibuat dari tepung porang 6% yang dicampur dengan air (1:2). Konsentrasi bubur
rumput laut yang ditambahkan ke dalam adonan adalah 6% berdasarkan pada
acuan asupan serat yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa, yakni 25-38 g/hari
(IOM 2005). Pada saat pencampuran adonan, ditambahkan air abu 1% yang
mengacu pada Hou (2001) secara perlahan sambil dicampur hingga diperoleh
adonan yang kalis. Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak
mi (ekstruder pasta) dan dikeringkan selama 1 jam pada suhu 40 oC menggunakan
cabinet dryer. Formula mi kering hasil penelitian pendahuluan dan diagram alir
pembuatan mi berturut-turut disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 4.
Gambar 3 Diagram alir pembuatan bubur rumput laut
(*modifikasi Hudaya 2008)
*Perendaman dalam air selama 5 hari
Rumput laut (Kappaphycus alvarezii) kering
Pembilasan berulang dengan air tawar
Perendaman dalam larutan CaO 5% ± 5 jam
Pembilasan dengan air mengalir
Penggilingan dengan blender
Penimbangan
Penirisan
Bubur rumput laut
10
Tabel 1 Formula mi kering
Komposisi bahan Jumlah (%) Sumbangan (g)
Tepung mocaf 35,33 53
Tepung tapioka 16,00 24
Tepung porang 6,67 10
Maizena 6,67 10
Garam 2,00 3
Rumput laut 6,67 10 Air abu 1% 13,33 20
Jumlah 100,00 130
*Tepung surimi 6% dan 9% 10 dan 15
Fortifikasi tepung surimi ikan gabus terhadap mi kering
Fortifikasi tepung surimi ikan gabus terhadap mi kering dilakukan dengan
dua taraf perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung surimi
ikan gabus dengan konsentrasi 6% dan 9% (dari total berat tepung). Konsentrasi
tepung surimi ikan gabus yang digunakan dalam penelitian ini diacu berdasarkan
teori umum mengenai anjuran kisaran energi gizi makro bagi penduduk Indonesia
dalam estimasi kecukupan gizi, yaitu 10-20% energi protein, 25-35% energi
lemak, dan 40-60% energi karbohidrat (Tejasari 2005), sedangkan anjuran kisaran
energi gizi makro bagi penduduk Amerika Serikat umumnya 10-35% energi
protein, 20-35% energi lemak, dan 45-65% energi karbohidrat (IOM 2005).
Penentuan formula terpilih mi kering dan perhitungan kandungan gizi
Formula yang terpilih ditentukan berdasarkan karakteristik terpilih dari
kedua formula mi kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus dengan uji
indeks kinerja (metode Bayes). Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang
dapat dipergunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan
terpilih dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang
optimal (Marimin 2004). Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan mi kering dengan penambahan tepung surimi
ikan gabus yang menghasilkan produk yang paling disukai. Formula mi kering
terpilih didasarkan pada kesukaan konsumen terhadap karakteristik sensori
dengan pembobotan (kenampakan, warna, aroma, rasa, kekerasan dan
kekenyalan).
Formula yang terpilih tersebut kemudian dihitung persentase sumbangan
angka kecukupan gizinya. Nilai energi makanan dapat ditetapkan menggunakan
faktor atwater melalui perhitungan menurut komposisi karbohidrat, lemak,
protein, serta nilai energi makanan tersebut. Faktor atwater merupakan angka
konversi karbohidrat, lemak, dan protein tiap gramnya dalam menghasilkan
energi. Faktor atwater untuk karbohidrat adalah 4 kkal/g, lemak 9 kkal/g, dan
protein 4 kkal/g. Nilai energi dapat diperoleh dari jumlah kali antara faktor
atwater dengan gram gizi pada bahan pangan (Almatsier 2006).
11
Gambar 4 Diagram alir pembuatan mi kering dan analisis
(*modifikasi Sary 2015)
Pencampuran ke dalam air dengan perbandingan (tepung:air = 1:7 w/v)
Pemanasan dan pengadukan hingga terbentuk gel berwarna transparan
(suhu 80 oC; 2 menit)
Pengeringan dengan cabinet dryer suhu 40 oC, selama 1 jam
Pembentukan untaian mi dengan ekstruder pencetak
(ukuran diameter mi 2,5 mm dan lebar 3,0 mm)
Mi kering surimi ikan gabus
Pengujian sensori
Penentuan formula terpilih dengan metode Bayes
Formula mi kering terpilih
Mi basah
Pembandingan mi formula
terpilih, kontrol dan komersial
Analisis:
Proksimat; serat
pangan; analisis
profil tekstur;
cooking time;
cooking loss; dan
aktivitas air (aw)
*Mocaf 90%, tepung
tapioka 90%, tepung
maizena, gel porang
6% dan bubur rumput
laut 6%
*Penambahan air abu 1%
Pengadonan hingga kalis
Mocaf 10% dan tepung tapioka
10% + garam 2%
Binder berbentuk gel *Tepung surimi
ikan gabus
6% dan 9%
12
Prosedur Analisis
Rendemen
Penentuan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat tepung yang
dihasilkan dengan berat bahan baku. Rendemen dihitung dengan rumus :
Rendemen (%) = berat ak ir yan diperole )
berat awal ba an baku ) x 100%
Daya serap air (Beuchat 1977)
Penentuan daya serap air dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel ke
dalam tabung sentrifugasi kemudian ditambahkan 10 mL akuades. Sampel diaduk
dengan spatula dan didiamkan selama 30 menit. Larutan kemudian disentrifugasi
pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, supernatan ditimbang dengan
timbangan analitik. Daya serap air dihitung dengan rumus :
Daya serap air (%) = a-b
c x 100%
Keterangan :
a = (Berat awal)+(air terserap)
b = (Berat akhir)+(air tidak terserap)
c = Berat sampel (g)
Daya serap minyak (Beuchat 1977)
Penentuan daya serap minyak dilakukan dengan memasukkan 1 g sampel
dan 10 mL minyak nabati ke dalam tabung sentrifugasi. Sampel kemudian diaduk
dengan spatula dan didiamkan selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi
pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, supernatan ditimbang dengan
timbangan analitik. Daya serap minyak dihitung dengan rumus :
Daya serap air (%) = a-b
c x 100%
Keterangan :
a = (Berat awal)+(minyak terserap)
b = (Berat akhir)+(minyak terserap)
c = Berat sampel (g)
Derajat putih (ICC 2009)
Analisis warna dilakukan dengan Whiteness Meter. Sampel sebanyak 3 g
ditempatkan dalam suatu wadah. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan
wadah sampel di atas tester. Selanjutnya, wadah yang berisi sampel beserta cawan
berisi standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke dalam tempat pengukuran
dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran.
Derajat putih dihitung dengan rumus:
Derajat putih (%) = erajat puti
x
13
Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)
Densitas kamba menunjukkan kepadatan partikel yang menempati ruang
pada volume tertentu. Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan pengukuran
10 g sampel dengan menggunakan gelas ukur 50 ml. Densitas kamba dinyatakan
dalam gram per ml. Densitas kamba dihitung dengan menggunakan rumus:
Densitas kamba (g/ml) = berat sampel )
volume sampel mL)
Kekuatan gel surimi (Park dan Lin 2005)
Kekuatan gel surimi dianalisis dengan alat texture analyzer. Sampel tepung
surimi dibuat dalam bentuk surimi basah dengan cara rehidrasi. Surimi basah
kemudian dibuat menjadi kamaboko dengan cara surimi dibuat adonan dengan
penambahan garam dan dicetak pada selongsong dan dipanaskan pada suhu 40 oC
dan 90 oC masing-masing selama 20 menit. Selanjutnya kamaboko didinginkan
pada suhu ruang. Sampel kamaboko dengan panjang 2,5 cm diletakkan di bawah
probe berdiameter ½ inchi dengan kecepatan pengukuran 1,1 mm/detik, kemudian
dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kekuatan
gel surimi dinyatakan dalam g/cm2 yaitu kekuatan gel (tinggi kurva) (g force)
perluas permukaan kontak area probenya (cm2). Tekanan dilakukan sebanyak satu
kali. Hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi
saat sampel benar-benar pecah. Nilai kekuatan gel (breaking force) ditunjukkan
oleh puncak (peak) pertama dimana terjadi penurunan. Tiap analisis kekuatan gel
dilakukan dengan menggunakan sampel pengujian sebanyak dua ulangan.
Kadar abu (BSN 2006a)
Tahap awal analisis kadar abu yaitu cawan pengabuan terlebih dulu
dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan
di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat yang
konstan. Sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan
dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu
dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C sampai pengabuan
sempurna, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Perhitungan persentase kadar abu basis basah dapat dihitung dengan rumus :
Kadar abu (%) = obot setela tanur - obot cawan
obot sampel x 100%
Kadar air (BSN 2006b)
Analisis kadar air diawali dengan pengeringan cawan porselen dalam oven
pada suhu 105 °C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator
(kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang.
Sebanyak 5 g contoh dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan dengan
oven pada suhu 105 °C selama 6 jam. Selanjutnya, cawan tersebut diletakkan pada
desikator ± 30 menit dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang
kembali. Persentase kadar air basis basah dapat dihitung dengan rumus :
14
Kadar air (%) = obot cawan sampel) - obot setela oven
obot sampel x
Kadar lemak (BSN 2006c)
Sebanyak 5 g sampel ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring,
kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya
dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Pelarut heksana dituangkan ke dalam
labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan
dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam
labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu
105 °C. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit
dan ditimbang. Perhitungan kadar lemak dapat dihitung dengan rumus berikut:
Kadar lemak (%) = obot labu den an lemak - Labu koson
obot sampel x 100%
Kadar protein (BSN 2006d)
Analisis protein terdiri dari tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.
Tahap destruksi diawali dengan penimbangan sampel sebanyak 1 g, kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Setengah butir Kjeltab dimasukkan
ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 10 mL H2SO4. Labu Kjeldahl yang
berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 400 oC.
Proses destruksi dilakukan kurang lebih satu jam sampai larutan menjadi hijau
bening. Larutan sampel yang sudah didestruksi ditambahkan akuades sampai 100
mL, kemudian diambil sebanyak 10 mL dan dituangkan ke dalam labu destilasi,
lalu ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 10 mL. Cairan dalam tabung
kondensor ditampung dalam erlenmeyer 250 mL berisi 10 mL larutan asam borat
yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai larutan asam borat yang
berwarna merah menjadi warna biru. Larutan asam borat yang berwarna biru
tersebut kemudian dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula). Volume titran dibaca
dan dicatat. Perhitungan nitrogen dalam bahan dihitung dengan menggunakan
rumus berikut:
Nitrogen (%) = mL l – mL blanko) x N l x
m bobot sampel x
Kadar Protein (%) = % Nitrogen x faktor koreksi (6,25)
Kadar karbohidrat (by difference)
Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan
dari 100% dengan kadar air, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar
karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Analisis karbohidrat dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air (%) + kadar abu (%) + kadar lemak (%) +
kadar protein (%))
15
Analisis serat pangan metode enzimatik (AOAC 985.29.2005)
Sampel ditimbang sebanyak 1 g dalam gelas piala 400 mL. Sebanyak 50 mL
buffer fosfat pH 6,0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Kemudian ditambahkan
pula 0,1 mL larutan termamyl. Gelas piala lalu ditutup dengan menggunakan
kertas aluminium foil (alufo) dan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit,
digoyangkan secara perlahan dalam interval waktu 5 menit. Selanjutnya larutan
tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5 dengan
penambahan 10 mL NaOH 0,275 N.
Sebanyak 5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara
dilengketkan pada ujung spatula. Sampel kemudian diinkubasi selama 30 menit
pada suhu 60 oC. Lalu sampel didinginkan dan ditambahkan 10 mL HCl 0,325 M.
Enzim amiloglukosidase ditambahkan dan sampel diinkubasi selama 30 menit
pada suhu 60 oC. Sebanyak 280 mL etanol 95% yang sebelumnya telah
dipanaskan hingga suhunya 60 o
C ditambahkan ke dalam sampel. Sampel
dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit agar terbentuk endapan. Secara
kuantitatif endapan disaring melalui crucible.
Residu dicuci tiga kali dengan 20 mL etil alkohol 78%, dua kali dengan 10
mL etil alkohol 95%, dan dua kali dengan 10 mL aseton secara berturut-turut.
Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven
biasa pada suhu 105 oC. Lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein
menggunakan metode Kjeldahl. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam
pada suhu 525 oC. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Persentase total serat pangan dapat diperoleh dari perhitungan rumus berikut:
Serat pangan (%) = obot residu ) - -
obot sampel x 100%
Kadar serat kasar (BSN 1992)
Sebanyak 0,3 g sampel dihilangkan lemaknya dengan cara ekstraksi soxhlet
atau dengan cara mengaduk dan mengendaptuangkannya dalam pelarut organik.
Sampel lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 50 mL
H2SO4 0,3 N dan dididihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin
tegak. Selanjutnya, sebanyak 25 mL NaOH 1,5 N ditambahkan ke dalam larutan
dan dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas, larutan tersebut
disaring dengan menggunakan corong Bunchner yang berisi kertas saring tak
berabu yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat
pada kertas saring selanjutnya dicuci berturut-turut dengan larutan H2SO4 0,3 N,
air panas 50 mL dan aseton 20 mL. Kertas saring beserta isinya lalu dimasukkan
ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada suhu 105 oC
lalu didinginkan dan ditimbang sampai bobotnya tetap. Perhitungan rumusnya
adalah sebagai berikut:
Serat kasar (%) = i - o
s x 100%
Keterangan :
Wo = Berat kertas saring
Wi = Berat kertas saring + residu setelah dikeringkan
Ws = Berat contoh
16
Kadar glukomanan (Widjanarko dan Megawati 2015)
Sampel sebanyak 0,2 g dan garam aluminium sulfat (0,10 kali massa
sampel) dilarutkan dalam air hangat suhu 75 oC dengan perbandingan 1:10 (b/v)
sambil diaduk selama 35 menit. Selanjutnya, endapan sampel dipisahkan
menggunakan sentrifugator 2000 rpm selama 30 menit dan diambil
supernatannya. Supernatan kemudian ditambahkan isopropil alkohol dengan
perbandingan 1:1 (v/v) sambil diaduk hingga terbentuk gumpalan. Lalu, gumpalan
disaring dengan kertas saring dan dikeringkan pada suhu 60 oC selama 24 jam lalu
ditimbang. Perhitungan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kadar glukomanan (%) = erat kerin residu
erat sampel awal x 100%
Profil tekstur menggunakan texture analyzer TA-XT2i (Subarna et al. 2012)
Analisis tekstur menggunakan alat Texture Analyzer TA-XT2i. Probe yang
digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm. Jarak antar probe adalah
20 mm. Pengaturan TA-XT2i yang digunakan adalah sebagai berikut: speed 1,0
mm/s, distance 50%, trigger Auto 5 g, mode Texture Profile Analysis (TPA).
Sehelai sampel mi dengan panjang yang melebihi diameter probe diletakkan di
atas landasan lalu ditekan oleh probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan
hubungan antara gaya untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan
ditunjukkan dengan absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan
ditunjukkan dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram
force (gf). Kekenyalan diperoleh dari rasio antara dua area kompresi dengan
satuan gram second (gs).
Waktu tanak (Cooking Time) (Collado et al. 2001)
Air sebanyak 200 mL dipanaskan sampai mendidih, kemudian 5 g mi yang
telah dipotong sepanjang 2-3 cm, dimasukkan ke dalam air mendidih tersebut.
Setiap 30 detik, helaian mi diletakkan diantara dua gelas arloji kemudian ditekan.
Waktu tanak optimum diperoleh pada saat seluruh bagian mi menyerap air dengan
sempurna atau pada saat tidak terbentuk titik putih ketika mi ditekan dengan gelas
arloji. Waktu dicatat mulai dari perebusan mi sampai matang.
Cooking loss (Collado et al. 2001)
Penentuan cooking loss dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam
150 mL air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi direndam air dingin
dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu
100 oC sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan
rumus berikut:
Cooking loss (%) = berat sebelum direbus-berat sesuda direbus
berat sebelum direbus x 100%
Analisis aktivitas air (aw) (Fontana 2007)
Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter, dengan spesifikasi alat
adalah aw meter Novasina ms1. Pengukuran nilai aw dilakukan dengan cara
memasukkan sampel yang akan diukur ke dalam cawan yang tersedia pada aw
17
meter tersebut. Sampel mi kering dihaluskan terlebih dahulu, kemudian sebanyak
2 g diletakkan ke dalam cawan tersebut. Cawan dimasukkan ke dalam wadah
pengukur, lalu ditutup dan dikunci. Alat aw meter dioperasikan sampai
menunjukkan tanda selesai, selanjutnya nilai aw akan terbaca.
Pengujian karakteristik sensori (BSN 2006)
Pengujian karakteristik sensori mi kering dalam penelitian ini menggunakan
metode uji skor. Uji skor (scoring test) merupakan metode uji dengan
menggunakan lembar penilaian untuk penentuan tingkat mutu produk berdasarkan
skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah hingga 9 (sembilan) sebagai nilai
tertinggi. Uji skor yang dilakukan meliputi uji hedonik (kesukaan) dan uji
karakteristik fisik mi kering oleh 40 panelis dengan kategori panelis semi terlatih.
Data yang diperoleh dianalisis untuk penentuan nilai mutunya dengan mencari
hasil rataan dari setiap panelis pada selang kepercayaan 95% dengan uji Kruskal
Wallis. Penilaian yang dilakukan meliputi kenampakan, warna, rasa, aroma,
kekerasan, dan kekenyalan. Lembar penilaian uji sensori mi kering surimi ikan
gabus dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Uji indeks kinerja (Marimin 2004)
Penentuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus terpilih dari hasil uji
organoleptik secara hedonik menggunakan uji indeks kinerja (metode Bayes).
Metode ini merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan
analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan
tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Pengambilan keputusan yang
optimal akan tercapai bila mempertimbangkan berbagai kriteria. Pemberian
perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan mi
kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus yang menghasilkan produk
paling disukai. Pemilihan mi kering yang paling disukai dilakukan dengan uji
indeks kinerja didasarkan pada total nilai yang paling tinggi dari setiap perlakuan.
Parameter yang diberi bobot yaitu karakteristik sensori (kenampakan, aroma,
warna, rasa, kekerasan dan kekenyalan).
Nilai kepentingan masing-masing parameter sensori yang digunakan terdiri
dari 6 nilai numerik, dimana 1 mewakili sangat tidak penting, 2 mewakili tidak
penting, 3 mewakili kurang penting, 4 mewakili biasa, 5 mewakili penting, dan 6
mewakili sangat penting. Nilai kepentingan tersebut dapat diperoleh dari hasil
kuisioner panelis atau dari ahli. Bobot dari masing-masing parameter didapat dari
hasil manipulasi matriks perbandingan nilai kepentingan antar parameter,
kemudian matriks tersebut dikuadratkan. Hasil penjumlahan setiap baris matriks
dibagi dengan total penjumlahan baris matriks tersebut hingga diperoleh nilai
eigen. Nilai eigen dari proses manipulasi matriks merupakan nilai bobot dalam
metode Bayes.
Pengolahan data uji organoleptik
Data hasil uji sensori mi kering dengan perlakuan fortifikasi tepung surimi
ikan gabus diolah menggunakan uji statistik nonparametrik, yaitu uji Kruskal
18
Wallis dengan software Statistical Process for Social Science (SPSS) versi 15.0.
Hasil uji Kruskal Wallis yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan
menggunakan uji Dunn. Perhitungan dengan rumus (Walpole 1995) sebagai
berikut:
Menghitung faktor koreksi (FK)
FK =
Menghitung H yang merupakan kriteria uji
H = (
n n
) (n- )
Men itun ’ yan merupakan nilai X2 hitung
’ =
FK , = (t-1)t(t+1)
Keterangan:
n = Banyaknya data
t = Jumlah data yang sama
H = Kriteria yang akan diuji
’ = X2 hitung
ni = Jumlah pengamatan pada setiap perlakuan
Ri = Jumlah ranking pada setiap perlakuan
Z = Peubah acak
k = Perlakuan
Jika analisis ragam beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple
Comparison (uji Dunn) (Walpole 1995). Rumus yang digunakan adalah:
| i j| { k k )} √k N ) Keterangan:
= Rata-rata ranking setiap perlakuan ke-i
= Rata-rata ranking setiap perlakuan ke-j
n = Banyaknya data
z = Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus
α = Selang kepercayaan
Analisis karakteristik mi kering
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor penambahan tepung surimi ikan
gabus dengan dua taraf dan tiga kali ulangan untuk analisis sifat fisik dan kimia
mi kering. Model matematika rancangan acak lengkap menurut
Walpole dan Myers (1995) adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ai + ϵij
Keterangan:
Yij = Respon percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan tepung surimi
ikan gabus taraf ke-i, ulangan ke-j
µ = Nilai rata-rata
Ai = Pengaruh perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus taraf ke-i ϵij = Pengaruh kesalahan percobaan karena pengaruh perlakuan penambahan
tepung surimi ikan gabus taraf ke-i dan ulangan ke-j
19
Hipotesis yang diuji pada pembuatan mi kering dengan fortifikasi tepung surimi
ikan gabus adalah:
H0 = Penambahan tepung surimi ikan gabus tidak memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap karakteristik mi kering yang dihasilkan
H1 = Penambahan tepung surimi ikan gabus memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap karakteristik mi kering yang dihasilkan
Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada
program SPSS 15.0 untuk menyatakan perbedaan nyata. Jika dari hasil analisis
ragam berbeda nyata (p<0,05), maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji
Duncan’s. Rumus uji Duncan’s adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993):
Rp = q p dbs α √K
r
Keterangan:
Rp = Nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan
p = Perlakuan
dbs = Derajat bebas
KTS = Jumlah kuadrat tengah
r = Jumlah ulangan
Uji normalitas dan kehomogenan data dilakukan sebelum data dimasukkan
ke dalam perhitungan statistik. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov, apabila hasil uji menunjukkan nilai signifikan > 0,05 maka data
dikatakan menyebar normal, sehingga dapat digunakan dalam statistika
parametrik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Tepung Surimi Ikan Gabus
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung surimi adalah ikan
gabus. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kadar yang terkandung
dalam ikan gabus. Hasil proksimat ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil proksimat ikan gabus
Komposisi Ikan gabus (% bb) Ikan gabus (% bk)
Kadar air 80,91±0,48 -
Kadar abu 0,83±0,22 4,31±1,04
Kadar protein 16,75±0,09 87,74±1,73 Kadar lemak 1,04±0,03 5,45±0,29
Kadar karbohidrat
(by difference) 0,48±0,20 2,50±0,97
Tepung surimi ikan gabus yang digunakan sebagai bahan fortifikasi pada mi
kering diperoleh dari modifikasi Ramadhan et al. (2014). Metode yang digunakan
adalah dengan satu kali pencucian dan menggunakan dryoprotectant berupa
20
trehalosa 6%. Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus yang digunakan
dalam pembuatan mi kering dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik fisiko-kimia tepung surimi ikan gabus
Parameter Tepung surimi ikan
gabus
Tepung surimi
ikan lele
Tepung fillet ikan
gabus
Karakteristik fisik:
Rendemen (%) 22,18 6,41* -
Daya serap air (%) 1,35±0,55 - -
Daya serap minyak (%) 1,59±0,61 - -
Derajat putih (%) 48,07±1,13 60,47* 63,98±0,40** Densitas kamba (g/mL) 0,76±0,04 4,06±0,08* -
Kekuatan gel (gf) 531,3±27,25 624,97±5,27* -
Karakteristik kimia:
Kadar air (%) 9,94±0,28 - 6,86±0,64**
Kadar lemak (% bk) 1,66±0,97 1,76±0,16* 8,54±0,28**
Kadar protein (% bk) 65,07±0,47 41,4±2,00* 87,93±0,19**
*Ramadhan et al. (2014), **Tan dan Azhar (2014)
Rendemen merupakan persentase antara berat tepung surimi per total fillet
ikan. Rendemen yang diperoleh pada tepung surimi ikan gabus sebesar 22,18%.
Proses pengeringan dengan cabinet dryer dapat menghilangkan air hingga 65%
dari bobot surimi basah. Rendemen tepung surimi ikan lele yang diperoleh dari
penelitian Ramadhan et al. (2014) adalah sebesar 6,41% dengan proses
pengeringan freeze dryer (pengeringan beku). Proses pengeringan ini dapat
menghilangkan air hingga 80% dari bobot surimi basah. Metode pengeringan
yang digunakan akan berpengaruh pada persentase rendemen tepung surimi yang
dihasilkan. Santana et al. (2012) mengemukakan bahwa metode pengeringan beku
dapat menghilangkan air pada sampel hingga kandungan airnya mencapai 1-5%,
karena prinsip proses pengeringan beku terletak pada suhu yang sangat rendah
hingga mencapai -70 oC dan atmosfir vakum yang terdapat pada alat, sedangkan
pada pengeringan cabinet dryer dapat menghasilkan sampel kering yang
mengandung air sebesar 10%.
Daya serap air merupakan kemampuan untuk menyerap kembali kandungan
air dalam bahan pangan (Zhou et al. 2006). Daya serap air tepung surimi ikan
gabus adalah 1,35%. Daya serap tepung surimi memiliki nilai lebih tinggi jika
dibandingkan dengan KPI nila penelitian Susanti (2015) yang memiliki nilai daya
serap air 0,68%. Hal ini diduga karena perbedaan jenis bahan baku dan besarnya
kandungan protein yang terdapat dalam tepung surimi. Santoso et al. (2008)
mengemukakan bahwa kandungan protein yang lebih tinggi menyebabkan
tingginya interaksi antara air dengan protein, sehingga protein menghalangi proses
penguapan air pada saat proses pengeringan.
Menurut Santoso et al. (2009) daya serap minyak adalah suatu sifat yang
dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan pangan terhadap minyak.
Tepung surimi ikan gabus memiliki daya serap minyak 1,59%. Hasil analisis daya
serap minyak tepung surimi ikan gabus memiliki nilai yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan KPI nila penelitian Susanti (2015) sebesar 0,49%. Hal ini
diduga bahwa jumlah kandungan protein dan asam amino yang terdapat pada ikan
gabus dan ikan nila berbeda. Banyaknya gugus asam amino yang bersifat
nonpolar dapat mempengaruhi sifat daya serap minyak pada protein, karena dapat
membentuk ikatan hidrofobik dengan minyak (Winarno 2008).
21
Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang mempengaruhi
daya terima konsumen. Tepung surimi ikan gabus memiliki persentase nilai
derajat putih sebesar 48,07%. Nilai derajat putih tersebut cenderung rendah jika
dibandingkan tepung surimi ikan lele hasil penelitian Ramadhan et al. (2014) dan
tepung fillet ikan gabus hasil penelitian Tan dan Azhar (2014) yaitu 55,77% dan
63,98%. Rendahnya nilai tersebut diduga karena warna tepung yang dihasilkan
cenderung berwarna kekuningan. Warna tepung yang kekuningan disebabkan oleh
metode pengeringan yang digunakan. Densitas kamba merupakan tingkat
kepadatan di dalam ruang (volume) pada berat tertentu. Suatu bahan dikatakan
kamba apabila memiliki nilai densitas kamba yang kecil (Rieuwpassa 2005).
Tepung surimi ikan gabus memiliki nilai densitas kamba 0,76 g/mL, lebih rendah
jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba tepung surimi ikan lele pada
penelitian Ramadhan et al. (2014) yaitu sebesar 4,06 g/mL. Tepung surimi ikan
gabus memiliki nilai densitas kamba yang sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan KPI nila hasil penelitian Susanti (2015) yaitu 0,45 g/mL.
Foegeding dan Davis (2011) mengemukakan bahwa gel sebagai sebuah
bagian makroskopis dari elastisitas yang terbentuk karena adanya ikatan antar
molekul yang kontinyu. Sifat gelasi sangat berpengaruh pada tekstur pangan.
Pembentukan gel dan kekuatan gel merupakan dua faktor yang digunakan untuk
menentukan sifat gelasi pada tepung surimi. Tepung surimi ikan gabus memiliki
nilai kekuatan gel sebesar 531,3 gf. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan tepung surimi ikan lele hasil penelitian Ramadhan et al. (2014) yaitu
sebesar 624,97 gf. Hal ini diduga karena perbedaan metode proses pengeringan
yang digunakan. Deng et al. (2015) menyatakan bahwa proses pengeringan yang
terlalu panas menyebabkan perubahan kimia, terutama pada struktur protein.
Perubahan modifikasi struktur protein ini akan berpengaruh pada struktur miosin.
Proses pengeringan freeze drying dapat menyebabkan sedikit terjadi denaturasi
protein pada surimi.
Tepung surimi ikan gabus memiliki kadar air, kadar lemak dan kadar
protein berturut-turut 9,94%; 1,66% (bk) dan 65,07% (bk). Nilai kadar lemak
tersebut hampir sama dengan tepung surimi ikan lele hasil penelitian
Ramadhan et al. (2014) yaitu sebesar 1,76% (bk), sedangkan nilai kadar
proteinnya 41,4% (bk). Kadar protein tersebut berbeda karena kandungan protein
dari bahan baku ikan yang digunakan berbeda jumlahnya. Proses pengeringan
surimi juga dapat mempengaruhi kadar protein tepung surimi yang dihasilkan.
Karakteristik Bubur Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii)
Rumput laut kering yang diolah menjadi bubur rumput laut dan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan mi kering diperoleh dari pengepul rumput laut
yang berada di wilayah Serang, Banten. Pembuatan bubur rumput laut mengacu
pada metode penelitian Hudaya (2008) yang dimodifikasi pada tahap perendaman.
Analisis yang dilakukan terhadap bubur rumput laut meliputi analisis kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference), dan
kadar serat pangan. Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut dapat dilihat
pada Tabel 4.
22
Tabel 4 Karakteristik komposisi kimia bubur rumput laut
Komposisi Bubur rumput laut
(% bb)
Bubur rumput laut
(% bk)
K.alvarezii segar
(% bb)
Kadar air 96,51±0,03 - 83,3*
Kadar abu 0,82±0,01 23,57±0,42 3,4*
Kadar protein 1,00±0,00 28,63±0,25 0,7*
Kadar lemak 0,05±0,00 1,43±0,01 0,2*
Kadar karbohidrat (by difference)
1,63±0,04 46,56±0,79 12,4*
Serat pangan 5,18±0,74 - 11,6*
*Santoso et al. (2006)
Kadar air bubur rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
persentase (bb) 96,51%. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan K. alvarezii
segar hasil penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 83,3%. Hal ini diduga karena
lamanya perendaman dalam air tawar selama 5 hari yang dilakukan dalam
pembuatan bubur rumput laut, maka air yang terkandung dalam sampel juga
semakin tinggi. Hasil analisis kadar abu pada bubur rumput laut memiliki
persentase 0,82% (bb) dan 23,57 (bk). Nilai tersebut lebih rendah jika
dibandingkan dengan kadar abu pada K. alvarezii segar hasil penelitian
Santoso et al. (2006) sebesar 3,4%. Perbedaan nilai tersebut diduga karena sifat
mineral yang larut dalam air menyebabkan banyaknya mineral yang hilang
selama proses perendaman air tawar dan pencucian berulang, sehingga kadar abu
yang terdapat pada bubur rumput laut rendah.
Kadar protein pada bubur rumput laut memiliki persentase 1,00% (bb) dan
28,63% (bk), sedangkan pada K. alvarezii segar hasil penelitian
Santoso et al. (2006) hanya sebesar 0,7%. Kumar dan Kaladharan (2007)
melaporkan bahwa kandungan protein pada rumput laut K. alvarezii adalah 5,21%
dengan kandungan asam amino yang tinggi berupa asam glutamat, asam aspartat
dan arginin. Kadar lemak dalam basis basah dan basis kering pada bubur rumput
laut memiliki persentase 0,05% dan 1,43%, sedangkan pada K. alvarezii segar
hasil penelitian Santoso et al. (2004) sebesar 0,2%. Kadar lemak rumput laut
sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan
tubuh. McDermid dan Stuercke (2003) menyatakan bahwa kandungan lemak pada
rumput laut umumnya kurang dari 4%. Darcy-Vrillon (1993) juga menyatakan
bahwa meskipun kandungan lemaknya rendah, rumput laut mengandung asam
lemak omega-3 dan omega-6 yang tinggi dibandingkan dengan tanaman darat
lainnya. Kedua asam lemak tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan
kardiovaskular pada manusia.
Hasil analisis kadar karbohidrat pada bubur rumput laut memiliki persentase
1,61% (bb) dan 46,56% (bk), sedangkan pada K. alvarezii segar penelitian
Santoso et al. (2006) sebesar 12,4%. Selain kadar air, kadar karbohidrat juga
merupakan kandungan yang paling banyak terkandung pada rumput laut.
Kandungan gizi utama rumput laut adalah mineral. Kandungan karbohidrat
termasuk didalamnya serat pangan paling tinggi dibandingkan kandungan kimia
lainnya. Kadar serat pangan pada bubur rumput laut sebesar 5,18% (bb). Nilai
tersebut berbeda dengan kadar serat pangan pada K. alvarezii segar hasil
penelitian Santoso et al. (2006) sebesar 11,6%. Perbedaan ini disebabkan karena
perlakuan pada saat pengolahan berbeda. Selama pengolahan bubur rumput laut
terdapat proses perendaman dalam air tawar selama 5 hari, sehingga diduga
23
banyak serat yang hilang selama proses perendaman dan pencucian berulang
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kadar serat pangan pada bubur
rumput laut yang dihasilkan. Umumnya polisakarida mudah larut dalam air.
Polisakarida menjadi lebih larut dalam air jika terdapat ketidakteraturan pada
rantai molekul poliakarida dalam mengikat intermolekul. Adanya grup hidroksil
pada polisakarida juga menyebabkan hidrogen mengikat satu atau lebih molekul
air (BeMiller dan Huber 2008).
Karakteristik Tepung Porang
Umbi porang (Amorphophallus onchophyllus) merupakan salah satu jenis
tanaman umbi-umbian yang dapat tumbuh baik di Indonesia dan umumnya
tumbuh secara liar, namun saat ini sudah mulai banyak dibudidaya. Keunikan dari
umbi porang dibandingkan dengan jenis umbi lainnya adalah kandungan
glukomanannya. Kandungan glukomanan pada umbi porang tergantung pada
spesies dan varietasnya (Mulyono 2010). Karakterisasi tepung porang bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai komposisi kimia yang terdapat di dalam
bahan. Analisis yang dilakukan terhadap tepung porang meliputi analisis kadar
air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference),
kadar serat kasar dan kadar glukomanan. Karakteristik komposisi kimia tepung
porang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik komposisi kimia tepung porang
Komposisi Tepung porang Pembanding
Kadar air (%) 13,40±0,06 5,96* 8,35**
Kadar abu (% bk) 4,79±0,09 1,83* 5,18**
Kadar protein (% bk) 2,78±0,09 3,10* 5,41**
Kadar lemak (% bk) 1,89±0,12 4,21* 9,60** Kadar karbohidrat
(by difference) (% bk) 94,43±0,71 84,90* 79,81**
Serat kasar (% bk) 4,64±0,42 - 3,73**
Kadar glukomanan (% bk) 17,54±0,48 7,01* -
*Lasmini (2002), **Siswanti (2008)
Kadar air tepung porang yang digunakan pada penelitian ini masih cukup
tinggi, yaitu 13,40% (bb). Nilai kadar air ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan tepung porang hasil penelitian Lasmini (2002) yaitu 5,96% (bb). Hal ini
diduga karena metode pengeringan yang digunakan berbeda. Tepung porang hasil
penelitian Lasmini (2002) dikeringkan dengan cara pengovenan pada suhu 80 °C
selama 10 jam, sedangkan tepung porang yang digunakan dalam penelitian ini
dikeringkan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari sampai kering.
Persentase kadar abu tepung porang pada penelitian ini adalah 4,79% (bk). Nilai
tersebut tidak berbeda jauh dengan kadar abu hasil penelitian Siswanti (2008)
5,18% (bk). Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis
(Lasmini 2002).
Kadar protein tepung porang pada penelitian ini relatif kecil, yaitu 2,78%
(bk), sedangkan hasil penelitian Lasmini (2002) dan Siswanti (2008) diperoleh
tepung porang dengan kadar protein masing-masing sebesar 3,10% (bk) dan
5,41% (bk). Perbedaan kadar protein tersebut dapat disebabkan oleh faktor bahan
24
baku diantaranya umur, kondisi pertumbuhan dan tempat tumbuh umbi.
Persentase kadar lemak tepung porang pada penelitian ini adalah 1,89% (bk).
Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Lasmini
(2002) dan Siswanti (2008) mencapai 4,21% (bk) dan 9,60% (bk). Kadar lemak
yang cukup tinggi dalam pati dan tepung dapat mengganggu proses gelatinisasi,
karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga
menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Lapisan lemak tersebut akan
menghambat pengikatan air oleh granula pati (Winarno 2008).
Salah satu komponen penyusun umbi porang yang mempunyai fungsi dan
peran penting adalah bagian karbohidrat yang terdiri dari pati, glukomanan, serat
kasar dan gula bebas (Mulyono 2010). Tepung porang yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki kadar karbohidrat 94,43% (bk). Kadar karbohidrat tersebut
memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan tepung porang penelitian Lasmini
(2002) yang memiliki nilai kadar karbohidrat sebesar 84,90% (bk). Hasil analisis
kadar serat kasar tepung porang memiliki nilai 4,64% (bk). Kadar serat kasar
tersebut memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
Siswanti (2008) yang memiliki nilai kadar serat kasar sebesar 3,73% (bk). Kadar
serat pati dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya. Jika kadar pati pada umbi
telah mencapai optimum, maka selanjutnya pati pada umbi akan terus turun secara
perlahan dan mulai terjadi perubahan pati menjadi serat
(Richana dan Suharti 2004).
Hasil analisis kadar glukomanan pada tepung porang memiliki nilai 17,54%
(bk). Nilai kadar glukomanan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian Lasmini (2002) yang memiliki kadar glukomanan 7,01%. Perbedaan
nilai kadar glukomanan diduga karena perbedaan spesies dan umur panen umbi
tersebut. Kadar glukomanan umbi porang bergantung pada spesiesnya. Kadar
glukomanan umbi porang yang tumbuh di Indonesia berkisar antara 14-35%
(Winarno 2008). Struktur kimia glukomanan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur kimia glukomanan
Glukomanan merupakan polisakarida non-ionik yang tersusun oleh satuan
D-mannosa dan D-glukosa dengan perbandingan 1:6:1. Glukomanan mempunyai
bentuk ikatan β-1-4-glikosida dan mempunyai gugus asetil pada posisi C-6.
Gugus asetil tersebut mempengaruhi kelarutan glukomanan dalam air
(Katsuraya et al. 2003). Pengaruh glukomanan yang dapat menyerap air tersebut
dapat membuat adonan pada produk mi yang dihasilkan menjadi lebih elastis dan
mudah untuk dicetak.
25
Karakteristik Sensori Mi Kering
Karakteristik yang dinilai pada pengujian sensori meliputi kenampakan,
warna, aroma, rasa, kekerasan dan kekenyalan. Lembar penilaian sensori mi
kering dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis karakteristik sensori dapat
dilihat pada Gambar 5. Jarak yang lebar antar perlakuan pada setiap parameter
menunjukkan pengaruh perlakuan yang diberikan berbeda nyata terhadap
parameter, sebaliknya jarak yang rapat menunjukkan faktor perlakuan tidak
memberikan perbedaan yang nyata terhadap parameter (Gambar 6).
Keterangan: Notasi huruf superscript (a, b, c) yang berbeda pada diagram menunjukkan beda
nyata (p<0,05).
Gambar 6 Karakteristik sensori mi kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan
gabus. ( ) A0 (Kontrol), ( ) A1 (6% Tepung surimi ikan gabus), ( ) A2 (9%
Tepung surimi ikan gabus)
Kenampakan
Kenampakan merupakan parameter utama yang mempengaruhi daya terima
konsumen terhadap produk. Penilaian panelis terhadap kenampakan mi kering
yang telah difortifikasi tepung surimi ikan gabus berkisar 5,95 (netral) sampai
6,33 (agak suka). Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan
tepung surimi ikan gabus 9% dan skor organoleptik terendah terdapat pada
formula dengan tepung surimi 6% (Gambar 5). Hasil uji Kruskal Wallis
menunjukkan bahwa kenampakan mi kering dipengaruhi secara nyata oleh
penambahan tepung surimi ikan gabus (p<0,05). Uji lanjut Dunn menunjukkan
bahwa kenampakan mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6%
berbeda nyata dengan perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus 9%,
sedangkan perlakuan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% tidak berbeda
nyata dengan mi kering kontrol (Lampiran 2). Mi kering yang telah difortifikasi
tepung surimi gabus memiliki kenampakan yang menarik dengan warna putih dan
bentuk yang rapih dan seragam. Kenampakan mi cenderung seragam bentuk dan
ukurannya, karena pencetakan mi dilakukan dengan menggunakan ekstruder
pencetak mi, sedangkan warna putih pada mi kering disebabkan oleh derajat putih
5,95a
6,10a
6,00b
5,63a
5,63a
6,15b
5,23a
6,03a
5,03a
4,63a
6,10a
5,00a
6,33b
6,23a
5,00a
5,08a
6,28a
6,33c
Kenampakan
Warna
Aroma
Kekerasan
Rasa
Kekenyalan
26
tepung dari ubi kayu dan tepung surimi ikan gabus yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan mi.
Peningkatan penambahan tepung surimi ikan gabus menyebabkan adonan
semakin mudah dicetak, maka kenampakan yang dihasilkan pun semakin baik.
Penambahan tepung surimi ikan gabus dapat mengurangi kelengketan pada
adonan sehingga mempermudah proses pencetakan mi. Hal ini disebabkan oleh
adanya interaksi antara protein dan air selama proses pencetakan mi. Komponen
protein pada tepung surimi dapat menghambat penyerapan air pada pati singkong.
Xin-Zhong et al. (2007) menyatakan bahwa penyerapan air semakin berkurang
seiring dengan meningkatnya kandungan protein yang terdapat pada adonan mi.
Kandungan protein tersebut akan mempengaruhi tekstur mi yang dihasilkan
dengan cara kompetisi antara pati dan protein dalam proses penyerapan air.
Warna
Warna merupakan parameter sensori yang dapat dilihat langsung oleh
panelis. Nilai penerimaan panelis terhadap warna mi kering yang telah
difortifikasi tepung surimi ikan gabus berkisar 6,03 sampai 6,23 (agak suka). Nilai
organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan tepung surimi ikan gabus 9%
yaitu 6,23 dan nilai organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung
surimi ikan gabus 6% yang bernilai 6,03 (Gambar 5). Penilaian panelis
menunjukkan bahwa penambahan tepung surimi ikan gabus tidak memberikan
pengaruh secara nyata terhadap warna mi kering (p>0,05). Warna mi kering
dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% tidak berbeda nyata dengan
semua perlakuan. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, warna mi kering tidak
dipengaruhi secara nyata oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p>0,05)
(Lampiran 2).
Mi kering yang telah difortifikasi tepung surimi ikan gabus memiliki warna
putih. Semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan pada mi maka
warna yang dihasilkan tidak berbeda dengan mi formula kontrol. Hal ini
disebabkan oleh warna tepung dari ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku.
Tepung mocaf memiliki persentase kadar abu yang lebih rendah dibandingkan
dengan tepung terigu. Kandungan abu pada tepung mocaf mencapai 0,4%,
sedangkan pada tepung terigu sebesar 1,3%. Kadar abu dapat mempengaruhi
warna produk, oleh karena itu tepung mocaf memiliki warna yang lebih putih
daripada tepung terigu (Salim 2011). Wang et al. (2004) menyatakan bahwa
kecerahan warna dari mi sangat dipengaruhi oleh penyerapan air dan bahan baku
tepung dengan kandungan protein yang tinggi memiliki absorbsi optimum yang
rendah. Tepung terigu yang biasa digunakan untuk membuat mi putih bergaram
adalah tepung yang mengandung protein sebesar 8-10% dan dengan kadar abu
0,36-0,40%. Warna spesifikasi mi putih bergaram adalah putih creamy tanpa
adanya diskolorasi selama penyimpanan. Tepung terigu memiliki kandungan
protein yang lebih tinggi daripada tepung mocaf dan tapioka, oleh karena itu
warna dari mi kering yang dihasilkan lebih putih daripada mi kering yang
biasanya berada di pasaran.
Aroma
Nilai penerimaan panelis terhadap aroma mi kering tepung surimi ikan
gabus berkisar 5,00 (netral) sampai 6,00 (agak suka) sebagaimana disajikan pada
Gambar 5. Nilai organoleptik tertinggi terdapat pada formula kontrol yaitu 6,00
27
dan nilai organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung surimi 9%
yang bernilai 5,00. Penilaian panelis menunjukkan bahwa penambahan tepung
surimi ikan gabus memberikan pengaruh secara nyata terhadap aroma mi kering
yang dihasilkan (p<0,05).
Aroma mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 6% dan
9% berbeda nyata dengan formula kontrol, sedangkan perlakuan tepung surimi
ikan gabus 6% tidak berbeda nyata dengan perlakuan tepung surimi 9%. Hasil
analisis Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn aroma mi kering dapat dilihat pada
Lampiran 2. Mi kering yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki aroma yang
agak amis, sehingga kurang disukai oleh panelis. Aroma amis tersebut berasal dari
tepung surimi ikan gabus, karena pada pembuatan tepung surimi dilakukan
pencucian hanya satu kali sehingga masih terdapat bau amis ikan. Menurut
Santoso et al. (2008) dengan adanya aroma ikan, substitusi konsentrat protein ikan
pada produk yang tidak berbasis ikan akan menimbulkan kesan adanya rasa dan
aroma asing pada konsumen. Aroma lain yang muncul pada mi kering adalah
aroma dari tepung porang yang digunakan sebagai bahan baku.
Lafarge et al. (2014) mengemukakan bahwa pencampuran glukomanan (0,2%)
dan pati singkong (5%) dalam suatu adonan akan membuat komponen pati dalam
glukomanan menyerap air lebih banyak daripada pati singkong, karena
glukomanan mempunyai kapasitas menyerap air hingga lebih dari 100%. Hal ini
menyebabkan menurunnya komponen aroma amilosa yang terdapat pada pati
singkong, oleh karena itu aroma tepung mocaf dan tapioka lebih sedikit muncul
daripada tepung porang pada mi kering yang dihasilkan.
Kekerasan
Kekerasan mi adalah gaya yang diperlukan untuk menggigit mi sampai
putus. Semakin tinggi kekerasan mi berarti semakin besar gaya yang diperlukan
(Subarna et al. 2012). Skor organoleptik kekerasan mi kering berkisar 4,63 (agak
tidak suka) sampai 5,63 (netral). Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula
kontrol dan skor organoleptik terendah terdapat pada formula dengan tepung
surimi ikan gabus 6% (Gambar 5). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan
bahwa kekerasan mi kering tidak dipengaruhi secara nyata oleh penambahan
tepung surimi ikan gabus (p>0,05) (Lampiran 2).
Kekerasan mi kering fortifikasi tepung surimi diduga dipengaruhi oleh
proses gelatinisasi. Subarna et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan suhu
ekstruder dapat meningkatkan kekerasan mi, karena semakin tinggi suhu
ekstruder, tingkat gelatinisasi adonan semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat
gelatinisasi maka kekerasan mi akan meningkat. Penggunaan metode pengeringan
mi dengan cabinet dryer pada suhu 40 oC selama 1 jam juga diduga
mempengaruhi kekerasan pada produk mi kering yang dihasilkan. Menurut
Fu (2008) kualitas mi kering yang dihasilkan sangat berpengaruh terhadap proses
pengeringan yang digunakan. Metode pengeringan yang kurang tepat dapat
membuat struktur mi rusak, menyebabkan elongasi yang berlebihan dan mudah
patahnya untaian mi. Pada pembuatan mi kering fortifikasi tepung surimi
menggunakan metode pengeringan yang sama sehingga kekerasan mi yang
dihasilkan tidak berbeda nyata (Gambar 5).
28
Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan diterima atau
tidaknya suatu bahan pangan atau makanan. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi
oleh beberapa faktor senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan
komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008). Nilai
organoleptik rasa mi berkisar 5,63 (netral) sampai 6,28 (agak suka). Nilai
organoleptik tertinggi terdapat pada formula dengan tepung surimi 9% dan nilai
organoleptik terendah terdapat pada formula kontrol dengan nilai 5,63
(Gambar 5).
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, rasa mi tidak dipengaruhi secara nyata
oleh penambahan tepung surimi ikan gabus (p>0,05) (Lampiran 2). Mi yang
dihasilkan pada penelitian ini memiliki cita rasa yang khas, karena adanya garam
dan tepung surimi. Fu (2008) menyatakan bahwa penambahan garam dalam
pembuatan mi putih bergaram berperan dalam membentuk cita rasa mi, karena
garam berinteraksi langsung dengan protein dari tepung yang terdapat dalam
adonan. Jumlah garam yang ditambahkan biasanya 1-3% dari bobot tepung yang
digunakan. Tepung surimi tidak memiliki rasa, sehingga tidak mempengaruhi rasa
secara keseluruhan dari mi. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung
surimi memberikan pengaruh yang netral terhadap produk mi.
Kekenyalan
Atribut tekstur lain yang diukur adalah kekenyalan. Kekenyalan merupakan
salah satu parameter penting yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap
mi. Kekenyalan mi kering dapat dilihat setelah mi dimasak. Skor organoleptik
kekenyalan mi berkisar 5,00 (netral) sampai 6,33 (agak suka). Skor organoleptik
tertinggi terdapat pada formula penambahan tepung surimi ikan gabus 9% yaitu
6,33 dan skor organoleptik terendah terdapat pada formula penambahan tepung
surimi 6% yaitu 5,00 (Gambar 5). Penilaian panelis menunjukkan bahwa
penambahan tepung surimi ikan gabus memberikan pengaruh secara nyata
terhadap kekenyalan mi (p<0,05). Kekenyalan mi dengan penambahan tepung
surimi ikan gabus 6% berbeda nyata dengan semua perlakuan. Hasil analisis
Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn kekenyalan mi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pada penelitian ini, tepung mocaf dan tapioka sebagai bahan utama
pembuatan mi kering tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagai
pembentuk gluten yang dapat membentuk sifat elastis pada adonan. Proses
gelatinisasi pati selama pengadonan diduga dapat mempengaruhi kekenyalan mi
yang dihasilkan. Menurut Muhandri dan Subarna (2009) proses gelatinisasi pati
mi non terigu menyebabkan adonan dapat membentuk massa yang elastis,
sehingga semakin tinggi derajat gelatinisasi semakin tinggi kekenyalan mi
tersebut. Penambahan tepung porang juga dapat meningkatkan kekenyalan pada
mi. Liu et al. (2013) melaporkan bahwa interaksi antara glukomanan dan protein
miofibril dapat membentuk struktur viskoelastis tiga dimensi pada suhu dan waktu
pemanasan yang optimum. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi dapat
mempengaruhi kekenyalan mi yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan oleh penilaian
panelis dimana semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan, maka
panelis semakin menyukai parameter kekenyalan tersebut.
29
Penentuan Formula Mi Kering Surimi Ikan Gabus Terpilih
Formula mi kering surimi ikan gabus tepilih ditentukan menggunakan uji
indeks kinerja (metode Bayes) yang didasarkan pada hasil uji sensori. Metode
Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan
analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan
tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Pengambilan keputusan yang
optimal akan tercapai bila mempertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2004).
Sebelum dilakukan uji indeks kinerja, dilakukan perankingan terhadap keenam
parameter sensori yang diamati berdasarkan nilai kepentingan menurut pendapat
ahli dan hasil survei. Kemudian dilakukan pembobotan dan perankingan sehingga
diperoleh formula terpilih. Hasil analisis dengan metode Bayes dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Hasil analisis dengan metode Bayes
Parameter Formula
Nilai Bobot A0 A1 A2
Kenampakan 2 1 3 0,0158
Warna 2 1 3 0,0037
Aroma 3 2 1 0,1134
Kekerasan 3 1 2 0,0149
Rasa 1 2 3 0,6740
Kekenyalan 2 1 3 0,1781
Total nilai 1,45 1,79 2,76
Ranking 3 2 1
Keterangan:
A0 = Kontrol, A1 = 6% Tepung surimi ikan gabus, A2 = 9% Tepung surimi ikan gabus
Berdasarkan hasil analisis dengan metode Bayes (Lampiran 3), diperoleh
satu formula mi kering terpilih yaitu formula A2 (9% tepung surimi ikan gabus).
Mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9% memiliki total nilai
tertinggi sehingga mi dengan penambahan tepung surimi ikan gabus 9%
dinyatakan sebagai formula terbaik dan dianalisis lebih lanjut yang meliputi
analisis fisiko kimia produk dan perhitungan persentase sumbangan gizi terhadap
angka kecukupan gizi.
Karakteristik Fisiko-kimia Mi Kering Surimi Ikan Gabus Terpilih, Kontrol
dan Mi Kering Komersial
Karakterisasi fisiko-kimia produk bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai pengaruh penambahan tepung surimi ikan gabus terhadap kandungan
gizi mi kering yang dihasilkan. Analisis mi kering yang dilakukan meliputi
analisis fisik dan analisis kimia. Data hasil analisis karakteristik fisiko-kimia mi
kering sebelumnya diuji kenormalan dengan menggunakan uji Kolmogorov-
Smirnov (Lampiran 4) untuk mengetahui galat data yang digunakan menyebar
normal, sehingga dapat digunakan dalam statistika parametrik.
Karakteristik fisik mi kering
Analisis karakteristik fisik mi kering yang dilakukan meliputi cooking time,
cooking loss, warna, dan analisis profil tekstur (kekerasan, kelengketan, dan
30
kekenyalan). Produk mi kering komersial yan di unakan adala “Dried white
salted noodles – Maruei Nippon No Komugi Udon” yan diimpor ole P . Aneka
Jaya Indonesia. Hasil analisis karakteristik fisik mi kering formula terpilih,
formula kontrol dan komersial dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Karakteristik fisik mi kering formula terpilih, formula kontrol dan
komersial
Parameter Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus Dried white salted
noodles komersial 9% 0% (Kontrol)
Cooking time (menit) 8,10±0,03a 12,43±0,03b 8,05±0,04a
Cooking loss (%) 32,04±9,30b 23,03±7,23b 7,27±1,54a
Warna (L*) 94,48±0,90a 96,48±0,13b 100,71±0,13c
Kekerasan (gf) 1493,20±137,72a 1627,80±55,48a 1797,43±98,66b
Kelengketan (gf) -307,70±20,59c -244,37±44,31b -48,09±5,94a
Kekenyalan (gf) 71,79±0,69a 76,95±0,99b 93,73±2,44c
Keterangan: Notasi huruf superscript (a,b,c) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
beda nyata (p<0,05).
Cooking time adalah waktu optimum yang diperlukan untuk mengetahui
kualitas pemasakan sampai tidak adanya bagian berwarna putih di bagian tengah
ketika ditekan di atas permukaan kaca slide (Khoiri 2013). Cooking time mi
kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 8,10 menit,
12,43 menit dan 8,05 menit. Berdasarkan hasil analisis ragam, cooking time mi
dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa cooking time mi kering surimi gabus 9% tidak
berbeda nyata dengan mi kering komersial, sedangkan mi cooking time mi kering
kontrol berbeda dengan semua perlakuan (Lampiran 4). Cooking time mi kering
komersial yang berbahan baku terigu lebih cepat dibandingkan mi kering yang
berbahan baku tepung dari singkong karena mocaf dan tapioka mengandung kadar
amilosa yang lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. Heo et al. (2012)
menyatakan bahwa kadar amilosa pada tepung sangat mempengaruhi gelatinisasi
pati pada saat pemasakan mi. Semakin tinggi kadar amilosa, maka semakin lama
waktu optimum pemasakan mi.
Waktu pemasakan cenderung lebih cepat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan pada adonan mi. Mi
kontrol memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan mi
fortifikasi tepung surimi ikan gabus, sehingga cooking time mi kontrol lebih lama.
Barokah dan Abtokhi (2013) juga mengemukakan bahwa molekul amilosa dan
amilopektin pada pati secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan
hidrogen yang lemah. Adanya penambahan protein berupa tepung surimi ikan
gabus pada adonan membuat ikatan antar molekul pati akan terganggu sehingga
penetrasi air yang masuk menjadi lebih mudah. Hal ini akan menyebabkan
cooking time semakin singkat, karena semakin cepat penetrasi air yang masuk.
Menurut Faridah dan Widjanarko (2014) cooking loss atau yang biasa
disebut kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) adalah banyaknya padatan
yang terkandung dalam mi yang keluar serta terlarut ke dalam air selama
pemasakan. Mi yang baik diharapkan mempunyai nilai KPAP yang rendah.
Cooking loss mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing
adalah 32,04%, 23,03% dan 7,27%. Berdasarkan hasil analisis ragam, cooking
loss mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil
31
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cooking loss mi kering surimi gabus 9%
tidak berbeda nyata dengan mi kering kontrol, sedangkan cooking loss mi kering
komersial berbeda nyata dengan semua perlakuan (Lampiran 4). Mi kering
komersial memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah dibandingkan mi kering
formula terpilih karena tepung terigu yang digunakan sebagai bahan baku pada mi
kering komersial memiliki protein gliadin dan glutenin yang dapat membentuk
gluten. Adanya gluten pada tepung terigu akan menghambat keluarnya isi granula
pati sehingga cooking loss mi menjadi rendah. Park dan Baik (2009)
mengemukakan bahwa dengan adanya gluten dapat meningkatkan pembentukan
jaringan protein selama proses pengadonan dan pencetakan mi, sehingga dapat
menurunkan cooking loss pada saat mi direbus.
Cooking loss disebabkan oleh pecahnya granula pati yang membengkak dan
kemudian molekul pati linier rantai pendek akan keluar dari granula dan masuk ke
dalam rebusan yang menyebabkan air menjadi keruh (BeMiller dan Huber 2008).
Mi kering yang terbuat dari tepung mocaf dan tapioka dengan penambahan tepung
surimi ikan gabus memiliki nilai cooking loss yang semakin tinggi seiring dengan
meningkatnya konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan pada
adonan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan tepung surimi
ikan gabus pada adonan mi kering menyebabkan daya ikat komponen semakin
lemah, sehingga komponen yang larut saat perebusan semakin banyak.
Warna akan menjadi pertimbangan bagi konsumen sebelum mengkonsumsi
suatu produk makanan. Warna kecerahan pada mi kering surimi ikan gabus 9%,
kontrol, dan komersial masing-masing adalah 94,48, 96,48, dan 100,71.
Berdasarkan hasil analisis ragam, warna mi dipengaruhi secara nyata oleh
perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
warna mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan semua perlakuan
(Lampiran 4).
Mi kering komersial memiliki warna yang lebih cerah keputihan
dibandingkan mi kering formula terpilih. Hal ini disebabkan oleh bahan baku
yang digunakan dalam pembuatan mi. Bahan baku yang digunakan adalah tepung
terigu dengan spesifikasi kadar abu 0,35-0,40%. Kadar abu pada tepung menjadi
salah satu spesifikasi yang penting dalam pembuatan mi komersial karena dapat
mempengaruhi warna mi secara umum (Hou 2001). Adanya penambahan tepung
surimi ikan gabus yang cenderung berwarna kuning dan tepung porang yang
berwarna coklat, sehingga mempengaruhi nilai kecerahan dari mi kering formula
terpilih yang dihasilkan. Wang et al. (2004) menyatakan bahwa warna pada mi
sangat dipengaruhi oleh bahan baku tepung yang digunakan, diantaranya warna
intrinsik tepung, kadar abu, tingkat ekstraksi, ukuran partikel, kadar protein dan
aktivitas enzim.
Penambahan tepung surimi yang cenderung berwarna kuning akan
bercampur dengan tepung lainnya dan mempengaruhi warna adonan mi kering
yang dihasilkan, sehingga nilai kecerahan warna mi fortifikasi tepung surimi ikan
gabus memiliki nilai lebih rendah dibandingkan mi kering kontrol. Semakin
banyak konsentrasi protein yang ditambahkan ke dalam adonan, maka akan
berkurang nilai kecerahan pada produk mi kering yang dihasilkan. Kecerahan
pada mi kering dipengaruhi oleh proses pengeringan yang dilakukan. Adanya
proses pemanasan akan menyebabkan reaksi Maillard yang terjadi karena
interaksi pati dengan protein atau gugus asam amino sehingga dapat menurunkan
32
kecerahan pada mi kering. Reaksi Maillard dapat menyebabkan perubahan sensori
pada mi karena terbentuknya senyawa melanoidin yang memberikan warna coklat
(Damodaran 2008).
Kekerasan adalah sifat produk pangan yang menunjukkan daya tahan untuk
pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Sifat derajat mudah patah dari suatu
benda dapat dinyatakan sebagai nilai kekerasan (hardness)
(Andarwulan et al. 2011). Kekerasan mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan
komersial masing-masing adalah 1493,20 gf, 1627,80 gf dan 1797,43 gf.
Berdasarkan hasil analisis ragam, kekerasan mi dipengaruhi secara nyata oleh
perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa
kekerasan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering komersial,
sedangkan kekerasan mi kering surimi gabus 9% tidak berbeda nyata dengan mi
kering kontrol (Lampiran 4).
Nilai kekerasan mi kering kontrol lebih tinggi dibandingkan mi kering
dengan penambahan tepung surimi 9%. Perbedaan nilai tersebut diduga karena
kandungan glukomanan pada tepung porang yang dapat menyerap air lebih
banyak, sehingga mi porang yang dihasilkan lebih bervolume. Adanya
penambahan tepung surimi diduga dapat mempengaruhi nilai kekerasan pada mi
kering yang dihasilkan. Zhou et al. (2013) menyatakan bahwa sifat fisikokimia
pada glukomanan dapat menghidrasi lebih cepat dan menyerap air lebih banyak
sehingga viskositasnya meningkat. Glukomanan berbeda dengan hidrokoloid
lainnya yang dapat berinteraksi secara elektrostatis dengan grup fungsional pada
protein atau pati, melainkan sebagai polisakarida netral yang dapat menggantikan
jaringan gluten dalam memberikan kekompakan pada tekstur mi. Glukomanan
dapat menghambat hidrasi antara pati dan protein, sehingga terjadi persaingan
dalam penyerapan air oleh glukomanan, pati dan protein pada saat pengadonan.
Hal tersebut yang menyebabkan nilai kekerasan pada mi kering dengan
penambahan tepung surimi memiliki nilai yang lebih rendah daripada kontrol.
Nilai kekerasan pada mi komersial lebih tinggi dibandingkan mi kering
formula terpilih karena adanya gluten yang terdapat dalam tepung terigu pada mi
kering komersial. Park dan Baik (2009) mengemukakan bahwa kekerasan mi
dipengaruhi oleh kuantitas protein pada tepung yang digunakan, termasuk tipe
protein intrinsik yang terdapat dalam tepung. Kekerasan mi dapat dipengaruhi
oleh retrogradasi pati. Retrogradasi pati adalah proses terbentuknya ikatan-ikatan
hidrogen antara gugus hidroksil pada molekul-molekul amilosa dan amilopektin
sehingga membentuk tekstur yang keras (Kusnandar 2010).
Kelengketan merupakan daya rekat yang ditunjukkan dengan besarnya gaya
yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan memisahkannya dari lempeng
kompresi (Subarna et al. 2012). Nilai kelengketan mi kering surimi gabus 9%,
kontrol dan komersial masing-masing adalah -307,70 gf, -244,37 gf, dan
-48,09 gf. Berdasarkan hasil analisis ragam, kelengketan mi dipengaruhi secara
nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kelengketan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata
dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 4). Nilai kelengketan mi
kering fortifikasi tepung surimi ikan gabus 9% lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai kelengketan mi kering kontrol. Penambahan konsentrasi tepung surimi ikan
gabus berbanding lurus dengan kelengketan mi yang dihasilkan. Hal tersebut
terjadi karena penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering yang
33
dihasilkan menyebabkan ikatan hidrogen antar amilosa terganggu sehingga mi
menjadi lengket. Nilai kelengketan yang tinggi menunjukkan bahwa ikatan
hidrogen antar amilosa tidak terbentuk secara sempurna. Subarna et al. (2012)
mengemukakan bahwa apabila ikatan hidrogen antar amilosa terbentuk secara
sempurna maka amilosa yang terdapat pada permukaan mi tidak akan mudah
lepas ketika mi dimasak, sehingga kelengketan mi akan berkurang.
Nilai kelengketan pada mi kering formula terpilih lebih tinggi dibandingkan
mi kering komersial karena penggunaan bahan baku berupa tepung porang pada
pembuatan mi kering formula terpilih. Glukomanan pada tepung porang dapat
menyerap air hingga 200%. Larutan glukomanan dalam air mempunyai sifat
merekat (Winarno 2008). Kelengketan mi juga berbanding lurus dengan cooking
loss, yaitu semakin besar nilai KPAP, maka mi tersebut akan semakin lengket.
Marti et al. (2010) menyatakan bahwa kelengketan mi disebabkan oleh adanya
fraksi amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati dan membentuk ikatan
hidrogen antar amilosa. Ketika proses perebusan mi, amilosa akan terlarut ke
dalam air rebusan, sehingga kadar amilosanya akan berkurang. Hal tersebut
menyebabkan mi menjadi lengket.
Kekenyalan adalah kemampuan mi untuk kembali ke bentuk semula setelah
mendapat gaya tekan (Subarna et al. 2012). Mi kering surimi gabus 9%, kontrol
dan komersial memiliki nilai kekenyalan masing-masing sebesar 71,79 gf, 76,95
gf dan 93,73 gf. Berdasarkan hasil analisis ragam, kekenyalan mi dipengaruhi
secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa kekenyalan mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata
dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 4). Nilai kekenyalan pada mi
kering komersial lebih tinggi dibandingkan mi kering formula terpilih karena
adanya protein gluten dalam tepung terigu yang digunakan sebagai bahan baku mi
udon kering komersial. Xin-Zhong et al. (2007) menyatakan bahwa selama
pemasakan mi terigu, protein gluten menyerap air dan menguatkan jaringan
gluten, sehingga membuat mi lebih elastis dan kenyal. Jaringan gluten tersebut
akan menghalangi air yang masuk ke dalam mi dan mencegah keluarnya pati dari
dalam mi.
Kekenyalan pada mi kering berasal dari bahan baku yang digunakan, yaitu
tepung mocaf, tapioka dan tepung porang. Tepung mocaf, tapioka dan maizena
yang dipanaskan akan mengalami gelatinisasi yang akan berkontribusi
membentuk kekenyalan dari mi akibat adanya interaksi antara amilosa dengan
hidrokoloid yang meningkatkan viskositas dari pati karena air diikat oleh
hidrokoloid tersebut. Adanya kandungan glukomanan pada tepung porang yang
digunakan dalam pembuatan mi juga mempengaruhi kekenyalan mi kering yang
dihasilkan. Zhou et al. (2013) melaporkan bahwa penambahan glukomanan dapat
meningkatkan kekuatan gel pada adonan, karena adanya perubahan tekanan
osmosis yang muncul dari molekul glukomanan yang sangat hidrofilik.
Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering formula terpilih
menyebabkan mi tersebut memiliki nilai kekenyalan yang lebih rendah
dibandingkan mi kering kontrol. Adanya protein miofibril pada tepung surimi
menyebabkan adonan akan semakin elastis, karena protein miofibril berperan
dalam pembentukan gel pada surimi. Akan tetapi, menurut Sun dan Holley (2011)
pembentukan gel optimum oleh protein miofibril dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah suhu pemanasan. Suhu pemanasan optimum untuk
34
pembentukan gel pada miosin adalah 60 °C sampai 70 °C pada pH 6. Suhu
pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 °C, sehingga gel yang
terbentuk dari protein tersebut belum optimal. Hal ini diduga dapat mempengaruhi
nilai kekenyalan pada mi kering surimi formula terpilih, sehingga mi tersebut
memiliki nilai yang lebih rendah daripada mi kering kontrol.
Karakteristik kimia mi kering terpilih, kontrol dan komersial
Analisis karakteristik kimia pada penelitian ini adalah analisis proksimat
yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (by difference),
analisis serat pangan, dan aktivitas air (aw). Analisis proksimat bertujuan untuk
mengetahui komposisi yang terkandung dalam suatu bahan. Analisis pengujian
dilakukan terhadap mi kering formula terpilih (penambahan tepung surimi 9%),
formula kontrol dan komersial. Hasil analisis karakteristik kimia mi kering
formula terpilih dan formula kontrol dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Karakteristik kimia mi udon kering formula terpilih, formula kontrol dan
komersial
Parameter
Perlakuan konsentrasi tepung surimi ikan gabus Dried white
salted noodles
komersial 9% 0% (Kontrol)
Kadar air (%) 8,01±0,02a 8,52±0,02b 10,84±0,15c
Kadar abu (% bk) 4,21±0,03c 3,61±0,02a 3,78±0,01b
Kadar protein (% bk) 5,76±0,13b 1,22±0,13a 7,03±0,14c
Kadar lemak (% bk) 0,96±0,03c 0,86±0,06b 0,70±0,04a
Kadar karbohidrat
(by difference) (% bk) 89,06±0,08b 94,31±0,12c 81,54±0,27a
Serat pangan (%) 8,38±0,10a 9,48±0,19a 10,8±0,95a
Aktivitas air (aw) 0,52±0,00a 0,54±0,00c 0,53±0,00b
Keterangan: Notasi huruf superscript (a, b, c) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (p<0,05).
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Setiap bahan
makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda (Winarno 2008).
Kadar air mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing
adalah 8,01%, 8,52% dan 10,84%. Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar air mi
dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa kadar air mi kering surimi gabus 9% berbeda nyata
dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5).
Fortifikasi tepung surimi ikan gabus cenderung menurunkan kadar air mi
kering yang dihasilkan, sehingga dapat meningkatkan daya tahan produk.
Penurunan kadar air pada mi kering fortifikasi surimi gabus juga disebabkan oleh
adanya interaksi antara pati dan protein. Damodaran (2008) menyatakan bahwa
adanya interaksi antara pati dan protein menyebabkan air tidak dapat diikat lagi
secara sempurna karena protein yang seharusnya mengikat air digunakan untuk
mengikat pati. Nilai kadar air pada mi kering komersial lebih tinggi dibandingkan
mi kering formula terpilih karena metode pengeringan yang digunakan berbeda.
Mi kering pada penelitian ini menggunakan metode pengeringan oven selama 1
jam dengan suhu 40 ºC, sedangkan menurut Fu (2008) mi kering komersial
dikeringkan dengan cara pengeringan udara di dalam ruangan khusus yang suhu
dan kelembabannya sudah diatur. Proses pengeringan terbagi ke dalam tiga tahap,
35
yaitu pengeringan awal (15-25 ºC), pre-drying (30-40 ºC), dan pengeringan
terakhir (40-5 ˚ ).
Mineral (abu) merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan dalam
pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi
tubuh secara keseluruhan (Almatsier 2006). Kadar abu mi kering surimi gabus
9%, kontrol dan komersial adalah 4,21%, 3,61%, 3,78%. Berdasarkan hasil
analisis ragam, kadar abu mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi
kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu mi kering
surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial
(Lampiran 5). Hal ini diduga karena perbedaan bahan baku yang digunakan.
Kadar abu pada mi kering memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan
penambahan konsentrasi tepung surimi ikan gabus yang ditambahkan. Hal ini
disebabkan oleh abu yang terkandung dalam tepung surimi tersebut. Kadar abu
yang terkandung pada tepung surimi ikan gabus yang dihasilkan adalah 1,74%
(bk).
Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena
berfungsi sebagai bahan bakar, zat pembangun dan zat pengatur tubuh
(Winarno 2008). Kadar protein mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan komersial
masing-masing adalah 5,76%, 1,22%, dan 7,03%. Berdasarkan hasil analisis
ragam, kadar protein mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi kering
(p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar abu mi kering surimi
gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5).
Kadar protein mi kering dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan mi. Tingginya kadar protein pada mi kering formula terpilih berasal
dari bahan baku yang digunakan. Adanya penambahan tepung surimi ikan gabus
juga mempengaruhi kadar protein pada mi kering yang dihasilkan. Tepung surimi
ikan gabus yang digunakan memiliki kadar protein sebesar 65,07%. Mi kering
komersial memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan mi kering
formula terpilih karena dalam pembuatan mi kering komersial menggunakan
tepung terigu.
Lemak adalah senyawa ester non-polar yang tidak larut dalam air
(Kusnandar 2010). Kadar lemak mi kering surimi gabus 9%, kontrol dan
komersial masing-masing adalah 0,96%, 0,86% dan 0,70%. Berdasarkan hasil
analisis ragam, kadar lemak mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis
mikering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar lemak mi
kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial
(Lampiran 5). Kandungan lemak pada mi kering dipengaruhi oleh formulasi
bahan baku dalam pembuatan mi. Tepung surimi ikan gabus memiliki kadar
lemak sebesar 1,66%. Penambahan tepung surimi ikan gabus pada mi kering yang
difortifikasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan mi kering
kontrol. Mi kering dengan penambahan tepung surimi ikan gabus memiliki kadar
lemak yang lebih tinggi dibandingkan mi kering kontrol.
Kadar karbohidrat ditentukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan
dari 100% dengan kadar air, abu, protein dan lemak, sehingga diketahui perkiraan
jumlah karbohidrat secara keseluruhan. Kadar karbohidrat mi kering surimi gabus
9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 89,06%, 94,31% dan 81,54%.
Berdasarkan hasil analisis ragam, kadar karbohidrat mi dipengaruhi secara nyata
oleh perbedaan jenis mi kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan
36
bahwa kadar karbohidrat mi udon kering surimi gabus 9% berbeda nyata dengan
mi kering kontrol dan komersial (Lampiran 5). Kadar karbohidrat pada tepung
mocaf relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu, sehingga mi kering
formula terpilih dan kontrol memiliki kadar karbohidrat lebih tinggi dibandingkan
mi kering komersial yang berbahan baku terigu. Kadar karbohidrat tepung mocaf
yang digunakan dalam pembuatan mi adalah sebesar 87,02%. Tingginya
kandungan karbohidrat pada mi kering kontrol disebabkan oleh penggunaan
bahan baku yang 100% menggunakan pati singkong. Penambahan tepung surimi
ikan gabus pada mi kering akan menurunkan kadar karbohidrat produk yang
dihasilkan dan meningkatkan kadar lemak dan protein secara proporsional.
Serat pangan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis
oleh enzim-enzim pencernaan (Muchtadi 2001). Kadar serat pangan mi kering
surimi gabus 9%, kontrol dan komersial masing-masing adalah 8,38%, 9,48% dan
10,8%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara
kadar serat pangan mi kering fortifikasi surimi gabus 9% dengan mi kering
kontrol dan komersial (p>0,05). Mi kering dengan penambahan tepung surimi
ikan gabus mengandung serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan mi kering
kontrol. Semakin tinggi konsentrasi tepung surimi yang ditambahkan, maka kadar
serat pangan pada mi kering semakin berkurang. Hal ini diduga karena tepung
surimi ikan gabus tidak mengandung serat pangan, sehingga tidak mempengaruhi
kadar serat pangan pada mi kering yang difortifikasi tepung surimi ikan gabus.
Adanya reaksi antara protein dari tepung surimi, serat dan air juga mempengaruhi
rendahnya kadar serat pangan tersebut. Sánchez-González et al. (2009)
menyatakan bahwa serat dapat berperan sebagai agen dehidrasi yang aktif karena
sifatnya yang hidrofilik dan dapat menyebabkan perubahan pada interaksi
hidrofobik dari protein. Senyawa protein tersebut dapat mengganggu aktivitas
serat dalam berinteraksi dengan air.
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan
makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw. Aktivitas air
(aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk
pertumbuhannya (Winarno 2008). Nilai aw mi kering surimi gabus 9%, kontrol
dan komersial masing-masing adalah 0,52, 0,54 dan 0,53. Berdasarkan hasil
analisis ragam, nilai aw mi dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan jenis mi
kering (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai aw mi kering
surimi gabus 9% berbeda nyata dengan mi kering kontrol dan komersial
(Lampiran 5). Kisaran nilai aw tersebut sudah sesuai dengan ketetapan nilai aw mi
kering, yaitu 0,57 (Schmidt dan Fontana 2007). Terdapat dua faktor utama yang
mempengaruhi kestabilan nilai aw pada suatu bahan pangan, yaitu pengaruh
kapiler pada bahan dan interaksi antara permukaan bahan dengan air. Produk
pangan kering yang memiliki kisaran nilai aw 0,2-0,3 memiliki umur simpan yang
paling maksimum, nilai aw 0,35-0,45 memiliki kandungan kelembaban yang kritis
dimana dapat menyebabkan perubahan fisik pada produk, nilai aw 0,4-0,5
memiliki daya tahan kerenyahan produk yang cukup kritis
(Labuza dan Altunakar 2007).
37
Sumbangan Gizi Mi Kering Surimi Gabus Terpilih
terhadap Angka Kecukupan Gizi
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata gizi bagi hampir
semua orang sehat menurut golongan umur, gender, ukuran tubuh, aktivitas fisik,
dan kondisi fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
(Almatsier 2006). Informasi nilai gizi pada suatu produk makanan sangat penting
sebagai informasi dan pengetahuan bagi konsumen mengenai besarnya kecukupan
gizi yang dapat disumbangkan dalam mengkonsumsi produk tersebut. Takaran
saji yang ditetapkan untuk mi kering surimi gabus adalah 100 g. Penentuan
takaran saji tersebut mengacu pada takaran saji mi kering komersial yang terdapat
di pasaran. Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula kontrol dan mi
kering komersial dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Informasi gizi mi kering formula terpilih, formula kontrol dan mi kering
komersial
Parameter Perlakuan konsentrasi tepung surimi gabus Dried white salted
noodles komersial 9% 0% (kontrol)
Total energi (kkal) 356,84 356,62 344,94
Karbohidrat (%AKG) 27,31 28,76 26,16
Protein (%AKG) 8,83 1,87 10,45
Lemak (%AKG) 1,41 1,25 1,06
Serat pangan (%AKG) 33,52 37,92 43,20
Keterangan: Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi per hari 2000 kkal.
Mi kering surimi gabus 9% menyumbangkan total energi sebanyak 356,84
kkal, sedangkan total energi mi kering kontrol dan mi kering komersial masing-
masing sebesar 356,62 kkal dan 344,94 kkal. Mi kering surimi gabus 9% memiliki
sumbangan total energi tertinggi dibandingkan mi kering kontrol dan mi kering
komersial. Perbedaan total energi ini disebabkan oleh tingginya kandungan
protein pada mi kering surimi gabus sehingga berdampak pada peningkatan total
energi secara tidak langsung. Mi kering surimi gabus memiliki nilai %AKG serat
pangan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya rumput laut dan
glukomanan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan mi. Mi kering
komersial memiliki nilai %AKG serat pangan yang tinggi karena bahan baku
yang digunakan dalam pembuatan mi berupa terigu dengan protein sedang
mengandung serat pangan 11,42% (Hager 2013). Konsumsi satu takaran saji mi
kering surimi gabus tersebut sudah mencukupi kebutuhan serat pangan dan satu
per tujuh kebutuhan protein konsumsi manusia dewasa (Tejasari 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Formulasi mi kering terpilih yang diperoleh berdasarkan hasil analisis
sensori dan uji indeks kerja dengan metode Bayes adalah formula A2, yaitu mi
kering dengan fortifikasi tepung surimi ikan gabus 9%. Penambahan tepung
38
surimi ikan gabus mempengaruhi mi kering yang dihasilkan. Mi kering surimi
gabus terpilih memiliki karakteristik yang meliputi, cooking time 8,10 menit,
cooking loss 32,04%, warna 94,48, kekerasan 1493,20 gf, kelengketan -307,70 gf,
kekenyalan 71,79 gf, kadar air 8,01%, kadar abu 4,21%, kadar protein 5,76%,
kadar lemak 0,96%, kadar karbohidrat 89,06%, serat pangan 8,38% dan aktivitas
air 0,52. Mi udon kering formula terpilih menyumbangkan energi total sebesar
356,84 kkal, karbohidrat 27,31%, protein 8,83%, lemak 1,41% dan serat pangan
33,52% terhadap angka kecukupan gizi manusia dewasa.
Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu perlu dilakukan formulasi lebih
lanjut pada pembuatan mi, sehingga dapat diketahui proporsi sesuai dari tepung
dari singkong dan pati lainnya yang efektif dan terpilih agar sesuai dengan
prasyarat mi kering produk komersial. Perlu juga dilakukannya optimasi suhu
pada setiap tahapan proses dan metode pada pembuatan mi, sehingga mi kering
yang dihasilkan tidak mudah patah.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka
Utama. Hlm. 133-296.
Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta (ID):
PT Dian Rakyat. Hlm. 296-297.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Virginia (US):
Published by The Association of Analytical Chemist, Inc.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Analisis Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor. Hlm. 62-68.
Ariani M. 2010. Analisis konsumsi pangan tingkat masyarakat mendukung
pencapaian diversifikasi pangan. Gizi Indonesia. 33(1): 20-28.
Barokah Q, Abtokhi A. 2013. Analisis kadar glukosa pada biomassa bonggol
pisang melalui paparan melalui paparan radiasi matahari, gelombang mikro,
dan hidrolisis asam. Jurnal Neutrino. 5(2): 123-132.
BeMiller JN, Hubber KC. 2008. Carbohydrates: Fennema’s Food Chemistry.
Fourth Ed. Damodaran S, Parkin KL, Fennema OR, editor. Florida (US):
CRC Press. Hlm. 108-125.
Beuchat LR. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated
peanut flour protein. Journal of Agriculture and Food Chemistry. 25: 258-
261.
39
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia 2015. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891.1992 Cara Uji
Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
________________________________. 2006. SNI 2346:2006 Petunjuk
Pengujian dan atau Sensori pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional.
_______________________________. 2006a. SNI 01-2354.1-2006 Cara Uji
Kimia – Bagian 1: Penentuan Kadar Abu pada Produk Perikanan. Jakarta
(ID): Badan Standardisasi Nasional.
________________________________. 2006b. SNI 01-2354.2-2006 Cara Uji
Kimia – Bagian 2: Penentuan Kadar Air pada Produk Perikanan. Jakarta
(ID): Badan Standardisasi Nasional.
________________________________. 2006c. SNI 01-2354.3-2006 Cara Uji
Kimia – Bagian 3: Penentuan Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
________________________________. 2006d. SNI 01-2354.4-2006 Cara Uji
Kimia – Bagian 4: Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen
pada Produk Perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Chua M, Baldwin TC, Hocking TJ, Chan K. 2010. Traditional uses and potential
health benefits of Amorphophallus konjac. Journal of Ethnopharmacology
128: 268-278.
Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-type noodles from
heat-moisture-treated sweet potato starch. Journal of Food Science. 66(1):
604-609.
Damodaran S. 2008. Amino acids, peptides, and proteins: Fennema’s Food
Chemistry. Fourth Ed. Damodaran S, Parkin KL, Fennema OR, editor
Florida (US): CRC Press. Hlm. 242.
Darcy-Vrillon B. 1993. Nutritional aspects of the developing use of marine
macroalgae for the human food industry. International Journal of Food
Science and Nutrition. 44: 23-35
Deng Y, Luo Y, Wang Y, Zhao Y. 2015. Effect of different drying methods on the
myosin structure, amino acid composition, protein digestibility and volatile
profile of squid fillets. Food Chemistry. 17(1): 168-176.
[Ditjen Perikanan Tangkap] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2015.
Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Menurut Provinsi, 2014. Jakarta
(ID): Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2011. Fish protein concentrate.
http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5917E/x5917e01.htm [13 November
2015].
40
Faridah A, Widjanarko B. 2014. Penambahan tepung porang pada pembuatan mi
dengan substitusi tepung mocaf. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
25(1): 98-105.
Firdaus M, Prihanto AA, Nurdiani R. 2015. Increasing the quality of dry seaweeds
by drum washing machine. Journal of Innovation and Applied Technology
1(2): 118-123.
Foegeding EA, Davis JP. 2011. Food protein functionality: A comprehensive
approach. Food Hydrocolloid. 25: 1853-1864.
Fontana AJ. 2007. Measurement of water activity, moisture sorption isotherms
and moisture content of foods: Water Activity in Foods Fundamentals and
Applications. Barbosa-Cánovas GV, Fontana AJ, Schmidt SJ, Labuza TP,
editor. Iowa (US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 155-156.
Fu BX. 2008. Asian noodles: history, classification, raw materials, and
processing. Food Research International 41: 888-902.
Gan CY, Ong WH, Wong LM, Easa AM. 2009. Effects of ribose, microbial
transglutaminase and soy protein isolate on physical properties and in vitro
starch digestibility of yellow noodles. Food Science and Technology. 42:
174-179.
Guenneugues P, Morissey MT. 2005. Surimi resources: Surimi and Surimi
Seafood Second Edition. Park JW, editor. Florida (US): CRC Press. Hlm. 4-
6.
Hager AS. 2013. Cereal products for specific dietary requirements. Evaluation
and improvement of technological and nutritional properties of gluten free
raw materials and end products [doctoral thesis]. Cork (IE): School of Food
and Nutritional Sciences, University College of Cork.
Heo H, Baik BK, Kang CS, Choo BK, Park CS. 2012. Influence of amylose
content on cooking time and textural properties of white salted noodles.
Food Science Biotechnology. 21(2): 345-353.
Hou G. 2001. Oriental Noodles. Portland (US): Academic Press. Hlm. 143-189.
Huda N, Santana P, Abdulla R, Yang TA. 2012. Effect of different dryoprotectant
on functional properties of thredfin bream surimi powder. Journal of Fish
Aquatic Science. 7: 215-223.
Hudaya RN. 2008. Pengaruh penambahan tepung rumput laut (Kappaphycus
alvareziii) untuk peningkatan kadar iodium dan serat pangan pada tahu
sumedang [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
[ICC] International Association for Cereal Science and Technology. 2009. The
ICC Handbook of Cereals, Flour, Dough and Product Testing.
Pennsylvania (US): DEStech Publications Inc. Hlm. 455-456.
[IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary reference intakes: macronutrients.
http://iom.nationalacademies.org/~/media/Files/ActivityFiles/Nutrition/DRI
s/DRI_Macronutrients.pdf [13 Januari 2016]
41
Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan.
Depatemen Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan
[Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia 2007, Bogor]
Katsuraya K, Okuyama K, Hatanaka K, Oshima R, Sato T, Matsuzaki K. 2003.
Constitution of konjac glucomannan: chemical analysis and 13C NMR
spectroscopy. Carbohydrate Polymers. 53(2): 183-189.
Khoiri A. 2013. Sifat tekstural dan cooking quality mi bebas gluten dari tepung
sukun. Seminar Nasional: Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan
Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
Madura. Hlm 835-843.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013a. Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) usulkan hari ikan nasional untuk mendukung upaya
peningkatan gizi masyarakat. http://www.wpi.kkp.go.id/ [29 Oktober 2015].
______________________________________. 2013b. Kelautan dan Perikanan
dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hlm. 18-19.
[Kemenperin] Kementerian Perindustrian. 2013. Impor tepung terigu turun
34,92%. [terhubung berkala] www.kemenperin.go.id/artikel/3199/Impor-
Tepung-Terigu-Turun-34,92 (Diakses pada 17 Januari 2015).
Kumar V, Kaladharan P. 2007. Amino acids in the seaweeds as an alternate
source of protein for animal feed. Journal of The Marine Biological
Association of India. 49(1): 35-40.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta (ID): PT Dian
Rakyat.
Labuza TP, Altunakar JB. Water activity prediction and moisture sorption
isotherms: Water Activity in Foods Fundamentals and Applications. Iowa
(US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 109.
Lafarge C, Cayot N, Hory C, Goncalves L, Chassemont C, Le Bail P. 2014. Effect
of konjac glucomannan addition on aroma release in gels containing potato
starch. Food Research International. 64: 412-419.
Lasmini AY. 2002. Pemanfaatan tepung iles-iles kuning (Amorphophallus
onchophyllus) sebagai sumber serat pada pembuatan cookies berserat tinggi
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Liu J, Wang X, Ding Y. 2011. Optimization of adding konjac glucomannan to
improve gel properties of low-quality surimi. Carbohydrate Polymers 92:
484-489.
Lubis Z. 2009. Hidup Sehat dengan Makanan Kaya Serat. Bogor (ID): IPB Press.
Hlm. 5-9.
Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID):
Grasindo. Hlm. 16-21.
42
Marti A, Seetharaman K, Pagani MA. 2010. Rice based pasta: A comparison
between conventional pasta-making and extrussion-cooking. Journal Cereal
Science. 52: 404-409.
McDermid KJ, Stuercke B. 2003. Nutritional composition of edible Hawaiian
seaweeds. Journal of Applied Phycology. 15: 513-524.
Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah
timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
XII(1): 61-71.
Muhandri T, Subarna. 2009. Pengaruh kadar air, NaCl, dan jumlah passing
terhadap karakteristik reologi mi jagung. Jurnal Teknologi dan Industri
Pangan. 20(1): 71-77.
Mulyono E. 2010. Peningkatan mutu tepung iles-iles (A. onchophyllus)
(foodgrade: glukomanan 80%) sebagai bahan pengelastis mi (4% =
meningkatkan elasitisitas mi 50%) dan pengental (1% = 16.000 cps) melalui
teknologi pencucian bertingkat dan enzimatis pada kapasitas produksi 250
kg umbi/hari. [laporan akhir penelitian]. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Park JW, Lin TMJ. 2005. Surimi: manufacturing and evaluation: Surimi and
Surimi Seafood Second Edition. Park JW, editor. Florida (US): CRC Press.
Hlm. 388-390.
Park SJ, Baik BK. 2009. Quantitative and qualitative role of added gluten on
white salted noodles. Cereal Chemistry. 86(6): 646-652.
Ramadhan W, Santoso J, Trilaksani W. 2014. Pengaruh defatting, frekuensi
pencucian dan jenis dryoprotectant terhadap mutu tepung surimi ikan lele
kering beku. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 25(1): 47-56.
Rawdkuen S, Sai-Ut S, Khamson S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical
and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an acid-
alkaline process. Food Chemistry. 112: 112-119.
Richana N, Sumarti TC. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan
tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal
Pascapanen. 1 (1): 29-37.
Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai
makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi anak
balita [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Salim E. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk
Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta (ID): Lily Publisher. Hlm. 5-14.
Sánchez-González I, Rodríguez-Casado A, Careche M, Carmona P. 2009. Raman
analysis of surimi gelation by addition of wheat dietary fibre. Food
Chemistry. 112: 162-168.
Santana P, Huda N, Yang TA. 2012. Technology for production surimi powder
and potential of applications. International Food Research Journal. 19(4):
1313-1323.
43
Santoso J, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2004. Mineral fatty acid and dietary fiber
compositions in several Indonesian seaweeds. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia. 11: 45-51.
Santoso J, Gunji S, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2006. Mineral contents of
Indonesian seaweeds and mineral solubility affected by basic cooking. Food
Science and Technology Research. 12(1): 59-66.
Santoso J, Lestari OA, Anugrahati NA. 2006. Peningkatan kandungan serat
makanan dan iodium pada mi kering melalui substitusi tepung terigu dengan
tepung rumput laut. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 4(2): 131-145.
Santoso J, Hendra E, Siregar TM. 2008. Pengaruh lama dan pengulangan
ekstraksi terhadap karakteristik fisiko-kimia konsentrat protein ikan nila
hitam (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 6(2):
67-85.
______________________________. 2009. Pengaruh substitusi susu skim
dengan konsentrat protein ikan nila hitam (Oreochromis niloticus) terhadap
karakteristik fisiko-kimia makanan bayi. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Pangan. 7(1): 88-107.
Sary AN. 2015. Pangan fungsional mi ikan berbasis konsentrat protein ikan nila
(Oreochromis niloticus), Spirulina platensis dan sumber karbohidrat lokal
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Schmidt SJ, Fontana AJ. 2007. Water activity values of select food ingredients
and products: Water Activity in Foods Fundamentals and Applications.
Barbosa-Cánovas GV, Fontana AJ, Schmidt SJ, Labuza TP, editor. Iowa
(US): Blackwell Publishing Professional. Hlm. 411.
Siswanti. 2008. Karakterisasi edible film komposit dari glukomanan umbi iles-iles
(Amorphophallus muelleri Blume) dan maizena [skripsi]. Surakarta (ID):
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Principles and Procedures of Statistics Index.
Sumantri B, Penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm.
107-406.
Subarna, Muhandri T, Nurtama B, Firlieyanti AS. 2012. Quality impovement of
dried corn noodle through the optimization of processing conditions and
addition of monoglyceride. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23(2):
146-152.
Sun XD, Holley RA. 2011. Factors influencing gel formation by myofibrillar
proteins in muscle foods. Comprehensive Reviews in Food Science and
Food Safety, Institute of Food Technologists Vol. 10: 33-51.
Sunarsi S, Sugeng M, Wahyuni S, Ratnaningsih W. 2011. Memanfaatkan
singkong menjadi tepung mocaf untuk pemberdayaan masyarakat
Sumberejo. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
tahun 2011. Hlm 306-310.
44
Susanti E. 2015. Formulasi fish flakes kaya protein dan fitonutrien berbasis
konsentrat protein ikan, Spirulina, dan sumber karbohidrat lokal [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Tan BH, Azhar ME. 2014. Physicochemical properties and composition of
snakehead fish (Channa striatus) whole fillet powder prepared with pre-
filleting treatments. International Food Research Journal. 21(3): 1255-
1260.
Tejasari. 2005. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta (ID): Penerbit Graha Ilmu. Hlm. 5-
77.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Diterjemahkan oleh Sumantri B. Jakarta
(ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
Walpole RE, Myers RH. 1995. Ilmu Peluang dan Statistik untuk Insinyur dan
Ilmuwan. Diterjemahkan oleh RK Sembiring. Bandung (ID): Penerbit ITB.
Hlm. 524-526.
Wang C, Kovacs MIP, Fowler DB, Holley R. 2004. Effects of protein content and
composition on white noodle making quality: color. Cereal Chemistry.
81(6): 777-784.
Widjanarko SB, Megawati J. 2015. Analisis metode kolorimetri dan gravimetri
pengukuran kadar glukomanan pada konjak (A. konjac). Jurnal Pangan dan
Agroindustri. 3(4): 1584-1588.
[WINA] World Instant Noodles Association. 2015. Global demand for instant
noodles. http://instantnoodles.org/en/noodles/market.html (Diakses pada 7
Juni 2016).
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor (ID): PT Embrio Biotekindo.
Hlm. 3-127.
Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor. Hlm. 14-17.
Xin-Zhong H, Yi-Min W, Chun W, Kovacs MIP. 2007. Quantitative assessment
of protein fractions of Chinese wheat flours and their contribution to white
salted noodle quality. Food Research International. 40: 1-6.
Xiong G, Cheng W, Ye L, Du X, Zhou M, Lin R. 2009. Effects of konjac
glucomannan on physiochemical properties of myofibrillar protein and
surimi gels from grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Chemistry.
116: 413-418.
Zakiah AFN. 2016. Analisis DNA mitokondria dan profil protein beberapa ikan
air tawar indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effect of
trehalosa and sodium lactate on tilapia (Sarotheredon nilotica) surimi during
frozen storage. Food Chemistry. 96: 96-103.
45
Zhou Y, Cao H, Hou M, Nirasawa S, Tatsumi E, Foster TJ, Cheng Y. 2013. Effect
of konjac glucomannan on physical and sensory properties of noodles made
from low-protein wheat flour. Food Research International. 51: 879-885.
46
47
LAMPIRAN
48
49
Lampiran 1 Lembar penilaian uji sensori mi kering dan basah Nama Panelis : .............................................
Tanggal Pengujian : .............................................
Jenis Produk : Mi dengan penambahan surimi ikan gabus
Parameter Kode
A0 A1 A2
Kenampakan
Warna
Aroma
Kekerasan
Parameter Kode
A0 A1 A2
Rasa
Kekenyalan
Kriteria:
1 = Amat sangat tidak suka
2 = Sangat tidak suka
3 = Tidak suka
4 = Agak tidak suka
5 = Netral
6 = Agak suka
7 = Suka
8 = Sangat suka
9 = Amat sangat suka
50
Lampiran 2 Hasil uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Dunn parameter sensori mi
kering surimi gabus
a. Hasil uji Kruskal Wallis
Kenampakan Warna Aroma Rasa Kekerasan Kekenyalan
X2 hitung 7,321 ,533 6,746 5,711 4,251 11,846
Db 2 2 2 2 2 2
Signifikan ,026 ,766 ,034 ,058 ,119 ,003 Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
b. Hasil uji lanjut Dunn parameter kenampakan mi. Nilai kritis = 18,6208
Perlakuan N α= 5
a b
0% Tepung surimi ikan gabus 40 a
6% Tepung surimi ikan gabus 40 a
9% Tepung surimi ikan gabus 40 b
c. Hasil uji lanjut Dunn parameter aroma mi. Nilai kritis = 18,6208
Perlakuan N α= 5
a b
0% Tepung surimi ikan gabus 40 a
6% Tepung surimi ikan gabus 40 b
9% Tepung surimi ikan gabus 40 b
d. Hasil uji lanjut Dunn parameter kekenyalan mi. Nilai kritis = 18,6208
Perlakuan N α= 5
a b c
0% Tepung surimi ikan gabus 40 a
6% Tepung surimi ikan gabus 40 b
9% Tepung surimi ikan gabus 40 c
51
Lampiran 3 Penilaian indeks kerja (metode Bayes) terhadap parameter sensori mi
kering
Nilai kepentingan Parameter Nilai Kepentingan
Kenampakan 5
Warna 2
Aroma 4 Rasa 1
Kekerasan 6
Kekenyalan 5 Keterangan: Nilai 6 adalah sangat penting
Nilai 5 adalah penting
Nilai 4 adalah biasa
Nilai 3 adalah kurang penting
Nilai 2 adalah tidak penting
Nilai 1 adalah sangat tidak penting
x/y Kenampakan Warna Aroma Rasa Kekerasan Kekenyalan
Kenampakan 1,00 2,50 1,25 5,00 0,83 1,00
Warna 0,40 1,00 0,50 2,00 0,33 0,40
Aroma 0,80 2,00 1,00 4,00 0,67 0,80 Rasa 0,20 0,50 0,25 1,00 0,17 0,20
Kekerasan 1,20 3,00 1,50 6,00 1,00 1,20
Kekenyalan 1,00 1,00 1,25 5,00 0,83 1,00
Perkalian dengan matriks sekawan (matriks AxA = B)
1,00 2,50 1,25 5,00 0,83 1,00
0,40 1,00 0,50 2,00 0,33 0,40
0,80 2,00 1,00 4,00 0,67 0,80
0,20 0,50 0,25 1,00 0,17 0,20
1,20 3,00 1,50 6,00 1,00 1,20
1,00 1,00 1,25 5,00 0,83 1,00
1,00 2,50 1,25 5,00 0,83 1,00
0,40 1,00 0,50 2,00 0,33 0,40
0,80 2,00 1,00 4,00 0,67 0,80
0,20 0,50 0,25 1,00 0,17 0,20
1,20 3,00 1,50 6,00 1,00 1,20
1,00 1,00 1,25 5,00 0,83 1,00
Matriks B =
6,00 20,92 6,40 49,17 4,74 8,80
3,79 4,40 2,93 7,73 1,61 1,94
11,04 17,17 9,12 119,80 5,98 38,80
2,65 6,18 2,36 16,70 3,00 4,38
57,48 36,70 28,36 409,68 21,49 263,55
39,31 126,42 12,18 210,67 12,03 82,14
52
Perkalian dengan matriks sekawan (matriks BxB = C)
6,00 20,92 6,40 49,17 4,74 8,80
3,79 4,40 2,93 7,73 1,61 1,94
11,04 17,17 9,12 119,80 5,98 38,80
2,65 6,18 2,36 16,70 3,00 4,38
57,48 36,70 28,36 409,68 21,49 263,55
39,31 126,42 12,18 210,67 12,03 82,14
588,42 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44
578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76
5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44
455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18
4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60
1545,66 15981,11 148,43 44380,42 144,82 6746,98
Matriks C =
588,42 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44
578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76
5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44
455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18
4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60
1545,66 15981,11 148,43 44380,42 144,82 6746,98
Hasil penjumlahan Matriks C dan nilai bobot
Hasil
Penjumlahan
Nilai
Bobot
Kenampakan 588,42 1661,89 249,05 3508,22 36,61 77,44 668,9722 0,2245
Warna 578,59 421,90 137,93 285,21 14,20 3,76 17,1258 0,0057
Aroma 5401,31 5503,34 1007,88 30347,46 152,11 1505,44 274,0128 0,0920
Rasa 455,12 2235,91 515,79 2430,08 103,11 19,18 1,0702 0,0004
Kekerasan 4746,78 4932,43 5795,70 172363,91 3633,31 69458,60 1387,2097 0,4656
Kekenyalan 1545,66 15,981,11 148,43 44380,42 144,82 6746,98 630,9097 0,2118
Hasil perankingan berdasarkan uji Bayes
Parameter Formula
Nilai Bobot A0 A1 A2
Kenampakan 3 2 1 0,2245
Warna 2 3 1 0,0057 Aroma 2 3 1 0,0920
Kekerasan 1 3 2 0,0004
Rasa 3 2 1 0,4656
Kekenyalan 3 1 2 0,2118 Total nilai 1,0985 2,1137 2,7878
Ranking 3 2 1 Keterangan:
A0 = Kontrol, A1 = 6% Tepung surimi ikan gabus, A2 = 9% Tepung surimi ikan gabus
53
Lampiran 4 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam (ANOVA) dan
uji lanjut Duncan karakteristik fisik mi kering
1. Grafik uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov
Hipotesis:
H0 = data menyebar normal
H1 = data tidak menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,984
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,996
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
54
Keterangan: Pvalue = 0,729
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,896
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
55
Keterangan: Pvalue = 0,986
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,788
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
56
2. Tabel analisis ragam (ANOVA) karakteristik mi kering
Analisis Ragam (ANOVA) Jumlah
kuadrat
Db Kuadrat
tengah
F hitung Signifikan
Cooking
time
Perlakuan 37,906 2 18,953 19834,686 ,000
Galat ,006 6 ,001
Total 37,912 8 Cooking
loss
Perlakuan 942,795 2 471,398 10,018 ,012
Galat 282,335 6 47,056 Total 1225,130 8
Warna Perlakuan 60,746 2 30,373 107,316 ,000
Galat 1,698 6 ,283 Total 62,444 8
Kekerasan Perlakuan 139450,549 2 69725,274 6,582 ,031
Galat 63555,787 6 10592,631
Total 203006,336 8 Kelengketan Perlakuan 109929,954 2 54964,977 68,062 ,000
Galat 4845,467 6 807,578
Total 114774,421 8 Kekenyalan Perlakuan 789,705 2 394,853 160,292 ,000
Galat 14,780 6 2,463
Total 804,485 8
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
3. Tabel uji lanjut Duncan karakteristik fisik mi kering
Hasil uji lanjut Duncan cooking time
Perlakuan N α = 5
1 2
Tepung surimi gabus 9% 3 8,0967
Kontrol 3 12,4267
Komersial 3 8,0500 Signifikan ,114 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan cooking loss
Perlakuan N α = 5
1 2
Tepung surimi gabus 9% 3 32,0400
Kontrol 3 23,0267
Komersial 3 7,2733 Signifikan 1,000 ,159
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
57
Hasil uji lanjut Duncan warna
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 94,4767 Kontrol 3 96,4833
Komersial 3 100,7100
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kekerasan
Perlakuan N α = 0,05
1 2
Tepung surimi gabus 9% 3 1493,2000
Kontrol 3 1627,8000 1627,8000
Komersial 3 1797,4333
Signifikan ,160 ,090
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kelengketan
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 -307,7000 Kontrol 3 -244,3667
Komersial 3 -48,0933
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kekenyalan
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 71,7872 Kontrol 3 76,9484
Komersial 3 93,7294
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
58
Lampiran 5 Uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov, analisis ragam (ANOVA) dan
uji lanjut Duncan karakteristik kimia mi kering
1. Grafik uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov
Hipotesis:
H0 = data menyebar normal
H1 = data tidak menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,956
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,998
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
59
Keterangan: Pvalue = 0,306
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,443
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
60
Keterangan: Pvalue = 0,999
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
Keterangan: Pvalue = 0,997
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
61
Keterangan: Pvalue = 0,994
Pvalue > 0,05 maka data menyebar normal
2. Tabel analisis ragam (ANOVA) karakteristik kimia mi kering
Analisis Ragam (ANOVA) Jumlah
kuadrat Db
Kuadrat
tengah F hitung Signifikan
Kadar air Perlakuan 13,698 2 6,849 860,899 ,000
Galat ,048 6 ,008 Total 13,746 8
Kadar abu Perlakuan ,582 2 ,291 748,886 ,000
Galat ,002 6 ,000 Total ,585 8
Kadar protein Perlakuan 55,843 2 27,921 1555,988 ,000
Galat ,108 6 ,018
Total 55,950 8 Kadar lemak Perlakuan ,100 2 ,050 21,859 ,002
Galat ,014 6 ,002
Total ,114 8 Kadar karbohidrat Perlakuan 247,096 2 123,548 3923,544 ,000
Galat ,189 6 ,031
Total 247,285 8 Serat pangan Perlakuan 34,653 2 17,328 ,698 ,0534
Galat 148,958 6 24,826
Total 183,611 8
Aktivitas air Perlakuan ,001 2 ,000 114,179 ,000 Galat ,000 6 ,000
Total ,001 8
Keterangan: signifikan < 0,05 berarti berpengaruh nyata
62
3. Tabel uji lanjut Duncan karakteristik kimia mi kering
Hasil uji lanjut Duncan kadar air
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 8,0100
Kontrol 3 8,5167
Komersial 3 10,8433 Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar abu
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 4,2167
Kontrol 3 3,6133
Komersial 3 3,7800 Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar protein
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 5,7600
Kontrol 3 1,2267
Komersial 3 7,0300 Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan kadar lemak
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 ,9600
Kontrol 3 ,8567 Komersial 3 ,7033
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
63
Hasil uji lanjut Duncan kadar karbohidrat
Perlakuan N α = 0,05
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 89,0667 Kontrol 3 94,3067
Komersial 3 81,5400
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan serat pangan
Perlakuan N α = 5
1
Tepung surimi gabus 9% 3 6,2967
Kontrol 3 2,6600
Komersial 3 7,2000
Signifikan ,322
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
Hasil uji lanjut Duncan aktivitas air
Perlakuan N α = 5
1 2 3
Tepung surimi gabus 9% 3 ,5193
Kontrol 3 ,5447
Komersial 3 ,5283
Signifikan 1,000 1,000 1,000
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan pada kolom yang berbeda menyatakan
berbeda nyata
64
Lampiran 6 Perhitungan persentase sumbangan gizi mi kering
Kebutuhan gizi per hari mengacu pada kebutuhan perhari untuk umum dari
BPOM (2005) yaitu karbohidrat 300 g (1200 kkal), protein 60 g (240 kkal), lemak
62 g (560 kkal), dan serat pangan 25 g.
Mi kering dengan konsentrasi tepung surimi ikan gabus 9% Parameter Karbohidrat Protein Lemak Serat pangan
Kadar (%) 81,93 5,30 0,88 8,38 Kadar (gram) dalam 100 gram 81,93 5,30 0,88 8,38
Energi disumbangkan (kkal) 327,72 21,2 7,92 -
Energi dibutuhkan (kkal) 1200 240 560 -
Kebutuhan (gram) 300 60 62 25 %AKG 27,31 8,83 1,41 33,52
% AKG = kadar dalam produk )
kebutu an per ari ) x
% AKG karbohidrat = 81,93 / 300 x 100% = 27,31%
% AKG protein = 5,30 / 60 x 100% = 8,83%
% AKG lemak = 0,88 / 62 x 100% = 1,41%
%AKG serat pangan = 8,38 / 25 x 100% = 33,52%
Energi dari karbohidrat = 81,93 x 4 = 327,72 kkal
Energi dari protein = 5,30 x 4 = 21,2 kkal
Energi dari lemak = 0,88 x 9 = 7,92 kkal
Energi total = 327,72 + 21,2 + 7,92 = 356,84 kkal
65
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Desember 1993, dan
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan suami istri Arif Dibyo
Pranowo, SE dan Anita Yustisia. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di
SDN Gunung 05 Pagi (SD Mexico 05) Jakarta pada tahun 2005, lulus dari SMPN
11 Jakarta pada tahun 2008, dan menamatkan pendidikan sekolah menengah atas
di SMAN 82 Jakarta pada tahun 2011. Penulis diterima di program studi
Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri IPB (SNMPTN IPB) pada
tahun 2011.
Selama kegiatan perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi dan
kepanitiaan sebagai anggota divisi Pengembangan Budaya, Olahraga dan Seni
BEM-FPIK IPB pada periode tahun 2012/2013, anggota divisi Layouter Majalah
Pangan dan Gizi EMULSI IPB pada periode tahun 2012/2013, editor dan ketua
divisi Layouter pada tahun 2013/2014, dan menjadi anggota aktif IKASUMI
(Ikatan Keluarga Alumni SUIJI Mahasiswa IPB) dari tahun 2014 hingga
sekarang. Penulis merupakan peserta Six Universities Initiative Japan Indonesia
(SUIJI)-Service Learning Program di Pulau Shikoku, Jepang tahun 2014. Penulis
juga aktif menjadi Master of Ceremony dalam beberapa acara Seminar di Institut
Pertanian o or sala satunya “SUIJI SLP Final Presentation International
Seminar” yan diadakan ole irektorat Kema asiswaan IP . elama kulia
penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan
Pengembangan Produk Hasil Perairan pada tahun ajaran 2013/2014 serta asisten
praktikum Teknologi Industri Tumbuhan Laut (TITL) pada tahun ajaran
2014/2015. Penulis menerima beasiswa PPA pada periode tahun 2013/2014.
Penulis juga aktif dalam kegiatan sosial IPB Goes To Field (2013) dan IPB Goes
To Field International (2015). Penulis telah melaksanakan praktik lapangan dan
menyelesaikan laporan yan berjudul “ injauan Kelayakan asar Produk Abon
Ikan Lele di UMKM Pamuji Kabupaten oyolali Jawa en a ” dibimbing oleh
Dr Bustami Ibrahim, MSc.