Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit
2.1.1. Anatomi kulit
Kulit terbagi atas beberapa lapisan. Secara garis besar kulit tersusun dari tiga
lapisan utama yaitu lapisan epidermis (kutikel), lapisan dermis (true skin,kutis),
lapisan subkutis (hypodermis) (Djuanda, et al., 2010).
Berikut penjelasan tentang lapisan-lapisan kulit :
(Kalangi, 2013) Gambar 2.1
Anatomi Kulit
Kalangi; Histofisiologi Kulit S13
Gambar 1. Struktur kulit. Sumber: Kessel RG, 1998.
Gambar 2. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit. Diagram lapisan kulit memperlihatkan saling hubung dan lokasi apendiks dermal (folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea). Sumber: Mescher AL, 2010.
6
1. Lapisan Epidermis
Epidermis memiliki lapisan yang terdiri atas : stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (Djuanda, et
al., 2010).
a) Stratum Korneum (Lapisan tanduk)
Lapisan tanduk (stratum korneum) merupakan lapisan terluar yang
terdiri dari beberapa lapis sel gepeng mati, tak berinti, dan protoplasma yang
berubah menjadi keratinn (zat tanduk) (Djuanda, et al., 2010).
b) Stratum Lusidum
Stratum lusidum berada dibawah korneum, stratum lusidum adalah
lapisan sel gepeng tak berinti dan protoplasma yang berubah menjadi
protein (eleidin). Lapisan tersebut Nampak jelas pada telapak tangan dan
kaki (Djuanda, et al., 2010).
c) Stratum granulosum (Lapisan keratohialin)
Stratum granulosum adalah lapisan yang terdiri dari 2 atau 3 lapis sel
gepeng dengan sitoplasma kasar dan ada inti disela-selanya. Butir-butir
kasar tersebut terdiri dari keratohialin. Biasanya tidak terdapat mukosa pada
lapisan ini. Lapisan ini nampak jelaas pada telapak tangan dan kaki
(Djuanda, et al., 2010).
d) Stratum Spinosum (Stratum malphigi)
Stratum spinosum (stratum malphigi) atau biasa disebut prickle cell layer
(lapisan akanta) terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
dengan besar yang berbeda-beda karena adanya proses mitosis.
7
Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti
terletak di tengah-tengah. Semakin dekat dengan permukaan, maka betuk
sel ini akan berubah menjadi gepeng. Antar sel-sel spinosum memiliki
jembatan antara sel (intercellular bridges) terdiri dari protoplasma dan
keratin. Jembatan-jembatan sel akan mengalami perlekatan dan berubah
menjadi bentuk tebal, bulat dan kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Antar
sel spinosum terdapat sel Langerhans. Sel-sel pada stratum spinosum
terdapat glikogen yang melimpah (Djuanda, et al., 2010). (Kalangi, 2013)
(Kalangi, 2013) Gambar 2.2
Histologi Lapisan Kulit
S14 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 3, Suplemen, November 2013, hlm. S12-20
lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanan-nya, sel-sel ini berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap permukaan kulit.
Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Stratum basal (lapis basal, lapis benih)
Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih
superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat.
Stratum spinosum (lapis taju)
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng. Stratum granulosum (lapis berbutir)
Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikro-filamen melekat pada permukaan granula. Stratum lusidum (lapis bening)
Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel
Gambar 3. Lapisan-lapisan epidermis kulit tebal. Sumber: Mescher AL, 2010.
8
e) Stratum Basale
Stratum basale merupakan sel dengan bentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal di antara demo-epidermal berbentuk mirip pagar
(palidase). Stratum basale adalah bagian terbawah epidermis. Sel-sel basale
bermitosis dan berfungsi reproduktif.
Lapisan stratum basale terdiri dua jenis sel yaitu:
a. Sel-sel bentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik, inti besar
lonjong, satu dan lainnya dihubungkan jembatan antar sel.
b. Sel-sel yang membentuk melanin (melanosit) atau biasa disebut clear
cell ialah sel dengan warna muda, dengan sitoplasma berbentuk
basofilik, berinti gelap, serta mengandung butir-butir pigmen
(melanosomes) (Djuanda, et al., 2010).
2. Lapisan Dermis
Lapisan dermis merupakan lapisan di bawah epidermis yang lebih tebal
dibandingkan epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat
dengan folikel rambut dan elemen selular. Lapisan dermis terbagi dalam dua
bagian yaitu, stratum retikulare dan stratum papilare (Djuanda, et al., 2010).
a. Stratum Papilare
Stratum papilare merupakan bagian menonjol menuju epidermis yang
berisi pembuluh darah dan ujung serabut saraf (Djuanda, et al., 2010).
b. Stratum Retikulare
Lapisan retikulare merupakan bagian di bawahnya yang menonjol kearah
subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya kolagen,
9
elastin, dan retikuklin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental
asam hialorunat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas.
Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang
mengandung hidrokdipolin dan hodroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur
dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil.
Retikulum mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang,
bernbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis (Djuanda, et
al., 2010).
3. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis merupakan kelanjutan bagian dari dermis. Lapisan ini terdiri
atas jaringan ikat longgar yang didalamnya berisi sel-sel lemak. Sel lemak
merupakan sel yang bulat, besar dan inti yang terdesar kepinggir sitoplasma lemak
yang bertambah (Djuanda, et al., 2010).
Sel ini akan membentuk kelompok yang satu dan lainnya dipisahkan oleh
trabekula fibrosa. Lapisan ini disebut panikulus adipose yang memiliki fungsi
sebagai cadangan makanan. Lapisan ini berada di ujung-ujung saraf tepi, getah
bening, dan pembuluh darah. Ketebalan jaringan lemak berbeda-beda bergantung
pada lokasi jaringan tersebut. Pada bagina abdomen, jaringan lemak mencapai
ketebalan 3 cm, sedangkan pada daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit.
Lapisan lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Djuanda, et al., 2010).
Vaskularisasi pada kulit diatur oleh dua pleksus, yaitu pleksus yang terdapat
pada bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan pleksus yang terdapat pada
bagian subkutis (pleksus profunda). Pleksus pada bagian dermis atas mengadakan
10
anastomosis di papil dermis, pleksus di bagian subkutis dan stratum retikulare juga
mengadakan anastomosis, pada bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar.
Pada bagian yang bergandengan dengan pembuluh darah, terdapat salurah getah
bening (Djuanda, et al., 2010).
2.1.2. Fisiologi kulit
Kulit bertugas melindungi tubuhh darii trauma dan berfungsi sebagai
pertahanan tubuh dari infeksi bakteri, jamur dan virus. Kulit juga mengatur regulasi
panas melalui vasodilatasi pembuluh darah kulit dan sekresi dari kelenjar keringat.
Apabila semua bagian kulit hilang, maka cairan dalam tubuh akan menguap dan
elektrolit tubuh menghilang dalam hitungan jam saja, misalnya pada kasus pasien
luka bakar. Aroma yang sedap maupun tidak sedap dari kulit berfungsi sebagai
pertanda bahwa tubuh menerima atau menolak sosial dan seksual. Organ-organ
adneksa kulit seperti rambut dan kuku telah diketahuni memiliki nilai kosmetik.
Kulit juga merupakan tempat sensari suhu, tekan, raba dan nikmat yang terjadi
berkat jalinan ujung-ujung saraf yang saling bertautan (Wilson & Price, 2006).
2.2. Luka Bakar
Luka bakar merupakan rusaknya atau hilangnya jaringan yang dapat disebabkan
oleh kontak antara kulit dengan sumber panas seperti api, bahan kimia, air panas,
listrik maupun radiasi (Moenadjat, 2009).
2.2.1. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan karena perpindahan energi dari sumber panas menuju
tubuh. Perpindahan tersebut mungkin terjadi melalui konduksi atau radiasi
11
elektromagnetik. Luka bakar terbagi atas beberapa kategori, yaitu luka bakar
termal, radiasi, atau luka bakar kimiawi (Effendi, 2009).
Kulit yang terkena luka bakar mengalami kerusakan pada bagian epidermis,
dermis atau jaringan subkutan bergantung pada faktor penyebab dan waktu kontak
kulit dengan sumber panas atau penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan
memengaruhi kerusakan atau gangguan integritas dari kulit dan kematian sel
(Effendi, 2009).
Luka bakar menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
sehingga menyebabkan klorida, natrium, air dan protein dalam sel tubuh keluar dan
mengakibatkan edema yang dapat berlanjut pada kondisi hipovolumia dan
hemokonsentrasi. Kehilangan cairan tubuh yang terjadi pada pasien luka bakar
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya suhu benda yang membakarm api, air
panas, minyak panas, listrik, zat kimia, radiasi dan kondisi ruangan yang tertutup
saat terjadinya kebakaran (Effendi, 2009).
2.2.2. Klasifikasi luka bakar
2.2.2.1. Berdasarkan penyebab
Luka bakar terdiri dari beberapa jenis, antara lain luka bakar yang disebabkan
karena api, air panas, bahan kimia (basa kuat atau asam kuat), listrik, petir, radiasi,
maupun akibat dari suhu yang sangat rendah (frost bite) (Moenadjat, 2009).
2.2.2.2. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan
a) Luka Bakar Derajat I
Luka bakar derajat I ditandai oleh kerusakan yang terbatas pada lapisan
epidermis, kulit kering, eritem, tidak terdapat bullae, nyeri dikarenakan
12
ujung-ujung saraf sensorik mengalami iritasi. Penyembuhan terjadi spontan
dalam 5-10 hari (Moenadjat, 2009).
b) Luka Bakar Derajat II
Luka bakar derajat II merupakan luka yang ditandai oleh rusaknya
jaringan meliputi dermis dan sebagian epidermis berupa reaksi inflamasi
yang disertai proses eksudasi, terdapat bullae, nyeri yang disebabkan oleh
ujung-ujung saraf sensorik yang mengalami iritasi, dasat luka merah atau
pucat, posisinya sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal. Luka bakar
derajat II dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Derajat II dangkal (superficial)
• Kerusakan terjadi pada bagian superfisial dari dermis.
• Organ kulit lain seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
• Penyembuhan terjadi spontan dalam 10-14 hari.
b. Derajat II dalam (deep)
• Kerusakan hampir mengenai semua bagian dermis
• Organ kulit lain seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh.
• Proses penyembuhan akan lebih lama, bergantung pada sel epitel yang
tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari satu bulan
(Moenadjat, 2009).
13
c) Luka Bakar Derajat III
Luka bakar derajat III merupakan kerusakan yang meliputi seluruh
lapisan dermis dan lapisan yang lebih dalam, kerusakan organ-organ
kulit (kelenjar keringat, kelenjar sebasea, folikel rambut), tidak terdapat
bullae, kulit yang terbakar akan berubah warna menjadi abu-abu dan
pucat, letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar, terjadi koagulasi
protein pada lapisan epidermis dan lapisan dermis yang biasa disebut
sebagai eskar, tidak terdapat rasa nyeri karena ujung saraf-saraf sensorik
rusak atau mengalami kematian, penyembuhan terjadi lebih lama karena
tidak adanya proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Moenadjat,
2009).
(Griffiths, et al., 2016)
Gambar 2.3 Derajat Kedalaman Luka Bakar
PART
: 11
EXTE
RNAL
AG
ENTS
Initial assessment 126.3
Region
head
neck
anterior trunk
posterior trunk
right arm
left arm
buttocks
genitalia
right leg
left leg
Total burn
NB1: Do not include erythema
Partial thickness (%)
[NB1]Full thickness (%)
1
1
1
1313
22 2 2
BB B
B
AA
CC C C
11/211/2 11/2
11/211/2 11/2
13/4 13/4
11/221/221/2
13/4 13/4
11/2
Area
A = half of head
B = half of one thigh
C = half of one lower leg
Age 0
91/2
23/4
21/2
1
81/2
31/4
21/2
5
61/2
4
23/4
10
51/2
41/2
3
15
41/2
41/2
31/4
Adult
31/2
43/4
31/2Figure 126.1 Lund and Browder chart to calculate body surface area burned.
First degree
Deep seconddegree
Third degree: full thickness
Superficial seconddegree
Fat
Epidermis
Dermis
Partialthickness
Second degree
Third degree
First degree
Figure 126.2 First‐, second‐ and third‐degree burn levels in the skin.
phase is determining if the patient’s injury is ‘survivable’ or futile. Futility in adults or elderly burn patients is usually deter-mined by the sum of age (years) plus burn size (%) plus pres-ence or absence inhalation injury (±14) being greater or equal to 140–150 [11]. In paediatric patients, the philosophy of many paediatric burn centres is that there is no futility in children except in very rare instances, for example, a 100% TBSA full‐thickness burn. Once the decision to treat is made, the initial management and therapeutic goal is preservation of limbs and prevention of organ failure, which begins with well‐established recognition of injury severity, "rst care protocols and surgical interventions [2,4].
Resuscitation formulaA central aspect of the clinical response is adequate resuscitation [12–15]. Many formulas have been studied, with all having the same goal:
= =4 mL % TBSA weight (kg) = 24 h fluid requirement, with halfgiven over the first 8 h and theremainder over the following 16 h
maintenance of organ perfusion during burn shock with restora-tion of intravascular volume. The most commonly used formula is the Parkland formula [13].
14
2.2.2.3. Berdasarkan luas luka bakar
Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada
orang dewasa digunakan “rumus 9”, yaitu luas kepala, leher, dada, punggung,
perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan dan kiri, paha kanan dan kiri
masing-masing 9%, sisanya 1% adalah genitalia. Rumus ini membantu penaksiran
luas permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa (De Jong, 2017).
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala
anak lebih besar. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil
berbeda, dikenal “rumus 10” untuk bayi dan “rumus 10-15-20” untuk anak (De
Jong, 2017).
(De Jong, 2017)
Gambar 2.4 Derajat Luas Luka Bakar
15
2.3. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka terbagi menjadi tiga fase yaitu fase inflamasi, fase
poliferasi, dan fase remodeling (De Jong, 2017).
2.3.1. Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak luka mulai terjadi sampai pada kurang lebih
hari ke lima. Pembuluh darah yang terputus pada daerah luka akan mengakibatkan
pendarahan, lalu tubuh akan berusaha memberhentikan dengan
memvasokontriksikan pembuluh darah dan memulai reaksi homeostasis.
Homeostasis terjadi akibat trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melekat, dan saat bersamaan jala fibrin mulai terbentuk, membekukan darah yang
keluar dari pembuluh darah yang cidera. Trombosit yang melekat akan
bergranulasi, melepaskan kemostraktan yang akan menarik sel radang,
mengaktifasi fibroblas lokal dan sel endotel serta vasokonstriktor. Sementara itu,
terjadilah reaksi inflamasi (De Jong, 2017).
Setelah hemostasis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade komplemen.
Dari kaskade ini akan menghasilkan pengeluaran bradikinin dan anafilatoksin C3a
dan C5a yang mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga eksudasi, keluarnya sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan edema dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis yang menyertai
reaksi radang akan nampak jejas, seperti warna kemerahan akibat pelebaran kapiler
(rubor), rasa hangat (kolor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) (De Jong,
2017).
16
Aktivasi selular yang terjadi ialah pergerakan leukosit yang menembus dinding
dari pembuluh darah (diapedesis) menuju tempat terjadinya luka karena adanya
daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu
memfagosit bakteri dan kotoran yang terdapat pada luka. Monosit dan limfosit yang
kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memfagosit bakteri dan kotoran pada
luka. Fase ini juga disebut fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru
sedikit, dan luka hanya ditautkan oleh fibrin yang sangat lemah. Monosit yang
berubah menjadi makrofag ini juga menyekresikan berbagai macam sitokin dan
growth factor yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka (De Jong, 2017).
Adapun beberapa sitokin pro-inflamasi yang membantu dalam proses inflamasi
beserta fungsinya yaitu:
a. Histamin, berfungsi meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos.
b. Prostaglandin, berfungsi sebagai vasodilator dan kemotaksin neutrofil,
monosit, dan eosinofil.
c. IL-1 dan TNFa, berfungsi memicu ekspresi molekul adhesi endotel.
d. INFg, berfungsi sebagai aktifator makrofag.
e. IL-3 dan IL-5, berfungsi sebagai produksi dan aktivasi eosinofil (De Jong,
2017).
2.3.2. Fase poliferasi
Fase poliferasi berlangsung pada akhir fase inflamasi sampai kira-kira pada
akhir minggu ketiga. Fibroblast yang berasal dari sel mesenkim belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin
17
yang merupakan bahan dasar dari serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka
(De Jong, 2017).
Pada fase ini, serat kolagen akan dibentuk dan dihancurkan kembali untuk
menyesuaikan dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat tersebut,
serta sifat kontraktil fibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase
ini, kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Nantinya, dalam
proses remodeling, kekuatan serat kolagen akan bertambah karena ikatan
intramolekul dan antar molekul semakin menguat (De Jong, 2017).
Pada fase poliferasi ini, luka akan dipenuhi oleh sel radang, fibroblas, dan
kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), pembentukan
jaringan kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang biasa disebut dengan
jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya
dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru
yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih
rendah atau datar. Proses ini akan berhenti setelah epitel saling menyentuh dan
menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, fase
poliferasi akan terhenti dan dimulailah fase remodeling (De Jong, 2017).
2.3.3. Remodeling
Remodeling merupakan proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi,
dan akhirnya perupaan jaringan yang baru. Fase ini dapat berlangsung berbulan-
bulan dan dinyatakan berakhir apabila tanda radang sudah benar-benar hilang.
Tubuh akan berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal pada
18
proses penyembuhan luka. Edema dan sel radang akan diserap, sel muda akan
menjadi matur, kapiler baru akan menutup dan diserap kembali, kolagen yang
berlebihan akan diserap dan sisanya akan mengerut sesuai dengan besar regangan.
Selama proses ini berlangsung akan dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan
lentur, serta mudah digerakan dari dasar. Terlihat pengerutan yang maksimal pada
luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira
80% dari kemampuan kulit normal. Hal ini kira-kira akan tercapai 3-6 bulan setelah
penyembuhan (De Jong, 2017).
2.4. Faktor-faktor Penyembuhan Luka
Menurut Suriadi, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka diantaranya adalah nutrisi, usia, insufisiensi vascular, suplai
darah, obat-obatan, nekrosis, inflamasi, dan adanya benda asing pada luka (Suriadi,
2004).
1. Nutrisi
Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka salah satunya adalah
status nutrisi, diperlukan asupan protein untuk mensuplai asam amino, yang
dibutuhkan untuk perbaikan jaringan dan degenerasi. Diet yang baik juga
mempertahankan tubuh terhadap infeksi (Darmawati & Sastra, 2013).
2. Usia
Usia dapat menggaggu proses penyembuhan luka, dikarenakan terdapat
perubahan vaskuler yang dapat mengganggu sirkulasi darah ke daerah luka,
penurunan fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan, respon
19
inflamasi yang lambat, pembentukan antibodi dan limfosit yang menurun, dan
berkurangnya kolagen (Nurani, et al., 2015)
3. Infufisiensi vascular
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolit yang ditandai
dengan keadaan hipergligemi. Keadaan ini dapat mengakibatkan kerusakan
sirkulari vaskular perifer yang menyebabkan insufisiensi vaskuler perifer. Hal
tersebut dapat mengakibatkan suplai darah tidak dapat mencapai tempat jejas
dengan maksimal (Silaban, et al., 2014).
4. Suplai darah
Berkurangnya suplai darah ke daerah yang mengalami luka akan
mengakibatkan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk
penyembuhan luka (Ismail, 2009).
5. Obat-obatan
Beberapa obat dapat mempegaruhi proses penyembuhan luka diantaranya
adalah Non-Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs) dan Steroid. NSAIDs
terbukti memiliki efek depresan pada penyembuhan luka sekaligus mengurangi
reaksi inflamasi granulasi, sedangkan dampak negatif dari penggunaan steroid
pada proses penyembuhan luka adalah menghambat fase kontriksi dan
memperkuat fase dilatasi (Nurjanah, et al., 2019)
6. Nekrosis
Nekrosis merupakan kematian jaringan/ sel pada tubuh yang hidup, jaringan
yang sudah mengalami nekrosis tidak dapat mengalami proses penyembuhan
(Apriyani, 2015).
20
7. Inflamasi
Proses inflamasi adalah keadaan fisiologis dalam melawan infasi pada
luka, namun jika fase ini mengalami pemanjangan maka akan menimbulkan
efek samping seperti inflamasi kronis dan kematian jaringan (nekrosis).
Pemanjangan fase inflamasi dalam penyembuhan luka juga membuat sintesis
kolagen dan fibroblas pada fase poliferasi tidak maksimal, sehingga
penyusutan luas luka akan berjalan kurang optimal (Gauglitz, et al; 2011).
8. Benda asing pada luka
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul
dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah merah), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (pus) (Ismail,
2009).
2.5. Pacar Air (Impatens balasmina L.)
2.5.1. Taksonomi
(Gbif, 2018) Gambar 2.5
Impatiens balsamina L.
21
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Genariales
Famili : Balsaminaceae
Genus : Impatens
Spesies : Impatiens balsamina L. (Lestari & Kencana, 2015)
2.5.2. Morfologi
Terdapat ± 850 jenis Impatiens di dunia, jenis-jenis tersebut tersebar di Afrika
dan Asia Tenggara seperti India, Cina dan Malaya, namun tidak terdapat di
Australia, Selandia baru atau seluruh benua Amerika Selatan. Hampir semua daerah
di Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Jawa dan Sumatra terdapat marga
Impatiens. Beberapa diantaranya adalah jenis endemik. Indonesia memiliki ± 60
jenis Impatiens dengan angka keanekaragaman yang tertinggi berada di Sumatra
yaitu ± 40 jenis. Tempat-tempat yang lembab, misalkan hutan, pantai dan pinggiran
sungai merupakan tempat yang banyak ditumbuhi Impatiens (Utami, 2014).
Impatiens balsamina L. adalah tumbuhan yang memiliki tinggi pohon berkisar
antara 30-85cm, dengan batang yang tegak. Bagian bawah dauh berhadapan dan
bagian atasnya bersilang, dengan ukuran daun antara 5-16cm x 1-3cm, pinggir daun
bergerigi, bertangkai pendek, basal dan ujung daunnya lancip (acuminate).
Bunganya berukuran 1-2,5cm dan memiliki warna bervariasi seperti merah, ungu,
putih dan kombinasi yang saling bertumpuk 1-3 pada ketiak daun, ukuran taji
22
bervariasi berkisar 2-20mm. buah berbentuk bulat telur hingga lonjong serta
berbulu (Utami, 2014).
Etiologi dan habitat : Dibudidayakan sebagai tanaman hias.
Persebaran : Berasal dari Asia Tenggara dan saat ini telah tersebar luas di Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Status konservasi : Kategori Least Concern, sebab populasinya masih mudah
ditemukan tumbuh liar di alam namun belum begitu diperhatikan (Utami, 2014).
2.5.3. Kandungan kimia bunga pacar air
Pada hasil uji skrining fitokimia penelitian ekstrak etanol bunga pacar air
didapatkan kandungan senyawa alkaloid, senyawa terpenoid, senyawa saponin,
senyawa fenolik, dan senyawa flavonoid (Pramitha, et al., 2018).
Tabel 2.1 Kandungan Fitokimia Bunga Pacar Air No. Pemeriksaan Pacar Air
Hasil Kesimpulan
1. Alkaloid Terbentuk endapan merah +++
2. Terpenoid Berwarna merah ++
3. Steroid Tidak berubah warna -
4. Saponin Terbentuk busa ++
5. Fenolik Berwarna hijau kebiruan +
6. Flavonoid Berwarna merah ++
(Pramitha, et al., 2018)
2.5.3.1. Alkaloid
Alkaloid memiliki efek antiinflamasi. Cara kerja alkaloid sebagai antiinflamasi
yaitu dengan menekan pelepasan histamin oleh sel mast, mengurangi sekresi IL-1
oleh monosit dan PAF pada platelet (Luliana, et al., 2017).
23
2.5.3.2. Flavonoid
Flavonoid sebagai antiinflamasi bekerja menghambat agen proinflamasi seperti
sitokin. Sitokin sudah terbukti dapat menginduksi produksi prostanoid, seperti
prostaglandin dan sudah terbukti dapat menginduksi aktivasi NF-kB. Dengan
demikian, aktivitas NF-kB dan modulasi sitokin ini mungkin dapat menjelaskan
efek lain dari flavonoid, seperti menghambat sintesis prostaglandin. Selain
menghambat agen proinflamasi, senyawa flavonoid juga dapat menginduksi
ekspresi molekul antiinflamasi, seperti antagonis reseptor IL-1. Hal ini juga
berperan penting dalam proses inflamasi karena kemokin dan sitokin akan
mengawali respon inflamasi. Komponen lain dari inflamasi adalah nyeri. Nyeri
dihasilkan dari proses aktivasi dan sensitisasi nosiseptor (neuron yang bertugas
mentransmisikan stimulus dari rasa sakit). Sitokin memodulasi langsung aktivitas
nosireseptor melalui reseptornya. Jadi, selama inflamasi terjadi, flavonoid memiliki
fungsi ganda yaitu menghambat produksi dari sitokin proinflamasi dan
menginduksi dari sitokin antiinflamasi (Very, et.al., 2012). Selain itu, efek
antiinflamasi flavonoid juga didukung oleh aksinya sebagai antihistamin (Marbun
& Restuatu, 2015).