Upload
ngotu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP
DI RSUD SOEDARSO
TAHUN 2017
SKRIPSI
Oleh :
SITI FATIMAH
NPM.121510244
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN 2017
GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP
DI RSUD SOEDARSO
TAHUN 2017
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Menjadi
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)
Oleh :
SITI FATIMAH
NPM.121510244
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2018
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan
judul“GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS
PARU YANG RAWAT INAPDI RSUD SOEDARSOTAHUN 2017”.Dibuat untuk
melengkapi sebagian persyaratan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Kesehatan Jenjang Pendidikan Strata 1 bukan merupakan tiruan atau duplikasi
dari Skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan dilingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Pontianak maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun,
kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Jika dikemudian hari ditemukan kecurangan, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi berupa pencabutan hak terhadap ijazah dan gelar yang saya
terima.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Pontianak, 10 Januari 2018
Penulis
SITI FATIMAH
NPM.121510244
BIODATA PENULIS
Nama : Siti Fatimah
TempatTanggalLahir : Pontianak, 14 Februari 1974
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Orang Tua : Ayah H. Abdul Hamid Semongdan
IbuHj. SitiSa’adah
Nama Suami : H. Z.A. Marwan Fidia, SH, Msi
Alamat : Jl. Tabrani Ahmad Komp. GrahaBumiKhatulistiwa
2 No. A6
JENJANG PENDIDIKAN
1. SD : SD 6 Pontianak Tahun1981 - 1986
2. SMP : SMPN5 Pontianak Tahun1986 - 1989
3. SMA : SMF Yarsi Pontianak Tahun1989 - 1993
4. S1 : Program StudiKesehatanMasyarakatFakultasIlmuKesehatan,
PeminatanKesehatanLingkungan
Tahun 2012 – 2017
PENGALAMAN PEKERJAAN
1. PNS Tahun 1995 s.dSekarang
ABSTRAK
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
SKRIPSI, JANUARI 2018
SITI FATIMAH
FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI RUANG
RAWAT INAP PARU RSUD SOEDARSO PONTIANAK
VI Bab + 80 Hal + 1 Gambar + 17 Tabel + 18 Lampiran
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC menyerang paru.
Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak prevalensi kasus
TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun 2015 sebanyak 243 kasus
(71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal (19,23%). Pada tahun 2016 sebanyak
283 kasus (73,89%) dengan 61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan
Januari hingga Februari tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di
RSUD Soedarso.Keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru
RSUD Soedarso sebagian besar pasien rawat inap merupakan pasien ulangan dengan
komplikasi.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB
Paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan analisa data
penelitian cross sectional dengan total sampel 42.
Hasil penelitian menunjukkan Penderita TB paru yang rawat inap di RSUD
Soedarso didominasi jenis kelamin laki-laki (80%), dengan pendidikan dan
pendapatan yang tergolong rendah rendah (54,8%; 83,3%). Dari sisi kualitas
lingkungan rumah diketahui kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan dan suhu
cenderung tidak memenuhi syarat (95,2%; 54,8%; 92,2%; 69%), sedangkan
merokok dan kelembaban udara cenderung rendah dan memenuhi syarat (31%;
59,5%)
Saran bagi Puskesmas untuk berkoordinasi dengan pemda setempat mengatur
regulasi mengenai rumah sehat dengan menciptakan inovasi perilaku dan kebiasaan
hidup sehat serta kepatuhan konsumsi obat TB paru.
Kata kunci : kebiasaan merokok, lingkungan,penderita TB paru yang
rawat inap.
Daftar Pustaka : 29 (1999-2017)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin, segalapujisyukurkehadirat Allah SWT yang
telahmemberikankekuatandanpetunjuksehinggaskripsidenganjudul
“GambaranLingkunganRumahPadaPasienTuberkulosisParu Yang
RawatInapDiRsudSoedarsoTahun 2017” bisaselesaidengansebagaimanamestinya.
Skripsiinitidakakanterselesaikandengan optimal
jikatidakmendapatkanbantuandanmotivasidariberbagaipihak yang
ikhlasmemberikanmasukan, kritikdan saran
gunakelancarandankemudahandalampenulisanini. Makauntukitu,
dengansegalaketulusandankeikhlasanhatipenulisucapkan rasa terimakasih yang
sedalam-dalamnyakepada :
1. BapakHelmanFachri, SE, MM selakuRektorUniversitasMuhammadiyah
Pontianak.
2. IbuDr. Linda Suwarni, SKM,
M.KesselakuDekanFakultasIlmuKesehatanUniversitasMuhammadiyah
Pontianak.
3. Bapak Ismael Saleh, SKM, M.Scselakupembimbingutama yang
penuhkesabaranhatitelahbersediameluangkanwaktudalammemberikanbimb
ingandanpengarahandalampenyusunanskripsiini.
4. BapakDediAlamsyah, SKM, M.Kes (Epid) selakupembimbingkedua yang
telahmemberikan saran-saran berkaitandenganpenyusunanskripsi.
5. SeluruhstafdandosenFakultasIlmuKesehatan yang
telahmembantukelancaranpenyelesaianpendidikan di
FakultasIlmuKesehatan UMP.
6. Direktur RSUD Soedarso yang
telahbersediamemberikanijinuntukmelakukanpenelitiansertamemberikan
data-data yang berhubungandenganpenulisanskripsiini.
7. Kedua orang tuaku, suamidananak-anakku yang
dengantulusmemberikanmotivasisertado’a.
8. Rekan-rekan yang namanyatidakmungkindisebutkansatupersatudisini yang
telahbanyakmembantubaikmorilmaupun spiritual
sehinggapenyusunanskripsiinidapatdiselesaikan.
Penulisanskripsiini, penulissangatmenyadarimasihjauhdarisempurna,
karenakesempurnaanituhanyamilik Allah SWT semata,
sedangkankekurangandankesalahanitudatangnyadaripenulissendiri.
Untukitumasukan, kritikdan saran dariberbagaipihaksangatdiperlukan.
Akhir kata penulisberharapsemogaskripsiini,
dapatmemberikanmanfaatbagikitasemua, Amin.
Pontianak, Januari 2018
Peneliti
SITI FATIMAH
NPM.121510244
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………. i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ……………………………………….. iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……………………….. iv
BIODATA ……………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR ………………………………………………… vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 LatarBelakang………………………………………… 1
I.2 RumusanMasalah ……………………………………... 7
I.3 TujuanPenelitian ………………………………………. 7
I.4 ManfaatPenelitian ……………………………………... 8
I.5 KeaslianPenelitian …………………………………….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberculosis (TB)…………….………………………… 13
II.2 SanitasiLingkunganRumah …………………………… 17
II.3 Faktor-Faktoryang MempengaruhiRawatInapPasien
TB Paru ………………………………………………… 21
II.4 KerangkaTeori ………………………………………… 37
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
III.1 KerangkaKonsep ……………………………………… 38
III.2 VariabelPenelitian …………………………………….. 38
III.3 DefinisiOperasional …………………………………… 39
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
IV.1 DesainPenelitian ……………………………………… 41
IV.2 WaktudanTempatPenelitian ………………………… 41
IV.3 PopulasidanSampel ………………………………….. 42
IV.4 TeknikdanInstrumenPengumpulan Data ……………. 44
IV.5 TeknikPengolahandanPenyampaian Data …………… 46
IV.6 TeknikAnalisa Data …………………………………… 47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Lokasi dan Gambaran Peneliti ………………………… 49
V.2 Hasil Penelitian …………………………………………50
V.3 Pembahasan ……………………………………………. 58
V.4 Keterbatasan Peneliti …………………………………... 79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan …………………………………………… 81
VI.2 Saran ………………………………………………… 86
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
I.1 KeaslianPenelitian ……………………………………………….. 10
DAFTAR GAMBAR
Halaman
II.1 KerangkaTeori ….……………………………………………. 37
III.1 KerangkaKonsep ……………………………………………... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : PermohonanIjinPenelitian
Lampiran 2 : LembarPersetujuanResponden
Lampiran 3 : IdentitasResponden
Lampiran 4 : Output SPSS
Lampiran 5 : Master Rekap
Lampiran 6 : Dokumentasi
Lampiran 7 : JadwalKegiatanPenelitian
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes,
2012). Penularan terjadi ketika pasien TB batuk atau bersin, kuman tersebar
ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi terjadi apabila
orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak infeksius
tersebut (Kemenkes, 2014).
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat secara global. TB paru menduduki peringkat ke 2
sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular setelah Human
Immuno deficiency Virus (HIV). Pada tahun 2014 TB membunuh 1,5 juta
orang (1,1 juta HIV negatif dan sisanya HIV positif) terdiri dari laki-laki
890.000 jiwa, perempuan 480.000 jiwa dan 140.000 jiwa pada anak-anak. Di
Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000
kematian terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka insidensi TB sebesar
183 per 100.000 penduduk dengan angka kematian TB sebesar 25 per
100.000 penduduk dan pada tahun 2014 angka insidensi meningkat menjadi
399 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yang juga meningkat
menjadi 41 per 100.000 penduduk (World Health Organization, 2014).
Diperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan
mycobacterium tuberculosis, bakteri udara yang menyebabkan tuberculosis.
Sementara prevalensi mycobacterium tuberculosis terendah adalah Amerika
Serikat, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tuberkulosis masih
menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan: pada tahun 2006,
prevalensi di AS diperkirakan 3,2 orang per 100.000 populasi. Meskipun
upaya pengobatan TB sudah dilakukan terutama pada pasien rawat jalan,
memeriksa rawat inap untuk pasien TB, namun hal ini masih menjai masalah
kesehatan public (Holmquist, dkk., 2008).
Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena
setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila
keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien
tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada
pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani
rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama (> 7 hari) justru
akan menimbulkan masalah baru. Pada beberapa penelitian diperoleh fakta
bahwa pasien yang menjalani rawat inap yang lama meningkatkan risiko
reinfeksi TB paru oleh bakteri yang resisten atau akan menjadi TB paru yang
MDR (Multi Drug Resistance), meningkatkan resiko depresi dan kecemasan
baik pada pasien maupun orang tua pasien, serta kerugian ekonomis (Mulluzi,
A.S., 2010).
Menurut penelitian Nodieva A et al (2008), Rawat inap dalam jangka
panjang untuk mengobati orang dengan tuberkulosis (TB), baik TB yang
rentan terhadap obat atau yang resistan terhadap obat menempatkan mereka
lebih berisiko terhadap infeksi ulang dengan jenis TB yang resistan terhadap
berbagai jenis obat (TB-MDR) dan TB yang resistan terhadap berbagai jenis
obat secara luas (TB-XDR). Hal ini berdasarkan sebuah penelitian di Latvia
yang dipresentasikan dalam World Lung Health Conference di Paris, Prancis.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis serupa dengan
pencegahan dan pemberantasan pada penyakit menular lainnya yaitu selain
menanggulangi penderitanya juga perlu memperhatikan faktor resikonya
yaitu faktor lingkungan, karena kondisi lingkungan mempunyai peran cukup
besar dalam mempengaruhi derajat kesehatan, di samping perilaku
masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan kesehatan termasuk
higiene dan sanitasi sangat dipengaruhi oleh kebiasan, status gizi dan cara
hidup masyarakat. Sebagian besar penderita TB adalah golongan miskin dan
penduduk yang tinggal di pemukiman padat. Hal ini serupa dengan data WHO
yang menyatakan bahwa 95% dari angka kematian akibat TB setiap tahun
berada di Negara berkembang yang relatif miskin. 75% penderita TB adalah
mereka yang berusia produktif secara ekonomi (15-50 tahun) (Supriyo, dkk.,
2013).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah
yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Hingga
tahun 2010 situasi TB di Indonesia tidak mengalami perbaikan sesuai target.
Keadaan klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat
komplikasi maka pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap (Setiawan,
2010). Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan,
dan hampir 85% terjadi pada usia produktif (Sitorus, 2014).
Karakteristik demografi pasien dirawat di rumah sakit terutama untuk
TB dan orang-orang dengan sekunder diagnosis bervariasi berdasarkan usia
dan jenis kelamin. Usia rata-rata pasien rawat inap terutama untuk TB adalah
47,9 tahun-lebih dari 10 tahun lebih muda dari usia rata-rata untuk rawat inap
rata-rata (58,1 tahun). Itu Rata-rata usia pasien dengan diagnosis sekunder,
bagaimanapun, adalah 62,8 tahun, atau empat tahun lebih tua dari rata-rata
rawat inap. Pria lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk dirawat di
rumah sakit dengan TB. Sebagai kepala sekolah diagnosis, 64,6 persen pasien
adalah laki-laki; sebagai diagnosis sekunder, lebih dari setengah (52,3 persen)
dari pasien dengan TB adalah laki-laki. Sebaliknya, laki-laki terdiri 46,4
persen tetap untuk rawat inap untuk semua kondisi (Holmquist, dkk., 2008).
Menurut penelitian Setiawan (2010), distribusi determinan internal
pasien rawat inap di RS paru Jember adalah usia >44 tahun, pendidikan
rendah, jenis kelamin pria, pekerjaan petani/ buruh, penghasilan rendah,
seorang perokok, status gizi underweight, status bakteriologis BTA (-),
riwayat terimunisasi BCG. Sedangkan untuk distribusi determinan eksternal
didominasi oleh kondisi tempat tinggal yang buruk.
Pendidikan akan berpengaruh pada pengetahuan dan informasi yang
dimiliki responden. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan penderita untuk menerima informasi tentang penyakit, terutama
TB paru. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan
kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya sehingga
menyebabkan berkurangnya kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau
berhenti berobat bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Yolanda, 2009).
Selain itu, tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap
jenis pekerjaannya. Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan
keterpaparan khusus dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya
risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja, dan sifat sosial-ekonomi
karyawan pada pekerjaan tertentu. Pekerjaan juga mempunyai hubungan
yang erat dengan status sosial ekonomi, sedangkan berbagai jenis penyakit
yang timbul dalam keluarga sering berkaitan dengan jenis pekerjaan yang
mempengaruhi pendapatan keluarga (Nur Nasry, 2008).
Menurut John Gordon, setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda
berdasarkan agen, pejamu, atau lingkungannya. Agen pada penyakit TB paru
adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dan
mempunyai sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pejamu
penyakit ini adalah manusia dimana perilaku hidup seperti kebiasaan
merokok dan kepatuhan meminum obat TB, sedangkan faktor lingkungan
yang mempengaruhi antara lain kepadatan penduduk, pencahayaan dan
kelembaban (Tosepu R., 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafri, dkk (2015)
menyebutkan bahwa rumah yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang
berisiko 8,125 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan rumah
responden yang memiliki pencahayaan yang baik . Selain itu kepadatan
penduduk, luas ventilasi, kelembapan dan suhu juga menjadi salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi TB. Dimana kepandatan penduduk yang
tidak baik memiliki resiko sebesar 13,5 kali dibandingkan rumah yang
mempunyai kepadatan hunian yang baik, luas ventilasi yang kurang baik
memiliki resiko sebesar 30,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai luas
ventilasi yang baik, suhu ruangan yang tidak baik memiliki resiko sebesar
27,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai suhu ruangan yang baik dan
kelembapan yang kurang baik memiliki resiko 84,3 kali dibandingkan rumah
yang mempunyai kelembapan yang baik (Siregar dkk, 2012).
Data Riskesdas tahun 2013 diketahui prevalensi penduduk Indonesia
yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 tidak berbeda
dengan 2007, yakni berjumlah 0.4%. Prevalensi penduduk dengan gejala TB
paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9% dan batuk darah 2,8%. Berdasarkan
karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan
bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB
paru terendah pada kuintil teratas.
Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak
diketahui prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun
2015 sebanyak 243 kasus (71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal
(19,23%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan
61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari
tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru
RSUD Soedarso mengatakan bahwa sebagian besar pasien rawat inap dengan
penyakit TB Paru merupakan pasien ulangan yang memiliki masalah
komplikasi kesehatan akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik paru-
paru, ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi, perilaku
lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan merokok.
Berdasarkan data tersebut diketahui adanya peningkatan pasien TB
paru tahun 2016, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai
Gambaran Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap
paru RSUD Soedarso Pontianak.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian
ini adalah “Bagaimana Gambaran Lingkungan Rumah Penderita TB Paru
yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak?”.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di
Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru yang Rawat Inap di
RSUD Soedarso Pontianak.
b. Untuk mengetahui kebiasaan merokok pada pasien TB Paru yang
Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
c. Untuk mengetahui kepadatan hunian pada pasien TB Paru yang Rawat
Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
d. Untuk mengetahui luas ventilasi pada pasien TB Paru yang Rawat Inap
di RSUD Soedarso Pontianak.
e. Untuk mengetahui kondisi pencahayaan pada pasien TB Paru yang
Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
f. Untuk mengetahui kelembaban pada pasien TB Paru yang Rawat Inap
di RSUD Soedarso Pontianak.
g. Untuk mengetahui suhu pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di
RSUD Soedarso Pontianak.
I.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pengaruh
lingkungan terhadap kejadian TB paru.
1.4.2 Bagi Institusi Terkait
Bermanfaat bagi RSUD dr. Soedarso Pontianak dalam
mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program
pencegahan TB Paru.
1.4.3 Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan
Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan bisa sebagai
data untuk peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai acuan
bagi akademik dalam menerapkan ilmu yang digunakan sesuai
dengan penerapan yang ada di lapanan selama proses belajar
mengajar.
1.4.4 Bagi Peneliti
Bermanfaat menambah pengetahuan dan kemampuan
penulis dalam penelitian ilmiah di bidang kesehatan, khususnya
mengenai kajian tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi TB
Paru.
I.5 Keaslian Penelitian
Tabel I.I
Keaslian Penelitian
No Judul/
Nama Peneliti/
Tahun
Desain
Penelitian
Variabel yang
diteliti
Hasil
Penelitian
1 Karateristik
Penderita
Tuberkulosis Paru
Case
Control V. Independen:
Umur, jenis
kelamin,
Proporsi berdasarkan
sosiodemografi
tertinggi pada
dengan Komplikasi
yang Rawat Inap Di
RSUD
Rantauprapat
Tahun 2012/ Surya
Honesty Sitorus/
2012
Pendidikan,
pekerjaan, status
perawatan,
V. Dependen:
TB Paru
kelompok umur
produktif 15-55
tahun (81,3%), Laki-
laki (90,7%), SD/
Sederajat (52,3%),
Petani (41,1%), Luar
wilayah
Rantauprapat
(52,3%), proporsi
komplikasi TB paru
terbesar Efusi pleura
(57,9%). Proporsi
berdasarkan status
rawatan tertinggi
adalah keluhan
utama batuk 40,2%,
tipe penderita
kambuh 71,0%,
kategori pengobatan
kategori 2 88,8%,
lama rawatan rata-
rata 5 hari, keadaan
sewaktu pulang
pulang berobat jalan
49,5%, sumber biaya
bukan biaya sendiri
86,0%. Tidak ada
perbedaan proporsi
yang bermakna
antara tipe penderita
berdasarkan
komplikasi, Lama
rawatan rata-rata
berdasarkan
komplikasi.
2 Determinan Lama
Pasien TB Paru
Menjalani Rawat
Inap Di Rumah
Sakit Paru Jember/
Ali Sibra Mulluzi/
2010
Cross-
Sectional V. Independen:
Jenis kelamin,
kebiasaan
merokok
V. Dependen:
Lama rawat inap
pasien TB Paru
Berdasarkan uji
statistik bivariat
didapatkan bahwa
jenis kelamin dan
kebiasaan merokok
mempengaruhi lama
rawat inap secara
signifikan (p<0,05).
Sedangkan setelah
dilakukan analisis
multivariat tidak ada
variabel yang
mempengaruhi
lama rawat inap
pasien TB Paru
secara
signifikan(p>0,05)
3 Determinan
Indikasi Rawat Inap
Pada Pasien TB
Paru Di Rs Paru
Jember/ Bambang
Eko Setiawan/ 2010
Cross-
Sectional V. Independen:
determinan
internal yaitu :
usia, jenis
kelamin,
pendidikan,
pekerjaan,
penghasilan,
kebiasaan
merokok, status
gizi, status
bakteriologis,
dan riwayat
imunisasi BCG;
serta determinan
eksternal yaitu:
PMO dan
kondisi tempat
tinggal
V. Dependen:
indikasi rawat
inap pada pasien
TB paru
Berdasarkan hasil
penelitian
menggunakan
analisis bivariat,
determinan internal
yang berpotensi
berpengaruh adalah
usia, pendidikan dan
status gizi;
sedangkan
determinan eksternal
yang berpotensi
berpengaruh adalah
kondisi tempat
tinggal. Selanjutnya
dari analisis
multivariat
menggunakan
regresi Cox
didapatkan hasil
bahwa variabel yang
dominan
berpengaruh adalah
usia dan status gizi.
4 Tuberculosis Stays
in U.S. Hospitals,
2006/ Laurel
Holmquist, M.A.,
C. Allison Russo,
M.P.H., and Anne
Elixhauser, Ph.D./
2008
Kohort V. Independen:
the
characteristics
of stays
principally for
tuberculosis and
hospitalizations
with a secondary
diagnosis
V. Dependen:
Demographic
characteristics of
patients hospitalized
principally for TB
and those with a
secondary
diagnosis varied by
age and gender. The
mean age of patients
hospitalized
Tuberculosis
Stays in U.S.
Hospitals
principally for TB
was 47.9
years—more than 10
years younger than
the mean age for the
average
hospitalization (58.1
years). The
average age of
patients with a
secondary diagnosis,
however, was 62.8
years, or four years
older than
the average
hospitalization. Men
were more likely
than women to be
hospitalized with TB.
As a principal
diagnosis, 64.6
percent of patients
were male; as a
secondary diagnosis,
just over half (52.3
percent) of
patients with TB
were male.
Conversely, men
comprised 46.4
percent of stays for
hospitalizations for
all
conditions.
5 Faktor-Faktor
Terjadinya
Tuberkulosis/
Ardhitya Sejati Dan
Liena Sofiana/
2015
Case-
Control V. Independen:
Kepadatan
hunian rumah,
kebiasaan
merokok dan
status ekonomi
V. Dependen:
TB
Hasil menunjukkan
tidak ada hubungan
kepadatan hunian
rumah (p
value 0,422, OR
2,250), kebiasaan
merokok (p value
1,000, OR 1,000)
dan status ekonomi
(p value 1,000, OR
1,123) dengan
tuberculosis
Berdasarkan orisinalitas penelitian, persamaan dan perbedaan penelitian ini
dengan penilitian terdahulu dapat dilihat dari subjek penelitian, variabel penelitian,
metodelogi penelitian, serta tempat dan waktu penelitian.
1. Variabel penelitian, memiliki persamaan yakni mengenai karakteristik pasien,
kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu.
2. Metode penelitian, memiliki perbedaan, yakni observasional deskriptif dengan
pendekan cross sectional.
3. Subjek penelitian, memiliki perbedaan karena meneliti pada pasien TB paru
yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak.
4. Tempat dan waktu : memiliki perbedaan karena penelitian ini dilakukan di
wilayah Kota Pontianak tahun 2017.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberculosis (TB)
II.1.1 Etiologi Tuberculosis (TB)
Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini
sudah ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000–
20.000 tahun yang lalu. Diketahui penyebab penyakit tuberkulosis
disebabkan oleh suatu bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat
diupayakan berbagai tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang
terkait dengan penyakit ini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat
menyebar dari seseorang penderita ke orang laian melalui udara. Pada
umumnya menginfeksi paru-paru, namun dapat juga menginfeksi bagian lain
seperti otak, tulang, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat
diobati, namun dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat (WHO, 2009).
Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu
pasien TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak
(droplet nuclei), dimana sekali batuk/bersih dapat menghasilkan 3000
percikan dahak, percikan ini dapat bertahan lama, namun dengan sinar
matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Makin tinggi derajat
keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula
kuman yang dapat dikeluarkan (Depkes RI, 2006).
Pada tahun 1944, antibiotik pertama diberikan pada pasien TB kritis
dengan menggunakan Streptomysin, dan memberikan efek yang sangat
mengesankan dan menunjukan pemulihan yang cepat dari penderita, namun
memiliki efek samping pada pendengarannya (terdapat gangguan pada telinga
bagian dalam). Ternyata dalam perkembangannya, penggunaan satu macam
obat antibiotik memunculkan mutan resistensi obat dalam beberapa bulan.
Maka pengobatan TB pada saat ini mengunakan 2 -4 paduan regimen
antibiotik untuk menghindari timbulnya resistensi. Saat ini pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi seara
langsung mencegah terjadinya resistensi obat, jika diberikan secara
tepat maka dalam 2 minggu pasien menjadi tidak menular. Dan
sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA - (konversi) dalam
2 bulan.
2. Tahap lanjutan, pasien akan mendapatkan jenis obat lebih sedikit
namun dengan jangka waktu yang lebih lama, hal ini dilakukan
untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di indonesia menggunakan 2 kategori/kriteria ditambah dengan
paduan obat sisipan (HRZE) (Depkes RI, 2006).
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4
bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu
(tahap lanjutan). Diberikan kepada Penderita baru TBC paru BTA positif dan
Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada Penderita kambuh,
Penderita gagal terapi atau Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum
obat.
Kategori 3: 2HRZ/4H3R3 DiberikankepadaPenderita BTA (-) dan
rontgen paru mendukung aktif. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan
atas dua kelompok yaitu :
1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat
disembuhkan dengan obat-obat ini.
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
II.1.2 Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya dua dari tiga
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
tuberkulosis paru aktif.
2. Tuberkulosis patu BTA negatif. Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis paru
aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat atau ringan.
Tipe penderita di tentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Menurut Tjoktonegoro dan Utama dalam retno (2007), tipe
penderita di bagi dalam:
1. Kasus baru adalah penderita yang tidak mendapat obat anti tuberkulosis
paru (OAT) lebih dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah di nyatakan sembuh
dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru
aktifnya.
3. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif
rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4. Kasus kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah
mendapat pengobatan ulang lengkap yang di superfisi dengan baik.
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi kedalam beberapa tipe,
yaitu kasus baru, kambuh (relaps), pindahan (transfer in), setelah lalai
(drop-out), gagal dan kasus kronik.
II.2 Sanitasi Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.
Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial.
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang
menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut
juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik
untuk keluarga dan individu. Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan
sebagai lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk berlindung atau
bernaung dan tempat untuk beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan
yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial. Lingkungan rumah
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status
kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat
tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini
akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut Winslow dan
APHA, rumah yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain
(Suyono,2010):
1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun
cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60
– 120 lux. Luas jendela yang baik minimal 10 % - 20 % dari luas lantai.
b. Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam
ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah
bertemperatur ruangan sebesar 18ᵒ – 30ᵒ C dengan kelembaban udara
sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas
lantai.
c. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dari
dalam rumah (termasuk radiasi).
d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis
a. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya.
b. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
c. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada perbedaan tingkat
yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.
d. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
e. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur
dan jenis kelaminnya. Orang tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu
kamar. Anak diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.
f. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan
bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.
g. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5 tahun sebesar 4,5 m3, dan
umurnya 5 tahun adalah 9 m3. Artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur 5 tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume
ruangan 1,5 x 1 x 3 m3, dan 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3
m3.
h. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
i. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/ bising
hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan
mudah dibersihkan.
3. Pencegahan Penularan Penyakit
a. Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.
b. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat), tikus dan
binatang lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.
c. Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
d. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
e. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m2 perorang dan tinggi langit-langit
maksimal 2,75 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah
masuk angin, tidak nyaman secara psikologis, sedangkan apabila terlalu
sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan
penyakit karena terlalu dekat kontak.
f. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari
pencemaran atau gangguan serangga, tikus dan debu.
4. Pencegahan terjadinya Kecelakaan
a. Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan
dan menggantinya dengan udara segar.
b. Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah bersarangnya serangga
atau tikus,mencegah terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.
c. Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus memenuhi syarat
bangunan sipil, terdiri dari bahan yang baik dan kuat.
d. Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m, lebar
halaman antara atap tersebut minimal sama dengan tinggi atap tersebut.
Hal ini tidak berlaku bagi perumahan yang bergandengan (couple).
e. Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar yang rapuh/
mudah patah.
f. Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan atau racun
serangga sembarangan apabila didalam rumah terdapat anak kecil.
g. Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak, fitting dll) harus
memenuhi standar PLN.
h. Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga minimal 25cm,
tinggi anak tangga maksimal 18 cm, kemiringan tangga antara 30-36.
Tangga harus diberi pegangan yang kuat dan aman.
II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rawat Inap Pasien TB Paru
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah
yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Keadaan
klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat komplikasi maka
pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap. Menurut John Gordon,
setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda berdasarkan agen, pejamu,
atau lingkungannya.
Berdasarkan penelitian Setiawan tahun 2010, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi rawat inap pasien TB Paru, antara lain:
II.3.1 Karakteristik
II.3.1. Umur
Menurut Notoatmodjo (2011), umur adalah variabel yang selalu
diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-
angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan
menunjukkan hubungan dengan umur. Untuk keperluan perbandingan
maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai berikut :
1. Menurut tingkat kedewasaan, yaitu :
0-14 tahun : bayi dan anak-anak
15-49 tahun : orang muda dan dewasa
50 tahun keatas : orang tua
2. Interval 5 tahun :
kurang dari 1 tahun,
1-4 tahun,
5-9 tahun,
10-14, dan seterusnya
3. Untuk mempelajari penyakit anak
0-4 bulan
5-10 bulan
11-23 bulan
2-4 tahun
5-9 tahun
9-14 tahun
Hasil penelitian Sitorus (2014) menyebutkan, proporsi berdasarkan
sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun
(81,3%). Umur mempengaruhi perjalanan penyakit TB paru dikarenakan
semakin bertambahnya usia semakin menurunnya sistem imun tubuh
seseorang begitu juga status gizi seseorang. Status gizi yang buruk
menyebabkan tubuh menjadi lemah dan memperburuk keadaan klinis
pasien tersebut. Determinan pasien dirawat inap berumur diatas 44 tahun
(Setiawan, 2010).
II.3.2. Jenis Kelamin
Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Sitorus, 2014). Angka-angka dari luar negeri menunjukkan
bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka
kematian lebih tinggi pada pria pada semua golongan umur. Yang pertama
diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin, atau
perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena berperannya
faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria merokok, minum-minuman
keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan berbahaya, dan
seterusnya (Notoatmodjo, 2011).
II.3.3. Pendidikan
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam
kesehatan. Semakin rendah pendidikan mengakibatkan pengetahuan di
bidang kesehatan rendah, maka secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan
lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi
penyakit TB sehingga pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB
yang ada (Muaz, 2014).
Menurut Sadiman tahun 2007 dalam Syafri (2015), tingkat
pendidikan responden pada penderita TB Paru BTA + 21,1% tidak
sekolah, 52,6% memiliki pendidikan yang rendah (SD-SMP). sedangkan
pada kontrol 15,8% tidak sekolah dan 57,9% pendidikan rendah (SD-
SMP). Pendidikan yang rendah akan akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang, karena biasanya mereka yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah
kesehatan.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun. Hal ini berarti masyarakat harus menempuh pendidikan
minimal tingkan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
II.3.4. Pekerjaan
Belilovsky et al. (2010), menyebutkan status pasien TB rawat inap
yang tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan
minum obat (ors=1,1-2,8) (Farmani, 2015).
Menurut penelitian Syafri (2015), proporsi jenis pekerjaan
responden menunjukkan bahwa dari 38 responden, 28,9% tidak bekerja
dan 71,1% memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Pada
responden kasus penderita TB Paru BTA + 31,6% tidak bekerja dan
proporsi jenis pekerjaan paling banyak 36,8% adalah buruh (buruh tani,
buruh kayu pembuat kusen, pintu, jendela rumah dan buruh pabrik). Jenis
pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel
debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernafasan dan umumnya TB Paru.
II.3.5. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan
pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang
tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan
merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran Rumah tangga. Akan
tetapi untuk negara yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk
makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan
jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).
Menurut Elvina Karyadi (2002) dari SEAMEO-TROPMEND pusat
kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang
mendapatkan penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang
rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di
dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini
akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran
pernafasan seperti penyakit TB Paru.
Menteri Tenaga Kerja RI 1999 melalui Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional
(UMR), telah menetapkan besaran upah minimum yang bias diperoleh
pekerja berdasarkan wilayah. Pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga
selama 1 bulan yang berada di kawasan tingkat kabupaten menggunakan
Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai standar pendapatan minimum
keluarga. UMK Kalimantan Barat tahun 2017 sebesar Rp.1.882.900,- dan
UMK Kota Pontianak tahun 2017 sebesar Rp.1.972.000,-.
II.3.2 Faktor Perilaku Merokok
Ada berbagai perilaku manusia yang mempengaruhi pasien TB Paru
harus dirawat inap atau mengalami kekambuhan, salah satunya adalah
Kebiasaan Merokok. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
dihisap isinya. Definisi perokok menurut Depkes tahun 2004 dalam Muaz
(2014) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal
6 bulan selama hidupnya.
Penelitian Triman (2002), menyatakan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru (p=0,015, OR= 5,445). Ini
berarti seseorang yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai 5,4 kali
untuk mengalami kekambuhan dibanding yang tidak memiliki kebiasaan
merokok. Hal ini karena merokok dapat merusak saluran pernafasan yang
dapat memudahkan invasi kuman TB. Hasil ini sesuai dengan fakta yang ada,
dalam jangka panjang yaitu 10-20 tahun pengaruh risiko merokok terhadap
TB paru adalah bila merokok 1-10 batang per hari meningkatkan risiko 15
kali, bila merokok 20-30 batang per hari meningkatkan risiko 40-50 kali dan
bila merokok 40-50 batang per hari meningkatkan risiko 70-80 kali.
Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko
setelah 3 tahun dan akan menunjukkan risiko yang sama dengan bukan
perokok setelah 10-13 tahun.
II.3.3 Pengawas Menelan Obat
Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai
ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang
telah ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar
mendapat hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada
pasien TB seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas menelan
obat (PMO) dan pemegang program TB membimbing secara penuh. Perilaku
minum obat yang 14 tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap
suatu penyakit (Hapsari, 2010).
Zubaidah (2013), menyebutkan bahwa rendahnya angka keberhasilan
pengobatan menandakan bahwa masih banyak penderita Tuberkulosis Paru
yang belum sembuh, hal ini tidak hanya berpengaruh pada penularan yang
akan semakin banyak terjadi pada keluarga penderita maupun orang-orang di
lingkungan penderita tetapi ditakutkan akan terjadi kekebalan ganda terhadap
Obat Anti Tuberkulosis sehingga proses kesembuhan akan semakin sulit.
Salah satu indikator dalam menentukan Keberhasilan Pengobatan (Success
Rate) Tuberkulosis Paru adalah keberadaan atau peran dari Pengawas
Menelan Obat (PMO). Pasien yang kurang mendapatkan pengawasan dari
Pengawas Menelan Obat (PMO) 1,83 kali berisiko untuk tidak sembuh
dibanding dengan pasien yang diawasi dengan baik oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) (Saharieng, dkk., 2014).
II.3.4 Faktor Lingkungan Rumah
Adapun faktor lingkungan rumah yang dimaksud sebagai variabel
penelitian yaitu :
1. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam
udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu Kelembaban Absolut dan
Kelembaban Nisbi (Relatif). Kelembaban absolut adalah berat uap air per
unit volume udara, sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap air
dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat
udara jenuh denga uap air pada temperatur tersebut. Secara umum
penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer.
Dalam SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang menjelaskan
tentang indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban
udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 %
(Depkes RI, 2001).Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang
memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.
Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa
hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang
mikroorganisme. Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya
bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel
bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan Brooker, 2003). Selain itu
menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk
bakteri tuberkulosis.
2. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya,
maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alam Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan
pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka
ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat
poros dinding ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi Buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan
dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat
tersebut diantaranya adalah kipas angin dan AC (air conditioner).
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut :
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan
ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi
10% dari luas lantai rumah.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah
atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini
jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya
lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian
ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi
dan luas lantai rumah dengan menggunakan Role meter. Menurut
indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi
syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai
rumah (Depkes RI, 2001).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan
Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10
% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu,
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang
baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri
patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang
terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir
(Notoatmodjo, 2003).
3. Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan
satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi suhu kering dan
suhu basah. Suhu kering yaitu suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu
ruangan setelah di adaptasi selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya
suhu kering antara 24 – 34 ºC. Suhu basah yaitu suhu yang menunjukkan
bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada
suhu kering yaitu antara 22-30 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah
dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator
pengawasan perumahan, suhu rumah terutama suhu kamar yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 22-30 ºC dan yang tidak
memenuhi syarat adalah < 22 ºC atau > 30 ºC. Suhu dalam rumah akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Walton, suhu berperan
penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.
Sedangkan Lennihan dan Fletter, mengemukakan bahwa suhu rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas
tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan
melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan
vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama
infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Gould
dan Brooker (2003), bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentan
suhu yang disukai, tetapi di dalam rentan ini terdapat suatu suhu optimum
saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapi akan
tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Gould & Brooker, 2003).
4. Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang
bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya alamiah. Misalnya melalui
jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan
sumbernya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cahaya alamiah dan cahaya
buatan. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit TBC.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya
15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah.
Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari
dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan
lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan
masuk cahaya (Notoatmodjo,2007). Lokasi penempatan jendela pun harus
diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari
lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di
tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah
juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat
secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu
pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca
(Notoatmodjo,2007).
5. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per
orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,
minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri
dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi
penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya.Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni
yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas
lantai dengan jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak
memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni < 9 m²/orang (Lubis dalam penelitian Evi Naria,
2008). Kepadatan penghuni dalam suatu rumah tinggal akan memberikan
pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal
ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain (Notoatmodjo, 2003). Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang
Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa : a. Rumah tangga yang
penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko
terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah. b. Tingkat
penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. c. Besar risiko terjadinya penularan untuk tangga dengan
penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan
hanya 1 orang penderita TB.
II.3.5 Komplikasi Obat TB
Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena
setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila
keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien
tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada
pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani
rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama justru akan
menimbulkan masalah baru (Mulluzi, 2010).
Komplikasi Obat TB pada penderita Tuberkulosis Paru:
1. Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis paru.
2. Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat
kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.
Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah di obati
dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat
terinfeksi dengan jamur aspergillus fumigtus.
3. Hemoptis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
4. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
5. Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
6. Insufisiensi cardio pulmoner.
7. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya (Depkes RI,2002).
II.3.6 Status Gizi
Status gizi yang buruk menyebabkan tubuh menjadi lemah dan
memperburuk keadaan klinis pasien tersebut. Secara umum kekurangan gizi,
atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon
imun terhadap serangan penyakit. Menurut penelitian Toyalis (2010) dalam
Muaz (2014) menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan
meningkatkan angka kesakitan/ kejadian TB paru, terutama TB paru pertama
sakit. Sedangkan penelitian Setiawan (2010) menyebutkan bahwa status gizi
underweight memiliki hubungan terhadap indikasi rawat inap pasien TB paru.
II.3.7 Riwayat Imunisasi
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis,
bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi
tuberculosis dibandingkan anak-anak yang belum divaksinasi. Walaupun
imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis namun dapat
mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan
tuberkulosis milier (Muaz, 2014).
II.4 Kerangka Teori
Penderita TB
Paru
Pejamu(Manusia) :
1. Kebiasaan merokok
2. Karakteristik Pasien TB
Paru:
Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pendapatan Keluarga
Status Gizi
PMO
Penderita
TB paru
Rawat Inap
di RSUD
Soedarso
Lingkungan:
Kepadatan Hunian
Luas ventilasi
Pencahayaan
Kelembaban
Suhu
Komplikasi
obat TB
Riwayat
imunisasi
BCG
Keterangan
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Teori
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
III.1 Kerangka Konsep
1. Pejamu (Manusia)
a. Karakteristik
b. Perilaku
2. Lingkungan Rumah
Gambar III.1
Kerangka Konsep
III.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kebiasaan merokok, kepadatan hunian,
luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu.
Penderita TB
Paru yang
Rawat Inap di
RSUD Soedarso
a. Kepadatan hunian
b. Luas ventilasi
c. Pencahayaan
d. Kelembaban
e. Suhu
Kebiasaan merokok
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
e. Pendapatan
III.3 Definisi Operational
Tabel 3.3
No. Variabel Definisi
Operasional Cara Ukur
Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
1 Umur Umur responden
saat dirawat inap
Wawancara Kuesioner 0. ≤ 44 tahun
1. > 44 tahun
Ordinal
2 Jenis
Kelamin
Jenis kelamin
responden yang
dirawat inap
Wawancara Kuesioner 0. Perempuan
1. Laki-laki
Nominal
3 Pendidikan Pendidikan
formal tertinggi
yang pernah
diselesaikan oleh
responden pada
institusi atau
lembaga
pendidikan yang
diakui oleh
pemerintah.
Wawancara Kuesioner 0. Tinggi
(SMA s/d
perguruan
tinggi)
1. Rendah
(Tidak
sekolah s/d
SMP)
Ordinal
4 Pekerjaan Jenis kegiatan
yang dilakukan
oleh ibu yang
menghasilkan
uang
Wawancara Kuesioner 0. Tidak
Berkerja
1. Berkerja
Nominal
5 Pendapatan Pendapatan yang
dihasilkan oleh
keluarga selama 1
bulan berdasarkan
UMK Kota
Pontianak tahun
2017
Wawancara Kuesioner 0. Tinggi (≥
Rp.1.972.0
00)
1. Rendah
(<Rp.1.97
2.000)
Ordinal
6 Kebiasaan
merokok
Kebiasaan
responden
merokok setiap
hari untuk
jangka waktu
minimal 6 bulan
selama
hidupnya
Wawancara Kuesioner 0. Tidak
merokok
1. Merokok
(minimal 6
bulan)
Ordinal
7 Kepadatan
hunian
perbandingan
antara luas
lantai rumah
dengan jumlah
anggota
keluarga dalam
suatu rumah
tinggal
Observasi Kuesioner 0. memenuhi
syarat (9
m²/orang)
1. tidak
memenuhi
syarat (<9
m²/orang)
Ordinal
8 Luas
ventilasi
penilaian ventilasi
rumah dengan
cara
membandingkan
antara luas
ventilasi dan luas
lantai rumah
Observasi Role
meter
0. memenuhi
syarat
(≥10%)
1. tidak
memenuhi
syarat
(<10%)
Ordinal
9 Pencahayaan
penerangan yang
bersumber dari
sinar matahari
(alami), yang
memungkinkan
untuk masuknya
cahaya alamiah
seperti jendela
Observasi Role
meter
0. memenuhi
syarat (15-
20% dari
luas lantai)
1. tidak
memenuhi
syarat
(<15% dari
luas lantai)
Ordinal
10 Kelembaban Frekuensi
beraktivitas fisik
dalam seminggu
terakhir (minimal
5 kali dalam 1
minggu)
Observasi Hygrome-
ter
0. memenuhi
syarat
(40-70%)
1. tidak
memenuhi
syarat
(<40% atau
>70%)
Ordinal
11 Suhu
panas atau
dinginnya udara
yang dinyatakan
dengan satuan
derajat tertentu
Observasi Termome-
ter suhu
ruangan
0. memenuhi
syarat (22-
30ᵒC)
1. tidak
memenuhi
syarat (<22
atau >30ᵒC)
Ordinal
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan deskriptif.
Desain penelitian yang akan digunakan adalah cross sectional dimana
tujuanutama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif(Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini yaitu memberi gambaran
mengenai Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap
paru RSUD Soedarso Pontianak.
IV.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan 22 September 2017
sampai dengan tanggal 13 Desember 2017 di Kota Pontianak dan wilayah
Kubu Raya.
Alasan pemilihan lokasi adalahkarena jumlah kasus TB paru yang
rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianakselalu meningkat yakni dari
71,89% pada tahun 2015 menjadi 73,89% pada tahun 2016.
IV.3 Populasi dan Sampel
IV.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah sejumlah subyek besar yang
mempunyai karakteristik tertentu. Karakteristik subyek ditentukan
sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Notoatmojo, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru yang
rawat inap di RSUD dr Soedarso. Jumlah populasi pada saat
penelitian adalah sebanyak196 orang, berdasarkan jumlah
kunjungan, bulan Januari sampai bulan Juli tahun 2017.
IV.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah pasien TB
paru yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak, yang
berjumlah 42 orang.
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan
menggunakan rumus estimasi proporsi Lemeshow (1997), sebagai
berikut:
Z21-α/2p(1-p)N
n =
d2(N-1) + Z1-α/2p(1-p)
Keterangan:
P = Estimasi Proporsi 73,89% = 0,7389
q = 1-p→(1-0,7389)= 0,2611
d = Tingkat presisi yang sebesar 5% = 0,05
Z = Tingkat kepercayaan yang sebesar 90 % = 1,645
n = Besar sampel
N = Populasi (jumlah pasien rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak)
Dengan Z1-α/2=1,96, p=73,89%, d=0,1, q= 0,2611 dan N= 196
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampelnya adalah:
1,6452x 0,2611 (1-0,2611)196
n =
0,12(196-1) + 1,6452(0, 2611)(1-0, 2611)
2,706 x 0,2611x 0,7389 x 196
n =
0.01 x 195+ 2,706 x 0,2611 x 0,7389
0,5220598937 x 196
n =
1,95 + 0,5220598937
102,32373917
n =
2,4720598937
n = 41,392095487
n = 42 Sampel
Untuk memudahkan peneliti, peneliti menentukan kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi pada penelitian
ini adalah:
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang dirawat di ruang rawatinap paru (RI)RSUD Dr
Soedarso Pontianak
b. Berdomisili di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak memiliki rumah atau berpindah-pindah
b. Pasien yang dirawat lebih dari 1 bulan.
IV.3.3 Teknik Sampling
Teknik penggunaan sampling dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik non-probability sampling lebih
khususnya sampling accidental, yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Teknik ini
digunakan karena topik yang diteliti adalah faktor lingkungan
terhadap TB paru pada pasien yang sedang melakukan rawat inap di
RSUD Dr. Soedarso yang dimana semua anggota keluarga dari
pasien dapat memberikan keterangan mengenai kondisi fisik
lingkungan rumah penderita TB Paru(Sugiyono, 2007).
IV.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah :
IV.4.1 Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan
mengenakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung
pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2010).
Data primer dalam penelitian ini didapat dari wawancara dan
observasi langsung dengan subjek penelitian dengan menggunakan
kuesioner terstruktur.
Berikut ini adalah data primer yang akan diteliti, antara lain :
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
e. Pendapatan
f. Kebiasaan merokok
g. Kepadatan hunian
h. Luas ventilasi
i. Pencahayaan
j. Kelembaban
k. Suhu
IV.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.
(Saryono,2010).Data sekunder yang di gunakan dalam penelitian
ini seperti catatan rekam medik yang didapat dari RSUD dr
Soedarso.
IV.5 Teknik Pengolahan dan Penyampaian Data
Data yang telah didapat,dikumpulkan dan diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
IV.5.1 Teknik Pengolahan Data
1. Editing
Memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data, keseragaman
data secara keseluruhan dari variabel-variabel penelitian, baik
kuisioner maupun hasil pengamatan secara langsung semua termuat
dalam formulir secara survei dan pemeriksaan kesesuian jawaban.
2. Coding
Mengklasifikasikan data-data dari masing-masing variabel dengan
kode-kode tertentu dari ukuran penelitian yang digunakan.
3. Scoring
Memberikan skor terhadap item-item jawaban dari variabel untuk
memudahkan dalam melakukan entri data.
4. Entry
Proses memasukan data yang sudah diberi kode ke program statistic
komputer.
5. Tabulating
Setelah dilakukan pengolahan data selanjutnya data disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari suatu
faktor determinan masalah kesehatan.
IV.5.2 Teknik Penyajian Data
Cara penyajian data dilakukan melalui berbagai bentuk. Pada
umunya dikelompokkan menjadi 3 yaitu penyajian dalam bentuk teks,
dalam bentuk tabel dan dalam bentuk grafik.
IV.6 Teknik Analisa Data
Data penelitian ini adalah kuantitatif, adapun teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknis analisis deskriptif dengan
persentase. Untuk menghitung data persentase yang masuk pada kategori
tertentu di setiap aspek adalah sebagai berikut:
Keterangan:
P : persentase jawaban
Fo : jumlah skor yang muncul
N : jumlah skor total/skor ideal
f o
P = x 100%
N
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Lokasi Dan Gambaran Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Rumah Sakit
Daerah DR. Soedarso dengan gambaran umum sebagai berikut :
RSUD Dr Soedarso Lingkup Administrasi sebagai Rumah
Sakit Umum Daerah berkedudukan di Wilayah Kota Pontianak
dengan Lingkup Wilayah Bina seluruh Provinsi Kalimantan Barat
dengan pemilik/pengelolanya adalah pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat. Melalui visi yang diusung yaitu “Menjadi Rumah
Sakit Terbaik, Mandiri dan Profesional” sehingga keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor: HK 03.05/111/3920/09 sejak tanggal
8 Oktober 2009 Rumah sakit umum daerah (RSUD) Dr. Soedarso
menjadi salah satu RSUD rujukan Nasional. RSUD Dr. Soedarso
memiliki luas lahan sebesar 26,6318 Ha (254,420 m2) dan luas
bangunan 21.735,54 m2. Sarana tempat tidur yang dimiliki oleh
RSUD Dr. Soedarso sebanyak 433 unit dengan jumlah tenaga
mencapai 961 orang. RSUD Dr. Soedarso merupakan kelas Rumah
Sakit sebagai berikut:
a. Rumah sakit dengan klasifikasi B
b. Rumah sakit pendidikan (teaching hospital)
c. Rumah sakit rujukan tertinggi di Kalimantan Barat (top
referal)
d. Rumah sakit badan layanan umum daerah (BLUD)
V.2 Hasil Penelitian
Gambar V.1. Gambaran Proses Penelitian
Perencanaan
proposal penelitian Tahap persiapan
penelitian
Tahap pengolahan data
Proses penelitian
Dari data 283 kasus TB Paru tersebut
diperoleh 196 kasus yang menjadi populasi
penelitian, pasien-pasien tersebut berasal dari
daerah Kota Pontianak dan Kubu Raya.
Kemudian diperoleh 42 responden yang dapat
dijadikan sampel penelitian dengan teknik
accidental sampling. Sebagian besar pasien yang
bersedia menjadi responden berasal dari Kota
Pontianak, khususnya di Kecamatan Pontianak
Barat. Permasalahannya bukan hanya pada jarak
yang jauh atau pasien yang menolak untuk
dijadikan responden, namun juga dikarenakan
banyaknya alamat pasien yang tidak jelas.
Sehingga menyulitkan peneliti menemukan
alamat rumah yang sebenarnya.
Interpretasi data Hasil penelitian
Wawancara pengisian kuesioner, Pengukuran
Kelembaban, Pencahayaan, Suhu
pada42responden sebagai sampel dari 196
populasi yang berdomisili di wilayah
Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak 22
september 2017 – 13 Oktober 2017 dan 13
Desember 2017-22 Desember 2017.
Peneitian ini dilakukan pada waktu yang
bersamaan, setiap hari penelitian dipilih waktu
pada jam 15.00-17.00 WIB.
Tahap pengumpulan data
V.2.1 Karakteristik Responden
Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 42
orang. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data sebagai
berikut :
1. Alamat Responden
Dari 42 rumah responden, terdiri dari 35 rumah yang
berdomisi di Kota Pontianak, hanya 7 rumah yang
berdomisi di Kabupaten Kubu Raya dikarenakan
keterbatasan peneliti maka jarak rumah yang diteliti untuk
wilayah Kabupaten Kubu Raya hanya jaraknya kurang
lebih 2KM dari batas Kota Pontianak.
2. Lama Menderita TB paru
Tabel V.2
Distribusi Lama Menderita Tb Paru Rawat Inap
di Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.2 dapat disimpulkan bahwa, dari
jumlah 42 responden rata-rata memiliki Lama Menderita TB
paruselama 3,17 bulan, dengan Riwayat Penderita TB paru
VARIABEL MEAN MEDIAN MINIMUM MAKSIMUM JUMLAH
RESPODNDEN
Riwayat
Penderita
TB paru
3,17 3 1 12 42
terendah yakni 1 bulan dan Riwayat Penderita TB paru terlama
12 bulan.
3. Luas Jendela Rumah
Tabel V.3
Distribusi Luas Jendela Pasien Tb Paru Rawat
Inap di Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.3 dapat disimpulkan bahwa, dari
jumlah 42 responden rata-rata memiliki luas jendela 5,388
meter², dengan luas jendela yang paling kecilyaitu 2meter²dan
luas jendela yang paling luas yaitu 13 meter² di daerah
Pontianak dan Kubu Raya.
Analisis Univariat
Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 42
orang. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data sebagai
berikut :
1. Status responden yang menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Umum Daerah DR Soedarso
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh distribusi
status responden Tb Paru yang menjalani rawat inap di
VARIABEL MEAN MEDIAN MINIMUM MAKSIMUM JUMLAH
RESPODNDEN
Luas
Jendela
Rumah
5,388 4,200 2 13 42
Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso dapat dilihat dari
tabel di bawah ini:
Tabel V.4
DistribusiFrekuensi Kategori Usia Pasien Tb
Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah
DR Soedarso
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.4 diketahui dari 42 responden rata-
rata berusia 49,33 tahun, dengan usia responden yang paling
muda yaitu 13 tahun dan usia responden yang paling tua yaitu
73 tahun di daerah Kota Pontianak dan Kubu Raya.
Tabel V.5
DistribusiFrekuensi Jenis Kelamin Pasien Tb
Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso
Jenis Kelamin Responden Frekuensi Presentase
(%)
Laki-laki 34 81
Perempuan 8 19
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.5 diketahui dari 42 responden,
hampir seluruhnya yaitu 34 responden (81%) berjenis kelamin
VARIABEL MEAN MEDIAN MINIMUM MAKSIMUM JUMLAH
RESPODNDEN
Usia
Penderita
TB paru
49,33 53,50 13 73 42
laki-laki, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 8 responden
(19%) berjenis kelamin perempuan.
Tabel V.6
DistribusiFrekuensi Kategori Pendidikan Pasien
Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso
Kategori Pendidikan Frekuensi Presentase
(%)
Tinggi (SMA, Diploma) 19 45,2
Rendah (Tidak Bersekolah,
SD, SMP)
23 54,8
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.6 diketahui dari 42 responden,
hampir separuhnya yaitu 19 responden (45,2%) memiliki latar
belakang pendidikan tinggi, sedangkan sebagian besarnya
yaitu 23 responden (54,8%) memiliki latar belakang
pendidikan rendah.
Tabel V.7
DistribusiFrekuensi Kategori Pekerjaan Pasien Tb
Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah
DR Soedarso
Kategori Pekerjaan Frekuensi Presentase
(%)
Bekerja (PNS/TNI/POLRI,
Swasta, Wiraswasta, Buruh)
26 61,9
Tidak Bekerja 16 38,1
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.7 diketahui dari 42 responden,
sebagian besarnya yaitu 26 responden (61,9%) bekerja dan
hampir separuhnya yaitu 16 responden (38,1%) tidak bekerja.
Tabel V.8
Distribusi Frekuensi Kategori Pendapatan Pasien
Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso tahun 2017
Kategori Pendapatan Frekuensi Presentase
(%)
Tinggi (≥ Rp 1.972.000) 7 16,7
Rendah (< Rp 1.972.000) 35 83,3
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.8 diketahui dari 42 responden,
sebagian kecilnya yaitu 7 responden (16,7%) memiliki tingkat
pendapatan tergolong tinggi, sedangkan hampir seluruhnya
yaitu 35 responden (83,3%) memiliki tingkat pendapatan
tergolong rendah.
Tabel V.9
DistribusiFrekuensi Status Perokok Pasien Tb
Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah DR
Soedarso
Status MerokokResponden Frekuensi Presentase
(%)
Tidak Merokok 29 79,1
Merokok 13 31
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.9 diketahui dari 42 responden,
sebagian besarnya yaitu 29 responden (79,1%) tidak merokok,
sedangkan sebagian darinya yaitu 13 responden (31%)
merokok.
Tabel V.10
Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Rumah
Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso
Kategori Kepadatan Hunian Frekuensi Presentase
(%)
Memenuhi Syarat (≥ 9 m2/orang) 39 92,9
Tidak Memenuhi Syarat (< 9
m2/orang)
3 7,1
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.10 diketahui dari 42 responden, lebih
besar rumah yang memenuhi syarat kepadatan hunian yaitu 39
rumah responden (92,2%) dan hanya sebagian kecil yang tidak
memenuhi syarat kepadatan hunian yaitu 3 rumah responden
(7,1%)
Tabel V.11
Distribusi Frekuensi Kategori Luas Ventilasi
Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Daerah DR Soedarso
Kategori Luas Ventilasi Frekuensi Presentase
(%)
Memenuhi Syarat (≥ 10% luas
lantai)
3 7,1
Tidak Memenuhi Syarat (< 10%
luas lantai)
39 92,9
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.11 diketahui dari 42 responden,
hanya sebagian kecilnya yaitu 3 rumah responden (7,1%)
memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat, sedangkan
sebagian besarnya yaitu 39 rumah responden (92,9%)
memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata
luas ventilasi 4 m2.
Tabel V.12
Distribusi Frekuensi Kategori Pencahayaan dalam
Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Daerah DR Soedarso
Pencahayaan Frekuensi Presentase
(%)
Tidak Memenuhi Syarat (< 60 lux) 39 92,2
Memenuhi Syarat (≥ 60 lux) 3 7,1
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.12 diketahui dari 42 responden,
hampir seluruhnya yaitu 39 rumah responden (92,2%)
memiliki intensitas pencahayaan yang memenuhi syarat ≥ 60
lux, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3 rumah responden
(7,1%) memiliki intensitas pencahayaan yang tidak memenuhi
syarat< 60 lux.
Tabel V.13
DistribusiFrekuensi Kategori Kelembaban Rumah
Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso
Tingkat Kelembaban Frekuensi Presentase
(%)
Memenuhi Syarat (40%-70%) 25 59,5
Tidak Memenuhi Syarat (<40%
atau >70%)
17 40,5
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.13 diketahui dari 42 responden, lebih
dari separuhnya yaitu 25 rumah responden (59,5%) memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat, sedangkan hampir
separuhnya yaitu 17 rumah responden (40,5%) memiliki
kelembaban yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata
kelembaban kamar tidur responden sebesar 59%.
Tabel V.14
DistribusiFrekuensi Kategori Suhu dalam Kamar
Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soedarso
Suhu dalam kamar Frekuensi Presentase
(%)
Memenuhi Syarat (22oC-30oC) 13 31
Tidak Memenuhi Syarat (<22oC
atau >30oC)
29 69
Total 42 100
Sumber: Data Primer, 2017
Berdasarkan tabel V.14 diketahui dari 42 responden,
hampir separuhnya yaitu 13 rumah responden (31%) memiliki
kategori suhu yang memenuhi syarat, sedangkan lebih dari
separuhnya yaitu 29 rumah responden (69%) memiliki
kategori suhu yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata suhu
dalam kamar tidur responden adalah 31oC.
V.3 Pembahasan
V.3.1 Prevalensi Pasien TB Paru Rawat Inap di RS Dr. Soedarso
Prevalensi pasien TB Paru yang melakukan rawat inap di
RS Dr. Soedarso sejak tahun 2015 cenderung mengalami
peningkatan, pada tahun tersebut ditemukan sebanyak 243
kasus. Selanjutnya ditahun 2016 diketahui sebanyak 283
kasus, demikian pula pada awal tahun 2017 yaitu antara bulan
Januari-Februari telah ditemukan kasus sebanyak 60 pasien
TB paru yang dirawat inap di RS Dr. Soedarso. Dari data 283
kasus TB Paru tersebut diperoleh 196 kasus yang menjadi
populasi penelitian, pasien-pasien tersebut berasal dari daerah
Kota Pontianak dan Kubu Raya.
Berdasarkan hasil lapangan diketahui bahwa pesien yang
dirawat inap di RS Dr. Soedarso sebagian besarnya merupakan
pasien ulangan yang memiliki masalah komplikasi kesahatan
akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik paru-paru,
ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi,
perilaku lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan
merokok, hal ini dibuktikan dari hasil temuan berupa alasan
pasien dilakukan perawatan inap di RS Dr. Soedarso.
Dengan merujuk pada jumlah kasus TB paru tersebut,
menjadikan TB paru sebagai salah satu penyebab utama
kematian dan masalah kesehatan yang paling penting, dimana
tercatat pula prevalensi TB paru 647 per 100.000 pada tahun
2014 sehingga Indonesia berada di peringkat kedua terbesar
dunia (WHO, 2015). Selain itu data Prevalensi Tb Paru BTA
(+) di Indonesia tahun 2016 sebesar 156.723 kasus (Kemenkes
RI, 2016).
Berdasarkan permasalahan tersebut, adanya upaya yang
haru dilakukan, mulai dari upaya berupa perbaikan kualitas
lingkungan tempat tinggal utamanya. Kemudian upaya kuratif
dapat dilakukan pula untuk meningkatkan kepatuhan
pengobatan yang didukung oleh keluarga atau kerabat
terdekat, sehingga adanya kecenderungan untuk sembuh lebih
cepat dan tepat.
V.3.2 Karakteristik responden menurut usia pada pasien TB
Rawat Inap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien TB paru
masih didominasi usia produktif terlihat dari hampir
separuhnya berusia yaitu 16 responden (38,1%) berusia ≤44
tahun dan sebagian besarnya yaitu 21 responden (44%) berusia
>44 tahun dengan rata-rata umur 49,33 tahun, usia terendah
yaitu berumur 13 tahun dan usia tertinggi yaituberumur 73
tahun.
Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai
pada usia dewasa. Penyakit TB paru sebagian besar terjadi
pada orang dewasa yang telah mendapatkan infeksi primer
sejak masih kecil dan tidak ditangani dengan baik. Usia
dewasa dan diikuti usia tua merupakan kelompok yang paling
tertinggi di Amerika Serikat pada tahun 2008. Jumlah kasus
TB paling tertinggi mengenai usia 25 samoai 44 tahun (33%
dari semua kasus), diikuti usia 45 sampai dengan 64 tahun
(30% dari semua kasus). Pada usia diatas 65 tahun berkisar
19%. Sedangkan sisanya berada pada usia antara 15% samapi
dengan 24 tahun (11%) dan usia 14 tahun kebawah (6%)
(CDC, 2008).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan semakin
bertambahnya umur seseorang cenderung terjadinya
peningkatan risiko terhadap penularan TB paru seiring dengan
berkurangnya pada aspek psikologis dan aspek fisik, sehingga
pentingnya menjaga kondisi tubuh dengan peningkatan pola
hidup sehat seperti konsumsi makanan yang bergizi seimbang
serta berolahraga rutin minimal 30 menit sehari untuk menjaga
menjaga dan memperkuat sistem imun tubuh. Selain itu risiko
penularan TB Paru pada pasien umur/usia produktif sangat
berbahaya karena pasien sering berinteraksi dengan orang lain.
Sehingga jika pasien TB Paru dirawat inap mobilitasnya
rendah dan mengurangi penularan ke orang lainn di sekitar
lingkungan tempat tinggal.
V.3.3 Jenis kelamin Pasien TB Rawat Inap
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir
seluruhnya yaitu 34 responden (81%) berjenis kelamin laki-
laki, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 8 responden (19%)
berjenis kelamin perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiadi (2013),
menyatakan jenis kelamin pada TB paru lebih banyak pada
responden laki-laki dibanding responden perempuan.
Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lalombo (2015) menyatakan frekuensi tertinggi TB paru
dialami oleh responden dengan jenis kelamin laki-laki.
Di setiap negara-negara di dunia lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan yang TB paru tiap tahunnya, dan
secara global lebih dari 70% laki-laki dengan BTA positif
dibandingkan perempuan (Begum et al, 2001).
Laki-laki cenderung lebih banyak beraktivitas diluar
rumah dengan tujuan mencari nafkah dan lebih banyak
berinteraksi dengan orang lain yang mungkin salah satunya
terinfeksi kuman TB paru (Gordon, 1950 dalam Noor, 2008).
Hal ini seperti yang dilaporkan di dunia pada tahun 2015,
diperkirakan kasus TB paru berjenis kelamin laki-laki dan
38% kasus TB paru berjenis kelamin perempuan. Diperkirakan
kecenderungan faktor gaya hidup pada laki-laki yang merokok
memicu peningkatan risiko terjadinya TB paru. (WHO, 2015)
Beberapa alasan perbandingan kejadian TB paru menurut
jenis kelamin antara lain, adanya perbedaan biologi pada laki-
laki perempuan seperti perbedaan imunitas; laki-laki
dilaporkan lebih sering mengkonsumsi alkohol dan rokok;
perbedaan terhadap pajanan (exposure) kepada M.
tuberculosis yang dihubungkan dengan perbedaan pola
kehidupan/aktivitas interaksi sosial. Adanya perbedaan status
(interaksi) sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan,
serta perbedaan aktivitas sehari-hari menyebabkan
kemungkinan pajanan infeksi tuberkulosis lebih banyak
terhadap laki-laki (Bothamley, G. 1998; Lonnroth et al, 2008;
WHO, 2001).
Berdasarkan keterangan diatas pasien TB paru yang rawat
inap tidak hanya terjadi pada jenis kelamin tertentu, tetapi dari
penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan yang dirawat inap
karena Tb paru. Sebagaimana dari hasil penelitian
menunjukkan penderita TB paru yang dirawat inap dengan
jenis kelamin laki-laki lebih besar penderitanya dibandingkan
dengan jenis kelamin perempuan.
Sehingga penting kiranya dapat menjaga kesehatan dan
lebih sering untuk mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
guna melakukan tindakan pendeteksian dini dari TB paru.
V.3.4 Gambaran tingkat pendidikan Pasien TB Rawat Inap
Hasil penelitian ini menunjukkan penderita TB paru yang
dirawat inap hampir separuhnya yaitu 19 responden (45,2%)
memiliki latar belakang pendidikan tinggi, sedangkan
sebagian besarnya yaitu 23 responden (54,8%) memiliki latar
belakang pendidikan rendah.
Penelitian yang dilakukan Rini (2013), bahwa mayoritas
responden memiliki pendidikan tingkat pendidikan yang tinggi
diharapkan telah mampu menciptakan kondisi fisik rumah
yang sehat. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai
kondisi fisik rumah yang sehat.
Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor risiko
penularan penyakit tuberkulosis. Rendahnya tingkat
pendidikan ini, akan berpengaruh pada pemahaman tentang
penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya
tinggi, tuju kali lebih waspada terhadap Tb paru (gejala, cara
penularan, pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat
yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah.
Kemudian juga mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diatanranya mengenai rumah dan lingkungan yang
memenuhi syarat kesehatan, shingga dengan pengetahuan
yang cukup maka seseorang ajan mencoba untuk mempunyai
perilaku hidup bersih dan sehat. (Misnadiarly, 2009).
Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan yang rendah
sangat mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap faktor risiko
yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit tuberkulosis
yang rawat inap, terutama pengetahuan mengenai risiko
penularan Tb di sekitar lingkungan tempat tinggal .
Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kesehatan
individu dan kelompok adalah pendidikan. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain membentuk tindakan seseorang
(overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa,
pendidikan mempengaruhi kejadian TB paru. Semakin
meningkat pendidikan seseorang, semakin meningkat pula
pengetahuan terhadap informasi kesehatan dimana orang
dengan pengetahuan formal yang lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat
pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih
mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan
serta pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, perlu kiranya instansi kesehatan
utamanya RS Dr Soedarso melakukan upaya promotif dan
preventif melalui media ataupun secara langsung dengan
tujuan memproteksi masyarakat dalam hal ini penderita Tb
paru yang dirawat inap dan keluarganya agar tahu mengenai
bahaya dan faktor risiko dari TB paru sehingga mau
memberdayakan diri untuk mengaplikasikannya didalam
kehidupan sehari-hari serta secara mandiri menanggulangi
permasalahan TB paru.
V.3.5 Gambaran Pekerjaan Pasien TB Rawat Inap
Responden pada penelitian ini menunjukkan sebagian
besarnya yaitu 26 responden (61,9%) bekerja dan hampir
separuhnya yaitu 16 responden (38,1%) tidak bekerja.
Hubungan pekerjaan dengan kejadian masalah kesehatan
disebabkan adanya risiko pekerjaan, orang yang bekerja
disuatu tempat akan terkena penyakit berdasarkan paparan
yang dialaminya.
Penderita TB paru yang dirawat inap sebagian besar
bekerja sebagai wiraswata dan buruh yang notabenenya lebih
cenderung mendapatkan paparan polusi tinggi dan tingkat
kelelahan yang besar. Tingkat kelelahan yang diterima dengan
jumlah yang besar memungkinkan seseorang mengalami
penurunan imun tubuh ditambah lagi dengan asupan energi
yang kurang akan meningkatkan risiko untuk terjangkitnya
atau bahkan kembali kambuhnya TB paru hinga dirawat inap.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan
bahwa jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya
penyakit melalui beberapa faktor (Notoatmodjo,2011).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan seseorang
yang bekerja cenderung lebih berisiko untuk kembuhnya TB
paru hingga memungkinkan untuk dirawat inap, dikarenakan
seseorang yang bekerja akan mudah terpapar dengan orang
disekitarnya dan status pekerjaan juga berkaitan dengan sosial
ekonomi seseorang dimana dapat memberikan kontribusi
terhadap kemudahan kekambumbuhan TB paru.
Mengingat TB paru erat sekali kaitannya dengan sosial
ekonomi, sehingga perlunya pemerintah melakukan perbaikan
lapangan pekerjaan yang memadai dan sesuai dengan
keterampilan yang dimiliki masyarakat. Selain itu hendaknya
pekerja memperhatikan alat pelindung diri seperti masker dan
sarung tangan ketika bekerja diluar ruang yang terpapar
langsung dengan sumber-sumber penyebab TB paru seperti
polusi dan sampah.
V.3.6 Gambaran Pendapatan Pasien TB Rawat Inap
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendapatan
responden sebagian kecilnya yaitu 7 responden (16,7%)
memiliki tingkat pendapatan tergolong tinggi, sedangkan
hampir seluruhnya yaitu 35 responden (83,3%) memiliki
tingkat pendapatan tergolong rendah.
Upah minimum Kota Pontianak sesuai dengan keputusan
yang dipublikasikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar Rp
1.972.000 sedangkan rata-rata pendapatan responden adalah
sebesar RP 1.000.000.
Tingkat sosial ekonomi yang rendah dikarenakan
penghasilan yang minim atau kurang untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari terutama pemenuhan kebutuhan
gizinya, lingkungan rumah yang sehat dan kemampuan
pembiayaan dalam bidang kesehatan karena masih terfokus
atas kebutuhan pokoknya. Keadaan status gizi dan penyakit
infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi
sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang
berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya
tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan
penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi
kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB
paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang
yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya
status gizinya mengalami penurunan.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan tingkat
pendapatan yang rendah erat kaitannya dengan kemampuan
seseorang untuk peningkatan gizi baik, pemanfaatan kesehatan
yang berkualitas, dan pememnuhan syarat rumah sehat
sehingga risiko penularan dan menularkan TB paru semakin
besar.
Oleh karena itu, perlunya peningkatan pemahaman untuk
pemenuhan gizi seimbang juga tidak selalu dengan harga yang
mahal, sehingga peran tenaga kesehatan dan pemerintah untuk
menyebarluaskan informasi mengenai fortifikasi makanan
dengan yang lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat dalam pemenuhan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi karena dapat meningkatkan risiko terkena
TB paru. Kemudian peningkatan kualitas kesehatan bagi
masyarakat tidak mampu serta bantuan perumahan dari
pemerintah agar terpenuhinya syarat rumah sehat.
V.3.7 Gambaran Kebiasaan Merokok Pasien Paru Rawat Inap
Hasil penelitian sebagian besarnya yaitu 29 responden
(79,1%) tidak merokok, sedangkan hampir separuhnya yaitu
13 responden (31%) merokok.
Beberapa penelitian membuktikan, adanya kaitan antara
status perokok dengan kembali kambuhnya TB paru
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sayuti (2013)
menyatakan antara merokok dengan TB paru BTA positif.
Senada dengan penelitian Lalombo (2015) yang menyatakan
bahwa kebiasaan merokok adalah faktor yang berhubungan
dengan TB paru.
Polusi udara dalam ruangan dari asap rokok dapat
meningkatkan risiko terinfeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis. Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan
kimia yang memiliki berbagai efek racun mutagenik dan
karsinogenik. Zat-zat ini memiliki risiko infeksi
Mycobacterium tuberculosis.Dampak buruk bagi kesehatan
khususnya paru karena rokok tidak hanya berdampak bagi
perokok namun juga bagi orang lain yang berada dilingkungan
perokok yaitu perokok pasif yaitu mereka yang tidak merokok
tapi sering berkumpul dengan perokok sehingga terpaksa harus
menghirup asap rokok (Aliman, 2011).
Kandungan tar dari asap rokok dapat mengganggu
kejernihan mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme
menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya
adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas
besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah
banyak (hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel
yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan
mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-
2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam
melawan infeksi akut. Secara ringkas tar dapat menyebabkan
struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru serta
respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).
Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin
yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan
oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar
oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah
merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang
diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang
kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan
pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus-menerus
maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya
proses ateroskerosis (penyempitan). Penyempitan dengan CO
dalam jumlah besar dapat menghilangkan kesadaran hingga
meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan
hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan
penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan
jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru)
(Kemenkes, 2012).
Berdasarkan uraian diatas erat sekali kaitannya antara
status perokok dengan TB paru. Status perokok meningkatkan
kemungkinan kambuhnya TB paru hingga cencerung dirawat
inapdikarenakan sel tubuh mengalami kerusakan khususnya
pada sel epitel mukosa yang terdapat pada saluran nafas yang
digunakan sebagai mekanisme menempelnya bakteri pada sel
epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan
infeksi.
Oleh karenanya, masyarakat harus sudah mengurangi
kebiasaan merokok dan bahkan berhenti sama sekali dari
perilaku merokok. Perlunya kebijakan dari pemerntah untuk
melakukan penekanan terhadap perilaku merokok bagi
masyarakat, sehingga baik perokok aktif dan perokok pasif
dapat terhindar dari bahaya rokok sebagai faktor risiko
terjadinya penyakit infeksi TB paru.
V. 3.8 Gambaran Kepadatan Hunian di Rumah Pasien TB Rawat
Inap
Hasil penelitian ini menunjukkan hampir separuhnya
yaitu 39 rumah responden (92,9%) memiliki kepadatan hunian
yang memenuhi syarat, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3
rumah responden (7,1%) memiliki kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat.
Berbagai penelitian membuktikan adanya kaitan antara
kepadatan hunian dengan TB paru, sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Nurwitasari (2015) yang
menyatakanbahwa kedekatan merupakan faktor risiko TB
paru. Dimana Akamal (2013) juga menyatakan hal yang sama
dalam penelitiannya bahwa penularan tuberkulosis sangat
dipengaruhi kepadatan suatu hunian dikarenakan penularan
tuberkulosis melalui droplet, dehingga jika ada salah satu
penghuni positif tuberkulosis maka penyakit akan cepat
menyebar ke penghuni lainnya.
Berdasarkan Kepmenkes RI No.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan
rumah tinggal menunjukkan luas ruang tinggal menunjukkan
luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih dari
2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak yang berusia
kurang dari 5 tahun. Jumlah penghuni rumah yang banyak
akan semakin menambah bibit penyakit dan mempercepat
penularan penyakit proses pertukaran udara bersih akan
terpenuhi.
Menurut Prabu dalam Soemirat (2000), luas lantai
bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Persyaratan kepadatan hunian untuk
seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas
minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia .
Semakin banyaknya penghuni rumah, semakin meningkat
pula kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi
kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi
mycobacterium tubrculosis. Degan demikian akan semakin
banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui
saluran pernapasan (Depkes RI, 2002).
Dari segi kesehatan, kepadatan hunian mempunyai
pengaruh besar terhadap kesehatan masyarakat, karena
kepadatan mempengaruhi timbulnya suatu penyakit maupun
kematian akibat penyakit menular. Kepadatan juga dianggap
sebagai faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru
karena kedekatan membuat penghuni melakukan kontak
dengan udara yang terkontaminasi bakteri yang menyebabkan
infeksi.
V.3.9 Gambaran Luas Ventilasi di Rumah Pasien TB Rawat Inap
Hasil penelitian menunjukkan hanya sebagian kecilnya
yaitu 3 rumah responden (7,1%) memiliki luas ventilasi yang
memenuhi syarat, sedangkan sebagian besarnya yaitu 39
rumah responden (92,9%) memiliki luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat. Rata-rata luas ventilasi 4 m2.
Penelitian yang dilakukan Murtiningsih (2014) ada
hubungan yang bermakna antara luas ventilasi rumah terhadap
TB paru. Begitu pula dengan penelitian Widiyarsih (2014),
menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan
tuberkulosis paru.
Hasil observasi pada saat melakukan penelitian
ditemukan kamar tidur penderita dengan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dikarenakan terdapat lubang
angin yang kecil, sebagian penderita menutup ventilasi dengan
plastik bening dan sebagiannya dengan triplek. Menurut
Notoatmodjo (2011) ventilasi mempunyai fungsi, fungsi
utama adalah untuk menjaga aliran udara dalam rumah
tersebut tetap sejuk.
Ventilasi merupakan salah satu faktor pendukung rumah
sehat sebagai tempat pergantian udara dalam ruang. Ventilasi
dalam rumah membantu kualitas udara dalam ruangan,
temperatur ruang yang memenuhi syarat.Ventilasi juga
mempengaruhi proses dilusi udara serta mengencerkan
konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, dimana kuman
tersebut akan terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet
(Whardana, 2006).
Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan
mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan
sinar matahari ke dalam rumah akibatnya kuman tuberkulosis
yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap
bersama udara pernafasan. Selain itu ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan memberikan dampak pada
proses pergantian udara dalam rumah serta mengurangi
kelembaban didalam ruangan (Budiman, 2011).
Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya
pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan
menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu
dalam konsentrasi tingi sehingga memperbesar penularan
kepada orang lain. Ventilasi rumah yang tidak cukup
menyebabkan aliran udara tidak terjaga sehingga kelembaban
udara didalam ruangan naik dan kondisi ini menjadi media
yang baik bagi perkembangan kuman petogen. Untuk
memungkinkan pergantian udara secara lancar, diperlukan
minimum luas lubang ventilasi tetap 10% dari luas lantai
(Simbolon, 2007).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ventilasi merupakan
salah satu faktor pendukung rumah sehat sebagai tempat
pergantian udara dalam ruang. Ventilasi dalam rumah
membantu kualitas udara dalam ruangan, temperatur ruang
yang memenuhi syarat. Ventilasi juga mempengaruhi proses
dilusi udara serta mengencerkan konsentrasi kuman TBC.
Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya
pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan
menurunnya konsentrasi kuman.
Melihat permasalahan yang ada, sebaiknya masyarakat
untuk memaksimalkan fungsi dari ventilasi dengan tidak
menghalangi ventilasi sebagai jalur pergantian udara. Ada
baiknya juga masyarakat untuk menanam pepohonan disekitar
rumah agar udara menjadi sejuk, namun jangan sampai
menutupi ventilasi di rumah.
V.3.10 Gambaran Pencahayaan di Rumah Pasien TB Rawat Inap
Hampir seluruhnya yaitu 39 rumah responden (92,2%)
memiliki intensitas pencahayaan yang memenuhi syarat ≥ 60
lux, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3 rumah responden
(7,1%) memiliki intensitas pencahayaan yang tidak memenuhi
syarat < 60 lux.
Pengukuran cahaya dilakukan dengan menggunakan alat
ukur Lux meter. Secara teknis pencahayaan tergantung pada
luas ruangan. Pencahayaan yang diukur adalah pencahayaan
alamiah, berasal dari sinar matahari secara langsung yang
masuk melalui ventilasi, jendela dan pintu. Hasil pengukuran
kemudian dibandingkan dengan Permenkes No. 1077 tahun
2011 yang menyatakan persyaratan pencahayaan di dalam
rumah minimal 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hamidah., dkk (2015)
menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan
TB paru di wilayah kerja Puskesmas Perawatan Siko
Kecamatan Ternate Utara Kota Ternate Provinsi Maluku
Utara. Ditegaskan kembali dengan penelitian yang dilakukan
Azyyati, dkk (2016) pencahayaan merupakan faktor risiko TB
paru di RW 09 Kelurahan Jembatan Bedi Kecamatan Tambora
Jakarta Barat.
Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa dampak bagi penghuninya, hal ini dikarenakan
rumah yang tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup
akan membuat rumah tersebut menjadi gelap. Cahaya matahari
yang masuk kedalam rumah berguna untuk menerangi ruangan
serta mempunyai daya untuk membunuh bakteri (Depkes RI,
2009).
Pencahayaan alami yang langsung ke dalam ruangan
rumah dapat mengurangi terjadinya penularan penyakit
tuberkulosis paru, karena cahaya ultraviolet dari sinar matahari
yang masuk ke dalam ruangan dapat membunuh kuman.
Pencahayaan tersebut dapat masuk melalui lubang ventilasi,
jendela, maupun pintu yang sering dibuka atau dapat melalui
genteng kaca, banyak jenis bakteri dapat dimatikan jika bakteri
tersebut mendapatkan sinar matahari secara langsung,
demikian juga kuman M. tuberculosis dapat mati karena
cahaya sinar ultraviolet dari sinar matahari yang masuk ke
dalam ruangan (Kemenkes RI Ditjen P2PL, 2014).
Selain dikarenakan luas jendela yang masih sangat
kurang, rendahnya tingkat pencahayaan dikarenakan letak
posisi rumah yang saling berhimpitan sehingga posisi jendela
kerap terhalang bangunan lain yang berada disamping rumah,
kemudian adanya kebiasaan responden menutup jendela
dengan gorden yang menyebabkan intensitas pencahayaan
berkurang.
Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pencahayaan alamiah adalah luas ventilasi,
luas lantai dan keberadaan jendela.
Rata-rata luas jendela yang terdapat dirumah responden
adalah 1,7m dari luas lantai (<15% luas lantai). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Halim (2016) bahwa pencahayaan memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian TB paru. kuman Mycobacterium
tuberculosis sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan
sinar ultraviolet. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet
akan membunuh kuman dalam masa beberapa menit (Ditjen
PP dan PL, 2014). Rumah yang tidak masuk sinar matahari
mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali
dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari
(Depkes RI, 2011).
Melihat permasalahan yang ada di lapangan, sebaiknya
masyarakat agar dapat melakukan modifikasi terhadap luas
jendela sesuai dengan ketentuan yaitu ≥ 15% luas lantai rumah,
letak jendela agar tidak terlindung dengan gorden atau
bangunan lainnya sehingga intensitas cahaya matahari yang
masuk dapat optimal. Apabila letak jendela sudah ditutupi oleh
bangunan lain dan tidak bisa dimodifikasi, ada baiknya untuk
menggunakan genting transparan untuk memudahkan sinar
matahari menembus ruangan.
V.3.11 Gambaran Kelembaban Udara di RumahPasien TB Rawat
Inap
Kondisi lingkungan yang lembab merupakan media yang
baik untuk perkembangan bakteri patogen. Pengukuran
kelembaban pada penelitian ini menggunakan alat sling
psychrometer. Kelembaban ini dipengaruhi oleh luas ventilasi
rumah responden sebagaimana dari hasil analisis sebagian
besar memenuhi syarat sesuai ketentuan 40%-70% yaitu 25
rumah (59,5%) sedangkan responden yang tingkat
kelembabannya tidak memenuhi syarat yaitu 17 rumah
(40,5%). Hal ini terjadi pada saat penelitian kondisi cuaca
sedang dalam keadaan mendung dan cenderung kurang
memancarkan sinar matahari, sehingga asumsi peneliti
meningkatkan tingkat kelembaban yang tidak memenuhi
syarat (tinggi).
Penelitian yang dilakukan Andhalia, dkk. (2016) bahwa
kelembaban memiliki hubungan yang sangat signifikan
terhadap kejadian TB. Sejurus pula dengan penelitian yang
dilakukan Agustian (2014) bahwakelembaban memiliki
hubungan dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja
Puskesmas Perumnas I dan II Kecamatan Pontianak Barat.
Menurut Notoatmodjo (2007), kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban dalam di dalam kamar cenderung normal
yaitu berada pada rentang 40%-70%, ini dikarenakan
penggunaan pendingin udara seperti kipas angin yang dapat
mempengaruhi kelembaban pada ambang batas normal.
Kelembaban akan menjadi media yang baik bagi bakteri
patogen tidak terkecuali mycobacterium tuberculosa. Semakin
tinggi tingkat kelembaban di dalam rumah, akan
mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara
lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran
mukosa hidung menjadi kering shingga kurang efektif dalam
menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
termasuk bakteri tuberkulosis (WHO, 2013).
Kuman tuberkulosis mampu bertahan hidup di tempat
yang gelap dan lembab dan akan dormant di tempat kering dan
dingin, bakteri tuberkulosis paru akan mati pada pemanasan
100oC selama 5-10 menit, atau pada suhu 60oC selama 30
menit. Bakteri tuberkulosis paru akan hidup subur pada
lingkungan dengan kelembaban tinggi, karena air membentuk
lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan media yang
paling baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
bakteri (Gould, 2003).
Melihat permasalahan yang ada, untuk menjaga tingkat
kelembaban agar berada pada rentang 40%-70% perlu kiranya
masyarakat untuk membiasakan perilaku membuka jendela
pada pagi hingga sore hari, dengan harapan sirkulasi udara
berjalan lancar.
V.3.12 Gambaran Suhu dalam Rumah Pasien TB Rawat Inap
Suhu merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan TB paru. Pengukuran suhu ruangan
menggunakan alat sling psychometer. Hasil yang telah
didapatkan kemudian dibandingkan dengan Permenkes No.
1077 tahun 2011 yang menyatakan persyaratan suhu ruangan
di dalam rumah yaitu 18-30oC. Hasil penelitian ini
menunjukkan hampir seluruhnya suhu dalam rumah tidak
memenuhi syarat (88%). Hal ini terjadi meskipun pada saat
penelitian kondisi cuaca sedang dalam keadaan mendung dan
cenderung kurang memancarkan sinar matahari, keadaan
sekitar ruang tidak terlalu baik sirkulasi udaranya sehingga
asumsi peneliti meningkatkan suhu yang tidak memenuhi
syarat (tinggi).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriyani, dkk (2013)
yang menyatakan suhu udara merupaka faktor risiko terhadap
kerjadian TB paru di Kota Banjarmasin, Kalimantan
Indonesia. Begitupun Mudyono,dkk (2015) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa suhu merupakan faktor
risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kota Pekalongan.
Suhu ruangan tergantung dari suhu udara luar, pergerakan
udara, kelembaban udara dan suhu benda disekitarnya (Irianto,
2014). Dari hasil observasi lapangan ditemukan suhu kamar
lebih dominan bersuhu diatas 30oC. ini berkaitan dengan
sirkulasi udara yang terdapat di dalam rumah responden.
Cenderung tingginya suhu ruangan diakibatkan vantilasi dan
jendela lebih sering tertutup. Bahkan beberapa rumah
ditemukan jendela yang berhimpitan dan tertutup dengan
bangunan disebelah rumah responden. Ini memungkinkan
lingkungan menjadi gerah dan pertumbuhan kuman semakin
maksimal. Keadaan seperti ini membuat kuman di dalam
dahak pada suhu antara 30-37oC akan mati dalam masa lebih
kurang satu minggu (Ditjen PP dan PL, 2014). Berdasarkan
pernyataan tersebut berarti kuman mycobacterium dapat
bertahan hidup secara optimal pada kisaran suhu tersebut.
Melihat dari permasalahan yang ada, menjaga suhu tetap
berada pada batas normal perlu kiranya masyarakat
memodifikasi luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan
jendela minimal berukuran 15% dari luas lantai. Kemudian
jika udara didalam rumah terlalu panas dengan asumsi suhu
meningkat, disarankan untuk menggunakan kipas angin atau
pendingin udara dengan mengatur kelembaban udara melalui
ventilasi atau jalur sirkulasi udara lainnya.
V.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam proses pelaksanaannya,
yaitu:
1. Penelitian dilakukan pada saat kondisi cuaca sedang dalam keadaan
mendung dan cenderung kurang memancarkan sinar matahari,
sehingga mempengaruhi penelitian terutama pada variabel
pengukuran kelembaban, suhu dan pencahayaan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Gambaran Lingkungan Rumah
Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Dr. Soedarso Pontianak maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan jenis kelamin, dari 42 responden hampir seluruhnya yaitu
34 responden (81%) berjenis kelamin laki-laki, sedangkan sebagian
kecilnya yaitu 8 responden (19%) berjenis kelamin perempuan. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan semakin bertambahnya umur
seseorang cenderung terjadinya peningkatan risiko terhadap penularan
TB paru seiring dengan berkurangnya pada aspek psikologis dan aspek
fisik.
2. Menurut tingkat pendidikan dari 42 responden hampir separuhnya yaitu
19 responden (45,2%) memiliki latar belakang pendidikan tinggi,
sedangkan sebagian besarnya yaitu 23 responden (54,8%) memiliki latar
belakang pendidikan rendah. Rata-rata pendidikan responden
SMP/Sederajat, dengan latar pendidikan terendahnya SD/Sederajat dan
latar belakang pendidikan tertinggi Diploma pendidikan mempengaruhi
kejadian TB paru.
3. Dari status pekerjaan dari 42 responden, sebagian besarnya yaitu 26
responden (64%) bekerja dan hampir separuhnya yaitu 16 responden
(38%) tidak bekerja.seseorang yang bekerja cenderung lebih berisiko
untuk kembuhnya TB paru hingga memungkinkan untuk dirawat inap,
Mengingat TB paru erat sekali kaitannya dengan sosial ekonomi,
sehingga perlunya pemerintah melakukan perbaikan lapangan pekerjaan
yang memadai dan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki
masyarakat. Selain itu hendaknya pekerja memperhatikan alat pelindung
diri seperti masker dan sarung tangan ketika bekerja diluar ruang yang
terpapar langsung dengan sumber-sumber penyebab TB paru seperti
polusi dan sampah.
4. Menurut tingkat pendapatan diketahui dari 42 responden, sebagian
kecilnya yaitu 7 responden (16,7%) memiliki tingkat pendapatan
tergolong tinggi, sedangkan hampir seluruhnya yaitu 35 responden
(83,3%) memiliki tingkat pendapatan tergolong rendah. Rata-rata
pendapatan responden sebesar Rp 1.307.142 dengan pendapatan
terendah sebesar Rp 500.000 dan pendapatan tertinggi 3.000.000.tingkat
pendapatan yang rendah erat kaitannya dengan kemampuan seseorang
untuk peningkatan gizi baik, pemanfaatan kesehatan yang berkualitas,
dan pememnuhan syarat rumah sehat sehingga risiko penularan dan
menularkan TB paru semakin besar.Oleh karena itu, perlunya
peningkatan pemahaman untuk pemenuhan gizi seimbang juga tidak
selalu dengan harga yang mahal, sehingga peran tenaga kesehatan dan
pemerintah untuk menyebarluaskan informasi mengenai fortifikasi
makanan dengan yang lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat dalam pemenuhan kalori dan protein serta
kekurangan zat besi karena dapat meningkatkan risiko terkena TB paru.
Kemudian peningkatan kualitas kesehatan bagi masyarakat tidak mampu
serta bantuan perumahan dari pemerintah agar terpenuhinya syarat rumah
sehat.
5. Dari 42 responden sebagian besarnya yaitu 29 responden (79,1%) tidak
merokok, sedangkan hampir separuhnya yaitu 13 responden (31%)
merokok.erat sekali kaitannya antara status perokok dengan TB paru.
Status perokok meningkatkan kemungkinan kambuhnya TB paru hingga
cencerung dirawat inap dikarenakan sel tubuh mengalami kerusakan
khususnya pada sel epitel mukosa yang terdapat pada saluran nafas yang
digunakan sebagai mekanisme menempelnya bakteri pada sel epitel
pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi.Oleh
karenanya, masyarakat harus sudah mengurangi kebiasaan merokok dan
bahkan berhenti sama sekali dari perilaku merokok. Perlunya kebijakan
dari pemerntah untuk melakukan penekanan terhadap perilaku merokok
bagi masyarakat, sehingga baik perokok aktif dan perokok pasif dapat
terhindar dari bahaya rokok sebagai faktor risiko terjadinya penyakit
infeksi TB paru.
6. Diketahui tingkat kepadatan penguni rumah dari 42 responden, , hampir
separuhnya yaitu 39 rumah responden (92,9%) memiliki kepadatan
hunian yang memenuhi syarat, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3
rumah responden (7,1%) memiliki kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat. Rata-rata jumlah anggota dalam rumah responden
sebanyak 3 orang, paling sedikit 1 orang dan paling banyak 10 orang
yang tinggal bersama responden.
7. Diketahui dari 42 responden, hanya sebagian kecilnya yaitu 3 rumah
responden (7,1%) memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat,
sedangkan sebagian besarnya yaitu 39 rumah responden (92,9%)
memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata luas
ventilasi 4 m2.Melihat permasalahan yang ada, sebaiknya masyarakat
untuk memaksimalkan fungsi dari ventilasi dengan tidak menghalangi
ventilasi sebagai jalur pergantian udara. Ada baiknya juga masyarakat
untuk menanam pepohonan disekitar rumah agar udara menjadi sejuk,
namun jangan sampai menutupi ventilasi di rumah.
8. Diketahui dari 42 responden, hampir sebagian kecilnya yaitu 3 rumah
responden (7,1%) memiliki pencahayaan yang memenuhi syarat ((≥ 60
lux), sedangkan hampir seluruhnya yaitu 39 rumah responden (92,2%)
memiliki luas pencahayaan yang tidak memenuhi syarat (< 60
lux).Sebaiknya masyarakat agar dapat melakukan modifikasi terhadap
luas jendela sesuai dengan ketentuan yaitu ≥ 15% luas lantai rumah, letak
jendela agar tidak terlindung dengan gorden atau bangunan lainnya
sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk dapat optimal. Apabila
letak jendela sudah ditutupi oleh bangunan lain dan tidak bisa
dimodifikasi, ada baiknya untuk menggunakan genting transparan untuk
memudahkan sinar matahari menembus ruangan.
9. Diketahui dari 42 responden, lebih dari separuhnya yaitu 25 rumah
responden (59,5%) memiliki kelembaban yang memenuhi syarat,
sedangkan hampir separuhnya yaitu 17 rumah responden (40,5%)
memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata
kelembaban kamar tidur responden sebesar 59%.Untuk menjaga tingkat
kelembaban agar berada pada rentang 40%-70% perlu kiranya
masyarakat untuk membiasakan perilaku membuka jendela pada pagi
hingga sore hari, dengan harapan sirkulasi udara berjalan lancar.
10. Diketahui dari 42 responden, hampir separuhnya yaitu 13 rumah
responden (31%) memiliki kategori suhu yang memenuhi syarat,
sedangkan lebih dari separuhnya yaitu 29 rumah responden (69%)
memiliki kategori suhu yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata suhu
dalam kamar tidur responden adalah 31oC. Suhu terendah 27,9oC dan
suhu tertinggi 34,7oC. Menjaga suhu tetap berada pada batas normal
perlu kiranya masyarakat memodifikasi luas ventilasi minimal 10% dari
luas lantai dan jendela minimal berukuran 15% dari luas lantai.
Kemudian jika udara didalam rumah terlalu panas dengan asumsi suhu
meningkat, disarankan untuk menggunakan kipas angin atau pendingin
udara dengan mengatur kelembaban udara melalui ventilasi atau jalur
sirkulasi udara lainnya.
VI.2 Saran
VI.2.1 Bagi Dinas Kesehatan Pontianak
1. Perlunya penyebarluasan informasi berupa manfaat rumah sehat
melalui media massa cetak maupun media elektronik.
2. Melakukan surveilans rumah sehat untuk mendeteksi adanya
kemungkinan rumah yang tidak sehat, sehingga dapat dilakukan
mapping dan intervensi program rumah sehat.
3. Perlunya membentuk dan melibatkan kader kesehatan dalam
mengawasi serta mengintervensi perilaku sadar rumah sehat dari
lingkungan keluarga dan masyarakat.
4. Bersinergi membangun desa percontohan sadar hunian sehat sebagai
upaya membangun perilaku sehat dan menjadi role model bagi desa-
desa disekitarnya.
VI.2.2 Bagi Masyarakat di wilayah kerja RSUD Dr. Soedarso
1. Kondisi fisik rumah yang belum memenuhi syarat sebagaimana suhu
yang seharusnya pada rentan 18-30 ºC belumlah tercermin sesuai
dengan fakta di lapangan:
a) Perlu kiranya masyarakat meningkatkan melakukan inovasi berupa
penambahan penggunaan plafon didalam ruang, guna mengurangi
tingkat suhu yang diterima atap tanpa penghalang dari plafon.
2. Tingkat pencahayaan dalam rumah erat kaitanya rasa nyaman pada
mata.
a) Semakin rendah intensitas cahaya, maka akan semakin cenderung
bakteri atau virus yang dapat menyebabkan penyakit khususnya
pneumonia pada balita. Namun jika terlalu tinggi akan berdampak
pada ketidaknyamanan mata dalam melihat (silau) dan dapat
mempengaruhi faktor lain yaitu peningkatan suhu dalam ruangan.
b) Perlu kiranya masyarakat melakukan inovasi perubahan bentuk
struktur ventilasi dan jendela sesuai dengan ukuran yang
disarankan.
c) Menitikberatkan pada penanaman kebiasaan membuka jendela
ketika disiang hari agar intensitas cahaya matahari yang masuk ke
dalam kamar atau ruangan maksimal membunuh bakteri patogen.
VI.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jenis desain penelitian
yang berbeda mengenai faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan TB
paru.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang variabel mikrobiologi
dalam rumah merupakan variabel yang dapat mempengaruhi kejadian TB
paru.
DAFTAR PUSTAKA
3.
Adnani, Hariza. 2011. Buku Ajar: Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar, Jakarta.
Darwel. 2012. Faktor-Faktor yang Berkorelasi terhadap Hubungan Kondisi
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Sumatera
(Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Depok.
Dawile, G., dkk. 2013. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tobelo
Kabupaten Halmahera Utara. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi.
Depkes RI. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
. 2006. Penanggulangan TB. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Edberg, Mark. 2007. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat : Teori Sosial dan
Perilaku. Jakarta : EGC.
Elvina Karyadi. 2002. Pusat Kajian Gizi Regional. Universitas Indonesia.
Farmani. 2015. Prediktor Ketidakteraturan Minum Obat Tuberkulosis (TB)
Pada Pasien dengan Pengobatan Kategori 1 Di Puskesmas Kota Denpasar
Pada Tahun 2011-2012. Tesis. Universitas Udayana Denpasar.
Gould & Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. Jakarta :
EGC.
Hapsari. 2010. Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
Keteraturan Berobat pasien TB Paru Strategi DOTS di RSUD dr.
Moewardi
Surakarta. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Holmquist, L., dkk. 2008. Tuberculosis Stays in U.S. Hospitals,
2006. Statistical Brief: 60. H-CUP.
Menteri Tenaga Kerja RI. 1999. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:
PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional (UMR). Jakarta :
Kementerian Republik Indonesia.
Muaz, Faris. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Tuberkulosis Paru Basil Tahan Asam Positif Di Puskesmas Wilayah
Kecamatan Serang Tahun 2014. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UI Syarif Hiayatullah Jakarta.
Mulluzi, A.Sibra. 2010. Determinan Lama Pasien TB Paru Menjalani
Rawat
Inap Di Rumah Sakit Paru Jember. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.
Nadhiroh, D. Alfiatun. 2013. Studi Tentang Praktik Higiene, Sanitasi
Lingkungan
dan Dukungan Keluarga Penderita TB BTA Positif dan TB BTA Negatif
Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Kabupaten Boyolali. Skripsi.
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nodieva A et al. 2008. Risk of infection with different M.tuberculosis
strains for retreatment cases in Latvia. 39th IUATLD World Conference
on Lung Health, abstract PC-81701-19, Paris.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
___________, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni.
Jakarta : Rineka Cipta.
___________, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
___________, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta.
Putra, NR. 2011. Hubungan Perilaku Dan Kondisi Sanitasi Rumah Dengan
Kejadian TB Paru Di Kota Solok Tahun 2011. Skripsi. Universitas
Andalas.
Presiden RI. 2003. UU RI No 20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta. Depdiknas. [serial online] [disitasi pada 3 Maret 2017]. Diakses
dari URL: http://www.hukumonline.com.
Priyoto. 2014. Teori Sikap dan Perilaku dalam Kesehatan. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Proverawati, Atikah dan Siti Assfuah. 2009. Buku Ajar Gizi untuk
Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Saharieng, dkk., 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Status
Kesembuhan Pasien Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tamako, Puskesmas Manganitu Dan Puskesmas Tahuna Timur Di
Kabupaten Kepulauan Sangihe. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sam Ratulangi.
Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Mitra
Cendikia.
Siregar, Melisah Pitri. 2012. Hubungan Karakteristik Rumah Dengan
Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru DI Puskesmas Simpang Kiri Kota
Subulassalam Tahun 2012. Jurnal USU. Diakses dari
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk/article/viewFile/1219/619
Setiawan, B.Eko. 2010. Determinan Indikasi Rawat Inap Pada Pasien TB
Paru Di Rs Paru Jember.
Sitorus. 2012. Karateristik Penderita Tuberkulosis Paru dengan
Komplikasi
yang Rawat Inap Di RSUD Rantauprapat. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.
Suharyo. 2013. Determinasi Penyakit Tuberkulosis Di Daerah Pedesaan.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol.9 Edisi1: 85-91 Tahun 2013.
Diakses pada 5 Februari 2017.
Supriyo, dkk. 2013. Pengaruh Perilaku dan Status Gizi Terhadap Kejadian
TB Paru Di Kota Pekalongan. Skripsi. Prodi Keperawatan Pekalongan,
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
Suryabrata, Sumadi. 2015. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Susila dan Suyanto. 2014. Metode Penelitian Epidemiologi Bidang
Kedokteran dan Kesehatan. Yogyakarta : Bursa Ilmu.
Suyono. 2010. Pokok Bahan Modul Perumahan dan pemukiman Sehat.
Pusdiknakes.
Syafri. 2015. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.
Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Triman. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan
Tuberkulosis Paru Strategi DOTS di Puskesmas dan BP4 di Surakarta dan
Wilayah Sekitarnya. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang.
Wawan, A. dan Dewi M. 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
WHO. 2009. A history of Tuberculosis Control in Indonesia. [serial online]
[disitasi pada 1 Maret 2017]. Diakses dari URL http:whq.doc.WHO.int.
. 2014. Global Tuberculosis Report. Prancis: World Health
Organization. [serial online] [disitasi pada 5 Maret 2017]. Diakses dari
URL http:www.whoint/tb.
Yolanda. 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relaps yang Berobat di
Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Medan Tahun 2006-2007. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara Medan.
Zubaidah. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Angka
Kesembuhan TB di Kabupaten Banjar tahun 2013. Jurnal Buski, Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang Vol 4 No 4 Desember
2013 Hal 192-199. Diakses pada 27 Februari 2017.
OUTPUT
Usia responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 13 1 2.4 2.4 2.4
16 2 4.8 4.8 7.1
17 1 2.4 2.4 9.5
22 1 2.4 2.4 11.9
26 1 2.4 2.4 14.3
31 1 2.4 2.4 16.7
32 1 2.4 2.4 19.0
35 1 2.4 2.4 21.4
36 1 2.4 2.4 23.8
37 1 2.4 2.4 26.2
40 1 2.4 2.4 28.6
43 3 7.1 7.1 35.7
44 1 2.4 2.4 38.1
46 1 2.4 2.4 40.5
49 1 2.4 2.4 42.9
51 2 4.8 4.8 47.6
52 1 2.4 2.4 50.0
55 1 2.4 2.4 52.4
56 1 2.4 2.4 54.8
58 2 4.8 4.8 59.5
59 3 7.1 7.1 66.7
60 2 4.8 4.8 71.4
61 1 2.4 2.4 73.8
62 2 4.8 4.8 78.6
63 1 2.4 2.4 81.0
65 1 2.4 2.4 83.3
66 1 2.4 2.4 85.7
69 1 2.4 2.4 88.1
70 2 4.8 4.8 92.9
72 2 4.8 4.8 97.6
73 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori usia responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <44 Tahun 16 38.1 38.1 38.1
>44 Tahun 26 61.9 61.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
Jenis kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-laki 34 81.0 81.0 81.0
Perempuan 8 19.0 19.0 100.0
Total 42 100.0 100.0
Pendidikan responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Bersekolah 12 28.6 28.6 28.6
SD/Sederajat 6 14.3 14.3 42.9
SMP/Sederajat 5 11.9 11.9 54.8
SMA/Sederajat 16 38.1 38.1 92.9
Diploma 3 7.1 7.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori pendidikan responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tinggi 19 45.2 45.2 45.2
Rendah 23 54.8 54.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
Pekerjaan responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Bekerja 16 38.1 38.1 38.1
PNS/TNI/POLRI 2 4.8 4.8 42.9
Swasta 9 21.4 21.4 64.3
Wiraswasta 10 23.8 23.8 88.1
Buruh 5 11.9 11.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori pekerjaan responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Bekerja 26 61.9 61.9 61.9
Tidak Bekerja 16 38.1 38.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Jumlah pendapatan responden dari seluruh sumber dalam sebulan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 500000 1 2.4 2.4 2.4
800000 2 4.8 4.8 7.1
1000000 24 57.1 57.1 64.3
1200000 2 4.8 4.8 69.0
1500000 5 11.9 11.9 81.0
1800000 1 2.4 2.4 83.3
2000000 3 7.1 7.1 90.5
2500000 1 2.4 2.4 92.9
2600000 1 2.4 2.4 95.2
3000000 2 4.8 4.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori pendapatan responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tinggi 7 16.7 16.7 16.7
Rendah 35 83.3 83.3 100.0
Total 42 100.0 100.0
Status pasien
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak TB Paru 17 40.5 40.5 40.5
TB Paru 25 59.5 59.5 100.0
Total 42 100.0 100.0
Status perokok pada responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 17 40.5 40.5 40.5
Tidak, Sebelumnya Iya 12 28.6 28.6 69.0
Iya 13 31.0 31.0 100.0
Total 42 100.0 100.0
Luas lantai rumah responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 6.0 3 7.1 7.1 7.1
9.0 4 9.5 9.5 16.7
12.0 17 40.5 40.5 57.1
16.0 13 31.0 31.0 88.1
20.0 5 11.9 11.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
Jumlah anggota keluarga
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 1 2.4 2.4 2.4
2 24 57.1 57.1 59.5
3 6 14.3 14.3 73.8
4 5 11.9 11.9 85.7
5 4 9.5 9.5 95.2
6 1 2.4 2.4 97.6
10 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori kepadatan hunian
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Memenuhi Syarat 2 4.8 4.8 4.8
Tidak Memenuhi Syarat 40 95.2 95.2 100.0
Total 42 100.0 100.0
Luas ventilasi kamar tidur responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid .3 2 4.8 4.8 4.8
.6 1 2.4 2.4 7.1
1.0 3 7.1 7.1 14.3
1.2 24 57.1 57.1 71.4
1.4 2 4.8 4.8 76.2
1.5 5 11.9 11.9 88.1
2.2 1 2.4 2.4 90.5
2.6 2 4.8 4.8 95.2
7.2 2 4.8 4.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori ventilasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 23 54.8 54.8 54.8
Memenuhi Syarat 19 45.2 45.2 100.0
Total 42 100.0 100.0
Paparan asap rokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Pernah 7 16.7 16.7 16.7
Jarang 33 78.6 78.6 95.2
Sering 2 4.8 4.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
Luas jendela kamar tidur responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1.0 2 4.8 4.8 4.8
1.2 10 23.8 23.8 28.6
1.4 2 4.8 4.8 33.3
1.5 2 4.8 4.8 38.1
1.6 5 11.9 11.9 50.0
1.7 2 4.8 4.8 54.8
1.8 2 4.8 4.8 59.5
2.0 11 26.2 26.2 85.7
2.2 3 7.1 7.1 92.9
2.3 2 4.8 4.8 97.6
2.5 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori luas jendela sebagai sumber pencahayaan alami
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 38 90.5 90.5 90.5
Memenuhi Syarat 4 9.5 9.5 100.0
Total 42 100.0 100.0
Pencahayaan dalam ruang (LUX)
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 2.0 1 2.4 2.4 2.4
7.0 1 2.4 2.4 4.8
10.0 6 14.3 14.3 19.0
11.0 1 2.4 2.4 21.4
13.0 1 2.4 2.4 23.8
14.0 1 2.4 2.4 26.2
15.0 1 2.4 2.4 28.6
20.0 2 4.8 4.8 33.3
23.0 1 2.4 2.4 35.7
30.0 1 2.4 2.4 38.1
35.0 1 2.4 2.4 40.5
38.0 2 4.8 4.8 45.2
39.0 1 2.4 2.4 47.6
40.0 4 9.5 9.5 57.1
41.0 3 7.1 7.1 64.3
43.0 1 2.4 2.4 66.7
44.0 1 2.4 2.4 69.0
45.0 1 2.4 2.4 71.4
47.0 2 4.8 4.8 76.2
49.0 1 2.4 2.4 78.6
50.0 1 2.4 2.4 81.0
53.0 1 2.4 2.4 83.3
61.0 1 2.4 2.4 85.7
74.0 1 2.4 2.4 88.1
80.0 2 4.8 4.8 92.9
81.0 1 2.4 2.4 95.2
100.0 1 2.4 2.4 97.6
169.0 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori pencahayaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 39 92.9 92.9 92.9
Memenuhi Syarat 3 7.1 7.1 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori status ventilasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 16 38.1 38.1 38.1
Memenuhi Syarat 26 61.9 61.9 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kelembaban kamar tidur responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 22.3 2 4.8 4.8 4.8
36.3 1 2.4 2.4 7.1
37.6 2 4.8 4.8 11.9
38.5 2 4.8 4.8 16.7
38.9 1 2.4 2.4 19.0
40.4 1 2.4 2.4 21.4
40.9 2 4.8 4.8 26.2
41.6 2 4.8 4.8 31.0
55.5 2 4.8 4.8 35.7
60.5 2 4.8 4.8 40.5
60.6 3 7.1 7.1 47.6
61.6 3 7.1 7.1 54.8
61.7 2 4.8 4.8 59.5
62.2 2 4.8 4.8 64.3
63.5 2 4.8 4.8 69.0
68.9 2 4.8 4.8 73.8
69.4 1 2.4 2.4 76.2
69.8 1 2.4 2.4 78.6
70.3 1 2.4 2.4 81.0
70.7 1 2.4 2.4 83.3
72.6 1 2.4 2.4 85.7
73.0 1 2.4 2.4 88.1
74.8 1 2.4 2.4 90.5
75.5 1 2.4 2.4 92.9
76.2 1 2.4 2.4 95.2
78.5 1 2.4 2.4 97.6
78.6 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori kelembaban
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Memenuhi Syarat 25 59.5 59.5 59.5
Tidak Memenuhi Syarat 17 40.5 40.5 100.0
Total 42 100.0 100.0
Suhu kamar tidur responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 27.9 2 4.8 4.8 4.8
28.0 1 2.4 2.4 7.1
28.7 1 2.4 2.4 9.5
28.8 1 2.4 2.4 11.9
29.0 1 2.4 2.4 14.3
29.1 1 2.4 2.4 16.7
29.5 1 2.4 2.4 19.0
29.6 1 2.4 2.4 21.4
29.7 1 2.4 2.4 23.8
29.8 3 7.1 7.1 31.0
30.9 2 4.8 4.8 35.7
31.3 2 4.8 4.8 40.5
31.5 1 2.4 2.4 42.9
32.1 2 4.8 4.8 47.6
32.3 2 4.8 4.8 52.4
32.4 2 4.8 4.8 57.1
32.5 2 4.8 4.8 61.9
32.6 2 4.8 4.8 66.7
32.7 4 9.5 9.5 76.2
32.9 1 2.4 2.4 78.6
33.0 2 4.8 4.8 83.3
33.1 2 4.8 4.8 88.1
33.2 3 7.1 7.1 95.2
34.1 1 2.4 2.4 97.6
34.7 1 2.4 2.4 100.0
Total 42 100.0 100.0
Kategori suhu dalam kamar
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Memenuhi Syarat 13 31.0 31.0 31.0
Tidak Memenuhi Syarat 29 69.0 69.0 100.0
Total 42 100.0 100.0
Status terpapar polusi diluar rumah
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Jarang 19 45.2 45.2 45.2
Sering 23 54.8 54.8 100.0
Total 42 100.0 100.0
NAMA USIA
KATEGORI USIA
JENIS KELAMIN
PENDIDIKAN
KAT_PENDIDIKA
N
PEKERJAAN
STATUS BEKERJA
PENDAPATAN SUAMI
PENDAPATAN ISTRI
PENDAPATAN
LAIN
JUMLAH
PENDAPATAN
KATEGORI
PENDAPATAN
LAMA TB
KEPATUH
A OAT
PENDERITA LAIN
DURASI
KONSUMSI OAT
JENIS OAT
ALASAN INA
P
STATUS
PEROKOK
DURASI
MEROKO
K
FREKUENS
I MEROKO
K
KJENIS ROKOK
LUAS LANTAI
JUMLAH
ANGGOT
A KELUARG
A
SYARAT
KEPADATA
N
KATEGORI KEPADATA
N
LUAS VENTILA
SI
SYARAT
VENTILA
SI
KATEGORI VENTILASI
APSN
PAPARA
N ROKOK
LUAS
JENDEL
A
SYARAT JENDEL
A
KATEGORI JENDELA
PENCAHAYAA
N
KATEGORI
PENCAHAYAA
N
PROPOR
SI VENTILA
SI
STATUS
VENTILASI
KELEMBABAN
KATEGORI
KELEMBABAN
SUHU
KATEGORI SUH
U
PENAMPUN
G DAHA
K
PENGGUNAAN
ONB
POLUSI
INTERNA
L
PENDINGI
N UDAR
A
MEMBERSIHKA
N KAMAR
POLUSI
EKSTERNA
L
EMA 16
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Iya <6
Bulan
<10 Bulan
Kretek
50 2 25 Memenuhi Syarat
3.6 5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 7.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
40.4 Memenuhi
Syarat
34.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Jarang
SANIDIN
61
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
51 4 12.75 Memenuhi Syarat
4 5.1
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
4 7.65
Tidak Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
73
Tidak Memenuhi
Syarat
29.8
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
TRISNAWAT
I
35
<44 Tahu
n
Perempua
n
Diploma
Tinggi Tidak
Bekerja
Tidak
Bekerja
1,500,000
0 0 15000
00 Renda
h 6
Teratur
Tidak Ada
6 Tidak 72.5
10 7.25
Tidak Memenuhi Syarat
5 7.25
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
6 10.8
8
Tidak Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
72.6
Tidak Memenuhi
Syarat
29.6
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
TITIN TAMA
LA
43
<44 Tahu
n
Perempua
n
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Tidak Terat
ur
Tidak Ada
1 Tidak 24 2 12 Memenuhi Syarat
3.2 2.4
Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
2 3.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
20
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
70.3
Tidak Memenuhi
Syarat
29.1
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
BAHARI A
NAJIB
65
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMP/Sederaja
t Rendah Swasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 12
Teratur
Tidak Ada
1 Tidak 105 1 87.5 Memenuhi Syarat
6 10.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
8 15.7
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
30
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
69.8 Memenuhi
Syarat
28.7
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
HERIYANTO
37
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMP/Sederaja
t Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Ada 1 Rifampisin
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
154 4 38.5 Memenuhi Syarat
4 15.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
9 23.1
Memenuh
i Syara
t
100
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
38.9
Tidak Memenuhi
Syarat
31.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
RUKIAH
63
>44 Tahu
n
Perempua
n
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 6
Teratur
Tidak Ada
6 Tidak 34.4
5 6.88
Tidak Memenuhi Syarat
4 3.44
Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 5.16
Tidak Memenuh
i Syara
t
40
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
36.3
Tidak Memenuhi
Syarat
34.1
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
IBRAHIM
66
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi Swasta
Bekerja
1,500,000
0 0 15000
00 Renda
h 3
Teratur
Tidak Ada
3
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
60 5 12 Memenuhi Syarat
2.6 6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
6.5 9
Tidak Memenuh
i Syara
t
44
Tidak Memen
uhi Syarat
2
Memenuh
i Syara
t
37.6
Tidak Memenuhi
Syarat
32.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
SUGIONO
51
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
77 3 25.67 Memenuhi Syarat
4 7.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
7.5 11.5
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
39
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
38.5
Tidak Memenuhi
Syarat
33
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
OJAK JONI
49
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Ethambut
ol
Batuk
Berdarah
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
145 2 72.5 Memenuhi Syarat
4 14.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
13 21.7
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
169
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
40.9 Memenuhi
Syarat
32.3
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
AMAT AMAN
43
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Ada 1 Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
27 2 13.5 Memenuhi Syarat
2.5 2.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
3.4 4.05
Tidak Memenuh
i Syara
t
14
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
41.6 Memenuhi
Syarat
32.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
SUKARDI
60
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Tidak Terat
ur Ada
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
120 3 40 Memenuhi Syarat
7 12
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Sering
6 18
Tidak Memenuh
i Syara
t
13
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
60.5 Memenuhi
Syarat
30.9
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
HAMDAN
72
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Rifampisin
Batuk
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
140 4 35 Memenuhi Syarat
8 14
Tidak Memenuh
i
Tidak
Jarang
9.5 21
Tidak Memenuh
i
80
Tidak Memen
uhi Syarat
0.9 Memenuh
i 55.5
Memenuhi
Syarat
31.3
Tidak Memenuh
i
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
Syarat
Syarat
Syarat
Syarat
ACHMAD
TAHA
59
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Buruh Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 2
Teratur
Tidak Ada
2 Rifampisin
Batuk
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
60 2 30 Memenuhi Syarat
5.5 6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
5 9
Tidak Memenuh
i Syara
t
80
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
60.6 Memenuhi
Syarat
33.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Jarang
M. NUR
59
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah Swasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 6
Teratur
Ada 6 Rifampisin
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3.4 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 6.75
Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
0.6
Memenuh
i Syara
t
61.6 Memenuhi
Syarat
33.1
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
M. RIZAL
16
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 2.000.
000 20000
00 Tinggi 3
Teratur
Tidak Ada
3 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3.5 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
2
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
22.3
Tidak Memenuhi
Syarat
32.1
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
RUSTAM. E
70
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Buruh Bekerja
1,200,000
0 0 12000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Rifampisin
Batuk
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
112 2 56 Memenuhi Syarat
7.6 11.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
7 16.8
Tidak Memenuh
i Syara
t
7
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
61.7 Memenuhi
Syarat
32.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
LIM SUI
KHIM
58
>44 Tahu
n
Perempua
n
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
800,000
0 0 80000
0 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 22.5
2 11.25 Memenuhi Syarat
3.2 2.25
Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
2 3.38
Tidak Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
0.9
Memenuh
i Syara
t
62.2 Memenuhi
Syarat
32.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
KWEE HANG MUA
62
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 1.500.
000 15000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Ethambut
ol
Batuk
Berdarah
Tidak 36 2 18 Memenuhi Syarat
2 3.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Tidak
Pernah
2.5 5.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
10
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Memenuh
i Syara
t
63.5 Memenuhi
Syarat
32.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
MASYKUR
73
>44 Tahu
n
Laki-laki
Diploma
Tinggi PNS/TNI/POLRI
Bekerja
3,000,000
0 0 30000
00 Tinggi 1
Teratur
Tidak Ada
1 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 204 2 102 Memenuhi Syarat
8 20.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya
Tidak
Pernah
10 30.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
53
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
68.9 Memenuhi
Syarat
29.8
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
MARDIYA
31
<44 Tahu
n
Perempua
n
SMA/Sederaja
t Tinggi Swasta
Bekerja
1,600,000
1.000.000
0 26000
00 Tinggi 4
Teratur
Tidak Ada
4 Tidak 44 6 7.33
Tidak Memenuhi Syarat
3.2 4.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
2.5 6.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
41
Tidak Memen
uhi Syarat
2
Memenuh
i Syara
t
76.2
Tidak Memenuhi
Syarat
29
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
M. DJOH
AN
69
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMP/Sederaja
t Rendah Swasta
Bekerja
0 0 1.000.
000 10000
00 Renda
h 3
Teratur
Tidak Ada
3
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
96.3
2 48.15 Memenuhi Syarat
6.5 9.63
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
8 14.4
4
Memenuh
i Syara
t
61 Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
70.7
Tidak Memenuhi
Syarat
28.8
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
EDI AMIN
40
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi Swasta
Bekerja
1,800,000
0 0 18000
00 Renda
h 7
Teratur
Tidak Ada
6 Rifampisin
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
112 2 56 Memenuhi Syarat
8.5 11.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
7 16.8
Tidak Memenuh
i Syara
t
81 Memen
uhi Syarat
2
Tidak Memenuh
i Syara
t
69.4 Memenuhi
Syarat
27.9
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Ya Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Jarang
AODIN
13
<44 Tahu
n
Perempua
n
SMP/Sederaja
t Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 2.000.
000 20000
00 Tinggi 1
Teratur
Tidak Ada
1 Tidak 185 5 37 Memenuhi Syarat
7.5 18.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya
Tidak
Pernah
8.5 27.7
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
50
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
78.6
Tidak Memenuhi
Syarat
27.9
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
ILHAM
SULUNG
17
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 2.500.
000 25000
00 Tinggi 2
Teratur
Tidak Ada
2 Tidak 153 4 38.25 Memenuhi Syarat
9 15.3
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya
Tidak
Pernah
10 22.9
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
15
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
78.5
Tidak Memenuhi
Syarat
28
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
RINIF 55
>44 Tahu
n
Perempua
n
SMA/Sederaja
t Tinggi
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,500,000
0 0 15000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Tidak 76.8
3 25.6 Memenuhi Syarat
5 7.68
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
5 11.5
2
Tidak Memenuh
i Syara
t
74 Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
74.8
Tidak Memenuhi
Syarat
29.7
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
RUSTAM
MAHMUD
72
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Tidak
Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 1.000.
000 10000
00 Renda
h 5
Teratur
Tidak Ada
5
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
84 3 28 Memenuhi Syarat
6 8.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Tidak
Pernah
7 12.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
11
Tidak Memen
uhi Syarat
2
Tidak Memenuh
i Syara
t
75.5
Tidak Memenuhi
Syarat
29.5
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
HEN NYIT SIN
56
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMP/Sederaja
t Rendah Swasta
Bekerja
500,000
0 0 50000
0 Renda
h 7
Tidak Terat
ur
Tidak Ada
7
Batuk
Berdarah
Tidak 33.2
2 16.6 Memenuhi Syarat
2 3.32
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
3 4.98
Tidak Memenuh
i Syara
t
23
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
61.6 Memenuhi
Syarat
32.9
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
SUMINAH
58
>44 Tahu
n
Perempua
n
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
800,000
0 0 80000
0 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 36 2 18 Memenuhi Syarat
2.5 3.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
3.5 5.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
40
Tidak Memen
uhi Syarat
0.9
Memenuh
i Syara
t
62.2 Memenuhi
Syarat
32.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
JUNAIDI
62
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 1.000.
000 10000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Ethambut
ol
Batuk
Berdarah
Tidak 45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Tidak
Pernah
4.4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
40
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Memenuh
i Syara
t
63.5 Memenuhi
Syarat
32.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
ABDUL
MUNI
70
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Buruh Bekerja
1,200,000
0 0 12000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Rifampisin
Batuk
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
38
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
61.7 Memenuhi
Syarat
32.7
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
JAHARI
44
<44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah Swasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 6
Teratur
Ada 6 Rifampisin
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i
Tidak
Jarang
4 6.75 Memenuh
i 20
Tidak Memen
uhi Syarat
0.6 Memenuh
i 61.6
Memenuhi
Syarat
33.1
Tidak Memenuh
i
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
Syarat
Syarat
Syarat
Syarat
RIZAL FAHLE
VI
26
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
0 0 2.000.
000 20000
00 Tinggi 3
Teratur
Tidak Ada
3 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 45 2 22.5 Memenuhi Syarat
2.7 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
41
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
22.3
Tidak Memenuhi
Syarat
32.1
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
SORAN
32
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi Swasta
Bekerja
1,500,000
0 0 15000
00 Renda
h 3
Teratur
Tidak Ada
3
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Kretek
45 5 9 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
49
Tidak Memen
uhi Syarat
2
Memenuh
i Syara
t
37.6
Tidak Memenuhi
Syarat
32.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
A. RANI
51
>44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
50 3 16.67 Memenuhi Syarat
4 5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
3.2 7.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
47
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
38.5
Tidak Memenuhi
Syarat
33
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
REZA F
22
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
0 0 1.000.
000 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Tidak Ada
1 Ethambut
ol
Batuk
Berdarah
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
2 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
43
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
40.9 Memenuhi
Syarat
32.3
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Sering
RIKO 36
<44 Tahu
n
Laki-laki
Diploma
Tinggi PNS/TNI/POLRI
Bekerja
3,000,000
0 0 30000
00 Tinggi 1
Teratur
Tidak Ada
1 Ethambut
ol
Batuk
Tidak 36 2 18 Memenuhi Syarat
2 3.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya
Tidak
Pernah
2.3 5.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
47
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
68.9 Memenuhi
Syarat
29.8
Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
FAUZAN
59
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Buruh Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 2
Teratur
Tidak Ada
2 Rifampisin
Batuk
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
45 2 22.5 Memenuhi Syarat
3 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
45
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
60.6 Memenuhi
Syarat
33.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Jarang
RENALDI
43
<44 Tahu
n
Laki-laki
SMA/Sederaja
t Tinggi
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Teratur
Ada 1 Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
85 2 42.5 Memenuhi Syarat
5 8.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
7 12.7
5
Tidak Memenuh
i Syara
t
35
Tidak Memen
uhi Syarat
1.6
Tidak Memenuh
i Syara
t
41.6 Memenuhi
Syarat
32.4
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
AMMAR
60
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Wiraswasta
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 1
Tidak Terat
ur Ada
Batuk
Berdarah
Tidak, Sebelumnya Iya
>6 Bula
n
>10 Bulan
Filter
60 3 20 Memenuhi Syarat
4 6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Sering
6 9
Tidak Memenuh
i Syara
t
38
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
60.5 Memenuhi
Syarat
30.9
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Sering
KARDUN
46
>44 Tahu
n
Laki-laki
Tidak Bersek
olah Rendah
Tidak Bekerja
Tidak
Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 4
Teratur
Tidak Ada
4 Rifampisin
Batuk
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
45 4 11.25 Memenuhi Syarat
2 4.5
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak
Jarang
4 6.75
Tidak Memenuh
i Syara
t
40
Tidak Memen
uhi Syarat
0.9
Memenuh
i Syara
t
55.5 Memenuhi
Syarat
31.3
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Tidak
1-2 kali semingg
u
Jarang
AMI NUAR
52
>44 Tahu
n
Laki-laki
SD/Sederajat
Rendah Buruh Bekerja
1,000,000
0 0 10000
00 Renda
h 2
Teratur
Tidak Ada
2 Rifampisin
Batuk
Iya >6
Bulan
>10 Bulan
Filter
60 2 30 Memenuhi Syarat
4.6 6
Tidak Memenuh
i Syara
t
Ya Jarang
5.5 9
Tidak Memenuh
i Syara
t
41
Tidak Memen
uhi Syarat
1.2
Memenuh
i Syara
t
60.6 Memenuhi
Syarat
33.2
Tidak Memenuh
i Syara
t
Tidak Ada
Tidak Tida
k Ya
1-2 kali semingg
u
Jarang