11
JURNAL KEBIDANAN Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana Di Desa Lingkung Pasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut Roslianti R, Undang Santosa, Rani Nurparidah Program Studi Diploma III Akademi Kebidanan Medika Obgin Bandung ABSTRAK Masalah kependudukan tetap menjadi masalah utama bagi negara- negara berkembang khususnya negara Indonesia. Oleh karena itu, salah satu alternatif dalam rangka mengatasi permasalahan kependudukan di Indonesia adalah dengan menjalankan program KB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Akseptor Keluarga Berencana di Desa Lingkung Pasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportionate stratified simple random sampling. Teknik pengumpulan data diperoleh dari hasil survei dengan menggunakan kuesioner dan data penunjang lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 45.6% menggunakan metode kontrasepsi suntik dengan alasan karena kecocokan, responden usia <20 tahun memilih suntik, 20-35 memilih suntik dan pil, >35 memilih pil, paritas 1, 2-3, dan ≥4 memilih kontrasepsi suntik, pendidikan 0-6, 7-9, dan > 12 memilih kontrasepsi suntik, pekerjaan wiraswasta dan penghasilan <500.000 memilih suntik, efek samping yang paling banyak dirasakan pada akseptor suntik yaitu tidak menstruasi, pada pil pusing dan mual, pada IUD tidak menstruasi, pada Implan pegal-pegal, pengambilan keputusan oleh dirinya sendiri, responden menggunakan alat kontrasepsi dalam kurun waktu 1-5 tahun, mendapatkan informasi mengenai alat kontrasepsi dari kader, dan mendapatkan pelayanan KB di Puskesmas. Kata Kunci: Akseptor KB, suntik, efek samping, pengambil keputusan PENDAHULUAN Masalah kependudukan tetap menjadi masalah utama bagi negara-

Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TRY

Citation preview

Page 1: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

JURNAL KEBIDANAN

Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana Di Desa Lingkung Pasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut

Roslianti R, Undang Santosa, Rani Nurparidah Program Studi Diploma III Akademi Kebidanan Medika Obgin Bandung

ABSTRAKMasalah kependudukan tetap menjadi masalah utama bagi negara-negara berkembang khususnya negara Indonesia. Oleh karena itu, salah satu alternatif dalam rangka mengatasi permasalahan kependudukan di Indonesia adalah dengan menjalankan program KB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran Akseptor Keluarga Berencana di Desa Lingkung Pasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportionate stratified simple random sampling. Teknik pengumpulan data diperoleh dari hasil survei dengan menggunakan kuesioner dan data penunjang lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 45.6% menggunakan metode kontrasepsi suntik dengan alasan karena kecocokan, responden usia <20 tahun memilih suntik, 20-35 memilih suntik dan pil, >35 memilih pil, paritas 1, 2-3, dan ≥4 memilih kontrasepsi suntik, pendidikan 0-6, 7-9, dan > 12 memilih kontrasepsi suntik, pekerjaan wiraswasta dan penghasilan <500.000 memilih suntik, efek samping yang paling banyak dirasakan pada akseptor suntik yaitu tidak menstruasi, pada pil pusing dan mual, pada IUD tidak menstruasi, pada Implan pegal-pegal, pengambilan keputusan oleh dirinya sendiri, responden menggunakan alat kontrasepsi dalam kurun waktu 1-5 tahun, mendapatkan informasi mengenai alat kontrasepsi dari kader, dan mendapatkan pelayanan KB di Puskesmas.

Kata Kunci: Akseptor KB, suntik, efek samping, pengambil keputusan

PENDAHULUANMasalah kependudukan tetap menjadi masalah utama bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Masalah pokok dalam bidang kependudukan yang dialami diantaranya jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi, persebaran penduduk yang tidak merata, struktur umur muda, dan kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan. Oleh karena itu, salah satu alternatif dalam rangka mengatasi permasalahan kependudukan di Indonesia adalah dengan menjalankan program Keluarga Berencana (KB).Program KB adalah bagian yang terpadu (integral) dalam program pembangunan nasional dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual dan sosial budaya penduduk Indonesia agar dapat dicapai  keseimbangan yang baik dengan kemampuan produksi nasional. Program gerakan KB nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga kecil yang makin mandiri. Keberhasilan ini mutlak harus diperhatikan bahkan terus ditingkatkan karena pencapaian tersebut belum merata.Paradigma baru program KB Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) menjadi “Keluarga Berkualitas 2015”. Untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas adalah keluarga sejahtera, sehat,

Page 2: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Program KB selain upaya untuk mewujudkan keluarga berkualitas melalui promosi, perlindungan, dan bantuan dalam mewujudkan hak-hak reproduksi juga untuk penyelenggaraan pelayanan, pengaturan, dan dukungan yang diperlukan untuk membentuk keluarga dengan usia kawin yang ideal; mengatur jumlah, jarak dan usia ideal melahirkan anak. Program KB telah memberikan hasil yang bermakna terhadap penurunan angka kelahiran. Hal ini bisa diukur dari angka kelahiran perwanita subur/Total Fertility Rate (TFR) yang pada tahun 1970-an sebesar 5,6 anak menjadi 3,0 anak pada tahun 1990 dan 2,6 anak pada tahun 2002-2003. Angka kematian ibu hamil dan melahirkan juga menurun yaitu 500-600 per 100.000 kelahiran diduga sudah menurun menjadi sekitar 337 per 100.000 kelahiran pada tahun 1997 dan menjadi sekitar 300-305 per 100.000 kelahiran pada tahun 2004. Berdasarkan survei terakhir SDKI tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Selisih antara tingkat kelahiran dan kematian ini menunjukkan angka pertumbuhan alami di Indonesia, dimana hal tersebut merupakan indikator pertumbuhan penduduk.Cakupan KB di Indonesia pada awal tahun 2010 meliputi suntik 43.4%, Pil 26.7%, kondom 13.7%, implan 10.5%, IUD 4.3%, MOW 1.07%, MOP 0.2%. Berdasarkan data BKKBN provinsi Jawa Barat pada Tahun 2010, cakupan KB di Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut: KB suntik 54.38%, pil 30.17%, IUD 12.35%, implan 4.57%, MOW 2.53%, MOP 1.03%, dan kondom 1.21%,.BKKBN Propinsi Jawa Barat pada akhir tahun 2009 mencantumkan juga mengenai perincian daerah kabupaten Garut, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kabupaten Garut tercatat sebesar 454.340 orang. Dengan jumlah peserta KB aktif sebanyak 324.046 orang, dengan perincian sebagai berikut suntik 49.25%, pil 22.47%, IUD 12.18%, implan 5.21%, MOW 0.98%, MOP 0.05%, dan kondom 9.85 %.Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kecamatan Cibiuk tercatat sebesar 6.747 orang. Dengan jumlah peserta KB aktif sebanyak 4.225 orang, dengan perincian sebagai berikut suntik 49.25%, pil 22.47%, IUD 12.18%, implan 5.21%,  MOW 0.98%, MOP 0.05%, dan kondom 9.85%.

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut WHO Expert Commite (1970), Keluarga Berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk: mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindarkan kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, mengatur interval diantara kelahiran, mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri, menentukan jumlah anak dalam keluarga. Pengertian Program Keluarga Berencana menurut UU No 10 tahun 1992 (tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera.Sasaran program KB dibagi menjadi 2 yaitu sasaran langsung dan sasaran tidak langsung, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai. Sasaran langsungnya adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran

Page 3: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

dengan cara penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan. Sedangkan sasaran tidak langsungnya adalah pelaksana dan pengelola KB, dengan tujuan menurunkan tingkat kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan terpadu dalam rangka mencapai keluarga yang berkualitas, keluarga sejahtera.Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), 2005 dalam pelaksanaanya, Program KB masih mengalami beberapa hambatan. Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, masih sekitar 40% pasangan usia subur (PUS) yang belum menjadi peserta KB. Faktor-faktor yang menyebabkan PUS enggan menjadi peserta KB antara lain: segi pelayanan; hingga saat ini pelayanan KB masih kurang berkualitas terbukti dari: peserta KB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi relatif masih banyak dengan alasan efek samping, kesehatan dan kegagalan pemakaian, Ssegi ketersediaan alat kontrasepsi; dengan kebijaksanaan “Sistem Kafetaria” yang diterapkan BKKBN, calon peserta KB dapat memilih sendiri alat maupun metoda kontrasepsi yang sesuai keinginanya, segi penyampaian konseling maupun KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), hambatan budaya; di beberapa daerah masih ada masyarakat yang akrab dengan budayanya “banyak anak banyak rejeki, tiap anak membawa rejekinya sendiri - sendiri “atau” anak sebagai tempat bergantung di hari tua”, kelompok wanita yang sudah tidak ingin anak lagi tetapi tidak mengunakan  alat kontrasepsi (unmet need), kelompok hard core yaitu kelompok wanita yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi baik pada saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Selain kelompok wanita yang dengan tegas menolak KB, dalam SDKI juga di temukan 14% kelompok wanita yang masih ragu-ragu apakah akan ikut KB atau tidak pada waktu yang akan datang. Jika kelompok ini dapat didekati dengan melakukan KIE khusus. Mereka masih mungkin diharapkan bersedia untuk menjadi peserta KB di masa yang akan datang. Jika tindakan ini berhasil, tentunya akan dapat memberikan kontribusi pada peningkatan angka prevalensi yang berdampak pada menurunya angka fertilitas di Indonesia.

METODE PENELITIANMetode penelitian yang digunakan dalam penelitian saat ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana pengamatan dilakukan terhadap subjek penelitian pada suatu saat atau periode tertentu. Populasi dalam penelitian saat ini adalah seluruh pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB di Desa Lingkung Pasir Kecamatan Cibiuk Kabupaten Garut. Jumlah pasangan usia subur yang merupakan akseptor KB aktif adalah 888 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling). Pada penelitian ini, sampel yang diambil berdasarkan jenis kontrasepsi dari masing-masing akseptor.

HASILPENELITIANKesadaran masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi sudah cukup baik, dilihat dari sudah meratanya distribusi penggunaan jenis kontrasepsi, walaupun peranan pria disini belum ada. Hal ini ditunjukkan oleh data sekunder yang ada di buku registrasi desa, dimana tidak ada satupun akseptor KB pria. Akseptor KB selalu mempertimbangkan pemilihan jenis kontrasepsi. Pertimbangan dilakukan dengan baik agar dapat meminimalisir efek samping yang diberikan oleh setiap jenis kontrasepsi. Partisipasi masyarakat di Desa Ligkung Pasir menunjukkan bahwa peserta KB aktif

Page 4: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

yang memilih alat kontrasepsi suntik tetap menduduki peringkat tertinggi bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi yang lainnya, meskipun akseptor dalam kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini menggambarkan kesadaran yang tinggi untuk ber KB walaupun dengan mengeluarkan biaya sendiri.Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 100% responden dengan usia <20 tahun memilih alat kontrasepsi suntik, 54% atau 27 responden dengan usia 20-35 tahun memilih alat kontrasepsi suntik, sedangkan 35.9% atau 14 responden dengan usia > 35 tahun memilih alat kontrasepsi pil.Akseptor dengan usia kurang dari 20 tahun dianjurkan untuk menunda kehamilanya karena usia di bawah 20 tahun adalah usia yang sebaiknya tidak mempunyai anak dulu karena berbagai alasan. Akan tetapi pada hasil penelitian menunjukkan sesuatu hal yang tidak sesuai dimana akseptor dengan usia <20 tahun berminat terhadap jenis kontrasepsi suntik. Hal tersebut dapat diduga karena ketakutan akseptor terhadap efek sampingnya, karena keinginannya untuk langsung mempunyai anak, atau karena ketidaktahuannya terhadap alat kontrasepsi.Usia istri di atas 30 tahun, terutama di atas 35 tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah memiliki 2 orang anak. Karena alasan medis dan alasanya lainnya, ibu-ibu dengan usia di atas 30 tahun dianjurkan untuk tidak hamil/tidak punya anak lagi. Pilihan utama adalah kontrasepsi mantap. Akan tetapi pada hasil penelitian di atas responden dengan usia > 35 tahun sebagian besar masih banyak menggunakan alat kontrasepsi pil. Hal ini dapat membuktikan bahwa masih kurangnya sosialisasi dari petugas mengenai alat kontrasepsi jangka panjang dan efektif terhadap para akseptor dengan usia > 35 tahun.Dari penelitian yang dilakukan bahwa responden dengan paritas 1, 2-3, dan ≥ 4 sebagian besar memilih alat kontrasepsi suntik.Mayoritas responden memiliki paritas dengan frekuensi 2-3, akan tetapi responden yang paritasnya ≥ 4 juga memiliki jumlah yang tinggi dengan selisih yang sedikit yaitu hanya 4.4 %. Apabila dikaitkan dengan usia responden yang mayoritas masih tergolong usia muda dengan kemampuan reproduksi yang tinggi, maka peluang untuk menambah anak masih cukup tinggi. Hal ini didukung dengan jumlah paritas ≥ 4 masih tinggi sehingga dikhawatirkan pasangan usia subur masih menginginkan untuk menambah jumlah anak.

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi dan penggunaan alat kontrasepsi. Berdasarkan SDKI 2002-2003, pemakaian alat kontrasepsi meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan. Sebesar 45% wanita yang tidak sekolah menggunakan cara kontrasepsi modern, sedangkan wanita berpendidikan menengah atau lebih tinggi yang menggunakan cara kontrasepsi modern sebanyak 58%. Jadi, secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan wanita, semakin besar kemungkinannya memakai alat/cara KB modern.Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan 0-6, 7-9, dan > 12 memilih alat kontrasepsi suntik, kecuali 100% responden dengan tingkat pendidikan 10-12 tahun banyak memilih alat kontrasepsi pil.Apabila mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh SDKI tahun 2002-2003, tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden di Desa Lingkung Pasir tidak berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi, karena walaupun tingkat pendidikan berbeda-beda tapi sebagian besar responden memilih alat kontrasepsi yang sama.

Page 5: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

Di pedesaan juga masih percaya terhadap budaya yang mengatakan bahwa wanita tidak memerlukan pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya wanita akan menjadi seorang ibu rumah tangga. Sehingga berdasarkan pemahaman tersebut angka pernikahan dini di desa masih tinggi karena setelah wanita menyelesaikan pendidikannya dan sudah dianggap mampu untuk menikah maka wanitapun sebagian besar menikah setelah selesai menjalani pendidikan walaupun tingkat pendidikan masih rendah. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa Ibu yang tidak bekerja banyak memilih kontrasepsi suntik dan pil, 100% dari buruh tani dan PNS memilih alat kontrasepsi suntik, sedangkan ibu yang bekerja sebagai wiraswasta memilih alat kontrasepsi pil.Pekerjaan dari peserta KB dan suami akan mempengaruhi pendapatan dan status ekonomi keluarga. Suatu keluarga dengan status ekonomi tinggi terdapat perilaku fertilitas yang mendorong terbentuknya keluarga besar. Status pekerjaan dapat berpengaruh terhadap keikutsertaan dalam KB karena adanya faktor pengaruh lingkungan pekerjaan yang mendorong seseorang untuk ikut dalam KB, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi status dalam pemakaian kontrasepsi.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa responden dengan penghasilan keluarga perbulannya <500.000 dan 500.000-1.000.000 akan memilih suntik dan pil sebagai alat kontrasepsinya. Sedangkan responden yang memiliki penghasilan > 1.000.000 memilih suntik sebagai alat kontrasepsinya.Penghasilan memiliki pengaruh yang sama seperti pekerjaan karena erat kaitannya dengan kemampuan biaya yang dapat dicapai oleh akseptor untuk memilih alat kontrasepsi. Akan tetapi disini akseptor dengan peghasilan berapapun dapat memilih alat kontrasepsi apapun yang efektif dengan tanpa mengeluarkan biaya karena adanya bantuan dari pemerintah tadi. Sehingga pekerjaan dan penghasilan tidak terlalu membedakan status alat kontrasepsi seseorang.Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa efek samping yang sering dialami oleh akseptor KB suntik adalah tidak terjadinya menstruasi yaitu sebanyak 75.61% atau 31 responden. Pada akseptor pil efek samping yang sering dirasakan adalah pusing dan mual 31.43% dan ASI berkurang 2.86%. Efek samping yang sering dialami oleh akseptor KB IUD adalah tidak terjadi menstruasi sebanyak 16.67%. Sebanyak 33.33% akseptor mengalami efek samping pegal-pegal, sedangkan pada akseptor MOW 100% responden tidak merasakan keluhan.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh titik purwanti efek samping yang tersering adalah amenore sebanyak 55%, perdarahan bercak 27,5%, perdarahan bercak yang banyak dan atau memanjang sebanyak 7,5%, mual/pusing sebanyak 10% dari 40 responden.Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa Pengambilan keputusan untuk jenis kontrasepsi suntik, Pil, IUD, dan Implan adalah atas pilihannya sendiri. Kecuali untuk jenis kontrasepsi MOW pengambilan keputusannya dibantu oleh petugas kesehatan.Dalam memilih jenis alat kontrasepsi, perlu pertimbangan yang matang sebelum menentukan pilihan. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir terjadinya efek samping atau keluhan-keluhan yang dapat mengganggu keberlangsungan penggunaan alat kontrasepsi. Informasi mengenai suatu jenis alat kontrasepsi dapat diperoleh dari siapapun khususnya Bidan sebagai tenaga kesehatan terdekat. Akan tetapi, pengambilan keputusan tidak sepenuhnya ada di tangan bidan karena akseptor mempunyai hak untuk menentukan pilihannya sendiri.

Page 6: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

Berdasarkan penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa responden dengan akseptor suntik, Pil, dan Implan menggunakan alat kontrasepsinya sebagian besar dalam kurun waktu 1-5 tahun. Untuk alat kontrasepsi IUD 50% responden menggunakan alat kontrasepsinya dalam kurun waktu 6-10 tahun, sedangkan pada alat kontrasepsi MOW 100% responden menggunakan alat kontrasepsi tersebut selama 11-15 tahun.Setiap jenis alat kontrasepsi memiliki batasan lama waktu atau jangka waktu agar berfungsi secara maksimal. Efektifitas setiap jenis alat kontrasepsi berbeda-beda. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) memiliki efek jangka panjang sampai 10 tahun, Implan memiliki efek jangka panjang 3-5 tahun, untuk jenis suntik ataupun pil tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lebih dari 3 tahun karena efek sampingnya menuju ke arah kekeroposan tulang.

Informasi mengenai alat kontrasepsi dapat diperoleh dari mana saja. Mulai dari mulut ke mulut, media cetak, media elektronik, petugas-petugas yang ada di desa seperti Kader Posyandu, Bidan, Mantri, Dokter ataupun Petugas Keluarga Berencana.Informasi yang lengkap sangat diperlukan agar akseptor mengetahui berbagai jenis kontrasepsi begitu pula efek samping yang ditimbulkannya. Sehingga semua akseptor dapat mempertimbangkan pemilihan terhadap salah satu jenis alat kontrasepsi.

Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa 100% responden akseptor KB suntik mendapatkan pelayanan KB di Puskesmas. Sekitar 57.14% responden yang menjadi akseptor Pil mendapatkan pil dari kader dan 40% responden mendapatkannya dari apotek. Pada jenis kontrasepsi IUD dan Implan 100% responden mendapatakan pelayanan di Puskesmas dan 100% responden yang merupakan akseptor MOW mendapatkan pelayanan di Rumah Sakit.

KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dan analisis data, maka dapat diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut: sebagian besar responden yaitu 45.6% menggunakan metode kontrasepsi suntik dan menggunakan kontrasepsi tersebut dengan alasan karena kecocokan,  responden usia <20 tahun 100% memilih kontrasepsi suntik, berdasarkan paritas 1-≥4 memilih kontrasepsi suntik, tingkat pendidikan 0-6, 7-9, dan > 12 memilih kontrasepsi suntik, ibu yang tidak bekerja memilih kontrasepsi suntik dan pil, responden dengan pekerjaan suami wiraswasta memilih suntik, penghasilan keluarga perbulan >1.000.000 memilih suntik, efek samping yang sering dialami akseptor KB suntik adalah 75.61% tidak terjadi menstruasi, 31.43% akseptor Pil mengalami pusing dan mual, 16.67% akseptor IUD mengeluh tidak menstruasi, dan 33.33% akseptor implan mengeluh pegal-pegal.

DAFTAR PUSTAKAWiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan: Dinamika Kependudukan dan Keluarga Berencana. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2007. p. 889-904.

Handayani S. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana: Program KB di Indonesia.

Page 7: Gambaran Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Akseptor Keluarga Berencana

Yogyakarta: Pustaka Rihama; 2010. p. 27-40.

Pinem S. Kesehatan Reproduksi & Kontrasepsi: Keluarga Berencana (Wijaya N, copy editor). Jakarta: Trans Info Media; 2009. p. 188-195

BKKBN. Hasil Pengolahan Laporan Bulanan Pengendalian Lapangan (F/1/KAB-DL) Bulan Januari s/d Desember Tahun 2010.

Gunadarma. Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan. [Online]. 2010 [cited 2011 Agust 18]; Available from: URL:http://elearning.gunadarma.ac.id

Yulifah R. Yuswanto TJA. Asuhan Kebidanan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika; 2009. p. 13-20.

Hapsah. Profil Kontrasepsi pada Masyarakat Nelayan di Kelurahan Lapulu Kendari Tahun 2008. Bandung: Laporan Tugas Akhir Program D4 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2008.

Saifuddin AB, Affandi B, Baharuddin M, Soekir S, editors. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi: Metode Kontrasepsi. 2nd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. p. MK-1 – MK-87

BKKBN. Panduan KB Mandiri. Jakarta: Falma Arika; 2005. p. 27

Depkes RI. Rekapitulasi Data. 2008

Hidayat AAA. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika; 2007. p. 50-51

Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. p. 182-183, 168

Darwis SD. 2003. Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur, Kebijakan, dan Etik. Jakarta: EGC. 69,146

Martini, Neneng. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketidakikutsertaan Keluarga Berencana di RW 11 Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung 2009. Periode 2009. Bandung: Universitas Padjadjaran. Program Diploma Kebidanan. 2010.

BKKBN. Sumber Advokasi KB. Jakarta: Falma Arika; 2003. p. 20

BKKBN. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; 2000.

Hantanto H. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 1994.