Upload
tranliem
View
233
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Gambaran Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Autisme Serta Peranannya Dalam Terapi Autisme
Sri Rachmayanti
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
JURNAL
BAB 1
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai penerimaan
orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Disamping
itu untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penerimaan orang tua terhadap
anak autisme, untuk melihat lebih mendalam bagaimana tahap-tahap orang tua
yang dilalui dalam proses penerimaan dan faktor-faktor apa saja yang yang
mempengaruhi proses penerimaan serta bagaimana peran serta orang tua dalam
yang efektif sehingga dapat mengoptimalkan jalannya terapi yang dijalani oleh
anaknya.
Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun
demikian sering terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah
perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya adalah autisme. Autisme
merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang
ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interakasi sosial),
gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan
untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama.
Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak
percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak
mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase
ini, sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penerimaan. Pada sebagian orang
tua yang segera menyadari kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme sangat mungkin akan lebih baik dalam penanganan nantinya. Proses yang
dilalui orang tua beragam, tentunya semakin cepat tahapan-tahapan yang dapat
mereka lalui, maka akan semakin cepat akhirnya sampai pada tahap penerimaan.
Dengan demikian semakin cepatnya penerimaan orang tua terhadap anak autisme,
hal itu dapat membantu anak untuk menjadi lebih optimal dalam
penatalaksanaannya.
Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan, orang tua
dituntut mengerti hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan
terapi penyembuhan untuk anaknya. Meskipun semakin intensif semakin baik,
intervensi ini tidak hanya dalam bentuk penanganan terus menerus setiap hari.
Setidaknya ada usaha orang tua dan keluarga terus menerus melakukan
pendampingan pada anak sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses
pengajaran anak. Keterlibatan langsung ini sangat berpengaruh pada
perkembangan anak. Para ahli tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua dan
terapi tidak akan efektif bila orang tua tidak dapat bekerja sama. Bagaimanapun
hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tua.
BAB 2
Karakteristik tentang autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Kanner
(dalam Berkell, 1992) yang mendeskripsikan gangguan ini dengan tiga kriteria
umum, yaitu gangguan pada hubungan interpersonal, gangguan pada
perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau
melakukan tingkah laku yang sama. Autisme adalah suatu gangguan
perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan
aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun.
Bahkan pada autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir (Suryana, 2004).
Penyebab autisme adalah multifaktor, kemungkinan besar disebabkan adanya
kerentanan genetik seperti infeksi virua selama kehamilan, bahan-bahan kimia
serta polutan.
Kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih,
khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa
anaknya mengalami gangguan autisme. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi
emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang
tua tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Hal ini adalah persoalan yang
sangat sulit dihadapi para orang tua dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengan
keadaan tersebut, serta dipaksa untuk menerima kenyataan yang menekan ini.
Ross (dalam Sarasvati 2004), dalam bukunya “On Death and Dying”
membahas reaksi-reaksi manusia dalam menghadapi “cobaan” dalam hidup ini.
Beliau membaginya menjadi lima tahap, (dalam konteks orang tua dari anak-anak
dengan kebutuhan khusus) tahapan ini bisa dijabarkan sebagai berikut:
a. Tahap Denial (menolak menerima kenyataan)
Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli,
perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti
diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal
ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena
umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka.
Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang
sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui
bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi
bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan
untuk memberikan keturunan yang ”sempurna”. Kadang dalam hati muncul
pernyataan ”tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah
terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”.
b. Tahap Anger (marah)
Reaksi marah ini bisa dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa
kepada dokter yang memberi diagnosa. Bisa kepada diri sendiri atau kepada
pasangan hidup. Bisa juga, muncul dalam bentuk menolak untuk mengasuh anak
tersebut. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa
marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa kami yang
mrengalami ini?” atau ”Apa salah kami?”
c. Tahap Bargaining (menawar)
Pada tahap ini, orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan
seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik
dengan sendirinya”.
d. Tahap Depression (depresi)
Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan.
Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu,
yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil,
atau akibat dosa di masa lalu. Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena
merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna.
Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai
membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka
memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka
meninggal.
Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk
pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup mandiri dan berguna bagi orang
lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari
lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup.
e. Tahap Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan)
Pada tahap ini, orang tua sudah menjadi kenyataan baik secara emosi
maupun intelektual. Sambil mengupayakan ”penyembuhan”, mereka mengubah
persepsi dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung
mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak
mereka.
Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara
berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali
muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak ”sempurnaan” anak mereka
(bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap
awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan
penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat
membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak
menerima kenyataan (denial) (Sarasvati, 2004).
Menurut Puspita seorang psilokolg, bentuk penerimaan orang tua dalam
penanganan autisme adalah sebagai berikut
(http://puterakembara.org/rm/peran_ortu.htm) :
a. Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan
kekurangan).
Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak
diantara orang tua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari
dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan
nenek-kakek dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru
berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang
tuanya.
b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak.
c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak.
d. Memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak.
e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan
dimasa depan.
Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua
bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang
pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali
kedunianya. Ada baiknya orang tua bisa bersikap lebih santai dan “hangat”
setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif, biasanya
membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke
arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak
(langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autis yang sulit
untuk diarahkan, dididik dan dibina.
f. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak.
Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus
memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam
membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat
menetapkan kebutuhan anak.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penerimaan orang tua
terhadap anak autisme, berikut ini adalah penjabarannya :
a. Dengan semakin kuatnya dukungan keluarga besar, orang tua akan terhindar
dari merasa ”sendirian”, sehingga menjadi lebih ”kuat” dalam menghadapi
”cobaan” karena dapat bersandar pada keluarga besar mereka.
b. Keuangan keluarga yang memadai, memberikan kesempatan yang lebih baik
bagi orang tua untuk dapat memberikan ”penyembuhan” bagi anak mereka.
Dengan kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula kemungkinan
orang tua untuk dapat memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses
”penyembuhan” juga akan semakin cepat.
c. Latar belakang agama yang kuat, relatif membuat orang tua lebih mampu
menerima ”cobaan”, karena percaya bahwa cobaan itu datang untuk kebaikan
perkembangan sipiritualnya. Kepercayaan yang kuat kepada Yang Maha
Kuasa membuat orang tua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai
dengan porsi yang mampu mereka hadapi. Dengan keyakinan tersbut, mereka
mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan percaya bahwa suatu
saat, anak tersebut akan mengalami kemajuan.
d. Dokter ahli yang simpatik, membuat orang tua merasa dimengerti dan
dihargai. Apalagi jika dokter memberikan dukungan dan pengarahan kepada
orang tua (atas apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya). Sikap dokter
ahli yang berempati, membuat orang tua merasa memiliki harapan, bahwa
mereka tidak sendirian dalam menghadapi ”cobaan” hidup ini.
e. Demikian pula dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari
penyembuhan. Disisi lain, latar belakang pendidikan yang baik, memberikan
kepercayaan diri yang lebih baik bagi orang tua, untuk mencari informasi
mengenai keadaan anaknya.
f. Sementara, status perkawinan yang harmonis, memudahkan suami isteri untuk
bekerja saling bahu membahu, dalam menghadapi cobaan hidup yang mereka
alami.
g. Yang paling sulit diubah justru adalah sikap masyarakat umum. Makin
rendahnya pengetahuan masyarakat umum akan kondisi kebutuhan khusus
anak-anak ini, makin sulit bagi mereka untuk menerima ”kelainan” pada anak-
anak ini. Dengan sendirinya, sikap masyarakat kepada anak-anak ini
cenderung tidak simpatik (yang membuat orang tua enggan mengajak anak
mereka keluar rumah). Tatapan mata yang penuh selidik, menghardik orang
tua saat sang anak menyerobot, berbisik-bisik menggunjingkan kondisi sang
anak atau menyingkir jauh-jauh dari sang anakdengan kebutuhan khusus,
sangatlah menyakiti perasaan orang tua anak-anak tersebut. Anak-anak ini
memiliki ”pola” tingkah laku berbeda, tidak berarti mereka tidak layak untuk
menikmati masa kanak-kanak mereka. Kondisi merekapun tidak menular, jadi
tidak perlu khawatir dan menyingkir.
Pada masyarakat yang sudah lebih ”menerima”, mereka berusaha memberikan
dukungan secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-anak
dengan kebutuhan khusus). Menanyakan secara halus apakah orang tua perlu
bantuan, memberikan senyuman kepada sang anak, memperlakukan orang tua
seperti layaknya orang tua lain (dengan anak yang normal), merupakan hal-hal
sederhana yang sebetulnya sangat membantu menghilangkan stres pada
keluarga dari anak dengan kebutuhan khusus.
h. Usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami isteri, memperbesar
kemungkinan orang tua untuk menerima diagnosa dengan relatif lebih tenang.
Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka
difokuskan pada mencari jalan keluar yang terbaik.
i. Sarana penunjang, seperti pusat-pusat terapi, sekolah khusus, dokter ahli, dan
pusat konseling keluarga, merupakan saran penunjang yang sangat dibutuhkan
oleh orang tua dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dengan
semakin banyaknya sarana penunjang ini, semakin mudah pula orang tua
mencari ”penyembuhan” untuk anak mereka, sehingga makin tinggi pula
kesiapan mereka dalam menghadapi ”cobaan” hidupnya.
Peran orang tua bagi anak penyandang autisme sangat penting, banyak hal
yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autisme diantaranya yaitu, Pertama,
memastikan diagnostik, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada
anak untuk ikut diobati. Memilih dokter yang kompeten. Umumnya, adalah
dokter anak yang menangani autisme, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi
medik.
Kedua, orang tua perlu membina komunikasi dengan dokter. Hal ini
dikarenakan kerja sama antara orang tua dengan dokter sangatlah penting,
keterbukaan orang tua tentang kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka
pengobatan atau treatment yang disarankan akan mempengaruhi kemajuan
anaknya dan merupakan syarat mutlak.
Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua dapat terlihat dari
kemampuan orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada
saat berobat bukan hanya datang, anak diperiksa, diberi obat, lalu pulang. Jika hal
itu terjadi maka waktu dan biaya yang telah dikeluarkan akan sia-sia.
Ketiga, mencari dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang
tua menganggap dokter kurang kooperatif atau tidak memberikan konsultasi
memadai. Orang tua tidak boleh fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya
seorang dokter benar secara mutlak.
Keempat, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkata jujur pada dokter
saat konsultasi, misalnya tidak menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami
anak. Kejujuran orang tua dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan
sangat membantu dokter mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi
kemajuan anak.
Kelima, orang tua perlu memperkaya pengetahuannya mengenai autisme.
Terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Selain
itu, orang tua perlu menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak,
sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Sebelum
terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat dan tidak ada
terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan terapi
perlu adanya kerja sama orang tua dan pertemuan berkala antara orang tua dengan
terapis untuk mengevaluasi program maupun terapi itu sendiri.
Keenam. hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan
berbicara dengan sesama orang tua anak autis. Orang tua berusaha untuk
bergabung dalam parent support group. Selain untuk berbagi rasa, juga untuk
berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan.
Ketujuh, selain itu, orang tua juga perlu bertindak sebagai manager saat
terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus, mencari dan
mewawancara terapis, mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga
mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapisan,
dan pengobatan anak. Terapis harus mempunyai perilaku professional termasuk
mematuhi jam kerja dan menginformasikan jika mereka datang terlambat atau
tidak datang. Lingkungan rumah tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan
terapi yang ideal bagi anak autisme.
Terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap
melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua
merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai oleh anak mereka dalam setiap
fase terapi. Dengan demikian akan terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih
kuat antara orang tua dan anak, hal ini diharapkan akan mendukung
perkembangan emosional dan mental anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Memberikan penanganan yang tepat dan terarah serta sedini mungkin pada anak
penyandang autisme berarti memberikan kesempatan yang semakin besar kepada
mereka untuk dapat hidup mandiri menuju masa depan yang lebih cerah.
BAB 3
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, kualitatif adalah
pendekatan yang lebih menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi
dengan cara mendalami fenomena yang diteliti (Moleong, 2000). Karakteristik
subjek penelitian meliputi orang tua yang memiliki anak yang didiagnosa
menyandang autisme. Jumlah sampel dalam penelitian ini meliputi 3 orang tua
yang memiliki anak autisme, agar dapat memperoleh gambaran mengenai
penerimaan orang tua terhadap anak autisme serta peranannya dalam terapi
autisme secara lebih mendalam. Teknik analisa data meliputi Analisa Intra Kasus
dan Analisa Antar Kasus. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode
pendukung.
BAB 4
Hasil penelitian ini Berdasarkan bentuk-bentuk penerimaan orang tua
secara keseluruhan ketiga subjek dapat menerima sepenuhnya kondisi anak
mereka yang didiagnosa menyandang autisme. Hal ini terlihat dari bagaimana
subjek memahami keadaan anak apa adanya baik itu tingkah laku positif, negatif,
kelebihan, serta kekurangan anak, memahami kebiasaan-kebiasaan anak dalam
kesehariannya, menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak,
memahami penyebab perilaku buruk dan baik yang dilakukan anak, membentuk
ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan dan
mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
anak. Meskipun pada awalnya mereka sempat merasa stres, bingung serta
khawatir. Selain itu ada beberapa tahap yang dilalui oleh ketiga subjek dalam
proses mencapai penerimaan terhadap anaknya yang didiagnosa menyandang
autisme, yaitu tahap denial (menolak menerima kenyataan), tahap anger (marah),
tahap bargaining (menawar), tahap depression (depresi) dan tahap acceptance
(pasrah dan menerima kenyataan). Namun ketiga subjek melalui tahapan yang
berbeda satu sama lainya. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksempurnaan anak
mereka masing-masing yang berbeda bila dibandingkan dengan anak lainnya yang
sebaya.
Penerimaan orang tua terhadap anak autisme timbul dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya faktor dukungan dari keluarga besar yang menerima
sepenuhnya kondisi anak, kemampuan keuangan keluarga yang berkaitan dengan
sarana penunjang untuk melakukan terapi, latar belakang agama yang berkaitan
dengan keiikhlasan dalam menerima kondisi yang dialami, tingkat pendidikan
yang berkaitan dengan pola pikir dalam mengambil tindakan untuk penyelesaian
masalah, status perkawinan berkaitan dengan motivasi dan dukungan diantara
orang tua, usia yang berhubungan dengan tingkat kematangan emosional individu
dalam memahami, serta sikap para ahli dan masyarakat umum yang berkaitan
dengan dukungan secara eksternal dari lingkungan dalam proses penerimaan
orang tua terhadap anak autisme.
Ketiga subjek sudah cukup berperan serta dalam penanganan anak mereka
yang menyandang autisme sehingga dapat mendukung kelancaran terapi autisme
yang dijalankan oleh anaknya. Hal ini terlihat dari adanya usaha orang tua untuk
memastikan diagnostik dokter mengenai anaknya, selalu membina komunikasi
dengan dokter, mencari dokter lain apabila dokter yang bersangkutan dinilai
kurang kooperatif, berkata jujur saat melakukan konsultasi mengenai
perkembangan anaknya, memperkaya pengetahuan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan autisme, dan mendampingi anak saat melakukan terapi baik
ditempat terapi maupun dirumah. Namun ketiga subjek tidak mempunyai banyak
waktu untuk bergabung dalam Parrent Support Group dan kurangnya informasi
mengenai hal tersebut.
BAB V
Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan adanya penerimaan orang
tua terhadap anak penyandang autisme memungkinkan dilakukannya deteksi dan
intervensi dini sehingga mempercepat langkah-langkah apa saja yang akan
diambilnya. Setelah orang tua dapat menerima keadaan anaknya, maka orang tua
juga tetap mempunyai komitmen untuk berperan aktif dalam penanganan
penyandang autisme sehingga dapat memaksimalkan jalannya terapi.
Berikut ini adalah saran-saran yang mungkin diterapkan oleh para orang
tua yang memiliki anak autisme, para terapis dan dokter serta saran untuk
penelitian selanjutnya :
1. Untuk para subjek, yaitu orang tua yang memiliki anak Autisme :
a. Subjek 1
Subjek 1 sudah cukup aktif hanya saja diharapkan agar lebih banyak lagi
melakukan pendampingan pada anak, baik dirumah maupun ditempat terapi
dan sebisa mungkin untuk menyempatkan diri menerapkan terapi dirumah apa
yang sudah diajarkan, tidak hanya mengandalkan pada pengasuh, karena
pengasuhan sehari-hari akan lebih berdampak baik bagi hubungan
interpersonal anak dengan orang tuanya.
b. Subjek 2
Subjek 2 diharapkan agar lebih bersabar lagi dalam menghadapi dan
menerima setiap perubahan anaknya yang memang berlangsung sangat
lamban. Karena sekecil apapun perubahan yang dihasilkan oleh anak itu
adalah merupakan kemajuan yang berarti dan setiap anak itu memiliki
keunikan sendiri-sendiri. Selain itu subjek 2 agar lebih giat lagi dalam
menerapkan terapi dirumah apa yang sudah diajarkan ditempat terapi.
c. Subjek 3
Subjek 3 diharapkan agar lebih mau menerapkan terapi dirumah dan lebih
giat lagi untuk mengikuti terapi agar kemajuan anak bisa lebih terlihat. Selain
itu subjek 3 jangan merasa semua ini adalah akibat ketidakadilan Tuhan
terhadap dirinya, anggaplah semua ini adalah cobaan yang harus dijalani dan
agar lebih bersabar lagi dalam mengadapi anaknya, biar bagaimanapun anak
dengan kebutuhan khusus ini membutuhkan kasih sayang dari orang lain
terutama dari kedua orang tuanya.
2. Untuk terapis ditempat terapi tersebut, sebaiknya agar lebih kooperatif lagi
dalam melakukan komunikasi dengan orang tua dan dapat memberikan
perhatian serta dukungan yang lebih bagi anak dan orang tuanya.
3. Untuk dokter ditempat terapi tersebut, sebaiknya dapat memberikan informasi
yang lebih banyak lagi kepada setiap orang tua mengenai Parent Support
Group dan dapat membentuk suatu wadah yang sama fungsinya seperti Parent
Support Group.
4. Penelitian selanjutnya, dapat melakukan penelitian tentang hubungan antara
tingkat penerimaan orang tua yang memiliki anak autisme dengan
keberhasilan terapi dengan menggunakan metode-metode dan sumber-sumber
yang berbeda.