Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
176 | J u r n a l H a w a
J
JJjjagghg
Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
Lailatul Badriyah, Willia Tria Apriliani, Hijrah Tomi, Zemi Sulastri, Beda Belada
IAIN Bengkulu [email protected]; [email protected];
[email protected]; [email protected]; [email protected] [email protected]
Info Artikel Abstract Diterima:Agustus 2020 Disetujui: September 2020 Dipublikasikan: Desember 2020
This article aims to determine the psychological condition of children with disabilities. According to Tamsik Udin and Tejaningsih, children with disabilities are children who experience obstacles in their social and emotional development, so that it is confirmed through the behavior of legal, social, religious norms that apply in their environment with a fairly high frequency. This article uses a qualitative descriptive approach with a case study method. Subjects totaled 6 people. Data collection was carried out by means of observation, interviews, documentation and provision of a Check List of Problems (DCM). The results show that children with disabilities have emotional instability so that there are obstacles in behaving well in society. Barriers to social development in children with disabilities are shown by difficulty making friends. This is because they are unable to adapt to a wider group and their social awareness is very low and they prefer to play alone. A better approach is needed for children with disabilities such as the approach in guidance because it will greatly affect life in the future.
Keyword
Emosional development,
social, conduct disorder
Kata Kunci
Abstrak
perkembangan emosi, sosial, tunalaras
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui kondisi psikologis anak dengan penyandang tunalaras. Menurut
Tamsik Udin dan Tejaningsih menyatakan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan
dalam perkembangan sosial dan emosinya sehingga dimanifastikan lewat tingkah laku norma hukum,
sosial, agama yang berlaku di lingkungannya dengan frekuensi yang cukup tinggi. Artikel ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode studi kasus. Informan berjumlah 6 orang. Pengumpulan
data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dokumentasi dan pemberian Daftar Cek Masalah (DCM).
Hasil menunjukkan bahwa anak dengan penyandang tunalaras memiliki ketidakstabilan emosional sehingga
terjadi hambatan dalam berperilaku baik dalam lingkup masyarakat. Hambatan dalam perkembangan sosial
pada anak tunalaras ditunjukan dengan kesulitan untuk berteman. Hal ini dikarenakan mereka tidak
mampu menyesuaikan diri dengan kelompok yang lebih luas dan kesadaran sosial mereka sangat rendah
serta mereka lebih suka bermain sendiri. Diperlukan pendekatan yang lebih baik pada anak penyandang
tunalaras seperti halnya pendekatan dalam bimbingan karena akan sangat berpengaruh pada kehidupan di
masa yang akan datang.
Alamat Korespodensi: Jalan Raden Fatah, Pagar Dewa, Kota Bengkulu Gedung Pelatihan lantai II E-mail: [email protected].
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
177 | J u r n a l H a w a
Pendahuluan
Anak yang mengalami gangguan
emosi akan berkembang menjadi anak
yang memiliki tingkah laku tidak
mencerminkan kedewasaan dan suka
menarik diri dari lingkungan masyarakat.
Menurut Undang-Undang pokok
Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 anak
tunalaras adalah individu yang
mempunyai tingkah laku menyimpang
atau berkelainan, tidak mempunyai
toleransi terhadap kelompok atau orang
lain, serta mudah terpengaruh oleh
suasana sehingga membuat kesulitan bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Oleh
karena itu anak tunalaras sering
mengalami keterasingan sosial, hanya
mempunyai beberapa orang teman dan
jarang bermain dengan anak seusianya,
serta kurang memiliki keterampilan
dalam bersosial. Kehidupan emosi yang
tidak stabil serta ketidakmampuan dalam
mengekspresikan emosinya secara tepat
dan mengendalian diri dengan baik
membuat anak tunalaras menjadi sangat
emosian. Terganggunya kehidupan emosi
ini terjadinya akibat ketidakberhasilan
anak dalam melewati fase-fase
perkembangan (Aini, 2010).
Menurut data World Health
Organitation (WHO), bahwa sebanyak
25% anak usia prasekolah (Preschool)
mengalami masalah otak termasuk
gangguan motorik halus (Balitbang, 2019).
Adapun data yang dirilis Dinas Kesehatan
Republik Indonesia sebanyak 16% atau
sekitar 0,4 juta balita di Indonesia
mengalami gangguan dalam
perkembangan motorik halus dan kasar,
gangguan pendengaran, kecerdasan
kurang dan keterlambatan bicara. Data
dari peneliti Kay-Lambkin dkk. secara
global dilaporkan anak yang mengalami
gangguan berupa kecemasan sekitar 9%,
mudah emosi 11-15%, gangguan perilaku
9-15% (Risnawati, 2018). Dari data
tersebut, artikel ini membahas mengenai
gangguan emosi yaitu perilaku agresif
dan kehidupan sosial anak tunalaras.
Gangguan emosional dan tingkah laku
yang dialami anak dengan perilaku
agresif seperti merusak, bertindak
melanggar etika, membangkang,
emosional, dan tindakan agresif lainnya
yang merugikan. Hal tersebut menjadi
pertimbangan pentingnya perhatian dan
kesadaran para orang tua.
Tunalaras adalah suatu kondisi
yang dialami oleh seseorang yang
mengalami gangguan atau hambatan
emosi dan perilaku yang berlainan secara
berlebihan sehingga mengakibatkan sulit
untuk berinteraksi secara baik dengan
lingkungan di sekitarnya. Anak tunalaras
juga dapat dikatakan sebagai anak yang
anti sosial dimana anak tunalaras tidak
dapat menempatkan dirinya secara baik
dan tepat dalam lingkungan masyarakat.
Selain itu anak tunalaras juga sukar dalam
bergaul karena hal ini membuat anak
tunalaras sering merasa malu dan minder
terhadap teman sebayanya, akibat adanya
hal tersebut menyebabkan anak tunalaras
sukar untuk mendapatkan teman.
Seseorang yang mengalami gangguan
atau hambatan emosi ini kadang-kadang
tidak menunjukan sikap dan tingkah laku
yang dewasa sehingga dapat merugikan
dirinya sendiri.
Selain itu kondisi yang cenderung
tidak stabil dalam mengontrol emosi
dapat dilihat dalam tingkah lakunya
sehari-hari, dimana perilaku yang
ditimbulkan oleh anak tunalaras yaitu
perilaku yang menyimpang misalnya
mudah marah, acuh tak acuh, keras
kepala, agresif, serta menarik diri dari
lingkungan sekitarnya. Dari sisi agama
Lailatul Badriyah, dkk: Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
178 | P a g e
dan moral anak dengan gangguan ini
memang kurang memahami makna dari
ajaran agama serta apabila berjanji sering
diingkarainya bahkan apa yang
diucapkannya terkadang bertolak
belakang dengan apa yang diperbuatnya.
Kemudian dari sisi akademik pun anak
tunalaras sering mengalami masalah
dalam menerima pelajaran yang diberikan
oleh guru sehingga membuatnya sukar
apabila sewaktu-waktu disuruh untuk
mengerjakan tugas tersebut. Akibat dari
perilaku yang sering ditimbulkan oleh
anak tunalaras sering dikucilkan oleh
masyarakat karena dianggap memiliki
perilaku yang kurang baik.
Setiap tahun terjadi lonjakan
kenaikan jumlah anak penyandang
tunalaras. Pada tahun 2003 Direktorat
Pendidikan Luar Biasa merilis terdapat
351 anak tunalaras dalam 12 sekolah yang
ada. Kemudian melonjak naik pada tahun
2007-2008 sebanyak 801.132 dan
mendekati angka 1 juta siswa pada tahun
2009. Analisis ini berdasarkan sensus
Depdiknas tahun 2009. (Maryuni, 2009).
Hasil penelitian terkait dengan
anak penyandang tunalaras menunjukkan
bahwa untuk mengendalikan perilaku
agresif pada anak penyandang tunalaras
harus menumbuhkan kekuatan karakter
melalui bimbingan pribadi dan kelompok
(Widyawati, 2018), serta meningkatkan
keterampilan sosial melalui pengalaman
berinteraksi dengan orang lain dengan
menunjukkan tindakan untuk
menghormati orang lain, bekerjasama,
peka, dan menumbuhkan kepedulian
dalam kelompok masyarakat, belajar
untuk mengendalikann diri dan berbagi
ide serta pemikiran kepada orang lain
(Wiwiet & Dedy, 2017). Artikel ini
diharapkan dapat berkontribusi mengenai
pentingnya dalam mencari solusi untuk
menghadapi anak tunalaras yang sudah
kita ketahui bahwa anak tunalaras sulit
untuk beradaptasi pada lingkungan
sekitarnya yang diakibatkan oleh tingkah
laku yang dapat menyebabkan anak
tunalaras diasingkan dan dijauhin oleh
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu
sangat penting mengetahui bagaimana
cara menghadapi dan apa saja yang
menghabat perkembangan sosial pada
anak tunalaras agar anak tunalaras
merasa diterima dalam lingkungan
sekitarnya.
Metode
Studi ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif.
Pendekatan kualitatif berusaha
mengungkapkan berbagai keunikan yang
terdapat dalam individu, kelompok,
masyarakat atau organisasi dalam
kehidupan sehari-hari secara menyeluruh,
rinci, dalam, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun jumlah informan sebanyak 6
orang anak. Waktu dilaksanakan
penelitian pada tanggal 12-30 April 2020
di rumah masing-masing informan
dengan ruang lingkup mengenai
gangguan pada perkembangan sosial
pada anak tunalaras.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah observasi, wawancara
dan pemberian Daftar Cek Masalah
(DCM). Observasi digunakan untuk
melihat secara langsung kegiatan sehari-
sehari yang dilakukan informan, serta
wawancara yang ditujukan kepada
informan dengan cara memberikan Daftar
Cek Masalah (DCM) berupa pertanyaan-
pertanyaan mengenai keadaan maupun
kehidupan sehari-hari anak.
Analisis data dilakukan dengan cara
mencari dan menyusun secara sistematis
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
179 | J u r n a l H a w a
data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi dengan mengorganisasikan
data ke dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun kedalam pola, memilih mana
yang penting dan yang akan dipelajari
dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh diri sendiri
maupun orang lain. Analisis data tersebut
untuk membatasi hasil data temuan yang
didapat peneliti kemudian untuk dikelola
menjadi data yang lebih signifikan.
Selanjutnya menarik kesimpulan dari
hasil data yang telah diperoleh dengan
menggunakan kata-kata yang mudah
untuk dipahami dan mudah untuk
dipelajari baik bagi diri sendiri maupun
orang lain. Selain itu untuk pengecekan
keabsahan data peneliti menggunaka
teknik triangulasi. Triangulasi adalah
pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai perbandingan terhadap data
dengan membandingkan data hasil
observasi, wawancara, dan dokumentasi
sehingga dapat mengetahui deskripsi
mengenai faktor yang menghambat
perkembangan sosial pada anak
tunalaras.
Hasil
1. Gambaran Umum Informan
Adapun gambaran umum
mengenai informan dalam Artikel
ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Deskripsi Singkat Informan
No Partisipan Deskripsi Informan
1 Nam: Wiko
Akbar (WA)
Usia: 12 Tahun
Alamat: Jalan
Desa Pasar Pino,
Kec Pino Raya
Kab. Bengkulu
Selatan.
Kondisi mental: Informan
WA orangnya memang
pediam, dalam bidang
akademik informan WA
memang kurang pintar dan
informan WA ternyata
kreatif hanya saja kurang
mendaparkan dukungan
dari keluarga.
Fisik: Informan wa memiliki
rambut yang pendek
berwarna hitam, berkulit
sawo matang, memiliki mata
bulat yang besar, memiliki
postur tubuh yang sedikit
kurus serta tidak terlalu
tinggi.
Sosial: Dalam masalah
sosial informan WA
memang kurang berbaur
dengan lingkungannya,
terlihat dari informan WA
yang hanya memiliki teman
1 atau 2 orang saja. Informan
WA tinggal bersama kedua
orang tua dan kedua adik
laki-lakinya. Ibunya
bernama Nati berusia sekitar
45 tahun dan ayahnya
bernama Erwan berumur 47
tahun. Dalam hubungan
informan dengan keluarga
memang kurang harmonis
seperti yang pernah
dikatakan informan bahwa
orang tuanya sering
bertengkar di depannya dan
informan sering mendengar
kata-kata kasar dari orang
tuanya. Kemudian untuk
masalah lingkungan tempat
tinggalnya informan
memang bisa dikatakan
kurang baik di mana
lingkunganya acuh tak acuh.
2 Nama: Dafa
Saputra Wijaya
(DSW)
Kondisi mental: Untuk
masalah kondisi mental
informan, sebenarnya
Lailatul Badriyah, dkk: Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
180 | P a g e
Usia: 8 Tahun
Alamat: Jln Desa
Sumber Asri Kec.
Sumber Harta,
Kab. Musirawas.
informan itu orangnya
ramah, kalau ada temannya
yang lewat selalu
dipanggilnya, dalam bidang
akademik informan
memang kurang pintar dan
informan DWS memang
sering bertengkar dengan
teman-temanya.
Fisik: Informan DSW
memiliki rambut yang
pendek, berkulit putih,
memiliki postur tubuh yang
sedikit kurus, cukup tinggi
dan informan sendiri
bersifat hiperaktif atau tidak
bisa diam.
Sosial: Informan DWS
tinggal bersama kedua
orang tunya, ibunya
bernama Herli berusia 28
tahun dan ayahnya bernama
Erwin berusia 35 tahun.
Hubungan informan dengan
keluarga memang bisa
dikatakan kurang baik
karena ayah informan
orangnya keras. Oleh karena
itu informan takut kepada
ayahnya. Selain itu, keluarga
informan kerap bertengkar
di depannya sehingga
informan sudah biasa
mendengar kata-kata kasar.
Kemudian untuk masalah
lingkunganya seperti
lingkungan pada umumnya
hanya saja informan DWS
memang kurang diterima
baik dilingkungnya. Hal ini
dikarenakan informan DWS
sering bertengkar dengan
teman-temanya. Oleh sebab
itu, orang tua temannya
tidak memperbolehkan anak
mereka untuk bergaul
dengan informan DWS.
3. Nama:Ridho
Anugrah Ilahi
(WAI)
Kondisi Mental: Informan
WAI orangnya memang
nakal, dalam bidang
Usia: 12 Tahun
Alamat: Jln
Padang
Kapuk,Kodim
Manna, Kab.
Bengkulu
Selatan.
akademik informan
memang tidak pintar.
Fisik: Informan WAI
memiliki rambut yang
pendek berwarna hitam,
berkulit sawo matang,
memiliki mata bulat besar
dan memilik potus tubuh
yang berisi.
Sosial: Dalam masalah
sosial informan WAI
memang kurang bisa
berbaur dengan lingkungan
sekitar, dilihat dari informan
hanya memiliki sedikit
teman dari pada teman-
teman lainnya. Informan
WAI tinggal bersama kedua
orang tua dan ketiga
saudara laki-lakinya, ibunya
bernama Rita berusia sekitar
53 Tahun dan ayahnya
bernama Eriyanto berusia 54
Tahun. Dalam hubungannya
dengan keluarga memang
bisa dikatakan kurang baik,
di mana informan WAI
sering membatah semua
perkataan dari kedua orang
tuanya, serta informan
selalu membuat keributan di
manapun ia berada.
4 Felis Dwi
Andevta
(10 tahun),
Kelurahan desa
L. Sidoharjo,
Tugumulyo,
Kabupaten Musi
Rawas, provinsi
Sumatera Selatan
Kondisi mental : Informan
memiliki gangguan emosi
agresif dengan gejala
kenakalannya yang melebihi
batas wajar. Anak tersebut
bersikap membangkang,
emosional, dan sering
melakukan tindakan agresif
lainnya. Kondisi mental
anak seringkali mengalami
keadaan emosional yang
tidak stabil dan mudah
marah, suasana hati atau
amarah yang meledak-
ledak, berteriak kepada
orang tuanya, melakukan
hal-hal berbahaya yaitu suka
melempar barang-barang
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
181 | J u r n a l H a w a
yang pada saat itu ada di
sekitarnya dan sering
bertindak melanggar etika
seperti memukul sampai
mengucapkan kata-kata
kasar dan kotor yang tidak
pantas diucapkan.
Kondisi fisik : Informan
memiliki bentuk tubuh yang
lumayan kurus dengan
tinggi badan normal, warna
rambut hitam, dan kondisi
fisik yang sehat serta tidak
memiliki cacat fisik
sedikitpun.
Kondisi Sosial : Informan
merupakan seorang siswa di
Sekolah Dasar Islam
Terpadu, namun pendidikan
yang ditempuhnya pun
tidak mampu merubah
kepribadian dan sikap
buruk anak tersebut.
Informan adalah anak kedua
dari dua bersaudara, namun
saudari perempuannya yang
pertama sudah meninggal
karena sakit. Keadaan
lingkungan sekitar informan
cukup baik, namun terdapat
oknum-oknum tertentu
(orang-orang) yang
dahulunya mengajarinya
untuk berbicara kasar dan
kotor, sehingga hal itu
terbawa dan semakin
menjadi sampai sekarang.
Sikap agresif anak salah
satunya juga didukung oleh
pola asuh sejak dari kecil
yang kurang baik bersama
dengan sifat temperamen
dari ayahnya dahulu.
5 Gery Hajizan, (15
tahun). Dusun
anyar, Pondok
Kubang, Begkulu
Tegah.
Kondisi mental : anak yang
gampang marah, karena
keinginannya tidak
terpenuhi jika meminta
sesuatu pada orang tua
ataupun pada teman-
temannya. Jika marah sering
menangis terlalu lama dan
sering membanting barang
di sekitarnya.
Kondisi fisik : Dengan
rambut hitam lurus,
berbentuk tubuh normal
yang sedikit kurus, sehat,
dan tidak memiliki riwayat
penyakit.
Kondisi Sosial: Informan
suka bermain dengan
teman- temannya, namun ia
juga sering menyendiri di
rumah sebabkan karena ia
sudah putus sekolah dan
bermain game. Teman
bermainnya juga mungkin
membawa pengaruh buruk
dengan menunjukkan
tingkah laku yang sama.
Sedangkan dari lingkungan
orang tuanya, sang ibu
tergolong sering
memperhatikan dan
menasehati. namun sang
anak sendiri tidak terlalu
penurut akan nasihat orang
tuanya.
6 Dimas Aprianto
( 7 tahun ),
Tanjung Sakti
Pumu,
Kabupaten
Lahat.
Kondisi mental : Informan
sering kali mudah marah
terhadap temannya ketika
ada salah satu barangnya
hilang, dan yang
dilakukannya pada saat itu
ialah seperti memukul
temannya yang suka
mengganggunya.
Kondisi fisik : Informan
sering down saat ada
masalah-masalah yang
dihadapinya. Pada saat di
sekolah maupun di
rumahnya sang anak sering
mudah marah terhadap
teman-temanya yang suka
menyuruh informan
melakukan yang informan
tidak mau lakukan.
Kondisi Sosial : Banyaknya
Lailatul Badriyah, dkk: Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
182 | P a g e
pengaruh buruk dari
temannya, lingkungan
keluarga yang sangat keras
dan kurang harmonis di
sekitar lingkungan sehingga
anak tersebut mudah emosi.
Tabel di atas menjelaskan tentang
gambaran umum informan yang berusia
antara 7-15 tahun. Gambaran yang
ditampilkan meliputi kondisi secara fisik,
psikis dan sosial. Secara umum hampir
semua informan bermasalah pada kondisi
psikis yaitu ketidakstabilan emosi, seperti
gampang marah, tidak mau berbaur
dengan orang lain dan hiperaktif yang
berakibat kepada kondisi sosial informan
baik secara internal maupun eksternal.
Untuk memperkuat hasil tabel di atas,
maka pemberian daftar cek masalah
sangat diperlukan untuk menjelaskan
lebih mendalam kondisi informan. Hasil
daftar cek masalah dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
DAFTAR CEK MASALAH INFORMAN
Gambar 1: Diagram Pemberian DCM
Berdasarkan hasil diskusi yang telah
dilakukan peneliti yang melibatkan enam
orang anak penyandang tunalaras dengan
menggabungkan hasil DCM dan hasil
wawancara yang telah dilakukan peneliti
secara individu dengan anak penyandang
tularas sehingga mendapatkan hasil
mengenai permasalahan bahwa anak
tunlaras tidak dapat mengontrol emosinya
secara baik dan benar sehingga anak
tunalaras kurang diterima dengan baik di
lingkungan sekitarnya. Selain itu anak
tunalaras juga cenderung berperilaku
negatif. Ini sebagai bentuk dari tekanan
yang dirasakannya karena merasa tidak
diterima dengan baik di lingkungannya.
Beberapa kata kunci yang dapat
dirangkum dari hasil observasi dan
wawancara dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2 : Rangkuman Hasil Observasi
dan Wawancara
No Penyebab Perilaku
1 Keluarga
yang kurang
harmonis
Sering
bertengkar di
depan anak
Orang tua
sering berkata
kasar kepada
anak
Anak kurang
pandai
dalam
bidang
akademik
Menjadi
sosok yang
pendiam
Anak kreatif
tetapi tidak
mendapat
dukungan
dari orang
tua
Berperilaku
acuh tak
acuh
2 Orang tua
yang kerap
bertengkar
Sosok ayah
yang terlalu
keras
Tetangga
membatasi
pergaulan
anak-anak
mereka
Takut kepada
sosok ayah
Sering
bertengkar
dengan
teman-
temannya
dan berbicara
kasar
Kurang
mendapatkan
0 2 4 6 8
10
kese
hat
an
kelu
arga
agam
a …
pri
bad
i
mas
alah
…
rekr
easi
/h…
pen
yesu
ai…
pen
yesu
ai…
mas
a …
keb
iasa
an …
mu
da-…
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
183 | J u r n a l H a w a
dengan
informan
teman untuk
bermain
3 Usia orang
tua yang tidak
muda (>50
tahun)
Terdapat 3
saudara laki-
laki, informan
anak bungsu,
kemungkinan
sibling rivalry
diantara
ketiga
saudaranya
Sering
membantah
perkataan
orang tua
Sering
membuat
keributan
dimana saja
informan
berada
4 Sifat
temperamenta
l ayah
terhadap anak
Terdapat
oknum yang
tidak
bertanggung
jawab yang
mengajari
informan
berkata kasar
dan kotor
Sering
membangkan
g
Emosional
yang meledak
Berteriak-
teriak dengan
orang tua
Melemparkan
barang ketika
marah
Memukul
orang lain
ketika marah
Mengucapka
n kata-kata
kotor dan
kasar
terhadap
orang lain
5 Putus sekolah
Lingkungan
pertemanan
yang tidak
mendukung
Intensitas
bermain game
tinggi
Sering
membangkan
g
Tidak
mendengarka
n nasihat
orang tua
6 Keluarga
yang kurang
harmonis
Pola asuh
yang keras
dari orang tua
Lingkungan
yang buruk
dari teman-
teman
informan
yang
memaksa
melakukan
hal yang tidak
disukai
informan,
berkemungki
nan terjadinya
bullying yang
dialami
informan.
Mudah
marah
dengan
ledakan
emosi
Memukul
teman-teman
yang ada
disekitarnya
Tabel di atas menunjukkan bahwa
penyebab terbesar berasal dari faktor
lingkungan keluarga inti yang kurang
harmonis. Sikap dari keluarga inti
tersebut ialah orang tua dan saudara yang
tidak harmonis membuat anak merekam
semua apa yang anak lihat, dengar dan
rasakan. Adapun yang paling dominan
adalah sikap ayah yang terlalu keras dan
memiliki tempramen yang tinggi sangat
mempengaruhi anak untuk bersikap yang
sama terhadap orang lain, akibatnya anak
akan menunjukkan perilaku mudah
marah, membangkang, memukul dan lain
sebagainya. Hal ini akan berimbas pula
kepada pandangan masyarakat terhadap
anak. Anak akan dicap sebagai anak nakal
yang tidak tahu aturan dan norma
masyarakat, sehingga membatasi
pergaulan di lingkungan sosialnya.
Lailatul Badriyah, dkk: Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
184 | P a g e
Pembahasan (Discussion)
Adapun hasil dari pemberian DCM
kepada informan terdapat tiga hal yang
berkaitan dengan masalah hubungan
sosial berorganisasi, agama, moral, serta
masalah pribadi. Dalam masalah
hubungan sosial dan berorganisasi pada
anak tunalaras sangatlah
memperihatinkan karena pada dasarnya
anak tunalaras dapat dikatakan sebagai
anak nakal tidak tahu aturan. Berbagai
tingkah laku yang ditunjukkan dengan
melakukan kontradiksi dalam norma-
norma sosial di masyarakat umum,
seperti contoh melakukan pencurian,
perusuh lingkungan dan bertindak agresif
terhadap orang lain (Khasanah, 2018).
Anak tunalaras juga menampakkan suatu
perilaku penentangan yang terus menerus
kepada masyarakat, kehancuran suatu
pribadi, serta kegagalan dalam belajar di
sekolah, termasuk kegagalannya dalam
menyesuaikan diri secara sosial. Perilaku
itu ditandai dengan tidakan agresif, yaitu
tidak mengikuti aturan, bersifat
mengganggu, mempunyai sikap
membangkang atau menentang, tidak
dapat bekerja sama serta melakukan
kejahatan remaja seperti melanggar
hukum (Kusmawati, Hadi & Putra, 2018).
Adapun masalah agama dan moral
pada anak tunalaras dalam kesehariannya
sangat bertentangan dengan ajaran agama
Islam yang mengajarkan kebaikan dan
suri tauladan. Penelitian Maslahah (2005)
sangat penting bimbingan secara khusus
terkait dengan ajaran keislaman pada
anak tunalaras. Beberapa informan
menunjukkan perilaku yang tidak baik,
contohnya ketika sholat mereka akan
menjadikan sholat sebagai bahan
candaan, kurang sopan dengan orang
yang lebih tua darinya, misalnya kepada
guru di sekolah, membangkang ketika
disekolah, dan menyerang temannya
secara fisik. Informan juga sering berkata
bohong dan sering tidak mengakui
kesalahannya sendiri, bahkan
menyimpang dari ajaran agama dan
moral sebagaimana mestinya.
Selain itu, dalam masalah pribadi
anak tunalaras memiliki perilaku yang
agresif apabila merasa terganggu
(Nurisani, 2017). Bentuk perilaku agresif
yang ditunjukkan oleh informan dapat
berupa perilaku agresif fisik (non verbal)
dan verbal. Perilaku agresif fisik atau
tindakan langsung seperti memukul
teman, menendang, melempar, dan
melakukan pengrusakan, yang akhirnya
membuat anak akan dikucilkan.
Akibatnya, anak yang merasa dikucilkan
akan mencari perhatian lagi dengan
melakukan tindakan yang lebih ektrim
lagi untuk mendapatkan perhatian dari
orang disekitarnya.
Hasil pengamatan yang telah
dilakukan peneliti kepada anak
penyandang tunalaras dapat diketahui
bahwa anak tunalaras memiliki hambatan
dengan hubungan sosialnya di mana
dilihat dari sisi sosialnya yang
menunjukan bahwa mereka tidak
mempunyai teman. Hasil analisis
menunjukan bahwa mereka lebih sering
menyendiri dan merasa malu apabila ada
teman baru yang dikenalnya, terutama
jika lawan jenis, merasa tidak nyaman
dengan situasi baru, membanting Hp
yang dibawanya, memukul Laptop saat
menemukan kendala waktu penyelesaian
tugas, motivasi belajar rendah, serta
hanya menyukai pelajaran yang di
sukainya saja (Luxviana, 2018).
Berdasarkan hasil wawancara
yang telah dilakukan peneliti secara
individu kepada anak tunalaras maka
dapat diketahui bahwa mereka memang
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
185 | J u r n a l H a w a
kurang mampu untuk menjalin hubungan
sosial yang harmonis dengan orang lain
karena hambatan emosi yang tidak stabil.
Akibatnya mereka mengalami kesulitan
pada saat mencari teman. Hal ini juga
dapat berpengaruh pada saat kegiatan
pembelajarannya di sekolah. Proses
belajar mengajar seharusnya menjadi
ajang untuk bertukar ide dan
pengalaman, karena anak tunalaras tidak
memiliki teman akibat perilakunya yang
terkesan nakal. Akhirnya tujuan dari
pembelajaran tersebut tidak dapat
tercapai. Hal ini juga berpengaruh
terhadap sikap keterampilan sosial anak.
Anak tunalaras dicap sebagai anak yang
memiliki keterampilan sosial yang
rendah, sehingga masyarakat disekitarnya
akan menolah keberadaan anak karena
perilaku yang dimunculkan adalah
perilaku yang bertentangan dengan
norma yang ada di masyarakat, sehingga
akan memperburuk citra anak dan akan
menjadikan anak frustrasi secara mental,
baik kesehatan mental diri maupun
mental di masyarakat.
Menurut Ariffiani (2017) anak
tunalaras menunjukkan perilaku sosial
yang berbeda-beda tergantung bagaimana
kondisi lingkungan di mana anak
tumbuh dan berkembang. Tingkat
keparahan dari perilaku anak tunalaras
tergantung bangaimana lingkungan yang
membentuk anak tersebut. Ada sebagian
anak sudah mampu beradapatasi dengan
aturan yang ada dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Oleh karena
itu, dibutuhkan peran aktif dari lembaga-
lembaga pendidikan dan lembaga sosial
untuk membantu anak mencapai
perkembangan sosial yang semestinya
dan seharusnya di dapat oleh anak.
Aasindriyati (2007) mendorong lembaga
pendidikan untuk membantu anak
menerapkan perilaku yang dapat diterima
di masyarakat dengan cara memberikan
perilaku yang mendidik, bukan hukuman
dan celaan, lebih mengarahkan kepada
anak bahwa perilaku itu sangat tidak baik
untuk masa depannya nanti. Harapannya
adalah supaya anak tunalaras memiliki
modal untuk menjalani kehidupannya
dan mampu mencapai proses
perkembangan sosialnya secara baik
diterima di lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
Untuk mencapai perkembangan
sosial yang diharapkan maka anak
tunalaras perlu adanya bimbingan.
Menurut Awwad (2015) bimbingan yang
diperlukan adalah bimbingan yang benar
dari orang tua dan lingkungan sekitarnya
karena hal tersebut dapat mengubah
perilaku menyimpang menjadi prilaku
yang positif dengan cara mengelola emosi
serta melatih kemampuan sosialnya. Hal
ini didukung pula Artikel yang
dilakukan oleh Exwan, dkk (2014) yang
mana menunjukan bahwa hasil PKKM ini
yaitu untuk melatih karawitan dan tari
bagi anak tunalaras di SLB E prayuwana
sebagai terapi untuk megurangi
kemunculan karakter tunalaras.
Kemudian Achmad & Sujarwanto (2010)
menyatakan bahwa adanya perubahan
konsep ke arah lebih positif misalnya
yaitu frekuensi penyimpangan perilaku
sosial semakin berkurang seperti berkata
sopan, pakaian mulai rapi, kemudian
siswa mulai tidak melakukan kebiasaan
menunggu bimbingan guru kelas atau
instruksi apabila mengerjakan tugas
sekolah serta siswa mulai dapat
memahami bahwa dirinya itu bagian dari
lingkungan sekolah atau lingkungan
keluarga.
Lailatul Badriyah, dkk: Gambaran Psikologis Anak Penyandang Tunalaras
186 | P a g e
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa gambaran psikologis
anak tunalaras berupa perilaku agresif
yang dilakukan secara fisik dan verbal.
Agresi fisik yang dilakukan ialah
memukul, berkelahi dengan teman,
membanting barang, acuh tak acuh, dan
membangkang nasihat orang lain.
Sedangkan agresi verbal yang paling
sering dilakukan adalah berbicara kasar
dan kotor, berteriak kepada orang lain
ketika marah dan membantah perkataan
orang lain. Hal ini diperkuat dari hasil
pemberian Daftar Cek Masalah (DCM)
yaitu pada aspek hubungan sosial dan
berorganisasi, agama dan moral dan
masalah pribadi. Penyebab terbesar dari
perilaku tersebut dikarenakan faktor
lingkungan keluarga inti yang kurang
harmonis. Sosok ayah yang
temperamental dan kasar mengakibatkan
anak mencontoh perilaku tersebut dan
dilakukan pula kepada orang lain. Sering
melihat pertengkaran orang tua juga
mengakibatkan anak berbicara kasar dan
kotor terhadap teman-temannya.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada
beberapa hal yang diharapkan bisa
memaksimalkan bentuk-bentuk
bimbingan agama dan moral terhadap
anak tunalaras. Bagi orangtua sebaiknya
perbaiki keharmonisan dalam keluarga,
orang tua harus memiliki perilaku yang
sabar dalam menghadapi anak tunalaras
tersebut, sehingga mereka bisa
mendapatkan bimbingan yang baik tanpa
merasa tertekan sehingga dapat
menyebabkan emosi mereka bertambah.
Beri mereka luang untuk bisa memahami
apa yang disampaikan tanpa ada
kekerasan.
Daftar Pustaka
Aasindriyati. 2017. “Peningkatan
Pengendalian Diri Pada Anak
Tunalaras Dengan Menggunakan
Pendekatan Teknik Konseling
Behavioral Di Smk 3 Bandung,”
Jurnal Artikel Pendidikan. Vol. 17(2).
Hlm: 107.
Achmad, H.S., & Sujarwanto. 2010.
Program Layanan Bimbingan
Konsep Diri (Self Concept) Pada
Anak Tunalaras. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. Vol 16(1). Hlm: 58.
Aini, M.. 2010. Identifikasi Anak Dengan
Gangguan Emosi dan Perilaku di
Sekolah Dasar. JPK: Jurnal Pendidikan
Khusus. Vol. 2(2). Hlm:1-14.
Ariffin, G. 2017. Identifikasi Perilaku
Sosial Siswa Anak Tunalaras Di Slb
E Yogyakarta. Skipsi. Universitar
Negeri Jakarta.
Awwad, M. 2015. Urgensi Layanan
Bimbingan Dan Konseling Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal
Al-Tazkiah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Institut Agama Islam
Negeri IAIN Mataram. Vol. 7(1). Hlm:
47.
Exwan, A.V., Akhmad, R., & Niwang, P.T.
2014. Program Lombok Rawit
Sebagai Sarana Terapi Bagi Anak
Tunalaras. Pelita Jurnal Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta. Vol. 2(1). Hlm: 129.
Khasanah, N. 2018. Pendidikan Karakter
Melalui Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam Bagi Anak Tunalaras
Di SLB E Prayuwana Yogyakarta.
Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kusmawati, A., Hadi, C., & Putra, A.B.
2018. Terapi Al-Qur’an pada Siswa
Tunalaras. JSSH: Jurnal Sains Sosial
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
187 | J u r n a l H a w a
Humaniora Universitas Airlangga. Vol
2(1). Hlm: 12.
Luxviana, N. 2018. Identifikasi Perilaku
Anak Tunalaras (Anak Agresif)
Disekolah Inklusi Siswa Kelas I SD
Bangunrejo 2 Yogyakarta. Jurnal
Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta. Vol. 29(7). Hlm: 7.
Maryuni, S. 2009. Perilaku Delinkue
Ditinjau Dari Kecerdasan Emosi
Penyandang Tunalaras Di Slb-E
Bhina Putera Surakaarta. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Maslahah, A. 2015. Bimbingan Pribadi
Sosial Bagi Anak Tunalaras Di Slb E
Prayuwana Yogyakarta. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Nurisani, A.N. 2017. Bimbingan Islam
Dalam Menanamkan Perilaku
Keberagamaan Pada Anak
Tunalaras Di Madrasah Ibtidaiyah
Keji Ungaran Barat. Skripsi.
Universitas Negeri Walisongo
Semarng.
Risnawati., Ida., H., & Mariani. 2018.
Deteksi Dini Penyimpangan
Emosional Pada Anak Usia 4-6
Tahun. Jurnal: Medika. Hlm:1-13.
Widyawati, E. 2018. Bimbingan Bina
Pribadi Dan Sosial Dalam
Menumbuhkan Character Strength
Anak Tunalaras Di Slb E Bhina
Putera Surakarta. Skripsi. IAIN
Surakarta.
Wiwiet, P.,S & Dedy, K. 2017. Efektivitas
Teknik Pembelajaran Think Pair
Share untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial Anak Tunalaras
di SLB E Handayani. JASSI_anakku
18(1). Hlm:1-7.