26
GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI * Dr.dr.A.A.Ayu Putri Laksmidewi, Sp.S(K) ** ABSTRAK Komunikasi dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang sangat penting, namun secara fungsi maupun lokasi anatomi “wicara” ataupun “bahasa” adalah hal yang berbeda. Bahasa merupakan alat komunikasi utama manusia dan dasar dari kemampuan kognitif. Gangguan wicara (speech disorders) bersifat perifer disebabkan oleh kelainan saraf tepi, otot maupun struktur anatomis yang dipakai untuk berbicara dan biasanya disertai gangguan suara (speech and voice disorders). Gangguan wicara, dalam bahasa medis disebut sebagai “disartria” berkaitan dengan neuromuskular, artikulasi, respirasi, dan resonansi. Gangguan berbahasa (language disorders) yang disebut sebagai afasia, mencakup gangguan yang lebih kompleks, bersifat multimodalitas dan gangguannya terletak di korteks serebri. Afasia biasanya disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak seperti stroke, cedera kepala, infeksi juga gangguan degeneratif. Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri . Komponen neuroanatomi yang berperan dalam proses produksi bahasa dan pemahaman meliputi masukan (input) auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporal superior, analisis bahasa di lobus parietal dan ekspresi di lobus frontal. Pada pertemuan ini dikemukakan sedikit mengenai anatomi, gejala afasia untuk selanjutnya dapat meletakkan dasar penatalaksanaan yang lebih awal dan adekuat dibidang terapi wicara-bahasa. *Seminar dan Workshop Nasional “Assesment Klinis dan Managemen Afasia Dewasa serta hubungan terhadap Gangguan Bahasa Neurogenik” **Divisi Neurobehavior, Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar, 14 September 2018 , Bali

GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI *

Dr.dr.A.A.Ayu Putri Laksmidewi, Sp.S(K) **

ABSTRAK

Komunikasi dalam kehidupan manusia merupakan sesuatu yang sangat penting, namun

secara fungsi maupun lokasi anatomi “wicara” ataupun “bahasa” adalah hal yang berbeda.

Bahasa merupakan alat komunikasi utama manusia dan dasar dari kemampuan kognitif.

Gangguan wicara (speech disorders) bersifat perifer disebabkan oleh kelainan saraf tepi,

otot maupun struktur anatomis yang dipakai untuk berbicara dan biasanya disertai gangguan

suara (speech and voice disorders). Gangguan wicara, dalam bahasa medis disebut sebagai

“disartria” berkaitan dengan neuromuskular, artikulasi, respirasi, dan resonansi.

Gangguan berbahasa (language disorders) yang disebut sebagai afasia, mencakup

gangguan yang lebih kompleks, bersifat multimodalitas dan gangguannya terletak di korteks

serebri. Afasia biasanya disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak seperti stroke, cedera

kepala, infeksi juga gangguan degeneratif.

Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,

fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang

dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien

yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri. Komponen neuroanatomi

yang berperan dalam proses produksi bahasa dan pemahaman meliputi masukan (input) auditori

dan pengkodean bahasa di lobus temporal superior, analisis bahasa di lobus parietal dan ekspresi

di lobus frontal. Pada pertemuan ini dikemukakan sedikit mengenai anatomi, gejala afasia untuk

selanjutnya dapat meletakkan dasar penatalaksanaan yang lebih awal dan adekuat dibidang terapi

“wicara-bahasa”.

*Seminar dan Workshop Nasional “Assesment Klinis dan Managemen Afasia Dewasa serta

hubungan terhadap Gangguan Bahasa Neurogenik”

**Divisi Neurobehavior, Departemen/KSM Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar, 14

September 2018 , Bali

Page 2: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Pendahuluan

Komunikasi merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Dalam

berkomunikasi diperlukan suatu perangkat yang dikenal sebagai fungsi “wicara-bahasa”,

sehingga gangguan berkomunikasi seringkali disebut juga sebagai gangguan “wicara–bahasa”

atau gangguan berbahasa. Untuk dapat berkomunikasi yang baik, menggunakan sejumlah fungsi

berupa simbolisasi (kemampuan pemahaman dan formulasi bahasa dan simbol lainnya), untuk

meningkatkan kemampuan tenaga dalam berbicara diperlukan kemampuan respirasi yang baik

sedangkan kemampuan resonansi untuk menghasilkan nada tertentu, fonasi untuk membunyikan

suara, artikulasi untuk menghasilkan vocal dan konsonan, lafal yang menghasilkan bunyi bahasa,

prosodi membuat lagu irama kalimat dan kemampuan komunikasi berupa kemauan dan

kemampuan berinteraksi komunikasi.

Wicara (speech) dibedakan dengan bahasa (language) secara fungsional maupun

lokalisasi lesi dan anatominya. Gangguan wicara bersifat perifer disebabkan oleh kelainan saraf

tepi, otot maupun struktur anatomis yang dipakai untuk berbicara. Gangguan wicara ini biasanya

disertai gangguan suara (speech and voice disorders) yang dalam bahasa medis disebut sebagai

“disartria”. Gangguan bahasa yang lazimnya disebut sebagai afasia mencakup gangguan yang

lebih kompleks, bersifat multimodalitas dan letak gangguannya di korteks serebri yang biasanya

disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak seperti stroke, juga cedera kepala, infeksi. Pada

pertemuan ini dikemukakan tentang neuroanatomi, gejala gangguan komunikasi (afasia) disertai

kerjasama penatalaksanaan yang lebih awal dan adekuat dibidang terapi wicara-bahasa.

Bahasa

Definisi Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi utama manusia dan dasar dari sebagian besar

kemampuan kognitif. Gangguan kognitif adalah gangguan proses berpikir yang rasional

termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan juga memperhatikan. Gangguan ini

erat kaitannya dengan fungsi otak secara keseluruhan. Gangguan berbahasa (language disorders)

biasanya disebut afasia, sedangkan gangguan berbicara (speech disorders) atau wicara seringkali

disebut disartri yang berkaitan dengan neuromuskular, artikulasi, respirasi, dan resonansi.

Gangguan komunikasi menghubungkan tiga aspek bahasa yaitu sosial, kognitif dan linguistik.

Page 3: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Anatomi dan Fisiologi Bahasa

Susunan saraf manusia terdiri dari Susunan Saraf Pusat dan Susunan Saraf Tepi. Susunan

Saraf Pusat terdiri dari otak besar (serebrum), otak kecil (serebelum) dan sumsum tulang

belakang (medulla spinalis). Serebrum banyak berperan dalam gangguan bahasa, serebrum

terdiri dari 2 belahan otak (hemisfer kiri dan kanan) yang dihubungkan oleh korpus kalosum.

Secara umum, hemisfer kiri mengatur bagian tubuh sisi kanan dan hemisfer kanan mengatur

bagian tubuh sisi kiri. Permukaan otak (serebrum) ini terdiri atas korteks (grey matter), yang

merupakan pusat sebagian besar aktivitas manusia termasuk pengaturan tata bahasa dan

pengetahuan tentang bahasa. Selain itu korteks juga merupakan organ tempat pengambilan

keputusan, setelah menerima pesan dari seluruh organ sensori dan melakukan segala aktivitas

volunteer. Korteks terbagi kepada empat lobus yaitu lobus frontalis berfungsi untuk mengontrol

gerakan motorik dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi, lobus parietalis untuk fungsi sensoris,

lobus temporalis untuk mendengar, memori dan pemahaman bahasa dan lobus oksipitalis untuk

persepsi visual (Pearl dkk, 2014).

Kesempurnaan fungsi-fungsi yang ada di korteks serebri dengan segala peranannya hanya

terjadi pada otak manusia yang matang (matured brain). Semua terjadi melalui perkembangan

otak secara ontogenetis sejak dini. Proses perkembangan ini disebut dengan lateralisasi yang

berarti adanya pergeseran fungsi, terjadi spesialisasi hemisfer yaitu hemisfer kiri dan kanan

manusia mempunyai fungsi yang berbeda sehingga dalam fungsinya kedua hemisfer tersebut

tidaklah sama. Disebutkan bahwa hemisfer kiri orang kinan (orang yang cekat tangan kanan)

akan menjadi dominan dalam fungsi bahasa (linguistic functions) dan hemisfer kanan berperan

sebagai “spatial and affective functions”. Namun tidak menutup kemungkinan hemisfer kanan

(non-dominan) berperan dalam fungsi bahasa terutama dalam modalitas pengertian bahasa dan

juga membantu dalam pemulihan gejala afasia (Grey dan Hall, 2004).

Pemetaan area fungsional spesifik pada korteks serebral (gambar 2.1)

Area Broca yang merupakan area motorik untuk berbicara, terletak di posterior gyrus

frontal (digambarkan daerah Brodmann 44 dan 45). Area Wernicke merupakan pusat untuk

memproses kata-kata yang diucapkan, terletak di posterior superior gyrus temporal (daerah

Brodmann 22). Area konduksi terletak di daerah fasikulus arkuata, merupakan jaras

Page 4: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

transkortikal berupa satu bundel saraf melengkung yang menghubungkan area Broca dan

Wernicke. Kerusakan fasikulus arkuata menyebabkan gangguan dalam mengulang kata kata.

Tiga area utama pusat bahasa yaitu, area Broca, area Wernicke dan area konduksi.

Gambar 2.1. Pemetaan area fungsional spesifik pada korteks serebral

(Guyton dan Hall, 2006)

Area Exner dikenali sebagai daerah Brodmann 6, dimana area ini terletak tepat di atas area Broca

dan anterior area kontrol motor primer. Area ini untuk mengetahui kemampuan menulis,

berdekatan dengan lokasi gerakan tangan. Kerusakan area Exner akan mengakibatkan agraphia.

Area membaca terletak di bagian medial lobus oksipital kiri dan di splenium corpus callosum.

Daerah ini merupakan pusat membaca. Ia menerima impuls dari mata dan mengirimkan impuls

tersebut ke daerah assosiasi untuk dianalisa, kemudian dihantarkan ke fasikulus arkuata. Lesi

pada area ini menyebabkan kebutaan kata murni. Daerah ini neuroanatomi digambarkan sebagai

daerah Brodmann 17 (Gupta dan Singhal, 2011; Rohkamm, 2004).

Komponen neuroanatomi yang berperan dalam proses produksi bahasa dan pemahaman

meliputi masukan (input) auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporal superior, analisis

bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus frontal. Masukan tersebut kemudian naik ke

traktus kortikobulbar menuju kapsula interna dan batang otak, dengan efek modulator dari basal

ganglia dan serebelum. Terakhir, masukan dimaknai sebagai bahasa lengkap dengan kosakata,

makna sintaksis, dan gramatikal di interkoneksi antar pusat-pusat bahasa (Sherwood, 2010).

Page 5: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Stimulus pendengaran dihantarkan dari perifer melalui sistem auditif ke area auditif

primer di girus Hischl pada kedua lobus Temporalis. Di hemisfer dominan, informasi diteruskan

ke area assosiasi auditif (area Wernicke untuk identifikasi kata) di bagian posterior lobus

temporalis superior. Kemudian sebagai simbol bahasa diteruskan ke area pengenalan kata di

inferior lobus parietal hemisfer dominan. Lalu informasi disampaikan kembali melalui area

Wernicke ke area lain di otak untuk encoding atau respon bahasa (Sherwood, 2010).

Gambar 2.2. Organisasi dari area asosiasi visual dan auditori somatik menjadi mekanisme umum untuk

interpretasi dari pengalaman sensori (Guyton dan Hall, 2006)

Page 6: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Gambar 2.3. Jalur kortikal untuk mengucapkan kata yang dilihat atau didengar

(Guyton dan Hall, 2006)

Arteri yang menyuplai area Broca dan area Wernicke ialah arteri serebri media. Arteri serebri

media terbagi menjadi 4 segmen, yaitu :

- M1 (dari arteri karotis interna menuju bifurkasi atau trifurcation)

- M2 (dari bifurkasi arteri serebri media ke sulkus melingkari insula)

- M3 (dari sulkus melingkar dengan aspek dangkal dari fisura Sylvian)

- M4 yang terdiri dari cabang kortikal.

Segmen M1 bercabang menjadi arteri lenticulostriata, yang memasuki komisura anterior, kapsula

interna, nukleus kaudatus, putamen dan globus pallidus, dan arteri temporalis anterior, yang

menyuplai lobus temporal anterior.

Segmen M2 bermula dari titik divisi utama segmen M1, selama insula dalam fisura Sylvii, dan

berakhir pada insula. Terdapat dua percabangan utama yaitu percabangan terminal superior

terdiri dari arteri frontobasal lateral (orbito-frontal) arteri sulci prefrontal, arteri sulci pra-

Rolandic (precentral) dan Rolandic (pusat). Percabangan terminal inferior bercabang mnejadi

tiga ke arteri di temporal (anterior, tengah, posterior), bercabang ke angular gyrus dan menjadi

dua cabang yang menyuplai area parietal (anterior, posterior).

Page 7: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Segmen M3 dimulai pada sulkus insula dan berakhir di permukaan fisura Sylvii. Bagian ini

dikirimkan melalui permukaan opercula frontal dan temporal untuk mencapai permukaan luar

fisura Sylvii.

Segmen M4 dimulai pada permukaan fisura Sylvii dan membentang di atas permukaan korteks

serebri. Cabang kortikal ini menyuplai daerah orbitofrontal, prefrontal, presentral, sentral,

anterior dan posterior parietal, temporo-oksipital, cabang temporopolar (Tubbs dkk, 2013).

Area motorik menempati gyrus presentral (area brodmann 4) di lobus frontal. Area

motorik disuplai oleh arteri serebri anterior dan arteri serebri media yang bercabang dari arteri

karotis interna. Arteri serebri anterior menyuplai korteks lobus frontalis dan lobus parietalis,

dimana arteri serebri media menyuplai korteks bagian lateral. Oleh itu arteri serebri anterior dan

arteri serebri media bertanggung jawab dalam menyuplai darah ke bagian kepala, tangan dan

kaki (Pearl dkk, 2014).

Gambar 2.4 Percabangan arteri serebri media (Tubbs dkk, 2013)

Page 8: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Definisi Afasia

Afasia merupakan gangguan komunikasi (berbahasa) yang disebabkan oleh kerusakan

pada bagian otak yang mengatur fungsi berbahasa, dimana umumnya terletak secara dominan di

hemisfer serebri kiri otak. Individu yang mengalami kerusakan pada hemisfer serebri kanan otak

mungkin memiliki kesulitan tambahan di luar masalah bicara dan bahasa seperti pengertian kata-

kata yang sederhana, intonasi, kemampuan untuk mengintepretasikan kata-kata lucu atau humor,

dan komunikasi pragmatik (Pearl dkk, 2014; Batson dan Avent, 2011; Tan, 1998).

Epidemiologi Afasia

Stroke merupakan penyebab tersering dari afasia. Dikatakan dari 20% pasien stroke

mengalami afasia. Di setiap tahunnya, terdapat sekitar 170.000 kasus afasia baru yang berkaitan

dengan stroke. Jumlah pasien dengan gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh trauma otak,

tumor otak, maupun lesi lain pada otak tidak sepenuhnya diketahui. Studi kohort oleh Pedersen

dkk di Copenhagen tahun 2004 melaporkan prevalensi sindrom afasia pada stroke akut yang

pertama kali berupa afasia global 32%, Broca 12%, transkortikal motorik 2%, Wernicke 16%,

transkortikal sensorik 7%, konduksi 5%, dan anomik 25%. Setelah diikuti selama satu tahun,

didapatkan afasia global 7%, Broca 13%, transkortikal motorik 1%, Wernicke 5%, transkortikal

sensorik 0%, konduksi 6%, dan anomik 29%, selebihnya fungsi bahasa kembali sempurna

(Pedersen dkk, 2004). Penyebab tersering kedua dari afasia ialah penyakit degeneratif seperti

Alzheimer atau demensia dengan prevalensi Alzheimer per tahun di Amerika ialah 5.000.000

kasus (Pedersen dkk, 2004).

Patofisiologi Afasia

Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,

fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang

dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien

yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri (Kusumoputro, 1992).

Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit

degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu

area Broca dan area Wernicke. Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab

atas pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam

artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan (Guyton dan Hall, 2006).

Page 9: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Area Wernicke atau area 22 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk impuls

pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami

serta mengerti suatu bahasa. Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan

bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia

transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung

antara area Broca dan area Wernicke (Guyton dan Hall, 2006).

Kebanyakan afasia terjadi akibat kelainan yang berkaitan dengan stroke, kerusakan pada

bagian kepala, tumor serebri, atau penyakit degeneratif. Neuroanatomi dari komprehensi dan

produksi bahasa merupakan proses yang kompleks meliputi input auditori dan pengkodean

bahasa di lobus temporalis superior, analisis di lobus parietalis, dan ekspresi di lobus frontalis,

turun melalui traktus kortikobulbaris menuju kapsula interna dan batang otak, dengan efek

modulasi dari basal ganglia dan serebelum (Sherwood, 2010).

Klasifikasi Afasia

1. Berdasarkan manifestasi klinik dan lokasi anatomi.

Berdasarkan manifestasi klinik, dibagi berdasarkan kelancaran berbicara:

a. Fluent (Lancar)

Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi bicara tidak

bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya.

Gambaran klinisnya ialah:

Keluaran bicara yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi dan irama bicara baik

Terdapat parafasia

Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk

Pengulangan (repetisi) terganggu

Menulis lancar tadi tidak ada arti

b. Non Fluent (Tidak lancar)

Keluaran bicara terbatas. Menggunakan kalimat pendek dan bentuk bicara sederhana.

Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk.

Gambaran klinisnya ialah:

Page 10: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Pasien tampak sulit memulai bicara

Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)

Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks

Artikulasi umumnya terganggu

Irama bicara terganggu

Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks

Pengulangan (repetisi) buruk

Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

Seorang afasia yang non-fluent mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan tertegun-

tegun: “mana… rokok… beli.”

Seorang afasia fluent mungkin akan mengatakan dengan lancar: “rokok beli tembakau kemana

situ tadi gimana dia toko jalan.”

2. Berdasarkan anatomi dari lesinya, dibedakan (Batson dan Avent, 2011; Solomon dkk, 2010):

a. Afasia Wernicke

Pemahaman terganggu terutama pada bahasa yang didengar dan dilihat, baik untuk 1 kata

maupun pada 1 kalimat utuh. Bahasa dapat diucapkan dengan lancar namun sangat parafasik

dan sirkumlokusius. Kecenderungan kesalahan parafasik sangat tinggi hingga terkadang disebut

neologisme, yang disebut juga jargon afasia. Pembicaraan biasanya mengandung banyak kata

sifat namun sedikit mengandung kata benda atau kata kerja. Pembicaraan banyak, namun tanpa

arti.

Penggunaan bahasa tubuh tidak banyak membantu komunikasi. Pasien tampak mengerti

bahwa pembicaraannya tidak dapat dimengerti oleh orang lain sehingga pasien tampak marah

dan tidak sabar ketika pemeriksa tidak mengerti maksud dari pembicaraannya. Pada pasien

dengan afasia wernicke dapat disertai dengan agitasi motorik dan perilaku paranoid. Pasien

dengan afasia wernicke tidak dapat mengekspresikan pemikiran mereka melalui kata-kata yang

sesuai dan tidak dapat memahami arti dari setiap kata yang masuk. Lesi ini terletak di area

wernicke

Bila area Wernicke pada hemisfer dominan seorang dewasa mengalami kerusakan,

normalnya pasien akan kehilangan hampir seluruh fungsi intelektual yang berhubungan dengan

bahasa atau simbolisme verbal seperti kemampuan membaca, kemampuan memecahkan

perhitungan matematika juga kemampuan untuk berpikir logis. Bila area Wernicke mengalami

Page 11: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

kerusakan yang parah, pasien mungkin masih dapat mendengar dengan sempurna dan bahkan

masih dapat mengenali kata-kata namun tetap tak mampu menyusun kata-kata ini menjadi suatu

pikiran yang logis. Demikian juga, pasien masih mampu membaca kata-kata tertulis namun

tidak mampu mengenali gagasan yang disampaikan. Pasien afasia Wernicke tidak mampu

memformulasikan buah pikirannya untuk dikomunikasikan. Bila lesinya tidak terlalu parah,

pasien masih mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata yang

sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan pikirannya.

Etiologi paling sering dari afasia wernicke adalah emboli dari arteri serebri media.

Etiologi lain bisa berasal dari perdarahan intraserebral, trauma kepala berat, dan tumor. Adanya

hemianopia kanan atau quadrantanopia superior dan pendataran sudut nasolabial kanan dapat

mempertegas adanya lesi di area wernicke.

b. Afasia Broca

Afasia Broca adalah suatu sindrom afasia non fluent yang ditandai oleh output verbal

yang sulit dikeluarkan, disartri, disprosodi dan agramatikal. Penderita dengan afasia Broca

masih memiliki pengertian yang utuh tetapi seringkali kesulitan dalam menguasai bahasa lisan

maupun tulisan pada hubungan gramatikal khusus (“put the blue square on top of the red

circle”). Repetisi, membaca dengan suara keras, penamaan dan menulis juga terganggu. Lesi

yang bertanggung jawab untuk afasia Broca mencakup girus frontal inferior dan daerah di dekat

operkulum dan insula pada daerah yang terletak di atas arteri serebri media. Luasnya lesi

menentukan gambaran dari sindrom afasianya. Kerusakan pada operkulum frontal menghasilkan

kesulitan untuk mengawali percakapan; cedera pada korteks lower motor mengakibatkan

disartria dan disprosodi; kerusakan yang menyebar lebih ke posterior sehingga meliputi koneksi

temporoparietal hingga operkulum yang menyebabkan parafasia fonemik serupa dengan yang

terjadi pada afasia konduksi. Afasia Broca klasik yang mengkombinasikan semua gambaran

tersebut dengan gumaman yang agramatikal dan diperpendek terlihat jika daerah diatas ventrikel

serta substansia alba yang berdekatan dan mengandung jaras periventrikuler limbik-frontal

tercakup dalam lesi. Jika lesi frontal meliputi area premotor dan operkulum frontal maka terjadi

hemiparesis kanan yang mengenai wajah dan tungkai atas yang lebih menonjol daripada tungkai

bawah biasanya menyertai afasia, dan suatu apraksia simpatetik (didiskusikan di bawah) dapat

mempengaruhi fungsi bukolingual dan fungsi tungkai sebelah kiri.

c. Afasia Global

Page 12: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Penderita afasia global mengalami gangguan secara jelas pada seluruh aspek fungsi

bahasa mencakup output verbal spontan, pengertian, repetisi, penamaan, membaca dengan suara

keras, pengertian dalam membaca, dan menulis. Seringkali verbalisasi spontan hanya berupa

produksi, tidak bermakna dan stereotip seperti “za,za,za,” meskipun beberapa pasien dapat

mengucapkan pengulangan kecil dari frase yang telah diperlajari yang dapat digumamkan

dengan fasih, dan banyak penderita afasia global yang dapat mengutuk dengan mudah saat

marah. Ucapan otomatis (menghitung, menyebutkan nama hari dalam minggu atau bulan dalam

tahun), dan menggumamkan nada-nada yang telah dipelajari (“Happy Birthday,” “Jingle Bells”)

dapat terjadi meskipun terdapat defek yang berat dalam bahasa ekspresif proporsional.

Pengertian bahasa yang buruk membedakan afasi global dari afasia Broca, dan repertisi yang

buruk membedakannya dengan afasia transkortikal campuran (afasia isolasi). Banyak penderita

afasia global akan mengikuti keseluruhan perintah utuh (“stand up,’”sit down”), dapat

membedakan bahasa asing dan percakapan omong-kosong dari pengujar asli, dapat menilai

infleksi secara memdasar untuk membedakan pertanyaan dan perintah, dapat mengenali nama

orang dan peristiwa penting yang relevan secara personal baik yang disebut maupun yang ditulis,

dan akan menolak bahasa tertulis yang ditampilkan terbalik, meskipun pengertiannya sangat

parah terganggu.

Secara patologik, lesi yang umumnya menyebabkan afasia global adalah infark besar

yang terletak di sebelah kiri yang disuplai arteri serebri media. Terdapat hemiparesis, defisit

hemisensoris, dan homonim hemianopsia khas yang menyertai. Sindrom ini menyatakan adanya

disfungsi dari Broca dan Wernicke. Sindrom ini juga dapat menjadi gejala awal dari afasia

Wernicke yang kemudian berkembang menjadi afasia Wernicke yang klasik.

d. Afasia Konduktif

Afasia konduksi merupakan sindrom afasia fasih yang unik dimana pengeluaran kata-kata

lancar namun parafasik, pemahaman bahasa masih baik, namun repetisi secara disproporsional

terganggu. Percakapan spontan ditandai oleh jeda pencarian kata dan perdominasi fonemik atau

parafasia literal terhadap parafasia semantik atau parafasia neologistik. Seringkali penderita

menyadari telah membuat kesalahan dan membuat perkiraan yang mendekati kata yang

dimaksud (conduit d’approche). Membaca dengan suara keras terganggu tetapi pengertian dalam

membaca masih utuh. Penamaan dan menulis keduanya abnormal dan mengandung subsitusi

parafasik fonemik.

Page 13: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

e. Afasia Anomik

Anomia dapat ditemukan di berbagai jenis penyakit yang mengenai hemisfer otak dan

tampak pada seluruh jenis afasia seperti halnya pada ensefalopati toksik metabolik dan pada

penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial. Tiga tipe primer anomia terjadi pada sindrom

afasik yakni anomia produksi kata, anomia seleksi kata, dan anomia semantik. Anomia produksi

kata ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan kata yang dimaksudkan. Problem

primernya adalah gangguan dalam mengawali kata dan pasien siap bereaksi terhadap petunjuk2

fonemik (suku kata pertama atau bunyi pertama dari sebuah kata). Anomia produksi kata

merupakan karakteristik dari afasia tidak fasih seperti afasia Broca dan afasia motor

transkortikal. Anomia produksi kata juga merupakan tipe utama defisit penamaan pada penderita

dengan demensia subkortikal.

Penderita dengan anomia sematik mengalami gangguan pada kemampuan terhadap nama,

tidak bereaksi terhadap petunjuk, dan tidak mengenali kata jika kata itu disebutkan oleh

pemeriksa. Bunyi dari kata kehilangan makna. Anemia semantic terjadi pada afasia Wernicke

dan afasia sensoris transkortikal. Anomia seleksi kata menggambarkan anomia, yakni kegagalan

untuk bereaksi terhadap petunjuk2 fonemik tetapi memiliki kemampuan utuh untuk mengenali

kata jika diberikan. Anomia seleksi kata merupakan gambaran utama dari afasia anomik.

Anomia akan tampak pada tes penamaan konfrontasi dan pada menulis spontan. Pasien

biasanya dapat mengenali kata yang benar jika ditampilkan oleh pemeriksa meskipun tidak

terkecuali. Afasia anomik biasanya mengindikasikan sebuah lesi pada girus angularis kiri atau

area yang berdikatan dengan girus teporalis kedua posterior. Beberapa penderita dengan afasia

anomik telah memiliki lesi pada daerah temporal anterior kiri atau daerah polar temporal. Afasia

anomik seringkali merupakan defisit residual setelah penyembuhan dari sindrom afasia yang

lebih luas (afasia Wernicke, afasia konduksi).

Tabel 2.1 Klasifikasi Kirshner, dimodifikasi Benson dan Geschwind (1976)

AFASIA Bicara spontan Penamaan Pengertian

auditorik

Pengulangan Membaca Menulis

BROCA Telegrafik

Non Fluen

_ + _ _ +

WERNICKE Fluen tp dg

kesalahan

_ _ _ _ _

Page 14: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

GLOBAL Telegrafik

Non Fluen

_ _ _ _ _

KONDUKSI Fluen tp dg

kesalahan

+/- + _ + +

ANOMIK Fluen dg

pencarian kata

_ + + + +

TRANSKORTIKAL

MOTORIK

Telegrafik

Non Fluen

+/- + + + +

TRANSKORTIKAL

SENSORIK

Fluen dg

kesalahan

_ _ + _ +/-

ALEKSIA DG

AGRAFIA

Hampir normal +/- + + _ _

ALEKSIA TANPA

AGRAFIA

Normal +/- + + _ +

Catatan : Positif berarti Normal

Negatif berarti terganggu

+/- berarti normal atau sedikit terganggu.

Beberapa kondisi yang berhubungan dengan Afasia

Aleksia. Aleksia merujuk pada ketidakmampuan membaca yang disebabkan oleh

kerusakan otak dan harus dibedakan dengan disleksia yaitu suatu abnormalitas

perkembangan dimana seseorang tidak mampu untuk belajar membaca, juga dibedakan

dari kemampuan membaca huruf yang mencerminkan latar belakang pendidikan buruk.

Kebanyakan penderita afasia juga mengalami aleksia, tetapi aleksia dapat terjadi tanpa

adanya afasia dan terkadang tampak sebagai satu-satunya ketidakmampuan akibat lesi

saraf pusat yang khusus.

Agrafia. Agrafia menunjukkan gangguan kemampuan menulis yang didapat. Hal ini

merefleksikan gangguan afasia dengan suatu defisit kemampuan menulis atau dapat

sebagai suatu konsekuensi dari abnormalitas sistem motorik. Agrafia mesti dibedakan

dari kondisi buta huruf yang mana dari awal memang tidak memiliki kemampuan

menulis.

Aprosodia. Prosodi mengandung variasi dalam tinggi nada, tekanan, dan irama yang

mendasari melodi ucapan dan infleksi. Prosodi memberi bahasa dengan makna emosional

(prosodi afektif) dan memberi kontribusi pada makna semantik.

Page 15: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Gagap. Gagap merupakan suatu gangguan irama bicara dengan keragu-raguan, jeda, dan

repetisi bunyi dalam kata. Gagap mungkin merupakan tipe masa anak yang dimulai

antara umur 2 dan 10 tahun atau merupakan tipe didapat dalam masa kehidupan akibat

suatu penyakit saraf. Pada kebanyakan kasus gagap membaik sebelum umur 16 tahun dan

berlanjut seumur hidup pada 20% individu. Positron emission tomography (PET-Scan)

menunjukkan bahwa orang yang gagap mengalami penurunan metabolisme pada korteks

cingulate anterior dan girus temporal superior dan media yang lebih berat pada hemisfer

kiri daripada hemisfer kanan.

Gagap yang didapat berhubungan dengan penyembuhan dari afasia, cedera traumatik atau

vaskuler pada sistem piramidal subkortikal dan sitem ekstrapiramidal hemisfer manapun,

atau penyakit pada ganglia basalis seperti penyakit Parkinson dan supranuklear palsy

progresif. Terapi wicara dan pemakaian teknik percepatan bermanfaat pada beberapa

pasien.

Ekolalia , refleks mengulangi kata kata atau ucapan orang lain secara otomatis. Terjadi

pada afasia transkortikal dan penyakit yang mempengaruhi sirkuit lobus frontal – ganglia

basalis.

Derajat Keparahan Afasia

Aphasia Severity Rating Scale menurut test Boston.

0. Tidak ada curah verbal atau pengertian auditoris samasekali

1. Tuturan yang terputus-putus dan perlu upaya besar dari pendengar untuk menyimpulkan.

2. Sering salah mengungkapkan isi pikiran, namun kadang pada masalah biasa masih

mungkin dengan bantuan pendengar

3. Dapat berbincang masalah sehari-hari namun kurang curah verbal juga pengertian

bahasa.

4. Tidak lancar dalam berbicara / kemampuan pengertian bahasa, tanpa batasan berarti pada

ungkapan isi pikiran.

5. Hambatan bicara minimal, kesulitan tidak tampak nyata.

Diagnosis dan Pemeriksaan Afasia

Pengamatan terhadap fungsi bahasa dibuat selama wawancara untuk mengidentifikasi

tipe afasia dan untuk menduga letak dari lesi yang mendasari. Pada penderita kinan, afasia

Page 16: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

berkorelasi dengan lesi di hemisfer kiri sebesar 99%. Diperkirakan 60% orang kidal akan

memiliki pola dominansi yang serupa dengan orang yang kinan dengan dominansi bahasa yang

terlihat pada hemisfer kiri. Lateralisasi yang hilang secara relatif pada orang-orang yang bukan

kinan dimanifestasikan dengan kecederungannya mengalami afasia tanpa memandang hemisfer

mana yang mengalami cedera, prognosis yang lebih baik bagi pemulihan bahasa.

Langkah pertama dalam penilaian afasia mencakup kelancaran berbicara. Output nonfluent

ditandai dengan sedikitnya kata yang diucapkan (biasanya 10-50 kata permenit) sementara afasia

fluent memiliki output verbal yang normal atau bahkan berlebihan (lebih dari 200 kata permenit).

Afasia nonfluent mengalami kesulitan untuk mengawali dan menghasilkan percakapan dan

cenderung untuk menghasilkan satu kata untuk menjawab. Afasia fluent hampir memiliki output

verbal dengan pola yang berlawanan, menghasilkan sejumlah besar output verbal yang

diartikulasi dengan baik, frase-frase prosodia dengan panjang yang normal tetapi mengandung

informasi sedikit. Parafasia menonjol dan pada fase akut terdapat kecenderungan pasien tidak

menyadari atau menolak adanya defisit bahasa sedikitpun. Pada orang dewasa, afasia fluent

berhubungan dengan lesi pada area posterior hemisfer kiri.

Langkah kedua Penilaian bahasa yang komprehensif untuk mengevaluasi penderita afasia.

Gangguan pengertian mungkin ringan atau berat, dan tes pengertian bahasa yang secara hirarki

makin sulit harus digunakan pada uji afasia. Secara umum penderita dengan lesi fokal yang

terbatas pada lobus frontal kiri tetap memiliki pengertian (afasia Broca dan afasia motorik

transkortikal) sedangkan penderita dengan lesi yang mengenai lobus temporal posterior atau

parietal mengalami gangguan pengertian dalam beberapa derajat (afasia Wernicke, afasia global,

afasia sensoris transkortikal).

Langkah ketiga adalah menentukan kemampuan penderita untuk mengulang kata dan kalimat

dengan benar. Kegagalan dalam repetisi mengambil bentuk dari intrusi parafasik, terjadi

perubahan pada rangkaian kata yang ditampilkan, hilangnya kata, atau kecenderungan untuk

mengubah isi dari kalimat yang ditampilkan. Sindrom afasik dengan repetisi yang terganggu

(Afasia Wernicke, afasia Broca, dan afasia konduksi) mempunyai lesi yang mengenai struktur di

dekat fisura sylvii pada hemisfer kiri sedangkan sindrom dengan kemampuan repetisi utuh

(afasia transkortikal) berhubungan dengan lesi yang tidak mengenai area perisylvii.

Page 17: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Setelah observasi awal dilakukan berhubungan dengan kelancaran berbahasa, pengertian

dan repetisi maka dibuat penggolongan lebih lanjut dalam karakterisasi sindrom afasia dan

lokalisasi lesi dengan menggunakan tes penamaan, membaca dan menulis.

Beberapa perangkat pemeriksaan yang dapat digunakan untuk evaluasi neurobehavior adalah:

1. Minnesota Test For Differential Diagnosis Of Aphasia (MTDDA) dikembangkan oleh

Schuell thn 1965. Tujuan untuk diagnosis differensial afasia ya/tidak, diagnosis

differensial afasia dengan/ tanpa apraksia, disartria, gangguan persepsi. Lamanya tes rata-

rata 3 jam.

2. Tes Keping 36 , modifikasi dari A Shortened Version of The Token Test Ennio De Renzi

1979 untuk menentukan derajat kemampuan pengertian bahasa. Untuk mengukur

pemahaman bahasa auditif tanpa mengandalkan daya ingat atau intelegensi pasien.

Waktu yang diperlukan sekitar 20-30 menit. Tes ini sangat peka, juga untuk melacak

orang yang terkena afasia yang ringan sekalipun.

3. Test Boston, dibuat oleh Goodglass and Kaplan (1972, 1983) yaitu The Assesment of

Aphasia and Related Disorders, secara garis besar terdiri dari 2 bagian yaitu bagian

Verbal dan Nonverbal untuk menentukan jenis afasia dan keparahannya.

Untuk mendiagnosis afasia dan sindrom-sindrom afasia sehingga memberi kesimpulan

tentang lokasi kelainan serebral. Digunakan untuk pedoman dan penilaian perkembangan

pengobatan. Terdiri dari 27 subtes yang dikelompokkan dalam 5 bagian, yaitu: (bicara

spontan, pemahaman auditif, ekspresi lisan, membaca dengan pemahaman, menulis).

Waktu tes cukup lama antara 1-3 jam

4. TADIR (Test Afasia untuk Diagnosis, Informasi, Rehabilitasi), Dharmaperwira-Prins

1996 yang dikembangkan oleh Akademi Terapi Wicara di Jakarta tahun 1994. Tes ini

dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pengarang yang mendalam

mengenai bahasa/komunikasi dan afasia, baik dari segi ilmiah maupun penanganan pada

pasien-pasien afasia. Membuat diagnosis afasia/bukan afasia; membuat diagnosis

sindrom afasia yang mana; memberi informasi kepada pasien, lingkungannya dan orang

lain, menjadi titik tolak untuk penanganan wicara (rehabilitasi) (Dharmaperwira,1996)

Manajemen Afasia

Page 18: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Semua afasia berkembang dari waktu ke waktu, sehingga kemungkinan prognosis harus

dibuat berdasarkan penilaian awal (3 sampai 4 minggu setelah onset). Misalnya, kondisi pasien

yang awalnya dengan afasia nonfluent berat (global) dengan pemberian terapi wicara-bahasa

yang adekuat cenderung berkembang menjadi afasia tipe Broca kronis. Kondisi pasien yang

awalnya dengan afasia fluent berat (Wernicke) dengan pemberian terapi yang adekuat memiliki

kemungkinan untuk berkembang menjadi afasia konduksi atau anomia.

Proses pemulihan dari afasia cenderung memakan waktu lama, dari bulan hingga

tahunan, dan pada sebagian pasien dengan tingkat keparahan afasia berat akan menetap

sepanjang hidupnya. Hanya sekitar 38% penderita afasia mengalami resolusi pada 7 hari pertama

pasca stroke. 18 bulan setelah onset stroke, resolusi komplit afasia hanya didapatkan pada 24%

pasien, sedangkan 43% pasien masih menderita afasia yang signifikan (Zhang dkk, 2016).

A. Terapi Medikamentosa

Belum ada tatalaksana medikamentosa yang dinilai efektif dalam tatalaksana afasia.

Tatalaksana medikamentosa pada afasia akut akibat stroke terbatas pada kesegaran reperfusi

otak dalam 1 jam pertama onset stroke. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk

(2016), turunan GABA (Gamma aminobutirat acid) yang diberikan 6 minggu – 6 bulan

dengan dosis 4800 mg dianggap berperan pada fase akut dan subakut namun belum dipahami

secara pasti, diduga terjadi peningkatan aliran darah otak di daerah bahasa utama yang

berkorelasi positif dengan pemulihan bahasa. Mekanisme lain dengan melibatkan modulasi

kolinergik, glutamatergik, dan sistem neurotransmiter seperti GABA-ergik (Prawiroharjo

dkk, 2017)

Kolinesterase inhibitor, donepezil menunjukkan beberapa efek terapi positif afasia pasca stroke.

Diduga dapat memfasilitasi neurotransmisi pada sambungan kolinergik otak ke daerah bahasa.

Jalur ini berperan penting untuk plastisitas potensial jangka panjang meningkatkan atensi,

pembelajaran, dan memori. Pada sebuah studi yang meneliti efek donepezil, dalam 4 minggu

pertama diberikan donepezil dosis 5mg, dilanjutkan 10mg dalam 12 minggu, dan selama

observasi 4 minggu selanjutnya tercatat efek perbaikan fungsi berbahasa pada pasien yaitu

diskriminasi fonemik, repetisi kata, mencocokkan gambar, menamai benda, dan peningkatan

skor proses semantik leksikal, serta luaran fonologi yang signifikan (Prawiroharjo dkk, 2017).

Page 19: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Memantin merupakan agonis reseptor N metil-d-aspartat (NMDA) yang sudah diuji

dengan RCT pada afasia dengan dosis 10 mg dua kali sehari dan dilaporkan berhubungan dengan

efek jangka panjang perbaikan kemampuan komunikasi fungsional (Prawiroharjo dkk, 2017).

B. Terapi Nonmedikamentosa

Pelopor dalam terapi wicara adalah Emil Froeschels (Austria) 1909 yang melakukan

terapi wicara secara terprogram. Luria (1973) menekankan filosofi dan konsep rehabilitasi

yaitu adanya sistem fungsional dasar di zona kortikal yang terdiri dari area primer, sekunder

dan tersier. Konsep rehabilitasi dikaitkan dengan restorasi dari fungsi spesifik dan bertujuan

memperbaiki gangguan berbahasa agar menjadi produktif dapat memperbaiki kualitas hidup

(Goldstein 1987). Memang ada periode pemulihan spontan (Geschwind 1974) dari

pengamatan ada proses pemulihan yang lama. Prinsip terapi adalah mengembangkan

program stimulasi, materi dan jadwal terapi terstruktur. Pendidikan dan konseling dengan

keluarga juga sangat penting.

Beberapa terapi pendekatan spesifik tersedia untuk pasien dengan afasia dan telah

terbukti efektif. Studi metaanalisis menunjukkan bahwa hasil terapi untuk afasia telah

menunjukkan bahwa terapi wicara-bahasa untuk afasia memiliki dampak positif yang

signifikan pada pemulihan dalam fase akut dan fase kronis, dan durasi terapi wicara-bahasa

merupakan faktor penting untuk memberikan pemulihan yang efektif dan bertahan lama.

Terapi afasia intensif (rata-rata 98 jam) tampaknya menjadi persyaratan untuk hasil yang

positif, dan durasi terapi yang lebih singkat (rata-rata 44 jam atau kurang) ternyata kurang

efektif.

Sesudah terjadi afasia, ahli logopedi harus secepatnya menciptakan kontak dengan

pasien. Biasanya hal ini dilakukan pada tahap awal di rumah sakit, seringkali di tempat tidur

pasien. Sesudah memperkenalkan diri dan mengajukan beberapa pertanyaan, mungkin sudah

dapat diperoleh kesan tentang gangguannya. Sejak awal terutama harus dijaga agar jangan

sampai pasien menjadi putus asa karena merasa tidak dipahami lingkungannya.

Sesudah pemeriksaan, diharapkan kita sudah memiliki data tentang gangguannya dan

kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pasien untuk berkomunikasi. Dari sejak awal,

lingkungan perlu diberi kesadaran bahwa sebenarnya bukan bahasa yang menjadi sasaran,

Page 20: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

melainkan komunikasi dan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan

orang lain sehingga komunikasi itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien memahami dan

memberitahukan sesuatu:

Bicara dengan tenang dan jelas serta menggunakan kalimat yang singkat. Tekankan

kata-kata yang penting dalam kalimat. Selalu gunakan kalimat dengan satu pesan dan

tunggu reaksi pasien untuk melihat bagaimana reaksi pasien untuk melihat apakah ia

memahaminya. Kalau perlu ulangi lagi.

Bicaralah dengan pasien tentang hal-hal sekelilingnya yang menarik perhatiannya.

Sediakan buku catatan dan pena untuk menuliskan kata-kata pokok suatu cerita

Jika pasien sulit memahami, jelaskanlah dengan gerak-isyarat atau gambar

Kalau pasien sulit menjawab, ajukan pertanyaan yang jawabannya: ya atau tidak.

Tunjukkan bahwa proses komunikasi dengan jalan apapun telah berjalan baik. Hal itu

akan mendorong pasien untuk mencobanya lagi pada kesempatan lain.

Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi yang harus diperhatikan:

Pasien jangan terlalu letih.

Coba bercakap-cakap dalam lingkungan yang tenang agar perhatian tidak teralihkan.

Jangan membicarakan pasien atau penyakitnya di depan pasien itu sendiri.

Ciptakan suasana kebersamaan yang tidak harus melalui percakapan, komunikasi

dapat dilakukan dengan kegiatan seperti nonton TV bersama, bermain catur, kartu dll.

Cobalah membuat pasien tertawa dan ciptakan suasana santai untuk komunikasi.

Libatkan lingkungan sebanyak mungkin ke dalam proses penanganan seperti

keluarga, perawat dan orang lain di sekitarnya.

Terapi Wicara

Ada dua tahapan pemulihan bahasa:

(1) penyembuhan awal yang spontan yang dimulai dalam beberapa hari dari onset dan berakhir

sekitar 1 bulan (mungkin lebih) setelah onset.

(2) pemulihan jangka panjang, yang berlangsung berbulan-bulan atau bahkan tahunan.

Page 21: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Idealnya, terapi intensif afasia harus dimulai dan dipertahankan secepat-cepatnya saat pasien

dinyatakan stabil secara medis dan neurologis (meskipun dengan penundaan sampai 6 bulan post

onset, terapi masih menunjukkan manfaat). Terapi wicara harus ditujukan kepada pasien dan

keluarga pasien atau pihak lain yang terkait. Terapi biasa diberikan 3-5 kali perminggu untuk 2-3

bulan, selama itu pasien direevaluasi pada bulan pertama dan setelah bulan kedua atau ketiga.

Saat kemajuan terapi mencapai hasil yang tinggi, maka pemberian terapi secara bertahap

dihentikan (penghentian mendadak akan membahayakan secara psikologis) dengan mengurangi

terapi 1-2 kali perminggu, kemudian tiap 1 sampai 2 bulan dengan reevaluasi pada bulan keenam

dan kesepuluh.

Terapi wicara (individu atau grup) untuk afasia pada umumnya dilaporkan bermanfaat dan

tidak merugikan pada pasien dengan etiologi nonprogresif (stroke dan tumor otak yang sudah

operasi). Studi terbaru perbaikan afasia berat terjadi dalam 2 tahun pertama post onset dengan

catatan terdapat perbaikan signifikan dalam fungsi komunikasi sampai 18 bulan, dengan

perbaikan terbanyak terjadi pada 6 bulan pertama.

Adanya bermacam-macam tipe dari afasia mungkin memerlukan pendekatan terapi serta

cara komunikasi yang berbeda:

1) Afasia Global: lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan anggota keluarga untuk

komunikasi dengan penderita dari pada peningkatan kemampuan bahasa dari penderita.

Tehnik yang digunakan:

.Menggunakan suara dan ekspresi wajah ־

Menunjuk benda-benda tertentu di lingkungannya untuk memberi masukan visual ־

Menggunakan gerak-isyarat yang sederhana untuk suatu ide (misalnya: menganggukkan ־

kepala untuk “ya”, menggelengkan kepala untuk “tidak”).

.Tata bahasa yang sederhana, bicara pelan-pelan, jangan mengubah topik terlalu cepat ־

2) Afasia Broca: penanganan ditekankan kepada pengembangan kemampuan mengeluarkan

suara (“sesukanya”) sebagai alat untuk mengekspresikan maksudnya (dapat dengan bantuan

gambar-gambar, foto-foto maupun cermin).

3) Afasia Wernicke:

Pada permulaan ditekankan kepada peningkatan komprehensi pendengaran dan umpan ־

baliknya.

.Mengembangkan kesadaran bahwa ada gangguan komunikasi ־

Page 22: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

.Memperbaiki kualitas keluaran ucapan ־

4) Afasia Konduksi: ciri utamanya repetisi kata-kata yang berat gangguannya. Penanganannya

dengan tehnik mengurangi kecepatan bicara, memperpanjang durasi fonem, belajar

mengawali bicara dengan mudah. Pasien dengan afasia konduksi sadar akan kekeliruannya

dan berusaha membetulkannya.

5) Afasia Anomik: penanganannya ditekankan pada membangun kembali asosiasi di antara

kata-kata dengan cara :

.Mengindividualkan kata-kata yang menjadi target ־

.Latihan memvisualkan kata-kata target ־

.Melatih memikirkan ciri-ciri fisik dari kata-kata target ־

.Melatih mencari sinonim kata dan definisi kata-kata target ־

Ada bermacam-macam metode terapi wicara pada pasien afasia, antara lain:

1. Tehnik Stimulasi (Schuell, 1964)

Pada tehnik ini tidak dibeda-bedakan sindrom-sindrom afasia, pendekatan dilakukan dengan

pemberian stimulasi berupa auditori, bahasa tertulis maupun gambar-gambar. Dalam

memancing respon dapat lebih dari satu modalitas, misalnya dengan meminta pasien

menyebutkan nama gambar, menyuruh mengulangi kata tersebut, menuliskan kata tersebut

serta mengucapkannya kembali.

2. MIT : Melodic Intonation Therapy (Sparks, Holland, 1976)

Telah diamati, pasien yang tidak atau hampir tidak dapat bicara biasanya dapat menyanyi,

juga menyanyikan kata-katanya. Rupanya kata-kata itu turut tertarik oleh lagunya, suatu

fungsi hemisfer kanan yang pada afasia tidak terganggu.

Metode MIT ini terdiri dari 4 tingkat:

Tk I : Pasien diajarkan untuk mengambil alih lagu-lagu, didukung oleh

ketukan irama dan aksen lagu.

Tk II : Pasien diajarkan menyanyikan kalimat-kalimat pada melodi →

dengan turut menyanyi, meniru lalu menggunakan kalimat

sebagai jawaban dari pertanyaan.

Tk III : Masih dengan lagu, dilatih kalimat-kalimat yang lebih panjang

Page 23: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Tk IV : Tidak ada nyanyian, tetapi latihan dilakukan dengan intonasi

yang berlebihan.

Terakhir : Tahap antara menyanyi dan bicara normal

Metode ini cocok diberikan pada pasien afasia Broca berat dengan pemahaman yang baik

namun fluensinya kurang. Menurut Sparks, pasien afasia Wernicke dan transkortikal bukan

calon yang baik untuk terapi ini, sedangkan pasien afasia konduksi mungkin calon yang baik.

3. VAT : Visual Action Therapy (Helm, Benson, 1978)

Terapi kegiatan visual menggunakan lambang-lambang abstrak, penggunaan gerak-isyarat

dengan pemakaian simbolisasi dengan gambar-gambar atau lukisan. Metode ini ternyata

dapat digunakan pada pasien dengan afasia global dengan bahan yang digunakan terdiri dari

gambar-gambar benda yang dapat digerakkan dengan satu tangan dan gambar situasi setiap

gerak-isyarat (misal: orang sedang memaku dll). Petunjuk diberikan ahli terapi dengan gerak-

isyarat dan mimik muka.

4. PACE : Promoting Aphasics Communicative Effectiveness (Davis, Wilcox, 1981)

Metode ini didasarkan atas 4 prinsip:

1) Ada pertukaran informasi baru antara ahli terapi dan pasien.

2) Pasien dapat bebas memilih jalur komunikasi yang dapat ia gunakan untuk

menyampaikan informasi baru.

3) Ahli terapi dan pasien mempunyai porsi yang sama besarnya dalam mengirim dan

menerima pesan.

4) Umpan balik diberikan oleh ahli terapi sebagai tanggapan terhadap keberhasilan pasien

dalam menyampaikan pesan.

Penanganannya sebanyak mungkin mendekati komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pasien boleh menunjuk, menggunakan gerak-isyarat, menulis, menggambar, asal pesannya

tersampaikan. Umpan balik bertujuan merangsang pasien agar menggunakan strategi yang

efektif. Latihan ini dapat bertujuan untuk membimbing dan mengajarkan pasien dengan

gangguan berat dalam hal menemukan kata agar dapat menggunakan panggambaran-

penggambaran untuk menyampaikan maksudnya. Sebaliknya, saat tiba giliran terapis

memberikan gambaran, pasien tidak perlu menebak dengan kata-kata tetapi dapat juga

dengan menunjuk atau menggambar.

Page 24: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Selain metode-metode di atas, untuk mempermudah terapi wicara dan komunikasi pada pasien-

pasien afasia kadang diperlukan “alat-alat bantu komunikasi”. Seseorang dengan afasia ringan

sekalipun kadang mengalami kesulitan dalam menemukan kata atau nama yang tepat, sekalipun

menyangkut hal-hal sehari-hari yang sederhana.

Prognosis

Prognosis pemulihan bahasa bervariasi sesuai dengan penyebab afasia dan tipe defisit

gangguan berbahasanya. Afasia karena penyebab vaskuler paling banyak yang membaik

terutama dalam waktu 3 – 6 bulan pertama meskipun derajat penyembuhan akan berlanjut

selama 5 tahun atau lebih. Afasia global memiliki prognosis paling buruk untuk perbaikan

ketrampilan bahasa yang bermanfaat; afasia Broca dan afasia Wernicke memiliki keseluruhan

prognosis untuk penyembuhan dengan ukuran yang bervariasi dari satu pasien ke pasien lain;

afasia anomik, afasia konduksi, dan afasia transkortikal memiliki prognosis yang relatif baik,

dengan beberapa penderita sembuh sempurna. Penelitian pencitraan neurologik menyediakan

informasi prognostik yang bermanfaat. Lesi2 yang secara langsung mencakup daerah temporal

superoposterior pada hemisfer kiri menyarankan bahwa akan terjadi penyembuhan yang terbatas

pada pengertian auditorik, dan lesi2 yang besar mengenai daerah rolandik berhubungan dengan

pemulihan yang buruk dari kelancaran berbicara. Pada banyak kasus, penderita dengan defisit

linguistik yang lebih luas biasanya berkembang ke dalam tahap afasia anomik residual. Penderita

afasia yang lebih muda cenderung untuk mengalami perbaikan ketrampilan bahasa yang lebih

baik daripada penderita yang lebih tua, dan penderita yang kidal memiliki prognosis yang lebih

baik daripada penderita yang kinan. Secara umum pengertian bahasa membaik lebih daripada

kelancaran berbicara yang ekspresif.

Penutup

Komunikasi dalam kehidupan manusia merupakan hal yang sangat penting. Secara fungsi

maupun lokasi anatomi “wicara-bahasa” adalah berbeda. Bahasa merupakan alat komunikasi

utama manusia dan dasar dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Afasia merupakan

gangguan komunikasi (berbahasa) karena kerusakan otak yang mengatur fungsi bahasa,

umumnya di hemisfer serebri kiri (dominan). Kebanyakan terjadi akibat kelainan yang berkaitan

dengan stroke, cedera kepala, tumor serebri atau penyakit degeneratif.

Page 25: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Beberapa pendekatan penanganan afasia, menunjukkan hasil yang signifikan pada pemulihan

fase akut dan kronis, lamanya penanganan juga penting untuk memberikan pemulihan yang

efektif dan bertahan lama. Terapi afasia intensif (rata-rata 98 jam) tampaknya menjadi

persyaratan untuk hasil yang positif, dan durasi terapi yang lebih singkat (rata-rata 44 jam atau

kurang) ternyata kurang efektif.

Sesudah terjadi afasia, ahli logopedi harus secepatnya menciptakan kontak dengan pasien.

Biasanya hal ini dilakukan pada tahap awal di rumah sakit, seringkali di tempat tidur pasien.

Sesudah memperkenalkan diri dan mengajukan beberapa pertanyaan, mungkin sudah dapat

diperoleh kesan tentang gangguannya. Sejak awal terutama harus dijaga agar jangan sampai

pasien menjadi putus asa karena merasa tidak dipahami lingkungannya.

Sesudah pemeriksaan, diharapkan kita sudah memiliki data tentang gangguannya dan

kemungkinan-kemungkinan yang ada pada pasien untuk berkomunikasi. Dari sejak awal,

lingkungan perlu diberi kesadaran bahwa sebenarnya bukan bahasa yang menjadi sasaran,

melainkan komunikasi dan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan

orang lain sehingga komunikasi itu merupakan tanggung jawab kedua belah pihak

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien memahami dan

memberitahukan sesuatu:

DAFTAR PUSTAKA

Batson DW, Avent J. 2011. Adult Neurogenic Communication Disorders. In: Braddom RL. Physical

Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Saunders. p. 54-57

Dharmaperwira PR. 1996. TADIR Tes Afasia Untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI.

Dharmaperwira PR, Maas W. 2002. Afasia Deskripsi Pemeriksaan Penanganan. Edisi Kedua. Jakarta:

Balai Penerbit FK UI.

Page 26: GANGGUAN OTAK YANG TERKAIT DENGAN KOMUNIKASI

Gupta A, Singhal G. 2011. Understanding Aphasia in a simplified Manner, Journal Indian Academy of

Clinical Medicine.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.

Kusumoputro S. 1992. Gangguan Berbahasa Hemisfer Kiri. Dalam : Kusumoputro S, editor. Afasia :

Gangguan Berbahasa Edisi 1. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Pearl L.P, Emsellem A. Helene. 2014. The Central Nervous System : Brain and Cord. Dalam: Neurologic

a primer on localization. p 3-27.

Pedersen PM, Vinter K, Olsen TS. 2004. Aphasia after stroke: type, severity and prognostic. The

Copenhagen Aphasia Study. Cerebrovasc Dis. 17(1):36-43

Prawiroharjo P, Tiksnadi A, Lastri DN. 2014. Afasia. Buku ajar Neurologi : Buku 1. Departemen

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bab 11: 181-194

Rohkamm R. 2004. Middle Cerebral Artery, Language dalam M.D. Color Atlas of Neurology. 12: 124-

127.

Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th ed. Belmont (USA): Brooks/Cole, Cengage

Learning; 2010.

Solomon B, Brewer C, Brodsky MB, Palmer JB, Ryder J. 2010. Speech, Language, Swallowing, and

Auditory Rehabilitation. In: Frontera WR, DeLisa JA, editors. DeLisa’s Physical Medicine &

Rehabilitation Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a

Wolters Kluwer Business. p. 420-422

Tan JC. 1998. Practical Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. St. Louis (Missouri): Mosby.

Tubbs RS, Hankinson TC, Wyler AR. 2013. Middle Cerebral Artery. Dikutip dari

http://emedicine.medscape.com/article/1877617overview#aw2aab6b3

Zhang J, Wei R, Chen Z, Luo B. 2016. Piracetam for aphasia in post stroke patient: A systematic review

and meta-analysis of randomized controlled trials. CNS drugs. 30 (7): 575-87