Upload
ady-kunchoro
View
90
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mengenai gasifikasi batubara
Citation preview
GASIFIKASI BATUBARA
Di susun oleh,
Riska Hasnela (03081003046)
Ari primawan (03081003057)
Supadi (03081003058)
Maswardi yusra (03081003059)
Riezky amanda (03081003060)
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kami diberi kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga dapat terselesaikannya Makalah ini.
Makalah ini berjudul gasifikasi batubara. Dimana dalam makalah ini akan dijelaskan
mengenai beberapa cara dalam pengolahan batubara dengan cara gasifikasi. Dengan harapan
bagi pembaca mampu menemukan ide baru untuk mengolah batu bara agar lebih efisien.
Kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan dan masukan bagi kami, agar
kedepanya akan lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah
pengetahuan dan informasi. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Inderalaya, 24 November 2011
Ttd
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batubara merupakan sumberenergi paling potensial yangdiharapkan
dapatmenggantikan peran minyak bumi sebagai bahan bakar maupun bahan baku industri
kimia. Pada saat ini, Indonesia mempunyai sumber daya batubara yang cukup besar mencapai
104,76 miliarton (www.esdm.go.id., 2009) tersebar terutama di Kalimantan dan Sumatera.
Sedangkan cadangan minyak bumi kita semakin menipis dan produksinya juga menurun
sehingga Indonesia telah menjadi net importer minyak dan bahkan telah keluar dari organisasi
negara-negara produsen dan ekportir minyak OPEC.-Oleh karena itu Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan energi untuk mengurangi penggunaan minyak dan mendorong
penggunaan batubara. Sebagai sumber energi alternatif, batubara dapatdimanfaatkan sebagai
bahan bakar langsung (padat) atau dikonversikan menjadi bahan bakar gas maupun bahan
bakar cair.
Teknologi gasifikasi batubara (konversi batubara menjadi gas) kini sudah
berkembangdengan baik dan dapat memproduksi gas yangdapat memenuhf persyaratan untuk
digunakan sebagai bahan bakar mesin pembakaran internal {internal combustion engine)
seperti motor bakar atau mesin diesel. Penggunaan gas alam maupun gas hasil gasifikasi
biomasa untuk mesin pembakaran internal sudah sejak lama diterapkan. Gas tersebut
digunakan bersamaan dengan solar {dual fuel) untuk menghasilkan proses pembakaran di
ruang bakar.
Banyak jenis gasifier yang berbeda, sebagai contoh, unggun tetap (fixed–bed), unggun
bergerak (moving–bed), unggun mengambang (fluidized–bed) dan unggun pancaran (spouted–
bed) telah digunakan dalam penelitian dan pengembangan skala laboratorium maupun skala
industri [1~6]. Meskipun masing–masing gasifier tersebut memiliki kelebihan khusus, namun
keberadaan gas buang tertentu masih terkandung di dalam produk gas, akibat pembakaran
batubara menggunakan O2 ataupun udara secara langsung untuk memberikan panas yang
diperlukan oleh reaksi endotermis dari proses gasifikasi batubara
Gasifier jenis unggun bergerak yang dilengkapi dengan pipa hisap (draft tube)
memiliki karakteristik antara lain: (i) produk gas kaya akan H2 (hidrogen) dengan nilai kalori
tinggi, karena panas reaksi endotermis proses gasifikasi batubara dipisahkan dari panas
pemberian proses yang diperoleh melalui pemanasan sejumlah serbuk keramik merah di
dalam pipa hisap dengan membakar sebagian produk gas menggunakan udara kemudian
disirkulasikan di dalam pipa hisap, siklon dan gasifier unggun bergerak; (ii) abu, batubara
yang tidak tergasifikasi dikeluarkan secara gravitasi dari bagian bawah gasifier kemudian
dihembuskan ke atas dengan udara tekan menggunakan kompresor melalui pipa hisap dan
dipisahkan di dalam siklon; (iii) penambahan serbuk halus batubara diperlukan untuk
memindahkan efektifitas panas berlebih antara batubara dan serbuk keramik merah yang
panas di dalam gasifier unggun bergerak.
1.2 Permasalahan
a. Mengapa batubara perlu dilakukan pengolahan lanjutan ?
b. Mengapa menggunakan proses gasifikasi untuk mengolah batu bara ?
1.3 Hipotesa
a. Agar nilai ekonomis dari batubara bertambah dan emisi gas hasil pembakaran dapat
diminimalisasi
b. Karena proses gasifikasi batubara merupakan suatu cara pengolahan batu bara yang
lebih efisien dan lebih mudah dalam pembuatanya.
1.4 Tujuan
a. Untuk memperdalam pengetahuan pengolahan batu bara terutama secara gasifikasi
b. Untuk mengetahui perbandingan antara pengolahan batubara secara gasifikasi dan
pengolahan lainya
c. Untuk mengetahui proses apa saja yang terjadi selama gasifikasi berlangsung
1.5 Manfaat
a. Akan lebih pahan mengenai pengolahan batubara secara gasifikasi
b. Kita akan tahu lebih efisien mana antara pengolahan batubara secara gasifikasi dengan
pengolahan yang lain.
c. Kita akan tahu kondisi operasi dalam proses gasifikasi.
BAB II
PEMBAHASAN
Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang
berupa padatan, menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan
batubara sebenarnya berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara
seperti halnya minyak. Seperti disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk
batubara ketika dilakukan pemanasan adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara
dan minyak merupakan material hidrokarbon yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C),
hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur hidrogen dalam batubara lebih sedikit
bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk cairan dari
batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan agar kandungan
hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan hidrogenasi
(hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai
penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan
batubara secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses Bergius.
Metode ini digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi kebutuhan
minyak sintetik oleh militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan sendiri teknologi
DCL ini dengan menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara bituminus
yaitu, direct hydrogenation, solven extraction, danSolvolysis. Teknologi tersebut dikenal
dengan proses NEDOL, yang dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara muda
Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara dari bahan bakar
padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara menjadi gas, maka material yang
tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat
dihilangkan dari gas dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas
bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi. Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar
dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen
yang terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang terkandung dalam
batubara dan menghasilkan CO2 dan air serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan
pasokan udara yang tepat akan mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.
Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari
batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk dari proses
pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran “setengah matang”). Senyawa
gas yang terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki potensi
energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah
dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam
boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya
(menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas alam,
maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas (syntetic gas). Dengan proses
lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction
(pencairan batubara). Metodenya ada bermacam-macam, antara lain Fischer-Tropch, Bergius,
dan Scroeder. Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal, maka pasokan
oksigen harus dikontrol sehingga panas yang dihasilkan dari pembakaran “setengah matang”
ditambah energi yang terkandung pada senyawa gas yang terbentuk setara dengan energi dari
batubara yang dipasok.
3.1 Alasan Pengembangan Teknologi Gasifikasi Batubara
a. Teknologi ini adalah cara untuk memperoleh Gas Bakar Sintetis melalui proses
Gasifikasi batubara termasuk yang berkalori rendah, diketahui bahwa Indonesia sangat
banyak memiliki cadangan (sekitar 85 milyar ton) batubara muda atau lignite merupakan
sumber bahan baku yang dapat digunakan dalam teknologi ini (disarankan untuk
menggunakan batubara berkalori 4500 kcal keatas)
b. Dengan melimpahnya cadangan batubara tentunya menjadikan harga lebih murah
sementara jaringan distribusinya pun terus meluas.
c. Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai salah satu komponen biaya produksi yang dominan
terus membebani kalangan Industri dengan harganya yang naik tajam sejak tahun 2005,
apalagi harga BBM didalam negeri sangat tergantung dengan pasar dunia, sementara
cadangannya pun semakin menurun.
3.2 Keunggulan Teknologi Gasifikasi Batubara
a. Dapat menghemat biaya pemakaian bahan bakar (dibanding solar) sekitar 70-80%
b. Pengembalian investasi sangat singkat (pemakaian 16 jam/hari) sekitar 3-4 bulan.
c. Mudah dalam pengoperasian dan tidak menimbulkan resiko / bahaya
d. Tidak berbau dan ramah lingkungan
Di bawah ini beberapa skema gasifier, untuk tipe-tipe yang sederhana. Detail cara
kerja, keunggulan dan kelemahan masing-masing tipe akan lebih lanjut dibahas nanti.
3.3 Konsep Proses Gasifikasi Batubara
Ada beberapa konsep Proses Gasifikasi batubara yang umum digunakan yakni Fixed
Bed dan Fluidized Bed, perbedaan keduanya terletak pada efisiensi & %-volume setiap gas
yang dihasilkan, namun pada dasarnya adalah mereaksikan batubara (yang telah dipanaskan)
dengan uap untuk mendapatkan Gas Bakar Sintetis (CO, H2, CH4). dengan melalui tahapan
proses:
1. konversi gasmenguraikan batubara menjadi gas dan partikel
2. filtrasi gas menyaring gas dan partikel yang tidak bermanfaat
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara,
yaitu tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang), dan entrained
flow (aliran semburan). Karena masing – masing penggas memiliki kelebihan dan
kekurangan, maka alat mana yang akan digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan
bakar dan tujuan gasifikasi.
1. moving bed
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak
besar, sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas,
sedangkan oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat.
Mekanisme ini akan menyebabkan batubara turun pelan – pelan selama proses, sehingga
waktu tinggal (residence time) batubara adalah lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan
produk sisa berupa abu. Karena penggas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu
maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki suhu leleh abu
(ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang
akhirnya mengumpul di bagian bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut.
Disamping produk utama yaitu gas hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu
relatif rendah ini akan meningkatkan persentase gas metana pada produk gas. Karena gas
metana ini dapat meningkatkan nilai kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving
bedsesuai untuk produksi SNG (Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh
alat tipe ini adalah penggas Lurgi, yang digunakan oleh Sasol di Afrika Selatan untuk
produksi BBM sintetis dan Dakota Gasification di AS untuk produksi SNG.
Gambar 1. Tipikal penggas jenis moving bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
2. fluidized bed
Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil dibandingkan
pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10 mm saja. Tipikal penggas ini
memasukkan bahan bakarnya dari samping (side feeding) dan oksidan dari bagian bawah.
Oksidan disini selain sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan
mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan oksidan yang
demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi
lainnya, atau bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada tipe
ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed dan entrained
flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der Burgt, 2003].
Karena penggas ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara yang
akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu (softening temperature) di atas suhu
operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang dihasilkan selama proses tidak meleleh,
yang dapat mengakibatkan terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi
yang relatif rendah, penggas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat
rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis batubara yang
lain. Pengembangan lebih lanjut teknologi penggas jenis ini sangat diharapkan untuk dapat
mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat rendah, biomassa, dan
limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste). Contoh alat model ini adalah penggas Winkler
yang merupakan pionir penggas fluidized bed, penggas HTW (High Temperature Winkler),
dan KBR (Kellog Brown Root) Transport Gasifier.
Gambar 2. Tipikal penggas jenis fluidized bed
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
3. entrained flow
Kemudian untuk tipe entrained flow, penggas ini sekarang mendominasi proyek –
proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun minyak residu. Pada alat ini,
batubara yang akan diproses dihancurkan dulu sampai berukuran 100 mikron atau kurang.
Batubara serbuk ini disemburkan ke penggas bersama dengan aliran oksidan, dapat berupa
oksigen, udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada suhu antara 1200~18000C,
dengan waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik. Dengan suhu operasi sedemikian tinggi,
pada dasarnya tidak ada batasan jenis batubara yang akan digunakan karena abunya akan
meleleh membentuk material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert. Meski demikian,
batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai untuk penggas jenis ini. Lignit
atau brown coal pada prinsipnya dapat digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena
kandungan airnya yang tinggi yang menyebabkan konsumsi energi yang besar. Meskipun abu
akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu tinggi sebaiknya dihindari pula
karena dapat mengganggu kesetimbangan panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah
banyak. Batubara dengan suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone)
untuk menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada penggas pun dapat ditekan. Gasifikasi
suhu tinggi pada penggas ini menyebabkan kandungan metana dalam gas sintetik sangat
sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat diperoleh.
Terdapat beberapa tipe penggas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara
mengumpan bahan bakarnya. Penggas Koppers-Totzek yang merupakan pionir jenis ini
mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian bawah, atau disebut dry up.
Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat. Tipe dry up ini juga dijumpai pada penggas
Shell dan Mitsubishi (CCP). Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam
kondisi kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up. Tipikal
jenis ini adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up, terdapat pula
metode slurry down, yang dijumpai pada penggas Chevron – Texaco. Secara umum, bahan
bakar berupa batubara kering mengkonsumsi energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
dalam keadaan basah (slurry) sehingga lebih menguntungkan.
Gambar 3. Tipikal penggas jenis entrained flow (dry down)
(Sumber: N. Holt, Electric Power Research Institute)
Gambar 4 menunjukkan peralatan percobaan gasifier unggun bergerak yang secara
keseluruhan terisolasi asbes, terdiri dari alas gerak berbentuk kerucut (60o, diameter dalam
51,6 cm), pipa hisap (draft tube, diameter dalam 1,09 cm dan panjang 73 cm) dan siklon.
Kerucut alas gerak memiliki 40 lubang kecil untuk memasok uap air (steam). Jarak antara
dasar alas gerak dan pipa hisap = 0.6 cm. Termokopel dipakai untuk mengukur suhu unggun
bergerak. Saringan kawat terdapat di atas pipa hisap udara masuk untuk mencegah batubara
yang tidak tergasifikasi maupun serbuk keramik tidak jatuh ke bawah.
Serbuk batubara diumpankan ke dalam alas gerak dari hopper melalui pengumpan
putar (rotary feeder). Hidrogen (H2) dipakai sebagai substitusi gas yang dibakar udara di
dalam pipa hisap. Udara selain dipakai sebagai oksidan, juga difungsikan untuk meniup ke
atas serbuk keramik, abu dan batubara yang tidak tergasifikasi di dalam pipa hisap. Komposisi
gas dianalisis menggunakan GC (Gas Chromatography) – 8A SHIMADZU. Serbuk batubara
dengan karakteristik seperti ditunjukkan pada Tabel 1; Katalis K2CO3 untuk menjenuhkan
batubara dengan ukuran 10–3 mol K2CO3 per kilogram batubara. Serbuk keramik terbuat dari
95% ZrO2 dan 5% Y2O3 dipakai sebagai media perpindahan panas antara reaksi gasifikasi
endotermis di dalam unggun bergerak dan panas pemberian proses pembakaran gas H2 di
dalam pipa hisap.
Karakteristik serbuk keramik ditunjukkan pada Tabel 1 dan data hasil analisis
laboratorium batubara ditunjukkan pada Tabel 2.
Gambar 4. Gasifier Unggun Bergerak.
1. hopper, 2. rotary feeder, 3. batubara, 4. draft tube, 5. termokopel, 6. unggun bergerak, 7.
siklon, 8. serbuk keramik, 9. batubara tak tergasifikasi, 10. pemanas listrik, 11. Saringan
kawat
Tabel 1
Karakteristik Batubara
dan Keramik Serbuk
Diameter
rata–rata (mm)
Kerapatan
kg.m3
Kecepatan udara m.s–1
minimum maksimum
Batubara
Keramik
1015
500
1200
6000
0,41
0,48
4,90
7,10
Tabel 2. Analisis Proksimat dan Ultimat Batubara Analisis Proksimat, (%adb) H2O VM FC Abu 14,1 42,2 35,0 8,7
Tabel 3. Kondisi Operasi Percobaan Suhu reaksi gasifikasi
860~890oC Batubara Keramik
Laju umpan Laju sirkulasi g .s–1 kg g.s–1 0,114 1,2 6 8 Udara Steam H2
Laju umpan, L.s–1
1,184 0,426 0,4
3.4 Aplikasi Gasifikasi Batubara
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)
Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara
terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu
melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat produksi
sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan terbukti batubara dapat bertahan
hingga 192 tahun. Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing –
masing hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak
yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara (CTL)
menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual Energy Outlook
2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel per hari pada tahun 2025,
ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk menghasilkan
gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO),
kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk menghasilkan hidrokarbon
ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan
bensin dan minyak diesel. Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah,
maka dilakukan upaya untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini.
Proses tersebut dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu,
kemudian metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi. Metode ini
disebut MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh Mobil pada tahun 1970an.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South
African Coal Oil and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan, yang
saat ini memproduksi gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan penggas Lurgi,
dan memproduksi minyak sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-
Tropsch. Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel
tidak dapat membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan
proyek CTL setelah menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah.
Pabrik pertama (Sasol I) selesai didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik
pertama dipasarkan pada tahun berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama (first profit)
berhasil diraih oleh Sasol setelah 5 tahun operasional. Pabrik Sasol II diumumkan pada tahun
1974 ketika harga minyak dunia mencapai US$13/barel saat itu (setara US$40/barel tahun
2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973. Sedangkan Sasol III diumumkan tahun
1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel saat itu (setara US$80/barel tahun 2003)
akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing – masing selesai didirikan pada tahun 1980
dan 1984. Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga
menyumbang 4% GDP atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM
dalam negeri Afsel (28% dari batubara). [van de Venter, 2005]
2. Pembangkit listrik (Coal to Power)
Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas
pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada 3
pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga
teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-combustion clean up technology) dapat
diterapkan, modifikasi sistem pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan
kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi
sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara untuk
menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]
Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca
pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas
Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan
kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos bahan
bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan ketiga
merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut mampu menghasilkan
emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas pembangkit yang ada serta
menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut
dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan listrik
dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery Steam
Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah
bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG
(Siemens), Mitsubishi, dan Shell. Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas
akan diproses di pendingin gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih
dulu sebelum mengalir ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin
gas kemudian mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan
untuk menghasilkan uap air. Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses
pendinginan gas juga dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan
kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada
IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan konvensional
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan
dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan
COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang
merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan air.
Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan karbon
aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah menjadi
padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran bahan pada
pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006]. Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak
di Buggenum, Belanda, berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial,
pembangkit ini pada awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek
Demkolec. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value),
dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan
sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%,
tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol,
serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke
lingkungan.[Chhoa, 2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah
biaya pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan,
IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi
menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas,
turbin uap, HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti
sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya
pembangkitan pada IGCC, satu – satunya cara adalah dengan meningkatkan performa penggas
dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van der Burgt, 1998].
Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan, biaya pembangkitan
pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya pembangkitan pada
pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang ongkos pembangkitannya
cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan pada tahun 2010, di
Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos pembangkitan pada
PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin
besar unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan
menyebutkan bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan
minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].
3. Industri kimia (Coal to Chemical)
Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri
kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether),
olefin, paraffin, dan lain – lain. Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS,
memanfaatkan gasifikasi batubara untuk memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam
asetat. Fasilitas ini beroperasi sejak tahun 1983, menggunakan penggas Texaco. Pada
awalnya, kapasitasnya hanya mampu memenuhi separoh dari kebutuhan asam asetat yang
diperlukan, tapi sejak tahun 1991 kapasitasnya ditingkatkan hingga mampu memenuhi seluruh
kebutuhan asam asetat untuk produksi hilir. Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak
1300 ton per hari untuk gasifikasi, dan memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat
sintetis, serta plastik, dengan omzet sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].
Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint
venture dengan Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi
batubara berkapasitas 2000 ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya sendiri
dimulai tahun 2003 dan direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell juga
menangani sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir 70%nya
untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta hidrogen untuk
keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005]. Selain Shell, GE Energy juga
menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina. Sampai dengan Oktober 2006, dari 7
proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi untuk memproduksi metanol dan
ammonia.[Lowe, 2006].
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa reaksi gasifikasi batubara
menggunakan gasifier unggun bergerak (moving–bed gasifier) yang dilengkapi pipa hisap
(draft tube) berlangsung stabil pada suhu 870oC dengan efisiensi gasifikasi maksimum
mencapai 92%. Produk gas medium–kalori (10 MJ/Nm3) yang mengandung 60% gas H2, di
mana udara digunakan sebagai oksidan. Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat
digunakan untuk satu tujuan saja, misalnya untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula
dirancang untuk tujuan yang lain secara bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat
didesain untuk menghasilkan listrik, memproduksi bahan baku industri kimia, maupun
membuat bahan bakar sintetis sekaligus
3.2 Saran
Lebih perdalam lagi dalam mempelajari terutama pengolahan batubara, agar dapat
memanfaatkan batubara menjadi bahan bakar yang mempunyai efisiensi dan nilai ekonomis
yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, M. St. J., Gale J.J., Laughlin, M.K., Can. J., Chemical Engineering, 1992, 70 (4), 991
Gururajan, V.S., Agarwal, P.K., Agnew, J.B., Chemical Engineering Res. Des., 1992, 70
(A3), 211.
Li, B., Fer and Cat., Chinese Journal of Chemical Engineering, 1990, 3, 63
Raharjo, BS. 2007. Jurnal Teknologi,” Gasifier Batubara Unggun Bergerak (Moving–Bed)
Dilengkapi Pipa Hisap (Draft Tube)”.
Takarada, T., Sasaki , J., Ohtsuka, Y., Tamai, Y., Tomita, A., Industrial. Engineering.
Chemical Res., 1987, 26 (3), 627.