Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
GENEALOGI KEKUASAAN KEMENANGAN PARTAI
NASIONAL INDONESIA DALAM PEMILU 1955
DI BALI
FERNANDA ESTEPAN BR PERANGINANGIN
1301505007
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
GENEALOGI KEKUASAAN KEMENANGAN PARTAI
NASIONAL INDONESIA DALAM PEMILU 1955
DI BALI
Skripsi untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Fernanda Estepan br Peranginangin
1301505007
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Fernanda Estepan br. Peranginangin
NIM : 1301505007
Judul Skripsi : Genealogi Kekuasaan Kemenangan Partai Nasional
Indonesia Dalam Pemilu 1955 Di Bali
Program Studi : Ilmu Sejarah
Fakultas : Ilmu Budaya Universitas Udayana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini bukan karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan inggi
serta sepanjang pengetahuan penulis, tidak mengandung karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebut dalam daftar pustaka.
Denpasar, 31 Juli 2017
Saya yang membuat pernyataan,
Fernanda Estepan br Peranginangin
iv
Lembar Pengesahan
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL........................................
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum. Dra. Sulandjari, M.A.
NIP 195801301988031002 NIP 195610141985032002
Mengetahui :
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Ketua Program Studi
Universitas Udayana, Ilmu Sejarah Universitas
Udayana,
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. Dra. A.A Ayu Rai Wahyuni, M.Si.
NIP195909171984032002 NIP 196205171987102001
v
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI DAN DINILAI OLEH PANITIA
PENGUJI PADA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
PADA TANGGAL 31 JULI 2017
Berdasarkan SK Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana,
No : 847/UN 14.2.1/PD/2017
Tanggal : 19 Juli 2017
Panitia Penguji Skripsi,
Ketua : Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum.
Sekretaris : Dra. Sulandjari, M.A.
Anggota : 1. Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.
2. Dra. Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, M.Si.
3. Dr. Ida Ayu Wirasmini Sidemen, M.Hum.
vi
KATA PENGANTAR
Penelitian ini merupakan suatu studi sejarah yang menggunakan metode
Genealogi Michael Foucault sebagai landasan berfikir untuk membuka relasi
kuasa-pengetahuan dibalik wacana publik, yang ikut menjadi faktor penentu
kemenangan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada pemilihan umum tahun 1955 di
Bali. Termasuk pula proses bagaimana mereka menangkap relasi kuasa
pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana publik, yang cenderung bersifat
diskontiniu. Ditutup dengan upaya melihat implikasi yang ditimbulkan dari tradisi
mereka menangkap wacana-wacana yang dianggap menguntungkan secara politik.
Hal itu sesuai dengan tiga pertanyaan penelitian yang diajukan dalam studi ini.
Pencarian jawaban pertanyaan penelitian itu dibantu pula dengan menggunakan
metodologi sejarah politik dan sejarah intelelektual.
Keberhasilan penulis merampungkan penelitian ini tentunya diperoleh dari
bantuan banyak pihak. Penulis haturkan banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Ni
Luh Sutjiati Beratha, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana periode 2015-2019. Terimakasih kemudian penulis haturkan pula kepada
Ibu Dra. Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan Ibu Dra. Sulandjari, M.A.
selaku Pembimbing Akademik penulis, yang sudah banyak memberikan bantuan
dan perhatian selama penulis menempuh perkuliahan dari awal hingga akhir
dengan baik. Kembali penulis haturkan terimakasih pula kepada seluruh dosen di
Program Studi Ilmu Sejarah dan Fakultas Ilmu Budaya yang selama masa
vii
perkuliahan telah memboboti penulis dengan ilmu pengetahuan yang menjadi
dasar kemampuan bagi penulis untuk merampungkan suatu karya ilmiah.
Rampungnya karya ilmiah ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan yang
sangat intensif pula dari kedua pembimbing penulis yang telah membimbing
penulis dalam melalui tahap demi tahap penulisannya. Penulis haturkan banyak
terimakasih kepada Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum selaku Pembimbing I yang
telah memberikan begitu banyak saran dan arahan serta waktu dalam
membimbing penulis, kemurahan beliau khususnya dalam bimbingan melalui
email sangat membantu penulis dalam mengefisienkan waktu. Terimakasih
kemudian penulis haturkan kepada Ibu Dra. Sulandjari, M.A. selaku Pembimbing
II yang tidak hanya mendukung, juga telah menyemangati penulis dalam
merampungkan karya ilmiah ini dengan baik.
Terimakasih penulis haturkan pula kepada Tim Penguji dalam Ujian
Proposal yang berlangsung pada tanggal 20 Oktober 2016, Prof. Dr. Anak Agung
Bagus Wirawan, S.U., Dr. Ida Ayu Wirasmini Sidemen, M.Hum., Dr. I Nyoman
Wijaya, M.Hum., dan Dra. Sulandjari, M.A., yang melalui ujian tersebut penulis
memperoleh banyak saran dan arahan dalam menjalankan penelitian ini. Kepada
para narasumber yang telah mendukung data yang penulis perlukan untuk
penelitian ini, kepada Bapak I Gusti Bagus Saputra, Bapak I Gusti Ngurah Gede
Pemecutan, dan Ibu Djero Wiladja, penulis haturkan banyak terimakasih atas
kesempatan dan waktu yang telah diberikan.
Selanjutnya kepada lembaga yang telah memberikan fasilitas bagi penulis
untuk menghimpun data, kepada Arsip Nasional Republik Indonesia, kepada
viii
Jogja Library Center unit dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta,
kepada Kantor UPTD Gedong Kirtya Singaraja, kepada Tri Sadhana Putra (TSP),
dan kepada Perpustakan Fakultas Ilmu Budaya, penulis menghaturkan banyak
terimakasih. Terimakasih kemudian penulis haturkan pula kepada Ayah penulis,
Pdt. Abdi Masa Peranginangin, M.Th., dan keluarga besar Peranginangin di Raja
Tengah yang dengan penuh dukungan dan semangat telah memberikan
kesempatan untuk penulis dapat mengikuti perkuliahan Strata-1 hingga selesai.
Terimakasih pula penulis haturkan kepada Atalanta, selaku Ibu penulis yang
selalu menjadi penasihat pribadi yang menyemangati penulis hingga akhir.
Kepada dr. Natasha Morien, Agatha Tresa, Ari Susanto, S.P., dan Jonni Yaman
Gea, S.E. selaku keluarga penulis yang telah berjuang bersama menyemangati
penulis dalam masa perkuliahan penulis haturkan terimakasih.
Terimakasih pula penulis haturkan kepada Melva Santhi Sihaloho,
Yuliana, Wandi F. Samosir, Bagus Vinaya, Chynthia Adithya Putri, Ida Ayu
Meylinda Putri, Hendrikus Zehamir, Ni Made Anggi Septiarana, Rossiana Nur
Ngaeni, Anak Agung Ngurah Putra Udayana, dan Zainul Mukshen, kemudian
Keluarga Mahasiswa Sejarah selaku teman-teman yang menyertai penulis dalam
masa perkuliahan. Terkhusus kepada Melva Santhi Sihaloho yang menjadi rekan
seperjuangan penulis dalam menghimpun data skripsi, penulis haturkan banyak
terimakasih. Kemudian penulis haturkan juga rasa terimakasih kepada Senior
GMKI Bali dan GMKI Cabang Badung serta rekan-rekan Cipayung Bali, yang
telah menjadi teman seperjuangan selama penulis kuliah di Bali. Yang terakhir
penulis haturkan terimakasih kepada Tri Indra Sihombing dan Ade Yudistira
ix
selaku sahabat penulis yang telah saling berbagi keperdulian selama penulis
menempuh perkuliahan di Bali. Begitu banyak dukungan yang penulis peroleh
dari berbagai pihak dalam menjalani perkuliahan dan merampungkan karya
ilmiah, atas semuanya itu penulis panjatkan Puji Syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, kiranya berkat dan limpahan kasih-Nya menyertai kita sekalian.
Denpasar, 31 Juli 2017
Penulis
x
ABSTRAK
Nama : Fernanda Estepan br Peranginangin
Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul :Genealogi Kekuasaan Kemenangan Partai Nasional
Indonesia Dalam Pemilu 1955 Di Bali
Partai Nasional Indonesia (PNI) muncul sebagai pemenang pada Pemilu
pertama Indonesia pada tahun 1955. Di tengah kondisi masyarakat yang masih
sebagian besar buta huruf dan buta politik proses kemenangan PNI menjadi suatu
hal yang menarik untuk diungkap. Melalui penggunaan Genealogi Foucault studi
ini mengungkap relasi kuasa-pengetahuan yang tersembunyi di dalam wacana
publik, yang ditangkap oleh masyarakat politik dan masyarakat pendukung PNI
dalam proses kemenangan PNI pada Pemilu 1955 di Bali. Ada tiga pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, yang jawabannya dicari dengan
menggunakan bantuan metodologi sejarah politik dan intelektual dari
Kuntowidjoyo. Digunakan pula bantuan teori ilmu sosial kritis dari
pascastrukturalisme, khususnya teori relasi wacana-kuasa-pengetahaun-kebenaran
dari Foucault. Teori tersebut dijadikan sebagai landasan berpikir dalam menggali
dan merekonstruksi data dan ditempatkan pula dalam kerangka pendekatan
sejarah pascastruktualisme ala Foucault. Dengan cara seperti itu, studi ini mampu
menghasilkan tiga buah simpulan dari masing-masing pertanyaan penelitian, yang
kemudian diangkat menjadi sebuah intisari simpulan, bahwa pada dasarnya PNI
selalu bersikap selektif terhadap wacana yang akan di pilihnya untuk dijadikan
kekuasan yang memungkinkan PNI tampil sebagai pemegang dalam pemilu 1955.
Setiap wacana yang dianggap memberikan keuntungan politik, ditangkap relasi-
relasi pengetahuan yang tersembunyi didalamnya, lalu atas dasar itu menciptakan
wacana baru yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Selektivitas mereka dalam
memilih wacana, akhinya punya implikasi begitu banyak wacana yang tidak
tersentuh yang lalu dijadikan bahan kritik oleh masyarakat melalui media cetak.
Kata Kunci: Relasi, Wacana, Kuasa, Pengetahuan, Kebenaran, Genealogi,
Episteme.
xi
ABSTRACT
Name : Fernanda Estepan br Peranginangin
Department : Ilmu Sejarah
Title : Genealogy of Victory of the Indonesian National Party in
the 1955 Election in Bali
The Indonesian National Party (PNI) emerged as the winner of the first
Indonesian elections in 1955. Amidst the conditions of the largely illiterate and
politically blind people the PNI triumphal process became an interesting thing to
reveal. Through the use of Genealogy Foucault this study reveals the hidden
power-knowledge relation within the public discourse, which was captured by the
political community and the PNI-backed society in the PNI triumphal process in
the 1955 Election in Bali. There are three research questions posed in this study,
whose answers are sought using the help of Kuntowidjoyo's historical political
and intellectual methodology. It is also used to assist the critical social science
theory of poststructuralism, especially Foucault's theory of truth-power-discourse
relation. The theory is used as the basis for thinking in digging and reconstructing
the data and placed also in the framework of the approach of post-refluxism
history of Foucault. In this way, the study was able to produce three conclusions
from each research question, which was then raised to a conclusion essence, that
the PNI was essentially selective about the discourse that would be chosen to be
the power that would allow the PNI to emerge as the winner in Election 1955.
Any discourse considered to be political advantage, captured the hidden
knowledge relations in it, then on that basis creates a new discourse which is
considered a truth. Their selectivity in choosing the discourse, ultimately has
implications so many discourses that are untouchable which then made criticism
by the public through print media.
Keyword : Relations, Discourse, Power, Knowledge, Thruth, Genealogy,
Episteme.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
PRASYARAT GELAR ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iii
LEMBAR PENGESAHAN vi
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI v
KATA PENGANTAR vi
ABSTRAK x
ABSTRAC xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR SINGKATAN xvi
DATAR ISTILAH xix
DAFTAR TABEL xxiv
DAFTAR LAMPIRAN DOKUMEN xxv
DAFTAR LAMPIRAN GAMBAR xxviii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Pertanyaan Penelitian 13
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 15
1.3.1 Tujuan Penelitian 15
1.3.2 Manfaat Penelitian 16
1.4 Tinjauan Pustaka 16
1.5 Metodologi Yang Digunakan 23
1.6 Kerangka Teori Teoritis dan Konseptual 27
1.6.1 Kerangka Teoritis 27
1.6.2 Kerangka Konseptual 32
1.7 Metode Penelitian dan Sumber 38
1.8 Sistematika Pembahasan 45
BAB II PERENCANAAN, PELAKSAAAN, DAN
HASIL PEMILIHAN UMUM 48
2.1 Perencanaan Pemilu 1955 48
2.1.1 Syarat-Syarat Hak Pilih 50
2.1.2 Administrasi 51
2.1.3 Penyusunan Daftar Pemilih 57
2.1.4 Tujuan Pemilu 58
2.1.5 Reaksi Terhadap RUU Pemilu 59
2.2 Pelaksanaan Pemilu 1955 64
xiii
2.2.1 Pendaftaran Pemilih 64
2.2.2 Situasi Keamanan dan Ketertiban 66
2.2.3 Penyelenggaraan Pemilu 72
2.2.4 Perdebatan Partai Menjelang Pemilu 73
2.2.5 Larangan Terhadap Pegawai Negeri 89
2.2.6 Peraturan Menjelang Pemilu 91
2.3 Pelaksanaan dan Hasil Pemilu 91
BAB III TERBENTUKNYA EPISTÈME MASYARAKAT
POLITIK DI BALI 96
3.1 Epistème di Zaman Pemerintahan Kolonial 97
3.1.1 Sistem Pemerintahan 97
3.1.2 Hukum 101
3.1.3 Politik 104
3.1.4 Organisasi Sosial 108
3.1.5 Ekonomi 114
3.1.6 Sistem Pendidikan 121
3.1.7 Teknologi 128
3.2 Epistème di Zaman Awal Kemerdekaan 135
3.2.1 Lembaga Pemerintah Negara Indonesia Timur 135
3.2.2 Pengaruh Revolusi Fisik 1946-1949 140
3.2.3 Pemerintah Keluarga di Bali 142
3.2.4 Situasi Politik Pasca Pengakuan Kedaulatan 144
3.2.5 Tampilnya Kaum Republikein di Panggung Politik 148
BAB IV RELASI WACANA KUASA DAN PENGETAHUAN
KEMENANGAN PNI DALAM PEMILU 1955 DI BALI 152
4.1 Hubungan Antara Pengetahuan dan Kekuasaan 152
4.1.1 Relasi-Relasi Kuasa Pengetahuan dalam Wacana Pemilu 153
4.1.2 Persoalan Perburuhan 157
4.1.3 Persoalan Otonomi Daerah 169
4.1.4 Politik Dalam Negeri 176
4.2 Perebutan Wacana-Wacana Strategis 179
4.2.1 Partai Sosialis Indonesia 179
4.2.2 Partai Komunis Indonesia 181
4.2.3 Masyumi 184
4.2.4 Partai Nasional Indonesia 188
4.3 Sebab-Sebab Terdekat Kemenangan PNI Dalam Pemilu di Bali 194
4.3.1 Penggembosan Masyumi 195
4.3.2 Kembalinya Raja-Raja 196
BAB V PROSES PEMENANGAN PARTAI NASIONAL
INDONESIA DALAM PEMILU 1955 DI BALI 206
5.1 Wacana Kekerasan dan Kriminalitas 207
5.1.1 Perkara Kriminalitas Biasa dan Politik 208
xiv
5.1.2 Masalah Kriminalitas 212
5.2 Wacana Musuh-Musuh Rakyat 216
5.2.1 Mengkritisi Para Politisi 217
5.2.2 Reaksi Aparat Keamanan 221
5.3 Wacana Konfrontasi Agama dan Politik 226
5.3.1 Perjalanan Sejarah Yang Panjang 226
5.4 Wacana Perdebatan Partai Menjelang Pemilu 235
5.4.1 Pergantian Gubernur Sunda Kecil 239
5.5 Lontaran Wacana dari DPRDS Daerah Bali 242
5.5.1 Masalah Sosial 244
5.5.2 Persekot Hari Raya 246
5.5.3 Penangguhan Pajak Peralihan 247
5.5.4 Larangan Pemasangan Reklame 248
5.5.5 Penjualan Kopra 249
5.5.6 Peraturan Jual Beli Biji Kopi 250
5.5.7 Masalah Pendidikan 251
5.5.8 Memberikan Perhatian Istimewa Kepada
Para Veteran Revolusi 252
5.6 Dukungan dan Tantangan 253
5.6.1 Dukungan Ormas PNI 253
5.6.2 Tantangan dari Luar Partai 255
BAB VI IMPLIKASI STRATEGI PEMENANGAN PARTAI
NASIONAL INDONESIA DALAM PEMILU 1955 DI BALI 258 6.1 Gerombolan yang Destruktif 258
6.1.1 Masalah Gangguan Keamanan di Bali 261
6.2 Berbagai Persoalan dalam masyarakat 263
6.2.1 Janji Seorang Seniman 264
6.2.2 Kelompok Anti Revolusi dalam Pemerintahan 265
6.2.3 Pemimpin Gadungan 266
6.2.4 Krisis Subak 267
6.2.5 Diskriminasi antara Pegawai Pusat dan Daerah 271
6.2.6 Kurangnya Tenaga Pengajar 273
6.2.7 Rusaknya Rambu Lalu Lintas 275
6.2.8 Pegawai Negeri Mangkir dari Tugas 277
6.2.9 Praktik Kekerasan Majikan 278
6.2.10 Penggunaan Kendaraan Dinas di luar Jam Kerja 279
6.2.11 Fungsi Pemerintah Tidak Berjalan 281
6.2.12 Dunia Pendidikan Masih Semrawut 283
6.2.13 Soal Pemakaian Dasi 286
6.2.14 Pengiriman Barang melalui Kantor Pos 288
6.2.15 Pelayanan Transportasi Laut 290
6.2.16 Terbengkalainya Lapangan Terbang Kaliuntu 292
6.3 Pertentangan Gaya Hidup 296
6.3.1 Kemakmuran Rakyat 297
6.3.2 Kondisi Rumah Dinas 299
xv
6.3.3 Tenaga Kerja Buruh 302
6.3.4 Belajar dari Praktik Demokrasi dari Anak Kecil 305
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 308
7.1 Simpulan 308
7.2 Saran 322
DAFTAR PUSTAKA 324
DAFTAR INFORMAN 340
TABEL 341
LAMPIRAN DOKUMEN 346
LAMPIRAN GAMBAR 386
xvi
DAFTAR SINGKATAN1
AD/ART Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga
AIM Anti Indonesia Merdeka
ALRI Angkatan Laut Republik Indonesia
AMS Algemene Middelbors School
APRI Angkatan Perang Republik Indonesia
BPN Badan Pembelan Negara
BPP Badan Pemberantas Pengacau
CC PKI Central Comite Partai Komunis Indonesia
DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DP Daerah Pemilihan
DPD Dewan Pimpinan Daerah
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRDS Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara
GERWIS Gerwis Gerakan Wanita Istri Sedar
GPP Gerakan Pelajar Pejuang
GSBKI Gabungan-gabungan Serikat Buruh Kristen Internasional
HAM Hak Asasi Manusia
HESP Hukum Ekonomi Sosial Politik
HIS Hollandsche Inlandsche School
HKS Hoogere Kweek School
ILO International Labour Organisation
IVV International Verbond van Vakverentgrigen
JKP Jajasan Kebaktian Pedjuang
1 Ada sejumlah singkatan yang masih belum dapat diketemukan.
xvii
KMB Konferensi Meja Bundar
KNI Komite Nasional Indonesia
KPM Koninklijke Paketvaart Maatschappij
KPNI Kesatuan Pemuda Nasional Indonesia
KPP Kantor Pemilihan Pusat
LVRI Legiun Veteran Republik Indonesia
MBU-DPRI Markas Besar Umum – Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia
MSA Mutual Security Act
MULO Meer Uitgebvied Leger Onderwijs
NIAS Nederlandsch Indische Artsen School
NICA Netherlands Indies Civil Administration
NIT Negara Indonesia Timur
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
NU Nahdlatul Ulama
OSVIA Opleiding Voor Inlandsche Anfnaren
Parindra Partai Indonesia Raya
Pemilu Pemilihan Umum
Perburi Perburuhan Republik Indonesia
PETA Pembela Tanah Air
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PD II Perang Dunia II
PDI Pimpinan Pemuda Demokrat Indonesia
PDRI Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
PGP Peraturan Gaji Pegawai
PIR Partai Indonesia Raya
PKI Partai Komunis Indonesia
PKR Partai Kedaulatan Rakyat
xviii
PNI Partai Nasional Indonesia
PP Peraturan Pemerintah
PPI Panitia Pemilihan Indonesia
PPN Pemuda Pembela Negara
PPS Panitia Pemungutan Suara
PSI Partai Sosialis Indonesia
PSII Partai Sarekat Islam Indonesia
RI Republik Indonesia
RIS Republik Indonesia Serikat
RRT Republik Rakyat Tiongkok
RUU Rancangan Undang-Undang
SIT Staatbald Indonesia Timur
SOB Staat van Oorlog en Beleg
SOBSI Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
SR Sekolah Rakyat
TBC Tuberkulosis
TKR Tentara Keamanan Rakyat
TNI Tentara Nasional Indonesia
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar
UUDS Undang-Undang Dasar Sementara
UUPU Undang-Undang Pemelihan Umum
VPL Verordening Pengadilan Landschap
WFTU World Federation of Trade Union
xix
DAFTAR ISTILAH
afdeeling Wilayah administratif pada jaman
Kolonial Belanda
alangkahin karang hulu Peraturan larangan laki-laki kasta
sudra menikah perempuan berkasta
Satria dalem dan laki-laki Wesia
dengan perempuan berkasta
Kstaria
ambtenaar Pegawai Negeri jaman Kolonial
Belanda
ancer-ancer Perkiraan tempat
asu mundung Peraturan yang melarang
pernikahan laki-laki kasta sudra
dengan perempuan berkasta lebih
tinggi
awig-awig Peraturan Adat
baliseering Politik Budaya Belanda pada Bali
bali raad Pemerintahan Bali
beslit Surat Keputusan
binnelandsch bestuur Pemerintahan Dalam Negeri pada
jaman Kolonial Belanda
bun ken kan rin kan Kedudukan administratif Raja
pada setiap Kabupaten pada masa
Kolonial Jepang
caturwangsa Sebutan bagi 4 pembagian strata
dalam kehidupan masyarakat Bali
chu co Sebutan untuk Raja pribumi pada
masa Kolonial Jepang
chu ga ko Sekolah menengah pertama
co kan Kedudukan administartif setara
dengan Residen pada masa
Kolonial Jepang
collecteloon Upah pungut
xx
controlleur Kedudukan bagi seorang bawahan
asisten residen pada masa Kolonial
Belanda
dadia Sebutan bagi suatu hubungan
kekerabatan dengan satu leluhur
namun garis hubungannya sudah
tidak jelas lagi
dai nippon Sebutan kepada pemerintak
Kolonial Jepang selaku Saudara
Tua
demobilisan Pengembalian kehidupan militer
menjadi kehidupan biasa (sipil)
een hoofdig bestuur Pemerintahan Terpimpin/ atau juga
Monarki
erfrecht en adoptie Aturan ahli waris dan
pengangkatan anak
fait accompli Tidak Terelakkan
fut chu ko ga ko Pendidikan tingkat pertama pada
masa Kolonial Jepang
fut chu kyu ju kyu ko gako Pendidikan tingka ketiga pada
masa Kolonial Jepang
gandek Tas sirih orangtua jaman dulu
geweldadige schaking Hal melarikan perempuan dengan
paksa
gun tio Camat
hei ho Pasukan pribumi bentukan Jepang
yang tidak diupah
het huwelijksrecht Aturan Perkawinan
het schuldenrecht Hal Utang-piutang
hulp politie Polisi bantuan
indirect rule Sistem Pemerintahan Tidak
Langsung
inlandsche scholen Sekolah Pribumi
xxi
indonesische ondernemers board Dewan Pengusaha Indonesia
jaba Penyebutan lain dari strata Sudra,
strata keempat dalam caturwangsa
jro mekel Orang kebanyakan yang dihormati
ju kyu ko ga ko Pendidikan tingka kedua pada
masa Kolonial Jepang
kaigun Angkatan Darat Jepang
katakana dan hiragana Huruf Jepang
kelian banjar Kepala Banjar
kem pe tai Polisi Rahasia
ken kan rin kan Kedudukan administratif setara
asisten residen pada setiap
Kabupaten pada masa Kolonial
Jepang
kerama Anggota Masyarakat
kerta Pengadilan
kertaan subak Pengadilan Adat pada organisasi
Subak
kiesdistrict Daerah Pemilihan
kinrohoshi Kerja Bakti
klian Pimpinan
massa-vorming Formasi massa
medebewind Administrasi bersama
min sei bu tio kan Jabatan seorang Jepang yang
memimpin Minseibu Chookan
minderwaardigeidscomplex Perasaan rendah diri
minseibu chookan Lembaga pemerintah sipil
Kolonial Jepang
nainobu Pasukan Propaganda
ngaben Proses upacara pembakaran
jenazah secara adat Bali
xxii
ngelemek Melaksanakan uacara kesuburun
ngusaba Melaksanakan upacara
keselamatan desa
nunas sari Meminta berkah
onderafdelling Daerah Bagian
onderafdeeling-raad Pemerintah/Dewan Daerah Bagian
parekan-jabawangsa Seorang abdi dari wangsa sudra
paswara Perauturan
perbekel Kepala Desa
pesamuan agung Konperensi
publiekrechtelijk Hukum Publik
puputan Habis-habisan
raad van kertha Dewan Pengadilan Adat Bali
regent Bupati
regentschaps Daerah Kabupaten
residentpeswara Aturan yang dikeluarkan oleh
Residen
rikugun Angkatan Laut Jepang
sedahan Pegawai Pajak Bumi/ pemegang
kas
sedenbu-sedenka Salah satu pasukan propaganda
Kolonial Jepang
sei mu ka tio Kantor Pemerintahan Kolonial
Jepang di seluruh Bali
shian ga ko Sekolah Guru
sirie Sebutan untuk seorang Jepang
yang menjabat sebagai pemerintah
militer
sirie co-kan Bawahan dari seorang Sirie
xxiii
soewita gama tirta Sebutan Agama masyarakat Bali
sebelum Hindu
son tio Sebutan untuk Kepala desa pada
masa Kolonial Jepang
staatbald buku Undang-Undang
stedehouder Letnan
studieopdarcht Beasiswa
sudra Penyebutan lain dari Jaba, strata
keempat dalam caturwangsa
syo sunda minseibu Sebutan untuk seorang Jepang
yang menjabat sebagai pemerintah
sipil
syu tio ren Pemerintahan Tradisional pribumi
pada masa Kolonial Jepang
swapraja Pemerintahan sendiri
verordening Peraturan
voorzitter Ketua
zelfbestuurder Sistem Pemerintahan Otonomi
xxiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Anggota DPR 341
Tabel 1.2 Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Anggota Konstituante 343
xxv
DAFTAR LAMPIRAN DOKUMEN
Lampiran 1.1 “Surat Panitia Pemilihan Umum Indonesia, S.
Hadikusumo, No: 56/C/711, Djakarta, tgl. 23 April
1956 Kepada Jth. Semua Panitia Pemilihan dan
Panitia Pemilihan Kabupaten di Seluruh Indonesia.
Perihal: Pemeberian Persekot Uang Duka Sebelum
dikeluarkan Otorisasi.” koleksi Arsip Nasional
Republik Indonesia.
346
Lampiran 1.2 “Surat Residen Pekalongan t.t Soejoto
Sastrowardjojo No: Des. 56/C/711, Djakarta, tgl. 26
April 1956 Kepada Jth. Jth. Gubernur Djawa Tengah
di Semarang. Prihal: uang duka achli waris para
anggota Badan Penjelenggara Pemilihan Umum jang
gugur dalam mendjalankan tugasnja.” koleksi Arsip
Nasional Republik Indonesia.
347
Lampiran 1.3 “Surat Gubernur Djawa Timur t.t Samadikoen No.
Pol. 1513/54/Rhs, Surabaja, tgl. 12 Agustus 1954
Kepada Jth. Wakil Perdana Menteri I di Djakarta.
Perihal : Tjeramah2 P.K.I di Balungkidul (Djember)
dan Tjerme (Surabaja).” koleksi Arsip Nasional
Republik Indonesia.
350
Lampiran 1.4 “Surat pernjataan dari A. Rosjid Ketua II Partai
Nahdlatul Ulama Tjabang Banjuwangi, No.
198/Tanf/155, tentang ‘keputusan desakan kepada
Panitia Pemilihan Indonesia untuk bertindak terhadap
pemasangan gambar yang lain dari ketentua Panitia’,
8 Juni 1955.” koleksi Arsip Nasional Republik
Indonesia.
351
Lampiran 1.5 “Salinan dari buku Daftar salinan-surat-surat Putusan
Menteri Mr. Moh. Roem, No. Und. 5/10/48,
Djakarta, tgl 9 Djuli 1953 kepada Gubernur Sunda
ketjil Lamp. 1 Keputusan Dalam Negeri.” koleksi
Arsip Nasional Republik Indonesia.
352
Lampiran 2.1 “Kabinet Perdana Menteri Republik Indonesia, No.
4074/55, kepada Para Menteri tentang ‘Turut-sertanja
Pegawai Negeri dalam Kehidupan Politik dan Partai
Politik’, Djakarta, 21 Februari 1955.” koleksi Arsip
Nasional Republik Indonesia.
366
xxvi
Lampiran 2.2 “Surat pernjataan Rd. E. Hardjasutisna Ketua
DPRDS Kota Ketjil Sukabumi, No. 4. /1955, tentang
‘persetudjuan sepenuhnya terhadap resolusi DPRDS’,
30 Maret 1955.” koleksi Arsip Nasional Republik
Indonesia.
368
Lampiran 2.3 “Surat pernjataan S.O. Baja’sut Ketua DPRDS
Kabupaten Bojonegoro, No. --/3-/DRPDS/1955,
tentang ‘penjesalan atas pejabat yang
mempergunakan kekuasaannja untuk kepentingan
golongan dalam pemilu dan mendesak untuk tidak
dilakukan lagi’, 21 Oktober 1955.” koleksi Arsip
Nasional Republik Indonesia.
370
Lampiran 2.4 “Surat pernjataan Abdoorrochiem Ketua Dewan
Pimpinan S.B. Kempem Cabang Kespenmob
Purwokerto, Pernyataan No. 7/DPT/55, tentang
‘keputusan tetap solider/berdiri dibelakang D.P.P.
S.B. Kompen dan menuntut pencabutan peraturan
Menteri Penerangan No. 21/S.K/S.D/55 dengan
segera’, 7 Desember 1955.” koleksi Arsip Nasional
Republik Indonesia.
371
Lampiran 2.5 “Surat pernjataan Soedharto Ketua D.P. S.B.
Kempen Cabang Kota Besar Surakarta, No.- , tentang
‘ keputusan tetap berdiri dibelakang D.P.P. S.B.
Kementerian Penerangan dan pencabutan peraturan
Men. Penerangan No. 21/S.K/S.D/55’, 17 November
1955.” koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
373
Lampiran 3.1 “Pengumuman Resmi Gabungan Keradjaan2 di Bali,
No. 7/1949. Dewan Radja-Radja di Bali, Termakrub
di Denpasar pada tanggal 30 Mei 1949, atas nama
Dewan Radja2 di Bali Ketua tdt Anak Agung Gde
Oka.” .” koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
375
Lampiran 3.2 “ “Pengumuman Resmi Gabungan Keradjaan2 di
Bali, No. 2 Peraturan Tata –Tertib Pariman Agung,”
Termaktub di Denpasar tanggal 16 Mei 1949, Ketua
Paruman Agung I Gusti Ktut Ngurah, diumumkan di
Denpasar pada tgl: 2 Juni 1949, Secretaris Dewan
Radja-Raja di Bali, Mr. H. Schauilwerve.” koleksi
Arsip Nasional Republik Indonesia.
377
xxvii
Lampiran 5.1 “ “Pengumuman Resmi Dewan Pemerintah Daerah
Bali, No.P 27/D.P.R.D./1953, Denpasar, 3
Nopember 1953, Dewan Perwakilan Rakjat Daerah
Sementara Daerah Bali, Ketua I Gusti Putu Merta,
Setudju (Sutedja).” Diumumkan di Denpasar pada
tanggal 7 Desember 1953 Ketua dewan Pemerintah
Daerah Bali Bertanda: Sekretaris Ida Bagus Ktut
Rusus.”
381
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN GAMBAR
Lampiran
Gambar 1.1
Merupakan foto penulis ketika melakukan
wawancara dengan Ketua LVRI Kota Denpasar Ibu
Djero Wiladja, bertempat di Gedung Merdeka jl.
Surapati No.7, Denpasar, dokumentasi Penulis pada
tanggal 28 April 2017.
386
Lampiran
Gambar 1.2
Merupakan foto penulis ketika melakukan wawancara
dengan Ketua LVRI Provinsi Bali Bapak I Gusti
Bagus Saputera S.H, bertempat di Gedung Merdeka jl.
Surapati No.7, Denpasar, dokumentasi Penulis pada
tanggal 02 Mei 2017.
387
Lampiran
Gambar 1.3
Merupakan foto penulis ketika melakukan
wawancara dengan Anak Agung Ngurah Made
Pemecutan pada tanggal 17 Maret 2017 bertempat di
Jl. Thamrin No.2, Denpasar.)
388
Lampiran
Gambar 1.4
Merupakan foto penulis ketika melakukan penelitian
di Jogja Library Center, unit dari Badan
Perpustakaan dan Arsip Darah Yogyakarta,
dokumentasi Penulis pada tanggal 16 Juli 2016.
389
Lampiran
Gambar 1.5
Merupakan foto penulis ketika melakukan penelitian
di MSS. Library, Kantor Gedong Kirtya, Singaraja,
dokumentasi Penulis pada tanggal 20 Februari 2017.
390
Lampiran
Gambar 2.1
Merupakan Gambar Lambang Partai Nasional
Indonesia Dalam Pemilihan Umum Tahun 1955 di
Bali, yang dikutip dari lampiran Skripsi belum
dipublikasikan, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, 1986.
391
Lampiran
Gambar 4.1
Merupakan skema pertarungan klen Puri di Badung,
dikutip dari A.A GN. Dwipayana. Bangsawan dan
Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota.
Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta, 2004.
392
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Studi ini berbicara tentang genealogi kemenangan Partai Nasional
Indonesia (PNI) dalam Pemilihan Umum (pemilu) 1955 di Bali. Metode genealogi
ini diperkenalkan oleh Michel Foucault. Penggunaannya yang dimaksudkan untuk
mengkaji sejarah maupun budaya bukanlah merupakan suatu hal yang baru dalam
khasanah penelitian di Bali. Sampai dengan bulan Oktober 2016 ditemukan
setidaknya empat studi yang menggunakan metode ini, yakni karya seorang ahli
antropolog, I Ngurah Suryawan.1 Karya Nengah Bawa Atmadja,2 seorang ahli
pendidikan di bidang sejarah dan antropologi. Dua peneliti lainnya adalah dari
kalangan sejarawan, yakni I Made Sendra3 dan I Nyoman Wijaya.4 Objek
penelitian dari keempat studi tersebut berbeda, namun ada titik pandang yang
sama mengenai apa yang mereka maksudkan sebagai genealogi dan analisis-
analisisnya, terkecuali karya dari Sendra.
Dalam penelitiannya Suryawan menggunakan genealogi Foucault sebagai
suatu metode untuk memaparkan klaim-klaim kebenaran yang erat kaitannya
1Ngurah Suryawan, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di
Bali Utara (Jakarta : Pranada Media Group, 2010).
2Nengah Bawa Atmadja, Genealogi Keruntuhan Majapahit: Islamisasi, Toleransi
dan Pemerintahan Agama Hindu di Bali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
3I Made Sendra, “Paradigma Kepariwisataan Bali Tahun 1930-an: Studi
Genealogi Kepariwisataan Budaya,” Jurnal Kajian Bali Vol. 06, No. 02, Oktober 2016.
4I Nyoman Wijaya, “Meluruskan Genealogi Kekuasaan Pariwisata di Bali”
(Makalah yang dibacakan dalam Seminar Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana, Denpasar, 31 Oktober 2016).
2
dengan akar-akar institusional sejarah yang membentuk historiografi global.
Dalam tulisan itu Ngurah Suryawan mengatakan bahwa metode ini dapat
digunakan untuk membongkar suatu bentuk sejarah tradisional yang memusatkan
perhatiannya pada peristiwa spektakuler yang berujung pada model sejarah yang
linear, dengan studi kasus kekerasan di Bali.
Atmadja menggunakan metode ini untuk membongkar suatu asal-muasal
dari keruntuhan Majapahit dan kebertahanan agama Hindu di Bali. Dia berkata,
bahwa dengan cara menembus wacana dan pengetahuan yang telah menguasai
tubuh orang lain, maka akan dapat mengetahui asal-muasal keruntuhan Kerajaan
Majapahit dan kebertahanan agama Hindu di Bali. Nyoman Wijaya dalam
penelitiannya terkait genealogi kekuasaan Pariwisata di Bali, mengungkapkan
bahwa pariwisata budaya merupakan dua konsep yang berbeda yang telah
dipermanenkan untuk menjadi suatu kebenaran. Dalam penelitiannya, sama
seperti Suryawan dan Atmadja, ia memakai metode genealogi sebagai metode
yang dapat digunakan untuk membongkar kelahiran wacana pariwisata budaya di
Bali sebagai suatu kebenaran. Dia juga menunjukkan mengapa dan bagaimana
pada akhirnya pariwisata budaya tersebut memakan dirinya sendiri.
Berbeda dengan ketiga orang peneliti yang sudah disebutkan di atas,
Sendra justru memperlakukan metode genealogi ini sebagai suatu teori, lalu
dipersamakan dengan teori-teori lain, seperti teori Hegemoni dari Gramsci.
Melalui cara berpikir tersebut di atas, pada akhirnya Sendra menggunakan
genealogi dan teori Gramsci untuk membahas konstruksi Baliseering, suatu
politik identitas masyarakat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Tujuannya
3
adalah untuk memahami kuasa pengetahuan apa sajakah yang bersembunyi di
dalam wacana tersebut. Tujuan yang lainnya adalah untuk mengetahui apakah
wacana tersebut memiliki suatu artikulasi yang memberikan petunjuk untuk
menjadikan pulau Bali sebagai destinasi kepariwisataan Budaya.
Selanjutnya, dalam sebuah makalahnya di bulan April 2017,5 Nyoman
Wijaya mempertegas pemahamannya tentang metode genealogi Foucault. Dalam
makalah tersebut dia menunjukkan bahwa sesungguhnya metode genealogi
memilki tiga pengertian. Ketiga pengertian tersebut adalah ursprung, herkunft,
dan entstechung. Ursprung mempunyai pengertian sebagai upaya untuk mencari
asal-usul yang dilakukan dengan cara menguji asal-muasal dari munculnya suatu
peristiwa. Akan tetapi Foucault tidak menggunakan genealogi dalam
pengertiannya sebagai ursprung dikarenakan oleh begitu banyaknya ada
kelemahan di dalamnya. Salah satu dari kelemahan tersebut adalah ursprung
selalu berusaha mencari kemungkinan yang paling murni dari asal-muasal supaya
bisa mengetahui identitasnya secara cermat. Hal tersebut dirasa terlalu muluk
untuk dilakukan.
Berbeda halnya dengan ursprung, herkunft adalah merupakan cara untuk
mengetahui asal-muasal yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi terjadinya
suatu penyimpangan waktu, kekeliruan, musibah, dan lainnya yang dibiarkan
untuk muncul pada semua hal, terutama hal-hal yang eksis dan bernilai bagi
manusia. Sementara entstechung sendiri adalah juga merupakan suatu cara untuk
5Lihat I Nyoman Wijaya, “Cincin Emas Di Jari Manis Istri Raja: Berdiri dan
Jatuhnya Kerajaan Ksatria” (makalah yang dibawakan dalam Seminar National Nilai-
nilai Kearifan dalam Konteks Sejarah Lokal Di Bali, Denpasar, 17 April 2017).
4
mengetahui asal-muasal suatu peristiwa, namun dengan jalan berbeda.
Entstechung mengajarkan untuk menyusun kembali sistem yang beragam tentang
subjek dan dominasi yang terkandung di dalam peristiwa tersebut. Dalam
analisisnya, entstechung mengharuskan para peneliti supaya mempunyai
kemampuan untuk menunjukkan interaksi, mencari pola perjuangan yang menjadi
kekuatan untuk saling menentang dan mengungkap kekuatan tersembunyi di balik
suatu peristiwa. Sampai akhirnya kemudian peneliti mampu mengungkapkan
suatu teks ternyata bisa menelanjangi dirinya sendiri, sehingga semua relasi
kuasa-pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya dapat diketahui secara
terbuka.6
Jika herkunft dan entstechung digabungkan menjadi satu kesatuan, maka
dia akan memberikan jalan keluar untuk memahami genealogi kekuasaan
kemenangan PNI dalam Pemilu 1955. Herkunft sendiri bisa disederhanakan
pengertiannya dengan mengacu pada pendapat Nietszchean tentang genealogi
yang menjadi sumber Foucault. Sarup menjelaskan bahwa metode genealogi
Foucault bersumber dari Nietzschean yang memulai dari masa kini dan bergerak
mundur ke masa lalu sampai perbedaan itu ditemukan. Kemudian, ia akan
bergerak maju kembali, menelusuri proses transformasi dan berusaha
mempertahankan, baik diskontinuitas maupun kontinuitas.
Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan PNI akhirnya berhasil
tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955 haruslah dicari mundur ke masa lalu
ketika wacana Pemilu mulai dicanangkan atau dikumandangkan oleh pemerintah
6Ibid., p. 274.
5
tahun 1951, lalu dibawa maju ke depan pada tahun-tahun berikutnya untuk
menelusuri proses kemenangannya dan berusaha mempertahankannya untuk
melihat apakah ada diskontinuitas maupun kontinuitas didalamnnya dan berakhir
pada periode menjelang Pemilu 1955 terlaksana.
Sementara dari entstechung dapat dipetik pemahaman bahwa suatu
peristiwa bisa menelanjangi dirinya sendiri jika relasi kuasa dan pengetahuan
yang tersembunyi di dalamnya bisa diungkap. Oleh karena itu harus diupayakan
mencari relasi kuasa yang tersembunyi rapi di dalam kemenangan PNI pada
Pemilu 1955. Hal ini didasarkan pada pendapat Ritzer yang menyebutkan bahwa
di dalam genealogi Foucault akan terlihat bagaimana orang mengatur diri sendiri
dan orang lain melalui produksi pengetahuan. Diantaranya, Foucault melihat
pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang menjadi subjek
dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan.7 Semuanya itu adalah
permainan kuasa-pengetahuan yang bertujuan menghasilkan tubuh-tubuh yang
taat. Sebuah permainan yang mematri perilaku badani yang sehat, normal, dan
baik.8
Dengan demikian, sekalipun objek penelitian itu adalah merupakan sebuah
peristiwa besar, - sesuatu yang sebenarnya tidak dianjurkan oleh Foucault - yakni
Pemilu 1955 di Bali, namun genealogi kekuasaan kemenangan PNI dalam pemilu
1955 dapat dicari pada peristiwa-peristiwa sepele yang diabaikan dan fenomena
7George Ritzer, Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), p. 576.
8Paul Rabinow, Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault,
terjemahan Arief dari judul asli Aesthetic, Method, and Epistemology Essential Works of
Foucault 1954-1984, Series Ed. Volume 2 (Yogyakarta: Adipura, 2002), p. 24.
6
yang sering ditolak atau tidak diperhitungkan – sesuatu yang paling dianjurkan
oleh Foucault - ikut menentukan kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali.
Sudut pandang ini menjadikan objek penelitian ini masih pantas dikaji dengan
cara memakai metode genealogi Foucault.
Pengkajian tersebut dilakukan dengan melihat wacana-wacana publik yang
tidak beraturan dan yang remeh-temeh. Wacana publik tersebut difokuskan pada
pengetahuan lokal, hal-hal sepele dan diskontinu. Tidak mencari asal-usul tapi
lebih kepada konsepsi awal mula historis. Sebaliknya hanya berkeinginan untuk
menyingkap keanekaragaman faktor di balik peristiwa yang memungkinkan PNI
memperoleh kemenangan dalam Pemilu 1955 di Bali. Sementara, untuk wacana-
wacana besar yang bersifat nasional, akan tetap diperhatikan, bahkan dijadikan
pintu masuk sepanjang masih ada konsep asal mula historisnya dengan
kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali.
Setelah melihat wacana-wacana yang muncul selama rentang waktu 1951-
1955 di Bali, yang sekaligus dijadikan sebagai batasan temporal dan spasial studi,
ternyata banyak ditemukan wacana publik yang tidak beraturan dan yang remeh-
temeh, yang seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali dengan kemenangan PNI
dalam Pemilu 1955 di Bali, yang merupakan skup spasial studi ini. Sekalipun
Bali sudah ditentukan sebagai skup spasial, namun ia tidak diartikan sebagai suatu
wilayah geografis melainkan geopolitik. Dengan demikian wacana-wacana publik
pada tahun 1951-1955 di Bali, tidak akan dirinci lagi berdasarkan kabupaten per
kabupaten atau wilayah per wilayah, melainkan seluruh wacana publik yang
dipublikasikan dalam media cetak di Bali periode tersebut.
7
Adanya penekanan pada wacana publik di media cetak menjadi tidak
terhindarkan di dalam studi, karena hasil penelitian di lapangan sudah
memberikan pengalaman berupa sulitnya mencari dan menemukan wacana lisan
berdasarkan informasi langsung dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam Pemilu
1955. Peristiwanya sendiri sudah berlangsung 62 sampai 67 tahun silam. Jika saat
terlibat dalam peristiwa itu panitia pelaksananya rata-rata berusia 30 tahun, maka
sekarang ini usianya akan berkisar antara 92 hingga 97 tahun.
Dengan alasan seperti tersebut di atas, maka studi ini akan difokuskan
pada wacana-wacana publik di media cetak. Suatu hal yang menonjol darinya
adalah adanya sejumlah wacana yang mengaitkan kandungan-kandungan historis
ke dalam lintasan teratur dan tertata yang pada akhirnya ikut berperan bagi
kemenangan PNI dalam Pemilu 1955. Beberapa dari peristiwa tersebut terungkap
dalam fakta seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Pemerintah pusat telah sibuk dengan tuntutan untuk segera diadakan
Pemilu melalui peristiwa 17 Oktober 1952, tampak elite politik masyarakat Bali
juga sibuk mempersiapkan hal tersebut dengan diadakannya berbagai pertemuan
yang membahas arah partai dan pemilu. Pada bulan Januari 1952, PSI daerah Bali
telah mengadakan pertemuan persiapan pendahuluan konperensi PSI seluruh
Indonesia bertempat di ruangan perguruan Panti Yasa Denpasar. Pada pertemuan
mereka itu dibahas perkembangan dan ideologi dari PSI.9
Pada bulan November 1952, PNI daerah Bali mengadakan konperensi PNI
daerah Bali, yang dilakukan pula untuk mengumpulkan usul yang akan dibawa
9“Bang Podjok, PSI menjusun tenaga?” Suara Indonesia, 21 Januari 1952.
8
dalam Kongres PNI seluruh Indonesia di Surabaya pada bulan Desember 1952.
Dalam konperensi tersebut diajukan pula suatu resolusi yang mendukung acting
Gubernur Sarimin Reksodihardjo untuk ditetapkan menjadi Gubernur Sunda
Kecil. Selain itu dinyatakan pula suatu sikap mengenai peristiwa 17 Oktober 1952
yang terjadi di Jakarta, bahwa PNI daerah Bali mempertimbangkan untuk tidak
menyatakan suatu sikap mengenai itu dan menyelaraskan keadaan dengan
perkembangan di daerah Bali.10
Pada tahun 1953, PSI berpendapat bahwa percaturan politik di Bali tidak
dapat ditentukan karena belum adanya gambar jelas dari pemerintah. Sementara
itu tentang keadaan PSI di Bali mereka telah terdiri atas 7 persiapan cabang.
Segera mereka akan membentuk suatu Dewan Daerah Sunda Kecil, dengan Made
Pantjer sebagai Sekretaris Umum, dan Made Sugita sebagai koordinator
merangkap anggota Dewan Daerah di Jawa Timur. Dalam mewujudkan cita-
citanya di dalam masyarakat, PSI mengusahakan kerja secara produktif dalam
segala lapangan agar memunculkan kekuatan masyarakat sendiri.11
Berbeda dengan PSI, pada akhir tahun 1953, PNI daerah Bali telah
melakukan persiapan terhadap Pemilu, dengan mengadakan penjelasan mengenai
arti pemilihan umum. Hal yang diajukan oleh ranting Kubutambahan itu sendiri,
dihadiri oleh Sutrisno selaku pengurus cabang PNI Singaraja, B.K. Berata,
Nyoman Melaya, dan Nyoman Natih sebagai pembicara yang akan memberikan
10“PNI daerah Bali usulkan Sarimin ditetapkan Gubernur Suke, Menetapkan
status daerah Besar untuk P. Bali,” Suara Indonesia, 4 Nopember 1952.
11“Pendapat PSI tjab. Bali: Belum Ada Gambaran Djelas Dari Pemerintah
Bagaimana usaha Pembangunan di Bali,” Suara Indonesia, 11 September 1953.
9
penjelasan mengenai pemilu.12
Pada tahun berikutnya, di bulan September, PNI mengadakan Kampanye
Pemilu di Bali Utara. Kampanye tersebut dihadiri oleh kira-kira seribu orang
penduduk desa Sinabun. Kampanye yang disisipkan dalam acara peresmian PNI
ranting Sinabun itu mengusung wacana tentang demokrasi yang telah ada di
dalam tubuh ideologi PNI sejak lama. Dikabarkan oleh PNI bahwa pihak
pimpinan Cabang PNI melakukan kunjungan sampai 3 kali dalam seminggu
dalam rangka kampanye pemilu tersebut.13
Tidak seperti sepak terjang kedua partai di atas, PKI baru memulai
ceramahnya pertama kali di Denpasar pada tanggal 31 Oktober 1954. Ceramah
yang dilaksanakan di gedung Bioskop Wisnu tersebut dihadiri kurang lebih 250
orang yang kebanyakan terdiri dari kaum petani, pelajar, buruh, dan lain
sebagainya. Partai ini mengusung wacana bahwa mereka memiliki tradisi yang
berbeda dari partai lainnya. Perbedaan tersebut adalah bahwa PKI mengikuti
tradisi revolusioner yang dipimpin oleh teori-teori revolusioner yang akan
memperkuat ideologi, sehingga tiap anggota PKI memiliki senjata yang ampuh,
yaitu kritik dan autikritik yang siap melawan musuh rakyat seperti imperialis
Belanda dan agen-agennya.14
Sementara pemerintah dan elite politik disibukkan oleh Pemilu, dan
kriminalitas tetap terjadi di tengah-tengah masyarakat, ada satu pihak elite
12“PNI ranting Kubutambahan perdalam arti Pemilihan Umum,” Suara Indonesia,
17 Nopember 1953.
13“Kampanje Pemilihan Umum P.N.I. – Bali Utara,” Saudara Indonesia, 30
September 1954.
14“Tjeramah P.K.I,” Suara Indonesia, 1 November 1954.
10
pemerintah yang tampil unjuk kebolehan ditengah-tengah masyarakat. Pihak
kepolisian, yang paling dekat dengan masyarakat, tidak bisa mengelak dari tugas
dan tanggungjawabnya. Seringkali mereka menjadi sasaran kritikan masyarakat.
Hal ini terlihat dari peristiwa peneguran kepada pihak kepolisian melalui surat
seorang Petani penyabit Rumput di Klungkung. Melalui suratnya petani tersebut
menilai bahwa polisi masih bersikap sewenang-wenang dalam menengahi suatu
perkara. Hal ini dipaparkan petani melalui suatu peristiwa di mana polisi tersebut
tidak menindak tegas seorang pemuda yang sewenang-wenang terhadap penari
Joged Bumbung karena ia adalah seorang berkasta, dan di kemudian hari
menghajar seorang pemuda ketika melakukan hal yang sama karena ia adalah
seorang tidak berkasta.15
Tidak peristiwa itu saja, dalam hal lalu-lintas polisi juga kerap kali di
kritik oleh masyarakat, kali ini melalui seorang pengamat berita pada majalah
Bhakti yang mempunyai julukan Gde Gelas. Ia memprotes polisi dan memberi
saran untuk mempertegas aturan lalu lintas karena masih banyaknya orang yang
berkendara dengan kebut-kebutan. Ia menyarankan polisi untuk tidak pandang
bulu dalam menindak si pelanggar dan kemudian menyarankan pula agar polisi
memperketat penjagaan di setiap perempatan jalan.16
Pada awal tahun 1953, antara lain muncul pula wacana publik mengenai
permasalahan pengairan subak-subak yang berujung kepada mundurnya sebagian
Klian-Klian Subak Buleleng. Diperkirakan permohonan mengundurkan diri itu
15“Tjoret-Tjoret,” Suara Indonesia, 9 Oktober 1951.
16G.Gelas, “Agenda Masarakat:-Kapankah peraturan lalu-lintas akan
diperkeras?,-Godaan hebat bagi pegawai2 jang aktip, -Masih model Djepang?,” Bhakti,
No. 6, Th.II, 20 Februari 1953.p.9.
11
dikarenakan tidak berjalannya resolusi yang diajukan oleh mereka kepada
pemerintah. Begitu banyak penyesuaian yang dilakukan pasca penyatuan kembali
RIS ke dalam RI. Salah satunya adalah penghapusan pajak bumi di tahun 1951,
yang mengakibatkan berkurangnya salah satu tugas Klian Subak selaku pemungut
pajak . Dengan hilangnya salah satu fungsi tersebut, Klian Subak juga kehilangan
uang pungut dari pajak yang dipungutnya. Hal ini pula yang memicu pengunduran
diri mereka. Mereka sebagai salah satu abdi negara, tidak masuk dalam golongan
yang sama dengan pemerintah. Dalam kolom peraturan gaji mereka cenderung
digolongkan sebagai kalangan pejabat keagamaan.17
Penyesuaian sebagai suatu negara kesatuan memiliki dampak negatif dan
positif yang harus dilalui dalam masyarakat. Begitu pula di Bali, penerimaan
tenaga yang diberikan oleh pusat ke daerah dalam suatu jabatan, seringkali
menggeser tenaga daerah yang sebelumnya mengisi jabatan tersebut. Hal ini
kemudian membangkitkan rasa provinsialisme (bersifat kedaerahan),
minderwaardigeidscomplex (sindrom rendah diri), dan sebagainya yang dirasakan
oleh masyarakat setempat. Salah satu contohnya yang dinilai menjengkelkan oleh
masyarakat adalah seorang hakim yang didatangkan dari luar daerah masih kurang
keahliannya, dibandingkan dengan tenaga yang ia gantikan (dari daerah). Hal ini
ditakutkan akan membangkitkan rasa rindu kepada bentuk negara federasi.18
Kesenjangan antara bekas pejuang (golongan republikein) dengan bekas
penghianat negara (golongan reaksioner) masih terasa atmosfernya sampai tahun
17Rontek, “Krisis Subak-Subak di Buleleng,” Bhakti, No. 3, Th.II, 20 Januari
1953.p.1.
18“Komentar Peristiwa: Kegelisahan Di Daerah-Daerah Djangan Dianggap Sepi,”
Bhakti, No. 3, Th.II, 20 Januari 1953.p.2.
12
1953. Hal ini dibuktikan dengan kejadian dapatnya seorang yang berpihak kepada
NICA bisa menjadi pegawai di kantor pemerintahan. Hal ini langsung dikritisi
oleh badan pemerhati bekas pejuang yang bernama Jajasan Kebaktian Pedjuang
(JKP). JKP berpendapat bahwa penghianat tersebut dapat duduk dalam kantor
pemerintahan melalui jalan kuasa yang dimiliki seorang pimpinan di dalam kantor
tersebut.
Sebagai suatu yayasan JKP tidak memiliki hak yang dapat memaksa
semua kantor harus melalui mereka ketika mencari tenaga. Mereka hanya dapat
meminta perhatian karena mereka adalah bekas pejuang. Menurut JKP
ketimpangan justru mereka alami selaku bekas pejuang, dimana dalam mencari
pekerjaan mereka harus memiliki berbagai surat ijin dan keterangan riwayat
hidup. Hal tersebut tidak dialami oleh para penghianat tersebut. JKP sepakat
persoalan masa lalu harus segera dilupakan demi pembangunan negara. Namun,
yang lebih baik bagi pembangunan negara bagi mereka adalah membersihkan
negara dari para penghianat yang dapat meracuni pemikiran rakyat setempat.
Melalui pernyataan tersebut JKP dinilai masih sentimen kepada bekas penghianat,
namun mereka tidak mengelak dari pernyataan tersebut.19
Latar belakang masalah tersebut di atas kemudian menunjukkan adanya
suatu persoalan yang perlu dibahas yakni terdapatnya relasi kuasa di dalam
kemenangan PNI pada pemilu 1955. Relasi kuasa tersebut tersembunyi di dalam
wacana-wacana publik yang tidak berkesinambungan satu sama lain, namun
19“Agenda Masarakat: - Sebuah sadjak kepada Antjeruk tentang: orang suntik
yang djadi bengkak, - Pegawai JKP Mendjawab,” Bhakti, No. 2, Th.II, 10 Januari 1953.
p.17.
13
pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya dapat ditangkap oleh masyarakat dan
elite politik PNI untuk dijadikan sebagai kekuasaan dalam memenangkan Pemilu
1955.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Terdapat korelasi sebab-akibat dalam permasalahan tersebut yakni
kemenangan PNI dalam Pemilu 1955 di Bali adalah akibat dari suatu sebab yakni
kemampuan masyarakat dan elite politik PNI dalam menangkap setiap wacana
publik yang dianggap potensial untuk dijadikan kekuasaan yang dianggap sebagai
suatu kebenaran. Akan tetapi pernyataan ini baru merupakan suatu simpulan
sementara dan untuk menjadikannya sebagai sebuah simpulan tetap, maka terlebih
dahulu dalam studi ini akan dilakukan pengujian-pengujian dengan cara
mengajukan tiga buah pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa sekalipun begitu banyak diskontinuitas dalam wacana publik
1951-1955, namun PNI di Bali tetap tampil sebagai pemenang Pemilu
1955?
2. Bagaimana prosesnya PNI menangkap pengetahuan yang tersembunyi
dalam diskontinuitas wacana publik sehingga memberikan peluang baginya
tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955?
3. Apa implikasinya ketika PNI di Bali memilih lebih mengutamakan
menangkap pengetahuan tersembunyi dalam suatu wacana publik yang
menguntungkan dirinya secara politik terhadap situasi dan kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat Bali?
14
Setiap pertanyaan tersebut di atas mengandung sejumlah sub pertanyaan,
dimana setiap sub-sub pertanyaan penelitian juga mengandung sub-sub
pertanyaan yang tidak dicantumkan pada bagian pendahuluan. Pertanyaan tersebut
akan dikembangkan dalam penelitian, yang nantinya akan dapat memudahkan
dalam mencari dan menemukan.
Sesuai dengan metode genealogi yang disebutkan di atas, maka
permasalahan yang dipaparkan di atas akan dikaji dengan memakai pendekatan
sejarah pascastrukturalisme. Model baru dari pendekatan sejarah ini penting
digunakan dalam menghadapi tantangan dari pengikut Postmodernism yang
mempermasalahkan kredibilitas karya sejarah. Hal ini diungkapkan oleh
sejarawan radikal Robert Samuel, yang menyatakan bahwa setiap orang
hendaknya melihat sejarah tidak sebagai suatu rekaman dari masa lalu, terkait
dengan fakta, namun hanya penemuan atau fiksi dari sejarawannya sendiri.20
Dalam upaya menghadapi pernyataan tersebut, C. Behan McCullagh
menyarankan sejarawan untuk mencari sebab-sebab terdekat dari suatu peristiwa,
karena konsep mengenai sebab mencakup ide tentang sesuatu yang menciptakan
pengaruhnya. Selain itu perlawanan terhadap kaum Postmodernism tersebut dapat
20J. Evans, Richard, In Defence of History (London : Granta Book, 1977),p.7.
dikutip dalam I Nyoman Wijaya, “Mempersoalkan Kredibilitas Temuan Peneliti Asing
Dalam Sosial Politik Identitas Orang Bali” (makalah yang dibacakan Call for Paper
International Conference: Contribution of History for Social Sciences and Humanities,
Malang, 5 September 2015).
15
pula dilakukan dengan cara menggunakan teori-teori postmodernisme dengan
cermat.21
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Apabila pertanyaan penelitian di atas dapat dijawab dengan baik, maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah,
1. Memahami dan memberi gambaran jelas tentang faktor-faktor, kondisi-
kondisi yang menentukan kemenangan PNI di Bali dalam Pemilu 1955
sekalipun begitu banyak diskontinuitas dalam wacana publik 1951-1955.
2. Mengetahui proses PNI di Bali dalam menangkap pengetahuan yang
tersembunyi dalam diskontinuitas wacana publik sehingga memberikannya
peluang untuk tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 1955.
3. Mengungkapkan implikasi yang ditimbulkan terhadap situasi dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat Bali manakala PNI di Bali lebih memfokuskan
perhatiannya menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam wacana
publik yang memberikannya keuntungan secara politik sehingga tampil
sebagai pemenang Pemilu 1955.
21Dikutip dalam Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri: Gerakan Ajeg Bali
dalam Sejarah Kebudayaan Bali 1910-2007” (Disertasi, Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, 2009), p. 8.
16
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari terlaksananya penelitian ini adalah:
1. Menambah kajian sejarah politik lokal sebagai jalan masuk untuk dapat
memahami sejarah politik di Bali dengan memakai metode genealogi
Foucault.
2. Membuktikan bahwasanya sejarah politik mencakup suatu kajian yang luas
yang meliputi hubungan antara wacana-kuasa-pengetahuan.
3. Memberikan sumbangsih kepada masyarakat, khususnya sejarawan dan
civitas akademika terkait tulisan sejarah politik yang menggunakan
pendekatan institusional dalam mengungkapkan relasi kuasa-pengetahuan
yang tersembunyi di balik wacana-wacana publik yang dilontarkan oleh
pihak-pihak yang diberikan kuasa untuk berbicara atas nama politik.
4. Merupakan latihan intelektual untuk bisa memahami praktik sejarah
pascastrukturalisme dan sekaligus ikut mensosialisasikannya dalam
penulisan sejarah lokal di Bali.
1.4 Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa pustaka sebagai bahan kajian,
sekaligus pelengkap sumber dan pembanding sumber-sumber sejarah yang
ditemukan dalam penelitian studi. Pustaka yang pertama adalah artikel Adrian
Vickers berjudul “Mengapa tahun 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia.22 Di
22Adrian Vickers, “Mengapa 1950-an penting bagi kajian Indonesia,” dalam
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Henk Schulte Nordholt, Bambang
Purwanto, dan Ratna Saptari, Ed. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), pp. 67-78.
17
dalam artikel tersebut Adrian Vickers mencoba mengungkapkan suatu keganjilan
historiografi Indonesia pada periode tahun 1950-an. Dia juga banyak mengungkap
betapa pentingnya periode tersebut dalam historiografi Indonesia untuk
menentukan rekam jejak awal kemerdekaan Indonesia. Melalui artikel ini
diperoleh banyak sisi dan ruangan yang layak untuk dikaji dalam penelitian yang
mengambil skup temporal pada dekade awal kemerdekaan Indonesia. Vickers
juga banyak mengungkapkan keadaan-keadaan yang menyebabkan dekade ini
menjadi ‘dekade yang hilang’ seperti dikatakan oleh McVey.
Vickers mengungkapkan faktor yang mempengaruhi sulitnya mengkaji
periode 1950-an sebagai berikut,
“....visi pemerintahan Soeharto mengenai sejarah yang
menekankan stabilitas dan peran utama yang dimainkan
Angkatan Darat bagi negara itu, tetapi berakhirnya sejarah era
Soeharto ini tidak diikuti oleh perubahan pemahaman kita
mengenai periode pasca-kemerdekaan.”23
Melalui pengetahuan tersebut skup temporal kajian ini akan dibatasi
sampai pelaksanaan Pemilu 1955, untuk membuktikan sekalipun termasuk
periode yang sulit masih ada perjalanan sejarah, terutama politik dan seni yang
bisa dikaji darinya.
Pustaka selanjutnya adalah Sisi Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan
Politik, karya dari Geoffrey Robinson.24 Karya fenomenal ini, menurut redaksi
majalah Choice adalah karya pertama yang menghadirkan sejarah politik modern
dalam kajian akademis tentang Bali. Di dalamnya banyak dibahas keadaan Bali
23Ibid.
24Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan
Politik. Terj. Arif B. Prasetyo (Yogyakarta: LKiS, 2006.)
18
sepanjang periode awal kemerdekaan hingga pasca tragedi G30S di tahun 1965.
Dalam bukunya ini, Robinson berhasil menyajikan suatu kritikisasi terhadap
image masyarakat Bali yang selalu dikaitkan dengan istilah The People of Last
Paradise Island. Gambaran itu menurut Robinson merupakan suatu artefak dari
kebijakan kolonial yang mampu menutupi keadaan Bali dan masyarakatnya yang
sesungguhnya.
Di dalam bukunya itu Robinson banyak sekali menyampaikan kajian yang
dapat dijadikan sebagai sumber untuk memahami keadaan politik pada dekade
awal kemerdekaan di Bali, antara lain posisi-posisi kedudukan partai-partai dan
organisasi massa yang ada di Bali pada tahun itu. Melalui pemaparan itu juga
sangat membantu penelitian ini dalam memahami kedudukan dan peta
perpolitikan modern di Bali pada periode tersebut. Keadaan-keadaan Bali yang di
luar pengertian dan pandangan masyarakat luas tentang Bali yang permai
dipaparkan oleh Robinson dengan cukup terinci. Hal ini pula yang menjadi dasar
dari penelitian ini dalam mendeteksi adanya suatu ketidakseimbangan keadaan di
Bali yang merupakan pula dampak dari keadaan politik nasional saat itu.
Selain pustaka di atas, dirasa perlu juga meninjau pustaka karya Nyoman
S. Pendit yang berjudul Bali Berjuang. Terutama dalam bab-babnya yang
membahas dan menggambarkan Bali sejak Puputan Margarana. Melalui
penggambaran Pendit tentang peran-peran masyarakat Bali dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan Bali tetap di dalam
Republik Indonesia, Pendit memperlihatkan keadaan masyarakat Bali yang
terbelah dua. Penjelasan itu semakin mendukung penelitian ini terkait dasar dari
19
timbulnya suatu pertarungan-pertarungan masyarakat politik dan sipil di Bali.
Sekalipun lebih banyak membahas tentang Bali sejak masa dikuasai Jepang dan
NICA, pustaka ini tetap memberi banyak sumbangan pengetahuan untuk
mendasari peristiwa-peristiwa politik di tahun 1950-an yang hendak diteliti dalam
penelitian ini. Sumbangan pengetahuan buku ini untuk studi ini, terutama dapat
dilihat dalam Bab V yang membahas konperensi ‘NIT’ (Negara Indonesia Timur)
di Denpasar.25
Selain yang sudah disebutkan di atas, masih ditemukan pula karya-karya
pendukung lainnya, berupa buku elektronik (electronic-book) tetapi tidak dapat
diakses. Salah satunya adalah karya dari I Ketut Ardhana berjudul Balinese Puri
in Historical Perspective: The Role of Puri Satria and Puri Pamacutan (sic) in
Social and Political Changes in Badung, South Bali, 1906-1950. Dilihat dari
judulnya, jika karya dapat diakses tentunya akan cukup besar sumbangsihnya
dalam penelitian ini, seperti dapat dilihat dari deskripsinya. 26
Dalam pendeskripsiannya dapat diketahui bahwa karya tersebut
memaparkan tentang keadaan sosial dan politik Pemerintahan Puri Satria dan Puri
Pemecutan setelah terjadinya Puputan Badung tahun 1906. Setelah tragedi
tersebut, dipaparkan bahwa terjalin suatu hubungan kerjasama antara pihak
kerajaan di Badung dengan pihak kolonial Belanda. Kerjasama tersebut
25Nyoman S.Pendit, Bali Berjuang (Jakarta: Gunung Agung, 1979).
26I Ketut Ardhana, “Balinese Puri in Historical Perspective: The Role of Puri
Satria and Puri Pamacutan in Social and Political Changes in Badung, South Bali, 1906-
1950,” diakses dari https://openresearch-repository.anu.edu.au/handle/1885/111316, pada
tanggal 15 April 2017.
20
menghasilkan pembangunan Puri Satria yang baru dan berdirinya Puri Kanginan-
Pemecutan.27
Skup temporal karya ini menunjukkan suatu jaman kekacauan dan
perubahan di Bali Selatan dalam hegemoni Belanda, Jepang, perjuangan di zaman
kemerdekaan, bergabungnya Bali dengan Negara Indonesia Timur, dan kemudian
kembali ke dalam Republik Indonesia. Selama rentang skup temporal tersebut
karya ini berupaya memperlihatkan adanya suatu persaingan antara kedua Puri
tersebut. Hal inilah yang menjadi tujuan dari karya ini, yakni menjelaskan peran
politik kedua puri tersebut selama skup temporal tersebut kepada masyarakat
luas.28
Karya lain diperoleh melalui media elektronik, yang mendukung penelitian
ini adalah karya dari Geoffrey Robinson, yang berjudul The Economic
Foundations of Political Conflict in Bali, 1950-1965. Dalam karyanya tersebut
Robinson menggambarkan situasi Bali pasca revolusi nasional. Salah satunya ia
menggunakan argumen seorang ahli tentang Bali berkebangsaan Belanda, Ch. J.
Grader, yang mengatakan bahwa Revolusi Nasional Indonesia telah mengarahkan
pembangunan ekonomi menjadi sebuah isu politik yang mendesak pemerintah
baru Bali. Ia menjelaskan keadaan pasar perekonomian Bali yang bergantung pada
hasil pertanian dan perkebunan yang kemudian terjebak dalam suatu inflasi.29
27I Ketut Ardhana, sama dengan di atas.
28Sama dengan di atas.
29Geoffrey Robinson, “The Economic Foundations of Political Conflict in Bali,
1950-1965,” diakses dari Indonesia, No.54 Perpectives Bali (Oct., 1992), pp.60-61, via
http://www.jstor.org/stable/3351165?loggedin=true&seq=4#page_scan_tab_contents,
pada tanggal 15 April 2017.
21
Inflasi tersebut kemudian mengakibatkan kemelaratan hidup yang
berujung kepada kriminalisme ataupun premanisme. Tidak hanya sampai disitu ia
juga menyimpulkan bahwa kondisi ini menguntungkan partai aliran kiri Indonesia
serta organisasinya. Mereka masuk ke desa-desa dan membawa isu agraria
sebagai alat untuk mengumpulkan massa yang terdiri dari buruh dan tani.30 Hal ini
membawa kita pada suatu kenyataan bahwa pada masa tersebut selain Pemilu
sebagai isu Politik, telah berkembang terlebih dahulu isu ekonomi yang melatari
berbagai macam peristiwa sosial yang terjadi pada masyarakat Bali masa itu.
Akhirnya harus disebutkan pula dua buah skripsi bertemakan PNI yang
memberikan pengaruh cukup besar dalam munculnya ide penulisan ini, yakni
karya Anak Agung Ayu Rai Wahyuni31 dan Anak Agung Ngurah K. Suweda.32
Dalam skripsinya itu Rai Wahyuni berhasil mengungkapkan beberapa faktor yang
mengakibatkan kemenangan PNI. Faktor-faktor tersebut adanya dukungan dari
pejabat-pejabat pemerintah,33 kampanye yang terprogram, dan kemampuan PNI
menghimpun organisasi-organisasi massa berbasis Marhaen.34 Selain yang sudah
disebutkan di atas, Rai Wahyuni juga berhasil memaparkan suatu bentuk
tantangan dari luar terhadap PNI yang muncul dari kubu Partai Sosialis Indonesia
(PSI), dan cara PNI mengatasinya dengan cara memanfaatkan kerjasama dengan
30Sama dengan di atas.
31 Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, “Partai Nasional Indonesia Dalam Pemilihan
Umum Tahun 1955 di Bali” (Skripsi, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 1986)
32Anak Agung Ngurah K. Suweda, “Partai Nasional Indonesia di Bali (1950-
1966)” (Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, 1989)
33 Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, op.cit.,p.81.
34 Ibid., p.95.
22
birokrasi pemerintah. Sekalipun demikian masih banyak terlihat ada peluang
untuk melakukan kajian lebih lanjut, terutama untuk melihat relasi kuasa yang
tersembunyi dalam kemengan PNI seperti yang diajarkan oleh Foucault.
Di sisi lain, Suweda berhasil memaparkan suatu rekonstruksi proses
perjuangan PNI di Bali. Ia menyimpulkan bahwa PNI dalam kiprahnya telah
berhasil memberikan pemahaman dan kesadaran politik dikalangan masyarakat
tani yang pada saat itu tergolong masih buta huruf.35 Terkait dengan analisisnya
mengenai penyebab kemenangan PNI, ternyata tidak jauh berbeda dari hasil
temuan Rai Wahyuni. Akan tetapi ada hal lain yang berhasil dipaparkan oleh
Suweda yakni perselisihan PNI dengan partai-partai lawannya. Menjelang Pemilu
1955 PNI mengalami perselisihan yang sengit dengan PSI dan ormasnya.36
Dilihat dari sumber primer berupa arsip, karya Rai Wahyuni jauh lebih
istimewa dibandingkan dengan Suweda. Rai Wahyuni berhasil mencari dan
menemukan arsip-arsip tentang PNI yang otentik dan kredibel. Sebaliknya, dalam
karya Suweda arsip yang terkait dengan Pemilu 1955 sangat terbatas, bahkan
lebih banyak meminjam atau mengutip arsip yang telah digunakan oleh Rai
Wahyuni. Mereka juga sudah menggunakan informasi dari para narasumber
sejaman, namun tidak ada satu pun dari kedua peneliti yang memakai wacana dari
surat kabar tahun 1951-1955. Rai Wahyuni memang menggunakan satu majalah
tahun 1950-an sebagai sumber, namun itu bukan perihal Pemilu. Sementara
Suweda lebih banyak memakai media massa tahun 1957-1966, yang tidak ada
35Anak Agung Ngurah K. Suweda, op.cit., p.124.
36 Ibid., p.93.
23
relevansinya dengan studi ini. Oleh karena itu terbuka peluang untuk mengkaji
kemenangan PNI melalui wacana-wacana yang berkembang pada periode Pemilu,
1951-1955.
1.5 Metodologi yang digunakan
Dalam penulisan sejarah pascastrukturalisme, sebenarnya dengan
menggunakan metode genealogis saja sudah cukup, karena di dalamnya sudah
terkandung metodologi dan epistemologi, ilmu tentang ilmu.37 Akan tetapi metode
genealogi tidak memberikan sebuah model yang memungkinkan untuk
menentukan sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji objek penelitian.
Mengingat objek penelitian ini adalah kemenangan PNI dalam Pemilu 1955, maka
yang akan digunakan adalah model sejarah politik.
Sebagai sebuah sejarah politik, metodologi sejarah utama yang digunakan
dalam studi ini adalah Sejarah Politik. Menurut Kuntowijoyo sejarah politik
bukan lagi semata-mata menulis mengenai politik, tetapi kekuasaan pada
umumnya. Kekuasaan itu sendiri tidak dapat dibendung, ia berada di mana-mana,
di berbagai institusi pasti ada sistem kekuasaannya. Dalam bukunya Kuntowijoyo
menawarkan delapan pendekatan sejarah Politik.38
Kedelapan pendekatan tersebut adalah pendekatan sejarah intelektual
untuk mengungkapkan pikiran-pikiran akan mempengaruhi perilaku; pendekatan
sejarah konstitusional, bahwa konstitusi suatu bangsa dapat menggambarkan
37Paul Rabinow, op. cit., p. 17.
38Kuntowijoyo, Metodologi sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003),
p.176.
24
filsafat hidup bangsa; pendekatan sejarah institusional yang digunakan untuk
mengkaji perangkat sistem politik; pendekatan sejarah behavorial untuk melihat
perilaku negara dan partai-partai politik dalam sosialisasi gagasan dan
pelaksanaan tindakan politik; pendekatan sejarah komparatif yang menggunakan
perbandingan untuk menjelaskan suatu peristiwa; pendekatan sejarah sosial untuk
mengkaji aspirasi politik dari kelompok-kelompok sosial yang sesuai
kepentingannya; pendekatan studi kasus untuk mengkaji kasus-kasus politik baik
menggunakan sumber tertulis maupun lisan; pendekatan Biografi digunakan untuk
menulis sebuah biografi politik.39
Dari delapan pilihan tersebut pendekatan sejarah intelektual yang dipilih
karena berkesesuaian dengan metode genealogi yang sesungguhnya juga sebuah
sejarah intelektual, seperti yang dikatakan oleh Ritzer. Dia mengatakan, genealogi
adalah jenis sejarah intelektual yang sangat khas sifatnya, cara mengaitkan
kandungan-kandungan historis ke dalam lintasan teratur dan tertata yang bukan
pengungkapan serta sederhana asal usulnya atau realisasi niscaya dari tujuan-
tujuan mereka.40
Selain itu, dipilihnya pendekatan sejarah intelektual karena ada upaya
untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran (ideologi) yang memengaruhi
perilaku-perilaku masyarakat politik dan masyarakat sipil, pada dekade awal
pengakuan kedaulatan Indonesia. Dengan berpijak dari peristiwa politik tingkat
lokal, metodologi sejarah politik ini akan sangat membantu dalam memahami
39Ibid., p. 176-182.
40George Ritzer, Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Terakhir Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), p. 654.
25
perjalanan sejarah politik tingkat lokal, yang merupakan suatu kesinambungan
dari peristiwa nasional yang dapat ditemui di tingkat lokal.41
Menurut Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial
Dalam Metodologi Sejarah, konsep proses politik yang diperluas serta dianalisis
atas pelbagai unsur dan dimensinya akan menunjukkan bahwa proses politik
sangat ditentukan oleh sikap dan kelakuan politik yang pada hakikatnya
multidimensional sifatnya, yang mencakup faktor yang kompleks. Pengungkapan
multidimensional lewat pendekatan ilmu sosial akan mengungkapkan pula tidak
hanya unsur-unsur kompleksitas gejala politik dalam sejarah, tetapi juga saling
ketergantungan antara unsur-unsur itu.42
Melalui metodologi sejarah politik ala Sartono Kartodirdjo ini, akan dapat
diketahui bahwa proses politik sebagai kompleksitas hubungan antara pemimpin
dan pengikut, otoritas dan ideologi, ideologi dan mobilisasi, solidaritas dan
loyalitas, dan lain sebagainya, kesemuanya akan mampu mengungkapkan pola
distribusi pengaruh dan kekuasaan (polity) dalam kaitannya dengan pola distribusi
komoditi (economy) serta dengan society sendiri (pola distribusi hubungan sosial).
Dengan peralatan analisis itu proses politik di tingkat subnasional pun,
umpamanya di tingkat lokal, dapat ditelaah dan diuraikan.43
Gabungan metodologi sejarah politik dari dua sejarawan besar yang
pernah dimiliki oleh Indonesia itu, dapat membantu memudahkan mencari dan
41Ibid., pp. 184-186.
42Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), pp. 46-47.
43Ibid.
26
menemukan wacana publik tingkat lokal yang berlangsung selama rentang waktu
pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia ini, 1951-1955. Wacana-wacana publik
lokal tersebut yang dijadikan sebagai pintu masuk untuk bisa memahami peristiwa
sejarah politik nasional yang pada masa itu atau bisa pula sebaliknya, peristiwa-
peristiwa nasional ditelusuri kelanjutannya di tingkat lokal.
Salah satu contoh dari pendekatan yang disebutkan lebih awal ialah
memanasnya suhu politik nasional sebagai akibat dari adanya keinginan pengikut
aliran Sosialisme yang ingin mencari jalan ketiga diantara komunisme dan
imperialisme. Hal ini berdampak pada keadaan partai PSI di Indonesia yang
sedang mempersiapkan partai dan massanya untuk pemilu 1955. Di Bali hal ini
terlihat dengan ragunya PSI untuk menjaga jarak dengan organ-organ yang
berdekatan dengan PKI seperti LOGIS.
Selain metodologi sejarah politik, sebagai konsekuensi dari pendekatan
sejarah intelektual yang disebutkan di atas, digunakan pula dalam penelitian ini
metodologi sejarah Intelektual. Menurut F.R. Ankersmit yang menjadi objek
penelitian sejarah Intelektual adalah sesuatu yang oleh budi manusia tercapai pada
masa-masa yang silam. Perhatian utama dalam metodologi ini pada sejarah teori
politik. Selain itu, sejarah intelektual menurutnya juga berfungsi untuk menyusun
kembali perbekalan intelektual dalam suatu kurun waktu tertentu.44 Dengan
menggunakan metodologi sejarah intelektual ala Ankersmit, dalam penelitian ini
ingin ditampilkan suatu perbekalan intelektual yang menyusun ideologi
44F.R. Ankersmit & D. Hartoko, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat
Modern Tentang Filsafat Sejarah. Terj. Dick Hartoko (Jakarta : PT Gramedia, 1987), pp.
302-303.
27
masyarakat politik dan sipil di masa awal pengakuan hingga menjelang Pemilu
1955. Dengan mengetahui perbekalan intelektual yang menyusun ideologi para
tokoh tersebut, dapatlah diungkap relasi-relasi kuasa yang tersembunyi diseputar
setiap pertarungan ideologi politik tersebut.
Kedua metodologi sejarah tersebut akan dirangkai dengan metode
Genealogi Foucault. Sekalipun dia menyebutnya sebagai sebuah metode, namun
di dalam Genealogi adalah ilmu tentang cara memahami sejarah melalui
pembongkaran secara terus-menerus struktur kemungkinan pemahaman.
Genealogi adalah sebuah cara menelanjangi diri sendiri atau kritik ontologis diri
sendiri, dalam rangka membongkar berbagai bentuk relasi kekuasaan di baliknya.
Genealogi berusaha menelanjangi segala sesuatu, khususnya sumber awal
(origin), fungsi permulaan, konteks lingkungan, landasan kehendak, dan relasi
kekuasaan di balik sebuah pengetahuan, yang selama ini ditutupi, disembunyikan,
atau dibungkam. Genealogi menampakkan segala sesuatu yang sebelumnya
disembunyikan itu.45
1.6 Kerangka Teoretis dan Konseptual
1.6.1. Kerangka Teoretis
Sartono Kartodirdjo mengajarkan teori sejarah dapat digunakan untuk
menerangkan pertanyaan interogatif, yaitu apa, kapan, siapa, dimana, dan
bagaimana suatu peristiwa terjadi. Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan
mengapa suatu peristiwa terjadi, maka diperlukan bantuan teori ilmu sosial.
45Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), p. 498.
28
Fungsi teori ilmu sosial dalam ilmu sejarah adalah untuk membantu menganalisis
faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual, unsur-unsur komponen dan
eksponen dari proses sejarah yang dikaji.46
Berdasarkan ajaran Sartono Kartodirdjo di atas, maka pertanyaan peneliti
kedua dan ketiga yang diajukan dalam studi ini relatif tidak akan menggunakan
teori ilmu sosial kritis sebagai landasan berpikir, melainkan cukup dengan teori
sejarah. Ida Bagus Sidemen dalam tulisannya yang terbit di dalam Widya Pustaka
edisi Tahun VIII No. 2 Januari 1991, mengatakan ada lima masalah pokok yang di
bahas dalam teori Sejarah. Masalah pertama adalah historical understanding yang
membagi pemahaman sejarah menjadi dua aliran yaitu, positivisme dan idealisme.
Masalah kedua yakni historical explanation yang merupakan suatu perluasan
perbedaan pendapat antara kelompok positivisme dan idealisme dalam
pendekatannya tentang sejarah. Ketiga, historical objectivity, yang juga berisikan
perdebatan mengenai bagaimana pelaporan masa lalu yang objektif, dengan
membiarkan fakta berbicara sendiri, atau melalui interpretasi sumber-sumber.
Keempat, historical causation, yang membahas terkait menjelaskan cara sebab
akibat dalam sejarah dengan dua langkah yakni, memperhatikan dua kejadian atau
lebih dan menegaskan bahwa ada hubungan antara kejadian-kejadian itu. Kelima,
historical determinsm, dimana Berlin menyimpulkan bahwa sejarawan harus
46Sartono Kartodirdjo, op.cit., p. 3.
29
mendekati sejarah dengan suatu persangkaan, bahwa pada akhirnya tindakan
manusia tidak ditemukan sebagai determinan sejarah.47
Mengingat studi ini merupakan sejarah pascastrukturalisme, maka tidak
semua teori sejarah strukturalisme tersebut di atas bisa digunakan. Teori
positivisme tidak digunakan karena aliran positivisme melihat garis sejarah secara
linier, sebuah gerak tunggal, seakan-akan perjalanan sejarah diarahkan menuju
satu tujuan dan mempertimbangkan adanya keberagaman hasil tindakan manusia
dan kekhasan setiap konsepsi baru tentang dunia. Sebaliknya, pengikut aliran
pascastrukturalis mengatakan sejarah terkait dengan kekuasaan dan kebenaran.48
Historical explanation digunakan karena masih ada relevansinya. Seperti
dijelaskan oleh H. Wals eksplanasi dilakukan dengan cara mengumpulkan bukti
kejadian sejarah, selanjutnya menempatkannya dalam keterkaitan yang intrinsik
kemudian dihubung-kaitkan dengan konteks sejarah.49 Teori ini digunakan dalam
penelitian ini terutama untuk membantu menjelaskan hubungan antara kuasa-
pengetahuan yang memungkinkan PNI muncul sebagai pemenang Pemilu padahal
begitu banyak terjadi di diskontinuitas dalam wacana publik.
Historical objectivity dipakai dalam studi ini, karena seperti dikatakan
oleh Leopold von Ranke dapat dilakukan dengan cara melaporkan seperti apa
yang telah terjadi menurut dokumen sejarah, maka tulisan sejarah dapat mencapai
47Ida Bagus Sidemen, “Lima Masalah Pokok dalam Teori Sejarah” Widya
Pustaka edisi Tahun VIII No. 2 Januari 1991 (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas
Udayana, 1991), pp.32-48.
48Alexander Aur, “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan Gerbang Menuju
Dialog Antarperadaban” dalam Teori-teori Kebudayaan, Mudji Sutrisno & Hendar
Putranto, ed. (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 149.
49Ida Bagus Sidemen, op. cit., pp. 38-39.
30
objektivitasnya. Teori ini akan dapat membantu menganalisis keobjektifan dari
penelitian ini berdasarkan sumber yang ada, berupa buku referensi, hasil
wawancara dan sumber lainnya.50
Historical causation digunakan dalam studi ini karena terkait dengan
penjelasan sebab-akibat dalam sejarah dengan dua langkah yakni, memperhatikan
dua kejadian atau lebih dan menegaskan bahwa ada hubungan antara kejadian-
kejadian itu. Akan tetapi sebagai sebuah sejarah pascastrukturalism, maka dalam
studi ini yang akan dicari adalah sebab-sebab terdekat dari suatu peristiwa.51 Hal
ini sama halnya dengan mencari jiwa jaman pada suatu peristiwa.
Historical determinism tidak digunakan, karena para ahli sejarah
pascastrukturalisme mengatakan ide-ide determinis dalam sejarah harus diganti
dengan keterputusan (discointinuity), patahan (rupture) kontingensi dan
kebetulan (chance), karena itu mereka memakai lagi konsep periode-periode
feodalisme dan kapitalisme.52
Sementara itu, teori ilmu sosial kritis hanya dipakai untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang pertama. Teori sosial kritis tersebut diambil dari
Foucault terutama yang menyangkut analisis wacana-pengetahun-kekuasaan,
yakni suatu cara pandang untuk menjelaskan relasi yang tidak tampak di berbagai
wacana, yaitu relasi kekuasaan. Di dalam berbagai wacana, ada relasi kekuasaan
50Ibid., p. 40.
51Seperti dikemukakan oleh sejarawan radikal Robert Samuel, pencetus History
Workshop, seorang pengikut postmodernisme, setiap orang hendaknya memandang
sejarah bukan sebagai rekaman masa lalu, terkait dengan fakta namun hanya penemuan
atau fiksi dari sejarawannya sendiri. Richard J. Evans, In Defence of History (London:
Granta Book, 1977), p. 7, dikutip dalam I Nyoman Wijaya, op. cit., p. 6.
52Alexander Aur, loc. cit.
31
tertentu yang menentukan formasi wacana itu sendiri (discourse formation), serta
bentuk subjektivitas yang terbentuk di dalamnya.
Dengan mengutip Behan McCullagh (2004:95), Nyoman Wijaya
mengatakan teori Foucault yang dapat dijadikan sebagai rumus untuk
membongkar segala sesuatu yang sebelumnya disembunyikan adalah manusia
tidak digerakkan oleh nilai yang mereka anut, melainkan hanya berkompromi
dengan wacana-wacana yang diberikan oleh mereka yang diberikan kuasa
berbicara.53 Piliang mengabstraksikan teori analisis kekuasaan Foucault, dengan
menyebutkan, bahwa pada setiap wacana terdapat relasi yang saling terkait antara
ungkapan wacana, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, dan relasi
kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Setiap wacana menyatu dengan kekuasaan
yang beroperasi di baliknya; dan juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kekuasaan
yang tersembunyi di baliknya, yang merupakan produk dari praktik kekuasaan.
Kekuasaan yang dimaksud Foucault bersifat plural tidak sentralistik, yang tumbuh
dari berbagai ruang periferal, dan ada di mana-mana.54
Jika dikaitkan dengan PNI, sekalipun kekuasaan tidak berasal dari
ekonomi maupun politik, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga seolah
tidak pantas dipakai sebagai landasan berpikir dalam studi, namun Foucault juga
mengartikan kekuasaan adalah strategi yang diakibatkan oleh fungsi yang meliputi
disposisi, manuver, taktik, dan teknik. 55 Dengan demikian, pengertian kekuasaan
53I Nyoman Wijaya, “Mencintai Diri Sendiri,” op. cit., p. 39.
54Ibid., p. 223.
55Ibid., p. 42
32
yang dipahami dalam studi ini adalah strategi yang dipakai oleh PNI dalam
mencapai kememangan dalam Pemilu 1955 di Bali.
1.6.2. Kerangka Konseptual
Konsep merupakan unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas
fenomena dalam satu bidang studi, dengan demikian konsep merupakan
penjabaran abstrak dari teori.56 Berdasarkan hal tersebut, yang dijadikan sebagai
landasan berpikir untuk mengkaji pertanyaan penelitian dalam studi ini, bukan
teorinya, melainkan konsep-konsepnya. Di dalam teori relasi kuasa Foucault
terkandung tiga konsep yakni wacana, pengetahuan, dan kekuasaan.
1.6.2.1. Wacana
Ankersmit mengatakan, bila Foucault berbicara tentang bahasa, ia sering
mempergunakan kata discours (wacana), yaitu tindak bahasa yang diarahkan
kepada kebenaran. Konsep ini terutama terjadi dalam penalaran ilmiah, tetapi
bahasa sehari-hari pun seperti dipakai dalam rapat-rapat, pidato-pidato politik, dan
diskusi-diskusi juga merupakan suatu discours. Bagi Foucault, masa silam pada
hakikatnya merupakan suatu lautan kumpulan manusia yang omong-omong dan
berbicara, lautan kata dan bahasa yang dipakai dalam keadaan yang beraneka
ragam. Konsep ini dapat dipakai sebagai landasan berpikir untuk menunjukkan
adanya suatu tindak bahasa yang terlihat melalui wacana-wacana publik sepanjang
56Maria S.W Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Sebuah
Panduan Dasar (Jakarta: PT. Gramedia Pustama Utama, 1996), p. 20.
33
tahun 1951-1955 yang akan ditanggapi secara berbeda sesuai tingkat pengetahuan,
pengalaman, dan penalaran individu-individu yang menangkapnya untuk
dijadikan kekuasaan. Dengan demikian akan terdapat beraneka ragam wacana
yang dianggap sebagai suatu kebenaran dengan maksud mencapai kekuasaan yang
berbeda pula.
1.6.2.2. Pengetahuan
Pengetahuan, seperti dikatakan oleh Redaksi majalah Basis dilingkupi oleh
epistème.57 Menurut Ankersmit, epistème adalah struktur yang dibuat oleh
Foucault untuk memahami masa lampau yang disebutnya sebagai suatu lautan
(kumpulan) kata dan bahasa, yang dipakai oleh suatu masyarakat dalam keadaan
yang beraneka ragam. 58
Ada tiga sifat utama dalam epistème, satu, epistème menentukan
bagaimana manusia melihat dan mengalami kenyataan yang sangat ditentukan
oleh latar belakangnya (keilmuannya), penalarannya, sehingga setiap orang yang
berbeda ilmu bisa menafsirkan sebuah gambar yang sama dengan caranya sendiri-
sendiri. Dengan kata lain epistème adalah cara manusia mengalami kenyataan
menentukan bagaimana mereka melihat kenyataan, struktur mana yang mereka
terapkan pada kenyataan, serta benda-benda mana yang mereka lihat dalam
57Redaksi, “Orang yang Berjalan di Depan Kita,” Basis, Nomor 01-02, Tahun Ke-
51, Jakarta, Februari 2002, p. 6.
58Penjelasan mengenai pengertian wacana dan pengetahuan sepenuhnya diambil
dari F.R. Ankersmit & D. Hartoko, Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat
Modern Tentang Filsafat Sejarah (Jakarta : PT Gramedia, 1987), pp. 310-312.
Terimakasih kepada Bapak Nyoman Wijaya atas penjelasan tambahan mengenai teori ini,
sehingga penulis bisa lebih mudah memahaminya.
34
kenyataan. Sebagai contoh, manusia Barat modern yang mengalami kenyataan di
tahun 1930 mudah sekali membedakan pesawat terbang dengan seekor burung,
suatu hal yang belum tentu bida dilakukan oleh manusia primitif terpencil pada
tahun yang sama, karena mereka tidak pernah mengalami kenyataan yang
serupa.59
Konsep di atas menjadi dasar penjelasan terkait pemahaman/nalar yang
berbeda-beda pada kelas masyarakat sebagai massa yang menangkap suatu
wacana publik sesuai dengan nalarnya. Sebagai contoh isu mengenai Pemilu 1955
yang telah tersebar sejak tahun 1952, ditangkap sebagai suatu wacana yang
memiliki arti tidak hanya pelaksanaan suatu pemilihan umum di kalangan
masyarakat, melainkan juga sebagai penentuan arah politik Indonesia yang baru
yang tentu memiliki pengaruh yang berbeda ke masing-masing bidang di dalam
negeri.
Dua, Foucault mengkaitkan epistème dengan larangan, penyangkalan,
dengan pengesampingan. Ketiganya menjadi pintu pembuka untuk mengetahui
epistème yang menyelimuti pengetahuan seseorang. Penalaran dan epistème
mengatur dan mengontrol pengetahuan manusia kenyataan. Selain kenyataan
(yang benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan dirasakan) penalaran dan epistème
juga mengatur dan mengontrol barang-barang yang tidak ada di dalam kenyataan
(yang tidak bisa dilihat dan dirasakan) yang terungkap melalui pelarangan-
pelarangan seperti tabu, kegilaan, dan ketidakbenaran. Dalam hal ini identitas
penalaran dan epistème tidak disebabkan oleh apa yang terkandung di dalam
59Uraian dari halaman 33-34 tersebut di atas dikutip dari F.R. Ankersmit, op.cit.,
pp. 310-312.
35
barang-barang yang tidak ada dalam kenyataan itu, melainkan oleh apa yang
mereka kucilkan. Jadi larangan itu tidak disadari sama seperti epistème itu sendiri
tidak disadari. Supaya pengertian Foucault tentang negativitas itu bisa dimengerti
dapat digunakan sebuah contoh, bahwa seseorang baru menyadari ada suatu tirai
didepan matanya apabila sesudah melihatnya mereka menyadari tirai itu telah
mewarnai, mengesampingkan, atau melarang sesuatu. Melihat dan menyadari
adalah dua hal yang berbeda.
Sekalipun telah melihatnya namun belum tentu dia menyadari keberadaan
tirai tersebut. Kesadaran itu baru muncul setelah dia menyadari tirai tersebut telah
melarangnya untuk melihat sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Jadi, menurut
Foucault, identitas penalaran dan epistème tidak disebabkan oleh apa yang
terkandung di dalamnya melainkan oleh apa yang mereka kucilkan. Contoh
lainnya, seseorang baru menyadari dirinya melihat sebuah taman dari balik
jendela kaca, jika di dalam kaca tersebut dia menemukan goresan-goresan yang
menyaring sinar cahaya lain dari bagian-bagian di sekitarnya.
Atas dasar pemahaman seperti itu, Foucault mengatakan setiap zaman
mempunyai kaca matanya sendiri, dengan warna tertentu. Artinya, setiap zaman
memiliki kelakuan-kelakuan tertentu yang dianggap abnormal, misalnya kegilaan,
kejahatan, dan kelakuan yang aneh. Dari kelakuan-kelakuan yang tidak abnormal
itulah epistème mengungkapkan identitasnya. Oleh karena itu jika ingin menyusun
kembali epistème yang menyelimuti suatu pengetahuan, maka menggunakan
sesuatu yang ditabukan (sesuatu yang dianggap abnormal) di masyarakat sebagai
pintu masuknya. Inilah salah satu bagian penting dari metode Genealogi Foucault,
36
yakni meneliti dari hilir ke hulu, dari luar ke dalam atau bisa disebut pula dari
bidang-bidang yang ditabukan atau dilarang menuju ke intinya yang positif.
Tiga, dalam epistème diungkapkan bagaimana suatu hubungan tertentu
antara bahasa dan kenyataan. Bahasa menurut Foucault, bukan sebuah medium
yang transparan, yang membuka jalan untuk dapat berbicara mengenai kenyataan
serta serta menelitinya. Sama halnya dengan epistème yang mengatur dan
menyaring pengetahuan manusia mengenai kenyataan, bahasa selalu turut
ditentukan oleh epistème. Oleh karena itu bahasa bukanlah sebagai medium yang
transparan, yang membuka jalan untuk berbicara mengenai kenyataan, bukan pula
pencerminan kenyataan. Bahasa adalah alat yang digunakan epistème untuk
mengatur dan menyusun kenyataan sesuai dengan tabiat epistème itu sendiri.
Foucault akhirnya sampai pada suatu pendapat penting bahwa bahasa dan
epistème bukanlah prinsip-prinsip yang tidak aktif melainkan berusaha untuk
mengubah kenyataan. Atau secara padat bahasa dan epistème selalu berusaha
untuk menguasai kenyataan. Akan tetapi yang berusaha dikuasainya itu bukanlah
kenyataan alam raya, melainkan kehidupan manusia. Kenyataan sosiohistoris,
yang lebih mudah mengalami dampak kekuasaan bahasa dan epistème. Sepanjang
abad manusia menciptakan suatu lingkungan sosial sesuai dengan konsep-konsep
dan epistème- epistème yang merupakan sarana untuk mencakup kenyataan dalam
konsep-konsep. Pemakaian bahasa tidak menuju diberlakukannya kekuasaan,
melainkan sama dengan diberlakukannya kekuasaan.
Dari tiga model epistème yang menyelimuti pengetahuan itu, yang paling
cocok dengan studi ini adalah model yang pertama, bahwa masyarakat politik di
37
Bali dari sejak awal pemilu dicanangkan dan dilaksanakan, 1951-1955
mempunyai cara yang berbeda-beda di dalam menangkap pengetahuan yang
tersembunyi dalam wacana-wacana yang berkembang di masyarakat, karena
mereka mengalami kenyataan yang berbeda-beda satu sama lain. Kenyataan
tersebut bisa terbentuk melalui aliran ideologi politik masing-masing.
Dengan demikian, seperti dikatakan oleh Redaksi Basis, setiap
pengetahuan manusia bukan hanya dilingkupi oleh epistème yang merupakan
jalinan yang luas rumit antara berbagai kepentingan seperti yang sudah disebutkan
di atas, melainkan juga kepekaan manusia mengenali tatanan rasional, sehingga
perumusan para ilmuwan yang serius sekali pun tak bakal terjadi selain berkat
kaitan-kaitannya menyeluruh dengan yang ada itu (jalinan yang luas rumit antara
berbagai kepentingan dan mengenali tatanan rasional) dan bukan sebaliknya.
Artinya, Foucault menyangkal pernyataan yang menyebutkan bahwa pengetahuan
berkembang berkat pemikiran tokoh-tokoh yang berhasil menelorkan gagasan-
gagasan mereka dengan cemerlang di masyarakat, sebab pada dasarnya ilmu
berkembang secara menyeluruh dalam satu periode, kemudian berganti secara
menyeluruh dalam periode yang lain kadang-kadang secara tiba-tiba.60
1.6.2.3. Kekuasaan
Menyangkut kekuasaan seperti dijelaskan Redaksi Basis merupakan tema
sentral dalam pemikiran Foucault. Dia menolak pendapat umumnya yang
mengartikan kekuasaan sebagai daya atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang
60Redaksi, loc. cit.
38
atau suatu lembaga untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak-pihak lain,
seperti yang telah digunakan oleh para pengamat sejarah, politik, dan sosial.
Kekuasaan semacam ini dipandang oleh Foucault sebagai hal yang bersifat
represif atau kadang opresif. Foucault mengajarkan cara membaca kekuasaan
secara berbeda, sebab kekuasaan itu tidak bersifat subjektif. Kekuasaan menyebar
tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan perhubungan sosial.
Kekuasaan beroperasi dan bukan dimiliki oleh oknum siapa pun dalam relasi-
relasi pengetahuan, ilmu, lembaga-lembaga. Lagipula sifatnya bukanlah represif,
melainkan produktif dan menormalisasikan susunan-susunan masyarakat.61
Konsep di atas akan dipakai sebagai landasan berfikir terkait adanya suatu
kekuasaan yang tidak bersifat subjektif, melainkan objektif yang akan
menentukan proses berjalannya Pemilu 1955. Konsep ini membantu untuk
memahami bahwa kekuasaan yang timbul dalam Pemilu 1955 bukanlah sesuatu
yang dimiliki oleh seseorang, melainkan sesuatu dampak dari hubungan-
hubungan atau relasi-relasi yang saling terkait berdasar pemahaman masing-
masing individu dalam menangkap suatu wacana publik antara 1951- 1955.
1.7 Metode Penelitian dan Sumber
Langkah awal yang dilakukan pada studi ini baru sampai pada penelitian
kepustakaan, yakni mencari dan menemukan sumber yang tersebar di berbagai
tempat. Di Arsip Nasional RI berhasil ditemukan arsip tentang pemilu 1955 yang
bersifat umum di tingkat nasional, antara lain berupa surat-surat yang dikeluarkan
61Ibid.
39
oleh Panitia Pemilihan Umum yang ditujukan kepada semua Panitia Pemilihan
Kabupaten di seluruh Indonesia. Surat-surat tersebut menyangkut berbagai hal,
antara lain pemberian persekot uang muka sebelum dikeluarkan otorisasi
khusus.62
Ditemukan pula dokumen yang bersifat kedaerahan, namun lokasinya di
luar Bali seperti yang dikeluarkan oleh Residen Pekalongan perihal janda atau ahli
waris petugas Pemilu yang tewas saat menjalankan tugas.63 Ada surat rahasia
yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur mengenai ceramah-ceramah PKI di
Balungkidul, Jember dan di Cerme, Surabaya,64 Ditemukan pula surat yang
dikeluarkan oleh Ketua II Partai Nahdlatul Ulma di Banyuwangi. Dokumen-
dokumen tersebut belum digunakan oleh dua peneliti tentang PNI tersebut di
atas..65
Sekalipun dokumen-dokumen tersebut di atas tidak ada kegunaannya
secara langsung dalam studi ini, cukup memberikan inspirasi untuk
62“Surat Panitia Pemilihan Umum Indonesia, S. Hadikusumo, No: 56/C/711,
Djakarta, tgl. 23 April 1956 Kepada Jth. Semua Panitia Pemilihan dan Panitia Pemilihan
Kabupaten di Seluruh Indonesia. Perihal: Pmeberian Persekot Uang Duka Sebelum
dikeluarkan Otorisasi” (Dokumen: Koleksi Arsip Republik Indonesia). Lihat lebih jauh
Lampiran I No. 1.
63“Surat Residen Pekalongan t.t Soejoto Sastrowardjojo No: Des. 56/C/711,
Djakarta, tgl. 26 April 1956 Kepada Jth. Jth. Gubernur Djawa Tengah di Semarang.
Prihal: uang duka achli waris para anggota Badan Penjelenggara Pemilihan Umum jang
gugur dalam mendjalankan tugasnja” (Dokumen koleksi Arsip Republik Indonesia). Lihat
lebih jauh Lampiran I No.2.
64“Surat Gubernur Djawa Timur t.t Samadikoen No. Pol. 1513/54/Rhs, Surabaja,
tgl. 12 Agustus 1954 Kepada Jth. Wakil Perdana Menteri I di Djakarta. Perihal :
Tjeramah2 P.K.I di Balungkidul (Djember) dan Tjerme (Surabaja)” (Dokumen koleksi
Arsip Nasional Republik Indonesia). Lihat lebih jauh Lampiran I No. 3
65Surat pernjataan dari A. Rosjid Ketua II Partai Nahdlatul Ulama Tjabang
Banjuwangi, No. 198/Tanf/155, tentang ‘keputusan desakan kepada Panitia Pemilihan
Indonesia untuk bertindak terhadap pemasangan gambar yang lain dari ketentuan Panitia’,
8 Juni 1955. Dokumen ANRI, Kab. Pres. RI No. 988. Lihat lebih jauh Lampiran I No.3
40
menginterpretasikan situasi politik yang pada umumnya terjadi di wilayah
Indonesia lainnya, di luar Bali. Satu-satunya dokumen tentang Pemilu 1955
mengenai Bali yang bisa dicari dan ditemukan di Arsip nasional Indonesia adalah
salinan buku surat-surat putusan menteri dalam negeri, yang menyebutkan nama-
nama kabupaten, kecamatan, dan desa di Bali yang menjalankan Undang-Undang
Pemilu.66
Kekurangan dokumen tersebut rencananya akan ditutupi dengan dokumen
lisan, namun ternyata sangat sulit mencari dan menemukan tokoh-tokoh pelaksana
Pemilu 1955 di Bali. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Putra Wijaya,
pengamat tokoh-tokoh veteran, masih ditemukan seorang mantan pejuang berusia
98 tahun di Mengwi, namun sudah terbaring sakit di tempat di tidur. Di Denpasar
ditemukan seorang tokoh politik yang pernah menjadi anggota DPRD usianya 87
tahun. Informan ini sudah tidak begitu banyak memberikan informasi dan tidak
memiliki catatan tertulis.
Selanjutnya, dengan mengunjungi Gedung Merdeka di jalan Surapati No.7
Denpasar, atas saran Putra Wijaya, didapati kesempatan wawancara Ketua LVRI
kota Denpasar Djero Wiladja67 dan Ketua LVRI Provinsi Bali Gusti Bagus
66“Salinan dari buku Daftar salinan-surat-surat Putusan Menteri Mr. Moh. Roem,
No. Und. 5/10/48, Djakarta, tgl 9 Djuli 1953 kepada Gubernur Sunda ketjil Lamp. 1
Keputusan Dalam Negeri (Dokumen koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia). Lihat
lebih jauh Lampiran I No.4.
67Wawancara dengan Djero Wiladja pada tanggal 28 April 2017 bertempat di
Gedung Merdeka Lantai II, jalan Surapati No. 7 Denpasar. Lihat Lampiran Gambar No.
1.1. (foto penulis bersama informan seusai wawancara).
41
Saputra.68 Melalui hasil wawancara dengan kedua tokoh angkatan 1945 ini
didapati informasi tentang hubungan para eks-pejuang dengan Pemilu 1955. Akan
tetapi informasi hanya sebatas siapa mendukung siapa, dan tidak begitu detail.
Para informan terlihat tidak terlalu memperhatikan ruang lingkup tahun 1951
sampai 1960 dalam hidup mereka, melainkan lebih banyak terpusat ke dalam
kisah perjuangan mereka, sedangkan terkait dengan pelaksanaan Pemilu 1955,
karena tidak secara langsung terlibat menjadi tidak disinggung-singgung.
Ada juga keinginan untuk mencari dan menemukan masyarakat sipil,
namun kembali terbentur pada persoalan umur. Salah satu orang sipil yang bisa
dicari dan ditemukan adalah I Gusti Ngurah Gede Pemecutan, namun tidak
banyak memberikan informasi tentang pemilu di Bali. Melaluinya didapatkan
informasi tentang adanya persaingan diantara dua puri yang memiliki kuasa di
Badung semenjak masa kolonial hingga berpengaruh sampai pasca reformasi.69
Puri yang tidak lain adalah Puri Pemecutan dan Puri Satria ini membawa suatu
persaingan yang memiliki dampak politis akan kemenangan salah satu partai yang
tidak mendapat kemenangan di Pusat, yakni Partai Sosialis Indonesia yang
memperoleh suara terbanyak di Badung.70
68Wawancara dengan Gusti Bagus Saputra pada tanggal 02 Mei 2017 bertempat
di Gedung Merdeka Lantai II, jalan Surapati No. 7 Denpasar. Lihat Lampiran Gambar
No. 1.2. (foto penulis bersama informan seusai wawancara).
69 Hasil wawancara dengan I Gusti Ngurah Gede Pemecutan pada tanggal 17
Maret 2017 bertempat di Jl. Thamrin No.2, Denpasar. Lihat Lampiran Gambar No. 1.3.
(foto saat penulis melakukan wawancara dengan narasumber).
70Hasil wawancara dengan Gusti Bagus Saputra pada tanggal 02 Mei 2017
bertempat di Gedung Merdeka Lantai II, jalan Surapati No. 7 Denpasar.
42
Berdasarkan kondisi tersebut di atas yang menunjukkan adanya kelemahan
dalam penemuan sumber primer berupa arsip, maka penelitian ini difokuskan pada
wacana publik, namun kembali muncul kendala. Di Bali tidak ditemukan surat
kabar terbitan awal tahun 1950-an. Surat kabar periode tersebut justru ditemukan
sebuah perpustakaan di Yogyakarta.71 Wacana publik yang dipublikasikan dalam
surat kabar sangat beragam, antara lain tentang keadaan perpolitikan mulai dari
tingkat internasional sampai tingkat lokal periode tahun 1950-an.72 Melalui
sumber-sumber ini dapatlah dipahami pemetaan politik pada periode tersebut.
Dalam Suara Indonesia yang terbit pada tahun 1951, diketahui adanya dua negara
super power yakni Uni-Soviet dan Amerika yang menjadi kiblat masing-masing
politik. Suara Indonesia Oktober 1951 memberitakan seruan damai dari Presiden
Amerika kepada Uni-Soviet untuk menghindari dampak peperangan yang
merugikan kehidupan manusia.73 Selain itu, pada waktu yang sama perpolitikan di
Asia juga sedang gamang dengan posisi kedudukan mereka.
Menurut Presiden India, Asia harus memiliki aliran politiknya sendiri
selain aliran kedua kiblat diatas. Hal ini senada dengan apa yang terjadi pada
partai Sosialis di Asia, mereka mulai ingin memilih jalan ketiga dan berbalik dari
kiblat mereka terhadap sosialis Barat (Soviet) yang dirasa masih bersifat
71Lihat Lampiran Gambar 1.4. (Gambar penulis dengan tumpukan surat kabar di
di salah saturuangan gedung Jogja Library Center, saat penulis melakukan penelitian).
72Semua sumber baik yang sudah atau belum digunakan dalam penulisan usulan
penelitian di dicantumkan dalam Lampiran, sebagai bukti bahwa proses penelitian sudah
sedang berjalan.
73“Asia harus punya politik sendiri selain Truman vs Stalin,” Suara Indonesia,
Oktober 1951.
43
imperialis.74 Tentunya hal ini berdampak dengan perpolitikan di Indonesia saat
itu. Di Indonesia suhu politik memanas dengan adanya penculikan beberapa tokoh
politik dan penyitaan buku-buku Karl Marx.75 Di tambah lagi dengan pro-kontra
partai-partai politik dalam menyetujui perjanjian damai Jepang dengan Indonesia,
dikarenakan menurut sebagian ahli politik Indonesia tidak pernah menyerukan
perang kepada jepang.76
Tahun 1952 diberitakan beberapa laporan oleh Suara Indonesia, terkait
dengan suasana pergantian kabinet yang banyak mewarnai perseteruan politik saat
itu.77 Di Singaraja saat itu juga terjadi pemulihan keadaan dari kerusuhan-
kerusuhan kecil yang terjadi pada pemuda saat itu.78 Sementara pada peristiwa
nasional, didapati laporan bersedianya PNI dan Masyumi bersepakat dalam suatu
kabinet.79 PNI juga bersedia menjadi formatur bagi kabinet koalisi dan meminta
mandatnya untuk segera diserahkan.80 Sementara itu kabar Gerakan Sosialis Asia
untuk mencari jalan ketiga semakin disoroti.81
Pada tahun 1953, Suara Indonesia melaporkan tentang perpolitikan
Indonesia yang suasananya lebih memanas lagi. Tudingan terhadap aliran
74“Sjahrir dan Romonahar temui Pemimpin Sosialis Birma,” Oktober 1951.
75“Buku Karl Marx disita,” Suara Indonesia, September 1951.
76“Memang ada aliran Natsir dan aliran Soekirman,” Suara Indonesia, Agustus
1951. 77“PNI setujui beleid dewan pimpinan,” Oktober 1951.
78“Keamanan di Singaraja pulih kembali,” Suara Indonesia, April 1952.
79“PNI-Masyumi telah temukan kesepakatan,” Suara Indonesia, Maret 1952.
80“PNI sedia jadi formatur kabinet koalisi,” Suara Indonesia, Februari 1952.
81“Gerakan Sosialis,” Suara Indonesia, April 1952.
44
komunisme semakin menjadi-jadi.82 Selain itu ketegasan pemerintah juga
dipertanyakan oleh PSI.83 Hal ini mengakibatkan keraguan terhadap
kepemimpinan para tokoh politik.84 Telah tampak pula usaha untuk mencapai
keputusan kerjasama partai demi kelancaran revolusi nasional.85 Selama peristiwa
ini berlangsung keadaan di Bali menantikan seorang pemimpin baru untuk
menggantikan Gubernur Susanto yang akan bertugas di luar negeri.86 Selain itu
telah tampak pula usaha-usaha penjelasan mengenai Pemilu oleh PNI di beberapa
wilayah di Bali.87
Ditemukan pula Suara Indonesia tahun 1954 menggambarkan keadaan
politik yang masih terus memanas menjelang Pemilu 1955. Penangkapan-
penangkapan tokoh politik masih diteruskan, dan membuat PKI akhirnya
menyerukan agar tindakan pemerintah itu tidak setengah-setengah, orang-orang
Belanda yang anti republik yang masih bercokol di Indonesia juga diharapkan
dapat ditindak dengan tegas.88 Selain itu di Bulan Februari Menteri Kehakiman
berkeliling daerah-daerah untuk melantik dan menyumpah panitia pemilihan
daerah, ia mengungkapkan stabilisasi di daerah akan tercapai melalui jalan Pemilu
82“PKI pengacau terbesar,” Suara Indonesia, September 1953.
83“PSI belum ada gambaran jelas dari pemerintah,” Suara Indonesia, September
1953.
84“Rakyat akan dibawa kemana oleh jago Politik ??,” Suara Indonesia,September
1953.
85“Kerjasama partai demi kelancaran revolusi nasional,” Suara Indonesia,
Oktober 1953.
86“Konperensi PNI Sunda Kecil,” Suara Indonesia, Januari 1954.
87“Stabilisasi akan tercapai melalui jalan PEMILU,” Suara Indonesia, Februari
1954.
88“Keluarkan Orang Belanda anti Republik,” Suara Indonesia,Januari 1954.
45
tersebut. Selain itu sudah tampak pula jalinan persahabatan antar daerah di Bali
dengan adanya kunjungan ketua DPRDS Buleleng ke Ibu kota Bali.89
Surat kabar tersebut lalu didukung dengan majalah tahun 1950an.
Dibutuhkan juga majalah periode 1940-an, 1930, dan 1920 untuk membicarakan
latar belakang terbentuknya epistème masyarakat Bali. Di Pusdok belum
ditemukan majalah-majalah tersebut, sedangkan di Gedung Kirtya,90 Singaraja
hanya ditemukan sebagian saja. Majalah-majalah yang terbit di tahun-tahun
tersebut adalah Surya Kanta, Bali Adnyana, Bhawanagara, dan Djatajoe Barulah
kemudian setelah ada ijin menggunakan koleksi lembaga penelitian dan penulisan
swasta tersebut, persoalan ini bisa teratasi.
Sumber yang kemudian berhasil dikumpulkan juga telah mengalami
verifikasi melalui kritik ekstern yang mengkritik autensitas dari sumber dan kritik
intern yang mengkritik kredibilitas sumber. Setelah melalui verifikasi kemudian
dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap hasil verifikasi dengan cara di
analisis ataupun melalui cara sintesis.91
1.8 Sistematika Pembahasan
Sebagai konsekuensi dari penggunaan metode genealogi Foucault, maka
penulisan hasil penelitian studi ini tidak sepenuhnya mengikuti pola ‘kronologis’
seperti yang umumnya berlaku dalam sejarah strukturaslisme. Metode penulisan
89“Ketua DPRDS tinjau Ibukota Bali,” Suara Indonesia, Oktober 1954.
90Lihat Lampiran Gambar 1.5. (Gambar tanda mata penulis usai melakukan
penelitian di Gedong Kirtya).
91Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2013), pp.
69-79.
46
seperti ini sudah pernah digunakan oleh Denys Lombard92 juga sudah dipakai oleh
Nyoman Wijaya dalam disertasinya.93 Dengan demikian Pemilu 1955 akan
diposisikan sebagai masa kini yang terjadi di masa lampau ketika pesta demokrasi
ini mulai dicanangkan dan dilaksanakan tahun 1955. Sebagai masa kini, maka
jawaban pertanyaan penelitian studi ini akan dicari mulai dari tahun 1951-1955,
untuk melihat ada atau tidaknya diskontinuitas dan kontinuitas dalam wacana
publik yang pengetahuannya ditangkap oleh masyarakat politik yang
memungkinkan PNI tampil sebagai pemenang dalam Pemilu 195594.
Berdasarkan pemahaman seperti itu, maka penulisan ini akan dibagi
menjadi enam bab. Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang berisikan latar
belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metodologi yang digunakan, kerangka teoritis dan kerangka
konseptual, metode penelitian dan sumber, dan sitematika pembahasan.
Bab II menggambarkan perencanaan, pelaksanaan, dan hasil pemilihan
pemilu 1955, yang menempatkan PNI tampil sebagai pemenang Pemilu 1955.
Bab III merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian pertama bagian
kesatu yakni kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang memungkinkan PNI menang
dalam Pemilu 1955 sekalipun begitu banyak diskontinuitas dalam wacana publik
92Lihat Lebih Jauh Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, Bagian 1:
Batas-Batas Pembaratan, terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat,
dan Nini Hidayati Yusuf judul asli Le Carrefour Javanis: Essai d’histoire globale, Series
Ed. Volume 1 ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
93Lihat kembali disertasi I Nyoman Wijaya seperti telah disebutkan di atas.
94Hasil Pemungutan Suara Pemilihan Umum 1955 baik untuk Anggota DPR
maupun Anggota Konstituante dapat dilihat dalam Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 yang dikutip
dalam Muhadam Labolo, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori,
Konsep, dan Isu Strategis (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), pp.118-120.
47
1951-1955. Kondisi-kondisi tersebut dicari pada proses terbentuknya epistème
masyarakat politik yang ikut menentukan tingkat kesadaran masyarakat Bali
dalam memandang masa lampau dan menggambarkan harapan mengenai masa
kini. Sementara, faktor-faktor yang menyebabkan kemenangan PNI dalam Pemilu
1955 akan dilihat pada strategi atau kemampuan mereka dalam menangkap
wacana-wacana publik di tingkat nasional dan internasional untuk dijadikan
kekuasaan yang dianggap sebagai suatu kebenaran.
Bab IV merupakan kelanjutan dari jawaban dari pertanyaan penelitian
pertama bagian kedua khususnya yang dicari pada relasi wacana-kuasa, dan
pengetahuan yang tersembunyi rapi di dalamnya.
Bab V merupakan jawaban pertanyaan penelitian kedua yang
membicarakan prosesnya PNI menangkap pengetahuan yang tersembunyi dalam
diskontinuitas wacana publik sehingga memberikan peluang baginya tampil
sebagai pemenang dalam Pemilu 1955. Dalam bab ini dilihat pula sejumlah
wacana publik sekunder yang dilontarkan oleh PNI sebagai reaksi atas wacana-
wacana publik lokal yang berkembang di masyarakat.
Bab VI berbicara mengenai implikasi dari strategi PNI mencapai
kemenangan dalam Pemilu 1955 yang lebih mengutamakan menangkap
pengetahuan yang tersembunyi dalam suatu wacana publik yang memberikan
mereka keuntungan secara politik terhadap situasi dan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat bali.
Bab VII merupakan simpulan dari hasil penelitian, yang akan berisikan
pandangan penulis terhadap jawaban pertanyaan penelitian studi ini.