Upload
berliana-aritonang
View
57
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
berli
Citation preview
Geologi kelautan mencakup penelitian geofisika, geokimia, sedimentologi, dan paleontologi di dasar samudera dan daerah pesisir. Geologi kelautan berkaitan erat dengan oseanografi fisik dan tektonik lempeng.
Penelitian geologi kelautan menjadi sangat penting untuk memberikan bukti mengenai pemekaran lantai samudera dan tektonik lempeng pada tahun-tahun setelah Perang Dunia ke-2. Dasar samudera secara esensial merupakan daerah terakhir yang belum dieksplorasi dan dipetakan secara detail dengan dukungan tujuan militer (kapal selam) dan tujuan ekonomi (penambangan logam dan minyak bumi) sebagai alasan penelitian.
Cincin Api di sekitar Samudera Pasifik yang kehadirannya mengintensifkan aktivitas vulkanisme dan seismik memberikan ancaman utama untuk bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api. Semua sistemperingatan dini untuk peristiwa bencana ini membutuhkan pemahaman yang lebih detail mengenai geologi kelautan di lingkungan pesisir dan busur kepulauan
Sebuah palung terbentuk dibatas pertemuan dua lempeng tektonik.
Referensi[sunting]
Erickson, John, 1996, Marine Geology: Undersea Landforms and Life Forms, Facts on File ISBN 0-8160-3354-4
Seibold, E. and W.H. Berger, 1994, The Sea Floor: An Introduction to Marine Geology, Springer-Verlag ISBN 0-387-56884-0
Peneliti Temukan Pelumas Lempeng Tektonik
Peta lempeng tektonik bumi. wikimedia.org
Berita Terkait Benarkah Ekowisata Merugikan Satwa Liar? Mengapa Mikroba Bunuh Diri? Gadis 9 Tahun Temukan Fosil Dinosaurus Langka Cumi Raksasa dari Spesies Tunggal Siklus Kehidupan Kupu-kupu dengan Sinar X
Grafis Terkait
Partikel Tuhan Ditemukan
Topik #Ilmu Pengetahuan dan Teknologi | Iptek
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, San Diego - Peneliti geologi kelautan dari University of California
menemukan pelumas yang melicinkan pergerakan lempeng bumi. Fenomena
ledakan gunung api dan gempa bumi dibantu material ini.
Pelumas tersebut adalah batuan leleh yang terletak di lapisan mantel. Material cair
ini menjadi landasan lempeng tektoniksehingga mempermudah pergeseran
mendatar.
"Letaknya di pertemuan lempeng membuat material ini penting dalam memahami
aktivitas geologi," ujar Kerry Key, peneliti dari Scripps Institution of Oceanography,
University of California.
Bencana gunung api atau gempa bumi seperti yang sering melanda Indonesia dipicu
oleh pergerakan lempeng.
Penemuan terjadi ketika tim ahli mengikuti ekspedisi kelautan melintasi Palung
Amerika Tengah di lepas pantai Nikaragua pada 2010. Mereka memetakan dasar
laut dan lapisan-lapisan di bawahnya menggunakan teknik baru yang ditemukan
peneliti Scripps.
Alat terdiri dari penangkap gelombang elektromagnetik yang digelar di dasar laut.
Sensor pada alat ini sangat peka mendeteksi getaran alami yang dihasilkan gerakan
kerak dan mantel bumi. Data yang mereka kumpulkan dikirim kembali ke kapal riset
Melville.
Sekali menangkap gelombang, peneliti melihat "tembus pandang" hingga kedalaman
25 kilometer di bawah dasar laut. Pada kedalaman ini, peneliti menyaksikan lapisan
batuan leleh yang tebal yang menopang lempeng Cocos, tempat berdirinya daratan
Amerika Tengah. "Lokasinya batuan leleh ini sangat mengejutkan," ujar dia.
Sebelum penemuan ini, peneliti berdebat panjang soal penyebab pergerakan
lempeng di atas mantel bumi. Salah satu teori yang diajukan menyebutkan rembesan
air ke dalam mineral bisa mengubah mantel menjadi liat. Lapisan inilah yang
melicinkan pergerakan lempeng. Bertahun-tahun, peneliti tak kunjung menemukan
bukti yang meneguhkan atau meruntuhkan teori ini.
Menurut Key, peneliti tidak menemukan keberadaan air yang melunakkan mantel.
Pelumas lempeng, kata dia, dihasilkan pelelehan mantel sehingga bersifat liat
sehingga cukup licin sebagai penyebab pergeseran mendatar.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/21/095468505/Peneliti-Temukan-Pelumas-Lempeng-Tektonik
Geologi Kelautan
Seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya adalah
berupa lautan. Sejumlah 17.508 pulau, baik pulau besar dan kecil terdapat di Indonesia, dengan panjang
garis pantai 81.000 km, yang merupakan terpanjang ke 2 di dunia, dan luas wilayah 21 juta km2,
Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya. Luas dalam arti sangat besar wilayahnya dan
keanekaragaman wilayahnya mulai dari daratan, kepulauan, sampai lautannya. Serta kaya dalam artian
sangat berpotensi mempunyai kekayaan alam di wilayah yang sangat luas yang dimilikinya, baik di
daratan maupun di lautan, karena seperti kita ketahui sebagai seorang ahli geologi, yang telah
memahami proses-proses geologi, seperti tektonik lempeng dan lain sebagainya, bahwa Indonesia
berada di zona yang sangat berpotensi terdapatnya sumberdaya alam yang berlimpah.
Geologi kelautan sendiri secara prinsip hampir sama dengan geologi dipermukaan atau didaratan, baik
itu proses-proses geologinya dan lain sebagainya, hanya saja permukaannya tertutupi suatu massa air.
Dalam Geologi kelautan seperti juga kita mempelajari geologi di daratan, akan menampakkan juga
suatu kenampakkan geomorfologi, hanya saja sekali lagi kenampakkan itu tertutup oleh massa air.
Dalam mempelajari Geologi kelautan, ada beberapa istilah kenampakkan geomorfologi seperti halnya
kenampakkan geomorfologi didarat, beberapa diantaranya yaitu :
Coastal Plain : Suatu perbatasan antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses di daratan dan lautan
Continental shelf : Terbentuk ke arah lautan, kemiringan bertambah ke arah lautan, kedalaman rata-
rata 3000 -6000 m, lebar 200 – 300 km
Continental Slope : Pada tepian paparan kedalaman bertambah secara tiba-tiba, 100, 200 m , 1500 m,
3500 m, kemiringan terjal, terdapat gawir sesar
Continental Rise : Terletak antara slope (lereng) dan Ocean basin, kemiringan tidak terjal, relief
rendah, terbentuk akibat akumulasi sedimen, berasosiasi dengan lantai samudra dalam
Abysal plain : Diketemukan oleh ekspedisi MAR (1947), berbentuk dataran bawah laut
Oceanic ridge : Terdiri dari pematang, dan rekahan, menyebar hampir di seluruh samudra, total
panjang 80.000km, kedalaman rata-rata 2500m, terbentuk di bagian tengah lautan, topografi kasar,
lembah sejajar dengan sumbu kadang-kadang terpotong oleh zona rekahan, tinggi 1000-3000km, lebar
1000m, sedimentasi berkembang jauh di bawah puncak
Ocean basin floor : Terdiri dari abyssal floor (lantai tubir), oceanic rise (tonjolan dasar laut dan sea
mount (gunung api dasar laut)
Rekahan : Berbentuk linier, berbentuk gawir, seamount, melebar dan memotong ridge
Abyssal hill : Berbentuk relatif sempit dan tajam, tingginya tidak lebih 1000m. Dimensi
bervariasi antara 1-15km, kemiringan 1-15 derajat, terbentuk secara mengelompok , bentuk tergantung
batuan dasar
Sea mount : Tingginya mencapai lebih kurang 1000m, tersebar pada dasar laut dalam secara
terpencar, kemiringan berkisar antara 5 sampai 15 derajat dan berbentuk kerucut
Marginal trench : Berbentuk sempit dan sejajar dengan tepian benua, pada umumnya tersebar di
samudra pasifik, kerak dibawahnya bersifat continental, kedalaman rumpang paparan rata-rata 130 m,
lebar 400 km(rata-rata 78km), kadang-kadang berbentuk teras, dipengaruhi oleh proses erosi dan
sedimentasi.
Istilah-istilah diatas menjelaskan kepada kita tentang kenampakan morfologi dasar laut yang tidak
selalu akan kita lihat seperti halnya kita melihat kenampakkan morfologi didarat, tentu saja karena
morfologi dasar laut ditutupi oleh massa air diatasnya.
Selain daripada aspek geomorfologi, dalam kerangka geologi kelautan seperti halnya proses geologi
yang terjadi di darat, juga terdapat pengaruh sedimentasi, baik itu sedimen di daerah dekat pantai
(Nearshore) ataupun di perairan laut dalam (Deepsea). Sedimentasi di laut sangat penting artinya dalam
kerangka geologi kelautan, diantaranya adalah karena morfologi permukaan dasar laut juga ikut
dikontrol oleh pengaruh supply sedimen, juga batas-batas antar bagian-bagian morfologi dasar laut juga
ikut dikontrol oleh sedimentasi. Disamping itu proses sedimentasi di laut juga akan mempengaruhi
proses-proses di bagian lainnya, sebagai contoh sedimen di daerah dekat pantai dan paparan merupakan
kunci bagi sedimen di laut dalam dan dipengaruhi oleh:
• perubahan muka air laut
• proses penurunan dasar laut
• proses dinamika (oseanografi)
Pada sedimentasi dilaut tentunya juga terdapat material yang tersedimentasi, beberapa sumber-sumber
material yang mempengaruhi sedimentasi di laut diantaranya adalah :
Material yang berasal dari sungai, meliputi sekitar 85% – 90%
Material hasil glasiasi, meliputi sekitar 7%
Material air tanah, meliputi sekitar 1,2%
dan material yang terangkut oleh angin sekitar 1%
Dimana sekitar 80 % dari produk yang dihasilkan sumber material tersebut merupakan bentuk larutan.
Selain daripada aspek morfologi dan sedimentologi di laut, juga perlu ditinjau aspek tektoniknya.
Tektonik sangat berpengaruh bukan saja di laut, didaratpun sangat berpengaruh. Implikasi dari proses
tektonik baik didarat ataupun dilaut diantaranya adalah dapat merubah tatanan yang sudah terbentuk,
diantaranya akibat proses sedimentasi. Faktor utama penyebab tektonik jika dipandang dari sudut
pandang ilmu geologi tentu saja dapat dijelaskan dengan baik oleh teori tektonik lempeng. Teori
tektonik lempeng sangat familiar dikalangan komunitas geologi, karena sampai saat ini semua peristiwa
yang menyangkut segala proses geologi yang berasal dari dalam bumi, terutama tektonisme sangat baik
dijelaskan dalam teori ini. Dapat dipastikan bahwa semua komunitas geologi mengerti dan paham akan
teori ini, oleh karena itu detailnya tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Tetapi yang perlu dijadikan
perhatin khusus adalah implikasinya.
Beberapa penjelasan tentang geologi kelautan diatas, yang meliputi aspek morfologi, sedimentologi,
dan tektonik dilaut, kiranya dapat memberikan sedikit pengetahuan geologi kelautan yang selanjutnya
akan dimanfaatkan untuk menerapkan implikasinya untuk Indonesia yang notabene merupakan negara
yang memiliki laut, yang dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan.
Diantaranya, implikasi aspek geologi kelautan yang saat ini banyak diperbincangkan adalah mengenai
penerapannya dalam batas wilayah. Dalam penentuan batas wilayah sendiri seperti kita ketahui regulasi
nya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Penentuan batas wilayah ini sangat penting artinya bagi
Indonesia. Dan aspek geologi kelautan disini memegang peranan penting dalam penentuannya.
Hubungannya dengan geologi kelautan tentu saja, disamping menyamngkut morfologi dasar laut yang
dijadikan pertimbangan penentuan batas wilayah, disamping itu dari sudut pandang geologinya, sangat
memegang peranan penting, yang menyangkut tentang sumberdaya alam.
Sumberdaya alam sangat penting artinya bagi semua negara, karena menyangkut kelangsungan dan
kemakmuran suatu negara, atau bisa dikatakan sangat vital. Sumberdaya alam itu sendiri tentu saja
dapat dikuasai oleh suatu negara asalkan dalam wilayah kekuasaannya. Seorang ahli geologi disini
sangat memegang peranan penting, karena pendapatnya akan sangat diperhatikan.
Seperti kita ketahui bahwa penentuan batas wilayah sendiri sangat didorong oleh keterdapatan
sumberaya mineral, hal ini sangat membuat setiap negara ingin menguasai kekayaan alam tersebut,
caranya secara tidak langsung adalah melebarkan batas wilayahnya, agar dapat diakui bahwa kekayaan
alam tersebut adalah milik negara tersebut.
Mengingat begitu pentingnya tinjauan geologi kelautan dalam penentuan batas wilayah yang
selanjutnya berimplikasi terhadap penguasaan sumberdaya mineral. Maka, kita sebagai seorang ahli
geologi tentunya berusaha untuk mempelajari sebaik-baiknya, dan menerapkannya untuk kemakmuran
bangsa Indonesia.
FAUZAN MAULANA
ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
http://ojanmaul.wordpress.com/categor
y/geologi-laut/
Search this site:
Login Register BERANDA PROFIL » PUBLIKASI LITBANG » SISTEM INFORMASI » PENGUMUMAN WEBMAIL
Home
MORFOLOGI DASAR LAUT INDONESIA
Penulis Artikel Puslitbang Geologi Kelautan : Mulyana W. dan M.Salahuddin
Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas
seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km2, mempunyai panjang garis pantai mencapai
81.000 km, hampir 40 juta orang penduduk tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah
perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia,
terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2 dan wilayah laut territorial 3,1 juta
km2. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan
Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).
Search
Gambaran Umum
Indonesia adalah negara kepulauan yang dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas
seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km2, mempunyai panjang garis pantai mencapai
81.000 km, hampir 40 juta orang penduduk tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah
perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia,
terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km2 dan wilayah laut territorial 3,1 juta
km2. Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan
Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).
Wilayah pantai dan laut Indonesia yang selain luas merupakan peluang dan sekaligus
tantangan karena dengan semakin terbatasnya sumberdaya mineral dan energi di darat
dan faktor resiko kerusakan lingkungan di darat jauh lebih besar maka perhatian
kegiatan riset geologi dan geofisika ditujukan ke laut sebagai harapan dimasa datang
yang dapat mengungkapkan berbagai kekayaan sumberdaya mineral dan energi.
Fisiografi Dasar Laut
Secara fisiografi wilayah laut Indonesia dapat dibagi menjadi tiga wilayah , yaitu:
[1]daerah Paparan Sunda terletak di bagian barat Indonesia; [2] Paparan Sahul di
bagian timur Indonesia dan; [3] zona transisi. Paparan Sunda meliputi daerah-daerah
perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa dengan kedalaman rata-rata
mencapai 120 meter membentuk paparan sedimen yang tebal dengan penyebaran
yang cukup luas. Paparan Sahul meliputi daerah-daerah di selatan Laut Banda dan Laut
Aru. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh sistem benua Australia, sehingga sedimen di
daerah ini ditafsirkan sebagai sedimen asal kontinen Australia. Sedangkan daerah
transisi meliputi daerah-daerah perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda dan
Laut Flores.
Perbedaan yang menyolok antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur
adalah batas antara kaduanya barimpit dangan apa yang semula disebut sebagai garis
wallace (wallace line). Garis ini, yang membujur dengan arah utara-selatan melalui
Selat Makasar dan Selat Lombok (antara P. Bali dan P. Lombok), semula adalah suatu
garis yang mumbatasi fauna dan flora yang berbeda antara bagian timur dan barat,
tetapi garis ini ternyata juga mamperlihatkan bentuk fisiografi yang barbeda.
Dari kenampakkan fisiografi wilayah laut Indonesia maka dapat ditafsirkan secara
geologi bahwa perkembangan tektonik antara Indonesia bagian barat dan bagian timur
mempunyai perbedaan. Indonesia bagian barat terdiri dari beberapa pulau-pulau besar
di mana antara pulau satu dengan lainnya dipisahkan oleh laut dangkal serta
mempunyai tatanan tektonik yang lebih saderhana apabila dibandingkan dengan
Indonesia bagian timur yang terdiri dari sederetan pulau pulau berbentuk busur
lengkung dengan perbedaan bentuk relief yang sangat menonjol dan dipisahkan oleh
laut dalam, yang mempunyai palung-palung dalam dan pegunungan yang tinggi
sehingga mempunyai tatanan tektonik lebih rumit.
Morfologi Dasar Laut
Panorama permukaan dasar laut atau morfologi merupakan gambaran dasar laut
sebagaimana yang ada di daratan, seperti kenampakkan dari : pegunungan, gunung
api, lereng, dataran, lembah, parit dan channel. Bentuk morfologi tersebut, umumnya
berkaitan dengan proses-proses geologi dari pembentukan dan perkembangannya baik
secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok.
Berdasarkan peta batimetri Indonesia, pola batimetri yang berkembang memperlihatkan
morfologi dasar lautnya mengikuti garis pantai dan pola hasil tektonik (Gambar 1: Peta
Batimetri Indonesia). Di sekitar Paparan sunda (Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan
Laut Jawa) berkembang morfologi paparan yang mengikuti garis pantai. Sedangkan di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) memperlihatkan kedalaman yang besar, mulai 2000
meter (Timor Trough) hingga lebih 7000 meter (Cekungan Weber). Pada umumnya
cekungan di KTI yang terbentuk sangat bervariasi dan terisi oleh sedimen laut dalam
yang sangat tipis. Daerah tinggian memperlihatkan bentuk tojolan-tojolan dan lembah
sempit yang tajam sebagai penciri utama batuan dasar (Basement Rock). Bentuk-
bentuk tersebut tidak terlepas dari pengaruh tumbukan intra mikrokontinen Australia
dengan busur Kepuluan Banda. Proses tersebut masih berlangsung hingga saat ini
sehingga sedimen-sedimen yang ada selain terdorong ikut penyusupan juga terakresi
bahkan membentuk gunung api bawah laut (Sub-marine volcano).
Posisi kawasan Indonesia yang terletak pada jalur tektonik tersebut telah memberi
pengaruh yang besar terhadap bentukan roman dan morfologi dasar laut Indonesia.
Pengaruh langsung tersebut adalah terbentuknya wilayah paparan, tepi margin dan
busur kepulauan.
Kondisi morfologi dasar laut Indonesia mempunyai perbedaan mencolok antara
kawasan barat dan kawasan timur. Laut Jawa yang merupakan sistem Paparan Sunda
(Sunda Shelf) mempunyai kedalaman dasar laut rata-rata 130 meter, sedangkan Laut
Flores dan Laut Banda yang merupakan laut tepi mempunyai kedalaman lebih 5000
meter. Karakteristik laut dan samudra secara umum didasarkan pada kedalaman dasar
laut yang dengan mudah dapat diamati dari nilai garis kontur peta batimetri. Untuk
sistem samudra terdapat hubungan empiris yang memperlihatkan hubungan antara
kedalaman dan umur pembentukannya. Makin tua umur samudra serta proses-proses
geologi yang berjalan, akan makin dalam dasar laut tersebut.
Daftar Pustaka
British Petroleum Exploration Operating Co.Ltd, 1991, Peta Fisiografi Dasar Laut
Indonesia dan Sekitarnya Gabungan Data Satelit SEASAT dan GEOSAT.
Bakosurtanal dan Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Peta Batas Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Chase,T.E, Seekins,B.A., Youngs, J.D., Prasetyo, H.,1994, Peta Batimetri Indonesia
dan Perairan Sekitarnya.
Hardjawidjaksana, K. dan Kristanto, N.A., 1999, Offshore Mineral Resources Map of
Indonesia. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
NOAA, 2003, Citra Indonesia.
Prasetyo, H., 1996, Profil Kelautan Nasional : Menuju Kemandirian, Edisi kedua. Panitia
Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim.
Salahuddin, M., Lubis, S., Makmur, A., Astjario, P., 2001, Pangkalan data Geologi dan
Geofisika Kelautan di Wilayah Perairan Indonesia. Pusat Pengembangan Geologi
Kelautan, Bandung (Tidak dipublikasikan).
T.E, H., 1996, Profil Kelautan Nasional : Menuju Kemandirian, Edisi kedua. Panitia
Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim.
Wilayah pantai dan laut Indonesia yang selain luas merupakan peluang dan sekaligus
tantangan karena dengan semakin terbatasnya sumberdaya mineral dan energi di darat
dan faktor resiko kerusakan lingkungan di darat jauh lebih besar maka perhatian
kegiatan riset geologi dan geofisika ditujukan ke laut sebagai harapan dimasa datang
yang dapat mengungkapkan berbagai kekayaan sumberdaya mineral dan energi.
Search this site:
Login Register BERANDA PROFIL » PUBLIKASI LITBANG » SISTEM INFORMASI »
Search
PENGUMUMAN WEBMAIL
Home
TEKNOLOGI PENEMPATAN TAILING KE DASAR LAUT: KONSEKUENSINYATERHADAP PERUBAHAN BENTUK DASAR PERAIRAN *)
Penulis Artikel Puslitbang Geologi Kelautan : Ir. Subaktian Lubis, M. Sc
Teknologi penempatan tailing ke dasar laut (submarine tailing placement technique)
merupakan salah satu hasil penerapan teknik penempatan tailing unggulan yang
dianggap lebih kecil dampak dan resikonya terhadap lingkungan, dibandingkan dengan
penempatan tailing di darat (Ellis, 1987). Penempatan tailing di darat, berpeluang
menimbulkan kontaminasi tanah dan air bawah tanah oleh unsur-unsur logam. Selain
itu, pelarutan logam berat oleh air hujan dan oksidasi oleh udara akan menyebar di
permukaan tanah sehingga akan meningkatkan luasan lahan cemaran. Kondisi tempat
pembuangan tailing di darat umumnya sangat rentan terhadap kestabilan lereng,
terutama yang dipicu oleh fenomena alam seperti gempabumi, banjir, longsoran,
ataupun amblesan tanah. Oleh sebab itulah, penempatan tailing di dasar laut
merupakan pilihan yang dianggap lebih aman, karena diupayakan berada pada kondisi
dasar laut yang stabil dimana fenomena alam lebih kecil pengaruhnya.
1. Teknologi Penempatan Tailing ke Dasar Laut
Teknologi penempatan tailing ke dasar laut (submarine tailing placement technique)
merupakan salah satu hasil penerapan teknik penempatan tailing unggulan yang
dianggap lebih kecil dampak dan resikonya terhadap lingkungan, dibandingkan dengan
penempatan tailing di darat (Ellis, 1987). Penempatan tailing di darat, berpeluang
menimbulkan kontaminasi tanah dan air bawah tanah oleh unsur-unsur logam. Selain
itu, pelarutan logam berat oleh air hujan dan oksidasi oleh udara akan menyebar di
permukaan tanah sehingga akan meningkatkan luasan lahan cemaran. Kondisi tempat
pembuangan tailing di darat umumnya sangat rentan terhadap kestabilan lereng,
terutama yang dipicu oleh fenomena alam seperti gempabumi, banjir, longsoran,
ataupun amblesan tanah. Oleh sebab itulah, penempatan tailing di dasar laut
merupakan pilihan yang dianggap lebih aman, karena diupayakan berada pada kondisi
dasar laut yang stabil dimana fenomena alam lebih kecil pengaruhnya.
Penambangan tembaga dan emas PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Batuhijau,
Sumbawa Barat, mengolah bijih dari batuan induk yang termasuk berkadar rendah (low
grade). Dari setiap ton batuan yang diolah hanya menghasilkan 5 kg tembaga dan
sekitar 0,5 gram emas. Oleh sebab itulah, PT NTT menerapkan teknologi tinggi dan
peralatan pengolah yang canggih untuk mengolah batuan induk berkadar rendah ini.
Agar usaha penambangan ini dapat memberikan keuntungan maka diupayakan untuk
mengolah batuan induk dalam jumlah besar, sebagai konsekuensinya maka tailing yang
dihasilkan akan berjumlah besar pula. Seandainya tailing ini ditempatkan di darat, maka
paling sedikit diperlukan area bendungan seluas 2310 ha lahan termasuk kawasan
penyangga. Namun demikian, tingginya curah hujan dan kegempaan di kawasan ini,
akan membawa konsekuensi ancaman terjadinya longsoran atau jebolnya dinding
penyangga yang akan mengakibatkan resiko kerusakan lingkungan yang jauh lebih
parah.
Penempatan tailing penambangan emas PT NNT ke parit dasar laut Senunu, sejak
tahun 1999, dengan kapasitas buang sekitar 170.000 ton/hari telah membentuk aliran
tailing yang bergerak terus oleh efek gayaberatnya sendiri (movement of tailing
deposition mound).
2. Bentuk TimbunanTailing
Tailing penambangan emas PT NNT merupakan limbah material padat berupa butiran
halus setelah tembaga dan emas diekstraksi dan dipisahkan dari bijih. Sebelum
dibuang, biasanya tailing ini dicampur air laut dan diencerkan dalam bentuk lumpur
(slurry) dengan ukuran butir sangat halus yaitu lebih kecil dari 0,02 mm.
Tailing yang dialirkan ke dasar laut tidak mengalami pengolahan (treatment) lebih
dahulu karena kadar seluruh unsur berbahaya termasuk logam berada di bawah baku
mutu nasional (baku mutu lingkungan taman laut). Proses pemisahan mineral emas dan
tembaga pada unit konsentrator tidak menggunakan sianida, arsen ataupun merkuri
sebagaimana yang lazim digunakan pada pemurnian logam emas secara kimia,
melainkan dengan cara fisika yaitu proses konsentrasi dan flotasi sehingga sama sekali
tidak menggunakan aditif bahan kimia yang beracun dan berbahaya. Penambahan
cairan kapur (Ca(OH)2) pada unit konsentrator hanya untuk mengendalikan derajat
keasaman (pH) dan kekentalan lumpur saja.
Dari unit konsentrator, tailing ini disalurkan melalui pipa berdiameter 102 cm sepanjang
lebih kurang 6,1 km sampai ke pantai, kemudian akan mengalir sebagai aliran gaya
berat melalui pipa bawah laut sepanjang 3,2 km sampai mencapai kedalaman 112
meter. Berdasarkan data distribusi vertical temperatur air laut setempat, kedalaman 100
m ini merupakan lapisan termoklin (temperatur air laut turun secara mencolok terhadap
kedalaman). Dengan demikian, lumpur tailing ini akan menyebar di dasar laut dan tidak
mungkin naik lagi ke permukaan karena lumpur tailing ini mempunyai densitas lebih
besar dari densitas air laut yaitu antara 1,3 –2,6 gr/cc (Lubis, dkk, 2001).
Di dasar laut, bentuk timbunan tailing ini mengalami pemampatan oleh tekanan
hidrostatis dari kolom air laut itu sendiri sehingga membentuk aliran lumpur liat yang
bergerak merayap (creeping) sepanjang parit dasar laut Senunu. Parit Senunu menurut
fisiografi-geologi termasuk submarine canyon of magmatic arc yang ditutupi sedimen
tipis pasir lanauan yang berasal dari abu batuan gunung api Bali dan Lombok dan
Sumbawa, terutama volcanic ash letusan gunung Tambora. Kecepatan aliran lumpur
tailing ini sekitar 1,6 km/tahun. Dengan demikian, diperkirakan bahwa tailing ini akan
mencapai tepian Cekungan Lombok sekitar 25 tahun. Tailing ini akan menyatu dengan
sedimen dasar laut yang berupa lumpur lanau lempungan. Cekungan Lombok
berdasarkan data seismik mempunyai ketebalan sedimen antara 3 - 4 km. (van
Weering, 1989).
Kestabilan (kemantapan) lereng timbunan tailing dapat dihitung berdasarkan sudut kritis
lereng, nilai berat isi, kohesi dan sudut geser dalam dari sedimen yang diuji. Faktor
keamanan lereng (safety factor) dihitung dengan membuat model kemiringan lereng asli
dari 2o sampai 20o . Nilai tekanan air pori diberikan dengan anggapan bahwa sedimen
dalam keadaan jenuh air dengan koefisien sebesar 0,90. Hasil hitungan menyatakan
bahwa lereng kritis terjadi pada ketinggian timbunan H = 4 m dan sudut lereng = 8o,
artinya kelongsoran lereng akan terjadi pada saat timbunan mencapai kemiringan
lereng diatas 8 derajat.
3. Sebaran Tailing di Dasar Laut
Untuk mengetahui jarak jangkau aliran lumpur tailing ini, digunakan hukum Stoke dan
konservasi kuantitas sedimen (US EPA, 1988). Andaian porositas yang diterapkan
dalam perhitungan jarak jangkau maksimum endapan dasar laut untuk jenis pasir
lanauan (densitas 1,43-2,30 gr/cm3) adalah 92%, sedangkan untuk jenis lanau dan
lempung (densitas 1.15 – 1,20 gr/cm3) adalah 95% (Lubis dan Silalahi, 1999). Hasil
perhitungan jarak jangkau maksimum sebaran masing-masing jenis endapan dengan
menggunakan kecepatan arus maksimum saat pasang purnama (kecepatan arus 0,2
m/detik) adalah 1,6 km/tahun untuk pasiran, dan 4,1 km/tahun untuk lanau dan
lempung.
Diperkirakan, aliran lumpur tailing ini akan bergerak terus membentuk timbunan tailing
yang meluas sepanjang parit dasar laut Senunu dan mencapai jarak jangkau maksimum
7,9 km pada akhir tahun 2002. Jika diproyeksikan dalam jangka panjang, maka rayapan
aliran lumpur ini akan mencapai jarak 73 km pada tahun 2018 (akhir kontrak/operasi PT
NNT). Dengan demikian, tailing yang dialirkan melalui parit laut Senunu ini diperkirakan
tidak akan mencapai Cekungan Lombok yang berjarak 100 km dari garis pantai P.
Sumbawa Barat bagian selatan.
4. Simpulan dan Saran
Simpulan
Ujung aliran tailing sampai tahun 2001 telah mencapai 3,2 km dari ujung pipa, namun
pada lokasi yang sama pengaruh aliran tailing ini tidak sampai ke lapisan air laut
diatasnya. Analisa kualitas air laut pada kedalaman 350 m menunjukkan bahwa seluruh
kandungan logam dan unsur lainnya berada dibawah baku mutu taman laut nasional.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aliran lumpur tailing ini hanya mengalami
gerakan gravitasional secara horizontal ke arah selatan dan tidak menyebar vertical ke
atas. Secara fisik perubahan morfologi dasar laut akibat aliran lumpur tailing ini tidak
akan mengakibatkan perubahan fisik dasar laut yang signifikan, karena hanya
menempati sebagian parit dasar laut Senunu saja. Fenomena alam seperti kecepatan
arus dasar laut ataupun upwelling (naiknya masa air laut lapisan bawah ke atas dengan
kecepatan hanya 25 cm/hari), tidak cukup kuat untuk mengangkut endapan tailing ini
secara vertikal ke atas ataupun horizontal keluar dari parit Senunu.
Saran-Saran
Upaya tambahan yang perlu dilakukan adalah pemantauan kondisi pipa secara berkala
sehingga pengaliran lumpur tailing ini bekerja normal dan terkendali. Untuk menghindari
resiko jika terjadi kebocoran pipa di dasar laut maka sebaiknya pipa pengalir di dasar
laut dibuat ganda sehingga dapat digunakan pada keadaan darurat sebagai pipa
alternatif. Dengan demikian, tidak perlu menghentikan operasi saat terjadi kebocoran
pipa.
Untuk meyakinkan arah dan bentuk penyebaran lumpur tailing ini maka perlu dilakukan
pemetaan tailing menggunakan seismik resolusi tinggi (high resolution seismic) paling
sedikit 3 tahun sekali. Hal ini dimaksudkan agar perubahan geomorfologi dasar laut
akan senantiasa terpantau sehingga arah, ketebalan, bentuk serta jarak jangkaunya
dapat dipetakan dari waktu ke waktu.
Daftar Pustaka
Ellis, D. V., 1987. A Decade of Environmental Impact Assessment at Marine and coastal
Mines, Marine Mining, vol. 6 pp 385-417.
Lubis, S. dan Silalahi, I.R., 1999. Pola Sebaran Partikel Suspensi: Implikasinya
Terhadap Dampak Penambangan Pasir Laut Di Perairan Lombok Barat. Prosiding
Kolokium Pertambangan 1999, Puslitbang Teknologi Mineral, pp 231-240.
Lubis, S., B. Rachmat, dan A. Ibrahim, 2001. Penempatan Tailing ke Dasar Laut:
Dampaknya Terhadap Perubahan Geomorfologi Dasar Perairan. Proceeding Kolokium
Pertambangan 2001, Puslitbang Teknologi Mineral, pp 222-230.
US EPA, 1988. Screening Procedure for Estimating Water Quality Impact of Stationary
Sources, EPA-450/4.BB-010, US Environmental Protection Agency, North Carolina,
131p.
van Weering.Tjeerd. C.E, D. Kusnida, S. Tjokrosapoetro, S. Lubis, and S. Munadi. 1989.
The Seismic Structure of the Lombok and Savu Forearc Basins, Indonesia (Snellius II
Expedition). Netherlands Journal of Sea Research. 24 (2/3): pp 251-262.
-------------------------------
*) Judul naskah Saksi Ahli bidang teknik yang dibacakan p
PERKEMBANGAN KOTA MUKA LAUT SEMARANG DAN BUKTI PENURUNAN (LAND SUBSIDENCE) , (Kasus : Pelabuhan Tanjung Emas)
Penulis Artikel Puslitbang Geologi Kelautan : Purnomo Raharjo, Andy H Sianipar, Mira
Yosi
Abstract/Sari
Semarang merupakan ibukota propinsi Jawa Tengah berada pada kawasan pesisir
pantai utara Jawa dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sebesar 1.353.047 jiwa
dengan kepadatan penduduk sebesar 3.348 jiwa per Km2. Berdasarkan data statistic
jumlah kenaikan penduduk sebesar 0.99% pertahun, sehingga diperkirakan pada tahun
2004 penduduk kota Semarang telah mencapai sekitar 1.379.969 Jiwa. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk tentunya membutuhkan sarana dan prasarana kota yang
memadai.
Riwayat dan perkembangan kota Semarang dimulai pada Periode pra 900 M, 900 –
1500 M, 1500 – 1700 M, 1700 – 1906, 1906 – 1942 dan 1942 – 1976. Dengan
berkembangnya kota Semarang tentunya membawa konsekuensi akan kebutuhan lahan
kearah dataran pesisir pantai, hal yang menjadi penting adalah daya dukung kawasan
bertumpu pada dataran alluvial hasil perkembangan garis pantai atau hasil proses
sedimentasi.
Isue yang berkembang adalah terjadinya penurunan pada kawasan kota sehingga
terjadinya banjir tahunan (ROB) yang tentunya dapat dibuktikan dari pengukuran
geodetik terhadap rata-rata muka laut. Pada tahun 2004 Tim PPPGL telah melakukan
pengukuran penurunan yang terjadi pada infrastruktur Pelabuhan Tanjung Emas
Semarang dalam kaitan rencana pengembangan pelabuhan.
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir Pelabuhan Tanjung Emas telah berkembang begitu pesat
antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah penumpang setiap tahunnya dan
kegiatan bongkar muat peti kemas untuk kegiatan eksport-import yang meningkat. Untuk
mencukupi kebutuhan air bersih di Pelabuhan Tanjung Emas sebagian diantaranya
menggunakan air tanah melalui sumur dalam. Pengambilan air tanah secara berlebihan
menimbulkan dampak lingkungan yang serius, salah satu diantaranya adalah adanya
penurunan permukaan air tanah yang dapat mengakibatkan penurunan permukaan tanah
(land subsidence) pada daerah yang cukup luas. Untuk membuktikan bahwa telah terjadi
penurunan maka diperlukan cataan Sejarah perkembangan kota dan data pengukuran
geodetik berdasarkan titik referensi yang telah ada. Studi kasus yang dilakukan untuk
membuktikan terjadinya penurunan dilakukan pada Pelabuhan Tanjung Emas dalam
kaitan rencana pengembangannya.
Metodologi
Saat ini kondisi Pelabuhan Tanjung Emas mengalami penurunan terbukti pada saat
pasang laut maksimum beberapa infrastruktur bagunan telah terendam oleh air laut.
Metoda pengukuran untuk membuktikan hal tersebut pertama-tama dilakukan dengan
pengikatan titik-titik referensi (geodesi) sebagai titik ikat dilakukan sebelum pelaksanaan
pekerjaan untuk levelling survey. Pengukuran titik ikat dengan metoda poligon
menggunakan ”Total Station Sokkia” antara titik BM Bakosurtanal didepan terminal
penumpang dengan BM 1 SPP II-1, BM 6, TB 1, TB 2 dan TB3. Koordinat Azimuth awal
sebagai titik referensi yaitu TB 1 di diukur dengan menggunakan DGPS Trimble DSM 212
H.
Titik referensi geodesi dan area survey menggunakan koordinat lokal, yang nantinya
ditransfer ke koordinat UTM dan datum WGS84, sebelum digunakan sebagai titik
referensi survey (BM), transformasi koordinat menggunakan prosedur shift datum
Bakosurtanal.
Pengukuran geodetik berdasarkan metoda sipat datar (levelling) pada titik bantu
menggunakan “waterpass” yang diikat pada titik referensi dengan peralatan “total station”
telah dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas mencakup ruas jalan Coaster, breakwater
north, breakwater west, east groin, container yard, dan container wharf. Elevasi muka
laut actual untuk keperluan desing rencana pengembangan pelabuhan dilakukan
pengamatan pasang surut selama 15 piantan dengan datum muka laut terendah (LWS).
Hasil dan Pembahasan
Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan ketersediaan lahan
semakin luas sehingga kota Semarang berkembang kearah pesisir dan menjadikan kota
Semarang sebagai Kota Muka Laut (Water Front City). Riwayat perkembangan kota
Semarang dimulai dari:
•Periode Pra 900 M, masa sebelum terbentuk dataran aluvial.
Semarang berada di kaki G. Ungaran berbatas dengan pantai utara (termasuk Rican,
Mugas, G. Sawo, Gajahmungkur barat, Karang Kumpul atas, Sampangan, Wotgaleh,
Simongan, Krapyak dan Jerakah). Terdapat 2 kerajaan Hindia yaitu Bhumi Mataram dan
Cailendra, memiliki pelabuhan : Ujung Negara (Batang), Semarang, Keling, Jepara dan
Juwono).
•Periode 900 – 1500 M
Awal terbentuknya dataran aluvial/sedimen kuarter yang berasal dari Kali Kreo, Kali
Kripik dan Kali Garang dahulu merupakan sarana transportasi utama di zaman Kerajaan
Medang Kawulan (924). Semarang tidak dikenal. Namun pada Kerajaan Demak –
Pajang, kembali dikenal. P. Made Pandan dan R. Pandan Arang (anak) membuka daerah
P. Tirang (barat Demak), nama Semarang diambil dari pohon asam yang arang (Asem
Arang)
•Lanjutan periode 900 - 1500
P. Made Pandan (Kyai Ageng Pandan Arang I) sebagai bupati I (1418). Fungsi kawasan:
Perniagaan kerajaan Demak dan pusat penyiaran agama Islam.
•Periode 1500 - 1700
Awal pembentukan kota Semarang, dikenal sebagai pelabuhan yang penting. Garis
pantai berada di Sleko (sekarang). Bangsa asing datang: Cina (abad 15), Portugis (abad
16), Melayu (1450), Hindia, Arab/persia dan Belanda (awal abad 17). Semarang
digadaikan oleh Susuhunan Surakarta kepada Belanda (15 Januari 1678) Fungsi :
Daerah pertahanan militer dan perniagaan (VOC).
•Periode 1700 - 1906
Mulai menampakan kota yang sebenarnya. Perpindahan kegiatan militer Belanda ke
Semarang yang semula di Jepara (perjanjian Sunan Paku Buwono I tgl 1 Oktober 1705).
Perubahan status, fungsi, fisik dan kehidupan social : pusat kegiatan politik kolonial, kota
kedua setelah Batavia, berdiri benteng dan kantor-kantor dagang, pemerintahan pribumi.
•Lanjutan periode 1700 - 1906
Fungsi : Kota Administrasi Pemerintahan (Gubernur Jenderal Jawa Utara), Kota
perniagaan dan Kota pertahanan/militer. Pembangunan : Villa-villa di Bojong dan
Randusari, Pelabuhan Semarang berperan dalam perdagangan dunia, Pembuatan jalan
kereta api Semarang – Yogya (1864), Hubungan telepon dengan Jakarta dan Surabaya
(1884), Pembukaan kantor pos (1862).
•Periode 1906 - 1942
Staatblad No 120 tahun 1906: Pemerintahan Kota Praja Semarang. Arah pembangunan:
membangun pemukiman dengan fasilitas dan utilitas kota seperti: stadion, taman kota,
jaringan jalan, drainage, dll. Fungsi: Perdagangan, militer, pemerintahan, pendidikan dan
parawisata. Fokus: Penertiban sistem administrasi pemerintahan, bukan sektor sosial
ekonomi, budaya dan perencanaan fisik menyeluruh. Akibat: Pusat pergerakan politik
melawan Belanda.f
•Periode 1942 - 1976
Semarang dikuasai Jepang. Tidak ada pembangunan. Fungsi diarahkan untuk kebutuhan
militer (perang) Jepang. Tahun 1946: Inggris (sekutu) menyerahkan Semarang ke
Belanda.
Tahun 1950: Semarang mulai bebenah, ditandai dengan penyerahan pemerintahan dari
militer kepada pejabat tinggi kementerian dalam negeri (pamong praja)
•Lanjutan Periode 1942 - 1976
Pembangunan pesat: Pertumbuhan pemukiman (Grobokan, Seroja, Pelabuhan, Jangli
dan Mrican). Perdagangan (Pasar Johar, pasar Bulu, pasar Karangayu, pasar Dargo dan
pasar Langgar). Transportasi: terminal bus dan mini bus. Industri: Srondol dan sekitar
kota Semarang. Tahun 1976: Kota Semarang dimekarkan kearah wilayah Mijen,
Gunungpati, Tuga dan Genuk. Disusun rencana jangka panjang kota Semarang.
Optimalisasi peruntukan tanah di kota Semarang.
Secara Fisiogarafi (van Bemmelen, 1949) kota Semarang terletak pada dataran alluvial
merupakan
hasil endapan yang berasal dari daratan ditransport melalui sungai-sungai besar dan
hasil proses sedimentasi di wilayah pantai. Dataran aluvial ini dilatar belakangi oleh
jajaran pegunungan Serayu Utara di bagian selatan, dan sebelah timur dibatasi oleh
perbukitan Kendeng dan diutara berhadapan dengan Laut Jawa.
Secara geologi litologi penyusun terdiri dari endapan kuarter berupa Alluvial, Formasi
Damar, Breksi, Breksi Volkanik, Lava dan Formasi Penyayatan sedangkan endapan
Tersier merupakan endapan marin. Struktur yang berkembang adalah antiklin di bagian
selatan merupakan daerah tinggian dan sesar normal.
Kemiringan lereng yang tergambar dimulai dari kemiringan landai 0-5%, bergelombang
5%-15%, curam 15%-30% dan terjal 30 - > 70 %.
Pengukuran pasang surut adalah penting di dalam perencanaan bangunan pantai dan
pelabuhan. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan terendah (surut) sangat penting untuk
merencanakan bangunan-bangunan tersebut. Sebagai contoh, elevasi puncak bangunan
dermaga, breakwater, pemecah gelombang, dan sebagainya ditentukan oleh elevasi
muka air pasang, sementara kedalaman alur pelayaran/pelabuhan ditentukan oleh muka
air surut.
Dari hasil perhitungan koreksi pasang surut tahun 2004 didapat High Water Lavel (HWS)
= 2.475 m; Mean Sea Level (MSL) = 1.784 m; Low Water Sea (LWS) = 1,095 m.
Hasil pengukuran titik-titik poligon dengan menggunakan Total Station dan Waterpass
berdasarkan data pengukuran Low Water Sea (LWS) pasang surut pada saat survey
tahun 2004 didapat koordinat dan elevasi titik-titik referensi seperti pada table 1
dibawah :
Hasil kegiatan pengukuran levelling yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas
mencakup ruas jalan Coaster, breakwater north, breakwater west, east groin, container
yard, dan container wharf.
1.Hasil pengukuran levelling pada Jalan Coaster tahun 2004, elevasi desing tahun 1995:
-Elevasi desing pada T4 : +1.426
-Elevasi Aktual pada T4 : +1.016
-Penurunan T4 :+ 0.410 = 41 cm
-Elevasi desing pada T7 : +1.501
-Elevasi Aktual pada T7 : +1.284
-Penurunan T7 : + 0.217 = 21 cm
-Elevasi desing pada T8 : +1.646
-Elevasi Aktual pada T8 : +1.242
-Penurunan T8 :+ 0.404 = 40 cm
2.Hasil Pengukuran levelling pada North Breakwater tahun 2004, elevasi desing tahun
1995:
-Elevasi desing : + 2.400
-Elevasi Aktual : = + 1.607 hingga + 1.753
-Penurunan yang terjadi antara +0.647 hingga +0.793 = 64 cm hingga 79 cm
3. Hasil Pengukuran levelling pada West Breakwater tahun 2004, elevasi desing tahun
1995:
-Elevasi desing : + 2.400
-Elevasi Aktual : = + 0.999 hingga + 1.659
-Penurunan yang terjadi antara +0.741 hingga +1.401 = 74 cm hingga 140 cm
4. Hasil Pengukuran levelling pada East Groin tahun 2004, elevasi desing tahun 1995:
-Elevasi desing : + 1.800
-Elevasi Aktual : + 0.907 hingga + 1.038
-Penurunan yang terjadi antara +0.762 hingga +0.893 = 76 cm hingga 89 cm
5. Hasil Pengukuran levelling pada Container Yard tahun 2004, elevasi desing tahun
1995:
-Elevasi desing : (+ 3.200) ; (+ 3.400)
-Elevasi Aktual : = (+ 2.106 - +2.341) ; (+ 2.406 - + 2.629)
-Penurunan yang terjadi pada desing (+ 3.200) : + 0.859 hingga + 1.094 = 85 cm hingga
109 cm.
-Penurunan yang terjadi pada desing (+ 3.400) : + 0.771 hingga + 0.994 = 77 cm hingga
99 cm.
6. Hasil Pengukuran levelling pada Container Wharf tahun 2004, elevasi desing tahun
1995:
-Elevasi desing : (+ 2.354)
-Elevasi Aktual : Atas (+ 1.666 – 1.731) ; Bawah (+ 1.407- +1.478)
-Penurunan yang terjadi pada desing Atas (+ 0.623 - + 0.688) = 62 cm–68 cm ; Bawah (+
0.876 - + 0.947) = 87 cm – 94 cm
Kesimpulan
•Pada perioda Pra 900 M kota Semarang berada di kaki G. Ungaran, Periode 900 – 1500
M. Awal terbentuknya dataran aluvial/sedimen kuarter yang berasal dari sungai-sungai
besar, Periode 1500 – 1700 Awal pembentukan kota Semarang, dikenal sebagai
pelabuhan yang penting garis pantai berada di Sleko (sekarang). Periode 1942 - 1976
mulai disusun rencana jangka panjang kota Semarang dan optimalisasi peruntukan tanah
di kota Semarang. Dari catatan sejarah ini diketahui bahwa kota Semarang berkembang
kearah utara yaitu dataran pantai.
•Fisiografi memperlihatkan kota Semarang terletak pada dataran alluvial merupakan hasil
endapan yang berasal dari daratan ditransport melalui sungai-sungai besar dan hasil
proses sedimentasi di wilayah pantai.
•Perkembangan kota Semarang kedepan bertumpu pada endapan berusia Kuarter
didominasi oleh endapan volkanik dan memiliki daya dukung rendah, umumnya fasilitas
kota dibangun pada daerah dengan kemiringan lereng landai 0-5% merupakan daerah
pesisir yang berhadapan langsung dengan laut.
•Untuk mencukupi kebutuhan air bersih di Pelabuhan Tanjung Emas sebagian
diantaranya menggunakan air tanah melalui sumur dalam. Pengambilan air tanah secara
berlebihan menimbulkan dampak lingkungan yang serius, salah satu diantaranya adalah
adanya penurunan permukaan air tanah yang dapat mengakibatkan penurunan
permukaan tanah (land subsidence) pada daerah yang cukup luas.
•Kasus penurunan infrastruktur Pelabuhan Tanjung Emas diketahui dengan pengukuran
geodetik berdasarkan metoda sipat datar (levelling) mencakup ruas jalan Coaster,
breakwater north, breakwater west, east groin, container yard, dan container wharf.
Elevasi muka laut actual untuk keperluan desing rencana pengembangan pelabuhan
dilakukan pengamatan pasang surut selama 15 piantan dengan datum muka laut
terendah (LWS).
•Desing Pelabuhan Tanjung Emas dibuat pada tahun 1995, hingga tahun 2004 hasil
pengukuran elevasi diketahui penurunan yang terjadi selama 9 tahun pada ruas jalan
Coaster sebesar 21-41 cm, breakwater north sebesar 64-79 cm , breakwater west
sebesar 74-140 cm, east groin sebesar 76-89 cm, container yard sebesar 77-109 cm,
dan container wharf sebesar 62-94 cm.
Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut di Dunia
Perkembangan teknologi pemanfaatan energi samudera khususnya arus laut sebagai
energi baru terbarukan di dunia saat ini berkembang dengan pesat, seiring dengan
meningkatnya tuntutan akan kebutuhan energi listrik masyarakat kawasan pesisir serta
semakin maraknya issu pemanasan global yang mendorong untuk membatasi
penggunaan bahan bakar hidrokarbon.
Prinsip yang dikembangkan pada aplikasi teknologi pemanfaatan energi dari laut adalah
melalui konversi tenaga kinetik masa air laut menjadi tenaga listrik. Tercatat beberapa
negara telah berhasil melakukan instalasi pembangkit energi listrik dengan
memanfaatkan energi arus dan pasang surut, mulai dari prototype turbin hingga
mencapai turbin skala komersial dengan kapasitas 1,2 MW/turbin, seperti di Skotlandia,
Swedia, Perancis, Norwegia, Inggris, Irlandia Utara, Australia, Italia, Korea Selatan dan
Amerika Serikat.
Potensi Energi Arus Laut di Perairan Indonesia
Kecepatan arus pasang-surut di pantai-pantai perairan Indonesia umumnya kurang dari
1,5 m/detik, kecuali di selat-selat diantara pulau-pulau Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara
Timur, kecepatannya bisa mencapai 2,5 - 3,4 m/detik.
Arus pasang-surut terkuat yang tercatat di Indonesia adalah di Selat antara Pulau Taliabu
dan Pulau Mangole di Kepulauan Sula, Propinsi Maluku Utara, dengan kecepatan 5,0
m/detik. Berbeda dengan energi gelombang laut yang hanya terjadi pada kolom air di
lapisan permukaan saja, arus laut bisa terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Kelebihan
karakter fisik ini memberikan peluang yang lebih optimal dalam pemanfaatan konversi
energi listrik.
Konversi Energi Arus Laut Menjadi Listrik
Pada dasarnya, arus laut merupakan gerakan horizontal massa air laut, sehingga arus
laut memiliki energi kinetik yang dapat digunakan sebagai tenaga penggerak rotor atau
turbin pembangkit listrik. Secara global laut mempunyai sumber energi yang sangat besar
yaitu mencapai 2,8 x 1014 (280 Triliun) Watt-jam. Selain itu, arus laut ini juga menarik
untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik karena sifatnya yang relatif stabil dan
dapat diprediksi karakteristiknya.
Pengembangan teknologi ekstraksi energi arus laut ini dilakukan dengan mengadopsi
prinsip teknologi energi angin yang telah lebih dulu berkembang, yaitu dengan mengubah
energi kinetik arus laut menjadi energi rotasi dan energi listrik. Daya yang dihasilkan oleh
turbin arus laut jauh lebih besar dari pada daya yang dihasilkan oleh turbin angin, karena
rapat massa air laut hampir 800 kali rapat massa udara. Kapasitas daya yang dihasilkan
dihitung dengan pendekatan matematis yang memformulasikan daya yang dihasilkan dari
suatu aliran fluida yang menembus suatu permukaan A dalam arah yang tegak lurus
permukaan. Rumus umum yang digunakan adalah formulasi Fraenkel (1999): 12P= 12 Ï � A V3 '>, dimana P= daya (watt); ρ= rapat massa air (kg/m³); A= luas penampang (m²);
dan V= kecepatan arus (m/s).
Road Map Penelitian dan Pengembangan Energi Arus Laut di Indonesia
Penelitian karakteristik arus laut yang telah dilakukan oleh Puslitbang Geologi
Kelautan (PPPGL) diawali pada tahun 2005 berkolaborasi dengan Program Studi
Oceanografi ITB. Pengukuran arus laut dilakukan menggunakan ADCP (Accoustic
Doppler Current Profiler) di Selat Lombok dan Selat Alas dalam kaitan dengan rencana
penyiapan lokasi dan instalasi untuk Turbin Kobold buatan Italia yang berkapasitas 300
kW di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.
Tahun 2006 - 2010 telah dilaksanakan penelitian karakteristik arus laut di berbagai selat
di Nusa Tenggara yaitu Selat Lombok , Selat Alas, Selat Nusa Penida, Selat Flores, dan
Selat Pantar.
Prototipe turbin pertama telah dibangun secara kemitraan bersama Kelompok Teknik T-
Files ITB dan PT Dirgantara Indonesia, dengan mengadopsi dan memodifikasi model
turbin Gorlov skala kecil (0,8 kW/cel). Perangkat pembangkit listrik ini selanjutnya telah
diuji-coba di kolam uji PPPGL Cirebon dan tahun 2008, dilanjutkan dengan uji lapangan
tahun 2009 di Selat Nusa Penida sehingga telah berhasil memperoleh "proven design".
Prototype dalam skala besar (> 80 kW) direncanakan akan dilaksanakan pada tahun
2012-2014 oleh institusi terkait lainnya yang berkewenangan (Ditjen Energi Baru
Terbarukan, Puslitbangtek Ketenagalistrikan dan Energi Baru Terbarukan, dsb.) untuk
mengembangkan dan meningkatkan status skala prototipe menjadi skala pilot dan skala
komersial.
Diharapkan pada tahun 2025 energi listrik tenaga arus laut yang dihasilkan dari berbagai
pembangkit (PLTAL) akan mencapai 5% dari sasaran kebijakan energi 25% bauran
energi Indonesia, sesuai visi bauran energi 25-25.
Road map lengkap tentang capaian pemanfaatan prospek energi arus laut di Indonesia
yang terdiri dari fase penelitian dan pengembangan, fase prototipe, sampai fase
pembangunan turbin pembangkit skala komersial diperlihatkan seperti pada road map di
bawah ini.