47
Geologi Regional Pegunungan Selatan I. Fisiografi Regional Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan- timur yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 1B). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001). Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang

Geologi Regional Pegunungan Selatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Geologi Regional Pegunungan Selatan

I. Fisiografi Regional

Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi

kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan

dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan

(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 1B). Zona Solo merupakan bagian dari Zona

Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh

kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan

dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh

endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan,

dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari

P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K.

Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang

merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).

Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.

Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264

m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di

Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo

bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.

Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,

1992).

Page 2: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Gambar 1. Fisiografi daerah Jawa Timur (van Bemmelen 1949)

Geologi Jawa timur dibagi atas beberapa zona, menurut van Bemmelen jawa

timur dibagi atas 4 bagian antara lain :

1. Zona Pegunungan Selatan Jawa (Souththern Mountains) : batuan

pembentuknya terdiri atas siliklastik, volkaniklastik, volkanik , dan batuan

karbonat.

2. Zona Gunung Api Kuarter (Quartenary Volcanoes) : merupakan gunung aktiv

3. Zona Kendeng (Kendeng Zone) : batuan pembentuknya terdiri atas Sekuen

dari volkanogenik dan sedimen pelagik.

4. Zona Rembang (Rembang Zone) : batuan pembentuknya terdiri atas endapan

laut dangkal , sedimen klastik , dan batuan karbonat. Pada zona ini juga

terdapat patahan yang dinamakan Rembang High dan banyak lipatan yang

berarah timur-barat

Page 3: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Gambar 2. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi dari van

Bemmelen, 1949).

Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di

sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,

Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara

Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,

sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan

ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan

mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).

Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona

Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk.,

1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di

bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m,

antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur

(G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung

membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G.

Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar

dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir

seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.

Page 4: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di

bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan

sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan

utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung

Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat

dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di

daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan

dasarnya adalah batugamping.

Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,

yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut

dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai

telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping

serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai

Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.

Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok

yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment

yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah

selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara

Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan

Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).

Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping

(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-

basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

II. Stratigrafi Regional

Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian Barat dan Jawa Tengah-

Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Timur, yaitu jalur Baturagung dan

Kambengan. Rahardjo, dkk., 1977; Surono, et al., 1992; Samodra, et al., 1992,

menyatakan dalam peta geologi bahwa batuan beku intrusi di daerah Pegunungan

Selatan terletak di lokasi yang sama atau berdekatan dengan batuan gunungapi

(endapan turbidit). Daerah jalur Baturagung tersusun oleh batuan gunungapi

Page 5: Geologi Regional Pegunungan Selatan

berumur Miosen Bawah. Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri dari Formasi

Kebo-Butak (batupasir, batulempung, batulanau, serpih, tuf dan konglomerat),

Formasi Semilir (tuf, breksi batuapung, breksi tuf, batupasir tufan dan serpih),

Formasi Nglanggran (breksi volkanik, konglomerat, batupasir tufan, sisipan lava

andesit-basalt), Formasi Sambipitu (batupasir tufan dan batulempung), Formasi

Oyo (napal tufan dan batupasir konglomeratan), dan Formasi Wonosari

(batugamping).

Sampurno dan Samudro, (1997), mengemukakan bahwa zona Pegunungan

Selatan terdapat di bagian ujung selatan. Jalur ini termasuk di dalam jalur

Kambengan (Van Bemmelen, 1949). Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri

dari Formasi Dayakan (perselingan batupasir dan batu lempung sisipan tuf),

Formasi Panggang (perselingan breksi gunungapi dan lava dengan sisipan

batupasir) dan Formasi Watupatok (lava basalt berstruktur bantal dengan sisipan

batupasir, batulempung dan rijang). Ketiga formasi tersebut saling menjari dan

mempunyai umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.

Page 6: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Gambar 3. Stratigrafi Pegunungan Baturangung dan Perbukitan Jiwo

(dimodifikasi dari Sudarno, 1997)

Page 7: Geologi Regional Pegunungan Selatan

III. Struktur Regional

Menurut Sujanto dan Roskamil (1975), tektonik daerah Jawa Tengah bagian

selatan dipengaruhi oleh adanya zona penunjaman yang terletak di bagian selatan

Pulau Jawa. Samodra (1981) mengemukakan bahwa struktur yang berkembang di

Jawa Tengah mempunyai pola dengan arah Timurlaut – Baratdaya, struktur ini

berasosiasi dengan Pegunungan Meratus di Kalimantan. Prihatmoko dkk., (2002)

mengemukakan di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi

menjadi 5 struktur utama, yaitu: Citandui, Pati, Yogyakarta, Baribis dan Kendeng.

Gambar 4. Tektonik lempeng jawa bagian selatan

Page 8: Geologi Regional Pegunungan Selatan

IV. Stratigrafi Pegunungan Selatan

Pembahasan stratigrafi daerah survei tidak akan terlepas dengan stratigrafi

regional Pegunungan Selatan, khususnya stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa

Timur bagian Barat dan Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta bagian Timur,

yaitu jalur Baturagung dan Kambengan. Rahardjo, dkk., 1977; Surono, et al.,

1992; Samodra, et al., 1992, menyatakan dalam peta geologi bahwa batuan beku

intrusi di daerah Pegunungan Selatan terletak di lokasi yang sama atau berdekatan

dengan batuan gunungapi (endapan turbidit). Daerah jalur Baturagung tersusun

oleh batuan gunungapi berumur Miosen Bawah. Formasi-formasi dari tua ke

muda terdiri dari Formasi Kebo-Butak (batupasir, batulempung, batulanau, serpih,

tuf dan konglomerat), Formasi Semilir (tuf, breksi batuapung, breksi tuf, batupasir

tufan dan serpih), Formasi Nglanggran (breksi volkanik, konglomerat, batupasir

tufan, sisipan lava andesit-basalt), Formasi Sambipitu (batupasir tufan dan

batulempung), Formasi Oyo (napal tufan dan batupasir konglomeratan), dan

Formasi Wonosari (batugamping).

Sampurno dan Samudro, (1997), mengemukakan bahwa zona Pegunungan

Selatan terdapat di bagian ujung selatan. Jalur ini termasuk di dalam jalur

Kambengan (Van Bemmelen, 1949). Formasi-formasi dari tua ke muda terdiri

dari Formasi Dayakan (perselingan batupasir dan batu lempung sisipan tuf),

Formasi Panggang (perselingan breksi gunungapi dan lava dengan sisipan

batupasir) dan Formasi Watupatok (lava basalt berstruktur bantal dengan sisipan

batupasir, batulempung dan rijang). Ketiga formasi tersebut saling menjari dan

mempunyai umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.

Page 9: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Gambar 5. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa peneliti

A. Pegunungan Selatan bagian barat

Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak

dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah

bagian barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur

(Wonosari – Pacitan). Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat

telah diteliti antara lain oleh Bothe (1929), van Bemmelen (1949),

Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono (1964), Nahrowi, dkk (1978)

dan Suyoto (1992) serta Wartono dan Surono dengan perubahan (1994)

Keterangan Gambar Formasi batuan pada Pegunungan Selatan Bagian

Barat:

1. Formasi Wungkal-Gamping

Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping,

keduanya di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah

Page 10: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri dari perselingan antara

batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas,

satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.

Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal,

Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter

(Bronto dan Hartono, 2001).

Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil

foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus

VERBEEK, Nummulites bagelensisVERBEEK dan Discocyclina

javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur

Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas

formasi ini mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang

menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi Wungkal-

Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir

(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).

Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut

dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng

bawah laut, formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan

kembali di laut dalam sehingga merupakanexotic faunal assemblage

(Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K.

Oyo di utara G. Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf

serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras,

ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic

sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak,

Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.

2. Formasi Kebo-Butak

Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang

terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun

formasi ini di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau,

batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa

perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam.

Page 11: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal

dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.

Pada Formasi Kebo-Butak, Sumarso dan Ismoyowati (1975)

menemukan fosil Globorotalia opima BOLLI, Globorotalia

angulisuturalis BOLLI, Globorotalia kuqleri BOLLI, Globorotalia

siakensis LEROY, Globigerina binaiensis KOCH, Globigerinoides

primordius BLOW dan BANNER, Globigerinoides trilobus REUSS.

Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen

Awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang

dipengaruhi oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara

Pegunungan Baturagung, sebelah selatan Klaten dan diduga menindih

secara tidak selaras Formasi Wungkal-Gamping serta tertindih selaras

oleh Formasi Semilir. Ketebalan dari formasi ini lebih dari 650 meter.

3. Formasi Semilir

Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten.

Litologi penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung,

breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut

bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan

ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah,

Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava bantal (Bronto

dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini

memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah

Pleret-Imogiri, di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di

bagian tengah pada G. Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur

pada tinggian G. Gajahmungkur, Wonogiri. Ketebalan formasi ini

diperkirakan lebih dari 460 meter.

Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso

dan Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita

KOCH pada bagian bawah formasi dan Orbulina pada bagian atasnya.

Sedangkan pada bagian tengah formasi ditemukan

Globigerinoides primordius BLOW dan BANNER, Globoquadrina

Page 12: Geologi Regional Pegunungan Selatan

altispira CUSHMAN dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW

dan Globorotalia siakensis LEROY.Berdasarkan hal tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-

Miosen Tengah bagian bawah.

Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak,

namun secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi

ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu,

namun tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk.,

1992). Dengan melimpahnya tuf dan batuapung dalam volume yang

sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi Semilir ini dihasilkan

oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan merusak, biasanya

berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono,

2001).

4. Formasi Nglanggran

Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah

selatan Desa Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi

gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava

andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi

ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan

sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu

pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang

membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini

disisipi oleh batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis

baik.

Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil.

Sudarminto (1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan

fosil foraminifera Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides

primordius BLOW dan BANNER,Globigerinoides sacculifer

BRADY, Globoquadrina dehiscens CHAPMANN, PARR dan

COLLINS pada sisipan batulempung yang menunjukkan umur

Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan Hartono

Page 13: Geologi Regional Pegunungan Selatan

(2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii

CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI,

Orbulina suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY

dan Globigerinoides trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang

menunjukkan umur Miosen Tengah bagian bawah. Sehingga

disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen Awal-Miosen

Tengah bagian bawah.

Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di

sebelah barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur.

Ketebalan formasi ini di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini

menjemari dengan Formasi Semilir dan Formasi Sambipitu dan secara

tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan Formasi Wonosari.

Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar berlubang

serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka

diperkirakan lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat

hingga laut dangkal. Sementara itu, dengan ditemukannya fragmen

batugamping terumbu, maka lingkungan pengendapan Formasi

Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.

5. Formasi Sambipitu

Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya

Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral,

penyebaran formasi ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran,

di kaki selatan Subzona Baturagung, namun menyempit dan kemudian

menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi Sambipitu ini

mencapai 230 meter.

Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari

batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus

yang berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung.

Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan

karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung

Page 14: Geologi Regional Pegunungan Selatan

bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan

menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.

Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina

verbeeki NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi

PROVALE, Lepidocyclina sumatrensis BRADY, Cycloclypeus

comunis MARTIN, Miogypsina polymorphaRUTTEN dan

Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur

Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986,

dalam Bronto dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai

akhir Miosen Bawah sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil

bentoniknya menunjukkan adanya percampuran antara endapan

lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan hanya tersusun oleh

batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di dalam

Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari

kegiatan gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto

dan Hartono, 2001).

6. Formasi Oyo

Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya

pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas

secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan

batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya

kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang

mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di

sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan

kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir,

Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan

Formasi Oyo.

Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang

dijumpai antara lain Cycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina

rutteni VLERK, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina

polymorpha RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN

Page 15: Geologi Regional Pegunungan Selatan

yang menunjukkan umur Miosen Tengah hingga Miosen Akhir

(Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada laut dangkal (zona

neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.

7. Formasi Wonosari

Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan

Formasi Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur

karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga

namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini tersingkap baik di

daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam Subzona

Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan

formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di

bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian

atas menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh

batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan

batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal.

Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.

Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang

melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp.,

ditentukan umur formasi ini adalah Miosen Tengah hingga Pliosen.

Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang

mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).

8. Formasi Kepek

Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11

kilometer di sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu

K. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin.

Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal

satuan ini lebih kurang 200 meter.

Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan

kurang dari 10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang

terkandung di antaranya Globorotalia plesiotumida BLOW dan

BANNER, Globorotalia merotumida, Globoquadrina dehiscens

Page 16: Geologi Regional Pegunungan Selatan

CHAPMAN, PARR dan COLLINS,Amphistegina sp., Textularia sp.,

Cibicides sp., Cassidulina sp. dan Virgulina sp.Berdasarkan

kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah Miosen

Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas

dari Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah

laut dangkal (zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan

Hartono, 2001).

9. Endapan Permukaan

Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang

lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri

dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal.

Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno

(Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan

berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier

Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi. Endapan aluvium ini

membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di sekeliling

Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan

di bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan

pasir, dengan ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen,

Semin, sampai Selatan Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini

menunjukan ciri endapan danau, pada Kala Pleistosen. Ciri lain yaitu:

terdapat secara setempat laterit (warna merah kecoklatan) merupakan

endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada morfologi

karst.

B. Pegunungan Selatan Bagian Timur

Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan

blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai

escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan

ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar

hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts

(kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas

Page 17: Geologi Regional Pegunungan Selatan

kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan

Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh

batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit,

andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

Sementara formasi Kabuh yang dijumpai di antara Madiun-Nganjuk

berada pada geomorfologi dataran-bergelombang lemah yang merupakan

sedimentasi bentukan channel (transisi).

Stratigrafi Pegunungan Selatan di Jawa Timur, telah diteliti oleh

Sartono (1964) dengan daerah telitian di daerah Punung dan sekitarnya-

Pacitan. Susunan litostratigrafinya sebagai berikut (dari tua ke muda):

Kelompok Formasi Besole, Formasi Jaten, Formasi Nampol, Formasi

Punung.

1. Formasi Besole

Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah ini.

Sartono (1964), pencetus nama formasi besole menyebutkan bahwa

satuan ini tersusun oleh dasit, tonalit, tuf dasitan, serta andesit,

dimana satuan ini diendapkan di lingkungan darat.

Nahrowi dkk (1978), dengan menggunakan satuan batuan

bernama formasi besole, menyebutkan bahwa formasi ini tersusun

oleh perulangan breksi volkanik, batupasir, tuf, dan lava bantal,

diendapkan dengan mekanisme turbidangit, pada lingkungan laut

dalam.

Samodaria dkk (1989 & 1991) membagi satuan yang bernama

formasi besole ini menjadi dua satuan yaitu formasi arjosari yang

terdiri dari perselingan batupasir dan breksi, yang diendapkan pada

lingkungan laut dangkal, dan formasi mandalika yang tersusun oleh

perselingan breksi, batupasir, serta lava bantal diendapkan pada

lingkungan laut dalam. Terlepas dari perbedaan litologi, dan

lingkungan pengendapan pada satuan yang bernama formasi besole

ini, mempunyai penyebaran menempati morfologi terjal, dan

berbukit-bukit. Oleh sartono (1964), satuan ini merupakan bagian dari

Page 18: Geologi Regional Pegunungan Selatan

kelompok batuanold andesit (van bemmelen, 1949), seperti halnya

yang terdapat di kulon progo. Jadi secara umum formasi besole

tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi), lava dan

volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan).

Djohor, 1993 meneliti singkapan di k.grindulu (pacitan-

tegalombo) menyimpulkan urutan formasi besole yang tersingkap di

daerah tersebut adalah sebagaiberikut: bagian bawah terdiri dari

breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan (greywacke), sisipan

crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok dasit).

Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik,

batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar

kolom, dibe-berapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi

basaltis, dan dasitik. Bagian atas didominasi oleh batn volkanoklastik

(perulangan konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi

dan batulempung). Didapat intrusi berupa volcanic neck berkomposisi

andesitik. Juga dijumpai sisipan tipis batulempung gampingan yang

mengandung foraminifera planktonik serta bongkah batu-gamping

berukuran mencapai ±1 m didalam tubuh tuf. Secara tidak selaras di

atasnya terdapat formasi jaten.

2. Formasi Jaten

Dengan lokasi tipenya K.Jaten – Donorojo, Pacitan (Sartono

1964), tersusun oleh konglomerat, batupasir kuarsa, batulempung

(mengandung fosilGastrophoda, Pelecypoda, Coral, Bryozoa,

Foraminifera), dengan sisipan tipis lignit. Ketebalan satuan ini

mencapai 20-150 m. Diendapkan pada lingkungan transisi – neritik

tepi pada Kala Miosen Tengah (N9 – N10).

3. Formasi Wuni

Dengan lokasi tipenya K.Wuni (anak Sungai S Basoka) – Punung,

Pacitan (Sartono, 1964), tersusun oleh breksi, aglomerat, batupasir

tufan, lanau, dan batugamping. Berdasarkan fauna koral satuan ini

berumur Miosen Bawah (Te.5 –Tf.1), berdasarkan hadirnya

Page 19: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina

praebuloides berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).

Ketebalan Formasi Wuni = 150 -200 m. Satuan ini terletak selaras

menutupi Formasi Jaten, dan selaras di bawah Formasi Nampol.

4. Formasi Nampol

Tersingkap baik di K.Nampol, Kec Punung, Pacitan

(Sartono,1964), dengann susunan batuan sebagai berikut: bagian

bawah terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas:

terdiri dari perselingan batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih

karbonan dan lapisan lignit. Diendapkan pada Kala Miosen Awal

(Sartono,1964) atau Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985),

Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri Miosen Awal –

Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-bungan

jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.

5. Formasi Punung

Dengan lokasi tipenya di daerah Punung, Pacitan, tersusun oleh

dua litofasies yaitu: fasies klastika dan fasies kar-bonat (Sartono,

1964). Fasies karbonat, tersusun oleh batu-gamping terumbu,

batugamping bioklastik, batugamping pasiran, napal, dimana satuan

ini merupakan endapan sistim karbonat paparan. Ketebalan fasies ini

200-300 m, berumur Miosen Tengah-Atas (N9-N16). Sedangkan

fasies klastika tersusun oleh perselingan batupasir tufan, batupasir

gampingan, lanau dan serpih. Ketebalan satuan ini 76 -230 m.

Berdasarkan kandungan fosil foram menunjukan umur Miosen

Tengah (N15), diendapkan pada lingkungan nertitik tepi. Hubungan

dengan fasies karbonat adalah menjari, dan kedua satuan fasies ini

menutupi secara tidak selaras Formasi Nampol (Sartono, 1964).

Sedangkan menurut Nahrowi (1979), Pringgoprawiro (1985) Formasi

Punung menutui secara tidak selaras Formasi Besole, dengan saling

menjari dengan Formasi Jaten, Wuni, dan Nampol.

Page 20: Geologi Regional Pegunungan Selatan

6. Endapan Tersier

Di daerah Pegunungan Selatan bagian Timur, endapan yang

paling muda adalah endapan terarosa dan endapan sungai yang secara

tidak selaras menutupi seri endapan Tersier.

C. Pegunungan Selatan Bagian Barat

Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa

perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin

terdapat pada bentang alam Subzona Baturagung mulai dari Formasi

Kebo-Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo

di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih kurang

berarah barat-timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan menurun

secara berangsur dari sebelah utara (200 – 350) ke sebelah selatan (50 –

150). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk

Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil

(kurang dari 50) atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di

sebelah barat, antara Prambanan-Patuk, perlapisan batuan secara umum

miring ke arah baratdaya. Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan

Sambeng dan Dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke arah timur.

Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ini mungkin disebabkan oleh sesar

blok (anthithetic fault blocks; Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya

pengkubahan (updoming) yang berpusat di Perbukitan Jiwo atau

merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam kerucut

gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan

Hartono, 2001).

Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola

anthithetic fault blocks (van Bemmelen,1949).

Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan setempat berarah

timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur Pegunungan

Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir utara-

selatan dan memotong lipatan yang berarah timurlaut-baratdaya. Bronto

dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menginterpretasikan tanda-

Page 21: Geologi Regional Pegunungan Selatan

tanda sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di sebelah

timur (Dusun Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran

besar (mega slumping) batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens.Di sebelah

barat K. Opak diduga dikontrol oleh sesar bawah permukaan yang berarah

timurlaut-baratdaya dengan blok barat relatif turun terhadap blok barat.

Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung berupa

sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunung berapi ini dengan tinggian G.

Gajahmungkur di sebelah timurlautnya diantarai oleh sinklin yang berarah

tenggara-baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan, yaitu

pada Formasi Kepek, dengan arah timurlaut-baratdaya.

D. Pegunungan Selatan Bagian Timur

Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan bagian timur berupa

perlapisan homoklin, sesar, kekar dan lipatan. Struktur utama yang

berkembang di Daerah Pegunungan Selatan Bagian Timur ini terutama

adalah sesar yang berkembang di sepanjang Sungai Grindulu dan

kemungkinan besar struktur inilah yang menimbulkan banyak dijumpai

mineralisasi di daerah ini.

Bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara

stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit

stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal

dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya

diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo,

yang menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini

mempunyai umur yang sama, keduanya hanya berbeda fasies.

1. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di

daerah pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun

dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang

merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo.

Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk

(1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran,

Page 22: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napal dan

Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera

dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan

beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville

(1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi Nanggulan ini

dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah

sebagai berikut

a) Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling

bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan

interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak

mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter

yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m.

b) Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari

bagian ini adalh Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan

banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae

ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas

adalah Nummulites djokjakartae MARTIN, bagian ini

mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

c) Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn

dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi

sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina

omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini.Ketebalan dari

anggota ini mencapai 200 m.

Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi

Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai

Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

2. Formasi Andesit Tua

Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf,

Tuf Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama

Page 23: Geologi Regional Pegunungan Selatan

terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono

Raharjo dkk, 1977).

Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter

mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan.

Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di

daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah

Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut

sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah

Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian

selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon

Progo.

Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan

aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas

ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon

Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian

Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi

Dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah

telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan

batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi Dasit

dan Trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977)

menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang

merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan

hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun

Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil

Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis

bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina

praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah

Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin

Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo

Page 24: Geologi Regional Pegunungan Selatan

berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah

berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan,

yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur

Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono

Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi

Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen

Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk,

1977) umur Formasi Tua ini adalah Oligosen.

3. Formasi Jonggrangan

Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar

desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter

dari muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.

Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang

ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan

Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping

koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas

Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini

mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598).

koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa

formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan

Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen

Tengah.

4. Formasi Sentolo

Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri

dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi

Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral

dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi

Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah

lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Page 25: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan

Darwin kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti :

Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada

bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut

Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili

zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono

Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan

penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara

Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo

ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk,

1977).

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon

Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi,

maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan

oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan

umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan

Foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain

mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian.

Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan

tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di

daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

V. Struktur Geologi Pegunungan Selatan

Menurut Sujanto dan Roskamil (1975), tektonik daerah Jawa Tengah bagian

selatan dipengaruhi oleh adanya zona penunjaman yang terletak di bagian selatan

Pulau Jawa. Samodra (1981) mengemukakan bahwa struktur yang berkembang di

Jawa Tengah mempunyai pola dengan arah Timurlaut – Baratdaya, struktur ini

berasosiasi dengan Pegunungan Meratus di Kalimantan. Prihatmoko dkk., (2002)

mengemukakan di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi

menjadi 5 struktur utama, yaitu: Citandui, Pati, Yogyakarta, Baribis dan Kendeng.

Page 26: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah

Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah.

Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan

Pegunungan Serayu.

Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah

tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah

tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut,

merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic.

Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian

selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,

kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit

pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami

denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan

gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung

Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan

Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.

Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang

datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping

koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini

dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal

sebagai Formasi Jonggrangan.

Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa

sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir

sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah

alluvial Magelang.

Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon

Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar

memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah

ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling

kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.

Page 27: Geologi Regional Pegunungan Selatan

Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan

Van Bemmelen (1945, hal.596)

Gambar 6. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan Van

Bemmelen (1945, hal.596)

Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah

sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan

gunung ijo serta pada sekitar zona sesar.

VI. Sejarah Geologi

A. Pegunungan Selatan Bagian Barat

Sejarah geologi zona Pegunungan Selatan Jawa Timur dimulai pada Kala

Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir . Mula-mula terendapkan Formasi

Wungkal-Gamping, di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan

batulanau. Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut

dangkal yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut,

formasi ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam.

Pada formasi ini terdapat terobosan yaitu intrusi diorite pendul

Kemudian terjadi pengangkatan yang menyebabkan erosi pada kisaran umur

Oligosen Awal – Tengah. Kemudian terjadi sedimentasi pada umur Oligosen

Akhir – Miosen Awal, yaitu formasi Kebo-Butak. Litologi penyusun formasi ini

di bagian bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih,

tuf dan aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung

dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas

lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Lingkungan

Page 28: Geologi Regional Pegunungan Selatan

pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbid, pada akhir

pembantukan formasi ini dipengaruhi oleh adanya aktivitas gunungapi.

Pada Kala Miosen Awal (N6 – N7) terjadi peningkatan aktivitas gunungapi

yang ditandai dengan adanya piroklastik yang cukup luas. Endapan piroklastik

menyusun satuan tuf Semilir. Satuan ini terendapakan dengan mekanisme

endapan jatuhan piroklastik. Endapan hasil erupsi gunungapi tersebut terendapkan

pada lingkungan laut dangkal. Aktivitas gunungapi memuncak pada Kala Miosen

Awal (N7). Pada kala ini terjadi letusan besar yang bersifat destruktif, membentuk

sistem kaldera. Letusan tersebut bersifat eksplosif dan menghasilkan material

gunungapi berupa pumis yang membentuk satuan breksi pumis Semilir. Satuan

breksi pumis Semilir ini terendapkan dengan mekanisme jatuhan piroklastik. Pada

fase ini pula terbentuk kaldera pada bagian puncak gunungapi dan merusak

sebagian besar dari tubuh gunungapi. Kemudian diikuti oleh fase konstruktif

dengan adanya aliran lava yang menyusun bagian bawah dari satuan breksi

andesit Nglanggran.

Selain menghasilkan material gunungapi melalui mekanisme jatuhan

piroklastik, gunungapi tersebut juga menghasilkan material melalui mekanisme

aliran lava dan aliran piroklastik yang menempati lembah-lembah berupa endapan

channel. Pada Kala Miosen Awal bagian atas hingga Miosen Tengah bagian

bawah (N7 – N9) tersebut juga terendapkan breksi andesit epiklastik yang

menyusun satuan breksi andesit Nglanggran. Bagian bawahnya tersusun oleh

breksi basal piroklastik. Satuan ini terendapkan pada lingkungan darat dengan

mekanisme high density flows. Pada fase ini, kegiatan gunungapi sudah mulai

menurun.

Kemudian pada Kala Miosen Tengah, terendapkan satuan batupasir

karbonatan Sambipitu yang didominasi oleh batupasir karbonatan yang bergradasi

secara normal menjadi batulempung karbonatan. Material ini terendapkan pada

lingkungan laut dangkal dengan mekanisme pengendapan arus turbid.

Pada kala Miosen Tengah (N9-N10) cekungan mengalami pengangkatan

kepermukaan, sehingga mengalami erosi dan terendapkan secara tidak selaras

satuan batugamping klastik. Dijumpainya batugamping yang korelasi hasil

Page 29: Geologi Regional Pegunungan Selatan

analisis foraminifera kecil, batugamping ini masuk dalam satuan batugamping

Oyo. Hal ini menandai bahwa cekungan sedimen pada waktu itu semakin tenang

yang menendakan aktifitas vulkanisme menurun. Dalam hal ini tentunya akan

berkembang dengan baik secara normal yang berkarakteristik klastik

Pada saat pengendapan terus berlangsung dan vulkanisme menurun, tetapi

secara setempat dijumpainya tuf yang mempunyai hubungan melensa dengan

satuan batugamping Oyo. Kedapatan tuf pada satuan batugamping Oyo bisa

terjadi karena pada saat kegiatan vulkanisme menurun berarti kegiatan vulkanisme

masih berjalan. Secara genesa tuf sangat dipengaruhi oleh arah angin dan gravitasi

dan itu membentuk satuan tuf Oyo.

Pada Kala Resen, sebagian material pada tinggian Zona Baturagung

mengalami pelapukan, erosi dan penggerusan oleh aktivitas fluvial. Material hasil

rombakan ini kemudian terendapkan di sebelah utara tinggian tersebut dan

membentuk satuan endapan lempung-bongkal.

Formasi wonosari tebentuk berikutnya dengan umur Miosen Tengah hingga

Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik) yang

mendangkal ke arah selatan dengan litologi didominasi oleh batuan karbonat yang

terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Pada bagian bawah

adanya hubungan menjari dengan formasi Oyo yang berarti pembentukannya

seumur dengan formasi oyo bagian atas.

Akhir pembentukan formasi Wonosari bersamaan dengan terbentuknya

formasi Kepek, batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis.

umur Formasi Kepek adalah Miosen Akhir hingga Pliosen.Lingkungan

pengendapannya adalah laut dangkal (zona neritik)

Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua

yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas

sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal.

B. Pegunungan Selatan Bagian Barat

Formasi Besole secara umum tersusun oleh satuan batuan volkanik (intrusi),

lava dan volkanoklastik (breksi, sisipan batupasir tufan). Urutan Formasi Besole:

bagian bawah terdiri dari breksi volkanik (pyroclastic), batupasir tufan

Page 30: Geologi Regional Pegunungan Selatan

(greywacke), sisipan crystal tuf, dan dibeberapa tempat dijumpai intrusi (korok

dasit). Bagian tengah tersusun oleh lava dasitik, tuf dasitik, breksi volkanik,

batupasir volkanik, dan sisipan lava basaltik dengann kekar-kekar kolom, dibe-

berapa tempat dijumpai intrusi korok berkomposisi basaltis, dan dasitik.

Bagian atas didominasi oleh batuan volkanoklastik (perulangan

konglomerat, batupasir tufan, tuf, dengan sisipan breksi dan batulempung).

Didapat intrusi berupa volcanic neckberkomposisi andesitik. Juga dijumpai sisipan

tipis batulempung gampingan yang mengandung foraminifera planktonik serta

bongkah batu-gamping . formasi ini berumur Miosen Bawah. Fiendapakan pada

lingkungan laut dangkal.

Kemudian Diendapkan formasi Jaten pada lingkungan transisi – neritik tepi

pada Kala Miosen Tengah (N9 – N10) tersusun oleh konglomerat, batupasir

kuarsa, batulempung.

Selaras diatas formasi Jaten diendapkan Formasi Wuni Berdasarkan fauna

koral satuan ini berumur Miosen Bawah (Te.5 –Tf.1), berdasarkan hadirnya

Globorotalia siakensis, Globigerinoides trilobus & Globigerina praebuloides

berumur Miosen Tengah (N9-N12) (Tim Lemigas).

Formasi Nampol dengan susunan batuan sebagai berikut: bagian bawah

terdiri dari konglomerat, batupasir tufan, dan bagian atas: terdiri dari perselingan

batulanau, batupasir tufan, dan sisipan serpih karbonan dan lapisan lignit.

Diendapkan pada Kala Miosen Awal (Sartono,1964) atau Nahrowi (1979),

Pringgoprawiro (1985), Samodaria & Gafoer (1990) menghitungnya berumuri

Miosen Awal – Miosen Tengah. Ketiga formasi (Jaten, Wuni, Nampol) berhu-

bungan jari-jemari dengan bagian bawah Formasi Punung.

Pada miosen tengah terjadi pengangkatan yang menyebabkan terjadi erosi.

Sehingga Formasi Punung menumpang tidak selaras di atas forrmasi Jaten, Wuni,

Nampol. Formasi ini diendapkan pada Miosen Tengah – Atas yang terendapkan

pada lingkungan neritik tepi.endapan yang paling muda adalah endapan terarosa

dan endapan sungai yang secara tidak selaras menutupi seri endapan Tersier.

Endapan ini berumur kuarter.