Upload
agung-dk
View
876
Download
230
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K (Gambar 1) merupakan pertemuan tiga lempeng kerak bumi (triple junction plate convergence) yang bergerak menumpu, yaitu Lempeng Pasifik yang bergerak 10 cm/tahun ke Baratlaut, Lempeng India – Australia, yang bergerak 8 cm/tahun ke Utara dan Lempeng Benua Eurasia yang relatif statis atau bergerak lambat 0,4 cm/tahun ke Selatan-Tenggara sehingga terjadi peristiwa geologi/tektonik, seperti pertumbuhan busur kepulauan, lajur kegempaan, kegitan gunungapi/magmatik, dan pembentukan cekungan.
Citation preview
1
Geologi Sulawesi Selatan
Disusun oleh:
Agung Dimas Kurniawan
Teknik Geologi - Institut Teknologi Bandung
I. PENDAHULUAN
Pulau Sulawesi yang berbentuk huruf K (Gambar 1) merupakan pertemuan tiga lempeng
kerak bumi (triple junction plate convergence) yang bergerak menumpu, yaitu Lempeng
Pasifik yang bergerak 10 cm/tahun ke Baratlaut, Lempeng India – Australia, yang
bergerak 8 cm/tahun ke Utara dan Lempeng Benua Eurasia yang relatif statis atau
bergerak lambat 0,4 cm/tahun ke Selatan-Tenggara sehingga terjadi peristiwa
geologi/tektonik, seperti pertumbuhan busur kepulauan, lajur kegempaan, kegitan
gunungapi/magmatik, dan pembentukan cekungan.
Gambar 1. Geologi regional Pulau Sulawesi (Hall, R., and Wilson, M.E.J., 2000)
2
Selat Makassar dipisahkan oleh Selat Sunda (bagian dari lempeng Eurasia) yang
berasal dari lengan utara dan Sulawesi tengah, yang terbentuk oleh pemekaran
lantai dasar samudera pada umur Miosen (Hamilton, 1979, 1989; Katili, 1978,
1989). Disebelah Utara dari pulau Sulawesi adalah Palung Sulawesi Utara yang
terbentuk dari hasil subduksi kerak samudra yang terdapat di Laut Sulawesi.
Dibagian Tenggara, konvergensi terjadi antara lengan bagian Tenggara Sulawesi
dan bagian Utara dari Laut Banda sepanjang Sesar Anjak Tolo. (silver et al.,
1983a, b). Kedua struktur utama tersebut (Palung Sulawesi Utara dan Sesar Anjak
Tolo) terhubung dengan sistem Patahan Palu-Koro-Matano (Gambar 1).
Secara litologi dan tektonik, Pulau
Sulawesi dan sekitarnya dibagi
kedalam 5 daerah tektonik (Gambar 2)
diantaranya : 1) Busur Vulkanik Barat
Sulawesi berumur Tersier; 2) Busur
Vulkanik Minahasa-Sangihe berumur
Kuarter; 3) Sabuk Metamorfik
Sulawesi Tengah berumur Kretasius-
Paleogen; 4) Sabuk Ofiolit Timur
Sulawesi berumur Kretasius; 5)
Fragmen Banda micro-continental
berumur Paleozoic yang berasal dari
Benua Australia (Hamilton, 1978,
1979; Sukamto dan simandjuntak,
1981; met-calfe, 1988, 1990; Audley –
Charles dan Hariiss, 1990; Audley-Charles, 1991; Davidson, 1991 dalam Darman
& Sidi., 2000). Kontak antar daerah tektonik berupa sesar.
Busur Vulkanik Barat Sulawesi memanjang dari lengan Selatan hingga lengan
Utara. Secara umum busur tersebut berkomposisi batuan vulkanik-plutonik
berumur Paleogen-Kuarter dengan batuan metamorf dan batuan sedimen berumur
Mesozoikum – Tersier. Secara stratigrafi, Busur Vulkanik Barat Sulawesi dibagi
Gambar 2. Pembagian daerah tektonik Pulau
Sulawesi (Darman & Sidi., 2000)
3
lagi menjadi dua yaitu sistem Sulawesi Selatan dan sistem Sulawesi Utara. Pada
tulisan kali ini hanya sistem Sulawesi Selatan yang akan diulas dan dibahas.
II. GEOLOGI SULAWESI SELATAN
Kondisi geologi Sulawesi Selatan bagian barat dan timur sangat berbeda yang
dipisahkan oleh Depresi Walanea dengan arah Utara-Baratlaut – Selatan-
Tenggara. Secara struktur, Sulawesi Selatan dipisahkan dari busur Sulawesi Barat
oleh depresi Baratlaut – Tenggara yang melewati Danau Tempe. Aktifitas tektonik
dari Sulawesi Selatan dapat dibagi menjadi lima bagian berdasarkan umur dan
aktifitas geologi utama yang mewakili umur tersebut. Pembagian tersebut mulai
dari umur yang tertua adalah kompleks batuan dasar Mesozoikum, sedimentasi
Kapur Akhir, vulkanisme Paleosen, vulkanisme dan sedimentasi Eosen hingga
Miosen, vulkanisme dan sedimentasi Miosen hingga Resen. Penjelasannya dapat
dibaca di bawah ini.
Gambar 3. Peta geologi dari Sulawesi Tengah bagian Barat dan Sulawesi Selatan (after Sukamto,
1975; Sukamto, 1982; Sukamto & Supriana, 1982; Djuri & Sudjatmiko, 1974; Coffield et al, 1993
dalam Darman & Sidi., 2000 dengan modifikasi)
4
II.1. Kompleks Batuandasar
Mesozoikum
Batuandasar tersingkap pada dua daerah
yaitu di setengah bagian Barat dari
Sulawesi Selatan dekat dengan Bantimala
dan Barru dan mempunyai komposisi
batuan metamorf, ultrabasa, dan batuan
sedimen (Gambar 3). Batuan metamorf
meliputi amfibolit, eklogit, sekis mika,
kuarsit, filit klorit-feldspar dan filit grafit.
Pentarikhan K/Ar pada sekis garnet-
muskovit dan sekis kuarsa-muskovit yang
berasal dari kompleks Bantimala
menghasilkan umur 111 Ma dan 115 ± 7
Ma. Hal yang sama dilakukan oleh Wakita
et al (1994) dalam Darman & Sidi (2000)
yang melakukan pentarikhan pada lima
buah sampel sekis dari komples Bantimala
dan sebuah sampel dari Barru
menggunakan analisis K/Ar menghasilkan umur 132 – 114 Ma dan 106 Ma.
Berdasarkan data umur tersebut dapat disimpulkan bahwa batuan dasar tersebut
mengambil posisi di Sulawesi Selatan pada Kapur Akhir.
Secara tidak selaras dan interkalasi tektonik, di atas batuan metamorf tersebut
diendapkan siliceous shale merah dan abu, batupasir feldspatik, batulanau
feldspatik, baturijang radiolaria, peridotit terserpentinisasi, basalt dan diorit.
Pentarikhan umur dilakukan pada radiolaria yang diekstrak dari baturijang
menghasilkan umur Albian akhir hingga Cenomanian (Wakita et al., 1994 dalam
Darman & Sidi., 2000). Kehadiran batuan metamorf tersebut mirip dengan batuan
metamorf di Jawa, Pegunungan Meratus di Kalimantan Tenggara dan di Sulawesi
Tengah sehingga dapat disimpulkan bahwa kompleks batuandasar di Sulawesi
Gambar 4. Korelasi stratigrafi
Pegunungan bagian Barat dengan
Pegunungan Bone/ Cekungan Sengkang.
(Wilson & Bosence., 1996, van
Leeuwen, 1981, Sukamto, 1982,
Sukamto & Supriatna, 1982, Grainge &
Davies., 1983 dalam Darman & Sidi.,
2000)
5
Selatan kemungkinan merupakan fragmen kompleks prisma akresi yang terpisah
pada waktu Kapur Awal (Gambar 7).
Gambar 5. Penampang Barat-Timur dari Sulawesi Selatan (Coffield et al., 1993 dalam Darman &
Sidi., 2000)
II.2. Sedimentasi Kapur Akhir
Sedimen Kapur Akhir meliputi Formasi Balangbaru dan Formasi Marada di
bagian Barat dan bagian Timur dari Sulawesi Selatan bagian Barat (Gambar 3).
Formasi Balangbaru secara tidak selaras berada di atas kompleks batuandasar
yang mempunyai komposisi batupasir berlapis dan batulanau menyerpih dengan
sedikit konglomerat, batupasir kerikilan dan breksi konglomerat. Formasi Marada
berkomposisi urut-urutan selang-seling dari batupasir, batulanau dan serpih.
Batupasir sebagian besar berupa feldspathic greywacke dengan setempat
karbonatan berkomposisi butiran kuarsa angular – subangular, plagioklas,
ortoklas dengan biotit, muskovit, fragmen lithik angular yang tertanam dalam
matriks mineral lempung, klorit dan serisit. Perlapisan bergradasi secara setempat
hadir pada batupasir dan batulanau. Unit yang lebih kasar dari Formasi
Balangbaru mengandung struktur sedimen yang bercirikan endapan aliran
gravitasi termasuk kemas yang tidak beraturan dari aliran debris, perlapisan
bergradasi dan struktur sedimen lain yang mengindikasikan arus turbidit.
6
Batuan dan fauna dari Formasi Balangbaru dan Formasi Marada yang seumur ke
arah timur menunjukkan ciri dari lingkungan laut terbuka, laut dalam hingga
bathial. Formasi Marada diinterpretasikan merupakan bagian distal dari Formasi
Balangbaru berdasarkan sifat dan ukuran butir batuannya. Seting tektonik dari
Formasi Balangbaru diinterpretasikan merupakan cekungan depan busur kecil
pada daerah kemiringan palung.
Gambar 6. Magmatisme Tersier hingga Kuarter di Sulawesi Selatan. A: Batuan seri kalk-alkali
hingga shoshonitik, (1) Formasi Bua dan (2) Formasi Langi. B: (3) N-MORB, Formasi
Kalamiseng, (4) Kalk-Alkali intrusi granit, (5) Lava kalk-alkali, fasies sedimen dan fasies sedimen
vulkanik Formasi Camba I. C: Seri batuan alkali potasik hingga shoshonitik, (6) Formasi
Baturape, (7) Formasi Cindako, (8) Formasi Camba II, (8a) Sabuk Pegunungan bagian Barat, (8b)
Daerah Biru, (9a) Formasi Sopeng I, (9b) Formasi Sopeng II, (10) Formasi Parepare. D: Seri
alkali-potasik hingga sangat jenuh silika, (11) Formasi Lampobatang. (Yuwono et al., 1988)
7
II.3. Vulkanisme Paleosen
Vulkanisme berumur Paleosen muncul pada wilayah yang sangat sempit di bagian
Timur dari Sulawesi Selatan dan secara tidak selaras berada di atas Formasi
Balangbaru. Di daerah Bantimala dikenal sebagai Vulkanik Bua dan di daerah
Biru dikenal dengan Vulkanik Langi (Gambar 6). Formasi ini terdiri atas lava dan
endapan piroklastik dengan komposisi andesitik dan trachy-andesitik dengan
sedikit interkalasi batugamping dan lempung ke arah atas dari sekuen.
Berdasarkan pentarikhan umur dengan metode fission track pada tuff dari sekuen
bagian bawah dihasilkan umur Paleosen (+63 Ma). Berdasarkan kehadiran kalk-
alkaline dan pengkayaan beberapa unsur tanah langka ringan, diduga bahwa
vulkanisme yang muncul memiliki hubungan dengan subduksi dengan arah
kemiringan ke Barat.
II.4. Vulkanisme dan Sedimentasi Eosen hingga Miosen
Formasi Malawa mempunyai komposisi batupasir arkose, batulanau,
batulempung, napal dan konglomerat, interkalasi dengan lapisan atau lensa
batubara dan batugamping. Formasi ini terdapat di bagian Barat dari Sulawesi
Selatan secara tidak selaras berada di atas Formasi Balangbaru dan setempat di
atas Vulkanik Langi (Gambar 3). Umur Paleogen dari formasi ini disimpulkan
dari palynomorph dimana ostracoda menunjukkan umur Eosen. Formasi Malawa
diduga diendapkan pada lingkungan laut teresterial/marginal dengan
kenampakkan transgresif ke arah atas hingga lingkungan laut dangkal.
Formasi Tonasa yang berkomposisi batugamping secara tidak selaras berada di
atas Formasi Malawa atau Vulkanik Langi (Gambar 3 dan 4). Formasi ini terdiri
dari empat anggota yaitu A, B, C dan D dari bawah hingga atas. Anggota A terdiri
dari kalkarenit yang berlapis baik, anggota B terdiri dari batugamping masif
dengan perlapisan yang tebal, anggota C teridiri dari batugamping detritus dengan
sekuen yang tebal dengan foraminifera yang melimpah, anggota D mempunyai
karakter melimpahnya material vulkanik dan olistolit batugamping dengan umur
yang beragam. Umur dari Formasi Tonasa adalah Eosen hingga Miosen Tengah.
Formasi Tonasa pada bagian tepi selatan menunjukkan tipe margin yang berundak
8
sedangkan Formasi Tonasa pada bagian tepi utara yang merupakan tinggian
karbonat Tonasa menunjukkan sebagian besar berupa fasies laut dangkal.
Formasi Malawa dan Formasi Tonasa penyebarannya meluas di bagian Barat dari
Sulawesi Selatan. Formasi ini tidak tersingkap di bagian Timur dari Depresi
Walanae (Gambar 3), hanya sedikit yang tersingkap Formasi Tonasa batugamping
di Maborongnge.
Formasi Salo Kalupang hadir di bagian Timur dari Sulawesi Selatan (Gambar 3).
Formasi ini berkomposisi batupasir, serpih dan batulempung yang berlapis dengan
konglomerat vulkanik, breksi, tuff, lava, batugamping dan napal. Berdasarkan
teknik pentarikhan umur foraminifera Formasi Salo Kalupang, dipercaya bahwa
umurnya mempunyai kisaran dari Eosen Awal hingga Oligosen Akhir. Formasi ini
sebaya dengan Formasi Malawa dan bagian bawah dari Formasi Tonasa.
Formasi Kalamiseng tersingkap di sebelah Timur dari Depresi Walanae (Gambar
3) yang terdiri dari breksi vulkanik dan lava yang membentuk lava bantal dan
aliran. Litologi ini berlapis dengan tuff, batupasir, dan napal. Lava mempunyai
karakter basalt spilitik dan diabas yang telah termetamorfosa fasies sekis hijau.
Pegunungan Bone diinterpretasikan merupakan bagian dari sekuen ofiolit
berdasarkan nilai anomali gravity yang tinggi dan basalt punggungan tengah
samudera. Pentarikhan umur K/Ar dari lava bantal pada Formasi Kalamiseng
memberikan hasil Miosen Awal (17.5 ± 0.88 dan 18.7 ± 0.94) sehingga dapat
disimpulkan kehadiran lava bantal di Sulawesi Selatan pada umur tersebut.
Tubuh intrusi tersingkap di bagian Timur dari daerah Biru dan Tonasa-I dengan
hasil pentarikhan umur dengan metode fission track berupa Miosen Awal. Tubuh
intrusi tersebut merupakan vulkanik kalk-alkaline bagian bawah dari Formasi
Camba dan diduga berasal dari penunjaman Miosen Awal. Ketidakkonsistenan
dengan umur Miosen Tengah atau Miosen Tengah-Akhir kemungkinan karena
kehadiran foraminifera pada sedimen laut yang berlapis dengan vulkaniklastik.
Formasi Camba bagian bawah mempunyai komposisi batupasir tufaan, berlapis
9
dengan tuff, batupasir, batulempung, breksi vulkanik, konglomerat vulkanik,
napal, batugamping dan batubara.
Formasi Bone dilaporkan oleh Grainge & Davies (1985) dalam Darman & Sidi
(2000) dari sumur Kampung Baru-I di daerah Sengkang berkomposisi bioklastik
wackestone dan foraminifera plangtonik packstone berbutir halus yang berlapis
dengan batulempung karbonatan. Batugamping telah dilakukan pentarikhan umur
dan menghasilkan Miosen Awal (N6 – N8).
II.5. Vulkanisme dan Sedimentasi Miosen hingga Resen
Bagian atas dari Formasi Camba biasa disebut dengan Vulkanik Camba terletak di
bagian Barat (Gambar 3). Vulkanik Camba mempunyai komposisi breksi
vulkanik, konglomerat vulkanik, lava dan tuff yang berlapis dengan sedimen laut.
Pentarikhan umur dari foraminifera menandakan umur Miosen Tengah – Akhir.
Vulkanik Lemo secara tidak selaras berada di atas dari Vulkanik Walanae
berumur yang berumur Miosen di daerah Biru. Pentarikhan umur K/Ar dari
Vulkanik Lemo menghasilkan umur Pliosen. Sukamto (1982) dalam Darman &
Sidi (2000) memasukkan Vulkanik Lemo sebagai bagian dari Vulkanik Camba
walaupun secara umur tidak terkait dengan Vulkanik Camba yang berumur
Miosen Akhir.
Bagian bawah dari Vulkanik Camba sebaya dengan Vulkanik Sopo yang berumur
Miosen Tengah di daerah Biru. Bagian atas dari Vulkanik Camba diasumsikan
mirip dengan Vulkanik Pammesurang di daerah Biru. Yuwono et al (1988) dalam
Darman & Sidi (2000) membagi Vulkanik Camba menjadi dua anggota yaitu
Camba IIa yang merupakan alkali potassik dan Camba IIb yang merupakan alkali
ultrapotassik. Berdasarkan pentarikhan umur K/Ar pada Vulkanik Camba II
didapatkan umur Miosen Akhir (9.91 + 0.5 Ma – 6.27 ± 0.31 Ma).
Unit vulkanik dengan umur Miosen hingga Pleistosen di Sulawesi Selatan
meliputi Vulkanik Baturape yang merupakan seri litologi ekstrusif dan intrusif
alkali potassik dengan pentarikhan umur K/Ar menghasilkan Miosen Tengah
10
(12.8 + 0.64 Ma), Vulkanik Cindako yang mempunyai karakteristik menyerupai
Vulkanik Baturape tetapi pentarikhan umur K/Ar menghasilkan Miosen Akhir
(8.2 + 0.41 Ma). Keberadaan dua anggota vulkanik ini dikelompokkan menjadi
satu oleh Sukamto (1982) dalam Darman & Sidi (2000) dengan umur Pliosen Atas
berdasarkan posisi ketidakselarasan di atas Formasi Camba.
Vulkanik Sopeng mempunyai umur Miosen Akhir (Yuwono et al., 1987 dalam
Darman & Sidi., 2000) sementara Sukamto (1982) dalam Darman & Sidi (2000)
menginterpretasikan vulkanik ini berumur Miosen Awal dihitung dari keselarasan
di atas Formasi Camba. Vulkanik Parepare merupakan sisa vulkano-strato yang
berkomposisi aliran lava menjari dan breksi piroklastik dengan pentarikhan umur
metode K/Ar menghasilkan Miosen Akhir. Lava berkomposisi intermediet hingga
asam.
Vulkanik Plio/Pleistosen dari Lampobatang vulkano-strato di sebelah Selatan dari
Sulawesi Selatan mencapai ketinggian 2,871 m. Vulkanik ini berkomposisi tidak
jenuh silika pada alkali potassik dan lebih asam jenuh silika shoshonitik pada
aliran lava dan breksi piroklastik.
Batuan vulkanik Miosen Tengah hingga Pleistosen di Sulawesi Selatan meliputi
anggota Formasi Camba yang bersifat alkali dihasilkan dari pelelehan sebagian
dari mantel atas (phlogophite – bearing peridotite) yang sebelumnya terjadi
pengkayaan unsur kompatibel oleh metasomatisme. Hal ini kemungkinan dapat
dihubungkan dengan penunjaman sebelumnya pada Miosen Awal dalam
distensional intraplate context (Yuwono et al., 1987 dalam Darman & Sidi.,
2000). Bemmelen (1949) dalam Darman & Sidi (2000) menyatakan bahwa sifat
alkali dari batuan vulkanik ini disebabkan oleh asimilasi kelebihan batugamping
dalam larutan dan ketidakhadiran material benua dalam penunjaman busur
vulkanik. Magmatisme Neogen di Barat dari Sulawesi Tengah berhubungan
dengan penebalan dan pelelehan dari litosfer. Sifat bimodal dari batuan beku
berumur Neogen di daerah ini diperkirakan dari pelelehan mantel asal peridotit
11
dan kerak alkalin basaltik (shoshonitik) dan larutan berkomposisi granitik
(Gambar 7).
Sedimentasi Miosen Akhir ditandai dengan berkembangnya Formasi Tacipi.
Formasi Walanae setempat secara tidak selaras berada di atas Formasi Tacipi dan
menjari. Formasi Walanae berumur Miosen Tengah hingga Pliosen (N9 – N20)
berdasarkan foraminifera. Pada cekungan Sengkang Timur di Formasi Walanae
dapat dibagi menjadi dua interval, yaitu interval bawah yang dibentuk oleh
batulumpur karbonatan dan interval atas yang lebih arenaceous. Singkapan
interval bawah secara intensif berada di bagian Selatan dari cekungan yang
menjari dengan lereng karang dari Formasi Tacipi (Gambar 4).
Batugamping di ujung Selatan dari Sulawesi Selatan dan di Pulau Selayar
dinamakan Batugamping Selayar yang merupakan anggota dari Formasi Walanae.
Anggota Selayar berkomposisi batugamping koral dan kalkarenit yang
berinterkalasi dengan napal dan batupasir karbonatan. Unit karbonat ini
mempunyai kisaran umur Miosen Atas hingga Pliosen (N16 – N19). Sukamto &
Supriatna (1982) dalam Darman & Sidi (2000) melaporkan bahwa adanya
hubungan menjari antara Formasi Walanae dengan batugamping Selayar di Pulau
Selayar (Gambar 4).
Endapan teras, aluvial, lakustrin dan pantai terbentuk setempat di Sulawesi
Selatan. Pengangkatan Resen dari Sulawesi Selatan ditandai dengan naiknya
endapan karang koral.
12
Tahapan evolusi tektonik Sulawesi Selatan menurut Yuwono et al (1988) dapat
dilihat pada gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7. Tahapan evolusi tektonik Sulawesi Selatan. Inset: profile posisi A-B (Yuwono et al.,
1988)
13
DAFTAR PUSTAKA
Darman, H & Sidi, H. F., 2000: An Outline of The Geology of Indonesia,
Indonesian Association of Geologist, Jakarta, Indonesia
Yuwono, Y. S., Maury, R. C., Soeria-Atmadja, R., Bellon, H., 1988: Tertiary and
Quarternary Geodynamic Evolution of South Sulawesi: Constraints from
the Study of Volcanic Units, Journal Indonesian Association of Geologist,
Indonesia
Hall, R & Wilson, M. E. J., 2000: Neogen Sutures in Eastern Indonesia, Journal
of Asian Earth Science 18, SE Asia Research Group, Department of
Geology, Royal Holloway University of London, United Kingdom