Upload
dangnhan
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GHULUW DALAM BERAGAMA PERSPEKTIF WAHBAH AL-
ZUHAILÎ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ziana Maulida Husnia
NIM: 11140340000111
PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ABSTRAK
Ziana Maulida Husnia. Ghuluw Dalam Beragama Perspektif Wahbah al-
Zuhailî.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., sebagai pedoman hidup bagi umat manusia. Dalam menjali kehidupan sehari-
hari tanpa disadari terkadang mereka melakukan sifat ghuluw atau berlebih-lebihan
sehingga melampaui batas yang telah ditentukan oleh Allah Swt., di dalam al-
Qur’an Allah telah melarang umat-Nya untuk melakukan sifat ghuluw.
Di dalam al-Qur’an kata ghuluw disebutkan dengan fi’il nahyi (bentuk kata
kerja larangan), yang mana disebutkan sebanyak 2 kali. Yang terdapat dalam surat
al-Nisâ’ [4] ayat 171 dan surat al-Mâ’idah [5] ayat 77.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang tergolong kualitatif.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu
kitab al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj karya Wahbah
al-Zuhailî dan data-data sekunder yang berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Data akan dianalisa dengan
metode deskriptif analisis.
Setelah melakukan penelitian, penulis berkesimpulan bahwa menurut
Wahbah al-Zuhailî, Allah SWT. telah melarang umat-Nya untuk bersifat ghuluw
dalam beragama, sedangakan sifat yang diinginkan oleh al-Zuhailî yakni bersikap
moderat dalam beragama. Yakni sikap diantara mengagungkan dan melecehkan Isa.
Menurut pandangan al-Zuhailî, ghuluw dalam beragama merupakan sikap
melampaui batas yang diakibatkan oleh sikap ceroboh, gegabah, dan berlebih-
lebihan dalam beragama secara batil dan tidak benar.
Kata kunci: Agama, Ghuluw, dan Wahbah al-Zuhailî.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puja, puji dan syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat, taufiq,
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak
lupa shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, yakni
Nabi Muhammad saw. yang mudah-mudahan kita mendapatkan syafaat di hari
kiamat nanti. Alhamdulillah atas izin Allah swt. penelitian tentang “Ghuluw
dalam beragama perspektif Wahbah al-Zuhailî” dapat diselesaikan oleh penulis.
Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag.) di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis
telah berusaha dengan semaksimal mungkin, mencurahkan segenap kemampuan
untuk menyelesaikan penelitian yang berjudul “Ghuluw dalam beragama
perspektif Wahbah al-Zuhailî.”
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan baik ini, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Selaku Dekan Fakultas Usuluddin
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir.
4. Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir, serta Civitas Akademik Fakultas Ushuluddin.
5. Dosen Penasihat akademik, Bapak Jauhar Azizy, MA., yang banyak
memberi masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Dosen Pembimbing Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., yang memberikan
ilmu, arahan dan motivasi kepada penulis sampai terjuwudnya skripsi ini
dengan baik.
vii
7. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., dan Bapak Moh. Anwar Syarifuddin, MA.,
yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan ikhlas
memberikan ilmunya sehingga membuat penulis mampu menyelesaikan
menulis skripsi.
9. Yang Tercinta Kedua orang tua penulis Ayahanda H. Achmad Kahfi Y, dan
Ibunda Hj. Miftahur Rohmah, yang senantiasa mendoakan di setiap
sujudnya, mendukung, menyemangati dan memberikan segalanya kepada
penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini.
10. Guru-guru penulis, guru-guru di TK Aisyiah Padangan, guru-guru MI
Irsyadusy Syubban Padangan, MTS Assalam Tuban dan guru-guru
Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) Amanatul Ummah, yang telah
berjasa serta ikhlas memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis.
11. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama‟,
dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang telah memberikan
fasilitas serta rujukan sebagai sumber referensi dalam penulisan skripsi ini.
12. Adek-adek tercinta Zulfa Nabila Fitria, Zakiya Alya Rachma, dan Zidan
Nawwaf Al-Kaff, yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan studi ini.
13. Dede Yasep Jalaludin, yang telah banyak membantu dan memberikan
dukungan yang sepenuhnya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir 2014, serta teman-
teman TH C angkatan 2014, yang telah menemani dalam menimba ilmu di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
15. Sahabat-sahabat penulis, Fradhita Sholihah, Siti Aisyah, Saibatul Aslamiah
Lubis, dan Rizkiyatun Hozaituna”, yang mendampingi dan menopang
penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini, terutama kepada Zakiya
Oktaviani, selaku teman kosan. Semoga kalian semua menjadi orang-orang
yang sukses dan berguna bagi bangsa dan agama.
viii
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan
bahkan jauh sampai pada sempurna. Untuk itu penulis meminta maaf dan juga
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman dan dosen-dosen sekalian serta
pembaca sekalian. Akhir dari semua ucapan penulis adalah semoga budi baik
atau jasa dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini, yaitu semoga mendapat balasan yang kebaikan dari Allah swt.
Amîn.
Ciputat, 25 September 2018
Ziana Maulida Husnia
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .............................................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ix
TRANSLITASI ............................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. ............................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7
D. Manfaat dan Kegunaan penelitian .............................................................. 7
E. Kajian Pustaka ............................................................................................ 8
F. Metodelogi Penelitian ............................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 12
BAB II PANDANGAN UMUM AGAMA DAN GHULUW
A. Penjelasan Tentang Agama. ...................................................................... 13
B. Penjelasan Tentang Ghuluw. ..................................................................... 16
1. Pengertian Ghuluw. .............................................................................. 16
x
2. Kata Lain Yang Semakna dengan Ghuluw. ......................................... 18
3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Timbulnya Ghuluw dalam Ber-
agama ................................................................................................... 21
4. Tabi‟at Ghuluw dalam Kehidupan Orang-orang Muslim
Kontemporer. ....................................................................................... 24
5. Kriteria Ghuluw. ................................................................................... 25
6. Bentuk-bentuk Ghuluw. ....................................................................... 30
7. Cara Mengobati dan Solusi Terhadap Sifat Ghuluw dalam Agama .... 31
BAB III WAHBAH AL-ZUHAILî DAN TAFSIRNYA
A. Biografi Wahbah Al-Zuhailî ..................................................................... 35
1. Latar Belakang Kehidupan ................................................................... 35
2. Pendidikan ............................................................................................ 36
3. Karir Intelektual ................................................................................... 38
B. Karya-karya Wahbah Al-Zuhailî .............................................................. 39
C. Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî .................................................................. 42
D. Seputar Kitab Tafsîr Al-Munîr .................................................................. 42
1. Gambaran Umum Tafsir Al-Munîr....................................................... 42
2. Tujuan Penulisan. ................................................................................. 44
3. Metode Penafsiran Tafsir Al-Munîr ..................................................... 45
4. Karakteristik Tafsir Al-Munîr .............................................................. 47
5. Keistimewaan Tafsir Al-Munîr. ........................................................... 48
6. Pendapat ulama terhadap Tafsir Al-Munîr ........................................... 49
BAB IV TAFSIRAN GHULUW DALAM BERAGAMA
A. Ghuluw Ahlu al-Kitab: Kajian Utama ...................................................... 51
xi
B. Ghuluw Sebagai Kajian Pelengkap ........................................................... 61
C. Pelajaran Bagi Kaum Muslim Mengenai Ghuluw .................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 67
B. Saran-saran .......................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 68
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan
b Be
t Te
ts te dan es
j Je
ẖ ha dengan garis di bawah
kh ka dan ha
d De
dz de dan zet
r Er
z Zet
s Es
sy es dan ye
s es dengan garis di bawah
ḏ de dengan garis di bawah
ṯ te dengan garis di bawah
ẕ zet dengan garis di bawah
ʻ Koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha
f Ef
q Ki
k Ka
l El
xiii
m Em
n En
w We
h Ha
` Apostrof
y Ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatẖah
i Kasrah
u Ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas
xiv
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-
diwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setalah kata sandang yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
رررة tidak ditulis “ad-darûrah” melainkan “al-ḏarūrah”, demikian الض
seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
matbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
1 Ṯarîqah
2 Al-jâmi‟ah al-islâmiyah
3 Waẖdat al-wujûd
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri,
dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang,
xv
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan
Abû Hamîd Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاذ
tsabata al-ajru ثبت ألجر
al-ẖarakah al-„asriyyah الحركة العصرية
شهد أن ال إله إال هللاا asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
الح Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الص
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak pelru
dialihaksaraka. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd,
Mohamad Roem, bukan Muẖammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Raẖmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia
yang terkandung dalam kitab suci turun-temurun diwariskan oleh suatu generasi
ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi
manusia agar mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.1
Agama Islam yang mengandung jalan hidup manusia yang paling
sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan
dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar dan perundang-undangannya
melalui al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber utama dan mata air yang
memancarkan ajaran Islam.2
Manusia membutuhkan agama di dalam kehidupannya, yaitu sebagai
pegangan hidup baik untuk kehidupan di dunia maupundi akherat kelak. Sudah
barang tentu agar semuanya itu dapat dicapai maka ia harus dapat menjaga
keseimbangan antara dua kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan
rohani. Kebutuhan rohani (agama) mengandung dua dimensi, yaitu hubungan
vertikal (hubungan manusia dengan pencipta) dan hubungan horizontal (hubungan
manusia dengan sesama mahkluk Tuhan lainnya).
Keberagamaan sering dijadikan terjemahan dari kata religiositas.
Religiositas berasal dari kata religious yang merupakan kata sifat dari kata benda
religio.Agama berasal dari bahasa sangskerta. Beragama adalah kecenderungan
1Muhammaddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama,”JIA xiv, no. 1 (Juni 2013) h. 104. 2M.H. Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 21.
2
yang tidak dapat dielakkan manusia. Sekalipun nalar mengalami keterbatasan
dalam memahami doktrin-doktrin agama, tetapi manusia dipaksa oleh nalarnya
untuk mengakui agama.3
Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia sebagai pedoman,
aturan dan undang-undang Tuhan yang harus di taati dan mesti dijalankan dalam
kehidupan.Agama sebagai way of life, sebagai pedoman hidup yang harus
diberlakukan dalam segala segi kehidupan.Orang yang beragama dapat
mendisiplinkan dirinya sendiri, menguasai nafsunya sesuai dengan ajaran agama.
Orang yang beragama cendrung berbuat baik sebanyak-banyaknya, dengan
hartanya, tenaganya dan pikirannya, dia akan berusaha sehabis daya upayanya
untuk menghindarkan dirinya dari segala perbuatan yang keji dan munkar. Selain
itu agama merupakan unsur mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan
membangun kehidupan sosial yang rukun dan damai.4
Agama mempunyai pengaruh yangsangat kuat terhadap sikap pemeluknya,
ini terbukti dengan adanya fungsi dan peran agama yang menyangkut motivasi,
nilai etik dan harapan. Motifasi beragama yang kuatakan membuat sikap
pemeluknya menjadi baikdan rela berkorban, sedangkan dengan nilai etikyang
tinggi yang dimiliki akan membuat sikap pemeluknya menjadi orang yang selalu
berlaku jujur serta menepati janji dan menjaga amanat dengan sebaik-baiknya.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap
agama, di antaranya yaitu: fitrah manusia, kelemahan dan kekurangan manusia,
dan tantangan manusia.5 Islam telah memprolamirkan dirinya sebagai agama yang
3M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017),
h. 1. 4Muhammaddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama,”h. 109. 5Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) h. 16-20.
3
sarat dengan muatan atau ajaran moderat (wasatan) dalam segala hal.Ajaran yang
adil, berada di tengah, tidak di pinggir kanan, dan juga tidak di pinggir kiri.Tidak
keras menakutkan dan tidak lembek tanpa harga diri. Tidak memberatkan sekali
sehingga membuat susah, namun tidak ringan sekali sehingga disepelekan. Islam
adalah ajaran yang mustaqim (lurus).6
Meskipun diyakini Islam merupakan agama penyebar kedamaian, namun
fenomena yang muncul justru sebaliknya, fakta menunjukan bahwa ada sebagian
umat Islam tidak memahami nilai-nilai moderat, mereka tidak mengakui
pluralitas, tidak menghargai kemajemukan yang tumbuh dalam masyarakat.
Munculnya berbagai kelompok teroris yang mengkalim sebagai representasi umat
adalah salah satu buktinya. Tidak sedikit umat Islam berpandangan bahwa jihad
sama dengan perang.7
Dalam al-Qur’an, untuk mengungkapkan makna berlebihan dalam agama
adalah menggunakan istilah ghuluw. Meskipun ada beberapa istilah yang
memiliki makna yang sama dengan istilah ghuluw, misalnya tatharruf dan ifrath,
namun istilah ghuluw ini dipandang lebih tepat. Secara bahasa, ghuluw berarti
melampaui batas atau hal-hal yang berlebihan.8Sedangkan ghuluw menurut istilah
syara’ adalah perbuatan atau sikap yang keretlaluan, berlebih-lebihan dalam
memuliakan atau meninggikan derajat seseorang sehingga ditempatkan pada
kedudukan yang bukan semestinya.9 Ghuluw atau sikap berlebih-lebihan dalam
6Junaidi Abdillah, “Dekontruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan,”Analisis xi, no. 1 (Juni
2011), h. 73. 7Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gema Media,
2003), h. 38. 8 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1015. 9Mansur Said, Bahaya Syirik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 97.
4
agama merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya dalam sejarah agama-
agama samawi.10
Surat Nuh ayat 25-26 menjelaskan bahwa disebabkan keingkaran-
keingkaran dan dosa-dosa yang telah dilakukan kaum Nuh, maka mereka
ditenggelamkan dalam banjir yang dahsyat. Dalam keadaan demikian tidak
seorangpun yang dapat menghindar dari azab Allah ini, sedang dewa-dewa yang
mereka sembah pun tidak dapat menolong mereka dari kehancuran. Maka dalam
ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa surat Nuh ayat 25-26 ini, merupakan
balasan orang-orang ghuluw di masa kaum Nabi Nuh.11
Menurut buku Ensiklopedi kitab-kitab tafsir, Wahbah Al-Zuhailî adalah
seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di bidang fikih beliau juga
seorang ahii tafsir. Hampir dan seluruh waktunya semata-mata hanya difokuskan
untuk mengembangkan bidang keilmuan.Beliau adalah ulama yang hidup diabad
ke20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Thahir ibn Asyur, Said
Hawwa. Sayyid Qutub, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut. Alî
Muhammad al Khafif. Abdul Ghani, Abdul Khaiiq, dan Muhammad Salam
Madkur.12 Al-Zuhailî di daerah Syam, sangat dikenal baik sebagai ulama maupun
cendekiawan muslim, beliau juga seorang hafiz al-Qur’an.13
Sosok al-Zuḥailî dikenal secara luas sebagai salah seorang pakar
hukumIslam dan ushul fiqih kelas dunia, sebagaimana ja juga sebagai
seorangintelektual publik dan penceramah yang populer. Dalam perannya di
10Zubair Syarif, “Ghuluw; Penyakit yang Membahayakan Umat,”Salafy vii, t.t., h. 51. 11UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT Dhana Bakti Waqaf, 1995), h. 404. 12Lisa Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur’an: Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah Al-Zuḥailî,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2010), h. 18. 13A. Husnul Hakim Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab Tafir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013), h. 227.
5
Majlis a1-Iftâ Syria, beliau bertugas memberikan fatwa. Banyak fatwa-fatwa yang
beliau berikan dipandang sangat moderat.14
Kepribadian beliau adalah sangat terpuji di kalanganmasyarakat Syiria
baik itu dalam amal-amal ibadahnya maupun ketawadhuannya, di samping juga
memiliki pembawaan yangsederhana. Meskipun memiliki mazhab hanafi, namun
dalampengembangan dakwanya beliau tidak mengedepkan mazhab atau
aliranyang dianutnya, dan tetap bersikap netral dan proporsional.15
Demikianlah sikap ghuluw yang pernah terjadi, bahkan dalam tradisi dan
budaya umat Islam yang diwariskan oleh nenek moyang. Hal ini perlu disadari
dan diketahui, karena binasanya umat-umat sebelum Nabi Muhammad ini
disebabkan oleh sikap ghuluw dalam beragama.Pentingnya mengetahui ghuluw
dalam beraga ini adalah agar umat Islam tidak terjebak dalam perbuatan syirik,
dan agar tidak keliru dalam menjalankan syariat-syariat agama.Banyak di anatara
umat Islam yang tidak menyadari bahwa apa-apa yang telah dilakukan mereka
seringkali mengandung unsur ghuluw di dalamnya dan tanpa disadari, ternyata
perbuatannya mengarah kepada kesyirikan.Misalnya, meminta-minta di kuburan
orang-orang salih.
Berangkat dari hal inilah penulis merasa perlu untuk membahas hal ini.
Bagaimana penafsiran Wahbah al-Zuhaiî terkait ghuluw dalam beragama?. Untuk
mempertajam penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka dengan
menggunakan kitab tafsir al-munir karya Wahbah al-Zuhaiî, karena kitab tafsir ini
adalah salah satu kitab yang bercodak adabîijtimâ’i, serta ada nuansa fikih, aspek
balâghah, makna kosa kata, sebab turunnya ayat, tafsir dan penjelasannya, kitab
14Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 174. 15Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur’an,” h. 18.
6
ini juga menafsirkan serta menjelaskan kandungan setiap surah secara global
dengan menggabungkan dua metode, yaitu bi al-ma’tsur (riwayat dari hadits Nabi
dan perkataan salafush salih) dan bi al-ma’qul (secara akal) yang sejalan dengan
kaidah,16 yang mana hal ini jarang ditemukan di dalam kitab tafsir yang lain.
Oleh karena itu penulis terdorong untuk melakukan penelitian skripsi
dengan judul “Ghuluw Dalam Beragama Prespektif Wahbah Al-Zuhailî.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam al-Qur’an, untuk mengungkapkan makna berlebih-lebihan dalam
agama adalah menggunakan istilah ghuluw. Meskipun ada beberapa istilah yang
memiliki makna yang sama dengan istilah ghuluw, seperti tatharruf. Isrâf dan
ifrath, namun istilah ghuluw inilah yang dipandang lebih tepat.
Makna berlebih-lebihan dalam al-Qur’an secara umum diungkapkan
dibeberapa surat, seperti dalam QS. al-A’raf [7]: 31, yang melarang makan dan
minum secara berlebihan. QS. al-Furqan [25]: 67, yang menganjurkan untuk tidak
berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, dan lain-lain. Akan tetapi,
ungkapan berlebih-lebihan dalam hal agama hanya terdapat pada QS. al-Nisâ’ [4]:
171, dan QS. al-Mâ’idah [5]: 77.
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahan ini, hanya
pada berlebih-lebihan dalam agama yang membahas tentang ghuluw (berlebih-
lebihan) Ahlu al-Kitab sebagai kajian utama dan ghuluw (berlebih-lebihan)
sebagai kajian pelengkap yakni syahwat dan syaitan.
16 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj, jilid 1, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: GemaInsani, 2016), h. Xi.
7
Berangkat dari permasalahan yang telah diuraikan pada latar belakang
masalah diatas, maka penulis merumuskan masalahnya dengan“Bagaimana
pandanganWahbah al-Zuhailî tentang ghuluw dalam beragama?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berkenaan dengan hal-hal yang diharapkan dapat dicapai
melalui pelaksanaan penelitian atas menyajikan hasil yang ingin dicapai setelah
penelitian ini selesai dilakukan.17 Tujuan umum dari penelitian ini adalah
mengetahui konsep ghuluw.
Sedangkan tujuan penelitian yang ingin dicapai Secara khusus, yaitu:
untuk memaparkan bagaimana konsep ghuluw dalam beragama menurut
Wahbah al-Zuhailî.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian berkaitan dengan kegunaan yang diharapkan dari hasil
penelitian ini, baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca.18 Adapun manfaat
dan kegunaan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
dengan membuat laporan penelitian Secara ilmiah dan sistematis.
2. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kajian tentang ghuluw
(berlebih-lebihan) yang sudah dibahas sebelumnya.
3. Menjadi bagian dari materi ajar dalam mata pelajaran aqidah ahlaq.
4. Berguna untuk menambah keilmuannya dan menjadi referensi
pemahaman terkait ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama.
17 Maman Abdurrahman dan Sambas Ali Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian:
Bidang Sosial-Administrasi-Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 34. 18Abdurrahman dan Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian, h. 35
8
E. Kajian Pustaka
Bersandar pada orang atau peneliti bahwa kajian ghuluw dalam beragama
bukanlah hal yang baru.Kajian pustaka dalam penelitian ini adalah telaah terhadap
karya-karya tulis baik berupa Skripsi, maupun Buku, dan lain-lain.Setelah
ditelaah, saya mencari perbedaan-perbedaan dari karya-karya tersebut dengan
penelitian ini.Berdasarkan pencarian yang saya lakukan ada beberapa karya
tulisan yang berkaitan dengan tema yang saya teliti. Di antara karya-karya
tersebut adalah:
1. Ghuluw (Sikap Berlebih-lebihan dalam Beragama), karya Ahmad Fauzan.
Skripsi ini membahas ghuluw dalam beragama pada QS. al-Nisâ’ ayat 171
& QS. al-Mâ’idah ayat 77, menurut Ahmad Fauzan sikap berlebih-lebihan
(ghuluw) dalam agama mengarah pada segala sesuatu yang dimiliki
manusia. Tidak hanya pada aqidah melainkat pada sikap dan hubungan
antara sesama manusia. Sehingga Ahmad Fauzan berkesimpulan bahwa
ghuluw (berlebih-lebihan) dan sinonimnya memiliki konsep yang berbeda,
perbuatan ibadah seperti makan dan minum yang berlebihan bukanlah
dianggap sebagai ghuluw, karena hal ini tidak membuat orang menjadi
musyrik. 19
2. Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstremisme Beragama, karya
Sihabuddin Afroni. Jurnal ini membahas tentang persoalan ghuluw sebagai
benih ekstremisme dalam beragama dalam Islam. Jurnal ini berusaha untuk
mengunkap makna ghuluw dan kemunculan sikap tersebut dalam sejarah
Islam dan bagaimana respon al-Qur’an terhadapnya. Data yang digunakan
19Ahmad Fauzan, “Ghuluw; Sikap Berlebih-lebihan dalam Beragama” (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003).
9
penulis adalah penafsiran para ulama, ia mengakomodir beberapa pendapat
cendekiawan modern terkait penafsiran ayat tentang ghuluw (berlebih-
lebihan). Dengan penelitian ini Sihabuddin Afroni meyakini bahwa sikap
ghuluw berdampak pada ekstremisme agama, bahkan sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) merupakan pangkal dari ekstremisme itu sendiri.20
3. Al-Ghuluw Dalam Al-Kutub Al-Tis’ah (Studi Kritis Terhadap
Keberagamaan Islam Kontemporer), karya A’raf Saefuddin. Tesis ini
membahas tentang kualitas hadits tentang sifat ghuluw dalam kutub al-
Tis’ah, mendeskripsikan kandungan dan konsep hadis Nabi yang berkaitan
dengan sifat ghuluw, serta mendeskripsikan implementasi hadits Nabi
terhadap sifat ghuluw dalam keberagamaan umat Islam Kontemporer.21
4. Sinonim (Mutarâdif) Dalam Al-Qur’an Studi Kata Ghuluw dan Isrâf Dalam
Tafsir Al-Bahr al-Muhît, karya Ahmad Jaelani. Skripsi ini membahas
tentang sinonim kata ghuluw dan isrâf dalam al-Qur’an dengan
menggunakan kitab Tafsir Al-Bahr al-Muhît.22
5. Ghuluw Dalam Akidah Islam: Satu Pengenalan Ringkas, karya Johari Mat.
Johari berkesimpulan bahwa setiap pemikiran ghuluw yang dibawa oleh
setiap kumpulan yang mengajak kepada faham ghuluw adalah faham yang
bertentangan dengan Islam yang sebenarnya dan perlu diambil langkah-
langkah supaya faham tersebut tidak menyebar di kalangan masyarakat.23
20Shihabuddin Afroni, “Makna Ghuluw Dalam Islam: Benih Ekstremisme
Beragama,”Wawasan, no. 1 (Januari 2016). 21A’raf Saefuddin, “Al-Ghuluw Dalam Al-Kutub Al-Tis’ah, Studi Kritis Terhadap Sikap
Keberagamaan Islam Kontemporer”, (Tesis S2 Ilmu Hadis, Universitas Alauddin Makasar, 2017) 22Ahmad Jaelani,“Sinonim (Mutarâdif)Dalam Al-Qur’an Studi Kata Ghuluw dan Isrâf
Dalam Tafsir Al-Bahr al-Muhît”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018). 23 Johari Mat, “ Ghuluw Dalam Akidah Islam: Satu Pengenalan Ringkas” (Jurnal
Ushuluddin).
10
Dari beberapa penelitian diatas, maka penulis mencoba mengalisis kata
ghuluw, dan di dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan dengan
penelitian ini. Persamaannya yaitu pada fokus penelitian yang sama-sama
fokus pada masalah ghuluw. Namun penelitian ini memiliki perbedaan dengan
penelitian sebelumnya, yakni penelitian ini fokus pada pandangan Wahbah al-
Zuhailî terkait ghuluw(berlebih-lebihan) dalam agama.
F. Metodologi Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode yang
jelas. Metode ini merupakan cara dan aktifitas analisis yang digunakan seorang
peneliti dalam meneliti objek penelitiannya. Metode merupakan suatu cara yang
digunakan dalam rangka mencapaitujuan. Maka metode itu ada beberapa banyak
cara. Maka pada bagian ini akan dijelaskan mengenai metode yang dilakukan
dalam penelitian dan juga proses yang dilalui dalam penelitian tersebut. Proses
pelaksanaan itu meliputi: jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data,
teknik pengumpulan data dan metode analisa data. Penelitian adalah usaha untuk
menemukan. mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.24
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan oleh
penulis adalah jenis penelitian pustaka (Library research),25 yakni
penelitian yang menitik beratkan pembahasan yang bersifat kepustakaan,
24Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), h. 4. 25 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.36.
11
yang kajiannya dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka
untuk mengupas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ghuluw
(berlebih-lebihan).
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah al-
Qur’an al-Karim dan Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhailî.
Kemudian sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku,
artikel, serta karya-karya yang berisi informasi berkatian dengan ghuluw
dalam beragama.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menelaah berbagai sumber, seperti kitab tafsir, buku-buku dan artikel yang
berhubungan dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul penulis
melakukan analisis data.
4. Analisis Data
Berikut adalah langkah-langkah analisis data yang penulis lakukan:
a. Membaca sumber primer dan sekunder.
b. Melacak kata-kata ghuluw yang ada pada tafsir al-Munîr dengan
menggunakan maktabah shamela.
c. Melakukan pengkodean.
d. Melakukan klasifikasi kata ghuluw. Kemudian menguraikan hasil
klasifikasi dengan menggunakan bahasa sendiri.
12
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran dalam penulisan skipsi ini, penulis
menyusunnya dalam 5 bab, dimana antara bab satu dengan yang lainnya
merupakan suatu rangkaian yang berhubungan:
Bab I, terdiri dari pendahuan, yang berkisar tentang titik tekan
permasalahan yang menjadi objek kajian pada penelitian.Yang terdiri dari, latar
belakang, rumusan masalah, tujuan, kegunaan penelitian, daftar pustaka,
metode penelitian, dan di akhiri sistematika pembahasan.
Bab II, bab ini membahas tentang pandangan umum beragama dan
ghuluw dalam beragama, yang terdiri dari, penjelasan tentang agama,
pengertian ghuluw, kriteria ghuluw, bentuk-bentuk ghuluw, dan cara mengobati
dan solusi terhadap sifat ghuluw dalam agama.
Bab III, bab ini membahas tentang Wahbah al-Zuhailî dan Tafsirnya,
yang terdiri dari, biografi Wahbah al-Zuhailî, Karya-karya Wahbah al-Zuhailî,
dan Pemikiran Wahbah al-Zuhailî dan kitab Tafsir Al-Munîr.
Bab IV, bab ini membahas tentang tafsiran ghuluw dalam beragama,
yang terdiri dari ghuluw (berlebih-lebihan) Ahlu al-Kitab: kajian utama,
ghuluw (berlebih-lebihan) sebagai kajian pelengkap, dan pelajaran bagi kaum
muslim.
Bab V, bab ini adalah penutup dan kesimpulan. Bab ini menjawab
rumusan masalah penelitian ini dan memberikan rekomendasi serta saran untuk
penelitian lebih lanjut.
13
BAB II
PANDANGAN UMUM BERAGAMA DAN GHULUW
Kelahiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw., diyakini oleh
umat Islam dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir
dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya
manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia,
terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Qur’an dan hadits, tampak sangat ideal dan
agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang
dalam memenuhi materi dan spiritual.1
Dalam buku metode al-Qur’an dalam mengatasi sikap berlebihan beragama
dijelaskan bahwa sesungguhnya agama Islam dengan Allah Swt mengutus Nabi
Muhammad Saw adalah pertengahan antara dua ujung, yakni antara sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) dan sikap melalaikan, atau antara sikap melebihi batas dan sikap
meremehkan.2
A. Penjelasan Tentang Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama adalah sistem atau
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama
1 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 1. 2 Ahman bin Abdurrahma al-Qadhi, Metode Al-Qur’an Dalam Mengatasi Sikap Berlebihan
Beragama (Jakarta: Darul Haq, 2018), h. 4-5.
14
Iainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut.3
Ulama-ulama Islam menjelaskan bahwa agama adalah peraturan-peraturan
hidup yang datang dari Tuhan yang akan memimpin orang-orang yang berakal
dengan kemauan mereka sendiri, yang bertujuan untuk keselamatan hidup di dunia
dan akhirat.4
Dalam buku pendidikan agama Islam dikatakan bahwa Drs. Sidi Gazalba
(1991) mendefinisikan agama adalah kepercayaan pada hubungan manusia dengan
yang Kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan yang menyatakan din
dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Kata
agama dalam bahasa Arab dan dalam aI-Qur’an disebut din yang diulang sebanyak
92 kali. Menunut asal usul kata (etimologi) mengandung pengertian menguasai,
ketaatan dan balasan. Sedangkan menurut istilah atau terminoligi, din diartikan
sebagai sekumpulan keyakinan, hukum dan norma yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.5
Agama merupakan pedoman hidup manusia. Setiap agama yang ada di muka
bumi memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu menciptakan perdamaian dan
kebahagiaan pada makhluk hidup. Masyarakat beragama pada umumnya
memandang agama sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun
oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai, dan tidak kacau. Selain
3 Muslimin, Pendidikan Agama Islam (Yogyakarta: Deepublish, 2014), h.5. 4 Mardaham al-Imam, Agama Yang Lurus/Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), h. 10. 5 Wahyuddin, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo,
2009), h. 12.
15
itu. mereka juga meyakini agama sebagai kekuatan spiritual yang dapat memenuhi
keutuhan rohani manusia serta diharapkan mampu “berbicara” banyak dalam
menyelesaikan problem sosial, ekonomi, kemanusiaan, dan sebagainya. 6
Di dalam Al Qur’an ada dua terminologi agama, yaitu al-din, dan millah. Kata
al-din terulang sebanyak 96 kali yang tersebar pada 44 surat, sedangkan kata millah
sebanyak 15 kali yang tersebar pada 11 surat, kata al-din mempunyai banyak arti,
antara lain ketundukkan, ketaatan, perhitungan, balasan, agama juga berarti bahwa
seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh amalnya yang
atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.7
Al-Qur’an menggunakan kata din untuk menyebut semua jenis agama dan
kepercayaan kepada Tuhan, Secara bahasa, Al-din artinya taat, tunduk, dan berserah
diri. Adapun secara istilah berarti sesuatu yang dijadikan jalan oleh manusia dan
diikuti (ditaati) baik berupa keyakinan, aturan, ibadah dan yang semacamnya, benar
ataupun salah8. Misalnya:
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kâfirun
[109] : 6)
Millah adalah salah satu istilah dalam bahasa Arab untuk menunjukkan
agama. Istilah lainnya adalah din. Kedua istilah tersebut digunakan dalam konteks
6 Fatimah Usman, Wahdah al-Adyân (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 57. 7 Ismail dan Fahmi, “Internalitasasi Sikap Keberagamaan Sejak Anak Usia Dini,” artikel di
akses pada 30 Juni 2018 dari http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/raudhatulathfal/article/view/
1473/1163, h. 8 8 Imam Aziz, Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2015), h. 25.
16
yang berlainan. Millah digunakan ketika dihubungkan dengan nama Nabi yang
kepadanya agama itu diwahyukan dan din digunakan ketika dihubungkan dengan
salah satu agama, atau sifat agama, atau dihubungkan dengan Allah yang
mewahyukan agama itu. Dalam perbincangan sehari-hari seing digunakan istilah-
istilah millah Ibrahim, millah Ishaq dan sebagainya, atau din Islam, din haq, din
Allah dan sebagainya.9 Misalnya:
Artinya: “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang
yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami Telah memilihnyadi dunia
dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”.
(QS. Al-Baqarah [2]: 130).
Jika dilihat dari segi penerapan kata, kata millah tidak dirangkaikan kecuali
kepada para nabi dan kepada lafadz bermakna jama’ (suatu kaum atau umat), seperti
millah Ibrahim (agama Ibrahim), millah aba’i (agama nenek moyangku), dan
millatuhum (agama mereka, umat Yahûdi dan Nashrani). Adapun kata al-Din, bisa
dirangkaikan kepada lafadz Allah atau kepada individu, seperti: Din Allah, Din
Zaid, Dinî (agamaku), dan dinukum.10
B. Penjelasan Tentang Ghuluw
1. Pengertian Ghuluw
Secara bahasa, ghuluw berarti melampaui batas atau hal-hal yang
berlebihan.11 Di dalam Kamus al-Munawwir dijelaskan bahwa: “Berlebih-
lebihan atau melampaui batas itu yang berarti naik dan bertambah.12 Huruf
9 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan,
1992), h. 652. 10 Aziz, Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha, h. 26-31. 11 Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 1015. 12 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1090.
17
dasar dari kosa kata ini dan bentuk-bentukannya berkisar pada satu makna yang
menunjukkan sikap melampaui batas dan ketetapan. Menurut Ibn Faris, “Huruf
dasar dari ghain, lam dan huruf illah yakni wawu, yang menunjukkan sesuatu
yang meninggi, melanggar dan melampaui batas”.13
Ibn Manzhur berkata, “Asal dari kata ghuluw adalah irtifa’ (tinggi atau
di atas), yaitu melebihi kadar yang telah ditentukan dalam segala sesuatu. Ibn
Faris berkata, “Huruf ghain, lam, dan huruf mu’tal merupakan unsur yang
shahih di dalam kata tersebut, ia menunjukkan kepada arti mendaki dan
melampaui kadar yang telah ditentukan, maka dikatakan, غل السعر ي غلو غلء
yang artinya, harga meninggi atau meningkat.14
Sedangkan ghuluw menurut istilah syara’ adalah perbuatan atau sikap
yang keterlaluan, berlebih-lebihan dalam memuliakan atau meninggikan
derajat seseorang sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan
semestinya.15 Berlebih-lebihan atau melampaui batas yaitu menambah-nambah
dalam memuji sesuatu atau mencelanya melampaui kebenaran yang
sesungguhnya.16 Di dalam Lisanul Arab dijelaskan bahwa ghuluw adalah
model atau tipe keberagamaan yang mengakibatkan seseorang melenceng dari
agama tersebut.17
13Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam (Jakarta: Darul
Falah, 2003), h. 29. 14Ahmad bin Abdurrahman al-Qadhi, Metode Al-Qur’an Dalam Mengatasi Sikap Berlebihan
Dalam Beragama (Jakarta: Darul Haq. 2018), cet 1, h. 9. 15 Mansur Said, Bahaya Syirik dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h. 97. 16 Qamaruddin Saleh, Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an (Bandung: Diponegoro,
2002), h. 171. 17 Ibnu Manzur, Lisanul Arab (Bairut: Dar al Ihya Turath al-‘Arabi, 1985), vol. 5, h. 131.
18
Menurut Syaikhul-islam Ibn Taimiyah dan Syaikh Sulaiman bin
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, ghuluw adalah melampaui batas
dengan cara memberi tambahan terhadap tambahan terhadap sesuatu, pujian
celaan terhadapnya, terhadap sesuatu yang menjadi haknya atau yang serupa
dengan itu.18
Ibn Hajar berkata dalam kitab Fath al-Bari, yang dimaksud dengan sikap
ghuluw adalah berlebih-lebihan dalam sesuatu dan bersusah-susah pada
perkara itu dengan melampaui batas, dan hal ini mengandung pengertian terlalu
memperdalam atau menyelami.19 Jadi ghuluw adalah suatu perkara di dalam
beragama yang melampaui apa yang dikehendaki oleh syari’at, baik dalam
keyakinan, maupun amalan.
2. Kata lain yang Semakna dengan ghuluw
Menurut sebagian ulama, selain kata ghuluw dalam al-Qur’an untuk
mengungkapkan makna berlebihan dalam agama ada beberapa istilah yaitu:
tatharruf ,ifrath, Tasyaddud, dan al-anafu, namun istilah ghuluw ini dipandang
lebih tepat.
a. Al-Tatharruf
Tatharruf dalam bahasa Arab modern yang menunjuk pada kata
berlebih-lebihan. Lafadz tatharruf merupakan bentuk kata kerja dari kata
tharf. Al-Tatharruf, menurut etimologis bahasa Arab bermakna berdiri di
tepi, jauh dari tengah. Dalam bahasa Arab awalnya digunakan untuk hal
18 Al-Luwâihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 46. 19 Al-Qadhi, Metode Al-Qur’an, h. 9.
19
yang materi, misalnya dalam berdiri, duduk atau berjalan. Lalu kemudian
digunakan juga pada yang abstrak seperti sikap menepi dalam beragama,
pikiran atau kelakuan.20 Jadi tatharruf merupakan melampaui batas dari
yang sebenarnya21.
b. Al-Ifrât
Ifrât secara bahasa berarti, “Hal yang melampaui batas.22 Sedangkan
menurut istilah adalah melampaui batas dalam beribadah dan beramal tanpa
ilmu.23
c. Al-Isrâf
Isrâf secara umum mengandung arti melebihi batas dari
kewajarannya. Kata isrâf berasal dari akar kata اسرافا -يسرف-سرف yang
berarti berlebihan-lebihan atau melampaui batas24 atau sikap berlebih-
lebihan dalam sesuatu.25
d. Al-Tanaththu’
Makna kata dasarnya berkisaran pada pengertian terhampar dan saling
bersentuhan. Ibn Faris mengatakan, “Materi nun, tha’ dan ‘ain merupakan
kata dasar yang menunjukkan makna terhadap pada sesuatu menyentuhnya,
termaksuk kata an-nitha’u, dan an-natha’u, yang artinya terhampar. Makna
dasar at-tanaththu’ berarti penuturan yang dibuat-buat, yang diambil dari
20 Al -Luwâihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 29. 21Abud bin Alî bin Dâr’, Berlebih-lebihan Dalam Agama. penerjemah Rusli, Rizal (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2002), h. 17. 22 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 1047 23 Muhammad Umar al-Sewed, “Sikap Tengah Ahl Sunnah diantara Ifrath dan Tafrith,”
Salafy, no. 6, t.t., VI, h.10. 24 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzuriyyah,
1989), h. 168. 25 M. Iqbal Dawami, Kamus Istilah Populer Islam: Kata-kata Yang Paling Sering Digunakan
di Dunia Islam (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 94.
20
an-natha’u, yaitu langit-langit mulut yang terlihat ketika seseorang sedang
berbicara dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Kemudian kata ini
dipergunakan untuk segala sesuatu yang dibuat-buat, baik perkataan
maupun perbuatan.26
e. Al-Tasyaddud
Huruf dasar kata dari kata ini berkisaran pada makna “kekuatan atau
kekerasan”. Huruf syin dan dal merupakan kata dasar yang menunjukkan
kekuatan pada sesuatu. Asy-Syiddah merupakan ism dari al-isytidad, yang
juga dapat terbentuk menjadi kata asy-syadid wal-mutasyaddid. Kata
syadda masyaddatan, artinya menyerang. Dalam hadits disebutkan,
“Tidaklah seseorang menyerang agama melainkan agama itu yang akan
mengalahkannya”. Al-Masyaddah berarti menunjukkan serangan dan
kekuatan. Al-Mayaddad fisy-syai’I, berarti pengerasannya.27
f. Al-Anafu
Huruf ‘ain, nun, dan wawu merupakan dasar yang menunjukkan
kebalikan dan kelembutan. Jika dikatakan, “I’tanafal-amru” artinya
menyerang dan perlakuan yang keras lagi keras. Anufa unufan fahuwa
anifun, kata ini juga diperuntukkan bagi orang yang tidak bias menunggang
kuda dengan luwes.28
Dengan memperhatian lafadz-lafadz ini kita bisa mendapatkan kemiripan
antara lafadz ghuluw, ifrath, isrâf dan tatharruf. Makna ketiganya sama.
Adapun untuk lafadz-lafadz lain seperti at-tanaththu’, at-tasyaddud dan al-
26Al-Qadhi, Metode Al-Qur’an, h. 30. 27Al-Qadhi, Metode Al-Qur’an, h. 31. 28 Al-Qadhi, Metode Al-Qur’an, h. 31.
21
anafu, maka itu didudukkan sebagai sifat dan fenomena ghuluw, dengan
gambaran sebagai berikut:
a. Ahli ghuluw tercermin dalam pelaksanaan agamanya secara keras.
b. Tercermin dalam pelakuannya yang keras terhadap orang lain.
c. Tercermin dalam kedalamannya yang dibuat-buat dalam aktivitas
agamanya. 29
3. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sikap melampaui batas
dalam beragama
Ghuluw tidak lahir secara tiba-tiba dan spontan, tetapi kemunculannya
dibantu oleh beberapa faktor. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan
seseorang atau kelompok melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj
yang benar yang telah dibawa Rasulullah saw. dan manhaj para sahabat dan
tabi’in setelah mereka. Diantara faktor-faktor itu, terdapat faktor yang bersifat
eksternal dan internal, yaitu:
a. Faktor-faktor eksternal
1) Semakin meluasnya wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan bercampur
baurnya kaum muslimin dengan umat-umat lainnya. Keadaan seperti in
menyebabkan syariat Islam bercampur dengan kebudayaan dan
peradaban umat-umat lain.
2) Banyaknya penganut agama lain yang masuk Islam, sementara
pemikiran mereka belum sepenuhnya bersih dari ideoologi lama.
3) Masuknya para misionaris dari umat Yahudi, Majusi dan dan penganut
agama-agama sesat lainnya ke dalam Islam dengan tujuan untuk
29 Al-Qadhi, Metode Al-Qur’an, h.31.
22
melakukan tipu daya, dan mereka berambisi untuk menghancurkan
Islam lalu menganggapnya sebagai agama sesat. Di antara beberapa
contohnya adalah sebagai berikut:
a) Abdullah bin Saba’, seorang Yahûdi di masa Khalifah Usman bin
Affan. la berusaha mengembangkan di seluruh Khalifah Islamiyah
pemikiran yang melampaui batas terhadap Ali bin Abi Thalib
dengan menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalab wasiat Allah
hingga akhirnya kepada pengakuan bahwa Ali adalah Tuhan.
b) Basyar al-Murisy, seorang Yahûdi yang menyatakan bahwa al-
Qur’an adalah makhluk dan memiliki peran yang besar untuk
meniadakan sifat-sifat Tuhan.30
b. Faktor-faktor internal
Faktor-faktor internal adalah faktor yang paling penting, apalagi
faktor-faktor internal adalah faktor yang berkaitan erat dengan sikap
melampaui batas. Faktor-faktor internal ini terbagi menjadi dua, yaitu fktor-
faktor yang bersifat umum dan khusus.
Faktor-faktor internal yang bersifat umum, yaitu:
1) Berbuat bid’ah.
2) Kebodohan.
3) Mengikuti hawa nafsu.
4) Mengutamakan akal dari pada nash.
5) Fanatik, mengikuti dengan membabi buta mengikuti kebiasaan yang
telah ada.
30 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, h. 86-87.
23
6) Melemparkan tuduhan buruk kepada orang-orang dari golongan Ahli
Sunnah Wal Jama’ah.
Sedangkan faktor internal khusus, ringkasnya adalah menentang
atas bertentangan dengan manhaj Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam
pandangan dan pembuktian.31
Muhammad al-Zuhaili dalam bukunya Moderat dalam Islam, sikap
ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama itu paling tidak karena dua faktor.
Pertama, terlalu semangat/ tamak beragama, tetapi minim ilmu. Orang yang
semangat tadi beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah, jalan yang
benar, sarana satu-satunya, dan sarana yang kokoh untuk meraih apa yang ada
di sisi Allah. Dia beranggapan bahwa orang di luar diri dan golongannya
kurang atau berada dibawahnya dalam hal beramal.Sikap beragama ini tidak
dilandasi dengan ilmu yang memadai dan sikap bijaksana maka yang akan
timbul adalah sikap ekstrem. Kedua, dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan
masa lalu akan menjadi pendorong sikap berlebih-lebihan dalamberagama
karena perasaan khawatir terhadap masa lalu yang kelam. Juga khawatir
terhadap akibat-akibat dari dosa dan amalan-amalan buruk yang telah
dilakukannya. Kekhawatiran dan penyesalan akan dosa-dosa itu kemudian
diikuti dengan usaha menghapus dosa dalam waktu cepat. Karena terlalu
tergesa-gesa dengan harapan dosa agar cepat terhapus, mereka keliru
menemukan jalan yang normal. Mereka berusaha membuat tambahan dalam
agama, bersikap kaku dalam menjalankan hukum-hukum, keras dalam
31 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, h. 88.
24
beribadah, dan melewati batasan yang telah digariskan dalam menjalankan
hukum dan ajaran agama. 32
4. Tabiat ghuluw dalam kehidupan orang-orang Muslim kontemporer
Memahami tabiat ghuluw pada zaman sekarang termasuk sisi yang
penting dalam membantu mencairkan solusi untuk masalah ghuluw. Beberapa
poin terpenting yang dapat menjelaskan tabiat ghuluw dalam agama di tengah
kehidupan orang-orang muslim pada zaman sekarang, yaitu:
a. Permasalahan ini merupakan reaksi dari perbuatan yang salah, baik
menurut hakikat permasalahannya maupun menurut anggapan orang yang
ghuluw, sehingga hal itu menjadi lahan yang subur untuk menunjang
tumbuhnya ghuluw.
b. Jika permasalahan ini dilihat dari sisi waktu, maka ada dua sisi ghuluw:
1) Sisi individual, yang biasanya merupakan ghuluw temporal, yang
mudah berakhir karena kembali kepada As Sunnah atau obyektivitas,
atau justru kepada bid’ah dan pengabaian.
2) Sisi komunal atau keberadaan ghuluw di tengah umat. Ini merupakan
permasalahan yang senantiasa ada yang hampir mewarnai setiap zaman,
tapi ia dapat menyempit dan meluas tergantung kepada berbagai faktor
dan sebab yang menunjang.
c. Permasalahan ini mempunyai cakupan yang luas. Ia merupakan problem
syar’iyah, politis, sosial dan juga keamanan. Islam merupakan agama yang
universal. Memahami masalah ini dari sisi keamanan saja, akan
menimbulkan celah yang berbahaya.
32 Muhammad al-Zuhaili, Moderat dalam Islam (Jakarta: Akbar Media, 2012), h. 27.
25
d. Ini merupakan problem internasional, karena setiap negara Islam
mengeluh karena problem ini, tanpa harus melihat kebenaran keluhan
tersebut.
e. Ini merupakan problem internal di setiap negara dan bukan merupakan
problem yang menyusup. Ia muncul dari dalam masyarakat Islam sendiri.
f. Ini merupakan problem individual jika kita melihat ke sisi ghuluw juz’y
amaly, tapi ia merupakan problem sosial jika kita melihatnya dari sisi
ghuluw kully i’tiqady.33
5. Kriteria Ghuluw
Memungkinkan bagi kita untuk mencari kejelasan beberapa ciri ghuluw
dalam lingkup berbagai nash syariat dan macam-macamnya menurut
kaitannya, yaitu sebagai berikut:
a. Ghuluw yang berkaitan dengan pemahaman berbagai nash, yang dilakukan
dengan salah satu dari dua perkara berikut:
1) Menafsiri nash dengan suatu penafsiran yang diperkeras, sehingga
bertentangan dengan sifat syariat secara umum dan tujuan-tujuannya
yang frundamental, sehingga terjadilah perlakuan yang keras terhadap
diri sendiri dan juga terhadap orang lain.
2) Memaksakan pendalaman terhadap makna-makna ayat padahal tidak
seperti itu kewajiban yang dibebankan kepada Muslim. Karena terlalu
semangat membebani kewajiban terhadap diri sendiri inilah yang
menjadi pemicu munculnya semua golongan atau setidaknya
mayoritas golongan.
33Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h.443-444.
26
b. Ghuluw yang berkaitan dengan hukum-hukum, yang dilakukan dengan
salah satu di antara dua hal:
1) Mewajibkan kepada diri sendiri atau orang lain dengan sesuatu yang
tidak diwajibkan Allah, berupa ibadah dan ritual. Padahal untuk
kewajiban yang ditetapkan adalah kemampuan perorangan. Jika
kewajiban itu melampaui kemampuan, meskipun berupa pengalaman
sesuatu yang disyariatkan, maka tetap saja itu dianggap sebagai
ghuluw.
2) Mengharamkan hal-hal baik yang dihalalkan Allah, dengan maksud
sebagai ibadah.
3) Meninggalkan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak atau sebagian di
antaranya, seperti: makan, minum, tidur atau menikah. Meninggalkan
hal-hal ini dianggap sebagai ghuluw.
c. Ghuluw yang berkaitan dengan sikap terhadap orang lain, seperti sikap
seseorang terhadap orang lain yang terlalu memuji, sampai-sampai
menempatkan orang yang dipujinya hingga kederajat ishmah (terlindung
dari kesalahan). Sementara terhadap orang lain dia menjadikan dirinya
sebagai yang kelewatan, sehingga dia menuduhnya dengan tuduhan kafir
dan murtad dari agama, padahal orang yang dituduh itu termasuk pemeluk
Islam.34
Sifat atau ciri pertama dari golongan yang selalu bersikap melampaui
batas, kasar dan melakukan teror dalam mencapai tujuan mereka adalah
disebabkan tidak adanya pemahaman mereka tentang al-Qur’an. Hal ini telah
34 Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 47-49.
27
disinyalir Rasulullah saw. dalam sabda beliau yang berbunyi, “ Mereka
membaca al-Qur’an hanya sampai di tenggorokan mereka.” Artinya mereka
adalah termasuk orang-orang yang membaca al-Qur’an, akan tetapi mereka
tidak memahami apa yang mereka baca, mereka juga tidak tahu maksud dan
tujuan dari apa yang mereka baca.35
Sifat atau ciri kedua dari golongan yang bersikap berlebih-lebihan, kasar
dan melakukan teror adalah mengkafirkan dan menghalalkan darah siapa saja
yang bertentangan dengan mereka, walaupun pertentangan itu datang dari
kaum muslimin. Menghalalkan darah orang-orang yang bertentangan dengan
mereka dari golongan kaum muslimin merupakan salah satu akibat dari sikap
melampaui batas, berlebih-lebihan dan perbuatan bid’ah yang mereka lakukan.
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak sependapat dengan mereka telah
keluar dari agama mereka, maka sikap fanatik mereka telah menyebabkan
mereka keluar dari agama Islam, dan ini adalah keadaan orang yang melakukan
bid’ah di setap zaman dan tempat.36
Dalam sebuah tesis yang ditulis A’raf Saefuddin, menjelaskan bahwa
Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang bersilkap
ghuluw secara umum (akidah dan praktik amalan) mempunyai beberapa ciri,
diantaranya adalah:
a. Fanatik terhadap salah satu pandangan. Sikap fanatik ini mengakibatkan
seorang akan menutup diri dan pendapat kelompok lain dan menyatakan
bahwa pandanganlah yang paling benar dan yang lain adalah salah. Padahal
35 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, (Jakarta: Pustaka Azzaam, 2002), h. 18. 36 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, tej. Rusli, Rizal ,h. 19-20.
28
para salaf al-saleh sepakat menyatakan bahwa setiap orang diambil dan
ditinggalkan pandangannya kecuali Rasulullah saw.
b. Cendenung mempersulit. Secara pribadi boleh saja seseorang beribadah
tidak menggunakan keringanan padahal itu dibolehkan. Akan tetapi kurang
bijak apabila mengharuskan orang lain mengikutinya. Padahal kondisi dan
situasi orang lain berbeda atau tidak memungkinkan. Misalnya Rasululllah
secara pribadi adalah orang yang paling kuat beribadah, namun manakala ia
mengimani salat di masjid maka beliau mempenhatikan kondisi jamaah
dengan memperpendek bacaan.
c. Suka mengkafirkan orang lain. Sikap ghuluw paling berbahaya adalah
sampai pada tingkat mengkaf’irkan orang lain, bahkan menghalalkan
darahnya. Inilah yang pernah terjadi pada golongan khawanij. Pandangan
inilah yang mengakibatkan terbunubnya dua orang khalifah: Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib. Apa yang dilakukan kelompok khawarij saat
ini juga banyak kita temukan yaitu dengan mengkaflrkan para penguasa di
negara-negara muslim dengan alasan tidak menerapkan hukum tuhan.
Bahkan mengkafirkan ulama yang tidak mengkafirkan penguasa tersebut.
Padahal sesuai dengan ajaran Nabi seseorang tidak boleh dengan mudah
mengkafirkan seseorang sebab dapat berimplikasi hukum yang panjang
seperti, darahnya sudah menjadi halal, dipisah dari istrinya, tidak saling
mewanisi dan sebagainya.37
37A’raf Saefuddin, “Al-Guluw Dalam Al-Kutub Al-Tis’ah; Studi Kritis Terhadap
Keberagamaan Islam Kontemporer,” (Tesis S2 Jurusan Ilmu Hadis, Universitas Islam Negeri
Alauddin Makasar, 2017), h. 207-208.
29
Adapun batasan-batasan suatu pemahaman maupun sikap dapat
dikategorikan sebagai bentuk ghuluw di antaranya:
a. Pembatasan pengertian ghuluw harus didasarkan kepada al-Qur’an dan
sunah. Dalam artian, untuk menghukumi sebuah sikap merupakan ghuluw
hendaklah berdasarkan dalil dari al-Qur’an dan sunah bukan berdasarkan
hawa nafsu, prasangka apalagi kepentingan musuh-musuh agama.
b. Ghuluw dalam kehidupan kontemporer merupakan realitas yang tidak
perlu dipungkiri. Hal ini dapat disebabkan oleh fanatisme buta dan
sempitnya wawasan. Oleh sebab itu, setiap sesuatu haruslah dipandang
secara integral dan berdasarkan ilmu agar menghasilkan pandangan yang
tengah seimbang dan moderat. Tidak terjerumus dalam ifrât
(menyempitkan) maupun sebaliknya tafrît (meremehkan).
c. Kondisi agama seseorang dan masyarakat sekitarnya, kuat dan lemahnya
kondisi tersebut mempunyai pengaruh untuk menghukumi seseorang
sebagai pelaku ghuluw, setengah ghuluw atau sama sekali tidak. Sebab,
barang siapa yang berpegang teguh terhadap agama dan hidup ditengah
masyarakat yang memiliki komitmen tinggi terhadap agama, maka
perasaannya langsung bangkit jika mendapati sebuah kemungkaran atau
pengabaian dalam pene-gakkan hukum-hukum syariat. Sementara orang
yang tidak ambil pusing dan hidup ditengah masyarakat yang acuh tak
acuh terhadap agama, maka perasaannya menjadi kebal, tidak melihat
suatu dosa sebagai sebuah kesalahan namun disisi lain ia melihat
komitmen seseorang terhadap agamanya sebagai sebuah ghuluw atau sikap
ekstrem (berlebihan).
30
d. Menghukumi sesuatu sebagai ghuluw terhadap seseorang atau penafiannya
berbeda-beda menurut kondisi dan lingkungan. Melawan penguasa zalim
yang memusuhi Islam mungkin dianggap jihad. Hal ini terjadi jika
penguasa yang diperangi itu melakukan kekufuran yang nyata, lengkap
dengan bukti-buktinya. Tapi memungkinkan juga disebut ghuluw jika
penguasa yang hendak diperangi itu tidak melakukan kekufuran dan juga
tidak ada bukti atas kekufurannya. Semua ini tergantung kepada perbedaan
kondisi dan situasi.38
6. Bentuk-bentuk Ghuluw
Ghuluw (sikap melampaui batas atau berlebihan) tidak hanya satu jenis
saja akan tetapi bermacam-macam, tergantung pengaitannya terhadap
perbuatan-perbuatan hamba, akan tetapi secara umum dibedakan menjadi dua
jenis :
a. I’tiqady (keyakinan atau akidah)
b. Amaly (yang berhubungan dengan mu’amalat)39
Dua jenis ghuluw ini, dapat membantu untuk memahami hakikat ghuluw
menurut syariat dan pembatasan pengertiannya. Inilah penjelasan global dari
dua jenis ghuluw.40
a. Ghuluw Kully I’tiqady
Yang dimaksud dengan ghuluw kully i’tiqady adalah ghuluw yang
berkaitan dengan totalitas syariat Islam dan induk-induk permasalahnya.
Adapun yang dimaksud dengan I’tiqady adalah yang berkaitan dengan
38Sihabuddin Afroni, Makna Ghuluw Dalam Islam; Benih Ekstremisme Beragama,
Wawasan, no. 1 (Januari 2016), h. 71. 39 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, h. 67. 40 Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 37.
31
masalah keyakinan, yang berarti terbatas pada sisi keyakinan namun
kemudian mengimbas ke amal Jawarih. Contoh ghuluw kully i’tiqady ini
banyak sekali, diantaranya adalah ghuluw terhadap para imam dan anggapan
bahwa para imam itu terjadi kesalahan apa pun, atau ghuluw dalam
memisahkan diri dari suatu komunitas manusia dalam melakukan
kedurhakaan, yang disertai dengan pengafiran terhadap anggota-
anggotanya.41
b. Ghuluw juz’y amaly
Yang dimaksud dengan juz’y adalah yang berkaitan dengan satu
perkara parsial atau lebih dari berbagai perkara parsial dalam syariat Islam.
Adapun yang dimaksud dengan amaly adalah yang berkaitan dengan bab
amaliyah, yang dibatasi pada sisi perbuatan semata, baik yang berupa
perkataan dengan lisan atau perbuatan dengan anggota tubuh. Jadi yang
dimaksud amaly adalah berupa amalan murni, bukan yang dihasilkan oleh
keyakinan yang rusak. Contoh adalah Orang yang mengerjakan salat
semalaman suntuk dianggap orang yang ghuluw dalam segi amalan. Dan
orang yang tidak mau datang ke masjid orang-orang Muslim karena
menganggapnya sama dengan masjid dhirar dianggap sebagai orang yang
ghuluw dari segi keyakinan.42
7. Cara Mengobati dan Solusi Terhadap Sifat Ghuluw dalam Agama
Syekh Ali bin Abd al-Aziz bin Ali Syibl menjelaskan dalam karyanya
manhaj al-wasatiyah wa atsaruhu fi ilaj al-ghuluw” bahwa cara pertama
41Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 37. 42 Al-Luwaihiq, Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam, h. 43.
32
dalam mengobati sifat ghuluw ini yaitu dengan cara berpegang teguh pada al-
Qur’an dan sunnah yang sahih dalam perbuatan, perkataan dan keyakinan di
dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, dengan cara mengikuti manhaj para
sahabat karena mereka merupakan generasi terbaik, akan tetapi agar bisa
menguasai dan mengaplikasikan kedua hal tersebut maka dibutuhkan langkah-
langkah sebagai berikut:
a) Menuntut ilmu agama dengan niat mengangkat kebodohan.
b) Berusaha mengikuti manhaj yang benar dengan melihat atsar para ulama
salaf yang saleh dengan ketentuan yang sesuai berdasarkan kaidah-kaidah
syariat.
c) Mengajarkan Islam dan menasehati sesama umat muslim dengan penuh
hikmah tanpa disertai dengan penekanan.
d) Berusaha mendidik dan membangun keimanan kita dengan metode
Qur’ani yaitu metode yang digunakan Nabi pada sahabat-sahabatnya
sewaktu muncul benih-benih ghuluw.
e) Menghindari majlis hiwa’i yang tidak menjadikan al-Qur’an dan sunnah
sebagai persatuan mufakat.
f) Menghindari ta’assub al-mazmu’in atau fanatik yang tercela terhadap
pandangan dan perkataan aimmah.
g) Diperlukan pergerakan ulama untuk turun ke lapangan agar masyarakat
tidak mengalami kebodohan dalam agama. Para ulama dalam hal ini
diibaratkan sebagai lampu yang memberikan cahaya dan menuntun
masyarakat ke arah jalan yang benar.43
43 Ali bin Abd al-Aziz bin Ali al-Syibl, Manhaj al-wasatiyah wa atsaruh fi ilaj al-ghuluw
(Riyad: Dâr al-Syibli, 1996 ), h. 14-16
33
Solusi terhadap sifat ghuluw yaitu: pertama, selalu berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan sunnah. Yaitu berpegang teguh terhadap jalan yang
telah ditetapkan oleh Allah, melalui para Rasul-Nya, karena dengan
kembalinya seorang muslim kepada jalan Allah yaitu al-Qur’an dan sunnah,
maka ia tidak akan melenceng dari kesesatan, dan setiap masalah yang datang
pasti ada jalan keluarnya apabila ia selalu mendekatkan diri kepada Allah,
sebagaimana firman Allah44:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-
orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.
Cara Kedua, yaitu meluruskan akidah dan kembali kepada akidah
Salafus-Salih (syariat Islam), yaitu kelompok Ahlul Sunnah wal Jama’ah.
Karena akidah merupakan pilar utama agama Islam, dan merupakan landasan
utama yang berdiri di atas seluruh cabang-cabang, serta merupakan jalan untuk
menuju kebahagian dan kemenangan manusia dalam kehidupan dunia dan
akhirat.45
44 Yusuf Qardhawi, Islam Ekstrem (Bandung: Mizan, 1985), h. 122. 45 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, h. 287-288.
34
Cara Ketiga, menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber
hukum. Keempat, ikhlas kepada Allah dan menjadikan Rasulullah saw sebagai
satu-satunya sosok yang harus diteladani. Kelima, menuntut ilmu syariat dan
berusaha untuk memahami agama. Keenam, mencari kebenaran dan mengikuti
dalil serta bersikap konsisten terhadap semua.46
Berdasakan penjelasan yang telah dipaparkan oleh penulis di atas, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa manusia membutuhkan agama dalam
kehidupannya yang berfungsi sebagai pegangan hidup baik di dunia maupun di
akhirat. Sedangakan sikap ghuluw merupakan suatu perkara dalam beragama yang
melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat baik dalam hal keyakinan maupun
amalan.
46 Ali bin Dar’, Berlebih-lebihan Dalam Agama, h. 287.
35
BAB III
WAHBAH AL-ZUHAILÎ DAN TAFSIRNYA
Salah satu penafsir kontemporer yang mencoba memadukan kedua sumber
penafsiran tersebut adalah al-Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhailî.
Penafsiran tersebut mendekati sari kandungan al-Quran, dari sudut tafsir klasik
yang banyak menjadikan al-Ma’tsûr sebagai sumbernya dan dari sudut modern
serta kontemporer yang banyak menjadikan ra’yu sebagai sumbernya.1 Oleh
sebab itu, pada bab ini penulis mencoba mengupas kitab al-Tafsîr al-Munîr
dengan terlebih dahulu menelusuri secara singkat biografi kehidupan penulis,
perjalanan intelektualnya dan metode dalam kitab tafsirnya serta segala sesuatu
yang terkait dengannya.
A. Biografi Wahbah Al-Zuhailî
1. Latar Belakang Kehidupan
Nama lengkap al-Zuhailî adalah Wahbah bin Syaikh Mustafâ al-
Zuhailî.2 Beliau dilahirkan di daerah Dair ‘Athiyah, tepatnya di daerah
Qalmun, Damaskus, di Syiria, pada tanggal 6 Maret tahun 1932 M/ 1351 H.
al-Zuhailî berasal dari kalangan yang religius, ayahnya bernama Mustafâ al-
Zuhailî terkenal dengan keṣalihan dan ketakwaannya selain hafal al-Qur’an,
beliau juga bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putra-putranya
1 Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,” Mutawatir, vol. 1 no. 2
(Desember 2012), h. 143 2 A. Husnul Hakim Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab Tafir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013), h. 227.
36
untuk menuntut ilmu.3 Sedangkan ibunya bernama Hajjah Fâtimah binti
Muṣṭafâ Sa’adah. Seorang wanita yang memiliki sifat warak dan teguh dalam
menjalankan syariat agama. Wahbah al-Zuhailî adalah seorang tokoh di dunia
pengetahuan, selain terkenal di bidang fikih beliau juga seorang ahii tafsir.
Hampir dan seluruh waktunya semata-mata hanya difokuskan untuk
mengembangkan bidang keilmuan. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke -
20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainya. seperti Thahir ibn Asyur, Said
Hawwa. Sayyid Qutub, Muhammad Abû Zahrah, Mahmud Syaltut. Alî
Muhammad al Khafif. Abdul Ghani, Abdul Khaiiq, dan Muhammad Salam
Madkur.4 Al-Zuhailî di daerah Syam, sangat dikenal baik sebagai ulama
maupun cendekiawan muslim, beliau juga seorang hafiẕ al-Qur’an.5
Wahbah al-Zuhailî menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8
Agustus 2015 M. Dunia Islam berdukacita karena kehilangan seorang ulama
kontemporer panutan dunia. Wahbah al-Zuhailî berpulang ke rahmatullâh
pada usia 83 tahun.6
2. Pendidikan
Atas dorongan serta bimbingan dari ayahnya, sejak kecil Wahbah al-
Zuhailî telah mengenal dasar-dasar keIslaman. Setelah beliau berusia 7 tahun,
beliau memulai pendidikannya dengan bersekolah di desanya sampai tahun
3 Faizah Ali Syibromalisi, dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 163. 4 Lisa Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur’an: Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah Al-Zuḥailî ,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2010), h. 18. 5 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab, h. 227. 6 Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah al-Zuhailîdan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama,” Analisis xvi, no. 1 (Juni 2016), h. 130
37
1946.7 Beliau melanjutkan pendidikannya ke tinggat menengah di Damaskus8,
kemudian beliau menyelesaikan pendidikannya tinggat ‘aliyah pada tahun
1953. Setelah lulus sekolah menengah, beliau melanjutkan pendidikannya di
Universitas Al-Azhar Kairo, jurusan Syariah hingga beliau mendapat gelar
sarjana S-1 dari fakultas Syariah, pada tahun 19569 dan fakultas hukum di
Universitas’Ain Syam pada tahun 1957.
Pada tahun 1959, beliau melanjutkan pendidikannya tingkat magister di
bidang hukum di Universitas Kairo, kemudian beliau memperoleh gelar Doktor
pada fakultas Syari’ah Al-Alhar pada tahun 1963. Setelah Wahbah al-
Zuhailîberhasil menyelesaikan pendidikannya, beliau diangkat menjadi dosen
dan kemudian menjabat sebagai wakil dekan fakultas Syariah, Universitas
Syiria. Setelah jabatan dekan berakhir, beliau diangkat menjadi ketua Jurusan
Fikih Islam dan madzhab, beliau memengang jabatan ini selama lebih dari 7
tahun. Akhirnya, al-Zuhailî menjadi seorang ahli fikih, tafsir dan studi-studi
Islam, dan beliau bermadzhab Hanafi.10
Dalam menuntut ilmu Wahbah al-Zuhailî mendatangi ulama’ besar
dalam berguru, adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-
Syafie (w. 1958 M), seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya
fikih al-Syafie, kemudian beliau mempelajari ilmu fikih dari Abdul Ralak al-
Hamasi (w. 1969 M), ilmu Hadits dari Mahmud Yasin (w. 1948 M), beliau
menguasai ilmu Faraidh dan ilmu wakaf dari Judad al-Mardini (w. 1957),
belajar ilmu Tafsir dari Hassab Habnakah al-Midani (w. 1978 M), mempelajari
7 Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur’an,” h. 19. 8 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 163 9 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 227. 10 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 227.
38
ilmu Bahasa Arab dari Muhammad Ṣaleh Farfur (w. 1986 M), belajar ilmu
Ushul Fiqh dan Mustahah Hadits dari Muhammad Luṭfi al-Fayumi (w. 1990
M), beliau mempelajari ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Selama Al-Zuḥaili di Mesir beliau berguru kepada Muhammad Abu Zuhrah
(w. 1395 M), Mahmud Shaltut (w. 1963 M), Ali Muhammad Khafif (w. 1978
M) dan Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983 M).11
3. Karir Intelektual
Wahbah al-Zuhailî memulai karir akademiknya ketika beliau diangkat
sebagai tenaga pengajar pada tahun 1963 M, di Fakultas Syariah Universitas
Damaskus dan secara berturut-turut beliau menjabat sebagai ketua Jurusan
Fiqh al-Islami wa Madzhabihi, wakil dekan, kemudian Dekan Fakultas yang
sama. Setelah beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan beliau dikenal
sebagai pakar dalam bidang Fikih, Tafsir, dan Dirasah Islamiyah.12
Karir pertama al-Zuhailî dalam bidang intelektual dimulai di Universitas
Damaskus, beliau diangkat menjadi guru besar sejak 1975 M. Beliau
memberikan kuliah di Fakultas Syariah dan ilmu Hukum, dan memfokuskan
pada kajian Hukum Islam, Filsafat Hukum Islam dan Perbandingan Sistem
Hukum. Beliau juga pernah mengajar di berbagai Universitas sebagai dosen
tamu, yaitu pada Fakultas Hukum di Banghali, Libya (1972-1974 M), Fakultas
Sayriah di Universitas Uni Emirat Arab (1984-1989 M), Universitas Khartoum,
Sudan dan Universitas Islam Riyadh. al-Zuhailî juga pernah mengajar mata
11 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir, h. 164. 12Ummul Aiman, “Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhailî ; Kajian al—Tafsir al-Munir,”
Miqot no. 1 (Januari 2012), h. 4.
39
kuliah “Dasar-dasar Tulisan dan Bukti dalam Hukum Islam” untuk mahasiswa
Pascasarjana di Sudan, Pakistan.13
Pada akhir tahun 1960 M, al-Zuhailî ditugasan untuk mendesain
kurikulum Fakultas Syariah di Universitas Damaskus, karena beliau memiliki
keahlian dalam hukum Islam. Selain itu al-Zuhailî juga menjalani karir yang
beragam, beliau adalah anggota The Royal Society for Research tentang
Peradaban Islam pada Yayasan al-Bayt di Amman (Yordan), dan diberbagai
lembaga hukum dunia lainnya, termasuk Majlis al-Ifta di Syiria, Akademi
Fikih Islam di Jeddah (Arab Saudi) dan beberapa Akademi Fikih Islam di
Amerika Serikat, India, dan Sudan.14 Selain itu al-Zuhailî juga menjabat
sebagai kepala Institut Riset untuk Lembaga-lembaga keuangan Islam. Banyak
karya al-Zuhailî yang membahas tentang sistem-sistem hukum sekuler, seperti
hukum internasionalatau hukum Uni Emirat Arab. Beliau juga menjabat
sebagai konsultan pada berbagai Lembaga dan perusahaan keuangan Islam,
termasuk The International Islamic Bank. Selain itu beliau juga dikenal sebgai
juru dakwah di dunia Islam, al-Zuhailî sering muncul di tv, radio dan koran-
koran Arab. Beliau juga pernah menjadi imam dan penceramah di Masjid
Utsmani di Damaskus serta penceramah dan pendakwah pada musim panas di
Masjid Badr di kota kelahirannya Dair ‘Athiyah.15
B. Karya-karya Wahbah al-Zuhailî
Kecerdasan Wahbah al-Zuhailî telah dibuktikan dengan kesuksesan
akademisnya, hingga banyak lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial
13Muhammad Hasdin Has, “Metodologi Tafsir al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî ,” al-
Munzir, (November 2014), h. 46. 14 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 174. 15 Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, h. 174.
40
yang dipimpinnya. Selain keterlibatnnya pada sektor kelembagaan baik
pendidikan maupun sosial beliau juga memiliki perhatian besar terhadap berbagai
disiplin keilmuan, hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau dan produktif dalam
menghasilkan karya-karyanya, meskipun karyanya banyak dalam bidang tafsir
dan fikih akan tetapi dalam penyampaiannya memiliki relefansi terhadap
paradigma masyarakat dan perkembangan sains.16
Sebagai seorang Ulama sekaligus ilmuwan, Wahbah al-Zuhailî telah
menulis buku, artikel dalam berbagai bidang ilmu keIslaman. Buku-buku beliau
melebihi 133 buah buku dan dicampur dengan risalah-risalah kecil kurang lebih
500 makalah.17 Menurut keterangan dari beberapa muridnya, ketika beliau sedang
menyusun kitab, hari-harinya dihabiskan di dalam perpustakaan, bahkan sering
kali beliau berada di perpustakaan sejak buka sampai tutup.18 Karya-karya beliau
banyak yang telah dipublikasikan dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
seperti Prancis, Inggris, Turki, Urdu dan Melayu.19 Diantara karya-karyanya
adalah sebagai berikut:
1. Atsar al-Harb fi al-fiqh al-Islami – Dirasat Muqaranah, Dar al-Fikr,
Damsyiq, 1963.
2. Al-Wasit fi Ushul al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq, 1972.
4. Al-Ushul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-Abassiyah,
Damsyiq, 1972.
5. Al-Alaqat al-Dawliah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1981.
16Abdul Khair, “Analisis Kritis Pemikiran Wahbah al-Zuhailî Tentang Penetapan Talak,”
fenomena vii, no 2 (2016), h. 147. 17 Syibromalisi, dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 165. 18 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 228. 19 Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, h. 175.
41
6. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984.
7. Ushul al-Fiqh al-Islami (2 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1986.
8. Fiqh al-Mawaris fi al-Shari’at al-Islamiah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1987.
9. Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar
Fikr, Damsyiq, 1991.
10. Al-Qur’an al-Karim al-Bunyatuh al-Tasyri’iyyah aw Khasa’isuh al-
Hadariah, Dar Fikr, Damsyiq, 1993.
11. Al-Ruḥsah al-Syariah – Ahkamuha wa Dawabituha, Dar al-Maktabi,
Damsyiq, 1994.
12. Khasa’is al-Kubra li Huquq al-Insan fi al-Islam, Dar al-Maktabi, Damsyiq,
1995.
13. Al-Ulum al-Syariah Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlal, Dar al-Maktab,
Damsyiq, 1996.
14. Al-Asas wa al-Masadir al-Ijtihad al-Musyarikat bayn al-Sunnah wa al-
Syiah, Dar al-Maktabi, Damsyiq, 1996.20
15. Al-Islam wa Tahadiyyah al-‘Asr, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1996.
16. Muwajahah al-Ghalu al-Taqafial Sahyuni wa al-Ajnabi, Dar al-Makabi,
Damaskus, 1996.
17. Al-Taqlid fi al-Madhâhib al-Islamiah Inda al-Sunnah wa al-Syariah, Dar al-
Mktabi, Damaskus, 1996.
18. Al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadith, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1997.
19. Al-Urf wa al-‘Adah, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1997.
20. Al-Sunnah al-Nabawiah, Dar al-Maktabi, Damaskus, 1997.21
20 Syibromalisi, dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 165-166. 21 Ghafur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, h. 175.
42
C. Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî
Dalam masalah teologis, al-Zuhailî cenderung mengikuti faham ahlu
Sunnah dan madzhab Salafi, teteapi tidak terjebak dalam fanatisme madzhab yang
menuntunnya untuk menghujat madzhab lain. Dalam hal madzhab fikih, beliau
menganut madzhab fikih Imam Hanafi, karena beliau dibesarkan di kalangan-
kalang ulama-ulama bermadzhab hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam
madzhab fikih. Walaupun beliau menganut madzhab hanafi, akan tetapi beliau
tidak fanatik dan dapat menghargai pendapat-pendapat madzhab lain. Pemikiran
beliau terlihat pada bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang
berhubungan dengan hukum fikih. Dalam membangun argumennya selain
menggunakan analisis yang lalim dipakai dalam fikih, beliau juga memberikan
informasi yang seimbang dari masing-masing madzhab, kenetralannya juga
terlihat dalam menggunakan referensi, beliau tidak hanya fokus dengan buku-
buku fikih ulama Hanafi saja. Misalnya beliau mengutip dari Ahkam al-Qur’an
karya al-Jashash untuk pendapat madzhab Hanafi, dan Ahkam al-Qur’an karya al-
Qurtubi untuk pendapat madzhab maliki.22
D. Seputar Kitab Tafsir Al-Munîr
1. Gambaran Umum Tafsir Al-Munir
Sebelum mengenal lebih jauh tentang kitab Tafsir Al-Munîr, penulis
akan memberikan gambaran umum tentang kitab ini. Tafsir Al-Munir ditulis
setelah al-Zuhailîmenyelesaikan penulisan dua kitab fikih, yaitu Ushul Fiqh
al-Islami (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (8 jilid), dengan rentan
waktu selama 16 tahun barulah kemudian beliau menulis Tafsir Al-Munîr,
22 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir, h. 168-169.
43
yang pertama kalinya diterbitkan oleh Dar al-Fikr Beirut Libanon dan Dar al-
Fikr Damaskus Syiria. Sedangakn kitab terjemahannya telah diterjemahkan di
berbagai negara salah satunya di Turqi, Malasyia, dan Indonesia yang telah
diterbitkan oleh Gema Insani Jakarta 2013 yang terdiri dari 15 jilid.23 Kitab
ini menafsirkan seluruh ayat dari al-Qur’an, yang terdiri dari 16 jilid. Tafsir
ini mulai ditulis pada tahun 1408 H / 1988 M. Dan dicetak pertama kali pada
tahun 1411 H/ 1991 M.24
Al-Munîr dikenal sebagai kitab tafsir dengan menggunakan sistem
penulisan modern, baik uslub, pemikiran maupun tema-tema yang dibahas,
yang menggabungkan antara dalil naqli dan aqli. Al-Munîr ditulis dengan
redaksi-redaksi yang sederhana dan mudah dipahami, yang penafsirannya
sangat relevan dengan zaman sekarang. Terkadang memasukkan teori-teori
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan kitab ini sangat memadai dan
sangat sesuai bagi perkembangan peradaban dan keilmuan.25
Di dalam pengantar penerbit tafsir al-munîr dijelaskan bahwa kitab
tafsir ini mengkaji ayat-ayat al-Qur’an secara komperhensif, lengkap, dan
mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh pembaca. Penjelasan dan
penetapan hokum-hukumnya disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an dengan
makna yang lebih luas, dan disertai sebab-sebab turunnya ayat, balaghah,
i’rab, serta aspek kebahasaan. Kitab ini juga menafsirkan serta menjelaskan
kandungan setiap surah secara global dengan menggabungkan dua metode,
23Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, Kata
Pengantar. penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet 1, h. Xiii-
xiv. 24 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab, h. 228. 25 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 228-229.
44
yaitu bi al-ma’tsur (riwayat dari hadits Nabi dan perkataan salafush salih)
dan bi al-ma’qul (secara akal) yang sejalan dengan kaidah.26
2. Tujuan Penulisan
Wahbah al-Zuhailî berkata dalam kata pengantar kitab tafsirnya, bahwa
tujuan dari penulisan tafsirnya adalah mencipkatakan ikatan yang bersifat
ilmiah, karena al-Qur’an merupakan konsitusi kehidupan bagi seluruh
manusia dan bagi kaum Muslimin khususnya. Oleh sebab itu al-Zuhailî tidak
hanya membahas hukum-hukum yang disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an
dengan makna yang lebih luas, yang lebih dari pemahaman umum, yang
meliputi aqidah dan akhlak, manhaj dan perilaku.27 Beliau tidak terpaku
hanya pada masalah-masalah hukum yang biasa dibahas para pakar fikih saja,
akan tetapi beliau membahasnya secara umum dan membahas secara meluas,
sehingga pembacanya betul-betul memahami kandungannya, seperti aqidah,
akhlak, metode dan cara bertingkah laku dan faedah yang bisa dipetik dari
ayat-ayat al-Qur’an, baik dalam bentuk indikasi atau isyarat, baik itu
menyangkut bangunan sosial setiap masyarakat yang maju atau menyangkut
kehidupan pribadi seorang muslim. Dan yang paling penting tafsir ini bisa
membantu setiap muslim yang ingin menelaah al-Qur’an dan
mentadabburinya.28
Selain itu, yang melatar belakangi al-Zuhailî dalam menulis kitab
Tafsirnya adalah karena munculnya kejenuhan masyarakat dalam membaca
kitab tafsir yang disebabkan oleh metodologi beberapa kitab tafsir yang
26 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 1, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2016), h. Xi. 27 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 1, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk ,h. Xv-xvi. 28 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafsir, h. 166-167.
45
terlalu panjang dan bertele-tele. Oleh karena itu, muncul keinginan al-Zuhailî
untuk menampilkan tafsir dengan metode yang sederhana, komprehensif, dan
berfokus pada tujuan diturunkannya al-Qur’an.29
Kesederhanaan metode yang ditampilkan dalam kitab al-Tafsîr al-
Munîr bukan berarti lepas atau kosong dari nilai-nilai yang terdapat dalam al-
Qur’an, melainkan kitab tafsirnya itu ditulis dengan gaya bahasa dan
pemikiran yang khas, topiknya bersifat kekinian, redaksinya dan
ungkapannya jelas, pendekatan makna dan akidahnya untuk konsumsi
generasi modern, dan juga disertai dengan teori-teori ilmiah yang konsisten
dan benar.30
3. Metode Penafsiran Tafsir Al-Munîr
Metode penafsiran al-Qur’an adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-
Qur’an, baik yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber penafsiranya,
atau sistem penjelasan tafsiran-tafsiranya, keluasan penjelasan tafsiranya,
maupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.31
Al-Zuhailî menjelaskan dalam muqadimah tafsirnya bahwa metode atau
kerangka pembahasan kitab tafsir ini adalah sebagai belikut:
a. Membagi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam satuan-satuan topik dengan
judul-judul penjelas.
b. Menjelaskan kandungan setiap surah secara global.
c. Menjelaskan aspek kebahasaan.
29 Al-Zuhailî , Al-Tafsî r al-Munîr, jilid 1, h. 9-10. 30Anshori Lal, Tafsir bi al-Ra’yi; Menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010), h. 143 31M.Ridlwan Nasir, Memahami al-Qur’an perspektif baru metodologi tafsir muqaran,
(Surabaya: indra media, 2003), h. 14.
46
d. Memaparkan sebab turunnya ayat dalam riwayat yang paling sahih dan
mengesampingkan riwayat yang lemah, serta menerangkan kisah-kisah
para nabi dan peristiwa-peristiwa besar Islam, seperti perang Badar dan
Uhud, dari buku-buku sirah yang paling dapat dipercaya.
e. Tafsir dan penjelasan.
f. Hukum-hukum yang dapat diambil dari ayat-ayat al-Qur’an.
g. Menjelaskan balaghah dan i’rab.32
Mengamati metode penulisan tafsir al-Munîr dari sisi urutan atau
susunan penafsiran, yang dimulai dari al-Fatihah dan diakhiri dengan al-Nâs,
maka bisa dikatakan bahwa metode penulisan tafsir ini adalah tahlili. al-
Zuhailî menulis tafsir ini dari berbagai sisi secara terperinci, dimulai dengan
membahas keutaman surat, membahas makna kosa kata, mengulas kandungan
kosa kata, mengulas kandungan sastranya, menafsirkan kandungan ayatnya
kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut dibawah tema fikih
kehidupan, tanpa mengabaikan sisi menasabah anatara ayat dan sebab
nuzulnya. Dalam penafsiran ayat-ayat al-Zuhailî juga merujuk pada ayat-ayat
dari surah-surah yang lain, yang terkait dengan ayat yang sedang
ditafsirkannya, menjelaskan tujuan utama surah dan ayat dan petunjuk-
petunjuk yang dapat dipetik darinya, untuk lebih memperjelas ulasannya,
sehingga penafsirannya menjadi lebih utuh dan menyeluruh. Metode
penulisan dengan langkah-langkah seperti ini menurut para pakar tafsir bisa
digolongkan dalam tafsir semi tematik (maudhu’i).
32 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 1, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk ,h. Xv-xviii.
47
Maka dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran yang dipakai
Wahbah al-Zuhailî dalam tafsir al-Munîr adalah kolaborasi antara metode
tahlili dan semi tematik, karena disamping menafsirkan al-Qur’an sesuai
urutan surat-surat sebagaimana termaktub dalam Mushaf, beliau juga
memberi tema pada kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya dan
mengkaitkan dengan kandungan surat secara keseluruhan. Contohnya dalam
menafsirkan surat al-Baqarah ayat 1-5, beliau memberi tema “ sifat-sifat
orang mu’min dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa”.33
Para pengkaji tafsir memasukkan karya Wahbah al-Zuhailî ke dalam
tafsir yang mempunyai corak (laun) fiqhi. Sehingga sering disebut juga
sebagai tafsir aḥkâm,karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an al-
Zuhailî lebih banyak mengaitkan dengan persoalan-persoalan hukum. Karena
sebuah kitab tafsir bisa mengandung beberapa corak, maka yang dapat
dideteksi dari kitab tafsir al-Munîr ini selain corak fikih adalah corak adâbi
ijtima’i, yaitu corak tafsir yang dicirikan dengan keindahan gaya bahasanya
disamping mengutamakan fokus pembahasannya pada persoalan sosial
kemasyarakatan.34
4. Karakteristik Tafsir Al-Munîr
Karakteristik al-Zuhailî dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai
berikut:
a) Kebahasaan, yakni dengan menjelaskan tafsir mufradatnya, balaghah,
dan i’rabnya.
33 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 173. 34 Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir, h. 174.
48
b) Dalam pembahasan tafsir, dijelaskan secara panjang lebar dan mendalam
terkait dengan tafsir ayat, yang diantaranya diperkuat oleh hadits-hadits
sahih.
c) Di dalam tafsirnya juga dijelaskan pedoman hidup, yang dijelaskan
dalam bentuk poin-poin penting yang dapat dijadikan sebagai pedoman
hidup.35
d) Mengikuti pendapat salafi dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.
e) Mengkaitkan hukum fikih ketika menafsirkan ayat-ayat ahkam tanpa
fanatisme.
f) Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum tidak terlepas dari pembahasan
qira’at.
g) Berusaha menghindari riwayat-riwayat israiliat.36
5. Keistimewaan Tafsir Al-Munîr
Kitab Tafsir Al-Munîr merupakan karya terbesar Wahbah al-Zuhailî
pada bidang tafsir, kitab ini memberikan penjelasan yang sangat luas dengan
memperhatikan qiirâ’ah, munasabah, asbâb al-nuzûl, balaghah, i’rab, dan
fiqh al-ḥayât (fikih kehidupan). Kemudian metode yang digunakan dalam
menjelaskan al-Qur’an yakni dengan cara bi al-ma’thur dan bi al-ra’yi.
Sedangakan wahbah al-Zuhailî dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
menggunakan sumber rujukan, yaitu: al-Jâmi’ li Aḥkâm al-Qur’an, Tafsir al-
Kashâf, Tafsir al-Ṭabarî , Tafsir al-Kabir, Mafâtîh al-Ghayb. al-Zuhailî
dalam menafsirkan al-Qur’an juga memadukan pendapat para ulama
kontemporer dan klasik, akan tetapi sebelum memaparkan pendapat para
35 Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h.231. 36 Syibromalisi dan Alizy, Membahas Kitab Tafir, h. 175-179.
49
ulama-ulama tersebut, al-Zuhailî melakukan tarjih pendapat yang
menurutnya benar. Keistimewaan tafsir ini juga menggunakan metode tahlili,
yakni pembahasannya dilakukan secara merata, urut, dan tuntas mulai dari
surat al-Fâtihah sampai al-Nâs. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
memahami maksud dan penjelasan setiap surat di dalam tafsir al-Munîr,
maka kitab tafsir ini pantas selalu dijadikan rujukan dan referensi oleh
siapapun yang ingin mendalami tafsir.37
6. Pendapat ulama terhadap Tafsir Al-Munîr
Alî Iyâzîî berkata bahwa, Tafsîr al-Munîr membahas seluruh ayat al-
Qur’an dari awal surat al-Fâtihah sampai akhir surat al-Nâs. Pembahasan
kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara corak tafsir bi al-ma’thûr
dengan tafsîr bi al-ra’yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang
jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi
sekarang ini. Oleh sebab itu, al-Zuhailî membagi ayat-ayat berdasarkan topik
untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.38
Dr. Ardiansyah menjelaskan, Tidaklah berlebihan kiranya saya
mengatakan bahwa Syaikh Wahbah adalah ulama paling produktif dalam
melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam
al-Suyûtî . Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari kalangan
akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti
al-Fiqh al-Islamiy wa Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh,
sehingga layak disamakan dengan karya-karya al-Imam an-Nawawi. Prestasi
dan keberhasilan yang langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang ini,
37Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî ” h. 152. 38Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî ,” h. 151.
50
merupakan anugrah dari Allah swt., serta kesungguhan beliau dalam
membaca, menelaah, dan menulis.39 Kitab ini layak dibaca setiap kalangan,
baik yang berilmu maupun yang awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi
dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi merujuk
kepada kitab-kitab yang lain.40
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan oleh penulis di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa Wahbah al-Zuhailî merupakan seorang cendekiawan
Islam, juga merupakan seorang mufassir dari Damsyiq, Suriah dan juga ahli fikih.
Kitab al-Tafsir al-Munîr terdiri dari dari 16 volume yang ditulis dalam rentang
waktu 16 tahun, dan diterbitkan pertama kali oleh Dâr al-Fikr, Beirût-Libanon
dan Dâr al-Fikr Suriah pada tahun 1991 M./1411 H., dengan berbahasa Arab.
39Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof. Dr.
Wahbah al-Zuḥailî : Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2010), h. 20. 40Ardiansyah, Sheikh Prof. Dr. Wahbah al-Zuḥailî , h. 20.
51
BAB IV
TAFSIRAN GHULUW DALAM BERAGAMA
Ghuluw adalah sikap ceroboh, gegabah dan melampaui batas.1 Sedangkan
Ghuluw dalam beragama adalah sikap melampaui batas dengan sikap ceroboh,
gegabah, dan berlebih-lebihan dalam beragama secara batil dan tidak benar.
Sebagaimana kaum Yahûdi terlalu berlebihan dalam merendahkan dan
melecehkan ʻIsâ, sedangkan umat Nasrânî terlalu berlebihan dalam meletakkan
atau menempatkan ‘Isâ pada posisi sebagai Tuhan (Allah).2
A. Ghuluw Ahlu Al-Kitab: Kajian Utama
Al-Qur’an telah menuntut Ahlu al-Kitab agar tidak berlebih-lebihan
(ghuluw) dalam agama dan melampaui batasan-batasannya, tidak mengatakan
perkataan yang tidak benar dan sesuai dengan kenyataan.3 Kajian ghuluw Ahlu al-
Kitab dapat diketahui dan dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni Ahlu al-
Kitab yang menghinakan (Yahûdi) dan mengagungkan (Nasrânî). Berdasarkan
kamus mu’jam al-mufahras li alfadz al-Qur’an disebutkan bahwa ayat-ayat al-
Qur’an yang membahas tentang ghuluw (berlebih-lebihan) kaum ahlu al-kitab,
yakni surah al-Nisâ’ ayat 171 dan surah al-Mâ’idah ayat 77.4
1 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: GemaInsani, 2016), h. 609. 2 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 374 dan 609. 3 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, terj Muhtadi, dkk, jilid 1 (Jakarta: Gema Insani,
2012), h. 370. 4 Muhammad Fuad Abd Baqi, Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadz al-Qur’an Bi Hasiyah Al-
Mushaf Al-Syarif (Kairo: Dar al-Hadis, 2007) h. 616.
52
1. Ghuluw (berlebih-lebihan) Dalam Menghinakan
Tabel 4.1 kajian ghuluw (berlebih-lebihan) yang terkait menghinakan.
NO DIKSI BAHASA
ARAB HALAMAN KONTEKS KET
1 Melampaui
Batas تججاوجزج h. 634
jilid 3
اتىبجاعى تججاوجزوااحلجدفى لج احلجقى
Larangan Allah
kepada kaumYahûdi
dan Nasrânî untuk
bersikap melampaui
batas dalam
mengikuti
kebenaran.
AKN5
&
AKY6
2 Berlebih-
lebihan غلو
h. 392
jilid 3
ي جنهىاهللت جعجلىاجهلج الكىتجابعنالغلو
Allah melarang Ahlu
al-Kitab (Yahûdi)
untuk bersikap
ghuluw
AKY
3 Berlebih-
lebihan غلو
h. 392
jilid 3
الىكاليه دغلواتجقريوكذجفروابه كج عيسىوإهانتهو
KaumYahûdi
bersikap ghuluw
dalam menghina,
melecehkan serta
berbuat kufur kepada
Nabi ʻIsâ.
AKY
4 Berlebih-
lebihan h. 395 غلو
jilid 3
نوع التغاىلفاألمورمج شرعا
AKY
&
5 AKN : merupakan singkatan dari Ahlu al-Kitab Nasrânî 6 AKY : merupakan singkatan dari Ahlu al-Kitab Yahûdi
53
Sifat ghuluw dalam
kehidupan dilarang
oleh syari’at.
AKN
5 Berlebih-
lebihan h. 634 غلو
jilid 3
لتبالغوافتعظيمالعزيز,ولتعظيمعيسى.
ولتبالغواايضاف إهانتهعيسىوأمهLarangan Allah
kepada Ahlu al-
Kitab (Yahûdi dan
Nasrânî) dalam sikap
ghuluw dalam hal
mengagungkan dan
melecehkan ʻIsâ.
AKY
&
AKN
6 Keterlaluan افراط h. 392
jilid 3
ولتفريطبتحقريهKaumYahûdi
bersikap ghuluw
(keterlaluan) dalam
menjelekkan ʻIsâ.
AKY
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa kata ghuluw (berlebih-
lebihan) memiliki makna yang sama dengan kata-kata yang lain, seperti
melampaui batas (تاوز) dan keterlaluan (افراط). Berdasarkan tabel di atas, kata
ghuluw (berlebih-lebihan) yang membahas tentang menghinakan dalam tafsir al-
Munir disebutkan sebanyak empat kali. Yang semakna dengan ghuluw (berlebih-
lebihan) yang membahas tentang menghinakan, yakni melampaui batas (تتجاوز) disebutkan sebanyak satu kali dan keterlaluan (إفراط) disebutkan satu kali.
Kemudian pembahasan yang membahas tentang ghuluw dalam hal
menghinakan yang khusus membahas Ahlu al-Kitab Yahûdi (AKY) disebutkan
sebanyak tiga kali, yaitu, berlebih-lebihan (ghuluw) dua kali dan keterlaluan
disebutkan satu kali. Kajian yang terkait dengan ghuluw Ahlu al-Kitab telah (إفراط)
Allah jelaskan pada surah al-Nisâ ayat 171 dan al-Mâ’idah ayat 77.
54
Abû Hasan mengatakan dalam kitab Asbâb al-Nuzûl, bahwa asbâb al-
nuzûl surah al-Nisâ’ ayat 171 adalah ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok
orang-orang Nasrânî yang mengatakan bahwa ‘Isâ adalah putra Allah.7 Setelah
Allah memberikan jawaban serta kesyubhatan kaum Yahûdi dan mewajibkan
mereka untuk berada pada jalan yang lurus, hal ini diikuti dengan pemberian
sanggahan terhadap kaum Nasrânî dan mengharuskan mereka untuk pandangan
yang benar tentang ‘Isâ putra Maryam.8
Al-Zuhailî berkata bahwa Allah melarang Ahlu al-Kitab untuk bersifat
ghuluw dan bersikap keterlaluan dalam menjelekkan (menghinakan) Nabi ʻIsâ
sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum Yahûdi. KaumYahûdi bersikap
ghuluw dalam menghina, melecehkan serta berbuat kufur kepada Nabi ʻIsâ.9 Al-
Masih (ʻIsâ) yang dimusuhi oleh kaum Yahûdi, tidak mampu untuk menjatuhkan
kemudharatan kepada kaum Yahûdi, bahkan mereka berusaha untuk menyalib dan
membunuh ‘Isâ. ‘Isâ tidak mampu untuk menghalangi kemudharatan kaum
Yahûdi dari dirinya, begitu juga ia tidak mampu mewujudkan kemanfaatan dunia
untuk para pengikut, para penolong dan para temannya.10
Selain al-Zuhailî, al-Qurtubi juga menegaskan bahwa, Allah
mengharamkan sifat ghuluw. Yang mana pada kitab tafsirnya, al-Qurtubi
mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw yang dilakukan Ahlu al-Kitab
yakni, seperti sikap ghuluw dalam menghinakan ‘Isâ yang dilakukan oleh orang-
7Abû Hasan Alî bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburiy, Asbâb al-Nuzûl (Beirut: Dar al-Fikr,
1991), h. 125. 8Al-Zuhailî, Tafsir Al-Munir, jilid 3, h. 375. 9 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3 (Beirut: Dâr al-
Fikr, 2014), h. 392 10 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3, h. 634
55
orang Yahûdi terhadap Maryam binti Imran yang sampai-sampai menuduhnya
berzina.11
Dalam kitab tafsir Adhwa’ul Bayan, Syaikh al-Syanqiti juga sependapat
dengan Zuhailî dan al-Qurtubi bahwa kaum Yahûdi melakukan sikap melampaui
batas atau ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama dengan cara melakukan
tuduhan dusta terhadap Maryam. Dengan demikian, perbuatan melampaui batas
yamg dilarang dalam agama meliputi tafrît (menghinakan) dan ifrât (mengagungkan)
atau dalam bahasa kita berlebih-lebihan.12
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah melarang kepada
kaumYahûdi untuk bersikap ghuluw, melampaui batas dan keterlaluan dalam
mengikuti kebenaran. Sebagaimana kaumYahûdi bersikap ghuluw dalam
menghina, menjelekkan, melecehkan serta berbuat kufur kepada Nabi ʻIsâ.
2. Ghuluw (berlebih-lebihan) Dalam Mengagungkan
Tabel 4.2 kajian ghuluw (berlebih-lebihan) yang terkait tentang
mengagungan.
NO DIKSI BAHASA
ARAB
HALAMAN KONTEKS KET
1 Melampaui
Batas h. 392 تاوز
jilid 3
تاوزوااحلدفعيسىحىت أهلوه
Kaum Nasrânî
melampaui batas
dalam mengagungkan
ʻIsâ sehingga mereka
menuhankan ʻIsâ.
AKN
11 Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurthubi,terj. Ahmad Rijali, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h.
21. 12 Al-Syanqiti, Adhwa’ul Bayan, jilid 1, terj. Fathurazi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006),
h. 855.
56
2 Melampaui
Batas h. 392 تاوز
jilid 3
يااهلالكتابلتتجاوزحدوداهللبالزيادةاو
الدينالنقصف Larangan Allah
kepada Ahlu al-Kitab
(Nasrânî) untuk
bersikap melampaui
batas dalam
melanggar batasan-
batasan Allah dengan
menambah-nambahi
atau mengurang-
ngurangi.
AKN
3 Melampaui
Batas h. 634 تاوز
jilid 3 اتىبجاعى تججاوجزوااحلجدفى لج
احلجقىLarangan Allah
kepada kaumYahûdi
dan Nasrânî untuk
bersikap melampaui
batas dalam mengikuti
kebenaran.
AKN
&
AKY
4 Berlebih-
lebihan h. 392 غلو
jilid 3
ولتتغالوافتعظيمعيسى وتقديسه
Allah melarang kaum
dan Nasrânî untuk
ghuluw (berlebih-
lebihan) dalam
mengagungkan dan
mengkultus ʻIsâ.
AKN
5 Berlebih-
lebihan h. 395 غلو
jilid 3
نوع التغاىلفاألمورمج شرعا
Sifat ghuluw dalam
kehidupan dilarang
oleh syari’at.
AKN
&
AKY
57
6 Berlebih-
lebihan h. 634 غلو
jilid 3
العزيز,لتبالغوافتعظيمولتعظيمعيسى.ول
تبالغواايضافإهانته عيسىوأمه
Larangan Allah
kepada AhlulKitab
(Yahûdi dan Nasrânî)
dalam sikap ghuluw
dalam
halmengagungkan dan
melecehkan ʻIsâ
AKN
&
AKY
8 Keterlaluan افراط h. 392
jilid 3
فالإفراطبتعظيمعيسىو تقديسه
Allah melarang kaum
Nasrânî bersikap
keterlaluan dalam
mengagungkan dan
mengkultus ʻIsâ.
AKN
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, kata ghuluw (berlebih-lebihan) yang
membahas tentang mengagungkan dalam tafsir al-Munîr disebutkan sebanyak tiga
kali. Yang semakna dengan ghuluw (berlebih-lebihan) yang membahas tentang
mengagungkan, yakni melampaui batas (تتجاوز) disebutkan sebanyak tiga kali dan
keterlaluan (إفراط) disebutkan satu kali. Kemudian pembahasan yang membahas
tentang ghuluw dalam hal mengagungkan yang khusus membahas Ahlu al-Kitab
Nasrânî (AKN) disebutkan sebanyak empat kali, yaitu melampaui batas (تتجاوز) disebutkan sebanyak dua kali, berlebih-lebihan (ghuluw) satu kali dan keterlaluan
.disebutkan satu kali (إفراط)
Allah telah melarang Ahlu al-Kitab dari sifat ghuluw (berlebih-lebihan)
dan pemujaan yang terlalu berlebihan, karena sesungguhnya orang-orang Nasrânî
yang terlalu melampaui batas di dalam permasalahan ‘Isâ sampai mereka para
58
orang-orang Nasrânî menuhankan ‘Isâ. Maka mereka (orang-orang Nasrânî)
memindahkan derajat ‘Isâ yang bermula dari posisi kenabian menjadi posisi
Tuhan. Bahkan sifat ghuluw (berlebih-lebihan) orang-orang Nasrânî terbawa
sampai kepada para pengikutnya dan para fans fanatiknya yang mengklaim
bahwa ‘Isâ adalah milik agamanya (Tuhan orang Nasrânî).13 Kemudian Allah swt.
memerintahkan kepada kaum Yahûdi dan Nasrânî untuk tidak bersikap
melampaui batas dalam mengikuti kebenaran.14
Quraish Shihab sependapat dengan al-Zuhailî, bahwa Ahlu al-Kitab
Nasrânî meyakini bahwa ‘Isa adalah Tuhan.15 Sama halnya dengan al-Zuhailî
dan Quraish shihab, al-Syanqiti juga berpendapat bahwa Sikap melampaui
batas dalam agama serta perkataan yang tidak benar itu ialah perkataan orang-
orang Nasrânî mengenai ‘Isâ sebagai putra Allah, ada juga yang mengatakan
bahwa Isa adalah Tuhan, selain itu ada yang mengatakan bahwa Isa adalah
Tuhan selain Allah. Semua perkataan yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani
merupakan suatu tindakan ghuluw atau melampaui batas serta berlebih-
lebihan.16
Namun semua kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan oleh Ahlu
al-Kitab, telah diluruskan dengan menegaskan bahwa Tuhan adalah satu, yakni
hanyalah Allah. Tidak terdiri dari unsur yang membentuk-Nya, karena jika
13Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3, h. 392 14Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 611. 15M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an , jilid 2,
h. 831. 16Syaikh Al-Syanqiti, Tafsir Adhwa’ul Bayan, jilid 1, terj. Fathurazi, h. 854.
59
terdiri dari unsur yang membentuk-Nya maka artinya Dia adalah zat yang
membutuhkan, karena tanpa bagian itu Ia tidak ada.17
Selain itu al-Zuhailî mengatakan bahwa Allah melarang kepada Ahlu al-
Kitab untuk tidak bersikap melampaui batas dan melanggar batasan-batasan
yang telah ditetapkan Allah swt. dengan mengurang-ngurangi dan mereduksi
dalam urusan agama. Dan larangan untuk tidak meyakini melainkan meyakini
kebenaran yang pasti berdasarkan nash agama yang mutawatir atau dalil aqli
yang meyakinkan dan pasti.18 Dalam tafsir al-Munîr di bagian fikih kehidupan
dijelaskan bahwa sifat ghuluw dalam kehidupan dilarang oleh syari’at.19
Al-Tâbari juga berpendapat sama dengan al-Zuhailî, bahwa al-Tâbari
berkata di dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan دىينىكم فى ت جغلوا لج
ialah larangan melampaui batas kewajaran dalam membenarkan agama, hingga
berlebih-lebihan di dalam beragama, dan tidak pula mengatakan perkataan lain
terhadap ‘Isâ kecuali perkataan yang benar. Jika mengatakan bahwa ‘Isâ adalah
anak Allah, maka perkataan ini tidaklah benar, karena Allah tidak mempunyai
anak, dan yang dapat mempunyai anak ialah Isa atau makhluk-Nya.20
Al-Sabûny berpendapat bahwa pada surah al-Nisâ’ ayat 171 ini, berbicara
tentang golongan Ahlu al- Kitab yang kedua, yakni orang-orang Nasrani, yang
tersesat dari jalan kebenaran dan petunjuk. Mereka menciptakan menciptakan
berbagai gambaran yang aneh dan asing, berupa gambaran Tuhan yang disembah.
Mereka menyatakan bahwa Tuhan yang disembah tidak hanya satu, tapi terdiri
17M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an , jilid 2,
h. 831. 18Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj,jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 375-376. 19Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3, h. 395.
20Abû Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Ṭâbari, Tafsir Al-Ṭâbari, jilid 8, terj. Akhmad Affandi
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 174.
60
dari tiga oknum, yaitu: Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Himpunan dari tiga Tuhan
ini adalah Tuhan yang satu dan satu-satunya yang memiliki kekekalan. Sungguh
ini merupakan pemikiran yang aneh, yang lebih menyerupai kesesatan dan angan-
angan para pagianis musyrik tentang sesembahan yang mereka ciptakan sendiri,
lalu mereka menjadikannya sebagai Tuhan yang disembah selain Allah Yang
Maha Tinggi lagi Maha Agung.21
Allah menegaskan perkataan yang benar tentang ‘Isâ yang berkaitan
dengan keyakinan orang-orang Yahûdi dan Nasrânî, maka Allah berfirman, ( إىنمجااهلل رجسول ريجج مج ابن ى عىيسج يح سى
ج(امل " Sesungguhnya al-Masîh, ‘Isâ putra Maryam itu,
adalah utusan Allah.” Maksudnya adalah sebagai Rasul Allah, itulah kedudukan
paling tinggi dan predikat paling besar dari al-Masîh as., dari derajat
kesempurnaan yang didapatkan oleh makhluk, yaitu derajat kerasulan, yang
merupakan tingkatan paling tinggi dan posisi paling mulia.22 Allah mensifati ‘Isâ
dengan sifat-Nya, yakni sebagai utusan Allah. ‘Isâ diutus untuk membawa
kebenaran untuk disampaikan kepada makhluk-Nya.23
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah melarang kepada
Ahlu al-Kitab (Nasrânî) untuk bersikap melampaui batas dalam melanggar
batasan-batasan Allah dengan menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi,
serta Allah melarang untuk bersikap melampaui batas dalam mengikuti
kebenaran, sehingga kaum Nasrânî melampaui batas dalam mengagungkan ʻIsâ
sehingga mereka menuhankan ʻIsâ.
21Muhammad Alî Al-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Tematik Surat al-Baqarah – al-
An’am, terj. Kathur Suhadi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000) h. 242. 22Syaikh Abdurrahman bin Nashir, Tafsir As-Sa’di, Surat an-Nisa’ s/d al-An’am, terj.
Muhammad Iqbal, Lc, dkk (Jakarta: Pustaka Sahifa, 2007),jilid 2, h. 271. 23Al-Ṭabari, Tafsir Al-Ṭabari, jilid 8, h. 175.
61
B. Ghuluw Sebagai kajian Pelengkap
1. Syahwat
Islam adalah agama pertengahan, seimbang, dan moderat. Islam
bukanlah agama kependetaan, kesederhanaan dan pengabaian terhadap dunia,
juga bukan agama akhlak, ibadah dan aqidah semata. Melaikan Islam
disejajarkan antara amal dan keyakinan, antara ibadah dan bekerja, antara
materi dan ruh.24
Syahwat yaitu sesuatu yang disenangi dan digemari oleh jiwa serta
merasakannya nikmat.25 Di dalam surah Âli ‘Imrân ayat 14 menjelaskan
tentang kecintaan terhadap Syahwat di dunia. Berdasarkan ayat ini al-Qur’an
menggungkapkan hal-hal yang diingini (al-Musyathaah) dengan
menggunakan kata syahwat yang memiliki arti keinginan atau kecintaan.
Menurut al-Zuhailî syahwat adalah sesuatu yang dicela, sehingga diharapkan
manusia bisa bersikap proposional dan tidak ghuluw (berlebih-lebihan) di
dalam mencintai dan menggemari, serta dapat mengkontrol ketertarikan tabiat
alamiahnya terhadap hal-hal tersebut.26
Allah menjadikan indah pada pandangan manusia kecintaan terhadap
dunia, dan Allah menanam rasa cinta ini di dalam dada mereka sehingga
menjadi naluri bagi mereka. Ini bertujuan untuk memakmurkan dunia dan
memajukannya. Sekiranya manusia tidak mencintai dunia tentu mereka akan
mengabaikannya dan lalai dalam membangun kemegahannya. Syahwat dunia
24 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 160. 25 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk , h. 200. 26 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk , h. 200.
62
bermacam-macam, mencakup kecintaan terhadap wanita dan anak-anak,
menimbun harta, mengumpulkan kuda-kuda pilihan. Semua itu merupakan
kesenangan hidup di dunia dan perhiasannya, yaitu sesuatu untuk bersenang-
senang dan dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu yang terbatas. Semua
kesenangan itu akan menjadi tercela apabila menyebabkan keburukan dan
menjauh dari Allah, hal ini dapat menjadi ancaman kepada pemiliknya.
Adapun jika ia menjadi sebab kebaikan, juga tidak menghalangi pemiliknya
untuk menunaikan kewajiban agama, sosial, dan kemanusiaan, maka ia
menjadi kebaikan bagi pemiliknya. Dan hanya Allah sebagai tempat kembali
dan tempat berpulang yang baik.27
Maksud dari surah Âli ‘Imrân ayat 14 ini, bukanlah melarang kepada
kecintaan dunia yang proposional, akan tetapi yang dilarang adalah kecintaan
yang berlebih-lebihan terhadap dunia, berlebih-lebihan dalam memenuhi
syahwat atau terlalu disibukkan dengan masalah syahwat hingga melupakan
masalah akidah dan agama serta mengabaikan urusan akhirat.28 Karena itu
Allah swt. mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia atas
kehidupan akhirat dan membatasi keinginannya hanya pada urusan dunia.29
2. Syaitan
Al-Qur’an mengingatkan dua hal yang paling berbahaya kepada
manusia, karena hukumnya buruk dan berakibat fatal. Kedua hal tersebut
adalah syirik dan setan. Setan adalah makhluk yang hidup dan eksis. Setan
merupakan musuh bebuyutan manusia karena setan hanya membisikkan
27 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 161. 28 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk h. 200. 29 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 161.
63
keburukan pada manusia, hanya menghiasi dengan keburukan serta
mendorong untuk jatuh dalam berbagai hal yang membinasakan melalui jalan
harta, tahta, atau wanita, atau dengan jalan merusak aqidah dan amal.30
Allah swt. melaknat setan dengan cara mengusir dan menjauhkannya
dari rahmat dan karunia-Nya, disertai dengan kehinaan. Setan merupakan
penyeru kejelekan, kerusakan, dan kebatilan dengan bisikan dan godaan yang
ia munculkan dalam dada manusia.31
Di antara bentuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan) setan dan seruannya
kepada kerusakan adalah bahwa setan sampai bersumpah ( عىبجادىكج ن مى نم ذج ألجتمىا مفروضج sungguh aku akan mengambil dari manusia bagian tertentu“ ,(نصيبا
untuk kujadikan sebagai para murid dan pengikut”. Selain itu setan juga
berkata, (هم لمن م ضى yakni setan akan memalingkan manusia dari kebenaran ,(وجألج
dan akidah yang benar.32
C. Pelajaran Bagi Kaum Muslim Mengenai Ghuluw
Al-Qur’an mengingatkan dua hal yang paling berbahaya kepada manusia,
karena hukumnya buruk dan berakibat fatal. Kedua hal tersebut adalah syirik dan
setan.33 Selain dua hal tersebut, syahwat juga dapat menyebabkan terjadinya sifat
ghuluw bagi kaum muslim. Berdasarkan pembahasan di atas mengenai ghuluw
Ahlu al-Kitab kajian utama dan ghuluw sebagai kajian pelengkap, maka dapat
diambil pelajaran bagi kaum muslim bahwa sikap ghuluw yang dilakukan oleh
30 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 339. 31 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk h. 273. 32 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 3, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 273. 33 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 339.
64
kaum Ahlu al-Kitab, serta kajian syahwat dan syaitan tersebut juga bisa
menyebabkan terjadinya sifat ghuluw pada kaum muslim.
Untuk menghindari terjadinya sifat ghuluw (berlebih-lebihan) pada kaum
muslim, hal yang dapat dilakukan yakni dengan cara menjadi khairul ummah dan
mencegah terjadinya kerusakan.
1. Menjadi Khairul Ummah
Umat Islam bukanlah umat yang dikhususkan hanya untuk individu-
individu dan tertutup untuk kalangan sendiri. Tetapi umat Islam adalah umat
yang terbuka bagi seluruh bangsa, toleran terhadap umat manusia, menyukai
kebaikan untuk seluruh manusia, serta menolak kejahatan dan keburukan dari
segenap umat. Mereka adalah sebaik-baik manusia untuk manusia.34
Allah menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik selama
mereka masih menjalankan amar ma’rûf nahî munkar dan beriman kepada
Allah dengan keimanan yang lurus, benar dan sempurna.35 Wahbah al-Zuhailî
menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi Khairul Ummah adalah dengan
mengejerkan amar ma’rûf nahî munkar. Dalam kitab tafsir Al-Munîr
dijelaskan bahwa surah Âli ‘Imrân ayat 110, amar ma’rûf nahî munkar
didahulukan atas iman kepada Allah, hal ini dikarenakan bahwa amar ma’rûf
nahî munkar adalah dua hal yang bias menunjukkan dan membuktikan akan
keutamaan umat Islam atas umat yang lain serta merupakan pintu dari
keimanan itu sendiri. Keunggulan dan keutamaan ini akan selalu dimiliki oleh
34 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 204. 35 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk h. 373.
65
umat Islam selama mereka tetap beriman kepada Allah dengan sebenar-
benarnya iman, serta selalu menjalankan amar ma’rûf dan nahî munkar.36
Al-Zuhailî mengatakan bahwa Allah juga melarang umat-Nya untuk
mengikuti pendapat dan pandangan kaum yang hanya bersumber dari hawa
nafsu, mereka merupakan pemuka-pemuka kesesatan yang tersesat sejak
dahulu serta menyesatkan banyak orang dan keluar dari jalan kelurusan dan
beralih kejalan kesesatan. Allah menjelaskan bahwa sebab semua itu adalah
mereka tidak melaksanakan amar ma’rûf nahî munkar.37
2. Mencegah Terjadinya Kerusakan
Syirik merupakan puncak rusaknya ruhani, kesesatan akal dan
menyimpang dari masalah paling penting di dunia ini, yaitu beriman kepada
Allah swt. Syirik adalah kezaliman dan penentang terhadap kebenaran,
merasuk dalam kekafiran, dan menentang nikmat Allah atas seluruh
makhluk.38
Selain syirik hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yakni
setan, setan adalah penyeru keburukan dan kerusakan, puncak kekufuran dan
kesesatan. Allah swt. menjauhkan setan dari rahmat-Nya. Orang-orang yang
menyembah patung dan berhala, mereka menyembah dengan berdo’a dan
memohon kepadanya menggunakan nama-nama muannats, seperti Lâta,
Uzza, Manaat, dan Nâ’ilah. Mereka semua muannats, lemah dan tidak
berakal. Mereka hanyalah benda mati dan kayu yang tidak mengerti. Tidak
36 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk h. 373. 37 Al-Zuḥailī, Tafsir Al-Munir, jilid 3, h. 611.
38 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 340.
66
ada yang menyembah dan mengagungkan selain setan yang terbiasa
menyakiti, di atas kekejian, dan membangkang dari nilai-nilai kebaikan.
Setanlah yang memerintahkan orang-orang untuk menyembah berhala.39
Setelah mengingatkan berbagai jenis bisikan setan terhadap manusia,
al-Qur’an mendorong kaum muslim agar beriman secara benar dan tulus,
mendorong orang muslim untuk beramal baik, yaitu mengerjakan perbuatan-
perbuatan baik dan perkara-perkara baik yang diperintahkan Allah, serta
meninggalkan kemungkaran yang dilarang. Allah swt. menjanjikan surga
yang abadi kepada orang-orang yang beriman dan beramal, di bawah kamar
dan taman-taman surga itu mengalir sungai-sungai.40
Selain itu hal yang dapat menyebabkan kerusakan pada kaum muslim
yaitu syahwat. Syahwat merupakan sesuatu yang digemari dan disukai oleh
jiwa. Allah melarang kaum muslim untuk terlalu berlebih-lebihan dalam
mencintai dunia, sehingga melupakan masalah akidah dan urusan akhirat.41
39 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 340. 40 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Wasith, jilid 1, terj. Muhtadi, dkk, h. 341. 41 Wahbah al-Zuhailî, Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah&Manhaj , jilid 2, terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 200.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat dibuat beberapa
poin yang merupakan catatan penting, yang dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Ghuluw merupakan suatu perkara dalam beragama yang melampaui apa
yang dikehendaki oleh syari’at baik dalam hal keyakinan maupun amalan.
2. Haramnya bersifat ghuluw dalam agama karena ghuluw merupakan salah
satu sebab yang membawa kepada kesesatan, serta larangan bagi umat
Allah untuk mengikuti hawa nafsu dalam beragama.
3. Menurut pandangan Wahbah al-Zuhailî, Allah swt. telah melarang
umatnya nabi Muhammad saw. untuk bersifat ghuluw dalam beragama,
sedangakan sifat yang diinginkan oleh al-Zuhailî yakni bersikap moderat
dalam beragama. Yakni sikap diantara mengagungkan dan melecehkan
Nabi ‘Isâ.
B. Saran-saran
Setelah penulis menyelesaikan penelitian ini, penulis menyadari bahwa
penelitian ini jauh dari kata sempurna. Sehingga penulis yakin bahwa penelitian
ini masih memiliki keterbatasan dalam pembahasannya, oleh karena itu penulis
sangat berharap mendapatkan saran dan kritik dari segenap pembaca agar
penelitian ini lebih lengkap dan sempurna.
68
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompillasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. 1994.
Abd Baqi, Muhammad Fuad. Mu’jam al-Mufahras Li Alfadz al-Qur’an Bi
Hasiyah al-Mushaf al-Syarif. Kairo: Dar al-Hadis. 2007.
Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyal. 1996.
Ali, Mukti. Metode Memahami Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
Ardiansyah. Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhailî: Ulama Karismatik Kontemporer-sebuah
Biografi. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis. 2010.
Aziz, Imam. Tafsir Maudhu’i Al-Muntaha. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2015.
Basri, Hasan. Aktualisasi Pesan Alquran dalam bernegara. Jakarta: Ihsan
Yayasan Pancur siwah. 2003.
Dar’, Abud bin Ali bin. Berlebih-lebihan dalam Agama. Penerjemah Oleh Rusli
dan Rizal. Jakarta: Pustaka Azzam. 2002.
Dawami, M. Iqbal. Kamus Istilah Populer Islam: Kata-kata Yang Paling Sering
Digunakan di Dunia Islam. Jakarta: Erlangga. 2013.
Depertermen Agama RI. Mukadimah Al-Qur’an dan tafsirnya. Jakarta: Lentera
Abadi. 2010.
Hafidhuddin, Didin. Tafsir Al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa’.
Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu. 2000.
Imam, Mardaham. Agama Yang Lurus/Benar. Jakarta: Kalam Mulia. 1989.
Imzi, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab
Tafir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: Lingkar Studi
al-Qur’an. 2013.
Kementrian Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,
Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syariah. Al-Qur’an Dan
Terjemahnya. Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia. 2012.
69
LAL, Anshori. Tafsir bi al-Ra’yi: Menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Ijtihad Jakarta:
Gaung Persada Press, 2010.
Lubis, M. Ridwan. Agama dan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 2017
Luwaihiq, Abdurrahman bin Mu’allaq. Al-Ghuluw Benalu dalam BerIslam,
penerjemah Oleh Kathur Suhadi. Jakarta: CV. Darul Falah. 2003
Madjid, Nurcholish. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.1995.
Manzur, Ibnu. Lisanul Arab. Bairut: Dar al Ihya Turath al-‘Arabi. 1985.
Muhammad, Ahsin Sakho. Oase Al-Qur’an Penyejuk Kehidupan. Jakarta: PT Qaf
Media Kreativa. 2017.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al- Munawwir Arab Indonesia Terlengkap.
Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok
Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. 1984.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Muslimin. Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Deepublish. 2014.
Al-Naisaburiy, Abû Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi. Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dâr
al-Fikr. 1991.
Nashir, Syaikh Abdurrahman bin. Tafsir As-Sa’di, Surat al-Nisâ’ s/d al-An’am,
penerjemah Muhammad Iqbal, dkk. Jakarta: Pustaka Sahifa. 2007.
Nasir, M.Ridlwan. Memahami al-Qur’an perspektif baru metodologi tafsir
muqarin, Surabaya: Indra Media. 2003.
Nasution, Harun . Islam Rasional. Bandung: Mizan.1995.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Al-Qadhi, Ahmad bin Abdurrahman. Metode Al-Qur’an Dalam Mengatasi Sikap
Berlebihan Dalam Beragama. Jakarta: Darul Haq. 2018.
Qardhawi, Yusuf. Islam Radikal (Analisis terhadap Radikalisme dalam BerIslam
dan Upaya Pemecahannya). Penerjemah Hawin Murtadho. Solo: Era
Intermedia. 2004.
70
--------------------. Pengantar Kajian Islam Studi Analistik Komprehensif tentang
Pilar-pilar Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 1997.
Al-Qaṯṯân, Mannâ’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS.
Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2013.
Al-Qurtubi, Imam. Tafsir al-Qurṯubi, Penerjemah: Ahmad Rijali. Jakarta: Pustaka
Azzam. 2008.
Rahmat, M Imadadun. Arus Baru Islam Radikal Transmisi Revivalisme Islam
Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta : Erlangga. 2005.
Rodli, Ahmad. Stigma Islam Radikal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013.
Said, Mansur. Bahaya Syirik dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996.
Saleh, Qamaruddin,(et al). Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an. Bandung:
Diponegoro, 2002.
Al-Shabuny, Muhammad Ali. Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Tematik Surat al-
Baqarah – al-An’am, tej. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2000.
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-manar. Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
-----------------------. Tafsir Al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Suryaman, Khaer. Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah, 1982.
Al-Syanqithi, Syaikh. Tafsir Adhwa’ul Bayan. Penerjemah Fathurazi, dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam. 2006.
Al-Syibl, Ali bin Abd al-Aziz bin Ali. Manhaj al-wasatiyah wa atsaruh fi ilaj al-
ghuluw. Riyâd: Dâr al-Syibli, 1996 .
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafir Klasik-
Modern, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2011.
Taher, Tarmizi. Membumikan Ajaran Ketuhana, Jakarta: Hikmah. 2003.
Al-Ṭâbari, Abû Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Al-Ṭâbari.
PenerjemahAkhmad Affandi, Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
71
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan. 1992.
Usman, Fatimah. Wahdah al-Adyân. Yogyakarta: LkiS. 2006.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus
Wadzuriyyah. 1989.
Yusuf, Ali Anwar. Studi Agama Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2003.
Al-Zuhailî, Wahbah. Tafsir Al-Munîr, Aqidah, Syari’ah & Manhaj. Beirut: Dâr
al-Fikr. 2014.
-------------------------- .Tafsir Al-Munir, Aqidah, Syari’ah & Manhaj, Penerjemah
Abdul Kattani, Hayyie al-. dkk ,Jakarta: Gema Insani. 2016.
------------------------ . Tafsir Al-Wasith, penerjemah Muhtadi, dkk. Jakarta: Gema
Insani. 2012.
B. Sumber Jurnal dan Hasil Penelitian
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuḥailî Dalam al-Tafsir al-Munîr.” Mutawatir. vol
1, no. 2. (Desember 2011): h. 142-154.
Baihaki. “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama.” Analisis, vol. xvi no. 1
(Juni 2016): h. 125-152.
Darlis. “Mengusung Moderasi Islam Di Tengah Masyarakat Multikultural.”
Rustan Fikr. vol. 13 no.2 (Desember 2017): h. 225-255.
Ismail dan Fahmi, Internalitasasi Sikap Keberagamaan Sejak Anak Usia Dini,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/raudhatulathfal/article/view/1473/11
63
Khair, Sadiani Abdul. “Analisis Kritis Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang
Penetapan Talak.” Fenomena, vol. viii no. 2. (2016): h. 143-158.
Muhammaddin, Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. JIA/Juni 2013/
Th.XIV/Nomor 1/99-114.
Setiawan, Angga. https://id.scribd.com/doc/86042832/BAB-IV-Sumber-Agama-
Dan-Ajaran-Islam . 2012. Diakses pada 28 Agustus 2018, Pukul 11.15.
72
Al-Sewed, Muhammad Umar. “Sikap Tengah Ahlu Sunnah diantara Ifrâth dan
Tafrith, Salafy. edisi VI. t.t.
Syarif, Zubair. “Ghuluw: Penyakit yang Membahayakan Umat.” Salafy. no. 7 t.t.
Ummul Aiman, “Metode Penafsiran Wahbah al-Zuhailî: Kajian al-Tafsir al-
Munir,” Miqot (1 Januari, 2012).