Global Warming

Embed Size (px)

Citation preview

GLOBAL WARMINGMUHAMMAD AQLY SATYAWAN (H1E108056)

Pemanasan global atau yang sering juga disebut global warming adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan bumi yang disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Akibatnya radiasi yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar angkasa terhambat dan menyebabkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer, demikian pula suhu rata-rata di seluruh permukaaan bumi meningkat. Pemanasan Global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan disebabkan kenaikan suhu. Sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah tropis, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim. Letak geografis dan kondisi geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Global warming dalam jangka panjang akan mengubah perilaku iklim. Untuk di Indonesia, teori iklim dua musim sudah kurang tepat, karena pada kenyataannya di musim kemarau sering terjadi hujan dan di musim penghujan sering juga terjadi kemarau. Perubahan iklim ini tentunnya akan mempengaruhi tumbuhan dan hewan, baik secara fisiologis maupun morfologisnya dalam jangka panjang. Pada tanaman yang tidak tahan air peka pada curah hujan yang tinggi, maka tidak akan tumbuh dengan baik pada iklim yang tidak menentu. Dalam jangka panjang akan terjadi pengurangan populasi tumbuhan yang tidak dapat hidup dalam iklim yang tidak menentu. Demikian juga terjadi sebaliknya. Salah satu contoh yang nyata adalah bencana yang dialami petani di daerah Indramayu dimana mereka mengalami panen padi kosong atau gagal panen akibat perubahan kalender tanam yang telah berlaku atau digunakan oleh para petani. Kondisi mutakhir menunjukkan bahwa kecenderungan emisi gas-gas rumah kaca ternyata makin meningkat dari waktu ke waktu. Di Indonesia, pe-ngaruh pemanasan global telah menyebabkan perubahan iklim, antara lain terlihat dari curah hujan di bawah normal, sehingga masa tanam terganggu, dan meningkat-nya curah hujan di sebagian wilayah. Kondisi tata ruang, daerah resapan air, dan sistem irigasi yang buruk makin memicu terjadinya banjir, termasuk di area persa-wahan. Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut ber-jumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen.Selain di Indonesia, terjadi penurunan produksi gandum di Pakistan. Sama halnya yang terjadi di Indonesia, perubahan iklim yang terjadi menyebabkan perubahan kalender tanam dan peningkatan gas CO2 dapat memberikan dampak positif maupun negative bagi tanaman. Dampak positifnya yaitu dengan peningkatan gas CO2 maka proses fotosintesis tanaman akan meningkat serta peningkatan jumlah gas CO2 menurunkan proses transpirasi dengan penutupan stomata tanaman dan menyebabkan air yang hilang akan semakin sedikit sehingga dengan hal tersebut pertumbuhan tanaman akan meningkat. Namun tidak semua tanaman mampu beradaptasi dengan baik, tanaman-tanaman seperti gandum, padi, kedelai, dan kapas menunjukkan respon yang buruk terhadap peningkatan gas CO2.Dampak lainnya yaitu kasus epidemi yang terjadi di beberapa kota di Eropa Barat yang dikenal dengan The Nephropathia Epidemica Case. Hantavirus pertama kali ditemukan di Korea tahun 1978 dan merupakan kelompok pathogen yang ditransmisikan dari hewan vertebrata ke manusia. Jenis pathogen yang sitemukan Asia yaitu Hantaan dan Seoul virus, Puumala dan Dobrava virus di Eropa dan Barat Russia serta and Sin Nombre and Andes virus di Amerika. American hantaviruses mempengaruhi terutama paru-paru manusia dan menyebabkan hantavirus cardio- pulmonary syndrome (HCPS) dengan fatalitas 35%. Sebaliknya semua hantavirus di dunia umumnya menyerang ginjal dan menyebabkan haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS), dan seringkali mengakibatkan cidera ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) yang cepat dan berakhir pada gagal ginjal akut. Diantara hantaviral pathoghen, the European Puumala virus (PUUV) adalah yang paling berbahaya. Virus ini menyababkan infeksi yang disebut nephropathia epidemica (NE), yang sebenarnya merupakan bentuk ringan dari HFRS, dengan tingkat kematian sangat rendah dari 0,5-0,1%. Namun, kasus yang lebih parah terjadi, sehingga terjadi komplikasi multiorgan, yang memerlukan hemodialisis atau ventilasi paru-paru mekanik dan perawatan intensif. Perubahan dalam suhu dan curah hujan mengubah distribusi populasi tikus di seluruh dunia, yang akan berdampak pada berbagai penyakit yang disebabkan oleh hewan pengerat. Dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air karena kekeringan cenderung meningkatkan kontak satwa liar dan ternak pada sumberair yang terbatas, mengakibatkan meningkatnya penularan penyakit antara ternak dan satwa liar dan ternak dan manusia. Indonesia sudah merasakannya langsung, yakni tingginya angka pada korban yang menderita demam berdarah. Pemanasan global mengakibatkan perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat, sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Tentang keterkaitan pemanasan global dengan peningkatan vektor demam berdarah ini dapat dijelaskan sebgai berikut: Udara panas dan lembab itu paling cocok buat nyamuk malaria (Anopheles), dan nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti). Dulu, jenis kedua nyamuk penebar maut ini lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau. Kini rentang waktu serangan kedua serangga itu hampir di sepanjang tahun. Udara panas dan lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan pencegahan buruk yang selalu menyediakan genangan air bening untuk bertelur. Maka, kini virus malaria yang dibawa Anopheles dan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas. Akibat pemanasan global, siklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) di tubuh nyamuk Aedes aegypti dan siklus ekstrinsik virus penyebab Malaria di tubuh nyamuk Anopheles menjadi lebih pendek dan masa pertumbuhan kuman lebih singkat. Populasi mereka lebih mudah meledak. Terkait dengan ketersediaan air bersih di Indonesia bahkan di dunia, pemanasan global memberikan dampak yang cukup signifikan. Dengan meningkatnya suhu permukaan bumi, gletser-gletser dunia akan mencair sehingga terjadi peningkatan muka air laut. Peningkatan muka air laut ini selain dapat menyebabkan banjir di beberapa daerah dengan dataran rendah juga akan menyebabkan terjadinya fenomena intrusi air laut. Dengan adanya fenomena ini. sumber-sumber air tawar akan mengalami peningkatan salinitas sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Semakin sulit untuk mendapatkan air bersih akan berdampak pada penurunan kualitas kesehatan.Upaya-upaya umum telah dilakukan untuk menghadapi pemanasan global ini, diantaranya dengan diadakannya konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Selain itu dapat dilakukan dengan cara mitigasi dan upaya adaptasiyang dijabarkan sebagai berikut:1. Upaya mitigasi bertujuan untuk meningkatkan kapasitaspenyerapan karbon dan pengurangan emisi gas-gas rumahkaca (GRK) ke atmosfir yang berpotensi menipiskan lapisanozon. Untuk itu, upaya mitigasi terutama difokuskan untuk 5(lima) sektor yakni: Sektor kehutanan sebagai sumber mekanismepenyerapan karbon (carbon sink), diarahkan padaupaya pemeliharaan hutan berkelanjutan pencegahandeforestasi dan degradasi hutan, pencegahan illegallogging, pencegahan kebakaran hutan serta rehabilitasihutan dan lahan; Sektor Energi, diarahkan pada upaya pengurangan emisiGRK yang berasal dari pembangkit energi, transportasi,industri, dan perkotaan; Sektor Lahan Gambut, diarahkan pada upayapemertahanan permukaan air kawasan lahan gambut; Sektor Pertanian dan Ketahanan Pangan, diarahkanpada upaya pengelolaan lahan dan rawa serta optimasipemanfaatan infrastruktur irigasi; serta Sektor Limbah dan Persampahan, diarahkan khususnyadengan mekanisme pengurangan pelepasan emisi karbon(khusus gas metan).2. Upaya adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistemalam dan sosial untuk menghadapi dampak negatifdari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulitmemberikan manfaat secara efektif apabila laju Perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Upaya ini bertujuanuntuk: a. mengurangi resiko bencana atau kerentanan sosial-ekonomi dan lingkungan yang diakibatkan dari Perubahan iklim.b. meningkatkan daya tahan (resilience) masyarakatdan ekosistem.c. meningkatkan keberlanjutanpembangunan nasional dan daerah.Indonesia dalam adaptasi Perubahan iklim ini memilikitantangan yang sangat besar, terutama karena wilayahIndonesia merupakan negara kepulauan, berada di daerahtropis, dan memiliki posisi strategis di antara dua benuabesar dan dua samudera yang sangat besar. Kondisi inimenyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kearifan lokal dipahami sebagai nilai yang menjadi tradisi dan menjadi pedoman dapat berparan dalam mencegah Global Warming. Pelaksanaan Nilai-nilai tersebut dapat disadari atau tidak disadari, langsung atau tidak langsung telah mencegah Global Warming. Hal ini tentunya terkait dengan perbedaan pengetahuan yang kompleks dan pengetahuan yang sederhana. Pengetahuan yang kompleks dipahahami sebagai ilmu pengetahuan mutahir yang melibatkan disiplin ilmu. Sedangkan pemahaman pengetahuan sederhana dipahami sebagai sebab akibat. Kearifan lokal yang dapat dijadkan contoh yaitu deperti yang dilakukan selama berabad-abad oleh suku Badui. Suku Badui bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Wilayah ini merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan laut. Masyarakat suku Badui mendayagunakan hutan dengan semangat melestarikan dan melarang warganya menebang pohon sembarangan. Hal tersebut berlaku di seluruh wilayah di Suku Badui, terutama untuk wilayah leuweung kolot (hutan suci). Penebangan pohon dilingkungan leuweung kolot dilarang dengan alasan apapun. Dimana, hutan suci atau hutan lindung dibutuhkan untuk menjada keseimbangan dan kejernihan sumber daya air. Hal tersebut telah menjadi wisdom dan sangat dipahami oleh seluruh warga Suku Badui. Apabila, warga Suku Badui melakukan pelanggaran maka akan diberikan sanksi atau hukuman sesuai aturan Suku Badui. Sehingga dengan demikian, hutan lindung dilingkungan Suku Badui tidak akan pernah berubah. Hutan lindung merekalah yang memiliki peranan besar dalam mengurangi emisi CO2.Sejak abad 16, Suku Badui telah menghargai dan melestarikan hutan. Hutan dan lingkugannya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dalam tatanan keseimbangan kehidupan. Sedangkan, kita baru menyadari bahwa pembangunan harus berdasarkan pada keseimbangan lingkungan. Kesadaran tersebut meningkat setelah munculnya berbagai bencana yang terus mengancam kehidupan masyarakat, longsor, banjir bandang, kota-kota tenggelam, rob, kelaparan, munculnya berbagai penyakit dan lain-lain.Kearifan Suku Badui dengan melarang menggunakan bahan kimia mempertahankan kualitas produksi pertanian. Pertanian model tersebut saat ini dikenal dengan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Selain pertanian organik, Suku Badui juga memberikan pelajaran dalam menjamin ketahanan pangan. Suku Badui memiliki leuit berguna untuk menyimpan bahan makanan pokok. Bahan makanan di Leuit akan digunakan pada masa paceklik atau diberikan warga yang sudah kehabisan bahan makanan. Hal ini tentunya akan menjamin ketahanan pangan masyarakat Suku Badui. Model Leuit Suku Badui telah terbukti menjamin ketahanan pangan, hal ini tentunya dapat dijadikan model dalam ketahanan pangan Indonesia.Suku Badui merupakan suku yang tidak mengenal baca dan tulis. Namun demikian, Mereka memiliki kearifan dan kecerdasan yang dapat menjadi berckmarking dalam menata wilayahnya. Dengan kearifan mereka telah tertata ruang wilayah terlarang (hutan lestari), wilayah pertanian dan wilayah permukiman. Wilayah hutan juga tertata sebagai hutan lindung dan hutan produksi. Wilayah pertanian juga tertata pertanian personal dan pertanian umum (untuk masyarakat). Sedangkan wilayah permukiman juga tertata dengan baik dan ramah lingkungan. Penataan tersebut menakjubkan, dimana penataan yang dilakukan oleh Suku Badui mirip dengan penataan ruang yang dilakukan oleh Negara-negara maju yang ramah lingkungan. Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) diperlukan pada dasarnya untuk menciptakan wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, ketersesuaian antara penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dan mencegah dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

6