28
Deden Effendi, ) GOLPUT ATAU NONVOTE: BENTUK ALTERNATIF PARTISIPASI POLITIK ) A. PENGANTAR Partisipasi politik (political participation) sering dianggap sebagai sebuah sarana yang menghubungkan antara tatanan politik dengan tatanan sosial ekonomi yang lebih luas. Para teoritisi klasik, dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson, percaya bahwa partisipasi politik, khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting), merupakan kunci menuju suatu pemerintahan yang demokratis. Pemberian suara merupakan mekanisme yang memungkinkan pemerintah dapat mempertanggungjawabkan perilaku politik mereka di hadapan rakyat. Selain menekankan arti penting pemilihan umum, para teoritisi pluralis pun menekankan pentingnya kelompok-kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Di pihak lain, para teoritisi konflik melihat bahwa hampir semua bentuk partisipasi nonelit hanya sebagai ritual yang bersifat simbolik ketimbang tindakan memilih yang rasional, sehingga menganggap pemilihan umum sebagai alat yang tidak efektif dalam mengontrol elit politik. Sejalan dengan pandangan teoritisi konflik, teoritisi konstruksionis tertarik dengan makna simbolik dari partisipasi politik baik untuk individu maupun masyarakat. Sekalipun masing-masing aliran pemikiran dalam soiologi politik memiliki pandangan yang beragam tentang pemilihan umum, mereka dituntut untuk memahami hakekat hubungan antara negara dengan masyarakat atau antara tatanan politik dengan struktur sosial. ) Staf Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ) Makalah disampaikan pada Diskusi Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1 April 2004

GOLPUT ATAU NONVOTE

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: GOLPUT ATAU NONVOTE

Deden Effendi,)

GOLPUT ATAU NONVOTE:BENTUK ALTERNATIF PARTISIPASI POLITIK)

A. PENGANTAR

Partisipasi politik (political participation) sering dianggap sebagai sebuah sarana yang menghubungkan antara tatanan politik dengan tatanan sosial ekonomi yang lebih luas. Para teoritisi klasik, dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson, percaya bahwa partisipasi politik, khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting), merupakan kunci menuju suatu pemerintahan yang demokratis. Pemberian suara merupakan mekanisme yang memungkinkan pemerintah dapat mempertanggungjawabkan perilaku politik mereka di hadapan rakyat. Selain menekankan arti penting pemilihan umum, para teoritisi pluralis pun menekankan pentingnya kelompok-kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Di pihak lain, para teoritisi konflik melihat bahwa hampir semua bentuk partisipasi nonelit hanya sebagai ritual yang bersifat simbolik ketimbang tindakan memilih yang rasional, sehingga menganggap pemilihan umum sebagai alat yang tidak efektif dalam mengontrol elit politik. Sejalan dengan pandangan teoritisi konflik, teoritisi konstruksionis tertarik dengan makna simbolik dari partisipasi politik baik untuk individu maupun masyarakat. Sekalipun masing-masing aliran pemikiran dalam soiologi politik memiliki pandangan yang beragam tentang pemilihan umum, mereka dituntut untuk memahami hakekat hubungan antara negara dengan masyarakat atau antara tatanan politik dengan struktur sosial.

Sehubungan dengan itu, perlu diajukan beberapa pertanyaan. Siapa yang memberikan suara dalam pemilihan umum? Bagaimana cara mereka memberikan suara? Apa dampak pemilihan umum terhadap sistem politik?

B. BENTUK-BENTUK PARTISIPASI

Saluran-saluran apa saja yang dapat dimanfaatkan oleh massa dalam mem-pengaruhi atau mengontrol pemerintah? Partisipasi dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar: bentuk partisipasi politik yang institusional (institutional forms of political participation) dan bentuk partisipasi politik yang tidak institusional (noninstitutional forms of political participation). Pemilahan ini didasarkan pada pendapat Marger (1981: 268):

“Institutionalized forms of participation are established and acceptable methods of citizen action, those recognized as legitimate by the prevailing political system. Voting, writing letters to political officials, working for a

) Staf Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ) Makalah disampaikan pada Diskusi Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati

Bandung, 1 April 2004

Page 2: GOLPUT ATAU NONVOTE

political party, demonstrating peacefully, and so on are institutionalized forms. Noninstitutionalized forms of mass participation are not recognized as legitimate, extending beyond the official definitions of what is appropiate citizen behavior. Those might include civil disobedience, violent confrontations with authorities, and most extreme of all, actions designed to overthrowthe prevailing system”.

Dengan demikian, bentuk-bentuk partisipasi politik yang melembaga adalah cara-cara tindakan warga negara yang dianggap telah mapan dan diterima serta dianggap sah menurut sistem politik yang berkuasa. Pemberian suara, memprotes melalui lembaga-lembaga politik resmi, bekerja pada partai politik, dan melakukan demonstrasi secara damai merupakan beberapa bentuk dari partisipasi politik yang melembaga. Adapun partisipasi politik yang tidak melembaga dari partisipasi massa dianggap tidak sah, karena berada di luar batasan-batasan resmi tentang perilaku warga yang benar. Bentuk-bentuk ini meliputi antara lain ketidakpatuhan warga negara, perlawanan keras terhadap penguasa, dan – yang paling ekstrim – tindakan-tindakan untuk menggulingkan sistem yang sedang berkuasa.

Milbrath (1965: 19-20) telah mengembangkan sebuah model yang menggambarkan rentang partisipasi politik yang institusional. Model ini tampak pada Peragaan 1. Model yang berbentuk piramida partisipasi politik menjelaskan perbedaan jenjang kegiatan politik. Kegiatan-kegiatan politik itu dibedakan berdasarkan jumlah sumber daya individual yang dibutuhkan (energi, tenaga, dan waktu), jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan politik, dan dampak yang ditimbulkannya terhadap proses pembuatan kebijakan publik.

Peragaan 1Hirarki Keterlibatan dalam Kegiatan Politik

Kegiatan Gladiator

Menduduki pada jabatan po\ublik atau politik Mencalonkan diri untuk menduduki jabatan publik atau politik. Menggalang dana-dana politik Menghadiri sebuah kaukus atau pertemuan strategis Menjadi anggota aktif dalam sebuah partai politi Menyita waktu untuk kampanye politik

Kegiatan Transisi

Menghadiri pertemuan atau pawai politik Memberikan sumbangan pada partai politik atau calon pimpinan Melakukan hubungan dengan pemimpin publik atau politik

Kegiatan Petaruh

Mengenakan emblem atau menempelkan gambar partai politik Berusaha mempengaruhi orang lain dalam menentukan pilihan` Mengawali sebuah diskusi politik Memberikan suara pada pemilihan umumMembuka diri pada rangsangan politik

ApatisDengan meminjam metafora dari permainan masyarakat Romawi kuno

(yang kadang-kadang menyebabkan kematian bagi yang kalam dalam permainan tersebut), Milbrath membagi piramida partisipasi politik ke dalam tiga bagian:

1

2

Page 3: GOLPUT ATAU NONVOTE

gladiator, petaruh, dan penonton. Sekelompok kecil gladiator bertarung keras untuk menyenangkan para petaruh, yang memiliki kekuatan untuk menentukan nasib para gladiator. Para petaruh berdiri dengan riang-gembira sambil menyampaikan petunjuk dan mengobarkan keberanian, serta – pada waktu-waktu tertentu – menentukan pilihan dalam menentukan siapa yang akan memenangkan sesuatu pertarungan (sejenis pemilihan umum). Kalangan yang apatis tidak bosan untuk datang ke arena untuk menyaksikan pertunjukan.

Kegiatan-kegiatan para petaruh mencakup membuka diri pada rangsangan politik, baik melalui media massa atau komunikasi tatap-muka, memberikan suara dalam pemilihan umum, “melakukan diskusi politik, dan menyematkan emblem atau menempelkan stiker. Mereka jarang sekali memasuki kegiatan-kegiatan para gladiator kecuali terpaksa oleh isu emosional yang luar biasa tekanan kelompok yang sangat kuat, sekalipun mereka melakukannya secara sporadis dalam kegiatan-kegiatan transisi, yang meliputi mengikuti pawai, menyumbang uang, atau melakukan hubungan dengan para politisi. Pada puncak piramid yang mengerucut, terdapat kegiatan-kegiatan para gladiator yang secara aktif melakukan kampanye dan lobi, menjadi calon atau menduduki jabatan politik/ para gladiator dibedakan dari para patisipan lainnya berdasarkan pelaksanaan (atau upaya bagi pelaksanaan) kekuatan-kekuatan politik, dan mereka merupakan orang dalam. Dalam kebanyakan negara, mereka adalah para politisi profesional, bukan amatir.

Bagaimana proporsi pemilih pada setiap tahapannya? Berdasarkan hasil penelitian di Amerika, Milbrath (1965: 21) menyatakan bahwa sekitar sepertiga warga Amerika yang berhak memilih dalam pemilihan umum termasuk kelompok partisipan yang pasif atau apatis dalam pengertian harfiah, karena dalam banyak kasus mereka tidak peduli terhadap urusan politik di sekitar mereka. enam pulu persen dari mereka memainkan peranan sebagai petaruh : mereka mengamati, mereka bergembira, namun mereka tidak bertarung. Dalam pengertian yang murni, barangkali hanya satu atau dua persen saja yang dapat disebut sebagai kelompok gladiator..

Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa 40 sampai 60 persen memberikan suara dalam pemilihan umum, 25 sampai 30 persen terlibat secara aktif dalam persuasi dan diskusi politik, sekitar 15 persen menempelkan menempelkan stiker atau menyematkan emblem partai politik, dan sekitar 10 persen memberi sumbangan uang. Hanya 1 persen saja yang berusaha menjadi calon pimpinan atau menduduki jabatan sebagai pimpinan politik.

Melihat hasil penelitian itu, dapat dikatakan bahwa model piramid yang dikemukakan Milbrath memiliki dua kelemahan. Pertama, ia memperlakukan kelompok apatis sebagai “orang yang tidak bosan datang ke arena”, atau katagori sisa yang tidak menarik. Padahal, kelompok ini mencakup hampir separuh pemilih di Amerika. Terlepas dari alasan mereka untuk absen, angka non-vote yang besar memiliki implikasi yang cukup luas bagi system politik, sehingga hal itu tidak dapat diabaikan dan menempatkannya dalam katagori apatis.

1

3

Page 4: GOLPUT ATAU NONVOTE

Kedua, model itu tidak mengungkap dampak yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk partisipasi pada proses pembuatan kebijakan publik. Ia tidak memunculkan pertanyaan tentang apa hasil perbedaan bentuk partisipasi. Sebagaimana dimaklumi, kegiatan pemilihan umum yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu berbeda dari keterlibatan terus-menerus dalam urusan pemerintahan yang dilakukan setiap hari. Isu-isu politik nyata, seperti membatasi, mengusulkan, memperdebatkan, dan mengundangkan pemilihan umum, tidak terjelaskan. Kampanye dalam pemilihan umum memperjuangkan keseimbangan anggaran negra,. Singkatnya, tidak semua warga negara melakukan kegiatan politik yang sama.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan itu, model ini bermanfaat dalam memudahkan pemahaman kita mengenai berbagai bentuk partisipasi politik, dalam arti jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan itu. Paling tidak, model tersebut dapat memunculkan pertanyaan lebih lanjut mengenai siapa saja yang berpartisipasi dan pada tingkat partisipasi mana?

C. ANGKA PENGEMBALIAN SUARA DI BEBERAPA NEGARA: PERBANDINGAN

Charles Lewis Taylor dan David Jodis (1983: 76-77) melaporkan hasil pengembalian suara dari pemilihan umum-pemilihan umum yang diselenggarakan pada 90 negara (tabel terlampir). Sesuai dengan data tersebut, yang menarik adalah bahwa Amerika Serikat sebagai negara yang paling demokratis memiliki angka pengembalian suara yang paling rendah. Dari seluruh penduduk dewasa yang berhak memberikan suara dalam pemilihan umum, ternyata hanya separuh dari jumlah penduduk (53%) yang memberikan suaranya. Posisinya berada pada urutan ke-73 dari 90 negara yang disurvai. Di pihak lain, Indonesia berada pada urutan pertama. Keseluruhan penduduk yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum (100%) memberikan suaranya. Selain Indonesia, negara-negara yang menempati peringkat pertama adalah Albania, Bulgaria, Chechoslovakia, Polandia, Rumania, Gabon, Cameroon, Guenea, Ivory Coast, dan Hungaria. Adapun negara-negara Dunia Ketiga yang masuk jenjang terendah antara lain Zambia, Guatemala, Malawi, Kuwait, dan Afrika Selatan, dengan angka pengembalian suara kurang dari sepertiga penduduk yang berhak memilih.

Terdapat beberapa catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan fakta tersebut. Pada negara-negara yang berada pada peringkat tertinggi, para pemilih umumnya dihadapkan pada calon tunggal, bukan pilihan atas beberapa kandidat. Pengembalian suara yang fenomenal dari negara-negara ini cenderung tidak didasarkan pada kesadaran kewarganegaraan, melainkan didorong oleh keharusan untuk mematuhi aturan karena ketidakpatuhan atas aturan tersebut dapat menimbulkan sanksi hukum. Secara spesifik, penjelasan tingginya angka pengembalian suara di Indonesia pada masa Orde Baru terlihat dari pendapat para pengamat politik. "Walaupun banyak yang masih harus dicapai, pada umumnya dapat diakui bahwa stabilitas politik yang terbina sejak lama semasa Orde Baru dan baru inilah sejarah Indonesia merdeka kita mengalami masa stabil yang

1

4

Page 5: GOLPUT ATAU NONVOTE

sedemikian lama.”(Sarwono Kusumaatmadja, 1988: 3). Salah satu konsekuensi dari penekanan "stabilitas politik" ini adalah program "depolitisasi", yang dimaksudkan untuk pembangunan atau demi pertumbuhan ekonomi. Burhan Magenda (1985: 142) mengemukakan bahwa Dengan depolitisasi perbedaan berbagai group dipersatukan ke dalam satu "ideologi" baru: pembangunan yang telah menghapuskan semua slogan ideologis sebelumnya. Secara kuantitatif partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum tinggi, "baik Pemilu 1982 dan 1987 di atas 90%"1, namun secara kualitatif tidak demikian (M. Sudibjo, 1987: 645).

Aturan yang mewajibkan penduduk untuk memberikan suara tidak hanya berlaku pada beberapa negara yang menganut sistem partai tunggal, seperti Uni Soviet, tetapi juga pada beberapa negara yang menerapkan sistem partai banyak, seperti Australia. Ketika hanya ada satu calon tunggal yang diusulkan, seperti pada negara-negara komunis atau rejim otoriter, pemilihan umum masih tetap memainkan peran penting dalam proses politik. Pemilihan umum tidak hanya memberi peluang untuk memeilih beberapa partai politik yang berbeda, tetapi juga berfungsi sebagai pendidik politik bagi massa, rekruitmen pemimpin-pemimpin politik baru, membangun kesatuan bangsa, dan memberi dukungan yang kuat bagi rejim yang akan berkuasa.

Rendahnya angka pengnembalian suara pada kebanyakan negara Dunia Ketiga dapat terjelaskan dengan besarnya jumlah penduduk dewasa yang terhambat secara hukum untuk memberikan suaranya. Penduduk kulit hitam di Afrika Selatan pada masa politik apartheid dan penduduk nonpribumi di Kuwait, misalnya, tertolak untuk memilih berdasarkan hukum. Pada kedua negara tersebut, penduduk yang tidak dapat memilih karena alasan hukum merupakan penduduk mayoritas. Pada beberapa negara, penduduk dewasa wanita pun terlarang untuk memberikan suara. Jelaslah, bahwa negara-negara yang memiliki angka pengembalian suara tertinggi ataupun terendah pada hakekatnya tidak benar-benar dapat dikatagorikan sebagai negara demokratis. Dalam pada itu, dapat dicatat pula bahwa warga negara-warga negara yang tidak dapat memanfaatkan sarana-sarana partisipasi politik yang institusional, maka mereka akan menggunakan sarana-sarana partisipasi politik yang tidak institusional, seperti demonstrasi dan terorisme (Barnes, et. al., 1970). Dengan demikian, di Guatemala, yang memiliki angka pengembalian suara paling rendah, para teroris telah menjadi tantangan serius bagi pemerintah yang berkuasa.

Di Amerika Serikat, yang menjadikan pemberian suara sebagai kegiatan politik yang sukarela, tidak dapat dibandingkan dengan negara-negara yang mewajibkan rakyatnya untuk memberikan suara pada pemilihan umum. Perbandingan yang relevan hanya dapat dilakukan antara Amerika Serikat dengan negara-negara industrialisasi dan multipartai lain, yang menempatkan pemberian suara sebagai hak, bukan kewajiban. Dari data di atas, Amerika Serikat masih tetap merupakan negara dengan angka pengembalian suara yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara industrialisasi dan multi partai. Di Eropa Barat, angka pengembalian suara berkisar antara 80% sampai dengan 90%. 1 Sudibjo, M., “Pemilihan Umum 1987”, dalam Analisa, Jakarta: CSIS, 1987, hlm. 645

1

5

Page 6: GOLPUT ATAU NONVOTE

Bahkan, Jepang yang memiliki tradisi politik yang sentralistik, rejimentasi, dan submisif pun angka pengembalian suara mencapai 77%. Adapun di Amerika hanya sekitar 53%.

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi perbedaan angka-pengembalian suara pada negara-negara demokratis. Salah satu faktornya adalah aturan mengenai registrasi pemilihan umum. Faktor lain, sesuai dengan tujuan tulisan ini, faktor yang membedakan angka pengembalian suara adalah faktor sosio-politik. Beberapa ahli politik yakin bahwa pengembalian suara di kalangan penduduk Amerika Serikat disebabkan oleh tidak adanya persekutuan antara gerakan-gerakan serikat pekerja dengan partai-partai politik. Di Eropa Barat, partai-partai politik terikat organisasi-organisasi lainnya (misalnya, partai-partai buruh bersekutu dengan serikat-serikat buruhatau partai-partai Kristen demokrat bergabung dengan gereja-gereja Katolik) yang sering membantu dalam meningkatkan jumlah perolehan suara partai tadi (Cf. Crewe, daloam Butler, 1981). Sebagai tambahan, di Amerika Serikat, tidak ada partai politik yang menyerupai partai-partai sosial demokratis yang berusaha mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kamu miskin dan para buruh, sehingga dapat memotivasi mereka untuk memilih partai tersebut.. Tanpa itu, mereka hanya akan “creates giant hole in the electorate” (burnham, seperti dikutip Dionne, 1983). G. Bingham Powell, Jr., seorang ilmuwan politik, menemukan sebuha hubungan kuat antara angka pengembalian suara dengan pengartikulasian partai-partai politik atas kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok sosial, seperti kelas ekonomi dan komunitas etnis. Para pemilih yang dapat memahami hubungan langsung antara kepentingan kelas dan komunitas mereka dengan keberhasilan partai politik tertentu cenderung memilih partai yang bersangkutan dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka.nya, partai-partai politik di Eropa mencakup pandangan-pandangan yang lebih luas ketimpbang partai Republik atau Partai Demokrat di Amerika Serikat. Negara-negara yang menganut sistem proporsional – memberi jatah kursi pada lembaga legislatif – memberi insentif bagi para pemilih untuk memilih.

Perbandingan jenis partisipasi lain menempatkan Amerika Serikat dalam penjelasan yang lebih baik. Orang Amerika dilaporkan memiliki tingkat perhatian yang lebvioh tinggi atas politik dan mempunyai frekuensi keikutsertaan dalam diskusi politik lebih sering dibandingkan dengan orang inggris atau Jerman Barat. Salah satu jajag pendapat melaporkan bahwa 13% orang Amerika telah mengikuti pertemuan dan pawai politik dibandingkan 10% orang Inggris. Secara umum, data pada kebanyakan negara-negara demokratis menunjukkan tingkat partisipasi yang sangat rendah pada tahapan transisi atau gladiator dan mereka banyak terlibat dalam kegiatan petaruh (Dowse dan Hughes, 1972). Dengan kata lain, model piramida Milbrath memberikan suatu gambaran yang benar dari kebanyakan negara demokratis ketika partisipasi merupakan kegiatan sukarela.

Seloanjutnya, perlu dibahas ragam pengembalian suara. Pembahasan ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan mengapa orang atau kelompok tertentu lebih sering memilih daripada orang atau kelompok lainnya.

1

6

Page 7: GOLPUT ATAU NONVOTE

D. FAKTOR-FAKTOR SOSIOLOGIS PENGEMBALIAN SUARA

Para teoritisi klasik mengenai demokrasi meyakini bahwa pemberian-suara merupakan pengungkapan kepentingan pribadi yang terserahkan dan cara terpenting memerintah diri sendiri dalam sistem demokrasi. Citra pemilih yang tergambarkan oleh tulisan-tulisan Jean Jacques Rouseau, Stuart Mill, dan lain-lain adalah bahwa mereka adalah warga negara yang terdidik dan rasional serta aktif dalam urusan-urusan komunitas, berpengetahuan luas mengenai berbagai isu yang berkembangn, berhati-hati dalam mempertimbangkan kualifikasi calon pemimpin, dan juga kepentingan mereka sebelum memasuki kotak suara. Singkatnya, suatu citra pemberian suara sebagai sebuah tindakan rasional. Keputusan-keputusan individual itu, menurut keyakinan para penulis klasik, dapatmenghasilkan pejabat terpilih dengan kualitas yang sangat tinggi dan kebijakan nasional yang dikeluarkannya mewakili sebagian besar kepentingan penduduk.

Akan tetapi, kenyataan berbeda dengan dengan harapan. Studi-studi empiris mengenai pemberian-suara sejak tahun 1940-an telah menolak gambaran pemilih pada masa pencerahan. Secara khusus, dua penelitian yang terkenal, yaitu The People’s Choice, yang dilakukan oleh Lazarfeld dan kawan0kawannya, serta Voting, yang dilakukan oleh Berelson dan kawan-kawannya, menunjukkan bahwa sampai sekarang orang tidak memilih berdasarkan apa yang mereka pikirkan tetapi berdasarkan siapa diri mereka sesungguhnya. Keputusan-keputusan dalam pemilihan merupakan fungsi primer dari tradisi personal dan keluarga (contohnya, sekali memilih sesuatu partai maka ia akan tetap memilih partai tersebut). Iapun merupakan fungsi sekunder dari tekanan kelompok sepermainan (terutama dari pasangannya). Akhirnya, ia merupakan fungsi tersier dari keterbukaan pada isu-isu dan retorika yang dikemukakan dalam kampanye politik.

Preferensi dalam memilih telah mengalami perubahan besar. Tidak ada lagi tradisi yang menentukan preferensi pemilih untuk memilih salah satu partai. Sekalipun demikian, kekuatan-kekuatan yang mendasari pengembalian suara masih tetap sama. Gabungan antara ciri-ciri sosiologis dan psikologis mempengaruhi orang untuk memilih atau tidakmemilih. Faktor-faktior birokratis dan politis, seperti aturan registrasi dan pemilihan serta isu-isu kampanye masih merupakan faktor yang menentukanpengembalian suara.

Hubungan-hubungan sosiologis dari pemberian suara telah diungkap secara luas (misalnya, Campbell, et. al., 1960; Verba and Nie, 1972; Nie, et. al., 1970). Lipset (1981) merangkum data dari beberapa negara dan mengelompokkan faktor-faktor mempengaruhi angka pengembalian suara ke dalam empat katagori: relevansi kebijakan pemerintah, tingkat akses informasi, tekanan kelompok dalam pemilihan, dan tekanan-silang.

1. Relevansi kebijakan pemerintah. Kelompok-kelompok yang kepentingan-kepentingannya terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk paera pegawai negeri dan pensiunan, cenderung memiliki tingkat pemberian suara lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk pada umumnya. Kelompok-kelompok yang memiliki sentimen kuat terhadap isu-isu

1

7

Page 8: GOLPUT ATAU NONVOTE

moralitas seperti aborsi atau perjudian akan lebih banyak memberikan suara ketika isu-isu itu dimunculkan. Yang menarik, krisis nasional meningkatkan angka pemberian-suara pada keseluruhan penduduk.

2. Akses terhadap informasi. Kekhawatiran atas nasib pribadi tidak cukup berpengaruh bagi hasil pemilihan, setiap uindividu dituntut untuk memahami nasib mereka. secara tradisional, kelompok menengah ke atas lebih memahami cara pemerintah mempengaruhi kehidupan mereka dibandingkan kelompok buruh dankaum miskin. Seperti dikemukakan oleh Lipset, “pandangan mengenai masalah-masalah sosial yang kompleks berasal dari kalangan terdidik, sehingga memberi sumbangan bagi tingginya pemberian suara di antara kelompok-kelompok terdirik. Akan tetapi, hal itu tampaknya lebih tergantung pada pengalaman sosial yang melekat pada pekerjaan seseorang. Kelompok-kelompok dengan jabatan tinggi selain memiliki pendidikan lebih tinggi, kegiatan kerja mereka pun menuntut perkembangan intelektual mereka. pekerjaan-pekerjaan pegawai rendahan yang rutin dan pekerjaan-pekerjaan manual, di pihak lain, kurang memberi kesempatan untuk memperoleh pandangan di atas (Lipset, 1981: 197-198). Kesadaran atas kepentingan pribadi dan cara untuk melindunginya merupakan prasyarat kekuasaaan. Distribusi kesadaran, seperti sumber daya lainnya, beragam sesuai dengan status sosial ekonomi; hal itu akan lebih tinggi pada kelas yang lebih tinggi pula.

3. Tekanan kelompok untuk memilih. Banyak organisasi, dari perserikatan buruh sampai lobi nasional, menuntut anggotanya untuk memilih dalam rangka kebaikan kelompok mereka. anggota-anggota dari organisasi-organisasi seperti itu umumnya memberi suara dengan angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan anggota. Secara kontras, organisasi-oraganisasi lain, seperti partai-partai politik radikal, mengharuskan anggota mereka untuk tidak memberikan suara sebagai salah satu cara untuk memprotes sistem yang ada. Kaidah sosial di kalangan menengah ke atas cenderung lebih banyak memberi suara dibandingkan dengan kelas menengah ke bawah. Perasaan dan keputusasaan di antara anggota kelompok yang terakhir sebagian menentukan rendahnya angka pemberian suara di kalangan mereka.

4. tekanan-tekanan silang. Ketika individu-individu ditarik pada berbagai arah, dalam hal ini tekanan untuk memilih berbagai partai, mereka akan mengatasi konflik dengan menjauhkan diri dari proses pemilihan secara keseluruhan. Fakta ini menggambarkan rendahnya angka pemberian suara dari individu-individu yang pereferensi partainya berbeda dari teman-teman atau keluarganya. Iapun menjelaskan orang yang tidak memberikan suara karena mobilitas geografis dan sosialnya tertinggal oleh kelompoknya karena pemilikan atas sesuatu kaidah tertentu (komunitas kelas pekerja dalam tardisi demokratis misalnya) namun belum sepenuhnya terasimilasi ke dalam kelompok lainnya (misalnya kelas menengah desa-kota pada partai republik).

1

8

Page 9: GOLPUT ATAU NONVOTE

Pandangan mengenai faktor-faktor sosiologis dari pemberian suara ini telah dikukukhkan oleh penelitian-penelitian empiris terbaru.(Wolfinger dan Rosenstone, 1980; Edsall, 1984). Apapun kriteria yang digunakan untuk menentukan status sosial ekonomi – pendidikan, pendapatan, atau jabatan – diketahui bahwa semakin tinggi posisi sosial seseorang semakin tinggi banyak angka pemberian suara mereka. Dengan demikian, orang yangn sangat miskin kurang tertampilkan di antara para pemilih hanya sekitar sepertiga, sedangkan yang sangat kaya lebih tertampilkan dengan seperlima (Edsall, 1984: 181). Pengaruh pendapatan sangat tinggi pada ujung skala yang lebih rendah. Kalangan miskin membutuhkan sumber daya hanya untuk bertahan hidup dan tidak dapat membagi waktu, energi, dan perhatian untuk hal-hal yang tidak esensial tadi, termasuk politik (Wolfinger dan Rosenstone, 1980: 20-21).

Jabatan memiliki pengaruh yang sama terhadap pemberian suara. Pada jabatan-jabatan yang memiliki tingkat prestise paling rendah, di antara para buruh tani, pengembalian suara hanya mencapai 46%. Gambaran ini meningkat menjadi 64% pada para buruh kerah biru yang berketerampilan, 75% pada pegawai kerah-putih yang tidak profesional, dan 86% pada personalia teknis dan profesional (Wolfinger dan Rosenstone, 1980: 118). Secara umum, para pemilih dari pekerja yang berkerah putih memberikan suara lebih banyak sebanyak 25% daripada para pekerja yang berkerah biru (Edsall, 1984: 187).

Apabila pemberian suara dipandang sebagai kegiatan yang menyita waktu, maka beberapa meyakini bahwa semakin banyak waktu yang dibutuhkan orang untuk melakukan pekerjaan dengan tangannya, maka mereka cenderung lebih banyak membnerikan suara. Akan tetapi, ini bukan kasus itu. Orang-orang yang menganggur lebih banyak tidak memberikan suara mereka dibandingkan orang-orang yang bekerja di luar daerah. Penjelasan atas tingginya pengembalian suara di kalangan kerah putih danpekerja profesional tidak terletak pada pemilikan waktu yang lebih banyak dari mereka, melainkan berdasarkan keterbukaan mereka atas tekanan kelompok dan pemilikan keterampilan tertentu. Keterampilan ini meliputi keterampilan yang berkaitandengan persyaratan birokratis selama registrasi dan pemilihan serta penerjemahan gagasan-gagasan politik yang abstrak ke dalam tindakan pribadi yang bermakna.

Dua kekecualian pada jorelasi positif dari prestise jabatan dengan pemberian suara merupakan bukti, yaitu petani dan pegawai negeri.. Kedua kelompok jabatan ini, yang angka pemberian suaranya berbeda, memiliki ketergantungan yang sama tingginya kepada pemerintahan dan nasib mereka berhubungan langsung dengan hasil pemilihan umum.ketergantungan pegawai negeri pada kebijakan pemerintah sangat jelas. Dalam kasus petani, peringkat gengsi pekerjaan mereka yang rendah akan mengarahkan kita pada peramalan mengenai rendahnya angka pengembalian suara mereka. akan tetapi, ketergantungan mereka pada pemerintah sangat tinggi.

Sejumlah program pemerintah dalam memberi bantuan dan pinjaman uang, pembatasan produksi, pembelian hasil tanaman, jaminan harga, pengaturan buruh tani, penyuluihan pertanian, peningkatan produktivitas tanah, pembagian air, dan sebagainya … Lebih dari kebanyakan orang,

1

9

Page 10: GOLPUT ATAU NONVOTE

para petani mengalami secara langsung dan mudah difahami berkenaan dengan tindakan pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka. tidak ada yang abstrak atau esoteris sehubungan embargo atas penjualan gandum ke Uni Soviet atau penghentian dana program pendukung. Ketidaktentuan panen dan pasar, bersama-sama dengan campur-tangan pemerintah dalam berbagai aspek pertanian, meningkatkan kesadaran politik para petani sampai pada tahapan yang dicapai oleh beberapa kelompok lainnya (Wolfinger dan Rosenstone, 1980: 32-33).

Sehubungan dengan itu, tampaknya semakin orang memahami pemerintah sebagai institusi yang berpengaruh besar bagi kehidupan mereka, maka semakin tinggi kecenderungan mereka untuk memberikan suara.

Faktor sosial ekonomi yang paling dramatis berkaitan dengan pemberian suara selain jenis pekerjaan dan gengsi pekerjaan adalah pendidikan. Sebagaimana tampak pada peragaan 2, hanya 38% penduduk yang mengenyam pendidikan kurang dari 5 tahun dibandingkan dengan 69% penduduk dengan pendidikan SLTA, 86% pernduduk yang berpendidikan diploma, dan 91% penduduk yang berpendidikan sekurang-kurangnya satu tahun di perguruan tinggi. Pengaruh pendidikan terhadap pemberian suara sangat besar, bahkan ketika faktor-faktor lain berpengaruh secara konstan. Di antara orang yang memiliki pendapatan atau posisi pekerjaan yang sama, penduduk yang lebih berpendidikan cenderung lebih banyak memberikan suara. Selain itu, pada usia yang sama, penduduk yang bersekolah cenderung lebih banyak memberikan suara daripada teman seusia mereka yang tidak bersekolah.

Pendidikan memiliki dampak yang substansial terhadap pemberian suara bukanlah hal yang mengejutkan sama sekali. Pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, kitamempelajari sistem politik dan cara persoalan-persoalan sosial mempengaruhi kehidupan kita, dan dorongan teman sekolah untuk berpartisipasi dalam proses politik, serta perasaan keharusan untuk mengendalikan nasib kita. Semua ini mempengaruhi sikap kita untuk memberikan suara. Sebaliknya, orang-orang yang kurang terdidik diarahkan untuk menghindari urusan politik karena kepentingan mereka terhadap proses politik tidak begitu besar, ketidaktahuan mereka atas pengaruhnya dalam menentukan nasib mereka, serta hambatan keterampilan yang diperlukan berkaitan dengan aspek-aspek birokrasi dari registrasi dan pemberian suara.

Bersama-sama dengan status sosial ekonomi, ciri lain yang secara luas dilaporkan berhubungan dengan pengembalian suara adalah ras, jenis kelamin, dan usia. Penduduk kulit hitam dan hispanik menurut sejarah kurang banyak memberikan suara dibandingkan dengan penduduk kulit putih. Dalam kasus orang kulit hitam, sebagian alasan yang mendasari rendahnya angka pengembalian suara di kalangan mereka adalah sejarah hukum pemilihan. Sebelum diberlakukannya hak memberikan suara dan keputusan-keputusan Mahkamah Agung pada tahun 1960-an, hanya 5% kaum kilit hitam di Mississipy terdaftar untuk memberikan suara, dan hanya 13% kaum kulit hitam di Alabama. Perbandingan antara pengembalian suara dari kaum kulit hitam di selatan dan kawasan Amerika

1

10

Page 11: GOLPUT ATAU NONVOTE

Serikat lainnya pada tahun 1980-an menunjukkan memudarnya dampak diskriminasi. Sementara di kaum kulit hitam di bagian Selatan kurang memberikan suara dibandingkan kelompok kaum kulit putih pada selain kawasan Selatan, kaum kulit putih di Selatan pun kurang memberikan suara dibandingkan dengan kaum kulit putih di selain kawasan selatan. Analis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa perbedaan jenjang pendidikan, bukan warisan kultural, yang bertanggungjawab atas perbedaan angka pengembalian suara antara kaum kulit hitam dengan kaum kulit putih. Apabila jenjang pendidikan dianggap konstan, perbedaan angka pemberian suara antara kulit hitam dengan kaum kulit putih tidak ada lagi. Kaum kulit hitam kurang memberikan suara dibandingkan kaum kulit putih karena mereka cenderung kurang berpendidikan dibandingkan kaum kulit hitam (Wolfinger dan Rosenstone, 1980). Akan tetapi, pencapaian pendidikan kaum kulit hitam telah sejajar dengan kaum kulit putih, sehingga kesenjangan dalam angka pengembalian suara diperkirakan akan mengecil. Lebih jauh lagi, registrasi pemilih yang lebih tepat pada tahun 1980-an telahmeningkatkan angka pengembalian suara kaum kulit hitam. Dengan demikian, perbedaan antara kawasan selatan dan kawasan lainnya pun menyempit.

Atas dasar hal yang sama, rendahnya angka pengembalian suara di kalangan hispanik berkaitan langsung dengan rendahnya jenjang pendidikan mereka. pada berbagai jenjang penduidukan, kaum kulit hitam, kaum kulit putih, dan kaum hispanik memberikan suara dengan proporsi yang relatif sama. Alasan tingginya pengembalian suara di kalangan keturuan Amerika-Meksiko dibandingkan dengan keturunan Puerto Rico adalah bahwa yang terakhir secara otomatis menjadi pemilih saat kedatangan mereka di benua Amerika, sementara keturunan Cicanos harus mendaftarkan diri agar diterima sebagai warga negara. Mereka yang berhak melalui naturalisasi, melalui pilihan pribadi, lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalam politik Amerika.

Banyak studi-studi yang lebih lama nelaporkan bahwa angka pengembalian suara yang rendah lebih banyak berasal dari kalangan wanita daripada laki-laki. Akan tetapi, sejak tajun 1980-1n, angka pengembalian suara di kalangan wanita hampir setara dengan angka pengembalian suara di kalangan laki-laki. Hanya pada kalangan wanita yang berusia lanjut, yang mendapatkan sosialisasi untuk percaya bahwa peran wanita terbatas pada urusan domestik, pemberian suara suara sangat rendah daripada laki-laki pada usia yang sama.

E. SIAPA YANG TIDAK MEMILIH? ALASAN-ALASAN TIDAK MEMBERIKAN SUARA.

Pada tanggal 21 September 1980, berita-utama New York Times bertajuk “Over the Years, ‘None of the Above’”. Tajuk ini berusaha menjelaskan bahwa jika penduduk yang tidak mengembalikan suara diasumsikan memilih “tidak satupun dari calon yang ada” (none of the above), maka penduduk yang memiliki katagori itu akan senantiasa memenangkan setiap pemilihan umum. Hasil ini tentunya akan bertentangan dengan prinsip pemerintahan mayoritas, yang merupakan inti teori demokrasi. Tampaknya, warga negara pada negara-negara

1

11

Page 12: GOLPUT ATAU NONVOTE

industri dan demokratis yang tidak memberikan suaranya (misalnya, di Amerika Serikat, jumlahnya lebih dari separuh penduduknya) tidak dapat lagi dipandang sebagai katagori-sisa sebagai penduduk yang kurang peduli. Akan tetapi, ia perlu dianalisis secara tersendiri. Gejala seperti itu telah menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan yang mnemusatkan perhatian pada kelebihan dan kelemahan demokrasi. Apa implikasi dari ketidakikutsertaan sebagian besar pemilih terhadap demokrasi? Retorika kaum liberal menyatakan bahwa hal itu menandakan apatisme yangn tidak sehat dan kelemahan dari demokrasi” atau “refleksi stabilitas sistem, sebuiah respon terhadap penurunan konflik sosial” (Lipset, 1981: 185).

Para penulis tahun 1930-an dan 1940-an cenderung menganggap kejatuhan sistem demokrasi di Eropa, seperti Jerman, Itali, dan Astria sebelum Perang Dunia II, disebabkan oleh sikap apatis sebagian penduduk negara-negara yang bersangkutan. Akan tetapi, pada tahun 1950-an, ketika para psikolog sosial mulai memanfaatkan teknik survai, sikap tidak memberikan suara dianggap sebagai sikap tidak toleran dan otoriter. Penduduk yang tidak memberikan suara dipandang sebagai penghujat demokrasi, karena mereka dianggap sebagai unsur masyarakat yang tidak demratis. Ciri-ciri dari sikap apatis, seperti ketidakmampuan mengenali tanggungjawab pribadi untuk menerima perasaannya, … perasaan khawatir, tidak aman, dan terancam, … membentuk pola kerpribadian yang konsisten, dalam hal ini kepasifan” (Mussen dan Wyszynki, 1952: 78-79). Sebaliknya, individu-individu yang aktif berperan serta dalam politik dianggap sebagai individu yang “mampu memanfaatkan saluran yang ada untuk pemuasan kepentingan diri, mandiri, dewasa, pribadi yang bahagia, .. penuh pengertian, .. peka terhadap perasaan orang lain, .. memiliki kesadaran sosial tinggi dan turut andil dalam kehidupan sosial serta mampu menebarkan kasih sayang” (Mussen dan Wyszynki, 1952: 78-79).

Dengan merangkum beberapa hasil studi, Lipset menemukan bahwa “masyarakat yang kurang tertarik dalam urusan-urusan politik tidak lebih intoleran atau menderita xenopbhia daripada masyarakat yang memberikan pilihan dalam pemilihan umum mempunyai perhatian pada urusan-urusan politik. Gagasan utama dari kelompok yang “mengetahui tidak sesuatupun” (know nothing) pada umumnya berasal kelompok masyarakat yang miskin dan terbelakang (Lipset, 1981: 103). Alasan penduduk yang tidak memberikan suara dalam pemilihan umum berasal dari kelompok miskin dan terbelakang, menurut Lipset (1981: 104), dikarenakan penduduk yang tidak memberikan suara berbeda sudut-pandang dengan kelompok yang memberikan suara mengnenai sikap otoriter, sinis terhadap demokrasi dan partai politik, perasaan tidak toleran, dan harapan atas pemimpin yang kuat. Singkatnya, demokrasi lebih baik tidak ada daripada tidak ada pemilih seperti itu.

Dari uraian di atas, perlu dikaji lebih lanjut mengenai dimensi-dimensi ketidakikutsertaan dalam politik yang lebih penting, dan bukan hanya terbatas pada penjelasan bahwa hal itu diakibatkan oleh pola-pola kepribadian yang patologis. Penjelasan lain mengenai ketidakikutsertaan dalam pemilihan umum adalah hambatan-hambatan untuk tertarik pada urusan-urusan politik dan

1

12

Page 13: GOLPUT ATAU NONVOTE

keyakinan sebagian orang bahwa nereka tidak berdaya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik. Penjelasan-penjelasan ini tidak hanya menggambarkan mereka sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa, tetapi sebagai orang-orang yang memiliki adaptasi baik terhadap realitas mengenai kesenjangan distribusi kekuasaan dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebabnya bukan hambatan yang bersifat psikologis, melainkan dampak langsung dari struktur sosial. Persepsi mengenai ketidakberdayaan tentunya berhubungan dengan rendahnya status sosial ekonomi yang rendah dan terutama rendahnya jenjang pendidikan yang diperoleh.

Fakta menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian tertentu seperti kekakuan, tidak toleran … dan wujud kecemasan tidak memiliki hubungan yang tinggi dengan ketidakikutsertaan dalam proses politik. …Ciri-ciri psikologis lainnya, yang berkenaan dengan sosialisasi, pada umumnya memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan partisipasi politik daripada semata-mata ciri-ciri kepribadian tadi. Di antara ciri-ciri kepribadian yang diperoleh melalui sosialisasi ini antara lain: perasaan mengenai posisi diri, perasaan mengenai tanggungjawab sebagai warganegara, kemampuan bersosialisasi, dan perasaan terasing (Hughes dan Dowse, 1972: 305).

Sehubungan dengan itu, berikutnya disajikan tipologi dari orientasi-orientasi yang menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk pemberian suara dlam pemilihan umum. Orientasi-orientasi itu adalah:

1. Apatis, lebih dari sekedar manifestasi kepribadian otoriter, pada dasarnya hanya menunjukkan suatu hambatan untuk tertarik pada urusan-urusan politik. Hal itu dapat terjadi akibat ketertutupan terhadap rangsangan politik, atau “individu merasakan bahwa topik mengenai politik kurang menarik… Lebih jauh, ia merasakan pula bahwa kegiatan politik kurang atau tidak bermanfaat atau memberi kepuasan langsung” (Rush dan Althoff, 1972: 91-92). Sikap apatis adalah istilah umum, karena sikap ini tidak hanya mencakup sikap apatis individual, tetapi juga anomie dan alienasi.

2. Anomie menunjuk pada sikap tidak mampu, terutama pada keputusasaan yang dapat diantisipasi. “Individu mengakui kegiatan politik sebagai sesuatu yang berguna … ia merasa bahwa ia benar-benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik, dan setiap kasus selalu berada di luar kontrolnya” (Rush dan Althoff, 1972: 91). Perasaan ketidakberdayaan, jika hal ini menjadi ekstrim dan meluas hingga mencakup suatu perasaan ketidakmampuan mengendalikan hidup secara umum, maka hal itu dikenal sebagai anomi. (Konsep ini berasal dari Durkheim, yang berarti ketidakpatuhan pada kaidah-kaidah sosial, bukan ketidakberdayaan)..

3. Alienasi berbeda dari sikap apatis atau anomi. Ia merupakan perasaan tidak percaya pada pemerintah, yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak atau kurang memberi dampak bagi kehidupan pribadi. Dalam kalimat Lane (1962: 177), pemerintahan dijalankan oleh orang lain untuk orang lain berkenaan dengan seperangkat aturan yang asing. Dengan demikian, individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari kegiatan politik

1

13

Page 14: GOLPUT ATAU NONVOTE

tetapi juga dapat mengambil bentuk tindakan politik alternatif sebagai usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang ada dengan cara-cara kekerasan, untuk menggantikannya dengan cara-cara tanpa kekerasan, atau untuk melakukan hijrah. Ketika keseluruhan kelas sosial, kelompok etnis, atau kelompok ideologis memiliki perasaan alienasi yang sama, kesahihan pemerintahan mulai diragukan dan kecenderungan terjadinya revolusi sangat besar (Almond dan Verba, 1962).

Studi-studi sosiologis mengenai faktor-faktor yang menjadi sebab ketidakikutsertaan dalam pemilihan umum menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak memberikan suara umumnya berasal dari unsur masyarakat miskin, kurang terdidik, berusia lebih muda, dan tidak memiliki pekerjaan.

G. BAGAIMANA KITA MEMBERIKAN SUARA? LANDASAN SOSIAL PEMILIHAN PARTAI POLITIK

Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin demokratis sesuatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian suara. Masalah yang dapat diajukan adalah apa implikasi kecenderungan itu bagi demokrasi. Beberapa penulis menganggapnya sebagai sesuatu yang politif. Anthony Orum (1978: 266-267) menyatakan hal itu sebagai “a broader trend toward increasing rationality in the sphere of electoral decisions on the part of the public; responses to the partyies are becoming less automatic and more calculating”. Gabriel Almond dan Sidney Verba (1965: 341) memandang bahwa ketidakikutsertaan dalam pemilihan umum memiliki fungsi positif bagi demokrasi: “Nonelite can not themselves rule. If political system is to be effective … there must be mechanisms whereby government officials are endowed with the power to make authoritative decisions”.

Pandangan yang lebih umum mengenai ketidakikutsertaan dalam pemilihan umum berasal dari kekhawatiran bahwa kecenderungan itu akan mengancam demokrasi. Dengan mempertimbangkan pahlawan populis, seperti Franklin D. Roosevelt, atau demogogis, semisal Adolf Hitler, yang membangun dukungan bagi mereka dengan memobilisasi masyarakat yang sebelumnya tidak tersentuh politik, Arthur Hadley (1978: 84) mengingatkan, “the rfreiners sit out there, an ever swelling, explosive mass awaiting some trigger. Until their numbers begin to gradually diminish, we can be certain of continuity in neither our politics or our policies”. Berkenaan dengan hal yang sama, Ladd (1971: 20) menulis bahwa gejala itu disebabkan oleh kekacauan pandangan publik mengenai ihwal kebijakan pemerintah: Large segments of the public have become so ambivalent and undecided about the proper course of public policy that they are unable to give a clear endorsement to the stands of the parties”. Lebih lanjut Ladd (1980: 15) mengatakan pula bahwa cara-cara pemunculan gejala itu sulit diramalkan, “In the absence of stable party ties there is little memory. This year’s striking dividion may not be seen at all in the next election”.

Persoalan yang jarang sekali dipertanyakan oleh para ahli mengenai perilaku memilih adalah apa dampak yang ditimbulkan oleh ketidakikuktsertaan sebagian

1

14

Page 15: GOLPUT ATAU NONVOTE

anggota masyarakat dalam pemilihan umum. Para teoritisi dari mazhab pluralist menyatakan bahwa pemberian suara kurang berpengaruh terhadap hasil kebijakan dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Para teoritisi dari mazhab konflik menganggap bahwa terlepas dari berapa jumlah penduduk yang memberikan suara atau tidak dan bagaimana cara mereka memutusakan untuk memberi atau tidak memberi suara, elit tidak pernah responsif terhadap kepentingan nonelit. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, latar belakang elite dari kelas menengah ke atas cenderung mempengaruhi keputusan-keputusan dalam mengarahkan kepentingan-kepentingan kelas ini, bukan berdasarkan angka nominal konstituen. Kedua, segera setelah pemilihan umum usai, para pembuat hukum lebih banyak menikmati otonomi daripada para pemilih. Ketiga, kekuasaan umumnya dijalankan oleh elit yang tidak terpilih, seperti birokrat atau pengusaha, yang tindakan-tindakan mereka tidak didasarkan pada pilihan publik melalui proses politik.

Apabila pemberian suara bukan cara yang efektif dalam mempengaruhi kebijakan publik atau menilai akuntabilitas elit, sebagaimana dikemukakan oleh para penganut teori pluralis atau teori konflik, maka pertanyaan berikutnya adalah apa fungsi pemberian suara bagi sebuah masyarakat demokratis. Pada sisi baiknya, para teoritis pluralis menyatakan bahwa pemilihan umum memungkinkan massa untuk memilih para pemimpin mereka dari para calon pemimpin yang saling bersaing dan untuk menyuarakan perasaan dan keinginan umum kepada elit, sekalipun pemberian suara tidak mempengaruhi kebijakan secara spesifik. Pada sisi jeleknya, seperti diklaim oleh para teoritisi konflik, pemilihan umum telah memberi ilusi bagi massa bahwa mereka akan dapat mengontrol kebijakan publik dan menentukan hidup mereka. Marger (1981: 293) menyatakan,

“While its effectiveness in translating mass wants and needs into public policy is questionable, a major function of the electoral system is to legitimize the dominant system of political rule .. Voting has a pallative effect on nonelites, helping to assure them that their voices ca be least collectively heard on the society’s important issues, … The electoral process serves .. to deter serious noninstitutional challenges and thus maintain the status quo”.

H. PENUTUP

Berdasarkan studi-studi lebih awal mengenai partisipasi politik, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Partisipasi politik masyarakat dapat terjadi dalam saluran-saluran yang dianggap sah oleh mereka yang sedang berkuasa atau di luar saluran-saluran itu. Berdasarkan model piramida partisipasi politik yang dikemukakan Milbrath, pemberian suara berada pada posisi yang lebih bawah dari septrum partisipasi politik massa. Bentuk lain dari partisipasi politik termasuk menyumbang dana kampanye,.melakukan lobi, dan bersaing untuk memperebutkan posisi politik. Masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan institusional dianggap masyarakat yang apatis oleh Milbrath

1

15

Page 16: GOLPUT ATAU NONVOTE

dan yang lainnya, sekalipun mereka dapat saja berpartisipasi dalam saluran-saluran partisipasi politik yang tidak institusional.

Ciri terpenting dari perilaku memilih dari beberapa negara di dunia terlihat dari angka pengembalian suara. Salah satu negara yang menganggap dirinya paling demokratis, Amerika Serikat, hanya menempati urutan yang rendah dalam angka pengembalian suara (dibandingakn dengan negara-negara komunis (100%), negara-negara Dunia Ketiga di bawah rejim otoriter (termasuk Indonesia) (100%), dan bahkan negara-negara indistri dan demokratis lainnya di Eropa Barat (70% - 80%). Sebab-sebab perbedaan angka pengembalian suara tersebut sangat kompleks. Akan tetapi, salah satu sebab yang paling signifikan adalah bahwa pemilihan dipandang tidak relevan oleh sebagian besar pemilih.

Studi-studi menunjukkan bahwa angka pengembalian suara berhubungan secara positif dengan status sosial ekonomi. Ketidakikutsertaan dalam pemilihan umum terutama dilakukan oleh masyarakat yang berada pada skala status sosial ekonomi lebih rendah. Menurut sebagian pengamat, fakta ini ditafsirkan sebagai respon atas realitas politik di kalangan yang tidak berkekuasaan. Dengan demikian, lebih dari sekedar kompensasi untuk ketidaksanmaan sistem pelapisan sosial, Gejala inipun merefleksikan ketidaksamaan-ketidaksamaan ini.

Di antara mereka yang memberikan suara, pemilahan-pemilahan dalam struktur sosial yang sering dihubungkan dengan preferensi politik adalah latarbelakang lapisan sosial ekonomi, latar belakang etnis dan agama, gender, dan kawasan tempat tinggal.

Dalam analisis terakhir, dapat dikatakan bahwa kecenderungan ketidakikut-sertaan dalam pemilihan umum, yang lebih dikenal sebagai Golput (akronim dari Golongan Putih) tidak lebih dari pengertian nonvote. Dalam pengertiannya, Golput memiliki imbuhan moral sebagai sesuatu yang jelek, bahkan haram. Artinya, paling tidak sampai saat ini, golput bukan sebuah gejala gerakan sosial (social movement). Dengan kata lain, selain karena alasan birokrasi, sebagian besar massa yang tidak memberikan suara dilatarbelakangi oleh sikap apatis dan anomi, dan sebagian kecil dari jumlah massa ini diakibatkan oleh sikap teralienasi.

Lebih lanjut, sikap-sikap ini dipengaruhi oleh sikap mereka atas relevansi kebijakan pemerintah, akses terhadap informasi politik, tekanan kelompok untuk memilih, dan “tekanan silang”. Dengan mengikuti tradisi penelitian yang dianjurkan H. J. Benda (1954), yang diikuti Wiliam Liddle (1970), serta mereflikasi penelitian Affan Gaffar (1982), ditemukan bahwa sampai Pemilihan Umum 1999 pengaruh status sosial, sosialisasi politik, dan ikatan primordial terhadap perilaku memilih kurang signifikan (Deden Effendi, 2002). Hal ini terjadi karena pengalaman demokrasi di Indonesia baru pada tahap belajar (Nurcholish Madjid, 1988), sehingga faktor politis masih lebih dominan daripada faktor sosiologis. Sejalan dengan tingkat pembelajaran demokrasi, maka pada pemilihan umum-pemilihan umum berikutnya, angka ketidakikutsertaan dalam pemberian suara akan bertambah. Hal ini, mengikuti alur pikir Lipset (1981) disebabkan oleh “tekanan silang”, akses informasi, relevansi kebijakan, dan tekanan kelompok. Dalam pengertian ini, pengertian golput tidak hanya bermakna nonvote dalam pengertian umum. Akan tetapi, iapun menjurus pada tindakan

1

16

Page 17: GOLPUT ATAU NONVOTE

politik yang memenuhi unsur gerakan sosial (social movement) (Cf. Neil J. Smelser, 1981) – paling tidak, ketika distribusi kekuasaan dipandang tidak kondusif, timbul keyakinan umum mengenai ketimpangan distribusi kekuasaan pada bagian massa yang cukup besar, ada faktor yang pemicu gerakan sosial, dan tampil aktor yang mampu memobilisasi massa.

Wa Allah a’lam.

DAFTAR PUSTAKA:

Alfian. 1986. “Pembangunan Politik Setelah Terciptanya Kerangka Landasan Pembangunan Nasional”, dalam Jurnal Ilmu Politik I, Jakarta: AIPI-PT Gramedia

Alfian. 1986. Masalah dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Gramedia.Barnes, Samuel H., Max Kaase, and Klause R. Allerbeck. 1979. Political Action:

Mass Participation in Five Western Democracies. Beverly Hill, California: Sage

Burhan D. Magenda. 1985. “Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Sistem Politik”, dalam Analisis Sistem Kekuatan Politik, Jakarta, LP3ES.

Campbell, Angus, Philip E. Converse, Waren E. Miller, and Donald E. Stokes,. 1960. The American Voters. New York: John Willey.

Daniel Dhakidae. 1985. “Partai Politik dan Sistem Kepartaian di Indonesia”, dalam Analisa, Jakarta: CSIS.

Dowse, Robert E. and John A. Hughes. 1972. Political Sociology. London: John Willey.

Ladd, Everett Carll, Jr. 1971. Where Have All the Voters Gone. New York: W. W. Norton.

Lipset, Seymor Martin. 1981. Political Man: The Social Bases of Politics. Garden City, N.Y.: Double Day Anchor Books.

M. Sudibjo. 1987. “Pemilihan Umum 1987”, dalam Analisa, Jakarta: CSIS.Martin, Marger N. 1981. Elites and Masses: An Introduction to Political

Sociology. New York: Van Nostrand Reinhold. Milbrath, Lester W. 1965. Political Participation: How and Why people get

Involved in Politics. Chicago: Rand McNally.Taylor, Charles Lewis and David Jodice, World Hanbook of Political and Social

Indicators. New Haven: Yale University Press.Verba, Sidney and Norman H. Nie. 1972. Participation in America: Political

Democracy and Social Equality. New York: Harper & Crow.

1

17