6
GUSDUR DAN MARX Oleh: Daud Azhari, SH. Pesona pagi begitu kelam ketika langit tertutup awan hitam. Semua jendela di pesantren itu (Pesantren Ciganjur, milik Gusdur) tertutup dan tak satupun suara burung terdengar bernyanyi, seperti kehilangan sahabat yang selalu menemani. Kamar-kamar semua terkunci rapat, bagai negara kehilangan kedaulatannya. Sang fajar seperti tak sanggup lagi menari bersama mentari menyambut pagi. Namun, hanya hati yang selalu berdzikir dan berdo’a untuk-nya. Mereka semua pandai, ahli tasawuf. Tapi, tak ada yang mampu menerka pengorbanan dan keikhlasan-nya. Tanggal 30 Desember 2009 merupakan hari tangisan beribu umat. Indonesia kembali kehilangan kharismanya. Indonesia telah kehilangan inspirator yang mencerdaskannya. Inspirator itu adalah K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur). Gusdur telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, seperti: Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001. dll. Merupakan kumpulan artikel Gusdur yang dikumpulkan menjadi sebuah buku. Gusdur telah membuka banyak sekali ruang-ruang untuk masa depan Indonesia. Membela kaum yang termarjinalkan dan toleransi antar umat beragama merupakan salah satu sumbangan terbesar Gusdur kepada bangsa Indonesia. Gusdur meyakini bahwa kebenaran “mutlak” hanya milik Allah. Tidak ada satupun kebenaran (sesungguhnya) pada manusia. Keyakinan Gusdur berdasarkan pada QS. Yunus: 99 : ”Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”

Gus Dur dan Marx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gus Dur dan Marx

GUSDUR DAN MARXOleh: Daud Azhari, SH.

Pesona pagi begitu kelam ketika langit tertutup awan hitam. Semua jendela di pesantren itu (Pesantren Ciganjur, milik Gusdur) tertutup dan tak satupun suara burung terdengar bernyanyi, seperti kehilangan sahabat yang selalu menemani. Kamar-kamar semua terkunci rapat, bagai negara kehilangan kedaulatannya. Sang fajar seperti tak sanggup lagi menari bersama mentari menyambut pagi. Namun, hanya hati yang selalu berdzikir dan berdo’a untuk-nya. Mereka semua pandai, ahli tasawuf. Tapi, tak ada yang mampu menerka pengorbanan dan keikhlasan-nya.

Tanggal 30 Desember 2009 merupakan hari tangisan beribu umat. Indonesia kembali kehilangan kharismanya. Indonesia telah kehilangan inspirator yang mencerdaskannya. Inspirator itu adalah K.H. Abdurahman Wahid (Gusdur). Gusdur telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, seperti: Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas, 1981. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001. dll. Merupakan kumpulan artikel Gusdur yang dikumpulkan menjadi sebuah buku. Gusdur telah membuka banyak sekali ruang-ruang untuk masa depan Indonesia. Membela kaum yang termarjinalkan dan toleransi antar umat beragama merupakan salah satu sumbangan terbesar Gusdur kepada bangsa Indonesia. Gusdur meyakini bahwa kebenaran “mutlak” hanya milik Allah. Tidak ada satupun kebenaran (sesungguhnya) pada manusia. Keyakinan Gusdur berdasarkan pada QS. Yunus: 99 :

”Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”

Maka tidak salah jika Gusdur dinilai sebagai bapak pluralis dan multikultural, seperti yang disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato sambutan dalam acara pelepasan jenazah Gusdur di Tebuireng, Jombang.

Sisi lain dari Gusdur yang jarang diketahui bahkan dipublikasikan oleh media adalah Gusdur bukan hanya sebagai kiai “politisi” (layaknya mantan Presiden). Tetapi, Gusdur juga mengaji (mengajarkan ngaji) kepada santri-santrinya (layaknya para kiai salaf) kitab-kitab/literatur universal dari para ulama sebelumnya. Selain mengaji, Gusdur tidak pernah melarang santri-santri-nya untuk mempelajari pemikiran-pemikiran barat yang notabenenya nonmuslim. Dengan kata lain, penampilan boleh Nabi Muhammad. Tapi, pemikiran seperti K.H Marx.

Page 2: Gus Dur dan Marx

Gusdur yang berasal dan dibesarkan dilingkungan pesantren yang terus-menerus selalu terhimpit oleh tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang mau tidak mau ingin mencoba melepaskan diri dengan menawarkan sejumlah asumsi-asumsi dan teori-teori. Dan Gusdur-lah sebagai seorang kiai mampu membuka cakrawala berfikir bagi para ulama’ dengan menempatkan “cinta damai” pada aras eksklusive pemikiran-nya, agar mampu mengikuti dinamisasi sayembara pemikiran-pemikiran barat kontemporer.

Gusdur adalah seorang intelek yang ingin membebaskan manusia layaknya K.H Marx. Seperti yang dikutip Kang Arif, dalam bukunya: Gusdur dan Ilmu Sosial Transformatif: “Suatu gerakan pembebasan yang sesungguhnya adalah pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun kecuali manusia itu sendiri.” Jadi, Gusdur sangat manusiawi.

Kedua tokoh ini memiliki beberapa persamaan1 meskipun terdapat perbedaan di antara mereka. Marx yang digusarkan pemikirannya oleh situasi politik di Prussia pada waktu itu (Negara terbesar di kawasan Jerman Utara) yang semakin reaksioner, membuat Marx harus mengakhiri kuliahnya di Bonn dan segera pindah ke Berlin. Disana Marx langsung tertarik dengan filsafat Hegel yang mengedepankan rasionalitas dan kebebasan. Dari Hegel, Marx menemukan senjata intelektual untuk menghancurkan Negara Prussia yang memberangus kebebasan rakyatnya. Anilisis Hegel mengenai masyarakat modern menarik minat Marx. Kekhasan masyarakat modern adalah perpisahan antara civil society dan negara. Civil society adalah lingkungan sosial manusia diluar keluarga maupun negara. Lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhan manusia. seperti: Lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi, dan lain sebagainya. Yang khas dalam lingkungan tersebut adalah manusia didalamnya berlaku egois. Itulah prinsif utama civil society. Dalam hal ini orang sering bersaing dengan orang lain. Orang bekerja, bersekolah, menggunakan fasilitas rekreasi, semata-mata bukan karena orang itu senang bekerja, suka sama gurunya, atau suka sama pengelola tempat rekreasi, melainkan karena fungsinya. Jadi, karena mereka membutuhkannya. Darisinilah kemudian Marx melihat manusia sebagai ditentukan oleh masyarakatnya.

Setajam apapun analisis Hegel. Marx menilainya (Hegel) hanya sebatas teori atau perumusan pikiran. Masyarakat Prussia yang nyata, masih tidak ter-rasionalkan dan terbebaskan. Yang masih diperlukan, pikiran itu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, teori harus menjadi praktis. Keyakinan Marx adalah seperti ini: jika kita menganut teori dan mengabaikan aplikasi, maka kita akan berjalan seperti orang buta didalam Gua yang meraba-raba dalam kegelapan. Sedangkan, jika kita menganut aplikasi dan mengabaikan teori, maka kita akan mengalami kebekuan doktrin. Jadi, antara teori dan aplikasi merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan.

Marx menemukan arah pemikirannya ketika Hegel di kritik oleh Feuerbach (muridnya sendiri). Menurut Hegel, manusia adalah wujud Allah dalam alam semesta. Dalam manusia Allah mengungkapkan diri. Manusia merasa berfikir dan bertindak sesuai dengan kebebasannya atau

1 Disini harus dibedakan makna antara persamaan dan kesamaan. Persamaan disini berarti sama dalam pemikiran. Tetapi, tidak sama dalam sikap atau keyakinan. Sedangkan kalau kesamaan sudah tentu persis antara pemikiran dan sikap atau keyakinan.

Page 3: Gus Dur dan Marx

kehendaknya, tetapi dibelakangnya Allah menyatakan diri. Nah, disinilah kritik Feuerbach. Menurut Feuerbach, Hegel mengutamakan agama dalam rasionalitas. Artinya, Allah adalah nomor satu dan manusia nomor dua. Padahal Allah adalah ciptaan manusia. Dengan kata lain, bukan Allah yang menciptakan manusia, tapi manusia yang menciptakan Allah. Feuerbach adalah seorang ateis. Agama (Allah) baginya hanya pikiran manusia saja. Manusia beragama karena tidak mampu melawan kekuatan dari dalam maupun dari luar dirinya sendiri. Karena agama manusia terasing.

Dari Feuerbach itulah kemudian Marx menemukan kata kunci bagi pemikirannya, yakni; Alienasi (keterasingan). Namun, Marx-pun mengkritik Feuerbach. Menurut Marx, bukan agama yang menjadikan manusia terasing. Agama hanyalah masalah sekunder. Manusia beragama atau tidak, itu tidak akan membebaskan manusia dari keterasingannya. Kritik ini kemudian tertuang dalam tesis ke-11 Marx: “Tugas seorang filsuf adalah bukan untuk menginterpretasikan dunia, tapi bagaimana mengubahnya”. Bagi Marx yang menjadikan manusia terasing terdapat dalam masyarakat. Keterasingan itu harus dicari di dalam masyarakat. Marx menemukan keterasingan itu. Keterasingan adalah konsekuensi dari sistem perekonomian, yakni; kapitalistik. Sistem kapital mencabut manusia dari akar ke-manusiaannya. Manusia telah dibuat seakan tidak manusiawi oleh sistem tersebut.

Marx sendiri melihat manusia sebagai “kerja”. Apapun yang dilakukan atau dikerjakan manusia, semua pasti ekonomi (uang). Kerja yang merupakan sarana untuk mengembangkan diri di dunia ternyata telah dimanipulasi oleh kapitalis. Karena kerja telah dimanipulasi maka, mau tidak mau para pekerja harus rela mengontrakkan diri untuk bekerja sesuai yang ditentukan oleh si pemilik. Akibatnya manusia terasing dari dirinya sendiri sekaligus orang lain.

Pada titik ini kemudian Marx membagi tatanan sosial kemasyarakatan menjadi dua bagian yang terdiri dari: Infrastruktur (lapisan bawah) dan Suprastruktur (lapisan atas). Pada Infrastruktur, Marx meletakan ekonomi. Ini menandakan bahwa ekonomilah yang menjadi penentu. Jika ekonomi telah dimiliki bersama, maka dengan sendirinya masyarakat tidak akan melarat, atau tidak akan ter-Alienasi. Sedangkan dalam Suprastruktur terdapat: Ideologi, Agama, Negara, Kebudayaan, Pendidikan, dll. Nah, disinilah kemudian Gusdur menentang pendapat Karl Marx ini. Menurut Gusdur, Marx juga memutar balikkan fakta, layaknya Feuerbach yang menuduh Hegel memutar balikkan fakta. Sangat tidak tepat, jika Marx menempatkan agama pada suprastruktur (lapisan atas). Sebenarnya agama (Islam)-lah yang merupakan pembebasan2. Munculnya agama (Islam), jika dilihat historisnya, merupakan protes terhadap ketidakadilan yang terdapat di pedagang Jazirah Arab waktu itu.

Agama (Islam) sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan ini memungkinkan bagi berkembangnya masyarakat yang cinta damai. Gusdur membedakan konsep pembebasan dari agama lain. Misalnya, konsep pembebasan dalam agama kristen yang lahir dari konsep penyelamatan (salvation) atas dosa asal yang diturunkan ke ranah praksis sosial, sehingga dosa

2 Karena Gusdur seorang muslim dan berangkat dari tradisi pesantren. Maka, Gusdur pun gerah ketika membaca tulisan-tulisan Marx yang menempatkan agama pada lapisan atas (Suprastruktur). Gusdur bukanlah Niethzche yang individualis dan juga bukan Marx yang sosialis.

Page 4: Gus Dur dan Marx

individual tergerak kearah pembebasan dosa sosial. Jika demikian, pembebasan (agama kristen) bukan sebagai peneguhan iman atas sikap manusia terhadap agama. Tetapi lebih dominan pada aksi praksis dunia yang semakin tua. Bagi Gusdur agama (Islam)-lah yang mempunyai konsep yang kompleks tentang pembebasan. Sebab, kurang lebih di dalam Al-Qur’an terdapat 80% ayat yang menerangkan hubungan antara manusia.

Dari sini kemudian Gusdur melangkah lebih jauh dengan mengaitkan agama dan pembangunan. Sebab, hakikat dari agama yang sesungguhnya adalah memanusiakan manusia, bukan hanya sebatas ritual dan seremonial belaka, yang terpenting bagaimana menjalin hubungan dengan sesama atas dasar ke agamaannya. Gusdur menggunakan dua pendekatan, yakni: suplementer dan komplementer.

Dalam pendekatan suplementer, agama adalah penunjang upaya membangun. Artinya, agama harus merangkul setiap upaya pemerintah dan melegitimisir upaya-upaya tersebut guna mencapai tujuannya. Agama dalam pedekatan ini hanya sebatas pelengkap saja. Agama hanya sebagai “pembantu” pemerintah dalam mensosialisasikan kerja-kerjanya. Akibatnya, akan melahirkan karikatur-karikatur agama yang lebih ekstrem karena agama terlalu berbau manifulasi di kalangannya sendiri. Gusdur tidak banyak memberikan penjelasan dalam pendekatan ini.

Pendekatan komplementer justru sebaliknya. Agama tidak hanya sebagai pelengkap, melainkan terlibat secara keseluruhan dalam menetapkan sasaran pembangunan. Peran agama dari awal harus di tunjukan guna menetapkan tujuan pembangunan dan cara-cara penyelenggaraannya. Pendekatan ini memiliki arti jangka panjang karena membentuk pandangan dunia dan etos kerja para penganutnya. Pendekatan ini mengisyaratkan lembaga-lembaga ke agamaan tidak menjadi pasif. Kerja-kerja pemerintah harus terus dikawal dan jika bertentangan dengan agama, maka lembaga-lembaga ke agamaan tersebut harus memberikan kontribusi yang riil sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam pedoman keagamaannya.

Asumsi-asumsi ini tidak banyak dijelaskan Gusdur, mungkin karena waktu itu Gusdur menjadi ketua PBNU. Karena jika tidak berbenturan dengan itu, Gusdur pasti melebihi Karl Marx. Layaknya Niethzche, Gusdur selalu mengakhiri tulisannya dengan tanda tanya. Karena apa yang diyakini hari ini belum tentu benar esok hari.

Jika Marx berangkat dari situasi politik reaksioner yang membuatnya tidak nyaman, maka Gusdur justru berangkat dari agama yang menentramkannya.

“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."