Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HADIS-HADIS DALAM PEMIKIRAN KEAGAMAAN SOEKARNO
DAN NATSIR
(SKRIPSI)
Disusun untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
M. Alvin Nur Choironi
NIM: 1113034000210
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2018 M
“Hadis dalam Pemikiran Keagamaan Soekarno dan Natsir”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S. Ag)
Oleh:
M. Alvin Nur Choironi
NIM: 1113034000210
Pembimbing
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA
NIP. 197720012003121003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Hadis dalam Pemikiran Keagamaan Soekarno dan
Natsir” telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Juli 2018. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
820122 Juli Jakarta,
Sidang Munaqasah,
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, S.E., M.M. Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
NIP. 19630701 199803 1 003 NIP. 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Ahmad Fudhaili, M. Ag. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA.
NIP. 19740510 200501 1 009 NIP. 19780424 201503 1 001
Pembimbing
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA
NIP. 19772001200312 1 003
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Juli 2018
iv
ABSTRAK
M. Alvin Nur Choironi
“HADIS DALAM PEMIKIRAN KEAGAMAAN SOEKARNO DAN
NATSIR”
Sebuah teks selalu memiliki konsekuensi untuk dihapus dan ditakwilkan
oleh semua pembacanya. Setiap orang menakwilkannya dengan strategi
pembacanya. Sehingga orang yang membaca teks tersebut sesuai dengan kekuatan
dan posisinya, termasuk hadis, yang notabenenya sebagai teks keagamaan dan
rujukan kedua setelah Alquran. Soekarno dan Natsir adalah dua orang pemimpin
dan tokoh muslim yang memiliki posisi, lingkungan dan latar belakang yang
berbeda. Namun, keduanya sama-sama menggunakan hadis sebagai referensi dalam
setiap argumentasi yang disampaikan. Bahkan, keduanya sempat berguru dengan
orang yang sama, namun memiliki pemahaman yang berbeda.
Penelitian ini akan membahas pandangan Soekarno dan Natsir terkait
otoritas hadis serta pola pemahamannya terhadap hadis. Penelitian ini
menggunakan metode studi pustaka dengan mencari hadis dan/atau kalimat yang
terindikasi sebagai hadis dalam kedua buku karya Soekarno dan Natsir, yakni Islam
Sontoloyo dan Islam dan Akal Merdeka. Hadis-hadis yang ditemukan kemudian
ditakhrij dengan metode taḥrīj Mahmūd Ṭaḥḥān, kemudian dilakukan penelitian
terhadap kualitas hadis tersebut dengan metode al-Irāqī. Setelah itu dilakukan
analisis untuk apa hadis tersebut digunakan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa secara konseptual Soekarno dan Natsir
sama-sama sepakat untuk menggunakan hadis sahih sebagai pijakan. Namun secara
praktis, Soekarno dan Natsir tidak konsisten, terkadang mereka menggunakan hadis
sahih, terkadang hadis hasan, dhaif, bahkan palsu.
Dalam hal penggunaan dan pemahaman hadis, keduanya memiliki
perbedaan. Soekarno cenderung tergolong sebagai kelompok Ideal-Generalistik,
yakni mengakui bahwa hadis Nabi Saw. sebagai teladan tetapi tidak bersifat
mendetail. Karena suatu hadis pasti memiliki latar belakang situasional. Sehingga
yang menjadi fokus bukan pada detailnya melainkan pada spirit umumnya.
Sedangkan Natsir termasuk dalam kategori Ideal-Restriktifistik, yakni jika hadis
tersebut bersifat tasyri’ī, maka hadis tersebut mengikat, jika non-tasyri’ī maka tidak
mengikat, Natsir membahasakannya dengan “dien” dan “duniawi”. Perbedaan ini
disebabkan perbedaan latar belakang keduanya, serta perbedaan riwayat hadis yang
dikutip keduanya.
Kata kunci: Hadis, Soekarno, Natsir
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt.
yang telah memberikan taufiq, hidayah serta ināyah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan judul: “HADIS DALAM
PEMIKIRAN KEAGAMAAN SOEKARNO NATSIR”. Shalawat serta salam
semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul pilihan yang
membawa cahaya penerang dengan ilmu pengetahuan. Serta untaian doa senantiasa
tetap dicurahkan kepada keluarga, para Sahabat, seluruh pengikutnya sampai akhir
zaman, dan semoga kelak kita mendapatkan syafa’atnya. Āmīn.
Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan, motivasi,
dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan menghanturkan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. sebagai Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir, dan Dra. Banun Binaningrum, M. Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, MA., sebagai pembimbing dalam penulisan
skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, memotivasi, memberi
arahan serta petunjuk kepada penulis dengan ikhlas demi keberhasilan penulis.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan ketulusan hati dan
kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama belajar di Ushuluddin,
6. Kepada kedua orangtua penulis, yakni ayahanda Masrukhan, ibunda Sa’diyah,
serta adik tercinta Majdatin Nadhiyah, ananda haturkan banyak terima kasih
atas semua pengorbanan, perjuangan, motivasi dan doa yang selalu diberikan
kepada penulis walaupun berada di tempat nun jauh di sana.
vi
7. Kepada segenap saudara, lek Sholeh, lek Ana, mas Arvin Hakim sekeluarga,
mas Dino Munfaizin Imamah, serta saudara-saudara lain yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Merekalah yang senantiasa mendoakan dan
memotivasi penulis untuk terus berkreasi, bergerak dan berpacu dalam mencari
ilmu, serta mengembangkan kemampuan.
8. Kepada Mudīr, asātidz, wa ustadzāt keluarga MI Roudhlotut Thalabah
Banjarjo Bancar Tuban, Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar
Gresik dan Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Ciputat,
yang telah mengerahkan segala kemampuannya untuk membimbing penulis
hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini, khususnya kepada Romo
K.H. Masbuhin Faqih dan (al-maghfūr lah) ayahanda Prof. Dr. K.H. Ali
Mustafa Yaqub, MA. Keduanya adalah inspirator terhebat yang ada di hidup
penulis.
9. Kepada teman-teman Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir angkatan 2013,
khususnya kelas TH-F, serta teman-teman angkatan As-Shuffah yang telah
menemani dan menjadi sahabat terbaik penulis selama masa-masa belajar di
kampus dan di Darus-Sunnah. Semoga Allah Swt. semakin mempererat tali
persahabatan kita.
10. Kepada keluarga besar Masjid al-Mujahidin, khususnya Abah H. Marsan
Asmari, Ust. Ahmad Zaenuddin al-Hanif, Ust. Muhammad Romli, dan warga
Pisangan Barat, penulis ucapkan terima kasih karena telah bersedia menjadi
keluarga kedua penulis di perantauan.
11. Kepada keluarga besar Islamidotco (Mas Savic Ali, Mas Dedik Priyanto, Kang
Hengky Ferdiansyah, Mas Elik Ragil, Mbak Hexa Rahmawati dan Mas Fika),
NU Online (Mas Hafiz, Mas Mahbib, dkk.), Wikihadis.id (Ust. Ahmad Ubaydi
Hasbillah, dkk.), Pengurus Pusat FKMTHI demisioner (Ummi Hasanah/ Ala
dkk.) dan PMII Komfuspertum yang telah memberi semangat penulis serta
menjadi tempat dan media belajar bagi penulis.
12. Dan tak lupa untuk seluruh pihak yang selalu mengingatkan penulis untuk
mengerjakan tugas akhir ini, khususnya untuk Fera Rahmatun Nazilah yang tak
pernah lelah mengingatkan dan memotivasi penulis.
vii
Penulis berharap, semoga karya tulis ini menjadi sebuah refleksi dan dapat
memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca yang berminat dengan tulisan ini. Dan dengan harapan karya tulis ini dapat
dijadikan amal bagi penulis, Āmīn Yā Rabb al- ‘Ālamīn.
Ciputat, 4 Juli 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 11
C. Pembatasan Masalah ............................................................... 12
D. Rumusan Masalah .................................................................... 12
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 12
F. Kajian Pustaka ......................................................................... 13
G. Metodelogi Penelitian .............................................................. 19
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 22
BAB II HADIS ANTARA TEKS DAN OTORITAS
A. Penggunaan Hadis dalam Bingkai Sejarah ................................ 24
B. Perdebatan seputar otoritas hadis dan klasifikasinya ................. 33
ix
BAB III INTERAKSI SOEKARNO DAN NATSIR DENGAN HADIS
A. Biografi Pemikiran Soekarno dan Natsir ................................... 38
B. Awal Perjumpaan Soekarno dan Natsir dengan Hadis............... 62
C. Hadis dalam pandangan Soekarno dan Natsir ........................... 66
BAB IV HADIS-HADIS REFERENSI PEMIKIRAN KEAGAMAAN
SOEKARNO DAN NATSIR
A. Hadis-Hadis dalam Islam Sontoloyo ......................................... 77
B. Otentitas dan Otoritas Hadis dalam Islam Sontoloyo ................. 101
C. Hadis-Hadis dalam Islam dan Akal Merdeka ............................ 105
D. Otentitas dan Otoritas Hadis dalam Islam dan Akal Merdeka .... 124
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 128
B. Saran-Saran .............................................................................. 129
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 130
LAMPIRAN ................................................................................................. 136
x
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Peta Pemikiran Soekarno dan Natsir ......................................... 60
2. Tabel 2 Genealogi Hadis Soekarno dan Natsir ........................................ 66
3. Tabel 3 Pandangan Soekarno dan Natsir terhadap hadis ......................... 75
4. Tabel 4 Hasil Penelitian Hadis-hadis dalam Islam Sontoloyo ................. 102
5. Tabel 5 Jumlah hadis dalam Islam Sontoloyo yang ditemukan dalam Kutub
al-Tisʻah dan selain Kutub al-Tisʻah. ..................................................... 103
6. Tabel 6 Hasil Penelitian Hadis-hadis dalam Islam dan Akal Merdeka..... 124
7. Tabel 7 Jumlah hadis dalam Islam dan Akal Merdeka yang ditemukan dalam
Kutub al-Tisʻah dan selain Kutub al-Tisʻah. ........................................... 126
8. Tabel 8 Bagan pemahaman hadis Soekarno dan Natsir berdasarkan riwayat
hadis yang dijadikan pijakan .................................................................. 127
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan
Library Congress (LC).
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksra Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
- - alif ا
ba’ b be ب
ta’ t te ت
tsa’ ts te dan es ث
jim J je ج
ha’ ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
kha’ kh ka dan ha خ
dal d de د
dzal dz de dan zet ذ
ra’ r er ر
zai z zet ز
sin s es س
syin sy es dan ye ش
shad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
dhad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
tha’ ṭ te (dengan titik di bawah) ط
zha’ ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع
xii
gain gh ge dan ha غ
fa’ f ef ف
qaf q qi ق
kaf k ka ك
lam l el ل
mim m em م
nun n en ن
wawu w we و
ha’ h ha ه
hamzah ’ apostrof ء
ya’ Y ye ي
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
kasrah ditulis i ـ
fathah ditulis a ـ
dhammah ditulis u ـ
2. Vokal Rangkap
Fathah + Ya’ Mati ditulis ai
ditulis bainakum بينكم
Fathah + Wawu Mati ditulis au
ditulis Qaulūn قولون
xiii
3. Vokal Panjang
Fathah + Alif ditulis ā
ditulis jāhiliyyah جاهلية
Fathah + Ya’ Mati ditulis ā
ditulis Yas‘ā يسعى
Kasrah + Ya’ Mati ditulis ī
ditulis Karīm كرمي
Dhammah + Wawu Mati ditulis ū
ditulis Furūḍ فروض
4. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis dirangkap:
ditulis ‘iddah عدة
5. Kata Sandang
Kata sandang, dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu
dialihaksarakan menjadi “al”, baik itu diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah. Contoh: al-Rijāl bukan ar-Rijāl, al-Dīn bukan ad-Dīn.
C. Singkatan
Swt. = Subḥānahu wa Ta’ālā
Saw. = Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallama
Ra. = Raḍiya Allāh ‘anhu
QS. = al-Qur’an Surat
HR. = Hadis Riwayat
M. = Tahun Masehi
H. = Tahun Hijriyah
W. = Tahun Wafat
xiv
h. = Halaman
b. = Bin/ Ibn
bt. = Binti
ed. = Editor
Cet. = Cetakan
T.tp. = Tanpa tempat penerbit
T.pn. = Tanpa penerbit
T.t. = Tanpa tahun
no. = Nomor
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Razi dalam Mafātih al-Ghaib-nya menjelaskan bahwa mematuhi Alquran
adalah merupakan manifestasi patuh terhadap Allah sedangkan mematuhi semua
hal yang disabdakan oleh Rasul, yakni hadis, adalah manifestasi patuh terhadap
Rasul.1 Sedangkan mematuhi pemimpin ūlil amri,2 baik pemimpin agama maupun
pemimpin pemerintahan adalah manifestasi menaati ūlil amri. Dalam lanjutan
ayat tersebut dijelaskan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat, kita diperintahkan
untuk kembali merujuk Alquran dan hadis.
Dengan adanya firman Allah ini terkadang menjadikan sebagian kelompok
menjadi fundamental terhadap Alquran dan hadis serta cenderung mengambil
mentah-mentah semua hal yang berkaitan dengan Alquran dan hadis tanpa
memandang lingkup sosial-budaya bahkan interaksi Rasul dengan para
sahabatnya pada saat itu. Sehingga kerap kali muncul pernyataan-pernyataan yang
mendikotomikan pemimpin dengan teks-teks keagamaan, baik Alquran dan
hadis.3
1 Fakhr al-dīn al-Rāzī, Mafātīh al-Ghāib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), j. 10, h. 146-149. 2 Q.S. Al-Nisā’: 59. Dalam hadis riwayat al-Nasā’i juga dijelaskan bahwa menaati pemimpin
adalah bagian dari menaati Allah dan Rasul. Ahmad bin Syuaib al-Nasā’i, Sunan al-Nasā’i al-
Kubrā, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), j. 5, h. 222. 3 Pada zaman ini muncul beberapa golongan melalui portal-portal website keislaman,
menjelaskan bahwa pemimpin yang berlandaskan asas demokrasi bukanlah pemimpin yang
berpegang teguh pada Alquran dan hadis, melainkan pemimpin yang termasuk kategori Mulkan
Jabariyah bukan ūlil amri dan tidak boleh ditaati. Salah satunya adalah website voa-islam yang
menulis artikel berjudul “Pemimpin Tak Berhukum Islam, Bukan Ulil Amri Tapi Mulkan
Jabariyah”. https://www.voa-islam.com/.../pemimpin-tak-berhukum-islam-bukan-ulil-amri-tapi-
mulkan-jabariyah/ diakses pada 4 oktober 2017.
2
Dalam beberapa literatur tafsir misalkan, disebutkan bahwa keputusan atau
kebijakan-kebijakan pemimpin (ūlil amri) ditaati jikalau tidak bertentangan
dengan syariat. Atau dalam bahasa al-Rāzī disebut “Fīmā `ulima bi al-Dalīl
annahu ḥaqqun wa ṣowābun, wa dzālika al-dalīl laisa illa al-kitāb wa al-
sunnah.” (jika telah diketahui dalil bahwasanya kebijakan pemimpin tersebut
benar. Sedangkan dalil yang sesungguhnya hanya terdapat pada Alquran dan
sunnah).4 Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
sesungguhnya kebijakan yang dianggap sesuai dengan Alquran dan sunnah.
Karena pada kenyataannya, realitas sejarah menunjukkan bahwa pemimpin-
pemimpin sekaliber Khulafaur Rasyidin, yang dalam Mafātīh al-Ghaib disebut
sebagai ūlil amri, juga pernah memberikan kebijakan yang bertentangan dengan
Alquran maupun hadis.
Umar bin Khattab misalnya, ia adalah potret seorang tokoh dan pemimpin
yang sering kali memainkan peranannya sebagai pemimpin untuk menafsirkan
dan terkesan bertentangan dengan teks-teks agama, salah satunya hadis. Bahkan
sejarah mencatat bahwa sering kali saran Umar selalu dipertimbangkan, bahkan
sebagian besar diterima oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya, baik Nabi5
maupun Abu Bakar Ra.6 Bahkan al-Suyūṭi menyebutkan bahwa ada beberapa
4 al-Rāzī, Mafātīh al-Ghāib, j. 10, h. 150. 5 Salah satu pendapat yang sangat diperhatikan oleh Rasul adalah ketika Umar mengusulkan
adzan sebagai pertanda salat. Saat itu umat muslim berkumpul untuk memperbincangkan hal
terkait penanda waktu salat. Karena beberapa usul sebelumnya mengusulkan alat seperti tambur,
bel, atau terompet yang serupa dengan Yahudi dan Nasrani, akhirnya Umar mengusulkan kepada
Rasul agar mengutus seseorang yang memanggil untuk adzan. Rasul pun akhirnya mengutus Bilal
bin Rabah (w.20 H). Hal ini bisa dilihat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam kitab Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasā’i. Majdudin al-Mubārak al-Jazri, Jāmi’ al-Uṣūl fī
Ahādīts al-Rasūl, (t.tp: Maktabah Dār al-Bayān, t.t), j. 5, h. 268. 6 Umar menjadi penasehat penting pada masa Abu Bakar berkuasa. Bahkan Umar bisa
dibilang berperan aktif hampir dalam setiap keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar Ra. Di
antaranya, ia sebagai aktor penting dalam penaklukan berbagai kawasan hingga utara Arabia dan
ekspansi wilayah Islam. Umar pula yang mendorong Abu Bakar Ra. untuk mengumpulkan mushaf
3
riwayat yang menyatakan bahwa pendapat-pendapat Umar adalah salah satu
pratanda akan turunnya sebuah ayat.7
Dengan berbagai kapasitasnya dalam menyuarakan pendapat-pendapatnya
ketika Nabi Saw masih hidup dan pada masa Abu Bakar, Umar pun melakukan
beberapa kebijakan-kebijakan yang secara zahir dianggap bertentangan dengan
hadis Rasul ketika ia menjabat sebagai Amir al-Mu’minin (khalifah). Bahkan
dalam beberapa hal dianggap bertentangan dengan Alquran.8
Di antara kebijakan Umar yang dianggap bertentangan dengan hadis adalah
terkait dengan tidak dilaksanakannya hukuman potong tangan bagi seorang
pencuri karena pencuri tersebut mencuri barang majikannya sendiri karena kondisi
ekonomi sulit. Dalam kasus lain, seorang laki-laki miskin mencuri harta dari
Baitul Mal dan Umar tidak memberikan hukum potong tangan baginya, karena ia
menilai laki-laki tersebut memiliki hak atas Baitul Mal. Padahal perihal mencuri
Alquran yang masih berserakan dengan alasan Alquran nanti akan hilang beserta para penghafalnya yang mati terbunuh dalam perang-perang, khususnya perang Yamamah. Bahkan atas
usulan Umar, Abu Bakar akhirnya membuat komite khusus yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit
(w. 28 H). Abdullah Said, Alquran Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2014), h. 53. 7 Hal ini biasa dikenal dengan Muwāfaqatu Umar, yakni ayat-ayat yang turun karena Umar
atau ayat-ayat yang turun sesuai dengan pendapat Umar. Al-Suyuṭi sendiri memasukkan bab
tersendiri terkait Muwāfaqat Umar ini. Umar menyebut tiga hal yang disebut sebagai
muwāfaqatuhu bi rabbihi. Pertama, menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat salat; Kedua,
meminta para istri Nabi Saw untuk berhijab; Ketiga, mengkritik para istri Nabi Saw karena saling
cemburu. Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi, Tārikh al-Khulafā’, (Beirut: Dār al-Minhāj, 2013), h. 224-225. 8 Salah satu kebijakan Umar yang bertentangan dengan Alquran adalah penghapusan muallaf
dari golongan para penerima zakat (mustahīq al-zakah). Umar menilai bahwa Alquran memasukkan frasa “muallaf yang dibujuk hatinya” dalam Q.S. 9:6 adalah karena pada saat itu
seorang yang baru masuk Islam perlu diberikan motivasi agar tetap memegang teguh predikatnya
sebagai muslim ditengah ancaman dari berbagai pihak. Umar juga merasa bahwa ayat Alquran
tentang mustahiq zakat tersebut turun di saat Islam dan pengikutnya dalam keadaan lemah,
sehingga ayat Alquran tersebut datang sebagai penguat agama baru ini. Abdullah Saed, Alquran
Abad 21, h. 56.
4
ini, hadis terkait hukuman pencuri yang berupa potong tangan sudah sangat jelas,9
bahkan hukuman ini juga terdapat dalam Alquran.10
Dalam kasus lain, Umar malah menambah berat hukuman yang telah
ditetapkan oleh Rasul kepada seorang pemabuk. Dalam hadis riwayat Muslim
dijelaskan bahwa pada masa Rasul Saw hukuman untuk seorang pemabuk adalah
empat puluh kali sementara pada masa Umar menjabat sebagai khalifah, hukuman
tersebut dilipatgandakan dua kali lipat menjadi delapan puluh kali cambukan.11
Kebijakan Umar terkait pelipatgandaan hukuman bagi para pemabuk ini
sepertinya bukan tanpa alasan. Abdullah Saed mengutip Ibn Shabba dalam Tārīkh
al-Madīnah al-Munawwarah mengatakan bahwa Umar menganggap pada
masanya kemakmuran meningkat dengan pesat serta mudahnya memperoleh
minuman keras. Akhirnya umat Islam menjadi terbiasa dengan larangan ini.
Sehingga dalam keyakinan Umar diperlukan peningkatan hukuman untuk
menambah efek jera bagi para pemabuk. Dan secara tidak langsung hal ini
bertentangan dengan hadis Rasul Saw terkait hukuman bagi para pemabuk.12
Bahkan dalam hal ibadah, Umar pun pernah memunculkan kebijakan yang
sangat kontroversial, yaitu menetapkan salat Qiyām al-Lail (Tarawih) secara
berjamaah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul Saw pada masanya. Rasul
hanya melakukan salat sunnah setiap malam ramadhan yang kemudian diikuti
oleh beberapa sahabat. Bahkan Rasul pun melakukan salat itu tidak secara
9 Dalam hadis yang diriwayatkan secara mursal oleh Abdurrahman bin Tsauban disebutkan
bahwa Rasul menghukum seorang pencuri mantel dengan potong tangan. Abdu al-Razāq al-
San`āni, Mushannaf Abdu al-Razāq, (Beirut: al-Maktab al-Islāmi, 1981), j. 7, h. 390. Selain itu dalam hadis riwayat Muslim juga dijelaskan ukuran pencurian yang harus dihukum potong tangan
adalah seperempat dinar ke atas. Muslim bin Hajjāj al-Qusyairy al-Naisaburi, al-Jāmi’ al-Ṣāḥiḥ
Ṣāḥīḥ Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, t.t), j. 3, h. 1312. 10 Q.S. al-Nisā’: 38. 11 Muslim, Ṣaḥīh Muslim, j. 3, h. 1330. 12 Abdullah Saed, Alquran Abad 21, h. 62.
5
konsisten.13 Pada masa Umar, banyak muslim yang melaksanakan salat sendiri-
sendiri atau ada yang salat dengan kelompok kecil di masjid. Menyaksikan hal ini,
Umar memandang akan lebih baik jika mereka dikumpulkan menjadi satu jamaah
dan dimami oleh seorang qari’. Setelah kebijakan Umar ini terlaksana, ia berkata
“Ni`mah al-bid`atu hadzihi” (Ini adalah inovasi yang bagus).14
Beberapa kasus reinterpretasi Umar terkait hadis di atas menunjukkan bahwa
seorang pemimpin memiliki posisi penting sebagai pembuat kebijakan yang
berorientasi terhadap kemaslahatan banyak orang, terutama dengan hal-hal yang
berkaitan dengan teks-teks agama seperti Alquran maupun hadis. Umar mampu
memainkan peranannya sebagai pemimpin untuk mengolah teks agama menjadi
referensi yang dinamis dan kasuistik. Abdullah Saed menilai bahwa Umar
menggunakan gagasan-gagasan yang meliputi: kepentingan umum, properti
publik, egaliter dan ekualitas, dan kesadaran akan konteks yang berubah sebagai
pijakan pemikiran semi-kontekstual pada saat mengaplikasikan petunjuk dalam
teks-teks agama.15
Selain Umar, Abu Bakar juga dianggap memberikan kebijakan yang dianggap
bertentangan dengan hadis melalui kebijakannya yang tidak memberikan bagian
khumus (1/5) kepada kerabat Nabi. Padahal dalam hadis riwayat Jubair bin
Muṭ`im dan Usman, Rasulullah membagikan bagian khumus kepada keluarganya,
yakni Bani Hasyim dan Bani Muthalib.16
13 Abdullah Saed, Alquran Abad 21, h. 65. 14 Muhammad bin Ismail al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār Ibn Katsīr, 2002), h.
482. 15 Abdullah Saed, Alquran Abad 21, h. 68. 16 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub, t.t), j. 3, h. 106.
6
Dikotomi antara pemimpin dan teks-teks keagamaan ini sering kali
memunculkan gerakan-gerakan kembali kepada Alquran dan hadis. Karena
dianggap bahwa otoritas adalah milik Allah dengan Alquran-Nya dan Rasul
dengan hadisnya. Bahkan dikotomi ini menimbulkan kenyataan pahit bagi dua
khalifah setelah Abu Bakar dan Umar, yakni Usman bin Affan (23-35 H/644-656
M) dan Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M) yang telah dituduh bahwa
kebijakannya bertentangan dengan teks-teks keagamaan. Usman bin Affan
dituduh gagal menjalankan sistem pemerintahan dengan sistem syūrā dan dituduh
telah memerintah dengan mengikuti hawa nafsunya, bukan dengan hukum Allah.
Pembangkangan kepada Utsman bin Affan bermuara pada pembunuhan atas
dirinya dan pemberontakan yang dikenal dengan fitnah al-kubrā. Sedangkan Ali
bin Abi Thalib harus berdebat dengan kaum Khawarij yang menolak keputusan
khalifah Ali bin Abi Thalib terkait arbitrase yang akhirnya berujung pada
pembunuhan atas dirinya yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam, salah
satu anggota kelompok ini.17
Kelompok Khawarij dengan jargonnya “lā hukma illa Allah” (tidak ada
hukum yang harus ditaati kecuali hukum Allah) menolak kebijakan Ali yang
tunduk kepada arbiterase, karena menilai bahwa arbiterase adalah keputusan
manusia, bukan keputusan Tuhan. Menjawab hal ini, Ali mengumpulkan sejumlah
orang dengan membawa mushaf kemudian berkata: “Wahai Alquran, berbicaralah
pada manusia”. Orang-orang yang berada sekitar Ali khawatir kemudian berkata:
“Ali, apa katamu! Apakah engkau mengejek kami? Alquran hanyalah lembaran-
lembaran kertas tinta, hanya manusia yang berbicara atas nama Alquran”. Ketika
17 Rumadi, “Islam dan Otoritas Keagamaan”, Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, (Mei
2012), h. 33.
7
itu, Ali kemudian berkata: “Alquran ditulis dengan goresan diantara dua sampul.
Ia tidak bisa bicara. Alquran butuh penafsir, dan penafsir itu adalah manusia”.18
Realitas sejarah Khulafaur Rasyidin ini menunjukkan bahwa teks-teks
keagamaan, khususnya hadis Rasul memiliki konteks sosial-budaya dan
tergantung dengan mukhātab (lawan bicara) saat diucapkan. Rasul sering ditanya
dan dimintai komentar atau ijtihad beliau terkait hal-hal yang terjadi oleh para
sahabat. Jawaban Rasul tidak lantas wajib diamalkan karena jawaban tersebut
memiliki dua sisi, yakni antara hal itu benar-benar wahyu dari Allah atau hanya
ijtihad Nabi Saw sebagai manusia biasa. Syahrur misalkan, menyebut bahwa kita
diwajibkan mematuhi hadis-hadis Rasul jika hal itu berkaitan dengan pondasi
risalah yang meliputi syariah dan hal-hal yang berkaitan dengan teritorial syariah
saja. Hal ini lah yang disebut Syahrur sebagai al-hikmah al-rasūliyah yang wajib
diikuti dan ditaati oleh semua umat Nabi Muhammad Saw hingga sekarang (tā’ah
muttasilah). Syahrur juga menyebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan
cerita-cerita tentang Nabi Muhammad Saw serta bentuk-bentuk ijtihad Nabi Saw
yang terdapat dalam hadis, maka hal itu hanya untuk orang yang semasa dengan
Nabi saja, bukan untuk umat Nabi Saw yang jauh masanya dengan kehidupannya
(tā’ah munfasilah). Karena hal-hal tersebut dapat berubah dengan dinamika
perubahan zaman. 19
Jika kita sebut bahwa semua yang keluar dari pernyataan Rasul adalah
wahyu20 yang konsekuensinya adalah harus kita ikuti, maka seharusnya Rasul
18 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif , Jakarta:
Serambi, 2004. h. 46-47. 19 Muhammad Syahrur, al-Sunnah al-Rasūliyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dar
al-Sāqi, 2012), h. 162-163. 20 Q.S. al-Najm: 4.
8
sendiri mengatakan demikian. Namun kenyataannya tidak demikian, Rasul juga
pernah bersabda: “Innamā anā basyārun, idzā amartukum bi syai’in min dīnikum
fa khudzū bihi, wa idzā amartukum bi syai’in min ra’yī, fa innamā anā basyārun.”
(Sesungguhnya saya (nabi) adalah manusia biasa. Jika saya memerintahkan
kepada kalian terkait dengan agama, maka laksanakanlah. Namun jika hal itu
berkaitan dengan pendapatku, sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa).21
Dalam riwayat lain juga disebutkan “Antum a’lamu bi amri dunyākum.” (kalian
lebih mengetahui perkara duniawi kalian).22 Prinsip-prinsip seperti ini yang sering
terlewatkan dalam membaca teks-teks agama. Sehingga menjadikan para
pembacanya jumud dan konservatif. Hal seperti inilah yang barangkali disebut
oleh Nasr Hamid dengan ungkapan “an tasīra qadamāhu ila al-amām bainama
yaltafit ra’suhu ila al-khalf”, yang artinya “Langkah kaki mengarah ke depan
tetapi kepala menengok ke belakang.”23
Dalam konteks Indonesia, Soekarno adalah salah satu tokoh bangsa yang
sering kali melempar isu-isu seputar hal-hal yang berkaitan dengan Islam melalui
interpretasi pembacaannya terhadap teks-teks agama, terkhusus hadis. Ridwan
Lubis mengatakan bahwa Soekarno berusaha memahami Islam dengan tidak
mengikuti kecenderungan keislaman yang telah ada sebelumnya. Ia berusaha
untuk melakukan pembaruan Islam dengan memfokuskan gerakannya pada usaha
21 Muslim, Ṣāḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95. 22 Muslim, Ṣāḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95. 23 Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang diberikan oleh Nasr
Hamid kepada orang Arab yang selalu ingin kembali kepada turāts setiap terjadi masalah atau
krisis yang menimpa mereka. Padahal menurut Nasr Hamid, refleksi kembali kepada turāts adalah
sebuah hal yang berkaitan dengan masa lalu dan stagnasi. Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nāṣ al-ṣulṭah
al-haqīqah, (Beirut: al-Markāz al-Tsaqāfy al-A’rāby, 1995), h. 13.
9
purifikasi ajaran Islam24 dari hal-hal yang sebenarnya bukan bagian dari agama
(al-dīn), seperti kaitan Islam terhadap dunia modern dan menjadikan Islam
sebagai landasan berpolitik. Soekarno juga berpendapat bahwa seharusnya Islam
tidak lari dari modernitas dan bisa bertahan di dalamnya. Hal ini diyakini sebagai
cara Soekarno untuk memperbaiki citra Islam yang sudah terlanjur buruk di mata
kaum netral agama.25
Hal ini terbukti dari tulisan-tulisan Soekarno terkait Islam yang terdapat
dalam surat-suratnya untuk A. Hassan dan Natsir ketika diasingkan di Endeh,
majalah Pandji Islam, Adil dan kumpulan tulisannya yang berjudul Di Bawah
Bendera Revolusi. Bahkan tulisan-tulisannya yang khusus berkaitan dengan Islam
telah dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam Sontoloyo, Pikiran-
Pikiran Sekitar Pembaruan Islam.”
Soekarno dalam beberapa pikiran pembaruan Islamnya sering kali mengutip
hadis sebagai referensi, baik secara eksplisit maupun implisit. Kemudian ia
memberikan pandangannya terkait hadis tersebut. Misalkan dalam salah satu
tulisannya yang berjudul “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”.
Dalam tulisannya tersebut Soekarno tidak memerintahkan anaknya yang bernama
Ratna untuk mencuci timbanya yang telah dijilat anjing sesuai dengan ajaran
fikih, yakni dicuci tujuh kali dengan air dan salah satunya dicampur debu.
Soekarno hanya menyuruh Ratna untuk membuang air bekas jilatan anjing dan
mencucinya dengan klorin. Soekarno menilai bahwa pada masa Rasul tidak ada
24 Purifikasi ajaran Islam dalam hal ini adalah bukan berarti kembali ke abad VII, melainkan
menjadikan esensi Alquran dan hadis sebagai pijakan, agar tidak kolot dan konservatif serta tidak
terperdaya dengan dogma yang sejatinya bukan dari Islam. M. Ridwan Lubis, Soekarno dan
Modernisme Islam, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), h. 94-97. Hal ini agar umat Islam bisa
maju dan mampu bersaing. Selanjutnya akan kami bahas dalam bab III. 25 M. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 14.
10
klorin, sehingga wajar saja jika Rasul memerintahkan untuk mencuci dengan
debu. Jika saja pada masa Rasul sudah ada klorin, bisa jadi Rasul tidak
memerintahkan mencuci dengan debu, tapi dengan klorin.26
Sebagai orang yang memiliki pikiran berbeda dengan orang-orang
sebelumnya, pikiran Soekarno sering kali mendapatkan berbagai penolakan. Salah
satunya adalah M. Natsir. Bahkan Natsir menulis sebuah buku khusus yang
berjudul “Islam dan Akal Merdeka” yang secara khusus mengkritik pemikiran
Soekarno tentang “Islam Sontoloyo” dan beberapa pembaruan Islam Soekarno.
Dua orang ini mengalami polemik yang cukup panjang, mulai tahun 1934 hingga
tahun 1940.27
Sama-sama berstatus tokoh bangsa dan sama-sama memiliki pikiran
pembaruan Islam, keduanya malah sering berpolemik. Natsir yang dinilai
memiliki berbagai pembaruan tentang Islam berperinsip agar semua pembaruan
tersebut berpegang teguh pada nilai-nilai Islam melalui Alquran dan hadis. Hal
inilah yang menjadi landasan Natsir untuk beraksi terhadap pemikiran
pembaharuan yang ditawarkan oleh Soekarno.28
Polemik perdebatan antara Soekarno versus Natsir perihal Islam ini
merupakan polemik yang dinilai cerdas, berbobot dan bermatabat pada masanya.29
Dengan teks-teks agama, khususnya hadis, yang digunakan sebagai landasan
keduanya dalam berargumen, seolah-olah sebuah teks keagamaan, khususnya
hadis, memiliki dua sisi yang berbeda.
26Soekarno, Islam Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran
Islam.(Bandung: Sega Arsy, 2015), cet. v, h. 176 27 Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, (Bandung: Sega Arsy, 2015), h. 8. 28 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 8. 29 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 8.
11
Hal inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana
pandangan keduanya terhadap otoritas hadis serta hadis-hadis apa yang dijadikan
landasan sehingga menjadikan keduanya berbeda dalam memahami sebuah teks
hadis. Sehingga penelitian ini akan difokuskan terhadap pelacakan sumber-sumber
hadis yang digunakan sebagai referensi oleh keduanya (Soekarno dalam Islam
Sontoloyo dan Natsir dalam Islam dan Akal Merdeka) serta bagaimana keduanya
menginterpretasikannya. Oleh karena itu, penulis akan memberi judul skripsi ini
dengan “Hadis dalam Pemikiran Keagamaan Soekarno dan Natsir”.
B. Identifikasi Masalah
Berpedoman dengan masalah-masalah yang muncul dalam latar belakang
yang telah diuraikan di atas, penulis berhasil mengidentifikasi beberapa
permasalahan:
1. Beberapa tokoh dan pemimpin muslim, bahkan beberapa di antaranya
termasuk orang-orang yang mubasyarah bi al-Jannah (sudah dipastikan
masuk surga) malah secara zahir terlihat seperti meninggalkan hadis
sebagai pijakan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Padahal sebagai
salah satu sumber agama, seharusnya hadis selalu dijadikan landasan
dalam setiap perbuatan dan keputusan yang dibuat.
2. Nabi Saw sebagai pengirim pesan (hadis) memiliki posisi yang sangat
kompleks: terkadang ia menjadi manusia biasa, terkadang menjadi
pemimpin, terkadang menjadi hakim, dan terkadang menjadi Nabi.
Sehingga sampai sekarang otoritas hadis masih diperdebatkan, apakah
semuanya harus diikuti dan dilaksanakan seperti yang dilakukan Rasul
atau tidak.
12
3. Soekarno dan Muhammad Natsir adalah pemimpin dan tokoh bangsa
yang berusaha melakukan pembaharuan dalam rangka menghilangkan
citra Islam yang buruk dan terkesan kolot. Namun, keduanya saling
berpolemik terkait teks keagamaan, khususnya hadis yang dijadikan
sebagai referensi argumen mereka berdua. Bahkan terkesan keduanya
memiliki pandangan berbeda terkait dengan satu hadis yang mereka
gunakan.
C. Pembatasan Masalah
Dari empat identifikasi masalah yang telah penulis paparkan di atas, penulis
membatasi penelitian ini hanya pada masalah nomer dua dan tiga. Karena
permasalahan sebenarnya terdapat pada posisi Nabi yang berbeda-beda ketika
mengucapkan hadis, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda pula.
Sedangkan Soekarno dan Natsir adalah sebagai objek penelitian, terutama
penggunaan mereka terhadap hadis yang terkadang berbeda dengan zahir teks
bahkan antara keduanya.
D. Rumusan Masalah
Dengan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka penulis
merumuskan masalah terkait skripsi ini dengan: “Bagaimana Referensi dan
Pemahaman Hadis Soekarno dan Natsir?”
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sebagaimana rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
13
a. Mengetahui hadis-hadis yang digunakan sebagai pijakan Soekarno
dan Natsir dalam perdebatan antara keduanya.
b. Mengetahui pandangan Soekarno dan Natsir terkait otoritas hadis dan
kecenderungan pemahaman hadis keduanya serta dampaknya terhadap
pemikiran kegamamaan mereka.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini secara konseptual diharapkan dapat
memberikan pengetahuan kepada kita bagaimana sebuah hadis digunakan sebagai
legitimasi dan pijakan pemikiran pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki
latarbelakang yang berbeda, sehingga dapat memberikan kontribusi ilmiah
terhadap khazanah keislaman khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan beragama dan berbangsa. Hal ini sebagai respon terhadap beberapa
golongan yang mulai memunculkan kembali rumusan-rumusan konsep keislaman
di Indonesia yang telah dirumuskan oleh para founding father kita. Dan juga
sebagai titik awal kajian keislaman, khususnya dalam bidang hadis, terhadap
diskursus pemikiran tokoh-tokoh bangsa, yang selama tertutup oleh stigma
kebarat-baratan: domokrasi dan sekulerisme. Sedangkan secara oprasional,
penelitian ini diharapkan mampu menyadarkan kembali spirit nasionalisme
masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang akhir-akhir ini sedang dibutakan
dengan formalitas agama.
F. Kajian Pustaka
Pembahasan terkait otoritas sunnah sepertinya mendapat porsi yang cukup
lumayan di ruang para peneliti. Selain itu konsep keislaman menurut Soekarno
14
dan Natsir juga banyak ditemukan dalam karya-karya para peneliti, baik secara
individual maupun kajian yang mempertemukan keduanya. Di antaranya:
1. Kajian terkait otoritas teks
Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku yang berjudul “al-Naṣ, al-Ṣulṭah, al-
Haqīqah” yang mengungkapkan bahwa terdapat dua cara dalam memahami teks
keagamaan: pertama, teks dianggap berasal dari Tuhan yang bersifat absolut
sehingga maknanya juga akan bersifat absolut; kedua, teks dianggap sebagai fakta
linguistik dan konsekuensinya ia bersifat relatif. Dua hal ini memiliki konsekuensi
yang berbeda. Yang pertama hanya mengandalkan makna yang bersifat a priori,
sementara pola kedua mengandalkan mekanisme linguistik dalam menghasilkan
makna. Yang pertama cenderung mengulang-ulang hal yang telah ada, sedangkan
yang kedua cenderung mencari kemungkinan lain sesuai dengan hubungan teks
dengan hal di luar teks.30
Daniel W. Brown, dalam bukunya yang berjudul “Rethinking Tradition in
Modern Islamic Thought” yang diterbitkan oleh Cambridge University Press pada
tahun 1996 mencoba mengungkap beberapa golongan yang berkaitan dengan
tradisi keislaman. Daniel mencoba menyimpulkan bahwa dalam tradisi keislaman
berujung pada tiga kelompok yang saling bersaing, yaitu kalangan ahli hadis, ahli
Qur’an atau inkar al-Sunnah, dan golongan pembaharu (revivalis). Ketiganya
mempunyai argumentasi sendiri-sendiri yang sulit untuk disatukan.31
Dalam karyanya yang berjudul “Naqd al-Naṣ”, Ali Harb mencoba
menjelaskan bahwa teks harus terbebas dari penciptanya karena teks adalah wujud
yang independen, baik dari unsur penyusunnya maupun realitas-realitas luar
30 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nāṣ al-ṣulṭah al-haqīqah, (Beirut: al-Markāz al-Tsaqāfy al-
A’rāby, 1995) 31 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, (Cambridge: University Press, 1996) h. 73-78.
15
supaya bisa terus dieksiskan di tengah-tengah realitas yang ada. Ia juga
berpendapat bahwa teks yang tercipta di masa lampau tidak perlu dibaca lagi
karena akan menutupi realitas hari ini. Misal, kita tidak perlu membaca hadis Nabi
untuk bisa seperti Nabi. Karena ketika membaca hadis Nabi berarti membuat kita
akan kembali beribu-ribu abad ke belakang, yakni di masa Nabi hidup.32
2. Kajian Terkait Otoritas Sunnah
Yusuf al-Qarādhawi, dalam bukunya yang berjudul “al-Sunnah Mashdaran li
al-Ma‟rifah wa al-Hadharah”, membagi sunnah menjadi dua, yakni sunnah
tasyrī`īyah dan non-tasyrī`īyah. Menurut Yusuf al-Qarādhawi, hanya sunnah
tasyrī`īyah lah yang harus diikuti, sedangkan sunnah non-tasyrī`īyah tidak harus
diikuti.33
Tarmizi M. Jakfar juga menulis buku khusus terkait otoritas sunnah dalam
pendapat Yusuf al-Qarādhawi yang berjudul “Otoritas Sunnah Non-Tasyri‟iyah
Menurut Yusuf al-Qaradhawi”. Dalam bukunya tersebut, Tarmizi berhasil
mengungkap genealogi penyebutan sunnah tasyrī`īyah dan non-tasyrī`īyah dari
ulama sebelumnya. Tarmizi menilai bahwa di kalangan ulama ushul sudah
ditemukan beberapa istilah untuk sunnah non-tasyrī`īyah. Al-Syaukani misalnya,
menyebut laisa fīhi uswah (bukan untuk diteladani), laisa fīhi ta`assin (bukan
untuk dijadikan dasar pijakan), dan la bihi iqtidā` (bukan untuk diikuti). Al-
Syirazi menamakannya dengan laisat bi qurbah (tidak dalam rangka mendekatkan
diri), sedangkan al -Juwaini menyebut la istimsāka bih (tidak untuk jadi
32 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, (Beirut: al-Markāz al-Tsaqāfī al-‘arabī, 1993) 33 Yusuf Al-Qarādhawy, al-Sunnah Mashdaran li al-Ma`rifah wa al-Hadhārah, (Kairo:
Dar al-Syuruq, 2002)
16
pegangan), dan al-Ghazali menyebut la hukma lahu ashlan (tidak mengandung
hukum sama sekali).34
Muhammad Syahrur dengan karyanya yang berjudul “al-Sunnah al-
Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah” menjelaskan bahwa posisi Nabi
Muhammad Saw adalah seperti manusia biasa pada umumnya. Sehingga ia
menyebutkan bahwa ada dua ṭā`at, yakni ṭā`at muttasilah yang harus diikuti dan
ṭā`at munfasilah yang tidak wajib diikuti.
Maizuddin M. Nur berhasil memetakan kecenderungan tipologi yang menjadi
perdebatan para pemikir hadis terkait otoritas sunnah menjadi empat tipologi
dalam sebuah artikel yang diberi judul: “Tipologi Pemikiran Tentang
Kewenangan Sunnah di Era Modern”. Dalam klasifikasi yang dibuat, Muizuddin
membagi perdebatan otoritas sunnah menjadi empat, yaitu: tipologi ideal-
totalistik, tipologi Ideal-Restriktifistik, tipologi Ideal Generalistik, dan tipologi
Paradigmatik.35
3. Kajian Terkait Islam, Soekarno dan Natsir
Kajian skripsi Badri Yatim yang telah dibukukan dengan judul “Soekarno,
Islam dan Nasionalisme”. Dalam bukunya ini, Badri Yatim memberikan
gambaran bahwa walaupun Soekarno dianggap sebagai kaum abangan (bukan
sosok santri), namun tidak sedikit pemikirannya yang memiliki nilai-nilai
substansi yang sangat dalam. Menurut Badri Yatim, pemikiran Soekarno yang
34 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi,
(Malang: Ar-Ruzz Media, 2011). 35 Maizuddin M. Nur, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”,
Jurnal Substantia, vol. 14, no. 2, (Oktober 2012), h. 149-159.
17
nasionalis tersebut memiliki nilai-nilai Islam yang sangat positif bagi masyarakat
Indonesia.36
Muhammad Ridwan Lubis dalam bukunya yang berjudul “Soekarno dan
Moderenisme Islam”. Ridwan menyimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran
Soekarno sangat dipengaruhi oleh beberapa ide baru. Pemikiran-pemikiran Islam
yang cenderung tradisionalis sangat dihindari oleh Soekarno dengan alasan-alasan
tertentu. Soekarno seolah-olah ingin memberikan penegasan bahwa dalam
memahami Islam harus dengan ide-ide yang segar. Bukan ide-ide yang kolot. Hal
inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran pembaharuan Islam dalam diri
Soekarno.37
Buku dalam bentuk bunga rampai yang dikemas dengan judul “100 Tahun
Bung Karno”. Buku ini merupakan sumbangsih beberapa penulis sebagai wujud
penghormatan dan hadiah atas Bung Karno pada momentum seratus tahun
meninggalnya Soekarno. Buku ini menyajikan beberapa tulisan-tulisan berbobot
dalam berbagai bidang oleh para ahli. Baik para ahli keagamaan, pengamat
politik, budayawan maupun sasstrawan. Mulai Dawam Raharjo, Ben Anderson,
Pramoedya Ananta Toer, Noam Choamsky, Chairil Anwar dan beberapa pakar
yang lain tidak gentar untuk mengkritik Bung Karno dalam tulisannya, namun
mereka tetap menyampaikan kekaguman atas perjuangan Bung Karno untuk
masyarakat Indonesia.38
36 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 20.
37 M. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 25-26 38 Joesoef Isak (ed.), 100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum), (Jakarta: Hasta
Mitra, 2001)
18
Buku “100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah” yang
ditulis oleh beberapa orang terkait Natsir untuk memperingati 100 tahun Natsir.
Buku ini merupakan buku kumpulan tulisan dari berbagai tokoh, mulai Syafii
Ma’arif, Jimly Asshidqy, Taufiq Ismail dan beberapa tokoh lain. Buku ini
mengulas sejarah hidup Natsir dan perjuangan-perjuangannya. Buku ini juga
mengulas beberapa kontribusi Natsir dalam konteks kenegaraan Indonesia
prespektif beberapa tokoh.39
Tulisan M. Dzulfikriddin yang berjudul “Mohammad Natsir dalam Sejarah
Politik Indonesia”, yang mengulas peran Natsir dalam pemerintahan dua orde.
Yakni orde lama dan orde baru. Buku tersebut ingin meyakinkan bahwa eksistensi
Natsir tidak kalah dengan eksistensi Soekarno dalam hal perpolitikan di Indonesia.
Buku ini juga menguraikan sejarah hidup Nasir hingga perjalanan bergurunya
dengan beberapa tokoh seperti Haji Agus Salim, Ahmad Hasan dan Ahmad
Syurkarti hingga kisahnya menjadi tahanan politik pada masa Soekarno.40
Sebuah artikel yang ditulis oleh Rusli Kustiaman Iskandar yang berjudul
Polemik Dasar Negara Islam antara Soekarno dan Mohammad Natsir. Artikel
yang dimuat oleh Jurnal Mimbar Universitas Islam Bandung ini memberikan
gambaran bahwa di antara perbedaan-perbedaan yang meliputi perdebatan anatra
Soekarno dan Natsir, terdapat pula kesamaan antara keduanya. Menurut Rusli,
Natsir pernah menyatakan bahwa Islam adalah ajaran yang paling demokratis dan
tidak ada satu pun agama yang menghendaki kesamarataan lebih dari Islam. Hal
ini searah dengan pendapat Soekarno yang juga berkeyakinan bahwa umat Islam
39 Lukman Hakiem, dkk. 100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah, (Jakarta:
Republika, 2008) 40 M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2010), h. 43
19
dapat memperjuangkan aspirasinya secara optimal dalam suatu negara yang
demokratis.41
Dari beberapa kajian yang telah dilakukan di atas, belum ada sama sekali
kajian yang secara intens dan fokus terhadap kajian hadis yang pernah di kutip
Soekarno dan Natsir, semua karya lebih fokus pada otoritas teks dan sunnah atau
hasil pemikiran Soekarno dan Natsir. Maka perlu kiranya dimulai kajian-kajian
terkait dasar pemikiran Soekarno dan Natsir, khususnya dalam bidang hadis.
Karena tidak bisa dipungkiri, sebagai seorang muslim mereka berdua meyakini
eksistensi hadis dan pernah membacanya. Serta sebagai seorang pemimpin, bisa
jadi mereka juga pernah menggunakan atau meninggalkan hadis dalam kebijakan
dan pemikiran mereka.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang dapat
menghasilkan data deskriptif meliputi hal-hal yang tertulis maupun lisan dari
suatu objek yang dapat diteliti.
Kajian penelitian ini menggunakan sistem library research (penelitian
pustaka). Karena sumber datanya adalah merupakan bahan kepustakaan yang
meliputi, buku-buku maupun artikel yang berkaitan dengan tema.
Adapun sumber primer yang digunakan adalah buku-buku karya Soekarno
dan Natsir. Di antara berbagai tulisan keislaman antara keduanya, kajian
penelitian ini lebih difokuskan pada hadis-hadis atau pernyataan-pernyataan yang
41 Rusli Kustiaman Iskandar, “Polemik Dasar Negara Islam antara Soekarno dan Mohammad
Natsir,” Mimbar Volume 19, No. 2, Tahun 2003
20
terindikasi sebagai hadis yang dikutip keduanya dalam buku yang berjudul “Islam
Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam” karya Soekarno
dan “Islam dan Akal Merdeka” karya Natsir sebagai representasi dari pemikiran
keislaman Soekarno dan Natsir.
Alasan penulis lebih memilih buku Islam Sontoloyo adalah karena buku ini
secara khusus menuturkan pikiran-pikiran keislaman Soekarno daripada buku-
buku karya Soekarno yang lain. Sehingga proses pelacakan hadis menjadi lebih
mudah dan terbatasi daripada menggunakan buku-buku Soekarno yang lain.
Sedangkan “Islam dan Akal Merdeka” adalah buah kritik Natsir terhadap
ketidaksetujuannya tentang model pembaharuan ala Soekarno. Kedua buku ini
ditulis antara tahun 1934 M hingga 1940 M. Sehingga penelitian ini lebih fokus
pada pemikiran keduanya pada waktu tersebut.
Sedangkan sumber sekundernya adalah kitab-kitab hadis, buku-buku, jurnal
dan artikel terkait perdebatan tentang antara keduanya.
2. Cara Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan hadis-hadis yang
digunakan oleh Soekarno dan Natsir dalam karyanya, penulis terlebih dahulu
mengumpulkan hadis atau pernyataan-pernyataan yang terindikasi sebagai hadis
yang pernah dikutip Soekarno dan Natsir dalam dua buku di atas, kemudian
penulis mentakhrij kutipan-kutipan tersebut agar penulis menemukan redaksi
sebenarnya yang terdapat dalam kitab-kitab hadis kanonik. Sebelum dilakukan
proses takhrij, penulis memilah hadis tersebut, jika kutipan hadis tersebut familiar,
maka langsung dilakukan proses takhrij, jika tidak, maka penulis mencoba
memilih beberapa kata kunci yang selanjutnya diterjemahkan ke bahasa Arab agar
21
bisa dilakukan proses takhrij. Adapun penulis menggunakan metode takhrij
Mahmud Tahhan dalam Ushul al-Takhrij dan al-Irāqi dalam kitab Al-Mughnī ‘an
Ḥamli al-Aṣfār fi al-Aṣfār.
Metode takhrij al-Iraqi cenderung lebih sederhana dan cukup menisbatkan
justifikasi hadis-hadis yang ditakhrij kepada pendapat para mukharrij.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimahnya, metode al-Iraqi ini
memiliki beberapa langkah: pertama, mencari dengan lafadz, setelah ketemu
disebutkanlah ujung hadis, periwayat dari sahabat, mukharrij serta justifikasi;
Kedua, Jika sebuah hadis ditemukan di Sahihain maka ia cukup menisbatkan dan
mempercayakan padanya terkait statusnya; Ketiga, Jika hadis tersebut terdapat
dalam kitab sittah dan dijustifikasi sahih, maka tidak perlu dinisbatkan lagi kepada
kitab hadis lain; Keempat, Menjelaskan sahih, hasan, dhaif atau bahkan hadis
yang lā aṣla lah; Kelima, Jika tidak menemukan hadis, ia akan mencari yang agak
mendekati (bi al-ma’na), jika masih tidak ketemu, ia cukup berkata “lam
ajidhu”.42 Metode takhrij ini lebih dipilih karena cukup sederhana, efisien dan
cukup efektif.
3. Metode Analisis
Setelah ditampilkan hadis yang bersangkutan, kemudian penulis menganalisa
pemahaman hadis Soekarno dan Natsir dengan metode induktif-komparatif.
Induktif yakni dengan mengumpulkan seluruh hasil pemahaman Soekarno
maupun Natsir dalam setiap hadis yang dijadikan referensi, kemudian
menyimpulkan pola atau kecenderungan pemahamannya secara umum.
42 Zainuddin Abdurrahim al-Irāqī, al-Mughnī ‘an Ḥamli al-Aṣfār fi al-Aṣfār, (Riyadh:
Maktabah Ṭabriyah, 1995), h. 4.
22
Sedangkan komparatif digunakan untuk membandingkan pemahaman Soekarno
dan Natsir dengan pemahaman para ulama’ hadis terdahulu. Sehingga bisa
diambil kesimpulan terkait pola pemahaman hadis seperti apa yang dilakukan oleh
Soekarno dan Natsir, juga bagaimana pandangan keduanya terkait otoritas hadis,
apakah termasuk dalam kategori otoritas sunnah yang telah digunakan para
pemikir hadis, atau keluar dari kategori-kategori tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Supaya dapat memberikan pembacaan yang utuh mengenai konten penelitian
ini, maka penulis perlu mengemukakan sistematika penelitian. Pembahasan dalam
penelitian ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab memiliki sub-sub bab yang
penjelasannya memiliki kaitan antara satu dengan yang lain. Adapun
sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan. Di dalamnya, diuraikan latar belakang
masalah, kemudian dibatasi dan dirumuskan sebuah rumusan utama. Kemudian
menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian, dilanjutkan menjelaskan metode
penelitian, kemudian mengemukakan kajian terdahulu yang relevan guna
mendapatkan distingsi peneltian. Selanjutnya dijelaskan terkait sistematika
penelitian.
Bab kedua akan memaparkan pembahasan terkait teks dan otoritas. Dalam
bab ini juga akan menjelaskan berbagai perdebatan terkait otoritas hadis serta
klasifikasinya. Sehingga dalam kesimpulan nantinya akan disimpulkan kelompok
klasifikasi mana yang cenderung mirip dengan pemahaman Soekarno dan Natsir
23
terkait hadis, atau bisa jadi Soekarno dan Natsir memiliki kecenderungan di luar
klasifikasi yang telah disebutan dalam bab ini.
Bab ketiga akan membahas biografi pemikiran Soekarno dan Muhammad
Natsir, khususnya interaksinya dengan beberapa tokoh yang memperkenalkan
hadis kepada mereka. Pada bab ini juga kami akan membahas pandangan
Soekarno dan Natsir terhadap hadis. Hal ini merupakan salah satu komponen
untuk mengetahui alur pemikiran hadis mereka.
Bab keempat akan menjelaskan hadis-hadis yang berkaitan dengan kutipan-
kutipan Soekarno dan Natsir yang ada di dalam buku mereka. Pada bab ini juga
akan dijelaskan pemahaman mereka terhadap hadis-hadis tersebut dan
perbandingan pemahamannya dengan ulama’-ulama’ hadis terdahulu.
Bab kelima, merupakan kesimpulan yang berupa jawaban secara global atas
rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas. Serta ditambahkan saran-saran
akademik untuk kelangsungan penelitian selanjutnya.
24
BAB II
HADIS ANTARA TEKS DAN OTORITAS
A. Penggunaan Hadis dalam Bingkai Sejarah
Bagi Fazlur Rahman, hadis dalam pandangan umat Islam ditempatkan sebagai
salah satu sumber keagamaan yang sangat penting.1 Kedudukan hadis sebagai
sumber dan rujukan keagamaan diletakkan satu tingkat di bawah Alquran. Dalam
pandangan al-Syāfi’ī (w. 204 H)2 dan beberapa ulama lain seperti Ibnu Qutaibah
(w. 276 H)3 dan al-Qarāfī (w. 684 H), hadis menjadi dasar rujukan kegamaan
setelah Alquran, bahkan keberadaan hadis dikatakan sebagai suatu hal yang tidak
bisa dipandang sebelah mata.
1 Hadis adalah literatur yang mencakup narasi tentang kehidupan Nabi dan hal-hal yang
diafirmasinya, berbeda dengan Sunnah yang berarti modus kehidupan Nabi. Kedua istilah ini
seringkali digunakan secara bergantian, meskipun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan di antara
keduanya; suatu hadis boleh jadi tidak mengandung Sunnah apa pun, sebaliknya suatu hadis bisa
mengandung lebih dari satu Sunnah. Fazlur Rahman menyebut hadis sebagai verbal tradition,
sementara Sunnah disebut sebagai practical tradition atau silent tradition. Fazlur Rahman, Islam,
(Chicago: University of Chicago Press, 1996), h.53-58. Karena perbedaan antara hadis dan sunnah
berada pada tataran teoritis maka dalam pembahasan ini, penulis menggunakan satu term untuk hadis
dan sunnah. Jika penulis menuliskan kata hadis, maka termasuk pula di dalamnya kata sunnah dan begitupun sebaliknya.
2 Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Syāfi’. Beliau lahir
di Asqalan pada tahun 150 H. Oleh orang tuanya, ia dibawa berangkat ke Makkah ketika berumur 2
tahun. Lihat Ahmad bin al-Husain al-Baihāqī, Ahkam al-Qur’ān li al-Syāfi’ī, (Kairo: Maktabah al-
Khanji, 1994), h. 5.
Al-Syāfi’ī dikenal sebagai seorang Nāsir al-Sunnah (penolong sunnah) setelah ia membuat
komposisi terbaik dalam penetapan hukum Islam dengan menjadikan Sunnah secara legal formal
sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran. Prestasi al-Syāfi’i yang berupa pembentukan
pemikiran hukum teknis (technical legal thought) ini dikatakan oleh Schacht sebagai keunggulan
yang belum pernah dicapai oleh para pendahulunya. Josep Schacht, The Origin of Muhammadan
Jurisprudence,(Yogyakarta: Insan Madani, 2010), h. 14. 3 Ibnu Qutaibah lahir di Baghdad pada tahun 213 H. Salah satu karyanya yang terkenal adalah
Ta’wil Mukhtalaf Hadis yang berusaha menjelaskan berbagai kontradiksi dalam hadis. Menurut
Ibnu Qutaibah, sunnah merupakan sumber hukum dan kedudukanya sebagai landasan. Ia
berpendapat dengan menggunakan sebuah hadis dari Rasul: “Aku diberi sebuah kitab dan
semisalnya bersamaan dengan kitab itu” dan Q.S. Al-Ḥasr: 7. ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,
Ta'wīl Mukhtalif al-Hadīts, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqāfiah, 1988), cet. I, h. 181.
25
Eksistensi hadis sebagai referensi dan sumber keagamaan secara urgensitas
tercermin dari sebuah adagium terkenal yang mengatakan bahwa “Alquran lebih
membutuhkan hadis dari pada hadis yang membutuhkan Alquran.” Dengan kata
lain bahwa Alquran tidak bisa ditafsirkan tanpa mempertimbangkan eksistensi
hadis. Namun beda halnya dengan sebaliknya.4
Al-Syāfi’ī dengan julukannya sebagai nāṣir al-sunnah tidak hanya menjadikan
hadis sebatas penjelas dari Alquran semata. Lebih dari itu, al-Syāfi’ī bahkan
meluruskan cara berargumen dengan hadis dan menjadikan argumen tersebut
sebagai bagian berharga dalam penguatan rancang bangun teks Alquran. Al-Syāfi’i
juga mengungkapkan bahwa hadis memiliki hubungan erat dengan Alquran. Nasr
Hamid merekam tiga hal yang menjadikan hadis sebagai perekat Alquran
sebagaimana diungkapkan al-Syāfi’i:
Pertama, sebagai argumen duplikat dari Alquran. Dalam hal ini, hadis
berfungsi sebagai penguat sunnah atas Alquran. Kedua, sebagai penjelas dari
Alquran yang memiliki fungsi taḥṣīs al-`ām (mengkhususkan sesuatu yang umum)
dan tafṣīl al-mujmāl (memperinci sesuatu yang global). Ketiga, sebagai argumen
syariat yang terpisah dari Alquran. Hal ini berfungsi untuk menjelaskan syariat
yang tidak diakomodir oleh Alquran.5
Yahya bin Abi Katsir ketika melukiskan peranan penting hadis mengatakan
“al-Sunnah qādiyatun ala al-Qur’ān wa laisa al-Qur’ān bi qādin ‘ala al-Sunnah”
(sunnah dapat menjadi hakim atas Alquran sedangkan Alquran tidak bisa menjadi
4 Benny Ahwadzy, “Hadis di Mata Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel
Brown)” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, vol. 15, no. 2, (Juli 2014), h. 231 5 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syāfi’ī wa Ta’sīs al-Idiyulūjiyah al-Wasaṭiyyah, (Kairo:
Maktab Madbuly, 1996), h. 81.
26
hakim atas Sunnah.6 Perkataan Ibn Abi Katsir ini sebenarnya hanya ingin
menunjukkan posisi penting dan strategis sunnah sebagai rujukan atau sumber
keagamaan bukan bermaksud untuk mengunggulkan sunnah dari pada Alquran.
Karena posisi Alquran sebagai sumber sudah menjadi konsensus yang tidak bisa
dianulir oleh apapun.
Secara alamiah hadis pastinya telah ada pada masa Islam awal, yakni pada
masa Nabi hidup bersama dengan para sahabatnya. Tentunya, pada masa itu semua
kejadian yang terekam dalam ingatan para sahabat menjadi perhatian khusus Nabi
Muhammad Saw. Pada masa itu juga segala problematika dan permasalahan yang
terjadi di lingkungan Nabi Muhammad Saw menjadi otoritas Nabi untuk
memecahkan dan memberikan solusinya.
Hal ini menunjukkan bahwa hadis pada masa awal Islam bersifat informal.
Karena sebenarnya kebutuhan menggunakan hadis adalah untuk bimbingan
menjalankan kehidupan aktual muslim. Tentu hal ini berbeda dengan masa ketika
Nabi masih hidup, di mana kebutuhan bimbingan tersebut bisa langsung disaksikan
melalui cerminan diri dan tindak-tanduk Nabi. Namun ketika Nabi wafat, hadis
mulai beralih status menjadi semi-formal. Karena generasi selanjutnya yang tidak
bertemu dengan Nabi perlu mengetahui segala informasi yang berkaitan dengan
Nabi.7
Maka dari itu, pada masa Nabi Saw. hadis bukan merupakan sumber hukum
atau sumber kehidupan (way of live). Karena sesungguhnya yang menjadi sumber
6 Abdullah bin Abdurrahman al-Dārimī, Sunan al-Dārimī, (Beirut: Dar al-Kutub al-Araby,
1986), j. 1, h. 62. 7 Azyumardi Azra, “Peranan Hadis Dalam Perkembangan Historigrafi Islam Awal” Al-
Hikmah, Jurnal Studi-Studi Islam; No. 11 (Oktober-Desember 1993), h. 36.
27
bukanlah hadis itu sendiri, melainkan pribadi Rasulullah Saw secara langsung. Para
sahabat pada masa Nabi hidup, secara langsung bisa mencontoh dan bertanya
kepada Nabi Saw. terkait dengan semua hal yang dialaminya. Hal ini menandakan
bahwa pada masa Nabi Saw hidup, hadis tidak serta merta menjadi referensi. Hadis
menjadi referensi ketika Nabi Saw. telah wafat. Karena sebagai generasi yang
belum pernah menimba ilmu dan belajar secara langsung kepada Nabi Saw,
generasi setelah sahabat perlu menggali informasi dari sahabat terkait tindak-tanduk
Nabi Saw.8
Setelah Nabi Saw. wafat, perjuangan dakwah Islam dilanjutkan oleh para
sahabat dengan bekal hadis-hadis yang telah dihafal dan dipraktekkan pada masa
Nabi Saw. Bahkan ada beberapa sahabat yang secara khusus mengumpulkan hadis-
hadis yang telah ia hafal untuk diajarkan kepada para sahabat yang tidak
mengetahuinya atau untuk generasi setelahnya. Abu Hurairah misalkan membagi
malamnya menjadi tiga bagian: sepertiga awal untuk tidur, sepertiga kedua untuk
shalat malam dan sepertiga ketiga untuk mengumpulkan hadis. Selain Abu
Hurairah, ada Umar bin Khatab dan Abu Musa al-Asyari yang selalu mengulang
hadis yang telah dihafalnya pada malam hari. Hal ini juga dilakukan oleh Muawiyah
di Hims Syiria.9
8 Hal ini merujuk pada definisi hadis yang diberikan para ulama hadis “sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat”.
Kata “sesuatu yang disandarkan” berarti bukan secara langsung didapat dari Rasul Saw. melainkan
dari pihak kedua, dalam hal ini adalah sahabat. Hal ini sesuai dengan makna hadis menurut Muhammad Muhammad ‘Iwad dalam tahqiqnya atas kitab Tadrīb ar-Rāwī karya as-Suyuṭi dengan
arti: “yang telah diceritakan” atau “yang dikisahkan”. oleh orang lain bahwa hal tersebut dari Rasul
Saw. (lihat: Jalāluddin as-Suyūṭi, Tadrīb ar-Rāwī fi Syarḥi Taqrīb an-Nawāwī, (Kairo: Dār al-Bayān
al-‘Ārābī, 2004), h. 13. 9 M.M. Azami, Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis, Terj. Meth
Keiraha, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), h. 42.
28
Ketika ada sahabat yang melakukan sesuatu kemudian disandarkan kepada
Nabi Saw., sahabat lain yang tidak mengetahui hadis tersebut mempertanyakan
validitasnya kepada sahabat lain, mengingat Nabi Saw, (sebagai orang yang
mengatakannya) sudah wafat. Sebagaimana kisah Abu Said yang pulang dari rumah
Umar setelah tiga kali mengucapkan salam namun tidak diizinkan masuk. Abu Said
berdalih dengan merujuk sebuah hadis yang sama sekali tidak pernah didengar oleh
Umar. Umar yang marah karena merasa bahwa Abu Said telah berbohong atas nama
Rasul meminta ia mendatangkan satu sahabat yang menyaksikan bahwa Nabi Saw.
pernah berkata demikian. Akhirnya Abu Said meminta Ubay yang juga pernah
mendengar Nabi berkatan demikian untuk bersaksi.10
Melalui hadis-hadis yang dihafalkan serta dipraktekkan oleh sahabat,
khususnya di Madinah, hadis seolah-olah hidup dan membumi dalam kehidupan
warga madinah (ahl Madinah). Bahkan menurut al-Damīny, Imam Malik dan
ulama Malikiyah menolak jika ada hadis-hadis yang bertentangan dengan
kesepakatan warga Madinah (ijmā’u ahli Madīnah).11 Dalam hal ini, masyarakat
Madinah adalah wujud replika hadis yang hidup. Semua perbuatan yang dilakukan
oleh masyarakat Madinah merujuk kepada hadis-hadis yang telah dipraktekkan
secara turun temurun. Walaupun hal ini ditentang oleh Ibnu Hazm, al-‘Amidī dan
10 Muhammad bin Hibban at-Tamīmī, Ṣāḥiḥ Ibn Hibbān, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993),
j. 13, h. 127. 11 Di antara argumen-argumen yang menjadi landasannya adalah: Pertama, sebuah hadis yang
menjelaskan keutamaan ahli Madinah yang telah dibersihkan dari segala kotoran laksana karat yang
telah dibersihkan dari besi. Sedangkan kesalahan adalah bagian dari kotoran yang telah menjadi
bagian dari imun ahli Madinah. Kedua, bahwa Madinah adalah tempat hijrah Nabi Saw, tempat Nabi Saw dimakamkan, tempat
turunnya wahyu, tempat tinggal agama Islam, serta tempat berkumpulnya sahabat, maka tidak
mungkin perkataan masyarakat Madinah menyalahi atau keluar dari kebenaran.
Ketiga, para ahli Madinah adalah saksi hidup akhir hayat Nabi Saw. serta mengetahui apa saja
yang telah dihapuskan (mā nasaḥa) ataupun yang belum dihapuskan (mā lam yunsaḥ). Musfir
Azmullah al-Damīny, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, (Riyadh: Jami’ah Ibn Saud, 1984), h. 370.
29
Imam as-Syafī’i.12 Namun hal ini membuktikan bahwa pasca sahabat, hadis mulai
semakin masif menjadi referensi atau rujukan kehidupan sehingga mampu
bermetamorfosis menjadi budaya masyarakat Madinah.
Dalam kaitannya sebagai rujukan dan referensi, apalagi sebagai sumber hukum
kedua setelah Alquran, kedudukan hadis sering kali dipertentangkan karena
keotentikannya. Baik oleh kalangan sarjana barat seperti Ignaz Goldziher, Jyunball,
Joseph Schact, dan beberapa sarjana barat lainnya, serta sarjana muslim sendiri
seperti Sayyid Ahmad Khan, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin dan Thaha
Husain.
Untuk menengahi, Ṭāhā Jābir al-Alwani menganjurkan untuk tidak
memperpanjang perdebatan terkait keotentikan hadis. Persoalan bahwa hadis
berasal dari abad ketujuh masehi, yakni ketika Nabi Saw. hidup harus dianggap
selesai. Karena kajian hadis tidak melulu perdebatan terkait keotentikan hadis.
Kajian hadis sudah selayaknya beralih ke ranah yang lebih khusus, yakni ke ranah
pemahaman hadis secara mendalam dalam rangka memudahkan setiap muslim
untuk memahami hadis, terlebih jika hadis itu berkaitan dengan kehidupan,
pemikiran, budaya dan sosial-masyarakat di manapun dan kapanpun.13
Sebagai sumber keagamaan yang telah tertulis (al-Manṣūṣ), hadis merupakan
sebuah teks. Sama halnya ketika Nasr Hamid Abu Zayd menyebut Alquran sebagai
teks. Sebagaimana Alquran, sebelum ditulis, dikodifikasi bahkan dikanonisasi,
hadis juga merupakan teks verbal. Disebut sebagai teks verbal karena kenyataanya
12 Musfir Azmullah al-Damīny, Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, h. 371-373 13 Ṭāhā Jābir al-‘Alwāny dalam Yusuf al-Qarādhawy, Kaifa Nata’āmal Ma’a al-Sunnah al-
Nabawiyyah, (Kairo: Dar al-Syurūq, 2004), h. 10.
30
penyampaian hadis lebih banyak melalui mulut ke mulut yang kemudian ditulis,
dikodifikasi dan akhirnya dikanonisasi.
Sebuah teks, terutama teks keagamaan, menurut Nasr Hamid adalah
merupakan proses komunikasi. Sebuah komunikasi tidak terlepas dari adanya
hubungan antara pengirim dan penerima teks. Tentunya kondisi sosial ketika
sebuah teks disampaikan sangat mempengaruhi penerimaan, begitu juga ideologi
yang telah mengakar dalam kepala penerima sangat terlibat dalam sistem teks.14
Karena menurut Nasr Hamid, dalam sebuah teks terdapat aspek epistimologi
dan ideologi. Epistimologi dalam pengertian kultural menurut Nasr Hamid adalah
kesadaran masyarakat secara umum yang terlepas dari presepsi masyarakat atau
kelompok tertentu yang bisa jadi berbeda antara satu dengan yang lain. Adapun
ideologi merupakan kesadaran kelompok untuk mempertaruhkan keyakinan yang
dianutnya dengan keyakinan yang dianut kelompok lain. Sehingga jika dalam
sebuah teks, aspek epistimologi lebih dominan daripada aspek ideologi, maka teks
tersebut disebut sebagai teks ilmiah. Sedangkan jika aspek ideologi lebih dominan
daripada aspek epistimologi, maka inilah yang disebut Nasr Hamid sebagai teks
propagandis. 15
Oleh karena itu, teks keagamaan seperti hadis, dalam pembentukan formatnya
melibatkan banyak faktor, termasuk faktor kondisi bangsa Arab dengan segala hal
yang berkaitan dengan sosial-budaya di sekelilingnya. Sedangkan dalam
14 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nāṣ al-ṣulṭah al-haqīqah , h. 99. 15 Dalam hal ini, Nasr Hamid membagi jenis teks menjadi dua. Yakni teks ilmiah dan teks
propagandis. Teks ilmiah cenderung membongkar pengetahuan yang dominan dengan pengetahuan
yang baru. Sedangkan teks propagandis lebih berfungsi untuk membungkam pihak penerima dari
kritisisme. Nasr mencontohkan salah satu teks propagandis adalah selebaran, iklan, dan lain
sebagainya. Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nāṣ al-ṣulṭah al-haqīqah, h. 98.
31
formatisasinya, teks keagamaan membentuk sebuah budaya yang bertujuan untuk
mengubah situasi sosial dan budaya menuju situasi yang diinginkannya. Namun hal
ini tidak terjadi secara langsung. Karena kenyataanya, misi reformasi sosial-budaya
yang dikehendaki oleh hadis berjalan melalui penafsirnya.16
Selain sebagai teks keagamaan, hadis juga seringkali disebut sebagai turāts
(tradisi), sering juga disebut dengan sunnah. Nasr Hamid juga melihat bahwa ada
semacam sakralisasi turāts. Sehingga setiap terjadi masalah, para ulama selalu
merujuk kepadanya. Seolah-olah turāts adalah merupakan bagian dari agama.
Sehingga semua hal yang berkaitan dengan turāts harus dilaksanakan. Padahal
turāts tidak bisa dilepaskan dari budaya dan adat istiadat zaman dahulu.17
Senada dengan Nasr Hamid, Ali Harb mengungkapkan bahwa wahyu kenabian
diterima manusia memiliki watak duniawi dan ukhrawi.18 Mau tidak mau, pesan
kenabian yang dibawa nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw yang kita sebut
sebagai hadis adalah sebuah teks. Dan sebuah teks selalu memiliki konsekuensi
untuk dihapus dan ditakwilkan oleh semua pembacanya. Setiap orang
menakwilkannya dengan strategi pembacanya. Sehingga dia membaca teks tersebut
sesuai dengan kekuatan dan posisinya.19 Tak terkecuali seorang pemimpin atau
khalifah.
Diakui juga oleh Ali Harb, bahwa hukum di dalam Islam tidak lepas dari sifat
manusiawi dan keduniawiahan. Dalam hal ini, yang terpenting bukanlah sumber
16 Objek kajian Nasr Hamid tentang teks keagamaan dalam hal ini sebenarnya adalah Alquran.
Namun penulis berpendapat bahwa hadis juga merupakan teks keagamaan yang memiliki kriteria yang agak mirip dengan Alquran. Apalagi secara doktrin, hadis tidak lebih terjaga daripada Alquran
yang telah terjamin penjagaannya oleh Allah dalam Q.S. al-Hijr [15]: 9. 17 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nāṣ al-ṣulṭah al-haqīqah, h. 16. 18 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 62. 19 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 61.
32
otoritas dan legitimasinya, melainkan mekanisme kemunculannya, logika
prosesnya dan cara mempraktekkannya. Oleh karena itu, bagi Ali Harb, tidak
mengherankan jika keputusan yang diambil dalam sebuah negara baik hukum
maupun politik tidak mendorong terwujudnya tujuan dari syariat, malah yang
menentukan adalah kehendak kekuasaan yang mengarahkan strateginya untuk
menundukkan dan menguasai.20
Hal ini juga sebenarnya sudah mulai terjadi pada zaman nabi-nabi, atau bahkan
Nabi Muhammad Saw. Bagi Ali Harb, seorang Nabi memiliki legitimasi di dunia
dan strategi hukumnya untuk mendorong orang lain agar mengikutinya.21 Bahkan
pemimpin-pemimpin setelahnya, baik khalifah, imamah, ataupun monarkhi selalu
dipengaruhi oleh otoritas manusianya bukan karena ajaran atau syariat Islam yang
mengajarkan hal itu. Hal ini terlihat jelas dari pidato Muʻawiyah bin Abi Sofyan
kepada para penduduk Kufah:
متر عليكم.كم ألأقاتل مون وال تصلون. كال، وإمناأتظنون أنين أقاتلكم ألنكم ال تصو
“Apakah kalian menyangka bahwa aku memerangi kalian karena kalian tidak
berpuasa dan tidak melakukan sholat? Bukan. Sesungguhnya aku memerangi
kalian hanya karena untuk menjadi pemimpin (memerintah) kalian.”22
Pidato Mu’awiyah di atas menunjukkan bahwa sebenarnya pemimpin, baik
khalifah, imam maupun raja, tidak selalu menggunakan teks sebagai bagian dari
proses produksi sebuah keputusan dan tindakan. Tidak aneh jika setiap dinasti
kekhilafan atau kepemimpinan akan melahirkan penarapan syariat yang berbeda-
beda. Karena bagi Ali Harb, sangat maklum jika kepentingan ilahiyah
20 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 61. 21 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 61. 22 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 62.
33
diterjemahkan melalui kepentingan manusia. Dan sebagaimana terjemah pada
umumnya, ia tidak akan lepas dari penghapusan dan perubahan.23
Hal ini jualah yang tidak bisa dilepaskan dalam diri seorang Soekarno dan
Natsir. Sebagai seorang muslim, bahkan pemimpin muslim, keputusan dan
pandangan mereka tidak selalu berlandaskan otoritas ilahiyah, hadis misalnya.
Adakalanya mereka menerjamahkan sebuah hadis berdasarkan kondisi dan
posisinya, atau malah tidak menggunakan hadis sama sekali. Tentu hal ini akan kita
ketahui setelah kita membahas berbagai perdebatan terkait penggunaan hadis dalam
pembahasan selanjutnya.
B. Perdebatan Seputar Penggunaan Hadis dan Klasifikasinya
Dalam pembahasan kali ini, kita akan membahas terkait perdebatan seputar
otoritas hadis. Otoritas hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah wewenang hadis
dalam penggunaanya sehari-hari. Apakah hadis harus digunakan seratus persen
ataukah hanya kategori tertentu saja.
Perdebatan terkait penggunaan hadis ini akan diklasifikasikan berdasarkan
hasil pemikiran tokoh-tokoh hadis modern-kontemporer. Dengan klasifikasi
perdebatan terkait otoritas hadis ini, kita akan menemukan benang merah
pandangan Soekarno dan Natsir terhadap hadis-hadis yang digunakan dan
klasifikasinya.
Muizuddin M. Nur mengklasifikasikan perdebatan terkait otoritas hadis dalam
lingkup pemikiran tokoh modern-kontemporer menjadi empat bagian.24
23 Ali Harb, Naqd al-Ḥaqīqah, h. 62. 24 Maizuddin M. Nur, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h.
149-159.
34
Pertama, ideal-totalistik. Klasifikasi ini memandang bahwa Nabi Saw adalah
teladan (uswah) sepenuhnya, dalam semua aspek secara mendetail, baik persoalan
keagamaan maupun persoalan keduniawian. Beberapa praktik keagamaan yang
termanifestikan dalam klasifikasi ini adalah seperti cara Nabi Saw berpakaian
dengan jubah, Nabi Saw makan dengan tidak menggunakan meja makan, sendok
dan garpu, dan lain-lain sebagainya. Beberapa tokoh yang cenderung menggunakan
klasifikasi ini adalah al-Salāfī, Muhammad Ayyub al-Dahlawi, Muhammad Karam
Syah, Busthami Muhammad Said, Musthafa al-Siba’i dan Muhammad Musthafa
Azami, Muhammad Sulaiman ibn Shalih al-Khurasyi dan Abu al-A’lā al-
Maudūdī.25
Kedua, Ideal-Restriktifistik. Klasifikasi ini menempatkan Rasul sebagai
teladan akan tetapi tidak bersifat totalitas. Dalam hal ini hadis memiliki batasan-
batasan yang bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek kandungan hadis. Jika
hadis tersebut bersifat tasyri’ī, maka hadis tersebut mengikat, jika non-tasyri’ī
maka tidak mengikat. Kedua, aspek validitas. Jika hadis tersebut berstatus
mutawatir, maka hadis tersebut mengikat dalam seluruh dimensi keagamaan.
Namun jika hadis tersebut berupa hadis ahad, maka menurut pengikut klasifikasi
ini hadis tersebut dipandang tidak memiliki kehujahan dalam bidang hukum dan
‘amaliyah, bahkan oleh sebagian pengikut klasifikasi ini, hadis tersebut tidak bisa
dijadikan pijakan argumen dalam bidang akidah.26
25 Muhammad Sulaiman ibn Shalih al-Khurasyi mengklaim pembagian sunnah ke dalam dua
jenis ini adalah perbuatan bidˊah yang tidak dikenal sebelumnya oleh ulama salaf dan kriteria
pembagian juga tidak jelas, karena apa yang dipandang oleh sebagian orang sunnah tasyri’iyah
adalah sunnah non-tasyri’iyah dalam pandangan lainnya. Sedangkan menurut Abu al-A’la al-
Maududi pemilahan sunnah ini seperti memisahkan susu dari air karena perbuatan manusiawinya
sering memiliki fungsi kenabiannya. Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, h. 73-78. 26 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 152.
35
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling banyak diikuti oleh para
pemikir hadis. Bahkan sebagian memproklamirkan diri sebagai pengikut tipologi
ini, baik secara eksplisit maupun implisit, seperti Sayid Ahmad Khan, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd al-Raziq, Muhammad ’Ajjaj al-Khāṭib, Mahmud
Syaltut, Thahir Ibn Asyur, Abd al-Wahab Khalaf, Fazlur Rahman, Muhammad al-
Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad Salim al-‘Awwa, Abdul Ghani ’Abdul
Khaliq, Abdul Mun‘im al-Namar, Syuhudi Ismail, dan Ali Mustafa Ya’qub.27
Sayyid Ahmad Khan misalnya, sebagaimana dikutip Daniel W. Brown,
mengatakan bahwa hadis dibagi menjadi empat: Pertama, yang berkaitan dengan
agama (al-dīn). Kedua, produk situasi khusus dan adat istiadat di zaman Rasul.
Ketiga, pilihan dan kebiasaan pribadi. Keempat, preseden yang berkaitan dengan
urusan politik dan sipil. Dari keempat kategori tersebut, hanya kategori pertama
yang wajib dilaksanakan. Sedangkan tiga kategori selanjutnya hanyalah sebuah
pilihan yang boleh ditinggalkan tanpa dihantui rasa takut akan mendapatkan
hukuman.28
Ketiga, Ideal Generalistik. Klasifikasi ini mengakui bahwa hadis Nabi Saw.
sebagai teladan tetapi tidak bersifat mendetail. Karena suatu hadis pasti memiliki
latar belakang situasional. Sehingga yang menjadi fokus bukan pada detailnya
melainkan pada spirit umumnya. Fazlurrahman merupakan tokoh yang
memunculkan pemikiran ini. Bagi Fazlur, otoritas hadis lebih ditekankan kepada
spirit moral bukan pada hukum. Karena Nabi sendiri bukan merupakan orang yang
ahli di bidang hukum. Rasul bagi Fazlur, lebih sibuk bertanggung jawab dengan
27 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 153. 28 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, h. 64.
36
reformasi moral di Masyarakat daripada menetapkan aturan-aturan yang mendetail
kepada para sahabatnya.29
Keempat, Paradigmatik. Klasifikasi ini menilai bahwa hadis tidak memiliki
kewenangan apapun. Posisi Nabi hanya sebagai perantara bukan orang yang
memiliki kewenangan.30 Bahkan salah satu tulisan berjudul “Aqāid” yang ditulis
oleh salah satu pengikut klasifikasi ini, sebagaimana disebutkan Danil W. Brown,
Nabi hanya dianggap sebagai tukang pos saja.31
Pengikut klasifikasi ini bisa disebut sebagai Inkār al-Sunnah (pengingkar
sunnah). Para pemikir klasifikasi ini seperti Syahrur, Ghulam Parwez dan Gamal
al-Banna ingin menempatkan posisi Rasul sama seperti manusia biasa yang
mengalami keterbatasan dan sering mengalami kegagalan dalam berijtihad.32
Oleh karena itu otoritas hadis sampai sekarang masih menjadi perdebatan.
Yang menjadi titik perdebatan bukanlah validitas hadis, melainkan makna dan
posisi kewenangan sunnah. Hal ini terjadi karena terdapat faktor dalam hadis
sebagaimana yang telah disebutkan dalam uraian di atas. Faktor-faktor tersebut
meliputi: sifat hadis yang ẓanni al-wurūd, dimensi kemanusiaan Nabi Saw dalam
perkataan dan perbuatannya, kondisi sosial-budaya yang menyebabkan Nabi
mengucapkan hadis. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadikan pemahaman terkait
otoritas hadis menjadi berbeda-beda yang berujung pada lahirnya pemikiran-
pemikiran yang heterogen.
29 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 153. 30 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 157. 31 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition, h. 68. 32 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 157.
37
Keempat klasifikasi di atas menunjukkan bahwa otoritas hadis adalah sebuah
hal yang masih sering menjadi diskursus dan perdebatan. Bahkan perdebatan terkait
otoritas hadis ini memiliki problem yang sangat kompleks dan dinamis. Terkadang
otoritas hadis juga tergantung dengan siapa yang menjadi pembacanya, latar
belakang, serta profesi apa yang sedang digeluti oleh pembacanya.
38
BAB III
INTERAKSI SOEKARNO DAN NATSIR DENGAN HADIS
A. Biografi Pemikiran Soekarno dan Natsir
Kusno (Soekarno kecil) lahir di awal abad ke 20, 6 Juni 1901 di Surabaya,
dengan menanggung “beban psikologis” sebagai ratu adil yang akan membebaskan
bangsanya dari kebiadaban dan penindasan penjajah.1 Soekarno lahir dari keluarga
yang singkretis: ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, merupakan soerang
muslim penganut teosofi, sedangkan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, merupakan
perempuan berdarah Bali dan berkasta Brahmana. Sehingga sejak awal, kehidupan
Soekarno dan keluarga sudah terpapar singkretisme antara budaya Jawa dan Hindu
Bali.2
Kedua orangtuanya telah memberikan pendidikan agama walaupun belum
mendasar. Dengan keadaan dan latar belakang keluarga yang demikian, Tentu
Soekarno tidak bisa mendapatkan pendidikan Islam yang dominan dan
menyeluruh.3
Soekarno mendapatkan pendidikan keras, disiplin, dan juga mencintai
makhluk yang tidak berdaya. Dari ibunya, Idayu, ia diajarkan pemikiran mistik
hindu dan dari pembantunya, Sarinah, sebagaimana dikatakan soekarno sendiri, ia
mendapatkan pengaruh kemanusiaan dan sikap emansipatif.4
1 Maslahul Falah, Islam ala Soekarno, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h. 12. 2 Maslahul Falah, Islam ala Soekarno, h. 13. 3 Maslahul Falah, Islam ala Soekarno, h. 13. 4 Solichin salam, Bung Karno Putra Fajar, Jakarta: Gunung Agung, 1984, h. 42-43.
39
Setelah melanjutkan pendidikannya di ELS Mojokerto pada 1915, Soekarno
melanjutkan pelajarannya di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Di sini,
selama 5 tahun, ia tinggal di pondokan teman bapaknya, yakni sang Raja Jawa yang
tak bermahkota, H.O.S. Tjokroaminoto. Di sinilah ia mulai mengenal pemikiran
Barat. Selama lima tahun itu ia kenal dengan teman-teman sepondokannya dan
berdiskusi dengan mereka, seperti Alimin, Musso dan Darshono yang notabenenya
merupakan golongan sosialis kiri dan juga pengurus di Sarekat Islam dan Indische
School Democratische Vereeniging (ISDV). Pada waktu itu mereka memiliki
peranan penting dalam usaha melawan kolonial. DI sini juga ia berkenalan dengan
H. Agus Salim dan tokoh-tokoh Marxis, seperti H. Sneevliet, Adolf Bars dan C.
Hartogs, yang merupakan guru bahasa Jermannya ketika menimba ilmu di HBS. C.
Hartogs lah yang pertama kali mengenalkan Soekarno kepada Marxisme.5
Saat di HBS, sebagai murid minoritas dan berkulit Sawo Matang, ia sering
kali mendapatkan diskriminasi dari murid yang berhidung panjang. Saat-saat
seperti inilah Soekarno remaja mulai sadar bahwa bangsanya sedang mengalami
keterpurukan. Mulai timbul semangat kuat untuk membebaskan bangsanya dari
belenggu kesengsaraan.6
Kegelisahan itu menuntunnya untuk menulis buah-buah pikirannya di surat
kabar Oetoesan Hindia. Di surat kabar tersebut ia menulis dengan kata yang keras
dan lantang.
5 Peter Kasenda, Soekarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1923, Depok: Komunitas Bambu,
2010), h. 16. 6 Cindy Adam, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung,
1984), h. 44-70.
40
Setelah terjadi perpecahan di tubuh SI, Soekarno hadir membawa sebuah
gagasan yang ingin menyatukan semuanya. Ia melihat bahwa penduduk
Bumiputera sebenarnya bukan terbagi berdasarkan kedudukan sosial, melainkan
terbagi menjadi beberapa aliran serta ideologi. Oleh karena itu ia mengingatkan
pentingnya pembentukan suatu organisasi massa yang mencakup semua kelompok
ideologi sebagai sarana untuk menggalang kekuatan dalam rangka menumbangkan
superioritas rezim kolonial.7
Pandangan untuk menyatukan berbagai ideologi tersebut, ia tuliskan dalam
sebuah pamflet politik dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, Marxisme”.8
Walaupun ketiga aliran ini memiliki perbedaan yang cukup jelas, bahkan sebagian
bertentangan, Soekarno melihatnya sebagai kenyataan dan keniscayaan yang ada di
masyarakat.9 Maka yang harus dilakukan adalah menyatukan aliran-aliran tersebut
demi tercapainya tujuan yang sama, yakni menumbangkan rezim kolonial. Hal ini
dituangkan Soekarno dalam tulisannya dengan tujuan untuk menggiring dua
kelompok yang sedang bermusuhan (SI putih dan SI merah) untuk bersama
melawan musuh yang sama: “Kaum Islam tidak boleh lupa bahwa kapitalisme,
musuh marxisme itu, ialah musuh Islam pula. Sebab sepanjang paham marxisme,
meerwarde pada hakekatnya tidak lain daripada riba dalam paham Islam.”10
7 Peter Kasenda, Soekarno Muda, h. 24. 8 Ketiga aliran politik yang disebutkan Soekarno dalam judul tersebut memiliki pengarus yang
cukup luas di kalangan masyarakat. Dalam judul tulisan tersebut, Soekarno menghimbau kepada
kepada setiap aliran serta mengajak mereka untuk merapatkan barisan dan menanggalkan perbedaan.
Soekarno menegaskan bahwa sebenarnya ketiga aliran pemikiran tersebut memiliki tugas yang
sama, yakni untuk memperjuangkan kesatuan dan kemerdekaan Indonesia, serta melawan musuh yang sama, yakni Belanda. Peter Kasenda, Soekarno Muda, h. 25. Lihat juga Soekarno,
Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-Pikiran Soekarno Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2015),
h. 9-49. 9 Peter Kasenda, Soekarno Muda, h. 25. 10 Soekarno, Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-Pikiran Soekarno Muda, (Bandung:
Sega Arsy, 2015), h. 29.
41
Menurut Gunawan Muhammad, Soekarno tak mendalami Islam bersama
Tjokroaminoto. Tjokroaminoto sendiri merupakan keturunan priyayi Madiun dan
lulusan OSVIA (sekolah untuk para calon pamong praja). Tjokro sendiri
mempelajari Islam setelah sebelumnya ia menggunakan Islam sebagai simbol
gerakan kebangsaan. Saat itu SI mengadakan kursus tentang agama yang diampu
oleh K.H. Ahmad Dahlan.11
Melalui gurunya, Ahmad Dahlan, Soekarno mulai tertarik dengan Islam
sebagai suatu ajaran yang mementingkan rasionalitas dan bersifat dinamis.
Soekarno kemudian menempa pengetahuannya tentang Islam dengan buku-buku
terkait Islam, sejarah, filsafat dan sebagainya. Setelah itu Soekarno mulai
mengemukakan pikirannya tentang Islam yang berkaitan dengan ibadah, teologi,
sejarah, hubungan Islam dengan ilmu pengetahuan dan hubungan agama dengan
negara. Dalam hal ini, Soekarno lebih tertarik dengan Islam sebagaimana yang
dikembangkan di Mesir, Turki dan India. Atas dasar itu pula ia tertarik dengan
gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah dan
Persatuan Islam.12
Ketertarikan Soekarno dengan kelompok pembaruan Islam tidak berlangsung
lama. Soekarno lebih sepakat dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, ia setuju
dalam hal pemurnian akidah dan aksi sosial. Namun sebaliknya, Soekarno tidak
selalu sepakat dengan dengan hal yang menyangkut politik, teologi dan hubungan
11 Gunawan Muhammad, “Bung Karno dan Islam”, dalam M. Ridwan Lubis, Sukarno dan
Modernisme Islam, h. xviii. 12 Ridwan Lubis, Sukarno dan Modernisme Islam, h. 6.
42
Islam dengan ilmu pengetahuan. Bahkan sering terjadi perbedaan pendapat yang
cukup tajam terkait hal ini.13
Sebaliknya, walaupun Soekarno tidak sependapat dengan kalangan pesantren,
namun dalam urusan hubungan agama dengan negara, ia memiliki beberapa
persamaan. Menurut Ben Anderson, hal ini bisa terjadi karena kalangan pesantren
memiliki latar belakang pemahaman fikih yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari serta menjadikan politik sebagai salah satu wadah mewujudkan tujuan agama.14
Soekarno memang menyukai tradisi, namun ia sering menampik kontinuitas
tradisi. Misalnya dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, ia menuliskan bahwa
orang semasanya harus meninggalkan apa yang disebutnya dengan “Oudecultuur-
maniak” yang pikiran angan-angannya hanya merindui candi-candi,
negarakertagama, empu Tantular dan benda-benda kuno yang lain. Menurut
Soekarno, zaman dulu memang zaman yang indah, tetapi hal itu sudah mati.15
Ridwan Lubis menyebutkan bahwa pemikiran Soekarno dilatarbelakangi oleh
dua hal, yakni budaya jawa dan Islam tradisional. Sebagaimana orang Jawa pada
13 Ridwan Lubis melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan demikian: Pertama,
gerakan pembaruan di Indonesia saat itu lebih terfokus pada gerakan yang muncul di Mesir, seperti
Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha serta gerakan pembaruan dari India.
Sedangkan Soekarno menyerap semua gerakan pembaruan Islam, baik dari Mesir, Turki dan India;
Kedua, bagi Soekarno, aspek kebangsaan dalam pembaruan Islam sangatlah penting. Hal ini tentu
berbeda dengan pembaru Islam di Indonesia saat itu yang hanya melihat permasalahan Islam
Indonesia dalam lingkup solidaritas Islam International. Sedangkan Soekarno hanya melihatnya
dalam ruang lingkup Islam Indonesia; Ketiga, Soekarno tidak hanya melengkapi pengetahuannya
dengan kepustakaan keislaman, ia juga melengkapinya dengan kepustakaan barat, seperti pemikiran
tentang sosialisme, komunisme, dan aliran filsafat lainnya. Ia ingin mencari rumusan yang dapat
memadukan antara sikap kebangsaan, keyakinan kepada Tuhan, dan terwujudnya keadilan sosial. Pola ini jelas menyimpang dari kebiasaan yang ditempuh intelektual muslim pada saat itu. Ridwan
Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 7-8. 14 Benedict R.O’G. Anderson (ed), Relegion and Social Ethos in Indonesia, (Clayton: Monash
University, 1977) h. 24. 15 Gunawan Muhammad, “Bung Karno dan Islam”, dalam M. Ridwan Lubis, Soekarno dan
Modernisme Islam, h. xix.
43
umumnya, Soekarno juga menaruh perhatian pada hal-hal yang berbau mistik. Pola
mistik yang memengaruhinya bertemu dengan pikiran sinkretis, yaitu berusaha
mencari perpaduan antara berbagai kepercayaan, walaupun terdapat pertentangan
antara kepercayaan tersebut. Soekarno memanfaatkan pola mistik sinkretis ini
bukan untuk ritual, melainkan sebagai kerangka pemikiran, yakni berpikir secara
dialektis terhadap berbagai ragam pemikiran, kemudian melahirkan sintesa baru.16
Hal ini tercermin dari usahanya untuk menyatukan faksi SI yang berkonflik
pada saat itu agar menanggalkan perbedaan masing-masing dan bersatu demi
melawan kekejaman kolonial, tentunya dengan pemikiran baru yang ia sodorkan:
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.” Dari kejadian tersebut sebenarnya bisa
dibaca bahwa Soekarno memiliki ambisi kuat untuk menyejajarkan dirinya dengan
para pemikir hebat dari Barat, Islam, maupun Nasional Timur. Ia berusaha mencari
jalan pikirannya sendiri tanpa mau terpenjara dengan suatu pola pemikiran, bahkan
ia berusaha untuk berdiri di atas semua pemikiran yang ada.17
Dari berbagai pemikiran Soekarno yang kompleks, sebenarnya hanya
bersumber dari tiga hal:18 Pertama, tiga gurunya yang merupakan pemikir
Nasional: H.O.S. Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, dan Dowes Dekker. Dari
Tjokroaminoto ia belajar tentang keistimewaan yang dimiliki Islam dari pada
konsep penyelesaian masalah kemanusiaan yang dimiliki oleh filsafat manusia yang
melahirkan berbagai ideologi di dunia. Hal ini bisa dilakukan jika kajian Islam
dilakukan dengan hidup tanpa mengikat diri dengan pemikiran masa lampau. Oleh
karena itu Tjokro mendorongnya agar mendalami gerakan pembaharuan Islam yang
16 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 82-83. 17 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 83. 18 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 83-98.
44
datang dari India.19 Sedangkan dari Dowwes Dekker20 Soekarno belajar tentang
paham kesatuan tanah air.21
Sedangkan dari Tjipto, Soekarno belajar dan tertarik dengan kepribadian
Tjipto yang bersedia menanggalkan statusnya sebagai seorang dokter, dan demi
memerjuangkan nasib bangsanya. Inilah yang disebut oleh Sartono Kartodirdjo
sebagai asketisme intelektual, yakni pengingkaran diri dari berbagai kemudahan
baik fisik maupun intelektual, yang dalam bahasa Jawa biasa disebut keprihatinan
tapabrata.22 Bahkan secara khusus, Soekarno menuliskannya dalam sebuah tulisan
yang berjudul “Sampai Ketemu Lagi”. Tulisan ini merupakan tulisan perpisahan
Soekarno kepada Tjipto saat akan diasingkan.
“Tjipto Mangunkusumo telah menunjukkan jalan dalam caranya mengabdi
kepada rakyat dan bangsa itu. Ia menuntun; ia memberi contoh... Walaupun
ia menderita kesengsaraan rezeki; walaupun ia merasakan kemelaratan yang
terjadi oleh matinya ia punya perusahaan tabib, walaupun lijsdenbeker ada
sepenuh-penuhnya.”23
Kedua, tiga kelompok pemikir yang berbeda: Pertama, pemikir komunis,
antara lain Alimin, Muso, Semaun, Darsono, dan C. Hartogh; Kedua, Nasionalis
Jawa yang berasal dari Jong Java; Ketiga, pemikir Islam, seperti Ahmad Dahlan,
A. Hassan, Agus Salim, S.M. Kartosuwiryo, dan lain-lain.
19 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 83-98. 20 Namanya Ernest F.E. Douwes Dekker. Ia dikenal dengan nama Danudirdjo Setiabudhi. Ia
merupakan keturunan indo yang merupakan cucu dari F.E. Douwes Dekker, Asisten Residen di
Indonesia pada abad XIX, penulis buku yang mengecam pelaksanaan tanam paksa. Lihat: Ridwan
Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 87. 21 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 88. 22 Sartono Kartodirjo, “Nilai-nilai baru dalam Perkembangan Sejarah Indonesia”, Kompas,
Rabu, 17 Juli 1985. Kutipan Sartono ini juga bisa dilihat di Ridwan Lubis, Soekarno dan
Modernisme Islam, h. 85. 23 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005), cet. 5, j. 1, h.
40.
45
Dari pergaulannya dengan pemikir Islam, ia mulai mengembangkan
pemahamannya tentang Islam sebagai tindaklanjut dari pemahaman pembaruan
Islam yang sebelumnya telah diterima dari Tjokroaminoto. Dari hal ini, terjadilah
sintesa pemikiran keislaman pada diri Soekarno, sebagai akibat dari perbedaan
orientasi pemikiran yang diterima dari beberapa tokoh tersebut. Gabungan orientasi
pemikiran ini kemudian dikembangkan Soekarno dengan berbagai bacaannya.24
Sedangkan dari tokoh komunis, Soekarno mencoba menggunakan konsep
komunis untuk mengurai sistem kekuasaan Belanda dengan teori revolusi yang
dimiliki oleh komunis.25 Bahkan menurut Ridwan Lubis, Soekarno memiliki
kesamaan dengan Tan Malaka, seorang komunis dari Sumatera Barat terkait
kemungkinan revolusi untuk menghadapi penjajahan Belanda.26
Adapun dari nasionalis Jawa, Soekarno belajar dari Suwardi atau yang biasa
dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Soekarno yang berasal dari jawa ini, memiliki
perhatian kepada budaya jawa, bahkan ia sering menyebutkannya dalam setiap
pidato-pidatonya. Hal ini ia perlukan untuk menjaga keseimbangan antara pelbagai
aliran pemikiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Selain itu, hal ini
juga untuk menunjukkan bahwa dirinya merupakan personifikasi konsep-konsep
tradisional dalam bentuk Indonesia modern.27
Ketiga, sumber bacaan-bacaanya. Saat berada di Surabaya, Soekarno
membaca berbagai bacaan, baik dari pemikiran Barat, Islam, maupun Nasionalis
24 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 89. 25 John D. Legge, Sukarno, Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), terj. Tim
PSH, h. 88 26 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 90. 27 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 90-91.
46
Timur. Beberapa bacaan dari pemikir barat, dilahap dan diskusikan dengan mudah
oleh Soekarno, di antaranya: Declaration of Independence karya Thomas Jefferson
yang ditulis pada tahun 1776; Ia juga belajar pemikiran Abraham Lincoln, Ernest
Renan, Gladstone, Betrice Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi; pemikir komunis
seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin; ia juga belajar pemikiran J.J. Rousseau
terkait kontrak sosial, Aristilde Briand, dan Jean Jaures.28 Tokoh terakhir ini sering
dikutip Soekarno saat mengutarakan pendapatnya terkait sosialisme.29
Selain itu, Soekarno juga membaca buku-buku dari pemikir Islam yang
beraliran pembaharuan khusus yang berasal dari Mesir, Turki dan India.30 Salah
satu tokoh yang sering disebutnya adalah Amir Ali yang menulis buku The Spirits
of Islam, yakni buku yang banyak membicarakan Islam dari sudut pandang rasional
dan kehidupan modern.31 Gagasan pembaharuan yang dipelajari dari buku-buku
28 Jean Jaures (1914) adalah politikus Prancis yang tertarik pada sosialisme. Dia pernah terpilih
menjadi wakil dari Carmaux sebanyak dua kali (1893-1898 dan 1902-1914). Marwati Djoened
Poesponegoro, Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa 1815-1945, (Jakarta: Erlangga, 1982), h.
124. 29 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 91-92. 30 Atas minat Soekarno terhadap sejarah keislaman, ia membaginya menjadi lima wilayah:
Turki, Mesir, Palestina, Saudi Arabia, dan India. Turki dinilai sebagai wilayah yang modern dan
radikal karena letaknya yang tak jauh dari Eropa sehingga terpengaruh dengan kemajuan Barat,
Mesir dinilai sebagai wilayah yang melakukan kompromi antara agama dengan kemajuan.
Menurutnya, yang menjadikan Mesir tertinggal adalah paham kolot yang menghalangi kemajuan negara menuju tingkat modern, bukan penyatuan agama dengan negara; sendangkan wilayah
Palestina disebut sebagai wilayah kemunduran, karena masalah sosial politik yang dihadapi seiring
dengan persaingan yang dilakukan tiga agama besar, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam; Wilayah
Saudi Arabia disebut sebagai contoh wilayah yang tidak bisa berkembang, karena walaupun wahabi
sudah melakukan usaha pemurnia akidah, namun usaha itu tidak memerhatikan perkembangan sosial
dan tingkatan perkembangan sejarah; Sedangkan India disebut Soekarno sebagai wilayah yang
paling parah karena wilayahnya jauh dari Timur Tengah, sehingga menjadi lahan subur untuk
tumbuhnya singkritisme, seperti Sikh, Din Ilahi dan sebagainya. Nampaknya pembagian Soekarno
ini berdasarkan perkembangan Islam dalam rentang waktu akhir abad 19 dan awal abad 20. Lihat:
Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 93-97. 31 Pandangan Ahmad Ali ini berbeda dengan pendapat Ahmad Khan yang menekankan agar
gerakan Islam hanya lebih tepat pada lapangan pendidikan saja, sedangkan Ahmad Ali berpendapat
bahwa perjuangan Islam juga harus memperkuat diri di lapangan politik. Karya-karya Ahmad Ali
banyak berisi ajaran untuk merasionalkan ajaran-ajaran Islam agar relevan dan dapat bertahan di
bumi India. Hal ini dilakukan agar Islam tidak hilang ditelan kebudayaan hindu. Lihat: Ahmad
Amin, Zua’ma al-Iṣlāh fi al-ʼAṣr al-Hadīts, (Kairo: Maktabah al-Nabhāt al-Miṣrīyah, 1979), h. 149-
157.
47
tersebut bertemu dengan dorongan pembaruan dan pemurnian yang telah diterima
sebelumnya dari Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Ahmad Hassan dan Agus Salim.32
Semua bacaan dan pemikiran yang telah dieksplorasi Soekarno menunjukkan
bahwa Islam sangat mementingkan akal dan hal ini menjadi salah satu prasyarat
terwujudnya masa kejayaan Islam.33
Dari sumber-sumber inilah, akhirnya Soekarno berkesimpulan bahwa harus
ada sebuah lompatan yang dilakukan umat Islam agar Islam tetap dinamis dan
rasional. Ia bahkan menyarankan untuk melakukan penafsiran kembali terhadap
ajaran Islam dan melepaskan diri dari kelompok pesantren dan kelompok
pembaruan pemikir Islam di Indonesia.
Pemikiran Soekarno yang dianggap aneh ini ditentang habis-habisan oleh
beberapa tokoh, salah satunya A. Moechlis atau yang terkenal dengan Mohammad
Natsir.34
Natsir sendiri merupakan putera Minang yang lahir delapan tahun setelah
Soekarno, tepatnya pada 17 Juli 1908. Ayahnya, Muhamad Idris Sutan Saripado,
merupakan pegawai rendahan sebagai juru tulis di Maninjau, sedangkan ibunya,
bernama Khadijah. Di tanah kelahirannya, Natsir mulai bergelut dengan keislaman.
Selain menempuh pendidikan dasar di sekolah belanda, Natsir juga mempelajari
agama di beberapa ulama. Setelah beberapa lama bersekolah di Padang, ia
kemudian pindah ke Solok. Di sana, ia mulai belajar bahasa Arab serta hukum fikih
32 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 93. 33 Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme Islam, h. 98. 34 Selain Natsir, beberapa tokoh juga menentang pemikiran Soekarno ini. Di antaranya, A.
Hassan, Siradjuddin Abbas dan beberapa tokoh yang lain. Ridwan Lubis, Soekarno dan Modernisme
Islam, h. 9.
48
kepada Tuanku Mudo Amin melalui Madrasah Diniyah di sore hari. Di malam
harinya, ia melanjutkan pelajaran agamanya dengan mengaji Alquran selepas
salat.35 Dari sini mulai terlihat bahwa masa kecil Natsir telah dihabiskan dengan
mendalami ilmu keislaman, seperti belajar fikih, bahasa Arab, dan mengaji
Alquran, yang tidak diperoleh oleh Soekarno di masa kecilnya.
Saat Natsir mulai masuk Meir Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di
Padang, ia mulai aktif di beberapa kegiatan ekstrakulikuler, di antaranya, menjadi
anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij, sejenis pramuka yang
merupakan bagian dari Jong Islamieten Bond (JIB). Natsir sendiri yakin, bahwa
kegiatan seperti ini memiliki manfaat yang besar pada dirinya. Natsir kemudian
melanjutkan pendidikannya di Algememe Midelbare School (AMS) Afdelling A di
Bandung. Di kota inilah ia belajar gerakan politik dan dakwah melalui beberapa
tokoh besar, seperti, Ahmad Hassan dan H. Agus Salim di JIB Bandung. Bahkan
pada tahun 1928-1932, Natsir didapuk menjadi ketua JIB Bandung karena
kemampuan menonjolnya. Di kota ini, ia juga sempat bergumul dengan beberapa
tokoh besar lain, seperti Hatta, Prawoto Mangunsasmito, Yusuf Wibisono,
Tjokroaminoto, dan Moh. Roem.36
Di antara tokoh-tokoh di atas, Ahmad Hassan menjadi tokoh yang memiliki
peran penting dalam perkembangan pemikiran keagamaan Natsir. Selain Ahmad
Hassan, Haji Agus Salim dan Ahmad Syurkati, pendiri al-Irsyad, juga memiliki
peran penting secara langsung dalam membentuk ciri pemikiran Natsir. Selain tiga
tokoh tersebut, A.W. Pratiknya mengungkap bahwa Natsir juga mendapatkan
35 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1999), h.
22. 36 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 33.
49
pengaruh secara tidak langsung dari beberapa tokoh melalui karya-karya yang
dibacanya, seperti Amir Syakib Arsalan, seorang pemikir yang dideportasi dari
negara asalnya, Syiria; Muhammad Ali; Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.37
Di bidang politik, Natsir terpengaruh dengan karya-karya Amir Syakib Arsalan; di
bidang tafsir, ia terpengaruh dengan Mohammad Ali; sedangkan di bidang
keagamaan, ia terpengaruh dengan pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha.
Setidaknya, dari beberapa pemaparan di atas, ada tiga hal yang memengaruhi
pemikiran Natsir. Pertama, guru-gurunya; kedua, lingkungan dan organisasinya;
ketiga, buku-buku yang dibacanya.
Dari Ahmad Hassan, Natsir belajar menulis dan berargumentasi. Hassan
dianggap telah mewariskan pemikiran Islam radikalnya kepada Natsir, dengan
berangkat melalui keharusan untuk berpegang teguh dengan Alquran dan sunnah.
Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisan Natsir. Sikap Ahmad Hassan yang dianggap
Dawam Raharjo sebagai tokoh yang beraliran rasional puritan dengan
semboyannya “Ijtihad serta keharusan kembali kepada Alquran dan hadis”38 telah
diwariskan kepada Natsir. Hal ini juga bisa dilihat juga dalam beberapa sikap politik
Natsir, terlebih saat berpolemik dengan Soekarno.39 Natsir terpengaruh dengan
Ahmad Hassan setelah mereka berdua melakukan beberapa dialog yang membahas
masalah agama, politik dan pergerakan kemerdekaan saat itu.
37 A.W. Praktiknya, Percakapan Antara Generasi: Pesan Pejuangan Seorang Bapak, (Jakarta:
Media Dakwah, 1989), h. 30-32 38 M. Dawam Raharjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 50. 39 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h. 30.
50
Selain tiga hal tersebut, Natsir juga terkesan dengan cara Ahmad Hassan
mendidiknya. Ia terkesan dengan kepribadian Ahmad Hassan yang sederhana,
mandiri, rendah diri dan keberanian dalam mengemukakan pendapat dan
prinsipnya. Selain itu, Natsir juga mengungkapkan bahwa Ahmad Hassan
mengajarinya cara berdialog yang baik, salah satunya, jika salah maka harus
mengakui kesalahan, karena itu merupakan ciri-ciri seorang pemimpin. Beberapa
hal ini lah yang menjadikan Natsir terkesan dengan sosok Ahmad Hassan, sehingga
Natsir tidak malu mengakui bahwa cara Hassan mendidiknya, ia praktekkan juga
oleh Natsir saat mendidik dan membina generasi serta anak didiknya.40
Sedangkan dari Haji Agus Salim, Natsir mendapatkan wawasan dan tempat
bertanya dalam masalah politik dan pergerakan. Natsir juga mengungkapkan bahwa
ia sangat terkesan dengan cara Haji Agus Salim mengurai dan menganalisis
keadaan. Bahkan, menurut Natsir, Haji Agus Salim tak pernah memecahkan
masalah yang dihadapi. Ia selalu menyerahkan semua keputusan kepada para
pemuda. Sehingga hal ini dianggap Natsir sebagai pembelajaran bagi para pemuda
untuk berfikir kreatif, percaya diri, bertanggung jawab dan berani mengambil
keputusan setelah berijtihad dan bermusyawarah. Sebagai pemimpin selanjutnya,
para pemuda diajarkan untuk berani mengambil resiko.41 Keberanian ini lah yang
mengilhami Natsir dalam mengutarakan pikiran-pikirannya. Walaupun
menghadapi beberapa penolakan, ia tidak pernah gentar dalam menjaga dan
berpegang teguh pada prinsip yang dianutnya.
40 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, h. 31. 41 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, h. 31.
51
Salah satu pengaruh Haji Agus Salim yang paling menonjol dalam pemikiran
Natsir, Menurut Ridwan Saidi, adalah menjauhkan diri dari perbincangan
masalah-masalah yang bersifat Khilafiyah.42 Hal ini dapat ditinjau dalam
beberapa tulisan Natsir yang tidak pernah bicara tentang masalah yang menjadi
ikhtilaf di kalangan umat Islam, bahkan dia berusaha mengajak umat Islam
untuk bersatu.43
Lalu, dari Ahmad Syurkati, Natsir terpengaruh dengan pembaharuan
pemahaman dan pemikiran ajaran-ajaran Islam.44 Hal ini mengingat Syurkati
merupaka tokoh yang gencar mengeluarkan ide pembaruan pemikiran dan
pemahaman ajaran Islam melalui Al-Irsyad, sebuah organisasi yang ia dirikan.
Bahkan Natsir mengakui bahwa ia dan beberapa anak muda di JIB sering
berkunjung menemui Syurkati di Jakarta dan menanyakan beberapa pertanyaan
‘nakal’. Hal ini sering ditanyakan kepada Syurkati, karena ia pasti menjawabnya.
Tentu, berbeda jika pertanyaan nakal tersebut disampaikan kepada ulama ‘biasa’,
biasanya tidak akan dijawab, malah sang penanya bakalan dimarahi.45
Jika disimpulkan, tiga guru Natsir ini memberikan pembelajaran yang
berbeda. Ahmad Hassan berperan menanamkan ruh Islam dan pemahaman
keagamaan yang radikal pada diri Natsir, sedangkan Ahmad Syurkati mengajarkan
kepada Natsir pembaharuan dalam pemahaman dan pemikiran ajaran-ajaran Islam,
kemudian Haji Agus Salim mengajarkannya sikap moderat untuk mempersatukan
Islam.
42 Ridwan Saidi, Zamrud khatulistiwa, (Jakarta: LSIP, 1995), hl. 70 43 Lukman Hakim, Pemimpin Peluang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir, (Jakarta:
Yayasan Piranti Ilmu, 1993), h. 210. 44 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta: LP3ES, 1988), h.80. 45 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, h. 33.
52
Dari berbagai tokoh di atas, nampaknya hanya dua tokoh yang sangat
berpengaruh dalam kehidupan dan pemikiran Natsir. Dua tokoh tersebut adalah
Ahmad Hassan dan Haji Agus Salim. Dan di antara dua tokoh tersebut, Ahmad
Hassan lah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Natsir. Pertemuan
Natsir dengan Ahmad Hassan menjadi pertemuan penting bagi Natsir. Karena
Ahmad Hassan lah, Natsir mulai meniti karir sebagai seorang pejuang, negarawan,
dan juga agamawan. Awal karir Natsir tersebut dititinya melalui organisasi Persis
(Persatuan Islam) yang salah satu tokoh utamanya adalah Ahmad Hassan.
Persis inilah yang menjadi kunci kedua atau lingkungan dan organisasi yang
membentuk pemikiran Natsir. Karena bagi Natsir, Persis merupakan rumah pertama
yang menaunginya melangkah menjadi pemimpin tekemuka di Indonesia. Persis
sangat berjasa dalam ‘mengorbitkan’ Natsir sebagai pemimpin kelas dunia.46
Walaupun Persis sudah berdiri tanggal 12 September 1923 oleh Haji Zam
Zam yang tergerak untuk menjawab masalah-masalah yang berkembang saat itu,
seperti khurafat, takhayyul, bid’ah, dan taklid, namun, Persis mulai berkembang
dan berjalan teratur serta terarah semenjak Natsir dan Ahmad Hassan bergabung.47
Ajip Rosyidi mengungkapkan bahwa setelah Natsir bergabung dengan Persis,
dibuatlah tujuan dan prinsip organisasi Persis, yakni sebagai organisasi sosial
keagamaan dan pendidikan yang bertujuan untuk memberlakukan hukum-hukum
Islam. Hal ini tercermin dalam Anggaran Dasar Persis pasal IV, yang kemudian
46 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 29. 47 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 29.
53
dijelaskan usahanya untuk mengembalikan kaum muslimin kepada Alquran dan
sunnah dalam pasal V.48
Memotret pemikiran Natsir tidak dapat dilepaskan dari perjalanannya
mengembangkan organisasi Persis. Termasuk beberapa poin dalam Anggaran
Dasar Persis yang dibuat pada masa itu. Dari dua pasal tersebut, sudah mulai
nampak alur pemikiran Natsir dengan Persisnya bahwa ia ingin memerjuangkan
ajaran Islam yang sesuai dengan Alquran dan sunnah, serta mengembangkan
pendidikan untuk generasi Islam dengan Alquran dan sunnah.49
Dengan slogan kembali kepada Alquran dan sunnah, Persis kemudian
menerbitkan majalah yang bernama Pembela Islam. Sebagaimana ditulis Ajip
Rosyidi, majalah ini hendak membela Islam dengan membantah segala stigma
tentang Islam, penghinaan kepada Islam dan Nabi Muhammad Saw., serta
berdakwah sesuai Alquran dan sunnah.50
Melalui majalah ini, Natsir menguras pikirannya dan menuliskannya dalam
lembaran majalah. Pemikiran-pemikiran Natsir dalam majalah ini mendapatkan
berbagai tanggapan dari para rohaniawan, salah satunya adalah Chris Toffes.
bahkan sering mengundang pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri.51
Memang wajar jika tulisan-tulisan Natsir sering mendapat reaksi dari berbagai
rohaniawan maupun umat Islam sendiri, mengingat ide dan gagasan yang
ditawarkan Natsir dan Pembela Islam cukup radikal. Bahkan Syafig A. Mughni
48 Ajip Rosyidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, (Jakarta: Giri Mukti Pusaka, 1990), h. 39. 49 Abubakar Aceh, Salaf, Muhyi ats-Tsurat Salaf, Cerakan Salafiyah di Indonesia (Jakarta:
Permata. 1970), h.22. 50 Ajip Rosyidi, M. Natsir: Sebuah Biografi, h. 69-70. 51 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 33.
54
dalam bukunya, Hassan Bandung Pemikiran Islam Radikal, mengulas panjang
lebar pemikiran para tokoh Persis dan majalah Pembela Islam, yang ia sebut sebagai
radikal, termasuk pemikiran Natsir.52 Perlu diketahui, bahwa yang dimaksud
radikal dalam hal ini bukan mengarah kepada tindakan yang bernuansa terorisme,
melainkan radikal dalam arti yang positif, yakni mendasarkan semua hal dan
amalan kepada Alquran dan hadis, jika tidak ada, maka akan ditolak.
Hal ini tercermin dalam kegiatan-kegiatan dakwah yang dilakukan oleh
Persis. Dalam kegiatan dakwah tersebut, para muballigh (pendakwah) diarahkan
untuk menyampaikan kepada para jamaah ibadah-ibadah yang memiliki landasan
dalam Al-quran dan hadis, serta ibadah-ibadah yang tidak memiliki dasar di
Alquran dan hadis. Penjelasan ini dimaksudkan agar para jamaah mengetahui
perbedaan antara ibadah yang berlandaskan Alquran dan hadis dan tidak, dengan
tujuan untuk menjauhkan ibadah yang tidak berdasar tersebut dari aktifitas
masyarakat.53 Hal ini tentu sesuai dengan alasan mengapa Haji Zam Zam
mendirikan Persis dan menggelar diskusi untuk membahas pelbagai masalah seperti
takhayyul, bidah, dan taklid yang dianggap sebagai salah satu ‘penyakit yang
menggerogoti’ jiwa masyarakat saat itu.54
52 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 33. 53 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 34. 54 Majalah Pembela Islam merupakan salah satu publikasi yang dimiliki oleh Persis. Selain itu
masih ada beberapa majalah yang juga diterbitkan oleh Persis, yaitu: Al-Fatwa (1933-1935) yang
hanya menampilkan masalah-masalah agama tanpa menyelipkan tendensi politik, majalah ini dibuat untuk menentang pihak-pihak dari kalangan luar Islam; Al-Lisan (1935-1942), At-Taqwa (1937-
1941), dan Soal-Jawab (1931-1940) yang membahas masalah agama dan perdebatan yang diadakan
Persis dengan pihak lain, serta jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh
pembaca. Howard M. Fiderspiel, Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
Modern Indonesia project Southeast, (New York, 1970), h. 20-27. Lihat juga, Thohir Luth, M.
Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 34-35.
55
Atas kepiawaian Natsir menulis pemikiran-pemikiran radikalnya di majalah
Pembela Islam, ia sering kali disanjung oleh para tokoh besar Persis. Salah satunya
Moc. Roem pada saat berpidato di acara perpisahan siswa kelas V Pesantren Persis,
yang dimuat di majalah Al-Muslimun, Th. VI. Thohir Luth menyebutkan bahwa
menurut Roem dalam pidatonya tersebut, Natsir disebut sebanyak dua kali dengan
fungsi yang berbeda.
Pertama, M. Natsir disebut sebagai generasi kedua sesudah para pendiri
Persis. Natsir disebut sebagai pemuda yang memiliki keberanian untuk menulis
dengan kata-kata yang tajam, serta berbicara tegas terhadap persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan Islam.55 Dalam fungsi yang pertama ini, Roem seolah ingin
mengatakan bahwa Natsir adalah penerus perjuangan pendiri Persis serta memiliki
kemampuan sebagai jurnalis dan muballigh yang handal.
Kedua, Natsir disebut sebagai salah satu pemimpin Persis yang secara
organisatoris memiliki peran yang cukup besar terhadap Persis dan dakwah Islam
secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa peran Natsir dalam struktural
Persis sangat diakui sebagai salah satu aset yang memiliki kontribusi terhadap
Indonesia. Karena secara langsung atau tidak langsung, tulisan Natsir yang
berbahasa Indonesia dalam majalah Pembela Islam, turut membagakan bangsa
Indonesia dengan bahasanya sendiri. Hal ini dianggap penting setelah Natsir dan
kawan-kawan Persis memiliki jasa setelah peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun
1928.56
55 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 38. 56 Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, h. 38.
56
Komponen ketiga yang memengaruhi pemikiran Natsir adalah buku-buku
yang dibacanya. Semenjak kenal dan bergelut dengan Ahmad Hassan, Natsir
mendapatkan beberapa buku yang secara khusus dihadiahkan oleh Ahmad Hassan
kepadanya. Buku-buku tersebut di antaranya, Tafsir Al-Furqan karya Ahmad
Hassan sendiri serta Tafsir The Holy Quran gubahan Muhammad Ali.57 Dari buku-
buku ini, serta diskusinya dengan Ahmad Hassan, Natsir mulai mendalami kajian
agama yang dulu pernah digelutinya saat di Solok. Selain buku-buku tersebut,
Natsir juga melahap beberapa karya ‘pembaharu’ seperti Abduh, Rasyid Ridha dan
Amir Syakib Arslan.58 Lebih tepatnya, Natsir membaca buku Syakib Arslan yang
berjudul Causes de la régression des musulmans, yang dalam terjemah bahasa
Indonesia-nya berjudul Mengapa Kaum Muslim Tertinggal. Selain itu jelas masih
banyak buku-buku lain yang ia baca. Dalam beberapa tulisan Natsir sering
mengutip beberapa kitab dari ulama Timur Tengah, seperti Bidayatul Mujtahid, dan
al-Milal wan Nihal karya as-Syahrastani. Ia juga beberapa kali mengutip hadis dari
Ṣaḥīḥ Bukhari, Muslim dan Abu Dawud. Natsir bahkan terlihat sering mengkritik
pendapat beberapa tokoh Barat, seperti Snouck Hourgronje dan Dr. I.J. Brugman.
Maka, mustahil jika dia juga tidak membaca buku-buku tersebut.
Buku-buku tersebut, jelas membentuk langkah pemikiran Natsir yang
cenderung radikal dan menekankan pembaharuan. Hal ini tercermin dari beberapa
tulisannya saat berpolemik dengan Soekarno. Menurut Natsir, Islam bukanlah
semata-mata berkaitan dengan peribadatan dalam istilah sehari-hari, seperti shalat
dan puasa saja, akan tetapi Islam juga mencakup semua kaidah-kaidah, batasan-
57 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa
Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, h. 20. 58 A.W. Praktiknya, Percakapan Antara Generasi, h. 30-32
57
batasan dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis
yang telah ditetapkan dalam Islam.59 Hal ini, karena bagi Natsir, Islam sudah
mengatur semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, termasuk tata cara
dan aturan bernegara. Aturan inilah yang dianggap Natsir sebagai jalan untuk
memenuhi tujuan agama Islam, yakni mencapai kejayaan di dunia dan meraih
kemenangan di akhirat.
Secara garis besar, pemikiran Natsir selalu menekankan dalil agama. Natsir
membedakan antara ubudiyah dan maqul.60 Ubudiyah berarti pelaksanaan suatu hal
telah ditetapkan dalam Alquran maupun hadis. Dan tidak akan bisa ditemukan
illatnya. Seperti halnya tata cara pelaksanaan shalat. Baginya tidak akan bisa
dirubah pelaksanaanya. Hal ini karena salat merupakan hal yang ubudiyah.
Sedangkan yang ma’qul, adalah setiap hal yang bisa ditemukan llatnya dan masuk
akal. Baru jika tidak ditemukan dalilnya, akal bebas mengkreasikannya.61
Pemikiran Natsir ini sepertinya berdasarkan pada kitab-kitab fikih atau ushul fikh.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Natsir juga sering mengutip
beberapa kitab fikih, salah satunya, Bidayatul Mujtahid karya cucu Ibnu Rusyd.62
59 Mohammad Natsir, Islam Sebagai Dasar Negara, (Bandung: Sega Arsy, 2014), h. 27. 60 Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 155. 61 Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 155. 62 Dalam Ushul Fikih, perincian ubudiyah dan ma’qul menurut Natsir ini sering juga disebut
dengan istilah Taabbudi dan Taaqquli. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Syatibi, bahwa ta’abbudi
adalah hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Syāri’, atau sesuatu yang secara khusus menjadi hak Allah. Sedangkan ta’aqquli adalah bersifat ma’qūl al-ma’nā, yaitu hukum-hukum yang
memberi peluang dan kemungkinan kepada akal untuk memikirkan, baik sebab maupun illat
ditetapkannya. Kemungkinan ini diberikan agar manusia (mukallaf) dapat memetik kemaslahatan
dari hukum-hukum Allah, baik bagi bagi individu maupun publik. Abu Ishaq al-Syatibi, al-
Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah, Jilid II, Cet. III (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M),
h. 304-315.
58
Pemikiran Natsir ini bisa dilihat dari cara dia berargumen bahwa tata cara
shalat yang telah dicontohkan oleh Rasul tidak bisa diganti dengan hal lain,
walaupun sama-sama memenuhi hikmah shalat.
“Demikian juga bila ada orang bisa melihat bahwa dalam salat itu ada
semacam gerak badan (sport). Dan kita sekarang sudah mendapat cara sport
yang modern dan praktis. Kita boleh kerjakan sport itu, tapi apakah bisa shalat
itu bisa ditukar dengan badminton saja, umpamanya? Tentu, tidak bisa,
bukan? Kita lihat dalam salat ada semacam cara menyatukan pikiran
(gedachtenconcentratie). Sekarang kita telah mendapatkan cara yang praktis
untuk membulatkan pikiran itu. Selama cara yang kita perdapat itu tidak
terlarang. Boleh saja dilakukan, akan tetapi, tetap salat tidak bisa ditukar
dengan tetirah ke hutan-hutan seorang diri, umpamanya.”63
Tampaknya, inilah yang membedakan pemikiran Natsir dengan Soekarno,
selain buku-buku bacaan yang berbeda, serta latar belakang keluarga yang berbeda,
Natsir secara rinci membedakan mana hal yang berkaitan dengan ibadah dan mana
hal yang tidak, sedangkan Soekarno sama sekali tidak pernah secara eksplisit
menyebutkan perbedaan itu, sehingga seolah ia tidak pernah membedakan mana
yang bernilai ibadah dan tidak. Walaupun bisa jadi, sebenarnya Soekarno juga
membedakan hal ini, meski tidak secara eksplisit dan bisa jadi berbeda dengan
perincian Natsir. Terkait hal ini, akan kami bahas dalam pembahasan selanjutnya.
Sedangkan perbedaan selanjutnya adalah mengenai pembaharuan yang
diinginkan. Dari beberapa penjelasan di atas, terbuka lebar perbedaan antara
pembaharuan yang dimaksud oleh Soekarno dan Pembaharuan yang dimaksud oleh
Natsir. Pembaharuan yang dimaksud oleh Natsir adalah sebagaimana yang
diinginkan Abduh, Rasyid Ridha dan Amir Syakib Arslan. Khususnya, Amir
Syakib Arslan dalam bukunya, Limadzā Taakhkhara al-Muslimūn wa Limadzā
Taqaddama Ghairuhum?” (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum non
63 Mohammad Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 156-157.
59
Muslim Maju?). Dalam buku tersebut, Amir Syakib Arslan mencoba menjelaskan
mengapa umat Islam pada zaman dahulu bisa lebih maju. Salah satu alasannya
adalah mereka berpegang teguh pada Alquran dan sunnah Rasul Saw. Selain itu,
Amir Syakib juga mengungkapkan bahwa kemajuan Eropa, salah satunya adalah
mereka tidak mengambil barang dagangan kecuali dari rakyat mereka sendiri.64
Dari pengaruh-pengaruh tersebut, pantas saja jika Natsir dengan gerakan
Persisnya memulai gerakkanya dengan “Kembali kepada Alquran dan sunnah”,
juga wajar jika Natsir dalam beberapa tulisannya menyerang beberapa pemikir dari
kalangan Barat.
Pemikiran Natsir ini tentu sangat berbeda dengan pembaharuan ala Soekarno
yang sering disebutnya dengan Rethinking of Islam,65 yakni mencoba memikirkan
ulang segala hal yang berkaitan dengan Islam, sebagaimana yang telah terjadi di
lima wilayah yang telah kami sebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Selain itu,
jika Natsir seringkali anti dan mengkritik pemikiran Barat, Soekarno malah
mencoba memahami Islam sembari memadukannya dengan filsafat pemikiran
Barat.
Selain itu, menurut Ridwan Lubis, perbedaan pemikiran antara Soekarno dan
Natsir ini juga dipengaruhi oleh sikap perjuangan politik yang berbeda. Soekarno
mendasarkan perjuangannya pada paham kebangsaan, sedangkan Natsir
mendasarkan perjuangannya pada politik keislaman. Bahkan hal ini telah diakui
64 Kata Arsalan: “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya,
mereka tidak suka membeli barang-barang yang dipelukan terutama barang-barang yang berharga.
Melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negeri mereka sendiri (London). Dengan tujuan agar
keuntungan perdagangan itu jangan sampai jatuh ke luar dari negeri mereka. Al-Amir Syakib
Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, terj. Moenawwar Chalil, (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1954), 4-20. 65 Soekarno, “Memudakan Pengertian Islam”, Di Bawah Bendera Revolusi I, h. 371.
60
Natsir pada saat keduanya bersua di Bandung.66 Natsir juga mengungkapkan bahwa
jasa terbesar Soekarno kepada Islam hanyalah keberhasilannya menggerakkan
tokoh-tokoh Islam pada tahun 1940-an untuk menanggapi tulisannya yang dimuat
secara bersambung di majalah Pandji Islam.67 Sebagai seorang rival, maklum saja
jika Natsir menyebut Soekarno demikian. Terlebih, keduanya sering berpolemik
dan beradu argumen.
Untuk mempermudah, kami akan menunjukkan secara ringkas beberapa
perbedaan Soekarno dan Natsir, khususnya dalam hal pemikiran, melalui tabel
berikut ini:
Natsir Soekarno
Keluarga
Ayah dan Ibu beragama
Islam
Singkretis: Ayah
beragama Islam teosofi,
sedangkan ibu beragama
Hindu
Pembelajaran Islam
Masa Kecil
Bersekolah di madrasah,
belajar fikih dan bahasa
Arab.
Hanya dari keluarga, tapi
tidak mendasar.
Organisasi Persis, JIB SI, Jong Java
Guru-guru
Ahmad Hassan, Ahmad
Syurkati, Haji Agus
Salim
1. Nasionalis: H.O.S.
Tjokroaminoto,
Tjipto
66 M. Natsir, “Bung Karno yang Saya Kenal”, Solichin Salam (ed), Bung Karno dalam
Kenangan, (Pusaka, 1981), h. 64. 67 Ridwan Lubis, Soekarno dan Moderenisme Islam, h. 123.
61
Mangunkusumo, dan
Dowes Dekker.
2. Komunis: Alimin,
Muso, Semaun,
Darsono, dan C.
Hartogh;
3. Nasionalis Jawa: Ki
Hajar Dewantara
4. Islam: Ahmad
Dahlan, A. Hassan,
Agus Salim, S.M.
Kartosuwiryo.
Buku-Buku
Tafsir Al-Furqan,
Tafsir The Holy Quran
gubahan Muhammad Ali
Causes de la régression
des musulmans karya
Amir Syakib Arsalan,
serta buku keislaman
lain, seperti hadis dan
fikih.
Barat, Islam, maupun
Nasionalis Timur
Karakter Pembaharuan
Abduh, Rasyid Ridha
dan Amir Syakib
Rethinking of Islam,
memikirkan kembali arti
Islam (sebuah perpaduah
62
dari pembaruan Islam di
lima wilayah)
Politik Keislaman Kebangsaan
Tab. 1: Peta Pemikiran Soekarno dan Natsir.
B. Awal Perjumpaan Soekarno dan Natsir dengan Hadis
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Soekarno melahap
beberapa buku, baik dari Barat, Islam maupun Nasionalis Timur. Dari
pengembaraan Soekarno dalam buku-buku tersebut, khususnya buku-buku Islam
dan Nasionalis Timur, besar kemungkinan ia telah bertemu dan berinteraksi dengan
beberapa hadis dalam buku tersebut. Hal ini terbukti dari percakapan Soekarno
dengan Ahmad Hassan yang menyebutkan bahwa Soekarno sudah mengetahui
bahwa banyak hadis lemah yang tersebar di masyarakat, bahkan ada yang palsu.
“Dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang “jalankan” hadis
yang daif dan palsu. Karena hadis-hadis yang demikian itulah, maka
ketakhayyulan, bid’ah-bid’ah, anti-rasionalisme, dan lain-lain.”68
Penegasan Soekarno atas hadis-hadis lemah dan palsu ini menunjukkan
bahwa Soekarno telah berinteraksi dengan hadis saat membaca buku-buku tersebut.
Bahkan pada saat ia meminta dikirimkan kitab hadis Bukhari maupun Muslim
kepada Ahmad Hassan, dalam suratnya tertanggal 25 januari 1935, Soekarno telah
mampu menyebutkan beberapa hadis, seperti “Dunia bagi Nasrani dan Akhirat bagi
68 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, Islam Sontoloyo, h. 13.
63
Muslim”, serta “Satu jam bertafakkur adalah lebih baik dari pada beribadah satu
tahun”.69
Namun, kesadaran Soekarno dalam membaca dan memahami hadis sahih
mulai terjadi pada saat ia berdiskusi dengan Ahmad Hassan. Bahkan ia meminta
Ahmad Hassan untuk mengirimkan kitab hadis Bukhari dan Muslim yang
berbahasa Indonesia maupun berbahasa Inggris. Sayangnya, Ahmad Hassan
sepertinya tidak mengirimkan dua kitab yang diminta Soekarno tersebut. Hal ini
terbukti dari surat balasan Soekarno kepada Ahmad Hassan beberapa bulan setelah
surat pertama, yakni saat meminta dikirimkan kitab Bukhari dan Muslim, tepatnya
dalam surat yang bertanggal 26 Maret 1935.70 “Saya belum ada Bukhari dan
Muslim yang bisa baca. Betulkah belum ada Bukhari Inggris? Saya pentingkan
sekali mempelajari hadis.”71
Walaupun keinginannya untuk segera memiliki Bukhari dan Muslim urung
terlaksana, Soekarno tidak menyerah begitu saja. Ia kemudian meminta kepada
Ahmad Hassan kitab hadis lain sesuai daftar (katalog) buku-buku yang dimiliki
Ahmad Hassan. Di antara kitab hadis yang ia minta sebagai pengganti kitab Bukhari
dan Muslim adalah kitab Jawāhir al-Bukhāri, serta Keterangan Hadis Mi’raj yang
ingin ia bandingkan dengan pendapat Essad Bay dan juga pendapatnya sendiri.72
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Soekarno mendapatkan kitab-
kitab yang ia minta. Hal ini ia abadikan dalam suratnya yang bertanggal 17 Juli
1935.
69 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, Islam Sontoloyo, h. 11. Selengkapnya, mengenai
pelacakan sumber dan pembahasan hadis tersebut akan kami paparkan dalam pembahasan
selanjutnya. 70 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, Islam Sontoloyo, h. 13. 71 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, Islam Sontoloyo, h. 13. 72 Soekarno, “Surat-Surat Islam dari Endeh”, Islam Sontoloyo, h. 14.
64
“Pekerjaan saya sehari-hari, ialah membaca saja. Berganti membaca buku-
buku ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku yang mengenai Islam. Yang
belakangan ini, dari tangannya orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar
Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmu pengetahuan yang bukan Islam.”
Penuturan Soekarno dalam potongan surat tersebut menunjukkan bahwa
permintaannya atas buku hadis kepada Ahmad Hassan sudah terpenuhi. Dengan
buku-buku hadis tersebut, dan juga buku selain hadis, ia menghabiskan hari-harinya
di Endeh bersama anak dan istri. Setelah itu, Soekarno kemudian rajin menulis
pemikiran-pemikirannya dengan mengutip beberapa hadis.73 Selain itu, ia juga
lebih sering mengutarakan pendapatnya terkait hal-hal yang semestinya dilakukan
terhadap hadis dan kedudukan hadis dalam pemikirannya.74 Tulisan-tulisan
Soekarno inilah yang selanjutnya menjadi bahan diskusi antara ia dengan Ahmad
Hassan melalui surat-suratnya dari Endeh.
Jika Soekarno secara intensif mengenal hadis ketika berdiskusi dengan
Ahmad Hassan, tidak demikian dengan Natsir. Pelajaran keislaman yang telah ia
tempuh sejak kecil, telah mengenalkan Natsir kepada beberapa literatur hadis. Hal
ini bisa dilihat dari cara Natsir mengutip hadis dari pada Soekarno. Dalam beberapa
tulisannya, Natsir secara langsung menyebutkan sumber hadis yang ia kutip.75
73 Nampaknya, karena kiriman tersebut, Soekarno sangat mengagumi Bukhari. Bahkan dalam
sebuah kisah disebutkan bahwa Soekarno pernah meminta presiden Soviet, Khrushchev untuk
mencarikan makam Imam Bukhari sebelum ia berkunjung ke Soviet. Hal ini juga ditulis dalam buku
Dunia dalam Genggaman Bung Karno (2017), tentang perjumpaan penulis buku tersebut dengan
penduduk setempat terkait jasa-jasa Soekarno dalam pembangunan makam Imam Bukhari.
Sayangnya peran Soekarno atas pemugaran makam Imam Bukhari ini masih belum bisa dipastikan
kebenarannya. Sejarawan, Asvi Warman Adam pun meragukan kisah ini karena tidak ada sumber
tertulis yang cukup otoritatif yang mendokumentasikan hal ini. Beberapa sumber yang berkembang
saat ini dinilai janggal. Lihat: https://tirto.id/menguji-kebenaran-kisah-sukarno-menemukan-
makam-imam-bukhari-cFjT, diakes pada 17 April 2018. 74 Pemikiran-pemikiran Soekarno terkait kedudukan hadis ini akan kami jelaskan lebih rinci
pada pembahasan selanjutnya. 75 Hal ini bisa dilihat dalam beberapa tulisannya. Salah satunya dalam artikelnya yang berjudul
“Sikap Islam Terhadao Kemerdekaan Berfikir”. Dalam salah satu bagian tulisan tersebut Natsir
menyebutkan secara jelas sumber hadis yang ia kutip. Misalnya, ia menyebutkan H.s.r. Iraqi dan
Asbahani. Lihat: M. Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 145.
65
Dengan jelas ia menyebutkan arti hadis dengan sumber hadisnya. Hal ini tentu
berbeda dengan Soekarno yang lebih sering menyebutkan matn hadis dengan kata
“hadis” (bertanda kutip). Hal ini bisa jadi sebagai bentuk keraguan dan kehati-
hatian Soekarno atas hadis yang ia kutip.
Atas interaksinya dengan hadis jauh sebelum perpindahannya ke Bandung
dan bertemu dengan Ahmad Hassan, Natsir kemudian ditunjuk untuk aktif sebagai
bagian dari gerakan dakwah Persis yang selalu berpijak pada Alquran dan hadis.
Jika tidak mengerti hadis, tentu Natsir tak mungkin aktif dalam gerakan dakwah
tersebut, serta mampu untuk menjalankan dakwah yang cukup puritan itu. Bahkan
interaksinya dengan Ahmad Hassan sebenarnya hanya sebagai salah satu pelecut
semangat bagi Natsir untuk kembali membuka bacaan-bacaan keislaman yang
pernah ia lahap sebelumnya, termasuk fikih, hadis dan bahasa Arab. Terkait hal ini,
secara jelas disebutkan oleh Dzulfikriddin bahwa interaksi Natsir dengan Ahmad
Hassan menjadikan Natsir semakin memperdalam pengkajian agama yang dahulu
telah ia lakukan sejak berada di Solok,76 tepatnya, saat ia bersekolah di Madrasah
dan belajar fikih, hadis, serta bahasa Arab.
Namun secara tidak langsung, bisa dikatakan bahwa intensitas Soekarno dan
Natsir berinteraksi dengan hadis tidak bisa dilepaskan dengan Ahmad Hassan.
Ahmad Hassan memiliki peran penting dalam proses intensitas interaksi Soekarno
dan Natsir dengan Hadis. Melalui diskusinya terkait materi-materi keislaman
dengan Soekarno via “Surat-Surat dari Endeh”, Ahmad Hassan secara tidak
langsung menjadi “guru hadis” bagi Soekarno. Sedangkan bagi Natsir, Ahmad
Hassan dengan gerakan “kembali kepada Alquran dan Sunnah”-nya, juga secara
76 Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia, h. 20.
66
tidak langsung mendorong Natsir untuk lebih aktif kembali dengan literatur
keislaman, khususnya hadis.
Tab. 2. Genealogi Hadis Soekarno dan Natsir
C. Hadis Dalam Pandangan Soekarno dan Natsir
Soekarno melihat hadis tidak cukup hanya sebagai panduan melakukan
ibadah dan pedoman kehidupan sehari-hari. Ia berpandangan bahwa tidak semua
hadis bisa dijadikan pedoman sehari-hari. Soekarno mengatakan bahwa hanya hadis
autentik yang bisa dijadikan pedoman.77 Hal ini bisa dilihat ketika Soekarno
meminta kepada Ahmad Hassan kitab Ṣaḥīḥ Bukhari maupun Muslim. Dalam
permintaanya itu, Soekarno beralasan bahwa ia perlu membaca hadis-hadis yang
disebut sahih dalam dua kitab sahih tersebut. “Saya perlu kepada Buchari atau
Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih.”78
77 Autentik yang disebut Soekarno adalah ṣaḥīḥ dalam istilah musthalah hadis. 78 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
Hadis
Soekarno Natsir
Ahmad
Hassan
Buku-Buku Keislaman
yang ia baca
Materi-materi Sekolah
Madrasah di Solok
67
Dari pernyataan Soekarno di atas menunjukkan bahwa hadis sahih merupakan
sebuah hal yang sangat diperlukan untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan agama. Bahkan menurut Soekarno, penggunaan hadis-hadis daif dan palsu
dapat menjadikan peradaban dunia Islam semakin mundur, diliputi kekolotan,
takhayyul dan anti-rasionalisme.79 Soekarno juga secara tidak langsung ingin
menjelaskan bahwa dirinya ingin belajar Islam dari sumbernya yang autentik.
Bahkan ia berprasangka bahwa taklid dan tertutupnya pintu ijtihad merupakan hasil
dari tersebarnya hadis-hadis daif dan palsu.
Prasangka ini belum diketahui secara jelas apakah Soekarno membaca hadis-
hadis yang berpotensi menjadikan tersebarnya taklid dan tertutupnya pintu ijtihad
sekaligus mengetahui kedaifan hadis tersebut ataukah tidak. Akan tetapi dalam
suratnya kepada Ahmad Hassan tertanggal 25 Januari 1935,80 Soekarno
menjelaskan bahwa ia pernah membaca tulisan dari “salah seorang pengenal Islam
bangsa Inggris” yang menyebutkan bahwa hadis-hadis daif merupakan sumber
kemunduran Islam. Sayangnya, ia tidak melanjutkan tulisannya tersebut hingga
menunjukkan pada kata-kata bahwa taklid dan tertutupnya pintu ijtihad juga
termasuk akibat dari tersebarnya hadis-hadis daif dan palsu.81 Dari surat tersebut
menunjukkan bahwa prasangka Soekarno terkait tertutupnya pintu ijtihad dan
tersebarnya taklid merupakan murni prasangka Soekarno.
Bahkan bagi Soekarno, setelah membaca bahwa masih terdapat beberapa
hadis daif dalam kitab al-Bukhari, penelitian hadis yang telah dilakukan oleh ulama
79 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 13. 80 Surat ini bisa ditemukan dalam buku Islam Sontoloyo dan Di Bawah Bendera Revolusi Jilid
I. Surat tersebut termasuk dalam 81 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
68
terdahulu terkait kesahihan sebuah hadis, tidak perlu dipercaya begitu saja. Karena
menurutnya, human report tidak bisa absolut.
“Saya punya keyakinan yang dalam bahwa kita tidak boleh mengasihkan
harga yang mutlak terhadap hadis. Walaupun menurut penyelidikan ia
bernama sahih, human report (laporan dari manusia) tidak bisa absolut;
absolut hanyalah kalam ilahi.”82
Pernyataan Soekarno tersebut juga sekaligus menunjukkan bahwa ia menolak
hasil dari penelitian hadis yang absolut, termasuk hadis-hadis yang dianggap sahih
oleh Bukhari dan Muslim. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penelitian hadis
terhadap hadis-hadis yang diteliti dan diputuskan sebagai sahih oleh para ulama’.
Penelitian terhadap hadis-hadis yang telah divonis sahih masih diperlukan karena
tidak ada yang absolut dalam penelitian manusia. Soekarno memercayai bahwa
yang absolut adalah hanyalah kalam Ilahi, Alquran.83
Selain berpendapat demikian, Soekarno juga menekankan pemaknaan
kembali terhadap hadis-hadis yang sahih sesuai dengan konteks keislaman di masa
sekarang. Karena Soekarno menganggap bahwa Alquran dan hadis merupakan dua
hal yang harus tetap ada selamanya. Ia sering menyebut keduanya dengan istilah:
“Teguh selamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas.” Yang artinya, baik
Alquran dan hadis merupakan sumber keislaman yang tidak akan dapat digantikan
oleh apapun. Eksistensi keduanya merupakan sesuatu yang harus dipegang teguh
dan abadi.
Namun, bagi Soekarno, masyarakat selalu berubah, masyarakat selalu
berevolusi.84 Karena sabda-sabda Rasulullah tersebut disampaikan kepada
masyarakat yang hidup di abad ketujuh Masehi, sedangkan masyarakat yang hidup
82 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 13-14. 83 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 14. 84 Soekarno, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, Islam Sontoloyo, h. 177.
69
di zaman setelahnya, bahkan pada masa Soekarno, tentu berbeda. Oleh karena itu
perlu dilakukan kontekstualisasi terhadap hadis dengan berangkat dari substansi
hadis tersebut.85
Hal ini menunjukkan bahwa Soekarno bukanlah orang yang terlalu tekstual
dalam menilai hadis. Ia berusaha untuk mengontekstualisasikan hadis yang ia baca
dengan realitas kehidupan di masanya. Ia memang percaya bahwa hadis dalam segi
eksistensi harus abadi, tetapi ia juga sangat meyakini bahwa perlu memaknai
kembali hadis-hadis yang diucapkan pada abad ketujuh Masehi tersebut dengan
realitas kehidupan di masa ia hidup. Karena kehidupan masyarakat di zaman Rasul
dengan kehidupan setelahnya sangat berbeda. Sesungguhnya yang menjadikan
sebuah hadis abadi adalah substansinya, karena jika hanya memperhatikan luarnya,
justru akan menjadikan hadis, sebagai ucapan orang yang ia anggap sebagai orang
yang superhebat ini,86 akan tergerus oleh zaman.
Soekarno juga menganggap bahwa adanya konflik sektarian yang terjadi
karena orang-orang tidak mampu memahami hal tersebut. Sehingga ada beberapa
orang yang merasa memikul kewajiban sebagai penjaga sunnah, mudah tersinggung
dengan pendapat orang lain, begitu pun sebaliknya.
“Sayang sekali, ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, sebab
umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidak selalu ada
konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya
memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Alquran dan Sunnah itu. Dan
tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat
dari air, setengah mati megap-megap.”87
85 Mochammad Nur Arifin, Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran, (Jakarta: Mizan, 2017), h.
68-69. 86 Soekarno, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, h. 177. 87 Soekarno, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, h. 177.
70
Sehingga, bagi Soekarno, Islam tidak hanya sebagai agama, melainkan
sebagai penuntun hidup dan pengurai masalah bagi para umatnya. Karena nilai-nilai
atau substansi yang terkandung dalam sabda Nabi-nya bisa selalu berguna dan abadi
di kehidupan umatnya.
Terkait otentitas hadis, Natsir nampaknya sependapat dengan Soekarno.
Sebagai seorang anggota Persis yang mendakwahkan “Alquran dan Sunnah”,88
Natsir jelas memahami betul pentingnya mengambil sebuah dasar dari sumbernya
yang autentik. Natsir malah sangat menganjurkan kepada siapapun untuk
memeriksa setiap hadis yang dijadikan pedoman. Terlebih, ia sangat menekankan
terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan akidah.89
“Amat awas, teliti dan kritis pula Abul-Hudzail terhadap hadis dan rawi-
rawinya, yang berhubung dengan masalah akaid, yakni yang tak dapat
diperiksa dengan pancaindera dan akal kita. Barisan rawi yang tak putus-
putus, katanya, walaupun panjang sekalipun, tidak menjadi jaminan atas
kebenaran hadis.”90
Dari ungkapannya tersebut, Natsir ingin menunjukkan bahwa banyaknya
perawi tidak secara otomatis menjadikan sebuah hadis menjadi sahih. Natsir juga
ingin mengatakan bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan sesuatu yang tidak
masuk akal tidak bisa dipercayai begitu saja. Perlu dilakukan penelitian dan
pengamatan terhadap hadis tersebut. Walaupun tidak secara jelas Natsir
menyebutkan cara menelitinya. Namun bisa disimpulkan bahwa ia jelas-jelas
sangat berpegang teguh pada hadis yang sahih.
88 Walaupun harus dicek dan diteliti kembali beberapa dasar hadis yang dikemukakan Natsir
memang ṣaḥīḥ atau tidak. Untuk itu akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya terkait takhrīj
hadis-hadis yang digunakan Natsir, dan juga Soekarno serta meneliti keṣaḥīḥannya. 89 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 114. 90 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 114.
71
Keteguhan Natsir tersebut juga didukung dengan beberapa tulisannya ketika
membantah Soekarno terkait taklid kepada Imam Mazhab Empat. Natsir ingin
menunjukkan bahwa pedoman-pedoman Imam Mazhab dalam menentukan hukum
adalah hadis yang sahih, sehingga, bagi Natsir, kita tidak boleh menyalahkan Imam
Mazhab. Karena Imam Mazhab tidak pernah memerintahkan untuk bertaklid buta
kepada mereka. Mereka justru menghimbau kepada para pengikutnya untuk
meneliti hukum-hukum yang telah mereka cetuskan, apakah berdasar pada hadis
yang sahih atau tidak. Jika tidak, maka mereka menghimbau untuk menolaknya.91
“Perhatikan fatwa Imam Sjafii. Tatkala ia berfatwa: “Apabila sah kabar (dari
Nabi) yang menyalahi mazhabku, maka turutlah kabar itu, dan ketahuilah,
bahwa itulah mazhabku!”92
Pengutipan kaul Imam Syafii oleh Natsir tersebut menjadi bukti bahwa Natsir
ingin pembacanya mengetahui bahwa jika ada sebuah hukum yang dirumuskan oleh
Imam Mazhab, jika bertentangan dengan sebuah hadis sahih maka boleh ditolak.
Sebaliknya, yang diterima adalah hadis sahih tersebut, walaupun bertentangan
dengan fatwa Imam Mazhab.93
91 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 152-153. 92 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 152-153. 93 Kutipan Natsir atas pendapat Imam as-Syafii ini sebenarnya secara lengkap sebagai berikut:
ائط إ ربوا بقوحل الح ديحث فاضح هب وإذا صح الح ديث ف هو مذح ذا صح الح “Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka
campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”
Sebenarnya, beberapa Ulama pernah menjelaskan secara rinci maksud dari ungkapan Imam
Syafii tersebut. Salah satunya, Imam al-Nawawi dalam Syarh Muhadzzab menjelaskan
bahwa ucapan Imam Syafi’i tersebut hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid
mazhab, dengan syarat bahwa ia harus yakin bahwa Imam Syafi’i belum mengetahui hadis
tersebut atau tidak mengetahui status kesahihannya. Menurut al-Nawawi, hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Imam Syafi’i dan buku murid-muridnya. Al-Nawawi
juga melanjutkan bahwa hal ini merupakan syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang
yang mampu memenuhinya. Syarat ini ditetapkan karena Imam Syafi’i sering kali
meninggalkan sebuah hadis yang ia jumpai akibat kecacatan yang terdapat dalam hadis
tersebut,mansukh, ditakhṣiṣ, ditaʻwil, atau sebab-sebab lainnya. Lihat: Abu Zakariya Muhyī
al-dīn al-Nawawī, al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), j. 1, h. 64.
72
Dalam segi pemahaman hadis, Natsir mengambil sisi yang berbeda dengan
Soekarno. Dalam memahami hadis, Natsir terlebih dahulu membagi hadis menjadi
dua, 1) hadis yang berkaitan dengan agama; 2) hadis yang berkaitan dengan dunia.
Dengan dua pembagian tersebut, Natsir melakukan penyikapan yang berbeda.
Terhadap hadis yang berkaitan dengan agama (ia menyebutnya dengan dien), maka
ia melakukan dua penyikapan: Pertama, jika hadis tersebut tidak dijelaskan tujuan
dan sebabnya (Natsir menyebutnya dengan “maknanya tidak ma’qul dengan
illatnya”), maka harus dilakukan sesuai dengan yang tercantum dalam nash hadis
tersebut.
“Perintah yang macam ini, ialah seperti salat, puasa dan yang sebangsanya,
yang semua itu adalah termasuk golongan dien, yang kita harus pulangkan
kepada Rasul, yakni kita terima dengan “bilakaifa” dan kita amalkan persis
sebagaimana yang ditetapkan oleh Sjari’, yang punya perintah. Tak ada hak
kita untuk mengubah atau mengurangi dan menambahnya dengan akal kita
sendiri.”94
Atas kategori pertama ini, Natsir berpegang teguh pada sebuah kaidah fikih
yang berbunyi, “al-aṣlu fi al-asyyā`i al-taḥrīm”.95 Hal ini disebutkan juga dalam
tulisannya:
“Dalam dien atau ibadah ini semua terlarang, kecuali yang sudah disuruh.”96
94 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 149. 95 Pendapat ini sebenarnya lebih khusus merupakan kaidah fikih yang dipegang oleh Imam
Abu Hanifah. Sedangkan beberapa ulama berpendapat lain, Imam al-Syafi’i misalnya, menyebutkan
bahwa sebenarnya al-aṣlu al-ibāḥah. Lihat: Abdurrahman al-Ahdal, al-Mawāhib al-Saniyyah fi
Syarh al-Farāiḍ al-Bahiyyah, (t.k: Dar al-Rasyid, t.t), h. 191.
Lebih lanjut, hal ini dijelaskan oleh Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ al-Fatawa bahwa “Inna al-aṣla fi al-‘Ibadati al-Tauqīf, fa lā yusyrāʻu minhā illā mā syaraʻahu Allah Taʻālā” (sesungguhnya
yang asal dalam ibadah adalah tauqif (diturunkan langsung oleh Allah SWT), tidak disyariatkan
untuk melakukannya kecuali telah disyariatkan oleh Allah SWT). Lihat: Ibnu Taymiyah, Majmū’
al-Fatāwā, (t.k: Dar al-Wafa, 2005), j. 29, h. 29. 96 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 149.
73
Hal ini jelas menunjukkan bahwa Natsir lebih terpengaruh dengan kaidah
fikih ala Abu Hanifah dan Ibnu Taymiyah dalam persoalan memahami hadis yang
berkaitan dengan ibadah.
Kedua, jika hadis tersebut berkaitan dengan anjuran agama yang bisa dinalar
akal (ma’qul menurut bahasa Natsir) dan juga disebutkan illatnya dalam beberapa
naṣ, seperti contoh membantu anak yatim dan orang-orang terlantar, berbakti
kepada kedua orangtua, atau hal-hal lain yang diperintahkan oleh agama, akan
tetapi agama tidak menyebutkan caranya, maka cara melakukannya diserahkan
kepada manusia, asalkan substansi dari perintahnya bisa tercapai. Hal ini yang
disebut Natsir dengan “zat perintahnya bersifat dieny, sedangkan cara
mengamalkannya bersifat “Dun-jawy”.97 Bagi Natsir, hadis yang termasuk dalam
kategori kedua inilah yang bisa dikontekstualisasikan.
“yakni yang pokok perintahnya dari agama, tapi cara-cara melakukan
perintah ini tidak diatur oleh agama melainkan diserahkan kepada kita, asal
tercapai yang dimaksud oleh perintah itu menurut yang sesuai dengan dunia
atau zaman kita masing-masing.”98
Adapun jika hadis tersebut tidak berkaitan dengan agama (Dun-jawy, dalam
bahasa Natsir), yakni hal-hal yang tidak diatur dalam agama, maka kita diberikan
kebebasan untuk mengkreasikannya sendiri. Bahkan, bagi Natsir, akal
diperintahkan oleh Allah untuk berperan dan bekerja keras sebebas-bebasnya.99
Dalam hal ini, Natsir berpegang pada kaedah fikih, “al-Aṣlu fī ghairi al-‘ibādah al-
ibāhah”.100
97 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 149. 98 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 149. 99 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 150. 100 Ibnu Taymiyah, Majmū’ al-Fatāwā, j. 29, h. 30.
74
“Dalam urusan keduniaan yang 100% ini, yang mungkin ada dan mungkin
timbul dengan atau tidak dengan aturan agama, pada dasarnya semuanya
dibolehkan, kecuali yang sudah dilarang oleh agama.”101
Salah satu contoh yang diberikan oleh Natsir, adalah bahasa Arab yang
digunakan Rasulullah saat melakukan khutbah Jumat. Natsir mengritik orang-orang
pada masanya yang tidak mau menggunakan bahasa daerahnya dalam
menyampaikan khutbah dengan alasan mengikuti Rasul yang berkhutbah dengan
bahasa Arab. Padahal, menurut Natsir, Rasulullah menggunakan bahasa Arab
karena para jamaahnya merupakan orang berbahasa Arab. Menurut Natsir, jika akal
mereka digunakan, seharusnya khutbah disampaikan dengan bahasa daerahnya.
Karena Rasul menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab agar mudah difahami
oleh orang Arab.102
Inilah yang membedakan antara Soekarno dan Natsir dalam memahami hadis.
Seokarno, dalam beberapa pernyataannya seolah ingin melakukan kontekstualisasi
terhadap semua hadis,103 sedangkan Natsir, dengan pendekatan kaidah fikihnya,
hanya melakukan kontekstualisasi terhadap kategori-kategori tertentu.
101 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 150. 102 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 150. 103 Padahal belum tentu demikian. Bisa jadi dalam beberapa hal, Soekarno sependapat dengan
kategorisasi yang dibuat oleh Natsir. Hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai pelacakan
hadis-hadis yang digunakan oleh keduanya dalam bab selanjutnya.
75
Tab. 3: Pandangan Soekarno dan Natsir terhadap hadis
Hadis Soekarno Natsir
Penggunaan hadis
sahih Setuju Setuju
Pemahaman hadis Mengontekstualisasikan
isi hadis agar tetap hidup
Memilah mana hadis
yang berkaitan dengan
agama (dien) dan
duniawi. Khusus hadis
yang berkaitan dengan
dien, harus dilakukan
sesuai yang tercantum.
Selain itu, bisa
dikontesktualisasikan.
76
BAB IV
HADIS-HADIS REFERENSI
PEMIKIRAN KEAGAMAAN SOEKARNO DAN NATSIR
Soekarno dan Natsir memang tidak pernah menulis dengan matan hadis yang
berbahasa Arab saat mengutip sebuah hadis, khususnya dalam buku Islam
Sontoloyo dan Islam dan Akal Merdeka sebagaimana yang menjadi fokus penelitian
ini. Soekarno hanya menyebut “kata hadis”, “kata nabi” dan lain sebagainya. Begitu
juga dengan Natsir, walaupun terkadang Natsir menjelaskan sumber hadis yang ia
kutip. Keduanya sering mengutip hadis dengan maknannya (bi al-maʻna) dan hanya
dikutip artinya saja.
Untuk itu, dalam bab ini, penulis akan mengumpulkan terlebih dahulu hadis-
hadis yang dikutip oleh Soekarno dan Natsir. Setelah itu, penulis mentakhrijnya
dengan kata kunci yang telah penulis terjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di antara
lima cara mentakhrij yang dirumuskan oleh Mahmūd Ṭaḥḥān dalam Uṣūl al-Taḥrīj
wa Dirāsah al-Asānīd, penulis memilih cara kedua, ketiga dan keempat. Yaitu, al-
takhrīj ‘an ṭarīqi maʻrifati awwali lafdzin min matni al-ḥadīts (takhrīj dengan cara
mengetahui awal lafaz matan hadis), al-takhrīj ‘an ṭarīqi maʻrifati kalimatin yaqillu
daurānuhā ‘ala al-alsinah min ayyi juz’in min matn al-ḥadīs (takhrīj dengan cara
mengetahui kalimat yang sedikit penggunaannya dari bagian manapun dalam matan
hadis), al-takhrīj ‘an ṭarīqi maʻrifati mauḍūʻi al-ḥadīts (takhrīj dengan cara
mengetahui tema hadis).1
1 Mahmūd Ṭaḥḥān, Uṣūl al-Takhrīj, h. 35.
77
Setelah proses takhrij selesai, penulis mengumpulkan hadis-hadis yang
ditemukan dalam al-maṣdar al-aṣli2 sesuai dengan metode yang dilakukan oleh al-
Iraqi, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama. Kemudian penulis mencoba
menampilkan beberapa pendapat ulama dalam kitab Syarh dan membandingkannya
dengan pemahaman dan penggunaan Soekarno ataupun Natsir dengan tersebut.
A. Hadis-Hadis dalam Islam Sontoloyo
a. Dunia bagi serani, akhirat bagi muslim3
Secara lafadz, penulis sama sekali tidak menemukan hadis yang sesuai.
Namun secara makna, penulis menemukan hadis yang menjelaskan bahwa bagi
seorang muslim, dunia merupakan penjara, sedangkan bagi orang kafir, dunia
merupakan surga.
2 Sumber asli adalah kitab-kitab hadis yang bisa dijadikan pedoman saat kita men-takhrīj hadis.
Ṭaḥḥān menyebutkan tiga sumber: Pertama, Kitab hadis yang ditulis oleh muallifnya, berdasarkan
hasil talaqqi (pertemuan secara langsung/face to face) muallif tersebut dengan guru-gurunya yang
sampai sanadnya ke Rasulullah Saw. Adapun kitab-kitab yang termasuk kategori ini adalah: Kutub
as-Sittah (Ṣaḥīḥ Bukhari, Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan an-Nasā’ī, Sunan Ibn Majah, Sunan Abi Dawud dan
Sunan At-Tirmidzi), Muwattha Imam Mālik, Mustadrak al-Hakim, Muṣannaf Abdur Razak, Musnad
Ahmad, dan kitab-kitab lain yang sejenis. Kedua, kitab-kitab hadis yang mengikuti kitab-kitab hadis sebelumnya (dalam poin pertama),
seperti kitab-kitab yang mengumpulkan beberapa hadis dari kitab-kitab hadis dalam kategori
pertama, seperti kitab al-Jam’u Bainas Shahihain karya al-Humaidi; atau kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis berdasarkan ujung sanad hadis (aṭrāf) sebagian kitab hadis di poin pertama,
seperti Tuḥfah al-Asyraf bi Ma’rifah al- Aṭrāf karya al-Mizi; atau kitab-kitab yang ditulis dengan
cara meringkas dari kitab pada kategori pertama, seperti kitab Tahdzib Sunan Abi Dawud karya al-
Mundziri. Jika secara sekilas, kita melihat bahwa al-Mundziri membuang sanad hadis-hadis dalam
kitabnya, sebenarnya secara hukum, sanad tersebut masih ada. Bagi yang ingin melihat sanad dari
hadis tersebut, bisa langsung merujuk ke kitab Sunan Abi Dawud.
Ketiga, kitab-kitab yang bergenre selain hadis. Seperti kitab fikih, tafsir, sejarah, yang
menyebutkan atau menyisipkan hadis, baik untuk penguat maupun motif lain. Namun dengan syarat, bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh penulisnya sendiri, dengan sanad miliknya sendiri yang
sampai hingga Rasulullah Saw., bukan mengutip hadis melalui sanad orang lain. Contoh kitab-kitab
yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsīr al-Ṭabārī dan Tārikh al-Ṭabārī yang merupakan
kitab tafsir dan sejarah karya Imam at-Thabari, begitu juga dengan kitab fikih karya Imam as-Syafi’i
yang berjudul al-um. Lihat: Mahmūd Ṭaḥḥān, Uṣūl al-Takhrīj, h. 10-11. 3 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
78
بة بن ث نا ق ت ي ث نا عبد العز سعيحد راوردى د حد ن أبيه عن أب ع عن العالء يز ي عن الدن يا سجن :ملسو هيلع هللا ىلصهري رة قال قال رسول الل .المؤمن وجنة الكافر الد
Artinya, “Telah bercerita Qutaibah ibn Saʻīd kepada kami (Imam
Muslim), ia berkata, telah bercerita Abdul ‘Azīz, yaitu al-Darāwardī
dari al-ʻAlā’ dari ayahnya dari Abu Hurairah berkata bahwa
Rasulullah Saw. bersabda: Dunia merupakan penjara bagi muslim dan
surga bagi orang kafir.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya,4 Ibnu
Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya,5 Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya,6 al-Hakim dalam
al-Mustadrāk-nya,7 al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr-nya,8 Ibn Mājjah dalam
Sunan-nya,9 dan Imam Aḥmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya.10 Hadis tersebut
sahih karena diriwayatkan oleh Muslim.
Beberapa ulama menjelaskan maksud tersebut, salah satunya adalah Imam al-
Nawāwī dalam al-Minhāj. Al-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kata sijn dala hadis tersebut adalah mamnū’ min al-syahwah al-muḥarramah, yakni
dilarang untuk mengikuti keinginan yang terlarang. Hal ini tentu berbeda dengan
kafir yang merasakan di dunia seperti di surga, karena diliputi berbagai
kenikmatan.11
Dalam Faiḍul Qadir, al-Munawī mengutip cerita tentang Ibn Ḥajar al-
Asyqalānī yang menjelaskan pemahaman hadis tersebut kepada seorang Yahudi.
4 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 8, h. 210. 5 Ibn Mājjah al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), J. 4, h. 158. 6 Muḥammad ibn ‘Isā al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Dār al-Iḥyā’ al-Turāts al-ʻArābī,
t.t.), j. 4, h. 562. 7 Al-Ḥākim al-Naisābūrī, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1990), j. 3, h. 699. 8 Abu al-Qāsim al-Ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Mosul: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hukm,
1983), j. 6, h. 236. 9 Ibn Mājjah, Sunan ibn Mājjah, j. 2, h. 1378. 10 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Aḥmad ibn Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurṭubah, t.t.),
j. 2, h. 323. 11 Abu Zakariyya Yahya al-Nawāwī, al-Minhāj Syarh Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār Iḥyā’ Turāts
al-‘Arābī, 1392 H), j. 18, h. 93.
79
Ibn Ḥajar mengatakan bahwa Yahudi tersebut boleh saja merasa hidup di dunia
seperti di surga. Akan tetapi kelak setelah meninggal, orang Yahudi tersebut akan
mendapatkan azab yang sangat pedih dari Allah Swt. Mendengar penjelasan Ibn
Ḥajar tersebut, orang Yahudi itu kemudian masuk Islam.12
Soekarno menilai bahwa hadis ini menjadi sebab kejumudan umat muslim. Ia
mengamati bahwa selama ini orang menjadikan hadis tersebut sebagai dasar untuk
tidak ingin memperoleh dunia (harta) karena itu diperuntukkan umat Nasrani.
Sedangkan umat Islam lebih memilih sabar dengan kemiskinan dan kekurangan
yang ia derita. Bahkan Soekarno menilai bahwa hadis ini merupakan benih dari
timbulnya bencana yang berupa kejumudan dan kemunduran Islam, tentunya jika
dibaca secara tekstual saja.13
Pendapat Soekarno ini secara tidak langsung sesuai dengan syarh yang
diberikan oleh al-Nawāwī dan al-Munāwī. Bahkan, karena hadis ini dinilai sebagai
biang kemunduran Islam, Soekarno menganggap bahwa hadis ini tergolong hadis-
hadis yang daif.14 Walaupun pada hakekatnya, hadis ini sahih karena tercantum
dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim. Hal ini wajar, karena Soekarno tidak membaca hadis ini
dari kitab Ṣaḥīḥ Muslim secara langsung, melainkan hasil bacaannya atas kutipan
hadis yang dicantumkan dalam sebuah tulisan seseorang yang ia sebut sebagai
“pengenal Islam bangsa Inggeris”.15
12 Zainuddin al-Munawī, Faidh al-Qadīr, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), j. 3, h.
730. 13 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 14 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 15 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
80
b. Satu jam bertafakur lebih baik daripada beribadah satu tahun16
Dalam melacak hadis ini, penulis menggunakan kata kunci “tafakkaru” yang
merupakan terjemahan bahasa Arab dari kata “bertafakur”. Setelah dilacak, penulis
sama sekali tidak menemukan hadis yang mirip akhirnya dengan hadis tersebut.
Penulis hanya menemukan dua redaksi, yakni menggunakan kata lailah (satu
malam) dan alfi sanatin (seribu tahun), bukan menggunakan kata sanatan (satu
tahun).
1) Satu jam bertafakur lebih baik daripada beribadah satu malam.
د الصفار، حدثنا سعدان إساأخبن أبو السي بن بشران، أخبن ن نصر، ب عيل بن ممرداء، ة، عن سامل بن أيب اجلعد، عن حدثنا أبو معاوية، عن العمش، عن عمرو بن مر أم الد
رداء قال: ت فكر ساعة خير لة من قي عن أيب الد ام لي
Artinya, “Telah memberi kabar Abu al-Ḥusain ibn Bisyrān kepada kami (al-
Baihāqī), ia berkata, telah memberi kabar Ismāʻil ibn Muhammad al-Ṣaffār,
ia berkata, telah bercerita Saʻdan ibn Naṣr, ia berkata, telah bercerita Abu
Muʻawiyah, dari Aʻmasy, dari Amr ibn Murrah dari Salim ibn Abī Jaʻd dari
Ummi al-Dardā’ dari Abu al-Dardā’ berkata: bertafakur satu jam lebih baik
daripada beribadah satu malam.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihāqī dalam Syuʻabu al-Īmān,17
Abu Dawud al-Sijistānī dalam al-Zuhd,18 Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd,19 dan
Abu Naim al-Asbahānī dalam Ḥilyatu al-Awliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiya’.20 Semua
riwayat tersebut melalui jalur Abu Darda’ secara mauqūf.21 Dalam riwayat Ibn
16 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 17 Abu Bakar al-Baihāqī, Syuʻabu al-Īmān, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), j. 1, h. 261. 18 Abu Dawud al-Sijistānī, al-Zuhd, (Halwan: Dār al-Misykāh, 1993), j. 1, h. 191. 19 Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, (t.k.: Dār Ibn Rajab, 2003), j. 1, h. 262. 20 Abu Naʻim al-Aṣbahānī, Ḥilyatu al-Awliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiya’, (Beirut: Dār al-Kutub,
1974), j. 1, h. 208. 21 Mauqūf adalah hadis yang merupakan perkataan atau perbuatan sahabat dan semacamnya.
Sedangkan mauqūf bukanlah hadis, melainkan atsar. Al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī, h. 184-185.
81
Ḥajar, hadis ini diriwayatkan melalui jalur Ibn ‘Abbas, juga secara mauqūf.22
Bahkan dalam riwayat Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, 23 hadis ini diriwayatkan
melalui jalur al-Hasan al-Bashri secara maqthu’.24
2) Satu jam bertafakur lebih baik daripada beribadah seribu tahun
م ي اه ر ب إ ن ب ي ل ا ع ن ث د ، ح د ح أ ن ب ح ال ا ص ن ث د ، ح هل م ن ب ر اه ط ن ب خ ، أ ر ص ن ن ب د ح أ ن ب خ أ د ع ا س ن ث د ، ح ن ا ك ر و ال ر ف ع ج ن ب د م ا م ن ث د ، ح يور اب س ي الن اق ح س إ ن ب م ي اه ر ب ا إ ن ث د ، ح ن ي و ز ق ال ة اد ب ع ن م ير خ ار ه الن و ل لي ال ف ال ت اخ ف ة اع س ر ك ف ت : ل و ق ي ك ال م ن ب س ن أ ت ع ، س ة ر س ي م ن ب .ة ن س ف ل أ
Artinya, “Telah memberi kabar Aḥmad bin Naṣr kepada kami (Ibn Ḥajar), ia
berkata, telah memberi kabar Ṭahir ibn Mullah, ia berkata, telah memberi
kabar Ṣālih ibn Ahmad, ia berkata, telah bercerita Ali ibn Ibrahim al-
Qazwainī, ia berkata, telah bercerita Ibrahim ibn Isḥaq al-Naisabūrī, ia
berkata, telah bercerita Muhammad ibn Jaʻfar al-Warkānī, ia berkata, telah
bercerita Saʻad ibn Maysarah ia berkata, aku mendengar Anas ibn Mālik
berkata: bertafakkur satu jam di malam dan siang yang berbeda lebih baik
daripada beribadah seribu tahun.”
Hadis ini diriwayatkan satu-satunya oleh Ibn Ḥajar dalam al-Gharāib al-
Multaqiṭah min Musnad al-Firdaus melalui Anas bin Malik secara mauqūf.25
Namun, dalam kitab Ihyā’ ʻUlūmi al-Dīn, Imam al-Ghazali meriwayatkan
hadis ini dengan redaksi “satu tahun”26 sebagaimana disebutkan oleh Soekarno.
Di antara redaksi matan “semalam”, “setahun” maupun “seribu tahun”
merupakan hadis daif, karena keduanya merupakan hadis mauqūf dan maqṭu’,
22 Ibn Ḥajar al-Asyqalānī, al-Gharāib al-Multaqiṭah min Musnad al-Firdaus, (Kairo: Dār al-
Kutub al-Miṣriyah, t.t.), j. 1, h. 1217. 23 Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, j. 1, h. 462. 24 Maqṭuʻadalah merupakan perkatan atau perbuatan tabiin dan semacamnya. Ini juga termasuk
atsar, dan bukan hadis. Al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī, h. 194. 25 Ibn Ḥajar al-Asyqalānī, al-Gharāib al-Multaqiṭah, j. 1, h. 1218. 26 Abu Hāmid al-Ghazālī, Ihyā’ ʻUlūmi al-Dīn, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, t.t), j. 4, h. 423.
82
bahkan Mahmūd Ṭaḥḥān menggolongkan mauqūf dan maqṭu’ sebagai hadis daif
karena termasuk saqṭ fi al-isnād, yakni hadis daif sebab terputusnya rawi.27
Al-Ghazālī menjadikan hadis tersebut sebagai salah satu landasan diselipkan
dalam bab Bayān Ḥaqīqah al-Fikr wa Tsamratihi (hakekat berfikir dan
manfaatnya). Pada bab tersebut al-Ghazālī menjelaskan terkait pentingnya berfikir.
Karena berfikir adalah permulaan dari setiap kebaikan, salah satunya adalah
bertambahnya ilmu. Al-Ghazālī juga menyebutkan bahwa intisari dari berfikir
adalah ilmu, ketika ilmu telah merasuk ke dalam hati, maka akan dapat merubah
perilaku hati, dan ketika perilaku hati telah berubah, maka akan dapat merubah
perilaku jasad.28 Inilah jawaban mengapa berfikir sesaat lebih baik daripada
beribadah satu bulan.
Namun Soekarno menilai lain. Hadis ini dianggap oleh Soekarno sebagai
hadis daif yang menjadi biang kemunduran. Pasalnya, dengan membaca hadis ini,
orang hanya akan berdiam diri dan hanya berfikir tanpa melakukan tindakan nyata,
bahkan hadis ini cenderung mengajak orang untuk memilih berfikir daripada
beribadah. Padahal beribadah, seperti shalat misalnya, adalah sebuah kewajiban.29
Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Soekarno menilai dan
memahami hadis ini secara tekstual, termasuk hadis pertama. Bahkan Soekarno
mendaifkan hadis ini hanya karena hadis ini dapat menjadi biang kemunduran
Islam.
27 Mahmūd Ṭaḥḥān, Taysīr Musṭalāh al-ḥadīts, h. 167 28 al-Ghazālī, Ihyā’ ʻUlūmi al-Dīn, j. 4, h. 426. 29 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
83
c. Mukmin harus lembek dan menurut seperti onta yang telah ditusuk
hidungnya30
Penulis menemukan sebuah hadis riwayat Ibn Mājjah dalam Sunan-nya yang
secara lafadz menjelaskan hadis tersebut. Hanya saja sebenarnya, redaksi hadis
tersebut lumayan panjang.
ث نا إساعيل بن بشر بن منصور ، وإسحاق ث ب راهيم السواق ، قال بن إ حد بد الرحن نا ع : حدلم ، عن عبد الرحن بن عمر حبيب عن معاوية بن صالح، عن ضمرة بن ،هدي بن م ، ي و الس
ع ال ها ،ة عليه وسلم موعظ ول هللا صلى هللا: وعظنا رس عربض بن سارية ي قولأنه س ذرفت من ها القلوب، ف قلنا : ي رسو نا؟ ف ، هذه لموعظة مود ع ، إن ل هللا العيون، ووجلت من ما ت عهد إلي
لها كن هاره : قد ت ركتكم على الب قال ها ب عدي ايضاء لي من يعش منكم ، ف هالكر إل ، ل يزيغ عن تم م ، ف عليكم فسيى اختالف ا كثي ا ضوا ، ع لمهدي ي ا الراشدين ، وسنة اللفاء ن سنت با عرف
ها بلن واجذ، وعليكم بلطاعة، وإن عب ا حبشياعلي ا المؤمن ، فإ د ثما قيد النف كاجلمل من ، حي ان قاد.
Artinya, “Telah berkata kepada kami (Ibn Majjah) Ismāʻīl ibn Bisyr ibn
Manṣūr dan Isḥāq ibn Ibrāhīm al-Sawwāq, mereka berdua berkata: telah
berkata kepada kami ‘Abd al-Raḥmān ibn Mahdīy, dari Muʻawiyyah ibn
Ṣāliḥ, dari Ḍamrah ibn Habīb, dari ʻAbd al-Raḥmān ibn ʻAmr al-Sulāmī,
sesungguhnya ia mendengar al-ʻIrbāḍ ibn Sariyyah berkata: Rasulullah telah
memberikan suatu nasehat kepada kami yang membuat mata berkaca-kaca,
serta membuat hati bergetar. Kemudian kami berkata, “Wahai Rasulullah,
ini adalah nasehat perpisahan, apa yang engkau amanahkan kepada kami?”
Kemudian Rasul bersabda, “Telah kami tinggalkan kepada kamu sekalian
jalan yang malamnya (terang) seperti siang. Tidak akan ada yang
menyimpang dari jalan tersebut setelahku kecuali orang yang hancur. Siapa
yang hidup di antara kalian, nantinya akan melihat banyak perbedaan. Maka
wajib bagi kalian untuk berpegangan dengan sunnahku yang engkau ketahui,
serta sunnah khulafā’ al-Rasyidīn yang dijanjikan. Maka berpeganglah
dengan teguh kepada sunnah tersebut. Dan wajib bagi kalian untuk taat,
walaupun seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya seorang mukmin
30 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11.
84
seperti unta yang dicocok hidung, kemanapun dia dibawa, ia akan
mengikuti.” (HR. Ibn Mājjah).31
Selain terdapat dalam kitab Sunan Ibn Mājjah, hadis tersebut juga bisa
ditemukan di kitab al-Mu’jam al-Kabīr karya al-Ṭabarānī,32 dan di kitab al-Amtsāl
fi al-Ḥadīts al-Nabawī karya Abu Syekh al-Aṣbahānī.33
Adapun secara kualitas, hadis ini diriwayatkan oleh orang-orang yang
kredibel (tsiqqah) dan muttaṣil. Beberapa rawinya, seperti Ismāʻīl ibn Bisyr ibn
Manṣūr merupakan orang yang tsiqqah,34 Isḥāq ibn Ibrāhīm al-Sawwāq juga orang
yang tsiqqah,35 ‘Abd al-Raḥmān ibn Mahdīy juga orang yang tsiqqah,36
Muʻawiyyah ibn Ṣāliḥ juga tsiqqah,37 Ḍamrah ibn Habīb tsiqqah,38 ʻAbd al-
Raḥmān ibn Amr al-Sulāmī merupakan tabiʻīn yang tsiqqah,39 sedangkan al-ʻIrbāḍ
ibn Sariyyah merupakan sahabat yang bisa dipastikan ʻadalah-nya.40
Melihat kualitas perawi yang ada dalam sanad hadis tersebut beserta
ketersambungan sanadnya, maka hadis ini dinyatakan sahih. Hal ini juga dikuatkan
dengan pendapat al-Albānī dalam hāmisy di kitab sunan Ibn Mājjah.41
Namun, al-Hakim dalam al-Mustadrāk menyebutkan bahwa redaksi “Innama
al-Mu’minūn ka al-Jamāl..” merupakan mudraj (sisipan). Bahkan banyak ulama
31 Ibn Mājjah al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, (t.k.: Dār Ihyā’ al-Kutub al-ʻArābiyyah, t.t.), h.
16. 32 al-Ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, j. 18, h. 247. 33 Abu Syekh al-Aṣbahānī, al-Amtsāl fi ḥadīts al-Nabawī, (Bombay: Dār al-Salafiyyah, 1987),
h. 245. 34 Yusuf ibn ʻAbd al-Raḥmān al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl, (Beirut: Muassasah
al-Risālah, 1980), j. 3, h. 49. 35 Abu Hatim ibn Hibban menyebutkannya dalam kitabnya al-Tsiqqāt. Lihat: al-Mīzī, Tahdzīb
al-Kamāl, j. 2, h. 363. 36 Ibn Saʻad al-Baghdādī, Ṭabaqāt al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Kutub, 1990), j. 7, h. 218. 37 Syams al-Dzahabi, Siyar al-Aʻlām al-Nubalā’, (Beirut: Muassasah al-Risālah, t.t.), j. 13, h.
182. 38 al-Mīzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 13, h. 315. 39 Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣahabah, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʻIlmiyyah,
1415 H), j. 5, h. 184. 40 Abu ʻAmr al-Qurṭūbī, al-Istīʻāb fi Maʻrifāti al-Aṣḥāb, (Beirut: Dār al-Jīl, 1992), j. 3, h. 1238. 41 Lihat: al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, h. 16.
85
hadis yang menentang tambahan redaksi tersebut. Menurut al-Lalkā’ī, redaksi
tersebut tidak disebutkan dalam hadis Ḍamrah. Sehingga walaupun perawinya
kredibel, potongan redaksi matan tersebut daif.42
Soekarno menilai bahwa redaksi hadis ini adalah daif, bahkan Soekarno
mengatakan bahwa hadis ini merupakan biang kemunduran umat Islam,
sebagaimana dua hadis sebelumnya.43 Soekarno berpendapat bahwa hadis ini
menjadikan umat Islam pasrah, tunduk dan tidak mau bergerak untuk keluar dari
kemunduran.44
Hal ini wajar karena Soekarno mendaifkan sebuah hadis tertentu berdasarkan
apakah hadis tersebut menghambat kemajuan atau tidak, bukan hanya berdasarkan
kredibilitas perawinya.45
Di sisi lain, Soekarno mengatakan bahwa hadis ini merupakan biang dari
tersebarnya taqlid dan menutup pintu ijtihad. Kepatuhan yang disebutkan Soekarno
dalam hadis tersebut diarahkan kepada kepatuhan terhadap pendapat Imam Empat.
Kepatuhan inilah yang dianggapnya sebagai sebab kemunduran Islam. Karena
hanya menjadikan umat Islam terpenjara (unfree dalam bahasa Soekarno) dan bagai
mayat hidup. Bagi Soekarno, saat akal pikiran dibelenggu, di situlah kematian.46
“Bahwa dunia Islam adalah sangat mundur semenjak munculnya aturan
taqlid. Bahwa dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup, semenjak ada
anggapan bahwa pintu ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar. Bahwa
dunia Islam adalah mati geniusnya semenjak ada anggapan mustahil melebihi
42 Zayn al-Dīn Ibn Rajab al-Baghdādī, Jami’ al-‘Ulūm wa al-Hukm fi Syarh Khamsi ḥadītsan
min Jawāmiʻ al-Kalīm, (t.k.: Dār al-Salām, 2004), j. 2, h. 759. 43 Terkait hal ini, telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan hadis yang pertama. 44 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 45 Pendapat Soekarno ini bisa dilihat secara tidak langsung dari ungkapannya bahwa tidak
boleh serta merta menerima hadis sahih, karena menurutnya penelitian manusia bisa jadi salah.
Lihat: Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 13-14. 46 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 22.
86
imam madzhab empat. Jadi harus mentaqlid saja kepada tiap-tiap kiai atau
ulama.”47
d. Nabi sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita
sendiri perihal urusan dunia.48
Pernyataan yang disebutkan oleh Soekarno dengan menyebut Rasulullah
Saw. ini, sesuai dengan sebuah hadis riwayat Muslim berikut:
بة وعمررو الناقد ث نا أبو بكر بن أب شي ث نا و بكر ح قال أب ا عن السود بن عامر كاله حد دث نا حاد بن سلمة عن هش أسود بن عامر عن ثبت عن و ام بن عروة عن أبيه عن عائشة حدص ا فمر بم . قال فخرج شي" مل ت فعلوا لصلح لو " مر بقوم ي لق حون ف قال ملسو هيلع هللا ىلصأنس أن النب
."تم أعلم بمر دن ياكم أن "لوا ق لت كذا وكذا قال نخلكم. قاف قال ما ل
Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam Muslim) Abū Bakr ibn Abī
Syaibah dan ‘Amr al-Nāqid, keduanya dari Aswad ibn ʻĀmir, Abū Bakr
berkata: telah berkata kepada kita Aswad ibn ‘Āmir, ia berkata, telah
bercerita kepada kita Ḥammād ibn Salamah dari Hisyam ibn Urwah dari
ayahnya dari Aisyah, dan dari Tsabit dari Anas, bahwa sesungguhnya
Rasulullah Saw. lewat di tempat sebuah kaum yang sedang mengawinkan
kurmanya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Kalaupun kalian tidak
melakukan itu, pohon itu akan baik-baik saja.” Anas melanjutkan bercerita
bahwa kemudian pohon itu tidak matang buah kurmanya. Rasulullah
kemudian lewat kembali di daerah itu. Rasul bersabda, “Ada apa dengan
pohon kurma kalian?” Mereka kemudian berkata, “Bukankah katamu seperti
ini dan seperti ini?” Rasul Saw. pun bersabda, “Kalian lebih mengerti
urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)49
Karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, maka penulis menghukumi
hadis tersebut sebagai hadis sahih. Selain riwayat Muslim di atas, ada juga beberapa
riwayat yang menjelaskan matan yang serupa. Di antaranya adalah Imam Ahmad
dalam Musnad-nya, namun ada beberapa tambahan redaksi dalam matannya.
47 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 23. 48 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 49 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95.
87
علم به، فإذا كان ن شيءر من أمر دن ياكم فأن تم أ إذا كاه وسلم: "ف قال رسول هللا صلى هللا علي "نكم فإل من أمر دي
Artinya, “Rasulullah Saw. bersabda, “Jika ada sesuatu yang berkaitan
dengan urusan dunia, maka kalian lebih tahu. Dan jika ada sesuatu yang
berkaitan dengan urusan agamamu, maka akulah yang lebih tahu.” (HR.
Ahmad)50
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam al-Ṭaḥāwī dalam Syarḥ Musykil
al-Atsār,51 dan Imam al-Bazzār dalam Musnad-nya.52
Imam Muslim sendiri memasukkan hadis tersebut dalam bab Wujūb al-
Imtitsāl mā Qālahu Syarʻan Dūna mā Dzakarahu ṣallallahu ʻAlaihi wa Sallam,
yakni kewajiban untuk menaati Rasulullah jika berkaitan dengan syariat, namun
jika berkaitan dengan dunia, maka boleh meninggalkan. Al-Nawāwī dalam al-
Minhāj menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan penjelas jika Rasul
mengatakan sesuatu pendapat yang berkaitan dengan dunia, maka itu adalah ijtihad
Rasul Saw., bukan merupakan tuntunan syariat. Sebaliknya, jika hal itu berkaitan
dengan tuntunan syariat, maka diwajibkan untuk mematuhinya.53
Sedangkan bagi Soekarno, hadis ini merupakan sikap permisif Rasul terhadap
kebaruan yang berkaitan dengan dunia. Hadis ini digunakan oleh Soekarno untuk
mengkritik orang-orang yang gampang memvonis orang lain kafir hanya karena
menggunakan produk dari barat. Soekarno juga mengkritik orang-orang yang
berusaha untuk menyalin 100% kehidupan dan cara-cara yang dilakukan Rasul
50 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1999), j. 20, h. 19. 51 Abū Jaʻfar al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1987), j. 4, h.
424. 52 Abū Bakr al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, (Madinah: Maktabah ʻUlm wa al-Hukm, 2009), j.
13, h. 355. 53 Abū Zakariyya al-Nawāwī, al-Minhāj Syarh Ṣaḥīḥ Muslim ibn Hajjāj, (Beirut: Dār Iḥya’
Turāts al-ʻArābī, 1392 H), j. 15, h. 116.
88
pada masanya.54 Padahal, bagi Seokarno, masyarakat senantiasa berubah, mengalir
dan dinamis.55 Dan Rasul membolehkan dan menyerahkan urusan dunia kepada
kita.
“Kita royal sekali dengan perkataan kafir. Kita gemar sekali mencap
segala barang baru dengan cap kafir. Pengetahuan barat kafir, radio dan
kedokteran kafir, pentalon dan dasi dan topi kafir, sendok dan garpu dan kursi
kafir, tulisan latin kafir, ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun
kafir. Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang
berkobar-kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan amal Islam yang
mengagumkan, tapi dupa dan korma dan jubah dan celak mata!”56
Nampaknya pada saat itu, Soekarno sedang melawan kelompok-kelompok
yang hanya melihat keislaman orang lain berdasarkan simbol-simbol yang dipakai.
Oleh Soekarno, semua simbol itu disebutkan, mulai dari dupa, jubah, dan celak
mata. Soekarno mengritik cara pandang keislaman seseorang yang seperti ini
dengan menggunakan hadis tersebut. Hal ini secara tidak langsung ingin
menyebutkan bahwa simbol-simbol tersebut bukanlah simbol keislaman, akan
tetapi simbol “dunia” yang ada pada masa Rasul hidup. Dan dengan adanya hadis
tersebut, Soekarno ingin mengatakan bahwa kita juga bisa menggunakan alat-alat,
pemikiran dan barang baru yang kita anggap lebih baik untuk kehidupan dunia kita.
Hadis ini juga menjadi alasan Soekarno untuk mengatakan bahwa kemajuan
Islam terjadi tidak hanya karena sesuatu yang wajib dan sunnah. Akan tetapi
kemajuan Islam terjadi karena sesuatu jaiz dan mubah (boleh) yang kuantitasnya
melampaui batas-batas zaman.57
Menurut Soekarno, kejayaan Islam yang pernah terjadi di masa lampau
sebenarnya karena sesuatu yang sama yang kita miliki juga, yakni Alquran dan
54 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 55 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 56 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 57 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 36.
89
sunnah. Hanya saja, orang zaman kejayaan Islam dahulu pandai mengambil
intisarinya.58
Hal ini juga disampaikan Soekarno kepada Ahmad Hassan melalui suratnya
untuk memberantas faham-faham yang sering mengafirkan dan tidak mengerti
mana yang haram dan mana yang mubah atau jaiz.
“Sesungguhnya, Tuan Hassan, sudah lama waktunya kita wajib
memberantas faham-faham yang mengafirkan segala kemajuan dan
kecerdasan itu, membelenggu segala nafsu kemajuan dengan belenggunya:
“ini haram, itu makruh”, padahal jaiz atau mubah semata-mata Insya Allah.”59
e. Satu Fihak ditempatkan di muka, dan satu fihak lagi di bagian belakang,
sebagai yang dicontohkan oleh Nabi.60
Hadis ini sebenarnya disampaikan Soekarno dalam rangka mengritik
pemakaian tabir sebagai batas tempat antara laki-laki dan perempuan dalam
pertemuan Muhammadiyah. Hadis tersebut sebagai salah satu solusi untuk menolak
penggunaan tabir tersebut, yakni cukup laki-laki berada di depan dan perempuan
berada di belakang.61
Penulis menemukan sebuah hadis tentang saf salat yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya. Dalam hadis tersebut dijelaskan mirip
dengan solusi yang ditawarkan oleh Soekarno, yakni barisan untuk laki-laki di
depan dan barisan perempuan ada di belakang.
ث نا جريرر عن سهيل ث نا زهي بن حرب حد : ملسو هيلع هللا ىلصسول الل ن أبيه عن أب هري رة قال قال ر ع حد ."ا صفوف الن ساء آخرها وشرها أول خي صفوف الر جال أولا وشرها آخرها وخي "
Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam Muslim) Zuhair ibn Ḥarb,
ia berkata, telah bercerita kepada kami Jarīr dari Suhail dari ayahnya dari
58 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 37. 59 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 37. 60 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 47. 61 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 46-47.
90
Abū Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Saf terbaik bagi
laki-laki adalah di depan, sedangkan yang paling buruk adalah di belakang.
Sedangkan saf terbaik bagi perempuan adalah di belakang, dan yang paling
buruk adalah di depan.” (HR. Muslim).62
Selain Imam Muslim, beberapa ulama juga meriwayatkan hadis ini. Di
antaranya, al-Ṭabarānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr63 dan al-Muʻjam al-Awsaṭ,64
Sunan Ibn Mājjah,65 Sunan Abū Dawūd,66 Sunan al-Dārīmī,67 Saḥīḥ Ibn
Ḥuzaimah,68Musnad Ahmad,69 Musnad al-Ṭayālisī,70dan beberapa kitab yang lain.
Imam al-Nawāwī dalam al-Minhāj menjelaskan bahwa perempuan
ditempatkan di belakang agar jauh dari laki-laki. Penempatan ini dimaksudkan agar
saat shalat, perempuan tidak memikirkan laki-laki karena berdekatan, begitu juga
sebaliknya. Karena hal ini tentu mengganggu khusyuknya salat.71 Sedangkan Al-
Abadi dalam Aun al-Maʻbūd menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan saf laki-
laki yang paling baik di depan adalah karena dekat dengan Imam dan jauh dari
perempuan, begitu juga sebaliknya dengan perempuan.72
Berbeda dengan para ulama syāriḥ, Soekarno malah menggunakan hadis ini
sebagai tawaran solusi atas argumen feminisnya. Menurut Soekarno penempatan
salah satunya di depan atau di belakang lebih baik daripada harus menggunakan
62 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 2, h. 32. 63 Abū al-Qāsim Sulaimān al-ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Mosul: Maktabah al-ʻUlum wa
al-Hukm, 1983), j. 8, h. 165. 64 Abū al-Qāsim Sulaimān al-ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Kairo: Dār al-Haramain, 1415 H),
j. 3, h. 45. 65 al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, j. 1, h. 319. 66 Abu Dawud al-Sijistānī, Sunan Abī Dawūd, (Beirut: Dār al-Kutb al-ʻArabī, t.t.), h. 253. 67 Abū Muhammad al-Dārīmī, Sunan al-Dārīmī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1407 H), j. 1, h. 97. 68 Muhammad ibn Isḥāq ibn Ḥuzaimah al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥuzaimah, (Beirut: al-
Maktabah al-Islāmī, 1970), j. 3, h. 27. 69 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, j. 12, h. 320. 70 Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud al-Ṭayālisī, (Beirut: Dār al-Maʻrifah,
t.t.), h. 316. 71 al-Nawāwī, al-Minhāj, j. 4, h. 159. 72 Al-ʻAdhim Ābadī, ʻAun al-Maʻbūd Syar Abī Dāwud, (Beirut: Dār al-Kutb, 1995), j. 7, h.
348.
91
tabir.73 Bagi Soekarno, menggunakan cara penempatan yang dicontohkan
Rasulullah Saw. dalam salat lebih baik daripada membuat tabir yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasul. Soekarno secara jelas mengatakan, “saya menolak sesuatu
hukum agama yang tidak nyata diperintah oleh Allah dan Rasul.”74
Menurut Soekarno, tabir adalah simbol perbudakan bagi perempuan yang
tentunya tidak dikehendaki oleh Islam.75 Islam memang mengajarkan untuk
menjaga pandangan, tetapi tidak mengajarkan memasang tabir. Soekarno kemudian
membuat sebuah analogi, ketika Islam melarang mencuri, Islam tidak mengajarkan
untuk menutup rapat-rapat semua rumah. Atau ketika Islam melarang berdusta,
Islam juga tidak mengajarkan untuk menjahit mulut.76 Atas dasar inilah, Soekarno
berpendapat bahwa memasang tabir dengan dalih sebagai alat untuk menjaga
pandangan adalah sebuah hal yang tidak tepat. Karena menjaga pandangan dan hati
merupakan urusan pribadi.77
Soekarno juga menjelaskan bahwa Islam sejati mengajarkan untuk mengangkat
derajat perempuan.78 Sedangkan penggunaan tabir bertentangan dengan ajaran
Islam yang datang untuk mengangkat derajat perempuan tersebut. Dari hal ini bisa
disimpulkan bahwa mempraktekkan ajaran Islam jangan sampai bertentangan
dengan ajaran Islam yang lain. Dalam hal ini, penggunaan tabir sejatinya dipandang
sebagai praktek untuk mencegah pandangan terhadap lawan jenis, namun di sisi
lain malah menabrak ajaran Islam yang memuliakan perempuan, apalagi
penggunaan tabir sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw..
73 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 47. 74 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 46. 75 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 48. 76 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 47. 77 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 47. 78 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 48.
92
f. Agama adalah bagi orang yang berakal.79
Hadis ini bisa ditemukan di kitab Syuʻāb al-Īmān karya Imam al-Baihāqī.
Namun redaksi matan yang tertulis tidak secara lafaz, akan tetapi mirip secara
makna.
ث نا يي بن ي السي بن ممد الصغان، ب أخبن أبو عبد هللا الافظ، أخبن أبو عل رو، حدث نا أبو غاس ث نا حامد بن آدم، حد ، عن أيب الزبي، عن جابر بن اسويه، حد عبد هللا، قال: ن
عليه وسلم: " قوام له ". المرء عقله، ول دين لمن ل عقل قال رسول هللا صلى اللArtinya, “Telah memberi kabar kepada kami (Al-Baihāqī) Abū
ʻAbdullah al-Ḥāfidh, ia berkata, telah memberi kabar kepada kami Abū ʻAlī
al-Ḥusain ibn Muḥammad al-ṣaghānī di kota Marwa, ia berkata, telah
bercerita kepada kami Yaḥyā ibn Sāsawaih, ia berkata, telah bercerita
kepada kami Ḥāmid ibn Ādam, ia berkata, telah bercerita kepada kami Abū
Ghānim dari Abī al-Zubair, dari Jābir ibn ʻAbdillah, ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda, “Tiangnya seseorang adalah akalnya, tidak ada agama bagi
orang yang tidak memiliki akal. (HR. Al-Baihāqī)80
Imam al-Baihāqī sendiri menyebutkan pada akhir hadis tersebut bahwa
seorang rawi yang bernama Ḥāmid ibn Ādam terindikasi melakukan kebohongan
(muttaham bi al-kidzb).81 Hal ini juga disebutkan oleh Imam al-Jurjānī dalam al-
Kāmil fi al-Ḍuʻafā al-Rijāl bahwa ḥāmid merupakan seorang pembohong.82 Selain
redaksi hadis di atas, al-Aṣbahānī juga meriwayatkan hadis yang mirip namun
berbeda redaksi matan awalnya. Sayangnya, dalam sanad al-‘Aṣbahānī tersebut ada
seorang rawi yang bernama al-Qurdhi dan Musā ibn Ubaidah yang merupakan rawi
79 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 66. 80 al-Baihāqī, Syuʻabu al-Īmān, j. 6, h. 355. 81 Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang muttaham bi al-kidzb termasuk hadis ḍā’if syadīd,
dan tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi maupun sahih li ghairihi. Lihat: Al-Suyūṭī,
Tadrīb al-Rāwī, h. 184. 82 Abū Aḥmad ibn ʻĀdī al-Jurjānī, al-Kāmil fi al-Ḍuʻafā al-Rijāl, (Beirut: Dār al-Kutb al-
ʻIlmiyyah, 1997), j. 3, h. 49.
93
ḍaʻif.83 Bahkan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Aḥādīts al-ʻaql kulluhā
kidzb,” yakni, seluruh hadis yang berkaitan dengan akal adalah bohong.84
Soekarno menggunakan hadis ini sebagai pijakan baginya untuk mengajak
orang lain agar menggunakan akal merdekanya sebagai pencari kebenaran,
termasuk menguatkan argumen Soekarno tentang Rethingking Islam. Karena
Soekarno berpendapat bahwa perbedaan hukum-hukum syariat disebabkan
perbedaan waktunya.85 Untuk itu dia berpendapat bahwa hukum Islam bisa
diinterpretasikan sesuai masa yang ada, tentunya dengan menggunakan akal yang
bebas dan tidak terikat dengan faham madzhab tertentu. Sebab, bagi Soekarno,
orang yang berakal adalah orang yang fikirannya tidak terikat dengan faham
tertentu.86
Menurut Soekarno, dengan akal yang bebas, seseorang bisa membandingkan
pemikiran yang ada di kepalanya dengan pemikiran orang lain. Karena tentunya,
jika akal kita sudah terbebas dari jeratan faham tertentu, kita akan lebih bisa berfikir
secara objektif.
“Marilah kita meninjau bersama-sama, agar kita mengetahui bahwa di
luar tradisi pikiran kita sendiri itu ada pula aliran-aliran lain.. Dengan begitu
kita kemudian lantas dapat membandingkan tradisi pikiran kita sendiri itu
dengan pendapatan orang lain. Mana yang benar nanti? Yang benar ialah yang
cocok dengan kita punya akal, asal akal kita itu akal yang merdeka.”87
83 Abū Naʻim al-Aṣbahānī, Ḥilyat al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’, (Beirut: Dār al-Kutb,
1974), j. 3, h. 220. 84 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Manār al-Munīf fi al-Ṣaḥīḥ wa al-Ḍaʻīf, (Aleppo: Maktabah
al-Maṭbūʻah al-Islāmiyyah, 1983), h. 66. 85 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 65. 86 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 66. 87 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 66.
Dalam metode kritik matan, akal juga memiliki peran penting. Al-Damīnī menyebutkan bahwa
para sahabat, walaupun tidak secara umum, menjadikan akal sebagai salah satu parameter dalam
mengkritik hadis. Salah satu contoh yang disebutkan oleh al-Damīnī adalah hadis riwayat Abu
Hurairah tentang wudhu setelah memegang jenazah. Ketika hadis ini didengar oleh Aisyah, Aisyah
kemudian mempertanyakan kebenaran hadis ini. Bahkan Ibn ʻAbbas terang-terangan mengkritik
hadis Abū Hurairah ini dengan mengatakan, “Lā yalzamuna al-wuḍū’ min ḥamli ʻīdān yābisah,”
94
g. Nabi bersabda: panci ini harus dicuci dengan tujuh kali, antaranya satu
kali dengan tanah88
Hadis ini disebutkan oleh Soekarno dalam tulisannya yang berjudul
“Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”. Saat itu, putrinya melihat seekor
anjing yang menjilat air di baknya. Sang putri membantah ayahnya saat disuruh
mencuci bak tersebut dengan sabun dan kreolin,89 karena hadis di atas.
Hadis ini bisa ditemukan dalam banyak kitab hadis dengan redaksi yang
berbeda-beda, yakni redaksi yang menyebutkan dengan debu dan redaksi yang
tanpa menyebutkan kata debu. Di antara riwayat yang menyebutkan kata “debu”
adalah hadis sahih riwayat Muslim dalam bab “ḥukmi wulūghi al-kalbi” (hukum
jilatan anjing).
ث نا إساعيل بن إ ث نا زهي بن حرب حد ان عن م وحد د بن سيين ب راهيم عن هشام بن حس مسبع ن ي غسله ء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أ طهور إن : ملسو هيلع هللا ىلصعن أب هري رة قال قال رسول الل
اب. مرات أولهن بلتArtinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam Muslim) Zuhair ibn Ḥarb,
ia berkata, telah bercerita kepada kita Ismāʻīl ibn Ibrāhīm dari Hisyam ibn
Ḥassān dari Muḥammad ibn Sīrīn dari Abu Ḥurairah berkata bahwa
Rasulullah Saw. bersabda, “Cara mensucikan bejana ketika dijilat anjing
adalah dengan menyucinya tujuh kali salah satunya dengan debu.” (HR.
Muslim)90
(tidak wajib berwudhu karena memegang mayat). Lebih lanjut, al-Damīnī menyebutkan bahwa
kritik sahabat dengan parameter akal terhadap sebuah hadis, diafirmasi oleh para ulama. Mayoritas
ulama pun tidak mewajibkan wudhu setelah memegang jenazah. Lihat: Muṣfir Azmullah al-Damīnī,
Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah, (Riyadh: Jāmiʻah Ibn Saud, 1983), h. 90-91. 88 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 176. 89 Bahan cairan terbuat dari campuran minyak ter dengan sabun, digunakan sebagai pemusnah
hama pada lantai, dan sebagainya; karbol. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kreolin, diakses pada
5 Mei 2018. 90 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 1, h. 162.
95
Selain riwayat Muslim di atas, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Imam
al-Nasā’ī dalam Sunan al-Nasā’ī al-Mujtabā91 dan Sunan al-Kubrā,92 Musnad
Aḥmad,93 Sunan al-Daruqutnī,94Saḥīḥ Ibn Hibbān,95Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār
karya al-Baihaqī,96 dan Muṣannaf Ibn Abī Syaibah.97 Bahkan dalam salah satu
riwayat al-Nasā’ī melalui jalur Abdullah ibn Mughaffal terdapat tambahan, “wa
ʻaffirū al-tsāminah bi al-turāb.” Yakni bukan hanya tujuh kali cucian, melainkan
delapan, sedangkan salah satunya dengan debu.
Adapun redaksi hadis yang tanpa menyebutkan “debu” adalah salah satunya
hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī:
ة قال إن ، عن أيب هري ر لز ند، عن العرج ث نا عبد هللا بن يوسف، عن مالك، عن أيب احد ع ا.: إذا شرب الكلب ف إنء أحدك قال ملسو هيلع هللا ىلصرسول هللا م ف لي غسله سب
Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam al-Bukhari) Abdullah ibn
Yūsuf dari Mālik dari Abī Zinād dari al-Aʻrāj dari Abu Hurairah berkata,
sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, “Jika ada anjing yang minum di
wadah salah satu dari kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali.” (HR.
Bukhārī)98
Selain al-Bukhārī, hadis di atas juga diriwayatkan oleh banyak kitab hadis. Di
antaranya, Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya,99 Imam Mālik dalam al-Muwaṭṭā’-
91 Abū Abd al-Raḥmān al-Nasā’ī, al-Mujtabā min al-Sunan: Sunan al-Nasā’ī, (Aleppo:
Maktabah al-Maṭbūʻāt, 1986), h. 177. 92 Abū Abd al-Raḥmān al-Nasā’ī, Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʻImiyyah, 1991),
j. 1, h. 77. 93 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, j. 15, h. 314. 94 Ali ibn ʻUmar al-Dāruqutnī, Sunan al-Dāruqutnī, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1966), j. 1, h. 64. 95 Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibban, j. 4, h. 112. 96 Aḥmad ibn al-Ḥusain al-Baihaqī, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār, (Damaskus: Dār Qutaibah,
1991), j. 2, h. 58. 97 Abū Bakr ibn Abī Syaibah, Muṣannaf Ibn Abī Syaibah, (Riyadh: Maktabah al-Rasyīd, 1409
H), j. 7, h. 297. 98 Muḥammad ibn ʻIsmāʻīl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, )Beirut: Dār Ṭauq al-Najāh, 1422
H), j. 1, h. 45. 99 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 1, h. 161.
96
nya,100 Sunan al-Nasā’ī al-Mujtabā,101 Sunan Ibn Mājjah,102 Musnad Aḥmad,103
Sunan al-Kubrā104 dan Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār105 karya Imam al-Baihaqī.
Walaupun berbeda redaksi, kedua hadis di atas merupakan hadis sahih, karena
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Terkait penyucian jilatan anjing dengan tujuh kali dibasuh dan salah satunya
dengan debu, berdasarkan hadis di atas, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik
misalnya, berpendapat bahwa tata cara tersebut merupakan taʻabbudi, yakni
bernilai ibadah.106 Selain Imam Malik, mayoritas ulama, Imam al-Syāfiʻī salah
satunya,107 mewajibkan mencuci sesuai zahir hadis.108 Sedangkan Imam Abū
Ḥanīfah berpendapat bahwa cukup dibasuh tiga kali.109
Perbedaan ini, menurut Ibn Rusyd al-Ḥafīd, disebabkan karena perbedaan
ulama dalam memahami zahir hadis tentang jumlah tersebut. Sebagian berpendapat
dengan mengedepankan zahir daripada mafhum, yakni dengan mewajibkan tujuh
100 Mālik ibn Ānas, al-Muwaṭṭā’, (Kairo: Dār Iḥyā’ al-Turāts, t.t.), j. 1, h. 34. 101 al-Nasā’ī, Sunan al-Nasā’ī, j. 1, h. 52. 102 al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, j. 1, h. 237. 103 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, j. 16, h. 23. 104 Aḥmad ibn al-Ḥusain al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, (Mekkah: Maktabah Dār al-Bāz,
1994), j. 1, h. 240. 105 Al-Baihaqī, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār, j. 2, h. 58. 106 Hal ini dijelaskan oleh ashab al-malikiyah (ulama penganut mazhab Imam Malik) bahwa
jika hanya karena untuk menyucikan najis anjing sebenarnya tanpa dibasuh tujuh kali sudah bisa
suci. Maka dari itu, mazhab Maliki menilai bahwa tata cara tersebut hanya sunnah, bukan wajib. Lihat: Taqiyuddin al-Qusyairī, al-Ihkām Syarh ʻUmdah al-Aḥkām, (Beirut: Muassasah al-Risālah,
2005), h. 23. 107 Muḥammad ibn Idrīs al-Syafiʻī, Ikhtilāf al-Ḥadīts. (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1985),
h.501. 108 Al-Nawāwī menjelaskan bahwa berdasarkan mazhab yang ia anut (mazhab Imam as-
Syāfi’ī) hukumnya wajib membasuh dengan tujuh kali dan salah satunya disertai dengan debu.
Adapun penyertaan debu, bisa dilakukan di awal basuhan atau akhir basuhan. Hal ini merupakan
hasil jama’ (kompromi) oleh al-Nawāwī atas redaksi hadis yang berbeda-beda. al-Nawāwī, al-
Minhāj, j. 14, h. 130. 109 al-Nawāwī, al-Minhāj, j. 14, h. 130.
Adapun terkait pendapat ini, Abū Ḥanīfah menggunakan hadis lain, yakni “Idzā istaiqaḍa
aḥadukum min al-naum, falyaghsil yadāhu tsalātsan qabla an yadḥulaha fī inā’in” (jika kalian
bangun tidur, cucilah dua tangan kalian tiga kali sebelum dimasukkan ke tempat air). Lihat: Abū al-
Walīd ibn Rusyd al-Ḥafīd, Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid, (Kairo: Maṭbaʻah
Musṭafā, 1975), h. 86.
97
kali dan debu, Bahkan golongan malikiyah menganggap bahwa hadis ini adalah
ta’abbudi dan tidak bisa dinalar akal. Sedangkan sebagian lain lebih
mengedepankan mafhum daripada zahir hadis, yakni menghilangkan najis,
sehingga wajar jika mereka (ulama yang mengedepankan mafhum) berpendapat jika
tidak wajib membasuh tujuh kali.110
Soekarno sepertinya lebih ke arah golongan ulama’ yang lebih
mengedepankan mafhum daripada zahir hadis. Soekarno menilai bahwa “penyucian
tujuh kali dan salah satunya disertai debu” bisa diganti dengan cukup membasuh
sisa jilatan dengan air dan sabun atau kreolin. Soekarno berpendapat bahwa pada
zaman Rasulullah tidak ada sabun dan kreolin, yang ada hanyalah air dan debu. Jadi
wajar jika Rasul memerintahkan untuk menyucinya dengan air dan debu.111 Bahkan
Soekarno sangat yakin, jika pada zaman Rasul terdapat sabun dan kreolin, bisa jadi
Rasul akan memerintahkan umatnya untuk menyucinya dengan sabun atau kreolin.
Soekarno mengatakan kepada putrinya, “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun
dan kreolin. Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan
kreolin.”112
Soekarno lebih cenderung memahami hadis tersebut untuk menghilangkan
najis, sehingga wajar jika ia memiliki cara yang lebih moderen di masanya untuk
menghilangkan najis. Dalam hal ini, sepertinya Soekarno konsisten dengan
gagasannya untuk menjadikan hadis selalu hidup walaupun digunakan di masa yang
berbeda.
110 Ibn Rusyd al-Ḥafīd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 85-86. 111 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 176. 112 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 176.
98
h. Maka nabi bersabda: “kamu orang tidak mengharap sia-sia. Kamu orang
boleh pergi. Kamu orang aman. Kamu orang merdeka!”113
Soekarno menggunakan hadis ini untuk membantah pendapat yang
mengharamkan transfusi darah dengan alasan, salah satunya bahwa dikhawatirkan
darah itu akan diberikan kepada non-muslim, sehingga menjadikan non-muslim
tersebut tertolong dan terselamatkan. Menurut alasan mereka (yang menolak
transfusi darah), non-muslim adalah musuh yang harus dibiarkan mati begitu saja.
Lebih lengkap, Soekarno mengucapkan demikian:
“Dengan hati yang dahsyat dan cemas, dengan badan yang gemetar dan
muka yang pucat, pemuka-pemuka Kureisy menghadap Nabi. Apakah
gerangan hukuman yang akan dijatuhkan oleh beliau di atas mereka? Dari
mulut Nabi terdengarlah pertanyaan: “Ampunan apakah yang kamu orang
harapkan dari orang yang kamu orang telah perbuat tidak adil kepadanya?”
Dengan suara merendah mereka menjawab, “Kami percaya atas kekariman
hati kerabat kami.” Maka Nabi bersabda: “Kamu orang tidak mengharap sia-
sia. Kamu orang boleh pergi. Kamu orang aman. Kamu orang merdeka!”114
Setelah dilacak, hadis ini ditemukan dalam beberapa kitab hadis di luar kutb
al-tisʻah (sembilan kitab hadis), salah satunya adalah riwayat al-Baihaqī dalam al-
Sunan al-Kubrā-nya.
بة فأخذ بعضادتى بذا اإلسناد قال : ث أتى الكع القاسم بن سالم بن مسكي عن أبيه زاد فيه ال وقالوا ق قول ابن أخ وابن عم حليم رحيم . قالوا :ن "ما ت قولون وما تظنون "الباب ف قال :
لكم وسف )ل ت ثريب عليكم الي وم ي غ أقول كما قال ي ":ملسو هيلع هللا ىلصلك ثالث ف قال رسول الل ذ فر اللا نش "وهو أرحم الراحي( أبو بكر أخبنه روا من القبور فدخلوا ىف اإلسالم . قال فخرجوا كأمن
ث ن د بن أيوب أخبن القاسم بن المؤمل أخبن أبو سعيد الرازى حد بن سالم فذكره. ا مم
Artinya, “al-Qāsim ibn Sallām ibn Miskīn menambahkan matan hadis
dari ayahnya dalam sanad ini berkata: kemudian Rasul mendatangi Kakbah
melewati kedua sisi pintunya, kemudian Rasul bersabda, “Apa yang sedang
113 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 200. 114 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 200.
99
kalian katakan dan sangkakan?” mereka (kafir Quraisy) kemudian
menjawab, “Kami berkata bahwa putra dari saudaraku dan putra dari
pamanku yang sabar dan penyayang.” Mereka berkata demikian sebanyak
tiga kali, Rasulullah Saw. pun bersabda, “Aku berkata sebagaimana
perkataan Yusuf (Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-
mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang
diantara para penyayang). Al-Qāsim berkata bahwa mereka pun keluar
seperti dibangkitkan dari kubur. Mereka pun masuk Islam. Hal ini
dikabarkan kepadaku oleh Abū Bakr ibn al-Muammal, ia berkata, telah
memberi kabar kepada kami Abū Saʻīd al-Rāzī, ia berkata, telah memberi
kabar kepada kami Muḥammad ibn Ayyūb, ia berkata, telah memberi kabar
kepada kami al-Qāsim ibn Sallām, kemudian ia menyebutkan hadis tersebut.”
(HR. Al-Baihaqī)115
Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh al-Nasā’ī dalam al-Sunan al-Kubrā-
nya,116 Syarḥ Maʻāni al-Atsār,117 bahkan al-Baihaqī meriwayatkan juga dengan
redaksi yang berbeda dari Imam al-Syāfiʻī dari Abū Yūsuf, begitu juga Ibn Hisyām
dalam Sīrah-nya118 dan al-Ṭabarī dalam al-Tārikh al-Ṭabarī.119
أخر كرمير وابن . قالوا : خي ا"ون أن صانعر بكم؟ت ر ما "اجتمعوا ىف المسجد : أنه قال لم حي ."اذهبوا فأن تم الطلقاء "أخ كرمي. قال :
Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada para kafir
Quraisy ketika mereka berkumpul di masjid, “Apa pendapat kalian tentang
keputusan yang aku tetapkan untuk kalian?” Mereka berkata, “yang baik
wahai saudaraku yang mulia, putra dari saudaraku yang mulia.” Rasul
bersabda. “Pergilah kalian! Kalian bebas.”120
Adapun sanad redaksi hadis yang pertama, menurut al-Irāqī dalam al-Mughnī
fi al-Aṣfar, terdapat seorang perawi daif.121 Setelah penulis telusuri ternyata dalam
sanad al-Baihāqī terdapat perawi yang bernama al-Qāsim ibn Sallām ibn Miskīn
yang dijarḥ oleh al-Sājī sebagai orang yang daif, akan tetapi hadisnya dikuatkan
115 al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, j. 9, h. 118. 116 al-Nasā’ī, Sunan al-Kubrā, j. 6, h. 382. 117 Abū Jaʻfar al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, (Beirut: al-ʼAlām al-Kutb, 1994), j. 3, h. 325. 118 Abd al-Mālik ibn Hisyām, al-Sīrah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dār al-Jīl, 1411 H), j. 5, h. 119 Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, al-Tārikh al-Ṭabarī, (Beirut: Dār al-Turāts, 1387 H), j. 3,
h. 60-61. 120 al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, j. 9, h. 118. 121 al-Irāqī, al-Mughnī, j. 5, h. 26.
100
oleh jalur lain.122 Selain itu, dalam sanad tersebut, al-Baihāqi menyebutkan seorang
perawi yang bernama Abū Bakr ibn Muammal yang merupakan perawi majhul.
Sehingga wajar jika al-Irāqī menilai hadis ini daif. Namun karena ada beberapa jalur
sanad lain, dan tidak ada perawi yang dinilai sebagai muttaham bi al-kidzb, maka
menurut al-Suyūṭī,123 sanad hadis seperti ini bisa naik derajatnya menjadi hasan li
ghairihi.
Sedangkan sanad hadis yang kedua, dalam al-Tārikh al-Ṭabarī, terdapat
seorang perawi yang dituduh berbohong (muttaham bi al-kidzb) bernama Ibn
Aḥmad al-Razī.124 Sedangkan Ibn Ḥajar, menilai bahwa hadis ini hasan.125
Bagi Soekarno, hadis ini merupakan bukti penting sekaligus menguatkan
pendapatnya, bahwa walaupun dalam peperangan (oorlogshetiek) Islam tidak
memperkenankan untuk bertindak brutal, sekalipun musuh itu sudah menyerah.
Dengan hadis ini, Soekarno menekankan bahwa Islam sesungguhnya memiliki budi
yang sangat baik, sekaligus membantah keharaman melakukan transfusi darah,
khususnya bagi non-muslim, dengan alasan bahwa non-muslim adalah musuh yang
tidak boleh dibantu. Karena, jika alasan keharaman melakukan transfusi darah
kepada non-muslim sebab dilarang menolong mereka, seharusnya Rasul
membunuh semua orang kafir Quraisy pada saat Fatḥu Makkah. Sebagai penakluk
kota Mekkah, pada saat itu Rasul memiliki kewenangan untuk melindungi atau
membunuh kafir Quraisy. Namun, dengan kelembutan hatinya dan dengan pesan-
122 Syamsu al-Dīn al-Dzahābī, Mīzān al-I’tidāl fi Naqd al-Rijāl, (Beirut: Dār al-Maʻrifah,
1963), j. 3, h. 370. 123 Menurut al-Suyūṭī, jika ada sebuah hadis yang diriwayatkan dalam beberapa sanad yang
terdapat rawi daif, akan tetapi tidak ada seorang rawi yang fāsiq. Maka hadis tersebut secara jamʻu
al-riwayat menjadi hasan. Lihat: al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī, h. 186. 124 al-Dzahābī, Mīzān al-I’tidāl, j. 3, h. 330. 125 Ibn Ḥajar al-Asyqalānī, Fatḥ al-Bārī, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), j. 8, h. 18.
101
pesan keindahan budi Islam, Rasul memilih untuk membebaskan mereka. Bahkan,
dengan keputusan Rasul tersebut, mereka malah berbondong-bondong masuk
Islam.126
Pendapat Soekarno ini kemudian dikuatkan dengan mengutip wasiat Abū
Bakar untuk melarang membunuh orang tua, perempuan, anak-anak, bahkan
dilarang merobohkan rumah dan pepohonan.
“Sayidina Abu Bakar sebagai Chalifah pertama, menjelaskan
oorlogsethiek Islam, supaya semua muslimin mengerti betul-betul. Sungguh
halus-budi oorlogsethiek Islam itu. Beliau menetapkan: tiada orang tua
kakek-kakek boleh dibunuh, tiada anak-anak, tiada perempuan boleh dibikin
mati. Tidak ada orang pertapa boleh diganggu, tempat peribadatannya tiada
boleh dibinasakan. Tiada mayit boleh dirusak. Tiada pohon yang berbuah
boleh dipotong. Tiada tanaman ladang boleh dibakar, tiada rumah boleh
dibongkar.”127
B. Otentitas dan Otoritas Hadis dalam Islam Sontoloyo
Dari delapan hadis yang penulis temukan dalam buku Islam Sontoloyo,
ternyata ada satu hadis yang daif parah (ḍāif syadīd), dua hadis daif ringan, satu
hadis hasan dan empat hadis sahih. Hal ini juga menunjukkan bahwa walaupun
Soekarno berpendapat bahwa argumen keagamaan itu harus didasarkan sumber
Alquran atau hadis yang sahih, kenyataannya, ia malah mendaifkan hadis yang
sahih dan beberapa kali menggunakan hadis daif, bahkan daif parah.
Hal ini disebabkan keyakinan yang dimiliki Soekarno bahwa hadis Rasul
adalah hadis yang selalu hidup selamanya. Ketika ada hadis sahih yang dianggap
sebagai biang kemunduran Islam, ia serta merta mendaifkan hadis tersebut. Hal ini
126 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 200. 127 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 200. Wasiat Abū Bakar tersebut bisa ditemukan di kitab al-
Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik. Lihat: Mālik Ibn Anas, al-Muwaṭṭa’, (Beirut: Dār al-Gharb, t.t.), j. 1,
h. 577.
102
juga dipengaruhi keyakinannya bahwa hadis yang sudah divonis sahih tidak lantas
dipercayai kesahihannya, termasuk hadis dalam Bukhāri maupun Muslim.128
Tab. 4: Hasil Penelitian Hadis-hadis dalam Islam Sontoloyo
No Hadis Riwayat Kualitas
S H D DP P
1 Dunia bagi serani, akhirat
bagi muslim
Ṣaḥīḥ Muslim
Sunan al-Tirmidzī
Sunan Ibn Mājjah
Musnad Aḥmad
Al-Mustadrāk
Al-Muʻjam al-Kabīr
v
2 Satu jam bertafakur lebih
baik daripada beribadah
satu tahun
Syuʻabu al-Īmān
al-Zuhd karya Abu
Dawud al-Sijistānī
al-Zuhd karya Imam
Ahmad
Ḥilyatu al-Awliyā’ wa
Ṭabaqātu al-Aṣfiya’
al-Gharāib al-
Multaqiṭah min Musnad
al-Firdaus
v
3 Mukmin harus lembek dan
menurut seperti onta yang
telah ditusuk hidungnya
Sunan Ibn Mājjah
al-Mu’jam al-Kabīr
al-Amtsāl fi al-Ḥadīts
al-Nabawī
v
4 Nabi sendiri telah
menjaizkan urusan dunia
menyerahkan kepada kita
Ṣaḥīḥ Muslim
Musnad Aḥmad
Syarḥ Musykil al-Atsār
v
128 Hal ini bisa dilihat dalam pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa penelitian hadis
yang dilakukan oleh Bukhāri bisa salah, karena dia juga manusia biasa. Ia juga berpendapat, hanya
Alquran yang bisa terjamin keasliannya. Lihat: Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 12.
103
sendiri perihal urusan
dunia
Musnad al-Bazzār
5 Satu Fihak ditempatkan di
muka, dan satu fihak lagi di
bagian belakang, sebagai
yang dicontohkan oleh
Nabi.
Ṣaḥīḥ Muslim
Sunan Ibn Mājjah
Sunan Abū Dawūd
Sunan al-Dārīmī
Saḥīḥ Ibn Ḥuzaimah
Musnad Ahmad
Al-Muʻjam al-Kabīr
Al-Muʻjam al-Awsaṭ
Musnad al-Ṭayālisī
v
6 Agama adalah bagi orang
yang berakal.
Syuʻāb al-Īmān
Ḥilyat al-Auliyā’ wa
Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’
v
7 Nabi bersabda: panci ini
harus dicuci dengan tujuh
kali, antaranya satu kali
dengan tanah
Ṣaḥīḥ Bukhāri
Ṣaḥīḥ Muslim
Sunan al-Nasā’ī al-
Mujtabā
Sunan al-Kubrā
Musnad Aḥmad
Sunan al-Daruqutnī,
Saḥīḥ Ibn Hibbān
Ma’rifah al-Sunan wa
al-Atsār
Muṣannaf Ibn Abī
Syaibah
Al-Muwaṭṭā’
Sunan Ibn Mājjah
v
8 Maka nabi bersabda:
“kamu orang tidak
mengharap sia-sia. Kamu
orang boleh pergi. Kamu
al-Sunan al-Kubrā al-
Baihāqī
al-Sunan al-Kubrā al-
Nasā’ī
v
104
orang aman. Kamu orang
merdeka!”
Sīrah Ibn Hisyam
al-Tārikh al-Ṭabarī
Jumlah 4 1 2 1 0
Ket: S: Sahih, H: Hasan, D: Daif, DP: Daif Parah, P: Palsu
Dari 8 hadis yang ditemukan, hanya 3 hadis yang tidak ditemukan dalam
Kutub al-Tisʻah, sedangkan sisanya ditemukan dalam Kutub al-Tisʻah.
Tab. 5: Jumlah hadis dalam Islam Sontoloyo yang ditemukan dalam
Kutub al-Tisʻah dan selain Kutub al-Tisʻah.
Dari temuan ini, menunjukkan bahwa sebenarnya Soekarno tidak
mendapatkan dan membaca kitab hadis Bukhari walaupun ia sangat mengagumi
kitab hadis tersebut. Bahkan dari delapan hadis yang ditemukan, hanya satu hadis
yang sesuai secara makna dengan riwayat Bukhari. Hal ini juga menunjukkan
bahwa Soekarno tidak mengutip secara langsung hadis-hadis tersebut dalam kitab
asalnya. Ia bisa saja mengutip hadis tersebut dari buku-buku keislaman yang
Hadis yang ditemukan
dalam Kutub al-Tisʻah62%
Hadis yang tidak ditemukan
dalam Kutub al-Tisʻah38%
Hadis yang ditemukan dalam Kutub al-Tisʻah
Hadis yang tidak ditemukan dalam Kutub al-Tisʻah
105
dibacanya, selain itu Soekarno sendiri tidak mendapatkan secara langsung kitab
Bukhari ketika ia memintanya kepada A. Hassan.
Sedangkan dalam penggunaan hadis, Soekarno lebih cenderung mirip dengan
klasifikasi Ideal-Generalistik, yakni mengakui bahwa hadis Nabi Saw. sebagai
teladan tetapi tidak bersifat mendetail. Karena suatu hadis pasti memiliki latar
belakang situasional. Sehingga yang menjadi fokus bukan pada detailnya
melainkan pada spirit umumnya.129 Namun, Soekarno tidak seratus persen sesuai
dengan klasifikasi ini. Mengingat Soekarno tidak pernah berusaha untuk merubah
hal-hal yang bersifat ibadah (dien).
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Soekarno memahami hadis tentang
penyucian jilatan anjing dan hadis tentang pembagian saf perempuan dan laki-laki.
Soekarno sepertinya ingin menghidupkan spirit hadis, bukan terpaku pada sisi luar
teksnya. Dari penggunaan hadis-hadis tersebut, Soekarno secara tidak langsung
ingin menunjukkan bahwa memahami hadis harus mengetahui spiritnya, dan juga
jangan sampai bertentangan dengan spirit yang telah diajarkan dalam Alquran
maupun hadis dalam masalah yang lain.130
C. Hadis-Hadis dalam Islam dan Akal Merdeka
a. Agama itu ialah akal, tidak ada agama bagi seorang yang tidak
mempunyai akal131
129 Maizuddin, “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era Modern”, h. 153. 130 Hal ini jelas pernah disebutkan oleh Soekarno bahwa Rasul hidup di zaman yang jauh
berbeda. Kekolotan dan keinginan untuk menyalin seratus persen kehidupan pada masa rasul hanya
akan menjadikan Islam semakin mundur. Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 131 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 21.
106
Hadis ini sebelumnya telah digunakan oleh Soekarno juga dalam bukunya,
namun Soekarno memakai redaksi yang berbeda, “agama adalah bagi orang yang
berakal”, dan telah penulis bahas dalam pembahasan tersebut.132 Intinya, hadis ini
daif parah secara sanad.
Natsir menggunakan hadis ini sebagai landasan bahwa manusia diberikan
akal agar mampu memeriksa dan memikirkan keadaan alam. Hal ini juga menjadi
landasan Natsir atas gagasannya bahwa Islam disiarkan dengan ilmu. Ia sering
menyebutnya dengan “bil kalam” bukan “bil suyuf”.133 Sedangkan ilmu bisa
diperoleh dengan akal. Oleh karena itu, ia menyebutkan hadis ini sebagai landasan
bahwa agama tidak bisa dilepaskan dari akal. Tidak hanya itu, Natsir juga
menjadikan hadis ini sebagai jalan untuk menghindar dari taklid buta dengan akal.
b. Tuntutlah Ilmu dari buaian sampai ke liang lahat134
Penulis melacak hadis ini dengan kata “Uṭlub al-ilma” yang merupakan alih
bahasa dari “tuntutlah ilmu”. Penulis sama sekali tidak menemukan hadis yang
semakna atau mirip dengan hadis tersebut dalam beberapa kitab uṣul. Padahal hadis
ini begitu populer di kalangan umat. Hadis ini juga sering diucapkan dengan bahasa
Arab, “Uṭlub al-ilma min al-mahdi ila al-laḥdi”.
Hal ini juga dijelaskan oleh Abu al-Fattaḥ Abu Ghuddah (w. 1417 H) dalam
Qīmah al-Zaman ʻInda al-ʻUlama’, bahwa hadis tersebut merupakan hadis palsu.
Selain sering dipopulerkan dengan redaksi amar (uṭlub), hadis ini juga populer
dengan redaksi Fiil Madhi. Bahkan, Abu Ghuddah pun menemui kendala yang
132 Lihat h. 92. 133 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 21. 134 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 22.
107
sama, ia sama sekali tidak menemukan hadis tersebut dalam kitab-kitab yang
hadis.135
Menurut Abu Ghuddah, hadis ini secara sanad memang palsu, tetapi secara
makna hadis ini benar dan diperkenankan untuk menjadikan bahan dakwah.136
Karena, menurut al-ʻAjlunī (w. 1162) isi dari hadis palsu tersebut sama sekali tidak
bertentangan dengan hadis lain yang memiliki derajat hasan, misalnya hadis
kewajiban menuntut ilmu, “thalabu al-ilmi faridhatun ala kulli muslimin.”137
Walaupun secara makna benar, namun tetap dilarang untuk menggunakan
hadis palsu ini dan menyandarkannya kepada Rasulullah Saw.138 Bahkan Abu
Ghuddah sendiri tidak menyebutkan hadis palsu ini sebagai hadis, ia malah
menyebutnya sebagai kaul ulama. Kaul ulama tersebut dikutip Abu Ghuddah dalam
kisah Abu Yusuf (w. 182 H), seorang murid dan penyebar mazhab Abu Hanifah
yang masih tetap meniliti suatu masalah fikih pada masa-masa akhir hayatnya.139
Natsir sendiri menggunakan hadis ini sebagai landasan atas kewajiban
seluruh muslim untuk menuntut ilmu. Menurut Natsir, tidak hanya diwajibkan
menuntut ilmu, muslim juga diwajibkan untuk menghormati orang yang memiliki
ilmu. Hadis ini termasuk salah satu ajaran dasar Islam yang disebut oleh Natsir
sebagai jalan untuk menyebarkan Islam dengan ilmu, bukan dengan pedang.140
135 Abdu al-Fattaḥ Abu Ghuddah, Qīmah al-Zaman ʻInda al-ʻUlamā’, (Riyadh: Maktabah al-
Maṭbūʻah al-Islāmiyah, 2012), h. 30. 136 Abu Ghuddah, Qīmah al-Zaman, h. 30 137 Hadis ini disebut hasan oleh al-Ajlūnī melalui riwayat Ibn Mājjah dari Anas ibn Malik
secara marfū’. Lihat Ismail ibn Muhammad al-ʻAjlūnī, Kasyfu al-Khafā’ wa Muzīlu al-Ilbās, (tk.: Maktabah al-ʻIlmi al-Ḥadīs, t.t), j. 2, h. 51.
138 Abu Ghuddah, Qīmah al-Zaman, h. 30 139 Abu Ghuddah, Qīmah al-Zaman, h. 28-30 140 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 23.
108
c. Barang siapa yang memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan
mendapat ganjarannya, ditambah sebanyak ganjaran orang-orang yang
menjalankan cara yang baik itu sampai hari kiamat.141
Hadis ini penulis lacak dengan menggunakan kata “man sanna sunnatan
ḥasanatan” yang merupakan terjemah bahasa Arab dari kata “barang siapa yang
memulai satu cara yang baik”.
Setelah dilacak, penulis menemukan dua redaksi, redaksi yang tanpa
menggunakan kata “fi al-Islām” dan redaksi dengan tambahan “fi al-Islam”.
Adapun redaksi lengkap hadis dengan tanpa “fi al-Islām” diantaranya diriwayatkan
oleh Ibn Mājjah sebagai berikut:
- : يب جحيفة قالأحدثنا ممد بن يي . حدثنا أبو نعيم . حدثنا إسرائيل عن الكم عن كان له أجره ومثل قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم ) من سن سنة حسنة فعمل با بعده
عده كان عليه بأجورهم من غي أن ينقص من أجورهم شيئا . ومن سن سنة سيئة فعمل با وزره ومثل أوزارهم من غي أن ينقص من أوزارهم شيئا (
Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Ibn Mājjah) Muhammad ibn Yaḥyā,
ia berkata, telah bercerita Abū Nuʻaim, ia berkata, telah bercerita Isrā’īl dari
al-Ḥakam dari Abī Juḥaifah berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang
memulai perkara yang baik, kemudian dilakukan oleh orang-orang
setelahnya, maka dia akan mendapatkan pahala orang yang melakukan
tersebut tanpa mengurangi pahala mereka. Dan siapa yang memulai perkara
yang jelek, kemudian dilakukan oleh orang-orang setelahnya, maka dia akan
mendapatkan dosa yang telah dikerjakan oleh orang setelahnya, tanpa
mengurangi dosa mereka.” (H.R. Ibn Mājjah).142
Selain Ibn Mājjah, hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa mukharrij yang
lain walaupun dengan sedikit redaksi yang berbeda, hanya saja maknanya sama.
141 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 22, 150. 142 Ibn Mājjah, Sunan Ibn Mājjah, J. 1, h. 75.
109
Seperti al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr143 dan Musnad al-Syamiyyīn,144 Ibn
Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya,145 Ibn Ḥuzaimah dalam Ṣaḥīḥ-nya,146 Imam Aḥmad
dalam Musnad-nya, 147 Abū Jaʻfar al-Ṭaḥawī dalam Syarḥ Musykil al-Atsār,148 al-
Baihāqī dalam Syuʻab al-Īmān,149 al-Tirmidzī dalam Sunan-nya,150 al-Bazzār dalam
Musnad-nya,151 Sedangkan redaksi yang menggunakan tambahan “fi al-Islām”
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya:
ث نا جرير بن عبد ثن زهي بن حرب، حد بد هللا بن لميد، عن العمش، عن موسى بن ع احد، عن جرير بن عبد هللا، ق لعب ايزيد، وأيب الضحى، عن عبد الرحن بن هالل ال: جاء نسر سي هم لم عليهم الصوف ف رأى سوء حال من العراب إل رسول هللا صلى هللا عليه وس م قد أصاب ت
إن رجال حت رئي ذلك ف وجهه. قال: ث حاجةر، فحث الناس على الصدقة، فأبطئوا عنه وجهه، ف قال ، ث ت تاب عوا حت عرف السرور ف من النصار جاء بصرة من ورق، ث جاء آخر
عده، كتب له سالم سنة حسنة ، ف عمل با ب اإل من سن ف »رسول هللا صلى هللا عليه وسلم: قص من أجورهم ي ئة ، ف عمل س شيءر، ومن سن ف اإلسالم سنة مثل أجر من عمل با، ول ي ن
قص من أوزارهم شيءر و با، با ب عده، كتب عليه مثل وزر من عمل ل ي ن Artinya, “Telah menceritakan kepadaku (Imam Muslim) Zuhair bin Harb, ia
berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir bin 'Abdul Hamid dari Al
A'masy dari Musa bin 'Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari
'Abdurrahman bin Hilal Al 'Absi dari Jarir bin 'Abdullah dia berkata; "Pada
suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba
(wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan.
Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk
143 al-Ṭabrānī, al-Muʻjam al-Kabīr, J. 22, h. 74. 144 Sulaiman ibn Aḥmad al-Ṭabrānī, Musnad al-Syamiyyīn, (Beirut: Muassasah al-Risālah,
1984), j. 4, h. 55. 145 Ibn Ḥibban, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, j. 8, h. 101. 146 Ibn Ḥuzaimah, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥuzaimah, j. 4, h. 112. 147 Bahkan Imam Aḥmad meriwayatkan hadis ini dengan tiga redaksi, sunnah hasanah, sunnah
ṣāliḥah dan sunnah dhalalah bukan sunnah sayyiah, Ibn Hanbal, Musnad, J. 31, h. 536. 148 Al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, j. 1, h. 223. 149 Al-Baihāqī, Syuʻab al-Īmān, j. 5, h. 374. 150 Al-Tirmīdzi, Sunan al-Tirmidzī, j. 4, h. 340. 151 Al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, j. 10, h. 145.
110
memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat
sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga
kekecewaan terlihat pada wajah beliau." Jarir berkata; 'Tak lama kemudian
seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu
yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang
sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut
serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang
Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: 'Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang
baik dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang
mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa memberikan suri tauladan yang
buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka
peroleh sedikitpun.” (HR. Muslim)
Terkait kualitas, hadis ini tergolong hadis sahih karena diriwayatkan oleh
Imam Muslim. Sehingga penulis tidak perlu meneliti satu persatu sanad dari hadis
ini. Begitu juga dengan sanad hadis yang lain, karena secara otomatis walaupun ada
sanad yang daif, sebagaimana dalam riwayat Ibn Mājjah, maka derajatnya naik
menjadi sahih li ghairihi.
Menurut Imam al-Nawāwī dalam al-Minhāj, yang merupakan kitab syarḥ dari
kitab Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan anjuran untuk
memberikan contoh amal dan perbuatan yang baik agar bisa dilakukan orang lain,
serta merupakan ancaman bagi orang-orang yang membuat-buat perbuatan yang
tercela dan batil. Bagi al-Nawāwī, hadis ini juga merupakan taḥṣīṣ atas hadis terkait
bid’ah ḍalālah, sehingga tidak semua kreasi atau pembuat amalan baru itu berdosa
dan masuk neraka.152
152 Al-Nawāwī, al-Minhāj, j. 7, h. 104.
111
Oleh Natsir, hadis ini disebut sebanyak dua kali. Pertama, disebutkan di
halaman 22 sebagai argumentasi bahwa Allah menganjurkan kita untuk berkreasi
dan membuat hal baru yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Agama Islam menggembirakan pemeluknya supaya selalu berusaha
mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh,
membuat inisiatif dalam keduniaan yang memberi manfaat bagi
masyarakat.”153
Dalam pernyataannya tersebut, Natsir memang belum menjelaskan secara
eksplisit kreasi dan inisiatif keduniaan apa yang dimaksud. Namun di halaman 150,
pembawaan argumentasi Natsir dengan hadis ini mulai terlihat. Dalam pembahasan
di halaman tersebut, Natsir menjelaskan bahwa inisiatif dan kreasi tersebut
diperbolehkan dalam hal yang termasuk dalam kategori duniawi,154 yakni hal-hal
yang ketentuan dan tata caranya tidak dijelaskan secara pasti dalam hadis, sehingga
kita bisa berkreasi demi kemanfaatan. Karena bagi Natsir, hal yang berkaitan
dengan duniawi ini sifatnya berubah sesuai zaman dan tempat.155
Natsir mencontohkan hal ini dengan membersihkan gigi dengan sikat gigi,
karena menurut Natsir membersihkan gigi tidak dijelaskan harus dengan alat apa,
walaupun, menurutnya, masih ada beberapa orang yang bersikukuh menggunakan
kayu sebagaimana dilakukan Rasul. Begitu juga dengan khutbah jumat yang
dilakukan Rasul dengan berhasa Arab, menurut Natsir, hal ini wajar karena Rasul
berada di tengah-tengah orang Arab. Natsir menyangsikan orang-orang yang
153 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 23. 154 Natsir membagi teks agama, termasuk hadis menjadi “Dieny” dan “duniawi”. Terkait hal
ini sudah penulis jelaskan di halaman. 155 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 150.
112
menyalahkan orang lain yang berkhutbah dengan bahasa daerahnya, dengan alasan
bertentangan dengan sunnah.156
d. Nabi mengajarkan mengganti tawanan perang dengan disuruh
mengajarkan anak-anak menulis dan membaca157
Penulis melacak hadis ini dengan kalimat “asrā” yang berarti tawanan dan
“usārā” yang merupakan bentuk jamak dari “asrā”. Setelah dilacak, penulis
menemukan tiga riwayat, yakni dari al-Baihāqī dalam Sunan al-Kubrā-nya,158
Aḥmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya,159 dan al-Hākim dalam al-Mustadrak-
nya.160 Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
زبرقان ثنا علي بن نا يي بن جعفر بن الأخبن أبو بكر ممد بن عبد بن عتاب العنزي ثنا إسحاق بن شاهي وحدثنا علي بن عيسى ثنا ممد بن املسيب ث عاصم ثنا داود بن أيب هند
من مل يكن لنس : قال ثنا خالد بن عبد هللا عن داود بن أيب هند عن عكرمة عن ابن عباسوا أولد النصار اءهم أن يعلمأسارى بدر فداء فجعل رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فد
الكتابة Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam Al-Hākim) Abu Bakar
Muḥammad ibn ʻAbd ibn ʻAttāb al-ʻAnzī, ia berkata, telah bercerita Yaḥyā
ibn Ja’far ibn al-Zabarqān, ia berkata, telah bercerita ʻAlī ibn ʻĀṣīm, ia
berkata, telah memberi kabar Dawūd ibn Abī Hind dari Ikrīmah dari Ibn
Abbās, ia berkata bahwa para tawanan Badar tidak memiliki uang untuk
tebusan, kemudian Rasulullah Saw. mengganti tebusan mereka dengan
mengajarkan para anak-anak orang Anshar menulis.” (H.R. Al-Hākim)
Terkait kualitas hadis ini, al-Ḥākim mengatakan bahwa hadis ini sahih,
walaupun tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hal ini juga
156 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 150-151. 157 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 23. 158 Al-Baihāqī, Sunan al-Kubrā, j. 6, h. 322. 159 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad, j. 1, h. 160 Al-Ḥākim, al-Mustadrak, j. 2, h. 425.
113
diperkuat oleh Imam al-Dzahābī bahwa hadis ini sahih.161 Namun, setelah penulis
teliti, ternyata ada beberapa perawi yang majhul seperti Abu Bakr Muḥammad ibn
Abdullah ibn ʻAttab al-Anazī, Faḍl ibn Imrān, Ali ibn Isā dan Muhammad ibn
Musayyab. Selain itu, hadis ini juga diriwayatkan oleh ʻAlī ibn ʻĀṣim yang dijarḥ
oleh para ulama sebagai orang yang katsratul khaṭā’ (banyak melakukan kesalahan
dalam meriwayatkan hadis),162 walaupun begitu, derajat hadis ini bisa naik ke
derajat hasan li ghairihi163 dan tidak bisa sampai pada derajat sahih.
Dalam al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Ibn Katsir menjelaskan bahwa hadis ini
merupakan kasih sayang Rasulullah kepada manusia, termasuk para tawanan Badar
yang tidak mampu membayar tebusan.164
Natsir juga menggunakan hadis ini sebagai salah satu argumentasi artikel
bantahan Natsir atas pendapat Dr. I. J. Brugman dalam artikelnya yang berjudul
“Geschiedenis van het Onderwijs in Ned. Indie”. Dalam bantahannya, Natsir
berpendapat bahwa Islam adalah agama pendidikan. Terbukti dari kepedulian Rasul
terhadap pendidikan rakyatnya. Rasul memberikan kebebasan kepada tawanan
perang dengan syarat ia harus mengajarkan anak-anak untuk menulis.165
e. Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan janganlah kamu berpikir
tentang zat-Nya166
161 Al-Ḥākim, al-Mustadrak, j. 2, h. 425. 162 Al-Dzahabī, Siyar Aʻlām, j. 17, h. 259. 163 Hal ini disebutkan oleh Imam al-Nawāwī dalam Tadrīb al-Rāwi, bahwa jika sebuah sanad
terdapat rawi yang daif, namun ada sanad lain yang menyertai dan tidak diriwayatkan oleh rawi yang
matruk dan muttaham bi al-kidzb, maka hadis tersebut naik ke derajat hasan li ghairihi. 164 Ismāil ibn Umar ibn Katsīr, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Beirut: Maktabah al-Maʻārif, t.t),
j.3, h. 328. 165 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 25-26. 166 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 107,145.
114
Hadis ini penulis lacak dengan menggunakan kata “tafakkarū” yang
merupakan terjemah bahasa Arab dari kata “berfikirlah” dan “fī khalqillah” yang
merupakana terjemah bahasa Arab dari “ciptaan Allah”. Setelah dilacak penulis
menemukan dua redaksi matan hadis yang cocok dengan hadis tersebut.
Adapun redaksi matan hadis yang pertama adalah:
ث نا سليمان بن أحد , ث نا عبد هللا بن أ ثن أيب , ث نا ع حد بل، حد بد الصمد بن حد بن حن م الوارث , ث نا عبد اجلليل بن عطية , عن عبد : خرج رسول قال ، شهر , عن عبد هللا بن سال
ال رسول هللا ه وهم ي ت فكرون ف خلق هللا ف ق هللا صلى هللا عليه وسلم على نس من أصحاب روا ف هللا »ف هللا قال: ن ت فكر قالوا:« فيم ت ت فكرون »ى هللا عليه وسلم: صل وت فكروا ل ت فك
ا قدماه ف ا فلى ورأسه قد ف خلق هللا فإن رب نا خلق ملك ماء اوز الس ج لرض السابعة السص قدميه مسية ست مائة ت مائة عام وما بي كعب يه إل أخ العليا ما بي قدميه إل ركب ت يه مسية س
عام والالق أعظم من المخلوق Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Al-Aṣbahani) Sulaimān ibn
Aḥmad, ia berkata, telah bercerita Abdullah ibn Aḥmad ibn Hanbal, ia
berkata, telah bercerita ayahku, berkata, Abd al-Ṣamad ibn Abd al-Wārits, ia
berkata, telah bercerita Abd al-Jalīl ibn ʻAṭiyyah dari Syahr dari Abdullah
Ibn Sallām, ia berkata, Rasulullah Saw. keluar menuju para sahabat yang
sedang memikirkan ciptaan Allah Swt, kemudian Rasulullah Saw. bersabda,
“janganlah kalian memikirkan Zat Allah Swt, dan pikirkanlah ciptaan Allah.
Sesungguhnya Tuhan kita telah menciptakan para malaikat yang kakinya
berada di bumi lapis ketujuh sedangkan kepalanya berada di langit teratas.
Sedangkan jarak antara kedua kakinya hingga lututnya bagaikan jarak
perjalanan enam ratus tahun. Dan jarak antara mata kakinya hingga lekuk
telapak kaki adalah bagikan jarak perjalanan enam ratus tahun. Sedangkan
Zat Yang Menciptakan lebih agung daripada makhluk yang diciptakan.” (HR.
Al-Aṣbahani)167
167 Abū Naʻīm al-Aṣbahānī, Ḥilyatul Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, (Beirut: Dār al-
Kutub,1974), j. 6, h. 66.
115
Dalam segi kualitas, hadis ini daif. Karena terdapat seorang perawi yang
bernama Syahr ibn Ḥausyab yang dijarh oleh para ulama sebagai seorang yang
Mudallis.168
Selain redaksi matan di atas, ada juga redaksi matan yang secara makna sama,
yakni bukan menggunakan “fī khalqillah” melainkan “ālā’illah” yang dalam
riwayat al-Baihāqī dalam Syuab al-Īmān,169 Abū Syaiḥ al-Aṣbahānī dalam al-
ʻAdhmah,170al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Awsaṭ dan al-Muʻjam al-Kabīr.171
ث نا الصائغ، ن مهدي بن جعفر الرملي، ، علي بن ثبت، عن الوازع بن ن نحد فع، عن سامل، ول ت ت فكروا ف ت فكروا ف آلء الل »يه وسلم: قال: قال رسول الل صلى هللا عل عن ابن عمر
الل Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Al-Ṭabrāni) al-Ṣā’igh, ia
berkata, telah bercerita Mahdī ibn Jaʻfar al-Ramlī, ia berkata, telah bercerita
ʻAlī ibn Tsābit, dari al-Wāzigh ibn Nāfiʻ, dari Sālim, dari Ibn Umar berkata:
Rasulullah Saw. bersabda, “pikirkanlah nikmat Allah dan jangan pikirkan
zat Allah.” (HR. Al-Ṭabrāni)
Sayangnya, hadis tersebut juga daif karena ada seorang rawi yang bernama
al-Wāzigh ibn Nāfiʻ yang dijarh oleh para ulama sebagai seorang yang daif.172
Walaupun secara sanad, kedua hadis ini daif, namun bisa naik ke derajat hasan li
ghairihi. Hal ini juga disebutkan oleh Imam al-Sakhawī, bahwa banyaknya sanad
168 Beberapa ulama yang menjarḥ-nya adalah al-Dzahābī yang mengatakan bahwa perawi ini
“mukhtalaf fīh”. Lihat: Syamsu al-Dīn al-Dzahabī, Dīwān al-Ḍuʻafā’ wa al-Matrūkīn wa Khalqin
min al-Majhūlīn wa Tsiqāt fīhim Layyin, (Mekkah: Maktabah al-Nahḍah, 1967), h. 1903. Selain itu,
ada juga Imam Ibn Ḥajar yang menjarḥ dalam Taqrīb al-Tahdzīb. Bahkan Abu Ḥatim menyebutkan
bahwa Syahr tidak pernah bertemu dengan Abdullah ibn Sallām. Lihat: Ibn Abī Ḥātim, al-Marāsil,
(Beirut: Muassasah al-Risālah, 1397 H), h. 336. 169 Al-Baihāqī, Syuʻab al-Īmān, j. 1. h. 262. 170 Abū Syaiḥ al-Aṣbahānī, al-ʻAdhmah, (Riyadh: Dār al-ʻĀṣimah, 1408 H), j. 1, h. 214. 171 Al-Ṭabarānī, al-Muʻjam al-Kabīr, j. 11, h. 313. 172 Oleh al-Bukhari, al-Wāzigh ini disebut sebagai “munkar al-hadis”. Abu Ḥātim juga
menjarhnya sebagai ḍaʻīf al-hadīts. Lihat: Abd al-Raḥmān ibn Abī Ḥātīm, al-Jarḥ wa al-Taʻdīl,
(Beirut: Dār Iḥyā’ Turāts, 1952), j. 9, h. 39.
116
dari hadis tersebut menjadikan hadis tersebut kuat walaupun awalnya daif. Bahkan
al-Sakhawi mengatakan bahwa secara makna hadis ini sahih.173
Hadis ini digunakan oleh Natsir sebagai argumen dari bukti sejarah bahwa
akal jika digunakan melebihi pekerjaannya maka akan membawa kesesatan. Natsir
kemudian mencontohkan sebuah kelompok yang terlalu bangga menggunakan akal
hingga menafikan sifat-sifat Allah. Kelompok tersebut adalah muktazilah. Begitu
juga dengan kelompok lain yang menggunkan takwil atas ayat-ayat
mutasyabihat.174
Hadis ini juga digunakan Natsir sebagai bantahan atas pandangan Soekarno
tentang akal merdeka. Karena akal juga memiliki kelemahan. Sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai sandaran penuh dalam agama. Natsir kemudian mengutip Kant
yang mengkritik proses pengetahuan dengan rasio murni.
“Siapakah yang tidak mengakui bahwa Immanuel Kant itu seorang ahli
pikir yang besar? Akan tetapi Immanuel Kant itulah yang telah membantah
paham orang yang mengatakan bahwa semua boleh dipulangkan kepada akal
merdeka, boleh diputuskan melalui kemauan “rein Vernunft”175. Dipakai
“rein geloof”176 di semua perkara, kita akan beku dan jumud. Diturutkan
kemauan “rein vernunft” di semua hal kita akan hancur dan luluh.”177
f. Jika ada urusan agamamu serahkanlah kepadaku. Dan jika ada urusan
keduniaanmu, maka kamu lebih tau urusan duniamu itu178
Hadis ini sebenarnya mirip dengan hadis yang dikutip oleh Soekarno dan
telah penulis jelaskan terkait kualitasnya dalam pembahasan sebelumnya.179 Namun
173 Syamsu al-Dīn al-Sakhawi, Maqāṣid al-Ḥasanah, (Beirut: Dār al-Kutb al-ʻArābī, 1985), h.
261. 174 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 105-107. 175 Rasio murni 176 Iman murni 177 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 144. 178 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 148. 179 Lihat h. 86.
117
Natsir mengutip redaksi matan lain yang berbeda dengan Soekarno. Hadis yang
dikutip Natsir di atas lebih cocok dengan riwayat Aḥmad ibn Hanbal.
ث نا حادر عن ثبت عن ث نا عبد الصمد حد عليه وسلم أنس قال سع رسول الل صلى الل حدتكوه ف لم ي لق حوه ل لو ت ركوه ف لم ي لق حوه لصلح ف ف قاأصوات ف قال ما هذا قالوا ي لق حون النخل
قال رسول الل م ما لكم قالوا ت ركوه لما ق لت ف فخرج شيص ا ف قال النب صلى الل عليه وسل عليه وسلم إذ ن من أمر دينكم فإل دن ياكم فأن تم أعلم به فإذا كا ا كان شيءر من أمر صلى الل
Artinya, “Telah bercerita kepada kami (Imam Ahmad) Abd al-Ṣamad, ia
berkata, telah bercerita Ḥammād, dari Tsābit, dari Anas berkata bahwa
Rasulullah mendengar suara. Kemudian Rasul bertanya, “Apa ini?”
Kemudian mereka menjawab, “mereka mengawinkan kurmanya.” Kemudian
Rasulullah Saw. bersabda, “Kalaupun kalian tidak melakukan itu, pohon itu
akan baik-baik saja.” Merekapun tidak jadi mengawinkan pohon kurma
tersebut, maka keluarlah kurma yang jelek. Lantas Rasulullah bertanya,
“Apa yang terjadi?” mereka menjawab, “mereka tidak mengawinkan kurma
karena ucapanmu.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Jika ada sesuatu
yang berkaitan dengan perkara duniamu, maka kamu yang lebih mengetahui
urusan duniamu. Dan jika ada sesuatu yang berkaitan dengan urusan
agamamu, maka akulah yang lebih tahu.” (HR. Ahmad)180
Hadis ini sahih karena semua perawinya merupakan orang yang adil dan
dhabit. Anas bin Mālik seorang sahabat yang mulya,181 Tsabit al-Bunāni juga
seorang tabiin yang tsiqqah,182 Ḥammād juga seorang yang tsiqqah,183 begitu juga
dengan Abd al-Ṣamad yang merupakan guru dari Aḥmad ibn Hanbal, ia merupakan
seorang yang terpercaya.184 Selain seluruh perawinya tsiqqah, juga tersambung
sanadnya. Masing-masing rawi memiliki hubungan guru murid dan pernah
bertemu. Juga didukung dengan sanad lain dari Muslim, sebagaimana yang disebut
180 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1999), j. 20, h. 19. 181 Al-Dzahabī, Siyar al-Aʻlām al-Nubalā’, j. 3, h. 396. 182 Hal ini disebutkan oleh Imam Aḥmad al-ʻIjlī dan al-Nasā’ī. Lihat: al-Dzahabī, Siyar al-
Aʻlām al-Nubalā’, j. 5, h. 222. 183 Sebagaimana disebutkan Ibn Ḥajar al-Asqalānī dengan mengutip pendapat Ibn Saʻad, al-
Sājī, al-Nasā’ī dan al-ʻAjlī. Lihat: Ibn Ḥajar, Tahdzīb al-Tahdzīb, j. 3, h. 13. Yang dimaksud
Hammād dalam pembahasan ini adalah Hammād ibn Salāmah. Karena Tsābit al-Bunāni memiliki
tiga murid yang bernama Hammād. 184 Ibn Ḥajar, Tahdzīb al-Tahdzīb, j. 6, h. 327.
118
Natsir dalam kutipan hadis tersebut, walaupun redaksi matannya berbeda dan dari
jalur Rāfiʻ ibn Ḥudaij:
ث نا عبد هللا بن الرومي اليمامي ، وعب د بن جعفر المعقري اس بن عبد العظيم العنبي ، وأح حدث نا عك ، ق ث نا النضر بن ممد ، حد ث نا أ الوا : حد ار ، حد بو النجاشي ، رمة ، وهو ابن عم
ثن رافع بن خديج ، قال : قدم نب هللا ص عليه وسلم المدينة حد النخل ب رون وهم ي ،لى اللكم لو مل قالوا : كنا نصن عه ، قال : لعل ؟، ي قولون ي لق حون النخل ، ف قال : ما تصن عون
ا ت ، قال فذكروا ذلك له ف قال : إ ت فعلوا كان خي ا فتكوه ، ف ن فضت ، أو ف ن قص أن بشرر ، من .ا أن بشرر ا أمرتكم بشيء من رأيي ، فإمن إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به ، وإذ
Artinya, “Telah menceritakan kepada kami (Imam Muslim) ʻAbdullah ibn al-
Rūmī al-Yamāmi dan 'Abbas ibn 'Abdul 'Adhim al-'Anbārī dan Aḥmad ibn
Ja'far al-Ma'qiri mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami al-Nadzr
bin Muḥammad; Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah yaitu Ibnu
'Ammār; Telah menceritakan kepada kami Abū al-Najasyī; Telah
menceritakan kepadaku Rāfi' bin Khādij dia berkata; Ketika Nabi Saw.
datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga
kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa mereka sebut dengan
'mengawinkan', maka beliaupun bertanya: apa yang sedang kalian kerjakan?
Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu melakukan hal ini. Beliau berkata:
'Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik.' Maka
merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok
dan berguguran. Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan
beliaupun berkata: 'Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh
karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama)
kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu
kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh
aku hanyalah manusia biasa.” (HR. Muslim)185
Selain itu, Ibn Mājjah juga meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi yang
berbeda, hanya saja melalui jalur Aisyah Ra.186 Natsir menggunakan hadis ini
sebagai landasan bahwa dalam aturan Islam tidak semua bisa dirasionalkan,
terkadang juga harus sesuai yang diperintahkan dalam Alquran dan hadis, yang
disebut Natsir dengan “bila kaifa”. Dalam hal ini, Natsir mengutip pendapat Farid
185 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95. 186 Ibn Mājjah, Sunan Ibn Mājjah, j. 3, h. 527-528.
119
Wajdi dalam al-mashaf al-Mufassar.187 Hadis ini disebut Natsir sebagai salah satu
petunjuk dari Rasulullah untuk para umatnya sebagai parameter untuk menentukan
kapan menggunakan rasio dan kapan harus menerima sesuai teks yang ada.
“Syukurlah junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang jadi pemimpin
umat bagi segenap masa dan masyarakat tidak lupa meninggalkan bagi kita
dan bagi generasi-generasi yang akan datang sesudah kita, satu patokan dan
batas untuk menentukan di manakah kita boleh dan mesti memakai ratio dan
di mana pula kita harus dan mesti terima dengan sami’na wa atha’na semata-
mata.”188
Dari kutipan di atas, bisa disimpulkan bahwa yang diinginkan Natsir ketika
mengutip hadis tersebut adalah sebagai sebuah ukuran kapan menggunakan rasio
dan kapan berpegang teguh dengan teks Alquran maupun hadis. Saat berkaitan
dengan keduniaan, maka diperbolehkan atau harus menggunakan rasio, jika
berkaitan dengan agama maka harus berpegang teguh pada teks keagamaan.189
g. Kata Sayyidina Umar: Kalau aku tidak lihat rasulullah mencium engkau,
sudah tentu aku tidak akan menciummu190
Penulis melacak hadis ini dengan kata “ra’aitu Rasulullah yuqabbiluka” yang
merupakan terjemah bahasa Arab dari “melihat rasulullah mencium engkau”.
Penulis menemukan hadis riwayat Muslim yang sesuai dengan hadis kutipan Natsir
di atas:
يع ا عن بة، وزهي بن حرب، وابن مني، ج ث نا يي بن يي، وأبو بكر بن أيب شي أيب معاوية، حدقال: رأيت قال يي: أخبن أبو معاوية، عن العمش، عن إب راهيم، عن عابس بن ربيعة،
187 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 148. 188 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 148. 189 Hal ini bisa dilihat dari cara pandang Natsir dalam memahami sebuah hadis. Ia terlebih
dahulu membuat perbedaan apakah hadis tersebut berkaitan dengan agama atau duniawi. Jika
berkaitan dengan agama, maka harus diikuti, namun jika berkaitan dengan duniawi, maka bisa
dikontekstualisasikan atau dikreasikan. 190 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 168.
120
، ولول أن رأيت رسول هللا صلى »عمر ي قب ل الجر، وي قول: إن لق ب لك وأعلم أنك حجرر «هللا عليه وسلم ي قب لك مل أق ب لك
Artinya, Dan Telah menceritakan kepada kami (Imam Muslim) Yaḥyā ibn
Yaḥyā dan Abū Bakr ibn Abī Syaibah dan Zuhair ibn Ḥarb dan Ibn Numair
semuanya dari Abū Mu'awiyah - Yahya berkata- telah mengabarkan kepada
kami Abū Mu'awiyah dari al-A'masy dari Ibrāhim dari Abis ibn Rabī'ah ia
berkata; Saya pernah melihat Umar mencium Hajar Aswad, dan setelah itu
ia berkata, "Aku menciummu, dan aku tahu bahwa kamu hanyalah batu,
sekiranya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu." (HR. Muslim)191
Selain Muslim, hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari dalam Ṣaḥīḥ-nya,192
Aḥmad dalam Musnad-nya,193 al-Tirmidzī dalam Sunan-nya,194 Abū Dawūd dalam
Sunan-nya, 195 dan Musnad al-Bazzār.196 Secara kualitas, hadis ini sahih karena
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Bagi para ulama hadis, hadis ini merupakan dalil kesunahan mencium hajar
aswad pada saat thawaf setelah mengusapnya.197 Namun Natsir menjadikan hadis
ini sebagai landasan untuk membedakan antara duniawi dan agama saat membaca
teks agama. Hadis ini juga dijadikan Natsir sebagai salah satu contoh bahwa
mencium hajar aswad adalah bagian dari ibadah dan tidak bisa diganti dengan
apapun. Menurutnya, hal ini diserahkan kepada Rasul, sedangkan kewajiban
manusia hanya menurut.198
Hadis ini menjadi salah satu landasan Natsir untuk membantah argumen
Soekarno dalam “memudahkan pemahaman Islam”. Bagi Natsir, aturan Islam bisa
191 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 2, h. 295. 192 Al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ Bukhārī, j. 2, h. 149. 193 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad, j. 1, h. 310. 194 Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, j. 3, h. 467. 195 Abū Dawūd, Sunan Abū Dawūd, j. 2, h. 174. 196 Al-Bazzār, Musnad, j. 1, h. 249. 197 Al-Nawāwī, al-Minhāj, j. 5, h. 272. 198 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 168.
121
dimudahkan, namun harus disesuaikan terlebih dahulu tempatnya. Apakah
termasuk bagian dari “dien” atau “dunyawi”. Natsir berkata, “Bila masuk bahagian
“dien”, kita jangan bersusah-susah serta berbanyak falsafah lagi. Terima taat “bila
kaifa”.”199
h. Muadz ditanya Rasulullah: Dengan apakah engkau menjalankan hukum?
“Dengan kitab Allah!” jawabnya. “Kalau engkau tak dapati
(keterangannya dari Alquran),” “Dengan sunnah Rasul,” jawabnya lagi
“Kalau engkau tak dapati keterangannya dalam sunnah rasul?” Saya
berijtihad dengan akal saja, dan saya tidak berputus asa!”200
Penulis melacak hadis ini dengan menggunakan “ajtahidu ra’yī” yang
merupakan terjemah dari “Saya berijtihad dengan akal” dalam kutipan hadis di atas.
Setelah dilacak, penulis menemukan hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dawūd
berikut ini:
ث نا حفص بن عمر عن شعبة عن أيب عون ع ة ية بن شعب ن الارث بن عمرو ابن أخي المغ حدا أن رسول الل صلى الل عل ل عن أنس من أهل حص من أصحاب معاذ بن جب يه وسلم لم
عث معاذ ا إل اليمن قال كيف ت ق تاب الل ضي إذا عرض لك قضاءر قال أقضي بك أراد أن ي ب عليه وسلم قال فإن مل تد ف كتاب الل قال فبسنة ر ال فإن مل تد ف سنة ق سول الل صلى الل
ضرب رسول الل ل آلو ف اب الل قال أجتهد رأيي و رسول الل صلى الل عليه وسلم ول ف كت عليه وسلم صدره وقال المد لل . ا ي رضي رسول الل الذي وفق رسول رسول الل لم صلى الل
ثن ث نا يي عن شعبة حد در حد ث نا مسد س من ن الارث بن عمرو عن أبو عون عن حدا ب عث أصحاب معاذ عن معاذ بن جبل أن رسول الل عليه وسلم لم ه إل اليمن فذكر صلى الل
معناه
199 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 168. 200 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 169.
122
Artinya, “Telah menceritakan kepada kami (Abū Dawūd) Hafṣ ibn ʻUmar
dari Syu'bah dari Abū 'Aun dari al-Hārits ibn 'Amru anak saudara al-
Mughīrah ibn Syu'bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang
merupakan sebagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah Saw.
ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda,
"Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan
yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan
menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya engkau tidak
mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan kembali
kepada sunnah Rasulullah Saw.." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau
tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
serta dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad
menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian
Rasulullah Saw. menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa
yang membuat senang Rasulullah." Telah menceritakan kepada kami
Musaddad telah menceritakan kepada kami Yaḥya dari Syu'bah telah
menceritakan kepadaku Abū 'Aun dari al-Harits bin 'Amru dari beberapa
orang sahabat Mu'adz dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tatkala mengutusnya ke Yaman… kemudian ia menyebutkan
maknanya." (H.R. Abū Dawūd)201
Selain riwayat Abū Dawūd, hadis ini juga diriwayatkan oleh Aḥmad dalam
Musnad,202 al-Tirmidzī dalam Sunan-nya,203 Sunan al-Dārimī,204 dan al-Ṭabrānī
dalam al-Muʻjam al-Kabīr.205 Terkait kualitasnya, hadis ini disebut daif oleh
beberapa ulama. Alasannya, salah satunya karena ada seorang perawi yang bernama
al-Ḥārits yang majhul. Selain itu, hadis ini juga terdapat rawi mubham yang
bernama Anas, salah satu sahabat Muʻadz. Sehingga menurut al-Tirmidzī sanad
hadis ini munqatiʻ.206 Sehingga bisa disimpulkan bahwa hadis ini daif karena tidak
ada jalur lain selain jalur ini.
201 Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd, j. 3, h. 330. 202 Ahmad, Musnad, j. 36, h. 333. 203 Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, j.3, h. 9. 204 Al-Darimī, Sunan al-Darimī, j. 1, h. 40. 205 Al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr, j. 15, h. 168. 206 Al-Albani dalam tahqīq-nya juga menyebutkan bahwa hadis ini daif. Lihat: al-Tirmidzī,
Sunan al-Tirmidzī, j.3, h. 9.
123
Para ulama menjadikan hadis ini sebagai landasan untuk berijtihad. Imam al-
Tirmidzī sendiri menjadikan hadis ini dalam satu bab yang berjudul “bāb mā jā’a
fi al-qāḍi kaifa yaqḍi”, yakni tata cara seorang kadi memutuskan sebuah masalah.
Al-Khaṭābī menyebutkan bahwa maksud dari berijtihad dengan akal dalam hadis
tersebut bukan berarti dengan bebas menggunakan akal tanpa landasan Alquran dan
hadis. Menurut al-Khaṭṭābī, yang dimaksud berijtihad dengan akal dalam hadis
tersebut adalah menggunakan akal sebagai alat untuk qiyas dengan Alquran dan
hadis.207
Sedangkan Natsir menggunakan hadis tersebut sebagai dasar argumennya
bahwa ranah penggunaan akal berlaku bukan dalam urusan agama tetapi dalam
urusan duniawi, hanya saja, bagi Natsir, harus diperiksa dahulu dalam Alquran dan
hadis apakah ada larangan atau tidak. Walaupun menggunakan akal dalam urusan
dunia, jika ada larangan dalam Alquran dan hadis, maka tetap tidak
diperbolehkan.208
Pendapat Natsir ini merupakan bantahan bagi tulisan Soekarno yang
mengritik perilaku umat Islam pada saat itu yang fanatik dengan Islam tekstualis,
Seokarno menyebutnya dengan “masyarakat onta dan pohon kurma.” Seharusnya,
bagi Soekarno, umat Islam harus berfikiran terbuka dan mau menerima
moderenitas, Soekarno menyebutnya sebagai “Masyarakat kapal udara dan
televisi.” Karena Natsir setuju bahwa dalam urusan keduniaan kita tidak boleh
fanatik dengan “masyarakat onta dan pohon kurma”, tetapi juga dalam urusan
“dien” tidak boleh terperdaya dengan “Masyarakat kapal udara dan televisi.”
207 Al-Mubārakfūri, Tuḥfat al-Ahwādzī, j. 3, h. 449. 208 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 168-169.
124
“Dan bukan saja perlu kita serukan kepada bangsa kita supaya dalam
urusan keduniaan jangan hanya berfanatik kepada “masyarakat onta dan
pohon kurma” saja, tetapi perlu juga kita serukan supaya dalam urusan “dien”
janganlah mereka sangat terperdaya oleh “masyarakat kapal udara dan
televisi.” Hanya dengan begitu moga-moga bangsa kita akan dapat mengecap
inti dan sarinya, spirit dan kekuatan batinnya dari agama Islam ini, dan bukan
lagi sekedar dupa dan kemenyannya, dupa dan tasbihnya dengan alasan
menurut sunnah.”209
D. Otentitas dan Otoritas Hadis dalam Islam dan Akal Merdeka
Di antara delapan hadis yang penulis temukan, terdapat tiga hadis sahih, dua
hadis hasan li ghairihi, dua hadis daif, dan satu hadis palsu. Sama dengan Soekarno,
walaupun Natsir menyatakan bahwa referensi keagamaan harus berdasarkan
Alquran dan hadis yang otentik (sahih), kenyataannya ia juga mengutip hadis daif,
bahkan palsu.
Tab. 6: Hasil Penelitian Hadis-hadis dalam Islam dan Akal Merdeka
No Hadis Riwayat Kualitas
S H D DP P
1 Agama itu ialah akal, tidak
ada agama bagi seorang
yang tidak mempunyai akal
Syuʻāb al-Īmān
Ḥilyat al-Auliyā’ wa
Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’
v
2 Tuntutlah Ilmu dari buaian
sampai ke liang lahat
Tidak ditemukan
dalam kitab uṣūl v
3 Barang siapa yang
memulai satu cara
(keduniaan) yang baik, dia
akan mendapat
ganjarannya, ditambah
sebanyak ganjaran orang-
orang yang menjalankan
Ṣaḥīḥ Muslim
Sunan Ibn Mājjah
Sunan Al-Tirmidzī
Al-Mu’jam Al-Kabīr
Musnad Al-
Syamiyyīn
v
209 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 170.
125
cara yang baik itu sampai
hari kiamat
Saḥīḥ Ibn
Khuzaimah
Musnad Aḥmad
Syarḥ Musykīl Al-
Atsār
Syuʻab Al-Īmān
Musnad Al-Bazzār
Ṣaḥīḥ Ibn Hibbān
4 Nabi mengajarkan
mengganti tawanan perang
dengan disuruh
mengajarkan anak-anak
menulis dan membaca
Sunan al-Kubrā
Musnad Aḥmad
Al-Mustadrak v
5 Berpikirlah kamu tentang
makhluk Allah dan
janganlah kamu berpikir
tentang zat-Nya
Ḥilyatul Auliyā’ wa
Ṭabaqāt al-Asfiyā’
Syuab al-Īmān
Al-ʻAdhmah
Al-Muʻjam al-Awsaṭ
v
6 Jika ada urusan agamamu
serahkanlah kepadaku. Dan
jika ada urusan
keduniaanmu, maka kamu
lebih tau urusan duniamu
itu
Ṣaḥīḥ Muslim
Musnad Aḥmad
v
7 Kata Sayyidina Umar:
Kalau aku tidak lihat
rasulullah mencium
engkau, sudah tentu aku
tidak akan menciummu
Ṣaḥīḥ Bukhāri
Ṣaḥīḥ Muslim
Sunan al-Tirmīdzī
Sunan Abī Dawūd
Musnad Aḥmad
Musnad al-Bazzār
v
8 Muadz ditanya Rasulullah:
Dengan apakah engkau
menjalankan hukum?
Sunan Abī Dawūd
Sunan al-Tirmīdzī v
126
“Dengan kitab Allah!”
jawabnya. “Kalau engkau
tak dapati (keterangannya
dari Alquran),” “Dengan
sunnah Rasul,” jawabnya
lagi “Kalau engkau tak
dapati keterangannya
dalam sunnah rasul?” Saya
berijtihad dengan akal saja,
dan saya tidak berputus
asa!
Musnad Aḥmad
Sunan al-Darīmī
Al-Muʻjam al-Kabīr
Jumlah 3 2 1 1 1
Ket: S: Sahih, H: Hasan, D: Daif, DP: Daif Parah, P: Palsu
Tab. 7: Jumlah hadis dalam Islam dan Akal Merdeka yang ditemukan dalam
Kutub al-Tisʻah dan selain Kutub al-Tisʻah.
Dalam penggunaan hadis, Natsir termasuk dalam kategori Ideal-
Restriktifistik, yakni jika hadis tersebut bersifat tasyri’ī, maka hadis tersebut
mengikat, jika non-tasyri’ī maka tidak mengikat. Hal ini dibuktikan dengan
pembagian Natsir atas “dien” dan “duniawi” dalam memahami hadis. Jika sebuah
Hadis yang ditemukan
dalam Kutub al-Tisʻah62%
Hadis yang tidak ditemukan
dalam Kutub al-Tisʻah38%
Hadis yang ditemukan dalam Kutub al-Tisʻah
Hadis yang tidak ditemukan dalam Kutub al-Tisʻah
127
hadis berkaitan dengan “dien” maka Natsir akan cenderung menerimanya apa
adanya, namun jika hadis tersebut berkaitan dengan “duniawi”, maka bisa
dikreasikan dan bisa diganti dengan hal lain yang lebih baik.
Jika dibandingkan, keduanya memiliki landasan berbeda dalam hal
memahami hadis karena perbedaan mengutip riwayat hadis. Soekarno berpegang
pada hadis riwayat Muslim yang hanya menyebutkan penyerahan Rasul kepada
manusia terkait urusan dunia. Sedangkan Natsir mengutip hadis yang berbeda,
yakni riwayat Imam Ahmad yang menjelaskan bahwa urusan dunia memang
manusia yang mengetahui, tapi urusan agama, tetap harus menyerahkan kepada
Rasul. Perbedaan inilah yang menyebabkan kecenderungan berbeda antara
Soekarno dan Natsir dalam memahami hadis.
Tab. 8: Bagan pola pemahaman hadis Soekarno berdasarkan rujukan hadisnya
Soekarno Natsir
Hadis landasan: HR. Muslim
."أن تم أعلم بمر دن ياكم "
Hadis landasan: HR. Muslim dan
Ahmad
فأن تم أعلم إذا كان شيءر من أمر دن ياكم ""به، فإذا كان من أمر دينكم فإل
Ideal-Generalistik Ideal-Restriktifistik
128
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan terhadap delapan hadis yang telah ditemukan
dalam referensi Soekarno dan Natsir, penulis berkesimpulan bahwa secara
konseptual Soekarno dan Natsir sama-sama sepakat untuk menggunakan hadis
sahih dalam menggunakan pijakan. Namun secara praktis, Soekarno dan Natsir
tidak konsisten, terkadang mereka menggunakan hadis sahih, terkadang hadis
hasan, dhaif, bahkan palsu.
Dalam hal penggunaan dan pemahaman hadis, keduanya memiliki perbedaan.
Soekarno cenderung tergolong sebagai kelompok Ideal-Generalistik, yakni
mengakui bahwa hadis Nabi Saw. sebagai teladan tetapi tidak bersifat mendetail.
Karena suatu hadis pasti memiliki latar belakang situasional. Sehingga yang
menjadi fokus bukan pada detailnya melainkan pada spirit umumnya. Sedangkan
Natsir termasuk dalam kategori Ideal-Restriktifistik, yakni jika hadis tersebut
bersifat tasyri’ī, maka hadis tersebut mengikat, jika non-tasyri’ī maka tidak
mengikat, Natsir membahasakannya dengan “dien” dan “duniawi”.
Secara umum keduanya sepakat bahwa perlu dilakukan kontekstualisasi
terhadap hal-hal yang bersifat keduniaan, agar tidak menjadi masyarakat yang
kolot. Namun, dalam hal tuntunan agama yang telah dicontohkan tata caranya oleh
Rasul dalam hadis, Seokarno memilih berkreasi dengan menyesuaikan zaman,
sedangkan Natsir, tetap berpegang teguh pada tuntunan yang telah disampaikan
Rasulullah Saw. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kehidupan, bacaan dan
129
lingkungan keduanya. Selain itu, perbedaan ini juga dilandasi oleh dua riwayat
hadis yang berbeda yang digunakan oleh keduanya.
B. Saran
1. Untuk kalangan akademisi, penelitian ini hanya fokus pada hadis-hadis
yang digunakan Soekarno dan Natsir dalam rentang tahun 1934-1940, akan
lebih baik jika ada penelitian selanjutnya yang meneliti hadis-hadis yang
digunakan Soekarno maupun Natsir dalam rentang waktu yang berbeda,
mengingat perdebatan antara keduanya juga terjadi pada masa-masa
setelahnya. Selain itu, akan lebih baik jika ada penelitian selanjutnya yang
membahas secara fokus bagaimana metode kesahihan hadis yang
digunakan Soekarno dan Natsir, mengingat keduanya juga memakai hadis
dhaif dan palsu walaupun sepakat dengan penggunaan hadis sahih.
2. Untuk masyarakat Indonesia secara umum, Soekarno dan Natsir
merupakan bapak bangsa yang turut urun rembuk dalam pendirian Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa keduanya
juga memiliki argumentasi teologis dalam pendirian sistem Negara.
Sehingga jangan lagi ada yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara
ṭaghut karena tidak didirikan atas dasar Islam.
130
DAFTAR PUSTAKA
Ābadī, Al-ʻAdhim. ʻAun al-Maʻbūd Syar Abī Dāwud. Beirut: Dār al-Kutb, 1995.
Abu Ghuddah, Abdu al-Fattaḥ. Qīmah al-Zaman ʻInda al-ʻUlamā’. Riyadh:
Maktabah al-Maṭbūʻah al-Islāmiyah, 2012.
Abu Zayd, Nasr Hamid. al-Imam al-Syāfi’ī wa Ta’sīs al-Idiyulūjiyah al-
Wasaṭiyyah. Kairo: Maktab Madbuly, 1996.
_______. al-Nāṣ al-ṣulṭah al-haqīqah. Beirut: al-Markāz al-Tsaqāfy al-A’rāby,
1995.
Aceh, Abubakar. Salaf, Muhyi ats-Tsurat Salaf, Cerakan Salafiyah di Indonesia.
Jakarta: Permata. 1970.
Adam, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung, 1984.
Ahwadzy, Benny. “Hadis di Mata Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya
Daniel Brown)” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Alquran dan Hadis. vol. 15. no. 2. Juli
2014.
Al-Ahdāl, Abdu al-Rahman. al-Mawāhib al-Saniyyah fi Syarh al-Farāiḍ al-
Bahiyyah. T.k: Dar al-Rasyid, T.t.
Al-ʻAjlūnī, Ismail ibn Muhammad. Kasyfu al-Khafā’ wa Muzīlu al-Ilbās. tk.:
Maktabah al-ʻIlmi al-Ḥadīs, t.t.
Amin,Ahmad. Zua’ma al-Iṣlāh fi al-ʼAṣr al-Hadīts. Kairo: Maktabah al-Nabhāt al-
Miṣrīyah, 1979.
Anderson, Benedict R.O’G. (ed), Relegion and Social Ethos in Indonesia. Clayton:
Monash University, 1977.
Arifin, Mochammad Nur. Bung Karno Menerjemahkan Al-Quran. Jakarta: Mizan,
2017.
Arsalan, Al-Amir Syakib. Mengapa Kaum Muslimin Mundur. terj. Moenawwar
Chalil. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1954.
Al-Aṣbahānī, Abū Naʻim. Ḥilyat al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Beirut: Dār al-
Kutb, 1974.
_______. Ḥilyatu al-Awliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiya’. Beirut: Dār al-Kutub, 1974.
Al-Aṣbahānī, Abu Syekh. al-Amtsāl fi ḥadīts al-Nabawī. Bombay: Dār al-
Salafiyyah, 1987.
_______. al-ʻAdhmah. Riyadh: Dār al-ʻĀṣimah, 1408 H.
131
Al-ʻAsqalānī, Ibn Ḥajar. al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣahabah. Beirut: Dār al-Kutub al-
ʻIlmiyyah, 1415 H.
_______. al-Gharāib al-Multaqiṭah min Musnad al-Firdaus. Kairo: Dār al-Kutub
al-Miṣriyah, t.t.
_______. Fatḥ al-Bārī. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Azami, M.M.. Memahami Ilmu Hadis: Telaah Metodologi dan Literatur Hadis.
Jakarta: Penerbit Lentera, 2003.
Azra, Azyumardi. “Peranan Hadis Dalam Perkembangan Historigrafi Islam Awal”
Al-Hikmah. Jurnal Studi-Studi Islam; No. 11. Oktober-Desember 1993.
Al-Baghdādī, Ibn Saʻad. Ṭabaqāt al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub, 1990.
Al-Baihāqī, Ahmad bin al-Husain. Ahkam al-Qurʻān li al-Syāfi’ī. Kairo: Maktabah
al-Khanji, 1994.
_______. Syuʻabu al-Īmān. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003.
_______. al-Sunan al-Kubrā. Mekkah: Maktabah Dār al-Bāz, 1994.
_______. Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār. Damaskus: Dār Qutaibah, 1991.
Al-Bazzār, Abū Bakr Musnad al-Bazzār. Madinah: Maktabah ʻUlm wa al-Hukm,
2009.
Brown, Daniel W. Rethinking Tradition. Cambridge: University Press. 1996.
Al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismāʻīl. al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, Beirut: Dār Ṭauq al-Najāh,
1422 H.
Al-Damīnī, Musfir Azmullah. Maqāyīs Naqd Mutūn al-Sunnah. Riyadh: Jami’ah
Ibn Saud, 1984.
Al-Dārimī, Abdullah bin Abdurrahman. Sunan al-Dārimī. Beirut: Dar al-Kutub al-
Araby, 1986.
Al-Dāruqutnī, Ali ibn Umar. Sunan al-Dāruqutnī, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1966),
j. 1, h. 64.
Dzulfikriddin, M. Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia. Bandung:
Mizan Pustaka, 2010.
El-Fadl, Khaled Abou. Atas Nama Tuhan, dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.
Jakarta: Serambi. 2004.
Fazlurrahman, Islam, Chicago: University of Chicago Press, 1996.
Falah, Maslahul. Islam ala Soekarno. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Fiderspiel, Howard M. Persatuan Islam, Islamic Reform in Twentieth Century
Indonesia, Modern Indonesia project Southeast. New York, 1970.
132
Al-Ghazālī, Abu Hāmid. Ihyā’ ʻUlūmi al-Dīn. Beirut: Dār al-Maʻrifah, t.t.
Hakiem, Lukman, dkk. 100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah.
Jakarta: Republika, 2008.
Ibn Qutaibah, Abdullah bin Muslim. Ta'wīl Mukhtalāf al-Hadīts. Beirut:
Muassasah al-Kutub al-Tsaqāfiah, 1988
Al-Irāqī, Zainuddin Abdurrahim. al-Mughnī ‘an Ḥamli al-Aṣfār fi al-Aṣfār. Riyadh:
Maktabah Ṭabriyah, 1995.
Irpan, Jamil. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia : Studi atas Pemikiran
Ideologi Negara M.Natsir dan Soekarno 1940-1960.” Tesis S2 Sekolah
Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Isak, Joesoef (ed.). 100 Tahun Bung Karno (Sebuah Liber Amicorum). Jakarta:
Hasta Mitra, 2001.
Iskandar, Rusli Kustiaman. “Polemik Dasar Negara Islam antara Soekarno dan
Mohammad Natsir,” Mimbar Volume 19, No. 2, Tahun 2003.
Harb, Ali. Naqd al-Nāṣ. Maroko: Markāz al-`Arābi al-Tsaqāfī. 2005.
Ibn Abī Ḥātīm, Abd al-Raḥmān. al-Jarḥ wa al-Taʻdīl. Beirut: Dār Iḥyā’ Turāts,
1952.
_______, al-Marāsil. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1397 H.
Ibn Abī Syaibah, Abū Bakr. Muṣannaf Ibn Abī Syaibah. Riyadh: Maktabah al-
Rasyīd, 1409 H.
Ibn al-Jārūd, Sulaiman ibn Dāwud al-Ṭayālisī. Musnad Abī Dāwud al-Ṭayālisī.
Beirut: Dār al-Maʻrifah, t.t.
Ibn Ānas, Mālik. al-Muwaṭṭā’. Kairo: Dār Iḥyā’ al-Turāts, t.t.
Ibn Hanbal Ahmad. al-Zuhd. t.k.: Dār Ibn Rajab, 2003.
_______. Musnad al-Imām Aḥmad ibn Hanbal. Kairo: Muassasah Qurṭubah, t.t.
Ibn Hisyām, Abd al-Mālik. al-Sīrah al-Nabawiyyah, Beirut: Dār al-Jīl, 1411 H.
Ibn Ḥuzaimah, Muhammad ibn Isḥāq al-Naisabūrī. Ṣaḥīḥ Ibn Ḥuzaimah. Beirut: al-
Maktabah al-Islāmī, 1970.
Ibn Katsīr, Ismāil ibn Umar. al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Beirut: Maktabah al-
Maʻārif, t.t.
Ibn Qutaibah, Abdullah bin Muslim. Ta'wīl Mukhtalif al-Hadīts, Beirut: Muassasah
al-Kutub al-Tsaqāfiah, 1988.
Ibn Rajab, Zayn al-Dīn al-Baghdādī. Jami’ al-‘Ulūm wa al-Hukm fi Syarh Khamsi
Ḥadītsan min Jawāmiʻ al-Kalīm. t.k.: Dār al-Salām, 2004.
133
Ibn Rusyd, Abū al-Walīd al-Ḥafīd. Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtaṣid.
Kairo: Maṭbaʻah Musṭafā, 1975.
Ibn Taymiyah, Majmū’ al-Fatāwā. t.k: Dar al-Wafa, 2005.
Jakfar, Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah menurut Yusuf al-
Qaradhawi. Malang: Ar-Ruzz Media, 2011.
Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim. al-Manār al-Munīf fi al-Ṣaḥīḥ wa al-Ḍaʻīf. Aleppo:
Maktabah al-Maṭbūʻah al-Islāmiyyah, 1983.
Al-Jurjānī, Abū Aḥmad ibn ʻĀdī. al-Kāmil fi al-Ḍuʻafā al-Rijāl. Beirut: Dār al-
Kutb al-ʻIlmiyyah, 1997.
Al-Jazri, Majdudin al-Mubārak. Jāmi’ al-Uṣūl fī Ahādīts al-Rasūl. t.tp: Maktabah
Dār al-Bayān. t.t.
Kasenda, Peter. Soekarno Muda Biografi Pemikiran 1926-1923. Depok: Komunitas
Bambu, 2010.
Lubis, M. Ridwan. Soekarno dan Modernisme Islam. Depok: Komunitas Bambu,
2010.
Legge, John D. Sukarno, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Luth, Thohir. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Pers,
1999), h. 22.
Al-Mīzī, Yusuf ibn ʻAbd al-Raḥmān. Tahẓīb al-Kamāl fī Asmā’i al-Rijāl. Beirut:
Muassasah al-Risālah, 1980.
Al-Munawī, Zainuddin. Faidh al-Qadīr. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994.
Al-Naisābūrī, Al-Ḥākim. al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥain. Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1990.
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajjāj al-Qusyairy. al-Jāmi’ al-Ṣāḥiḥ Ṣāḥīḥ Muslim.
Beirut: Dar al-Jail. t.t.
Al-Nasā’ī, Abū Abd al-Raḥmān. al-Mujtabā min al-Sunan: Sunan al-Nasā’ī.
Aleppo: Maktabah al-Maṭbūʻāt, 1986.
_______. Sunan al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub al-ʻImiyyah, 1991.
Al-Nawāwī Abu Zakariyya Yahya. al-Minhāj Syarh Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār
Iḥyā’ Turāts al-‘Arābī, 1392 H.
Natsir, Mohammad. Islam dan Akal Merdeka. Bandung: Sega Arsy, 2015.
_______. Islam Sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy, 2014.
Al-Nawāwī, Abu Zakariya Muhyī al-Dīn. al-Majmū’ Syarh al-Muhaẓẓab. Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
134
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES,
1988.
Nur, Maizuddin M. “Tipologi Pemikiran Tentang Kewenangan Sunnah di Era
Modern”. Jurnal Substantia. vol. 14. no. 2. Oktober 2012.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Tokoh dan Peristiwa dalam Sejarah Eropa 1815-
1945. Jakarta: Erlangga, 1982.
Praktiknya, A.W. Percakapan Antara Generasi: Pesan Pejuangan Seorang Bapak.
Jakarta: Media Dakwah, 1989.
Al-Qarādhawy, Yusuf. Kaifa Nata`āmal Ma`a al-Sunnah al-Nabawiyyah. Kairo:
Dar al-Syurūq, 2004.
_______. al-Sunnah Mashdaran li al-Ma`rifah wa al-Hadhārah. Kairo: Dar al-
Syuruq. 2002.
Al-Qazwainī, Ibn Mājjah. Sunan Ibn Mājjah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Qurṭūbī, Abu ʻAmr. al-Istīʻāb fi Maʻrifāti al-Aṣḥāb. Beirut: Dār al-Jīl, 1992.
al-Qusyairī, Taqiyuddin. al-Ihkām Syarh ʻUmdah al-Aḥkām. Beirut: Muassasah al-
Risālah, 2005.
Raharjo, M. Dawam. Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1993.
Rosyidi, Ajip. M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Giri Mukti Pusaka, 1990.
Rumadi. “Islam dan Otoritas Keagamaan”. Jurnal Walisongo. Volume 20. Nomor
1. Mei 2012.
Said, Abdullah. Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual. Bandung: Mizan. 2014.
Saidi, Ridwan. Zamrud khatulistiwa, Jakarta: LSIP, 1995.
Al-Sakhawi, Syamsu al-Dīn. Maqāṣid al-Ḥasanah. Beirut: Dār al-Kutb al-ʻArābī,
1985.
Al-Sijistānī, Abu Dawud. Sunan Abī Dawūd. Beirut: Dār al-Kutb al-ʻArabī, t.t.
_______. al-Zuhd. Halwan: Dār al-Misykāh, 1993.
Salam, Solichin. Bung Karno Putra Fajar. Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Al-San`āni, Abdu al-Razāq. Mushannaf Abdu al-Razāq. Beirut: al-Maktab al-
Islāmi, 1981.
Schacht, Josep. The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Yogyakarta: Insan
Madani, 2010.
Soekarno. Islam Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam.
Bandung: Sega Arsy, 2015.
135
_______. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005.
_______. Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, Pikiran-Pikiran Soekarno Muda.
Bandung: Sega Arsy, 2015.
al-Suyuṭi, Jalāl al-Dīn. Tārikh al-Khulafā’. Beirut: Dār al-Minhāj, 2013.
_______. Tadrīb ar-Rāwī fi Syarḥi Taqrīb an-Nawāwī. Kairo: Dār al-Bayān al-
‘Ārābī. 2004.
Syahrur, Muhammad. al-Sunnah al-Rasūliyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah.
Beirut: Dar al-Sāqi, 2012.
al-Syatibī, Abu Ishaq. Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī’ah. Beirut: Dar Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M.
Al-Ṭabarānī, Abu al-Qāsim. al-Mu’jam al-Kabīr. Mosul: Maktabah al-‘Ulūm wa
al-Hukm, 1983.
_______. Musnad al-Syamiyyīn. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1984.
Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. al-Tārikh al-Ṭabarī, Beirut: Dār al-Turāts, 1387
H.
Al-Ṭahāwī, Abū Jaʻfar. Syarḥ Musykil al-Atsār. Beirut: Muassasah al-Risālah,
1987.
Al-Tirmiẓi, Muḥammad ibn ‘Isā. Sunan al-Tirmiẓi. Beirut: Dār al-Iḥyā’ al-Turāts
al-ʻArābī, t.t.
Ṭaḥḥān, Mahmūd. Taysīr Musṭalāh al-ḥadīts. Riyadh: Maktabah al-Maʻārif, 2004.
_______. Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd. Riyadh: Maktabah Dār al-
Maʻrifah, 1996.
Al-Tamīmī, Muhammad bin Hibban. Ṣāḥiḥ Ibn Hibbān. Beirut: Muassasah al-
Risālah, 1993.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
1999.
Al-Zahabi, Syams al-Dīn. Siyar al-Aʻlām al-Nubalā’. Beirut: Muassasah al-
Risālah, t.t.
_______. Mīzān al-I’tidāl fi Naqd al-Rijāl. Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1963.
https://tirto.id/menguji-kebenaran-kisah-sukarno-menemukan-makam-imam-
bukhari-cFjT, diakses pada 17 April 2018.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kreolin, diakses pada 5 Mei 2018.
136
Lamp Hasil Pelacakan Hadis-Hadis Referensi Pemikiran Keagamaan Soekarno-Natsir
Hadis-Hadis dalam Pemikiran Soekarno (Islam Sontoloyo)
a. Dunia bagi serani, akhirat bagi muslim1
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“al-dunyā” dan “kāfir” H.R. Muslim dari Abū Hurairah2
ث نا عبد العزيز بة بن سعيد حد ث نا ق ت ي ء عن أبيه عن أب هري رة قال عن العل -راوردى ي عن الد -حدن ي » -ه وسلمصلى هللا علي-قال رسول الل «.ا سجن المؤمن وجنة الكافر الد
H.R. Ibn Hibbān dari Abū Hurairah3
بة بن سعيد، وهشام أخبن إسحاق بن إب راهيم بن إساعيل ببست، ق ث نا ق ت ي ار، قال: ب ال: حد ن عمد، عن العلء، عن أب ث نا عبد العزيز بن مم صلى الل عليه ن أيب هري رة، قال: قال رسول الل يه، ع حد
ن يا سجن المؤمن، وجنة الكافر »وسلم: الد
1 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 2 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 8, h. 210. 3 Ibn Mājjah al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, j. 4, h. 158.
137
H.R. Al-Tirmiẓi dari Abū Hurairah4
د ث نا عبد العزيز بن مم بة قال: حد ث نا ق ت ي ه، عن أيب هري رة، لعلء بن عبد الرحن، عن أبي، عن احد عليه وسلم: ؤمن وجنة الكافر الد »قال: قال رسول الل صلى الل
لباب عن عبد الل وف ا« ن يا سجن امل
«حيح هذا حديث حسن ص »بن عمرو:
H.R. Al-Hakim dari Salman5
ث نا أبو بكر بن إسحاق ، وعلي بن حشاذ ، ق ث نا أبو المثن العنبي حد ث نا علي بن ال : حد ، حدد الوراق ، عن ث نا سعيد بن مم لمان ، رضي وسى الهني ، عن زيد بن وهب ، عن س م المدين ، حد
عت رسول هللا صلى الل عليه ن يا سجن المؤمن الل عنه ، قال : س وجنة الكافر وسلم ، ي قول : الدعت رسول هللا صلى الل ن يا أكث رهم جوع أطول ال عليه وسلم ، ي قول : وس ا ي وم القيامة.ناس شب عا ف الد
4 Muḥammad bin ‘Isā al-Tirmiẓi, Sunan al-Tirmiẓi, (Beirut: Dār al-Iḥyā’ al-Turāts al-ʻArābī, t.t.), j. 4, h. 562. 5 Al-Ḥākim al-Naisābūrī, al-Mustadrak ‘ala al-Ṣaḥīḥain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), j. 3, h. 699.
138
H.R. al-Ṭabrānī dari Salman6
د بن ممد الوراق، ثنا حدثنا ممد بن حيىي بن منده األصبهاين، ثنا سعيد بن عنبسة الرازي، ثنا سع صلى هللا بن وهب، عن عامر بن عطية، عن سلمان قال: سعت رسول هللا موسى الهن، عن زيد
دنيا سجن اي سلمان ال إن أطول الناس جوعا يوم القيامة أكثرهم شبعا ف الدنيا،»عليه وسلم يقول: «املؤمن وجنة الكافر
H.R. Ibn Mājjah dalam Sunan-nya dari Abū Hurairah.7
ث نا أبو مروان د بن عثمان العثماين ق حد ث نا عبد العزيز بن أيب حازم،مم ء بن عبد عن العل ال: حدن ي »الل صلى هللا عليه وسلم: الرحن، عن أبيه، عن أيب هري رة، قال: قال رسول المؤمن، ا سجن الد
«وجنة الكافر
H.R. Aḥmad dari Abū Hurairah dalam Musnad-nya.8
6 Abu al-Qāsim al-Ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Mosul: Maktabah al-‘Ulūm wa al-Hukm, 1983), j. 6, h. 236. 7 Ibn Mājjah, Sunan ibn Mājjah, j. 2, h. 1378. 8 Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imām Aḥmad bin Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurṭubah, t.t.), j. 2, h. 323.
139
ث نا زهي، عن العلء، عن أ ث نا أبو عامر، حد ى هللا عليه وسلم قال: بيه، عن أيب هري رة، عن النيبي صل حدن يا س جن المؤمن وجنة الكافر " الد
b. Satu jam bertafakur lebih baik daripada beribadah satu tahun9
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“tafakkaru” dan “sanatan” Imam al-Baihāqī dalam Syuʻabu al-Īmān,10
ار، حدثنا سعدان ب إساع أخبن أبو السي بن بشران، أخبن ف د الص ن نصر، حدثنا يل بن ممرداء، عن أيب ن سال بن أيب العد، عن أمي الد أبو معاوية، عن األعمش، عن عمرو بن مرة، ع
ر ساعة خي رداء قال: ت فك لة الد من قيام لي
Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd,11
9 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 10 Abu Bakar al-Baihāqī, Syuʻabu al-Īmān, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), j. 1, h. 261. 11 Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, (t.k.: Dār Ibn Rajab, 2003), j. 1, h. 262.
140
ث نا ث نا أبو معاوية ، حد سال األعمش ، عن عمرو بن مرة ، عن حدثنا عبد هللا حدثن أيب حدر رداء ، عن أيب الد ر ساعة خي من قي داء بن أيب العد ، عن أمي الد لة قال : ت فك .ام لي
Abu Dawud al-Sijistānī dalam al-Zuhd,12
د بن العلء، قال ث نا أبو داود قال: ن مم عمرو، عن : ن أبو معاوية , قال األعمش، عن حدرداء، عن سال ي عن ابن أيب ا ر ساعة لعد عن أمي الد فك رداء، قال: الت لة.خ أيب الد ي من قيام لي
Abu Naim al-Asbahānī dalam Ḥilyatu al-Awliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiya’.13
د بن إب راهيم، ث نا ث نا سعيد بن مم د حد بة، ث نا إب ر مم اهيم بن إسحاق، بن عثمان بن أيب شي ، عن سال بن أيب ا هن ار الد رداء ث نا ق يس بن عم ر »، أنه قال: لعد، عن معدان، عن أيب الد ت فك
«لة ساعة خي من قيام لي
12 Abu Dawud al-Sijistānī, al-Zuhd, (Halwan: Dār al-Misykāh, 1993), j. 1, h. 191. 13 Abu Naʻim al-Aṣbahānī, Ḥilyatu al-Awliyā’ wa Ṭabaqātu al-Aṣfiya’, (Beirut: Dār al-Kutub, 1974), j. 1, h. 208.
141
Ibn Ḥajar dalam al-Gharāib al-Multaqiṭah min Musnad al-Firdaus14
م ي اه ر ب إ ن ب ي ل ا ع ن ث د ، ح د ح أ ن ب ح ال ا ص ن ث د ح ه ،ل م ن ب ر اه ط ن ب خ ، أ ر ص ن ن ب د ح أ ن ب خ أ د ع ا س ن ث د ، ح ين ا رك و ال ر ف ع ج ن ب د م ا م ن ث د ، ح يور اب س ي الني اق ح س إ ن ب م ي اه ر ب ا إ ن ث د ، ح ن ي و ز ق ال
ة اد ب ع ن م ي خ ار ه الن و ل لي ال ف ل ت اخ ف ة اع س ر ك ف ت : ل و ق ي ك ال م ن ب س ن أ ت ع ، س ة ر س ي م ن ب .ة ن س ف ل أ
c. Mukmin harus lembek dan menurut seperti onta yang telah ditusuk hidungnya15
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“al-Jamal” dan “al-anif” Sunan Ibn Mājjah16
ث نا إساعيل بن بشر بن منصور ، وإسحاق بن إ واق ، قال حد ث نا ع : ب راهيم الس بد الرحن بن حدلم عن معاوية بن صالح، عن ضمرة بن حبيب ،مهديي ، أنه يي ، عن عبد الرحن بن عمرو السع ال ها ،م موعظة عليه وسل : وعظنا رسول هللا صلى هللاعربض بن سارية ي قولس ذرفت من
14 Ibn Ḥajar al-Asyqalānī, al-Gharāib al-Multaqiṭah, j. 1, h. 1218. 15 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 11. 16 Ibn Mājjah al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājjah, (t.k.: Dār Ihyā’ al-Kutub al-ʻArābiyyah, t.t.), h. 16.
142
ها القلوب، ف قلنا : اي رسول هللا نا؟ ، هذه لموعظة موديع ، إن العيون، ووجلت من فما ت عهد إلي لها كن هارها: قد ت ركتكم على الب قال ه يضاء لي ، فمن يعش منكم إل هالك ا ب عدي ، ل يزيغ عن
تم من سنت ، ف عليكم فسيى اختلفا كثيا ها ، ع الراشدين المهدييي ، وسنة اللفاء با عرف وا علي ضواجذ، وعليكم بلطاعة، وإن عبدا ا المؤمن حبشيابلن ثما قيد ان قاد.كالمل األنف ، فإن ، حي
Al-Mu’jam al-Kabīr karya al-Ṭabarānī,17
ن ضمرة بن حبيب عن وحدثنا بكر بن سهل ثنا عبد هللا بن صاحل قال : ثنا معاوية بن صاحل عا رسول هللا صلى سارية السلمي يقول وعظنعبد الرحن بن عمرو السلمي أنه سع عربض بن
سول هللا هذه موعظة هللا عليه و سلم موعظة ذرفت منه األعي ووجلت منه القلوب قلنا : اي ر ل يزيع عنها بعدي إل مودع فما تعهد إلينا ؟ قال : ) لقد تركتكم على البيضاء ليلها كنهارها
ة اللفاء الراشدين م با عرفتم من سنت وسنهالك ومن يعش منكم فسيى اختلفا كثيا فعليكمل األنف حيثما قيد وعليكم بلطاعة وأن عبدا حبشيا عضوا عليها بلنواجذ فإنا املؤمن كال
.انقاد
17 al-Ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, j. 18, h. 247.
143
al-Amtsāl fi al-Ḥadīts al-Nabawī karya Abu Syekh al-Aṣbahānī.18
د بن العباس بن أيوب، ث نا مم ، عيل بن بشر بن منصور، ث نا عبد الر ث نا إساحد حن بن مهديي، أ عن معاوية بن صالح، عن ضمرة بن حبيب، عن ع لميي ع العربض بد الرحن بن عمرو الس نه س
لطاعة وإن عبدا عليكم ب »صلى هللا عليه وسلم: عنه قال: قال رسول الل بن سارية، رضي الل ثما ا المؤمن كالمل األنف حي «قيد ان قاد حبشيا، فإن
d. Nabi sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia.19
Kata Kunci Hasil Pelacakan
- Sahih Muslim20
بة وعمرو الناقد كله ث نا أبو بكر بن أب شي ث نا أسود بن قال أبو بكر ح ا عن األسود بن عامر حد دث نا حاد بن سلمة عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة وعن ثبت عن أنس أن الن عامر ملسو هيلع هللا ىلصب حد
18 Abu Syekh al-Aṣbahānī, al-Amtsāl fi ḥadīts al-Nabawī, (Bombay: Dār al-Salafiyyah, 1987), h. 245. 19 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 35. 20 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95.
144
لوا ق لت نخلكم. قا. قال فخرج شيصا فمر بم ف قال ما ل "لو ل ت فعلوا لصلح " مر بقوم ي لقيحون ف قال ."أن تم أعلم بمر دن ياكم "كذا وكذا قال
Imam Ahmad dalam Musnad-nya 21
ثنا عبد الصمد ثن أيب، حد ثنا عبد هللا، حد ثنا حاد، عن ثبت عن أنس ق حد ع ، حد ال سحون النخل ف قال لو ت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أصوات ف قال ما هذا ق ركوه ف لم الوا ي لقي
حوه فخرج شيي لقي كم قالوا ل صا ف قال النيب صلى هللا عليه وسلم ما حوه لصلح فرتكوه ف لم ي لقي فأن تم أعلم إذا كان شيء من أمر دن ياكم ": ت ركوه لما ق لت ف قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
"به، فإذا كان من أمر دينكم فإل
Imam al-Ṭaḥāwī dalam Syarḥ Musykil al-Atsār,22
"ه، فإذا كان من أمر دينكم فإل إذا كان شيء من أمر دن ياكم فأن تم أعلم ب "
21 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1999), j. 20, h. 19. 22 Abū Jaʻfar al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1987), j. 4, h. 424.
145
Imam al-Bazzār dalam Musnad-nya.23
"ه، فإذا كان من أمر دينكم فإل إذا كان شيء من أمر دن ياكم فأن تم أعلم ب "
e. Satu Fihak ditempatkan di muka, dan satu fihak lagi di bagian belakang, sebagai yang dicontohkan oleh Nabi.24
Kata Kunci Hasil Pelacakan
- Sahih Muslim25
ث نا ث نا جرير عن حد ث نا زهي بن حرب حد قال رسول الل هيل عن أبيه عن أب هري رة قال س حد ."لاوشرها أو صفوف النيساء آخرها خي صفوف الريجال أولا وشرها آخرها وخي ": ملسو هيلع هللا ىلص
al-Ṭabarānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr26 dan al-Muʻjam al-Awsaṭ,27
23 Abū Bakr al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, (Madinah: Maktabah ʻUlm wa al-Hukm, 2009), j. 13, h. 355. 24 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 47. 25 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 2, h. 32. 26 Abū al-Qāsim Sulaimān al-ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Mosul: Maktabah al-ʻUlum wa al-Hukm, 1983), j. 8, h. 165. 27 Abū al-Qāsim Sulaimān al-ṭabarānī, al-Mu’jam al-Kabīr, (Kairo: Dār al-Haramain, 1415 H), j. 3, h. 45.
146
عفي بن معدان عن سليم حدثنا أبو زيد أحد بن يزيد الوطي ثنا أبو اليمان الكم بن نفع ثناخي صفوف لم قال : بن عامر عن أيب أمامة رضي هللا عنه : أن رسول هللا صلى هللا عليه و س
النساء أولا الرجال أولا وشر صفوف الرجال آخرها وخي صفوف النساء آخرها وشر صفوف
Sunan Abū Dawūd,28
ث نا خا د بن الصباح الب زاز ، حد ث نا مم ء ، عن سه حد يل بن أيب صالح لد ، وإساعيل بن زكرايال صلى هللا عليه وسلم : خي صفوف الريج أبيه ، عن أيب هري رة ، قال : قال رسول هللا ، عن
لا وشرها آخرها ، وخي صفوف النيساء آخر ها وشرها أولا.أو
Sunan al-Dārīmī,29
عليه وسلم ن أيب هري رة ، عن النيبي صلى هللاع عن ابن عجلن ، عن أبيه , أخبن أبو عاصم ، ولا.أ خي صفوف النيساء آخرها وشرها قال : خي صفوف الريجال أولا وشرها آخرها و
28 Abu Dawud al-Sijistānī, Sunan Abī Dawūd, (Beirut: Dār al-Kutb al-ʻArabī, t.t.), h. 253. 29 Abū Muhammad al-Dārīmī, Sunan al-Dārīmī, (Beirut: Dār al-Fikr, 1407 H), j. 1, h. 97.
147
Saḥīḥ Ibn Ḥuzaimah,30
، ثنا العلء بن عبد الر اد بن عبدة، أخبن عبد العزيز ي عن ثنا أح راوردي حن، عن أبيه، عن أيب لدخي صفوف »م: ل ال رسول الل صلى هللا عليه وس هري رة، وسهل، عن أبيه، عن أيب هري رة قال: ق لا، وشرها آخرها، وخي صفوف الني «ساء آخرها، وشرها أولاالريجال أو
Musnad Ahmad,31
ثنا سفيان، عن ثن أيب، حد ثنا عبد هللا، حد ة رواية خي هري ر بن عجلن عن سعيد، عن أيب احد أولا النيساء آخرها وشر صفوف النيساء صفوف الريجال أولا وشرها آخرها وخي صفوف
Musnad al-Ṭayālisī,32
ى هللا ، أن النيب صل حدثنا أبو داود قال : حدثنا وهيب ، عن سهيل ، عن أبيه ، عن أيب هريرةلنساء آخرها ، اخي صفوف الرجال أولا ، وشرها آخرها ، وخي صفوف » عليه وسلم قال :
وشرها أولا
30 Muhammad ibn Isḥāq ibn Ḥuzaimah al-Naisabūrī, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥuzaimah, (Beirut: al-Maktabah al-Islāmī, 1970), j. 3, h. 27. 31 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, j. 12, h. 320. 32 Sulaiman ibn Dāwud ibn al-Jārūd, Musnad Abī Dāwud al-Ṭayālisī, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, t.t.), h. 316.
148
f. Agama adalah bagi orang yang berakal.33
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“din” dan “aql” Syuʻāb al-Īmān karya Imam al-Baihāqī34
غاين، بر أخبن أبو عبد هللا الافظ، أخبن أبو عليي د الص ث نا حيىي بن السي بن مم و، حدث نا أبو غان ث نا حامد بن آدم، حد ، عن جابر بن ساسويه، حد د هللا، قال: قال عب ، عن أيب الزبي
عليه وسلم: " قوام المر ء عقله، ول دين لمن ل عقل له ".رسول هللا صلى اللal-Aṣbahānī dalam Ḥilyat al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’35
ث نا علي بن أحد بن عليي ، ث ن حد ، ث ناالمصييصي علي بن زايد ا أيوب بن سليمان المصييصي، عن أيب المقرئ، ث نا عبد العزيز بن أيب حازم، ث نا مو هري رة، قال: سى بن عب يدة، عن القرظيي
هذا « عقل له لمن ل أمانة له، ول دين لمن ل ل إميان » عليه وسلم: قال رسول هللا صلى هللا .ن عب يدة حديث غريب من حديث القرظيي ت فرد به موسى ب
33 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 66. 34 al-Baihāqī, Syuʻabu al-Īmān, j. 6, h. 355. 35 Abū Naʻim al-Aṣbahānī, Ḥilyat al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’, (Beirut: Dār al-Kutb, 1974), j. 3, h. 220.
149
g. Nabi bersabda: panci ini harus dicuci dengan tujuh kali, antaranya satu kali dengan tanah36
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“din” dan “aql” Muslim37
ث نا إساعيل بن إب ث نا زهي بن حرب حد ان عن مم وحد د بن سيين عن راهيم عن هشام بن حسسبع مرات له دكم إذا ولغ فيه الكلب أن ي غس طهور إنء أح : ملسو هيلع هللا ىلصأب هري رة قال قال رسول الل
اب أولهن بلرتImam al-Nasā’ī dalam Sunan al-Nasā’ī al-Mujtabā38 dan Sunan al-Kubrā,39
أيب صالح ، سهر ، عن األعمش ، عن أيب رزين و أخبن علي بن حجر قال : أن بأن علي بن م دكم ، ف ليقه لم : إذا ولغ الكلب ف إنء أح هري رة قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسعن أيب
.، ث لي غسله سبع مرات.
36 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 176. 37 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 1, h. 162. 38 Abū Abd al-Raḥmān al-Nasā’ī, al-Mujtabā min al-Sunan: Sunan al-Nasā’ī, (Aleppo: Maktabah al-Maṭbūʻāt, 1986), h. 177. 39 Abū Abd al-Raḥmān al-Nasā’ī, Sunan al-Kubrā, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʻImiyyah, 1991), j. 1, h. 77.
150
Musnad Aḥmad,40
ان عن ابن سي ث نا إساعيل عن هشام بن حس أيب هري رة قال قال رسول ين عن حد الل صلى اللاب لكلب أن ي غسله سبع مرات أولهن عليه وسلم طهور إنء أحدكم إذا ولغ فيه ا بلرت
Sunan al-Daruqutnī,41
ث نا ب ث نا ابن صاعد ، حد ث حد ث نا األوزاع ر بن نصر ، حد ي عن ابن سيين نا بشر بن بكر ، حد الكلب أن طهور إنء أحدكم إذا ولغ فيه عن أيب هري رة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
اب ي غسله سبع مرات أول هن بلرت
Saḥīḥ Ibn Hibbān,42
40 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, j. 15, h. 314. 41 Ali ibn ʻUmar al-Dāruqutnī, Sunan al-Dāruqutnī, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1966), j. 1, h. 64. 42 Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibban, j. 4, h. 112.
151
، ح ريي ث نا ابن أيب الس بة، حد ث نا عبد الرزاق، أخبن معمر أخبن ابن ق ت ي ، عن هام بن من بيه، دإذا ولغ فيه طهور إنء أحدكم »عليه وسلم: عن أيب هري رة، قال: قال رسول الل صلى الل
«الكلب أن ي غسل سبع مرات
Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār karya al-Baihaqī,43
س قال : أخبن الربيع قال : أخبن أبو زكراي ، وأبو بكر ، وأبو سعيد ، قالوا : أخبن أبو العباياين ، عن ممد بن أخبن الشافعي قال : أخبن ابن عيينة ، عن أيوب بن أيب متيمة السختولغ الكلب ف إنء سيين ، عن أيب هريرة ، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال : " إذاصحيح ، من حديث أحدكم فليغسله سبع مرات ، أولهن أو أخراهن برتاب " أخرجه مسلم ف ال
ولغ فيه الكلب ، أن ، عن ابن سيين ، إل أنه قال : " طهور إنء أحدكم إذا ن حسانهشام بفيه ف حديث أيب يغسله سبع مرات ، أولهن بلرتاب " وممد بن سيين ينفرد بذكر الرتاب
لنيب صلى هللا عليه وسلم اهريرة وقد رواه مطرف بن عبد هللا ، عن عبد هللا بن مغفل املزين ، عن لثامنة ف الرتاب " اأنه قال : " إذا ولغ الكلب ف اإلنء فاغسلوه سبع مرات ، وعفروه إل
وأخرجه مسلم ف الصحيح
43 Aḥmad ibn al-Ḥusain al-Baihaqī, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atsār, (Damaskus: Dār Qutaibah, 1991), j. 2, h. 58.
152
dan Muṣannaf Ibn Abī Syaibah.44
ث نا ابن علية ، عن هشام ، عن ابن سيين ، عليه وسلم ن أيب هري رة ، عن النيبي صلى هللاع حد
اب ن ي غسله سبع مرات ، أولهن بل، قال : طهور إنء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أ .رت
Sunan Abu Dawud
ث نا زائدة ، ف حد ث نا أحد بن يونس ، حد د ، عن حد رة ، عن النيبي أيب هري يث هشام ، عن ممار ، أولهن فيه الكلب ، أن ي غسل سبع مر صلى هللا عليه وسلم قال : طهور إنء أحدكم إذا ولغ
.برتاب
Bukhārī45
قال إن رسول ، عن أيب هري رة ند، عن األعرج الزي ث نا عبد هللا بن يوسف، عن مالك، عن أيب حد عا.: إذا شرب الكلب ف إنء أحدكم ف لي قال ملسو هيلع هللا ىلصهللا غسله سب
44 Abū Bakr ibn Abī Syaibah, Muṣannaf Ibn Abī Syaibah, (Riyadh: Maktabah al-Rasyīd, 1409 H), j. 7, h. 297. 45 Muḥammad ibn ʻIsmāʻīl al-Bukhārī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ, )Beirut: Dār Ṭauq al-Najāh, 1422 H), j. 1, h. 45.
153
h. Maka nabi bersabda: “kamu orang tidak mengharap sia-sia. Kamu orang boleh pergi. Kamu orang aman. Kamu orang
merdeka!”46
Kata Kunci Hasil Pelacakan
Lā tatsrība ‘alaikum al-Baihaqī dalam al-Sunan al-Kubrā47
ة فأخذ بعضادتى ذا اإلسناد قال : ث أتى الكعب زاد فيه القاسم بن سلم بن مسكي عن أبيه ب ل وقالوا ذلك ول ابن أخ وابن عمي حليم رحيم قا. قالوا :ن ق "ما ت قولون وما تظنون "ف قال :الباب
لكم وهو ت ثريب عليكم الي وم ي غفر الل أقول كما قال يوسف )ل ":ملسو هيلع هللا ىلصثلث ف قال رسول الل ي( ا نشروا من "أرحم الراح ه أبو بكر بن القبور فدخلوا ىف اإلسلم أخبن . قال فخرجوا كأن
ث نا م ل أخبن أبو سعيد الرازى حد د بن أيوب أخبن القاسم بن س المؤم م فذكره.ل م
al-Nasā’ī dalam al-Sunan al-Kubrā-nya,48
ث نا سليمان بن المغية ، قال ث نا زيد بن الباب ، حد ثن أخبن أحد بن سليمان ، حد : وحدنصاريي ، قال سلم بن مسكي بن ربيعة النمري ، عن ثبت الب نايني ، عن عبد هللا بن ربح األ
هري رة : وفدن إل معاوية بن أيب سفيان ومعنا أبو هري رة ، وذلك ف شهر رمضان ، فكان أبو
46 Soekarno, Islam Sontoloyo, h. 200. 47 al-Baihaqī, al-Sunan al-Kubrā, j. 9, h. 118. 48 al-Nasā’ī, Sunan al-Kubrā, j. 6, h. 382.
154
يت أب هري رة بلعشيي يدعو كثيا إل رحله ، ف قلت ألهلي : اجعلوا لنا طعاما ، ف فعلوا ، ف لق ها ، ف قلت : أجل ، قال : فجاءن لة ، ف قال : لقد سب قتن إلي عوة عندي اللي ف قال ف قلت : الد
ا ف تح رسول هللا صلى الل : اي معشر األنصار ، أل أعلمكم بديث من حديثكم ؟ قال : لم عليه وسلم الزبي بن العوام على إح ة است عمل رسول هللا صلى الل دى المجنيب تي عليه وسلم مك
رسول هللا صلى الل عليه وسلم ف كبكبة ، وخالد بن الوليد على األخرى ، قال : ف بصر يب يك اي رسول هللا ، قال : اهتف ل بألنصار ف هت فت بم ، فطافوا برسو ل ف هتف يب ، ق لت : لب
م كانوا على عليه وسلم كأن ميعاد ، قال : اي معشر األنصار ، إن ق ريشا قد جعوا هللا صلى اللفا ميعادكم فا ، الص قال أبو هري رة : لنا ، فإذا لقيتموهم فاحصدوهم حصدا ، حت ت وافوين بلص
هم أحدا إل ف عل نا به كذا وكذا ، وجاء أبو سفيان ف قال : اي رسول هللا ، أبت فما لقينا من به ف هو خضراء ق ريش ، ل ق ريش ب عد الي وم ، قال رسول هللا صلى الل عليه وسلم : من أغلق ب
لح ف هو آمن ، ولأت صناديد آمن ، ومن دخل دار أ يب سفيان ف هو آمن ، ومن ألقى السي عليه وس لم حت ق ريش وعظماؤها إل الكعبة ، ي عن دخلوا فيها قال : فجاء رسول هللا صلى الل
عل مير بتلك األصنام ف يطعن ها بسية القوس وي قول : }جاء الق وزهق الباطل طاف بلب يت ، فج ق ريش إن الباطل كان زهوقا{ حت إذا ف رغ وصلى جاء فأخذ بعضادت الباب ث قال : اي معشر
ذلك ت قولون ؟ قالوا : ن قول : ابن أخ ، وابن عمي رحيم كرمي ، ث عاد عليهم القول قالوا مثل ، ما
155
رحم ، قال : فإيني أقول كما قال أخي يوسف : }ل ت ثريب عليكم الي وم ي غفر الل لكم وهو أ فا فا لميعاد األنصار ، ف قام على الص ي{ فخرجوا ف باي عوه على اإلسلم ث أتى الص على الراح
ه ، ف قالت األن وأثن عليه ، وذكر نصره إاي صار ، وهم أسفل مكان ي رى الب يت منه ، فحمد الللك ، قال أبو منه : أما الرجل ف قد أدركته رأفة لقرابته ، ورغب ته ف عشيته ، فجاءه الوحي بذ
عليه وسلم إذا جاءه الو حي ل يستطع أحد منا ي رفع طرفه إليه هري رة : وكان رسول هللا صلى اللا الر ا قضي الوحي قال : هيه اي معشر األنصار ، ق لتم : أم قضي الوحي عنه ، ف لم جل حت ي ن
ه ، والل إيني لرسول هللا ، لقد هاجرت إل هللا ، ث إليكم ، فأدركته رأفة بقرابته ورغبة ف عشيت يوخ ي بكون ، حت بل الد موع لاهم المحيا مياكم ، والممات ماتكم قال أبو هري رة : ف رأيت الشي
قد ص ، ث قالوا : مع دقكم ذرة إل هللا ورسوله ، والل ما ق لنا إل ضنا بلل وبرسوله ، قال : فإن الل ورسوله ، وقبل ق ولكم.
Syarḥ Maʻāni al-Atsār,49
أبيه بذا اإلسناد قال : ث أتى الكعبة فأخذ بعضادتى زاد فيه القاسم بن سلم بن مسكي عن . قالوا :ن قول ابن أخ وابن عمي حليم رحيم قال وقالوا ذلك "ما ت قولون وما تظنون "الباب ف قال :
49 Abū Jaʻfar al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, (Beirut: al-ʼAlām al-Kutb, 1994), j. 3, h. 325.
156
ول كما قال يوسف )ل ت ثريب عليكم الي وم ي غفر الل لكم وهو أق ":ملسو هيلع هللا ىلصثلث ف قال رسول الل ي( ا نشروا من القبور فدخلوا ىف اإلسلم أخبنه أبو بكر بن "أرحم الراح . قال فخرجوا كأنل أخبن د بن أيوب أخبن القاسم بن سلم فذكره.المؤم ث نا مم أبو سعيد الرازى حد
Ibn Hisyām dalam Sīrah-nya50
خ كرمي وابن . قالوا : خيا أ "ن أني صانع بكم؟ت رو ما "اجتمعوا ىف المسجد : أنه قال لم حي ."اذهبوا فأن تم الطلقاء "أخ كرمي. قال :
al-Ṭabarī dalam al-Tārikh al-Ṭabarī.51
خ كرمي وابن . قالوا : خيا أ "ن أني صانع بكم؟ت رو ما "اجتمعوا ىف المسجد : أنه قال لم حي ."اذهبوا فأن تم الطلقاء "كرمي. قال :أخ
50 Abd al-Mālik ibn Hisyām, al-Sīrah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dār al-Jīl, 1411 H), j. 5, h. 51 Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, al-Tārikh al-Ṭabarī, (Beirut: Dār al-Turāts, 1387 H), j. 3, h. 60-61.
157
Hadis-Hadis dalam Pemikiran Natsir (Islam dan Akal Merdeka)
a. Agama itu ialah akal, tidak ada agama bagi seorang yang tidak mempunyai akal52
- Lihat lampiran hadis Soekarno
b. Tuntutlah Ilmu dari buaian sampai ke liang lahat53
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“Uṭlub al-ilma” Tidak ditemukan dalam kitab hadis uṣūl
c. Barang siapa yang memulai satu cara (keduniaan) yang baik, dia akan mendapat ganjarannya, ditambah sebanyak ganjaran orang-
orang yang menjalankan cara yang baik itu sampai hari kiamat.54
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“man sanna sunnatan ḥasanatan” Ibn Mājjah dalam Sunan-nya55
52 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 21. 53 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 22. 54 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 22, 150. 55 Ibn Mājjah, Sunan Ibn Mājjah, J. 1, h. 75.
158
- : جحيفة قالحدثنا حممد بن حيىي . حدثنا أبو نعيم . حدثنا إسرائيل عن احلكم عن أيبان له أجره ومثل فعمل هبا بعده كحسنة قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم )ومن سن سنة
ده كان عليه وزره رهم شيئا . ومن سن سنة سيئة فعمل هبا بعأجورهم من غري أن ينقص من أجو ومثل أوزارهم من غري أن ينقص من أوزارهم شيئا (
al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr56
وحدثنا أبو خليفة ثنا إبراهيم بن بشار قاال حدثنا معاذ بن املثىن ثنا مسدد ) ح ( -أيب وائل عن جرير : قال : جاء قوم من ثنا سفيان حدثنا عاصم بن أيب النجود عن
أهل البادية إىل النيب صلى هللا عليه و سلم جمتايب النمار فسألوه فحث النيب صلى هللا عليه و سلم الناس على الصدقة فأبطأوا هبا حىت عرف ذلك يف وجه رسول هللا صلى
اس يف الصدقة هللا عليه و سلم فجاء رجل من األنصار بقطعة ترب فألقاها فتتابع النحىت عرف السرور يف وجه رسول هللا صلى هللا عليه و سلم وقال : ) من سن سنة حسنة فعمل هبا بعده كان له مثل أجرها وأجر من عمل هبا من غري أن ينقص من
56 al-Ṭabrānī, al-Muʻjam al-Kabīr, J. 22, h. 74.
159
أجورهم شيء ومن سن سنة سيئة فعمل هبا كان عليه وزرها ووزر من عمل هبا من غري أن ينقض من أوزارهم شيء (
عياش عن عاصم ثنا احلسني بن إسحاق التسرتي ثنا حيىي احلماين ثنا أبو بكر بنحد -سلم فحث عن أيب وائل عن جرير : قال : سأل رجل رسول هللا صلى هللا عليه و
سلم فجاء الناس على الصدقة حىت رؤي ذلك يف وجه رسول هللا صلى هللا عليه وي السرور يف وجه هللا عليه و سلم فرؤ رجل من األنصار بذهبة فنبذها إىل النيب صلى
الم فعمل هبا سن سنة حسنة يف االس من صلى هللا عليه و سلم فقال : )رسول هللان سن سنة وم بعده كان له أجرها ومثل أجر من عمل هبا ال نقص من أجورهم شيءا ال ينقض من هبسيئة يف االسالم فعمل هبا بعده كان عليه وزرها ومثل وزر من عمل
زارهم شيء (أو
al-Ṭabrānī dalam Musnad al-Syamiyyīn57
حدثنا عمرو بن إسحاق بن إبراهيم بن العالء بن زبريق احلمصي ، ثنا جدي إبراهيم -بن العالء ، ثنا إمساعيل بن عياش ، عن عمر بن رؤبة ، عن عبد الواحد بن عبد هللا
57 Sulaiman ibn Aḥmad al-Ṭabrānī, Musnad al-Syamiyyīn, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1984), j. 4, h. 55.
160
من سن سنة » وسلم قال : النصري ، عن واثلة بن األسقع ، عن النيب صلى هللا عليهحسنة فله أجرها وأجر من عمل هبا يف حياته وبعد مماته حىت يرتك ، ومن مات مرابطا
«يف سبيل هللا أجرى هللا له أجر املرابط يف سبيل هللا حىت يبعث يوم القيامة
حدثنا حممد بن هارون بن حممد بن بكار ، ثنا العباس بن الوليد اخلالل ، ثنا زيد بن -ىي بن عبيد ، ثنا سعيد بن بشري ، عن قتادة ، عن محيد بن هالل ، عن عبد الرمحن حي
بن هالل ، عن جرير ، أن رجال من األنصار أعطى نيب هللا صلى هللا عليه وسلم صرة من ذهب ميأل ما بني األصابع ، فقال : هذه يف سبيل هللا ، مث أعطى أبو بكر ، مث
ى املهاجرون ، مث األنصار ، حىت أشرق وجه نيب هللا أعطى عمر بن اخلطاب ، مث أعطمن سن سنة حسنة يف » صلى هللا عليه وسلم ، وعرفنا الفرح يف وجهه ، مث قال :
اإلسالم فعمل هبا من بعده ؛ فله مثل أجورهم ، وال ينقص ذلك من أجورهم شيئا ، ارهم ، وال ينقص ومن سن سنة سيئة يف اإلسالم ، فعمل هبا من بعده فعليه مثل أوز
«من أوزارهم شيئا
161
Ibn Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya,58
ث نا حيىي بن أيوب ال - ث نا إ مساع يل بن جع أخربن أبو ي على حد فر أخربين العالء مقاب ر ي حد عليه وسلم قال: "من دع صل عن أب يه عن أيب هري رة أن رسول الل ا إ ىل هدى كان ى الل
ثل أجور من تب عه ال ي ن قص ن األجر م ن أجور ه م شيء ومن دعا إ ىل ض له م اللة كان م ن اإل مث م ثل آثم من تب عه ال ي ن ص ذل ك م ن آثمهم شيئاق عليه م
ث نا شعبة، عن عون بن - ، حد ي ث نا أبو الول يد الطيال س ، حد أخربن الفضل بن احلباب فة، قال: مس عت المنذ ر بن جر ير حيد ث لنيب صلى عن أب يه قال: كنا ع ند ا أيب جحي
الل عليه وسلم م ن صدر الن هار ، فجاء ق وم حفاة عراة جمتايب الن مار عليه م سيوف، ن مضر، بل كلهم م ن مضر، ف رأيت وجه رسول الل صلى الل عليه وس لم عامت هم م ن الفاقة ، قال فدخل، فأمر ب الال، فأذن، مث أقام، فخرج، فصل هم م ن ى، ت غري لما رأى م ها زو ن دة وخلق م ن ن فس واح جها مث قال: " }ي أي ها الناس ات قوا ربكم الذ ي خلقكم م
كان الذ ي تساءلون ب ه واألرحام إ ن الل هما ر جاال كث ريا ون ساء وات قوا الل ن عليكم وبث م ( 18( ، }ات قوا الل ولت نظر ن فس ما قدمت ل غد{ )احلشر: من اآلية1رق يبا{ )النساء:
ن ث وب ه ، وم ن صاع ب ر ه ، وم ن صاع شع ري ه " ، ي تصد ق امرؤ م ن د ينار ه ، وم ن د ره ه ، وم
58 Ibn Ḥibban, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, j. 8, h. 101.
162
ز كفاه، بل قد عجزت، ق ترة، فجاء رجل م ن األنصار ب صرة كادت ت عج حىت ذكر ش عليه وسلم كومني م ن الث ياب مث ت تابع الناس ح ىت رأيت بني يدي رسول الل صلى الل
، ف لقد رأيت وجه رسول الل صلى الل عليه وسلم تلل حىت كأنه مذهبة ، مث والطعام ا من بعده، كان لهقال: "من سن سالم سنة حسنة، ف عم ل هب أجرها وأجر من يف اإل
ا من ب عده كان عليه و زرها وو زر ا م ن ب عد ه ، ومن سن سنة سي ئة، ف عم ل هب من ي عمل هب .عم ل هبا من بعده
Ibn Ḥuzaimah dalam Ṣaḥīḥ-nya,59
ث نا األعمش، عن مسل م - ث نا أبو معاو ية، حد ، حد ورق ي ث نا ي عقوب بن إ ب راه يم الد حد، عن جر ير بن عبد الل قال ي : خطب نا وهو ابن صب يح، عن عبد الرمحن بن ه الل العبس
رسول الل صلى هللا عليه وسلم فحث على الصدقة ، فأبطأ أنس حىت رئ ي يف وجه ه ن األنصار جاء ب صرة، فأعطاها، ف ت تابع الناس حىت رئ ي يف الغضب، مث إ ن رجال م
ه رسول الل صلى هللا عليه وسلم السرور، ف قال رسول الل صلى هللا عليه وسلم: وج قص م ن أجور ه م » ن غري أن ي ن ا م من سن سنة حسنة؛ فإ ن له أجرها وأجر من عم ل هب
59 Ibn Ḥuzaimah, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥuzaimah, j. 4, h. 112.
163
قص شيء، وم ن غري أن ي ن ا م ن سن سنة سي ئة كان عليه و زرها، ومثل و زر من عم ل هب ن أوزار ه م شيء «م
Imam Aḥmad dalam Musnad-nya, 60
م ابن أيب النجود ، ع - ث نا سفيان، عن عاص جر ير، أن ق وم ن أيب وائ ل، عن حد ا أت وا النيب ن األعراب جمتايب ليه وسلم ع لن مار ، فحث رسول هللا صلى هللا اصلى هللا عليه وسلم م
ن األنصايف وجه ه ، فجاء ر الناس على الصدقة ، فأبطئوا حىت رئ ي ذل ك ر ب ق طعة جل م سنة، يف وجه ه ف قال: " من سن سنة ح ت رب فطرحها، ف ت تابع الناس حىت عر ف ذل ك ثل أ ن ب عد ه كان له أجرها وم ا م ت جر من عم ل هب ف عم ل هب ن غري أن ي ن م ن قص ا م ن ب عد ه كان عليه و زرهاأجور ه م شيء، ومن سن سنة سي ئة، عم ل هب ن عم ل وو زر م ا م
ا وال ئا هب م شي ن أوزار ه ي نق ص ذل ك م
ث نا األعمش، عن مسل - ث نا أبو معاو ية، حد م ي عن ابن صب يح، عن عبد الرمحن بن حدي ، عن جر ير بن عبد هللا قال: خطب نا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فحث ن ا ه الل العبس
60 Ibn Hanbal, Musnad, J. 31, h. 536.
164
ب، وقال مرة: حىت بن، مث إ ن على الصدقة ، فأبطأ الناس حىت رئ ي يف وجه ه الغض ن األنصار جاء ب صرة فأعطاها رجال م
Abū Jaʻfar al-Ṭaḥawī dalam Syarḥ Musykil al-Atsār,61
ث نا ال - ، حد ط ي ث نا إمساع يل بن عمر الواس ث نا عل ي بن معبد، حد مسعود ي، عن عبد حدالمل ك بن عمري، عن ابن جر ير، عن أب يه ، قال: قد م نس على النيب صلى الل عليه
ف، هب م وسلم م ن مضر مت قل د ي السيوف جمتايب الن مار ، قال المسعود ي: الن مار الصو عليه السالم فحم د هللا وأثىن عليه , مث قال: " ضر شد يد وحاجة شد يدة ف قام النيب
قوا 1}ات قوا هللا الذ ي تساءلون ب ه واألرحام إن هللا كان عليكم رق يبا{ ]النساء: [ تصدقوا ل ي تصدق الرجل م ن د ينار ه ولي تصدق الرجل م ن د ره ه ولي تصدق ق بل أن ال تصد
ن تر ه " قال: فجاء رج ن ب ر ه ولي تصدق الرجل م ن شع ري ه ولي تصدق الرجل م ل الرجل م دقة لا م ز ف وضعها يف يد ه فسره ذل ك وأعجبه , مث تسارع الناس ب عد ف قال رسول ب ص
ثل أجر من ا ب عده كان له م هللا صلى الل عليه وسلم: " من سن سنة حسنة ف عم ل هب
61 Al-Ṭahāwī, Syarḥ Musykil al-Atsār, j. 1, h. 223.
165
ا ب عده كان عم ل هب قص م ن أجور ه م شيء ومن سن سنة سي ئة ف عم ل هب ن غري أن ي ن ا م ن أوزار ه م شيء " قص م ا م ن غري أن ي ن عليه م ثل و زر من عم ل هب
al-Dārimī dalam Sunan-nya, 62
رير قال قال جبن شجاع ثنا سفيان بن عيينة ثنا عاصم عن شقيق عن أخربن الوليد -ان له مثل أجر رسول هللا صلى هللا عليه و سلم : من سن سنة حسنة عمل هبا بعده ك
ه مثل وزر من عمل هبا من غري ان ينقص من أجره شيء ومن سن سنة سيئة كان عليسناده سليم أسد : إمن عمل هبا من غري ان ينقص من أوزارهم شيء قال حسني
حسن من أجل عاصم ولكن احلديث صحيح
al-Bazzār dalam Musnad-nya,63
حدثنا حممد بن معمر قال : ن الفضل بن دكني قال : ن أبو إسرائيل عن احلكم عن -أيب جحيفة رضي هللا عنه قال : دهم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم نس من قيس
62 Al-Dārimī, Sunan al-Dārimī, j. 1, h. 150. 63 Al-Bazzār, Musnad al-Bazzār, j. 10, h. 145.
166
سيوف فساءه ما رأى من هيئتهم فصلى مث دخل بيته مث خرج جمتايب النمار متقلدين الفصلى وجلس يف جملسه فأمر بلصدقة أو حض عليها فقال : " تصدق رجل من ديناره تصدق رجل من درهه تصدق رجل من صاع بره تصدق رجل من صاع تره " فجاء رجل من األنصار بصرة من ذهب فوضعها يف يده مث تتابع الناس حىت رأى
مني من ثياب وطعام فرأيت وجه رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يتهلل كأنه مذهبه كو مث قال عند ذلك : " من سن سنة حسنة عمل هبا بعده كان له أجرها ومثل أجورهم من غري أن ينتقص من أجورهم شيئا ومن سن سنة سيئة عمل هبا بعده كان عليه وزرها
قال أبو بكر : وهذا احلديث ال . ارهم شيئا "غري أن ينتقص من أوز ومثل أوزارهم من نعلمه يروى عن أيب جحيفة إال هبذا اإلسناد وأبو إسرائيل لني احلديث وقد روى عنه
سفيان الثوري ومجاعة كثرية واحتملوا حديثه .Imam Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya64
ث نا جر ير بن عبد ثن زهري بن حرب، حد ، عن موسى بن عبد هللا بن حد احلم يد ، عن األعمش ، عن جر ير بن عبد هللا ، قال: جاء ن ي س يز يد، وأيب الضحى، عن عبد الرمحن بن ه الل العبس
64 Muslim, Ṣaḥīḥ, j. 4, h. 2059
167
ن األعراب إ ىل رسول هللا صلى هللا عليه و هم م سلم عليه م الصوف ف رأى سوء حال م قد أصاب ت ن حاجة، فحث الناس على الصدقة ، فأبطئوا عنه حىت رئ ي ذل ك يف وجه ه . قال: مث إ ن رجال م
ن ور ق، مث جاء آخر، مث ت تاب عوا حىت عر ف السرور يف وجه ه ، ف قال رسول األنصار جاء ب صرة م ثل أجر من سن يف »هللا صلى هللا عليه وسلم: ا ب عده، كت ب له م سالم سنة حسنة، ف عم ل هب اإل
ا ب قص م ن أجور ه م شيء، ومن سن يف اإل سالم سنة سي ئة، ف عم ل هب ا، وال ي ن عده، من عم ل هب ن أوزار ه م شيء كت ب عليه م ثل و زر من عم ل قص م ا، وال ي ن هب
d. Nabi mengajarkan mengganti tawanan perang dengan disuruh mengajarkan anak-anak menulis dan membaca65
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“asrā” dan “usārā badr” al-Hākim dalam al-Mustadrak-nya.66
مد بن عبد بن عتاب العنزي ثنا حيىي بن جعفر بن الزبرقان ثنا علي بن عاصم أخربين أبو بكر حموحدثنا علي بن عيسى ثنا حممد بن املسيب ثنا إسحاق بن شاهني ثنا خالد ثنا داود بن أيب هند
65 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 23. 66 Al-Ḥākim, al-Mustadrak, j. 2, h. 425.
168
مل يكن ألنس من أسارى بدر : قال بن عبد هللا عن داود بن أيب هند عن عكرمة عن ابن عباس صلى هللا عليه و سلم فداءهم أن يعلموا أوالد األنصار الكتابة فداء فجعل رسول هللا
al-Baihāqī dalam Sunan al-Kubrā-nya,67
د بن حممد بن أمحد د ب أخربن أبو بكر : حمم ث نا أبو حمم منصور حيىي بن :ن رجاء األد يب حدى أبو ج القاض د بن موسى احللوان ث نا حمم ث نا موسى بن خاقان وفضل حد بن ع مران عفر حد
م قال أخربن ث نا عل ى بن عاص ند عن ع كر مة عن األعرج قاال حد بن عباس قال ا داود بن أىب ه أن ف داءهم -ه وسلمصلى هللا علي-ل الل : مل يكن ألنس م ن أسارى بدر ف داء فجعل رسو
ن األنصار ي بك ى ي وما إ ىل أب يه ي عل موا أوالد األنصار الك تابة قال فجاء غال ا قال له أبوه : م ف م م دا. ب ذحل بدر والل ال أتت يه أب شأنك؟ قال : ضربىن معل م ى. قال : اخلب يث يطلب
Aḥmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya,68 ث نا ع كر مة عن ابن عباس قال م قال قال داود حد ث نا عل ي بن عاص ن األسرى حد كان نس م
عليه وسلم ف داءهم أن ي عل م وا أوالد األنصار ي وم بدر مل يكن لم ف داء فجعل رسول الل صلى الل
67 Al-Baihāqī, Sunan al-Kubrā, j. 6, h. 322. 68 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad, j. 1, h.
169
ا شأنك قال ضربن معل م ي قال اخلب يث يطلب الك تابة قال فجاء ي وما غالم ي بك ي إ ىل أب يه ف قال م ب ذحل بدر والل ال أتت يه أبدا
e. Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah dan janganlah kamu berpikir tentang zat-Nya69
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“tafakkarū” dan “fī khalqillah”
Al-Aṣbahani dalam Ḥilyah al-Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’70
ثن أيب , ث نا عبد الصم بل، حد ث نا سليمان بن أمحد , ث نا عبد هللا بن أمحد بن حن د بن عبد حدم الوار ث , ث نا عبد الل يل بن عط ية قال: خرج رسول هللا ،, عن شهر , عن عبد هللا بن سال
ن أصحاب ه وهم ي ت فكرون يف خلق هللا ف قال رسول هللا صل ى هللا صلى هللا عليه وسلم على نس م ال ت فك روا يف هللا وت فكروا يف خلق هللا »قالوا: ن ت فكر يف هللا قال: « ف يم ت ت فكرون »عليه وسلم:
فلى ورأسه قد جاوز السماء العليا اب عة الس ما بني قدميه فإ ن رب نا خلق ملكا قدماه يف األرض الس
69 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 107,145. 70 Abū Naʻīm al-Aṣbahānī, Ḥilyatul Auliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’, (Beirut: Dār al-Kutub,1974), j. 6, h. 66.
170
ائة عام واخلال إ ىل ركب ت م رية س ائة عام وما بني كعب يه إ ىل أخص قدميه مس ت م رية س ق أعظم ت يه مس ن المخلوق م
al-Baihāqī dalam Syuab al-Īmān,71
دثنا أبوحامت حممد حأخربن محزة بن عبد العزيز أنبأ أبو الفضل عبدوس بن احلسني بن منصور ن الوازع بن نفع عن بن إدريس الرازي حدثنا حممد بن حامت الزمي املؤدب أنبا علي بن ثبت عهللا يعن عظمته وال سامل عن بن عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تفكروا يف آالء
.تفكروا يف هللا هذا إسناد فيه نظر
Abū Syaiḥ al-Aṣbahānī dalam al-ʻAdhmah,72 ي الل عنك: أخربك الشيخ الزك ي أبو الرجاء إ مساع يل بن أمحد بن حممد احل اد قال: ق لت رض د
م عبد العز يز بن أمحد بن عبد الل بن أمحد بن حم , أخربن أبو القاس مد بن فاذويه األصب هاين ث نا حممد بن حيىي المروز ي، قال: أخربن أبو حممد عبد الل بن حممد بن جعفر بن حيان قال: حد
ب ت الزر ي، عن الواز ع بن نف ع، عن سامل بن عبد الل أن ب شر بن الول يد الك ند ي، أن عل ي بن ث
71 Al-Baihāqī, Syuʻab al-Īmān, j. 1. h. 262. 72 Abū Syaiḥ al-Aṣbahānī, al-ʻAdhmah, (Riyadh: Dār al-ʻĀṣimah, 1408 H), j. 1, h. 214.
171
ت فكروا يف آالء الل ، وال ت فكروا »بن عمر، عن أب يه ، قال: قال رسول الل صلى هللا عليه وسلم: «يف الل
al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Awsaṭ73 فع عن سامل عن بن حدثنا الصائغ ن مهدي بن جعفر الرملي ن علي بن ثبت عن الوازع بن ن
تفكروا يف هللا : مل يرو هذا عمر قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم تفكروا يف آآلء هللا والت احلديث عن سامل إال الوازع تفرد به علي بن ثبت
f. Jika ada urusan agamamu serahkanlah kepadaku. Dan jika ada urusan keduniaanmu, maka kamu lebih tau urusan duniamu itu74
Kata Kunci Hasil Pelacakan
-
Aḥmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya75
ث نا محاد عن ثب ت عن أنس قال مس ث نا عبد الصمد حد ع رسول الل صلى الل عليه وسلم حدلم ي لق حوه أصوات ف قال ما هذا قالوا ي لق حون النخل ف قال لو ت ركوه ف لم ي لق حوه لصلح فرتكوه ف
73 Al-Ṭabrānī, al-Mu jam al-Awsaṭ, j. 6, h. 250. 74 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 148. 75 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad al-Imām, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1999), j. 20, h. 19.
172
عليه صلى الل يصا ف قال النيب وسلم ما لكم قالوا ت ركوه ل ما ق لت ف قال رسول الل صلى فخرج ش ن أمر د ين ن أمر دن ياكم فأن تم أعلم ب ه فإ ذا كان م عليه وسلم إ ذا كان شيء م كم فإ ل الل
Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya76
د بن جعفر المعق ر ي بن عبد العظ يم العنرب ي ، وأمح ث نا عبد هللا بن الروم ي اليمام ي ، وعباس حد ث نا ع كر ث نا النضر بن حممد ، حد ث نا أب ، قالوا : حد ار ، حد ي ، او مة ، وهو ابن عم لنجاش
هللا صل ثن راف ع بن خد يج ، قال : قد م نيب عليه وسلم المد ينة ، و حد هم يب رون النخل ، ى الل لو مل ت فعلوا ال : لعلكم الوا : كنا نصن عه ، ق ي قولون ي لق حون النخل ، ف قال : ما تصن عون ؟ ق
ا أن كان خريا فرتكوه ، ف ن فضت ، أو ف ن قصت ، قال ف بشر ، إ ذا ذكروا ذل ك له ف قال : إ منن أمرتكم ب شيء م ن د ين كم فخذوا ب ه ، وإ ذا أمر ا أن تكم ب شيء م .شر ب رأي ي ، فإ من
76 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 7, h. 95.
173
g. Kata Sayyidina Umar: Kalau aku tidak lihat rasulullah mencium engkau, sudah tentu aku tidak akan menciummu77
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“ra’aitu Rasulullah yuqabbiluka” Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya78
بة، وزهري بن حرب، وابن ث نا حيىي بن حيىي، وأبو بكر بن أيب شي يعا عن أيب معاو ية، حد منري، مج ، عن إ ب راه يم، عن عاب س بن رب يعة، قال: رأي ت عمر قال حيىي: أخربن أبو معاو ية، عن األعمش
ر، ولوال أين رأيت رسول هللا صلى هللا عليه إ ين ألق ب لك وأعلم أنك حج »ي قب ل احلجر، وي قول: «وسلم ي قب لك مل أق ب لك
Bukhari dalam Ṣaḥīḥ-nya,79
د بن كث ري أخربن سفيان عن األ ث نا حمم ي رب يعة عمش عن إ ب راه يم عن عاب س بن حد عن عمر رض فع ولوال أين ه ف قال إ ين أعلم أنك حجر ال تضر الل عنه أنه جاء إ ىل احلجر األسود ف قب ل وال ت ن عليه وسلم ي قب لك صلى الل لتك ا ق ب م رأيت النيب
77 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 168. 78 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, j. 2, h. 295. 79 Al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ Bukhārī, j. 2, h. 149.
174
Aḥmad dalam Musnad-nya,80 ن ربيعة ، قال بس بحدثنا أبو معاوية ، قال : حدثنا األعمش ، عن إبراهيم ، عن عا -
أين رأيت : رأيت عمر يقبل احلجر ، ويقول : إين ألقبلك وأعلم أنك حجر ولوال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقبلك مل أقبلك.
ثنا إبراهيم ، حدثنا أسود بن عامر ، قال : حدثنا زهري ، عن سليمان األعمش ، حد -هللا لوال أين وجر ، فقال : أما عن عابس بن ربيعة ، قال : رأيت عمر نظر إىل احل
رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقبلك ما قبلتك مث قبله.
بن سرجس حدثنا حممد بن جعفر ، حدثنا شعبة ، عن عاصم األحول ، عن عبد هللا -ما إين أعلم أ، قال : رأيت األصيلع يعن عمر بن اخلطاب : يقبل احلجر ، ويقول
ل هللا صلى هللا عليه وسلم يقبلك.أنك حجر ولكن رأيت رسو
لحجر : إمنا لحدثنا حيىي بن سعيد ، عن هشام ، قال : أخربين أيب ، أن عمر قال - بلتك مث قبله.قأنت حجر ولوال أين رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقبلك ما
80 Aḥmad ibn Hanbal, Musnad, j. 1, h. 310.
175
Ibn Ḥibbān dalam Ṣaḥīḥ-nya,81 بة، قال: حد ث نا ابن وهب، قال: أخربن ي ث نا حرملة، قاأخربن ابن ق ت ي ونس، عن ابن ل: حد
ث هاب، عن سامل بن عبد الل ، أن أبه حد جر، مث قال: ه، قال: ق بل عمر بن اخلطاب احل ش عليه و حجر، ولوال أين رأ والل لقد عل مت أنك » سلم ي قب لك ما يت رسول الل صلى الل
«ق ب لتك
Al-Tirmidzī dalam Sunan-nya,82 ث نا أبو معاو ية عن األعمش ث نا هناد حد قال رأيت عمر عن إ ب راه يم عن عاب س بن رب يعة حد
-أيت رسول الل ك وأعلم أنك حجر ولوال أن ر بن اخلطاب ي قب ل احلجر وي قول إ ن أق ب ل مر. قال أبو ر وابن ع مل أق ب لك. قال وف الباب عن أىب بك ي قب لك -صلى هللا عليه وسلم
يح .ع يسى حد يث عمر حد يث حسن صح
Musnad al-Bazzār.83
81 Ibn Ḥibbān, Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān, j. 9, h. 130. 82 Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, j. 3, h. 467. 83 Al-Bazzār, Musnad, j. 1, h. 249.
176
ث نا حف د بن المثىن ، قال : حد ث نا حمم ث نا محاد ب حد ن زيد ، عن ص بن عمر ، قال : حدلم أنك ال ل لحجر : إ ين ألق ب لك ، وأع أيوب ، عن نف ع ، عن ابن عمر ، أن عمر ، ق
ما ق ب لتك.سلم ي قب لك رأيت رسول هللا صلى هللا عليه و ولوال أين حجر ،
محاد بن ف ع ، عن ابن عمر ، عن عمر ، إ ال وهذا احلد يث ال ن علم رواه عن أيوب ، عن ن ر عن عمر عبيد هللا بن عمر عن نفع عن ابن عم زيد.
Abū Dawūd dalam Sunan-nya, 84 ربيعة عن عمر حدثنا حممد بن كثري أخربن سفيان عن األعمش عن إبراهيم عن عابس بن
رأيت رسول لوال أين أنه جاء إىل احلجر فقبله فقال إين أعلم أنك حجر ال تنفع وال تضر و ما قبلتك عليه وسلم يقبلكهللا صلى هللا
84 Abū Dawūd, Sunan Abū Dawūd, j. 2, h. 174.
177
h. Muadz ditanya Rasulullah: Dengan apakah engkau menjalankan hukum? “Dengan kitab Allah!” jawabnya. “Kalau engkau tak
dapati (keterangannya dari Alquran),” “Dengan sunnah Rasul,” jawabnya lagi “Kalau engkau tak dapati keterangannya dalam
sunnah rasul?” Saya berijtihad dengan akal saja, dan saya tidak berputus asa!”85
Kata Kunci Hasil Pelacakan
“ajtahidu ra’yī” Abū Dawūd86
ي المغ رية بن شع ث نا حفص بن عمر عن شعبة عن أيب عون عن احلار ث بن عمر و ابن أخ ة ب حدص م ن أصحاب معاذ بن جبل ن أهل مح ا أراد عن أنس م عليه وسلم لم أن رسول الل صلى الل
ي ب ك تاب الل ي إ ذا عرض لك قضاء قال أقض عث معاذا إ ىل اليمن قال كيف ت قض قال فإ ن أن ي ب عليه وسلم قال فإ ن مل ت د يف سنة رسول الل مل ت د يف ك تاب الل قال فب سنة رسول الل صلى الل
عليه وسلم وال يف ك تاب الل قال أجته د رأي ي و عليه صلى الل ال آلو فضرب رسول الل صلى اللي رسول الل د . وسلم صدره وقال احلمد لل الذ ي وفق رسول رسول الل ل ما ي رض ث نا مسد حد
85 Natsir, Islam dan Akal Merdeka, h. 169. 86 Abū Dawūd, Sunan Abī Dawūd, j. 3, h. 330.
178
ثن أبو عون عن ث نا حيىي عن شعبة حد ن أصحاب معاذ عن حد احلار ث بن عمرو عن نس م ا ب عثه إ عليه وسلم لم ىل اليمن فذكر معناهمعاذ بن جبل أن رسول الل صلى الل
Aḥmad dalam Musnad,87
ث نا شعبة عن أيب د بن جعفر حد ث نا حمم ي ال ون عن احلار ع حد مغ رية بن شعبة ث بن عمر و بن أخ ص عن معاذ ن أهل مح عليه أ عن نس م ن أصحاب معاذ م ني ن رسول الل صلى الل وسلم ح
ا يف ك تاب الل ضاء ق ب عثه إ ىل اليمن ف قال كيف تصنع إ ن عرض لك ي ب قال فإ ن مل قال أقض عليه وسلم قال فإ ن مل ي يكن يف ك تاب الل قال فب سنة رسول الل صل كن يف سنة رسول الل ى الل
عليه وسلم قال أجته د ع رأي ي ال آل صلى الل ليه وسلم صدر ي و قال فضرب رسول الل صلى الل عليه وسلم ل ما ي رض مث قال احلمد لل الذ ي وفق رسول رسول الل صلى الل ي رسول الل صلى الل
م عليه وسل
Al-Tirmidzī dalam Sunan-nya,88 حدثنا هناد حدثنا وكيع عن شعبة عن أيب عون الثقفي عن احلارث بن عمرو عن رجال
أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم بعث معاذا إىل اليمن فقال كيف من أصحاب معاذ
87 Ahmad, Musnad, j. 36, h. 333. 88 Al-Tirmidzī, Sunan al-Tirmidzī, j.3, h. 9.
179
تقضي فقال أقضي با يف كتاب هللا قال فإن مل يكن يف كتاب هللا قال فبسنة رسول هللا مل يكن يف سنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال أجتهد صلى هللا عليه وسلم قال فإن
رأيي قال احلمد هلل الذي وفق رسول رسول هللا صلى هللا عليه وسلمSunan al-Dārimī,89,
بن احلارث بن أخي د هللا الثقفي عن عمروحدثنا حيىي بن محاد ثنا شعبة عن حممد بن عبينيب صلى هللا املغرية بن شعبة عن نس من أهل محص من أصحاب معاذ عن معاذ * ان ال
ال اقضي قعليه وسلم ملا بعثه إىل اليمن قال أرأيت ان عرض لك قضاء كيف تقضي ليه وسلم قال عهللابكتاب هللا قال فإن مل يكن يف كتاب هللا قال فبسنة رسول هللا صلى
ه مث قال احلمد هلل فإن مل يكن يف سنة رسول هللا قال اجتهد رأيي وال آلو قال فضرب صدر الذي وفق رسول رسول هللا ملا يرضي رسول هللا
89 Al-Darimī, Sunan al-Darimī, j. 1, h. 40.
180
Al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr.90 عون الثقفي، عن حدثنا أمحد بن عمرو القطراين، ثنا سليمان بن حرب، ثنا شعبة، عن أيب
صلى هللا عليه ارث بن عمرو ابن أخي املغرية بن شعبة، عن معاذ بن جبل، أن النيباحلأقضي بكتاب قال:« كيف تقضي إن عرض لك قضاء؟»وسلم ملا بعثه إىل اليمن قال له:
عليه وسلم، قال: هللاقال: فبسنة رسول هللا صلى « فإن مل يكن يف كتاب هللا؟»هللا، قال: يي وال آلو، قال: قال: أجتهد رأ« سول هللا صلى هللا عليه وسلم؟فإن مل يكن يف سنة ر »
فق رسول رسول احلمد هلل الذي و »فضرب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم صدره، وقال: «هللا صلى هللا عليه وسلم ملا يرضي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
90 al-Ṭabrānī dalam al-Muʻjam al-Kabīr, j. 20, h. 170.