208
HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL- SUNNAH (Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah) Ceceng Mumu Muhajirin Penerbit YPM 2018

HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB

MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH

(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah)

Ceceng Mumu Muhajirin

Penerbit YPM

2018

Page 2: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

ii

Judul buku : HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH

(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah)

Penulis Ceceng Mumu Muhajirin

Layout

Juna Excel

ISBN 978-602-5576-15-7

xviii + 190 hlm .; ukuran buku 20,5 x 14,5 cm © Hak Cipta Ceceng Mumu Muhajirin, Juli 2018

Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim. Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Young Progressive Muslim Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir Pamulang Rt.05 Rw.01 Tangerang Selatan 15418

Page 3: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

iii

MOTTO

قال اإلمام العمريطي:

رفع اعتقاده حسب الفتي اذ

ينتفع لم يعتقد لم من وكل

Seseorang itu akan diangkat derajatnya

sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak

yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat

mengambil manfaatnya

Keberkahan hidup itu ada pada

HALAL, ORANG TUA, DAN GURU

Perhatikan dan renungkan kebaikan serta perhatian orang

tua, keluarga, para guru, teman, dan “orang-orang

sekitarmu”

Page 4: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

iv

Karya ini aku pesembahkan kepada:

Istriku Arini Gina Aza & Putri pertamaku Naffa Karima Nuroin (10 bulan)

Kedua Orang Tua

Hidupku ada, karena hidupmu ada. Banyak hal yang telah engkau korbankan untuk hidupku, tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dalam suka maupun duka. Semoga

hal-hal tersebut menjadi pahala agung dan muliah di sisi Allah S.W.T. Amin.

Kakakku dan adikku tercinta

Kakak-kakaku (Teteh Enung, Teteh Dede, Teteh Yayi, Aa Cecep), yang selalu memberi dukungan moral dan material selama pencarian ilmu ini. Semoga rumah

tangga kalian tetap dalam bingkai yang penuh dengan hiasan cinta, kasih sayang, dan sejahtera. Dan untuk Adik-adikku (Salman Alfarisi dan Muhammad Tafrij

Muwahhid). Semoga kalian menjadi teman seperjuangan di masa yang akan datang. Amin.

Almamaterku

Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kehadiranmu di

hatiku sejak tahun 2014 telah banyak mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan pengalaman yang kau

berikan bermanfaat dan barakah. Amin.

DDII BAZNAS Melalui program beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu

Ulama), DDII dan BAZNAS telah menjadi sponsor atas kelancara perkuliahan magister ini. Semoga program ini

menjadi amal jariyah bagi seluruh jajaran staf dan kepengurusan DDII dan BAZNAS serta para MUZAKKI.

Aamiin.

Page 5: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA

Penulisan Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai

dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Th. 1987 dan

Nomor 0543b/U/1987 tentang Transliterasi Arab-Latin.

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab dalam transliterasi latin

(bahasa Indonesia) dilambangkan dengan huruf, sebagian

dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan

dengan huruf dan tanda sekaligus.

Berikut ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dalam

huruf Latin:

Huruf

Arab

Nama Huruf latin Nama

alif Tidak ا

dilambangkan

Tidak

dilambangkan

Ba B Be ب

Ta T Te ت

Tsa Ts Te dan Es ث

Jim J Je ج

Ha H Ha (dengan garis ح

di bawah)

Kha Kh Ka dan Ha خ

Dal D De د

Zal DZ Ze dan de ذ

Ra R Er ر

Za Z Zet ز

Page 6: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

vi

Sin S Es س

Syin Sy Es dan Ye ش

Shad Sh Es dan Ha ص

Dhad Dh De dan Ha ض

Tha Th Te dan Ha ط

Zha Zh Zet dan Ha ظ

Ain „ Koma terbalik (di„ ع

atas)

Ghain Gh Ge dan Ha غ

Fa F Ef ف

Qaf Q Ki ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

Ha H Ha ه

Hamzah ' Apostrof ء

Ya Y Ye ي

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti halnya vokal bahasa indonesia,

terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal

rangkap atau diftong.

a. Vokal tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa

tanda atau harakat ditransliterasikan sebagai berikut:

Page 7: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

vii

Tanda Nama Huruf

Latin

Nama

---- ---- Fathah A A

---- ---- Kasrah I I

---- ---- Dhammah U U

b. Vokal Rangkap

Vocal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa

gabungan antara harakat dan huruf ditransliterasikan

sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf

Latin

Nama

ي ---- ---- Fathah

dan Ya

Ai A dan I

و ---- ---- Fathah

dan Wau

Au A dan U

3. Maddah

Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa

harakat dan huruf ditransliterasikan sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf

Latin

Nama

Fathah dan ا ---- ---

alif

 A dan

garis di

atas

Kasrah dan ي --- ----

ya

Î I dan

garis di

atas

Dhammah و ---- ----

dan wau

Û U dan

garis di

atas

Page 8: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

viii

4. Ta Marbuthah

Transliterasi untuk huruf ta marbuthah adalah sebagai

berikut:

a. Jika ta marbuthah itu hidup atau mendapat harakat

fathah, kasrah atau dhammah, maka transliterasinya

adalah “t”.

b. Jika ta marbuthah itu mati atau mendapat harakat

sukun, maka transliterasinya adalah “h”.

c. Jika pada kata yang terakhir dengan ta marbuthah

diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al”

dan bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbuthah

itu ditransliterasikan dengan “h”.

5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda, maka dalam

transliterasi latin (Indonesia) dilambangkan dengan huruf,

yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda

syaddah itu (dobel huruf)

6. Kata sandang

Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan

huruf yaitu “ال” (Alif dan Lam), baik kata sandang tersebut

diikuti oleh huruf syamsiah maupun diikuti oleh huruf

qamariah, seperti kata “al-syamsu” atau “al-qamaru”

7. Hamzah

Huruf Hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kalimat

dilambangkan dengan apostrof ('). Namun, jika huruf

hamzah terletak di awal kalimat (kata), maka ia

dilambangkan dengan huruf alif.

Page 9: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

ix

8. Penulisan kata

Pada dasarnya, setiap kata, baik fi‟il maupun isim, ditulis

secara terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang

penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan

dengan kata lain, karena ada huruf atau harakat yang

dihilangkan, seperti kalimat “Bismillāh al-Rahmān al-

Rahīm”.

Page 10: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

x

Page 11: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xi

KATA PENGANTAR

Alhamdu lilla>hi rabb al-‘a>lami>n, dengan qudrah dan

iradah-Nya, Allah s.w.t menggerakkan diri yang lemah ini

untuk menyelesaikan penelitian yang cukup berliku-liku.

Dengan rahma>n dan rahi>m-Nya, segala hambatan dan

kesulitan, bisa dilalui dengan mental kesiapan dan

kesanggupan yang Engkau berikan. Shalawat dan salam

semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Panutan semua

makhluk, yang senantiasa menegakan kebenaran dan kejujuran

yaitu Nabi Muhammad SAW.

Tema yang penulis teliti adalah Hadis-hadis Sunni dalam

Kitab Mut’ah Al-Nisa<’ Fi< Al-Kita<b Wa Al-Sunnah. Pada

dasarnya penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan

guna memperoleh gelar Magister Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Akan tetapi tidak hanya itu, semoga tulisan ini

menjadi langkah awal bagi penulis untuk memperoleh

mentalitas keilmuan baru dalam wilayah al-dira>sah al-isla>miyyah.A<mi>n.

Penelitian ini merupakan penelitian lintas madzhab yang

sudah penulis niatkan sejak waktu yang cukup lama. Sejak

pertama kali mengenal kajian hadis dan ilmu hadis madzhab

Syi’ah, penulis langsung tertarik untuk mengkaji lebih

mendalam lagi. Nikah Mut’ah adalah salah satu topik yang

sangat populer di masyarakat baik Sunni atau pun Syi’ah. Gari

pembeda antara keduanya, Sunni memandang bahwa ajaran

nikah mut’ah sudah final tentang penghapusannya. Sedangkan

Syi’ah tidak mengakui tentang penghapusan hukum nikah

tersebut. Bahkan penolakan terhadap penghapusan tersebut

direkonstruksi dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Oleh

karena, penelitian ini pada dasarnya adalah klarifikasi dan

sekaligus menguji validitas pemahaman dan komentar ulama

Page 12: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xii

Syi’ah kontemporer, Ja’far Subhani, terhadap hadis-hadis

Sunni tentang nikah Mut’ah.

Dalam proses penyusunan karya ini, peneliti banyak

mendapatkan bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan arahan

dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin beserta Pembantu Dekan.

3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A., selaku Ketua Program Studi

Magister Hadis Fakultas Ushuluddin.

4. Maulana, M.Ag. selaku sekretaris Progam Studi Magister

Fakultas Ushuluddin.

5. Toto, S.Th.I, selaku Pegawai Tata Usaha Fakultas

Ushuluddin.

6. Dr. Sahabuddin, Lc., MA., selaku Dosen Pembimbing,

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan, dorongan, semangat, dan inspirasi sejak awal

penyusunan hingga selesainya karya ini di tengah

kesibukannya.

7. Guru-guru kami, para dosen Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyampaikan

ilmu-ilmunya serta karyawan Fakultas Ushuluddin yang

telah memfasilitasi dan memperlancar proses perkuliahan.

8. Ibu dan Bapak, serta kerabat-kerabat yang selalu

mengiringi do’a dalam perjalanan hidup ini.

9. DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesi) dan BAZNAS

(Badan Amil Zakat Nasional) tahun 2014 yang telah

bekerja sama atas terselenggaranya program beasiswa

KSU (Kaderisasi Seribu Ulama) dan menjadi sponsor

penulis sampai program studi magister selesai.

10. Teman-teman angkatan 2014 Mahasiswa Magister

Fakultas Ushuluddin. Kita adalah generasi penerus nilai-

Page 13: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xiii

nilai agama dan bangsa. Semoga 15 tahun ke depan kita

mampu membangun peradaban mulia yang bermanfaat

bagi masyarakat sekitar. A>mi>n. . . Walaupun karya ini telah selesai dalam pengerjaannya,

namun masukan dan saran dari semua pihak senantiasa penulis

harapkan. Karena penulis menyadari karya ini masih ada

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga karya tulis

ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, dan mampu

memberikan sumbangsih bagi dunia intelektual, khususnya

dunia Tafsir Hadis. A>mi>n. Tangerang Selatan, 19 Februari 2018

Penulis

Ceceng Mumu Muhajirin

Page 14: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xiv

Page 15: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xv

DAFTAR ISI

Halaman Judul -- i

Halaman Motto -- 3

Halaman Persembahan -- vi

Pedoman Transliterasi Arab-Latin -- v

Kata Pengantar -- xi

Daftar Isi -- xv

BAB I. PENDAHULUAN -- 1

A. Latar Belakang Masalah --1

B. Pembatasan Masalah -- 8

C. Perumusan Masalah -- 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian -- 12

E. Tinjauan Pustaka -- 13

F. Metode Penelitian -- 17

G. Sistematika Penulisan -- 20

BAB II. OTENTISITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI

DAN SYI’AH -- 23

A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syiah -- 23

1. Konsep Hadis Menurut Sunni -- 23

2. Konsep Hadis Menurut Syiah -- 25

B. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni dan

Syiah -- 28

1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni -28

2. Sejarah Kodifikasi Versi Syiah -- 32

C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni

dan Syiah -- 36

1. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut

Sunni -- 37

Page 16: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xvi

2. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut

Syiah -- 39

D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas

Periwayat Menurut Sunni dan Syiah -- 40

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas

Periwayat Menurut Sunni -- 40

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan

Kuantitas Periwayat Menurut Syiah -- 42

E. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas

Periwayat Menurut Sunni dan Syiah -- 43

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas

Periwayat Menurut Sunni -- 43

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas

Periwayat Menurut Syiah -- 47

F. Perbedaan Sunni dan Syiah tentang Standarisasi

Kesahihan Hadis -- 51

BAB III. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS

JA’FAR SUBHANI } -- 57

A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah -- 57

B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah -- 65

1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah -- 65

2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah

Mut’ah -- 67

C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani -- 72

1. Kedudukan Sunnah -- 72

2. Pencetus Ilmu Dirayah --74

3. Hadis Mutawatir dan Ahad -- 75

4. Klasifikasi Hadis Ahad -- 80

5. Periwayat Maqbu>l -- 83

6. Istilah-istilah Hadis Syiah -- 85

7. Nasikh Mansukh -- 90

Page 17: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xvii

8. Keadilan Sahabat -- 91

D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani – 97

BAB IV. VALIDITAS PEMIKIRAN JA’FAR SUBHANI

TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH DALAM

KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH -- 99

A. Nikah Mut’ah di Awal Islam -- 99

B. Riwayat Tafsiriyyah Surat Al-Nisa’ 24 -- 104

1. Makna istimta>’ -- 112

2. Tafsir Al-Nisa’ Ayat 24 -- 118

3. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Para Sahabat dan

Tabi’in -- 127

4. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Ibnu Umar -- 132

C. Keberatan Ali bin Abi Thalib atas Fatwa Umar

bin Khattab -- 135

D. Hadis-hadis Dhoif tentang Penghapusan Nikah

Mut’ah -- 149

1. Hadis mi>ra>s| Riwayat Ibnu Mas’ud -- 150

2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi

Thalib -- 154

3. Hadis Penghapusan Nikah Mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n -- 159

E. Kontradiksi Waktu Pengharaman Nikah

Mut’ah -- 166

BAB V. PENUTUP -- 175

A. Kesimpulan -- 175

B. Saran-saran -- 182

DAFTAR PUSTAKA -- 183

Biodata Penulis

Page 18: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

xviii

Page 19: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis dalam perspektif Sunni dan Syi’ah pada

dasarnya mengandung arti catatan biografi yang berasal dari

figur sentral dan diriwayatkan melalaui jalur periwayatan

terpercaya. Sebagaimana dalam tradisi Sunni, hadis dalam

tradisi Syi’ah, merupakan asosiasi dari dua sistem konstruktif,

yaitu sanad (aspek wuru>d) dan matan (aspek d}ila>lah). Dalam

tradisi ilmiah Sunni dan Syi’ah, sanad dan matan hadis adalah

dua aspek penting yang harus diteliti dalam rangka klarifikasi

dan verifikasi tentang validitas dan originalitas sebuah hadis.

Untuk melakukan kerja ilmiah tersebut, baik Sunni

atau pun Syi’ah masing-masing menggunakan pisau analisis

dengan pendekatakan Ilmu Riwayah1 dan Ilmu Dirayah. Kedua

ilmu ini masing-masing diakui oleh Sunni dan Syi’ah sebagai

sebuah produk asli yang diwariskan oleh ulama-ulama mereka

sebelumnya. Terlepas dari perdebatan2 tentang siapa pertama

1 Imam Suyuti (w. 911 h.) dalam pendahuluan kitab Tadri>b al-Ra>wi>,

mengutip pendapat Al-Akfani (w. 794 h.) bahwa yang dimaksud dengan

Ilmu Riwayah adalah ilmu yang membahas cara meriwayatkan sabda,

perbuatan Nabi saw, serta tentang periwayatannya, pemeliharaannya, dan

penguraian lafazh-lafazhnya. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang

membahas hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya,

hukum-hukumnya, tentang rawinya, serta syarat-syarat rawinya, dan yang

berkaitan dengannya. Lihat Tadri>b al-Ra>wi, Juz 1, (Beirut: Maktabah Al-

Kaitsar, 1415 H), h. 25

2Hasan Shadr (w. 1354 h.), dalam kitabnya, Ta’si>s al-Syi>’ah,

menjelaskan bahwa pencetus ilmu dirayah dari kalangan Syiah adalah al-Ha>kim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Ha>fiz{ al-Naisa>b>u>ri> (w.

405 h.), yang terkenal dengan sebutan Imam Hakim. Dalam penulisan

Page 20: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

2

kali yang mencetuskan ilmu riwayah dan ilmu dirayah, pada

umumnya dua kelompok Islam ini menggunakan term-term

konseptual ilmu hadis yang sama, termasuk ilmu turunan Ilmu

Hadis seperti ‘Ilm Rija>l al-H}adi>s|, ‘Ilm Na>sikh Mansu>kh Hadis,

Ilm Jarh wa Ta’dil, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, dan lain

sebagainya. Melihat perkembangan Ilmu Hadis Sunni dan

Syi’ah, kitab-kitab ilmu hadis secara implisit ingin

menyuarakan pada dunia akademik bahwa teori-teori Ilmu

Hadis yang ditawarkan bukan sekedar plagiasi atau rekayasa,

tetapi merupakan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh

para ulama terdahulu.

naman`ya, Hasan al-Shadr mencantumkan al-ima>miy al-Syi>’iy. Ini

menandakan bahwa ulama Syiah seperti Hasan Shadr mengklaim bahwa

Imam Hakim termasuk salah satu ulama hadis Syiah. Hasan Shadr

menegaskan bahwa ulama besar seperti Ibnu Taimiyyah dan al-Dzahabi

menyatakan kesyiahan Imam Hakim. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-

Dzahabi dalam Taz|kirah Al-H}uffa>z} ketika memaparkan riwayat hidup

Imam Hakim. Lihat dalam Hasan al-Shadr, Ta’si>s al-Syi>’ah, (Irak: Dar al-

Kutub al-‘Iraqiyyah, 1901), h.294. Sedangkan menurut Ja’far Subhani,

ulama Syiah yang pertama kali mencetuskan Ilmu Dirayah adalah

Jamaluddin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus (w.673 h.), yang

terkenal dengan sebutan Ibnu Thawus. Tentang kesyiahan Imam Hakim,

Ja’far Subhani berpendapat bahwa Imam Hakim hanya sebagai syi>’iyyun bi al-ma’na> al-‘a>m (seorang syiah ima>miy dalam berarti umum). Dikatakan

syiah karena Imam Hakim termasuk ulama yang benci terhadap musuh-

musuh Ali dan pecinta ahubait. Lihat Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h.

10.

Sedangkan dalam karya-karya Ahusunah dipaparkan ada dua nama

yang dianggap pencetus ilmu dirayah. Yaitu Hakim Naisaburi (w. 405 h.)

dengan karyanya Ma’rifah Ulu>m al-H}adi>s| dan Abu Muhammad al-Hasan

Ramahurmuzi (w. 360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il bayn al-Ra>wi> wa al-Wa>’iz}. Namun karena dilihat dari tahun wafatnya, mayoritas

ulama hadis memilih Ramahurmuzi sebagai pencetus ilmu dirayah.

Page 21: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

3

Ilmu Hadis Sunni dan Ilmu Hadis Syi’ah, pada

dasarnya memiliki tujuan yang sama terkait penyelesaian

problematika kajian hadis, yaitu aspek wuru>d dan aspek

d}ila>lah.3 Tetapi masing-masing memiliki corak perbedaan

yang signifikan. Ketika berbicara tentang definisi hadis S}ah}i>h}, hadis D}a’i>f, atau periwayat s|iqah, maka masing-masing

memiliki stressing makna yang berbeda dan tentunya

memiliki implikasi yang berbeda pula. Sehingga pernyataan-

pernyataan keagamaan tentang satu masalah jarang sekali

berada dalam kesepakatan. Ini merupakan konsistensi atas

penerapan doktri Syi’ah, yaitu ima>mah yang terformulasi

dalam kajian hadis.

Dalam bidang keagamaan, Ilmu Hadis adalah salah

satu disiplin ilmu yang dimiliki Syi’ah dan sarat dengan

konsep ima>mah. Secara tegas ulama Syi’ah mensyaratkan

hadis harus perkataan, perbuatan, dan penetapan yang

disandarkan kepada seorang imam yang ma’s}u>m. Dalam

definis hadis Syi’ah, ima>mah dan ke-ma’s}u>m-an seorang

periwayat sangat dipertimbangkan. Ketika tidak sampai

kepada seorang periwayat yang ma’s}u>m maka secara tegas

Ilmu Hadis Syi’ah menyatakan bahwa itu tidak termasuk

hadis. Tetapi konsep ke-ma’s}u>m-an dan ima>mah seorang

periwayat tidak mutlak pada imam dua belas. Ketika

mendefinisikan hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan kata kunci yang

digunakan adalah ima>miyy, bukan ima>m4. Dua istilah,

3 Pembagian dua problematika kajian hadis ini, penulis dapatkan

dari Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA saat menyampaikan perkuliahan Pemikiran

Hadis Kontemporer di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4 Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi >s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah,

(Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h. 52.

Page 22: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

4

ima>miyy dan ima>m memiliki stressing pemaknaan yang

signifikan. Ketika yang digunakan dalam definisi hadis s}ah}i>h} adalah istilah ima>m maka perbendaharan hadis Syi’ah akan

banyak yang tidak memenuhi kriteria. Sehingga banyak

periwayatan yang tertolak. Karena itu istiah ima>miy secara

tidak langsung memperluas akseptabilitas periwayatan yang

tidak hanya bersandar pada seorang imam, tetapi juga

bersandar pada periwayatan seorang periwayat yang meyakini

keimaman imam dua belas.

Sama dengan ulama Sunni, ada dua macam hadis

yang memiliki kualitas terpercaya dan kuat untuk dijadikan

h{ujjah dalam istinba>t} hukum. Yaitu hadis s}ah}i>h} dan hadis

h}asan. Di dalam dua hadis ini, secara tegas, ketersambungan

kepada seorang imam atau periwayat ima>miy menjadi syarat

mutlak. Dalam Ilmu Hadis Sunni, yang menjadi garis pembeda

hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan adalah kualitas akurasi5 hafalan

dan kredibelitas seorang periwayat6. Sedangkan menurut Ilmu

5 Pada dasarnya ahi hadis awal sampai abad ketiga hijriyyah tidak

secara eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shohih.

Mereka hanya menetapkan kriterian-kriteria informasi yang diperoleh,

misalnya : periwayatan hadis tidak diterima kecuali kalau diriwayatkan

oleh orang-orang s}iqah, riwayat orang yang sering berdusta dan mengikuti

hawa nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan

adalah tertolak, kita harus memperhatikan tingkah laku personal dan

ibadah yang meriwayatkan hadis, riwayat orang yang kesaksiannya ditolak

akan, maka riwayatnyapun tidak diterima. Lihat dalam Kamarudin Amin,

Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 16.

6Dalam tradisi Sunni, kriteria hadis s}ah}i>h} tidak mempertimbangkan

ketokohan, sebagaimana dalam tradisi Syiah. Ulama-ulama Sunni secara

objektif pure mendasarkan ke-s{ah}i>h}an hadis pada kualitas integrits

personalnya. Bahkan tidak mempertimbangkan status madzhab, Ahusunah,

Syiah, atau Mu’tazilah, bahkan Khowarij. Imam Nawawi sebagaimana

dalam kitab Tadri>b al-Rawi, mensyaratkan hadis shohih sebagai berikut:

Page 23: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

5

Hadis Syi’ah, yang menjadi pertimbangannya adalah legal

formal tentang ‘ada>lah seorang periwayat. Jika periwayat

tersebut adalah seorang ima>miy, tetapi tidak ada dalil tentang

‘ada>lah-nya maka hadis seperti itu disebut hadis h}asan. Dari

sini bisa disimpulkan bahwa untuk level hadis yang akan

dijadikan argumen dalam istinba>t} hukum, Ilmu Hadis Syi’ah

secara ketat mensyaratkan ima>miy bagi seorang periwayat

hadis, baik ada bukti dalil atau tidak tentang ‘ada>lah-nya. Hal

ini sebagaimana dijelaskan oleh salah satu pemikir hadis

Syi’ah kontemporer bernama A<ya>tullah al-Uz}ma> al-Syaikh, Ja’far Subhani dalam salah satu karyanya, Us}u>l al-H}adi>s| wa ah{ka>muhu> fi> ‘Ilm al-Dira>yah.

Ja’far Subhani, walaupun cukup tegas dalam

membumikan konsep ima>mah dalam kajian ilmu hadis-sebagaimana dalam karyanya- tetapi dia juga inklusif

terhadap riwayat-riwayat Sunni. Dalam kajian hadis, Ja’far

Subhani adalah salah satu ulama hadis yang banyak mengutip

hadis-hadis Sunni dalam karya-karyanya. Salah satunya adalah

kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Dalam

karyanya tersebut Ja’far Subhani mengutip hadis-hadis

riwayat al-Bukha>ri, Muslim, al-Tirmiz|i>, Ah}mad ibn H}anbal dan lainnya.

7

Ja’far Subhani adalah ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah

kontemporer yang hidup di abad ke-21. Dia senantiasa

mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah ‘Asyariyyah, termasuk

ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama

اهو و ل م دهاتص ن ابطين بالعدولس يرمنالض ل شذوذ غ لة عو

Lihat Suyuti Tadrib al-Ra>wi> fi Syarh} Taqri>b al-Nawa>wi>, (Beirut:

Darul Fikr, 1988), h. 63.

7 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum:

Muassasah Imam Shodiq, 1423 H), h. 47-51.

Page 24: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

6

pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan

bahwa nikah mut’ah adalah ajaran yang absah dan tidak

pernah terjadi penghapusan hukum tentang legalitasnya. Kitab

Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah bukti konkrit

yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani

tentang kontinuitas legalitas nikah mut’ah. Dalam kitab

tersebut, Ja’far Subhani melakukan konstruksi legalitas nikah

mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Padahal

seluruh ulama Sunni telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an

dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah, status hukumnya

telah dihapus dan diharamkan sampai hari kiamat.

Menurut penulis, buku Mut’ah al-Nisa> fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah buku yang memuat dialektika dua pemikiran

maz|hab Islam, yaitu Sunni dan Syi’ah. Disebut sebagai kitab

dialektis karena sang penulis, Ja’far Subhani, adalah seorang

ulama besar bermadzhab Syi’ah yang membela dan mengakui

legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan dalil-dalil hadis

yang dikutip dari kitab-kitab ulama Sunni. Seorang pembaca,

interpreter, atau komentator bermadzhab Syi’ah sangat

menarik dan penting dikaji ketika membaca hadis-hadis Sunni.

Nikah mut’ah adalah salah satu wacana yang banyak

dibicarakan oleh berbagai kalangan dan madzhab. Sunni dan

Syi’ah adalah dua madzhab besar yang memberi perhatian

khusus tentang persoalan ini. Secara umum dua madzhab

Islam tersebut tidak bertemu pada satu pendapat yang sama

tentang status hukumnya. Sunni merupakan madzhab yang

mewakili tentang keharaman nikah mut’ah. Sedangkan Syi’ah

tampil sebagai kelompok yang membolehkannya. Wacana ini

menjadi lebih intensif lagi ketika sebagian penganut Sunni

yang menyamakan nikah mut’ah dengan perzinahan. Padahal

ulama-ulama Sunni yang mengharamkan nikah mut’ah tidak

sampai menyatakan demikian. Menurut Quraish Shihab

pandangan seperti ini dilatarbelakangi dengan adanya praktek

mut’ah yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang telah

Page 25: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

7

ditetapkan oleh ulama yang membolehkannya.8 Dalam hal ini

Ja’far Subhani salah satu pemikir hadis yang melakukan kajian

nikah mut’ah dengan pendekatan hadis Nabi. Dengan

mengutip hadis-hadis Sunni, Ja’far Subhani kembali

memperkuat pandangan madzhabnya tentang hukum nikah

mut’ah.

Berangakat dari teori ‚kesadaran keterpengaruhan

sejarah‛ (Historically Effected Consciousness ), maka sikap

Ja’far Subhani diasumsikan terpengaruh dengan pemikiran

madzhabnya. Selain itu, dengan latar belakang keilmuan dan

doktri maz|hab-nya, sikapnya terhadap hadis-hadis sunni

tersebut akan menuai ragam pandangan. Sebagian akan

menilai Ja’far Subhani hanya mencari dan memunculkan titik

kelemahan-kelamahan yang terdapat pada riwayat-riwayat

Sunni. Meskipun bagi sebagian lainnya pengutipan Ja’far

tersebut dinilai sebagai dialog akademik dan pemikiran hadis

dalam rangka mengembangkan objektifitas dalam membaca

dan menilai sebuah riwayat9. Oleh karena itu menurut penulis,

penting melakuan penelitian terhadap sikap ilmiah Ja’far

Subhani tersebut.

8 Quraish Shihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.

207-208

9Dalam setiap pendahuluan kitab-kitab yang ditulisnya, Ja’far

Subhani sering mengungkapkan:

اف ق د لن او ذهفيح ةه اس ر لسل ةالد س ه اانالمت ح طر لين اول ةع الب حثط كون انعسي, ت سيل ة ةوحيدلت و لم قريبالك ت يو افيالخط ذ قله اف الخل ف,الح رفيخل ف ال يس فيه وه ج ين وجب حتيواصولهالد ست اء ي د اء الع غض الب ا,و إنم اخل ف هو و ويفيم ل يههللاصلير ع سلم .و

Lihat pendahuluan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah Imam Shodiq, 1423 H), h. 4

Page 26: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

8

Berdasarkan data-data teoritis di atas penulis

memiliki alasan objektif terkait pentingnya penelitian hadis-

hadis Sunni dalam karya Ja’far Subhani tersebut. Pertama,

sampai saat ini Syi’ah berikut simbol, gagasan, dan ajarannya

masih dipandang sebelah mata termasuk oleh sebagaian

masyarakat Indonesia. Syi’ah memperoleh justifikasi general

sebagai kelompok sesat sehingga apa pun yang keluar dari

Syi’ah menjadi hal yang harus ditolak. Kedua, justifikasi yang

dilontarkan kepada Syi’ah pada dasarnya berawal dari

pandangan seseorang terhadap gejolak konflik Sunni-Syi’ah

zaman klasik, tanpa mempertimbangakan adanya pergeseran

pemikiran di kalangan Syi’ah sendiri. Sehingga penelitian

terhadap karya original ulama Syi’ah penting untuk dilakukan,

dalam rangka klarifikasi dan memahami pemikiran hadis

Syi’ah secara objektif. Ketiga, Ja’far Subhani adalah tokoh

representatif ulama Syi’ah kontemporer yang banyak

merespons wacana-wacana yang tengah membumi dengan

pendekatan hadis Nabi. Dengan hadirnya di era kontemporer

ini, penting dijadikan rujukan terkait perkembangan kajian

hadis Syi’ah kontemporer. Keempat, Ja’far Subhani lahir dan

hidup pada kondisi hermeneutik yang kental dengan doktrin-

doktrin Syi’ah Imamiyyah, sehingga aktifitas keilmuan yang

sampai melintas ke pengutipan-pengutipan riwayat Sunni akan

menjadi topik menarik. Karena di satu sisi, Ja’far Subhani

konsisten dalam membumikan kaidah-kaidah ilmu hadis

Syi’ah, tetapi di sisi lain banyak mengutip hadis-hadis Sunni.

Selain itu, sikap akademis seperti ini akan memperlihatkan

objektifitas atau subjektifitas Ja’far Subhani dalam

mengapresiasi hadis-hadis Sunni.

B. Pembatasan Masalah

Ja’far Subhani melakukan konstruksi argumentasi

pemikirannya tentang nikah mut’ah dengan pendekatan ayat-

ayat Al-Qur’an dan Hadis baik riwayat sunni atau Syi’ah.

Page 27: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

9

Adapun penelitian ini fokus pada objek primer yaitu hadis-

hadis sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Peneliti juga menjadikan hadis-hadis riwayat Syi’ah

sebagai objek sekunder guna mempertajam analisis dan

sebagai data pelengkap dalam membantu pengambilan

kesimpulan. Selanjutnya, penelitian ini akan mengarah pada

analisis kajian sanad dan matan beserta analisis terhadap

komentar-komentar yang dilakukan Ja’far Subhani terhadap

riwayat-riwayat sunni dan kemudian didialogkan dengan

komentar-komentar ulama sunni sebagai data pembanding.

Sunni yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

firqah isla>miyyah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.

10 Dialah kelompok yang mempunyai pengikut

10 Istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi saw mau pun di masa

khulafa>’ al-Ra>syidi>n. Bahkan tidak dikenal di zaman Bani Umayyah (41 –

133 H/ 611 – 750 M). Istilah ini untuk pertama kali dipakai pada

pemerintahan Abu> Ja’far Al-Mans{u>r (137 – 159 H/ 754 – 775 M) dan

kholifah Harun Al-Rasyid (170 – 194 H/ 785 – 809 M), keduanya adalah

dari dinasti Abbasiyyah (750 – 1258 M). Istilah ini semakin tampak ke

permukaan pada zaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (198 – 218 H/

813 – 833 M). Pada zamannya, Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah, aliran

yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Qur’an dan akal sebagai madzhab

resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar

mengikuti paham ini terutama yang berkaitan kemakhukan Al-Qur’an.

Untuk itu Al-Ma’mun melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah

terhadap para pejabat dan para ulama. Materi pokok yang diujikan adalah

masalah Al-Qur’an. Ketika itu mayoritas umat mempunyai kepercayaan

bahwa Al-Qur’an adalah qodim . Salah seorang yang kuat dan gigih

mempertahankan paham ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241

H). Penggunaan istilah ini makin populer setelah munculnya Abu Hasan

Al-‘Asy’ari (260 – 324 H/ 873 – 935 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w.

944 M) yang melahiran aliran ‘Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di bidang

teologi. Dalam hubungan ini Ah al-Sunnah wa al-jama>’ah dibedakan dari

Mu’tazilah, Qodariyyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. (‚Sunni‛,

Page 28: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

10

terbanyak di dunia Islam di banding pengikut-pengikut

madzhab lain. Madzhab ini didefinisikan sebagai madzhab

yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan

mengikuti jama>’ah. Jama>’ah di sini maksudnya adalah

mayoritas kalangan sahabat baik masalah akidah atau pun

hukum agama Islam.11

Istilah ‚hadis Sunni‛ dan ‚hadis Syi’ah‛ pada dasarnya

tidak pernah digunakan dalam karya ulama klasik dalam kitab

hadis atau pun ilmu hadis, baik di kalangan Sunni atau pun

Syi’ah. Dua istilah ini muncul dari pengamatan dan penelitian

atas dinamika wacana ilmu hadis,12

khususnya di kalangan

Syi’ah yang memasukan konsep ima>mah atau ima>mi dalam

kajian ilmu hadis. Munculnya dua istilah ini merupakan

kesimpulan dari konstruksi epistimologi hadis Sunni dan

Syi’ah. Epistimologi tersebut bisa dilihat dari tiga poin pokok,

yaitu sumber hadis, hakikat hadis, dan verifikasi otentisitas

hadis. Sehingga yang dimaksud hadis-hadis Sunni dalam

penelitian ini adalah hadis-hadis yang bersumber dari Nabi

saw dan yang perawinya tidak disyaratkan harus periwayat

yang bermadzhab khusus seperti bermadzhab Syi’ah, Sunni,

dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298 - 299) baca juga Harun Nasution,

Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press 1986), h. 62 – 65

11‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298

12 Beberapa penulis yang secara komprehensif mengkaji

epistimologi hadis Sunni dan Syiah adalah Ali Ahmad Salus dengan

karyanya Ensiklopedi Sunnah-Syiah yang memaparkan perbandingan dari

sudut hadis dan fikih, Quraish Shihab dalam karyanya Syiah Sunni

mungkinkah bergandengan tangan? yang memaparkan perbandingan dari

sudut teologi dan fikih. Selain itu ada Fadhullah Muhammad Said yang

melakukan penelitian hadis-hadis Ahusunnah dalam tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i.

Page 29: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

11

atau pun Khawarij. Tetapi yang ditekankan adalah

persambungan sanad, memiliki kredibilitas yang baik,

terhindar dari syaz| dan ‘illat.13 Hal ini berbeda dengan

epistimologi Syi’ah. Dalam tradisi Syi’ah hadis yang dijadikan

h}ujjah adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw dan

Imam Dua Belas. Dalam hal ini Imam Dua Belas sejajar

dengan Nabi saw. Selain itu, perawi hadis dalam tradisi Syi’ah

sangat dipertimbangkan ke-ima>mahan-nya. Berkaitan dengan

epistimolgi tersebut, penulis memposisikan hadis-hadis yang

terdapat dalam kutub al-tis’ah adalah hadis-hadis Sunni. Hal

ini karena secara epistimologi perawi-perawi yang terdapat

pada kitab tersebut tidak mensyaratkan rawi seorang Syi’ah

atau pun madzhab lainnya.

Adapun hadis yang dimaksud pada penelitian ini tidak

terbatas pada riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw.

tetapi termasuk juga riwayat yang disandarkan kepada sahabat

dan tabi’in. Hal ini menyesuaikan dengan data-data yang

terdapat dalam objek penelitian ini.

Pengarang kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah Ja’far Subhani, adalah tokoh Syi’ah Ima>miyyah

kontemporer. Sehingga Syi’ah dalam penelitian ini fokus

kepada Syi’ah Ima>miyyah atau Syi’ah Isna> ‘Asyariyyah atau

Ja’fariyyah. Yaitu kelompok yang mempercayai adanya dua

belas imam14

yang seluruhnya adalah keturunan sahabat Ali

13 ‘Ajaz Khatib, Us}u>luhu wa Mus}t}ala>h}uhu, (Beirut Dar al-Fikr,

1989), h. 250.

14 Kedua belas imam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH – 40

H), Muhammad Hasan bin Ali (2 – 50 H), Husein bin Ali (3 – 61 H), Ali

bin Husein ( Zainal ‘Abidin) (38 – 50 H), Abu Ja’far bin Ali (57 – 114 H),

Abdullah Ja’far bin Muhammad (83 – 148 H), Abu Ibrahim Musa bin Ja’far

( 128 – 183 H), Hasan Ali bin Musa (148 – 203 H) , Ja’far Muhammad bin

Ali (195 – 220 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad (212 – 254 H),

Page 30: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

12

bin Abi Thalib dan Fatimah Al-Zahra, putri Rasulullh saw.

Kelompok ini adalah kelompok mayoritas dari tiga kelompok

besar Syi’ah (Ghula>h, Isma>’iliyyah, dan Zaidiyyah),15

dan

menjadi kelompok terbesar kedua di dunia Islam setelah Sunni

yang masih ada sampai sekarang.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah

utama yang akan dijawab pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pandangan ilmiah Ja’far Subhani tentang

hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?

2. Bagaimana validitas pemikiran-pemikiran Ja’far

Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk

memenuhi persyaratan memperoleh gelar magister bidang

hadis. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk memberikan

kesadaran akademis kepada para pembaca bahwa setiap

penilaian atas sebuah pemikiran, pendapat, dan pandangan

seseorang harus didasari dengan keilmuan.

Muhammad Hasan bin Ali (232 H – 260 H), dan Abu Qasim al-Mahdi (255

H - ) lalu menghilang sebelum dewasa dan akan muncul kembali sebagai

Imam Mahdi yang dinantikan. Lihat Sunnah Syiah Bergandengan Tangan

Munakinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 127.

15 Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan

Mungkinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 83.

Page 31: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

13

Adapun manfaat penelitan ini adalah:

1. Di bidang akademik penelitian ini akan memperkaya

informasi perkembangan mutakhir tentang dinamika

kajian hadis di kalangan madzhab Syi’ah.

2. Pada ranah wacana keagamaan, penelitian ini secara

tidak langsung menjelaskan konstruksi argumen konsep

nikah mut’ah dalam madzhab Syi’ah yang berbeda

dengan ajaran nikah mut’ah dalam madzhab Sunni.

3. Pada ranah pergejolakan pemikiran Syi’ah-Sunni,

penilitian ini secara tidak langsung mengarahkan elemen

masyarakat untuk tidak mengambil sikap taqli>d buta

dalam justifikasi general dan berhati-hati dalam

memberi stigma negatif.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian dan penelitian pemikiran Syi’ah, pada dasarnya

sudah banyak dilakukan oleh para peneliti baik yang

bermadzhab Sunni atau pun Syi’ah sendiri. Sedangkan

penelitian khusus tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat

dalam karya-karya ulama Syi’ah masih sangat sedikit. Di

bawah ini adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan

kajian pemikiran hadis Syi’ah.

Hadis-hadis Ahlusunah dalam Tafsir Al-Mi>za>n, oleh

Fadhlullah Muhammad Said. Hasil penelitian ini merupakan

disertasi Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Dalam disertasi tersebut Fadhlullah melakukan kritik sumber

dengan fokus pada hadis-hadis Ahlusunah dalam bab rawa>’i> tafsir karya Muhammad Thabathbai. Sedangkan penelitian

yang penulis lakukan posisinya adalah untuk melihat dinamika

hadis-hadis Sunni dalam pemikiran tokoh lainnya yang hidup

lebih belakangan dari era Thabathabai. Selain itu, penelitian

Page 32: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

14

penulis juga akan membuktikan kesimpulan Fadhlullah16

tentang dinamika diskursus hadis Syi’ah pada tokoh yang beda

dan lahir di era yang beda. Sehingga pada ranah kesimpulan

tentang diskursus pemikiran hadis Syi’ah kontemporer bisa

dilihat dari dua tokoh yang sama pemikir hadis dan

representatif di kalangan Syi’ah Imam Dua Belas. Hal ini

untuk menghindari penilaian general terhadap kalangan

Syi’ah.

Konsep Hadis Shahih menurut Sunni dan Syi’i. Oleh

Fadhlullah Muhammad Said. Penelitan ini merupakan tesis

Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis

ini fokus pada analisis konsep hadis Syi’ah Imam Dual belas

secara umum, tidak fokus pada satu tokoh. Dalam penelitian

tingkat magister ini, Fadhlullah juga melakukan komparasi

tentang unsur-unsur autentisitas periwayat hadis Sunni dan

Syi’i. Rumusan-rumusan masalah yang dijawab Fadhlullah

adalah seputar persemaan dan perbedaan seputar kriteria hadis

S}ah}i>h}, konsep keS}ah}i>h}an suatu hadis, pandangan Sunni dan

Syi’i tentang para sahabat, penetapan kualitas rijal dan

periwayat hadis dan implikasi dari perbedaan perbedaan

tersebut dalam memahami sunnah Rasulullah saw.17

Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, merupakan hasil penelitian Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah.

16 Fadhullah berkesimpulan bahwa differensiasi hadis Ahusunah dan

Syiah tidak hanya terletak pada sanad tetapi terjadi juga pada substandi

hadis, tertutama yang berkaitan dengan ideologis. Lihat Fadhullah

Muhammad Said, ‚Hadis-hadis Ahusunah dalam Tafsir Al-Mizan,‛

(Disertasi S3 Studi Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah, 2011 ), h.

xx dan 353.

17 Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Konsep Hadis Shohih

menurut Sunni dan Syi’i,‛ (Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah, 2004 ), h. 19.

Page 33: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

15

Tentunya tesis ini sangat berbeda, karena objeknya adalah

periwayat-periwayat khawarij. Tesis ini berkesimpulan bahwa

semakin tinggi komitmen periwayat terhadap sunnah Nabi

maka semakin dapat menetralisir bias ideologinya.

Konsekuensinya persamaan dan perbedaan ideologi tidak

dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis.18

Sunnah Syi’ah Mungkinkah Bergandengan Tangan ?. buku ini memaparkan kajian atas konsep ajaran dan pemikiran

dalam madzhab Sunnah dan Syi’ah. Buku karya Quraish

Syihab ini mengkaji secara kritis ajaran dan pemikiran

madzhab Syi’ah dan sekte-sekte di dalamnya. Kemudian lebih

mengkrucut pada Syi’ah Imam Dua Belas. Karya ini pada

dasarnya mengajak para pembaca yang bermadzhab Sunni

melintas dan memahami ajaran dan pemikiran Syi’ah dan

sebaliknya. Dalam paparannya karya ini menampilkan ragam

perbedaan dan persamaan seputar rukun iman dan rukun islam,

imamaha, sikap terhadap para sahabat, raj’ah, bada’, dan

taqiyyah, perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’. Walaupun buku ini secara komprehensif mengkaji pemikiran

Syi’ah tetapi belum detail berbicara masalah nikah mut’ah dan

tidak ada kajian mendetail tentang kajian hadis-hadis terkait.19

Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syi’ah di Indonesia. Pada dasarnya buku ini adalah buku panduan lama

Majilis Ulama Indonesia yang ditulis oleh empat orang

penulis. Buku ini pada umumya menampilkan sikap MUI

dalam justifikasi pemikiran Syi’ah, khususnya yang ada di

18 Lihat Ahmad Ubaydi, ‚Periwayat Khawari j dalam Literatur

Sunni‛(Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h.

231

19Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Mungkinkah Bergandengan Tangan

? . (Tangerang: Lentera Hati, ), h. 252-253

Page 34: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

16

Indonesia. Syi’ah dalam buku ini diposisikan sebagai madzhab

yang harus dijauhi oleh umat Islam, tidak ada upaya taqrib al-maz|a>hib. Akhir buku ini memaparkan fatwa-fatwa MUI

terkait kesesatan Syi’ah. Tetapi obejek penyesatannya lebih

cendrung pada madzhab Syi’ah Rafidhoh. Buku ini juga

sedikit menyinggung masalah nikah mut’ah. Tetapi

pembahasannya hasa sebatas respons wacana dan tidak

melakukan kritik dalil (hadis) yang menjadi landasan

kebolehan nikah mut’ah.20

Syi’ah Menurut Syi’ah. Buku ini ditulis oleh tim Ahli

Bait Indonesia sebagai respons wacana terhadap buku

‚Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di

Indonesia‛ yang dierbitkan oleh MUI. Karya Ahli Bait

Indonesia ini mencoba menjawab segala bentuk justifikasi

negatif terhadap pengikut Syi’ah. Mulai dari masalah akidah,

fikih, Al-Quran, hadis dan lainnya. Dalam sebagian

pembahasannya buku ini menyinggung dan mengklarifikasi

hakikat nikah mut’ah. Buku ini menegaskan bahwa nikah

mut’ah bukan praktek asal kawin tetapi harus mengikuti tata

krama tersendiri. Buku ini mencoba memaparkan beberapa

hadis dalam rangka memperkuat sahnya nikah mut’ah. Tetapi

pemaparan tersebut belum masuk pada ranah kritik hadis.21

Sunni-Syi’ah Satu Kitab. Ini adalah merupakan buku

ringkasan disertasi yang ditulis oleh Muhaimin Zein. Dalam

buku ini yang menjadi kajian pokoknya adalah menelaah ulang

riwayat-riwayat yang menginformasikan terjadi tahrif dalam

Al-Quran yang riwayat-riwayat tersebut menjadi bahan bakar

20Ma’ruf Amin, dkk., Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan

Syiah di Indonesia, (Jakarta: Al-Qolam, 2013), h.55-103

21Tim Ahubait Indonesia, Syiah menurut Syiah, (Jakarta Selatan:

DPP Ahubait Indonesia, 2014), h. 166-170

Page 35: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

17

terjadinya konflik Syi’ah Sunni. Buku ini berkesimpulan

bahwa riwayat tahrif dalam Al-Quran yang beredar di

masyarakat pada dasarnya berasal dari riwayat lemah, kalau

pun itu S}ah}i>h} hanyalah bentuk penafsiran, qira’ah, dan doa. 22

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini

adalah metode analisis-verifikatif (pemeriksaan pernyataan),

yaitu sebuah upaya mendeskripsikan kritik Ja’far Subhani

terhadap hadis-hadis Sunni, dan kemudian melakukan analisis

secara kritis serta melakukan verifikasi atas kritik Ja’far

Subhani tersebut. Dengan menggunakan metode pemeriksaan

pernyataan tersebut penulis akan menguji validitas kritiknya

dengan bersandar pada sumber-sumber yang menjadi acuan

Ja’far Subhani. Selain itu, dalam penelitian, penulis akan

melakukan kritik terhadap pernyataan, pandangan, dan

penilaian Ja’far Subhani, yang tentunya dengan disertai sikap

menjunjung tinggi objektifitas ilmiah.

Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primernya

adalah buku Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah karya

Ja’far Subhani. Buku tersebut membahas legalitas nikah

mut’ah dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sedangkan data

sekundernya adalah seluruh buku, kitab, atau karya-karya

ilmiah lainnya yang berkaitan langsung dengan penelitan, baik

karya-karya Ja’far Subhani atau pun karya-karya ulama

lainnya.

Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan

22 Muhaimin Zen, Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, ( Jakarta: Nurul

Huda, 2013), h. 214-218

Page 36: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

18

inventarisasi dan menyeleksi data, yaitu hadis-hadis Sunni

yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Kedua, melakukan analisis data melalui metode

deskriptif, yaitu dengan melakukan analisis data. Ketiga, data-

data hasil inventarisasi, seleksi, dan analisis, kemudian

diverifikasi melalui sumber-sumber yang menjadi acuan Ja’far

Subhani dan sumber-sumber yang berkaitan lainnya.

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan interpretatif23

yang

validitasnya diukur dengan dua teori. Yaitu teori kritik hadis

yang dirumuskan oleh Mus{t}afa> Al-A’z}ami> dan teori kebenaran

yang dirumuskan oleh Abdul Mustaqim.24

Dalam kitab Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n,

Mus{t}afa> Al-A’z}ami> merumuskan empat langkah25

dalam

upaya penyeleksian hadis26

. Yaitu:

1. Mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat terkait ( عم ج

ة لكاف صواأل )

2. Validasi keaslian teks ( صوصةالن ح إثباتص )

23 Interpretasi tidak hanya dimaknai penafsiran tetapi mencakup

pandangan, pemberian kesan, pandangan teoritis seseorang terhadap

sesuatu.

24 Dalam penerapannya, peneliti menggunakan empat langkah teori

kritik hadis dan tiga teori kebenaran di atas dengan cara proporsional,

menyesuaikan data-data yang penulis teliti dalam naskah penelitian.

25

Mus{t}afa> A’zhami, Manhj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, (Riyadh:

Maktabah Al-Kautsar, 1990), h. 95-100.

26Pada dasarnya langka-langkah dirumuskan ketika Mus{t}afa>

A’zhami > menilai bahwa kritik yang dilakukan para ulama hadis dan para

ahi sejarah ada persamaan. Namun kritik yang dilakukan oleh para ulama

hadis lebih unggul dan lebih mendetail.

Page 37: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

19

3. Menganalisis redaksi untuk mencari makna teks dan

maksud autornya ( كمنمعنياأللفاظحق النصوصللت تحليل

فؤل رادالم ومنم )

4. Kritik eksternal, yaitu menganalisis aspek

kredibilitas periwayat hadis ( النق ح ر م الس لة ل د لمعرفة بي

هت دال قالراويوع د ص )

Adapun teori kebanaran yang dirumuskan Abdul

Mustaqim adalah teori kebenaran koherensi, korespondensi,

dan pragmatisme. Teori-teori tersebut pada dasarnya

gabungan teori kebenaran filsafat ilmu yang dikembangakan

oleh Bob Hale, Crispin Wright, dan Harold H. Tusi.

Berdasarkan rumusan Abdul Mustaqim, sebuah interpretasi

atau pandangan akan dinilai valid atau benar jika sesuai

dengan teori kebenaran27

koherensi, korespondesi, dan

pragmatisme. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1.Teori kebenaran koherensi

Teori ini mengatakan bahwa sebuah interpretasi atau

penafsiran dianggap benar jika dia sesuai dengan pernyataan-

pernyataan (proposisi) sebelumn\ya dan secara konsisten

menerapkan metodologi yang digunakannya. Dengan kata lain,

jika dalam sebuah kritik atau interpretasi terdapat konsistensi

berpikir maka kritik atau interpretasi tersebut dikatakan benar

secara koherensi.28

2. Teori kebenaran korespondensi

Menurut teori ini, sebuah kritik atau interpretasi

dikatakan benar apabila dia berkorespondens, cocok, dan

sesuai dengan fakta ilmiah yang ada di lapangan. Sebuah kritik

27Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,

(Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 83\

28

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83

Page 38: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

20

atau interpretasi disebut benar jika sesuai dengan teori-teori

keilmuan atau bukti yang ada.29

3. Teori kebenaran pragmatisme

Menurut teori kebenaran pragmatisme, sebuah kritik

atau interpretasi diakatakan benar jika dia secara praktis

mampu memberikan solusi praksis bagi problem sosial yang

muncul. Dengan kata lain dia tidak diukur dengan teori atau

penafsiran lainnya, tapi diukur sejau mana bisa memberikan

solusi atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini secara

universal.30

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan ditulis

dalam bentuk lima bab yang masing-masing saling berkaitan.

Dari setiap bab-bab tersebut akan dipaparkan dalam bentuk

sub-bab guna menampilkan data secara sistemik dan mudah

dipahami alur dinamika hasil penelitiannya.

Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini

dipaparkan latar belakang penilitian, batasan dan rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini

merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian dengan

tujuan utamanya adalah memaparkan permasalahan akademik

yang dijawab dengan pendekatan yang telah ditentukan.

Bab kedua adalah pembahasan tentang riwayat hidup

Ja’far Subhani dan pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Pembahasan ini untuk menginformasikan

kepada para pembaca tentang pemetaan kehidupan sosial dan

kehidupan ilmiah ulama Syi’ah kontemporer tersebut.

29

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , h. 83

30

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83

Page 39: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

21

Bab ketiga akan membahas produk pemikiran Ja’far

Subhani yang berkaitan ilmu hadis, guna untuk melihat

pemetaan pemikiran Ja’far Subahani yang merupakan

representasi dari ulama besar Syi’ah kontemporer.

Bab keempat merupakan pembahasan inti dalam

penelitian ini. Sebagaimana judul penelitan, bab ini akan

menganalisis dan memverifikasi pemikiran hadis Ja’far

Subhani terhadap hadis-hadis Sunni yang berkaitan dengan

nikah mut’ah. Pemikiran Ja’far Subhani yang akan dianalisis

pada bab ini adalah tentang nikah mut’ah pada awal Islam,

riwa>yah tafsi>riyyah nikah mut’ah, legalisasi nikah mut’ah oleh

para sahabat dan tabi’in, keberatan Ali bin Abi Thalib atas

fatwa Umar bin Khattab, hadis-hadis lemah tentang

penghapusan nikah mut’ah, naskh dalam nikah mut’ah, dan

kontradiksi yang terjadi seputar hadis-hadis nikah mut’ah.

Bab kelima adalah bagian penutup penelitian. Pada bab

ini memuat pemaparan kesimpulan yang berisi jawaban-

jawaban atas rumusan masalah penelitian yang telah

dirumuskan pada bab pendahuluan. Kemudian bab ini diakhiri

dengan saran-saran guna memberikan informasi akan

pentingnya pengembangan dan penelitian lanjutan yang

berkaitan dengan pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-

hadis Sunni.

Page 40: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

22

Page 41: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

23

BAB II

OTENSITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN

SYI’AH

A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah

1. Konsep Hadis Menurut Sunni

Secara etimologi, hadis bermakna baru (al-jadi>d).

Sedangkan secara terminologi, hadis menurut ‘Abd al-Haq Al-Dihlawi:

س ج صطالحافثذانذ أهى اع طهك انذذث

1رمششفعه سهىعههللاصهىانجلل عهى

Seseungguhnya makna hadis menurut istilah mayoritas ulama hadis adalah setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw. Berdasarkan definisi di atas, hadis menurut Sunni

berpusat pada satu sumber utama yaitu Nabi saw. Nabi saw

adalah sumber tunggal sumber ajaran hidup yang terdiri dari

Perkataan, perbuatan, sifat, dan penetapan. ‘Ajjaj Khatib dan

Abbas Mutawali Hamdah menambahkan bahwa setiap perjalan

hidup Nabi baik yang terjadi sebelum dan sesudah

pengangkatannya menjadi rasul juga termasuk hadis Nabi

saw.2 Adapun sahabat dan tabi’in, walau pun dalam

perkembangan ilmu hadis ada istilah khusus untuk menyebut

1‘Abdul Haq Al-Dihlawi, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|, (Beirut:

Darul Basyai’i Islamiyyah, 1986), h. 33.

2 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi

saw, (Jawa Timur: Jaya Star Nine, 2015), h. 7.

Page 42: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

24

perkataan, perbuatan, dan pernyataannya tetapi mereka tidak

menjadi sumber utama. Karena keberadaan Nabi di tengah

umat adalah bersifat wah}yi> dan membawa risa>lah sama>wi> yang berbeda dengan para sahabat atau pun orang-orang

setelahanya. Posisi mereka hanya sebagai penggati (baca:

khalifah) dan pewaris risalah samawi tersebut. Sebagai

pengaruhnya adalah ketika ada kontradiksi hadis nabi dan

hadis para pewarisnya, maka hadis Nabi saw lah yang menjadi

utama.

Dalam diskursus ilmu hadis, ada satu kata yang

memiliki makna mirip dengan hadis, yaitu sunnah. Baik ulama

terdahulu atau pun ulama modern, mereka berbeda pendapat

dalam hal ini. Sebagian mereka ada yang menyamakan bahwa

sunnah adalah sinonim dari kata hadis. Sebagian lagi

berpendapat bahwa sunnah dan hadis adalah dua kata yang

berbeda makna. Yang pertama kali menggunakan kata sunnah

dan kata hadis dalam makna yang berbeda adalah

Abdurrahman bin Mahdi. Ibnu Mahdi pernah berkomentar

bahwa ‚Sufya>n al-S|auri> ima<m fi al-h}adi>s| wa lais bi ima<m fi al-sunnah3 (Sufyan Sauri adalah imam dalam bidang hadis tapi tidak dalam sunnah)‛. Kendatipun sunnah dan hadis banyak

digunakan dalam makna yang berbeda, tetapi mayoritas ulama

hadis bersepakat bahwa hadis dan sunnah adalah dua kata

sinonim.

Adapun menurut para pemikir hadis modern hadis

didefinisikan sebagai berikut: menurut Nurkholis Majid hadis

adalah laporan tentang aktifitas Nabi saw. Menurut Fazlur

Rahman hadis adalah sunnah-sunnah yang terkonsep.

Sedangkan menurut Syahrur hadis adalah kehidupan Nabi

3 Muhammad Thahir Al-Jawwabi, Juhu>d al-Muh}addis|in fi Naqd

Matn al-H|adi>s| al-Nabawi, (Tunisia:Yayasan Abdul Karim Abdullah, 1986),

h. 66.

Page 43: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

25

sebagai seorang Rasul dan manusia biasa dalam kehidupan

nyata.4

Dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa

hadis menurut ulama dan pemikir hadis Sunni memiliki

sumber tunggal yaitu Nabi Muhammad saw.

2. Konsep Hadis Menurut Syi’ah

Menurut Hasan Shadr, ulama Syi’ah kalangan

ushululiyyin yang hidup abad 14 h., hadis menurut etimologi

adalah mut}laq al-kalam, ucapan. Sedangkan menurut istilah

adalah:

5ارمشش افعه انعصو كلل ذ الو ك Ucapan yang menceritakan tentang ucapan, perbuatan dan pengakuan imam yang maksum. Penyebutkan kata ma’sum (Arab: al-ma’s}u>m) dalam

definisi hadis versi Syi’ah di atas tersebut, dimaksudkan

adalah orang-orangyang bebas dari perbuatan-perbuatan yang

mengandung dosa, baik dosa kecil dan maupun dosa besar.

Golongan Syi’ah secara umum dan khususnya Syi’ah

Imamiyah berkeyakinan bahwa mereka semua

maksum.6Dalam pandangan Syi’ah, tidak mungkin nabi

berwasiat kecuali untuk orang yang sama ma’sumnya dengan

dirinya, sama dengan para nabi-nabi. Kalau tidak maksum,

4 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi

saw, h. 12-13.

5 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,

t.th.), h. 81.

6Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna>

‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m (al-Qa>hirah: Maktabah Ibn Taimyah,

1414 H.), h. 183.

Page 44: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

26

tentu mereka tidak ada bedanya dengan manusia pada

umumnya yang bisa berbuat kesalahan-kesalahan yang

mengandung dosa. Sebagai perbandingannya, Sunni

berkeyakinan hanya para nabi-nabi yang maksum. Oleh kerena

itu, mereka tidak membeda-bedakan antara ‘Ali> ibin Abi> Ta>lib

dengan Sahabat yang lain, karena mereka semua adalah

sahabat-sahabat nabi.7

Adapun Imam Ma’sum atau Ahlu Bait yang dimaksud

di atas, diyakini oleh Syi’ah ada dua belas orang, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan anak keturunannya, mereka memiliki akidah

mewajibkan pengikutnya menerima segala yang diperintah dan

menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Imam Maksum.8

Adapun Imam Maksum tersebutialah;(1) ‘Ali > bin Abi> T{a>lib, (2) al-H{asan bin ‘Ali >, (3) al-H{usayn bin ‘Ali >, (4) Zayna al-‘A<bidi>n ‘Ali > bin al-H{usayn, (5) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Ba>qir, (6) Ja’far bin Muh {ammad al-Sa>diq, (7) Musa> bin Ja’far al-Ka>d{im, (8) ‘Ali > bin Musa> al-Rida>, (9) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Jawa>d, (10) ‘Ali > bin Muh{ammad al-Ha>di>, (11) al-H{asan bin ‘Ali > al-‘Askari >, dan (12) Muh{ammad bin al-H{asan al-Mahdi>.9 Dua belas imam ini juga disebut sebagai Ahli Bait oleh orang-

orang Syi’ah.10

7S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-

Taqa>rub wa al-Taba>’ud (Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.), h. 166.

8Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna>

‘Asyariyyah..., h. 183.

9Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh

(al-Riyad: Dar al-Salam, 1995), h. 269.

10Muhammad Tijani As-Samawi, Mazhab Alternatif:

Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa (Cianjur: Titian

Cahaya, 2005), h. 25.

Page 45: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

27

Syi’ah mengakui bahwa segala sesuatu yang datang

dari Imam Ma’sum atau Ahlu Bait11

juga dapat disebut hadis.

Paham ini didasari oleh dua faktor. Pertama, karena ada

perintah dari nabi, sebagaimana sabdanya:‚Wahai Manusia,

sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang jika

kalian mengikutinya, maka kalian tidak akan sesat selama-

lamanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan

keluargaku‛.12Kedua, karena kedudukan mereka sama dengan

nabi, kakeknya, maka pernyataan para imam Ahlu Bait sama

dengan sabda nabi, karena sejatinya mereka merupakan

penerus ajaran-ajaran kakeknya, Nabi Muhammad s.a.w.13

11Pengertian dari Ahlu Bait (Ahl al-Bayt) secara bahasa adalah

pemilik rumah atau anak keturuanan. Namun dalam pengertian secara

istilah ialah keluarga atau keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Penyebutan

Ahlu Bait bisa dipahami dalam tiga macam aspek; (1) memiliki hubungan

darah karena keturunan nabi, ini disebut sebagai hubungan darah atau

hanya fisik; (2) memiliki hubungan jiwa dan ruh dengan nabi, berarti belum

tentu keturanan nabi; (3) kombinasi dari dua hubungan yang disebut

sebelumnya, yaitu memiliki hubungan darah dan jiwa dan ruh dengan nabi.

Lebih tepatnya, yang dimaksud dengan Ahlu Bait adalah orang-orang yang

memiliki hubungan fisik dan rohani dengan nabi. Lihat dalam penjelasan,

Sayid Muhammad Radawi, Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlu Bait As. Penterjemah. A. Kamil (Kuwait: Mua’ssisah ‘Asr al-Zuhur, 2007), h.

81.

12Teks arab dari hadis tersebut ialah: ‚ فيكمماإنيتركت هاالناس ياأي

تضل لن به أخذتم بيتيإن أهل عترتي هللا كتاب وا ‛, yang artinya: ‚Wahai

sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah

kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak

akan pernah sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.‛Hadis

ini bisa dicek dalam, Imam al-Tirmi>z}i, Sunan al-Tirmi>z{i>, no.hadis 3718,

Bab, Mana>qib Ahl Bayt al-Nabi> Salla> Alla>h pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.

13Nasir Makarim Syirazi, Inilah Akidah Syi’ah (Kuwait

Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009), h. 55-56.

Page 46: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

28

Namun di balik perbedaan pendapat mengenai batasan

definisi hadis tersebut, Sunni dan Syi’ah dalam masalah

makna atau pengertian hadis (al-h}adi>s) dan khabar (al-khabar) ada kemiripan, bahwa ada yang mengartikan dua kata tersebut

sinonim (al-mura>dif), artinya dua lafaz dipakai pada satu

makna yang sama. Namun sebagian ulama ada yang

membedakannya, tetapi penyebutan khabar diperuntukkan

sesuatu yang datangnya bukan dari nabi, namun ada pula yang

mengkhususkan pemakaian kata khabar oleh para ulama usul

fiqih, meskipun maknanya sama dengan hadis.14

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa

perbedaan yang paling mendasar antara Sunni dan Syi’ah

dalam membatasi cakupan pengertian hadis adalah terletak

pada sumber dari hadis tersebut, lebih khususnya lagi tentang

penyisipan eksistensi‚imam yang maksum‛ sebagai sumber

hadis. Bagi kalangan Sunni, segala sesuatu yang datangnya

dari Imam Maksum tidak dapat disebut hadis, karena hadis

menurut mereka hanya segala sesuatu yang datang atau

disandarkan kepada nabi. Namun menurut Syi’ah, selain

sesuatu yang datangnya dari nabi, dari para Imam Maksum

juga dapat disebut hadis, karena mereka adalah penerus ajaran-

ajaran nabi, dan pangkat mereka sama dengan nabi.

B. Sejarah Kodifikasi Hadis Perspektif Sunni dan Syi’ah

1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni

Sub bab ini berjudul ‚Sejarah Kodifikasi Hadis‛. Sebagai

penegasan dari redaksi tersebut, penulis berpandangan perlu

memperjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kodifikasi

atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-tadwi>n, yaitu

14Lihat dan bandingkn antara, Mah{mu>d al-T{ah{h{a>n, Taysi>r

Mus}t}alah} al-H}adi>s, h. 17 dan Ja’far al-Subh{a>ni>. Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 19.

Page 47: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

29

memiliki pengertian; sebuah catatan atau tulisan yang

kemudian dikumpulkan di dalam satu mushaf (buku).15

Sub bab

ini secara fokus akan menyoroti kodifikasi hadis menurut

Sunni dan Syi’ah, sebagaimana berikut:

Dalam kajian Sunni, Bustamin dan M. Isa H.A. Salam,

menjelaskan di dalam buku ‚Metodologi Kritik Hadis‛ bahwa ada dua versi riwayat hadis yang kandungannya terkesan

bertentangan tentang penulisan hadis pada masa

nabi.16Pertama, adanya riwayat yang menjelaskan tentang

diperintahkannya penulisan hadis. Adapun redaksi hadis

perintah tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam

Ah{mad, berikut ini:

ز ت "... انز ي اك ف ف س ب ث ذ ج ي ش خ ك ي د "ئ ل‚...Tulislah, dan demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar ucapanku kecuali kebenaran.‛17

Kemudian yang kedua ada riwayat hadis yang

menjelaskan larangan penulisan hadis. Hadis tersebut

diriwayatkan oleh Imam Muslim, berikut teks Arab dan

terjemahannya dari hadis tersebut:

15Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahrani>,Tadwi>n al-Sunnah al-

Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr (Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>’,

1996), h. 74.

16Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis

(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 17-18.

17Lihat dalam, ImamAh}amd,Musnad Ah{mad, no. hadis,6221, Bab,

Musnad ‘Abd Alla>h bin ‘Amr bin al-’A<s{ Rad{iya Alla>h Ta’ala> ‘Anhuma>, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991

edisi 1.2.

Page 48: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

30

ال ز ج ىر ك ع ي ز ت ىك ش ع غ آ ان م ش ذ ف ه

ا ث ذ د ى ل ع ج ش د ي ة ز ه ىك بو ل بل -ع

ج س ذا-ل بل أ د ز ع أ ي ف ه ز ج ذ م ع ي انبس ي ‚...Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku, Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid) berkata: dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari neraka.‛18

Faktor yang paling mendasar dari larangan penulisan

hadis adalah dikuatirkannya hadis-hadis bercampur aduk

dengan al-Qur’an. karena pada masa itu, al-Qur’an

diperintahkan untuk ditulis. Terlepas dari dua riwayat di atas,

setidak ada dua paham ulama menyikapi dua riwayat yang

secara harfiah berlawanan; (1)riwayat pelarangan terhadap

sahabat menulis hadis adalah riwayat yang lebih dipegang

oleh oleh sahabat daripada hadis perintah; (2)kekuatan hafalan

mereka masih kuat sehingga sangat memungkinkan

meriwayatkan hadis secara lisan tidak akan mengalami

kesalahan.

Masih dalam pendapat Bustamin dan M. Isa H.A.

Salam, pada masa nabi hidup, penulisan al-Qur’an sedang

dalam proses sehingga jika hadis juga diperbolehkan ditulis

dikhawatirkan akan bercampur aduk. Untuk mewanti-wanti

hal ini, maka dilarang menulis hadis. Selain itu,konteks lawan

bicara ketika nabi menyabdakan larangan dan perintah hadis

berbeda. Hadis tentang larangan tersebut lebih awal dari

perintah, sekitar awal tahun hijriah dan sedangkan hadis

18Lihat dalam, Imam Muslim,S|ah{i>h{ Muslim, no. hadis,5326, Bab,

al-Tas\abbut Fi> al-H{adi>s\ wa H{ukm Kita>bat al-‘Ilm, pada CD-ROM,

Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991 edisi 1.2.

Page 49: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

31

perintah pada masa ketujuh hijriah. Hal ini bisa diketahui dari

rawi hadis tersebut; hadis larangan tersebut diriwayatkan oleh

Abu Said al-Khudri dan hadis perintah diriwayatkan oleh Abu

Hurairah yang diketahui masuk Islam stelah Fath{ al-Makkah(tahun 8 H).

19

Menanggapi dua riwayat penulisan hadis di atas,

sebenarnya melalui dua riwayat hadis tersebut sudah jelas

memberikan petunjuk bahwa kodifikasi hadis telah

berlangsung pada masa nabi. Tentu ada alasan ketika nabi

melarang sahabat menulis hadis, bisa jadi nabi tahu kalau di

antara mereka ada yang menulis hadis, tidak mungkin

melarang kecuali nabi sudah tahu, atau bisa sebaliknya,

riwayat perintah hadis ditujukan kepada beberapa orang

khusus, dan sedangkan riwayat larangan ditujukan kepada

banyak orang dari sahabat-sahabatnya.Pelajaran yang dapat

dipetik adalah bahwa dua riwayat yang terkesan bertolak

belakang tentang perintah/larangan penulisan hadis

menunjukkan dekianlah bentuk penulisan hadis pada masa

nabi. Namun penulisanpada masa itu tentunya tanpa ada

sanad-sanad. Selain itu, penulisan pada masa itu masih dalam

bentuk tulisan-tulisan pribadi yang ada pada sahabat-sahabat

tertentu dan tidak dipublikasikan ke publik.

Sedangkan menurut ‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, kalau

diperincikan lebih detail lagi mengenai penulisan hadis

sebenarnya bisa dikembalikan kepada tiga masa. Pertama, marh{alah al-jam’i, ialah masa pengumpulan hadis. Ulama yang

mengisi masa itu adalah seperti Imam Ma>lik, beliau

mengumpulkan hadis dari Ahli Hijaz, Ibn Jarij di Makkah, al-

Awza’i di Syam, Sufyan al-Sawri di Kufah, Hamad bin Abi

Sulayman di Basrah, dan lain-lain. Ulama-ulama tersebut

19Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h.

17-18.

Page 50: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

32

diyakini sebagai kelompok ulama yang hidup dalam satu masa,

tetapi tidak diketahui di antara mereka siapa yang lebih

dahulu melakukan pengumpulan hadis-hadis;(2) marh{alah al-masa>nid, ialah masa pengumpulan hadis dengan disertakan

sanad-sanadnya. Sanad menjadi penting disertakan dengan

matan hadis untuk memberikan indikasi atau untuk membantu

pelacakan siapa saja yang menyampaikan hadis tersebut

hingga sampai kepada nabi;(3) marh{alah al-sih{h{ah, yaitu masa

klasifikasi hadis berdasarkan hadis-hadis yang s}ah}i>h}. Adapun

orang yang pertama kali menyusun hadis berdasarkan

kesahihannya dan memisahkannya dengan hadis-hadis yang

tidak memenuhi syarat sahih adalah Imam al-Bukha>ri>.20

Menurut Saifuddin, peneliti kodifikasi hadis

kontemporer, menegaskan bahwa masa puncak kodifikasi

hadis Sunni adalah pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n. Kitab-

kitab hadis Sunni mulai muncul pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n tersebut adalah S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (w. 256 h.), S}ah}i>h} Muslim (w. 261 h.), Sunan Abi< Da>wud (w. 276 h.), Ja>mi’ al-Tirmiz|i> (w. 279 h.), Sunan al-Nasa>’i> (w.303 h.), dan Sunan Ibn Majah (w. 273 h.). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis

lainnya seperti kitab musnad Ah}mad ibn Hanbal (w. 241 h.), Munad Ish}a>q ibn Rah}awaih (w. 237 h.), Musnad ‘Abd al-H}umaid (w. 249 h.), dan musnad-musnad lainnya.

21

2. Sejarah Kodifikasi Hadis Versi Syi’ah

Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad menegaskan,

sesungguhnya ulama berselisih paham kapan kodifikasi hadis

dimulai sehingga sampai kepada masa kita ini. Menurutnya,

20‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir,

2009), h. 69-71.

21 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 157.

Page 51: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

33

sebagian ulama mengatakan diperkenalkan pertama kali pada

masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Beliau menulis hadis dari

ulama-ulama yang ada di Madinah karena khawatir akan

hilangnya hadis atau adanya perubahan-perubahan terhadap

hadis yang sudah ada.22

Namun dalam penjelasan yang lain, Syi’ah

berkeyakinan―mereka secara tidak langsung tidak sependapat

dengan adanya riwayat hadis yang melarang sahabat menulis

hadis, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Sunni di atas

tersebut―bahwa sesungguhnya para sahabat sudah memiliki

semangat yang cukup intensif kepada hadis-hadis pada masa

hidup nabi. Oleh karena itu, mereka selalu menulis hadis yang

diperoleh langsung dari nabi.23

Salah satu buktinya, Imam ‘Ali>

adalah salah satu sahabat di antara beberapa sahabat yang

intens menulis hadis-hadis nabi. Bahkan ‘Ali> adalah sesosok

sahabat nabi yang memiliki banyak karya dan termasuk di

antara karya tersebut adalah kumpulan tulisan hadis-hadis.24

Jika ditelisik priodesasinya, penulis menemukan ada

dua pendapat terkait versi priode tentang kodifikasi hadis. Pertama, menurut‘Abd al-Ha>di al-Fad{l terbagi menjadi dua

priode; (1) disebut dengan tahap pengumpulan kecil (marh{alah al-majmu>’ah al-s}agi>rah) dan tahap yang kedua dikenal dengan

sebutan pengumpulan besar (marh{alah al-majmu>’ah al-kabi>rah). Adapun yang dimaksud dengan priode yang pertama

ialah periwayatan hadis yang ditulis oleh rawi pada masa nabi

22Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah

al-Ima>miyyah(T.tp.: Nasyr Hastami> Nama>, 2010), h. 35-38.

23‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir,

2009), h. 71.

24Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah

al-Ima>miyyah, h. 235.

Page 52: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

34

atau sahabat. Seorang perawi melihat dan mendapatkan hadis

langsung dari nabi, atau rawi tidak bertemu langsung tetapi

mendapatkan hadis tersebut dari imam. Pada priode ini, hadis

masih berserakan dan tersebar dimana-mana, belum

dikodifikasikan dalam satu buku, masih dimiliki oleh individu

rawi-rawi yang menulisnya, dan tidak disertakan dengan

sanad-sanadnya; (2)ialah kelanjutan dan penyempurnaan dari

tahap yang pertama. Pada tahap ini, penulisan hadis ditulis

lengkap ke dalam kitab-kitab besar dengan disertakan

penyebutan sanad yang lengkap sampai kepada nabi atau

Imam Maksum, dan membuat klasifikasi bab-bab hadis yang

disesuaikan dengan tema-tema khusus, sehingga hadis yang

dipaparkan tersusun secara tematis sesuai dengan kontensnya.

Pada tahap yang kedua inilah kemudian dikenal dengan empat

kitab sahih di kalangan Syi’ah, yaitu al-Ka>fi, Man La> Yahdarah al-Faqi>h, al-Tah{dzi>’b, dan al-Istibs}a>r.25

Empat kitab hadis Syi’ah tersebut tidak disebut

sebagai kitab hadis sahih, sebagaimana dalam kitab-kitab

hadis Sunni, misalnya karya imam Bukhari yang kemudian

disebut dengan kitab ‚Sahih Bukhari‛, tetapi penekanan

penyebutan istilah sahih adalah pada mata rantai rawi-

rawinya, bukan pada kitabnya meskipun kemudian secara

otomatis juga kepada kitab-kitabnya. Alasannya adalah karena

yang dimaksud dengan sahih dalam ilmu hadis versi Syi’ah

adalah perawinya terdiri dari Imam Maksum dan yang adil.

Sedangkan hadis-hadis yang termuat di dalam empat kitab

Syi’ah yang muktabar tersebut ada yang terdiri dari hadis

sahih, hadis hasan dan hadis muwassaq.26

25‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\, h. 77-82.

26‘Abd al-Rah{ma>n Abd Alla>h al-Zar’i, Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n

(Kuwait: Da>r al-Arqm, 1983), h. 22-24.

Page 53: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

35

Sedangkan versi yang kedua, menurut S{a>lih{ al-Warda>ni >ada tiga priode; (1)para sahabat menulis hadis yang diperoleh

langsung dari Imam‘Ali>. Di antara sahabat yang terkenal

banyak mendapatkan riwayat hadis tersebut ialah Ibn ‘Abba >s, Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|arr al-Gifa>ri>, dan Abu> Ra>fi’;(2) pada

masa ta>bi’i >n dan ta>bi’ihim. Pada masa kedua ini, kelompok

Syi’ah semakin banyak sehingga mereka pun banyak mengutip

hadis dari orang yang tidak diketahui dari siapa, karena

saking banyaknya perawi-perawi hadis dari Syi’ah. (3)Imam

Abu> H{ani>fah, Imam Ma>lik, dan Imam Al-Sya>fi’i> semuanya

mengambil hadis dari Ja’far al-S{a>diq yang notabe seorang

Syi’ah. Bahkan salah satu guru Imam al-Bukha>ri> pun dari

golongan Syi’ah.27

Dari beberapa pendapat tersebut, ulama Syi’ah

memiliki keyakinan penuh bahwa ‘Ali bin Abi Talib lah orang

pertama yang mengumpulkan hadis-hadis nabi. Mereka

berkeyakinan bahwa beliau memiliki sekumpulan tulisan-

tulisan yang diramu dari ucapan-ucapan yang didekte langsung

dari nabi kepadanya atau beliau menulisnya ketika beliau

memberikan sebuah khutbah atau menulis perbuatan-

perbuatannya yang diamati.28

Adapun puncak kodifikasi kitab hadis syi’ah adalah

pada masa paska atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n yaitu sekitar abad

keempat hijriyyah. Adapun kitab hadis syi’ah yang muncul

pada masa ini adalah al-Ka>fi karya al-Kulaini> (w. 329 h.), Man la> Yah}d}uruh al-Faqi>h karya Ibn Babawaih (w.381 h.), Tahz\i>b

27S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi’ah..., h.

107-108.

28Lihat dalam kitab,Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah

Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah(T.tp.:Da>r al-Sala>m, 2003), h.181.

Page 54: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

36

al-Ah}ka>m dan al-Istibs}a>r karya Al-T}u>siy (w. 460 h.), dan Nahj al-Bala>gah karya al-Syari>f al-Rad}liy (w. 406 h.)

29

Kesimpulannya, pada masa nabi sudah ada beberapa

sahabat yang menulis apa-apa yang disampaikan oleh nabi

kepada mereka. ‘Ali> adalah salah satu sahabat yang diyakini

oleh Sunni sebagai salah satu sahabat yang memiliki catatan-

catatan hadis nabi, dan juga diyakini oleh Syi’ah sebagai

Imam yang Maksum memiliki banyak karya yang salah satu di

antaranya adalah koleksi hadis-hadis nabi. Dalam hal ini, dua

golongan tersebut memiliki kesamaan pendapat.

C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan

Syi’ah

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang

meriwayatkan hadis dari rawi satu kepada rawi yang lain

sehingga sampai kepada nabi.30

Terkadang, dalam

menyampaikan sebuah hadis nabi berhadapan dengan sahabat

yang jumlah beraneka ragam, mulai dari yang berjumlahnya

sedikit, satu dan sampai tiga lebih dari seorang sahabat, serta

terkadang menyampaikan hadis kepada jumlah sahabat yang

banyak. Oleh karena itu sudah barang tentu, informasi yang

didapat dari jumlah yang relatif sangat banyak lebih

meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang

dibawa oleh segelintir orang saja. Hadis yang diriwayatkan

oleh banyak orang kemudian disebut dengan hadis al-Mutawa>tirdan yang hanya diriwayatkan oleh beberapa orang

dengan jumlah yang mudah teridentifikasi disebut dengan

29

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, h.

164.

30Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa

Mus}t}alah} al-H{adi>s \(T.tp.: T.p. t.t.), h. 18.

Page 55: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

37

hadis Ah{ad.Lalu kemudian, jika ditinjau dari jumlah sanad

tersebut, dalam kajian ilmu-ilmu hadis baik versi ulama Sunni

dan maupun ulama Syi’ah ditemukan titik kemiripan di

samping juga perbedaan yang cukup mendasar, berikut ini

penjelasannya:

1. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d Menurut Sunni

Definisi hadis mutawatir telah banyak dirumuskan oleh

para ulama, namun tidak ada perbedaan dalam substansinya.

Abdullah bin Sirajuddin menyimpulkan bahwa hadis

mutawatir adalah:

س ي ج ب ر ذجهغد ثذث ععجع ا مانعبدح ذ ا

انكزة إ راط عه ط ثشش ى ك ازبئىيسزذ ا

31اانسبع :انشؤخ انذس

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang diterima dari sekelompok orang yang mustahil mereka bersepakat untuk berbohong atas Nabi saw dan diriwayatkan secara indrawi, yaitu dengan indra penghilatan dan pendengaran Dari definis di atas, syarat hadis mutawatir ada empat.

Pertama, diriwayatkan oleh banyak periwayat. Kedua, jumlah

periwayat tersebut mustahil melakukan sepakat untuk

berbohong. Ketiga, diriwayatkan oleh banyak periwayat di

setiap tabaqahnya. Keempat, diriwayatkan dengan panca

indra, yaitu pendengaran dan penglihatan.

Hadis mutawatir terbagi dua model. Pertama

mutawatir lafz{iy. Yaitu hadis mutawatir yang disepakat

redaksi – walau pun sepakat secara hukum- dan maknanya.

Contohnya adalah hadis (man kaz|z|ab ‘alayy muta’ammdan).

31

Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:

Maktabah Darul Falah, 2009), h.. 98.

Page 56: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

38

Kedua mutawatir ma’nawiy. Yaitu hadis yang terjadi

perbedaan di kalangan para periwayat hadis tentang lafal dan

maknanya. Contohnya adalah hadis tentang mengangkat

tangan (arab: raf’ al-yad) dalam berdoa. Hadis-hadis tentang

mengangkat tangan ketika berdoa berjumalah kurang lebih 100

riwayat dan diriwayatkan dalam peristiwa-peristiwa yang

berbeda.32

Hadis mutawatir memiliki kedudukan sebagai ilmu

dhoruri, suatu informasi yang tidak bisa ditolak tentang

keberadaannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan secara

mutawatir berarti diyakinkan benar berasal dari Nabi saw.

Sedangkan hadis ahad sebagaimana penjelasan Ibnu

Hajar adalah:

ج ش ذ خ خ فاناد يب:انهغ ص ش ذ ش خ ف،اد

الح ع ن ى يب:الصط زار ش ش شط ج ان33

Hadis ahad menurut bahasa adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah hadi yang tidak memenuhi persyaratan hadis mutawar. Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad terbagi menjadi dua

bagian. Pertama yang maqbu>l, yaitu periwayatannya diterima

dan ada keharusan mengamalkannya. Kedua mardu>d, yaitu

periwayatannya ditolak dan tidak perlu mengamalkannya.

32

Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:

Maktabah Darul Falah, 2009), h.. 99.

33Ibnu Hajar, Nuzhah al-Naz}ar fi Tawd}i>h} Nukhbah al-fikar,

(Riyadh: Makatabh Al-Malak, 2001), h.. 54.

Page 57: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

39

2. Hadis Mutawatir dan Ahad Menurut Syi’ah

Hadis Mutawa>tir dalam kajian paham Syi’ah ada

banyak ragamnya. Namun definisi tersebut pada dasarnya

memiliki makna yang sama. Menurut Hasan Shadr, hadis

mutawatir adalah:

راطإىإي ا ذ د فكمطجمخ سالسه فبثهغذ

34ش زار عهانكزةف

Hadis mutawatir adalah hadis yang jika rantai periwayatannya mencapai batas jumlah yang dipercaya tidak sepakat berbohong. Berdasarkan definisi di atas, konsep hadis mutawatir

menurut syi’ah sama sebagaimana definisi ulama Sunni

sebelumnya. Hanya saja dalam definis syi’ah tidak disisipkan

perihal keharusan diriwayatkan dengan panca indra,

pendengaran atau penglihatan. Sebagaimana pandangan ulama

Sunni, menurut Hasan Shadr hadis mutawatir juga terbagi dua.

Yaitu lafz}iy dan ma’nawiy. Hasan Shadr juga mencontohkan

bahwa di antara hadis mutawatir yang disepakati oleh seluruh

ulama adalah hadis man kaz\z\ab ‘alayya. Sedangkan hadis

mutawatir menurut madzhab syi’ah adalah hadis Ghadir Khum

dan hadis al-manzilah (kedudukan Ali).35

Sedangkan hadis ahad menurut Hasan Shadar,

sebagaimana mengutip ulama terdahulunya adalah:

36شد ث اك ار س ذ هل شساء انزار دذغ جه بنى ي

34

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,

t.th.), h. 99

35 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100

36 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 279

Page 58: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

40

Hadis ahad adalah hadis yang jumlah periwayat hadisnya tidak mencapai pada batas mutawatir. Baik periwayatnya berjumlah sedikit atau pun banyak.

Adapun kedudukan hadis ahad dalam pendapat Hasan

ada yang bersifat ma’lu>m al-s}idqi (kebenarannya bersifat

pasti), ma’lu>m al-kaz|ib (kebohongannya bersifat pasti),

maz}nu>n al-sidq (kebernarnnya bersifat dugaan), maz|nu>n al-kaz|ib (kebohongannya bersifat dugaan). Secara umum, hadis

ahad, sebagaimana dalam tradisi Sunni, para ulama Syi’ah

mengamalkan informasi yang terkandung di dalamnya.37

D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat

Menurut Sunni dan Syi’ah

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas

Periwayat Menurut Sunni

Abdullah Sirajuddin, sebagaimana ulama lainnya,

melakukan klasifikasi hadis ke dua bagian. Pertama populer

dengan istilah jihah ta’addud al-ra>wi> (aspek kuantitas atau

jumlah periwayat hadis). Kedua jihah s}ifa>t al-asa>ni>d (aspek

kualitas sanad hadis).38

Dari aspek kuantitas, hadis terbadi

menjadi tiga macam. Yaitu hadis masyhu>r, hadis ‘azi >z, dan

hadis gari>b.

37

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100.

38 Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:

Maktabah Darul Falah, 2009), h. 36.

Page 59: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

41

Tentang hadis masyhu>r, al-Suyu>t}i> menjelaskan

bahwa:

ي ثأكثش يذصسح قش ط ن يبانشس اث نى,

ارشدذجهغ ,انز دثزنكس 39نض

Hadis Masyhu>r adalah hadis yang memiliki jalan-jalan periwayatan lebih dari dua, tetapi jalan periwayatan tersebut tidak sampai pada batas mutawatir. Disebut masyhu>r karena dengan jelas bisa diketahui keberadaannya. Tentang hadis ‘azi>z, Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>

memberikan definisi yaitu:

سانثالثخأاثبساعافشديبانعضض

كفمذيئخانثالثخأالثزعرنكثعذ

40انغشتعفشديشساعضضاانذذث

Hadis ‘azi>z adalah hadis yang periwayatnya berjumlah dua atau tiga walaupun setelahnya diriwayatkan oleh seratus periwayat. Terkadang ada sebuah hadis ‘azi>z sekaligus masyhu>r tetapi juga disebut gharib karena diriwayatkan oleh periwayat gharib di t}abaqah lainnya.

39

Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. 2, (Beirut: Maktabah Al-Kaus|ar,

1415 h.) h. 632.

40Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah}

al-H}adi>s|, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2004), h. 183.

Page 60: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

42

Adapun hadis ghari>b menurut Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> adalah

سابي شت انغ غش ش فهىثشاز يفشداسا

أ 41ئسبد أ ز ي فثضبدح فشد ا

Hadis ghari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat yang menyendiri dalam periwayatannya, dan periwayat lainnya juga tidak meriwayatkan, atau menyendiri dalam hal memberi tambahan dalam matan dan sanad.

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas

Periwayat Menurut Syi’ah

Hasan Shadr membagai hadis berdasarkan kuantitas

periwayat hadis kepada empat jenis. Yaitu mustafidh,

masyhur, aziz, dan gharib.

Tentang hadis Mustafidh Hasan Shadr menjelaskan:

42ض ف ز س ف ثالثخ ي ذ ص أ خ ج ر ش ي مفك ه م فا

Maka jika diriwayatkan oleh lebih dari tiga periwayat di setiap tabaqah maka itu adalah hadis mustafidh.

Tentang hadis masyhur:

فمبدافثعض ج انط فكمعثالثخ انشاح صاد ئ ب

43انشس

41

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah}

al-H}adi>s|, h. 184.

42Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,

t.th.), h. 158.

43Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 158.

Page 61: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

43

Dan jika periwayat lebih lebih dari tiga di setiap tabaqah atau sebagiannya maka itu adalah hadis masyhur.

Hadis Gari>b adalah:

س فشد يبا ضبدح ث ا 44ذ اانسز فان

Hadis yang periwayatnya menyendiri baik dalam rantai periwayatan atau pun dalam matannya.

Adapun hadis ‘aziz adalah:

ااث يبس يع ش انذذث ع ج عكمي اثالثخ ب

45ط ج ض ذانز ع ن

Hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga periwayat dari setiap yang mengumpulkan hadis dan meriwayatkan darinya atas pertimbangan ‘ada>lah dan dabtnya.

E. Klasifikasi Hadis Ah}a>d Berdasarkan Kualitas Hadis

Menurut Sunni dan Syi’ah

1. Klasifikasi Hadis Ah{a>d Berdasarkan Kualitas Hadis

Menurut Sunni

Sunni membagi hadis Ah{adkepada tiga macam bagian.

Yakni, hadis sahih, hasam dan da’if. Dari ketiga macam

tersebut, dua yang pertama disebut dapat diterima sebagai

hujjah atau argumentasi atau disebut dengan al-Khabar al-Maqbu>l, dan sedangkan hadis Da’if masih diperdebatkan oleh

banyak kalangan ulama, tetapi pendapat mayoritas yang

dipegang oleh mereka adalah tertolaknya sebagai hujjah

44

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 160.

45 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 164.

Page 62: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

44

kecuali dalamfada>’il al-a’ma>l (keutamaan amal). Ia disebut

dengan al-Khabar al-Mardu>d.46Berikut tentang tiga pembagian

hadis Ah{adtersebut sebagaimana berikut:

a. Hadis S{ah{i>h} adalah:

ذخ انصذث انذ بأي انذذثف: م ص ز انزي،ذ س ان

ب،ز ي ئنىبثظ انضلذ انع ع انضبثظلذ انع م م ث بد ئس

.العهي لا،ر شبكل47

Adapun hadis s}ah}i>h} adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dikutip dari rawi yang adil dan d}abit}} sampai kepada seluruh tingkatannya dan tidak syaz} serta tidak ada illatnya.

Melalui definisi tersebut, maka bisa disimpulkan

bahwa syarat hadis Sahih ada empat macam. Pertama, sanadnya bersambung. Kedua, perawinya bersifat adil. Artinya, rawi tersebut adalah sesosok orang yang taat

melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-

larangan Allah s.w.t. Ketiga, selain harus memiliki sifat

adil juga harus dabit. Dabit disini yang dimaksud adalah

kualitas ingatannya dari apa-apa yang dihafalkannya.

Bisa juga dabit ini disebut dengan cerdas, baik cerdas

dalam hafalan dan maupun tulisan. Keempat, matan

hadisnya tidak mengandung syaz. Yaitu, riwayat yang

dibawanya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang

dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas

kesiqahannya, atau tidak bertentangan dengan dalil lain

yang lebih argumentati. Karena apabila bertentangan

dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang

46Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 44-77.

47Ibnu S}ala>h, ‘Ulu>m al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Fikr, t.th. ), h. 11.

Page 63: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

45

berkualitas dan bersambung sanadnya sehingga hadis itu

dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan

hadisnya (matannya) ternyata syadz, maka hadis itu

menjadi tidak Sahih.Kelima, matanya tidak mengandung

illat. Maksudnya, tidak cacat, seperti, tidak ada

pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis

yang sebenarnya memang tidak bersambung, atau

mengatasnamakan dari nabi, padahal sebenarnya bukan

berasal dari nabi. Kesimpulannya, ada dua hal yang perlu

diperhatikan, yaitu sanadnya harus bersambung, adil

dan memiliki kualitas ingatan yang tajam, dan matannya

tidak mengalami syaz dan illat. Perlu dikatahui, bahwa para ulama hadis juga

membagi hadis Sahih pada dua bagian, yaitu S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> dan S|a>h{i>h{ li Gairihi>, perbedaan antara keduanya

terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada

S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> ingatan perawinya sempurba, sedang

pada S|a>h{i>h{ li gayrihi, ingatan perawinya kurang

sempurna. S|a>h{i>h{ li Gayrihi tidak lain merupakan bentuk

dari hadis H{asan li Z|a>tihi,―sebab tidak memenuhi

secara sempurna syarat-syarat suatu hadis dapat diterima

kehujjaanya―karena predikat keshahihannya diraih

melalui sanad pendukung yang lain. Para ulama hadis

ulama fiqih dan usul fiqih sepakat menjadikan hadis ini

sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.48

b. Hadis H}asan

Definisi dari hadis Hasan terdapat perbedaan

pendapat di kalangan ulama. Namun demikian, definisi

yang banyak dipilih adalah:

48Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64.

Page 64: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

46

عضجط فصمسذثممانعذلانزيخ رايب

49خ هلع ر زش غش ئنىيزبي ه ث ي

Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dari orang yang adil, kurang sedikit kedabitannya, tidak ada keganjilan dan illatnya.

Perlu dicatat, bahwa status kualitas Hadis hasan

tepat di bawah hadis sahih. Kriterianya pun hampir sama

dengan hadis Hasan. Hanya saja, perbedaanya terletak

pada sisi kedhabitan rawinya, baik ingatan atau daya

hafalannya kurang sempurna, tidak sebagaimana dalam

hadis Sahih. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh

perawinya harus sempurna, sedangkan dalam hadis

hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding

dengan hadits shahih.50

Sebagaimana hadis Sahih, hadis Hasan juga

masih terbagi menjadi dua macam pembagian, yaitu

disebut dengan H}asan li Z|a>tihi dan H{asan li Gayrihi. Yang dimaksud dengan H}asan li Z|a>tihiadalah hadis yang

dengan sendirinya telah memenuhi syarat hadis Hasan.

Adapun yang dimaksud denganH{asan li Gayrihiyaitu

hadis Da’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih

dari satu), dan sebab-sebab keda’ifannya bukan karena

perawinya fasik atau pendusta.51

c. Hadis D}a’i>f

49

Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 58.

50Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazon, 2010)h.

159.

51Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64-66.

Page 65: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

47

ط ش ش ي ط ش ش ذ م ف ث س انذ فخ ص ع ج بنى ي 52

Yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat hadis hasan, karena tidak ada satu pun syarat dari syarat-syaratnya yang tidak terpenuhi. Jika hadis dhaif adalah hadis yang tidak

memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadis Hasan

dan Sahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (gayr muttasil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabit,

terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz)

dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illat) pada sanad

atau matan.53

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Hadis

Menurut Syi’ah

Di atas telah penulis paparkan penjelasan tentang

kualitas hadisAh}ad perspektif Sunni dan klasifikasinya, maka

sebagai perbadingannya, penulis di sini akan memaparkan

klasifikasi menurut Syi’ah. Menurut Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>bali> dalam karyanya, Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\:, menjelaskan bahwa hadisAh{ad menurut kelompok Syi’ah

terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu hadis Sahih, Hasan,

Muwassaq, dan Da’if. Tiga awal tersebut dapat diamalkan

atau dijadikan hujjah, karena kualitas sanadnya kuat.

Sedangkan yang disebut belakangan, hadis Daif tertolak

karena lemahnya kualitas sanadanya. Empat tingkatan ini pada

hakikatnya tidak lepas memperhatikan dua komponen; atas

sanad (eksternal) dan matan (internal).54

52

Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 73.

53Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 164.

54Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>balayi>,Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\

(Da>r al-H{adi>s\ Li T{aba>h’ah wa al-Nasyr, 2000), juz. 1, h. 125.

Page 66: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

48

Sementara itu, sebab-sebab pembagian hadis menjadi

empat macam tersebut ada banyak alasan, namun sebab yang

paling mendasar di antara beberapa sebab itu adalah antara

lain; karena rentang masa kemunculan hadis sudah sangat

jauh maka perlu membuat klasifikasi istilah sahih dengan yang

tidak; bercampurnya riwayat-riwayat hadis dari yang

muktabarah dengan yang tidak; dan kesamarannya riwayat-

riwayat yang diulang-ulang; ulama-ulama kontemporer

membutuhkan kaidah-kaidah yang menjelaskan perbedaan

antara hadis yang sahih dengan yang tidak. Adapun peletak

pertama yang membuat klasifikasi hadis menjadi empat

macam ada beberapa perbedaan ulama, ada yang mengatakan

adalah Jama>l al-Di>n Ah}mad bin Mu>sa> bin Ja’far bin T {a>wu>s (w.

664). Namun ada pula yang mengatakan adalah muridnya,

yaitu al-‘Alla>mah al-H{asan bin Yu>suf al-Halli. Meskipun

masih diperselisihkan siapa peletak pertama, tetapi yang jelas

klasifikasi hadis tersebut dikenal pada Abad ke tujuh.55

Empat macam atau tingkatan hadis menurut Syi’ah

tersebut di atas sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

a. Hadis S}ah}i>h} ialah

صمسذ رايب‚ عيثهبي لاإلي انعذ م م ث و ص ع ئنىان

,‛انطجمبدجعف 56

hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang.

55Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\

‘Inda al-Ima>miyyah (Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013), h. 92-96.

56 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\

, h. 92-96.

Page 67: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

49

b. Hadis H}asan ialah:

عهعذانزص غش ي ذح ي ثايبي سذ صم رايب‚

انجبليسجبل جأفثعضعبيعك شار فجعي

57خذانص‛,

Hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang terpuji dari tetapi tidak ada nash yang jelas tentang ‘ada>lahnya, dan periwayat tersebut ada di semua atau sebagian tabaqahnya.

c. Hadis al-Muwas|s|aq atau juga bisa disebut dengan al-Qawiy, ialah

د ‚ ميعث األصذبةعهىر صي فطشم خم يب

,‛فع عهىض مثبل ز نىش مذر ع سبد ف 58

hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu kelompok yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.

Ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadis

Ah{ad secara paten juga memperbolehkan mengamalkan hadis

Sahih selagi tidak ada syadz dan bertentangan dengan al-

Qur’an. Namun eksistensi dari pengamalan hadis Hasan dan

57

Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-

H{adi>s\, h. 92-96.

58 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-

H{adi>s\, h. 92-96.

Page 68: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

50

hadis al-Muwassaq terjadi perbedaan pendapat antara ulama.

Menurut Abu> al-Fad{l H{afiz\iya>n al-Ba>buli>dalam

karyanya,Risa>lah Fi> Diraya>h al-H{adi>s|,ada ulama yang

mengamalkan hadis Hasan secara mutlak, tetapi ada pula yang

menolaknya secara mutlak, dan yang lain ulama yang lain

memisahkan keduanya. Begitu pula hadis al-Muwassaq, ada

ulama yang memperlakukannya sebagaimana hadis Hasan.59

d. Hadis D}a’i>f, ialah

ج يبل ‚ ,‛انثالثخ دذ أ شط عفش ز60

Hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.

Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat

sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya,

atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang

memalsukan hadis.

Adapun hadis-hadis Daif hukumnya bukan

berarti tidak dapat diamalkan. Akan tetapi status hadis

tersebut dapat disejajarkan dengan hadis Sahih apabila

hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran-ajaran

Syi’ah. Misalnya tentang masalah haji, di dalamnya

tidak hanya dibahas masalah manasik haji keBayt Alla>h,

melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke

makam Nabi Muh{ammad dan para imam mereka.61

59Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\,

juz. 1, h. 126.

60 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\

‘Inda al-Ima>miyyah .....h. 92-96.

61Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\,

juz. 1, h. 126.

Page 69: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

51

Di kalangan ulama syi’ah sendiri, pada dasarnya

klasifikasi hadis berdasarkan kualitasnya menjadi s}ah}i>h},

h}asan, muwas|s|aq, dan d}a’i>f adalah hal yang bersifat

kontroversial. Sebagaimana penjelasan-penjelasan di

atas, Hasan Shadr adalah salah satu ulama yang

berpendapat tentang adanya klasifikasi hadis. Dalam

pandangan ulama syi’ah lainnya, tidak ada pembagian

hadis menjadi empat bagian sebagaimana penjelasan di

atas. Pendapat ini diperjuangkan oleh ulama syi’ah salah

satunya bernama Yusuf Al-Bahrani yang meninggal pada

tahun 1186 h. Dalam kitabnya, dengan tegas dia

menyatakan bahwa pembagian istilah hadis menjadi

empat nama adalah pendapat yang batil.62

Tidak ada

pembagian hadis tersebut dikembangkan oleh ulama

syi’ah dari kalangan akhba>riyyun. Sedangkan yang

setuju dengan pembagian hadis berasal dari kalangan

ushulilyyun, seperti Hasan Shadr.

F. Perbedaan Sunni dan Syi’ah tentang Standarisasi

Kesahihan Hadis

Pada hakikatnya sub-bab ini merupakan kelanjutan dari

penjelasan yang lalu. Hanya saja keterangan yang akan

dibahas di dalam sub bab ini lebih menelisik rincian-rincian

dari standar kesahihan hadis baik yang ditinjau dari kajian

golongan Sunni dan maupun menurut Syi’ah. Sejauh

pembacaan penulis, selain ditemukan ada beberapa perbedaan

juga ternyata ada beberapa aspek kemiripan di antara kedua

golongan Islam tersebut. Dalam konteks kali ini,kemiripannya

adalah bahwa dua golongan tersebut sama-sama

mengharuskan sanad dari sebuah hadis bersambung (ittis}a>l al-

62

Yusuf Al-Bahrani, al-H}ada>’iq al-Nad}irah, (Beirut: Darul Kutub

Islamiyyah, 1985) h.. 65.

Page 70: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

52

sanad), Sunni mengharuskan bersambung sampai kepada nabi.

Namun menurut Syi’ah mengharuskan bersambung kepada

nabi atau imam yang maksum, selain itu, dua golongan

tersebut sama-sama mengharuskan seorang rawi memiliki sifat

adil dan d}abt}. Sedangkan perbedaanya, Sunni mengharuskan

sebuah hadis terhindar dari sya>z\ dan ‘illat, tetapi Syi’ah tidak

memasukkan keduanya ke dalam standarisasi kesahihan hadis,

karena keduanya sudah terkandung di dalam pengertian adil.

Penjelasannya sebagaimana berikut ini:

1. Ketersambungan sanad (ittis}a>l al-sanad). Ulama Sunni tidak sama dalam memahami apa yang

dimaksud dengan bersambungnya sanad, ada yang mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan bersambung sanad adalah

apabila periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-

betul serah-terima hadis (tah}aqquq al-liqa>’). Menurut Imam

Suyuti, Imam Al-Bukha>ri mensyaratkan nyatanya pertemuan

antara periwayat hadis dengan gurunya (al-sima>’ wa al-liqa>’) dan tidak mencukupkan sezaman (al-mu’a>s}arah) dan

pertemuan yang sifatnya masih dugaan (imka>n al-liqa>’)63

Jika di atas adalah kajian standar kesahihan sanad

menurut golongan Sunni, namun standar periwayatan hadis

s}ah}i>h} dari golongan Syi’ah, mengharuskan dari kalangan imam

yang maksum. Posisi ‘Ali> dan Imam Ma’sum sama dengan

Nabi Muh{ammad s.a.w.64

Dengan kata lain, para ulama Syi’ah

dalam kajian sanad telah memberikan kriteria-kriteria sebagai

63

Al-Suyuti, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. I, (Beirut: Al-Kautsar, 1415 h.),

h.. 69.

64Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\

..., h. 97.Lihat juga dalam keterangan, Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-

426.

Page 71: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

53

periwayat hadis. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi

sebagai seorang rawi agar periwayatannya dapat diterima,

yaitu; sanadnya bersambung kepada imam yang imam

maksumtanpa ada keterputusan di dalamnya,seluruh tingkatan

dari seluruh perawi hadis harus dari kalangan Syi’ah

Imamiyah, dan yang terkahirperawinya bersifat adil.65

Dalam standar kesahihan sebuah hadis, ulama-ulama

Syi’ah menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang fasik,

sehingga riwayatnya dinyatakan lemah atau daifyang tidak

boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain

Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.

Atas dasar penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa mereka

menolak hadis-hadis Sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu

Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta

para imam ahli hadis dan fuqaha. Alasan logisnya, karena

riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para

sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak

percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat

tersebut dinyatakan daif oleh Syi’ah.

Ah}mad H{a>ris Suhaymi> dalam karyanya; Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah, menjelaskan bahwa

kajian Syi’ah tentang sanad, ketersambungan dan

keterputusannya, pada hakikatnya bertaqlid atau mengikuti

65Abu> Zahrah mengutip pendapat Syaikh H}asan Zaynuddi>n dalam

kitabnya Ma’a>lim al-Di>n, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis

sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung dengan yang ma’s}u>m, diriwayatkan oleh periwayat yang adildan kedabitannya pada seluruh

tingkatannya. Lihat Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-426.

Page 72: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

54

kepada kajian ulama Sunni.66

Hanya saja Syi’ah tidak

mengambil periwayatan sebuah hadis dari kalangan sahabat

pada umumnya, karena mereka memiliki kriteria khusus siapa

yang berhak disebut dengan sahabat. Oleh karena itu, tidak

semua orang yang dianggap sahabat oleh kalangan ulama

Sunni adalah sahabat oleh kalangan Syi’ah.67

Namun demikian,

sanad Syi’ah Imamiyah lebih sahih dari pada sanad Sunni.

Karena mereka tidak mengambil sebuah riwayat kecuali dari

orang s|iqah yang diambil dari imam-imam mereka yang

langsung bersambung kepada kakeknya, nabi, dari Malaikat

Jibril yang datangnya dari Allah s.w.t.68

2. Kualitas intelektual rawi (d}abt} al-ruwa>h). Tidak ada perbedaan antara ulama Sunni dan Syi’ah

mengenai arti dari d}abt} al-ruwa>h. Mereka sama-sama

mengartikannya dengan rawi yang memiliki kekuatan

hafalannya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan

saja sesuai kehendaknya sendiri, atau arti yang lain ialah

seorang rawimampu memahami pembicaraan sebagaimana

mestinya, dan seketika itu dia langsung hafal (ingat) dengan

apa yang didenger dan mampu menyampaikannya sesuai dan

sangat persis dengan yang didengarkan itu.69

Adapun

66Ah}mad H{a>ris Suhaymi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-

Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah (T.tp.: Da>r al-Sala>m, 2003), h. 180.

67S|a>lih} al-Wirda>ni>, ‘Aqa>’id al-Sunnah wa ‘Aqa>’id al-Syi>’ah, h.

110.

68Ah}mad H{a>ris Suhaimi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-

Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah..., h. 181.

69Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h.140.

Bandingkan dengan, ‘Abd Alla>h al-Ma>miqa>ti>, Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah (T.tp.: Naka>risy, 2000), h. 334-335.

Page 73: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

55

menentukan kualitas ke-d}abt}-an seorang rawi, setidaknya bisa

diketahui dari; (1) didapat dari kesaksian atau penjelasan

ulama; (2) berdasarkan kesesuain riwayatnya dengan riwayat

orang lain yang memiliki ke-d}abt}-an maksimal; (3) kalau

hanya mengalami satu kesalahan, maka bisa disebut sebagai

rawi yang dabit. Akan tetapi tidak disebut sebagai rawi dabit

apabila selalu mengalami kesalahan.70

3. Periwayat yang adil (‘adalah al-ruwa>h).

Maksud adil pada syarat periwayat yang ketiga ini

masih menyisakan perselisihan pendapat ulama Sunni. Ada

yang memberi makna adil dengan beragama Islam, balig,

berakal, takwa, memelihara muru’ah, teguh dalam beragama,

tidak berbuat dosa besar, misalnya syirik, tidak berbuat dosa

kecil, tidak berbuat bid’ah, maksiat. Pada intinya, dua

golongan ini memahami ‘adl dengan ketaatan seorang

periwayat terhadap ajaran-ajaran agama Islam.

4. Tentang persyaratan sya>z| dan ‘illah

Kelompok Sunni sebagaimana dalam definis hadis

sah}i>h-}nya, meletakan persyarat dua terakhir ini dengan jelas

dan menjadi pertimbangan penting dalam seleksi periwayatan

hadis. Sedangkan dalam kajian Syi’ah dua persyaratan terakhir

tidak tertulis dalam definisi hadis s}ah}i>h}-nya.

70

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h. 142.

Page 74: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

56

Page 75: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

57

BAB III

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR

SUBHANI

A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah1

Ja’far Subhani adalah seorang pemuka agama yang

selama bertahun-tahun mengajar dan mendidik murid-murid,

menyampaikan tuntunan-tuntunan agama dalam bentuk tabli>g,

meneliti, menulis, dan juga menerjemahkan buku-buku ilmiah.

Semua itu hanyalah contoh kegiatan dan pengabdian yang

berharga dari pemikir besar Islam, ulama kontemporer, faqi>h

yang juga pakar di bidang Us}u>l al-Fiqh, mufassir yang juga

ahli di bidang Ilmu Rijal, teolog yang juga sastrawan, dan

filsuf yang juga sejarawan ini. Selanjutnya kita coba

menengok sedikit dari riwayat hidup dia.

Aya>tulla>h Ja’far Subhani lahir pada tanggal 28 bulan

Syawal tahun 1347 hijriah. Dia dilahirkan di kota Tabriz

dalam keluarga yang terhormat dan terkenal dengan ilmu,

takwa dan kemuliaan. Kedua orang tuanya adalah seorang

yang zuhud dan terkemuka, yaitu Aya>tulla>h Muhammad

Husein Subhani Khiyabani. Dia adalah salah satu ulama dari

1 Sejauh penelusuran, penulis tidak menemukan buku atau kitab

khusus yang menjelaskan perjalanan hidup Ja’far Subhani secara lengkap.

Oleh karena itu, sementara penulis mengacu pada tulisan yang tersebar di

internet. Lihat Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 76: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

58

kota Tabriz yang aktif mengajar, menulis, memberi petunjuk

kepada masyarakat dan mendidik murid-murid lebih dari lima

puluh tahun lamanya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Ja’far Subhani

mempelajari teks-teks sastra persia di sekolah Mirza Mahmud

Fadhil putra Fadhil Maroghi yang merupakan salah satu murid

Syekh Anshari. Di sana dia mempelejarai buku-buku seperti

Gulestan, Bustan, Ta>ri>kh al-Mu’jam, Nis}ab al-S}ibya>n, Abwa>b al-Jina>n dan lain sebagainya. Kemudian pada usianya yang ke

empat belas tahun (tepatnya pada tahun 1361 h.) dia

melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ilmiah Thalibiah dan

menyelesaikan ilmu-ilmu pengantar dan tingkat-tingkat tinggi

atau yang biasa dikenal dengan sutuh. Dia belajar ilmu sastra

dari Syekh Hasan Nahwi dan Syekh Ali Kbar Nahwi, dan dia

belajar kitab Mut}awwal, Mantiq Manz}umah, dan Syarh{ al-Lum’ah dari Mirza Muhammad Ali Mudaris Khiyabani penulis

buku Raih>anah al-Adab (1373 h). Jenjang ini berlanjut selama

lima tahun, yakni sampai tahun 1365 h.2

Di tengah kegiatan belajar dan mengajar serta diskusi,

Ja’far Subhani juga rajin mengarang, di antara karya tulis pada

periode itu –yakni ketika dia masih berusia tujuh belas tahun.

adalah dua buku yaitu Mi’yar al-Fikr, buku tentang logika dan

Muhaz|z>ab al-Bala>gah, buku tentang Ilmu Ma’a>ni, Baya>n dan Badi >’.3

2Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

3Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 77: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

59

Pergolakan di Azarbaijan dan munculnya kelompok

demokrat yang dipimpin oleh Pisyehwar dan Ghulam serta

pembentukan pemerintah yang tergantung kepada Uni Soviet

menyempitkan ruang kegiatan belajar dan mengajar di sana,

itulah sebabnya terpaksa Ja’far Subhani mencari ganti

lingkungan pendidikan, dan akhirnya dia pergi menuju Hauzah

Ilmiah Qom. Kemudian, dia memasuki kota Qom, kemudian

dia menyempurnakan pendidikan tingkat-tingkat tinggi yang

tidak sempat dia tuntaskan di Tabriz. Dia mempelajari sisa

buku Fara>’id} al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Haj Mirza Muhammad

Mujahidi Tabrizi (1327-1379 h.) dan Haj Mirza Ahmad Kafi

(1318-1412 h.), di samping itu dia juga mempelajari buku

Kifa>yah al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Uzma Gulpaigani (1414 h.).4

Setelah menyelesaikan tingkat-tingkat tinggi

pendidikan pada tahun 1369 h. Ja’far Subhani memulai

pelajaran-pelajaran kha>rij al-fiqh (kajian fiqih tingkat tinggi)

dan Us}ul al-Fiqh kepada Aya>tulla>h Uzma Bruwjurdi (1292-

1380 h.) yang mengajarkan kitab al-sholah dan Aya>tulla>h Haj

Sayid Muhammad Hujjat Kuhkamari (1301-1372 hq.) yang

pada waktu itu mengajarkan kitab al-bai’. Aya>tulla>h

Bruwjurdi memperkenalkan murid-muridnya dengan pendapat-

pendapat ulama terdahulu, fatwa-fatwa Ahli Sunnah,

penelitian sanad hadis, pemahaman makna hadis, dan kajian-

kajian tentang akar permasalahan. Adapun Aya>tulla>h Hujjah,

selain pelajaran-pelajaran yang dia sampaikan dia memiliki

keistimewaan tersendiri di dalam hal klasifikasi pembahasan

dan juga penyimpulan. Selain itu dia juga belajar kepada

Aya>tulla>h al-Uz}ma> Imam Khomaini (1320-1409 h.) yang pada

4 Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 78: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

60

waktu itu mengajarkan Us}ul al-Fiqh bab istis}ha>b. Ja’far

Subhani menghadiri pelajaran Us}ul al-Fiqh Imam Khomaini

sampai akhir periode pertama dan sejak awal dia sudah berniat

untuk mencatat semua pelajaran itu serta membukukannya.

Pelajaran ini berlangsung selama tujuh tahun. Pada tahun itu

pula catatan-catatan Ja’far Subhani tentang pelajaran ushul

fikih Imam Khomaini dicetak.

Di samping belajar ilmu fikih dan Us}ul al-Fiqh, Ja’far

Subhani juga rajin mempelajari filsafat, teologi dan tafsir al-

Qur’an. Sejak usia remaja, dia giat sekali mempelajari ilmu-

ilmu akal dan dia menghormati sekali tokoh-tokoh pemikir,

guru-guru logika dan ilmu akal. Itulah sebabnya di kota Tabriz

dia mendatangi Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Bad Kubeh’i

(1390 h.) dan belajar buku Syarh Qowa’id al-Aqo’id darinya.

Setelah itu, dia menyempurnakan pelajaran-pelajaran itu

dengan duduk di bangku pelajaran logika dan filsafat

Aya>tulla>h Allamah Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’i

(1402 h.). Dia juga belajar Syarh} Manz}u>mah dan Asfa>r Arba’ah kepada Alla>mah Thaba’ Thaba’i, selain itu dia juga

rutin menghadiri acara malam kamis dan malam jum’at

bersama Allamah yang diisi dengan kajian kritis terhadap

filsafat materialisme, dan buku ‚Ushule Falsafeh wa Rawesye Realisme‛ yang ditulis oleh Syahid Mut}ahhari> adalah hasil

dari pertemuan-pertemuan itu. Kemudian berdasarkan

permintaan Aya>tulla>h Thaba’ Thaba’i, Ja’far Subhani

menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa arab, dan jilid

pertamanya dicetak dengan rekomendasi langsung dari

Allamah.5

5Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 79: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

61

Aya>tulla>h Ja’far Subhani sudah mulai mengajar ilmu-

ilmu pengantar ketika dia masih dalam proses belajar –pada

tahun 1362 h. kemudian dia datang ke Hauzah Ilmiah Qom

pada usia 18 tahun dan tetap rutin mengajar, tak lama

kemudian dia pun mulai mengajar tingkat-tingkat tinggi.

Selama hampir tujuh tahun dia mengajarkan kitab Mut}awwal, berkali-kali dia mengajarkan kitab Ma’alim dan Lum’ah, tujuh

kali kitab Fara>’id} karya Syekh Anshari –selama 21 tahun–,

berkali-kali kitab Maka>sib dan Kifa>yah, dan lima kali dia telah

mengajarkan kitab Syarh} Manz}u>mah –selama 10 tahun–.

Kemudian pada tahun 1394 h. dia diminta oleh para murid dan

dimotivasi oleh para ulama untuk membuka pelajaran kha>rij al-fiqh dan Us}ul al-Fiqh, dan \pelajaran kha>rij tersebut masih

berlanjut sampai sekarang. Adapun pelajaran kha>rij Us}u>l al-Fiqh terhitung sebagai pelajaran yang sangat penting dan

salah satu keistimewaannya adalah setiap hari pelajaran itu

dicatat dan dicetak di bawah pantauan dia. Murid yang hadir

di pelajaran kha>rij dia berjumlah lebih dari enam ratus orang.6

Sampai saat ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani telah

menyelesaikan pengajaran kha>rij ushul fikih sebanyak tiga

kali, setiap kalinya menghabiskan waktu selama enam tahun,

dan sekarang dia sedang mengajarkannya untuk kali yang

keempat. Banyak sekali catatan hasil pelajaran kha>rij dia, dan

salah satu catatan yang lengkap dari pelajaran kha>rij Us}u>l fiqh

dia adalah bernama al-Mahs}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l yang dicetak di

dalam empat jilid. Di samping itu, selama dua puluh tahun dia

teratur mengajarkan kha>rij al-Fiqh, dan berbagai pembahasan

telah dia sampaikan, seperti bab zakat, h{udu>d, diyah, qadha>’,

6Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 80: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

62

mud}a>rabah (dua kali), makasib muh}arramah, khiyara>t, irs|, thala>q, nika>h, dan khumus. Dan banyak sekali dari murid-

muridnya yang mencatat rapi pelajaran dia bahkan

sebagiannya sudah tercetak. Selain itu juga, selama bertahun-

tahun Aya>tulla>h Ja’far Subhani mengajarkan kitab Asfa>r Arba’ah kepada murid-muridnya, bahkan di antara murid-

muridnya sekarang sudah menjadi guru filsafat bagi yang lain.

Tidak cukup hanya mengajarkan fiqh, Usu>l al-Fiqh dan

filsafat, dia juga telah lama mengajarkan akidah, teologi, ilmu

rijal, dirayah, sejarah islam, syi’ahlogi, al-Milal wa al-Nih}al, tafsir dan sastra. Bisa dikatakan, di tiap-tiap ilmu itu dia telah

meninggalkan karya yang banyak dan berharga untuk dapat

digunakan oleh masyarakat Islam selanjutnya.7

Sejak majalah Maktabe Islom dirintis, tanggung jawab

rubrik tafsir Al-Qur’an dipikul oleh Aya>tulla>h Ja’far Subhani.

Sudah bertahun-tahun lamanya dia menggeluti terjemahan

sekaligus penafsiran al-Qur’an, di antaranya adalah surat al-Taubah, al-Ra’du, al-Furqa>n, Luqma>n, al-H}ujura>t, al-H}adi>d, al-S}aff, dan surat al-Muna>fiqu>n. Pada kelanjutannya, dia

sampai kepada sebuah kesimpulan tentang pentingnya tafsir

tematis Al-Qur’an, dia yakin bahwa Al-Qur’an telah

membahas berbagai tema dan bukan pada satu tempat saja

melainkan di berbagai tempat yang terpisah, ayat-ayat tentang

satu tema tidak berkumpul di satu tempat, bahkan betapa

banyak ayat-ayat tentang satu tema yang tersebar di beberapa

surat, maka sudah barang tentu untuk sampai kepada

pandangan dan kesimpulan yang universal dari ayat-ayat Al-

Qur’an tentang tema tertentu harus dilakukan pengumpulan

7Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 81: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

63

ayat-ayat yang bersangkutan dan kemudian ayat-ayat itu

diperhatikan secara majemuk serta terkadang juga perlu pada

pencerahan dari sabda-sabda para manusia suci as. Kendatipun

demikian, perlu diingat bahwa ulama pertama yang membuka

pintu ke arah tafsir tematis Al-Qur’an adalah ‘Alla>mah

Majlisi>. Di dalam kitabnya, yaitu Bih}a>r al-Anwa>r mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tiap-tiap bab,

kemudian dia melakukan penafsiran yang singkat terhadap

ayat-ayat itu.

Dalam hal ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani memfokuskan

kajian dan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang akidah Islam,

kegiatan dia ini akhirnya menghasilkan sebuah buku tafsir

yang luar biasa bernama Mafa>hi>m al-Qur’a>n dalam tujuh jilid,

dan buku tafsir ini mendapatkan perhargaan dari berbagai

ulama dunia Islam sejak pertama dicetak dan disebarkan. Tak

lama kemudian, Aya>tulla>h Subhani juga merasakan kebutuhan

masyarakat berbahasa persia kepada tafsir semacam ini, itulah

sebabnya dia segera menuliskan tafsir tematis al-Qur’an ke

dalam bahasa persia dan buku ini berhasil dicetak dan

diterbitkan dengan nama Mansyure Jowide Qur’on yang

sekarang sudah mencapai empat belas jilid.8

Aya>tulla>h Ja’far Subhani, yang sudah mulai menulis

sejak dia berusia delapan belas tahun dan selama 48 tahun

berkecimpung di dalam penelitian, sangat merasakan besarnya

nilai hasil-hasil penelitian yang bersumber pada referensi-

referensi yang otentik, karena itu dia senantiasa berpikir dan

berkeinginan untuk mendirikan lembaga khusus bagi para

peneliti dan penulis agar mereka dapat merujuk kepada

8Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november

2017.

Page 82: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

64

khazanah perpustakaan secara langsung dan tanpa melalui

prosedur yang rumit serta dapat dengan tenang meneliti dan

menulis tanpa harus memikirkan masalah yang lain.

Kemenangan revolusi Islam Iran membuka peluang dan

kesempatan terwujudnya cita-cita itu, dan berkat tekad

Aya>tulla>h Ja’far Subhani yang bulat serta usaha dia yang keras

dan juga bantuan dari sejumlah orang yang baik maka Yayasan

Pendidikan Dan Penelitian Imam Shadiq as. berhasil didirikan

pada tahun 1359 h. dan diresmikan pada hari raya Ghadir

Khum.

Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas,

masih banyak karya-karya Ja’far Subhani lainnya. Penulis

menemukan lebih dari delapan kitab hasil karya Ja’far Subahni

untuk berbagai disiplin ilmu. Yaitu9 Ahl al-Bait; Sima>tuhum

wa H}uququhum fi> Al-Qur’a>n, Mausu’ah Ah}a>di>s| Ami>r al-Mu’mini>n, Mut’ah al-Nisa> fi> Kita>b wa al-Sunnah, Nail al-Witr min Qa>’idah La> D}arara wa La> D}ira>r, Mut’ah al-Hajj fi D}au al-Kita>b wa al-Sunnah, Irsya>d al-‘Uqu>l ila> Mabah}is| al-Us}u>l, Niz}am al-H}ukm fi> al-Isla>m, niz}a>m al-Qad}a>’ wa al-Syari>’ah fi> al-Isla>m, Naz{ariyyah al-Kasb fi> ‘Af’a>l al-‘Iba>d, Mafa>him al-Qur’a>n, al-Milal wa al-Nihal, al-Ila>hiyyah, al-Ins}af fi Masa>’il Da>ma fi>ha> al-Khila>f, al-Az|a>n Tasyri>’an wa Fus}u>lan ‘Ala> D}au’ al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah, al-Wahha>biyyah bain al-Maba>ni< al-fikriyyah wa al-Nata>’ij al-‘Amaliyyah, al-Wahha>biyyah fi> al-Mi>za>n, al-Wud}u>’ ‘Ala> D}au’ al-Kita<b wa al-Sunnah, al-Was}iyyah lil Wa>ris}, al-Mutakallim wa al-S}ifa>t al-Khabariyyah, al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l, al-Ira>dah al-Ila>hiyyah, al-Muslim Yaris| al-Ka>fir Du>na al-‘Aks, al-Isla>m wa Mutat}a>liba>t al-‘As{r, al-Asma> al-S|ala>s|ah, al-Isyha>d

9 Nama-nama kitab Ja’far Subhani ini, penulis dapatkan dari

kitabnya yang langsung yang hampir semuanya dalam bentuk PDF.

Page 83: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

65

‘Ala > al-T}ala>q, al-Aqsa>m fi< al-Qur’a>n, al-I’tis}a>m bi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Ift}a>r fi al-Safar, al-Bulu>g| Haqi>qatuhu>, al-Tauh}i>d wa al-Syirk, al-Tawassul, al-Bida>’, al-Tah}si>n wa al-Taqbi>h}, al-Bid’ah Mafhu>muha>, al-Basmalah, al-Khumus, al-Jam’ bain al-S}ala>tain, al-H}aya>h al-Barzakhiyyah, al-H}ujjah al-Gharra>’, al-H}adi>s} al-Nabawi bain al-Riawa>yah, al-T}ala>q al-Mu’allaq, al-S}aum fi> al-Syari>’ah, al-Salafiyyah Ta>ri>khan wa Mafhu>man, al-Suju>d ‘Ala> al-Ard}, al-Ziya>rah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Si>rah al-Nabawiyyah, al-Syafa>’ah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qabd} bain al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qasr fi> al-S}ala>h, al’Aul fi> al-Fara>id}, Taz|kirah al-A’ya>n, Buh}us| Qur’a>niyyah fi al-Tauh}i>d wa al-Syirk, Ru’yah al-H}ila>l, Risa>lah H}aul Ru’yah Alla<h, S}ala>h al-Tara>wi>h} bain al-Sunnah wa al-Bid’ah, S}iya>nah al-As|a>r al-Isla>miyyah, Kulliyya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, ‘Ada>lah al-S}ah}abah bain al-‘At}ifah wa al-Burh}a>n, ‘Is}mah al-Anbiya>’ d fi> al-Qur’a>, dan Us{ul al-H}adi>s

B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-

Kita>b wa al-Sunnah 1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah

Selain konsep ima>mah, nikah mut’ah adalah ajaran

yang dimiliki secara khusus oleh kelompok syi’ah. Tentang

konsep nikah mut’ah, para ulama syi’ah sangat intens

melakukan deskripsi dan narasi terkait syarat, rukun, dan yang

membatalkan akad mut’ah. Semua itu tertulis dalam karya-

karya mereka. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah

adalah salah satu dari sekian banyak kitab yang menjelaskan

nikah mut’ah. Kitab ini hadir ke tengah masyarakat dalam

rangka melestarikan dan menyebarkan pemahaman mereka

tentang nikah mut’ah kepada para generasi mudanya.

Penyebaran dan pelestarian tersebut bukan sebagai bentuk

yang lepas dari dalil-dalil hukum. Mereka meyakini pelestarian

nikah mut’ah adalah satu bentuk pengabdian terhadap ilmu

Page 84: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

66

pengtehuan dan menyampaikan ajaran yang yang legal dalam

pandangan mereka.

Berdasarkan pembacaan penulis terhadap muqaddimah

dan kata pengantar Ja’far Subhani yang tertulis di dalam kitab

Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah dan kitab-kitab

lainnya, penulis berkesimpulan bahwa karya-karyanya ditulis

tidak lepas dari konteks gejal sosial keagamaan yang

dialaminya. Ada beberapa point yang penulis temukan terkait

motivasi Ja’far Subhani menulis karya-karyanya. Pertama,

Ja’far Subhani tengah melakukan respons ilmiah terhadap

wacana-wacana yang muncul. Kedua, respons-respons ilmiah

tersebut tidak lain untuk melestarikan ajaran-ajaran maz|hab

yang diyakininya dan melakukan kritik terhadap pemikiran-

pemikiran yang tidak sejalan dengan pemikiran maz|habnya.

Ketiga, respons-respons tersebut sebagian besar ditujukan

kepada pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan

maz|habnya, terutama kelompok wahabi dan sunni. Sampai

saat ini, gejolak politik anatara negara Arab Saudi dan Iran

belum sempurna menjalin keselarasan bahkan beberapa tahun

yang lalu hubungan kedua negera arab itu sempat memanas

kembali. Keempat, dalam beberapa kitab, dia juga tengah

merespons dan melakukan kritik terhadap pemikiran-

pemikiran ulama sunni termasuk dalam kajian hadis dan ilmu

hadis. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah

salah satu bukti otentik akan motivasi Ja’far Subhani dalam

kepenulisannya.

Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah, menurut penulis adalah kitab yang memaparkan konstruksi

ajaran dan konsep nikah mut’ah dengan pendekatan Al-Quran

dan Hadis. Sebagian besar dalil-dalil yang muncul adalah

hadis-hadis dari kitab-kitab sunni. Kitab-kitab sunni yang

menjadi rujukan Ja’far Subhani adalah kitab tafsir dan kitab

hadis. Yaitu al-Durr al-Mans|u>r karya Al-Suyuti, Mafa>tih} al-Ghaib, karya Fakhruddin Al-Razi, Tafsi>r al-Thabari karya Ibnu

Page 85: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

67

Jarir Al-T}abari, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Musnad Imam Ah}mad, Sunan al-Tirmiz|i>, Sunan Al-Da>rimi>, Mushannaf ‘Abdur Razza>q, dan lainnya.

Walaupun kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah kitab yang tengah merespons pemikiran-pemikiran

ulama sunni, tetapi Ja’far Subhani juga meyakini dan

menyadari bahwa nikah mut’ah adalah bagian dari masalah

khilafiyyah, bukan masalah pokok agama yang mengharuskan

antara pengkajinya berselisih dan bermusuhan serta saling

menghitamkan satu sama lain. Dalam hal ini, Ja’far Subhani

juga mengutip surat Ali ‘Imra >n ayat 103 yang menjelaskan

tentang kewajiban setiap umat muslim untu tidak berselisih

dan menjunjung tinggi persatuan.10

Dari sini, penulis menilai

bahwa Ja’far Subahni memperlihatkan sikap inklusif dan

menerima bentuk perbedaan pendapat dan pemikiran. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, yang

memuat 130 halaman, secara garis besar membahas tiga

pembahasan pokok. Yaitu nikah mut’ah dalam Al-Quran,

nikah mut’ah dalam sunnah, dan nikah mut’ah dalam tafsir-

tafsir rasional (bi al-ra’y). Ayat Al-Quran yang menjadi fokus

pembahasan adalah ayat surat Al-Nisa ayat 24 yang diyakini

sebagai ayat memberikan legalitas ajaran nikah mut’ah.

Sedangkan hadis-hadis yang dikutip adalah hadis-hadis sunni

dan hadis-hadis syi’ah. Adapun tafsir-tafsir bi al-ra’y menjadi

bukti penguat akan rasionalitas nikah mut’ah.

2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah

Islam -sebagai pembawa syariat ilahiyyah terakhir,

disampaikan oleh nabi terakhir, dan melalui kitab terakhir,

yaitu Al-Quran-telah mempersiapkan solusi-solusi kemanusian

dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan.

10

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 4.

Page 86: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

68

Termasuk dalam masalah-masalah kebutuhan biolgis manusia,

Islam sejak abad ke-14 yang lalu telah memberikan solusi

demi terjaganya kehormatan manusia, yaitu dengan mawarkan

ajaran nikah. Dengan akad nikah, dua manusia menjadi

memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. Dengan

memenuhi hak dan kewajiban masing-masing tersebut

diharapkan dari kelompok terkeceil yang menjadi bagian dari

masyarakat tersebut lahir kehidupan yang menciptakan

keharmonisan. Dalam ajaran syi’ah dan yang disampaikan

Ja’far Subhani, untuk merespons kebutuhan biologis manusia

ada dua solusi. Pertama nikah mut’ah yang disebut sebagai

nika>h} mu’aqqat. Kedua, nikah ghoir mu’aqqat, atau nika>h} da>’im, akad pernikahan yang diakui oleh semua maz|hab. Pada

sub-bahasan ini, penulis akan memaparkan konsep nikah

mut’ah yang tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.

Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani nikah mut’ah

adalah:

ذالميكن نفسهاإةالكاملة ر الح المرأة ويج نتز ع بارة ع الزوج بين بين و نسب مانع ها رضاع من اواو

ةبمهر ي ذلكمنالموانعالشرع ةاوغير اوعد احصان أمسمي انتهيمسم جل الي فاذا واالتفاق بالرضا ي

طالق منغير نمنه األجلتبي 11

Adalah menikahi wanita merdeka dengan syarat tidak ada hal yang mencegahnya, seperti nasab, sesusuan, bersaumi, masih dalam iddah, dan yang lainnya, dengan mahar yang telah ditentukan, atas dasar suka dan rela

11

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum:

Mu’assasah Imam Shodiq, 2002), h. 16.

Page 87: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

69

serta sepakat sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas waktu sudah selesai maka mereka berpisah tanpa ada ucapan t}ala>k. Berdasarkan definisi di atas, secara sederhana nikah

mut’ah juga memiliki rukun yang harus dilaksanakan oleh para

pelaksananya. Rukun nikah mut’ah, sebagaimana penuturan

Ja’far Subhani ada empat. Pertama, s}i>gah akad baik ijab atau

qabul. Seperti saya nikahi kamu, saya mengawini kamu, atau

saya bermut’ah padamu. Kedua, al-muh}ill. Yaitu ada laki-

laki dan wanita yang siap nikah mut’ah. Dalam

persyaratannya, wanita-wanita yang semahram dengan wanita

yang dinikahinya haram untuk dinikahi sebagaimana dalam

nikah da>’im. Termasuk menikahi bibi bersama keponakannya.

Kecuali ada perizinan dari bibinya. Ketiga, mahar. Syarat-

syarat mahar sama sebagaimana dalam nikah da>’im. Yaitu

dimiliki, diketahi dan terukur. Keempat, al-ajal, batas waktu.

Jika tidak ditentukan batas waktu, maka menurut sebagian

pendapat akadnya menjadi batal. Tetapi menurut sebagian lain

akadnya berubah menjadi akad nikah da>’im.12

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan praktek nikah

mut’ah banyak persamaannya dengan praktek nikah da>’im. Namun ada beberapa perbedaan. Ketentuan-ketentuan praktek

nika mut’ah adalah sebagai berikut13

:

1. Pernikahan nikah mut’ah melahirkan hubungan

kekeluargaan.

2. Anak kandung istri tidak bisa dinikahi jika telah

berhubungan intim dengan ibunya.

12

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 19.

13 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.

Page 88: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

70

3. Tidak ada talak. Talak terjadi secara langsung

setelah habisnya batas waktu.

4. Tidak saling mewarisi, kecuali ada kesepakatan

sebelum akad

5. Iddah dua kali haid bagi wanita masih haid

6. Iddah empat pulu lima hari bagi wanita tidak haid

lagi

7. Iddah empat bulan dan sepuluh hari bagi wanita

yang ditinggal mati

8. Tidak ada iddah jika tidak pernah melakukan

hubungan intim bagi yang habis batas waktunya

9. Boleh melakukan ‘azl tanpa meminta izin

Dari beberapa ketentuan di atas, Ja’far Subhani menilai

bahwa semua itu adalah isyarat bahwa nikah mut’ah sama

dengan nikah da>’im yang merupakan pernikahan yang haqiqi.14

Ada hal yang mendasar dari pemikiran Ja’far Subhani

perihal diperlukannya praktek nikah mut’ah di zaman

sekarang. Menurutnya, nikah mut’ah itu seperti dawa>’ wa lais bi t}a’a>m, ‘ila>j li d}aru>riyya>t maqt}iyyah yuh}awwil du>n intisya>r al-fasa>d fi> al-mujtama’ al-isla>miyy15 (nikah mut’ah itu obat

bukan makanan pokok, sebuah pengobatan karena kondisi

membutuhkan pengobatan dengan tujuan supaya tidak

menyebarnya kerusakan moral di masyarakat). Selain itu,

Ja’far Subhani juga mencoba menghadirkan perkembangan

sosial masyarakat yang lebih menekankan akan perlunya

dilakukan praktek poligami. Menurutnya, kondisi yang

dialami oleh para generasi muda zaman sekarang berbeda jauh

dengan yang sebelumnya. Salah satunya di kalangan para

pelajar atau pencari ilmu.

14

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.

15Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 9.

Page 89: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

71

Dulu, para pencari ilmu sudah mapan dalam perlawatan

mencari ilmu di usia delapan belasa atau dua puluh tahun dan

telah memperoleh ilmu yang banyak dengan berbagai macam

disiplin ilmu. Kemudian di usia tersebut mereka telah siap

untuk membentuk rumah tangga. Mereka tidak perlu

menunggu lama untuk menjalin hubungan pernikahan kecuali

mereka yang meninggal di pertengahan mencari ilmu.

Sekarang kondosinya berbeda. Di usia delapan belas atau

sekitar dua puluh tahunan, justru mereka baru memulai

perlawatan mencari ilmu. Bahkan setelah mereka lulus dari

bangku perkuliahan, mereka masih memerlukan waktu yang

cukup lama untuk mempersiapkan diri membangun rumah

tangga, yaitu mencari mata pencaharian sebagai bekal di

pernikahannya. Sehingga di usia tiga puluhan atau kurang

mereka belum mapan dan belum mampu mempersiapkan

tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Oleh karena, di

periode ini ada jarak waktu yang cukup lama. Yaitu antara

usia kelulusan sampai menuju pernikahan sekitar sepuluh

tahun an. Ini adalah fakta yang terjadi di masyarakat sekarang

dan tidak bisa dihindari.

Menurut Ja’far Subhani, sebagaimana mengutip

pendapat filosof William Russel, kondisi seperti jika dibiarkan

bisa memunculkan rusaknya keturuan dengan menyebarnya

prostitusi yang disebabkan oleh tidak adanya solusi dalam

menyikapi pergaulan bebasa antara laki-laki dan perempuan.

Menurut Russel, maka harus ada solusi untuk mencegahnya.

Dalam istilah Russel, solusinya disebut pernikahan tanpa anak,

dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan kehamilan.

Menurut Ja’far Subhani solusi seperti ini mungkin saja bisa

dilakukan, tetapi masih relatif menyulitkan. Karena jika kedua

pasangan melahirkan seorang anak, maka dia adalah anak yang

Page 90: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

72

secara hukum. Menurut Ja’far Subhani solusinya telah

disampai oleh ajaran Islam empat belas abad yang lalu.16

C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani

1. Kedudukan Sunnah

Berdasarkan penjelasan Ja’far Subhani, sunnah

menurut etimologi adalah al-t}ari>qah, jalan. Sedangkan

menurut terminologi ilmu hadis, sunah diartikan sebagai

perkara yang lahir dari Nabi saw yaitu terdari dari ucapan,

perbuatan, penetapan. Sunah merupukan sumber hukum kedua

setelah Al-Quran, baik yang diriwayatkan secara lafz{i> atau

ma’nawi>. Sunah tersebut merupakan pemberian ilahi>yyah,

khusus bagi umat Nabi saw. Sehingga atas kekuasanNya,

mereka memberikan perhatian besar terhadap sunah-sunah

yang lahir Nabi saw. Dari waktu ke waktu, mereka

meriwayatkan dan menyebarkan sunah nubuwwah tersebut

dan menjadikanny sebagai sumber dasar keyakinan dan

ajaran-ajaran agama.17

Sunah sebagai sebuah sumber aturan yang keluar dari

seorang Rasul, keterkaitannya dengan Al-Quran adalah

menjelaskan perkara-perkara yang masih bersifat global dalam

Al-Quran. Al-Quran dan sunah adalah dua sumber ajaran Islam

yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga seluruh umat Islam

bersepakat mengakui kedudukan Al-Quran dan sunah sebagai

sebuah sumber mendasar dalam menjalankan kehidupan.

Bahkan, sebagaimana penuturan Ja’far Subhani, para Ahlu

Bait berpandangan bahwa sunah tidak hanya menjadi pedoman

hidup, Tetapi segala sesuatu di dunia ini terkandung dalam Al-

16

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 13

17 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 8

Page 91: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

73

Quran dan sunah. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh

Imam Baqir bahwa Allah swt tidak meninggalkan sesuatu pun

yang dibutuhkan manusia kecuali Allah swt

mempersiapkannya dalam Al-Quran dan Sunah. Begitu juga

dengan pernyataan Imam Shodiq yang menyatakan bahwa

tidaklah segala sesuatu yang ada di dunia ini kecuali

seluruhnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.18

Sunah, keterkaitannya dengan Al-Quran, selain

menjelaskan yang masih bersifat global, dia juga memberikan

batasan bagi ayat mutlak, takhs}i>s} bagi yang ‘amm, bahkan

sunah berfungsi sebagai penjelas aspek teologis dalam Al-

Quran. Kedudukan serta fungsi yang terkonstruksi dalam

perkatan, perbuatan, dan penetepan, tersebut secara lafz}iyyah

berasal dari lisan Nabi saw, tetapi secara substantif, semuanya

berasal dari wahyu ilahi. Sehingga Al-Quran dan Sunah secara

substantif, kedudukannya setara yaitu sama-sama melalui

proses hasil pewahyuan. Sebagai contoh adalah ibadah sholat,

puasa, zakat, dan sebagainya, seluruhnya tidak akan bisa

dipahami oleh masyarakat kecuali dengan penjelasan dari

seorang utusan ilahi, yaitu Nabi saw. Sehingga di sinilah titik

persamaan Al-Quran dan Sunah.19

Oleh karena itu, Sunah

adalah sumber syariat yang sangat mendasar sebagaimana Al-

Quran. Dalam hal ini, memahami ajaran agama tidak cukup

hanya kembali kepada Al-Quran saja, tanpa mengkaji Sunah.

Dalam pandangan Ibnu Hazm, seseorang yang mencukupkan

18

Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-

Dira>yah, (Beirut: Imam Shadiq, 2000), h. 9.

19 Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-

Dira>yah, h. 10.

Page 92: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

74

Al-Quran dalam memahani ajaran agam Islam dihukumi kafir

atas dasar konsensus para ulama.20

2. Pencetus Ilmu Dirayah

Ilmu hadis, sebagai sebuah disiplin ilmu, memiliki

kaidah-kaidah teoritis yang menjadi bukti metodis

epistimologinya. Kaidah-kaidah tersebut diformulasikan untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan

seputar hadis, baik dalam lingkup sanad atau pun matannya.

Kaidah-kaidah tersebut terhimpun dalam salah satu bagian

ilmu hadis, yaitu ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis dirayah adalah

ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau pun teori-

teori yang berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan-

permasalah, baik dalam aspek sanad atau pun matan.

Pentingnya keberadaan ilmu hadis dirayah, maka para ulama

telah memberikan perhatian besar melalui karya-karyanya

dalam mengembangkan ilmu hadis ini. Baik ulama Syi’ah atau

pun ulama Sunni sama-sama mengembangkan disiplin ilmu

hadis ini. Masing-masing kelompok memiliki pencetus ilmu

dirayah.

Dalam kajian ilmu hadis Sunni, ada dua nama yang

sering disebut sebagai pencetus ilmu dirayah. Yaitu

Ramahurmudzi (w.360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il wa al-Wa’i> dan Hakim Naisaburi (w.304 h.) dengan

karyanya Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>s|.21 Sedangkan dalam kajian

ilmu hadis Syi’ah, menurut Ja’far Subhani, pencetus ilmu

dirayah adalah Jamaluddin Ibnu Tawus (w. 673 h.), Al-Hilli

(w. 726h.), Ibnu Dawud Al-Hilli (w. 707 h.) seorang ulama

20

Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-

Dira>yah, h. 11.

21Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan:

Mizan Publika, 2009), h. 11

Page 93: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

75

hadis yang mencetuskan istilah-istilah baru tentang

pembagian hadis dalam maz|hab Imamiyyah. Selain itu, Ja’far

Subhani juga menampilkan pendapat Hasan Shadr tentang

pencetus ilmu dirayah. Menurut Hasan Shadr, pencetus ilmu

dirayah adalah Hakim Naisaburi, penulis kitab al-Mustadrak ‘ala> S}ah}i>h{ain, sebagaimana juga diakui oleh para ulama sunni.

Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani dan Hasan Shadr,

maka ulama-ulama Syi’ah sendiri terjadi perbedaan pendapat

tentang pencetus ilmu dirayah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani

memberikan penjelasan terkait pandangan Hasan Shadr yang

menyatakan bahwa pencetus ilmu dirayah di kalangan Syi’ah

adalah Hakim Naisaburi. Menurut Ja’far Subhani, jika

keberadaan Hakim Naisaburi diakui Hasan Shadr sebagai

seorang ulama kalangan syi’ah imamiyyah, maka dalam hal

ini, Hakim Naisaburi adalah seorang syi’ah bedasarkan definisi

yang luas, syi>’iy ‘a>m, dengan indikator bahwa Hakim

Naisabaru salah satu ulama yang membenci orang-orang yang

melakukan penistaan terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib dan

mencintai ahlu bait. Selain itu, indikator lainnya adalah

Hakim Naisaburi juga pernah menulis kitab tentang

keistimewahan-keistimewahan Fatimah Al-Zahrah.22

3. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d

Menurut Ja’far Subhani khabar memiliki lima

klasifikasi. Pertama, khabar yang diketahui validitasnya secara

pasti. Kedua khabar yang diketahui validitasnya secara tidak

pasti. Ketiga, khabar yang diketahui ketidak benarannya

secara pasti. Keempat khabar yang diketahui ketidak

benarannya secara tidak pasti. Kelima, khabar yang validitas

dan ketidak benarannya masih bersifat dugaan.

22

Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 9-10.

Page 94: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

76

Dalam hal ini, hadis Mutawa>tir termasuk klasifikasi

khabar yang validitasnya sudah diketahui. Menurut Ja’far

Subhani, suatu hadis bisa disebut Mutawa>tir jika:

همعليؤ نمعهتواط ؤم اي د ح قة ب هفيكلط ل سالس فانبلغت 23الكذب

Apabila rantai periwayatan di setiap tabaqah mencapai jumlah yang mustahil untuk berbohong

Tentang syarat khabar mutawa>tir, penulis menilai

bahwa Ja’far Subhani banyak mengutip pendapat Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy yang tertulis dalam kitab Al-Mustas|fa>. Di sini,

Ja’far Subhani tidak hanya mengutip tetapi juga memberikan

komentar dan kritik pendapat yang dinilai tidak berkesesuaian

dengan pemikirannya. Syarat-syarat khabar Mutawa>tir

menurut Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy24 adalah:

Pertama, khabar yang diriwayatkan pasti akan

kebenaran informasinya, bersifat ilmiy, bukan zanniy atau

prasangka. Maka jika penduduk kota Baghdad

menginformasikan tentang seekor burung dan mereka masih

berprasangka bahwa itu adalah seekor merpati, atau tentang

seseorang yang mereka duga adalah bernama Zaid, maka hal

ini tidak diperoleh ilmu yang pasti bahwa yang terbang itu

adalah merpati atau orang itu adalah Zaid.

Kedua, khabar yang diriwayatkan adalah bersifat pasti,

d}aru>ri>, dan bersandar pada indera, bukan pada akal. Maka jika

penduduk Baghdad menginformasikan tentang fenomena

23

Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 24

24Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen.t.th.),

h. 138-141

Page 95: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

77

alam atau tentang kebenaran sebagian para nabi maka

informasi seperti ini tidak disebut sebagai ilmu pasti.

Ketiga, karakteristik-karakteristik di atas dan jumlah

periwayat yang mustahil bohong harus ada di setiap t}abaqah. Maka jika periwayatan diriwayatkan dari t{abaqah ke t}abaqah

yang di antaranya tidak memenuhi syarat periwayatan di atas,

maka periwayatan tersebut tidak disebut sebagai informasi

yang pasti, tetapi masih bersifat dugaan.

Keempat, periwayat-periwayat khabar tersebut

mencapai pada kesempurnaan jumlah. Maksud kesempurnaan

di sini adalah jumlah sempurna yang melahirkan sebuah

kesepakatan mustahil untuk menyembunyikan kebenaran.

Terhadap syarat-syarat hadis Mutawa>tir di atas, Ja’far

Subhani memberikan komentar singkat. Contohnya, untuk

persyaratan tentang kesempurnaan jumlah, Ja’far Subhani

memberikan komentar:

نال اليهقو ضاف اني ب ج بلي كاف انهغبر رفت وقدع

25"همعليالكذبد نتعم "يؤمنمعهم

Dan aku telah mengetahui bahwa syarat tersebut tidak cukup, harus ditambahkan pendapat kita yaitu terbebas dari unsur kesengajaan untuk berbuat bohong. Tentang syarat harus terpenuhinya syarat jumlah dan

syarat ilmu pasti di setiap t}abaqah, Ja’far Subhani

memberikan komentar:

حص إ اذا اال لالتوات نه ولكنوص و رفيالطبقة للي,

بالقرينةفوف ح الواحدالم بخبر المتواتر ناذلكالخبر لي ا

25

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 31.

Page 96: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

78

ب للعل فيدة الم قالتواتراليتحق الحاجة مفحصلالعلم

26الثانية فيالطبقة

Jika syarat Mutawa>tir sudah terpenuhi di t{abaqah pertama, tetapi informasi tersebut sampai kepada kita dengan cara periwayatan khabar Ah}a>d yang diyakini membawa ilmu pasti maka telah mencapai pada derajat ilmu pasti dan tidak harus terpenuhi syarat Mutawa>tir di t}abaqah setelahnya. Dari beberapa komentar Ja’far Subhani tentang syarat

hadis Mutawa>tir yang disampaikan oleh Abu Hamid Gazali,

penulis berkesimpulan bahwa syarat hadis Mutawa>tir baik

menurut Ja’far Subhani atau pun Abu Hamid Gazali adalah

sama. Perbedaannya hanya bersifat interpretatif yang tidak

merubah substansi syarat hadis Mutawa>tir.

Selain itu, Ja’far Subhani juga memberikan tanggapan

atas pemikiran Abu Hamid Gazali tentang syarat hadis

Mutawa>tir yang cacat. Dalam kitabnya, al-Mus}tasfa>, Abu

Hamid Gazali mencantumkan syarat hadis Mutawa>tir cacat,

salah satunya adalah keharusan adanya periwayat-periwayat

ma’s}u>m di setiap t}abaqah. Menurut Abu Hamid Gazali, syarat

tersebut merupakan syarat hadis Mutawa>tir yang disampaikan

oleh kelompok syi’ah Rafidhah27

. Dalam hal ini, Ja’far

Subhani memberikan sanggahan:

تقو إ و نه الشيعة علي ك ي ل ل أ ب ت سفي هذار ث هم منولوش فإر الشرط, شرط طوه بعض نما فيح ه ةي ج هم

26

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 31.

27 Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.:

t.pen..t.th.), h. 160.

Page 97: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

79

فت اإل علي نظرية جماع الكتابمستنبطة وي من28والسنة

Sesungguhnya dia telah mengada-ada atas nama Syi’ah, sebenarnya syarat keharusan adanya periwayat ma’s}u>m tidak ada dalam kitab-kitab mereka. Jika ada, maka syarat tersebut adalah yang disampaikan oleh sebagian mereka dalam kehujahan ijma>’ atas fatwa masalah khilafiyyah yang merupakan hasil istinbat dari Al-Quran dan Hadis. Sejauh pembacaan penulis, yang mensyaratkan

periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir adalah adalah Ibnu

Rawandi yang meninggal pada tahun 911 m. hal ini

disampaikan oleh salah satu ulama Syi’ah, Al’alla>mah Al-H}illi>, dalam kitabnya Niha>yah al-Wus}u>l. al-H}illi> berpendapat

bahwa yang mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis

Mutawa>tir adalah Ibnu Rawandi. Tetapi, menurut Al-H}illi>, pendapat ini adalah pendapat yang salah.

29

Tentang Ibnu Rawandi, ‘Abdurrahman Badawi telah

menjelaskan secara khusus tentang biografi, pemikiran, kritik-

kritik atas karya-karyanya. Menurut Abdurrahman Badawi,

Ibnu Rawandi adalah puncak maz|hab ilh}a>diyyah, ateisme

dalam Islam. Menurutnya, Ibnu Rawandi pernah melakukan

kritik pemikiran terhadap maz|hab mu’tazilah melalui

28

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 33.

29Al-H}illi>, Niha>yah al-Wus}u>l ila> ‘ilm al-Us}u>l, jld. 3, (Qum:

Yayasan Imam Sodiq, 1427 h.), hm. 326.

Page 98: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

80

karnyanya, Fad}ih}ah al-Mu’tazilah, dengan menggunakan sudut

pandang pemikiran maz|hab Syi’ah Ra>fid}ah.30

Berdasarkan verifikasi di atas, penulis berkesimpulan

bahwa ulama syi’ah tidak mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir. Adapun Ibnu Rawandi, hanya

menggunaka sudut pandang syi’ah Ra>fid}ah dalam menentukan

syarat periwayat ma’s}u>m. 4. Klasifikasih Hadis Ah}a>d

Dalam perkembangan ilmu hadis di kalangan Sunni,

hadis pada awalnya ada dua jenis. Yaitu s}ah}i>h} dan d}a’i>f.

Setelah itu Imam Turmudzi memperkenalkan satu tambahan

jenis hadis yaitu hadis hasan. Di masa Imam Turmudzi, hadis

menjadi tiga bagian, s}ah}i>h}, hasan, dan d}a’i>f.31

Dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, hadis Ah}a>d terbagai

menjadi empat jenis. Yaitu shahih, hasan, muwas|s|aq, dan

hadis d}a’i>f.32

Hadis S}ah}i>h} adalah:

مامي لالعدلاإلنق صومب ع هاليالم د سن صل ماات

33وذ ذ ش تراه واناع بقات عالط ي م لهفيج ث عنم

Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang yang ma’shum, diriwayatkan oleh

30

Abdurrahman Badawi, Min Ta>ri>kh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m, (Cairo:

Siina, 1993), h. 89.

31Subhi Shalih, ‘Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t}ala>h}uh, (Beirut: Darul

Ilmi, 1995), h. 141.

32 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 50

33 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 50

Page 99: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

81

periwayat-periwayat pengikut maz|hab syi’ah imamiyyah di setiap t}abaqah dan terbebas dari sya>z|

Hadis Hasan adalah:

ضةعار الم دوحب م ماميم صلسندهكذالكبإماات

غي م مقبول ذم نص ن عدالت ر ي ه علي م ج عفي

34فةرجالالصحيحص يب باق ال ن همعكو ب رات م

Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang ma’shum dan diriwayatkan oleh periwayat bermaz|hab imamiyyah yang bersifat terpuji dan tidak ada bukti tentang cacat dan kredibilitasnya, ada di setiap t}abaqah

Hadis Muwas|s|aq adalah:

يقهصحابعليتوثمادخلفيطريقهمننصاأل35معفسادعقيدتهولميشتملباقيهعليضعف

Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat bukan pengikut maz|hab syi’ah ima>miyyah tetapi terbukti sebagai periwayat terpercaya.

Hadis D}a’i>f

مااليجتمعشروطاحدالثالثة

Hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis-hadis di atas; tidak bersambung ke ma’shum, tidak bermaz|hab imamiyyah, bukan periwayat yang ‘adl dan terpercaya.

34

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

52.

35 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 54.

Page 100: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

82

Empat jenis hadis di atas, menurut Ja’far Subhani bisa

diterima. Terutama tiga hadis pertama, s}ah}i>h}, hasan, dan

muwassaq. Adapun terhadap hadis d}a’i>f Ja’far Subhani

berpendapat:

ي ح جو وال لنا األفالض ذ ز جميع اذ حاديثعيففيت ب ر القرائ ما هناك ص ن حصل ور ق د علي ي ب ه دؤي ما

36هبعضابعض

Tidak boleh membuang hadis d}a’i>f di semua hadis yang ada. Karena terkadang dia memilik banyak indikator yang bisa dijadikan bukti tentang kebenarannya. Bahkan terkadang hadis-hadis d}a’i>f itu saling memperkuat sebagian yang lainnya. Berdasarkan pernyataan Ja’far Subhani di atas, jelas

bahwa sikap terhadap sebuah hadis d}a’i>f sama sebagaimana

para ulama sunni. Dalam kajan hadis sunni, Hadis d}a’i>f bisa

diterima dengan syarat kelemahannya tidak patal, berkaitan

dengan keutamaan beribadah yaitu tarhi>b wa targhi>b, tidak

diyakinkan sebagai sabda Nabi saw, memiliki dasar hukum

dari hadis s}ah}i>h}, memberi penjelasan akan ked}a’i>fannya, tidak

menggunakan formulasi jazm yang mengisyaratkan bahwa

Nabi saw benar-benar pernah bersabda, tetapi menggunakan

ungkapan tamrid}, seperti ruwiya, qi>la, dan lain-lain.

Selain itu, definisi empat hadis di atas, secara tidak

langsung memperlihatkan bahwa pertimbangan kualitas

sebuah hadis yang pertama adalah kebermaz|haban. Walaupun

kualifikasi seorang periwayat belum jelas, tetapi jika sudah

dipastikan bahwa dia seorang bermaz|hab imamiyyah yang

36

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

(Beirut: Daur Al-A’immah, 2012), h. 61.

Page 101: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

83

terpuji maka periwayatannya bisa diterima dan lebih

diutamakan.

5. Periwayat Maqbu>l Wacana hadis maqbu>l dan hadis mardu>d merupakan

salah satu wacana penting dalam ilmu hadis. Dalam kitabnya,

Ja’far Subhani menjelaskan mengungkapkan hadis maqbu>l

dengan man tuqbal riwa>ya>tuh. Menurut Ja’far Subhani, syarat-

syarat periwayat yang bisa diterima periwayatannya ada

lima37

:

1. Islam

Dengan persyaratan ini ulama Syi’ah tidak menerima

periwayatan dari orang kafir seperti Yahudi, Nasrani,

Khawarij, Syi’ah Ghulat, Mujassimah. Sedangkan kafir

dzimmi, periwayatannya bisa diterima, khusus dalam

permasalahan wasiat.

2. Baligh

Periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis, maka

periwayatannya tidak bisa diterima jika usianya tidak

mencapai baligh. Sedangkan yang sudah tamyi>z terjadi

perbedaan pendapat. Akan tetapi, menurut Ja’far Subhani

pendapat yang adalah tidak diterimanya periwayat yang baru

mencapai tamyi>z.

3. Berakal

Sebagaimana menurut ulama Suni, periwayatan seseorang

yang tidak berakal maka tidak bisa diterima. Terutama orang

yang tidak berakal sejak lahirnya.

4. Ima>miy Dalam kajian ilmu hadis konsep ima>mi> menjadi

pembahasan penting dan menjadi titik pembeda antara Ilmu

37

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 132.

Page 102: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

84

Hadis Syi’ah dan Ilmu Hadis Sunni. Keberadaan syarat ima>mi> adalah sebagai sebuah fakta konsistensinya maz|hab Syi’ah

dalam menerapkan konsep ima>mahnya dalam semua aspek

kehidupan dan ilmu pengetahuan. Ima>miyy di sini tidak berarti

harus kedua belas imam, tetapi seseorang yang meyakini akan

keimaman seorang imam yang ada di zamannya. Menurut

Ja’fa Subhani, seandainya imam dua belas harus ada di setipa

t}abaqah, maka akan ada banyak hadis sohih yang tertolak.38

Jadi dalam kajian hadis Syi’ah, keberadaan seorang

ima>miyy membawa pengaruh positif akan kualitas sebuah

hadis. ketika dalam rantai periwayatan tidak ada ada seorang

ima>miyy maka kualitas hadisnya akan menjadi lebih rendah

atau dinilai tidak sohih.

5. ‘Ada>lah

Tentang persyaratan ‘adalah bagi seorang periwayat

hadis tidak ada perbedaan yang signifikan antara ulama Sunni

dan Syi’ah. ‘adalah adalah suatu karakater yang secara

konsisten menajaga ketaqwaan, meninggalkan dosa besar,

tidak kembali melakukan dosa kecil, dan menjaga kehormatan

diri. Adapun kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh

anggota badan maka tidak mempengaruhi terhadap kualitas

‘adalahnya.

6. D}abt} Dalam wacana ilmu hadis Sunni populer dengan nama

al-d}abt| fi> s}adr dan d}abt} fi> al-kita>b. Begitu juga dalam tradisi

Syi’ah. D}abt} adalah tingkat akurasi hafalan atau tulisa hadis

yang diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis. seorang

periwayat hadis, baik hafala atau pun tulisan hadisnya

diharuskan memiliki akurasi yang baik. Jika tidak demikian,

38

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 51.

Page 103: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

85

maka akan berpengaruh terhadap kualitas periwayatannya.

Dalam pembahasan syarat yang satu ini, seorang periwayat

yang mengalami atau memiliki cacat mata, atau ummiy tidak

menjadi penghalang keabsahan periwayatan. Bahkan tidak

disyaratkan harus menguasai suatu disiplin ilmu, seperti ilmu

fikih, ilmu hadis, atau pun tidak ada keharusan harus laki-laki

atau pun perempuan.39

6. Istilah-istilah Hadis Syi’ah

Selain pembagian hadis menjadi empat macam, yaitu

hadis sohih, hasan, muwassaq, dan d}a’i>f, nama-nama hadis

syi’ah terbagi menjadi dua kelompok. 40

Pertama kelompok

hadis yang menghimpun empat hadis di atas. Ini disebut

musytarak. Kedua kelompok hadis yang khusus untuk hadis-

hadis d}a’i>f. Ini disebut dengan mukhtas|. Hadis-hadis yang

termasuk pada kelompok musytarak adalah musnad, muttas|il, marfu>’, mu’an’an, mu’allaq, mufrad, mudraj, masyhu>r, ghari>b, muttafaq ‘alaih, mus}ah}h{af, ‘ali>, syaz|, musalsal, mazi>d, mukhtalif, nasikh-mansu>kh, maqbu>l, mu’tabar, muka>tab, muh}kam, mutasya>bih, musytabih, maqlu>b, musyatarak, mu’talif, mudabbaj, riwa<yah al-aqra>n, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-as}agir, sa>biq-la>h}iq, mat}ru>h}, matru>k, nas}, musykil, z}a>hir, mujmal, dan mubayyan. Sedangkan nama-nama hadis mukhtas} adalah mawqu>f , maqtu>’, munqat}i’, mu’d}al, mud}mar, mursal, mu’allal, mudallas, mudt{}arib, maqlu>b, muhmal, majhu>l, dan

maud}u>’. 41

39

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

51.

40 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 65-120.

41Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

65-120.

Page 104: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

86

Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan dengan

ringkas definisi hadis-hadis di atas berdasarkan definisi yang

dijelaskan oleh Ja’far Subhani.

Hadis-hadis musytarak.42

Hadis musnad adalah hadis

yang sanadnya bersambung sampai ke sumber yang ma’shum,

baik Nabi saw atau pun para imam. Hadis muttas}il adalah

lebih umum dari pada musnad. Jika musnad bersambung ke

sumber yang ma’shum baik nabi atau pun para imam (marfu>’) atau hanya bersambung ke para sahabatnya (mauqu>f). Hadis

marfu>’ adalah hadis yang disandarkan kepada yang ma’shum,

baik nabi atau pun salah satu imam, berupa ucapan, perbuatan,

penetapan, baik bersamung atau pun yang terputus. Hadis

mu’an’an adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘an ... ‘an ...hadis mu’an’an pada dasarnya termasuk hadis

periwayatannya dinilai bersambung dengan syarat adanya

dugaan dan kemungkinan yang kuat proses pertemuan antara

guru dan murid dan terbebas dari sikap tadli>s. Hadis mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad pertamanya, satu atau pun

lebih. Hadis mufrad adalah hadis yang tidak diriwayatkan

kecuali oleh satu periwayat saja, atau satu kelompok saja, atau

satu penduduk kota saja. Hadis mudraj adalah hadis yang

terdapat kata atau kalimat yang disisipkan oleh periwayat

hadis sehingga sisipan tersbut dianggap bagian dari hadis.

Hadis masyhu>r adalah hadis yang periwayatannya populer di

kalangan ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan ahli tasawuf.

Jika periwayatan populer di selainnya maka merupakan hadis

d}a’i>f. Hadis ghari>b adalah hadis yang dalam periwayatannya

ada seorang periwayat yang menyendiri baik dalam sanad,

matan, atau dalam sanad dan matannya. Hadis muttafaq ‘alaih

42

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

65-120.

Page 105: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

87

adalah hadis yang disepakati oleh dua periwayat atau lebih.

Hadis mus}ah}h}af adalah hadis yang dalam sanad atau dan

matannya terjadi perubahan dalam cara baca atau perubahan

huruf (muh}arraf). 43Hadis ‘ali> adalah hadis yang perantara

periwayatannya lebih sedikit dan bersambung ke sumber yang

ma’shum. Semakin dekat zaman periwayatan kepada sumber

yang ma’shum maka sanad hadis tersebut semakin tinggi

kualitas sanadnya. Hadis sya>z| adalah hadis yang diriwayatkan

oleh periwayat s|iqah tetapi menyalahi periwayatan yang lebih

populer. Hadis musalsal adalah hadis yang sanadnya

menggambarkan cara periwayat dalam meriwayatkan hadis

kepada murid-muridnya dengan mengikuti cara periwayat

sebelumnya. Hadis musalsal pada dasarnya tidak menentukan

diterima atau ditolaknya sebuah hadis, tetapi lebih mengarah

kepada seni dalam meriwayatkan hadis. Hadis maz|i>d adalah

hadis yang mengandung unsur tambahan dari periwayat hadis

baik dalam sanad atau pun dalam matan. Adanya hadis

mukhtalif adalah ketika ada dua hadis yang saling

bertentangan. Pertentangan tersebut baik bersifat

pertentangan yang nyata yang tidak bisa lagi melalui jalan

kompromi atau pertentangan yang masih bisa dikompromikan.

Hadis na>sikh mansu>kh adalah menghapus hukum yang

muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya dengan syarat

seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka legalitas

hukumnya tetap berlaku. Hadis maqbu>l adalah hadis yang

diterima dan diamalkan. Hadis mu’tabar adalah hadis yang

diamalkan oleh banyak orang dan sah dijadikan dalil dalam

beristinbat hukum. Hadis muka>tib adalah hadis yang

menceritakan tentang karya-karya imam ma’shum, baik yang

berkaitan penjelasan-penjelasan suatu hukum atau menjawab

43

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

65-120.

Page 106: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

88

atas permasalahan-permasalah. Hadis muh}kam adalah hadis

yang maksudnya bisa diketahui secara jelas dari tekstual

redaksinya. Sedangkan hadis mutasya>bih adalah hadis yang

mengandung unsur makna yang tidak kuat. Hadis musytabih

adalah hadis yang mengandung kesamaran dalam benak

periwayat bukan dalam tulisannya. Hadis musytarak adalah

hadis yang salah satu periwayatnya tidak jelas antara seorang

yang s|iqah atau tidak. Hadis mudabbaj adalah hadis yang

didalamnya ada periwayat-periwayat yang berdekatan dalam

hal umur, sanada, atau pertemuan dalam mencari ilmu

kemudian periwayat-periwayat tersebut saling meriwayatkan.

Hadis aka>bir ‘ala> al-s}agha>’ir adalah sebuah hadis yang

didalamnya terjadi periwayat senior meriwayatkan hadis dari

periwayat yang masih junior, atau periwayat sahabat

meriwayatkan hadis dari periwayat tabi’in. Hadis sa>biq la>h}iq

adalah hadis ketika ada dua periwayat yang bersama-sama

meriwayatkan hadis dari guru yang sama, kemudian salah satu

periwayat tersebut meninggal. Hadis mat}ru>h} adalah hadis yang

berselisih dengan dalil qat}’iyy dan tidak bisa ditakwilkan lagi.

Hadis matru>k adalah hadis yang di antara periwayatnya ada

yang dinilai bohong dan hadisnya tidak diketahui kecual dari

jalur periwayatannya. Hadis musytarak adalah hadis yang

banyak mengandung kata-kata rumit yang tidak bisa dipahami

kecuali oleh para ahli. Hadis nas} adalah hadis yang maknanya

jelas yang memiliki makna satu.

Hadis-hadis mukhtas}.44 Hadis mauqu>f ada dua macam.

Pertama mauqu>f mutlq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh

sahabat-sahabat nabi atau sahabat-sahabat para imam. Kedua

mauqu>f muqayyad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang-

44

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

65-120.

Page 107: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

89

orang yang bukan dari kalangan sahabat nabi dan bukan dari

kalangan sahabat para imam. 45

Hadis maqtu>’adalah hadis yang

diriwayatkan oleh sahabat dari sahabatnya nabi dan para

imam. Hadis munqat}i’ adalah hadis yang tidak bersambung

sampai kepada para imam ma’shum karena gugurnya satu

periwayat atau lebih. Hadis mu’d}al adalah hadis yang gugur

dua periwayat atau lebih dalam sanad periwayatannya. Hadis

mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad pertamanya, satu

periwayat atau lebih. Hadis Mud}mar adalah perkataan

sahabat-sahabat imam ma’s}u>m ‚aku bertanya kepadanya, dia

berkata atau menjawab‛ dengan menyembunyikan nama

imamnya dengan tujuan taqiyyah. Hadis ini merupakan hadis

yang dimiliki secara khusus oleh kelompok Syi’ah. Hadis

mursal adalah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat

diterima dari imam yang ma’shum namu pada dasarnya

periwayat tersebut tidak bertemu dengan imam tersebut.

Hadis mu’allal adalah hadis yang di dalam sanad atau

matannya terdapat cacat yang samar dan sulit mendeteksinya

kecuali oleh para ahli hadis. Hadis mudallas memiliki tiga

definisi. Pertama, seorang periwayat menyatakan bahwa dia

telah meriwayatkan hadis dari guru periwayatan yang sezaman

dan pernah bertemu tetapi pada dasarnya dia tidak pernah

mendapatkan hadis dari gurunya tersebut. Kedua, seorang

periwayat hadis menggugurkan guru periwayatannya yang

dinilai lemah dengan tujuannya supaya sanadnya dinilai baik.

Ketiga, seorang periwayat hadis menyamarkan nama guru

periwayatannya dengan nama kunyah atau nama lain dari

gurunya yang tidak populer. Definisi ini dikenal dengan nama

tadli>s al-syuyukh. Hadis mud}t}arib adalah hadis yang dalam

matan dan sanadnya terjadi perselisihan. Hadis muhmal

45

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

65-120.

Page 108: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

90

adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat periwayat yang

tertulis dalam kitab-kitab rijal tetapi belum ada kesepakatan

tenang kualitasnya, terpuji atau tercela. Hadis majhu>l adalah

hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang

figurnya tidak dikenal oleh ahli hadis. Hadis maud}u>’ adalah

hadis bohong, hadis yang dibuat-buat dan merupakan hadis

yang paling rendah derajatnya.

Dari sekian nama-nama hadis dalam kajian ilmu hadis

syi’ah, pada umumnya ulama Syi’ah menggunakan istilah

yang sama dengan ulama Sunni. Yang menjadi titik perbedaan

adalah mempertimbangkan kema’shuman para imam untuk

sumber periwayatan. Jika dalam hadis Sunni, sumber utama

periwayatan hadis adalah Nabi saw. Sedangan Syi’ah tidak

hanya berpusat pada Nabi saw, tetapi juga para imam

ma’shum. Selain itu itu ulama Syi’ah juga memiliki istilah

khusus yang berkaitan langsung dengan ajarannya, yaitu hadis

mud}mar sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. 7. Naskh Mansu>kh

Nasikh mansukh adalah sebuah metode yang

digunakan ketika terjadi kontradiksi dua dalil yang sudah

tidak bisa dikompromikan. Kedua dalil tersebut adalah benar-

benar saling bertentangan bukan karena ragam interpretasi.

Implikasi dari sebuah nasikh mansukh adalah ketetapan

legalitas hukum yang disampaikan oleh dalil terakhir dan

hilangnya legalitas hukum yang disampaikan oleh dalil

terdahulunya.

Menurut Ja’far Subhani naskh adalah:

46كانثابتال اله لو هعليوجه مثل دليل ب مالسابق ك الح ع ف ر

46

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.

88

Page 109: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

91

Menghapus hukum yang muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka legalitas hukumnya tetap berlaku. Tentang penghapusan antara ayat Al Qur’an dan hadis

Nabi saw, Ja’far Subhani sependapat dengan kesepakatan

ulama bahwasannya penghapusan terjadi antara Al-Qur’an

dengan Al-Quran, Al-Qur;an dengan khabar Ah}a>d. Ja’far

Subhani juga mengakui adanya perbedaan pandangan tentang

penghapusan Al-Qur’an dengan hadis Ah}a>d. walau pun tidak

memperlihatkan pandanganya dalam karya tersebut, tapi

penulis berkesemipulan bahwa Ja’far Subhani sepakat demgan

ulama yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang berdifat

zhonni tidak bisa menghapus dalil yang bersifat qat’i> . Jafar Subhani juga menambahkan bahwa untuk

mengetahui keberadaan nasikh mansukh adalah Ada nash

langsung dari saw seperti hadis, periwayatan sahabat, data

sejarah, dan ijma.

Dalam pandangan Ja’far Subhani, keberedaan imam

dua belas dalam hal ini adalah sebagai kasyif, celah pembuka

yang menghubungkan nashk yang disabdakan nabi.

Fungsingnya untuk menyampaikan yang disampaikan oleh

Nabi saw kepada umatnya melalui perantara imam dua belas

karena telah terputusnya zaman nubuwwah.47

8. Keadilan Sahabat

Sahabat adalah orang yang pertama kali mendengar

perkataan, melihat perilaku, dan menyaksikan penetapan-

penetapan Nabi saw tentang sebuah aturan hidup bersosial dan

beragama. Sahabat juga menjadi saksi hidup akan perjalanan

47

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,

h. 88.

Page 110: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

92

kehidupan Nabi saw sejak berada di tengah masyarakat Arab

sampai akhir hayatnya. Keberadaannya sangat penting karena

menjadi pernyambung pesan-pesan kenabiannya. Sehingga

para ulama memberikan ruang khusus dalam mengkaji

keberadaannya sebagai periwayat hadis setelah Nabi saw.

Seluruh sahabat, dalam pandangan ulama Sunni, adalah ‘udul, yang berpengaruh bahwa sahabat tidak perlu pengkajian lagi

tentang periwayatannya, tidak boleh melakukan celaan

kepadanya, dan semua periwayatannya diterima. Argumentasi

keadilan sahabat tersebut berdasar kepada ayat-ayat suci Al-

Quran, hadis, dan ijma’ ulama.

Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Sunni, bagi

ulama Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani, bahwa keadilan

sahabat tidak merata untuk semua sahabat. Dalam pandangan

Ja’far Subhani argumentasi-argumentasi tentang keadlian

sahabat banyak mengandung tendensi dan subjektifitas. Dalam

hal ini, Ja’far Subhani menulis buku yang berjudul ‚’Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n‛ . Judul tersebut

menjelaskan bahwa ada dua perspektif dalam menyikapi

keadilan sahabat. Ada yang memandang dengan subjektifitas

dan ada juga yang objektif berdasarkan dalil-dalil, baik Al-

Quran atau pun sunnah. Penulis berasumsi bahwa pendapat

keadilan sahabat menurut mayoritas ulama Sunni dinilai Ja’far

Subhani sebagai pemikiran subjektif, tidak objektif atas

realitas yang terjadi di kalangan sahabat.

Ja’far Subhani menilai bahwa hidup bersahabat dengan

Nabi saw dapat melahirkan pengaruh terhadap kejiwaan para

sahabatnya. Hal ini karena Nabi saw adalah seseorang yang

diberi cahaya ilahiyyah sehingga bisa memancarka hal-hal

positif kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Akan

tetapi, menurut Ja’far Subhani, cahaya ilahiyyah tersebut

diterima oleh para sahabat dengan cara berbeda, berdasarkan

kadar kemampuannya. Ada yang mencapai pada puncak

kesempurnaan ada juga yang tidak. Perbedaan hasil yang

Page 111: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

93

diperoleh dari persahabatan tersebut terjadi dengan tiga faktor.

Yaitu usia, kesiapan jiwa dalam menerima cahaya ilahiyyah,

dan perbedaan waktu kebersamaan serta persahabatan dengan

Nabi saw.48

Menurut Ja’far Subhani, seseorang yang baru mencapai

usia muda, hati dan jiwanya seperti tanah yang subur yang

dapat tumbuh di atasnya tanaman apa saja. Artinya sahabat-

sahabat yang baru mencapai usia ini lebih mudah dalam

menerima cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Berbeda dengan

orang yang sudah sempurna jiwa dan pemikirannya, pengaruh

cahaya ilahiyyah terhadap jiwa dan alam fikirnya jauh lebih

sulit diterima. Selain usia, perbedaan kesiapan para sahabat

dalam menerima hidayah ilahiyyah berbeda-beda. Hal ini

berpengaruh kepada hasil yang didapatkan oleh para sahabat

terkait pengaruh yang dipancarkan oleh cahaya ilahiyyah dari

Nabi saw. Seperti halnya orang yang tengah mencari ilmu

pengetahuan, hasil yang didapatkan relatif berbeda sesuai

dengan kesiapan mentalnya ketika mencari ilmu. Selain itu,

waktu persahabat dan kebersamaan para sahabat dengan nabi

juga tidak sama. Dalam hal ini, Ja’far Subhani menjelaskan

bahwa sebagian sahabat ada yang bersama nabi sejak

permulaan kerasulan, setelah kerasulan dan sebelum hijrah,

ada yang masuk islam setelah hijrah, selama sebulan, setahun,

beberapa hari, dan ada yang bersama nabi beberapa waktu

saja. Menurut Ja’far Subhani, realitas ini menjadi faktor yang

memperkuat bahwa variasi waktu kebersamaan dan

persahabatan para sahabat dengan Nabi saw mempengaruhi

48

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,

(Qum: Yayasan Imam Shodiq, 1424 H.), h. 15.

Page 112: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

94

akan kualitas keimanan, ketakwaan, keutamaan, dan kemulian

para sahabat.49

Menurut Ja’far Subhani, para sahabat memiliki sifat

sebagaimana manusia biasa, tidak seperti malaikat yang selalu

benar dalam perbuatan-perbuatannya. Dia melakukan yang

diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sebagaimana

para tabi’in dan atba’ tabi’in setelahnya. Maka larangan atau

pengharaman melakukan kritik secara objektif kepada mereka

adalah sesuatu yang tidak wajar.50

Ja’far Subhani menilai bahwa ulama-ulama Sunni telah

bersikap berlebihan dalam memberi penilaitan posistif

terhadapa para sahabat, terutama tentang keadilan sahabat. Di

antara sikap berlebihan tersebut adalah:

Pertama, menyatakan adanya sunnah sahabat,

sebagaimana adanya sunnah nabi. Dalam hal ini, Ja’far

Subhani merespons pandangan ‘Ajaj Khatib yang mengatakan

bahwa istilah sunnah juga sah disandarkan kepada para

sahabat. dalam arti para sahabat memiliki sunnah-sunnah yang

bisa menjadi hujjah dan sah untuk diikuti. Tentang adanya

sunnah sahabat tersebut didasarkan pada hadis yang

menjelaskan bahwa nabi pernah memerintahkan untuk

mengikuti sunnah-sunnahnya dan sunnah-sunnah para

khalifah. Selain itu juga berdasar pada pada hadis yang

menjelaskan bahwa hanya ada satu kelompok yang akan

masuk surga yaitu ma> ana> ‘alaih wa as|h}a>bih, yaitu mereka

yang mengikutiku dan sahabat-sahabatku. Sunnah-sunnah

yang telah dibuat oleh para sahabat tersebut di antaranya

adalah had minum khamr, kodifikasi Al-Quran atas usulan

49

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-

Burha>n, h. 16.

50 Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-

Burha>n, h. 18.

Page 113: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

95

sahabat Umar bin Khattab, menseragamkan bacaan Al-Quran

dengan satu dialek, dan sebagainya. Selain itu, Ja’far Subahni

juga memberikan respons terhadap pandangan Abu Zahrah

yang mengatakan bahwa para imam maz|hab telah menjadikan

fatwa sahabat sebagai dasar hukum walaupun mereka berbeda

dalam metode penerapannya. Misalnya, Al-Syafi’i menilai

bahwa fatwa sahabat itu bersifat ijtihad. Tetapi ijtihad para

sahaba lebih baik dari pada ijtihadnya sendiri. Sedangkan

Maliki menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bagian dari

sunnah. Al-Suyu>t}i> juga memberikan pandangan bahwa

sunnah-sunah sahabat adalah bagian dari agama.51

Penulis

menilah bahwa menurut pandangan Ja’far Subhani tentang

sikap tiga ulama di atas adalah sikap yang berlebihan dalam

memposisikan sahabat nabi. Secara tidak langsung, tiga ulama

tersebut menilai bahwa para sahabat memiliki hak untuk

membuat syari’at dan menentukan hukum. Sedangkan Al-

Quran sendiri menyatakan bahwa yang berhak atas semua itu

adalah Allah swt.

Kedua, menghindari diri mengkritik sahabat. dalam hal

ini, Ja’far Subhani menyebutkan ulama besar, yaitu Ah}mad ibn Hanbal dan Asy’ari >. Menurut Ah}mad ibn Hanbal sebaik-

baiknya umat setelah wafat Nabi saw adalah Abu Bakar, Umar

bin Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib

kemudian sahabat-sahabat nabi setelah khulafaur rasyidun.

Maka seseorang tidak boleh menyebutkan sesuatu kejelakan

mereka dan tidak boleh mencelanya. Barang siapa yang

melakukan demikian, maka seorang pemimpin berkewajiban

untuk mendidiknya dan memberinya sanksi serta memintanya

untuk bertaubat atas sikapnya tersebut. Jika masih tidal

51

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-

Burha>n, h. 44.

Page 114: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

96

bertaubat maka berhak menjilidnya sampai mau bertaubat.

Sedangkan menurut Al-‘Asy’ari bahwa ada sepuluh sahabat

yang disaksikan langsung Nabi saw sebagai ahli surga.

Kemudian sahabat-sahabat nabi selainnya yang tidak

membutuhkan lagi kritik. Penulis menilai sikap-sikap ulama di

atas, dalam pandanngan Ja’far Subhani, adalah sikap yang

berlebihan. Bahkan Ja’far Subhani menilai bahwa pernytaan-

pernyataan ulama di atas bertentangan dengan Al-Quran dan

Hadis.52

Ketiga, pernyataan sunah itu hakim bagi Al-Quran

dengan maksud bahwa Al-Quran itu membutuhkan sunnah.

Ja’far Subhani menyebutkan bahwa pandanngan tersebut

merupakan pernyataan Al-Darimi dalam kitabnya. Tentang

hal, Ja’far Subhani menilai bahwa pernyataan yang ditulis Al-Da>rimi> tidak tepat. Seharusnya adalah sunah membutuhkan

Al-Quran bukan sebaliknya.53

Keempat, riiwayat-riwayat sahabat adalah hujjah tanpa

terkecuali. Di antara sikap berlebihan terhadap sahabat adalah

berkesimpulan bahwa setiap riwayat sahabat adalah hujjah

tanpa terkecuali. Hal ini jelas berlebihan karena derajat

kualitas setiap sahabat adalah berbeda. Di antara mereka ada

yang belum kokoh imannya, munafik, dan ada juga yang fasik

ketika turunnya Al-Quran. 54

52

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-

Burha>n, h. 50.

53Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,

h. 53.

54Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,

h. 57.

Page 115: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

97

Selain menilai adanya berlebihan dalam bersikap

terhadap sahabat, Ja’far Subhani juga menilai bahwa Al-Quran

sendiri membuktikan bahwa sahabat melakukan perbuatan-

perbuatan yang tidak sesuai dengan keadilan sahabat. Pertama,

mengabaikan perintah nabi saw di saat perang Uhud. Kedua,

meninggalkan Nabi saw ketika berkhutbah. Ketiga, berkhianat

dengan melakukan nikah sirri. Keempat, penghianatan pada

saat perang Badar oleh sebagian sahabat. Kelima, melakukan

perbuatan fasik dengan membohongi Nabi dan para sahabat.

Keenam, berselisih tentang masalah domba sampai saling

bermusuhan. Ketujuh, adanya orang-orang munafik yang

menyelinap di antara para sahabat.

D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani

Berdasarkan kajian biografi, pemikiran, dan karya-

karyanya, penulis memposisikan Ja’far Subhani sebagai

seorang ulama syi’ah produktif, banyak mencurahkan sebagian

banyak waktunya untuk dunia akademik. Mengikuti alur

pemikirannya, Ja’far Subhani adalah seorang ulama besar

syi’ah yang termasuk pada kelompok us}u>liyyu>n. Kelompok

ushuliyyun adalah nama kelompok ulama syi’ah yang

mengembangkan nalar-nalar ijtihad dengan paradigma ajaran

syi’ah ima>miyyah. Dalam kajian ilmu hadis, alur pemikirannya

searah dengan ulama sebelumnya seperti Hasan Shadr.

Kelompok ulama ini, dalam perkembangannya, bersifat lebih

inklusif terhadap kajian hadis dan fikih. Buktinya adalah

mereka sudah banyak mengutip hadis-hadis atau pendapat

ulama fikih dari kelompok Sunni.

Page 116: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

98

Page 117: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

99

BAB IV

VALIDITAS KOMENTAR DAN PEMAHAMAN JA’FAR

SUBHANI TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH

DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA

AL-SUNNAH

A. Nikah Mut’ah di Awal Islam

Nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan

yang umum dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum

kedatangan Islam. Setelah Islam datang, nikah mut’ah masih

dipraktekan oleh sebagian masyarakat Arab. Dalam hal ini,

ahli sejarah, ulama Sunni, dan Syiah berpendapat bahwa

praktek nikah mut’ah masih dilakukan oleh segenap

masyarakat bahkan para sahabat Nabi saw. Tentang hal ini,

Ja’far Subhani berpendapat bahwa mut’ah adalah jenis

praktek nikah yang populer di awal kedatangan Islam.

Pendapat ini sesuai dengan pandangan ulama besar seperti

Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, dalam kitab Al-Minha>j fi> Syarh} S}ah}i>h} Muslim.

1 Quraish Shihab menegaskan bahwa

seluruh ulama baik dari kalangan Sunni atau pun Syiah

bersepakat bahwa nikah mut’ah pernah dibenarkan oleh

Rasulullah dan dipraktekan oleh sebagian sahabat2. Adapun

Ja’far Subhani mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn Abba>s: yaitu:

1Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar, t.th.) h. 871

2 Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks dari Nikah

Mut’ah sampai Nikah Sunnah, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 213

Page 118: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

100

ساءمتعةكانت لفالن جلكاناإلسالم،أو قدمالر سالبلدة، عتهلهصلحمنمعهل بحفظصلحوالضجمتاعه، تزو رىماقدرإلىالمرأةف ه فرغأن منعتهلهوتصلحمتاعهلهفتنظرحاجته، 3ض

Diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata : nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya

Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu contoh

praktek mut’ah yang terjadi pada awal Islam adalah praktek

mut’ah yang dilakukan oleh seorang musafir yang tidak

ditemani oleh rekan, keluarga, dan bahkan istrinya.

Sebagaimana pemahaman Ja’far Subhani terhadap hadis

tersebut, hal ini memang menjadi fakta bahwa praktek nikah

mut’ah sudah menjadi hal umum di kalangan masyarakat Arab

awal Islam. Huruf fa>’ dalam kata fatazawaju al-mar’ah

menunjukan bahwa tindakannya mengambil cara nikah mut’ah

adalah tindakan spontanitas yang tidak membutuhkan

pertimbangan yang cukup lama. Karena memang nikah mut’ah

sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Arab pada saat

itu. Tetapi Ja’far Subhani juga mengakui bahwa Nikah Mut’ah

yang dipraktekan pada awal Islam tidak lepas dari konteksnya

3 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum:

Muassasah Imam Shodiq, 2002), h. 22

Page 119: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

101

pada saat itu. Dalam Istilah Ja’far Subhani nikah mut’ah

dilakukan dalam z{uru>f kha>s} (kondisi-kondisi tertentu) dan

gha>yah ‘uqala >’iyyah (tujuan-tujuan kemanusiaan).4 Di sini

Ja’far Subhani juga menegaskan bahwa praktek nikah yang

didengungkan oleh kalangan Syiah pada dasarnya tidak

sekedar menghalalkan, tetapi memiliki tujuan kemanusiaan

demi tercapainya suatu kemaslahatan.

Sebagaimana dalam footnote yang terdapat pada kitab

Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, penulis menemukan bahwa Ja’far Subhani mengutip

hadis riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari kitab tafsir al-Durr al-Mans\u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i> (w.911 h.). Berdasarkan

\cetakan Mesir tahun 2003 riwayat tersebut terdapat pada juz 4

halaman 327 5. Jala>luddin Al-Suyu>t}i> meletakan riwayat

tersebut ketika memberikan penafsiran terhadap ayat فما ayat ke-24 surat Al-Nisa’. Pada dasarnya, Jala>luddin استمتعتمبهAl-Suyu>t}i> tidak hanya menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim ketika menafsirkan ayat فمااستمتعتمبه. Penulis menemukan ada sekitar 32 riwayat yang terdiri dari hadis marfu>’ dan hadis

mauqu>f yang ditampilkan Jala>luddin Al-Suyu>t}i> ketika

menafsirkan ayat tersebut.6

Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim

yang ada dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah tersebut dengan riwayat yang ada dalam tafsir karya

Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menemukan adanya perbedaan

4 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 24

5Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r,

Juz 4, (Kairo: Al-Muhandisin, 2003), h. 327

6 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r,

h. 327-335

Page 120: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

102

redaksi antara Ja’far Subhani dan Jala>luddin Al-Suyu>t}i>. Perbedaan tersebut bukan merupakan variasi riwayat, tetapi

terletak pada penampilan matan yang tidak sempurna. Ini

terjadi dalam riwayat yang dikutip oleh Ja’far Subhani dalam

kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah.7 Riwayat Ibn Abi> H}a>tim dalam kitab tafsir al-Durr al-

Mans|u>r adalah sebagai berikut:

وأخشج ات أت داذى ػ يرؼح كاد : "قال ػثاط، ات

ل ف ء انغا اإلعالو، أو جم كا ظ انثهذج، قذو انش يؼه ن

ؼره نه صهخ ي ج يراػه، تذفظ صهخ وال ض فرضو

شأج فشؽ أه شي يا قذس إن ان ظش داجره، ي نه فر

ؼره، نه هخ وذص يراػه ض ا: " قىل وكا رؼرى ف ته اعر

ه " غخرها" ي ش يذص غ " يغافذ وكا

جم، تذ اإلدصا غك انش ".شاء ير وطهق شاء ير

8

Ibn H}a<tim telah meriwayatkan melalui jalur Ibn ‘Abba>s bahwa dia berkata; nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara

7 Pada tahapan selanjutnya, nama kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-

Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, akan ditulis dengan ringkas

menjadi Mut’ah al-Nisa>’

8 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-

Ma’s}u>r, Jld. 4, h. 327

Page 121: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

103

barangnya dan melayani urusannya dan Ibn ‘Abba>s membaca ayat ‚fa ma> istamta’tum bihi> minhunn ila> ajal musamma>‛, ayat tersebut telah terhapus oleh ayat ‚muh}s}ini<n ghair musa>fihi>n‛ dan maksud kata al-ih{s{a>n adalah seorang laki-laki bisa mempertahankan dan menceraikan istrinya kapan saja.

Berdasarkan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, riwayat

yang dikutip Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tersebut bisa ditemukan

langsung dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulillah wa al-S}aha>bah wa al-Ta>bi’i>n karya Ibn Abi> H}a>tim (w.327 h.) pada urutan riwayat ke 5130 .

9 Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim

yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa> karya Ja’far

Subhani dan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani tidak

menampilakan riwayat secara utuh. Secara naratif, riwayat

Ibn Abi> H}a>tim yang terdapat dalam tafsir al-Durr al-Mans|u>r menginformasikan dua informasi penting. Pertama,

menginformasikan praktek nikah mut’ah. Kedua, di penggalan

matan terakhir tersebut, riwayat Ibn ‘Abba>s juga

menginformasikan bahwa legalisasi nikah mut’ah telah

dihapus oleh ayat Al-Qur’an lainnya. Dari sini bisa

disimpulkan bahwa sahabat Ibn ‘Abba>s mengakui adanya

penghapusan dalam hukum nikah mut’ah.

Berdasarkan riwayat yang dikutip dalam kitab Mut’ah al-Nisa>, informasi kedua, tentang penghapusan hukum nikah

mut’ah–sebagaimana yang terdapat dalam tafsir Jala>luddin Al-

9Lihat Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Riyadh:

Nazzar Al-Baz, 1997), h. 919

Page 122: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

104

Suyu>t}i>– tidak termuat dalam kutipan Ja’far Subhani. Riwayat-

riwayat yang dikutip Ja’far Subhani tersebut hanya sebatas

menginformasikan praktek nikah mut’ah di awal Islam.

Ungkapan Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan nikah mut’ah

tidak diinformasikan. Tidak adanya redaksi penghapusan

tersebut masih bersifat belum jelas, karena Ja’far Subhani

tidak banyak menampilkan pandangannya terhadap hadis

tersebut. Pertama, apakah motif tidak menampilkan redaksi

penghapusan tersebut hanya sebatas ingin menjelaskan secara

historis tentang praktek mut’ah, sehingga cukup hanya

menampilkan penggalan pertama saja. Kedua, atau sebagai

bentuk sikap responsif Ja’far Subhani atas ketidak-setujuan

adannya penghapusan legalitas nikah mut’ah. Tetapi, penulis

menilai bahwa motif Ja’far Subhani adalah yang kedua, tidak

setuju atas keberadaan penghapusan praktek nikah mut’ah.

Karena ketika Ja’far Subhani menerima riwayat Ibn Abi> H}a>tim ini sebagai hadis yang meriwayatkan historikal nikah

mut’ah berarti secara tidak langsung Ja’far Subhani menerima

ke-s}ah}i>h}-an hadis tersebut. Jika hadis tersebut dinilai s}a>h}i>h} maka redaksi penghapusan nikah mut’ah pun harus diakui

sebagai informasi yang valid.

Selain melakukan kritik redaksional, penulis juga

mencoba menganilisis sanad periwayatan riwayat Ibnu Abi

Hatim dari aspek kualitasnya. Analisis kualitas riwayat ini

bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas riwayat

yang dikutip oleh Ja’far Subhani. Karena kitab rujukan yang

digunakan Ja’far Subhani yaitu kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r memuat 32 riwayat. Selain itu, karena kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r tidak memuat sanad secara utuh, penulis langsung

merujuk kepada karya Ibn Abi> H}a>tim sendiri yaitu Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, untuk mendapatkan sanad yang sempurna.

Berikut adalah sanad sempurna yang terdapat dalam kitab

tersebut:

Page 123: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

105

ثنا ،سعد أبوحد مان،بنإسحاقثنااألشج عنسلدة،بنموسى دسمعت:قالعب ،كعب بنمحم القرظ10،عباس ابنعن

Berdasarkan rantai periwayatan di atas, riwayat Ibn ‘Abba>s di atas diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Abu> Sa’i>d al-Asyajj, dari Ish}a>q ibn Sulaima>n, dari Mu>sa> ibn ‘Ubaidah dari Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy dari Ibn al-‘Abba>s.

Periwayat Abu> Sa’i>d al-Asyajj. Dalam kitab T}abaqa>t al-H}uffaz} dijelaskan nama lengkap Abu Sa’i>d al-Asyajj adalah

Abu Sa’i>d al-Asyajj ‘Abdillah Sa’i<d ibn H}as}i>n al-Kindiyy al-Ku>fiyy al-h}a>fiz}. Beliau merupakan salah satu imam di

zamannya yang berguru kepada ‘Abd al-Salam ibn H}arb, Abu Kha>lid al-Ah}mar, Al-Mah}a>ribiyy, Hasyi>m, dan Khalq. Adapun

para ulama yang berguru kepadanya adalah enam imam

mashur (Al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmiz|i>, Al-Nasa>’i>, dan Ibn Ma>jah), Abu Zur’ah, Ibn Abi al-Dunya>, dan Khalq. Abu Hatim menilai Abu Sa’i>d al-Asyajj sebagai

periwayat yang s|iqah dan S}adu>q serta imam di zamannya. Abu

Sa’i>d al-Asyajj , menurut Abu Hatim, wafat pada tahun 257 h.

Beliau salah seorang periwayat hadis yang berada pada

t}abaqah kedelapan.11

Periwayat Ish}a>q ibn Sulaima>n. Beliau memiliki nama

lengkap Ish}a>q ibn Sulaima>n al-Ra>zi>. Sebagaimana penisbatan

10

Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, h. 919

11Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, (Beirut: Darul Kutub Al-

‘Ilmiyyah, 1983), h. 222

Page 124: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

106

namanya, beliau lahir di kota Ray, Iran. Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ish}a>\q ibn Sulaima>n merupakan salah satu periwayat

yang s|iqah dan termasuk di antara wali abda>l serta memiliki

sifat wara’. Beliau wafat pada tahun 200 h, dan merupakan

periwayat hadis t}abaqah ketujuh.12

Periwayat Mu>sa> ibn ‘Ubaidah. Nama lengkapnya

adalah Mu>sa> ibn ‘Ubaidah ibn Nasyi>t }. Beliau juga memiki

nama kunyah Abu> ‘Abd al-‘Azi>z. Menurut Ibnu Hibban, beliau

wafat pada tahun 153 h. Beliau adalah salah seorang periwayat

hadis yang ahli dalam beribadah tetapi dalam ranah

periwayatan hadis banyak mendapatkan pandangan negatif

dari para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hibban beliau memiliki

tingkat hafalan yang lemah dan pernah meriwayatkan hadis-

hadis munkar. Dalam hal ini termasuk Yah}ya> Ma’i’in benilai

bahwa Mu>sa> ibn ‘Ubaidah adalah periwayat yang d}a’i>f.13

Periwayat, Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy. Nama

lengkapnya adalah Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}i> ibn Sali>m ibn Asad al-Quraz|i> Abu> H}amzah. Beliau berguru kepada beberapa orang sahabat, seperti ‘Abbas ibn ‘Abd al-Mut}a>lib, ‘Ali> ibn Abi> T}a>lib, Abu> al-Darda>’, Ibn Mas’u>d, dan ‘Amr ibn ‘A<s.} Menurut Ya’qub ibn Abi> Syaibah, Muhammad ibn Ka’b

lahir di akhir khilafah sahabat Ali> ibn Abi> T}a>lib, dan

meninggal pada tahun 17 hijriyyah. Tetapi menurut penuturan

al-Tirmiz|i>, Qutaibah menginformasikan bahwa Muh}ammad ibn Ka’b tersebut hidup di zaman Nabi saw. Muhammad ibn Ka’b, sebagaimana penuturan Ibnu Hibban, dia merupakan

12

Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, h.155

13Ibnu Hibban, al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n, jld. 2, (Riyadh:

Darus Samai’i, 2000), h. 241

Page 125: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

107

ulama yang berasal dari kota Madinah dan mejadi ulama yang

terkenal di zamannya.14

Kelima adalah Ibn ‘Abba>s adalah salah satu sahabat

yang sekaligus menjadi sepupu Nabi saw. Dari pamannya

‘Abbas. Di antara keistimewahan sahabat Ibnu ‘Abbas adalah

mendapatkan do’a langsung dari Nabi saw. ‚alla>humma ‘allimhu al-h}ikmah‛ dalam riwayat lain ‚allahumma faqqihhu fi al-di>n wa ‘allimhu al-ta’wi>l‛. Dengan do’a khusus dari nabi

tersebut Ibnu ‘Abbas memperoleh sebutan h}abr al-‘arab,

karena keluasan ilmunya, khususnya dalam menafsirkan Al-

Qur’an. Raja Jirjir dari Afrika adalah yang pertama kali

memberinya gelar tersebut. Menurut Ibn H}ajar Al-‘Asqalani, dengan mengutip pendapat Al-Wa>qidi>, Ibnu Abba>s tengah

berusia 13 tahun ketika Nabi saw wafat.15

Setelah menganalisis riwayat-riwayat di atas, penulis

memiliki beberapa catatan. Riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang

dikutip Ja’far Subhani tidak ditampilkan dengan paparan yang

sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, kitab yang menjadi rujukan Ja’far Subhani sendiri.

Dari kutipan yang tidak sempurna tersebut informasi yang

disampaikan hanya tentang praktek nikah mut’ah yang

dilakukan oleh seseorang di zaman Nabi saw. Padahal pada

penggalan hadis berikutnya (sebagaimana yang tertulis dalam

kitab al-Durr al-Mans|u>r ) menjelaskan terjadinya penghapusan

praktek mut’ah yaitu ayat fa ma> istamta’tum bihi> ila> jal musamma> dihapus oleh ayat muh}s}ini>n ghoir musa>fihi>n.

14Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 9, (India: Majlis

Da’irah Ilmiyyah, 1908), h. 420

15Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, h. 121-122

Page 126: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

108

Penulis berpendapat apapun motif Ja’far Subhani tentang

pengutipan yang tidak sempurna tersebut (hanya sebatas

pemaparan data historis saja atau bentuk responsif akan

ketidaksetujuan adanya naskh dalam nikah mut’ah)

pengutipan semacam ini tetap harus ditampilkan secara

sempurna. Dan perlu dicatat kalimat ila> ajal musamma>

menurut mayoritas ulama adalah variasi qira>’ah 16

bukan ayat

Al-Qur’an, yang dimungkinkan adalah salah satu bentuk

penafsiran salah seorang sahabat. Kedua, jika

mempertimbangkan analisis para periwayat hadis riwayat Ibnu

Hatim tersebut, ada satu periwayat bernama Musa> ibn ‘Ubaidah yang mendapatkan penilaian negatif dari beberapa

kritikus hadis. Sehingga dari sisi sanad hadis riwayat Ibnu

Hatim tersebut berstatus d}a’i >f. Salah seorang ulama hadis

yang berkomentar tentang hadis ini adalah Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Dalam kitab Fath} al-Ba>ri>, Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad hadis ini adalah d}a’i>f. Bahkan menurutnya, hadis

ini adalah hadis sya>z| karena berselisih dengan ‘illah

kebolehan mut’ah pada hadis yang s}ah}i>h}, yaitu riwayat Abu> Jamrah dan Isma>’iliy yang menjelaskan bahwa ‘illah legalitas

nikah mut’ah adalah kondisi darurat, seperti ketika berperang

dan sedikitnya perempuan. Dalam riwayat lain dijelaskan

bahwa legalitas nikah mut’ah seperti halnya legalitas

memakan bangkai pada kondisi tertentu. Artinya Nabi saw

melegalkannya hanya dalam kondisi-kondisi darurat.17

16 Muhammad bin Umar Bazmul, Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah

wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛, (Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.), h. 428

17Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, (Riyadh: Daar Al-

Thoyyibah, 2005), h. 425

Page 127: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

109

Berdasarkan analisis di atas, riwayat tentang praktek

nikah mut’ah pada awal Islam, jelas diterima oleh Ja’far

Subhani sebagai landasan awal untuk legalisasi nikah mut’ah.

Penerimaan terhadap riwayat tersebut memperlihatkan bahwa

Ja’far Subhani telah menilai s}ah}i>h} riwayat tersebut. Akan

tetapi, berdasarkan analisis penulis di atas, pemikiran Ja’far

Subhani tersebut tidak bisa dinilai sebagai sebuah pemikiran

yang valid. Karena Ja’far Subhani tidak menampilkan riwayat

Ibn Abi> H}a>tim secara sempurna sebagaimana yang tertulis

dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r. Hal ini bisa menjadi sebuah

masalah akademik karena bagian teks yang tidak ditampilkan

memiliki kandungan makna penting. Yaitu tentang

penghapusan nikah mut’ah.

Berdasarkan teori kritik sanad Must}afa> Al-A’z}ami> riwayat yang ditampilkan Ja’far Subhani adalah tidak sama

dengan redaksi aslinya yang terdapat dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Ja’far

Subhai belum melakukan validasi keaslian teks sebagaimana

yang tertulis dalam sumber primernya.

Adapun berdasarkan pada teori kebenaran, pemikiran

Ja’far Subhani tentang riwayat Ibn Abi> H{a>>tim tidak

koresponden. Karena data atau riwayat yang ditampilkan tidak

sesuai dengan fakta yang ada di sumber aslinya, yaitu kitab

tafsir al-Durr al-Mans|u>r.

B. Riwayat Tafsi>riyyah Surat Al-Nisa: 24

Sebagaimana pandangan mayoritas, ulama syi’ah juga

menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sebagai sumber dan

Page 128: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

110

dalil hukum. Namun mereka menolak keberadaan qiyas.18

Dalam hal ini ulama syi’ah seperti Ja’far Subhani juga

mendasarkan legalitas nikah mut’ah pada Al-Qu’ran. Dengan

metodologi penafsirannya, Ja’far Subhani sebagaimana ulama

syi’ah terdahulunya mendasarkan legalitas nikah mut’ah

terhadap surat Al-Nisa ayat 24. Ayat tersebut menjadi ayat

utama yang dipahami sebagai ayat yang menegaskan hukum

halal nikah mut’ah. Di ayat ke 24 tersebut, ada penggalan

ayat yang menjadi penafsiran fokus Ja’far Subhani dan ulama

terdahulunya. Yaitu kalimat fama> istamta’tum bihi> minhunna. Penggalan ayat tersebut dipahami sebagai ayat

yang tengah membicarakan legalitas nikah mut’ah.

Untuk mengarah kepada kesimpulan penafsiran

tersebut, terlebih dahulu Ja’far Subhani mencari korelasi

antara ayat 23, 24, dan 25 dari surat Al-Nisa. Menurut Ja’far

Subhani tiga ayat tersebut secara bersamaan memaparkan

perkara yang haram dan yang halal tentang masalah wanita.

Ayat 23 dan awal ayat 24 tengah membicarakan wanita-

wanita yang haram untuk dinikahi dengan pengecualian para

perempuan budak muslim. Sedangkan ayat ke 25 secara

khusus memaparkan legalitas nikah budak wanita muslim.

Selanjutnya, menurut Ja’far Subhani ada empat penggalan

ayat tersisa. Yaitu, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, an

18 Qiyas dalam pandangan Syi’ah Imamiyah tidak bernilai hujjah

dan orang yang mengikuti metode qiyas berarti mengikuti teori Iblis,

karena Iblis yang pertama kali mempergunakan qiyas tatkala ia tidak mau

sujud kepada Adamh. Hal ini karena Iblis mengqiyaskan penciptaan dirinya

dari api yang lebih mulia dibandingkan dengan penciptaan Adam dari tanah

yang dipandang lebih rendah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-

Maz|a>hib al-Isla>miyyah, (Beirut: Darul Fikr al-‘Arabi, th.th), h. 538

Page 129: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

111

tabtaghu> bi amwa>likum , muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>na, dan fama> istamta’tum bihi> minhunna.19

Penggalan ayat pertama, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, maksudnya adalah halalnya menikahi wanita wanita

selain yang telah disebutkan. Sedangkan penggalan ayat

kedua, an tabtaghu> bi amwa>likum, maksudnya adalah

menjelaskan jalan yang disyari’atkan dalam menikahi wanita

yang tidak disebutkan di ayat 23, awal ayat 24, dan ayat 25

dengan cara memberikan sebagian hartanya. Menurut Ja\’far

Subhani, sampai penggalan ayat tersebut maka ada beberapa

solusi untuk menerapakan jalan yang disyari’atkan tersebut.

Yaitu nikah dengan memberi mahar, menikahi budak

perempuan, atau prostitusi. Kemudian di penggalan ayat

keempat, muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>n. Dengan penggalan ayat

tersebut maka solusi dengan cara prostitusi pasti sudah

tertolak dan terlarang. Maka yang tersisa adalah menikahi

wanita merdeka dan menikahi budak wanita. Pada penggalan

ayat terakhir, fama> istamta’tum bihi> minhunn, secara langsung

menegasikan pernikahan budak wanita, karena sudah

dijelaskan pada ayat ke 25. Dari penggalan ayat keempat

berarti yang dimaksud dengan wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum adalah menikahi wanita-wanita merdeka. Tetapi

menurut Ja’far Subhani, menikahi wanita merdeka tersebut

ada di antara dua pilihan yaitu nika>h} da>’im dan nika>h} mu’aqqat (nikah mut’ah). Dalam hal ini, Ja’far Subhani dan

ulama syi’ah lainnya memahami penggalan ayat fama> istamta’tum bihi> minhunn adalah nikah mut’ah. Ada beberapa

indikator yang menjadi dasar penafsiran tersebut. Pertama,

makna istimta’ (fama> istamta’tum ) pada saat turunnya ayat

19

Lihat Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah,

h.29-31

Page 130: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

112

adalah al-‘aqd, akad pernikahan bukan menikmati dan

bersenggama dengan perempuan. Kedua, jika tidak dimaknai

mut’ah, tetapi dimaknai al-nika>h} al-da>’im maka akan nampak

adanya pengulangan. Dan jika dimaknai pemberian mahar

setelah istimta>’ maka terjadi juga hal pengulangan, karena

sudah dijelaskan di ayat sebelumnya. Ketiga, beberapa sahabat

menafsirkan kata istimta>’ dengan nikah mut’ah. Keempat,

adanya pernyataan sahabat tentang kehalalan nikah mut’ah.

Selain itu Ja’far Subhani menyatakan bahwa ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunna adalah ayat nikah mut’ah dan

tidak pernah terjadi penghapusan. Dalam sub bab ini, penulis

memfokuskan pada indikator ketiga dan keempat.20

1. Makna Istimta>’ Ja’far Subhani berpendapat bahwa Istimta>’ dalam surat

Al-Nisa ayat 24 bermakna nikah mut’ah atau akad nikah

mut’ah. Pendapatnya tersebut berdasar pada riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h:

جاتش أخشج يغهى ف صذذه ػثذ ت رغ كا قىل للا غر

تانقثضح ش ي قق انر سعىل ػهذ ػه األاو وانذ - للا

ش ه ػ ه در تكش وأت -وعهى ػهه للا صه ف ػ

شو شأ ػ ث ت .دش 21

Diriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h bahwa kami dahulu melakukan nikah mut’ah selama beberapa hari dengan mahar beberapa genggam kurma dan tepung pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sampai Umar melarang nikah mut’ah dalam kasus ‘Amr ibn H}urais|.

20 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 29-31

21 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 32

Page 131: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

113

Dalam kitab S}ah}i>h} Muslim22, riwayat Ja>bir ibn

‘Abdilla>h diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ra>fi’ dari’Abd al-Razza>q dari Ibn Juraij dari Abu> al-Zubair dari sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h.23

Periwayat Muh}ammad ibn Ra>fi’. Muh}ammad ibn Ra>fi’ adalah periwayat hadis yang lahir pada tahun 170-an h. dan

meninggal pada tahun 245 h. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam

periwayatan hadis berguru kepada ‘Abd al-Razza>q, Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abdullah ibn Idri>s, Abu> ‘Aliyy al-H}anafi> dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang

berguru kepada Muh}ammad ibn Ra>fi’ di antaranya al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>’i>, al-Tirmi>z|i> dan periwayat-

periwayat lainnya. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam pandangan

Muslim dan al-Nasa>’i> adalah seorang periwayat yang s|iqah

dan ma’mu>n.24

Periwayat ‘Abd al-Razza>q. Abd al-Razza>q nama

lengkapnya adalah Abd al-Razza>q al-Hamma>m. Abd al-Razza>q

22

Tentang hadis Jabir di atas, tidak terjadi perbedaan redaksi

matan hadis baik yang tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ atau pun dalam

kitab S}ah}ih} Muslimh. Redaksi dalam kitab S}ah}i>h} Muslim adalah sebagai

berikut:

ثنى دحد ثنارافع بنمحم اقعبدحد ز ج ابنأخبرناالر رأبوأخبرنىجر ب سمعتقالالزقولللاعبدبنجابر ا ققالتمرمنبالقبضةمتعنستكن اموالد -للارسولعهدعلىاألث بنعمروشؤنفىعمرعنهنهىحتىبكر وأبى-وسلمعلهللاصلى حر

Lihat Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar

Dauliyyah, 1998), h. 551

23 Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, h. 551

24 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, (Libanon:

Darul Afkar Dauliyyah, 2004), h. 3247

Page 132: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

114

adalah periwayat hadis yang lahir pada tahun 126 h. dan

meninggal pada tahun 211 h. Abd al-Razza>q, dalam

periwayatan mengambil hadis dari Ibn Juraij, Hisya>m ibn H}isa>n, ‘Ikri>mah ibn ‘Amma>r dan periwayat-periwayat lainnya.

Sedangkan para periwayat yang mengambil hadis dari Abd al-Razza>q adalah Muh}ammad ibn Ra>fi>, Ah}mad ibn H}anbal, ‘Ali> al-Madini>, dan periwayat-periwayat lainnya. Abd al-Razza>q, dalam pandangan ulama kritikus hadis seperti Ah}mad al-‘Ajal dan Ya’qub ibn Sya>’i> adalah seorang periwayat s|iqah. Ah}mad al-‘Ajal menambahkan bahwa Abd al-Razza>q seorang

periwayat hadis penganut madzhab syi’ah.25

Periwayat Ibn Juraij. Ibn Juraij memiliki nama lengkap

‘\Abd al-Malik ibn ‘Abd al-‘Azi>z, ibn Juraij al-Makki>, seorang

ulama besar dari kota Makkah yang wafat pada tahun 149 h.

Dalam periwayatan hadis, Ibn Juraij meriwayatkan hadis dari

‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, T}a>wu>s, Ibn Abi> Mali>kah, S}afiyyah bint Syaibah, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan

periwayat hadis yang meriwayatkan dari Ibn Juraij adalah al-Awza>’i>, al-Lais|, ‘I<sa> ibn Yu>nus, Waki>’, Wali>d ibn Muslim, dan

periwayat-periwayat lainnya. Ibn Juraij, menurut ulama

seperti ‘Abd al-Razza>q, adalah seorang ulama yang memiliki

rasa takut kepada Allah swt. Sedangkan menurut Ah}mad ibn H}anbal, Ibn Juraij adalah seorang yang memiliki kualitas

sholat terbaik. Adapun menurut penulis Sair A’la>m al-Nubala>’, Syams al-Di>n al-Z|ahabi>, Ibn Juraij merupakan

periwayat s|iqah tetapi melakukan tadli>s .26

Periwayat Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair, nama

lengkapnya adalah Muh}ammad ibn Muslim ibn Tadrus Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair lahir tahun 42 h. dan meninggal pada

25Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2264

26 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2571

Page 133: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

115

tahun 126 h. Abu> al-Zubair, dalam periwayatan hadis

meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn ‘Abba>s, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Umar, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan periwayat-

periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan

hadis dari Abu> al-Zubair adalah Ibn Juraij, al-Zuhri>, ‘Isma>’i>l ibn Umayyah, ‘Ubaidilla<h ibn ‘Umar, ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, al-A’masy, H}ajja>j ibn Abi> ‘Usma>n, dan periwayat-periwayat

lainnya. Tentang periwayatan hadis, al-Bukha>ri> dan Abu> H}a>tim al-Ra>zi> menilai Abu> al-Zubair lam yuhtajj bi>h, tidak

bisa dijadikan hujjah hadisnya. Selain itu Ibn H}ajar dan al-Z|ahabi> menilai bahwa Abu> al-Zubair seorang mudallis. 27

Periwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h

adalah seorang periwayat hadis dari kalangan sahabat yang

meninggal pada tahun 78 h. Dalam periwayatan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah

saw dan sejumlah sahabat. Di antaranya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, ‘Aliyy ibn Abi> T}a>lib, Mu’a>z| ibn Jabal, dan sahabat lainnya.

Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah Abu> al-Zubair, Ibn al-Musayyab, Muja>hid, ‘Amr ibn Di>na>r, T}a>wu>s, dan periwayat-periwayat lainnya.

28

Dari pemaparan biografi periwayat-periwayat hadis di

atas, penulis berkesimpulan bahwa hadis tersebut

diriwayatkan secara ittis}a>l dari periwayat pertama sampai

periwayat terakhir. Walaupun ada periwayat yang diklaim

sebagai periwayat syi’ah yaitu ‘Abd al-Razza>q al-Hamma>m, tetapi periwayatannya diterima oleh para kritikus hadis.

Sehingga hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h ini sah dinilai sebagai hadis

s}ah{ih}.

27 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 3698

28 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4683

Page 134: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

116

Selain Ja’far Subhani, ulama sunni juga memposisikan

hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks nikah mut’ah.

Misalnya Ibn H}ajar ‘Asqalani> mengutip hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam kitab Fath} al-Ba>ri> untuk memperkuat bukti

tentang bolehnya pemberian mahar kepada seorang perempuan

yang dinikahi berupa cincin yang terbuat dari besi. Secara

tersirat, Ibnu Hajar mengakui bahwa konteks hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah nikah mut’ah. Dan ditegaskan dengan

kutipan riwayat al-Baihaqi bahwa yang dilarang oleh sahabat Umar adalah nikah mut’ahnya bukan standar ukuran

maharnya. Komentar ulama tentang hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h memperkuat pernyataan Ja’far Subhani bahwa istimta>’ dalam

hadis tersebut dipahami dalam konteks nikah mut’ah, dan

Ja’far Subhani memahami kata istimta>’ dengan akad nikah

mut’ah.29

Berdasarkan komentar ulama-ulama di atas, baik

kalangan Syi’ah atau pun kalangan Sunni, memposisikan hadis

Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks yang sama yaitu nikah

mut’ah. Perbedaannya, ulama Sunni tidak mengamalkan hadis

tersebut. Abu al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Jawzi>

29 Ja’far Subhani memperkuat argumentasinya dengan hadis

Khuwailah bint H}aki>m :

اببنعمرعلىدخلتحكم بنتخولةأن:عروةعن رضىالخط ربعةإن:فقالتعنهللاةبن رضىعمرفخرجمنهفحملتمولدة بامرأة استمتعأم جرعنهللا :فقالفزعاهرداءمتكنتولوالمتعةهذه .لرجمتهفهتقد

Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa Khawlah bint H}aki>m menemui Umar ibn al-Khat}t}a>b dan berkata sesungguhnya Rabi>’ah ibn Umayyah telah bermut’ah dengan seorang wanita sehingga hamilh. Kemudian Umar ibn al-Khat}t}a>b keluar dalam keadaan gemetar dan berkata inilah mut’ah jika aku bertemu dengannya pasti aku akan merajamnyah.

Page 135: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

117

memasukan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h pada deretan hadis

musykil dan memberikan ta’wil terhadap hadis tersebut.

Menurut Ibn al-Jawzi> larangan yang terkandung dalam hadis

Ja>bir ibn ‘Abdilla>h belum merata ke seluruh sahabat sejak

adanya perizinan dari Rasulullah saw. Sehingga sampai masa

kepemimpinan Abu Bakar nikah mut’ah masih dipraktekan

oleh beberapa masyarakat pada saat itu.30

Jauh sebelumnya,

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa informasi

larangan nikah mut’ah tidak sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dan kepada semua tabi’in yang meriwayatkan hadis

darinya.31

Pada dasarnya hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h diletakkan

pengarangnya dalam Kita>b al-Nika>h}, bab nika>h al-mut’ah annahu> ubi>h}a s|umma nusikha s|umma ubi>h}a s|umma nusikha wa istaqarra tah}ri>muhu ila yaum al-qiya>mah. Penamaan bab

tersebut menginformasikan bahwa penulis kitab tersebut

mengakui terjadinya penghapusan dalam nikah mut’ah.

Tetapi, Ja’far Subhani tidak mempertimbangkan hal ini.

Walau pun demikian, Ja’far Subhani tetap berkesimpulan

bahwa hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h tengah membicarakan nikah

mut’ah dan menjadi argumentasi tentang keberlangsungan

legalitas nikah mut’ah.

Berdasarkan analisis di atas, pemikiran Ja’far Subhani

tentang hadis Ja>bir ibn ‘Abdillah (menjadikan makna istimta>’ sebagai praktek mut’ah), bersifat valid dalam arti kutipan

hadisnya sama dengan yang dikutip dalam S}ah}i>h} Muslim.

Selain itu hadis yang dikutipnya memiliki periwayat-

periwayat yang terpercaya. Artinya selain valid, pemikiran

30 Lihat Ibn al-Jauzi>, Kasyf al-Musykil, Jld. 3, (Riyadh: Darul

Wathon, 1997), h. 90-91

31 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, h. 169

Page 136: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

118

Ja’far Subhani tentang hal ini bersifat koresponden yaitu

sesuai dengan data dan fakta ilmiah. Akan tetapi, di sini,

Ja’far Subhani tidak mengakomodasi pendapat Ibn H}ajar al-‘Asqalani> yang menyatakan bahwa pada saat itu larangan

nikah mut’ah belum sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdillah. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani terlihat tidak

memiliki informasi yang sempurna tentang Ja>bir ibn ‘Abdillah dalam masalah nikah mut’ah.

2. Tafsir Al-Nisa ayat 24

Surat Al-Nisa ayat 24 adalah dalil argumentatif

tentang legalitas nikah mut’ah yang dipegang oleh ulama

Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani. Surat Al-diposisikan sebagai

ayat multitafsir. Pemaknaannya adalah tentang nikah mut’ah.

Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip riwayat-riwayat tafsir

untuk mempertegas maksud ayat fa ma istamta’tum bihi> minhunna. Di antara riwayat tafsir yang menjadi argumentasi

J\a’far Subhani adalah riwayat Ibnu ‘Abbas:

وصحرجوأخ طالحاكم من نضرةرحه أب عن قعباس ابن اس:قال متعتمفما به أجل نتم إلى هن

هاكذلك!فقالابنعباس:رإقان.فقلت:م ىمسم32كذلكهاللازلألنوللا

Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya melalui jalan periwayatan sahabat Abu> Nad}rah bahwa Ibnu ‘Abbas membaca fama> istamta’tum bihi> minhunna ila> ajal musamma>. Kemudian Abu> Nad}rah bertanya apakah seperti demikan membacanya? Ibnu ‘Abbas menjawab. Benar sekali Allah menurunkannya seperti itu.

32 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39

Page 137: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

119

Riwayat ini, secara literal, jelas bahwa kata ajal musamma> adalah bagian dari ayat 24 surat Al-Nisa. Riwayat

ini, oleh Ja’far Subhani dikutip dari kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Berdasarkan kitab tafsir tersebut, riwayat Ibnu

‘Abbas juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibn al-Anba>ri> dalam kitab al-Mas}a>h{if. 33

sedangkan dalam kitabnya, Ja’far

Subhani hanya menginformasikan dari H{a>kim saja.

Dalam kitab al-Mustadrak karya H{a>kim34, riwayat Ibn

‘Abbas tersebut diriwayatkan dari Abu> Zakariya> al-‘Anba<ri> dariMuh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m dari

al-Nad}ar ibn Syami>l dari Syu’bah dari Abu> Salmah, dan dari

Abu Nad}rah.35

Periwayat, Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari adalah periwayat yang memiliki nama lengkap

33 Lihat Jalal al-Di>n Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi

al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo: Al-Muhandisin, 2003), h\. 328

34 Tidak ada perbedaan redaksi tentang riwayat Ibn ‘Abba>s

tersebut, baik dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ karya Ja’far Subhani atau pun

dalam kitab Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ainih. Redaksi

dalam kitabal-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini adalah sebagai berikut:

،إبراهمبنإسحاقثنا،السالمعبدبنمحمدثنا،العنبريزكراأبوأخبرناقول،نضرةأباسمعت:قال،مسلمةأبوثنا،شعبةأنبؤ،شملبنالنضرأنبؤ ،عنهماللارضعباسابنعلىقرأت: فآتوهنهننمبهتمتعتماسامف)«ىمسملجأإلىمنهنبهاستمتعتمفما:»عباسابنقالفرضةهنروجأ

للاهالزنألوللا:»عباسابنفقال.hكذلكهارإقنما:فقلت:نضرةأبوقال

«جاهرخولممسلمشرطعلىصحححدثهذا«»كذلك

Lihat Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, Jld. II,

(Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2002), h. 334

35 Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, h. 334

Page 138: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

120

Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdulla>h ibn Muh}ammad al’Anbari> dan populer dengan sebutan nama yah}ya> ibn Muh}ammad al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> lahir pada tahun 268 h.

Dan wafat pada tahun 344 h. Dalam periwayatan hadis Abu> Zaka>riyya meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m al-Naisa>bu>ri>, Muh}ammad ibn ‘Amr ibn al-Nad}ar, Nas}r ibn ‘Aliyy, Yu>suf ibn Mu>sa>, Ibra>hi>m ibn Ish}a>q ibn Yu>suf al-‘Naisa>bu>ri> dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para

periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari Abu> Zaka>riyya adalah Ah}mad ibn H}usain al-Naisa>bu>ri>, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal, H}asan ibn Muh{ammad, Z}afr ibn Muh}ammad ibn Ah}mad, Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h ibn H}amdawih} dari periwayat-periwayat lainnya. Abu> Zaka>riyya dalam pandangan para kritikus hadis memperoleh penilaian-

penilaian positif. Abu> Bakr al-Baih}a>qi> memberikan penilaian

‘a>lim, adi>b, dan mutqin. Abu> Abdillah al-Naisa>bu>ri> menilainya

seorang periwayat yang ‘adl, dan selain periwayat hadis Abu> Zaka>riyya juga seorang ahli tafsir. Sedangkan menurut al-Z|ahabi>, Abu> Zaka>riyya adalah periwayat yang s|iqah.36

Periwayat Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m. Periwayat

Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m memiliki nama lengkap

Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m ibn Basyar. Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m wafat tahun 286 h. Dalam periwayatan hadis

Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m menyampaikan hadis dari

Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn H}abi>b, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abbad, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m Mukhi>di, H{usain ibn ‘Aliyy ibn Yazi>d dan

periwayat lainnya. Sedangkan di antara periwayat hadis yang

meriyatkan hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h al-‘Anbari>, Yu>suf ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Umar,

36Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4196

Page 139: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

121

Muh}ammad ibn Ja’far ibn Muh}ammad dan periwayat lainnya.

Tentang penilaian ulama terhadap Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m, penulis baru menemukan penilaian dari al-Z|ahabi>. Menurut al-Z|ahabi> , Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah

seorang periwayat yang s|iqah¸ ahli berpuasa, ahli bangun

tengah malam, dan seorang ulama rabbaniyy. 37

Periwayat al-Nad}r ibn Syumail. al-Nad}r ibn Syumail memiliki nama lengkap al-Nad}r ibn Syumail ibn Yazi>d. al-Nad}r ibn Syumail. Populer dengan sebutan nama al-Nad}r ibn Syumail al-Ma>zini>. al-Nad}r ibn Syumail lahir pada tahun 123

h. dan meninggal pada tahun 203 h. Dalam periwayatan hadis

al-Nad}r ibn Syumail berguru kepada Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Warad, S}a>lih ibn Abi> al-Akhd}ar, Syadda>d ibn Sa’i>d ibn Ma>lik, Sulaima>n ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m, Zaid ibn Muh}ammad ibn Zaid, dan periwayat-periwayat lainnya.

Sedangkan periwayat yang mengambil hadis dari al-Nad}r ibn Syumail adalah Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Naisa>bu>ri>, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Bagda>di>, Ibn Mazi>d, H{a>ris| ibn Suraij, H{asan ibn Bakr, H}asan ibn ‘Abdillah. Tentang kualitas periwayatan al-Nad}r ibn Syumail, mayoritas para kritikus hadis menilainya

positif. Para kritikus hadis seperti Abu> H}a>tim al-Ra<zi>, Ibn Abi> H{a>tim al-Ra>zi>, Ibn H{ajar, danYah{ya> ibn Ma’i>n menilai al-Nad}r ibn Syumail sebagai periwayat hadis s|iqah.38

Periwayat Syu’bah. Syu’bah, dalam periwayatan hadis

memiliki nama lengkap Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Ward dan

populer dengan sebutan nama Syu’bah al-H}ajja>j al-‘Ataki>. Syu’bah, dalam periwayatan hadis Syu’bah berguru kepada

Abu> Salamah, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>, Aswad ibn

37Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.3491

38Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4091

Page 140: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

122

Qais, Asy’as ibn Abd al-Malik, Azraq ibn Qais, Ayyub ibn Kaisa>n, Ibra>him ibn ‘A<mir dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan hadis dari

Syu’bah adalah al-Nad}ar ibn Syumail, ibn Kharasah, Nas}r ibn ‘Aliyy, Ha>syim ibn al-Qa>sim, Muh}ammad ibn Ja’far, Hisya>m ibn ‘Abd al-Ma>lik, Hila>l ibn Faya>d}, Waki>’ ibn al-Jarra>h}, Ya>sir ibn H{amma>d, Yah}ya> ibn Ra>syid dan para periwayat lainnya.

Syu’bah adalah di antara periwayat hadis yang banyak

memperoleh penilaian positif dari para kritikus hadis. Ibnu

Hajar memberikan penilaian terhadap Syu’bah sebagai

periwayat s|iqah, h}a>fiz}, mutqin. Sedangkan Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fi’iyy pernah memberi pernyataan law la>h ma> ‘arafa

al-h}adi>s| fi> al-‘iraq, jika tida Syu’bah maka hadis tidak akan

dikenal di kota Iraq. Sufya>n al-S|auri> menilainya sebagai ami>r al-mu’mini>n fi> al-h}adi>s|. Bahkan Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai

Syu’bah sebagai ima>m al-muttaqi>n.39 Periwayat Abu> Salamah. Abu> Salamah memiliki

nama lengkap ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf. Abu> Salamah lahir pada tahun 22 h. dan meninggal pada tahun 94

h. Dalam periwayatan hadis Abu> Salamah meriwayatkan hadis

dari Munz|ir ibn Ma>lik, yang terkenal dengan nama Abu> al-Nad}ar, Na>fi’ ibn Jubair, Fa>t}imah ibn Muh}ammad ibn ‘Abdillah, ‘Amr ibn al-‘As}, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang

meriwayatkan hadis Abu> Salamah adalah Syu’bah al-H{ajja>j, Abu> Ibra>hi>m, Ah}mad ibn ‘Abdillah ibn H}amdawih, Ayu>b ibn Kaisa>n, Ibra>hi>m ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf, H}asan ibn Yazi>d ibn Faraokh, dan para periwayat-periwayat lainnya.

Pada umumnya para kritikus hadis seperti Ibn H}ajar, dan

Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai bahwa periwayat Abu> Salamah

39Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.1980

Page 141: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

123

adalah periwayat s|iqah. Bahkan al-Z|ahabi pernah menyatakan

bahwa ada empat periwayat yang mendapat gelar buh}u>r, lautan ilmu, yaitu ‘Urwah, Ibn al-Musayyab, ‘Ubaidillah, dan

Abu> Salamah.40

Periwayat Abu> Nad}rah. Nama lengkap Abu> Nad}rah adalah Munz|ir ibn Ma>lik ibn Qat}’ah. Abu> Nad}rah meninggal

pada tahun 108 h. Abu> Nad}rah adalah seorang periwayat dari

kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat

seperti Anas ibn Ma>lik, Bila>l ibn Rabbah, Hasan ibn ‘Aliyy, Samurah ibn Jundab, Abu> Hurairah, dan sahabat-sahabat

lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan hadis

dari Abu> Nad}rah adalah Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n yang

populer dengan nama Abu> Salamah, Ibra>hi>m ibn Isma>’i>l, Idri>s ibn Yazi>d, Bakr ibn ‘Amr, Ja’far ibn Iya>s, Ha>tim ibn Abi> Nas}r, dan periwayat-periwayat lainnya. Para kritikus hadis seperti Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ibn Hajar, dan Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai

bahwa Abu> Nad}rah merupakan periwayat hadis s}iqah. Sedangkan Ah}mad ibn H}anbal pernah menyatakan ma> ‘alimtu illa> khoir, tidak ada informasi-informasi terkait Ah}mad ibn H}anbal kecuali kebaikan.

41

Berdasarkan pemaparan periwayat-periwayat di atas,

penulis berkesimpulan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut

diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang sudah memenuhi

syarat periwayatan yang s}ah}i>h}. Dalam arti tentang fama> istamta’tum bihi> minhunna ila< ajal musamma> sah disandarkan

kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Sehingga jelas bahwa riwayat

tersebut menginformasikan tentang konteks surat Al-Nisa ayat

24. Dalam hal ini Ja’far Subhani juga memperkuat

40Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 287

41Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 529

Page 142: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

124

argumentasinya dengan mengutip riwayat Qatadah yang

menginformasikan bahwa sahabat Ubay bin Ka’ab juga

menambahkan kalimat ila> ajal musamma>.42

Penulis menilai bahwa Ja’far Subhani dalam menarik

kesimpulan, hanya fokus di dua riwayat tersebut. Padahal

dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r, Suyuti memaparkan 32

riwayat yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Tentang

riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Abu> ‘Abdilla>h Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, dalam kitab Mafa>tih} al-Ghaib,

berkesimpulan secara garis besar ada tiga riwayat yang

disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.43

1. Ibn ‘Abba>s membolehkan nikah mut’ah secara mutlak:

اسعبابنتسؤل:عمارةقال،قةلالمطباحةباإللالقوالمتعةنع قالكاح؟نأمهفاحأس: والفاح سال:

،تعالىقالكمامتعةه:قاله؟ماف:قلت،نكاح هل:قلت،ضةحهاعدتنعمقالة؟دعلهاهل:قلت

القال؟وارثانت .44

Pendapat Ibn ‘Abba>s yang membolehkan secara

mutlak. ‘Ima>rah berkata: aku bertanya kepada Ibnu ‘Abba>s tentag mut’ah, apakah mut’ah itu prostitusi atau nikah? Ibn ‘Abba>s menjawab dia itu bukan prostitusi dan bukan nikah. Itulah mut’ah. Sebagaimana firman Allah swt. Apakah dia memilki ‘iddah? Ibn ‘Abbas menjawab: ya. ‘iddahnya adalah

42 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39

43 Lihat Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, jld

5, (Kairoh.: Darul Hadis, 2012), h. 273

44Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

Page 143: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

125

satu kali haid. Apakah mut’ah saling mewarisi? Ibn ‘Abba>s menjawab: tidak.

2. Ibn ‘Abba>s membolehkan mut’ah dalam keadaan

darurat:

الناسلم ذأن األشكا ابنعارروا فتا اسفعبفباحتهاإبمللاإنماأفتتهلالمتعةقالابنعباس:قات

اإل لكنعلى ، قلتطالق ت إنها كمارطضملللح:45مالخنزرلهتحلالمتةوالدمولح

Sesungguhnya manusia ketika menyebutkan sya’ir-sya’ir tentang fatwa Ibn ‘Abba>s dalam masalah mut’ah yang membolehkan mut’ah secara mutlak Ibnu ‘Abba>s berkomentar: semoga Allah memerangi mereka. Sesungguhnya aku tidak berfatwa kebolehan nikah mut’ah. Tetapi aku berfatwa bahwa mut’ah itu bagi orang yang darurat sebagaimana bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging anjing bagi yang mengalami darurat.

3. Ibn ‘Abba>s bertaubat dari fatwanya:

ىعطاءالخرسانو.ربؤنهاصارتمنسوخةرأنهأق} منهن به استمتعتم فما { : عنابنعباسفقوله

منسوخةقالصارت اآلة هاهذه ؤ { تعالى: بقوله

{]الطالق: تهن لعد 1النبىإذاطلقتمالنساءفطلقوهنلكوباتهمإنأللدموته:انع[ورويأضاأنهقال

ةعتلفالمونقم

Sesungguhnya Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa hukum mut’ah itu dihapus. Diriwayatkan dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>, dari Ibn ‘Abba>s bahwa ayat fa ma>

45

Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

Page 144: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

126

istamta’tum bihi> minhunn telah dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’ fat}alliqu>hunn li’iddatihinn (Al-T}ala<q: 1). Dan diriw\ayatkan juga bahwa ketika mendekati ajalnya, Ibn ‘Abba>s berkata: ‚ ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu dari pendapatku tentang mut’ah. Dalam hal ini, berarti al-Ra>zi> memaparkan secara utuh

pemikiran sahabat Ibnu ‘Abbas tentang nikah mut’ah.

Sedangkan Ja’far Subhani tidak menampilkannya secara utuh.

Jika ditinjau dari perspektif Ilmu Qira’ah, Ibnu

Taimiyyah dalam kitabnya Minha>j al-Sunnah menjelaskan

bahwa kalimat ila> ajal musamma> tidak termasuk qira’ah

mutawatir dan tidak ada bedanya dengan khabar ahad tidak

ada di mushaf Usmani.46

Al-Syinqithi, dalam tafsirnya

menjelaskan bahwa riwayat-riwayat yang disandarkan kepada

Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Sa’id bin Jubair tidak bisa

menjadi sandaran bahwa itu adalah bagian dari ayat Al-

Qur’an. Karena adanya konsesus sahabat yang menyepakati

bahwa itu tidak termasuk dalam ayat Al-Qur’an.47

Jika pun

bisa dijadikan argumen nikah mut’ah maka argumentasinya

bersifat ah}a>d. Sedangkan dalam kesepakatan ulama yang

bersifat ahad tidak bisa diunggulkan dari yang mutawatir.

Berdasarkan analisi di atas, penulis menilai bahwa

pemikiran Ja’far Subhani tentang riwayat Ibn ‘Abba>s yang

menyisipkan ila> ajal musamma>, adalah bersifat valid dan

koheren. Karena data yang disampaikan sesuai dengan sumber

46 Lihat Ibnu Taimiyyah, Miha>j al-Sunnah, jld. 4, (t.kot. th.cet.,

1987 ) h. 187-188

47 Al-Syinqithi, Ad}wa>’ al-Baya>n, jld. I, (Jeddah: Daarul ‘Ilmi

Fawaid, t.t. ), h. 381

Page 145: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

127

primernya. Tetapi, dalam hal ini Ja’far Subhani tidak berupaya

mengumpulkan terlebih dahulu riwayat-riwayat nikah mut’ah

lainnya yang disandarkan kepada sahabat Ibn ‘Abba>s. Hal ini

penting dilakukan demi menjada keaslian pemikiran Ibn ‘Abba>s tentang mut’ah. Menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, sikap Ja’far Subhani tersebut tidak memenuhi

langkah jam’ al-us}u>l ka>ffah (mengumpulkan terlebih dahulu

riwayat-riwayat secara menyeluruh). 3. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Para Sahabat dan Tabi’in

Ja’far subhani menilai bahwa yang masih menjadi

perselisihan di kalangan ulama adalah keberlangsungan

legalisasi nikah mut’ah yang didasarkan kepada penghapusan

nikah mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat

bahwa nikah mut’ah adalah praktek nikah yang sah dan tidak

terjadi adanya penghapusan. Menurut Ja’far Subhani solusi

yang tepat atas perselisihan ini adalah kembali kepada sumber

yang paling utama, yaitu ayat Al-Qur’an sendiri dan hadis

Nabi saw. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, surat Al-Nisa

ayat 24 adalah ayat tunggal yang dijadikan dasar legal nikah

mut’ah oleh Ja’far Subhani. Selain makna kata istimta>’ dan

makna ila> ajal musamma> yang dinilai memperkuat pendapat

Ja’far Subhani tentang nikah mut’ah, ada beberapa nama

sahabat dan tabi’in yang dianggap telah melegalkan nikah

mut’ah setelah wafatnya Nabi saw. Dalam hal ini, Ja’far

Subhani mengutip pendapat Ibn Hazm yang menyebutkan

nama-nama sahabat dan tabi’in yang dinilai pernah

menyuarakan legalnya nikah mut’ah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani

48 menyatakan:

48

Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip

dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>

Page 146: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

128

االنو بؤؤت بحن قالوا من لسماء المتعة لمة ان وفتواه بمصدر فصرحوا ابنحزم ذكرهم وقد م.

جوزوال ل(قال:ح)الم إلىالنكاحوهوالمتعةنكاح

هللاصلىللارسولعهدعلىحالالوكانأجل علصلىللارسوللسانعلىتعالىللانسخهامثوسلمهللا انسخاوسلمعل ومإلىبات امة، ثبتوقدالق

هللاصلىللارسولبعدتحللهاعلى وسلمعللفمنجماعة حابةمنمنهمعنهمللارضىالس الصقبكرأبىبنتأسماءعنهمللارضى د وجابر.الص

ة:عباس وابن.مسعود وابن.للاعبدبن أبىبنومعاو

، ان ثبنوعمروسف مةوسل.الخدرىسعدوابو.حرةابناءومعبد للاعبدبنجابرورواهخلف،بنأمحابةجمععن ةالص هللاصلىللارسولمد علة .وسلم خالفةآخرقربإلىوعمر .بكر أبىومد

، رالابنعناباحتهافواختلفعمر ب علىوعن.ز

إذاأنكرهاانماانهالخطاببنعمروعن.توقف فهاشهدلم ها ن،ومنبشهادةوأباحهافقطعدالنعل عدل

ابعن ر بنوسعدوعطاءطاوسالت فقهاءوسائر.جبة 4950مك

49

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 43-

45

50 Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip

dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>h. Lihat Ibn Hazm, Al-Muh}alla>, Jld. 9, (Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.), h. 519-520.

Page 147: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

129

Dan sekarang kami akan menyebutkan nama-nama yang berpendapat kehalalan nikah mut’ah. Dan walaupun tidak jelas tentang referensi fatwa-fatwanya, tetapi Ibn Hazm telah menyebutkan mereka dalam kitabnya al-Muh}alla>: Dan nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan. Yaitu nikah sampai batas tertentu. Nikah tersebut halal di zaman Nabi saw. Kemdian Allah menghapusnya melalui lisan Rasul-Nya secara mutlak sampai hari kiyamat. Dan sekelompok sahabat telah menetapkan kehalalannya setelah zaman Rasulullah saw di antaranya Asma>’bint Abi> Bakr, Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Abba>s, Mu’a>wiyah ibn Abi> S}afya>n, ‘Amr ibn H}ari>s|, Abu> Sa’i>d al-Khudri>, Salmah ibn Umayyah, dan Ma’bad anak-anaknya Umayyah ibn Khalaf. Dan Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan dari sekelompok sahabat pada zaman Rasulullah saw, zaman Abu> Bakr, Umar dan sampai kepada akhir kekuasaan Umar. Dan telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan nikah mut’ah dalam riwayat Ibn al-Zubair, dan ditangguhkannya dalam riwayat Ali ibn T}a>lib. Adapun dalam riwayat Umar, Umar menolak nikah mut’ah jika tidak didatangkan dua saksi dan menerimanya jika ada dua saksi yang ‘a>dil. Dan dari kalangan tabi’in adalah T}a>wu>s,‘At}a>’, Sa’i>d ibn Jubair, dan segenap ulama fikih Makkah. Dalam kitab Al-Muh}alla>, Ibn Hazm, sebagaimana

simpulan Ja’far Subhani, menyebutkan sederatan sahabat dan

tabi’in yang pernah melegalkan nikah mut’ah. Bahkan dalam

hal ini, Ibn Hazm menilai bahwa data tersebut dinilai valid.

Ibn Hazm ketika memaparkan pandangannya tersebut

menggunakan ungkapan wa qad s|abata. Tetapi, jika melihat

sub judul dan membaca pandangan Ibn Hazm dengan

Page 148: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

130

sempurna maka akan ditemukan bahwa Ibnu Hazm termasuk

kalangan ulama yang mengakui adanya informasi valid

tentang penghapusan praktek nikah mut’ah. Sebelum

menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in tersebut, Ibnu

Hazm menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah perkara yang

tidak diperbolehkan. Nikah mut’ah pernah dihalalkan tetapi

kemudian Nabi saw mengaharamkannya sampai hari kiamat.

Dari pemaparan pandangan Ibn Hazm tersebut ada

dua fakta yang disampaikan. Pertama, tenta\ng pengharaman

nikah mut’ah oleh Nabi saw langsung. Kedua, legalisasi nikah

mut’ah setelah wafatnya Nabi saw oleh beberapa para sahabat

dan tabi’in. Tetapi hanya fakta kedua yang diterima oleh

Ja’far Subhani. Ada beberapa riwayat yang menjadi dasar

Ja’far Subhani dalam mempertahankan pandangannya, tentang

legalisasi nikah mut’ah oleh sahabat setelah zaman Nabi saw.

Di antaranya adalah:

اقفمصنفالحافظأخرج ز هبهذااإلسنادعنجابرقال"قدمعمروعبدالرفاعترف، عمروحبلى،فسؤله فؤتىبها بموالة الكوفةفاستمتع ث ابنحر

51قالفذلكحننهىعنهاعمر

Dalam kitabnya, ‘Abd al-Razza>q meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, dia berkata ‘Amr ibn H}urais| datang di Kufah, kemudian dia melakukan nikah mut’ah dengan seorang budak dan ‘Amr membawa budak tersebut sudah dalam keadaan hamil. Kemudian Umar bertanya kepadanya dan ‘Amr mengakuinya. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h berkata itu terjadi ketika Umar bin Khattab melarang nikah mut’ah.

51 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 113

Page 149: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

131

Riwayat yang menjadi penguat pendapat Ja’far

Subhani di atas, dikutip dari Fath} al-Ba>ri>, karya Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Riwayat tersebut, pada dasarnya tidak berdiri

sendiri sebagai sebuah argumentasi. Riwayat tersebut, dalam

Fath} al-Ba>ri>, tengah menceritakan kisah praktek nikah mut’ah

yang dilakukan oleh ‘Amr ibn H}urais|. Berdasarkan riwayat,

praktek nikah mut’ah yang dilakukan oleh ‘Amr ibn H}urais |

tersebut bertepatan dengan larangan nikah mut’ah oleh

sahabat Umar bin Khattab. Berbeda dengan Ja’far Subhani,

Ibnu Hajar menegaskan bahwa yang melarang praktek nikah

mut’ah pada saat itu adalah Umar bin Khattab. Tetapi,

fatwanya tersebut bukan hasil ijtihad atau kebijakannya

sendiri, melainkan sesuai dengan larangan Nabi saw. Dalam

hal ini, Ibnu Hajar mengutip beberapa riwayat yang

menjelaskan bahwa tidak ada lagi perizinan nikah mut’ah

setelah adanya larangan langsung dari Nabi saw. Adapun sikap

Jabir bin Abdullah, tentang menghalalkan nikah mut’ah,

beserta sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan darinya adalah

faktor tidak sampainya larangan nikah mut’ah kepada

mereka.52

Dan penting untuk diketahui bahwa kasus ‘Amr ibn H}urais| tersebut konteksnya adalah ranah hukum perbudakan.

Dalam hadis dijelaskan bahwa wanita hamil tersebut adalah

seorang budak bukan wanita merdeka. Jika hadis ini dijadikan

sebagai landasan legalitas nikah mut’ah maka terjadi

inkonsistensi pemikiran yang dilakukan Ja’far Subhani.

Karena pada pembahasan sebelumnya, Ja’far Subhani

menegaskan bahwa salah satu syarat nikah mut’ah adalah

status wanitanya adalah merdeka bukan budak.

52 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri<, jld. 10, h. 169

Page 150: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

132

Berdasarkan analisis di atas, Ja’far Subhani berarti

tidak menampilkan pemikiran Ibn H}azm secara sempurna.

Maksudna, pemikiran yang disampaikan tidak sempurna

sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Muh}alla>, karya Ibn Hazm. Maka pemikiran Ja’far Subhani tentang legalisasi

nikah mut’ah oleh segenap sahabat dan tabi’in tidak bisa

disebut sebagai pemikiran yang valid. Selain itu, Ja’far

Subhani juga tidak konsisten dalam melakukan konstruksi

legalitas nikah mut’ah. Dalam hal ini, ada dua pemikiran yang

tidak koheren. Yaitu menerima hadis ‘Amr ibn H}urais| yang

konteksnya adalah perbudakan dan keharusan wanita merdeka

dalam praktek nikah mut’ah. Sehingga penulis menilai bahwa

pemikiran Ja’far Subhani tidak valid karena tidak sesuai

dengan teori kebenaran koherensi. 4. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Ibnu Umar

Ja’far Subhani adalah salah satu ulama syiah yang

berpegang teguh pada pendapatnya tentang kontinuitas

kehalalan nikah mut’ah. Pandangannya tersebut berdasar pada

beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa segenap para

sahabat telah berpendapat halal tentang nikah mut’ah. Di

antara sahabat yang menjadi dasar pendapatnya adalah sahabat

Ibnu Umar. Riwayatnya adalah sebagai berikut:

عمرعنبنؤلاالشامسنأهلمالجنرأذيخرجالترمأاأباكقدنهىعنهامإناللفقالالشحفقالهالمتعة

هاعننهىعنهاوصقدكانأبإنعمرأرأتنبالافقأأم سلم و للاصلىللاعله نرسول أب أمبتر أم رع

53؟للاصلىللاعلهوسلمرسول

53 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 49

Page 151: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

133

Al-Tirmiz|i> telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam bertanya kepada Ibnu Umar tentang mut’ah. Ibnu Umar menjawab mut’ah itu halal. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarang mut’ah. Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkan mut’ah sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.?

Riwayat yang dikutip Ja’far Subhani, secara literal,

jawaban-jawaban Ibnu Umar atas pertanyaan seorang laki-laki

menginformasikan bahwa pertama Nabi saw telah melakukan

mut’ah. Kedua, Nabi saw juga memerintahkan praktek

mut’ah. Berdasarkan keterangan footnote dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ hadis yang dikutip Ja’far Subhani tersebut bersumber

dari kitab Sunan al-Tirmiz|i>. Adapun versi lengkap menurut

kitab Sunan al-Tirmizi> adalah:

ثنا د بنعبدحد عقوبأخبرنحم سعد بنإبراهمبنثنا سانبنصالحعنأبحد سالمأنهاب شابنعنكثهللاعبدبن هحد امأهلمنرجالسمعأن سؤلوهوالش متععنعمربنللاعبد عبدفقالالحجإلىبالعمرةالتعمربنللا فقالحالل ه ام عنهانهىقدأباكإنالش

تعمربنللاعبدفقال عنهانهىأبكانإنأرأصلىللارسولوصنعها هللا بعأبأأمروسلمعل أمنت

صلىللارسولأمر هللا جلقالفوسلمعل أمربلالرصلىللارسول هللا للارسولصنعهالقدفقالوسلمعلصلى هللا 54وسلمعل

54 Al-Tirmiz|i>, Sunan al-Tirmiz|i>, jld. 2, (Beirut: Darul Gharb

Islami, 1996), h. 175

Page 152: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

134

Diriwayatkan dari ‘Abd ibn H}umaid, dari Ya’qub ibn Ibra>hi>m, dari ayahnya, dari S}a>lih} ibn Kaysa>n, dari Ibn Syiha>b, dari Sa>lim ibn ‘Abdullah, dia berkata bahwa dia mendengar laki-laki dari Syam bertanya kepada sahabat Ibnu Umar tentang haji tamattu’. Ibnu Umar menjawab itu halal. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarangnay?. Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkannya sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.? Laki-laki itu menjawab: tentu perintah Nabi saw yang diikuti. Karena telah nyata bahwa Nabi saw pun melakukannya.

Setelah melakukan komparasi dua riwayat di atas,

versi kitab Mut’ah al-Nisa>’ dan versi kitab Sunan al-Tirmiz|i>, penulis menemukan perbedaan redaksi yang signifakan.

Perbedaan tersebut, menurut penulis, akan melahirkan

simpulan yang sangat berbeda sekali. Perbedaan tersebut

terdapat pada objek materi yang dipertanyakan seorang laki-

laki dari Syam. Berdasar pada kutipan Ja’fa Subhani objek

materi yang dipertanyakan oleh laki-laki tersebut adalah nikah

mut’ah. Kata yang ditampilkan adalah al-mut’ah. Selain

itu,penulis menilai bahwa hadis yang tengah dikutip Ja’fa

Subhani tersebut, konteksnya dalam rangka memperkuat

pemikirannya bahwa praktek nikah mut’ah masih berstatus

halal sebagaimana jawaban Ibnu Umar.

Adapun objek materi yang dipertanyakan laki-laki

dari Syam dalam kitab Sunan Tirmidzi adalah,’an al-tamattu’ bi al-‘umrah ila> al-h}ajj, deretan kata tersebut populer diartikan

sebagai haji tamattu’. Selain itu al-Tirmiz|i> juga meletakan

hadis ini dalam bab haji tamattu’, kitab al-h}ajj. Sehingga jelas

konteks hadis yang dikutip Ja’fa Subhani adalah haji tamatu

Page 153: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

135

bukan praktek nikah mut’ah. Dari satu riwayat di atas,

penulis berkesimpulan bahwa Ibnu Umar tidak menghalalkan

praktek nikah mut’ah karena konteksnya adalah haji tamattu’. Berdasarkan analisis data di atas, penulis

berkesimpulan bahwa Ja’far telah melakukan falsifikasi data

dengan cara merubah redaksi aslinya yaitu al-tamattu’ dirubah

menjadi al-mut’ah. Sehingga berdasarkan teori kritik hadis

pemikiran Ja’far Subhani tidak terkonstruksi dengan data-data

yang valid atau dalam istilah Mus}t}afa> Al-A’z}ami> tidak

melakaukan validasi data, is|ba>t al-nus}us| al-s|ah}i>h}ah. Selain itu,

penulis juga menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang

legalisisai sahabat Ibnu Umar tidak koresponden, tidak sesuai

dengan data-data faktual yang ada di sumber primernya, yaitu

kitab Sunan al- Tirmiz|i>.

C. Keberatan Ali bin Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab

Pada awal pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far

Subhani memposisikan nikah mut’ah sebagai obat dan solusi

dalam mencegah menyebarnya kerusakan moral terutama yang

di kalangan laki-laki yang belum mampu melaksanakan nikah

da>’im. Ja’far Subhani nikah mut’ah merupakan salah satu

praktek yang diajarkan oleh agama dan menjadi sebuah ajaran

mulia yang memiliki misi menjaga kehormatan manusia.

Dalam pembacaan Ja’far Subhani, sahabat Ali bin Abi Tholib

sangat keberatan atas sikap sahabat Umar bin Khattab yang

mengeluarkan sebuah fatwa larangan nikah mut’ah. Keberatan

sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut diriwayatkan dalam

riwayat sebagai berikut:

ناالازمرعنالمتعةلمهعالنلو 55اوشقةشق

55 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10

Page 154: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

136

Ali berkata ‚kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka‛.

Terhadap hadis di atas, Ja’far Subhani tidak

mencantumkan rantai periwayatan kecuali nama sahabat Ali

bin Abi Thalib. Selama penulusuran kitab Mut’ah al-Nisa>’, penulis tidak menemukan sumber-sumber yang menjadi

rujukan hadis tersebut, baik dari karya ulama sunni atau pun

karya ulama syiah. Sumber-sumber rujukan hadis tersebut,

penulis temukan dari kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m ,

karya Murtadho ‘Askari, ulama besar syiah yang meninggal

pada tahun 2007. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hadis

tentang keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib di atas, banyak

ditemukan di kitab-kitab ulama sunni. Kitab-kitab tersebut

adalah tafsir al-Naisa>bu>ri>, Mafa>tih} al-Ghaib, al-Durr al-Mans|u>r, al-Qut}ubi>, kitab Bida>yah al-Mujtahid, dan .56

Dalam kitab tafsir Mafa>tih} al-Ghaib, al-Ra>zi> mengutip

riwayat yang menjelaskan keberatan sahabat Ali tentang sikap

sahabat ‘Umar ibn Khat}t{a>b57

. Pengutipan tersebut dilakukan

al-Ra>zi> ketika menafsirkan ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn. Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Ra>zi> bersikap

inklusif, tidak hanya menampilkan pendapat kelompok Sunni

tapi juga pendapat kelompok Syiah. Menurut al-Ra>zi>, ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn, berdasarkan penafsiran para

ulama, memiliki dua penafsiran. Pertama, ayat tersebut

ditafsirkan dalam konteks pernikahan da>’im. Ayat ini

menjelaskan tentang kewajiban bagi seorang suami yang telah

56 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, (Beirut:

t.pen. t.t. ), h. 34-35

57 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

Page 155: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

137

menikmati anggota tubuh istri dengan bersetubuh atau pun

lainnya. Kedua, ayat ini ditafsirkan dalam konteks nikah

mut’ah. Al-Ra>zi> berpendapat bahwa para ulama bersepakat

tentang kebolehan nikah mut’ah pada awal kedatangan Islam.

Namun berbeda pendapat tentang keberadaan penghapusan

nikah mut’ah. Dalam hal ini, al-Ra>zi> mengatakan bahwa

pendapat mayoritas adalah telah terjadinya penghapusan dalan

nikah mut’ah.58

Masih menurut al-Ra>zi>. Ada sebagian kelompok yang

menyatkan bahwa praktek nikah mut’ah masih dibolehkan.

Pendapat ini berdasarkan pada tiga riwayat. Yaitu riwayat Ibn ‘Abba>s, riwayat ‘Imra>n ibn H}us}ain, dan riwayat Ali bin Abi

Thalib, yang menjadi pembahasan fokus pada sub-bab ini.59

Riwayat Ibnu ‘Abbas. Al-Ra>zi> berkesimpulan ada ada

tiga riwayat yang dinisbatkan kepada sahbat Ibnu ‘Abbas.

Pertama, riwayat yang menjelaskan jawaban-jawaban sahabat

Ibnu ‘Abbas terhadap pertanyaan seorang tabi’in bernama

‘Uma>rah. Ibnu ‘Abbas menjawab dan menjelaskan bahwa

nikah mut’ah itu bukan akad nikah, bukan prostitusi, memiliki

masa ‘iddah, dan tidak saling mewarisi. Kedua, riwayat yang

menceritakan tentang syair yang dibuat oleh segenap orang

sebagai sebuah respons terhadap fatwa Ibnu ‘Abbas dalam

masalah mut’ah. Kemudia Ibnu ‘Abbas meresponsnya dengan

tegas dan melakukan pembelaan bahwa dirinya tidak pernah

mengeluarkan fatwa tentang pembolehan nikah mut’ah secara

mutlak. Fatwanya adalah diperbolehkan nikah mut’ah dalam

kondisi darurat sebagaimana diperbolehkannya memakan

daging babi dan anjing. Ketiga, riwayat yang

menginformasikan tentang pernyataan Ibnu ‘Abbas bahwa

58 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 272-273

59 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h.. 273

Page 156: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

138

praktek mut’ah telah dihapus dengan ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’, surat Al-T}alaq ayat 1.. Bahkan dalam

riwayat lain, ketika mendekati ajalnya, Ibnu ‘Abbas

menyatakan dirinya bertaubat atas pandangannya tentang

mut’ah.

Simpulan dari ketiga riwayat tersebut, yang dipaparkan

al-Ra>zi> dalam tafsirnya, menunjukan bahwa sahabat Ibnu

‘Abbas salah satu sahabat yang tidak setuju akan praktek

nikah mut’ah.

Selain riwayat Ibnu ‘Abbas, yang menjadi dasar nikah

mut’ah (yang dikutip al-Ra>zi>) adalah riwayat ‘Imran ibn H}us}ain. Riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut menjelaskan

tentang turunnya ayat mut’ah dan tidak ada ayat yang

menghapusnya. Selain itu riwayat ini menginformasikan

bahwa Nabi saw tidak pernah melarang praktek mut’ah

tersebut. Karena al-Ra>zi> tidak memberikan komentar atau pun

takhrij terhadap riwayat ini, penulis dalam hal ini melakukan

verifikasi tentang riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut. Dalam

S}ah}i>h} al-Bukha>ri,> riwayat tersebut termuat dalam kitab Haji,

bab Tamattu’. Ibnu Hajar Asqalani, yang mensyarah kitab

hadis tersebut, menghubungkan riwayat tersebut dengan

masalah haji tamattu’ bukan nikah mut’ah.

Riwayat terakhir yang menjadi dasar nikah mut’ah

adalah riwayat sahabat Ali bin Abi Thalib. Yaitu tentang

keberatan sahabat Ali akan fatwa dari sahbat Umar bin

Khattab. Akan tetapi dalam hal ini, al-Ra>zi>, setelah

memaparkan dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok yang

membolehkan nikah mut’ah, menampilkan satu riwayat lagi

yang menjelaskan ketidaksetujuan sahabat Ali terhdap fatwa

sahabat Ibnu ‘Abbas yang berfatwa bolehnya nikah mut’ah.

Dalam hal ini, sahabat Ali berargumentasi dengan hadis

larangan Nabi saw tentang nikah mut’ah dan memakan daging

himar ahliyyah. Dengan mengutip hadis tersebut,

Page 157: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

139

memperlihatkan bahwa al-Ra>zi> ingin menyampaikan bahwa

sahabat Ali sendiri pada dasarnya menolak praktek mut’ah.

Pada kesempatan yang lain, al-Ra>zi> juga memapar

argumentasi-argumentasi kelompok, baik yang mengharamkan

atau yang menghalalkan nikah mut’ah. Setelah memaparkan

argumentasi-argumentasi kelompok yang menghalalkan nikah

mut’ah, al-Ra>zi> memberikan komentar dan penolakan

argumentasi yang diawali dengan ungkapan wa al-jawa>b ‘an al-wajh al-awwal. 60

Dengan melakukan verifikasi riwayat tentang

keberatan sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar dalam tafsir

al-Ra>zi>, penulis berkesimpulan bahwa riwayat tersebut hanya

sebatas data informatif yang tengah menjelaskan dalil-dalil

atau riwayat-riwayat yang dijadikan dasar oleh kelompok yang

membolehkan nikah mut’ah. Keberadaan riwayat tersebut

tidak memperlihatkan dan tidak dijadikan sebagai data

argumentatif pemikiran al-Ra>zi > tentang nikah mut’ah. Dan

penulis berkesimpulan, dari penafsiran al-Ra>zi> tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi< min hunn, al-Ra>zi> salah satu ulama tafsir

yang tidak setuju atas praktek nikah mut’ah.

Dalam kitab Bida>ya>h al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd,

riwayat yang semakna dengan riwayat keberatan sahabat Ali

atas fatwa sahabat Umar terdapat pada kitab Nikah, bab al-Ankih}ah} al-Manhiy ‘anha> al-Syar’iy, akad-akad nikah yang

diharamkan. Tetapi yang meriwayatkan hadis tersebut adalah

sahabat Ibnu ‘Abbas. Dalam bab ini, Ibnu Rusyd membahas

empat macam nikah. Yaitu nikah Syigha>r, Mut’ah, Muh}allil, dan haramnya lamaran terhadap perempuan yang ada dalam

lamaran orang lain. Dalam pembahasan nikah mut’ah, Ibnu

Rusyd menyatakan bahwa keharaman nikah mut’ah

60 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 276-277

Page 158: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

140

diinformasikan dengan riwayat-riwayat mutawatir. Tetapi

walaupun mutawatir, para ulama berbeda pendapat tentang

waktu diharamkannya nikah mut’ah. Waktu-waktu

diharamkannya tersebut adalah pada saat di Khoibar, Fathu

Mekkah, Tabuk, Haji Wada’, ‘Umroh Qodho, dan pada tahun

Authos. Menurut Ibnu Rusyd mayoritas para sahabat dan para

ulama dari berbagai penjuru kota sepakat atas keharaman

nikah mut’ah. Bahkan di akhir pembahasan, Ibnu Rusyd

menyatakan bahwa akad-akad nikah yang disebutkan di atas,

termasuk nikah mut’ah, adalah akad nikah yang fa>sid karena

ada dalil yang mengharamkannya.61

Selain berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah,

Ibnu Rusyd juga mengakui bahwa ada riwayat yang

dinisbatkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas tentang kehalalan

praktek nikah mut’ah. Di sinilah, penulis kitab Bida>yah al-

Mujtahid mengutip riwayat yang semakan dengan riwayat

sahabat Ali. Dalam riwayat ini sahabat Ibnu ‘Abbas juga

merasa keberatan atas fatwa sahabat Umar bin Khattab.

Bahkan Ibnu ‘Abbas menambahkan bahwa nikah mut’ah

adalah bentuk rahmat Allah swt yang dianugerahkan kepada

umat Nabi Muhammad saw.62

Dari pemaparan Ibnu Rusyd tentang nikah mut’ah,

penulis berpendapat bahwa Ibnu Rusyd jelas termasuk

kelompok ulama yang tidak mengakui kehalalan nikah mut’ah.

Keberadaan riwayat Ibnu ‘Abbas yang semakna dengan

riwayat Ali hanya sebagai data informatif bukan data

argumentatif pendapat Ibnu Rusyd. Akan tetapi, Ibnu Rusyd

61 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, jld. 3, (Cairo: Maktabab Ibnu

Taimiyyah, 1415 H.), h. 111-112.

62 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, h. 111

Page 159: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

141

tidak memberikan komentar dan kritik terhadap riwayat-

riwayat tersebut.

Setiap permasalahan-permasalahan yang berkaitan

dengan hadis, hal yang paling penting adalah melakukan

kajian sanad dan verifikasi periwayat-periwayat yang

meriwayatkan hadis tersebut. Karena Ja’far Subhani tidak

menghadirkan sanad yang lengkap di hadis sahabat Ali bin Abi

Thalib, peneliti berusaha mencari sanad lengkap tersebut,

berangkat dari informasi yang terdapat dalam kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m,

63 karya Murtadho ‘Askari.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tersebut, hadis sahabat

Ali bin Abi Thalib ada juga di kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q dan tafsir al-T|abari>. Dalam kitab-kitab tersebut penulis

menemukan rantai periwayatan yang sempurna.

Dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q hadis sahabat

Ali bin Abi Thalib memiliki sanad berikut:

64ةوفاقالبالكلعقأندأصننمرجوأخبرجبناقال

Dari kutipan sanad di atas, ada tiga periwayat yang

menjadi guru periwayatan ‘Abd al-Razza>q. Yaitu Ibnu Juraij,

man us{addiq, dan Ali bin Abi Thalib. Tentang biografi Ibnu

Juraij penulis telah menjelaskan pada pembahasan

sebelumnya. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah

seorang sahabat yang diakui kredibilitasnya baik oleh

kalangan sunni atau pun syiah. Sehingga peneliti dalam

pembahasan ini tidak mengkajinya. Di sini penulis fokus pada

periwayat yang menjadi guru periwayatan Ibnu Juraij. Yaitu

63 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, h. 34-35

64 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983),

h. 500

Page 160: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

142

man us{addiq, orang yang aku akui kebenarannya. Di sini Ibnu

Juraij tidak menyebutkan nama periwayatnya langsung.

Padahal periwayat tersebut dianggap cukup kredibel oleh Ibnu

Juraij dalam periwayatan hadis. Dalam diskursus hadis

periwayat seperti ini disebut sebagai periwayat mubham.

Tentang hadis mubham, Ibnu Hajar Asqalani

berpendapat bahwa hadis yang periwayatnya tidak disebutkan

dengan jelas merupakah salah satu hadis yang tidak bisa

diterima, dengan alasan karena syarat utama diterimanya

suatu hadis periwayatnya harus memiliki kredibilitas yang

baik. Menurut Ibnu Hajar, bagaimana akan diketahui

kredibilitasnya jika namanya saja tidak diketahui. Ibnu Hajar

menambahkan bahwa walaupun periwayat hadis tersebut

dimubhamkan dengan menggunakan ungkapan ta’di>l, seperti

akhbarani> s|iqah, hadisnya tetapi tidak bisa diterima. Karena,

menurut Ibnu Hajar, bisa jadi periwayat mubham tersebut

dinilai kredibel oleh satu periwayat tapi tidak oleh periwayat

lain.65

Dalam proses verifikasi, selain pendapat ulama sunni,

peneliti juga melakukan verifikasi pendapat ulama syiah

tentang hadis mubham. Berdasarkan konfirmasi peneliti

terhadap beberapa kitab ilmu hadis karya ulama syiah, penulis

tidak menemukan terminologi hadis mubham dalam sub-bab

yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Tetapi dalam sub-

bab kitab-kitab tersebut ulama syiah menulis sub-bab dengan

ungkapan iz|a> qa>l s|iqah h}addas|ani> s|iqah (jika seorang

periwayat s|iqah berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang

periwayat s|iqah) atau iz|a> qa>l ‘adl h}addas|ani> ‘adl (jika seorang

periwayat ‘adl berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang

65 Ibnu Hajar ‘Asqalani, Nuzhah al-Naz}r, (Kairo: Daarul Ma’sur,

2011), h. 116

Page 161: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

143

periwayat ‘adl). Ungkapan-ungkapan seperti itu, dalam kajian

ilmu hadis sunni masuk di pembahasan hadis mubham.

Di sini peneliti akan menampilkan dua pendapat ulama

syiah yang berkaitan dengan hadis mubham.

Pertama, pendapat Zainuddin Al-‘Amiliy (w. 911 h.),

yang dikenal dengan sebutan al-Syahi>d al-S|a>ni> :

هاذتوارلبمكفالعذلفكلمة قثثنةحدقذاقالالثإهقدعنده,وغرهثقةنووازكجله,تمهوتسنتعندمالب66عندهلوعلمبهبماهوجارحهحرعلجلعاط

Jika seorang periwayat s|iqah, berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat s|iqah maka hal itu tidak cukup menjadi dasar untuk mengamalkan hadis yang diriwayatkannya. Karena pada dasarnya dalam periwayatan seorang periwayat harus diketahui dan disebutkan namanya. Karena jika tidak jelas seperti ini ada kemungkinan dia siqah menurut sebagian dan cacat menurut yang lainnya lagi.

Kedua, pendapat ‘Abd al-Razza>q ibn ‘Aliy Rid}a> al-Hamda>ni> (w. 1338 h.). dalam kitabnya dia berpendapat:

بهفاءتكقرباالفاألل نعدثحدالنداوالعلداذاقالالعاشبناء العتعل راط الردالة اوف تعذي االطمع العر

تعسضعارعلما او وعدمه ره مع به كانمإاالكتفاء 67.ضعارعلالمالعاالط

66 Zainuddin Al-‘Amili, al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Qum: Al-

Mufid, 1421 H.), h. 45

67 ‘Abd al-Razza>q al-Hamda>ni>, al-Waji>zah fi> ‘Ilm Dira>yah al-H}adi>s|, dalam Abu> al-Fad}l H}a>fizya>n al-Ba>bali>, Rasa>’il fi ‘Ilm Dira>yah, jld.

2, (Qum: Daarul Hadis, 1424 H.), h. 565

Page 162: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

144

Jika seorang periwayat ‘adl atau dua periwayat ‘adl berkata, telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat yang ‘adl, maka pendapat yang lebih dekat adalah sah mengamalkan riwayat tersebut, karena terpenuhinya syarat ‘adl pada periwayat tersebut dan sulitnya mengidentifikasi keberadaannya. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifakasi maka periwayatan seperti ini tidak sah jika ada yang menyelesihinya.

Dari dua pendapat ulama syiah di atas bisa ada

informasi bahwa ada perbedaan pendapat tentang hadis

mubham. Pendapat yang menerima hadis mubham berdasar

pada alasan bahwa sulitnya mengidentifikasi identitas

periwayat tersebut. Tetapi jika masih memungkinkan untuk

identifikasi dan ada penilaian yang meyelesihinya maka

riwayat seperti ini tidak bisa diterima. Oleh karena itu, oleh

ulama syiah lainnya seperti Hasan Shadr Al-Kazhimi (w. 1354

h.) riwayat seperti ini tidak dikategorikan hadis hasan apalagi

hadis s}ah}i>h>.68 Dari pendapat-pendapat di atas, hadis tentang

keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib terhadap fatwa sahabat

Umar bin Khottab yang termuat dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q adalah jenis hadis mubham. Karena dalam rantai

periwayatannya ada periwayat yang tidak disebutkan

namanya. Menurut ulama hadis sunni jenis hadis seperti ini

tidak bisa diterima. Begitu juga dengan ulama-ulama syiah.

Walau pun ada perbedaan pendapat, tapi status hadis tersebut

tidak sampai derajat hasan dan s}ah}i>h.

Selain Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q, hadis tentang

keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib, sanad lengkapnya bisa

68 Hasan Shadr Al-Kazhimi, Niha>yah al-Dira>yah, (T.Kot:

Maktabah Mu’min Quraisy, th.), h. 422

Page 163: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

145

ditelusuri dalam tafsir al-T}abari> karya Ibnu Jarir Al-T}abari>. Hadis tersebut dalam kitab tafsir al-T}abari > diriwayatkan oleh

Muh}ammad ibn al-Mus|anna, dari Muhammad ibn Ja’far, dari

Syu’bah, dari al-H}akam, dan dari ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib. Pertama, Muh}ammad ibn al-Mus|anna. Muh}ammad ibn

al-Mus|anna memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn al-Mus|annaibn ‘Ubaid ibn Qais dan memiliki nama kunyah Abu> Mu>sa> al-Bas}ri>. Muh}ammad ibn al-Mus|anna lahir pada tahun

167 h. dan meninggal pada tahun 252 h. Dalam periwayatan

hadis Muh}ammad ibn al-Mus|anna berguru kepada Muhammad ibn Ja’far, Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi> dan lain sebagainya. Adapun para periwayat hadis yang

meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah

Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ja’far ibn Muh}ammad al-Farya>bi> dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam

periwayatan hadis Muh}ammad ibn al-Mus|anna banyak

mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.

Menurut Ahmad bin Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah

seorang periwayat s|iqah. Sedangkan menurut Muh}ammad ibn

Yahya al-Naisa>bu>ri> Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah

periwayat yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan dasar

argumentasi.

Kedua, Muh}ammad ibn Ja’far. Muh}ammad ibn Ja’far memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn Ja’far al-Haz|l dan

memiliki nama kunyah Abu> ‘Abdillah al-Bis}ri>. Muh}ammad ibn Ja’far meninggal pada tahun 193 h. dalam periwayatan hadis

Muh}ammad ibn Ja’far berguru kepada Syu’bah ibn H}ajja>j, yang sekaligus menjadi ayah angkatnya, Sufya>n al-S|auri>, ‘Abd al-Malik ibn Juraij, dan periwayat-periwayat lainnya.

Adapun periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari

Muh}ammad ibn Ja’far adalah Muh}ammad ibn al-Mus|anna>, Ah}mad ibn Hanbal, Ish}a>q ibn Ra>hawih, dan periwayat-

periwayat lainnya. Dalam periwayatan hadis Muh}ammad ibn Ja’far mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.

Page 164: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

146

Abu H}a>tim al-Ra>zi> menilai bahwa riwayat-riwayat yang

disandarkan kepada Syu’bah melalui jalur Muh}ammad ibn Ja’far dari lebih dipercaya. Senada dengan Abu H}a>tim al-Ra>zi>, Ibn al-Muba>rak memberi pandangan bahwa jika terjadi

perselisihan tentang riwayat Syu’bah, maka merujuklah

kepada kitab Muh}ammad ibn Ja’far. Ketiga, Syu’bah ibn Hajja>j. Tentang biografi Syu’bah

ibn Hajja>j telah penulis jelaskan pada pembahasan

sebelumnya.

Keempat al-H}akam ibn ‘Utaibah. Pembahasan biografi

al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah pembahasan yang cukup rumit

di kalangan para kritikus hadis. Pasalnya, nama al-H}akam ibn ‘Utaibah menuai ragam interpretasi. Perdebatan tentang

biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah bertitik dua nama ulama Islam

yang muncul di era tabi’in, yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan nama kunyah Abu> Muh}ammad al-Kindi> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s. Selain hudup di era yang sama, kedua

ulama tersebut juga berasal dari negara yang sama yaitu

Kufah.69

Menurut penuturan Ibnu Hajar ‘Asqalani, Al-Bukha>ri>, Al-Kalbiy, dan ahl al-nasab bersepakat bahwa dua

nama di atas adalah merupakan nama untuk satu orang

ulama.70

Sedangkan menurut Ibn al-Jauzi>, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s berbeda dengan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>. al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s bukan seorang

periwayat hadis, tetapi seorang qa>d}i. Dan ini menjadi salah

satu ketidak-akuratan Imam Bukhori dalam menjelaskan

biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah.

69Ibn H>}ajar al-Asqala>ni<, Taqri>b al-Tahz|i>b, h. 263

70 Ibn H>ajar al-‘Asqalani>, Lisa>n al-Mi>za>n, Jld. 3, (Beirut: Daarul

Basya’ir, 2002), h. 249

Page 165: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

147

Dalam hal ini, peneliti cukup kesulitan dalam

melakukan tarji>h pendapat tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah. Di sini penulis mencoba berhipotesis. Jika yang

dimaksud al-H}akam ibn ‘Utaibah pada hadis keberatan

sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, maka jelas bahwa riwayat ini terputus

dari rantai periwayatan. Pasalnya, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, sebagaimana penuturan al-Z|ahabi>, tidak

meriwayatkan satu hadis pun.71

al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s adalah seorang qad}i> di kota Kufah menggantikan qad}i< sebelumnya yaitu Ibn al-Asywa’.72

al-H}akam ibn ‘Utaibah, jika yang dimaksud adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah seorang ulama besar yang terlibat dalan

periwayatan hadis, berarti dia adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah

al-Kindi>>, yang memiliki nama kunyah Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y.Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y lahir pada tahun 50 h. dan

meninggal pada tahun 115 h. Dalam periwayatan hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah berguru kepada ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Ibra>hi>m al-Nakha>’i>, Abu> Ja’far Muh}ammad ibn ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Mus}’ab ibn Sa’d ibn Abi> Waqqa>s}, dan periwayat-periwayat

lainnya. Sedangkan para periwayat hadis yang meriwayatkan

hadis dari al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah Syu’bah ibn H}ajja>j, Aba>n ibn S}a>lih}, H}ajja>j ibn Di>na>r, dan periwayat-periwayat

lainnya. Dalam periwayatan hadis, al-H}akam ibn ‘Utaibah banyak mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.

Menurut Yah}ya> ibn Ma’i>n periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah

71 Al-Z|ahabi>, al-Ka>syif, (Jeddah: Daarul Qiblah, 1992), h. 345

72 Waki>’, Akhba>r al-Qud}a>h, Jld. 3, (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th ),

h. 22-23

Page 166: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

148

adalah periwayat yang s|iqah. Sedangkan menurut Ah}mad ibn ‘Abdilla>h al-‘Ajali>, al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat

yang s|iqah dan s|abat. Begitu juga menurut Ibnu Hajar dalam,

sebagaimana mengutip pendapat al-Nasa>’i>, bahwa al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah seorang periwayat s|iqah. Tetapi Ibnu

Hajar juga mengutip pendapat Ibn Sa’d bahwa periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah terkadang melakukan tadli>s.73

Jika al-H}akam ibn ‘Utaibah melakukan tadli<s , berarti tadli<s tersebut

dilakukan atas nama sahabat Ali bin Abi Thalib. Karena

sebagaimana dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, hadis tentang

keberatan sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar bin Khatab,

riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ali bin Abi Thalib.74

Berangkat dari penuturan Ibn Sa’d yang dikutip oleh

Ibnu Hajar tentang tadli>s al-H}akam ibn ‘Utaibah, penulis

mencoba melakukan komparasi biografi Ali bin Abi Thalib

dan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Menurut penuturan ‘Abd al-Malik

ibn H}usain, seorang ahli sejarah, Ali bin Abi Thalib meninggal

pada tahun 40 h. Sedangkan al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada tahun 50 h. Artinya

ada jarak waktu lima tahun di antara dua periwayat hadis

tersebutyang tidak memungkan terjadi pertemuan atau berada

di satu zaman. Di beberapa kitab biografi periwayat hadis,

nama Ali bin Abi Thalib tidak ada dalam urutan nama-nama

guru periwayatan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sejauh penelusuran

penulis, tidak ada kitab biografi periwayat hadis yang

mencantumkan nama sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai guru

periwayatan hadis, kecuali nama cucunya sendiri, yaitu Ali bin

Husain bin Ali yang dikenal dengan sebutan Zain al-‘Abidi>n.

73 Ibnu Hajar, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 1, h. 467

74 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10

Page 167: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

149

Dari estimasi data-data di atas, penulis menyimpulkan

bahwa hadis yang menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi

Thalib terhadap fatwa sahabat Umar bin Khattab terjadi

keterputusan rantai periwayatan. Dalam arti, hadis tersebut

bukan pernyataan sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana

penilaian Ja’far Subhani dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani menerima hadis yang

sanadnya tidak bersambung kepada sahabat Ali bin Abi

Thalib. Maka, menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z }ami>, Ja’far Subhani tidak melakukan langkah kritik periwayat-

periwayat hadis, al-naqd al-salabi> li ma’rifah ‘ada>lah al-ruwa>h. Selain itu, pemikiran Ja’far Subhani tentang keberatan sahabat

Ali bin Abi Thalib atas fatwa Umar bin Khattab tidak bisa

disebut sebagai pemikiran yang valid. Karena pemikirannya

tentang hal ini, tidak sesuai dengan teori ilmiah yaitu ilmu

jarh} wa ta’di>l, sehingga belum memenuhi persyaratan teori

kebenaran korespondensi.

D. Hadis-hadis D}a’i>f tentang Penghapusan Nikah Mut’ah

Pembahasan yang menjadi titik sentral perdebatan

legalitas nikah mut’ah adalah keberadaan penghapusan

(naskh). Menurut ulama Sunni, telah terjadi penghapusan

hukum dalam legalitas nikah mut’ah. Sedangkan menurut

ulama Syiah, praktek nikah mut’ah masih diperbolehkan

dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, menurut Ja’far

Subhani, penghapusan nikah mut’ah tidak pernah terjadi,

kecuali diinformasikan oleh riwayat-riwayat yang tidak bisa

dipertanggungjawabkan. Berkaitan dengan hal ini, Ja’far

Subhani, dalam kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, menilai adanya

hadis-hadis dho’if dalam kajian nikah mut’ah terutama dalam

masalah penghapusan legalitas hukumnya.

Hadis-hadis yang dinilai tidak s}ah}i>h} dan tidak

argumentatif dalam penghapusan legalitas nikah mut’ah

adalah hadis Mira>s|, hadis Khoibar, dan hadis pengahpusan

Page 168: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

150

ayat mut’ah. Hadis Mira>s| adalah hadis riwayat Ibnu Mas’ud

yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah tertolak legalitasnya

dengan t|ala>q nikah, mi>ra>s|, dan nafaqah. Hadis Khoibar adalah

hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw tentang nikah

mut’ah dan memakan daging keledai kampung yang

disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Terakhir adalah

hadis yang menjelaskan terjadinya penghapusan ayat mut’ah

dengan ayat t\ala>q, mira>s\, ‘iddah, dan nafaqah.75

1. Hadis Mira>s| Riwayat Ibnu Mas’ud

Hadis yang dinilai tidak argumentatif dan tidak valid

oleh Ja’far Subhani adalah:

قالالمدللابنمسعود عنعب هاخسنعةمنسوخة ت:76اثرةوالمدداقوالعالقوالصالط

Dari Ibnu Mas’ud dia berkata bahwa mut’ah dihapus. Yang menghapusnya adalah t}ala>q, s{ada>q, ‘iddah, dan mira>s|. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mut’ah al-Nisa<’,

hadis tersebut terdapat pada kitab hadis Sunan al-Baih|a>qi>, Ibn al-Munz|ir, dan Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q

Riwayat al-Baihaqi>:

عنللاعبدصحابأعنمكالحنعةؤطرابناجالحجالقالطهاخسنةوخسنمعةتالمقالمسعودبنللاعبد

77راثوالمةدوالعداقوالص

75 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 85-

90

76Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 87

77 Al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra>, jld. 7, (Beirut: Darul Kutub

Ilmiyyah, 2003), h. 339

Page 169: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

151

Al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, dari al-H}akam, dari sahabat-sahabat Abdullah, dari Abdullah ibn Mas’u>d. Dia berkata mutlah itu terhapus. Dihapus oleh talak, sida>q, ‘iddah, mi>ra>s|. Riwayat ‘Abd al-Razza>q:

قالرامعمثدحرجالتعوسماقالرزبدعقالأبااعمسأنهماأرطاةبناجوالحجثعشاألأخبرنخسنقالأنهعلعنثارالحعنحدثإسحاقخسوندقة صلكالزكاةونسختم وصلكرمضانغرعتوسمقالوالمراثوالعدةالطالقالمتعةتخسونقالعلعنمحمدعنثدحالحجاج

ح بذكلةحلضا78

‘Abd al-Razza>q berkata bahwa aku mendengar seorang laki-laki meriwayatkan kepada Ma’mar, telah memberitakan kepadaku Asy’as| dan al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, mereka berdua mendengar Abu> Ish}a>q meriwayatkan kepada al-H}a>ris|, dari Ali bahwa Ali berkata puasa Ramd}an menghapus segala puasa, zakat menghapus segala bentuk sadaqah, dan mut’ah terhapus oleh hukum ‘iddah, t}alaq, dan mi>ra>s|.

78

‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983),

h. 505

Page 170: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

152

Dua riwayat di atas, pada dasarnya memiliki makna

yang sama. Yaitu terhapus legalitas nikah mut’ah. Kembali ke periwayatan al-Baih}a>qi>\, hadis ini

diriwayatkan melalui jalur periwayatan al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah

dari H}akam dari sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Dalam sanad

Baih}a>qi> lainnya, periwayat H}akam langusng meriwayatkan

dari sahabat Ibnu Mas’ud, tidak meriwayatkan melalui

sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Oleh karena itu, maka penting

untuk menjelaskan biografi perwayat-periwayat hadis

tersebut.

Pertama al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah. al-H}ajja>j ibn Art}a’ah memiliki nama kunyah Abu> Art}a’ah. Menurut Imam Nawawi,

al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah adalah seorang atba>’ al-ta>bi’i>n yang

berguru kepada al-Zuhri>, Qatadah, al-Sya’bi’, dan lain

sebagainya. al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah meninggal pada tahun 149 h.

Para kritikus hadis seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah,

dan Yahya bin Ma’in menilai al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah sebagai

periwayat lemah dan suka melakukan tadli>s.79

Kedua periwayat al-H}akam. Menurut periwayatan

Baih}aqi>, al-H}akam di sini maksudnya adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya al-H}akam ibn ‘Utaibah dalam dunia periwayatan hadis tidak terlepas dari

dua nama yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\. Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya bahwa dalam perwayatan hadis, kedua periwayat

ini tidak bisa diterima periwayatannya. Karena al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dinilai tidak pernah hidup sewaktu dengan

para sahabat senior.al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah

dijelaskan, lahir pada tahun 50 h. sedangakan sahabat Ibnu

79Syamsuddin al-Z|ahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 1530

Page 171: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

153

Mas’ud meninggal pada tahun 32 h80

. Artinya ada jarak waktu

18 tahun di antara dua periwayat hadis tersebut yang tidak

memungkinkan terjadi pertemuan atau berada di satu waktu.

Adapun al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\ adalah seorang

hakim yang tidak berkecimpung di dunia periwayatan hadis.

Dari hasil kajian sanad di atas, penulis dalam hal ini

sepakat dengan Ja’far Subhani bahwa hadis mi>ra>s| yang

menginformasikan penghapusan nikah mut’ah adalah riwayat

d}a’i >f dan tidak bisa diterima sebagaimana berdasar pada

standar ilmu hadis. Terlebih, para ulama telah membentuk

sebuah budaya yang positif dalam menerima hadis. Selektif

dalam menerima hadis-hadis hukum, terutama yang berkaitan

halal-haram, dan mempermudah dalam menerima hadis-hadis

keutaman ibadah.

Sampai di sini, penulis telah menemukan dua

periwayatan hadis yang di dalamnya terdapat periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan penilaian berbeda terhadap hadis

periwayatannya. Sehingga dalam hal ini, penulis menilai telah

terjadi sikap inkonsistensi dalam penilaian hadis oleh Ja’far

Subhani. Berdasarkan teori kritik sanad, Ja’far Subhani tidak

teliti dalam menilai sebuah hadis sehingga terjadi

inkonsistensi dalam penilaian hadis. Hadis keberatan sahabat

Ali bin Abi Thalib atas fatwa sahabat Umar bin Khattab

diterima oleh Ja’far Subhani. Padahal dalam riwayat tersebut

terdapat periwayat hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sehingga

dalam kasus ini, pemikiran Ja’far Subhani tidak sesuai dengan

teori kebenaran koherensi. Karena ada pemikiran yang tidak

konsisten.

80

Sholahuddin Al-S}afadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jld. 17, (Beirut:

Dar Ihya Turas|, 2000), h. 326

Page 172: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

154

2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya, hadis yang dinilai dho’if oleh Ja’far

Subhani adalah hadis yang menjelaskan larangan atau

penghapusan legalitas nikah mut’ah pada hari Khoibar. Hadis

Khoibar yang dikutip dan ditanggapi Ja’far Subhani adalah:

عنع للاصلىللاعلهوسولبنأبطالبأنرلن مهسلم عن ومعةتى أبخالنساء وعن ومحللكر81ةسراإلنمالح

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai kampung.

Hadis di atas, sebagai mana penuturan Ja’far Subhani

diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab nikah mut’ah.82

Berdasarkan riwayat Imam Muslim, hadis tersebut

diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, dari Malik dari Syihab

Al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan, dari Muhammad bin Ali,

dari Ali bin Abi Thalib.

Periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya>. Yah}ya> ibn Yah}ya memiliki nama kunyah Abu> Zaka>riya> al-Tami>mi>. Yah}ya> ibn Yah}ya lahir pada tahun 142 h. dan meninggal pada tahun 226

h. dalam periwayatan hadis Yah}ya> ibn Yah}ya berguru kepada

Ma>lik ibn Anas, Kas|i>r ibn Sali>m, Muslim ibn Kha>lid, dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan

hadis kepadanya adalah Imam Al-Bukha>ri>, Imam Muslim,

Muh}ammad ibn al-Ra>fi’ al-Qusyairi>, dan periwayat-periwayat

lainnya. Yah}ya> ibn Yah}ya mendapatkan penilaian-penilaian

81 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

82Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

Page 173: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

155

positif dari para kritikus hadis. Di antaranya al-Nasa>’i> yang

menilai bahwa Yah}ya> ibn Yah}ya adalah seorang periwayat

s|iqah.83

Periwayat-periwayat setelahnya adalah para imam

dalam bidang hadis yang kredibilatasnya sudah tidak

dipermasalahkan. Sehingga di sini penulis mencukupkan

penelitian pada periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya saja.

Jika mempertimbangkan kualitas periwayat-periwayat

hadis, hadis khaibar memiliki sanad yang kuat dan diterima

oleh semua kritikus hadis. Dalam hal ini, Ja’far Subhani, tidak

mempertimbangkan kualitas sanad tersebut. Dalam kitabnya,

Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani tidak memberikan uraian

argumentasi tentang validitas hadis ini. Ja’far Subhani

mencukupkan diri dengan penilaian bahwa hadis khaibar ini

statusnya adalah bohong atas nama sahabat Ali bin Abi

Thalib.84

Dalam kajian hadis Sunni, hadis khaibar mendapatkan

perhatian yang cukup intens. Tidak sedikit para kritikus hadis

memberikan kritik terhadap hadis tersebut, terutama kritik

pada aspek matannya. Permasalahan yang menjadi titik

sentralnya adalah perbedaan pandangan tentang kedudukan

yaum khaibar atau zaman khaibar sebagai keterangan waktu

untuk larangan memakan daging keledai, atau keterangan

waktu untuk larangan nikah mut’ah, atau keterangan waktu

untuk larangan keduanya.

83 Syamsuddin Al-Z|ahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4213

84 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

Page 174: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

156

Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa

Nabi saw telah melarang nikah mut’ah dan makan daging

keledai di saat perang Khaibar. Hadis yang diriwayatkan oleh

para imam hadis, seperti Imam Muslim dan Imam Bukhari ini,

banyak menuai respons para kritikus hadis.

Secara tekstual hadis di atas menjelaskan bahwa

keterangan waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu

untuk larangan nikah mut’ah. Tetapi menurut pendapat yang

dikutip al-Baih}aqi> bahwa Sufya>n ibn ‘Uyainah menilai bahwa

keterangan waktu tersebut adalah keterangan waktu untuk

larangan makan daging keledai, bukan keterangan waktu

untuk larangan nikah mut’ah. Pandangan ini merujuk kepada

hadis riwayat Imam Bukhari.85

Tetapi dalam riwayat Sufya>n bin ‘Uyainah lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab

S}ah}i>h} Muslim dijelaskan bahwa secara tekstual keterangan

waktu tersebut berkaitan dengan larangan nikah mut’ah.

Bahkan menurut riwayat Imam Muslim, dalam riwayat lain,

sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari

Zuhri, Rasulullah bersabda secara tegas tentang larangan nikah

mut’ah pada saat Khaibar. Tetapi dalam riwayat lainnya,

Sufyan bin ‘Uyainah juga meriwayatkan dari Zuhri bahwa

Rasulullah saw melarang makan daging keledai pada saat

Khaibar, dan nikah mut’ah setelahnya.86

Sejauh penelitian, penulis belum menemukan tarji>h al-dala’il tentang pemaknaan yang lebih tepat untuk hadis ini,

kecuali pandangan Ibn ‘Abd al-Barr yang menyatakan bahwa

mayoritas orang berpendapat bahwa keterangan waktu yaum

85Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, jld. 10, h. 165

86Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

Page 175: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

157

khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan makan

daging keledai, bukan keterangan waktu untuk larangan nikah

mut’ah. Selain itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat al-Suhaili>

yang mengatakan bahwa laranagan nikah mut’ah di perang

Khoibar tidak diketahui oleh para ahli sejarah dan ahli

periwayatan. Menurut perselisihan dalam hal ini, faktornya

adalah terjadi taqdi>m wa ta’khi>r dalam riwayat Zuhri. Selain

itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibn al-Qayyim yang

menegaskan bahwa para sahabat tidak pernah melakukan

mut’ah dengan para wanita yahudi. Atas dasar ini, menurut

Ibn al-Qayyim, maka larangan belum pernah terjadi pada

perang Khoibar. Kecuali praktek mut’ah yang dilakukan oleh

orang-orang dari suku Aus dan Khazraj sebelum Islam

datang.87

Dari pemaparan Ibn al-Qayyim yang dikutip dalam

Fath} al-Ba>ri>, penulis berpendapat bahwa pada saat perang

Khoibar belum ada larangan nikah mut’ah. Jadi keterangan

waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan

makan daging keledai.

Kembali kepada penilaian Ja’far Subhani tentang

kelemahan hadis khaibar. Di sini penulis mencoba

memaparkan perbedaan pandangan antara penulis dengan

Ja’far Subhani. Ja’far Subhani menilai bahwa hadis khaibar

yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah riwayat

bohong.88

Bohong atas nama sahabat Ali. Dengan alasan

bahwa sahabat Ali telah memperlihatkan ketidak-setujuannya

atas penghapusan nikah mut’ah sebagai dalam riwayat tentang

87

Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

88 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

Page 176: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

158

keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar bin Khattab.

Kedua Ja’far Subhani berpendapat sebagaimana pendapat

penulis, bahwa di perang Khaibar belum terjadi larangan nikah

mut’ah. Dengan dua alasan ini, Ja’far Subhani menolak hadis

Khaibar yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib.

Sedikit berbeda dengan pandangan Ja’far Subhani,

penulis menilai bahwa hadis Khaibar dengan kualitas sanad

yang kuat tidak bisa ditolak. Karena sudah jelas periwayat-

periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut adalah periwayat

s}iqah dan sebagian besar adalah imam dalam periwayatan

hadis, seperti Ibnu Syihab, Malik, dan Muslim. Selain itu tidak

ada yang mempermasalahkan sanad hadis tersebut.

Selanjutnya tentang perbedaan para ulama tentang keterangan

waktu yaum khaibar adalah perbedaan riwa>yah bi al-ma’na> yang masih diakui dan diterima perbedaannya. Terlebih lagi,

ada pendapat yang menguatkan bahwa ahli sejarah dan ahli

periwayatan telah menyatakan bahwa di perang khoibar belum

ada larangan nikah mut’ah. Jadi, dalam hal ini penulis tetap

menerima hadis khoibar dengan ragam periwayatannya.89

Berdasarkan analisis pemikiran Ja’far Subhani di atas,

di sini penulis menilai bahwa Ja’far Subhani melakukan

fabrikasi, menilai sebuah hadis lemah bahkan bohong atas

nama Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak ada dasar yang

membuktikannya. Sehingga penulis menilai bahwa pemikiran

Ja’far Subhani keluar dari etika teori-teori kritik hadis dan

juga tidak sesuai dengan teori kebenaran korespondensi karena

penilainnya tentang hadis tidak berdasar pada teori-teori ilmu

hadis.

89

Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

Page 177: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

159

3. Hadis penghapusan nikah mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa telah

terjadi penghapusan ayat nikah mut’ah, fa> ma> istamta’tum bihi> dengan ayat fa t}alliqu>hunn li ‘iddatihinn. Salah satu

riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Dalam

hal ini Ja’far Subhani menolak periwayatan tersebut dengan

alasan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas adalah murid sahabat Ali

bin Abi Thalib yang dipastikan lebih paham tentang maksud

ayat-ayat Al-Qur’an dari sekedar ayat mut’ah dihapus dengan

ayat t}ala>q dan ‘iddah, karena praktek nikah mut’ah sendiri ada

‘iddahnya.90

Riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu

‘Abbas tersebut adalah:

هننمبهمتعتتمهعزوجلفمااساسفقولنعبعنابفرضةأجورنهفؤتو نسختهن إذاقال النب أها ا ها91هنتعدقوهنلفطللنساءقتماطل

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunn, menurut sahabat Ibnu ‘Abbas dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’ fa t}alliqu>hunn li’iddatihinn.

Periwayat Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j. Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j periwayat yang

meninggal pada tahun 275 h. dan memiliki nama kunyah Abu> Bakr al-Marwaz|i> . Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j dalam

90

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

91Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 88

Page 178: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

160

periwayatan hadis berguru kepada Ah}mad ibn H}anbal, Ha>ru>n ibn Ma’ru>f, Suraij ibn Yu>nus, dan periwayat-periwayat

lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari

Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah Muh}ammad ibn ‘I<sa> al-Wali>d, Abu> H}a>mid Ah}mad, dan periwayat-periwayat

lainnya. Menurut al-Z}ahabi> , Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah seorang ima>m, ahli hadis, dan sahabat Ah}mad ibn H}anbal yang wara’. 92

Periwayat Yah}ya> ibn Sulaima>n. Yah}ya> ibn Sulaima>n memiliki nama kunyah Abu> Sa’i>d al-Ju’fi>. Yah}ya> ibn Sulaima>n meninggal pada tahun 237 h. Yah}ya> ibn Sulaima>n , dalam periwayatan hadis berguru kepada al-Da>ra>wardi> dan

yang berguru kepadanya adalah Imam Bukhori dan Hasan bin

Sufyan. Menurut al-Nasa>’i> , Yah}ya> ibn Sulaima>n adalah

periwayat yang tidak s|iqah.93

Periwayat ‘Aliyy ibn Ha>syim. ‘Aliyy ibn Ha>syim, menurut al-Z|ahabi> adalah seorang pengikut syiah yang

memiliki nama kunyah Ibn al-Bari>d dan meninggal pada tahun

183 h. Menurut Ibnu Ma’in dan Ali Madini, ‘Aliyy ibn Ha>syim adalah seorang periwayat s|iqah.

94

Periwayat ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni meninggal pada tahun 155 h. dan memiliki

nama kunyah Abu> Mas’u>d. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni

92Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 915

93 Syamsuddin Al-Dimasqi, al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu>

riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah, jld. 2, (Jeddah: Muassasah Ulumul Qur’an,

1992), h. 367

94 Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2876

Page 179: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

161

meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri, yaitu ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Periwayat hadis yang mereiwayatkan hadis

dari‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah Muh}ammad ibn Syu’aib, Wali>d ibn Muslim, dan periwayat-periwayat lainnya.

Menurut Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, periwayat yang hadisnya tidak kuat dan tidak bisa dijadikan

argumen.95

Periwayat ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, nama lengkapnya adalah Ibn Abi> Muslim. Lahir pada tahun 50

h. dan meninggal pada tahun 135 h. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, dalam

periwayatan hadis berguru kepada sahabat Abu Darda’, Ibnu

‘Abbas, Mughirah bin Syu’bah dan periwayat-periwayat

lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari

‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah Ma’mar, Syu’bah, Malik, dan

periwayat-periwayat lainnya. Dalam penilaian para kritikus

hadis, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni mendapatkan penilaian berbeda.

Menurut Ibnu’ Ma’in, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni> adalah seorang yang

s|iqah. Tetapi menurut Daruquthni, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni tidak

bertemu dengan sahabat Ibnu ‘Abbas dalam arti telah

melakukan tadli>s dalam periwayatan hadis.96

Periwayat Ibn ‘Abba>s.97

95 Abu Hatim, al-Jarh} wa al-Ta’di>l, jld. 6, (Beirut: Darul Kutub,

1952), h. 162

96Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2689

97 Penulis mencukupkan tanpa penelitian tentang biografi dan

pandangan kritikus hadis tentang sahabat Ibnu ‘Abbash. Karena baik ulama

Suni atau pun ulama Syiah, masing-masing merespons positif terhadap

sosok Ibnu ‘Abbash.

Page 180: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

162

Berdasarkan data biografi dan penilaian para kritikus

hadis terhadap perwiayat-periwayat hadis di atas, penulis

menilai bahwa riwayat di atas memiliki rantai periwayatan

yang tidak kuat. Selain ada periwayat yang melalukan tadli>s,

juga ada periwayat lain yang tidak dijadikan sandaran

periwayatannya, yaitu ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Tetapi

penulis masih menemukan riwayat kuat yang semakna dengan

hadis ini. Yaitu hadis riwayat Ibnu Hibban.

وروىسالمعنعبدللابنعمرأنعمربنالخطاببالرجال صعدالمنبرفحمدللاوأثنىعله،وقال:ماالمتعةوقدنهىرسولللاصلىللاعله نكحونهذهإالرجمتهبالحجارة، رجالنكحها وسلمعنها؟،الأجد

وقال:هدمالمتعةالنكاحوالطالقوالعدةوالمراث

Salim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Umar bin Khattab menaiki minbar kemudian memuji Allah swt dan Ibnu Umar bertanya kepada Umar bin Khattab:‛bagaimana pendapatmu tentang para lelaki yang melakukan nikah mut’ah sedangkan Nabi saw telah melarangnya?‛Umar bin Khattab menjawab:‛aku akan tidak menemukan laki-laki yang melakukan nikah mut’ah kecual aku rajam dengan batu‛ kemudian Umar bin Khattab berkata:‛telah membinasakan mut’ah, yaitu nikah, tolak, iddah, dan pembagian waris‛

Selain itu, dalam pandangan Ibn H}ajar, hadis riwayat

Ibn ‘Umar di atas memiliki sya>hid yang kuat, yaitu riwayat

Abu> Hurairah.98

Al-Syauka>ni>, dalam Nail al-Aut}a>r, juga

sependapat dengan Ibnu Hajar. Dia berpendapat bahwa hadis

98Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 169

Page 181: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

163

tersebut termasuk hadis hasan. Menurutnya, keberadaan

periwayat Mu’ammal ibn Isma>’i>l yang dinilai lemah oleh

Bukhari tidak dapat menurunkan derajat hasan menjadi da’i>f. Karena hadis tersebut memiliki syawa>hid dalam riwayat

lainnya.99

Di antara syawa>hid hadis di atas adalah hadis Aisyah,

istri Nabi saw:

ىظ ح وهة ػ ثا ات دذ ا عه قال ذ ت

ثا ذ ودذ أد ثا صانخ ت ثغح دذ ثا ػ ىظ دذ ػ ات

ػشوج قال أخثش شهاب ش ت ت انض صوج ػائشح أ

ه وعهى أخثشذه انث ػه صه للا انجاههح ف انكاح أ

ذاء أستؼح ػه كا ها فكاح أ انىو اناط كاح ي

جم خطة جم إن انش ثى فصذقها اتره أو ونره انش

كذها ش آخ وكاح جم كا طهشخ إرا اليشأذه قىل انش

ثها ي إن أسعه ط ه فاعرثضؼ فال وؼرضنها ي

ها وال صوجها غ در أتذا هها رث د جم رنك ي انش

ه ذغرثضغ انز ذ فإرا ي هها ث إرا صوجها أصاتها د

ا أدة انىنذ جاتح ف سغثح رنك فؼم وإ هزا فكا

غ آخش وكاح االعرثضاع كاح انكاح هظ جر يا انش

انؼششج دو شأج ػه فذخهى فإرا صثها ههى ك ان

هد ها ويش ووضؼد د تؼذ نال ػه هها ذضغ أ د

هى أسعهد هى سجم غرطغ فهى إن ي رغ أ در

ؼىا ذها جر انز ػشفرى قذ نهى ذقىل ػ كا يشكى أ ي

99

Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Baitul Afkar,

2004), h\. 1202

Page 182: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

164

ا اتك فهى ونذخ وقذ فال ذغ ه أدثد ي تاع

غرطغ ال ونذها ته فهذق رغ أ جم ته وكاح انش

اتغ غ انش انكثش اناط جر شأج ػه فذخهى رغ ال ان ذ

جاءها ي انثغاا وه ك صث ػه سااخ أتىاته

ا ذكى ػه ف دخم أساده ه هد فإرا ػه د إدذاه

هها ووضؼد ؼىا د أنذقىا ثى انقافح نهى ودػىا نها ج

تانز ذهاون ته فانراط شو رغ ال اته ودػ رنك ي

ا ذ تؼث فه صه يذ ه للا كاح هذو تانذق وعهى ػه

100انىو اناط كاح إال كهه انجاههح

Diriwayatkan dari Ah}mad ibn S}a>lih}, dari ‘Anbasah, dari Yu>nus, dari Ibn Syiha>b, dia berkata bahwa ‘Urwah ibn al-Zubair telah memeberitakan kepadaku bahwa ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad saw memberitakan kepada ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa:

Sesungguhnya nikah di zaman jahiliyya ada empat macam. Di antara nikah model masyarakat sekarang, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya kemudian membayar mahar dan menikahinya. Bentuk pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata kata kepada istrinya: ‚pergilah ke si fulan, kemudian minta untuk digaulinya dan suaminya menjauhinya dan tidak menyentuhnya sehingg istrinya tersebut jelas telah mengandung janin hasil dari hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, kemudian suaminya tersebut melanjutkan hubungannya jika suami tersebut

100

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, jld. 5, (Beirut: Dar Ibnu Kas|ir,

th. ), h. 1970

Page 183: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

165

menginginkannya. Hal ini betujuan untuk mendapatkan keturunan anak yang cerdas. Nikah seperti ini disebut nikah istibd}a>’. Kemudian, ada juga praktek nikah yang dilakukan oleh sejumlah laki-laki, kurang dari sepuluhan, dan mereka melakukan hubungan badan dengan satu wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anak, setelah beberapa hari,wanita tersebut memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara yang menolak panggilan tersebut sehingga mereka pun berkumpul di rumah wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata kepada laki-laki tadi: ‚sungguh kalian telah mengetahui urusan kalian, sedangkan aku sekarang telah melahirkan dan anak ini adalah anakmu wahai fulan‛. Kemudian wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itu pun tidak boleh menolaknya. Terakhir, praktek nikah yang dilakukan para laki-laki yang melakukan hubungan badan dengan seorang wanita yang tidak akan menolak setiap ajakan laki-laki tersebut yang mendatanginya, karena mereka adalah para pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda siapa yang menginginkannya maka diperbolehkan masuk. Kemudian jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka para laki-laki itu berkumpul di tempat tadi, dan mereka pun mendatangkan ahli firasat, kemudian dihubungkanlah anak tersebut dengan ayahnya atas anggapan ahli firasat tersebut. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dan laki-laki yang terpilih tidak boleh menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul dengan jalan yang benar, beliau menghapus semua praktek nikah jahiliyyah tersebut kecuali nikah sebagaimana yang berjalan sekarang ini.

Page 184: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

166

Setelah melakukan verifikasi terhadap kitab-kitab

ulama Sunni, penulis menilai bahwa riwayat Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan ayat mut’ah dengan ayat ‘iddah

memiliki kualitas lemah, sebagaimana telah dijelaskan dalam

pembahasan sanad periwayatannya. Tetapi selain hadis ini

ternyata masih ada beberapa hadis yang memiliki kualitas

yang kuat yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah telah

dihapus dengan nikah, t}alaq, ‘iddah, dan pembagian waris.

Sehingga hasil dari verifikasi ini penulis berkesimpulan bahwa

Ja’far Subhani belum melakukan verifikasi riwayat-riwayat

secara sempurna. Dalam istilah Mus}t}afa> al-A’z}ami>, langkah

mengumpulkan data secara sempurna (jam’ al-us}u>l ka>ffah)

tidak dilakukan oleh Ja’far Subhani. Sehingga kesimpulannya

tidak korespondens dengan data-data yang ada.

E. Kontradiksi Riwayat Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah

Ibn H}ajar Al-‘Asqala>ni> berpendapat ada enam waktu

yang tersirat dalam riwayat-riwayat pengharaman nikah

mut’ah. Yaitu Khaibar, ‘Umrah al-Qad}a>’, Fath} Makkah,

Aut}a>s, Tabuk, Haji Wada’.101

Ja’far Subhani dalam karyanya

Mut’ah al-Nisa>’, menyebutkan lebih ringkas waktu-waktu

pengharaman nikah mut’ah menjadi empat. Yaitu Khaibar102

,

Tanah Hawazin atau tahun Aut}a>s, tanah Mekkah atau Fath}

Makkah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat bahwa

telah terjadi kontradiksi dan kekacauan riwayat-riwayat

(idt}ira>b) yang menjelaskan pengharaman nikah mut’ah di

101 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 166

102 Tentang pengharaman di Khaibar sudah dijelaskan pada

pembahasan sebelumnya

Page 185: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

167

waktu-waktu tersebut. Riwayat-riwayat yang dinilai

kontradiktif adalah:

1. Riwayat pengharaman di Khoibar. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani mengutip riwayat Ali bin Abi

Thalib:

رسولللاصلىللاعلهوأنلبنأبطالب عنعن مسلم عن تهى النساء خوعة أكم وعن لبر ومحل103سةراإلنمالح

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai kampung.

2. Riwayat pengharaman di tanah Hawazin. Dalam kitab

Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani mengutip riwayat Iya>s ibn Salamah:

إ قاللاسبنسعن أبه عن صرسولللارخ مةمأوطاسفالمتعةثالثاثصلىللاعلهوسلمعام

104هىعنهان

103 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukha>ri> dalam kitabnya, bab

‚perang Khoibar‛ Tidak ada perbedaan redaksi antara kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab S}ah}i>h{ al-Bukha>ri>h.

104 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 93

Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi yang samah.

Page 186: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

168

Dari Iya>s ibn Salamah, dari ayahnya, berkata bahwa Nabi saw memberi keringanan nikah mut’ah pada tahun Aut}a>s selama tiga hari kemudian melarangnya.

3. Riwayat pengaharaman di Fath} Makkah. Dalam kitab

Mut’ah al-Nisa >’, Ja’far Subhani mengutip riwayat

Sabrah

زامعرسولللاصلىرةأنأباهغعبنسببعنالرعشرةنابهاخمسفؤقم : مكةقالللاعلهوسلمفتح

نلنارسولللاصلىللا)ثالثنبنللةووم(فؤذالنساءفخرجت فمتعة ورجلعلهوسلم منأنا

ول فضل قوم عله الج قرب ف وهو منمالالد استمتعت-قال-الان-مامة أخرجثم فلم منها

105مهارسولللاصلىللاعلهوسلمحتىحر

Dari al-Rabi>’ibn Saburah, berkata bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah saw pada Fath} Makkah dan kami bertinggal di Mekkah selama 15 hari. Kemudian Rasulullah mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah. Saya bersama seorang laki-laki dari kelompoku keluar. Dia memiliki keistimewahan dalam hal rupa tetapi tidak istimewa dalam penampilan. Sab\rah berkata: saya melakukan nikah mut’ah dan tidak keluar dari kota Makkah sampai Rasulullah mengharamkannya.

105 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 94

Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi yang samah.

Page 187: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

169

Dalam tiga riwayat di atas, menurut Ja’far Subhani

telah terjadi kontradiksi bahkan terjadi kekacauan riwayat

(id}t}ira>b). Penulis menilai, letak kontradiksinya adalah

terjadinya proses pengharaman nikah mut’ah di beberapa

tempat dan waktu yang berbeda. Sebagaimana pandangan

Ja’far Subhani yang mempertanyakan proses pengharaman

tersebut bahwa, menurutnya, riwayat-riwayat ini tidak

mungkin untuk dilakukan kompromi. Pengharaman di Khoibar

terjadi sekitar tahun ke-7 h. Sedangkan pengharaman di

Hawazin, tahun Aut}a>s, dan pengharaman di Mekkah, Fath} Makkah,terjadi pada tahun ke-8 h. Menurut Ja’far Subhani,

perbedaan-perbedaan seperti ini tidak bisa dikompromikan106

dan akan melahirkan keraguan tentang pengharaman bagi para

pembaca.107

Selain menilainya sebagai riwayat yang kontradiktif,

Ja’far Subhani lebih cendrung terhadap data sejarah, dengan

melihat pemaparan-pemaparan kitab-kitab sejarah, terutama

kitab sejarah Ibnu Hisyam. Hasil pembacaan terhadap data

sejarah Ibnu Hisyam tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan

bahwa tidak ada pernyataan pengharaman langsung dari

Rasulullah saw yang berkaitan dengan nikah mut’ah.108

Sebagaimana ulama-ulama Sunni, Ja’far Subhani juga

menitik-beratkan riwayat pengharaman nikah mut’ah pada dua

riwayat. Yaitu riwayat Khaibar dan riwayat Fath} Makkah.

Tentang riwayat khaibar, yang menjelaskan

pengharaman nikah mut’ah, baik Ja’far Subhani atau pun Ibnu

Hajar mengambil sikap yang sama bahwa di Khoibar tidak

106Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 95

107Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 103

108Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 96

Page 188: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

170

terjadi pengharaman nikah mut’ah. Karena berdasarkan pada

penelitian sejarah bahwa di Khoibar para sahabat tidak pernah

melakukan nikah mut’ah dengan kecuali orang-orang Yahudi

yang telah bersosial dengan kelompok Aus dan Khazraj

sebelum Islam. Pada saat itu belum ada wanita-wanita muslim.

Menurut Ibnu Hisyam, Nabi saw hanya melarang empat hal

pada saat di Khoibar. Yaitu makan daging keledai piaraan,

menggauli tawanan-tawana yang hamil, makan daging

binatang buas, dan menjual daging domba sampai ada

pembagian.109

Ulama-ulama Sunni pun berpendapat bahwa larangan-

larangan yang terkandung dalam riwayat Khoibar khusus pada

larangan makan daging himar. Adapun dua larangan Nabi saw

yang disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib kepada

sahabat Ibnu ‘Abbas adalah sebuah penegasan karena pada

saat itu Ibnu ‘Abbas menghalalkan nikah mut’ah dan makan

daging himar, padahal Nabi saw melarangnya.110

Adapun larangan di Fath} Makkah, Ibn H}ajar dan Ja’far

Subhani memberikan pandangan yang berbeda. Ibnu Hajar

berpendapat bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah

pada saat Fath} Makkah yang diharamkan Nabi saw sampai

hari kiyamat. Riwayat nikah mut’ah ketika ‘Umrah al-Qad}a>’

adalah riwayat lemah, karena di dalam sanad periwayatannya

terdapat periwayat Hasan yang dinilai banyak melakukan irsa>l. Riwayat nikah mut’ah dalam perang Tabuk, (hadam al-mut’ah al-nika>h} ), tidak dengan jelaskan menjelaskan adanya praktek

mut’ah pada saat itu, tetapi sebagai respons terhadap praktek

mut’ah di zaman terdahulu dan menjadi pesan bahwa praktek

109 Ibnu Hisyam, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Daarul

Kitab Arabi, 1990) h. 279-280

110 Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 165

Page 189: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

171

nikah mut’ah bukan yang disyari’atkan dalam Islam. Adapun

riwayat nikah mut’ah dalam Haji Wada’, menurut Ibnu Hajar

telah terjadi ikhtila>f dalam riwayatnya, sehingga yang paling

benar tentang pengharaman nikah mut’ah adalah di saat Fath} Makkah.111

Tentang pengaharaman nikah mut’ah di Fath{ Makkah,

Ja’far Subhani berbeda pendapat dengan Ibnu Hajar.

Sebagaimana pandangannya tentang pengharaman di Khaibar,

Ja’far Subhani berpendapat bahwa tidak pernah terjadi

pengharaman di nikah mut’ah di Fath} Makkah. Ja’far Subhani

mendasarkan pendapatnya pada informasi dari ahli sejarah.

Menurut Ja’far Subhani berdasarkan informasi dari ahli sejarah

tidak ditemukan tentang pengaharaman atau penghalalan

nikah mut’ah. Pendapat Ja’far Subahni tersebut merupakan

hasil pembacaannya terhadap pidato Nabi saw pada saat Fath} Makkah, yang dikutip dari kitab sejarah Ibnu Hisyam.

112

Secara literal apa yang disimpulkan Ja’far Subhani

adalah benar bahwa dalam pidato Fath} Makkah kutipan dari

Si>rah Ibn Hisya>m tidak ada pengharaman atau pun

penghalalan nikah mut’ah. Tetapi beberapa ahli sejarah sepertiAbu> Qa>sim Al-Suhaili>,113

Ibn Kas|i>r,114 dan Ibn Qayyim115

111 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 167

112 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 98

113Abu Qasim Al-Suhaili, al-Raud} al-Unuf, jld. 4, (Beirut: Darul

Kutub Ilmiyyah, 2009), h. 75

114 Ibnu Katsir, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Darul

Ma’rifah, 1876), h. 336

115 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’a>d, jld. 3, (Beirut: Al-

Risalah, 1998), h. 304

Page 190: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

172

menegaskan bahwa informasi yang paling jelas tentang

pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat Fath} Makkah

yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli sejarah

tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibn Numair riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah.

116 Hadis tersebut pada

dasarnya berada setelah beberapa hadis dengan hadis yang

sama, yaitu riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu

hadis setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut

menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang

terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah disampaikan Nabi

saw ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.117

116 Hadisnya adalah:

ثنىا ثناعبدالعززبنعمرحد ثناأبىحد حد ر بننم دبنعبدللا ثنامحم بعحد لر هكانمعرسولللا ثهأن أباهحد أن »فقال-صلىللاعلهوسلم-بنسبرةالجهنى

ا ذلك م قدحر للا هاالناسإنىقدكنتأذنتلكمفىاالستمتاعمنالنساءوإن أتموهن آت ا مم تؤخذوا وال سبله خل فل شىء منهن عنده كان فمن امة الق وم إلى

ئاش

\Muh}ammad ibn ‘Abdillah meriwayatkan dari ayahnya, dari ‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Umar, dari al-Rabi>’ ibn Sabrah al-Juhanni>, bahwa ayahnya meriwayatkan kepada al-Rabi> ibn Sabrah al-Juhanni> sendiri, bahwa ayahnya pernah bersama Rasulullah saw dan beliau bersabd: ‚ wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk bermut’ah dan Allah swt telah mengharamkan itu samapai hari kiyamath. Maka barang siapa yang masih terikat dengan pernikahan tersebut bebaskanlah wainita itu dari perbuatan tersebuth. Dan janganlah mengambil lagi sesuatu yang telah diberikan kepada merekah.

117 Hadisnya adalah:

بنعمر العزز مانعنعبد بنسل ثناعبدة حد بة أبوبكربنأبىش ثناه وحدترسو بهذااإلسنادقالرأ كنوالباب-صلىللاعلهوسلم-لللا نالر قائماب

ر قولبمثلحدثابننم .وهو

Page 191: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

173

Berdasarkan analisis data di atas, penulis menilai

bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang adanya kontradiksi

riwayat pengharaman nikah mut’ah dan tidak pengharaman

pada saat Fath} Makkah adalah kesimpulan yang terkonstruksi

oleh analisis yang tidak sempurna dan terkesan tergesa-gesa

dalam menyimpulkan. Sehingga informasi yang disampaikan

belum sesuai dengan data-data secara keseluruhan. Sebuah

proses pengumpulan data secara menyeluruhv(jam’ al-us}u>l ka>ffah) adalah sebuah langkah yang penting dilakukan supaya

hasilnya korespondens dengan data dan fakta yang ada.

Telah meriwayatkan kepada kami, Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah, dari ‘Abdah ibn Sulaima>n, dari ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Umar, dengan sanad yang ini, dia berkata: ‚aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara rukun dan pintu Ka’bah, beliau bersabda sebagaimana yang ada dalam riwayat Ibn Numairh.

Page 192: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

174

Page 193: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

175

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis pemikiran Ja’far Subhani

tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, penulis berkesimpulan bahwa:

1. Pandangan-pandangan ilmiah Ja’far Subhani terhadap

hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah menjadikan hadis-hadis tersebut

sebagai dalil konstruktif legalitas nikah mut’ah. Ja’far

Subhani menilai bahwa beberapa hadis yang terdapat

dalam kitab-kitab Sunni juga menginformasikan tentang

legalitas nikah mut’ah. Penilaiannya tersebut dilakukan

dengan cara inventarisasi hadis-hadis yang dinilai

mendukung terhadap pemikirannya tentang legalitas

nikah mut’ah. Hadis-hadis Sunni yang diterima oleh Ja’far

Subhani, pada umumnya, bukan hasil analisis teori ilmu

hadis, terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l, melainkan

berdasar pada interpretasi. Ini terbukti, ketika Ja’far

Subhani menilai sebuah hadis atau berkomentar tentang

seorang periwayat hadis, tidak disertai dengan analisis

pendekatan kritik hadis terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l.

2. Dengan menggunakan teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami> dan teori kebenaran Abdul Mustaqim, penulis

menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-

hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah tidak valid, dengan alasan sebagai

berikut:

a. Pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni

dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah

berdasarkan teori ‚kesadaran keterpengaruhan oleh

Page 194: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

176

sejarah (Historically Effected Consciousness)‛, telah

terpengaruh oleh faktor geo-politik, budaya, dan

kehidupan keagamannya. Yaitu mempertahankan

ajaran-ajaran doktrinal madzhab Syiah. Walaupun

dalam proses konstruksi kritiknya tidak

mengedepankan ideologi ima>mah-nya. Hal ini

terbukti ketika Ja’far Subhani mengomentari hadis

riwayat Ibnu ‘Abbas, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-islam. Dalam sanad riwayat tersebut tidak ditemukan

periwayat-periwayat bermadzhab syiah. Selain itu

riwayat Jabir bin ‘Abdullah, kunna> nastamti’ bi al-qabd}ah. Riwayat ini juga diterima oleh Ja’far

Subhani. Dalam riwayat tersebut terdapat periwayat

bermadzhab syiah yaitu ‘Abdurrazza>q. b. Pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani bersifat

Subjektif. Pemikiran-pemikiran tersebut terkonstruksi

oleh pengutipan atau pembacaan serta analisis yang

tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran

ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat d}a’i>f, merubah redaksi matan hadis, dan inkonsistensi

dalam penilaian hadis.

c. Tentang pengutipan dan analisis yang tidak

sempurna, ini terjadi ketika Ja’far Subhani mengutip

dan berkomentar riwayat Ibnu’Abbas tentang praktek

mut’ah pada awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Dalam riwayat Ibnu Abbas tersebut ada

informasi tentang penghapusan ayat mut’ah di akhir

matannya, dan Ja’far Subhani tidak

mencantumkannya. Selanjutnya, pengutipan yang

tidak utuh terjadi ketika Ja’far Subhani mengutip dan

berkomentar tentang riwayat Ibnu Abbas, yaitu yang

menjelaskan bacaan fama> istamta’tum bihi> minhun ila> ajal musamma>. Dalam hal ini, Ja’far Subhani tidak

membaca secara utuh riwayat-riwayat yang

Page 195: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

177

disandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas. Padahal

dalam hal ini ada tiga riwayat yang disandarkan

kepada Ibnu Abbas. Yaitu: pertama, riwayat yang

menginformaskan bahwa Ibnu ‘Abbas secara mutlak

membolehkan nikah mut’ah. Kedua, Ibnu ‘Abbas

membolehkan nikah mut’ah tetapi dalam kondisi

darurat sebagaimana diperbolehkannya makan dagin

anjing dan babi. Ketiga, riwayat yang

menginformasikan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas

mengakui telah terjadinya penghapusan nikah mut’ah

dan bertaubat dari fatwa nikah mut’ah yang pernah

dihalalkannya. Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak

menyampaikan utuh pemikiran salah satu ulama

Sunni yaitu Ibnu Hazm, sebagaimana yang dikutip

Ja’far Subhani dalam kitab Al-Muh}alla>. Dengan

mengutip dari kitab tersebut, Ja’far Subhani

berkesimpulan bahwa ada sederetan sahabat dan

tabi’in yang mengakui legalitas nikah mut’ah. pada

jika membuka kitab al-Muh}alla>, secara jelas Ibnu

Hazm termasum ulama yang menolak legalitas nikah

mut’ah. Di awal pembahasan nikah mut’ah telah

mengaskan bahwa nikah mut’ah termasuk yang

dilarang. Tentang hal ini sudah dijelaskan secara

terperinci oleh Ibnu Hajar bahwa munculnya dari

kalangan sahabat dan tabi’in yang melegalkan nikah

mut’ah karena disebabkan belum meratanya ke

penjuruh kota dan desa tentang pengharaman nikah

mut’ah.

Selain itu, ada satu riwayat lagi yang penulis

simpulkan bahwa Ja’far Subhani tidak utuh dalam

menganalisis pandangan-pandagan ulama. Yaitu

ketika mengatakan bahwa riwayat pengharaman

nikah mut’ah pada perang Fathu Makkah adalah

lemah tidak berasal. Dalam hal ini, Ja’far Subhani

Page 196: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

178

berpandangan bahwa berdasarkan kitab-kitab sejarah

yang terkenal, seperti Si>rah Ibnu Hisyam, dalam kitab

tersebut, menurut Ja’far Subhani, tidak tertulis

penghapusan nikah mut’ah di saat pembebasan kota

Makkah. Tetapi beberapa ahli sejarah seperti Abu

Qasim Al-Suhaili, Ibnu Katsir, dan Ibnu Al-Qayyim

menegaskan bahwa informasi yang paling jelas

tentang pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat

Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat.

Para ahli sejarah tersebut mendasarkan pendapatnya

atas hadis Ibnu Numair riwayat sahabat Rabi’ bin

Sabrah. Hadis tersebut pada dasarnya berada setelah

beberapa hadis dengan hadis yang sama, yaitu riwayat

sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu hadis

setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut

menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang

terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah

disampaikan Nabi saw ketika berada di rukun hajar

aswad dan pintu ka’bah.

Akan tetapi tentang pengharaman nikah mut’ah

di Khoibar penulis sepakat dengan Ja’far Subhani

bahwa di Khoibar belum terjadi pengharaman nikah

mut’ah secara abadi. Pengharaman pada saat Khoibar

fokus pada pengharaman memakan daging keledai.

Pengharaman dalam arti proses penghapusan nikah

mut’ah belum terjadi di Khoibar. Karena di Khoibar

pada saat itu belum terjadi praktek mut’ah kecuali

yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Khoibar

bukan umat muslim.

d. Tentang pengutipan riwayat d}a’i>f, sikap ilmiah Ja’far

Subhani ini dilakukan pada saat mengutip riwayat

Ibnu Abbas tentang praktek nikah mut’ah di awal

Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Riwayat

tersebut selain dikutip tidak sempurna oleh Ja’far

Page 197: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

179

Subhani, juga dinilai hadis syadz oleh Ibnu Hajar dan

menurut ahli kritikus hadis dalam rantai

periwayatannya terdapat periwayat yang suka

meriwayatkan hadis munkar, yaitu Mu>sa> ibn Ubaidilla>h. Selain riwayat Ibnu Abbas, Jafar Subhani

juga mengutip hadis d}a’i>f yaitu riwayat yang

menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib

atas fatwa haram nikah mut’ah oleh sahabat Umar bin

Khattab, lau la> naha> ‘Umar ‘an al-mut’ah ma> zana> illa< saqiy. Dalam rantai periwayatan hadis tersebut

terdapat nama Hakam bin ‘Utaibah. Terlepas dari

perdebatan tentang nama lengkap Hakam bin

‘Utaibah baik Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindi> atau

Hakam bin ‘Utaibah Al-Nahhas tidak memiliki

pengaruh dalam merubah derajat kelemahan hadis

tersebut. Dua nama Hakam tersebut lahir di waktu

dan zaman yang sama yaitu sekitar tahun 50 h.

Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib meninggal

pada tahun 40 h.

e. Merubah redaksi hadis. Tentang merubah redaksi

hadis, penulis temukan dalam kutipan Ja’far Subhani

terhadap riwayat Ibnu Umar yang tengah menjelaskan

tentang pertanyaan yang diberika oleh penduduk

Syam kepadanya. Riwayat ini dikutip Ja’far Subhani

dari kitab Sunan Tirmidzi. Dalam kutipan Ja’far

Subhani redaksi yang tertulis adalah kata al-mut’ah. sedangkan dalam kitab Sunan Tirmidzi redaksinya

adalah al-tamattu’ bukan al-mut’ah. Selain itu, dalam

kitab karya Imam Tirmidzi tersebut tertulis secara

jelas bahwa hadis riwayat sahabat Ibnu Umar tersebut

terletak pada kitab haji bab haji tamattu’. Dari sini

penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani telah

merubah redaksi hadis yang terdapat dalam kitab

Sunan Tirmidzi, kitab haji bab tamattu’.

Page 198: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

180

f. Inkonsistensi dalam menilai hadis. Inkonsistensi

Ja’far Subhani, penulis temukan ketika merespons

dua riwayat yang diriwayatkan memalui periwayat

yang sama yaitu Hakam bin Utaibah. Riwayat-

riwayat tersebut adalah riwayat tentang keberatan

sahabat Ali akan fatwa haram sahabat Umar bin

Khattab, lau la> naha> ‘umar..., dan riwayat yang

menjelaskan penghapusan nikah mut’ah dengan talak,

nafakah, pembagian warisan, dan iddah. Terhadap

riwayata sahabat Ali bin Abi Thalib, Ja’far Subhani

menerimanya. Sedangakan terhadap riwayat sahabat

Ibnu Mas’ud menolaknya. Padahal dalam rantai

periwayatan dua hadis tersebut ada periwayat yang

melakukan tadli>s yaitu Hakam bin Utaibah yang

berdasarkan data kitab-kitab Rijal Hadis tidak pernah

bertemu dengan dua sahabat Rasulullah tersebut.

g. Diukur dengan teori kebenaran koherensi, pemikiran

Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni dalam

kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah bersifat tidak koheren, tidak konsisten. Penulis

menemukan proposisi-proposisi yang berkaitan

dengan argumentasi legalitas nikah mut’ahnya terjadi

inkonsistensi. Yaitu menerima hadis d}a’i>f di satu ke

sempatan dan menolak di kesempatan yang lain

dengan periwayat hadis yang sama lemahnya, yaitu

periwayat yang bernama Hakam bin Utaibah. Walau

pun inkonsistensi ini tidak terbukti dan tidak tertulis

langsung dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.

h. Diukur dengan teori kebenaran korespondensi, secara

umum kritik-kritik Ja’far Subhani tidak bersifat

koresponden, banyak keluar dari teori-teori ilmu

hadis. Yaitu terkonstruksi atas pengutipan atau

pembacaan serta analisis yang tidak sempurna baik

Page 199: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

181

dalam satu hadis atau pemikiran ulama Sunni,

pengutipan hadis atau riwayat yang d}a’i>f, merubah

redaksi matan hadis, dan tidak sesuai dengan teori

ilmu hadis maz|hab Syi’ah sendiri.

i. Diukur dengan teori pragamatis, kritik Ja’far Subhani

terhadap hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah secara pragmatis

memang memiliki misa dalam rangka

memperjuangkan bahwa nikah mut’ah merupakan

solusi dan obat atas problematika yang ditemukan

oleh Ja’far Subhani. Salah satunya menghindarkan

pergaulan bebas atau prostitusi bagi kaum remaja

yang masih mempersiapkan diri untuk membangun

rumah tangga namun belum siap secara finansial,

terutama mempersiapkan tempat tinggal. Akan tetapi

penulis melihat bahwa misi pragmatis ini belum

diakui secara universal oleh seluruh umat Islam,

perihal mempertimbangkan hal yang lebih

madharatnya. Terlebih lagi, fakta di lapangan, bahwa

praktek mut’ah di kawasan negara Iran sendiri langka

dilakukan oleh para penganut madzha syiah. Artinya

masyarakat Iran seakan ada sesuatu yang

dipertimbangkan jika ingin melakukan praktek

mut’ah. Jika ini benar-benar solusi dalam rangka

menjaga kehormatan, maka telah banyak dilakukan

dan banyak dipraktekan oleh masyarakat setempat.

Jumlah peminat atau pelaku terhadap sebuah solusi

menentukan akan relevansi solusi tersebut. Jika sudah

banyak yang melakukan itu artinya tawaran ajaran

kemanusiaan tersebut sudah bersifat solutif. jika

masih sedikit atau bahkan langka orang yang

melakukannya berati tawaran kemanusiaan tersebut

konsepnya masih dipertanyakan.

Page 200: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

182

B. Saran-saran

Setelah melakukan penelitian terhadap salah satu karya

ulama Syiah Is|na> ‘Asyariyyah kontemporer ini, penulis

menganjurkan kepada para akademisi untuk senantiasa

bersifat objektif dalam membaca literatur. Objektif di sini

dalam arti berdasar pada teori-teori ilmiah. Sikap seperti ini

tidak lain kecuali demi menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.

Karena jika sebuah penelitian sudah tercampuri dengan

fanatisme kelompok akan menutup cahaya-cahaya kebenaran.

Dalam penelitian ini, penulis sudah berusaha untuk

menjalankan sikap ilmiah di atas. Ja’far Subhani banyak

menulis buku yang membahas isu-isu kontemporer dengan

pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagaimana kitab Mut’ah

al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, Ja’far Subhani menjadikan

hadis-hadis Sunni sebagai argumentasi untuk merekonstruksi

pemikirannya. Sehingga penelitian lintas madzhab seperti ini

perlu dilestarikan demi menjunjung tinggi kejujuran ilmiah.

Berdasar kepada kesimpulan penelitian, penulis

meyaikini bahwa praktek nikah mut’ah adalah praktek

pernikahan yang syari’atnya sudah dihapus dan diharamkan

selamanya. Untuk itu, secara pribadi penulis menghimbau

kepada masyarakat untuk membangun kehidupan rumah

tangga dengan akad yang sah, akad yang tidak ada batasan

waktu dalam membangun rumah tangga. Karenabsalah satu

prinsip dalam berumah tangga adalah melestarikan keturunan

yang baik dan menjaga keutuhan berkeluarga.

Page 201: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

183

DAFTAR PUSTAKA

‘Ali> Mahdavirad, Muhammad. Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Ind al-Syi>’ah al-Ima>miyyah. t.tp.: Nasyr Hastami> Nama>,

2010.

‘Askari, Murtadho. al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m. Beirut.

t.pen, t.th.

Abdullah al-Zar’i, Abdurrahman. Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n. Kuwait. Da>r al-Arqa>m, 1983.

Abi Hatim, Ibnu. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Riyadh: Nazzar

Al-Baz, 1997.

Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah. Beirut. Darul Fikr al-‘Arabi, t.th.

Abu> Sya’bah, Muh}ammad bin Muh}ammad al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \.T.tp.: T.p., t.t.

Abu> Zahra>’, Muhamaad. al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu. Beiru>t. Da>r al-Fikr, t.th.

Abu> Zahrah, Muhammad. Us{u>l al-Fiqh. Mesir: Da>r al-Fikr al-

‘Arabi>, 1958.

Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-Sala>m,

2003.

Al-‘Amili, Zainuddin. al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Qum.

Al-Mufid, 1421 H.

Baihaqi. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah,

2003.

BazRmul, Muhammad Ibnu. Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛. Arab Saudi: Ummul

Qura, 1413 h.

Bustamin dan M. Isa H.A. Salam. Metodologi Kritik Hadis .Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Page 202: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

184

CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991.

Al-Dihlawi, Abdul Haq. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|. Beirut: Darul Basya’ir Islamiyyah, 1986.

Al-Dimasqi, Syamsyddin. al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah. Jeddah.Muassasah

Ulumul Qur’an, 1992.

Al-Dzahabi, Syamsuddin. Sair A’la>m al-Nubala>’. Libanon.

Darul Afkar Dauliyyah, 2004.

Al-Ha>di al-Fad{l, Abd. Usu>l al-H{adi>s\. Beirut. Markaz al-

Gadir, 2009.

H>}ajar al-Asqala>ni<, Ibnu. Taqri>b al-Tahz|i>b. t.kot.: Daarul

‘Ashimah, 1420 H.

Tahz|i>b al-Tahz|i>b. India: Majlis Da’irah Ilmiyyah, 1908.

al-Is}a>bah fi ma’rifah al-Sah}a>bah. Beirut: Dar Al-Kutub,

1995.

Lisa>n al-Mi>za>n. Beirut: Daarul Basya’ir, 2002. Nuzhah al-Naz}r. Cairo: Daarul Ma’sur, 2011.

Fath} al-Ba>ri>. Bairut: Darul Fikr, 2012.

H{a>ris Suhaymi, Ahmad.Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp. Da>r al-Sala>m,

2003.

Hatim, Abu. al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Beirut: Darul Kutub, 1952.

Hazm, Ibnu. Al-Muh}alla>. Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.

Hibban, Ibnu. al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n. Riyadh: Darus

Samai’i, 2000.

Hisyam, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Daarul Kitab

Arabi, 1990.

Ibn Hazm. Al-Muh}alla>. Mesir. Al-Muniriyyah, 1351 H.

Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, Ibrahim. al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{. Riya>d}: al-

Maktabah al-Rasyd, 1998.

Page 203: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

185

Ibnu Hajjaj, Muslim. S}ah}i>h} Muslim. Riyadh. Baitul Afkar

Dauliyyah, 1998.

Ibnu Mat{ar al-Zahrani, Muhammad>. Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr . Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>\,

1996.

Ibrahi>m Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{ .Riyad}: al-

Maktabah al-Rasyd, 1998.

Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar al-Salam, 1995.

Ilahy al-Zahi>r, Ihsan. al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh. al-Riyad: Dar al-Salam, 1995.

Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Al-Jauzi>, Ibn. Kasyf al-Musykil. Riyadh: Darul Wathon,

1997.

Jawa>d Ka>d}im, Muhammad. al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah Lebanon: Da>r al-

Ra>fid}i>n, 2013.

Katsir, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Darul Ma’rifah,

1876.

Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amazon, 2010.

Al-Ma>mqa>ti>, Abdullah. Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, t.th.

Muhammad Tijani, As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan

Musawa. Cianjur: Titian Cahaya 2005.

Naisaburi, Hakim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini. Beirut:

Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2002.

Al-Nawawi. Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim. Riyadh:

Baitul Afkar, t.th.

Page 204: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

186

Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu. Za>d al-Ma’a>d. Beirut: Al-

Risalah, 1998.

Al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n. Mafa>tih} al-Ghaib. Cairo: Daarul

Hadis, 2012.

Al-Razza>q, Abd. Mus}annaf. Pakistan: Majlis Ilmi, 1983.

Rusyd, Ibnu. Bida>yah al-Mujtahid. Cairo: Maktabah Ibnu

Taimiyyah, 1415 H.

Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih . Jakarta. Pustaka

Kausar, 1997.

Shadr Al-Kazhimi, Hasan. Niha>yah al-Dira>yah. t.kot.:

Maktabah Mu’min Quraisy, t.th. Shihab, Quraish. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati, 2013.

Shalahuddin Al-Shofadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t. Beirut. Dar

Ihya Turas|, 2000.

Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibn al-S}ala>h{. Beirut: Darul Fikr,

t.th.

Subh{ani, Ja’far. Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah.

Qum: Mu’assasah Imam Shodiq, 2002.

Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Beirut: Da>r

Jawa>d al-Aimmah, 2012.

Suh}aymi>, Ahmad Haris. Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-Sala>m,

2003.

Al-Su’u>d, Rabi>’ bin Mah{mu>d. Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m .Cairo:

Maktabah Ibn Taimyah. 1414 H.

Al-Suyuti, Jalaluddin. al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r. Kairo: Al-Muhandisin, 2003.

Al-Suyuti, Jalaluddin. T}abaqa>t al-H}uffaz}. Beirut: Darul

Kutub Al-‘Ilmiyyah 1983.

Al-Syaukani, Muhammad. Nail al-Aut}a>r. Beirut: Baitul

Afkar, 2004.

Page 205: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

187

Al-Syinqithi. Ad}wa>’ al-Baya>n. Jeddah. Daarul ‘Ilmi Fawaid,

th.

Syirazi, Nasir Makarim. Inilah Akidah Syi’ah .Kuwait:

Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009.

Al-T}ah}h}a>n, Mahmud. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s .Riya>d{:

Makatabah al-Ma’a>rif Li Nasyr wa al-Tawzi>’,

2010.

Taimiyyah, Ibnu. Miha>j al-Sunnah. t.kot.: t.cet, 1987.

Tijani As-Samawi, Muhammad. Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan

Musawa. Cianjur: Titian Cahaya, 2005.

Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r. Beirut: Darul Gharb Islami,

1996.

Waki>’. Akhba>r al-Qud}a>h. Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.t.

Al-Warda>ni>, S{a>lih{. ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud. Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.

Al-Z|ahabi>, Syamsuddin. al-Ka>syif. Jeddah: Daarul Qiblah,

1992.

Page 206: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

188

Page 207: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA

Biodata Penulis

Penulis, bernama Ceceng Muhajir, pernah

melakukan perlawatan ilmu di Pondok

Pesantren Al-Istiqamah Tasikmalaya, Pondok

Modern Miftahul Hidayah Tasikmalaya,

Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin

Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (S1) melalui

Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) PD Pontren

Kementrian Agama RI dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(S2) melalui program Kaderisai Seribu Ulama DDII-BAZNAS.

Kegiatan sehari-hari penulis adalah dosen Ulumul Qur’an dan

Usul Fikh di STAINU Tasikmalaya (2012-2013), dosen PAI di

PKN STAN Jakarta dan guru madrasah di MTs Miftah

Assa’adah. Penulis tengah dikaruniai istri, Arini Gina Aza dan

satu putri, Naffa Karima Nuroin (9 bulan).

Page 208: HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA