198
HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH (Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah) Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag.) Ceceng Mumu M uhajirin NIM: 2113034000022 Dosen Pembimbing: Dr. Sahabuddin, Lc., M .A. MAGISTER JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB NISA’fi> al-Kita>b

  • Upload
    others

  • View
    38

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB

MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH

(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah

Mut’ah)

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Agama (M.Ag.)

Ceceng Mumu M uhajirin

NIM: 2113034000022

Dosen Pembimbing: Dr. Sahabuddin, Lc., M .A.

MAGISTER JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

:

ST}RAT PERI\TTATAAN

Yang bstaoda a$n di hwah ini :

Nama

NIM

Fakultas

Jurusan/ Prodi

Alamat

fasimelaya

Hp

Alamatdi Tangsel

Ceceng Mumu Muhqiirin

2tl3g3d000pl22

USuhddin

Iladis

Tamansari Kel.Tamaqiaya Ko. Tamansari Kota

081381224426

Padgi r ^{rer RT/RW 00UOA7, Ket Padgi l^ama Kec.

Judul Tesis

Pondok Alerr, Kota Tangerang S€latan

: IL DI&IIADIS SI]NM DAIlLfr{ KITAB MAT"AEI ALt rsE' n er-ruraa vA ANaNtilE

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa i

l. Tesis yaag saya qiukao adalah ben*r asli krya ilmiah yaag mya tulis

$endiri.

2. Bilamaoa t€sis Glah dimunaqasyahkan dan diwqiibkan revisi, maka s6y6

bersedia merevisi dalam uaktu 2 (dua) bulan tshitung dari tanggal

munaqasyalL jika lebih dari 2 (&n) bulan revisi tesis belrm terselesaikan"

maka saya bersdia dinyatakm gpgur de bersedia muoaqqsyah kembati

dengan biaya sendiri

3. Apabila kemrdian hari temyata diketahui bahwa knyatssebut bukan karya

ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia meoaoggmg sarksi rmtuk

dibatalkan gelar kesarjnlaan saya

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnyaF,-.*.Y

w

Iar@l9FeSmai 2018

Nn/{.2tt30-34$00022

PEXTrcESAHAN PA}iIITTA UNAN

Tesis bedldd Hadis.hrds Smi drle Kit* Ilfu'& At-Nif i llXnab' Va

Al-SrnoEb telah diujikm dalam sidang mrnqasah Program Magiste Fakultas

Ushultddin LJIN $yuif Hidcyatutlah Jetcta pad* tmggal 19 Februai 2018.

Tesis ini telah ditqima sobagsi sakh satu syrat memperoleh gelr Magister

Agama (M.A$ pada progran Strdi Tafsir Hdis Kosentrasi Hdis.

Jakrtq /5 &{i 2018

SidogMtne1ryab

Ketua Sidmg

WV^Dr. Atiyetult lytM-A"

Penguji I

Pembimbing Tesis

1!t

tx

.1

tt*tautma, M.A

v

MOTTO

مام العمريطي: قال اإل

ع ف ر ه اعتقاد بس ح تيف ال اذ

تفع ين لمد تق يع لممن وكل

Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar

keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu,

ia tidak akan dapat mengambil manfaatnya

Keberkahan hidup itu ada pada

HALAL, ORANG TUA, DAN GURU

Perhatikan dan renungkan kebaikan serta perhatian

orang tua, keluarga, para guru, teman, dan “orang-

orang sekitarmu”

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tesis ini aku pesembahkan kepada:

Istriku Arini Gina Aza & Putri pertamaku Naffa Karima Nuroin (10 bulan)

Kedua Orang Tua

Hidupku ada, karena hidupmu ada. Banyak hal yang telah engkau

korbankan untuk hidupku, tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dalam suka

maupun duka. Semoga hal-hal tersebut menjadi pahala agung dan muliah di

sisi Allah S.W.T. Amin.

Kakakku dan adikku tercinta

Kakak-kakaku (Teteh Enung, Teteh Dede, Teteh Yayi, Aa Cecep), yang selalu

memberi dukungan moral dan material selama pencarian ilmu ini. Semoga

rumah tangga kalian tetap dalam bingkai yang penuh dengan hiasan cinta,

kasih sayang, dan sejahtera. Dan untuk Adik-adikku (Salman Alfarisi dan

Muhammad Tafrij Muwahhid). Semoga kalian menjadi teman seperjuangan

di masa yang akan datang. Amin.

Almamaterku

Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Kehadiranmu di hatiku sejak tahun 2014 telah banyak

mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan pengalaman yang kau

berikan bermanfaat dan barakah. Amin.

DDII BAZNAS

Melalui program beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu Ulama), DDII dan BAZNAS

telah menjadi sponsor atas kelancara perkuliahan magister ini. Semoga

program ini menjadi amal jariyah bagi seluruh jajaran staf dan

kepengurusan DDII dan BAZNAS serta para MUZAKKI. Amin.

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penulisan skripsi ini

berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan

0543b/U/1987.

I. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alif ……. Tidak dilambangkan أ

Ba’ b be ة

Ta’ t te د

Tsa’ s| Es titik atas ث

Jim j Je ج

Ha’ h} ha titik bawah ح

Kha’ kh Ka dan ha خ

Dal d De د

Zal ż Zet titi katas ذ

Ra’ r Er ر

Zai z zet ز

viii

Sin s Es ش

Syin sy Es dan ye ش

Shad ṣ Es titik bawah ص

Dhad ḍ de titik bawah ض

Ta’ ṭ Te titik bawah ط

Za’ ẓ Zet titik bawah ظ

Ayn …‘… Koma terbalik di atas‘ ع

Gayn g Ge غ

Fa’ f Ef ف

Qaf q Qi ق

Kaf k Ka ك

Lam l El ل

Mim m Em و

Nun n En

Waw w We و

Ha’ h Ha

Hamzah …’… apostrof ء

ix

Ya’ y Ye

II. Konsonan rangkap karena tasydid ditulis rangkap:

ditulis muta‘aqqi >din

ditulis ‘iddah

III. Ta’ marbutah di akhir kata

1. Bila dimatikan, ditulis h:

ditulis hibah

ditulis jizyah

(ketentuan ini tidak diperlukan terhadap kata-kata Arab yang sudah

terserap kedalam bahasa Indonesia seperti zakat, shalat dan sebagainya,

kecuali dikehendaki lafalaslinya).

2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t:

ditulis ni’matullah

ditulis zaka>tul-fit}ri

IV. Vokal pendek

ditulis a contoh ditulisd}araba (fathah) ــ

ditulis i contoh ditulisfahima (kasrah) ــ

ditulis u contoh dituliskutiba (dammah) ــ

V. Vokal panjang:

1. Fathah+alif ditulis ā (garis di atas)

ditulis j āhiliyyah

2. Fathah+alif maqsur, ditulis ā (garis di atas)

يتعقدي

عدح

هجخ

جسيخ

عخ هللا

زكبح انفطر

ضرة

فهى

كتت

جبههيخ

يسع

x

ditulis yas‘ā

3. Kasrah+ya’ mati, ditulis ī (garis di atas)

ditulis majī >d

4. Dammah+wau mati, ditulis ū (garis di atas)

ditulis fur ūd

VI. Vokal rangkap:

1. Fathah+ya’ mati, ditulisai

ditulis bainakum

2. Fathah+wau mati, ditulis au

ditulis qaul

VII. Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata, dipisahkan dengan

apostrof

ditulis a’antum

ditulis u‘iddat

ditulis la’insyakartum

VIII. Kata sandangAlif+Lam

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al-

ditulis al-Qur’a>n

ditulis al-Qiya>s

2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, sama dengan huruf qamariyah

ditulis al-Syams

ditulis al-Sama>’

يجيد

فروض

ثيكى

قىل

ااتى

اعدد

شكرتىنئ

انقرا

انقيبش

انشص

انسبء

xi

IX. Huruf besar

Huruf besar dalam tulisan Latin digunakan sesuai dengan Ejaan Yang

Disempurnakan (EYD).

X. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut

penulisannya

ditulis z|awi> al-furu>d

ditulis ahl al-sunnahi.

ذوي انفروض

انسخأهم

xii

ABSTRAK

Ceceng Mumu Muhajirin

Hadis-hadis Sunni dalam Kitab Mut’ah al-Nisa>’fi> al-Kita>b wa al-Sunnah

(Analisis terhadap Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Mut’ah)

Ja’far Subhani adalah representasi ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah

kontemporer yang hidup di abad ke-21. Dia senantiasa mendakwahkan ajaran-ajaran

Syi’ah ‘Asyariyyah, termasuk ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama

pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan bahwa nikah mut’ah

adalah ajaran yang absah dan tidak pernah terjadi penghapusan hukum tentang

legalitasnya. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah bukti konkrit

yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang kontinuitas legalitas

nikah mut’ah. Dalam kitab tersebut, Ja’far Subhani melakukan konstruksi legalitas

nikah mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Padahal seluruh ulama Sunni

telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah,

status hukumnya telah dihapus dan diharamkan sampai hari kiyamat. Hal inilah yang

mendorong penulis untuk menganalisis pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang

hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.

Penelitian terhadap pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis

Sunni tersebut, menggunakan teori kritik hadis yang dirumuskan oleh Mus}t}afa> al-A’z}ami dan teori validitas yang dirumuskan oleh Abdul Mustaqim. Berdasarkan

teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami, sebuah produk pemikiran yang berupa

interpretasi atau pun analisis-analisis terhadap sebuah data bisa dinilai valid jika

tidak terjadi kekacauan (id}t}ira>b) setelah dilakukan verifikasi dengan langkah-

langkah berikut: jam’ al-Us}ul ka>ffah (mengumpulkan data-data yang asli dari

sumbernya secara sempurna), is|ba>t s}ih}h}ah al-nus}u>s} (validasi keaslian teks), tah}li>l al-nus}u>s} li al-tah}aqquq min ma’na> al-alfaz} min mura>dif al-mu’allif (analisis ma’na teks

untuk mengetahui maksud author teks), dan marh}alah al-naqd al-salabi> li ma’rifah s}idq al-ra>wi wa ‘ada>latihi (analisis integritas periwayat hadis). Adapun teori

kebenaran yang dirumuskan Abdul Mustaqim adalah teori kebenaran koherensi,

korespondensi, dan pragmatisme.

Berdasarkan metode penilitan di atas, pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani

tentang hadis Sunni adalah hasil rekonstruksi atas pengutipan riwayat-riwayat d}a’if, interpreatasi subjektif, merubah redaksi matan hadis, dan inkonsistensi dalam

penilaian hadis. Sehingga, penulis menilai bahwa pemikirannya tentang hadis-hadis

Sunni tidak valid.

xiii

البحث ملخص

تشيتشينج مومو مهاجرين

المتعة في الكتاب والسنة أحاديث أهل السنة في كتاب

بحاني عن أحاديث نكاح المتعة( التعليق و )بحث فهم جعفر الس

بحاني جعفر رأي عن يبحث البحث هذا ة الحاديث وفهم درجة بيان في الس هلأ عند المروي

نة تعة نكاح عن الس تعة ) كتابه في الم نة الكتاب في النساء م بحاني جعفر ). والس و الس من ه

لماء يعة ع راءأنشر علي ي واظب كان ين والعشر الواحد القرن في عاش الذي رية عش اإلثني الش

يعة م ون له فع كما عشرية اإلثني الش تقد كم في ومنها .منه م الم تعة نكاح ح و الم نكاح بأن يجزم وه

تعة وخ غير جائز الم ا منس تعة ) كتابه في بينه كم نة الكتاب في النساء م الكتاب هذا وفي (والس

بحاني وشيد ن بي نة هلأ بأحاديث ذاه وتفكيره رأيه في الس فق وا قد أنه م مع , الس وا ات علي وجزم

رمة تعة نكاح ح دا حراما الم ؤب وخ وأنه م و فهذا, منس بب ه الكتاب هذا تأليف إلي دفعه الذي الس

تعة ) ة الكتاب في النساء م ن (والس

بحاني جعفر رأي بحث في الباحث وينهج ه ل أو .نهجين م الس ه الحديث نقد في منهج استعمل فإن

يخ نهج م ة في نهجه م ثانيا, عظمي ال يم صطف الش لحي نظري ه (validity )ة الص استعمل فإن

ستقيم عبد منهج يخ نهج م علي بناء .الم فكيرات أن عظمي ال يم صطف الش تك ون والراء الت

وص الن وتثبيت ال صول جمع بعد م ضطربة غير كانت إذا صحيحة لتحقيق وذلك وتحليلها ص

ها الذي المعاني ؤلف ي ريد وصدقه الراوي عدالة معرفة في الم

ا فكيرات وأم وافقة كانت اذا صحيحة فتك ون الت هي ة التي ال م ور باعتبار م

واف ق ( coherence)التساق وبناء . .(pragmatism )والبرجماتية (correspondence )والت

بحاني جعفر رأي فإن , المنهج هذا علي ة أهل أحاديث حول الس ن عتم الس واية نقل يعل دام الر

عيفة فسيرات الض ة والت جعفر تفكير أن الباحث جزم فبذلك .الحديث متن وتحريف الشخصي

بحاني نة أهل أحاديث حول الس تعة ) كتابه في الس .ة ح ي ح ص ر ي غ ( ة ن والس الكتاب في النساء م

xiv

ABSTRACT

Ceceng Mumu Muhajirin

Hadiths Ahl- al-Sunnah in the book "Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah

(Analysis Commentary and interpretation of Ja’far Subhani about marriage of

mut’ah hadiths)

Ja'far Subhani is the twelve-year-old Shia scholar who lives in the 21st

century. He, as did his first scientists, continues to report the teachings of the

Twelve Shiites, including the mut’ah. He insists that the mut’ah is one of the true

teachings of Islam, and that Islam will never eliminate his legality. The book " Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah " is a proof reference to the thoughts of the

continuation of the legality of mut’ah according to Jafar al-Sobhani. In that book,

Jafar Subhani tries to construct his thoughts in the Hadiths of the Ahl al-Sunnah,

and whereas they have argued that the marriage of mut’ah is forbidden, and its

ruling is haraam eternally. So this academic problem motivates this search.

The researcher in the research of the ideas of Jafar Subhani, used two

theories. They are the theory of hadith criticism poured by Must}afa> Al-Az}ami> and

the theory of validity poured bya Abdul Mustaqim. Based on the first theory, that

the thought will be true if it is not disturbence after the consideration of these

stages. There are collection of all the assets and proof of texts, text analysis to

verify the meaning of the words of the author, and external criticism to know the

accuration of the narrator and his integrity. Based on the second theory, the thought

would be true if it was approved by the following theories. There are coherence,

correspondence, and pragmatism.

Based on this approach, Jafar Subhani's thought about the hadiths of Ahl al-

Sunnah had been constructed with the transmission of the h{adith d}a’i>f, subjective

interpretations and falsification of the hadith. Thus, the researcher argued that the

thought of Ja’far Subhani on the hadith of the Ahl al-Sunnah in his book "The

pleasure of women in the Qur'aan and Sunnah" are not valid.

xv

KATA PENGANTAR

Alhamdu lilla>hi rabb al-‘a>lami>n, dengan qudrah dan iradah-Nya, Allah

s.w.t menggerakkan diri yang lemah ini untuk menyelesaikan penelitian yang

cukup berliku-liku. Dengan rahma>n dan rahi>m-Nya, segala hambatan dan

kesulitan, bisa dilalui dengan mental kesiapan dan kesanggupan yang Engkau

berikan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Panutan

semua makhluk, yang senantiasa menegakan kebenaran dan kejujuran yaitu Nabi

Muhammad SAW.

Tema yang penulis teliti adalah Hadis-hadis Sunni dalam Kitab Mut’ah Al-

Nisa<’ Fi< Al-Kita<b Wa Al-Sunnah. Pada dasarnya penelitian ini disusun untuk

memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Magister Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi

tidak hanya itu, semoga tulisan ini menjadi langkah awal bagi penulis untuk

memperoleh mentalitas keilmuan baru dalam wilayah al-dira>sah al-

isla>miyyah.A<mi>n.

Penelitian ini merupakan penelitian lintas madzhab yang sudah penulis

niatkan sejak waktu yang cukup lama. Sejak pertama kali mengenal kajian hadis

dan ilmu hadis madzhab Syi’ah, penulis langsung tertarik untuk mengkaji lebih

mendalam lagi. Nikah Mut’ah adalah salah satu topik yang sangat populer di

masyarakat baik Sunni atau pun Syi’ah. Gari pembeda antara keduanya, Sunni

memandang bahwa ajaran nikah mut’ah sudah final tentang penghapusannya.

Sedangkan Syi’ah tidak mengakui tentang penghapusan hukum nikah tersebut.

Bahkan penolakan terhadap penghapusan tersebut direkonstruksi dengan

menggunakan hadis-hadis Sunni. Oleh karena, penelitian ini pada dasarnya

adalah klarifikasi dan sekaligus menguji validitas pemahaman dan komentar

ulama Syi’ah kontemporer, Ja’far Subhani, terhadap hadis-hadis Sunni tentang

nikah Mut’ah.

xvi

Dalam proses penyusunan Tesis ini, peneliti banyak mendapatkan bantuan,

bimbingan, motivasi, saran dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu

peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta

Pembantu Dekan.

3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister Hadis

Fakultas Ushuluddin.

4. Maulana, M.Ag. selaku sekretaris Progam Studi Magister Fakultas

Ushuluddin.

5. Toto, S.Th.I, selaku Pegawai Tata Usaha Fakultas Ushuluddin.

6. Dr. Sahabuddin, Lc., MA., selaku Dosen Pembimbing, yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan

inspirasi sejak awal penyusunan hingga selesainya skripsi ini di tengah

kesibukannya.

7. Guru-guru kami, para dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah menyampaikan ilmu-ilmunya serta karyawan Fakultas

Ushuluddin yang telah memfasilitasi dan memperlancar proses perkuliahan.

8. Ibu dan Bapak, serta kerabat-kerabat yang selalu mengiringi do’a dalam

perjalanan hidup ini.

xvii

9. DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesi) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat

Nasional) tahun 2014 yang telah bekerja sama atas terselenggaranya program

beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu Ulama) dan menjadi sponsor penulis

sampai program studi magister selesai.

10. Teman-teman angkatan 2014 Mahasiswa Magister Fakultas Ushuluddin. Kita

adalah generasi penerus nilai-nilai agama dan bangsa. Semoga 15 tahun ke

depan kita mampu membangun peradaban mulia yang bermanfaat bagi

masyarakat sekitar. A>mi>n. . .

Walaupun tesis ini telah selesai dalam pengerjaannya, namun masukan

dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan. Karena penulis

menyadari karya ini masih ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga

karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, dan mampu

memberikan sumbangsih bagi dunia intelektual, khususnya dunia Tafsir Hadis.

A>mi>n.

Tangerang Selatan, 19 Februari 2018

Penulis

Ceceng Mumu Muhajirin

xviii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................................. i

Halaman Nota Dinas ........................................................................................................ ii

Surat Pengesahan ............................................................................................................. iii

Surat Pernyataan............................................................................................................... iv

Halaman Motto ................................................................................................................ v

Halaman Persembahan ..................................................................................................... vi

Pedoman Transliterasi Arab-Latin ................................................................................... vii

Abstrak ............................................................................................................................ xii

Kata Pengantar ................................................................................................................ xv

Daftar Isi ......................................................................................................................... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1

B. Pembatasan Masalah .......................................................................................... 8

C. Perumusan Masalah ............................................................................................ 11

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 11

E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………..... ................ 12

F. Metode Penelitian ............................................................................................... 16

G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 19

BAB II.OTENTISITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN SYI’AH .................... 21

A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syiah ...................................................... 21

1. Konsep Hadis Menurut Sunni ................................................................ 21

2. Konsep Hadis Menurut Syiah ................................................................ 23

xix

B. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni dan Syiah ..................................... 26

1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni .............................................. 26

2. Sejarah Kodifikasi Versi Syiah .............................................................. 30

C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan Syiah ....................... 34

1. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni ................................ 34

2. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Syiah ................................ 37

D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut

Sunni dan Syiah........................................................................................... 38

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut

Sunni ...................................................................................................... 38

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut

Syiah ...................................................................................................... 39

E. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut Sunni

dan Syiah ....................................................................................................... 41

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut

Sunni ...................................................................................................... 41

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Periwayat Menurut

Syiah ...................................................................................................... 45

F. Perbedaan Sunni dan Syiah tentang Standarisasi Kesahihan Hadis ............. 49

BAB III. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR SUBHANI } ................ 53

A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah ..................................................................... 53

B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa

al-Sunnah ...................................................................................................... 61

1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah ................................... 61

2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah .................................. 63

xx

C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani .................................................................... 68

1. Kedudukan Sunnah ................................................................................ 68

2. Pencetus Ilmu Dirayah ........................................................................... 70

3. Hadis Mutawatir dan Ahad .................................................................... 71

4. Klasifikasi Hadis Ahad .......................................................................... 76

5. Periwayat Maqbu>l .................................................................................. 79

6. Istilah-istilah Hadis Syiah ..................................................................... 81

7. Nasikh Mansukh .................................................................................... 86

8. Keadilan Sahabat ................................................................................... 87

9. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani ...................................................... 93

BAB IV. VALIDITAS PEMIKIRAN JA’FAR SUBHANI TENTANG HADIS-HADIS

NIKAH MUT’AH DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA

AL-SUNNAH ...................................................................................................... 94

A. Nikah Mut’ah di Awal Islam .......................................................................... 94

B. Riwayat Tafsiriyyah Surat Al-Nisa’ 24 ........................................................... 104

1. Makna istimta>’ ........................................................................................... 107

2. Tafsir Al-Nisa’ Ayat 24 .............................................................................. 112

3. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Para Sahabat dan Tabi’in .......................... 120

4. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Ibnu Umar ........................................... 125

C. Keberatan Ali bin Abi Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab ............... 127

D. Hadis-hadis Dhoif tentang Penghapusan Nikah Mut’ah ................................. 141

1. Hadis mi>ra>s| Riwayat Ibnu Mas’ud ............................................................. 142

2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib ................................................ 145

3. Hadis Penghapusan Nikah Mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n ............... 150

E. Kontradiksi Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah ............................................ 157

xxi

BAB V. PENUTUP ......................................................................................................... 164

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 164

B. Saran-saran ....................................................................................................... 172

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 173

CURRICULUM-VITAE

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis dalam perspektif Sunni dan Syi’ah pada dasarnya mengandung arti

catatan biografi yang berasal dari figur sentral dan diriwayatkan melalaui jalur

periwayatan terpercaya. Sebagaimana dalam tradisi Sunni, hadis dalam tradisi

Syi’ah, merupakan asosiasi dari dua sistem konstruktif, yaitu sanad (aspek

wuru>d) dan matan (aspek d}ila>lah). Dalam tradisi ilmiah Sunni dan Syi’ah, sanad

dan matan hadis adalah dua aspek penting yang harus diteliti dalam rangka

klarifikasi dan verifikasi tentang validitas dan originalitas sebuah hadis.

Untuk melakukan kerja ilmiah tersebut, baik Sunni atau pun Syi’ah

masing-masing menggunakan pisau analisis dengan pendekatakan Ilmu Riwayah1

dan Ilmu Dirayah. Kedua ilmu ini masing-masing diakui oleh Sunni dan Syi’ah

sebagai sebuah produk asli yang diwariskan oleh ulama-ulama mereka

sebelumnya. Terlepas dari perdebatan2 tentang siapa pertama kali yang

1 Imam Suyuti (w. 911 h.) dalam pendahuluan kitab Tadri>b al-Ra>wi>, mengutip pendapat

Al-Akfani (w. 794 h.) bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Riwayah adalah ilmu yang membahas

cara meriwayatkan sabda, perbuatan Nabi saw, serta tentang periwayatannya, pemeliharaannya,

dan penguraian lafazh-lafazhnya. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang membahas hakikat

periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, tentang rawinya, serta

syarat-syarat rawinya, dan yang berkaitan dengannya. Lihat Tadri>b al-Ra>wi, Juz 1, (Beirut:

Maktabah Al-Kaitsar, 1415 H), h. 25

2Hasan Shadr (w. 1354 h.), dalam kitabnya, Ta’si>s al-Syi>’ah, menjelaskan bahwa pencetus

ilmu dirayah dari kalangan Syiah adalah al-Ha>kim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Ha>fiz{ al-Naisa>b>u>ri> (w. 405 h.), yang terkenal dengan sebutan Imam Hakim. Dalam penulisan

naman`ya, Hasan al-Shadr mencantumkan al-ima>miy al-Syi>’iy. Ini menandakan bahwa ulama

Syiah seperti Hasan Shadr mengklaim bahwa Imam Hakim termasuk salah satu ulama hadis

Syiah. Hasan Shadr menegaskan bahwa ulama besar seperti Ibnu Taimiyyah dan al-Dzahabi

menyatakan kesyiahan Imam Hakim. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-Dzahabi dalam Taz|kirah Al-H}uffa>z} ketika memaparkan riwayat hidup Imam Hakim. Lihat dalam Hasan al-Shadr, Ta’si>s al-Syi>’ah, (Irak: Dar al-Kutub al-‘Iraqiyyah, 1901), h.294. Sedangkan menurut Ja’far Subhani,

2

mencetuskan ilmu riwayah dan ilmu dirayah, pada umumnya dua kelompok Islam

ini menggunakan term-term konseptual ilmu hadis yang sama, termasuk ilmu

turunan Ilmu Hadis seperti ‘Ilm Rija>l al-H}adi>s|, ‘Ilm Na>sikh Mansu>kh Hadis, Ilm

Jarh wa Ta’dil, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, dan lain sebagainya. Melihat

perkembangan Ilmu Hadis Sunni dan Syi’ah, kitab-kitab ilmu hadis secara

implisit ingin menyuarakan pada dunia akademik bahwa teori-teori Ilmu Hadis

yang ditawarkan bukan sekedar plagiasi atau rekayasa, tetapi merupakan hasil

penelitian yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu.

Ilmu Hadis Sunni dan Ilmu Hadis Syi’ah, pada dasarnya memiliki tujuan

yang sama terkait penyelesaian problematika kajian hadis, yaitu aspek wuru>d dan

aspek d}ila>lah.3 Tetapi masing-masing memiliki corak perbedaan yang signifikan.

Ketika berbicara tentang definisi hadis S}ah}i>h}, hadis D}a’i>f, atau periwayat s|iqah,

maka masing-masing memiliki stressing makna yang berbeda dan tentunya

memiliki implikasi yang berbeda pula. Sehingga pernyataan-pernyataan

keagamaan tentang satu masalah jarang sekali berada dalam kesepakatan. Ini

ulama Syiah yang pertama kali mencetuskan Ilmu Dirayah adalah Jamaluddin Ahmad bin Musa

bin Ja’far bin Thawus (w.673 h.), yang terkenal dengan sebutan Ibnu Thawus. Tentang kesyiahan

Imam Hakim, Ja’far Subhani berpendapat bahwa Imam Hakim hanya sebagai syi>’iyyun bi al-ma’na> al-‘a>m (seorang syiah ima>miy dalam berarti umum). Dikatakan syiah karena Imam Hakim

termasuk ulama yang benci terhadap musuh-musuh Ali dan pecinta ahubait. Lihat Ja’far Subhani,

Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h. 10.

Sedangkan dalam karya-karya Ahusunah dipaparkan ada dua nama yang dianggap

pencetus ilmu dirayah. Yaitu Hakim Naisaburi (w. 405 h.) dengan karyanya Ma’rifah Ulu>m al-H}adi>s| dan Abu Muhammad al-Hasan Ramahurmuzi (w. 360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il bayn al-Ra>wi> wa al-Wa>’iz}. Namun karena dilihat dari tahun wafatnya, mayoritas ulama

hadis memilih Ramahurmuzi sebagai pencetus ilmu dirayah.

3 Pembagian dua problematika kajian hadis ini, penulis dapatkan dari Dr. Atiyatul ‘Ulya,

MA saat menyampaikan perkuliahan Pemikiran Hadis Kontemporer di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3

merupakan konsistensi atas penerapan doktri Syi’ah, yaitu ima>mah yang

terformulasi dalam kajian hadis.

Dalam bidang keagamaan, Ilmu Hadis adalah salah satu disiplin ilmu

yang dimiliki Syi’ah dan sarat dengan konsep ima>mah. Secara tegas ulama

Syi’ah mensyaratkan hadis harus perkataan, perbuatan, dan penetapan yang

disandarkan kepada seorang imam yang ma’s}u>m. Dalam definis hadis Syi’ah,

ima>mah dan ke-ma’s}u>m-an seorang periwayat sangat dipertimbangkan. Ketika

tidak sampai kepada seorang periwayat yang ma’s}u>m maka secara tegas Ilmu

Hadis Syi’ah menyatakan bahwa itu tidak termasuk hadis. Tetapi konsep ke-

ma’s}u>m-an dan ima>mah seorang periwayat tidak mutlak pada imam dua belas.

Ketika mendefinisikan hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan kata kunci yang digunakan

adalah ima>miyy, bukan ima>m4. Dua istilah, ima>miyy dan ima>m memiliki

stressing pemaknaan yang signifikan. Ketika yang digunakan dalam definisi

hadis s}ah}i>h} adalah istilah ima>m maka perbendaharan hadis Syi’ah akan banyak

yang tidak memenuhi kriteria. Sehingga banyak periwayatan yang tertolak.

Karena itu istiah ima>miy secara tidak langsung memperluas akseptabilitas

periwayatan yang tidak hanya bersandar pada seorang imam, tetapi juga

bersandar pada periwayatan seorang periwayat yang meyakini keimaman imam

dua belas.

Sama dengan ulama Sunni, ada dua macam hadis yang memiliki kualitas

terpercaya dan kuat untuk dijadikan h{ujjah dalam istinba>t} hukum. Yaitu hadis

4 Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-

A’immah, 2012), h. 52.

4

s}ah}i>h} dan hadis h}asan. Di dalam dua hadis ini, secara tegas, ketersambungan

kepada seorang imam atau periwayat ima>miy menjadi syarat mutlak. Dalam Ilmu

Hadis Sunni, yang menjadi garis pembeda hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan adalah

kualitas akurasi5 hafalan dan kredibelitas seorang periwayat

6. Sedangkan

menurut Ilmu Hadis Syi’ah, yang menjadi pertimbangannya adalah legal formal

tentang ‘ada>lah seorang periwayat. Jika periwayat tersebut adalah seorang

ima>miy, tetapi tidak ada dalil tentang ‘ada>lah-nya maka hadis seperti itu disebut

hadis h}asan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa untuk level hadis yang akan

dijadikan argumen dalam istinba>t} hukum, Ilmu Hadis Syi’ah secara ketat

mensyaratkan ima>miy bagi seorang periwayat hadis, baik ada bukti dalil atau

tidak tentang ‘ada>lah-nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh salah satu pemikir

hadis Syi’ah kontemporer bernama A<ya>tullah al-Uz}ma> al-Syaikh, Ja’far Subhani

dalam salah satu karyanya, Us}u>l al-H}adi>s| wa ah{ka>muhu> fi> ‘Ilm al-Dira>yah.

Ja’far Subhani, walaupun cukup tegas dalam membumikan konsep

ima>mah dalam kajian ilmu hadis-sebagaimana dalam karyanya- tetapi dia juga

5 Pada dasarnya ahi hadis awal sampai abad ketiga hijriyyah tidak secara eksplisit

mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shohih. Mereka hanya menetapkan kriterian-

kriteria informasi yang diperoleh, misalnya : periwayatan hadis tidak diterima kecuali kalau

diriwayatkan oleh orang-orang s}iqah, riwayat orang yang sering berdusta dan mengikuti hawa

nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan adalah tertolak, kita harus

memperhatikan tingkah laku personal dan ibadah yang meriwayatkan hadis, riwayat orang yang

kesaksiannya ditolak akan, maka riwayatnyapun tidak diterima. Lihat dalam Kamarudin Amin,

Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 16.

6Dalam tradisi Sunni, kriteria hadis s}ah}i>h} tidak mempertimbangkan ketokohan,

sebagaimana dalam tradisi Syiah. Ulama-ulama Sunni secara objektif pure mendasarkan ke-

s{ah}i>h}an hadis pada kualitas integrits personalnya. Bahkan tidak mempertimbangkan status

madzhab, Ahusunah, Syiah, atau Mu’tazilah, bahkan Khowarij. Imam Nawawi sebagaimana

dalam kitab Tadri>b al-Rawi, mensyaratkan hadis shohih sebagai berikut:

اهو و ل م دهاتص ن ابطين بالعدولس يرمنالض ل شذوذ غ علة و

Lihat Suyuti Tadrib al-Ra>wi> fi Syarh} Taqri>b al-Nawa>wi>, (Beirut: Darul Fikr, 1988), h. 63.

5

inklusif terhadap riwayat-riwayat Sunni. Dalam kajian hadis, Ja’far Subhani

adalah salah satu ulama hadis yang banyak mengutip hadis-hadis Sunni dalam

karya-karyanya. Salah satunya adalah kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-

Sunnah. Dalam karyanya tersebut Ja’far Subhani mengutip hadis-hadis riwayat

al-Bukha>ri, Muslim, al-Tirmiz|i>, Ah}mad ibn H}anbal dan lainnya.7

Ja’far Subhani adalah ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah kontemporer yang

hidup di abad ke-21. Dia senantiasa mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah

‘Asyariyyah, termasuk ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama

pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan bahwa nikah

mut’ah adalah ajaran yang absah dan tidak pernah terjadi penghapusan hukum

tentang legalitasnya. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah

bukti konkrit yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang

kontinuitas legalitas nikah mut’ah. Dalam kitab tersebut, Ja’far Subhani

melakukan konstruksi legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis

Sunni. Padahal seluruh ulama Sunni telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an

dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah, status hukumnya telah dihapus dan

diharamkan sampai hari kiamat.

Menurut penulis, buku Mut’ah al-Nisa> fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah

buku yang memuat dialektika dua pemikiran maz|hab Islam, yaitu Sunni dan

Syi’ah. Disebut sebagai kitab dialektis karena sang penulis, Ja’far Subhani,

adalah seorang ulama besar bermadzhab Syi’ah yang membela dan mengakui

legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan dalil-dalil hadis yang dikutip dari

7 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah Imam

Shodiq, 1423 H), h. 47-51.

6

kitab-kitab ulama Sunni. Seorang pembaca, interpreter, atau komentator

bermadzhab Syi’ah sangat menarik dan penting dikaji ketika membaca hadis-

hadis Sunni.

Nikah mut’ah adalah salah satu wacana yang banyak dibicarakan oleh

berbagai kalangan dan madzhab. Sunni dan Syi’ah adalah dua madzhab besar

yang memberi perhatian khusus tentang persoalan ini. Secara umum dua

madzhab Islam tersebut tidak bertemu pada satu pendapat yang sama tentang

status hukumnya. Sunni merupakan madzhab yang mewakili tentang keharaman

nikah mut’ah. Sedangkan Syi’ah tampil sebagai kelompok yang

membolehkannya. Wacana ini menjadi lebih intensif lagi ketika sebagian

penganut Sunni yang menyamakan nikah mut’ah dengan perzinahan. Padahal

ulama-ulama Sunni yang mengharamkan nikah mut’ah tidak sampai menyatakan

demikian. Menurut Quraish Shihab pandangan seperti ini dilatarbelakangi

dengan adanya praktek mut’ah yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang

telah ditetapkan oleh ulama yang membolehkannya.8 Dalam hal ini Ja’far

Subhani salah satu pemikir hadis yang melakukan kajian nikah mut’ah dengan

pendekatan hadis Nabi. Dengan mengutip hadis-hadis Sunni, Ja’far Subhani

kembali memperkuat pandangan madzhabnya tentang hukum nikah mut’ah.

Berangakat dari teori ‚kesadaran keterpengaruhan sejarah‛ (Historically

Effected Consciousness ), maka sikap Ja’far Subhani diasumsikan terpengaruh

dengan pemikiran madzhabnya. Selain itu, dengan latar belakang keilmuan dan

doktri maz|hab-nya, sikapnya terhadap hadis-hadis sunni tersebut akan menuai

8 Quraish Shihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 207-208

7

ragam pandangan. Sebagian akan menilai Ja’far Subhani hanya mencari dan

memunculkan titik kelemahan-kelamahan yang terdapat pada riwayat-riwayat

Sunni. Meskipun bagi sebagian lainnya pengutipan Ja’far tersebut dinilai sebagai

dialog akademik dan pemikiran hadis dalam rangka mengembangkan objektifitas

dalam membaca dan menilai sebuah riwayat9. Oleh karena itu menurut penulis,

penting melakuan penelitian terhadap sikap ilmiah Ja’far Subhani tersebut.

Berdasarkan data-data teoritis di atas penulis memiliki alasan objektif

terkait pentingnya penelitian hadis-hadis Sunni dalam karya Ja’far Subhani

tersebut. Pertama, sampai saat ini Syi’ah berikut simbol, gagasan, dan ajarannya

masih dipandang sebelah mata termasuk oleh sebagaian masyarakat Indonesia.

Syi’ah memperoleh justifikasi general sebagai kelompok sesat sehingga apa pun

yang keluar dari Syi’ah menjadi hal yang harus ditolak. Kedua, justifikasi yang

dilontarkan kepada Syi’ah pada dasarnya berawal dari pandangan seseorang

terhadap gejolak konflik Sunni-Syi’ah zaman klasik, tanpa mempertimbangakan

adanya pergeseran pemikiran di kalangan Syi’ah sendiri. Sehingga penelitian

terhadap karya original ulama Syi’ah penting untuk dilakukan, dalam rangka

klarifikasi dan memahami pemikiran hadis Syi’ah secara objektif. Ketiga, Ja’far

Subhani adalah tokoh representatif ulama Syi’ah kontemporer yang banyak

merespons wacana-wacana yang tengah membumi dengan pendekatan hadis

9Dalam setiap pendahuluan kitab-kitab yang ditulisnya, Ja’far Subhani sering

mengungkapkan:

اف ق د لن او ذهفيح ةه اس ر لسل ةالد س اانالمت ه ح طر لين اول ةع كون انعسي,الب حثط سيل ة ت وحيدو ةلت لم قريبالك ت و ي افيالخط ذ قله رفيخل ف ال يس فيه اف الخل ف,الح وه ينج وجب حتيواصولهالد ست اء ي د اء الع غض الب ا,و إنم هو و اخل ف ويفيم ل يههللاصلير سلمع .و

Lihat pendahuluan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah

Imam Shodiq, 1423 H), h. 4

8

Nabi. Dengan hadirnya di era kontemporer ini, penting dijadikan rujukan terkait

perkembangan kajian hadis Syi’ah kontemporer. Keempat, Ja’far Subhani lahir

dan hidup pada kondisi hermeneutik yang kental dengan doktrin-doktrin Syi’ah

Imamiyyah, sehingga aktifitas keilmuan yang sampai melintas ke pengutipan-

pengutipan riwayat Sunni akan menjadi topik menarik. Karena di satu sisi, Ja’far

Subhani konsisten dalam membumikan kaidah-kaidah ilmu hadis Syi’ah, tetapi

di sisi lain banyak mengutip hadis-hadis Sunni. Selain itu, sikap akademis

seperti ini akan memperlihatkan objektifitas atau subjektifitas Ja’far Subhani

dalam mengapresiasi hadis-hadis Sunni.

B. Pembatasan Masalah

Ja’far Subhani melakukan konstruksi argumentasi pemikirannya tentang

nikah mut’ah dengan pendekatan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis baik riwayat

sunni atau Syi’ah. Adapun penelitian ini fokus pada objek primer yaitu hadis-

hadis sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Peneliti juga

menjadikan hadis-hadis riwayat Syi’ah sebagai objek sekunder guna

mempertajam analisis dan sebagai data pelengkap dalam membantu pengambilan

kesimpulan. Selanjutnya, penelitian ini akan mengarah pada analisis kajian sanad

dan matan beserta analisis terhadap komentar-komentar yang dilakukan Ja’far

Subhani terhadap riwayat-riwayat sunni dan kemudian didialogkan dengan

komentar-komentar ulama sunni sebagai data pembanding.

Sunni yang dimaksud dalam penelitian ini adalah firqah isla>miyyah yang

dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.10

Dialah kelompok yang

10 Istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi saw mau pun di masa khulafa>’ al-Ra>syidi>n.

Bahkan tidak dikenal di zaman Bani Umayyah (41 – 133 H/ 611 – 750 M). Istilah ini untuk

9

mempunyai pengikut terbanyak di dunia Islam di banding pengikut-pengikut

madzhab lain. Madzhab ini didefinisikan sebagai madzhab yang berpegang pada

Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan mengikuti jama>’ah. Jama>’ah di sini maksudnya

adalah mayoritas kalangan sahabat baik masalah akidah atau pun hukum agama

Islam.11

Istilah ‚hadis Sunni‛ dan ‚hadis Syi’ah‛ pada dasarnya tidak pernah

digunakan dalam karya ulama klasik dalam kitab hadis atau pun ilmu hadis, baik

di kalangan Sunni atau pun Syi’ah. Dua istilah ini muncul dari pengamatan dan

penelitian atas dinamika wacana ilmu hadis,12

khususnya di kalangan Syi’ah yang

memasukan konsep ima>mah atau ima>mi dalam kajian ilmu hadis. Munculnya

dua istilah ini merupakan kesimpulan dari konstruksi epistimologi hadis Sunni

dan Syi’ah. Epistimologi tersebut bisa dilihat dari tiga poin pokok, yaitu sumber

pertama kali dipakai pada pemerintahan Abu> Ja’far Al-Mans{u>r (137 – 159 H/ 754 – 775 M) dan

kholifah Harun Al-Rasyid (170 – 194 H/ 785 – 809 M), keduanya adalah dari dinasti Abbasiyyah

(750 – 1258 M). Istilah ini semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan Khalifah Al-

Ma’mun (198 – 218 H/ 813 – 833 M). Pada zamannya, Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah, aliran

yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Qur’an dan akal sebagai madzhab resmi negara, dan ia

memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti paham ini terutama yang berkaitan

kemakhukan Al-Qur’an. Untuk itu Al-Ma’mun melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian

akidah terhadap para pejabat dan para ulama. Materi pokok yang diujikan adalah masalah Al-

Qur’an. Ketika itu mayoritas umat mempunyai kepercayaan bahwa Al-Qur’an adalah qodim .

Salah seorang yang kuat dan gigih mempertahankan paham ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal

(164 – 241 H). Penggunaan istilah ini makin populer setelah munculnya Abu Hasan Al-‘Asy’ari

(260 – 324 H/ 873 – 935 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w. 944 M) yang melahiran aliran

‘Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di bidang teologi. Dalam hubungan ini Ah al-Sunnah wa al-jama>’ah dibedakan dari Mu’tazilah, Qodariyyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain.

(‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298 - 299) baca juga Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press 1986), h. 62 – 65

11‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298

12 Beberapa penulis yang secara komprehensif mengkaji epistimologi hadis Sunni dan

Syiah adalah Ali Ahmad Salus dengan karyanya Ensiklopedi Sunnah-Syiah yang memaparkan

perbandingan dari sudut hadis dan fikih, Quraish Shihab dalam karyanya Syiah Sunni

mungkinkah bergandengan tangan? yang memaparkan perbandingan dari sudut teologi dan fikih.

Selain itu ada Fadhullah Muhammad Said yang melakukan penelitian hadis-hadis Ahusunnah

dalam tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i.

10

hadis, hakikat hadis, dan verifikasi otentisitas hadis. Sehingga yang dimaksud

hadis-hadis Sunni dalam penelitian ini adalah hadis-hadis yang bersumber dari

Nabi saw dan yang perawinya tidak disyaratkan harus periwayat yang

bermadzhab khusus seperti bermadzhab Syi’ah, Sunni, atau pun Khawarij. Tetapi

yang ditekankan adalah persambungan sanad, memiliki kredibilitas yang baik,

terhindar dari syaz| dan ‘illat.13 Hal ini berbeda dengan epistimologi Syi’ah.

Dalam tradisi Syi’ah hadis yang dijadikan h}ujjah adalah hadis yang disandarkan

kepada Nabi saw dan Imam Dua Belas. Dalam hal ini Imam Dua Belas sejajar

dengan Nabi saw. Selain itu, perawi hadis dalam tradisi Syi’ah sangat

dipertimbangkan ke-ima>mahan-nya. Berkaitan dengan epistimolgi tersebut,

penulis memposisikan hadis-hadis yang terdapat dalam kutub al-tis’ah adalah

hadis-hadis Sunni. Hal ini karena secara epistimologi perawi-perawi yang

terdapat pada kitab tersebut tidak mensyaratkan rawi seorang Syi’ah atau pun

madzhab lainnya.

Adapun hadis yang dimaksud pada penelitian ini tidak terbatas pada

riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw. tetapi termasuk juga riwayat yang

disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Hal ini menyesuaikan dengan data-data

yang terdapat dalam objek penelitian ini.

Pengarang kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah Ja’far Subhani,

adalah tokoh Syi’ah Ima>miyyah kontemporer. Sehingga Syi’ah dalam penelitian

ini fokus kepada Syi’ah Ima>miyyah atau Syi’ah Isna> ‘Asyariyyah atau

13 ‘Ajaz Khatib, Us}u>luhu wa Mus}t}ala>h}uhu, (Beirut Dar al-Fikr, 1989), h. 250.

11

Ja’fariyyah. Yaitu kelompok yang mempercayai adanya dua belas imam14

yang

seluruhnya adalah keturunan sahabat Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Al-Zahra,

putri Rasulullh saw. Kelompok ini adalah kelompok mayoritas dari tiga

kelompok besar Syi’ah (Ghula>h, Isma>’iliyyah, dan Zaidiyyah),15

dan menjadi

kelompok terbesar kedua di dunia Islam setelah Sunni yang masih ada sampai

sekarang.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah utama yang akan

dijawab pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pandangan ilmiah Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni

dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?

2. Bagaimana validitas pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-

hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan

memperoleh gelar magister bidang hadis. Selain itu penelitian ini bertujuan

untuk memberikan kesadaran akademis kepada para pembaca bahwa setiap

14 Kedua belas imam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH – 40 H), Muhammad

Hasan bin Ali (2 – 50 H), Husein bin Ali (3 – 61 H), Ali bin Husein ( Zainal ‘Abidin) (38 – 50 H),

Abu Ja’far bin Ali (57 – 114 H), Abdullah Ja’far bin Muhammad (83 – 148 H), Abu Ibrahim Musa

bin Ja’far ( 128 – 183 H), Hasan Ali bin Musa (148 – 203 H) , Ja’far Muhammad bin Ali (195 –

220 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad (212 – 254 H), Muhammad Hasan bin Ali (232 H – 260

H), dan Abu Qasim al-Mahdi (255 H - ) lalu menghilang sebelum dewasa dan akan muncul

kembali sebagai Imam Mahdi yang dinantikan. Lihat Sunnah Syiah Bergandengan Tangan

Munakinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 127.

15 Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? (Tangerang:

Lentera Hati, 2014), h. 83.

12

penilaian atas sebuah pemikiran, pendapat, dan pandangan seseorang harus

didasari dengan keilmuan.

Adapun manfaat penelitan ini adalah:

1. Di bidang akademik penelitian ini akan memperkaya informasi

perkembangan mutakhir tentang dinamika kajian hadis di kalangan

madzhab Syi’ah.

2. Pada ranah wacana keagamaan, penelitian ini secara tidak langsung

menjelaskan konstruksi argumen konsep nikah mut’ah dalam madzhab

Syi’ah yang berbeda dengan ajaran nikah mut’ah dalam madzhab Sunni.

3. Pada ranah pergejolakan pemikiran Syi’ah-Sunni, penilitian ini secara tidak

langsung mengarahkan elemen masyarakat untuk tidak mengambil sikap

taqli>d buta dalam justifikasi general dan berhati-hati dalam memberi

stigma negatif.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian dan penelitian pemikiran Syi’ah, pada dasarnya sudah banyak

dilakukan oleh para peneliti baik yang bermadzhab Sunni atau pun Syi’ah

sendiri. Sedangkan penelitian khusus tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat

dalam karya-karya ulama Syi’ah masih sangat sedikit. Di bawah ini adalah

beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian pemikiran hadis Syi’ah.

Hadis-hadis Ahlusunah dalam Tafsir Al-Mi>za>n, oleh Fadhlullah

Muhammad Said. Hasil penelitian ini merupakan disertasi Sekolah Paska Sarjana

UIN Syarif Hidayatullah. Dalam disertasi tersebut Fadhlullah melakukan kritik

sumber dengan fokus pada hadis-hadis Ahlusunah dalam bab rawa>’i> tafsir karya

Muhammad Thabathbai. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan posisinya

13

adalah untuk melihat dinamika hadis-hadis Sunni dalam pemikiran tokoh lainnya

yang hidup lebih belakangan dari era Thabathabai. Selain itu, penelitian penulis

juga akan membuktikan kesimpulan Fadhlullah16

tentang dinamika diskursus

hadis Syi’ah pada tokoh yang beda dan lahir di era yang beda. Sehingga pada

ranah kesimpulan tentang diskursus pemikiran hadis Syi’ah kontemporer bisa

dilihat dari dua tokoh yang sama pemikir hadis dan representatif di kalangan

Syi’ah Imam Dua Belas. Hal ini untuk menghindari penilaian general terhadap

kalangan Syi’ah.

Konsep Hadis Shahih menurut Sunni dan Syi’i. Oleh Fadhlullah

Muhammad Said. Penelitan ini merupakan tesis Sekolah Paska Sarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis ini fokus pada analisis konsep hadis Syi’ah

Imam Dual belas secara umum, tidak fokus pada satu tokoh. Dalam penelitian

tingkat magister ini, Fadhlullah juga melakukan komparasi tentang unsur-unsur

autentisitas periwayat hadis Sunni dan Syi’i. Rumusan-rumusan masalah yang

dijawab Fadhlullah adalah seputar persemaan dan perbedaan seputar kriteria

hadis S}ah}i>h}, konsep keS}ah}i>h}an suatu hadis, pandangan Sunni dan Syi’i tentang

para sahabat, penetapan kualitas rijal dan periwayat hadis dan implikasi dari

perbedaan perbedaan tersebut dalam memahami sunnah Rasulullah saw.17

Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, merupakan hasil

penelitian Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah. Tentunya tesis ini sangat berbeda, karena

16 Fadhullah berkesimpulan bahwa differensiasi hadis Ahusunah dan Syiah tidak hanya

terletak pada sanad tetapi terjadi juga pada substandi hadis, tertutama yang berkaitan dengan

ideologis. Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Hadis-hadis Ahusunah dalam Tafsir Al-Mizan,‛

(Disertasi S3 Studi Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah, 2011 ), h. xx dan 353.

17 Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Konsep Hadis Shohih menurut Sunni dan Syi’i,‛

(Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2004 ), h. 19.

14

objeknya adalah periwayat-periwayat khawarij. Tesis ini berkesimpulan bahwa

semakin tinggi komitmen periwayat terhadap sunnah Nabi maka semakin dapat

menetralisir bias ideologinya. Konsekuensinya persamaan dan perbedaan ideologi

tidak dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis.18

Sunnah Syi’ah Mungkinkah Bergandengan Tangan ?. buku ini

memaparkan kajian atas konsep ajaran dan pemikiran dalam madzhab Sunnah

dan Syi’ah. Buku karya Quraish Syihab ini mengkaji secara kritis ajaran dan

pemikiran madzhab Syi’ah dan sekte-sekte di dalamnya. Kemudian lebih

mengkrucut pada Syi’ah Imam Dua Belas. Karya ini pada dasarnya mengajak

para pembaca yang bermadzhab Sunni melintas dan memahami ajaran dan

pemikiran Syi’ah dan sebaliknya. Dalam paparannya karya ini menampilkan

ragam perbedaan dan persamaan seputar rukun iman dan rukun islam, imamaha,

sikap terhadap para sahabat, raj’ah, bada’, dan taqiyyah, perbedaan-perbedaan

dalam masalah furu’. Walaupun buku ini secara komprehensif mengkaji

pemikiran Syi’ah tetapi belum detail berbicara masalah nikah mut’ah dan tidak

ada kajian mendetail tentang kajian hadis-hadis terkait.19

Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syi’ah di Indonesia. Pada

dasarnya buku ini adalah buku panduan lama Majilis Ulama Indonesia yang

ditulis oleh empat orang penulis. Buku ini pada umumya menampilkan sikap

MUI dalam justifikasi pemikiran Syi’ah, khususnya yang ada di Indonesia.

18 Lihat Ahmad Ubaydi, ‚Periwayat Khawari j dalam Literatur Sunni‛(Tesis S2 Sekolah

Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 231

19Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Mungkinkah Bergandengan Tangan ? . (Tangerang:

Lentera Hati, ), h. 252-253

15

Syi’ah dalam buku ini diposisikan sebagai madzhab yang harus dijauhi oleh umat

Islam, tidak ada upaya taqrib al-maz|a>hib. Akhir buku ini memaparkan fatwa-

fatwa MUI terkait kesesatan Syi’ah. Tetapi obejek penyesatannya lebih cendrung

pada madzhab Syi’ah Rafidhoh. Buku ini juga sedikit menyinggung masalah

nikah mut’ah. Tetapi pembahasannya hasa sebatas respons wacana dan tidak

melakukan kritik dalil (hadis) yang menjadi landasan kebolehan nikah mut’ah.20

Syi’ah Menurut Syi’ah. Buku ini ditulis oleh tim Ahli Bait Indonesia

sebagai respons wacana terhadap buku ‚Mengenal dan Mewaspadai

Penyimpangan Syi’ah di Indonesia‛ yang dierbitkan oleh MUI. Karya Ahli Bait

Indonesia ini mencoba menjawab segala bentuk justifikasi negatif terhadap

pengikut Syi’ah. Mulai dari masalah akidah, fikih, Al-Quran, hadis dan lainnya.

Dalam sebagian pembahasannya buku ini menyinggung dan mengklarifikasi

hakikat nikah mut’ah. Buku ini menegaskan bahwa nikah mut’ah bukan praktek

asal kawin tetapi harus mengikuti tata krama tersendiri. Buku ini mencoba

memaparkan beberapa hadis dalam rangka memperkuat sahnya nikah mut’ah.

Tetapi pemaparan tersebut belum masuk pada ranah kritik hadis.21

Sunni-Syi’ah Satu Kitab. Ini adalah merupakan buku ringkasan disertasi

yang ditulis oleh Muhaimin Zein. Dalam buku ini yang menjadi kajian pokoknya

adalah menelaah ulang riwayat-riwayat yang menginformasikan terjadi tahrif

dalam Al-Quran yang riwayat-riwayat tersebut menjadi bahan bakar terjadinya

20Ma’ruf Amin, dkk., Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syiah di Indonesia,

(Jakarta: Al-Qolam, 2013), h.55-103

21Tim Ahubait Indonesia, Syiah menurut Syiah, (Jakarta Selatan: DPP Ahubait Indonesia,

2014), h. 166-170

16

konflik Syi’ah Sunni. Buku ini berkesimpulan bahwa riwayat tahrif dalam Al-

Quran yang beredar di masyarakat pada dasarnya berasal dari riwayat lemah,

kalau pun itu S}ah}i>h} hanyalah bentuk penafsiran, qira’ah, dan doa. 22

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

analisis-verifikatif (pemeriksaan pernyataan), yaitu sebuah upaya

mendeskripsikan kritik Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni, dan kemudian

melakukan analisis secara kritis serta melakukan verifikasi atas kritik Ja’far

Subhani tersebut. Dengan menggunakan metode pemeriksaan pernyataan

tersebut penulis akan menguji validitas kritiknya dengan bersandar pada sumber-

sumber yang menjadi acuan Ja’far Subhani. Selain itu, dalam penelitian, penulis

akan melakukan kritik terhadap pernyataan, pandangan, dan penilaian Ja’far

Subhani, yang tentunya dengan disertai sikap menjunjung tinggi objektifitas

ilmiah.

Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data primernya adalah buku Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-

Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani. Buku tersebut membahas legalitas

nikah mut’ah dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sedangkan data sekundernya

adalah seluruh buku, kitab, atau karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan

langsung dengan penelitan, baik karya-karya Ja’far Subhani atau pun karya-karya

ulama lainnya.

22 Muhaimin Zen, Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, ( Jakarta: Nurul Huda, 2013), h. 214-218

17

Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut: Pertama, melakukan inventarisasi dan menyeleksi data, yaitu

hadis-hadis Sunni yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-

Sunnah. Kedua, melakukan analisis data melalui metode deskriptif, yaitu dengan

melakukan analisis data. Ketiga, data-data hasil inventarisasi, seleksi, dan

analisis, kemudian diverifikasi melalui sumber-sumber yang menjadi acuan Ja’far

Subhani dan sumber-sumber yang berkaitan lainnya.

Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan interpretatif23

yang validitasnya diukur dengan dua teori. Yaitu teori

kritik hadis yang dirumuskan oleh Mus{t}afa> Al-A’z}ami> dan teori kebenaran yang

dirumuskan oleh Abdul Mustaqim.24

Dalam kitab Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, Mus{t}afa> Al-A’z}ami>

merumuskan empat langkah25

dalam upaya penyeleksian hadis26

. Yaitu:

1. Mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat terkait ( ة صولكاف األعم ج )

2. Validasi keaslian teks ( صوصةالن ح إثباتص )

3. Menganalisis redaksi untuk mencari makna teks dan maksud autornya

( فؤل رادالم كمنمعنياأللفاظومنم حق النصوصللت تحليل )

23 Interpretasi tidak hanya dimaknai penafsiran tetapi mencakup pandangan, pemberian

kesan, pandangan teoritis seseorang terhadap sesuatu.

24 Dalam penerapannya, peneliti menggunakan empat langkah teori kritik hadis dan tiga

teori kebenaran di atas dengan cara proporsional, menyesuaikan data-data yang penulis teliti

dalam naskah penelitian.

25

Mus{t}afa> A’zhami, Manhj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, (Riyadh: Maktabah Al-Kautsar,

1990), h. 95-100.

26Pada dasarnya langka-langkah dirumuskan ketika Mus{t}afa> A’zhami > menilai bahwa kritik

yang dilakukan para ulama hadis dan para ahi sejarah ada persamaan. Namun kritik yang

dilakukan oleh para ulama hadis lebih unggul dan lebih mendetail.

18

4. Kritik eksternal, yaitu menganalisis aspek kredibilitas periwayat hadis

( هت دال قالراويوع د بيلمعرفةص ل دالس لةالنق ح ر م )

Adapun teori kebanaran yang dirumuskan Abdul Mustaqim adalah teori

kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Teori-teori tersebut pada

dasarnya gabungan teori kebenaran filsafat ilmu yang dikembangakan oleh Bob

Hale, Crispin Wright, dan Harold H. Tusi. Berdasarkan rumusan Abdul

Mustaqim, sebuah interpretasi atau pandangan akan dinilai valid atau benar jika

sesuai dengan teori kebenaran27

koherensi, korespondesi, dan pragmatisme.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1.Teori kebenaran koherensi

Teori ini mengatakan bahwa sebuah interpretasi atau penafsiran dianggap

benar jika dia sesuai dengan pernyataan-pernyataan (proposisi) sebelumn\ya dan

secara konsisten menerapkan metodologi yang digunakannya. Dengan kata lain,

jika dalam sebuah kritik atau interpretasi terdapat konsistensi berpikir maka

kritik atau interpretasi tersebut dikatakan benar secara koherensi.28

2. Teori kebenaran korespondensi

Menurut teori ini, sebuah kritik atau interpretasi dikatakan benar apabila

dia berkorespondens, cocok, dan sesuai dengan fakta ilmiah yang ada di

lapangan. Sebuah kritik atau interpretasi disebut benar jika sesuai dengan teori-

teori keilmuan atau bukti yang ada.29

27Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 83\

28

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83

29 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , h. 83

19

3. Teori kebenaran pragmatisme

Menurut teori kebenaran pragmatisme, sebuah kritik atau interpretasi

diakatakan benar jika dia secara praktis mampu memberikan solusi praksis bagi

problem sosial yang muncul. Dengan kata lain dia tidak diukur dengan teori atau

penafsiran lainnya, tapi diukur sejau mana bisa memberikan solusi atas problem

yang dihadapi manusia sekarang ini secara universal.30

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan ditulis dalam bentuk lima

bab yang masing-masing saling berkaitan. Dari setiap bab-bab tersebut akan

dipaparkan dalam bentuk sub-bab guna menampilkan data secara sistemik dan

mudah dipahami alur dinamika hasil penelitiannya.

Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini dipaparkan latar

belakang penilitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab

ini merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian dengan tujuan utamanya

adalah memaparkan permasalahan akademik yang dijawab dengan pendekatan

yang telah ditentukan.

Bab kedua adalah pembahasan tentang riwayat hidup Ja’far Subhani dan

pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Pembahasan ini

untuk menginformasikan kepada para pembaca tentang pemetaan kehidupan

sosial dan kehidupan ilmiah ulama Syi’ah kontemporer tersebut.

30 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83

20

Bab ketiga akan membahas produk pemikiran Ja’far Subhani yang

berkaitan ilmu hadis, guna untuk melihat pemetaan pemikiran Ja’far Subahani

yang merupakan representasi dari ulama besar Syi’ah kontemporer.

Bab keempat merupakan pembahasan inti dalam penelitian ini.

Sebagaimana judul penelitan, bab ini akan menganalisis dan memverifikasi

pemikiran hadis Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni yang berkaitan

dengan nikah mut’ah. Pemikiran Ja’far Subhani yang akan dianalisis pada bab ini

adalah tentang nikah mut’ah pada awal Islam, riwa>yah tafsi>riyyah nikah mut’ah,

legalisasi nikah mut’ah oleh para sahabat dan tabi’in, keberatan Ali bin Abi

Thalib atas fatwa Umar bin Khattab, hadis-hadis lemah tentang penghapusan

nikah mut’ah, naskh dalam nikah mut’ah, dan kontradiksi yang terjadi seputar

hadis-hadis nikah mut’ah.

Bab kelima adalah bagian penutup penelitian. Pada bab ini memuat

pemaparan kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban atas rumusan masalah

penelitian yang telah dirumuskan pada bab pendahuluan. Kemudian bab ini

diakhiri dengan saran-saran guna memberikan informasi akan pentingnya

pengembangan dan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pemikiran Ja’far

Subhani tentang hadis-hadis Sunni.

21

BAB II

OTENSITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN SYI’AH

A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah

1. Konsep Hadis Menurut Sunni

Secara etimologi, hadis bermakna baru (al-jadi>d). Sedangkan secara

terminologi, hadis menurut ‘Abd al-Haq Al-Dihlawi:

س ج صطالحافذثانذ أهى اع صهىانجلل عهىطهك انذذث

1رمششفعه سهىعههللا

Seseungguhnya makna hadis menurut istilah mayoritas ulama hadis adalah setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw. Berdasarkan definisi di atas, hadis menurut Sunni berpusat pada satu sumber

utama yaitu Nabi saw. Nabi saw adalah sumber tunggal sumber ajaran hidup yang

terdiri dari Perkataan, perbuatan, sifat, dan penetapan. ‘Ajjaj Khatib dan Abbas

Mutawali Hamdah menambahkan bahwa setiap perjalan hidup Nabi baik yang

terjadi sebelum dan sesudah pengangkatannya menjadi rasul juga termasuk hadis

Nabi saw.2 Adapun sahabat dan tabi’in, walau pun dalam perkembangan ilmu hadis

ada istilah khusus untuk menyebut perkataan, perbuatan, dan pernyataannya tetapi

mereka tidak menjadi sumber utama. Karena keberadaan Nabi di tengah umat adalah

bersifat wah}yi> dan membawa risa>lah sama>wi> yang berbeda dengan para sahabat atau

1‘Abdul Haq Al-Dihlawi, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Basyai’i Islamiyyah,

1986), h. 33.

2 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi saw, (Jawa Timur: Jaya Star

Nine, 2015), h. 7.

22

pun orang-orang setelahanya. Posisi mereka hanya sebagai penggati (baca: khalifah)

dan pewaris risalah samawi tersebut. Sebagai pengaruhnya adalah ketika ada

kontradiksi hadis nabi dan hadis para pewarisnya, maka hadis Nabi saw lah yang

menjadi utama.

Dalam diskursus ilmu hadis, ada satu kata yang memiliki makna mirip

dengan hadis, yaitu sunnah. Baik ulama terdahulu atau pun ulama modern, mereka

berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian mereka ada yang menyamakan bahwa

sunnah adalah sinonim dari kata hadis. Sebagian lagi berpendapat bahwa sunnah dan

hadis adalah dua kata yang berbeda makna. Yang pertama kali menggunakan kata

sunnah dan kata hadis dalam makna yang berbeda adalah Abdurrahman bin Mahdi.

Ibnu Mahdi pernah berkomentar bahwa ‚Sufya>n al-S|auri> ima<m fi al-h}adi>s| wa lais bi

ima<m fi al-sunnah3 (Sufyan Sauri adalah imam dalam bidang hadis tapi tidak dalam

sunnah)‛. Kendatipun sunnah dan hadis banyak digunakan dalam makna yang

berbeda, tetapi mayoritas ulama hadis bersepakat bahwa hadis dan sunnah adalah

dua kata sinonim.

Adapun menurut para pemikir hadis modern hadis didefinisikan sebagai

berikut: menurut Nurkholis Majid hadis adalah laporan tentang aktifitas Nabi saw.

Menurut Fazlur Rahman hadis adalah sunnah-sunnah yang terkonsep. Sedangkan

3 Muhammad Thahir Al-Jawwabi, Juhu>d al-Muh}addis|in fi Naqd Matn al-H|adi>s| al-Nabawi,

(Tunisia:Yayasan Abdul Karim Abdullah, 1986), h. 66.

23

menurut Syahrur hadis adalah kehidupan Nabi sebagai seorang Rasul dan manusia

biasa dalam kehidupan nyata.4

Dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa hadis menurut ulama dan

pemikir hadis Sunni memiliki sumber tunggal yaitu Nabi Muhammad saw.

2. Konsep Hadis Menurut Syi’ah

Menurut Hasan Shadr, ulama Syi’ah kalangan ushululiyyin yang hidup abad

14 h., hadis menurut etimologi adalah mut}laq al-kalam, ucapan. Sedangkan menurut

istilah adalah:

5ارمشش افعه انعصو كلل ذ الو ك

Ucapan yang menceritakan tentang ucapan, perbuatan dan pengakuan imam yang maksum. Penyebutkan kata ma’sum (Arab: al-ma’s}u>m) dalam definisi hadis versi

Syi’ah di atas tersebut, dimaksudkan adalah orang-orangyang bebas dari perbuatan-

perbuatan yang mengandung dosa, baik dosa kecil dan maupun dosa besar. Golongan

Syi’ah secara umum dan khususnya Syi’ah Imamiyah berkeyakinan bahwa mereka

semua maksum.6Dalam pandangan Syi’ah, tidak mungkin nabi berwasiat kecuali

untuk orang yang sama ma’sumnya dengan dirinya, sama dengan para nabi-nabi.

Kalau tidak maksum, tentu mereka tidak ada bedanya dengan manusia pada

4 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi saw, h. 12-13.

5 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 81.

6Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-

Isla>m (al-Qa>hirah: Maktabah Ibn Taimyah, 1414 H.), h. 183.

24

umumnya yang bisa berbuat kesalahan-kesalahan yang mengandung dosa. Sebagai

perbandingannya, Sunni berkeyakinan hanya para nabi-nabi yang maksum. Oleh

kerena itu, mereka tidak membeda-bedakan antara ‘Ali> ibin Abi> Ta>lib dengan

Sahabat yang lain, karena mereka semua adalah sahabat-sahabat nabi.7

Adapun Imam Ma’sum atau Ahlu Bait yang dimaksud di atas, diyakini oleh

Syi’ah ada dua belas orang, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan anak keturunannya, mereka

memiliki akidah mewajibkan pengikutnya menerima segala yang diperintah dan

menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Imam Maksum.8 Adapun Imam Maksum

tersebutialah;(1) ‘Ali > bin Abi> T{a>lib, (2) al-H{asan bin ‘Ali >, (3) al-H{usayn bin ‘Ali >, (4)

Zayna al-‘A<bidi>n ‘Ali > bin al-H{usayn, (5) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Ba>qir, (6) Ja’far bin

Muh{ammad al-Sa>diq, (7) Musa> bin Ja’far al-Ka>d{im, (8) ‘Ali > bin Musa> al-Rida>, (9)

Muh{ammad bin ‘Ali > al-Jawa>d, (10) ‘Ali > bin Muh{ammad al-Ha>di>, (11) al-H{asan bin

‘Ali > al-‘Askari >, dan (12) Muh{ammad bin al-H{asan al-Mahdi>.9 Dua belas imam ini

juga disebut sebagai Ahli Bait oleh orang-orang Syi’ah.10

7S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud (Beiru>t:

al-Gadi>r, t.t.), h. 166.

8Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah..., h. 183.

9Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar al-Salam,

1995), h. 269.

10Muhammad Tijani As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah.

Penterjemah, Hasan Musawa (Cianjur: Titian Cahaya, 2005), h. 25.

25

Syi’ah mengakui bahwa segala sesuatu yang datang dari Imam Ma’sum atau

Ahlu Bait11

juga dapat disebut hadis. Paham ini didasari oleh dua faktor. Pertama,

karena ada perintah dari nabi, sebagaimana sabdanya:‚Wahai Manusia,

sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya,

maka kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan

keluargaku‛.12Kedua, karena kedudukan mereka sama dengan nabi, kakeknya, maka

pernyataan para imam Ahlu Bait sama dengan sabda nabi, karena sejatinya mereka

merupakan penerus ajaran-ajaran kakeknya, Nabi Muhammad s.a.w.13

Namun di balik perbedaan pendapat mengenai batasan definisi hadis

tersebut, Sunni dan Syi’ah dalam masalah makna atau pengertian hadis (al-h}adi>s)

dan khabar (al-khabar) ada kemiripan, bahwa ada yang mengartikan dua kata

tersebut sinonim (al-mura>dif), artinya dua lafaz dipakai pada satu makna yang sama.

Namun sebagian ulama ada yang membedakannya, tetapi penyebutan khabar

11Pengertian dari Ahlu Bait (Ahl al-Bayt) secara bahasa adalah pemilik rumah atau anak

keturuanan. Namun dalam pengertian secara istilah ialah keluarga atau keturunan Nabi Muhammad

s.a.w. Penyebutan Ahlu Bait bisa dipahami dalam tiga macam aspek; (1) memiliki hubungan darah

karena keturunan nabi, ini disebut sebagai hubungan darah atau hanya fisik; (2) memiliki hubungan

jiwa dan ruh dengan nabi, berarti belum tentu keturanan nabi; (3) kombinasi dari dua hubungan yang

disebut sebelumnya, yaitu memiliki hubungan darah dan jiwa dan ruh dengan nabi. Lebih tepatnya,

yang dimaksud dengan Ahlu Bait adalah orang-orang yang memiliki hubungan fisik dan rohani

dengan nabi. Lihat dalam penjelasan, Sayid Muhammad Radawi, Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlu Bait As. Penterjemah. A. Kamil (Kuwait: Mua’ssisah ‘Asr al-Zuhur, 2007), h. 81.

12Teks arab dari hadis tersebut ialah: ‚ واكتابفيكمماإنأخذتمبهلنتضل إنيتركت هاالناس ياأي

yang artinya: ‚Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di ,‛هللاعترتيأهلبيتي

tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan pernah

sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.‛Hadis ini bisa dicek dalam, Imam al-Tirmi>z}i,

Sunan al-Tirmi>z{i>, no.hadis 3718, Bab, Mana>qib Ahl Bayt al-Nabi> Salla> Alla>h pada CD-ROM,

Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.

13Nasir Makarim Syirazi, Inilah Akidah Syi’ah (Kuwait Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009), h.

55-56.

26

diperuntukkan sesuatu yang datangnya bukan dari nabi, namun ada pula yang

mengkhususkan pemakaian kata khabar oleh para ulama usul fiqih, meskipun

maknanya sama dengan hadis.14

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling

mendasar antara Sunni dan Syi’ah dalam membatasi cakupan pengertian hadis

adalah terletak pada sumber dari hadis tersebut, lebih khususnya lagi tentang

penyisipan eksistensi‚imam yang maksum‛ sebagai sumber hadis. Bagi kalangan

Sunni, segala sesuatu yang datangnya dari Imam Maksum tidak dapat disebut hadis,

karena hadis menurut mereka hanya segala sesuatu yang datang atau disandarkan

kepada nabi. Namun menurut Syi’ah, selain sesuatu yang datangnya dari nabi, dari

para Imam Maksum juga dapat disebut hadis, karena mereka adalah penerus ajaran-

ajaran nabi, dan pangkat mereka sama dengan nabi.

B. Sejarah Kodifikasi Hadis Perspektif Sunni dan Syi’ah

1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni

Sub bab ini berjudul ‚Sejarah Kodifikasi Hadis‛. Sebagai penegasan dari redaksi

tersebut, penulis berpandangan perlu memperjelaskan apa yang dimaksud dengan

istilah kodifikasi atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-tadwi>n, yaitu memiliki

pengertian; sebuah catatan atau tulisan yang kemudian dikumpulkan di dalam satu

14Lihat dan bandingkn antara, Mah{mu>d al-T{ah{h{a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al-H}adi>s, h. 17 dan

Ja’far al-Subh{a>ni>. Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 19.

27

mushaf (buku).15

Sub bab ini secara fokus akan menyoroti kodifikasi hadis menurut

Sunni dan Syi’ah, sebagaimana berikut:

Dalam kajian Sunni, Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, menjelaskan di dalam

buku ‚Metodologi Kritik Hadis‛ bahwa ada dua versi riwayat hadis yang

kandungannya terkesan bertentangan tentang penulisan hadis pada masa

nabi.16Pertama, adanya riwayat yang menjelaskan tentang diperintahkannya

penulisan hadis. Adapun redaksi hadis perintah tersebut adalah sebagaimana

diriwayatkan oleh Imam Ah{mad, berikut ini:

ز ت "... انز ي اك ف ف س ب ث ذ ج ي ش خ ك ي د "ئ ل

‚...Tulislah, dan demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada

yang keluar ucapanku kecuali kebenaran.‛17

Kemudian yang kedua ada riwayat hadis yang menjelaskan larangan

penulisan hadis. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, berikut teks Arab

dan terjemahannya dari hadis tersebut:

15Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahrani>,Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa

T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr (Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr

wa al-Tawzi>’, 1996), h. 74.

16Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Rajawali Press, 2004),

h. 17-18.

17Lihat dalam, ImamAh}amd,Musnad Ah{mad, no. hadis,6221, Bab, Musnad ‘Abd Alla>h bin

‘Amr bin al-’A<s{ Rad{iya Alla>h Ta’ala> ‘Anhuma>, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.

28

ال ز ج ىر ك ع ي ز ت ىك ش ع غ آ ان م ش ذ اف ه ث ذ د ى ل ع ج ش د ي

ز ة ه ىك بو ل بل -ع ج س ذا-ل بل أ د ز ع أ ي ف ه ز ج ذ م ع ي انبس ي

‚...Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-

Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa.

Barangsiapa berdusta atas (nama) ku, Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid)

berkata: dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari

neraka.‛18

Faktor yang paling mendasar dari larangan penulisan hadis adalah

dikuatirkannya hadis-hadis bercampur aduk dengan al-Qur’an. karena pada masa itu,

al-Qur’an diperintahkan untuk ditulis. Terlepas dari dua riwayat di atas, setidak ada

dua paham ulama menyikapi dua riwayat yang secara harfiah berlawanan; (1)riwayat

pelarangan terhadap sahabat menulis hadis adalah riwayat yang lebih dipegang oleh

oleh sahabat daripada hadis perintah; (2)kekuatan hafalan mereka masih kuat

sehingga sangat memungkinkan meriwayatkan hadis secara lisan tidak akan

mengalami kesalahan.

Masih dalam pendapat Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, pada masa nabi

hidup, penulisan al-Qur’an sedang dalam proses sehingga jika hadis juga

diperbolehkan ditulis dikhawatirkan akan bercampur aduk. Untuk mewanti-wanti hal

ini, maka dilarang menulis hadis. Selain itu,konteks lawan bicara ketika nabi

menyabdakan larangan dan perintah hadis berbeda. Hadis tentang larangan tersebut

lebih awal dari perintah, sekitar awal tahun hijriah dan sedangkan hadis perintah

18Lihat dalam, Imam Muslim,S|ah{i>h{ Muslim, no. hadis,5326, Bab, al-Tas\abbut Fi> al-H{adi>s\ wa

H{ukm Kita>bat al-‘Ilm, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991 edisi

1.2.

29

pada masa ketujuh hijriah. Hal ini bisa diketahui dari rawi hadis tersebut; hadis

larangan tersebut diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dan hadis perintah

diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang diketahui masuk Islam stelah Fath{ al-

Makkah(tahun 8 H).19

Menanggapi dua riwayat penulisan hadis di atas, sebenarnya melalui dua

riwayat hadis tersebut sudah jelas memberikan petunjuk bahwa kodifikasi hadis

telah berlangsung pada masa nabi. Tentu ada alasan ketika nabi melarang sahabat

menulis hadis, bisa jadi nabi tahu kalau di antara mereka ada yang menulis hadis,

tidak mungkin melarang kecuali nabi sudah tahu, atau bisa sebaliknya, riwayat

perintah hadis ditujukan kepada beberapa orang khusus, dan sedangkan riwayat

larangan ditujukan kepada banyak orang dari sahabat-sahabatnya.Pelajaran yang

dapat dipetik adalah bahwa dua riwayat yang terkesan bertolak belakang tentang

perintah/larangan penulisan hadis menunjukkan dekianlah bentuk penulisan hadis

pada masa nabi. Namun penulisanpada masa itu tentunya tanpa ada sanad-sanad.

Selain itu, penulisan pada masa itu masih dalam bentuk tulisan-tulisan pribadi yang

ada pada sahabat-sahabat tertentu dan tidak dipublikasikan ke publik.

Sedangkan menurut ‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, kalau diperincikan lebih detail lagi

mengenai penulisan hadis sebenarnya bisa dikembalikan kepada tiga masa. Pertama,

marh{alah al-jam’i, ialah masa pengumpulan hadis. Ulama yang mengisi masa itu

adalah seperti Imam Ma>lik, beliau mengumpulkan hadis dari Ahli Hijaz, Ibn Jarij di

19Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 17-18.

30

Makkah, al-Awza’i di Syam, Sufyan al-Sawri di Kufah, Hamad bin Abi Sulayman di

Basrah, dan lain-lain. Ulama-ulama tersebut diyakini sebagai kelompok ulama yang

hidup dalam satu masa, tetapi tidak diketahui di antara mereka siapa yang lebih

dahulu melakukan pengumpulan hadis-hadis;(2) marh{alah al-masa>nid, ialah masa

pengumpulan hadis dengan disertakan sanad-sanadnya. Sanad menjadi penting

disertakan dengan matan hadis untuk memberikan indikasi atau untuk membantu

pelacakan siapa saja yang menyampaikan hadis tersebut hingga sampai kepada

nabi;(3) marh{alah al-sih{h{ah, yaitu masa klasifikasi hadis berdasarkan hadis-hadis

yang s}ah}i>h}. Adapun orang yang pertama kali menyusun hadis berdasarkan

kesahihannya dan memisahkannya dengan hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat

sahih adalah Imam al-Bukha>ri>.20

Menurut Saifuddin, peneliti kodifikasi hadis kontemporer, menegaskan

bahwa masa puncak kodifikasi hadis Sunni adalah pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n.

Kitab-kitab hadis Sunni mulai muncul pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n tersebut

adalah S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (w. 256 h.), S}ah}i>h} Muslim (w. 261 h.), Sunan Abi< Da>wud

(w. 276 h.), Ja>mi’ al-Tirmiz|i> (w. 279 h.), Sunan al-Nasa>’i> (w.303 h.), dan Sunan Ibn

Majah (w. 273 h.). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya seperti kitab

20‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir, 2009), h. 69-71.

31

musnad Ah}mad ibn Hanbal (w. 241 h.), Munad Ish}a>q ibn Rah}awaih (w. 237 h.),

Musnad ‘Abd al-H}umaid (w. 249 h.), dan musnad-musnad lainnya.21

2. Sejarah Kodifikasi Hadis Versi Syi’ah

Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad menegaskan, sesungguhnya ulama berselisih

paham kapan kodifikasi hadis dimulai sehingga sampai kepada masa kita ini.

Menurutnya, sebagian ulama mengatakan diperkenalkan pertama kali pada masa

‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Beliau menulis hadis dari ulama-ulama yang ada di

Madinah karena khawatir akan hilangnya hadis atau adanya perubahan-perubahan

terhadap hadis yang sudah ada.22

Namun dalam penjelasan yang lain, Syi’ah berkeyakinan―mereka secara

tidak langsung tidak sependapat dengan adanya riwayat hadis yang melarang

sahabat menulis hadis, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Sunni di atas

tersebut―bahwa sesungguhnya para sahabat sudah memiliki semangat yang cukup

intensif kepada hadis-hadis pada masa hidup nabi. Oleh karena itu, mereka selalu

menulis hadis yang diperoleh langsung dari nabi.23

Salah satu buktinya, Imam ‘Ali>

adalah salah satu sahabat di antara beberapa sahabat yang intens menulis hadis-hadis

21

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011), h. 157.

22Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah al-Ima>miyyah(T.tp.: Nasyr

Hastami> Nama>, 2010), h. 35-38.

23‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir, 2009), h. 71.

32

nabi. Bahkan ‘Ali> adalah sesosok sahabat nabi yang memiliki banyak karya dan

termasuk di antara karya tersebut adalah kumpulan tulisan hadis-hadis.24

Jika ditelisik priodesasinya, penulis menemukan ada dua pendapat terkait

versi priode tentang kodifikasi hadis. Pertama, menurut‘Abd al-Ha>di al-Fad{l terbagi

menjadi dua priode; (1) disebut dengan tahap pengumpulan kecil (marh{alah al-

majmu>’ah al-s}agi>rah) dan tahap yang kedua dikenal dengan sebutan pengumpulan

besar (marh{alah al-majmu>’ah al-kabi>rah). Adapun yang dimaksud dengan priode

yang pertama ialah periwayatan hadis yang ditulis oleh rawi pada masa nabi atau

sahabat. Seorang perawi melihat dan mendapatkan hadis langsung dari nabi, atau

rawi tidak bertemu langsung tetapi mendapatkan hadis tersebut dari imam. Pada

priode ini, hadis masih berserakan dan tersebar dimana-mana, belum dikodifikasikan

dalam satu buku, masih dimiliki oleh individu rawi-rawi yang menulisnya, dan tidak

disertakan dengan sanad-sanadnya; (2)ialah kelanjutan dan penyempurnaan dari

tahap yang pertama. Pada tahap ini, penulisan hadis ditulis lengkap ke dalam kitab-

kitab besar dengan disertakan penyebutan sanad yang lengkap sampai kepada nabi

atau Imam Maksum, dan membuat klasifikasi bab-bab hadis yang disesuaikan

dengan tema-tema khusus, sehingga hadis yang dipaparkan tersusun secara tematis

sesuai dengan kontensnya. Pada tahap yang kedua inilah kemudian dikenal dengan

24Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah al-Ima>miyyah, h. 235.

33

empat kitab sahih di kalangan Syi’ah, yaitu al-Ka>fi, Man La> Yahdarah al-Faqi>h, al-

Tah{dzi>’b, dan al-Istibs}a>r.25

Empat kitab hadis Syi’ah tersebut tidak disebut sebagai kitab hadis sahih,

sebagaimana dalam kitab-kitab hadis Sunni, misalnya karya imam Bukhari yang

kemudian disebut dengan kitab ‚Sahih Bukhari‛, tetapi penekanan penyebutan

istilah sahih adalah pada mata rantai rawi-rawinya, bukan pada kitabnya meskipun

kemudian secara otomatis juga kepada kitab-kitabnya. Alasannya adalah karena

yang dimaksud dengan sahih dalam ilmu hadis versi Syi’ah adalah perawinya terdiri

dari Imam Maksum dan yang adil. Sedangkan hadis-hadis yang termuat di dalam

empat kitab Syi’ah yang muktabar tersebut ada yang terdiri dari hadis sahih, hadis

hasan dan hadis muwassaq.26

Sedangkan versi yang kedua, menurut S{a>lih{ al-Warda>ni >ada tiga priode;

(1)para sahabat menulis hadis yang diperoleh langsung dari Imam‘Ali>. Di antara

sahabat yang terkenal banyak mendapatkan riwayat hadis tersebut ialah Ibn ‘Abba>s,

Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|arr al-Gifa>ri>, dan Abu> Ra>fi’;(2) pada masa ta>bi’i >n dan

ta>bi’ihim. Pada masa kedua ini, kelompok Syi’ah semakin banyak sehingga mereka

pun banyak mengutip hadis dari orang yang tidak diketahui dari siapa, karena

saking banyaknya perawi-perawi hadis dari Syi’ah. (3)Imam Abu> H{ani>fah, Imam

25‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\, h. 77-82.

26‘Abd al-Rah{ma>n Abd Alla>h al-Zar’i, Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n (Kuwait: Da>r al-Arqm,

1983), h. 22-24.

34

Ma>lik, dan Imam Al-Sya>fi’i> semuanya mengambil hadis dari Ja’far al-S{a>diq yang

notabe seorang Syi’ah. Bahkan salah satu guru Imam al-Bukha>ri> pun dari golongan

Syi’ah.27

Dari beberapa pendapat tersebut, ulama Syi’ah memiliki keyakinan penuh

bahwa ‘Ali bin Abi Talib lah orang pertama yang mengumpulkan hadis-hadis nabi.

Mereka berkeyakinan bahwa beliau memiliki sekumpulan tulisan-tulisan yang

diramu dari ucapan-ucapan yang didekte langsung dari nabi kepadanya atau beliau

menulisnya ketika beliau memberikan sebuah khutbah atau menulis perbuatan-

perbuatannya yang diamati.28

Adapun puncak kodifikasi kitab hadis syi’ah adalah pada masa paska atba>’

atba>’ al-ta>bi’i>n yaitu sekitar abad keempat hijriyyah. Adapun kitab hadis syi’ah yang

muncul pada masa ini adalah al-Ka>fi karya al-Kulaini> (w. 329 h.), Man la> Yah}d}uruh

al-Faqi>h karya Ibn Babawaih (w.381 h.), Tahz\i>b al-Ah}ka>m dan al-Istibs}a>r karya Al-

T}u>siy (w. 460 h.), dan Nahj al-Bala>gah karya al-Syari>f al-Rad}liy (w. 406 h.)29

Kesimpulannya, pada masa nabi sudah ada beberapa sahabat yang menulis

apa-apa yang disampaikan oleh nabi kepada mereka. ‘Ali> adalah salah satu sahabat

yang diyakini oleh Sunni sebagai salah satu sahabat yang memiliki catatan-catatan

27S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi’ah..., h. 107-108.

28Lihat dalam kitab,Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah

wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah(T.tp.:Da>r al-Sala>m, 2003), h.181.

29 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, h. 164.

35

hadis nabi, dan juga diyakini oleh Syi’ah sebagai Imam yang Maksum memiliki

banyak karya yang salah satu di antaranya adalah koleksi hadis-hadis nabi. Dalam

hal ini, dua golongan tersebut memiliki kesamaan pendapat.

C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan Syi’ah

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadis dari rawi

satu kepada rawi yang lain sehingga sampai kepada nabi.30

Terkadang, dalam

menyampaikan sebuah hadis nabi berhadapan dengan sahabat yang jumlah beraneka

ragam, mulai dari yang berjumlahnya sedikit, satu dan sampai tiga lebih dari seorang

sahabat, serta terkadang menyampaikan hadis kepada jumlah sahabat yang banyak.

Oleh karena itu sudah barang tentu, informasi yang didapat dari jumlah yang relatif

sangat banyak lebih meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang

dibawa oleh segelintir orang saja. Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang

kemudian disebut dengan hadis al-Mutawa>tirdan yang hanya diriwayatkan oleh

beberapa orang dengan jumlah yang mudah teridentifikasi disebut dengan hadis

Ah{ad.Lalu kemudian, jika ditinjau dari jumlah sanad tersebut, dalam kajian ilmu-

ilmu hadis baik versi ulama Sunni dan maupun ulama Syi’ah ditemukan titik

kemiripan di samping juga perbedaan yang cukup mendasar, berikut ini

penjelasannya:

30Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \(T.tp.:

T.p. t.t.), h. 18.

36

1. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d Menurut Sunni

Definisi hadis mutawatir telah banyak dirumuskan oleh para ulama, namun

tidak ada perbedaan dalam substansinya. Abdullah bin Sirajuddin menyimpulkan

bahwa hadis mutawatir adalah:

ر ذجهغد ثذث ععجع اج بس ي ىعهانكزة إ راط مانعبدح ذ ا

ط ثشش 31اانسبع :انشؤخ ازبئىانذس يسزذ اك

Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang

diterima dari sekelompok orang yang mustahil mereka bersepakat untuk

berbohong atas Nabi saw dan diriwayatkan secara indrawi, yaitu dengan

indra penghilatan dan pendengaran

Dari definis di atas, syarat hadis mutawatir ada empat. Pertama,

diriwayatkan oleh banyak periwayat. Kedua, jumlah periwayat tersebut mustahil

melakukan sepakat untuk berbohong. Ketiga, diriwayatkan oleh banyak periwayat di

setiap tabaqahnya. Keempat, diriwayatkan dengan panca indra, yaitu pendengaran

dan penglihatan.

Hadis mutawatir terbagi dua model. Pertama mutawatir lafz{iy. Yaitu hadis

mutawatir yang disepakat redaksi – walau pun sepakat secara hukum- dan

maknanya. Contohnya adalah hadis (man kaz|z|ab ‘alayy muta’ammdan). Kedua

mutawatir ma’nawiy. Yaitu hadis yang terjadi perbedaan di kalangan para periwayat

hadis tentang lafal dan maknanya. Contohnya adalah hadis tentang mengangkat

tangan (arab: raf’ al-yad) dalam berdoa. Hadis-hadis tentang mengangkat tangan

31

Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,

2009), h.. 98.

37

ketika berdoa berjumalah kurang lebih 100 riwayat dan diriwayatkan dalam

peristiwa-peristiwa yang berbeda.32

Hadis mutawatir memiliki kedudukan sebagai ilmu dhoruri, suatu informasi

yang tidak bisa ditolak tentang keberadaannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan

secara mutawatir berarti diyakinkan benar berasal dari Nabi saw.

Sedangkan hadis ahad sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar adalah:

ج ش ذ خ خ فاناد انهغ يب: ص ش ذ ش خ الح ف،اد الصط ن ى يب:

ع زار ش ش شط ج ان33

Hadis ahad menurut bahasa adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh satu

orang. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah hadi yang tidak

memenuhi persyaratan hadis mutawar.

Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad terbagi menjadi dua bagian. Pertama yang

maqbu>l, yaitu periwayatannya diterima dan ada keharusan mengamalkannya. Kedua

mardu>d, yaitu periwayatannya ditolak dan tidak perlu mengamalkannya.

2. Hadis Mutawatir dan Ahad Menurut Syi’ah

Hadis Mutawa>tir dalam kajian paham Syi’ah ada banyak ragamnya. Namun

definisi tersebut pada dasarnya memiliki makna yang sama. Menurut Hasan Shadr,

hadis mutawatir adalah:

34ش زار راطإىعهانكزةف إي ا ذ د فكمطجمخ سالسه فبثهغذ

32

Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,

2009), h.. 99.

33Ibnu Hajar, Nuzhah al-Naz}ar fi Tawd}i>h} Nukhbah al-fikar, (Riyadh: Makatabh Al-Malak,

2001), h.. 54.

34Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 99

38

Hadis mutawatir adalah hadis yang jika rantai periwayatannya mencapai

batas jumlah yang dipercaya tidak sepakat berbohong.

Berdasarkan definisi di atas, konsep hadis mutawatir menurut syi’ah sama

sebagaimana definisi ulama Sunni sebelumnya. Hanya saja dalam definis syi’ah

tidak disisipkan perihal keharusan diriwayatkan dengan panca indra, pendengaran

atau penglihatan. Sebagaimana pandangan ulama Sunni, menurut Hasan Shadr hadis

mutawatir juga terbagi dua. Yaitu lafz}iy dan ma’nawiy. Hasan Shadr juga

mencontohkan bahwa di antara hadis mutawatir yang disepakati oleh seluruh ulama

adalah hadis man kaz\z\ab ‘alayya. Sedangkan hadis mutawatir menurut madzhab

syi’ah adalah hadis Ghadir Khum dan hadis al-manzilah (kedudukan Ali).35

Sedangkan hadis ahad menurut Hasan Shadar, sebagaimana mengutip ulama

terdahulunya adalah:

36شد ث اك ار س ذ هل شساء انزار دذغ جه بنى ي

Hadis ahad adalah hadis yang jumlah periwayat hadisnya tidak mencapai

pada batas mutawatir. Baik periwayatnya berjumlah sedikit atau pun banyak.

Adapun kedudukan hadis ahad dalam pendapat Hasan ada yang bersifat

ma’lu>m al-s}idqi (kebenarannya bersifat pasti), ma’lu>m al-kaz|ib (kebohongannya

bersifat pasti), maz}nu>n al-sidq (kebernarnnya bersifat dugaan), maz|nu>n al-kaz|ib

(kebohongannya bersifat dugaan). Secara umum, hadis ahad, sebagaimana dalam

35

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100

36 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 279

39

tradisi Sunni, para ulama Syi’ah mengamalkan informasi yang terkandung di

dalamnya.37

D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Sunni dan

Syi’ah

1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Sunni

Abdullah Sirajuddin, sebagaimana ulama lainnya, melakukan klasifikasi

hadis ke dua bagian. Pertama populer dengan istilah jihah ta’addud al-ra>wi> (aspek

kuantitas atau jumlah periwayat hadis). Kedua jihah s}ifa>t al-asa>ni>d (aspek kualitas

sanad hadis).38

Dari aspek kuantitas, hadis terbadi menjadi tiga macam. Yaitu hadis

masyhu>r, hadis ‘azi >z, dan hadis gari>b.

Tentang hadis masyhu>r, al-Suyu>t}i> menjelaskan bahwa:

ي ثأكثش يذصسح قش ط ن يبانشس اث ارشدذجهغنى, ,انز س

دثزنك 39نض

Hadis Masyhu>r adalah hadis yang memiliki jalan-jalan periwayatan lebih dari

dua, tetapi jalan periwayatan tersebut tidak sampai pada batas mutawatir.

Disebut masyhu>r karena dengan jelas bisa diketahui keberadaannya.

37

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100.

38 Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b: Maktabah Darul Falah,

2009), h. 36.

39 Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. 2, (Beirut: Maktabah Al-Kaus|ar, 1415 h.) h. 632.

40

Tentang hadis ‘azi>z, Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> memberikan definisi yaitu:

زعرنكثعذسانثالثخأاثبساعافشديبانعضض

40انغشتعفشديشساعضضاانذذثكفمذيئخالثخانثأالث

Hadis ‘azi>z adalah hadis yang periwayatnya berjumlah dua atau tiga

walaupun setelahnya diriwayatkan oleh seratus periwayat. Terkadang ada

sebuah hadis ‘azi>z sekaligus masyhu>r tetapi juga disebut gharib karena

diriwayatkan oleh periwayat gharib di t}abaqah lainnya.

Adapun hadis ghari>b menurut Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> adalah

سابي شت انغ أغش ش فهىثشاز يفشداسا فثضبدح فشد ا

41ئسبد أ ز ي

Hadis ghari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat yang

menyendiri dalam periwayatannya, dan periwayat lainnya juga tidak

meriwayatkan, atau menyendiri dalam hal memberi tambahan dalam matan

dan sanad.

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat Menurut Syi’ah

Hasan Shadr membagai hadis berdasarkan kuantitas periwayat hadis kepada

empat jenis. Yaitu mustafidh, masyhur, aziz, dan gharib.

Tentang hadis Mustafidh Hasan Shadr menjelaskan:

42ض ف ز س ف ثالثخ ي ذ ص أ خ ج ر ش ي مفك ه م فا

40

Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s|, (Beirut:

Muassasah Al-Risalah, 2004), h. 183.

41Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah} al-H}adi>s|, h. 184.

41

Maka jika diriwayatkan oleh lebih dari tiga periwayat di setiap tabaqah maka

itu adalah hadis mustafidh.

Tentang hadis masyhur:

43بفانشسمبدافثعض ج انط فكمعثالثخ انشاح صاد ئ

Dan jika periwayat lebih lebih dari tiga di setiap tabaqah atau sebagiannya

maka itu adalah hadis masyhur.

Hadis Gari>b adalah:

س فشد يبا ضبدح ث ا 44ذ اانسز فان

Hadis yang periwayatnya menyendiri baik dalam rantai periwayatan atau pun

dalam matannya.

Adapun hadis ‘aziz adalah:

ااث يبس 45ط ج ض ذانز ع يعن ش انذذث ع ج عكمي اثالثخ ب

Hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga periwayat dari setiap yang

mengumpulkan hadis dan meriwayatkan darinya atas pertimbangan ‘ada>lah

dan dabtnya.

E. Klasifikasi Hadis Ah}a>d Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah

1. Klasifikasi Hadis Ah{a>d Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Sunni

42

Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy, t.th.), h. 158.

43Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 158.

44Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 160.

45 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 164.

42

Sunni membagi hadis Ah{adkepada tiga macam bagian. Yakni, hadis sahih,

hasam dan da’if. Dari ketiga macam tersebut, dua yang pertama disebut dapat

diterima sebagai hujjah atau argumentasi atau disebut dengan al-Khabar al-Maqbu>l,

dan sedangkan hadis Da’if masih diperdebatkan oleh banyak kalangan ulama, tetapi

pendapat mayoritas yang dipegang oleh mereka adalah tertolaknya sebagai hujjah

kecuali dalamfada>’il al-a’ma>l (keutamaan amal). Ia disebut dengan al-Khabar al-

Mardu>d.46Berikut tentang tiga pembagian hadis Ah{adtersebut sebagaimana berikut:

a. Hadis S{ah{i>h} adalah:

ذخ انصذث انذ بأي انذذثف: لذ انع م م ث بد ئس م ص ز انزي،ذ س ان

.العهي لا،ر شبكلب،ز ي ئنىبثظ انضلذ انع ع انضبثظ47

Adapun hadis s}ah}i>h} adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dikutip

dari rawi yang adil dan d}abit}} sampai kepada seluruh tingkatannya dan tidak

syaz} serta tidak ada illatnya.

Melalui definisi tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa syarat hadis

Sahih ada empat macam. Pertama, sanadnya bersambung. Kedua, perawinya

bersifat adil. Artinya, rawi tersebut adalah sesosok orang yang taat

melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah s.w.t.

Ketiga, selain harus memiliki sifat adil juga harus dabit. Dabit disini yang

dimaksud adalah kualitas ingatannya dari apa-apa yang dihafalkannya. Bisa

juga dabit ini disebut dengan cerdas, baik cerdas dalam hafalan dan maupun

46Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 44-77.

47Ibnu S}ala>h, ‘Ulu>m al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Fikr, t.th. ), h. 11.

43

tulisan. Keempat, matan hadisnya tidak mengandung syaz. Yaitu, riwayat

yang dibawanya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang dibawa oleh

orang-orang yang lebih berkualitas kesiqahannya, atau tidak bertentangan

dengan dalil lain yang lebih argumentati. Karena apabila bertentangan dengan

apa yang diriwayatkan oleh orang-orang berkualitas dan bersambung sanadnya

sehingga hadis itu dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan hadisnya

(matannya) ternyata syadz, maka hadis itu menjadi tidak Sahih.Kelima,

matanya tidak mengandung illat. Maksudnya, tidak cacat, seperti, tidak ada

pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya memang

tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari nabi, padahal sebenarnya bukan

berasal dari nabi. Kesimpulannya, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu

sanadnya harus bersambung, adil dan memiliki kualitas ingatan yang tajam,

dan matannya tidak mengalami syaz dan illat.

Perlu dikatahui, bahwa para ulama hadis juga membagi hadis Sahih pada

dua bagian, yaitu S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> dan S|a>h{i>h{ li Gairihi>, perbedaan antara

keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada S|a>h{i>h{ li

Z|a>tihi> ingatan perawinya sempurba, sedang pada S|a>h{i>h{ li gayrihi, ingatan

perawinya kurang sempurna. S|a>h{i>h{ li Gayrihi tidak lain merupakan bentuk dari

hadis H{asan li Z|a>tihi,―sebab tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat

suatu hadis dapat diterima kehujjaanya―karena predikat keshahihannya diraih

melalui sanad pendukung yang lain. Para ulama hadis ulama fiqih dan usul

44

fiqih sepakat menjadikan hadis ini sebagai hujjah yang wajib beramal

dengannya.48

b. Hadis H}asan

Definisi dari hadis Hasan terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Namun demikian, definisi yang banyak dipilih adalah:

غش ئنىيزبي ه ث عي ضجط فصمسذثممانعذلانزيخ رايب

49خ هلع ر زش

Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dari orang yang adil,

kurang sedikit kedabitannya, tidak ada keganjilan dan illatnya.

Perlu dicatat, bahwa status kualitas Hadis hasan tepat di bawah hadis

sahih. Kriterianya pun hampir sama dengan hadis Hasan. Hanya saja,

perbedaanya terletak pada sisi kedhabitan rawinya, baik ingatan atau daya

hafalannya kurang sempurna, tidak sebagaimana dalam hadis Sahih. Hadits

shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus sempurna, sedangkan dalam

hadis hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits

shahih.50

Sebagaimana hadis Sahih, hadis Hasan juga masih terbagi menjadi dua

macam pembagian, yaitu disebut dengan H}asan li Z|a>tihi dan H{asan li Gayrihi.

Yang dimaksud dengan H}asan li Z|a>tihiadalah hadis yang dengan sendirinya

48Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64.

49 Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 58.

50Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazon, 2010)h. 159.

45

telah memenuhi syarat hadis Hasan. Adapun yang dimaksud denganH{asan li

Gayrihiyaitu hadis Da’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu),

dan sebab-sebab keda’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.51

c. Hadis D}a’i>f

ط ش ش ي ط ش ش ذ م ف ث س انذ فخ ص ع ج بنى ي 52

Yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat hadis hasan, karena

tidak ada satu pun syarat dari syarat-syaratnya yang tidak terpenuhi.

Jika hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagain atau

semua persyaratan hadis Hasan dan Sahih, misalnya sanadnya tidak

bersambung (gayr muttasil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi

keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang

tersembunyi (illat) pada sanad atau matan.53

2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Hadis Menurut Syi’ah

Di atas telah penulis paparkan penjelasan tentang kualitas hadisAh}ad

perspektif Sunni dan klasifikasinya, maka sebagai perbadingannya, penulis di sini

akan memaparkan klasifikasi menurut Syi’ah. Menurut Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-

Ba>bali> dalam karyanya, Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\:, menjelaskan bahwa hadisAh{ad

menurut kelompok Syi’ah terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu hadis Sahih,

Hasan, Muwassaq, dan Da’if. Tiga awal tersebut dapat diamalkan atau dijadikan

51Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64-66.

52 Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 73.

53Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 164.

46

hujjah, karena kualitas sanadnya kuat. Sedangkan yang disebut belakangan, hadis

Daif tertolak karena lemahnya kualitas sanadanya. Empat tingkatan ini pada

hakikatnya tidak lepas memperhatikan dua komponen; atas sanad (eksternal) dan

matan (internal).54

Sementara itu, sebab-sebab pembagian hadis menjadi empat macam tersebut

ada banyak alasan, namun sebab yang paling mendasar di antara beberapa sebab itu

adalah antara lain; karena rentang masa kemunculan hadis sudah sangat jauh maka

perlu membuat klasifikasi istilah sahih dengan yang tidak; bercampurnya riwayat-

riwayat hadis dari yang muktabarah dengan yang tidak; dan kesamarannya riwayat-

riwayat yang diulang-ulang; ulama-ulama kontemporer membutuhkan kaidah-kaidah

yang menjelaskan perbedaan antara hadis yang sahih dengan yang tidak. Adapun

peletak pertama yang membuat klasifikasi hadis menjadi empat macam ada beberapa

perbedaan ulama, ada yang mengatakan adalah Jama>l al-Di>n Ah}mad bin Mu>sa> bin

Ja’far bin T {a>wu>s (w. 664). Namun ada pula yang mengatakan adalah muridnya, yaitu

al-‘Alla>mah al-H{asan bin Yu>suf al-Halli. Meskipun masih diperselisihkan siapa

peletak pertama, tetapi yang jelas klasifikasi hadis tersebut dikenal pada Abad ke

tujuh.55

Empat macam atau tingkatan hadis menurut Syi’ah tersebut di atas

sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

54Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>balayi>,Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\ (Da>r al-H{adi>s\ Li T{aba>h’ah

wa al-Nasyr, 2000), juz. 1, h. 125.

55Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah

(Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013), h. 92-96.

47

a. Hadis S}ah}i>h} ialah

صمسذ رايب‚ ,‛انطجمبدجععيثهف بي لاإلي انعذ م م ث و ص ع ئنىان56

hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam

semua tingkatan dan jumlahnya berbilang.

b. Hadis H}asan ialah:

جأشار عهعذانزفجعي ص غش ي ذح ي ثايبي سذ صم رايب‚

57خذانجبليسجبلانص فثعضعبيعك ‛,

Hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang terpuji dari tetapi tidak

ada nash yang jelas tentang ‘ada>lahnya, dan periwayat tersebut ada di semua

atau sebagian tabaqahnya.

c. Hadis al-Muwas|s|aq atau juga bisa disebut dengan al-Qawiy, ialah

م ز نىش مذر ع سبد ف ميعث األصذبةعهىر صي فطشم خم يبد ‚

,‛فع عهىض ثبل 58

hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang

yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak

akidahnya, seperti dia termasuk salah satu kelompok yang berbeda dengan

imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian

periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.

Ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadis Ah{ad secara paten juga

memperbolehkan mengamalkan hadis Sahih selagi tidak ada syadz dan bertentangan

dengan al-Qur’an. Namun eksistensi dari pengamalan hadis Hasan dan hadis al-

Muwassaq terjadi perbedaan pendapat antara ulama. Menurut Abu> al-Fad{l H{afiz\iya>n

56

Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ , h. 92-96.

57 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\, h. 92-96.

58 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\, h. 92-96.

48

al-Ba>buli>dalam karyanya,Risa>lah Fi> Diraya>h al-H{adi>s|,ada ulama yang mengamalkan

hadis Hasan secara mutlak, tetapi ada pula yang menolaknya secara mutlak, dan

yang lain ulama yang lain memisahkan keduanya. Begitu pula hadis al-Muwassaq,

ada ulama yang memperlakukannya sebagaimana hadis Hasan.59

d. Hadis D}a’i>f, ialah

ج يبل ‚ ,‛انثالثخ دذ أ شط عفش ز60

Hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.

Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang

yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti

orang yang memalsukan hadis.

Adapun hadis-hadis Daif hukumnya bukan berarti tidak dapat

diamalkan. Akan tetapi status hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis

Sahih apabila hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran-ajaran Syi’ah.

Misalnya tentang masalah haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah

manasik haji keBayt Alla>h, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah

ke makam Nabi Muh{ammad dan para imam mereka.61

Di kalangan ulama syi’ah sendiri, pada dasarnya klasifikasi hadis

berdasarkan kualitasnya menjadi s}ah}i>h}, h}asan, muwas|s|aq, dan d}a’i>f adalah hal

59Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\, juz. 1, h. 126.

60 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah .....h.

92-96.

61Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\, juz. 1, h. 126.

49

yang bersifat kontroversial. Sebagaimana penjelasan-penjelasan di atas, Hasan

Shadr adalah salah satu ulama yang berpendapat tentang adanya klasifikasi

hadis. Dalam pandangan ulama syi’ah lainnya, tidak ada pembagian hadis

menjadi empat bagian sebagaimana penjelasan di atas. Pendapat ini

diperjuangkan oleh ulama syi’ah salah satunya bernama Yusuf Al-Bahrani

yang meninggal pada tahun 1186 h. Dalam kitabnya, dengan tegas dia

menyatakan bahwa pembagian istilah hadis menjadi empat nama adalah

pendapat yang batil.62

Tidak ada pembagian hadis tersebut dikembangkan oleh

ulama syi’ah dari kalangan akhba>riyyun. Sedangkan yang setuju dengan

pembagian hadis berasal dari kalangan ushulilyyun, seperti Hasan Shadr.

F. Perbedaan Sunni dan Syi’ah tentang Standarisasi Kesahihan Hadis

Pada hakikatnya sub-bab ini merupakan kelanjutan dari penjelasan yang lalu.

Hanya saja keterangan yang akan dibahas di dalam sub bab ini lebih menelisik

rincian-rincian dari standar kesahihan hadis baik yang ditinjau dari kajian golongan

Sunni dan maupun menurut Syi’ah. Sejauh pembacaan penulis, selain ditemukan ada

beberapa perbedaan juga ternyata ada beberapa aspek kemiripan di antara kedua

golongan Islam tersebut. Dalam konteks kali ini,kemiripannya adalah bahwa dua

golongan tersebut sama-sama mengharuskan sanad dari sebuah hadis bersambung

(ittis}a>l al-sanad), Sunni mengharuskan bersambung sampai kepada nabi. Namun

menurut Syi’ah mengharuskan bersambung kepada nabi atau imam yang maksum,

62

Yusuf Al-Bahrani, al-H}ada>’iq al-Nad}irah, (Beirut: Darul Kutub Islamiyyah, 1985) h.. 65.

50

selain itu, dua golongan tersebut sama-sama mengharuskan seorang rawi memiliki

sifat adil dan d}abt}. Sedangkan perbedaanya, Sunni mengharuskan sebuah hadis

terhindar dari sya>z\ dan ‘illat, tetapi Syi’ah tidak memasukkan keduanya ke dalam

standarisasi kesahihan hadis, karena keduanya sudah terkandung di dalam

pengertian adil. Penjelasannya sebagaimana berikut ini:

1. Ketersambungan sanad (ittis}a>l al-sanad).

Ulama Sunni tidak sama dalam memahami apa yang dimaksud dengan

bersambungnya sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

bersambung sanad adalah apabila periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-

betul serah-terima hadis (tah}aqquq al-liqa>’). Menurut Imam Suyuti, Imam Al-

Bukha>ri mensyaratkan nyatanya pertemuan antara periwayat hadis dengan gurunya

(al-sima>’ wa al-liqa>’) dan tidak mencukupkan sezaman (al-mu’a>s}arah) dan

pertemuan yang sifatnya masih dugaan (imka>n al-liqa>’)63

Jika di atas adalah kajian standar kesahihan sanad menurut golongan Sunni,

namun standar periwayatan hadis s}ah}i>h} dari golongan Syi’ah, mengharuskan dari

kalangan imam yang maksum. Posisi ‘Ali> dan Imam Ma’sum sama dengan Nabi

Muh{ammad s.a.w.64

Dengan kata lain, para ulama Syi’ah dalam kajian sanad telah

memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa syarat yang

63

Al-Suyuti, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. I, (Beirut: Al-Kautsar, 1415 h.), h.. 69.

64Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ..., h. 97.Lihat juga dalam

keterangan, Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r

al-Fikr, t.th.), h. 425-426.

51

harus terpenuhi sebagai seorang rawi agar periwayatannya dapat diterima, yaitu;

sanadnya bersambung kepada imam yang imam maksumtanpa ada keterputusan di

dalamnya,seluruh tingkatan dari seluruh perawi hadis harus dari kalangan Syi’ah

Imamiyah, dan yang terkahirperawinya bersifat adil.65

Dalam standar kesahihan sebuah hadis, ulama-ulama Syi’ah menilai

periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan

lemah atau daifyang tidak boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari

selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka. Atas dasar

penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa mereka menolak hadis-hadis Sahih dari

tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain,

tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha. Alasan logisnya, karena riwayat-

riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam

yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-

riwayat tersebut dinyatakan daif oleh Syi’ah.

Ah}mad H{a>ris Suhaymi> dalam karyanya; Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah

al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah,

menjelaskan bahwa kajian Syi’ah tentang sanad, ketersambungan dan

keterputusannya, pada hakikatnya bertaqlid atau mengikuti kepada kajian ulama

65Abu> Zahrah mengutip pendapat Syaikh H}asan Zaynuddi>n dalam kitabnya Ma’a>lim al-Di>n,

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung

dengan yang ma’s}u>m, diriwayatkan oleh periwayat yang adildan kedabitannya pada seluruh

tingkatannya. Lihat Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu

(Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-426.

52

Sunni.66

Hanya saja Syi’ah tidak mengambil periwayatan sebuah hadis dari kalangan

sahabat pada umumnya, karena mereka memiliki kriteria khusus siapa yang berhak

disebut dengan sahabat. Oleh karena itu, tidak semua orang yang dianggap sahabat

oleh kalangan ulama Sunni adalah sahabat oleh kalangan Syi’ah.67

Namun demikian,

sanad Syi’ah Imamiyah lebih sahih dari pada sanad Sunni. Karena mereka tidak

mengambil sebuah riwayat kecuali dari orang s|iqah yang diambil dari imam-imam

mereka yang langsung bersambung kepada kakeknya, nabi, dari Malaikat Jibril yang

datangnya dari Allah s.w.t.68

2. Kualitas intelektual rawi (d}abt} al-ruwa>h).

Tidak ada perbedaan antara ulama Sunni dan Syi’ah mengenai arti dari d}abt}

al-ruwa>h. Mereka sama-sama mengartikannya dengan rawi yang memiliki kekuatan

hafalannya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja sesuai

kehendaknya sendiri, atau arti yang lain ialah seorang rawimampu memahami

pembicaraan sebagaimana mestinya, dan seketika itu dia langsung hafal (ingat)

dengan apa yang didenger dan mampu menyampaikannya sesuai dan sangat persis

dengan yang didengarkan itu.69

Adapun menentukan kualitas ke-d}abt}-an seorang

66Ah}mad H{a>ris Suhaymi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah

Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah (T.tp.: Da>r al-Sala>m, 2003), h. 180.

67S|a>lih} al-Wirda>ni>, ‘Aqa>’id al-Sunnah wa ‘Aqa>’id al-Syi>’ah, h. 110.

68Ah}mad H{a>ris Suhaimi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-

Sunnah..., h. 181.

69Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h.140. Bandingkan dengan, ‘Abd Alla>h

al-Ma>miqa>ti>, Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah (T.tp.: Naka>risy, 2000), h. 334-335.

53

rawi, setidaknya bisa diketahui dari; (1) didapat dari kesaksian atau penjelasan

ulama; (2) berdasarkan kesesuain riwayatnya dengan riwayat orang lain yang

memiliki ke-d}abt}-an maksimal; (3) kalau hanya mengalami satu kesalahan, maka

bisa disebut sebagai rawi yang dabit. Akan tetapi tidak disebut sebagai rawi dabit

apabila selalu mengalami kesalahan.70

3. Periwayat yang adil (‘adalah al-ruwa>h).

Maksud adil pada syarat periwayat yang ketiga ini masih menyisakan

perselisihan pendapat ulama Sunni. Ada yang memberi makna adil dengan beragama

Islam, balig, berakal, takwa, memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak

berbuat dosa besar, misalnya syirik, tidak berbuat dosa kecil, tidak berbuat bid’ah,

maksiat. Pada intinya, dua golongan ini memahami ‘adl dengan ketaatan seorang

periwayat terhadap ajaran-ajaran agama Islam.

4. Tentang persyaratan sya>z| dan ‘illah

Kelompok Sunni sebagaimana dalam definis hadis sah}i>h-}nya, meletakan

persyarat dua terakhir ini dengan jelas dan menjadi pertimbangan penting dalam

seleksi periwayatan hadis. Sedangkan dalam kajian Syi’ah dua persyaratan terakhir

tidak tertulis dalam definisi hadis s}ah}i>h}-nya.

70

Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h. 142.

55

BAB III

RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR SUBHANI

A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah1

Ja’far Subhani adalah seorang pemuka agama yang selama bertahun-

tahun mengajar dan mendidik murid-murid, menyampaikan tuntunan-tuntunan

agama dalam bentuk tabli>g, meneliti, menulis, dan juga menerjemahkan buku-

buku ilmiah. Semua itu hanyalah contoh kegiatan dan pengabdian yang berharga

dari pemikir besar Islam, ulama kontemporer, faqi>h yang juga pakar di bidang

Us}u>l al-Fiqh, mufassir yang juga ahli di bidang Ilmu Rijal, teolog yang juga

sastrawan, dan filsuf yang juga sejarawan ini. Selanjutnya kita coba menengok

sedikit dari riwayat hidup dia.

Aya>tulla>h Ja’far Subhani lahir pada tanggal 28 bulan Syawal tahun 1347

hijriah. Dia dilahirkan di kota Tabriz dalam keluarga yang terhormat dan terkenal

dengan ilmu, takwa dan kemuliaan. Kedua orang tuanya adalah seorang yang

zuhud dan terkemuka, yaitu Aya>tulla>h Muhammad Husein Subhani Khiyabani.

Dia adalah salah satu ulama dari kota Tabriz yang aktif mengajar, menulis,

1 Sejauh penelusuran, penulis tidak menemukan buku atau kitab khusus yang

menjelaskan perjalanan hidup Ja’far Subhani secara lengkap. Oleh karena itu, sementara penulis

mengacu pada tulisan yang tersebar di internet. Lihat Nasiruddin Anshari Qummi,

‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

56

memberi petunjuk kepada masyarakat dan mendidik murid-murid lebih dari lima

puluh tahun lamanya.

Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Ja’far Subhani mempelajari teks-

teks sastra persia di sekolah Mirza Mahmud Fadhil putra Fadhil Maroghi yang

merupakan salah satu murid Syekh Anshari. Di sana dia mempelejarai buku-buku

seperti Gulestan, Bustan, Ta>ri>kh al-Mu’jam, Nis}ab al-S}ibya>n, Abwa>b al-Jina>n

dan lain sebagainya. Kemudian pada usianya yang ke empat belas tahun

(tepatnya pada tahun 1361 h.) dia melanjutkan pendidikannya di Madrasah

Ilmiah Thalibiah dan menyelesaikan ilmu-ilmu pengantar dan tingkat-tingkat

tinggi atau yang biasa dikenal dengan sutuh. Dia belajar ilmu sastra dari Syekh

Hasan Nahwi dan Syekh Ali Kbar Nahwi, dan dia belajar kitab Mut}awwal,

Mantiq Manz}umah, dan Syarh{ al-Lum’ah dari Mirza Muhammad Ali Mudaris

Khiyabani penulis buku Raih>anah al-Adab (1373 h). Jenjang ini berlanjut selama

lima tahun, yakni sampai tahun 1365 h.2

Di tengah kegiatan belajar dan mengajar serta diskusi, Ja’far Subhani juga

rajin mengarang, di antara karya tulis pada periode itu –yakni ketika dia masih

berusia tujuh belas tahun. adalah dua buku yaitu Mi’yar al-Fikr, buku tentang

logika dan Muhaz|z>ab al-Bala>gah, buku tentang Ilmu Ma’a>ni, Baya>n dan Badi >’.3

Pergolakan di Azarbaijan dan munculnya kelompok demokrat yang

dipimpin oleh Pisyehwar dan Ghulam serta pembentukan pemerintah yang

2Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

3Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

57

tergantung kepada Uni Soviet menyempitkan ruang kegiatan belajar dan

mengajar di sana, itulah sebabnya terpaksa Ja’far Subhani mencari ganti

lingkungan pendidikan, dan akhirnya dia pergi menuju Hauzah Ilmiah Qom.

Kemudian, dia memasuki kota Qom, kemudian dia menyempurnakan pendidikan

tingkat-tingkat tinggi yang tidak sempat dia tuntaskan di Tabriz. Dia

mempelajari sisa buku Fara>’id} al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Haj Mirza Muhammad

Mujahidi Tabrizi (1327-1379 h.) dan Haj Mirza Ahmad Kafi (1318-1412 h.), di

samping itu dia juga mempelajari buku Kifa>yah al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Uzma

Gulpaigani (1414 h.).4

Setelah menyelesaikan tingkat-tingkat tinggi pendidikan pada tahun 1369

h. Ja’far Subhani memulai pelajaran-pelajaran kha>rij al-fiqh (kajian fiqih tingkat

tinggi) dan Us}ul al-Fiqh kepada Aya>tulla>h Uzma Bruwjurdi (1292-1380 h.) yang

mengajarkan kitab al-sholah dan Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Hujjat

Kuhkamari (1301-1372 hq.) yang pada waktu itu mengajarkan kitab al-bai’.

Aya>tulla>h Bruwjurdi memperkenalkan murid-muridnya dengan pendapat-

pendapat ulama terdahulu, fatwa-fatwa Ahli Sunnah, penelitian sanad hadis,

pemahaman makna hadis, dan kajian-kajian tentang akar permasalahan. Adapun

Aya>tulla>h Hujjah, selain pelajaran-pelajaran yang dia sampaikan dia memiliki

keistimewaan tersendiri di dalam hal klasifikasi pembahasan dan juga

penyimpulan. Selain itu dia juga belajar kepada Aya>tulla>h al-Uz}ma> Imam

Khomaini (1320-1409 h.) yang pada waktu itu mengajarkan Us}ul al-Fiqh bab

istis}ha>b. Ja’far Subhani menghadiri pelajaran Us}ul al-Fiqh Imam Khomaini

4 Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

58

sampai akhir periode pertama dan sejak awal dia sudah berniat untuk mencatat

semua pelajaran itu serta membukukannya. Pelajaran ini berlangsung selama

tujuh tahun. Pada tahun itu pula catatan-catatan Ja’far Subhani tentang pelajaran

ushul fikih Imam Khomaini dicetak.

Di samping belajar ilmu fikih dan Us}ul al-Fiqh, Ja’far Subhani juga rajin

mempelajari filsafat, teologi dan tafsir al-Qur’an. Sejak usia remaja, dia giat

sekali mempelajari ilmu-ilmu akal dan dia menghormati sekali tokoh-tokoh

pemikir, guru-guru logika dan ilmu akal. Itulah sebabnya di kota Tabriz dia

mendatangi Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Bad Kubeh’i (1390 h.) dan belajar

buku Syarh Qowa’id al-Aqo’id darinya. Setelah itu, dia menyempurnakan

pelajaran-pelajaran itu dengan duduk di bangku pelajaran logika dan filsafat

Aya>tulla>h Allamah Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’i (1402 h.). Dia juga

belajar Syarh} Manz}u>mah dan Asfa>r Arba’ah kepada Alla>mah Thaba’ Thaba’i,

selain itu dia juga rutin menghadiri acara malam kamis dan malam jum’at

bersama Allamah yang diisi dengan kajian kritis terhadap filsafat materialisme,

dan buku ‚Ushule Falsafeh wa Rawesye Realisme‛ yang ditulis oleh Syahid

Mut}ahhari> adalah hasil dari pertemuan-pertemuan itu. Kemudian berdasarkan

permintaan Aya>tulla>h Thaba’ Thaba’i, Ja’far Subhani menerjemahkan buku

tersebut ke dalam bahasa arab, dan jilid pertamanya dicetak dengan rekomendasi

langsung dari Allamah.5

Aya>tulla>h Ja’far Subhani sudah mulai mengajar ilmu-ilmu pengantar

ketika dia masih dalam proses belajar –pada tahun 1362 h. kemudian dia datang

5Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

59

ke Hauzah Ilmiah Qom pada usia 18 tahun dan tetap rutin mengajar, tak lama

kemudian dia pun mulai mengajar tingkat-tingkat tinggi. Selama hampir tujuh

tahun dia mengajarkan kitab Mut}awwal, berkali-kali dia mengajarkan kitab

Ma’alim dan Lum’ah, tujuh kali kitab Fara>’id} karya Syekh Anshari –selama 21

tahun–, berkali-kali kitab Maka>sib dan Kifa>yah, dan lima kali dia telah

mengajarkan kitab Syarh} Manz}u>mah –selama 10 tahun–. Kemudian pada tahun

1394 h. dia diminta oleh para murid dan dimotivasi oleh para ulama untuk

membuka pelajaran kha>rij al-fiqh dan Us}ul al-Fiqh, dan \pelajaran kha>rij tersebut

masih berlanjut sampai sekarang. Adapun pelajaran kha>rij Us}u>l al-Fiqh terhitung

sebagai pelajaran yang sangat penting dan salah satu keistimewaannya adalah

setiap hari pelajaran itu dicatat dan dicetak di bawah pantauan dia. Murid yang

hadir di pelajaran kha>rij dia berjumlah lebih dari enam ratus orang.6

Sampai saat ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani telah menyelesaikan pengajaran

kha>rij ushul fikih sebanyak tiga kali, setiap kalinya menghabiskan waktu selama

enam tahun, dan sekarang dia sedang mengajarkannya untuk kali yang keempat.

Banyak sekali catatan hasil pelajaran kha>rij dia, dan salah satu catatan yang

lengkap dari pelajaran kha>rij Us}u>l fiqh dia adalah bernama al-Mahs}u>l fi ‘Ilm al-

Us}u>l yang dicetak di dalam empat jilid. Di samping itu, selama dua puluh tahun

dia teratur mengajarkan kha>rij al-Fiqh, dan berbagai pembahasan telah dia

sampaikan, seperti bab zakat, h{udu>d, diyah, qadha>’, mud}a>rabah (dua kali),

makasib muh}arramah, khiyara>t, irs|, thala>q, nika>h, dan khumus. Dan banyak

sekali dari murid-muridnya yang mencatat rapi pelajaran dia bahkan sebagiannya

6Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

60

sudah tercetak. Selain itu juga, selama bertahun-tahun Aya>tulla>h Ja’far Subhani

mengajarkan kitab Asfa>r Arba’ah kepada murid-muridnya, bahkan di antara

murid-muridnya sekarang sudah menjadi guru filsafat bagi yang lain. Tidak

cukup hanya mengajarkan fiqh, Usu>l al-Fiqh dan filsafat, dia juga telah lama

mengajarkan akidah, teologi, ilmu rijal, dirayah, sejarah islam, syi’ahlogi, al-

Milal wa al-Nih}al, tafsir dan sastra. Bisa dikatakan, di tiap-tiap ilmu itu dia telah

meninggalkan karya yang banyak dan berharga untuk dapat digunakan oleh

masyarakat Islam selanjutnya.7

Sejak majalah Maktabe Islom dirintis, tanggung jawab rubrik tafsir Al-

Qur’an dipikul oleh Aya>tulla>h Ja’far Subhani. Sudah bertahun-tahun lamanya dia

menggeluti terjemahan sekaligus penafsiran al-Qur’an, di antaranya adalah surat

al-Taubah, al-Ra’du, al-Furqa>n, Luqma>n, al-H}ujura>t, al-H}adi>d, al-S}aff, dan surat

al-Muna>fiqu>n. Pada kelanjutannya, dia sampai kepada sebuah kesimpulan

tentang pentingnya tafsir tematis Al-Qur’an, dia yakin bahwa Al-Qur’an telah

membahas berbagai tema dan bukan pada satu tempat saja melainkan di berbagai

tempat yang terpisah, ayat-ayat tentang satu tema tidak berkumpul di satu

tempat, bahkan betapa banyak ayat-ayat tentang satu tema yang tersebar di

beberapa surat, maka sudah barang tentu untuk sampai kepada pandangan dan

kesimpulan yang universal dari ayat-ayat Al-Qur’an tentang tema tertentu harus

dilakukan pengumpulan ayat-ayat yang bersangkutan dan kemudian ayat-ayat itu

diperhatikan secara majemuk serta terkadang juga perlu pada pencerahan dari

sabda-sabda para manusia suci as. Kendatipun demikian, perlu diingat bahwa

7Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

61

ulama pertama yang membuka pintu ke arah tafsir tematis Al-Qur’an adalah

‘Alla>mah Majlisi>. Di dalam kitabnya, yaitu Bih}a>r al-Anwa>r mengumpulkan ayat-

ayat yang terkait dengan tiap-tiap bab, kemudian dia melakukan penafsiran yang

singkat terhadap ayat-ayat itu.

Dalam hal ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani memfokuskan kajian dan

penafsiran terhadap ayat-ayat tentang akidah Islam, kegiatan dia ini akhirnya

menghasilkan sebuah buku tafsir yang luar biasa bernama Mafa>hi>m al-Qur’a>n

dalam tujuh jilid, dan buku tafsir ini mendapatkan perhargaan dari berbagai

ulama dunia Islam sejak pertama dicetak dan disebarkan. Tak lama kemudian,

Aya>tulla>h Subhani juga merasakan kebutuhan masyarakat berbahasa persia

kepada tafsir semacam ini, itulah sebabnya dia segera menuliskan tafsir tematis

al-Qur’an ke dalam bahasa persia dan buku ini berhasil dicetak dan diterbitkan

dengan nama Mansyure Jowide Qur’on yang sekarang sudah mencapai empat

belas jilid.8

Aya>tulla>h Ja’far Subhani, yang sudah mulai menulis sejak dia berusia

delapan belas tahun dan selama 48 tahun berkecimpung di dalam penelitian,

sangat merasakan besarnya nilai hasil-hasil penelitian yang bersumber pada

referensi-referensi yang otentik, karena itu dia senantiasa berpikir dan

berkeinginan untuk mendirikan lembaga khusus bagi para peneliti dan penulis

agar mereka dapat merujuk kepada khazanah perpustakaan secara langsung dan

tanpa melalui prosedur yang rumit serta dapat dengan tenang meneliti dan

menulis tanpa harus memikirkan masalah yang lain. Kemenangan revolusi Islam

8Nasiruddin Anshari Qummi, ‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,

http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november 2017.

62

Iran membuka peluang dan kesempatan terwujudnya cita-cita itu, dan berkat

tekad Aya>tulla>h Ja’far Subhani yang bulat serta usaha dia yang keras dan juga

bantuan dari sejumlah orang yang baik maka Yayasan Pendidikan Dan Penelitian

Imam Shadiq as. berhasil didirikan pada tahun 1359 h. dan diresmikan pada hari

raya Ghadir Khum.

Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, masih banyak karya-

karya Ja’far Subhani lainnya. Penulis menemukan lebih dari delapan kitab hasil

karya Ja’far Subahni untuk berbagai disiplin ilmu. Yaitu9 Ahl al-Bait;

Sima>tuhum wa H}uququhum fi> Al-Qur’a>n, Mausu’ah Ah}a>di>s| Ami>r al-Mu’mini>n,

Mut’ah al-Nisa> fi> Kita>b wa al-Sunnah, Nail al-Witr min Qa>’idah La> D}arara wa

La> D}ira>r, Mut’ah al-Hajj fi D}au al-Kita>b wa al-Sunnah, Irsya>d al-‘Uqu>l ila>

Mabah}is| al-Us}u>l, Niz}am al-H}ukm fi> al-Isla>m, niz}a>m al-Qad}a>’ wa al-Syari>’ah fi>

al-Isla>m, Naz{ariyyah al-Kasb fi> ‘Af’a>l al-‘Iba>d, Mafa>him al-Qur’a>n, al-Milal wa

al-Nihal, al-Ila>hiyyah, al-Ins}af fi Masa>’il Da>ma fi>ha> al-Khila>f, al-Az|a>n Tasyri>’an

wa Fus}u>lan ‘Ala> D}au’ al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah, al-

Wahha>biyyah bain al-Maba>ni< al-fikriyyah wa al-Nata>’ij al-‘Amaliyyah, al-

Wahha>biyyah fi> al-Mi>za>n, al-Wud}u>’ ‘Ala> D}au’ al-Kita<b wa al-Sunnah, al-

Was}iyyah lil Wa>ris}, al-Mutakallim wa al-S}ifa>t al-Khabariyyah, al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm

al-Us}u>l, al-Ira>dah al-Ila>hiyyah, al-Muslim Yaris| al-Ka>fir Du>na al-‘Aks, al-Isla>m

wa Mutat}a>liba>t al-‘As{r, al-Asma> al-S|ala>s|ah, al-Isyha>d ‘Ala> al-T}ala>q, al-Aqsa>m fi<

al-Qur’a>n, al-I’tis}a>m bi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Ift}a>r fi al-Safar, al-Bulu>g|

Haqi>qatuhu>, al-Tauh}i>d wa al-Syirk, al-Tawassul, al-Bida>’, al-Tah}si>n wa al-

9 Nama-nama kitab Ja’far Subhani ini, penulis dapatkan dari kitabnya yang langsung

yang hampir semuanya dalam bentuk PDF.

63

Taqbi>h}, al-Bid’ah Mafhu>muha>, al-Basmalah, al-Khumus, al-Jam’ bain al-

S}ala>tain, al-H}aya>h al-Barzakhiyyah, al-H}ujjah al-Gharra>’, al-H}adi>s} al-Nabawi

bain al-Riawa>yah, al-T}ala>q al-Mu’allaq, al-S}aum fi> al-Syari>’ah, al-Salafiyyah

Ta>ri>khan wa Mafhu>man, al-Suju>d ‘Ala> al-Ard}, al-Ziya>rah fi> al-Kita>b wa al-

Sunnah, al-Si>rah al-Nabawiyyah, al-Syafa>’ah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qabd}

bain al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qasr fi> al-S}ala>h, al’Aul fi> al-Fara>id}, Taz|kirah al-

A’ya>n, Buh}us| Qur’a>niyyah fi al-Tauh}i>d wa al-Syirk, Ru’yah al-H}ila>l, Risa>lah

H}aul Ru’yah Alla<h, S}ala>h al-Tara>wi>h} bain al-Sunnah wa al-Bid’ah, S}iya>nah al-

As|a>r al-Isla>miyyah, Kulliyya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, ‘Ada>lah al-S}ah}abah bain al-‘At}ifah

wa al-Burh}a>n, ‘Is}mah al-Anbiya>’ d fi> al-Qur’a>, dan Us{ul al-H}adi>s

B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah

1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah

Selain konsep ima>mah, nikah mut’ah adalah ajaran yang dimiliki secara

khusus oleh kelompok syi’ah. Tentang konsep nikah mut’ah, para ulama syi’ah

sangat intens melakukan deskripsi dan narasi terkait syarat, rukun, dan yang

membatalkan akad mut’ah. Semua itu tertulis dalam karya-karya mereka. Kitab

Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah salah satu dari sekian banyak

kitab yang menjelaskan nikah mut’ah. Kitab ini hadir ke tengah masyarakat

dalam rangka melestarikan dan menyebarkan pemahaman mereka tentang nikah

mut’ah kepada para generasi mudanya. Penyebaran dan pelestarian tersebut

bukan sebagai bentuk yang lepas dari dalil-dalil hukum. Mereka meyakini

pelestarian nikah mut’ah adalah satu bentuk pengabdian terhadap ilmu

pengtehuan dan menyampaikan ajaran yang yang legal dalam pandangan mereka.

64

Berdasarkan pembacaan penulis terhadap muqaddimah dan kata

pengantar Ja’far Subhani yang tertulis di dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b

wa al-Sunnah dan kitab-kitab lainnya, penulis berkesimpulan bahwa karya-

karyanya ditulis tidak lepas dari konteks gejal sosial keagamaan yang

dialaminya. Ada beberapa point yang penulis temukan terkait motivasi Ja’far

Subhani menulis karya-karyanya. Pertama, Ja’far Subhani tengah melakukan

respons ilmiah terhadap wacana-wacana yang muncul. Kedua, respons-respons

ilmiah tersebut tidak lain untuk melestarikan ajaran-ajaran maz|hab yang

diyakininya dan melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran yang tidak

sejalan dengan pemikiran maz|habnya. Ketiga, respons-respons tersebut sebagian

besar ditujukan kepada pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan

maz|habnya, terutama kelompok wahabi dan sunni. Sampai saat ini, gejolak

politik anatara negara Arab Saudi dan Iran belum sempurna menjalin keselarasan

bahkan beberapa tahun yang lalu hubungan kedua negera arab itu sempat

memanas kembali. Keempat, dalam beberapa kitab, dia juga tengah merespons

dan melakukan kritik terhadap pemikiran-pemikiran ulama sunni termasuk dalam

kajian hadis dan ilmu hadis. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah

adalah salah satu bukti otentik akan motivasi Ja’far Subhani dalam

kepenulisannya.

Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah, menurut penulis adalah

kitab yang memaparkan konstruksi ajaran dan konsep nikah mut’ah dengan

pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagian besar dalil-dalil yang muncul adalah

hadis-hadis dari kitab-kitab sunni. Kitab-kitab sunni yang menjadi rujukan Ja’far

Subhani adalah kitab tafsir dan kitab hadis. Yaitu al-Durr al-Mans|u>r karya Al-

65

Suyuti, Mafa>tih} al-Ghaib, karya Fakhruddin Al-Razi, Tafsi>r al-Thabari karya

Ibnu Jarir Al-T}abari, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Musnad Imam Ah}mad,

Sunan al-Tirmiz|i>, Sunan Al-Da>rimi>, Mushannaf ‘Abdur Razza>q, dan lainnya.

Walaupun kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah kitab yang

tengah merespons pemikiran-pemikiran ulama sunni, tetapi Ja’far Subhani juga

meyakini dan menyadari bahwa nikah mut’ah adalah bagian dari masalah

khilafiyyah, bukan masalah pokok agama yang mengharuskan antara pengkajinya

berselisih dan bermusuhan serta saling menghitamkan satu sama lain. Dalam hal

ini, Ja’far Subhani juga mengutip surat Ali ‘Imra >n ayat 103 yang menjelaskan

tentang kewajiban setiap umat muslim untu tidak berselisih dan menjunjung

tinggi persatuan.10

Dari sini, penulis menilai bahwa Ja’far Subahni

memperlihatkan sikap inklusif dan menerima bentuk perbedaan pendapat dan

pemikiran.

Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, yang memuat 130

halaman, secara garis besar membahas tiga pembahasan pokok. Yaitu nikah

mut’ah dalam Al-Quran, nikah mut’ah dalam sunnah, dan nikah mut’ah dalam

tafsir-tafsir rasional (bi al-ra’y). Ayat Al-Quran yang menjadi fokus pembahasan

adalah ayat surat Al-Nisa ayat 24 yang diyakini sebagai ayat memberikan

legalitas ajaran nikah mut’ah. Sedangkan hadis-hadis yang dikutip adalah hadis-

hadis sunni dan hadis-hadis syi’ah. Adapun tafsir-tafsir bi al-ra’y menjadi bukti

penguat akan rasionalitas nikah mut’ah.

10

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 4.

66

2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah

Islam -sebagai pembawa syariat ilahiyyah terakhir, disampaikan oleh nabi

terakhir, dan melalui kitab terakhir, yaitu Al-Quran-telah mempersiapkan solusi-

solusi kemanusian dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan.

Termasuk dalam masalah-masalah kebutuhan biolgis manusia, Islam sejak abad

ke-14 yang lalu telah memberikan solusi demi terjaganya kehormatan manusia,

yaitu dengan mawarkan ajaran nikah. Dengan akad nikah, dua manusia menjadi

memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. Dengan memenuhi hak dan

kewajiban masing-masing tersebut diharapkan dari kelompok terkeceil yang

menjadi bagian dari masyarakat tersebut lahir kehidupan yang menciptakan

keharmonisan. Dalam ajaran syi’ah dan yang disampaikan Ja’far Subhani, untuk

merespons kebutuhan biologis manusia ada dua solusi. Pertama nikah mut’ah

yang disebut sebagai nika>h} mu’aqqat. Kedua, nikah ghoir mu’aqqat, atau nika>h}

da>’im, akad pernikahan yang diakui oleh semua maz|hab. Pada sub-bahasan ini,

penulis akan memaparkan konsep nikah mut’ah yang tertulis dalam kitab Mut’ah

al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.

Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani nikah mut’ah adalah:

تز ع بارة ع الكاملة ر الح المرأة ويج ن إة يكن نفسها لم بينبين ذا و ها

نسب مانع الزوج رضاع من احصان او عد او غير او او منة ذلك

يبالرضاواالتفاقفاذاانتهيمسم جل اليأمسمي ةبمهر ي الموانعالشرع

طالق منغير نمنه األجلتبي 11

Adalah menikahi wanita merdeka dengan syarat tidak ada hal yang

mencegahnya, seperti nasab, sesusuan, bersaumi, masih dalam iddah, dan

11

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum: Mu’assasah Imam

Shodiq, 2002), h. 16.

67

yang lainnya, dengan mahar yang telah ditentukan, atas dasar suka dan

rela serta sepakat sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas

waktu sudah selesai maka mereka berpisah tanpa ada ucapan t}ala>k.

Berdasarkan definisi di atas, secara sederhana nikah mut’ah juga memiliki

rukun yang harus dilaksanakan oleh para pelaksananya. Rukun nikah mut’ah,

sebagaimana penuturan Ja’far Subhani ada empat. Pertama, s}i>gah akad baik ijab

atau qabul. Seperti saya nikahi kamu, saya mengawini kamu, atau saya

bermut’ah padamu. Kedua, al-muh}ill. Yaitu ada laki-laki dan wanita yang siap

nikah mut’ah. Dalam persyaratannya, wanita-wanita yang semahram dengan

wanita yang dinikahinya haram untuk dinikahi sebagaimana dalam nikah da>’im.

Termasuk menikahi bibi bersama keponakannya. Kecuali ada perizinan dari

bibinya. Ketiga, mahar. Syarat-syarat mahar sama sebagaimana dalam nikah

da>’im. Yaitu dimiliki, diketahi dan terukur. Keempat, al-ajal, batas waktu. Jika

tidak ditentukan batas waktu, maka menurut sebagian pendapat akadnya menjadi

batal. Tetapi menurut sebagian lain akadnya berubah menjadi akad nikah

da>’im.12

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan praktek nikah mut’ah banyak

persamaannya dengan praktek nikah da>’im. Namun ada beberapa perbedaan.

Ketentuan-ketentuan praktek nika mut’ah adalah sebagai berikut13

:

1. Pernikahan nikah mut’ah melahirkan hubungan kekeluargaan.

2. Anak kandung istri tidak bisa dinikahi jika telah berhubungan intim

dengan ibunya.

12

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 19.

13 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.

68

3. Tidak ada talak. Talak terjadi secara langsung setelah habisnya batas

waktu.

4. Tidak saling mewarisi, kecuali ada kesepakatan sebelum akad

5. Iddah dua kali haid bagi wanita masih haid

6. Iddah empat pulu lima hari bagi wanita tidak haid lagi

7. Iddah empat bulan dan sepuluh hari bagi wanita yang ditinggal mati

8. Tidak ada iddah jika tidak pernah melakukan hubungan intim bagi

yang habis batas waktunya

9. Boleh melakukan ‘azl tanpa meminta izin

Dari beberapa ketentuan di atas, Ja’far Subhani menilai bahwa semua itu

adalah isyarat bahwa nikah mut’ah sama dengan nikah da>’im yang merupakan

pernikahan yang haqiqi.14

Ada hal yang mendasar dari pemikiran Ja’far Subhani perihal

diperlukannya praktek nikah mut’ah di zaman sekarang. Menurutnya, nikah

mut’ah itu seperti dawa>’ wa lais bi t}a’a>m, ‘ila>j li d}aru>riyya>t maqt}iyyah yuh}awwil

du>n intisya>r al-fasa>d fi> al-mujtama’ al-isla>miyy15 (nikah mut’ah itu obat bukan

makanan pokok, sebuah pengobatan karena kondisi membutuhkan pengobatan

dengan tujuan supaya tidak menyebarnya kerusakan moral di masyarakat). Selain

itu, Ja’far Subhani juga mencoba menghadirkan perkembangan sosial masyarakat

yang lebih menekankan akan perlunya dilakukan praktek poligami. Menurutnya,

kondisi yang dialami oleh para generasi muda zaman sekarang berbeda jauh

14

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.

15Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 9.

69

dengan yang sebelumnya. Salah satunya di kalangan para pelajar atau pencari

ilmu.

Dulu, para pencari ilmu sudah mapan dalam perlawatan mencari ilmu di

usia delapan belasa atau dua puluh tahun dan telah memperoleh ilmu yang

banyak dengan berbagai macam disiplin ilmu. Kemudian di usia tersebut mereka

telah siap untuk membentuk rumah tangga. Mereka tidak perlu menunggu lama

untuk menjalin hubungan pernikahan kecuali mereka yang meninggal di

pertengahan mencari ilmu. Sekarang kondosinya berbeda. Di usia delapan belas

atau sekitar dua puluh tahunan, justru mereka baru memulai perlawatan mencari

ilmu. Bahkan setelah mereka lulus dari bangku perkuliahan, mereka masih

memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan diri membangun

rumah tangga, yaitu mencari mata pencaharian sebagai bekal di pernikahannya.

Sehingga di usia tiga puluhan atau kurang mereka belum mapan dan belum

mampu mempersiapkan tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Oleh karena, di

periode ini ada jarak waktu yang cukup lama. Yaitu antara usia kelulusan sampai

menuju pernikahan sekitar sepuluh tahun an. Ini adalah fakta yang terjadi di

masyarakat sekarang dan tidak bisa dihindari.

Menurut Ja’far Subhani, sebagaimana mengutip pendapat filosof William

Russel, kondisi seperti jika dibiarkan bisa memunculkan rusaknya keturuan

dengan menyebarnya prostitusi yang disebabkan oleh tidak adanya solusi dalam

menyikapi pergaulan bebasa antara laki-laki dan perempuan. Menurut Russel,

maka harus ada solusi untuk mencegahnya. Dalam istilah Russel, solusinya

disebut pernikahan tanpa anak, dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan

kehamilan. Menurut Ja’far Subhani solusi seperti ini mungkin saja bisa

70

dilakukan, tetapi masih relatif menyulitkan. Karena jika kedua pasangan

melahirkan seorang anak, maka dia adalah anak yang secara hukum. Menurut

Ja’far Subhani solusinya telah disampai oleh ajaran Islam empat belas abad yang

lalu.16

C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani

1. Kedudukan Sunnah

Berdasarkan penjelasan Ja’far Subhani, sunnah menurut etimologi adalah

al-t}ari>qah, jalan. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, sunah diartikan

sebagai perkara yang lahir dari Nabi saw yaitu terdari dari ucapan, perbuatan,

penetapan. Sunah merupukan sumber hukum kedua setelah Al-Quran, baik yang

diriwayatkan secara lafz{i> atau ma’nawi>. Sunah tersebut merupakan pemberian

ilahi>yyah, khusus bagi umat Nabi saw. Sehingga atas kekuasanNya, mereka

memberikan perhatian besar terhadap sunah-sunah yang lahir Nabi saw. Dari

waktu ke waktu, mereka meriwayatkan dan menyebarkan sunah nubuwwah

tersebut dan menjadikanny sebagai sumber dasar keyakinan dan ajaran-ajaran

agama.17

Sunah sebagai sebuah sumber aturan yang keluar dari seorang Rasul,

keterkaitannya dengan Al-Quran adalah menjelaskan perkara-perkara yang masih

bersifat global dalam Al-Quran. Al-Quran dan sunah adalah dua sumber ajaran

Islam yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga seluruh umat Islam bersepakat

mengakui kedudukan Al-Quran dan sunah sebagai sebuah sumber mendasar

16

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 13

17 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 8

71

dalam menjalankan kehidupan. Bahkan, sebagaimana penuturan Ja’far Subhani,

para Ahlu Bait berpandangan bahwa sunah tidak hanya menjadi pedoman hidup,

Tetapi segala sesuatu di dunia ini terkandung dalam Al-Quran dan sunah. Hal ini

sesuai dengan yang disampaikan oleh Imam Baqir bahwa Allah swt tidak

meninggalkan sesuatu pun yang dibutuhkan manusia kecuali Allah swt

mempersiapkannya dalam Al-Quran dan Sunah. Begitu juga dengan pernyataan

Imam Shodiq yang menyatakan bahwa tidaklah segala sesuatu yang ada di dunia

ini kecuali seluruhnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.18

Sunah, keterkaitannya dengan Al-Quran, selain menjelaskan yang masih

bersifat global, dia juga memberikan batasan bagi ayat mutlak, takhs}i>s} bagi yang

‘amm, bahkan sunah berfungsi sebagai penjelas aspek teologis dalam Al-Quran.

Kedudukan serta fungsi yang terkonstruksi dalam perkatan, perbuatan, dan

penetepan, tersebut secara lafz}iyyah berasal dari lisan Nabi saw, tetapi secara

substantif, semuanya berasal dari wahyu ilahi. Sehingga Al-Quran dan Sunah

secara substantif, kedudukannya setara yaitu sama-sama melalui proses hasil

pewahyuan. Sebagai contoh adalah ibadah sholat, puasa, zakat, dan sebagainya,

seluruhnya tidak akan bisa dipahami oleh masyarakat kecuali dengan penjelasan

dari seorang utusan ilahi, yaitu Nabi saw. Sehingga di sinilah titik persamaan Al-

Quran dan Sunah.19

Oleh karena itu, Sunah adalah sumber syariat yang sangat

mendasar sebagaimana Al-Quran. Dalam hal ini, memahami ajaran agama tidak

cukup hanya kembali kepada Al-Quran saja, tanpa mengkaji Sunah. Dalam

18

Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, (Beirut: Imam

Shadiq, 2000), h. 9.

19 Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, h. 10.

72

pandangan Ibnu Hazm, seseorang yang mencukupkan Al-Quran dalam memahani

ajaran agam Islam dihukumi kafir atas dasar konsensus para ulama.20

2. Pencetus Ilmu Dirayah

Ilmu hadis, sebagai sebuah disiplin ilmu, memiliki kaidah-kaidah teoritis

yang menjadi bukti metodis epistimologinya. Kaidah-kaidah tersebut

diformulasikan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan

seputar hadis, baik dalam lingkup sanad atau pun matannya. Kaidah-kaidah

tersebut terhimpun dalam salah satu bagian ilmu hadis, yaitu ilmu hadis dirayah.

Ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau pun

teori-teori yang berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalah, baik

dalam aspek sanad atau pun matan. Pentingnya keberadaan ilmu hadis dirayah,

maka para ulama telah memberikan perhatian besar melalui karya-karyanya

dalam mengembangkan ilmu hadis ini. Baik ulama Syi’ah atau pun ulama Sunni

sama-sama mengembangkan disiplin ilmu hadis ini. Masing-masing kelompok

memiliki pencetus ilmu dirayah.

Dalam kajian ilmu hadis Sunni, ada dua nama yang sering disebut sebagai

pencetus ilmu dirayah. Yaitu Ramahurmudzi (w.360 h.) dengan karyanya al-

Muh}addis| al-Fa>s}il wa al-Wa’i> dan Hakim Naisaburi (w.304 h.) dengan karyanya

Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>s|.21 Sedangkan dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, menurut

Ja’far Subhani, pencetus ilmu dirayah adalah Jamaluddin Ibnu Tawus (w. 673 h.),

Al-Hilli (w. 726h.), Ibnu Dawud Al-Hilli (w. 707 h.) seorang ulama hadis yang

20

Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-Dira>yah, h. 11.

21Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Mizan Publika, 2009), h. 11

73

mencetuskan istilah-istilah baru tentang pembagian hadis dalam maz|hab

Imamiyyah. Selain itu, Ja’far Subhani juga menampilkan pendapat Hasan Shadr

tentang pencetus ilmu dirayah. Menurut Hasan Shadr, pencetus ilmu dirayah

adalah Hakim Naisaburi, penulis kitab al-Mustadrak ‘ala> S}ah}i>h{ain, sebagaimana

juga diakui oleh para ulama sunni.

Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani dan Hasan Shadr, maka ulama-

ulama Syi’ah sendiri terjadi perbedaan pendapat tentang pencetus ilmu dirayah.

Dalam hal ini, Ja’far Subhani memberikan penjelasan terkait pandangan Hasan

Shadr yang menyatakan bahwa pencetus ilmu dirayah di kalangan Syi’ah adalah

Hakim Naisaburi. Menurut Ja’far Subhani, jika keberadaan Hakim Naisaburi

diakui Hasan Shadr sebagai seorang ulama kalangan syi’ah imamiyyah, maka

dalam hal ini, Hakim Naisaburi adalah seorang syi’ah bedasarkan definisi yang

luas, syi>’iy ‘a>m, dengan indikator bahwa Hakim Naisabaru salah satu ulama yang

membenci orang-orang yang melakukan penistaan terhadap sahabat Ali bin Abi

Thalib dan mencintai ahlu bait. Selain itu, indikator lainnya adalah Hakim

Naisaburi juga pernah menulis kitab tentang keistimewahan-keistimewahan

Fatimah Al-Zahrah.22

3. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d

Menurut Ja’far Subhani khabar memiliki lima klasifikasi. Pertama,

khabar yang diketahui validitasnya secara pasti. Kedua khabar yang diketahui

validitasnya secara tidak pasti. Ketiga, khabar yang diketahui ketidak

benarannya secara pasti. Keempat khabar yang diketahui ketidak benarannya

22

Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 9-10.

74

secara tidak pasti. Kelima, khabar yang validitas dan ketidak benarannya masih

bersifat dugaan.

Dalam hal ini, hadis Mutawa>tir termasuk klasifikasi khabar yang

validitasnya sudah diketahui. Menurut Ja’far Subhani, suatu hadis bisa disebut

Mutawa>tir jika:

23همعليالكذبؤ نمعهتواط ؤم اي د ح قة ب هفيكلط ل سالس فانبلغت

Apabila rantai periwayatan di setiap tabaqah mencapai jumlah yang

mustahil untuk berbohong

Tentang syarat khabar mutawa>tir, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani

banyak mengutip pendapat Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy yang tertulis dalam kitab Al-

Mustas|fa>. Di sini, Ja’far Subhani tidak hanya mengutip tetapi juga memberikan

komentar dan kritik pendapat yang dinilai tidak berkesesuaian dengan

pemikirannya. Syarat-syarat khabar Mutawa>tir menurut Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy24

adalah:

Pertama, khabar yang diriwayatkan pasti akan kebenaran informasinya,

bersifat ilmiy, bukan zanniy atau prasangka. Maka jika penduduk kota Baghdad

menginformasikan tentang seekor burung dan mereka masih berprasangka bahwa

itu adalah seekor merpati, atau tentang seseorang yang mereka duga adalah

bernama Zaid, maka hal ini tidak diperoleh ilmu yang pasti bahwa yang terbang

itu adalah merpati atau orang itu adalah Zaid.

23

Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 24

24Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen.t.th.), h. 138-141

75

Kedua, khabar yang diriwayatkan adalah bersifat pasti, d}aru>ri>, dan

bersandar pada indera, bukan pada akal. Maka jika penduduk Baghdad

menginformasikan tentang fenomena alam atau tentang kebenaran sebagian para

nabi maka informasi seperti ini tidak disebut sebagai ilmu pasti.

Ketiga, karakteristik-karakteristik di atas dan jumlah periwayat yang

mustahil bohong harus ada di setiap t}abaqah. Maka jika periwayatan

diriwayatkan dari t{abaqah ke t}abaqah yang di antaranya tidak memenuhi syarat

periwayatan di atas, maka periwayatan tersebut tidak disebut sebagai informasi

yang pasti, tetapi masih bersifat dugaan.

Keempat, periwayat-periwayat khabar tersebut mencapai pada

kesempurnaan jumlah. Maksud kesempurnaan di sini adalah jumlah sempurna

yang melahirkan sebuah kesepakatan mustahil untuk menyembunyikan

kebenaran.

Terhadap syarat-syarat hadis Mutawa>tir di atas, Ja’far Subhani

memberikan komentar singkat. Contohnya, untuk persyaratan tentang

kesempurnaan jumlah, Ja’far Subhani memberikan komentar:

ننا"يؤمنمعهم ل اليهقو ضاف اني ب ج بلي كاف انهغبر رفت وقدع

25"همعليالكذبد تعم

Dan aku telah mengetahui bahwa syarat tersebut tidak cukup, harus

ditambahkan pendapat kita yaitu terbebas dari unsur kesengajaan untuk

berbuat bohong.

25

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 31.

76

Tentang syarat harus terpenuhinya syarat jumlah dan syarat ilmu pasti di

setiap t}abaqah, Ja’far Subhani memberikan komentar:

حص إ اذا التوات نه اال ل الطبقة في وص و ر ولكن ا لي, الخبر لي ل ذلك نا

الم بخبر المتواتر الم فوف ح الواحد ب للعل فيدة بالقرينة العلم فحصل الم

26الثانية قالتواترفيالطبقة اليتحق حاجة

Jika syarat Mutawa>tir sudah terpenuhi di t{abaqah pertama, tetapi

informasi tersebut sampai kepada kita dengan cara periwayatan khabar

Ah}a>d yang diyakini membawa ilmu pasti maka telah mencapai pada

derajat ilmu pasti dan tidak harus terpenuhi syarat Mutawa>tir di t}abaqah

setelahnya.

Dari beberapa komentar Ja’far Subhani tentang syarat hadis Mutawa>tir

yang disampaikan oleh Abu Hamid Gazali, penulis berkesimpulan bahwa syarat

hadis Mutawa>tir baik menurut Ja’far Subhani atau pun Abu Hamid Gazali adalah

sama. Perbedaannya hanya bersifat interpretatif yang tidak merubah substansi

syarat hadis Mutawa>tir.

Selain itu, Ja’far Subhani juga memberikan tanggapan atas pemikiran

Abu Hamid Gazali tentang syarat hadis Mutawa>tir yang cacat. Dalam kitabnya,

al-Mus}tasfa>, Abu Hamid Gazali mencantumkan syarat hadis Mutawa>tir cacat,

salah satunya adalah keharusan adanya periwayat-periwayat ma’s}u>m di setiap

t}abaqah. Menurut Abu Hamid Gazali, syarat tersebut merupakan syarat hadis

Mutawa>tir yang disampaikan oleh kelompok syi’ah Rafidhah27

. Dalam hal ini,

Ja’far Subhani memberikan sanggahan:

26

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 31.

27 Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen..t.th.), h. 160.

77

طوهر منهذاالشرط,ولوش ر ث همأ ب ت سفيك ي ل لعليالشيعةو نهتقو إ

منمستنبطة وينظرية جماععليفت ةاإلي ج همفيح هبعض نماشرط فإ

28الكتابوالسنة

Sesungguhnya dia telah mengada-ada atas nama Syi’ah, sebenarnya

syarat keharusan adanya periwayat ma’s}u>m tidak ada dalam kitab-kitab

mereka. Jika ada, maka syarat tersebut adalah yang disampaikan oleh

sebagian mereka dalam kehujahan ijma>’ atas fatwa masalah khilafiyyah

yang merupakan hasil istinbat dari Al-Quran dan Hadis.

Sejauh pembacaan penulis, yang mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam

hadis Mutawa>tir adalah adalah Ibnu Rawandi yang meninggal pada tahun 911 m.

hal ini disampaikan oleh salah satu ulama Syi’ah, Al’alla>mah Al-H}illi>, dalam

kitabnya Niha>yah al-Wus}u>l. al-H}illi> berpendapat bahwa yang mensyaratkan

periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir adalah Ibnu Rawandi. Tetapi, menurut

Al-H}illi>, pendapat ini adalah pendapat yang salah.29

Tentang Ibnu Rawandi, ‘Abdurrahman Badawi telah menjelaskan secara

khusus tentang biografi, pemikiran, kritik-kritik atas karya-karyanya. Menurut

Abdurrahman Badawi, Ibnu Rawandi adalah puncak maz|hab ilh}a>diyyah, ateisme

dalam Islam. Menurutnya, Ibnu Rawandi pernah melakukan kritik pemikiran

terhadap maz|hab mu’tazilah melalui karnyanya, Fad}ih}ah al-Mu’tazilah, dengan

menggunakan sudut pandang pemikiran maz|hab Syi’ah Ra>fid}ah.30

28

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 33.

29Al-H}illi>, Niha>yah al-Wus}u>l ila> ‘ilm al-Us}u>l, jld. 3, (Qum: Yayasan Imam Sodiq, 1427

h.), hm. 326.

30Abdurrahman Badawi, Min Ta>ri>kh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m, (Cairo: Siina, 1993), h. 89.

78

Berdasarkan verifikasi di atas, penulis berkesimpulan bahwa ulama syi’ah

tidak mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir. Adapun Ibnu

Rawandi, hanya menggunaka sudut pandang syi’ah Ra>fid}ah dalam menentukan

syarat periwayat ma’s}u>m.

4. Klasifikasih Hadis Ah}a>d

Dalam perkembangan ilmu hadis di kalangan Sunni, hadis pada awalnya

ada dua jenis. Yaitu s}ah}i>h} dan d}a’i>f. Setelah itu Imam Turmudzi

memperkenalkan satu tambahan jenis hadis yaitu hadis hasan. Di masa Imam

Turmudzi, hadis menjadi tiga bagian, s}ah}i>h}, hasan, dan d}a’i>f.31

Dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, hadis Ah}a>d terbagai menjadi empat jenis.

Yaitu shahih, hasan, muwas|s|aq, dan hadis d}a’i>f.32

Hadis S}ah}i>h} adalah:

عي م لهفيج ث عنم مامي لالعدلاإلنق صومب ع هاليالم د سن صل ماات 33وذ ذ ش تراه واناع بقات الط

Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang

yang ma’shum, diriwayatkan oleh periwayat-periwayat pengikut maz|hab

syi’ah imamiyyah di setiap t}abaqah dan terbebas dari sya>z|

Hadis Hasan adalah:

رنغي م مقبول ضةذم عار الم دوحب م ماميم صلسندهكذالكبإماات

عدالت نص ي ه علي م ج م في كو ب رات ع مع ب باق ال ن ه رجالص ي فة

34الصحيح

31

Subhi Shalih, ‘Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t}ala>h}uh, (Beirut: Darul Ilmi, 1995), h. 141.

32 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 50

33 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 50

79

Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke

seseorang ma’shum dan diriwayatkan oleh periwayat bermaz|hab

imamiyyah yang bersifat terpuji dan tidak ada bukti tentang cacat

dan kredibilitasnya, ada di setiap t}abaqah

Hadis Muwas|s|aq adalah:

معفسادعقيدتهيقهصحابعليتوثمادخلفيطريقهمننصاأل

35ولميشتملباقيهعليضعف

Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat bukan pengikut maz|hab

syi’ah ima>miyyah tetapi terbukti sebagai periwayat terpercaya.

Hadis D}a’i>f

مااليجتمعشروطاحدالثالثة

Hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis-hadis di atas; tidak

bersambung ke ma’shum, tidak bermaz|hab imamiyyah, bukan

periwayat yang ‘adl dan terpercaya.

Empat jenis hadis di atas, menurut Ja’far Subhani bisa diterima.

Terutama tiga hadis pertama, s}ah}i>h}, hasan, dan muwassaq. Adapun terhadap

hadis d}a’i>f Ja’far Subhani berpendapat:

ح جو والي ت ب ر اذ حاديثعيففيجميعاألفالض ذ زلنا حصلهناكما

36هبعضادبعض ؤي ماي ب هور ق د عليص ن القرائ

Tidak boleh membuang hadis d}a’i>f di semua hadis yang ada. Karena

terkadang dia memilik banyak indikator yang bisa dijadikan bukti

tentang kebenarannya. Bahkan terkadang hadis-hadis d}a’i>f itu saling

memperkuat sebagian yang lainnya.

34

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 52.

35 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 54.

36Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Beirut: Daur Al-

A’immah, 2012), h. 61.

80

Berdasarkan pernyataan Ja’far Subhani di atas, jelas bahwa sikap

terhadap sebuah hadis d}a’i>f sama sebagaimana para ulama sunni. Dalam kajan

hadis sunni, Hadis d}a’i>f bisa diterima dengan syarat kelemahannya tidak patal,

berkaitan dengan keutamaan beribadah yaitu tarhi>b wa targhi>b, tidak diyakinkan

sebagai sabda Nabi saw, memiliki dasar hukum dari hadis s}ah}i>h}, memberi

penjelasan akan ked}a’i>fannya, tidak menggunakan formulasi jazm yang

mengisyaratkan bahwa Nabi saw benar-benar pernah bersabda, tetapi

menggunakan ungkapan tamrid}, seperti ruwiya, qi>la, dan lain-lain.

Selain itu, definisi empat hadis di atas, secara tidak langsung

memperlihatkan bahwa pertimbangan kualitas sebuah hadis yang pertama

adalah kebermaz|haban. Walaupun kualifikasi seorang periwayat belum jelas,

tetapi jika sudah dipastikan bahwa dia seorang bermaz|hab imamiyyah yang

terpuji maka periwayatannya bisa diterima dan lebih diutamakan.

5. Periwayat Maqbu>l

Wacana hadis maqbu>l dan hadis mardu>d merupakan salah satu wacana

penting dalam ilmu hadis. Dalam kitabnya, Ja’far Subhani menjelaskan

mengungkapkan hadis maqbu>l dengan man tuqbal riwa>ya>tuh. Menurut Ja’far

Subhani, syarat-syarat periwayat yang bisa diterima periwayatannya ada lima37

:

37

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 132.

81

1. Islam

Dengan persyaratan ini ulama Syi’ah tidak menerima periwayatan dari orang

kafir seperti Yahudi, Nasrani, Khawarij, Syi’ah Ghulat, Mujassimah. Sedangkan

kafir dzimmi, periwayatannya bisa diterima, khusus dalam permasalahan wasiat.

2. Baligh

Periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis, maka periwayatannya tidak

bisa diterima jika usianya tidak mencapai baligh. Sedangkan yang sudah tamyi>z

terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi, menurut Ja’far Subhani pendapat yang

adalah tidak diterimanya periwayat yang baru mencapai tamyi>z.

3. Berakal

Sebagaimana menurut ulama Suni, periwayatan seseorang yang tidak berakal

maka tidak bisa diterima. Terutama orang yang tidak berakal sejak lahirnya.

4. Ima>miy

Dalam kajian ilmu hadis konsep ima>mi> menjadi pembahasan penting dan

menjadi titik pembeda antara Ilmu Hadis Syi’ah dan Ilmu Hadis Sunni.

Keberadaan syarat ima>mi> adalah sebagai sebuah fakta konsistensinya maz|hab

Syi’ah dalam menerapkan konsep ima>mahnya dalam semua aspek kehidupan dan

ilmu pengetahuan. Ima>miyy di sini tidak berarti harus kedua belas imam, tetapi

seseorang yang meyakini akan keimaman seorang imam yang ada di zamannya.

Menurut Ja’fa Subhani, seandainya imam dua belas harus ada di setipa t}abaqah,

maka akan ada banyak hadis sohih yang tertolak.38

38

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 51.

82

Jadi dalam kajian hadis Syi’ah, keberadaan seorang ima>miyy membawa

pengaruh positif akan kualitas sebuah hadis. ketika dalam rantai periwayatan

tidak ada ada seorang ima>miyy maka kualitas hadisnya akan menjadi lebih

rendah atau dinilai tidak sohih.

5. ‘Ada>lah

Tentang persyaratan ‘adalah bagi seorang periwayat hadis tidak ada

perbedaan yang signifikan antara ulama Sunni dan Syi’ah. ‘adalah adalah suatu

karakater yang secara konsisten menajaga ketaqwaan, meninggalkan dosa besar,

tidak kembali melakukan dosa kecil, dan menjaga kehormatan diri. Adapun

kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh anggota badan maka tidak

mempengaruhi terhadap kualitas ‘adalahnya.

6. D}abt}

Dalam wacana ilmu hadis Sunni populer dengan nama al-d}abt| fi> s}adr dan

d}abt} fi> al-kita>b. Begitu juga dalam tradisi Syi’ah. D}abt} adalah tingkat akurasi

hafalan atau tulisa hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis.

seorang periwayat hadis, baik hafala atau pun tulisan hadisnya diharuskan

memiliki akurasi yang baik. Jika tidak demikian, maka akan berpengaruh

terhadap kualitas periwayatannya. Dalam pembahasan syarat yang satu ini,

seorang periwayat yang mengalami atau memiliki cacat mata, atau ummiy tidak

menjadi penghalang keabsahan periwayatan. Bahkan tidak disyaratkan harus

menguasai suatu disiplin ilmu, seperti ilmu fikih, ilmu hadis, atau pun tidak ada

keharusan harus laki-laki atau pun perempuan.39

39

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 51.

83

6. Istilah-istilah Hadis Syi’ah

Selain pembagian hadis menjadi empat macam, yaitu hadis sohih, hasan,

muwassaq, dan d}a’i>f, nama-nama hadis syi’ah terbagi menjadi dua kelompok.

40Pertama kelompok hadis yang menghimpun empat hadis di atas. Ini disebut

musytarak. Kedua kelompok hadis yang khusus untuk hadis-hadis d}a’i>f. Ini

disebut dengan mukhtas|. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok musytarak

adalah musnad, muttas|il, marfu>’, mu’an’an, mu’allaq, mufrad, mudraj, masyhu>r,

ghari>b, muttafaq ‘alaih, mus}ah}h{af, ‘ali>, syaz|, musalsal, mazi>d, mukhtalif, nasikh-

mansu>kh, maqbu>l, mu’tabar, muka>tab, muh}kam, mutasya>bih, musytabih, maqlu>b,

musyatarak, mu’talif, mudabbaj, riwa<yah al-aqra>n, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-

as}agir, sa>biq-la>h}iq, mat}ru>h}, matru>k, nas}, musykil, z}a>hir, mujmal, dan mubayyan.

Sedangkan nama-nama hadis mukhtas} adalah mawqu>f , maqtu>’, munqat}i’,

mu’d}al, mud}mar, mursal, mu’allal, mudallas, mudt{}arib, maqlu>b, muhmal, majhu>l,

dan maud}u>’. 41

Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan dengan ringkas definisi hadis-

hadis di atas berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh Ja’far Subhani.

Hadis-hadis musytarak.42

Hadis musnad adalah hadis yang sanadnya

bersambung sampai ke sumber yang ma’shum, baik Nabi saw atau pun para

imam. Hadis muttas}il adalah lebih umum dari pada musnad. Jika musnad

bersambung ke sumber yang ma’shum baik nabi atau pun para imam (marfu>’)

40

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

41Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

42Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

84

atau hanya bersambung ke para sahabatnya (mauqu>f). Hadis marfu>’ adalah hadis

yang disandarkan kepada yang ma’shum, baik nabi atau pun salah satu imam,

berupa ucapan, perbuatan, penetapan, baik bersamung atau pun yang terputus.

Hadis mu’an’an adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘an ... ‘an ...hadis

mu’an’an pada dasarnya termasuk hadis periwayatannya dinilai bersambung

dengan syarat adanya dugaan dan kemungkinan yang kuat proses pertemuan

antara guru dan murid dan terbebas dari sikap tadli>s. Hadis mu’allaq adalah hadis

yang gugur sanad pertamanya, satu atau pun lebih. Hadis mufrad adalah hadis

yang tidak diriwayatkan kecuali oleh satu periwayat saja, atau satu kelompok

saja, atau satu penduduk kota saja. Hadis mudraj adalah hadis yang terdapat kata

atau kalimat yang disisipkan oleh periwayat hadis sehingga sisipan tersbut

dianggap bagian dari hadis. Hadis masyhu>r adalah hadis yang periwayatannya

populer di kalangan ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan ahli tasawuf. Jika

periwayatan populer di selainnya maka merupakan hadis d}a’i>f. Hadis ghari>b

adalah hadis yang dalam periwayatannya ada seorang periwayat yang menyendiri

baik dalam sanad, matan, atau dalam sanad dan matannya. Hadis muttafaq ‘alaih

adalah hadis yang disepakati oleh dua periwayat atau lebih. Hadis mus}ah}h}af

adalah hadis yang dalam sanad atau dan matannya terjadi perubahan dalam cara

baca atau perubahan huruf (muh}arraf). 43Hadis ‘ali> adalah hadis yang perantara

periwayatannya lebih sedikit dan bersambung ke sumber yang ma’shum.

Semakin dekat zaman periwayatan kepada sumber yang ma’shum maka sanad

hadis tersebut semakin tinggi kualitas sanadnya. Hadis sya>z| adalah hadis yang

diriwayatkan oleh periwayat s|iqah tetapi menyalahi periwayatan yang lebih

43

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

85

populer. Hadis musalsal adalah hadis yang sanadnya menggambarkan cara

periwayat dalam meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya dengan mengikuti

cara periwayat sebelumnya. Hadis musalsal pada dasarnya tidak menentukan

diterima atau ditolaknya sebuah hadis, tetapi lebih mengarah kepada seni dalam

meriwayatkan hadis. Hadis maz|i>d adalah hadis yang mengandung unsur

tambahan dari periwayat hadis baik dalam sanad atau pun dalam matan. Adanya

hadis mukhtalif adalah ketika ada dua hadis yang saling bertentangan.

Pertentangan tersebut baik bersifat pertentangan yang nyata yang tidak bisa lagi

melalui jalan kompromi atau pertentangan yang masih bisa dikompromikan.

Hadis na>sikh mansu>kh adalah menghapus hukum yang muncul terdahulu

dengan dalil sejenisnya dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak

ada maka legalitas hukumnya tetap berlaku. Hadis maqbu>l adalah hadis yang

diterima dan diamalkan. Hadis mu’tabar adalah hadis yang diamalkan oleh

banyak orang dan sah dijadikan dalil dalam beristinbat hukum. Hadis muka>tib

adalah hadis yang menceritakan tentang karya-karya imam ma’shum, baik yang

berkaitan penjelasan-penjelasan suatu hukum atau menjawab atas permasalahan-

permasalah. Hadis muh}kam adalah hadis yang maksudnya bisa diketahui secara

jelas dari tekstual redaksinya. Sedangkan hadis mutasya>bih adalah hadis yang

mengandung unsur makna yang tidak kuat. Hadis musytabih adalah hadis yang

mengandung kesamaran dalam benak periwayat bukan dalam tulisannya. Hadis

musytarak adalah hadis yang salah satu periwayatnya tidak jelas antara seorang

yang s|iqah atau tidak. Hadis mudabbaj adalah hadis yang didalamnya ada

periwayat-periwayat yang berdekatan dalam hal umur, sanada, atau pertemuan

dalam mencari ilmu kemudian periwayat-periwayat tersebut saling

86

meriwayatkan. Hadis aka>bir ‘ala> al-s}agha>’ir adalah sebuah hadis yang

didalamnya terjadi periwayat senior meriwayatkan hadis dari periwayat yang

masih junior, atau periwayat sahabat meriwayatkan hadis dari periwayat tabi’in.

Hadis sa>biq la>h}iq adalah hadis ketika ada dua periwayat yang bersama-sama

meriwayatkan hadis dari guru yang sama, kemudian salah satu periwayat

tersebut meninggal. Hadis mat}ru>h} adalah hadis yang berselisih dengan dalil

qat}’iyy dan tidak bisa ditakwilkan lagi. Hadis matru>k adalah hadis yang di antara

periwayatnya ada yang dinilai bohong dan hadisnya tidak diketahui kecual dari

jalur periwayatannya.Hadis musytarak adalah hadis yang banyak mengandung

kata-kata rumit yang tidak bisa dipahami kecuali oleh para ahli. Hadis nas} adalah

hadis yang maknanya jelas yang memiliki makna satu.

Hadis-hadis mukhtas}.44 Hadis mauqu>f ada dua macam. Pertama mauqu>f

mutlq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat nabi atau sahabat-

sahabat para imam. Kedua mauqu>f muqayyad, yaitu hadis yang diriwayatkan

oleh orang-orang yang bukan dari kalangan sahabat nabi dan bukan dari kalangan

sahabat para imam. 45

Hadis maqtu>’adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat

dari sahabatnya nabi dan para imam. Hadis munqat}i’ adalah hadis yang tidak

bersambung sampai kepada para imam ma’shum karena gugurnya satu periwayat

atau lebih. Hadis mu’d}al adalah hadis yang gugur dua periwayat atau lebih dalam

sanad periwayatannya. Hadis mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad

pertamanya, satu periwayat atau lebih. Hadis Mud}mar adalah perkataan sahabat-

sahabat imam ma’s}u>m ‚aku bertanya kepadanya, dia berkata atau menjawab‛

44

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

45Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 65-120.

87

dengan menyembunyikan nama imamnya dengan tujuan taqiyyah. Hadis ini

merupakan hadis yang dimiliki secara khusus oleh kelompok Syi’ah. Hadis

mursal adalah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat diterima dari imam

yang ma’shum namu pada dasarnya periwayat tersebut tidak bertemu dengan

imam tersebut. Hadis mu’allal adalah hadis yang di dalam sanad atau matannya

terdapat cacat yang samar dan sulit mendeteksinya kecuali oleh para ahli hadis.

Hadis mudallas memiliki tiga definisi. Pertama, seorang periwayat menyatakan

bahwa dia telah meriwayatkan hadis dari guru periwayatan yang sezaman dan

pernah bertemu tetapi pada dasarnya dia tidak pernah mendapatkan hadis dari

gurunya tersebut. Kedua, seorang periwayat hadis menggugurkan guru

periwayatannya yang dinilai lemah dengan tujuannya supaya sanadnya dinilai

baik. Ketiga, seorang periwayat hadis menyamarkan nama guru periwayatannya

dengan nama kunyah atau nama lain dari gurunya yang tidak populer. Definisi ini

dikenal dengan nama tadli>s al-syuyukh. Hadis mud}t}arib adalah hadis yang dalam

matan dan sanadnya terjadi perselisihan. Hadis muhmal adalah hadis yang dalam

sanadnya terdapat periwayat yang tertulis dalam kitab-kitab rijal tetapi belum

ada kesepakatan tenang kualitasnya, terpuji atau tercela. Hadis majhu>l adalah

hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang figurnya tidak dikenal

oleh ahli hadis. Hadis maud}u>’ adalah hadis bohong, hadis yang dibuat-buat dan

merupakan hadis yang paling rendah derajatnya.

Dari sekian nama-nama hadis dalam kajian ilmu hadis syi’ah, pada

umumnya ulama Syi’ah menggunakan istilah yang sama dengan ulama Sunni.

Yang menjadi titik perbedaan adalah mempertimbangkan kema’shuman para

imam untuk sumber periwayatan. Jika dalam hadis Sunni, sumber utama

88

periwayatan hadis adalah Nabi saw. Sedangan Syi’ah tidak hanya berpusat pada

Nabi saw, tetapi juga para imam ma’shum. Selain itu itu ulama Syi’ah juga

memiliki istilah khusus yang berkaitan langsung dengan ajarannya, yaitu hadis

mud}mar sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

7. Naskh Mansu>kh

Nasikh mansukh adalah sebuah metode yang digunakan ketika terjadi

kontradiksi dua dalil yang sudah tidak bisa dikompromikan. Kedua dalil tersebut

adalah benar-benar saling bertentangan bukan karena ragam interpretasi.

Implikasi dari sebuah nasikh mansukh adalah ketetapan legalitas hukum yang

disampaikan oleh dalil terakhir dan hilangnya legalitas hukum yang disampaikan

oleh dalil terdahulunya.

Menurut Ja’far Subhani naskh adalah:

46كانثابتال اله لو هعليوجه مثل دليل ب مالسابق ك الح ع ف ر

Menghapus hukum yang muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya

dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka

legalitas hukumnya tetap berlaku.

Tentang penghapusan antara ayat Al Qur’an dan hadis Nabi saw, Ja’far

Subhani sependapat dengan kesepakatan ulama bahwasannya penghapusan

terjadi antara Al-Qur’an dengan Al-Quran, Al-Qur;an dengan khabar Ah}a>d. Ja’far

Subhani juga mengakui adanya perbedaan pandangan tentang penghapusan Al-

Qur’an dengan hadis Ah}a>d. walau pun tidak memperlihatkan pandanganya dalam

karya tersebut, tapi penulis berkesemipulan bahwa Ja’far Subhani sepakat

46

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 88

89

demgan ulama yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang berdifat zhonni tidak

bisa menghapus dalil yang bersifat qat’i> .

Jafar Subhani juga menambahkan bahwa untuk mengetahui keberadaan

nasikh mansukh adalah Ada nash langsung dari saw seperti hadis, periwayatan

sahabat, data sejarah, dan ijma.

Dalam pandangan Ja’far Subhani, keberedaan imam dua belas dalam hal

ini adalah sebagai kasyif, celah pembuka yang menghubungkan nashk yang

disabdakan nabi. Fungsingnya untuk menyampaikan yang disampaikan oleh Nabi

saw kepada umatnya melalui perantara imam dua belas karena telah terputusnya

zaman nubuwwah.47

8. Keadilan Sahabat

Sahabat adalah orang yang pertama kali mendengar perkataan, melihat

perilaku, dan menyaksikan penetapan-penetapan Nabi saw tentang sebuah aturan

hidup bersosial dan beragama. Sahabat juga menjadi saksi hidup akan perjalanan

kehidupan Nabi saw sejak berada di tengah masyarakat Arab sampai akhir

hayatnya. Keberadaannya sangat penting karena menjadi pernyambung pesan-

pesan kenabiannya. Sehingga para ulama memberikan ruang khusus dalam

mengkaji keberadaannya sebagai periwayat hadis setelah Nabi saw. Seluruh

sahabat, dalam pandangan ulama Sunni, adalah ‘udul, yang berpengaruh bahwa

sahabat tidak perlu pengkajian lagi tentang periwayatannya, tidak boleh

melakukan celaan kepadanya, dan semua periwayatannya diterima. Argumentasi

47

Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 88.

90

keadilan sahabat tersebut berdasar kepada ayat-ayat suci Al-Quran, hadis, dan

ijma’ ulama.

Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Sunni, bagi ulama Syi’ah,

termasuk Ja’far Subhani, bahwa keadilan sahabat tidak merata untuk semua

sahabat. Dalam pandangan Ja’far Subhani argumentasi-argumentasi tentang

keadlian sahabat banyak mengandung tendensi dan subjektifitas. Dalam hal ini,

Ja’far Subhani menulis buku yang berjudul ‚’Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah

wa al-Burha>n‛ . Judul tersebut menjelaskan bahwa ada dua perspektif dalam

menyikapi keadilan sahabat. Ada yang memandang dengan subjektifitas dan ada

juga yang objektif berdasarkan dalil-dalil, baik Al-Quran atau pun sunnah.

Penulis berasumsi bahwa pendapat keadilan sahabat menurut mayoritas ulama

Sunni dinilai Ja’far Subhani sebagai pemikiran subjektif, tidak objektif atas

realitas yang terjadi di kalangan sahabat.

Ja’far Subhani menilai bahwa hidup bersahabat dengan Nabi saw dapat

melahirkan pengaruh terhadap kejiwaan para sahabatnya. Hal ini karena Nabi

saw adalah seseorang yang diberi cahaya ilahiyyah sehingga bisa memancarka

hal-hal positif kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, menurut

Ja’far Subhani, cahaya ilahiyyah tersebut diterima oleh para sahabat dengan cara

berbeda, berdasarkan kadar kemampuannya. Ada yang mencapai pada puncak

kesempurnaan ada juga yang tidak. Perbedaan hasil yang diperoleh dari

persahabatan tersebut terjadi dengan tiga faktor. Yaitu usia, kesiapan jiwa dalam

91

menerima cahaya ilahiyyah, dan perbedaan waktu kebersamaan serta

persahabatan dengan Nabi saw.48

Menurut Ja’far Subhani, seseorang yang baru mencapai usia muda, hati

dan jiwanya seperti tanah yang subur yang dapat tumbuh di atasnya tanaman apa

saja. Artinya sahabat-sahabat yang baru mencapai usia ini lebih mudah dalam

menerima cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Berbeda dengan orang yang sudah

sempurna jiwa dan pemikirannya, pengaruh cahaya ilahiyyah terhadap jiwa dan

alam fikirnya jauh lebih sulit diterima. Selain usia, perbedaan kesiapan para

sahabat dalam menerima hidayah ilahiyyah berbeda-beda. Hal ini berpengaruh

kepada hasil yang didapatkan oleh para sahabat terkait pengaruh yang

dipancarkan oleh cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Seperti halnya orang yang

tengah mencari ilmu pengetahuan, hasil yang didapatkan relatif berbeda sesuai

dengan kesiapan mentalnya ketika mencari ilmu. Selain itu, waktu persahabat

dan kebersamaan para sahabat dengan nabi juga tidak sama. Dalam hal ini, Ja’far

Subhani menjelaskan bahwa sebagian sahabat ada yang bersama nabi sejak

permulaan kerasulan, setelah kerasulan dan sebelum hijrah, ada yang masuk islam

setelah hijrah, selama sebulan, setahun, beberapa hari, dan ada yang bersama nabi

beberapa waktu saja. Menurut Ja’far Subhani, realitas ini menjadi faktor yang

memperkuat bahwa variasi waktu kebersamaan dan persahabatan para sahabat

dengan Nabi saw mempengaruhi akan kualitas keimanan, ketakwaan, keutamaan,

dan kemulian para sahabat.49

48

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, (Qum: Yayasan Imam

Shodiq, 1424 H.), h. 15.

49 Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 16.

92

Menurut Ja’far Subhani, para sahabat memiliki sifat sebagaimana

manusia biasa, tidak seperti malaikat yang selalu benar dalam perbuatan-

perbuatannya. Dia melakukan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan,

sebagaimana para tabi’in dan atba’ tabi’in setelahnya. Maka larangan atau

pengharaman melakukan kritik secara objektif kepada mereka adalah sesuatu

yang tidak wajar.50

Ja’far Subhani menilai bahwa ulama-ulama Sunni telah bersikap

berlebihan dalam memberi penilaitan posistif terhadapa para sahabat, terutama

tentang keadilan sahabat. Di antara sikap berlebihan tersebut adalah:

Pertama, menyatakan adanya sunnah sahabat, sebagaimana adanya

sunnah nabi. Dalam hal ini, Ja’far Subhani merespons pandangan ‘Ajaj Khatib

yang mengatakan bahwa istilah sunnah juga sah disandarkan kepada para

sahabat. dalam arti para sahabat memiliki sunnah-sunnah yang bisa menjadi

hujjah dan sah untuk diikuti. Tentang adanya sunnah sahabat tersebut didasarkan

pada hadis yang menjelaskan bahwa nabi pernah memerintahkan untuk

mengikuti sunnah-sunnahnya dan sunnah-sunnah para khalifah. Selain itu juga

berdasar pada pada hadis yang menjelaskan bahwa hanya ada satu kelompok

yang akan masuk surga yaitu ma> ana> ‘alaih wa as|h}a>bih, yaitu mereka yang

mengikutiku dan sahabat-sahabatku. Sunnah-sunnah yang telah dibuat oleh para

sahabat tersebut di antaranya adalah had minum khamr, kodifikasi Al-Quran atas

usulan sahabat Umar bin Khattab, menseragamkan bacaan Al-Quran dengan satu

dialek, dan sebagainya. Selain itu, Ja’far Subahni juga memberikan respons

terhadap pandangan Abu Zahrah yang mengatakan bahwa para imam maz|hab

50

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 18.

93

telah menjadikan fatwa sahabat sebagai dasar hukum walaupun mereka berbeda

dalam metode penerapannya. Misalnya, Al-Syafi’i menilai bahwa fatwa sahabat

itu bersifat ijtihad. Tetapi ijtihad para sahaba lebih baik dari pada ijtihadnya

sendiri. Sedangkan Maliki menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bagian dari

sunnah. Al-Suyu>t}i> juga memberikan pandangan bahwa sunnah-sunah sahabat

adalah bagian dari agama.51

Penulis menilah bahwa menurut pandangan Ja’far

Subhani tentang sikap tiga ulama di atas adalah sikap yang berlebihan dalam

memposisikan sahabat nabi. Secara tidak langsung, tiga ulama tersebut menilai

bahwa para sahabat memiliki hak untuk membuat syari’at dan menentukan

hukum. Sedangkan Al-Quran sendiri menyatakan bahwa yang berhak atas semua

itu adalah Allah swt.

Kedua, menghindari diri mengkritik sahabat. dalam hal ini, Ja’far Subhani

menyebutkan ulama besar, yaitu Ah}mad ibn Hanbal dan Asy’ari >. Menurut

Ah}mad ibn Hanbal sebaik-baiknya umat setelah wafat Nabi saw adalah Abu

Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib kemudian

sahabat-sahabat nabi setelah khulafaur rasyidun. Maka seseorang tidak boleh

menyebutkan sesuatu kejelakan mereka dan tidak boleh mencelanya. Barang

siapa yang melakukan demikian, maka seorang pemimpin berkewajiban untuk

mendidiknya dan memberinya sanksi serta memintanya untuk bertaubat atas

sikapnya tersebut. Jika masih tidal bertaubat maka berhak menjilidnya sampai

mau bertaubat. Sedangkan menurut Al-‘Asy’ari bahwa ada sepuluh sahabat yang

disaksikan langsung Nabi saw sebagai ahli surga. Kemudian sahabat-sahabat nabi

51

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 44.

94

selainnya yang tidak membutuhkan lagi kritik. Penulis menilai sikap-sikap ulama

di atas, dalam pandanngan Ja’far Subhani, adalah sikap yang berlebihan. Bahkan

Ja’far Subhani menilai bahwa pernytaan-pernyataan ulama di atas bertentangan

dengan Al-Quran dan Hadis.52

Ketiga, pernyataan sunah itu hakim bagi Al-Quran dengan maksud bahwa

Al-Quran itu membutuhkan sunnah. Ja’far Subhani menyebutkan bahwa

pandanngan tersebut merupakan pernyataan Al-Darimi dalam kitabnya. Tentang

hal, Ja’far Subhani menilai bahwa pernyataan yang ditulis Al-Da>rimi> tidak tepat.

Seharusnya adalah sunah membutuhkan Al-Quran bukan sebaliknya.53

Keempat, riiwayat-riwayat sahabat adalah hujjah tanpa terkecuali. Di

antara sikap berlebihan terhadap sahabat adalah berkesimpulan bahwa setiap

riwayat sahabat adalah hujjah tanpa terkecuali. Hal ini jelas berlebihan karena

derajat kualitas setiap sahabat adalah berbeda. Di antara mereka ada yang belum

kokoh imannya, munafik, dan ada juga yang fasik ketika turunnya Al-Quran. 54

Selain menilai adanya berlebihan dalam bersikap terhadap sahabat, Ja’far

Subhani juga menilai bahwa Al-Quran sendiri membuktikan bahwa sahabat

melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan keadilan sahabat.

Pertama, mengabaikan perintah nabi saw di saat perang Uhud. Kedua,

meninggalkan Nabi saw ketika berkhutbah. Ketiga, berkhianat dengan

melakukan nikah sirri. Keempat, penghianatan pada saat perang Badar oleh

52

Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 50.

53Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 53.

54Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n, h. 57.

95

sebagian sahabat. Kelima, melakukan perbuatan fasik dengan membohongi Nabi

dan para sahabat. Keenam, berselisih tentang masalah domba sampai saling

bermusuhan. Ketujuh, adanya orang-orang munafik yang menyelinap di antara

para sahabat.

D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani

Berdasarkan kajian biografi, pemikiran, dan karya-karyanya, penulis

memposisikan Ja’far Subhani sebagai seorang ulama syi’ah produktif, banyak

mencurahkan sebagian banyak waktunya untuk dunia akademik. Mengikuti alur

pemikirannya, Ja’far Subhani adalah seorang ulama besar syi’ah yang termasuk

pada kelompok us}u>liyyu>n. Kelompok ushuliyyun adalah nama kelompok ulama

syi’ah yang mengembangkan nalar-nalar ijtihad dengan paradigma ajaran syi’ah

ima>miyyah. Dalam kajian ilmu hadis, alur pemikirannya searah dengan ulama

sebelumnya seperti Hasan Shadr. Kelompok ulama ini, dalam perkembangannya,

bersifat lebih inklusif terhadap kajian hadis dan fikih. Buktinya adalah mereka

sudah banyak mengutip hadis-hadis atau pendapat ulama fikih dari kelompok

Sunni.

97

BAB IV

VALIDITAS KOMENTAR DAN PEMAHAMAN JA’FAR SUBHANI

TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH DALAM KITAB MUT’AH AL-

NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH

A. Nikah Mut’ah di Awal Islam

Nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan yang umum

dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Setelah Islam datang,

nikah mut’ah masih dipraktekan oleh sebagian masyarakat Arab. Dalam hal ini,

ahli sejarah, ulama Sunni, dan Syiah berpendapat bahwa praktek nikah mut’ah

masih dilakukan oleh segenap masyarakat bahkan para sahabat Nabi saw.

Tentang hal ini, Ja’far Subhani berpendapat bahwa mut’ah adalah jenis praktek

nikah yang populer di awal kedatangan Islam. Pendapat ini sesuai dengan

pandangan ulama besar seperti Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, dalam kitab Al-

Minha>j fi> Syarh} S}ah}i>h} Muslim.1 Quraish Shihab menegaskan bahwa seluruh

ulama baik dari kalangan Sunni atau pun Syiah bersepakat bahwa nikah mut’ah

pernah dibenarkan oleh Rasulullah dan dipraktekan oleh sebagian sahabat2.

Adapun Ja’far Subhani mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibn Abi> H}a>tim

dari Ibn Abba>s: yaitu:

1Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul

Afkar, t.th.) h. 871

2 Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah

Sunnah, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 213

98

ساءمتعةكانت لفالن جلكاناإلسالم،أو قدمالر سالبلدة، منمعهل

عتهلهصلح جمتاعه،بحفظصلحوالض تزو رىماقدرإلىالمرأةف

ه فرغأن عتهلهوتصلحمتاعهلهفتنظرحاجته،من 3ض

Diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata : nikah mut’ah

itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri

dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa

menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai

selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara

barangnya dan melayani urusannya

Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu contoh praktek mut’ah yang

terjadi pada awal Islam adalah praktek mut’ah yang dilakukan oleh seorang

musafir yang tidak ditemani oleh rekan, keluarga, dan bahkan istrinya.

Sebagaimana pemahaman Ja’far Subhani terhadap hadis tersebut, hal ini memang

menjadi fakta bahwa praktek nikah mut’ah sudah menjadi hal umum di kalangan

masyarakat Arab awal Islam. Huruf fa>’ dalam kata fatazawaju al-mar’ah

menunjukan bahwa tindakannya mengambil cara nikah mut’ah adalah tindakan

spontanitas yang tidak membutuhkan pertimbangan yang cukup lama. Karena

memang nikah mut’ah sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Arab pada

saat itu. Tetapi Ja’far Subhani juga mengakui bahwa Nikah Mut’ah yang

dipraktekan pada awal Islam tidak lepas dari konteksnya pada saat itu. Dalam

Istilah Ja’far Subhani nikah mut’ah dilakukan dalam z{uru>f kha>s} (kondisi-kondisi

tertentu) dan gha>yah ‘uqala >’iyyah (tujuan-tujuan kemanusiaan).4 Di sini Ja’far

Subhani juga menegaskan bahwa praktek nikah yang didengungkan oleh

3 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum: Muassasah Imam

Shodiq, 2002), h. 22

4 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 24

99

kalangan Syiah pada dasarnya tidak sekedar menghalalkan, tetapi memiliki

tujuan kemanusiaan demi tercapainya suatu kemaslahatan.

Sebagaimana dalam footnote yang terdapat pada kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi

al-Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, penulis menemukan bahwa Ja’far

Subhani mengutip hadis riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari kitab tafsir al-Durr al-

Mans\u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i> (w.911 h.). Berdasarkan \cetakan Mesir tahun

2003 riwayat tersebut terdapat pada juz 4 halaman 327 5. Jala>luddin Al-Suyu>t}i>

meletakan riwayat tersebut ketika memberikan penafsiran terhadap ayat فما

به ayat ke-24 surat Al-Nisa’. Pada dasarnya, Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tidak استمتعتم

hanya menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim ketika menafsirkan ayat فمااستمتعتمبه.

Penulis menemukan ada sekitar 32 riwayat yang terdiri dari hadis marfu>’ dan

hadis mauqu>f yang ditampilkan Jala>luddin Al-Suyu>t}i> ketika menafsirkan ayat

tersebut.6

Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang ada dalam

kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah tersebut dengan riwayat yang ada

dalam tafsir karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menemukan adanya perbedaan

redaksi antara Ja’far Subhani dan Jala>luddin Al-Suyu>t}i>. Perbedaan tersebut bukan

merupakan variasi riwayat, tetapi terletak pada penampilan matan yang tidak

sempurna. Ini terjadi dalam riwayat yang dikutip oleh Ja’far Subhani dalam kitab

Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah.7

5Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo: Al-

Muhandisin, 2003), h. 327

6 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, h. 327-335

7 Pada tahapan selanjutnya, nama kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah karya

Ja’far Subhani, akan ditulis dengan ringkas menjadi Mut’ah al-Nisa>’

100

Riwayat Ibn Abi> H}a>tim dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r adalah

sebagai berikut:

وأخشج ات أت داذى ػ ل ف ء انغا يرؼح كاد : "قال ػثاط، ات أو

اإلعالو، جم كا ظ انثهذج، قذو انش يؼه ن ؼره نه صهخ ي صهخ وال ض

ج يراػه، تذفظ شأج فرضو فشؽ أه شي يا قذس إن ان ظش داجره، ي نه فر

ؼره، نه هخ وذص يراػه ض ا: " قىل وكا رؼرى ف ته اعر ه غخرها" ي

" ش يذص غ " يغافذ وكا جم، تذ اإلدصا غك انش شاء ير

".شاء ير وطهق 8

Ibn H}a<tim telah meriwayatkan melalui jalur Ibn ‘Abba>s bahwa dia berkata;

nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke

suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya

dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang

wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu

memelihara barangnya dan melayani urusannya dan Ibn ‘Abba>s membaca

ayat ‚fa ma> istamta’tum bihi> minhunn ila> ajal musamma>‛, ayat tersebut

telah terhapus oleh ayat ‚muh}s}ini<n ghair musa>fihi>n‛ dan maksud kata al-

ih{s{a>n adalah seorang laki-laki bisa mempertahankan dan menceraikan

istrinya kapan saja.

Berdasarkan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, riwayat yang dikutip

Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tersebut bisa ditemukan langsung dalam kitab Tafsi>r al-

Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulillah wa al-S}aha>bah wa al-Ta>bi’i>n karya

Ibn Abi> H}a>tim (w.327 h.) pada urutan riwayat ke 5130 .9

Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang terdapat

dalam kitab Mut’ah al-Nisa> karya Ja’far Subhani dan kitab tafsir al-Durr al-

Mans|u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani tidak

8 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Jld. 4, h. 327

9Lihat Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Riyadh: Nazzar Al-Baz, 1997), h.

919

101

menampilakan riwayat secara utuh. Secara naratif, riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang

terdapat dalam tafsir al-Durr al-Mans|u>r menginformasikan dua informasi

penting. Pertama, menginformasikan praktek nikah mut’ah. Kedua, di penggalan

matan terakhir tersebut, riwayat Ibn ‘Abba>s juga menginformasikan bahwa

legalisasi nikah mut’ah telah dihapus oleh ayat Al-Qur’an lainnya. Dari sini bisa

disimpulkan bahwa sahabat Ibn ‘Abba>s mengakui adanya penghapusan dalam

hukum nikah mut’ah.

Berdasarkan riwayat yang dikutip dalam kitab Mut’ah al-Nisa>, informasi

kedua, tentang penghapusan hukum nikah mut’ah–sebagaimana yang terdapat

dalam tafsir Jala>luddin Al-Suyu>t}i>– tidak termuat dalam kutipan Ja’far Subhani.

Riwayat-riwayat yang dikutip Ja’far Subhani tersebut hanya sebatas

menginformasikan praktek nikah mut’ah di awal Islam. Ungkapan Ibn ‘Abba>s

tentang penghapusan nikah mut’ah tidak diinformasikan. Tidak adanya redaksi

penghapusan tersebut masih bersifat belum jelas, karena Ja’far Subhani tidak

banyak menampilkan pandangannya terhadap hadis tersebut. Pertama, apakah

motif tidak menampilkan redaksi penghapusan tersebut hanya sebatas ingin

menjelaskan secara historis tentang praktek mut’ah, sehingga cukup hanya

menampilkan penggalan pertama saja. Kedua, atau sebagai bentuk sikap

responsif Ja’far Subhani atas ketidak-setujuan adannya penghapusan legalitas

nikah mut’ah. Tetapi, penulis menilai bahwa motif Ja’far Subhani adalah yang

kedua, tidak setuju atas keberadaan penghapusan praktek nikah mut’ah. Karena

ketika Ja’far Subhani menerima riwayat Ibn Abi> H}a>tim ini sebagai hadis yang

meriwayatkan historikal nikah mut’ah berarti secara tidak langsung Ja’far

Subhani menerima ke-s}ah}i>h}-an hadis tersebut. Jika hadis tersebut dinilai s}a>h}i>h}

102

maka redaksi penghapusan nikah mut’ah pun harus diakui sebagai informasi yang

valid.

Selain melakukan kritik redaksional, penulis juga mencoba menganilisis

sanad periwayatan riwayat Ibnu Abi Hatim dari aspek kualitasnya. Analisis

kualitas riwayat ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas riwayat

yang dikutip oleh Ja’far Subhani. Karena kitab rujukan yang digunakan Ja’far

Subhani yaitu kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r memuat 32 riwayat. Selain itu,

karena kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r tidak memuat sanad secara utuh, penulis

langsung merujuk kepada karya Ibn Abi> H}a>tim sendiri yaitu Tafsi>r al-Qur’a>n al-

‘Az}i>m, untuk mendapatkan sanad yang sempurna. Berikut adalah sanad

sempurna yang terdapat dalam kitab tersebut:

ثنا ،سعد أبوحد مان،بنإسحاقثنااألشج دة،بنموسىعنسل :قالعب

دسمعت ،كعب بنمحم 10،عباس ابنعنالقرظ

Berdasarkan rantai periwayatan di atas, riwayat Ibn ‘Abba>s di atas

diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Abu> Sa’i>d al-Asyajj, dari Ish}a>q ibn

Sulaima>n, dari Mu>sa> ibn ‘Ubaidah dari Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy dari

Ibn al-‘Abba>s.

Periwayat Abu> Sa’i>d al-Asyajj. Dalam kitab T}abaqa>t al-H}uffaz} dijelaskan

nama lengkap Abu Sa’i>d al-Asyajj adalah Abu Sa’i>d al-Asyajj ‘Abdillah Sa’i<d

ibn H}as}i>n al-Kindiyy al-Ku>fiyy al-h}a>fiz}. Beliau merupakan salah satu imam di

zamannya yang berguru kepada ‘Abd al-Salam ibn H}arb, Abu Kha>lid al-Ah}mar,

10

Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, h. 919

103

Al-Mah}a>ribiyy, Hasyi>m, dan Khalq. Adapun para ulama yang berguru kepadanya

adalah enam imam mashur (Al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmiz|i>, Al-

Nasa>’i>, dan Ibn Ma>jah), Abu Zur’ah, Ibn Abi al-Dunya>, dan Khalq. Abu Hatim

menilai Abu Sa’i>d al-Asyajj sebagai periwayat yang s|iqah dan S}adu>q serta imam

di zamannya. Abu Sa’i>d al-Asyajj , menurut Abu Hatim, wafat pada tahun 257 h.

Beliau salah seorang periwayat hadis yang berada pada t}abaqah kedelapan.11

Periwayat Ish}a>q ibn Sulaima>n. Beliau memiliki nama lengkap Ish}a>q ibn

Sulaima>n al-Ra>zi>. Sebagaimana penisbatan namanya, beliau lahir di kota Ray,

Iran. Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ish}a>\q ibn Sulaima>n merupakan salah satu

periwayat yang s|iqah dan termasuk di antara wali abda>l serta memiliki sifat

wara’. Beliau wafat pada tahun 200 h, dan merupakan periwayat hadis t}abaqah

ketujuh.12

Periwayat Mu>sa> ibn ‘Ubaidah. Nama lengkapnya adalah Mu>sa> ibn

‘Ubaidah ibn Nasyi>t }. Beliau juga memiki nama kunyah Abu> ‘Abd al-‘Azi>z.

Menurut Ibnu Hibban, beliau wafat pada tahun 153 h. Beliau adalah salah

seorang periwayat hadis yang ahli dalam beribadah tetapi dalam ranah

periwayatan hadis banyak mendapatkan pandangan negatif dari para kritikus

hadis. Menurut Ibnu Hibban beliau memiliki tingkat hafalan yang lemah dan

11Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, (Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1983), h. 222

12 Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, h.155

104

pernah meriwayatkan hadis-hadis munkar. Dalam hal ini termasuk Yah}ya> Ma’i’in

benilai bahwa Mu>sa> ibn ‘Ubaidah adalah periwayat yang d}a’i>f.13

Periwayat, Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy. Nama lengkapnya adalah

Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}i> ibn Sali>m ibn Asad al-Quraz|i> Abu> H}amzah.

Beliau berguru kepada beberapa orang sahabat, seperti ‘Abbas ibn ‘Abd al-

Mut}a>lib, ‘Ali> ibn Abi> T}a>lib, Abu> al-Darda>’, Ibn Mas’u>d, dan ‘Amr ibn ‘A<s.}

Menurut Ya’qub ibn Abi> Syaibah, Muhammad ibn Ka’b lahir di akhir khilafah

sahabat Ali> ibn Abi> T}a>lib, dan meninggal pada tahun 17 hijriyyah. Tetapi

menurut penuturan al-Tirmiz|i>, Qutaibah menginformasikan bahwa Muh}ammad

ibn Ka’b tersebut hidup di zaman Nabi saw. Muhammad ibn Ka’b, sebagaimana

penuturan Ibnu Hibban, dia merupakan ulama yang berasal dari kota Madinah

dan mejadi ulama yang terkenal di zamannya.14

Kelima adalah Ibn ‘Abba>s adalah salah satu sahabat yang sekaligus

menjadi sepupu Nabi saw. Dari pamannya ‘Abbas. Di antara keistimewahan

sahabat Ibnu ‘Abbas adalah mendapatkan do’a langsung dari Nabi saw.

‚alla>humma ‘allimhu al-h}ikmah‛ dalam riwayat lain ‚allahumma faqqihhu fi al-

di>n wa ‘allimhu al-ta’wi>l‛. Dengan do’a khusus dari nabi tersebut Ibnu ‘Abbas

memperoleh sebutan h}abr al-‘arab, karena keluasan ilmunya, khususnya dalam

menafsirkan Al-Qur’an. Raja Jirjir dari Afrika adalah yang pertama kali

memberinya gelar tersebut. Menurut Ibn H}ajar Al-‘Asqalani, dengan mengutip

13Ibnu Hibban, al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n, jld. 2, (Riyadh: Darus Samai’i, 2000), h.

241

14Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 9, (India: Majlis Da’irah Ilmiyyah,

1908), h. 420

105

pendapat Al-Wa>qidi>, Ibnu Abba>s tengah berusia 13 tahun ketika Nabi saw

wafat.15

Setelah menganalisis riwayat-riwayat di atas, penulis memiliki beberapa

catatan. Riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang dikutip Ja’far Subhani tidak ditampilkan

dengan paparan yang sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab tafsir al-

Durr al-Mans|u>r, kitab yang menjadi rujukan Ja’far Subhani sendiri. Dari kutipan

yang tidak sempurna tersebut informasi yang disampaikan hanya tentang praktek

nikah mut’ah yang dilakukan oleh seseorang di zaman Nabi saw. Padahal pada

penggalan hadis berikutnya (sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Durr al-

Mans|u>r ) menjelaskan terjadinya penghapusan praktek mut’ah yaitu ayat fa ma>

istamta’tum bihi> ila> jal musamma> dihapus oleh ayat muh}s}ini>n ghoir musa>fihi>n.

Penulis berpendapat apapun motif Ja’far Subhani tentang pengutipan yang tidak

sempurna tersebut (hanya sebatas pemaparan data historis saja atau bentuk

responsif akan ketidaksetujuan adanya naskh dalam nikah mut’ah) pengutipan

semacam ini tetap harus ditampilkan secara sempurna. Dan perlu dicatat kalimat

ila> ajal musamma> menurut mayoritas ulama adalah variasi qira>’ah 16

bukan ayat

Al-Qur’an, yang dimungkinkan adalah salah satu bentuk penafsiran salah seorang

sahabat. Kedua, jika mempertimbangkan analisis para periwayat hadis riwayat

Ibnu Hatim tersebut, ada satu periwayat bernama Musa> ibn ‘Ubaidah yang

mendapatkan penilaian negatif dari beberapa kritikus hadis. Sehingga dari sisi

sanad hadis riwayat Ibnu Hatim tersebut berstatus d}a’i >f. Salah seorang ulama

15Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, h. 121-122

16 Muhammad bin Umar Bazmul, Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-

Tafsi>r ‛, (Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.), h. 428

106

hadis yang berkomentar tentang hadis ini adalah Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Dalam

kitab Fath} al-Ba>ri>, Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad hadis ini adalah d}a’i>f.

Bahkan menurutnya, hadis ini adalah hadis sya>z| karena berselisih dengan ‘illah

kebolehan mut’ah pada hadis yang s}ah}i>h}, yaitu riwayat Abu> Jamrah dan Isma>’iliy

yang menjelaskan bahwa ‘illah legalitas nikah mut’ah adalah kondisi darurat,

seperti ketika berperang dan sedikitnya perempuan. Dalam riwayat lain

dijelaskan bahwa legalitas nikah mut’ah seperti halnya legalitas memakan

bangkai pada kondisi tertentu. Artinya Nabi saw melegalkannya hanya dalam

kondisi-kondisi darurat.17

Berdasarkan analisis di atas, riwayat tentang praktek nikah mut’ah pada

awal Islam, jelas diterima oleh Ja’far Subhani sebagai landasan awal untuk

legalisasi nikah mut’ah. Penerimaan terhadap riwayat tersebut memperlihatkan

bahwa Ja’far Subhani telah menilai s}ah}i>h} riwayat tersebut. Akan tetapi,

berdasarkan analisis penulis di atas, pemikiran Ja’far Subhani tersebut tidak bisa

dinilai sebagai sebuah pemikiran yang valid. Karena Ja’far Subhani tidak

menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim secara sempurna sebagaimana yang tertulis

dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r. Hal ini bisa menjadi sebuah masalah akademik

karena bagian teks yang tidak ditampilkan memiliki kandungan makna penting.

Yaitu tentang penghapusan nikah mut’ah.

Berdasarkan teori kritik sanad Must}afa> Al-A’z}ami> riwayat yang

ditampilkan Ja’far Subhani adalah tidak sama dengan redaksi aslinya yang

17Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, (Riyadh: Daar Al-Thoyyibah, 2005), h.

425

107

terdapat dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Dalam hal ini, penulis menilai

bahwa Ja’far Subhai belum melakukan validasi keaslian teks sebagaimana yang

tertulis dalam sumber primernya.

Adapun berdasarkan pada teori kebenaran, pemikiran Ja’far Subhani

tentang riwayat Ibn Abi> H{a>>tim tidak koresponden. Karena data atau riwayat

yang ditampilkan tidak sesuai dengan fakta yang ada di sumber aslinya, yaitu

kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r.

B. Riwayat Tafsi>riyyah Surat Al-Nisa: 24

Sebagaimana pandangan mayoritas, ulama syi’ah juga menjadikan Al-

Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum. Namun mereka

menolak keberadaan qiyas.18

Dalam hal ini ulama syi’ah seperti Ja’far Subhani

juga mendasarkan legalitas nikah mut’ah pada Al-Qu’ran. Dengan metodologi

penafsirannya, Ja’far Subhani sebagaimana ulama syi’ah terdahulunya

mendasarkan legalitas nikah mut’ah terhadap surat Al-Nisa ayat 24. Ayat

tersebut menjadi ayat utama yang dipahami sebagai ayat yang menegaskan

hukum halal nikah mut’ah. Di ayat ke 24 tersebut, ada penggalan ayat yang

menjadi penafsiran fokus Ja’far Subhani dan ulama terdahulunya. Yaitu kalimat

fama> istamta’tum bihi> minhunna. Penggalan ayat tersebut dipahami sebagai

ayat yang tengah membicarakan legalitas nikah mut’ah.

18 Qiyas dalam pandangan Syi’ah Imamiyah tidak bernilai hujjah dan orang yang

mengikuti metode qiyas berarti mengikuti teori Iblis, karena Iblis yang pertama kali

mempergunakan qiyas tatkala ia tidak mau sujud kepada Adamh. Hal ini karena Iblis

mengqiyaskan penciptaan dirinya dari api yang lebih mulia dibandingkan dengan penciptaan

Adam dari tanah yang dipandang lebih rendah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maz|a>hib

al-Isla>miyyah, (Beirut: Darul Fikr al-‘Arabi, th.th), h. 538

108

Untuk mengarah kepada kesimpulan penafsiran tersebut, terlebih dahulu

Ja’far Subhani mencari korelasi antara ayat 23, 24, dan 25 dari surat Al-Nisa.

Menurut Ja’far Subhani tiga ayat tersebut secara bersamaan memaparkan perkara

yang haram dan yang halal tentang masalah wanita. Ayat 23 dan awal ayat 24

tengah membicarakan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi dengan

pengecualian para perempuan budak muslim. Sedangkan ayat ke 25 secara

khusus memaparkan legalitas nikah budak wanita muslim. Selanjutnya, menurut

Ja’far Subhani ada empat penggalan ayat tersisa. Yaitu, wa uh}illa lakum ma>

wara>’a z|a>likum, an tabtaghu> bi amwa>likum , muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>na, dan

fama> istamta’tum bihi> minhunna.19

Penggalan ayat pertama, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, maksudnya

adalah halalnya menikahi wanita wanita selain yang telah disebutkan. Sedangkan

penggalan ayat kedua, an tabtaghu> bi amwa>likum, maksudnya adalah

menjelaskan jalan yang disyari’atkan dalam menikahi wanita yang tidak

disebutkan di ayat 23, awal ayat 24, dan ayat 25 dengan cara memberikan

sebagian hartanya. Menurut Ja\’far Subhani, sampai penggalan ayat tersebut

maka ada beberapa solusi untuk menerapakan jalan yang disyari’atkan tersebut.

Yaitu nikah dengan memberi mahar, menikahi budak perempuan, atau prostitusi.

Kemudian di penggalan ayat keempat, muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>n. Dengan

penggalan ayat tersebut maka solusi dengan cara prostitusi pasti sudah tertolak

dan terlarang. Maka yang tersisa adalah menikahi wanita merdeka dan menikahi

budak wanita. Pada penggalan ayat terakhir, fama> istamta’tum bihi> minhunn,

19 Lihat Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h.29-31

109

secara langsung menegasikan pernikahan budak wanita, karena sudah dijelaskan

pada ayat ke 25. Dari penggalan ayat keempat berarti yang dimaksud dengan wa

uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum adalah menikahi wanita-wanita merdeka. Tetapi

menurut Ja’far Subhani, menikahi wanita merdeka tersebut ada di antara dua

pilihan yaitu nika>h} da>’im dan nika>h} mu’aqqat (nikah mut’ah). Dalam hal ini,

Ja’far Subhani dan ulama syi’ah lainnya memahami penggalan ayat fama>

istamta’tum bihi> minhunn adalah nikah mut’ah. Ada beberapa indikator yang

menjadi dasar penafsiran tersebut. Pertama, makna istimta’ (fama> istamta’tum )

pada saat turunnya ayat adalah al-‘aqd, akad pernikahan bukan menikmati dan

bersenggama dengan perempuan. Kedua, jika tidak dimaknai mut’ah, tetapi

dimaknai al-nika>h} al-da>’im maka akan nampak adanya pengulangan. Dan jika

dimaknai pemberian mahar setelah istimta>’ maka terjadi juga hal pengulangan,

karena sudah dijelaskan di ayat sebelumnya. Ketiga, beberapa sahabat

menafsirkan kata istimta>’ dengan nikah mut’ah. Keempat, adanya pernyataan

sahabat tentang kehalalan nikah mut’ah. Selain itu Ja’far Subhani menyatakan

bahwa ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunna adalah ayat nikah mut’ah dan tidak

pernah terjadi penghapusan. Dalam sub bab ini, penulis memfokuskan pada

indikator ketiga dan keempat.20

1. Makna Istimta>’

Ja’far Subhani berpendapat bahwa Istimta>’ dalam surat Al-Nisa ayat 24

bermakna nikah mut’ah atau akad nikah mut’ah. Pendapatnya tersebut berdasar

pada riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h:

20 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 29-31

110

جاتش أخشج يغهى ف صذذه ػثذ ت رغ كا قىل للا تانقثضح غر ش ي انر

قق سعىل ػهذ ػه األاو وانذ در تكش وأت -وعهى ػهه للا صه- للا

ش ه ػ ه ف ػ شو شأ ػ ث ت .دش 21

Diriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h bahwa kami dahulu melakukan nikah

mut’ah selama beberapa hari dengan mahar beberapa genggam kurma dan

tepung pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sampai Umar melarang nikah

mut’ah dalam kasus ‘Amr ibn H}urais|.

Dalam kitab S}ah}i>h} Muslim22, riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h diriwayatkan

oleh Muhammad ibn Ra>fi’ dari’Abd al-Razza>q dari Ibn Juraij dari Abu> al-Zubair

dari sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h.23

Periwayat Muh}ammad ibn Ra>fi’. Muh}ammad ibn Ra>fi’ adalah periwayat

hadis yang lahir pada tahun 170-an h. dan meninggal pada tahun 245 h.

Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam periwayatan hadis berguru kepada ‘Abd al-Razza>q,

Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abdullah ibn Idri>s, Abu> ‘Aliyy al-H}anafi> dan periwayat-

periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang berguru kepada Muh}ammad ibn

Ra>fi’ di antaranya al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>’i>, al-Tirmi>z|i> dan

21

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 32

22Tentang hadis Jabir di atas, tidak terjadi perbedaan redaksi matan hadis baik yang

tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ atau pun dalam kitab S}ah}ih} Muslimh. Redaksi dalam kitab

S}ah}i>h} Muslim adalah sebagai berikut:

ثنى دحد ثنارافع بنمحم اقعبدحد ز ج ابنأخبرناالر رأبوأخبرنىجر ب قولللاعبدبنجابرسمعتقالالز كناققالتمرمنةبالقبضنستمتع اموالد فىعمرعنهنهىحتىبكر وأبى-وسلمعلهللاصلى-للارسولعهدعلىاألث بنعمروشؤن حر

Lihat Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar Dauliyyah, 1998), h. 551

23 Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, h. 551

111

periwayat-periwayat lainnya. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam pandangan Muslim

dan al-Nasa>’i> adalah seorang periwayat yang s|iqah dan ma’mu>n.24

Periwayat ‘Abd al-Razza>q. Abd al-Razza>q nama lengkapnya adalah Abd

al-Razza>q al-Hamma>m. Abd al-Razza>q adalah periwayat hadis yang lahir pada

tahun 126 h. dan meninggal pada tahun 211 h. Abd al-Razza>q, dalam

periwayatan mengambil hadis dari Ibn Juraij, Hisya>m ibn H}isa>n, ‘Ikri>mah ibn

‘Amma>r dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang

mengambil hadis dari Abd al-Razza>q adalah Muh}ammad ibn Ra>fi>, Ah}mad ibn

H}anbal, ‘Ali> al-Madini>, dan periwayat-periwayat lainnya. Abd al-Razza>q, dalam

pandangan ulama kritikus hadis seperti Ah}mad al-‘Ajal dan Ya’qub ibn Sya>’i>

adalah seorang periwayat s|iqah. Ah}mad al-‘Ajal menambahkan bahwa Abd al-

Razza>q seorang periwayat hadis penganut madzhab syi’ah.25

Periwayat Ibn Juraij. Ibn Juraij memiliki nama lengkap ‘\Abd al-Malik ibn

‘Abd al-‘Azi>z, ibn Juraij al-Makki>, seorang ulama besar dari kota Makkah yang

wafat pada tahun 149 h. Dalam periwayatan hadis, Ibn Juraij meriwayatkan hadis

dari ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, T}a>wu>s, Ibn Abi> Mali>kah, S}afiyyah bint Syaibah, dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat hadis yang meriwayatkan

dari Ibn Juraij adalah al-Awza>’i>, al-Lais|, ‘I<sa> ibn Yu>nus, Waki>’, Wali>d ibn

Muslim, dan periwayat-periwayat lainnya. Ibn Juraij, menurut ulama seperti

‘Abd al-Razza>q, adalah seorang ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah

swt. Sedangkan menurut Ah}mad ibn H}anbal, Ibn Juraij adalah seorang yang

24 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, (Libanon: Darul Afkar Dauliyyah,

2004), h. 3247

25Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2264

112

memiliki kualitas sholat terbaik. Adapun menurut penulis Sair A’la>m al-Nubala>’,

Syams al-Di>n al-Z|ahabi>, Ibn Juraij merupakan periwayat s|iqah tetapi melakukan

tadli>s .26

Periwayat Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair, nama lengkapnya adalah

Muh}ammad ibn Muslim ibn Tadrus Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair lahir tahun 42

h. dan meninggal pada tahun 126 h. Abu> al-Zubair, dalam periwayatan hadis

meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn ‘Abba>s, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Umar,

‘Abdullah ibn ‘Amr, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat

yang meriwayatkan hadis dari Abu> al-Zubair adalah Ibn Juraij, al-Zuhri>, ‘Isma>’i>l

ibn Umayyah, ‘Ubaidilla<h ibn ‘Umar, ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, al-A’masy, H}ajja>j

ibn Abi> ‘Usma>n, dan periwayat-periwayat lainnya. Tentang periwayatan hadis,

al-Bukha>ri> dan Abu> H}a>tim al-Ra>zi> menilai Abu> al-Zubair lam yuhtajj bi>h, tidak

bisa dijadikan hujjah hadisnya. Selain itu Ibn H}ajar dan al-Z|ahabi> menilai bahwa

Abu> al-Zubair seorang mudallis. 27

Periwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah seorang

periwayat hadis dari kalangan sahabat yang meninggal pada tahun 78 h. Dalam

periwayatan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan hadis langsung dari

Rasulullah saw dan sejumlah sahabat. Di antaranya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, ‘Aliyy

ibn Abi> T}a>lib, Mu’a>z| ibn Jabal, dan sahabat lainnya. Sedangkan periwayat yang

26 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2571

27 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 3698

113

meriwayatkan hadis dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah Abu> al-Zubair, Ibn al-

Musayyab, Muja>hid, ‘Amr ibn Di>na>r, T}a>wu>s, dan periwayat-periwayat lainnya.28

Dari pemaparan biografi periwayat-periwayat hadis di atas, penulis

berkesimpulan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara ittis}a>l dari periwayat

pertama sampai periwayat terakhir. Walaupun ada periwayat yang diklaim

sebagai periwayat syi’ah yaitu ‘Abd al-Razza>q al-Hamma>m, tetapi

periwayatannya diterima oleh para kritikus hadis. Sehingga hadis Ja>bir ibn

‘Abdilla>h ini sah dinilai sebagai hadis s}ah{ih}.

Selain Ja’far Subhani, ulama sunni juga memposisikan hadis Ja>bir ibn

‘Abdilla>h dalam konteks nikah mut’ah. Misalnya Ibn H}ajar ‘Asqalani> mengutip

hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam kitab Fath} al-Ba>ri> untuk memperkuat bukti

tentang bolehnya pemberian mahar kepada seorang perempuan yang dinikahi

berupa cincin yang terbuat dari besi. Secara tersirat, Ibnu Hajar mengakui bahwa

konteks hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah nikah mut’ah. Dan ditegaskan dengan

kutipan riwayat al-Baihaqi bahwa yang dilarang oleh sahabat Umar adalah nikah

mut’ahnya bukan standar ukuran maharnya. Komentar ulama tentang hadis Ja>bir

ibn ‘Abdilla>h memperkuat pernyataan Ja’far Subhani bahwa istimta>’ dalam hadis

tersebut dipahami dalam konteks nikah mut’ah, dan Ja’far Subhani memahami

kata istimta>’ dengan akad nikah mut’ah.29

28 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4683

29 Ja’far Subhani memperkuat argumentasinya dengan hadis Khuwailah bint H}aki>m :

اببنعمرعلىدخلتحكم بنتخولةأن:عروةعن رضىالخط ةبنربعةإن:فقالتعنهللا مولدة بامرأة استمتعأمرضىعمرفخرجمنهفحملت جرعنهللا متكنتولوالمتعةهذه:فقالفزعاهرداء .لرجمتهفهتقد

Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa Khawlah bint H}aki>m menemui Umar ibn al-Khat}t}a>b dan berkata sesungguhnya Rabi>’ah ibn Umayyah telah bermut’ah dengan seorang

114

Berdasarkan komentar ulama-ulama di atas, baik kalangan Syi’ah atau

pun kalangan Sunni, memposisikan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks yang

sama yaitu nikah mut’ah. Perbedaannya, ulama Sunni tidak mengamalkan hadis

tersebut. Abu al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Jawzi> memasukan hadis Ja>bir ibn

‘Abdilla>h pada deretan hadis musykil dan memberikan ta’wil terhadap hadis

tersebut. Menurut Ibn al-Jawzi> larangan yang terkandung dalam hadis Ja>bir ibn

‘Abdilla>h belum merata ke seluruh sahabat sejak adanya perizinan dari

Rasulullah saw. Sehingga sampai masa kepemimpinan Abu Bakar nikah mut’ah

masih dipraktekan oleh beberapa masyarakat pada saat itu.30

Jauh sebelumnya,

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa informasi larangan nikah mut’ah

tidak sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dan kepada semua tabi’in yang

meriwayatkan hadis darinya.31

Pada dasarnya hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h

diletakkan pengarangnya dalam Kita>b al-Nika>h}, bab nika>h al-mut’ah annahu>

ubi>h}a s|umma nusikha s|umma ubi>h}a s|umma nusikha wa istaqarra tah}ri>muhu ila

yaum al-qiya>mah. Penamaan bab tersebut menginformasikan bahwa penulis kitab

tersebut mengakui terjadinya penghapusan dalam nikah mut’ah. Tetapi, Ja’far

Subhani tidak mempertimbangkan hal ini. Walau pun demikian, Ja’far Subhani

tetap berkesimpulan bahwa hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h tengah membicarakan nikah

mut’ah dan menjadi argumentasi tentang keberlangsungan legalitas nikah

mut’ah.

wanita sehingga hamilh. Kemudian Umar ibn al-Khat}t}a>b keluar dalam keadaan gemetar dan berkata inilah mut’ah jika aku bertemu dengannya pasti aku akan merajamnyah.

30 Lihat Ibn al-Jauzi>, Kasyf al-Musykil, Jld. 3, (Riyadh: Darul Wathon, 1997), h. 90-91

31 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, h. 169

115

Berdasarkan analisis di atas, pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis Ja>bir

ibn ‘Abdillah (menjadikan makna istimta>’ sebagai praktek mut’ah), bersifat valid

dalam arti kutipan hadisnya sama dengan yang dikutip dalam S}ah}i>h} Muslim.

Selain itu hadis yang dikutipnya memiliki periwayat-periwayat yang terpercaya.

Artinya selain valid, pemikiran Ja’far Subhani tentang hal ini bersifat

koresponden yaitu sesuai dengan data dan fakta ilmiah. Akan tetapi, di sini,

Ja’far Subhani tidak mengakomodasi pendapat Ibn H}ajar al-‘Asqalani> yang

menyatakan bahwa pada saat itu larangan nikah mut’ah belum sampai kepada

sahabat Ja>bir ibn ‘Abdillah. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani terlihat tidak

memiliki informasi yang sempurna tentang Ja>bir ibn ‘Abdillah dalam masalah

nikah mut’ah.

2. Tafsir Al-Nisa ayat 24

Surat Al-Nisa ayat 24 adalah dalil argumentatif tentang legalitas nikah

mut’ah yang dipegang oleh ulama Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani. Surat Al-

diposisikan sebagai ayat multitafsir. Pemaknaannya adalah tentang nikah

mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip riwayat-riwayat tafsir untuk

mempertegas maksud ayat fa ma istamta’tum bihi> minhunna. Di antara riwayat

tafsir yang menjadi argumentasi J\a’far Subhani adalah riwayat Ibnu ‘Abbas:

فما:قعنأبنضرةقالابنعباسرحهمنطالحاكموصحرجوأخ

هاكذلك!فقالابنرإقان.فقلت:م ىمسمهنإلىأجل نتمبهمتعتماس

32كذلكهاللازلألنعباس:وللا

Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya melalui jalan periwayatan sahabat

Abu> Nad}rah bahwa Ibnu ‘Abbas membaca fama> istamta’tum bihi> minhunna

32 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39

116

ila> ajal musamma>. Kemudian Abu> Nad}rah bertanya apakah seperti demikan

membacanya? Ibnu ‘Abbas menjawab. Benar sekali Allah menurunkannya

seperti itu.

Riwayat ini, secara literal, jelas bahwa kata ajal musamma> adalah bagian

dari ayat 24 surat Al-Nisa. Riwayat ini, oleh Ja’far Subhani dikutip dari kitab

tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Berdasarkan kitab tafsir tersebut, riwayat Ibnu ‘Abbas

juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibn al-Anba>ri> dalam kitab al-Mas}a>h{if. 33

sedangkan dalam kitabnya, Ja’far Subhani hanya menginformasikan dari H{a>kim

saja.

Dalam kitab al-Mustadrak karya H{a>kim34, riwayat Ibn ‘Abbas tersebut

diriwayatkan dari Abu> Zakariya> al-‘Anba<ri> dariMuh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m

dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m dari al-Nad}ar ibn Syami>l dari Syu’bah dari Abu> Salmah,

dan dari Abu Nad}rah.35

Periwayat, Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari adalah

periwayat yang memiliki nama lengkap Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdulla>h ibn

Muh}ammad al’Anbari> dan populer dengan sebutan nama yah}ya> ibn Muh}ammad

33 Lihat Jalal al-Di>n Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo:

Al-Muhandisin, 2003), h\. 328

34 Tidak ada perbedaan redaksi tentang riwayat Ibn ‘Abba>s tersebut, baik dalam kitab

Mut’ah al-Nisa>’ karya Ja’far Subhani atau pun dalam kitab Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ainih. Redaksi dalam kitabal-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini adalah sebagai berikut:

أنبؤ،شملبنالنضرأنبؤ،إبراهمبنإسحاقثنا،السالمعبدبنمحمدثنا،العنبريزكراأبوأخبرناامف)،عنهماللارضعباسابنعلىقرأت:قول،نضرةأباسمعت:قال،مسلمةأبوثنا،شعبةقال«ىمسملجأإلىمنهنبهاستمتعتمفما:»عباسابنقالفرضةهنروجأفآتوهنهننمبهتمتعتماسصحححدثهذا«»كذلكللاهالزنألوللا:»عباسابنفقال.hكذلكهارإقنما:فقلت:نضرةأبو

«جاهرخولممسلمشرطعلى

Lihat Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, Jld. II, (Beirut: Darul Kutub

‘Ilmiyyah, 2002), h. 334

35 Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, h. 334

117

al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> lahir pada tahun 268 h. Dan wafat pada tahun 344 h.

Dalam periwayatan hadis Abu> Zaka>riyya meriwayatkan hadis dari Muh}ammad

ibn ‘Abd al-Sala>m al-Naisa>bu>ri>, Muh}ammad ibn ‘Amr ibn al-Nad}ar, Nas}r ibn

‘Aliyy, Yu>suf ibn Mu>sa>, Ibra>hi>m ibn Ish}a>q ibn Yu>suf al-‘Naisa>bu>ri> dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat hadis yang

meriwayatkan hadis dari Abu> Zaka>riyya adalah Ah}mad ibn H}usain al-Naisa>bu>ri>,

Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal, H}asan ibn Muh{ammad, Z}afr ibn Muh}ammad

ibn Ah}mad, Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h ibn H}amdawih} dari periwayat-periwayat

lainnya. Abu> Zaka>riyya dalam pandangan para kritikus hadis memperoleh

penilaian-penilaian positif. Abu> Bakr al-Baih}a>qi> memberikan penilaian ‘a>lim,

adi>b, dan mutqin. Abu> Abdillah al-Naisa>bu>ri> menilainya seorang periwayat yang

‘adl, dan selain periwayat hadis Abu> Zaka>riyya juga seorang ahli tafsir.

Sedangkan menurut al-Z|ahabi>, Abu> Zaka>riyya adalah periwayat yang s|iqah.36

Periwayat Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m. Periwayat Muh}ammad ibn

‘Abd al-Sala>m memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m ibn

Basyar. Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m wafat tahun 286 h. Dalam periwayatan

hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m menyampaikan hadis dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m

ibn H}abi>b, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abbad, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m Mukhi>di, H{usain ibn

‘Aliyy ibn Yazi>d dan periwayat lainnya. Sedangkan di antara periwayat hadis

yang meriyatkan hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah Yah}ya> ibn

Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h al-‘Anbari>, Yu>suf ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ya’qu>b,

Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Umar, Muh}ammad ibn Ja’far ibn Muh}ammad dan

36Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4196

118

periwayat lainnya. Tentang penilaian ulama terhadap Muh}ammad ibn ‘Abd al-

Sala>m, penulis baru menemukan penilaian dari al-Z|ahabi>. Menurut al-Z|ahabi> ,

Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah seorang periwayat yang s|iqah¸ ahli

berpuasa, ahli bangun tengah malam, dan seorang ulama rabbaniyy. 37

Periwayat al-Nad}r ibn Syumail. al-Nad}r ibn Syumail memiliki nama

lengkap al-Nad}r ibn Syumail ibn Yazi>d. al-Nad}r ibn Syumail. Populer dengan

sebutan nama al-Nad}r ibn Syumail al-Ma>zini>. al-Nad}r ibn Syumail lahir pada

tahun 123 h. dan meninggal pada tahun 203 h. Dalam periwayatan hadis al-Nad}r

ibn Syumail berguru kepada Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Warad, S}a>lih ibn Abi> al-

Akhd}ar, Syadda>d ibn Sa’i>d ibn Ma>lik, Sulaima>n ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m,

Zaid ibn Muh}ammad ibn Zaid, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan

periwayat yang mengambil hadis dari al-Nad}r ibn Syumail adalah Ish}a>q ibn

Ibra>hi>m al-Naisa>bu>ri>, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Bagda>di>, Ibn Mazi>d, H{a>ris| ibn Suraij,

H{asan ibn Bakr, H}asan ibn ‘Abdillah. Tentang kualitas periwayatan al-Nad}r ibn

Syumail, mayoritas para kritikus hadis menilainya positif. Para kritikus hadis

seperti Abu> H}a>tim al-Ra<zi>, Ibn Abi> H{a>tim al-Ra>zi>, Ibn H{ajar, danYah{ya> ibn

Ma’i>n menilai al-Nad}r ibn Syumail sebagai periwayat hadis s|iqah.38

Periwayat Syu’bah. Syu’bah, dalam periwayatan hadis memiliki nama

lengkap Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Ward dan populer dengan sebutan nama

Syu’bah al-H}ajja>j al-‘Ataki>. Syu’bah, dalam periwayatan hadis Syu’bah berguru

kepada Abu> Salamah, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>, Aswad ibn Qais, Asy’as

37Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.3491

38Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4091

119

ibn Abd al-Malik, Azraq ibn Qais, Ayyub ibn Kaisa>n, Ibra>him ibn ‘A<mir dan

periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan

hadis dari Syu’bah adalah al-Nad}ar ibn Syumail, ibn Kharasah, Nas}r ibn ‘Aliyy,

Ha>syim ibn al-Qa>sim, Muh}ammad ibn Ja’far, Hisya>m ibn ‘Abd al-Ma>lik, Hila>l

ibn Faya>d}, Waki>’ ibn al-Jarra>h}, Ya>sir ibn H{amma>d, Yah}ya> ibn Ra>syid dan para

periwayat lainnya. Syu’bah adalah di antara periwayat hadis yang banyak

memperoleh penilaian positif dari para kritikus hadis. Ibnu Hajar memberikan

penilaian terhadap Syu’bah sebagai periwayat s|iqah, h}a>fiz}, mutqin. Sedangkan

Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fi’iyy pernah memberi pernyataan law la>h ma> ‘arafa al-

h}adi>s| fi> al-‘iraq, jika tida Syu’bah maka hadis tidak akan dikenal di kota Iraq.

Sufya>n al-S|auri> menilainya sebagai ami>r al-mu’mini>n fi> al-h}adi>s|. Bahkan Yah}ya>

ibn Ma’i>n menilai Syu’bah sebagai ima>m al-muttaqi>n.39

Periwayat Abu> Salamah. Abu> Salamah memiliki nama lengkap

‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf. Abu> Salamah lahir pada tahun 22 h. dan

meninggal pada tahun 94 h. Dalam periwayatan hadis Abu> Salamah

meriwayatkan hadis dari Munz|ir ibn Ma>lik, yang terkenal dengan nama Abu> al-

Nad}ar, Na>fi’ ibn Jubair, Fa>t}imah ibn Muh}ammad ibn ‘Abdillah, ‘Amr ibn al-‘As},

‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para

periwayat yang meriwayatkan hadis Abu> Salamah adalah Syu’bah al-H{ajja>j, Abu>

Ibra>hi>m, Ah}mad ibn ‘Abdillah ibn H}amdawih, Ayu>b ibn Kaisa>n, Ibra>hi>m ibn

‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf, H}asan ibn Yazi>d ibn Faraokh, dan para periwayat-

periwayat lainnya. Pada umumnya para kritikus hadis seperti Ibn H}ajar, dan

39Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.1980

120

Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai bahwa periwayat Abu> Salamah adalah periwayat s|iqah.

Bahkan al-Z|ahabi pernah menyatakan bahwa ada empat periwayat yang

mendapat gelar buh}u>r, lautan ilmu, yaitu ‘Urwah, Ibn al-Musayyab, ‘Ubaidillah,

dan Abu> Salamah.40

Periwayat Abu> Nad}rah. Nama lengkap Abu> Nad}rah adalah Munz|ir ibn

Ma>lik ibn Qat}’ah. Abu> Nad}rah meninggal pada tahun 108 h. Abu> Nad}rah adalah

seorang periwayat dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para

sahabat seperti Anas ibn Ma>lik, Bila>l ibn Rabbah, Hasan ibn ‘Aliyy, Samurah ibn

Jundab, Abu> Hurairah, dan sahabat-sahabat lainnya. Sedangkan para periwayat

yang meriwayatkan hadis dari Abu> Nad}rah adalah Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n

yang populer dengan nama Abu> Salamah, Ibra>hi>m ibn Isma>’i>l, Idri>s ibn Yazi>d,

Bakr ibn ‘Amr, Ja’far ibn Iya>s, Ha>tim ibn Abi> Nas}r, dan periwayat-periwayat

lainnya. Para kritikus hadis seperti Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ibn Hajar, dan Yah}ya> ibn

Ma’i>n menilai bahwa Abu> Nad}rah merupakan periwayat hadis s}iqah. Sedangkan

Ah}mad ibn H}anbal pernah menyatakan ma> ‘alimtu illa> khoir, tidak ada informasi-

informasi terkait Ah}mad ibn H}anbal kecuali kebaikan.41

Berdasarkan pemaparan periwayat-periwayat di atas, penulis

berkesimpulan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut diriwayatkan oleh periwayat-

periwayat yang sudah memenuhi syarat periwayatan yang s}ah}i>h}. Dalam arti

tentang fama> istamta’tum bihi> minhunna ila< ajal musamma> sah disandarkan

kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Sehingga jelas bahwa riwayat tersebut

40Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 287

41Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 529

121

menginformasikan tentang konteks surat Al-Nisa ayat 24. Dalam hal ini Ja’far

Subhani juga memperkuat argumentasinya dengan mengutip riwayat Qatadah

yang menginformasikan bahwa sahabat Ubay bin Ka’ab juga menambahkan

kalimat ila> ajal musamma>.42

Penulis menilai bahwa Ja’far Subhani dalam menarik kesimpulan, hanya

fokus di dua riwayat tersebut. Padahal dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r, Suyuti

memaparkan 32 riwayat yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Tentang riwayat-

riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Abu> ‘Abdilla>h Fakhr al-Di>n al-

Ra>zi>, dalam kitab Mafa>tih} al-Ghaib, berkesimpulan secara garis besar ada tiga

riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.43

1. Ibn ‘Abba>s membolehkan nikah mut’ah secara mutlak:

عمارةقال،قةلالمطباحةباإللالقو :المتعةنعاسعبابنتسؤل:

ه:قاله؟ماف:قلت،نكاح والفاح سال:قالكاح؟نأمهفاحأس

:قلت،ضةحهاعدتنعمقالة؟دعلهاهل:قلت،تعالىقالكمامتعة

القال؟وارثانتهل .44

Pendapat Ibn ‘Abba>s yang membolehkan secara mutlak. ‘Ima>rah berkata:

aku bertanya kepada Ibnu ‘Abba>s tentag mut’ah, apakah mut’ah itu

prostitusi atau nikah? Ibn ‘Abba>s menjawab dia itu bukan prostitusi dan

bukan nikah. Itulah mut’ah. Sebagaimana firman Allah swt. Apakah dia

memilki ‘iddah? Ibn ‘Abbas menjawab: ya. ‘iddahnya adalah satu kali

haid. Apakah mut’ah saling mewarisi? Ibn ‘Abba>s menjawab: tidak.

42

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39

43 Lihat Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, jld 5, (Kairoh.: Darul

Hadis, 2012), h. 273

44Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

122

2. Ibn ‘Abba>s membolehkan mut’ah dalam keadaan darurat:

اسفالمتعةقالابنعباسعبففتاابنعارروااألشكاذأنالناسلم

لح:إنهاتقلتطالق،لكنباحتهاعلىاإلإبمللاإنماأفتتهل:قات

45مالخنزرلهكماتحلالمتةوالدمولحرطضملل

Sesungguhnya manusia ketika menyebutkan sya’ir-sya’ir tentang fatwa Ibn

‘Abba>s dalam masalah mut’ah yang membolehkan mut’ah secara mutlak Ibnu

‘Abba>s berkomentar: semoga Allah memerangi mereka. Sesungguhnya aku tidak

berfatwa kebolehan nikah mut’ah. Tetapi aku berfatwa bahwa mut’ah itu bagi

orang yang darurat sebagaimana bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging

anjing bagi yang mengalami darurat.

3. Ibn ‘Abba>s bertaubat dari fatwanya:

ىعطاءالخرسانعنابنعباسفو.ربؤنهاصارتمنسوخةرأنهأق

قالصارت } منهن به استمتعتم فما { : منسوخةقوله اآلة بقولههذه

{]الطالق: تهن لعد هاالنبىإذاطلقتمالنساءفطلقوهن [1تعالى:}ؤ

ةعتلفالمونقلكموباتهمإنأللدموته:انعورويأضاأنهقال

Sesungguhnya Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa hukum mut’ah itu dihapus.

Diriwayatkan dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>, dari Ibn ‘Abba>s bahwa ayat fa ma>

istamta’tum bihi> minhunn telah dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a>

t}allaqtum al-nisa>’ fat}alliqu>hunn li’iddatihinn (Al-T}ala<q: 1). Dan

diriw\ayatkan juga bahwa ketika mendekati ajalnya, Ibn ‘Abba>s berkata: ‚

ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu dari pendapatku tentang mut’ah.

Dalam hal ini, berarti al-Ra>zi> memaparkan secara utuh pemikiran sahabat

Ibnu ‘Abbas tentang nikah mut’ah. Sedangkan Ja’far Subhani tidak

menampilkannya secara utuh.

Jika ditinjau dari perspektif Ilmu Qira’ah, Ibnu Taimiyyah dalam

kitabnya Minha>j al-Sunnah menjelaskan bahwa kalimat ila> ajal musamma> tidak

termasuk qira’ah mutawatir dan tidak ada bedanya dengan khabar ahad tidak ada

45

Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

123

di mushaf Usmani.46

Al-Syinqithi, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa riwayat-

riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Sa’id bin

Jubair tidak bisa menjadi sandaran bahwa itu adalah bagian dari ayat Al-Qur’an.

Karena adanya konsesus sahabat yang menyepakati bahwa itu tidak termasuk

dalam ayat Al-Qur’an.47

Jika pun bisa dijadikan argumen nikah mut’ah maka

argumentasinya bersifat ah}a>d. Sedangkan dalam kesepakatan ulama yang bersifat

ahad tidak bisa diunggulkan dari yang mutawatir.

Berdasarkan analisi di atas, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far

Subhani tentang riwayat Ibn ‘Abba>s yang menyisipkan ila> ajal musamma>, adalah

bersifat valid dan koheren. Karena data yang disampaikan sesuai dengan sumber

primernya. Tetapi, dalam hal ini Ja’far Subhani tidak berupaya mengumpulkan

terlebih dahulu riwayat-riwayat nikah mut’ah lainnya yang disandarkan kepada

sahabat Ibn ‘Abba>s. Hal ini penting dilakukan demi menjada keaslian pemikiran

Ibn ‘Abba>s tentang mut’ah. Menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, sikap

Ja’far Subhani tersebut tidak memenuhi langkah jam’ al-us}u>l ka>ffah

(mengumpulkan terlebih dahulu riwayat-riwayat secara menyeluruh).

3. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Para Sahabat dan Tabi’in

Ja’far subhani menilai bahwa yang masih menjadi perselisihan di

kalangan ulama adalah keberlangsungan legalisasi nikah mut’ah yang didasarkan

kepada penghapusan nikah mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat

bahwa nikah mut’ah adalah praktek nikah yang sah dan tidak terjadi adanya

46 Lihat Ibnu Taimiyyah, Miha>j al-Sunnah, jld. 4, (t.kot. th.cet., 1987 ) h. 187-188

47 Al-Syinqithi, Ad}wa>’ al-Baya>n, jld. I, (Jeddah: Daarul ‘Ilmi Fawaid, t.t. ), h. 381

124

penghapusan. Menurut Ja’far Subhani solusi yang tepat atas perselisihan ini

adalah kembali kepada sumber yang paling utama, yaitu ayat Al-Qur’an sendiri

dan hadis Nabi saw.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, surat Al-Nisa ayat 24 adalah ayat

tunggal yang dijadikan dasar legal nikah mut’ah oleh Ja’far Subhani. Selain

makna kata istimta>’ dan makna ila> ajal musamma> yang dinilai memperkuat

pendapat Ja’far Subhani tentang nikah mut’ah, ada beberapa nama sahabat dan

tabi’in yang dianggap telah melegalkan nikah mut’ah setelah wafatnya Nabi saw.

Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip pendapat Ibn Hazm yang menyebutkan

nama-nama sahabat dan tabi’in yang dinilai pernah menyuarakan legalnya nikah

mut’ah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani48

menyatakan:

االنو بؤؤت بحن قالوا من لسماء المتعة بمصدرة صرحوا لم ان و

جوزوال ل(قال:حم.وقدذكرهمابنحزمف)المفتواه المتعةنكاح

هللاصلىللارسولعهدعلىحالالوكانأجل إلىالنكاحوهو عل

هللاصلىللارسوللسانعلىتعالىللانسخهامثوسلم وسلمعل

انسخا ومإلىبات امة، للاصلىللارسولبعدتحللهاعلىثبتوقدالق

ه لفمنجماعة وسلمعل حابةمنمنهمعنهمللارضىالس رضىالص

قبكرأبىبنتأسماءعنهمللا د وابن.للاعبدبنوجابر.الص

عباس وابن.مسعود ة: ،أبىبنومعاو ان ثبنوعمروسف وابو.حر

ةابناءومعبدمةوسل.الخدرىسعد للاعبدبنجابرورواهخلف،بنأم

حابةجمععن ةالص هللاصلىللارسولمد ة .وسلمعل أبىومد

،خالفةآخرقربإلىوعمر .بكر ابنعناباحتهافواختلفعمر

رال ب إذاأنكرهاانماانهالخطاببنعمروعن.توقف فهاعلىوعن.ز

48

Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip dalam kitab Mut’ah

al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>

125

شهدلم ها ن،ومنبشهادةوأباحهافقطعدالنعل ابعنعدل طاوسالت

ر بنوسعدوعطاء ة فقهاءوسائر.جب 4950مك

Dan sekarang kami akan menyebutkan nama-nama yang berpendapat

kehalalan nikah mut’ah. Dan walaupun tidak jelas tentang referensi

fatwa-fatwanya, tetapi Ibn Hazm telah menyebutkan mereka dalam

kitabnya al-Muh}alla>:

Dan nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan. Yaitu nikah sampai batas

tertentu. Nikah tersebut halal di zaman Nabi saw. Kemdian Allah

menghapusnya melalui lisan Rasul-Nya secara mutlak sampai hari

kiyamat. Dan sekelompok sahabat telah menetapkan kehalalannya

setelah zaman Rasulullah saw di antaranya Asma>’bint Abi> Bakr, Ja>bir

ibn ‘Abdilla>h, Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Abba>s, Mu’a>wiyah ibn Abi> S}afya>n,

‘Amr ibn H}ari>s|, Abu> Sa’i>d al-Khudri>, Salmah ibn Umayyah, dan Ma’bad

anak-anaknya Umayyah ibn Khalaf. Dan Ja>bir ibn ‘Abdilla>h

meriwayatkan dari sekelompok sahabat pada zaman Rasulullah saw,

zaman Abu> Bakr, Umar dan sampai kepada akhir kekuasaan Umar. Dan

telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan nikah mut’ah dalam

riwayat Ibn al-Zubair, dan ditangguhkannya dalam riwayat Ali ibn

T}a>lib. Adapun dalam riwayat Umar, Umar menolak nikah mut’ah jika

tidak didatangkan dua saksi dan menerimanya jika ada dua saksi yang

‘a>dil. Dan dari kalangan tabi’in adalah T}a>wu>s,‘At}a>’, Sa’i>d ibn Jubair,

dan segenap ulama fikih Makkah.

Dalam kitab Al-Muh}alla>, Ibn Hazm, sebagaimana simpulan Ja’far

Subhani, menyebutkan sederatan sahabat dan tabi’in yang pernah melegalkan

nikah mut’ah. Bahkan dalam hal ini, Ibn Hazm menilai bahwa data tersebut

dinilai valid. Ibn Hazm ketika memaparkan pandangannya tersebut menggunakan

ungkapan wa qad s|abata. Tetapi, jika melihat sub judul dan membaca pandangan

Ibn Hazm dengan sempurna maka akan ditemukan bahwa Ibnu Hazm termasuk

kalangan ulama yang mengakui adanya informasi valid tentang penghapusan

49

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 43-45

50 Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip dalam kitab Mut’ah

al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>h. Lihat Ibn Hazm, Al-Muh}alla>, Jld. 9, (Mesir: Al-Muniriyyah,

1351 H.), h. 519-520.

126

praktek nikah mut’ah. Sebelum menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in

tersebut, Ibnu Hazm menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah perkara yang tidak

diperbolehkan. Nikah mut’ah pernah dihalalkan tetapi kemudian Nabi saw

mengaharamkannya sampai hari kiamat.

Dari pemaparan pandangan Ibn Hazm tersebut ada dua fakta yang

disampaikan. Pertama, tenta\ng pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw

langsung. Kedua, legalisasi nikah mut’ah setelah wafatnya Nabi saw oleh

beberapa para sahabat dan tabi’in. Tetapi hanya fakta kedua yang diterima oleh

Ja’far Subhani. Ada beberapa riwayat yang menjadi dasar Ja’far Subhani dalam

mempertahankan pandangannya, tentang legalisasi nikah mut’ah oleh sahabat

setelah zaman Nabi saw. Di antaranya adalah:

اقفمصنفالحافظأخرج ز الر الكوفةعبد ث حر ابن عمرو قدم " قال جابر عن اإلسناد بهذا ه

51فاستمتعبموالة فؤتىبهاعمروحبلى،فسؤلهفاعترف،قالفذلكحننهىعنهاعمر

Dalam kitabnya, ‘Abd al-Razza>q meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, dia

berkata ‘Amr ibn H}urais| datang di Kufah, kemudian dia melakukan nikah

mut’ah dengan seorang budak dan ‘Amr membawa budak tersebut sudah

dalam keadaan hamil. Kemudian Umar bertanya kepadanya dan ‘Amr

mengakuinya. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h berkata itu terjadi ketika Umar bin

Khattab melarang nikah mut’ah.

Riwayat yang menjadi penguat pendapat Ja’far Subhani di atas, dikutip

dari Fath} al-Ba>ri>, karya Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Riwayat tersebut, pada dasarnya

tidak berdiri sendiri sebagai sebuah argumentasi. Riwayat tersebut, dalam Fath}

al-Ba>ri>, tengah menceritakan kisah praktek nikah mut’ah yang dilakukan oleh

‘Amr ibn H}urais|. Berdasarkan riwayat, praktek nikah mut’ah yang dilakukan

51 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 113

127

oleh ‘Amr ibn H}urais | tersebut bertepatan dengan larangan nikah mut’ah oleh

sahabat Umar bin Khattab. Berbeda dengan Ja’far Subhani, Ibnu Hajar

menegaskan bahwa yang melarang praktek nikah mut’ah pada saat itu adalah

Umar bin Khattab. Tetapi, fatwanya tersebut bukan hasil ijtihad atau

kebijakannya sendiri, melainkan sesuai dengan larangan Nabi saw. Dalam hal ini,

Ibnu Hajar mengutip beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi

perizinan nikah mut’ah setelah adanya larangan langsung dari Nabi saw. Adapun

sikap Jabir bin Abdullah, tentang menghalalkan nikah mut’ah, beserta sahabat

dan tabi’in yang meriwayatkan darinya adalah faktor tidak sampainya larangan

nikah mut’ah kepada mereka.52

Dan penting untuk diketahui bahwa kasus ‘Amr ibn H}urais| tersebut

konteksnya adalah ranah hukum perbudakan. Dalam hadis dijelaskan bahwa

wanita hamil tersebut adalah seorang budak bukan wanita merdeka. Jika hadis ini

dijadikan sebagai landasan legalitas nikah mut’ah maka terjadi inkonsistensi

pemikiran yang dilakukan Ja’far Subhani. Karena pada pembahasan sebelumnya,

Ja’far Subhani menegaskan bahwa salah satu syarat nikah mut’ah adalah status

wanitanya adalah merdeka bukan budak.

Berdasarkan analisis di atas, Ja’far Subhani berarti tidak menampilkan

pemikiran Ibn H}azm secara sempurna. Maksudna, pemikiran yang disampaikan

tidak sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Muh}alla>, karya Ibn

Hazm. Maka pemikiran Ja’far Subhani tentang legalisasi nikah mut’ah oleh

segenap sahabat dan tabi’in tidak bisa disebut sebagai pemikiran yang valid.

52 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri<, jld. 10, h. 169

128

Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak konsisten dalam melakukan konstruksi

legalitas nikah mut’ah. Dalam hal ini, ada dua pemikiran yang tidak koheren.

Yaitu menerima hadis ‘Amr ibn H}urais| yang konteksnya adalah perbudakan dan

keharusan wanita merdeka dalam praktek nikah mut’ah. Sehingga penulis

menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tidak valid karena tidak sesuai dengan

teori kebenaran koherensi.

4. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Ibnu Umar

Ja’far Subhani adalah salah satu ulama syiah yang berpegang teguh pada

pendapatnya tentang kontinuitas kehalalan nikah mut’ah. Pandangannya tersebut

berdasar pada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa segenap para sahabat

telah berpendapat halal tentang nikah mut’ah. Di antara sahabat yang menjadi

dasar pendapatnya adalah sahabat Ibnu Umar. Riwayatnya adalah sebagai

berikut:

فقالهالمتعةعمرعنبنؤلاالشامسنأهلمالجنرأذيخرجالترمأ

كانأبإنعمرأرأتنبالافقاأباكقدنهىعنهامإناللفقالالشح

رعأمأمبترأبنهارسولللاصلىللاعلهوسلمأأمعننهىعنهاوصقد

53؟للاصلىللاعلهوسلمرسول

Al-Tirmiz|i> telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam bertanya

kepada Ibnu Umar tentang mut’ah. Ibnu Umar menjawab mut’ah itu halal.

Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarang mut’ah.

Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkan

mut’ah sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti

perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.?

Riwayat yang dikutip Ja’far Subhani, secara literal, jawaban-jawaban

Ibnu Umar atas pertanyaan seorang laki-laki menginformasikan bahwa pertama

53 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 49

129

Nabi saw telah melakukan mut’ah. Kedua, Nabi saw juga memerintahkan praktek

mut’ah. Berdasarkan keterangan footnote dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ hadis

yang dikutip Ja’far Subhani tersebut bersumber dari kitab Sunan al-Tirmiz|i>.

Adapun versi lengkap menurut kitab Sunan al-Tirmizi> adalah:

ثنا د بنعبدحد عقوبأخبرنحم ثناسعد بنإبراهمبن صالحعنأبحد

سانبن ثهللاعبدبنسالمأنهاب شابنعنك هحد أهلمنرجالسمعأن

ام سؤلوهوالش متععنعمربنللاعبد للاعبدفقالالحجإلىبالعمرةالت

عمربن فقالحالل ه ام عمربنللاعبدفقالعنهانهىقدأباكإنالش

ت صلىللارسولوصنعهاعنهانهىأبكانإنأرأ هللا أأمروسلمعل

بعأب صلىللارسولأمرأمنت هللا جلقالفوسلمعل رسولأمربلالر

صلىللا هللا صلىللارسولصنعهالقدفقالوسلمعل هللا 54وسلمعل

Diriwayatkan dari ‘Abd ibn H}umaid, dari Ya’qub ibn Ibra>hi>m, dari ayahnya,

dari S}a>lih} ibn Kaysa>n, dari Ibn Syiha>b, dari Sa>lim ibn ‘Abdullah, dia berkata

bahwa dia mendengar laki-laki dari Syam bertanya kepada sahabat Ibnu

Umar tentang haji tamattu’. Ibnu Umar menjawab itu halal. Laki-laki

tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarangnay?. Ibnu Umar

menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkannya sedangkan

Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau

mengikuti perintah Nabi saw.? Laki-laki itu menjawab: tentu perintah Nabi

saw yang diikuti. Karena telah nyata bahwa Nabi saw pun melakukannya.

Setelah melakukan komparasi dua riwayat di atas, versi kitab Mut’ah al-

Nisa>’ dan versi kitab Sunan al-Tirmiz|i>, penulis menemukan perbedaan redaksi

yang signifakan. Perbedaan tersebut, menurut penulis, akan melahirkan simpulan

yang sangat berbeda sekali. Perbedaan tersebut terdapat pada objek materi yang

dipertanyakan seorang laki-laki dari Syam. Berdasar pada kutipan Ja’fa Subhani

objek materi yang dipertanyakan oleh laki-laki tersebut adalah nikah mut’ah.

Kata yang ditampilkan adalah al-mut’ah. Selain itu,penulis menilai bahwa hadis

54 Al-Tirmiz|i>, Sunan al-Tirmiz|i>, jld. 2, (Beirut: Darul Gharb Islami, 1996), h. 175

130

yang tengah dikutip Ja’fa Subhani tersebut, konteksnya dalam rangka

memperkuat pemikirannya bahwa praktek nikah mut’ah masih berstatus halal

sebagaimana jawaban Ibnu Umar.

Adapun objek materi yang dipertanyakan laki-laki dari Syam dalam

kitab Sunan Tirmidzi adalah,’an al-tamattu’ bi al-‘umrah ila> al-h}ajj, deretan kata

tersebut populer diartikan sebagai haji tamattu’. Selain itu al-Tirmiz|i> juga

meletakan hadis ini dalam bab haji tamattu’, kitab al-h}ajj. Sehingga jelas konteks

hadis yang dikutip Ja’fa Subhani adalah haji tamatu bukan praktek nikah mut’ah.

Dari satu riwayat di atas, penulis berkesimpulan bahwa Ibnu Umar tidak

menghalalkan praktek nikah mut’ah karena konteksnya adalah haji tamattu’.

Berdasarkan analisis data di atas, penulis berkesimpulan bahwa Ja’far

telah melakukan falsifikasi data dengan cara merubah redaksi aslinya yaitu al-

tamattu’ dirubah menjadi al-mut’ah. Sehingga berdasarkan teori kritik hadis

pemikiran Ja’far Subhani tidak terkonstruksi dengan data-data yang valid atau

dalam istilah Mus}t}afa> Al-A’z}ami> tidak melakaukan validasi data, is|ba>t al-nus}us|

al-s|ah}i>h}ah. Selain itu, penulis juga menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani

tentang legalisisai sahabat Ibnu Umar tidak koresponden, tidak sesuai dengan

data-data faktual yang ada di sumber primernya, yaitu kitab Sunan al- Tirmiz|i>.

C. Keberatan Ali bin Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab

Pada awal pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani

memposisikan nikah mut’ah sebagai obat dan solusi dalam mencegah

menyebarnya kerusakan moral terutama yang di kalangan laki-laki yang belum

mampu melaksanakan nikah da>’im. Ja’far Subhani nikah mut’ah merupakan salah

satu praktek yang diajarkan oleh agama dan menjadi sebuah ajaran mulia yang

131

memiliki misi menjaga kehormatan manusia. Dalam pembacaan Ja’far Subhani,

sahabat Ali bin Abi Tholib sangat keberatan atas sikap sahabat Umar bin

Khattab yang mengeluarkan sebuah fatwa larangan nikah mut’ah. Keberatan

sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut diriwayatkan dalam riwayat sebagai berikut:

ناالازمرعنالمتعةلمهعالنلو 55اوشقةشق

Ali berkata ‚kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang

berzina kecuali orang yang benar-benar celaka‛.

Terhadap hadis di atas, Ja’far Subhani tidak mencantumkan rantai

periwayatan kecuali nama sahabat Ali bin Abi Thalib. Selama penulusuran kitab

Mut’ah al-Nisa>’, penulis tidak menemukan sumber-sumber yang menjadi rujukan

hadis tersebut, baik dari karya ulama sunni atau pun karya ulama syiah. Sumber-

sumber rujukan hadis tersebut, penulis temukan dari kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat

fi> al-Isla>m , karya Murtadho ‘Askari, ulama besar syiah yang meninggal pada

tahun 2007. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hadis tentang keberatan

sahabat Ali bin Abi Thalib di atas, banyak ditemukan di kitab-kitab ulama sunni.

Kitab-kitab tersebut adalah tafsir al-Naisa>bu>ri>, Mafa>tih} al-Ghaib, al-Durr al-

Mans|u>r, al-Qut}ubi>, kitab Bida>yah al-Mujtahid, dan .56

Dalam kitab tafsir Mafa>tih} al-Ghaib, al-Ra>zi> mengutip riwayat yang

menjelaskan keberatan sahabat Ali tentang sikap sahabat ‘Umar ibn Khat}t{a>b57

.

Pengutipan tersebut dilakukan al-Ra>zi> ketika menafsirkan ayat fa ma>

istamta’tum bihi> min hunn. Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Ra>zi> bersikap

55 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10

56 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, (Beirut: t.pen. t.t. ), h. 34-35

57 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273

132

inklusif, tidak hanya menampilkan pendapat kelompok Sunni tapi juga pendapat

kelompok Syiah. Menurut al-Ra>zi>, ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn,

berdasarkan penafsiran para ulama, memiliki dua penafsiran. Pertama, ayat

tersebut ditafsirkan dalam konteks pernikahan da>’im. Ayat ini menjelaskan

tentang kewajiban bagi seorang suami yang telah menikmati anggota tubuh istri

dengan bersetubuh atau pun lainnya. Kedua, ayat ini ditafsirkan dalam konteks

nikah mut’ah. Al-Ra>zi> berpendapat bahwa para ulama bersepakat tentang

kebolehan nikah mut’ah pada awal kedatangan Islam. Namun berbeda pendapat

tentang keberadaan penghapusan nikah mut’ah. Dalam hal ini, al-Ra>zi>

mengatakan bahwa pendapat mayoritas adalah telah terjadinya penghapusan

dalan nikah mut’ah.58

Masih menurut al-Ra>zi>. Ada sebagian kelompok yang menyatkan bahwa

praktek nikah mut’ah masih dibolehkan. Pendapat ini berdasarkan pada tiga

riwayat. Yaitu riwayat Ibn ‘Abba>s, riwayat ‘Imra>n ibn H}us}ain, dan riwayat Ali

bin Abi Thalib, yang menjadi pembahasan fokus pada sub-bab ini.59

Riwayat Ibnu ‘Abbas. Al-Ra>zi> berkesimpulan ada ada tiga riwayat yang

dinisbatkan kepada sahbat Ibnu ‘Abbas. Pertama, riwayat yang menjelaskan

jawaban-jawaban sahabat Ibnu ‘Abbas terhadap pertanyaan seorang tabi’in

bernama ‘Uma>rah. Ibnu ‘Abbas menjawab dan menjelaskan bahwa nikah mut’ah

itu bukan akad nikah, bukan prostitusi, memiliki masa ‘iddah, dan tidak saling

mewarisi. Kedua, riwayat yang menceritakan tentang syair yang dibuat oleh

segenap orang sebagai sebuah respons terhadap fatwa Ibnu ‘Abbas dalam

58 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 272-273

59 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h.. 273

133

masalah mut’ah. Kemudia Ibnu ‘Abbas meresponsnya dengan tegas dan

melakukan pembelaan bahwa dirinya tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang

pembolehan nikah mut’ah secara mutlak. Fatwanya adalah diperbolehkan nikah

mut’ah dalam kondisi darurat sebagaimana diperbolehkannya memakan daging

babi dan anjing. Ketiga, riwayat yang menginformasikan tentang pernyataan

Ibnu ‘Abbas bahwa praktek mut’ah telah dihapus dengan ayat ya> ayyuha> al-

nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’, surat Al-T}alaq ayat 1.. Bahkan dalam riwayat lain,

ketika mendekati ajalnya, Ibnu ‘Abbas menyatakan dirinya bertaubat atas

pandangannya tentang mut’ah.

Simpulan dari ketiga riwayat tersebut, yang dipaparkan al-Ra>zi> dalam

tafsirnya, menunjukan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas salah satu sahabat yang tidak

setuju akan praktek nikah mut’ah.

Selain riwayat Ibnu ‘Abbas, yang menjadi dasar nikah mut’ah (yang

dikutip al-Ra>zi>) adalah riwayat ‘Imran ibn H}us}ain. Riwayat ‘Imran ibn H}us}ain

tersebut menjelaskan tentang turunnya ayat mut’ah dan tidak ada ayat yang

menghapusnya. Selain itu riwayat ini menginformasikan bahwa Nabi saw tidak

pernah melarang praktek mut’ah tersebut. Karena al-Ra>zi> tidak memberikan

komentar atau pun takhrij terhadap riwayat ini, penulis dalam hal ini melakukan

verifikasi tentang riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut. Dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri,>

riwayat tersebut termuat dalam kitab Haji, bab Tamattu’. Ibnu Hajar Asqalani,

yang mensyarah kitab hadis tersebut, menghubungkan riwayat tersebut dengan

masalah haji tamattu’ bukan nikah mut’ah.

Riwayat terakhir yang menjadi dasar nikah mut’ah adalah riwayat sahabat

Ali bin Abi Thalib. Yaitu tentang keberatan sahabat Ali akan fatwa dari sahbat

134

Umar bin Khattab. Akan tetapi dalam hal ini, al-Ra>zi>, setelah memaparkan dalil

yang dijadikan dasar oleh kelompok yang membolehkan nikah mut’ah,

menampilkan satu riwayat lagi yang menjelaskan ketidaksetujuan sahabat Ali

terhdap fatwa sahabat Ibnu ‘Abbas yang berfatwa bolehnya nikah mut’ah. Dalam

hal ini, sahabat Ali berargumentasi dengan hadis larangan Nabi saw tentang

nikah mut’ah dan memakan daging himar ahliyyah. Dengan mengutip hadis

tersebut, memperlihatkan bahwa al-Ra>zi> ingin menyampaikan bahwa sahabat Ali

sendiri pada dasarnya menolak praktek mut’ah.

Pada kesempatan yang lain, al-Ra>zi> juga memapar argumentasi-

argumentasi kelompok, baik yang mengharamkan atau yang menghalalkan nikah

mut’ah. Setelah memaparkan argumentasi-argumentasi kelompok yang

menghalalkan nikah mut’ah, al-Ra>zi> memberikan komentar dan penolakan

argumentasi yang diawali dengan ungkapan wa al-jawa>b ‘an al-wajh al-awwal. 60

Dengan melakukan verifikasi riwayat tentang keberatan sahabat Ali akan

fatwa sahabat Umar dalam tafsir al-Ra>zi>, penulis berkesimpulan bahwa riwayat

tersebut hanya sebatas data informatif yang tengah menjelaskan dalil-dalil atau

riwayat-riwayat yang dijadikan dasar oleh kelompok yang membolehkan nikah

mut’ah. Keberadaan riwayat tersebut tidak memperlihatkan dan tidak dijadikan

sebagai data argumentatif pemikiran al-Ra>zi > tentang nikah mut’ah. Dan penulis

berkesimpulan, dari penafsiran al-Ra>zi> tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi< min

hunn, al-Ra>zi > salah satu ulama tafsir yang tidak setuju atas praktek nikah mut’ah.

60 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 276-277

135

Dalam kitab Bida>ya>h al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, riwayat yang

semakna dengan riwayat keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar terdapat

pada kitab Nikah, bab al-Ankih}ah} al-Manhiy ‘anha> al-Syar’iy, akad-akad nikah

yang diharamkan. Tetapi yang meriwayatkan hadis tersebut adalah sahabat Ibnu

‘Abbas. Dalam bab ini, Ibnu Rusyd membahas empat macam nikah. Yaitu nikah

Syigha>r, Mut’ah, Muh}allil, dan haramnya lamaran terhadap perempuan yang ada

dalam lamaran orang lain. Dalam pembahasan nikah mut’ah, Ibnu Rusyd

menyatakan bahwa keharaman nikah mut’ah diinformasikan dengan riwayat-

riwayat mutawatir. Tetapi walaupun mutawatir, para ulama berbeda pendapat

tentang waktu diharamkannya nikah mut’ah. Waktu-waktu diharamkannya

tersebut adalah pada saat di Khoibar, Fathu Mekkah, Tabuk, Haji Wada’,

‘Umroh Qodho, dan pada tahun Authos. Menurut Ibnu Rusyd mayoritas para

sahabat dan para ulama dari berbagai penjuru kota sepakat atas keharaman nikah

mut’ah. Bahkan di akhir pembahasan, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa akad-akad

nikah yang disebutkan di atas, termasuk nikah mut’ah, adalah akad nikah yang

fa>sid karena ada dalil yang mengharamkannya.61

Selain berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah, Ibnu Rusyd juga

mengakui bahwa ada riwayat yang dinisbatkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas

tentang kehalalan praktek nikah mut’ah. Di sinilah, penulis kitab Bida>yah al-

Mujtahid mengutip riwayat yang semakan dengan riwayat sahabat Ali. Dalam

riwayat ini sahabat Ibnu ‘Abbas juga merasa keberatan atas fatwa sahabat Umar

bin Khattab. Bahkan Ibnu ‘Abbas menambahkan bahwa nikah mut’ah adalah

61 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, jld. 3, (Cairo: Maktabab Ibnu Taimiyyah, 1415 H.),

h. 111-112.

136

bentuk rahmat Allah swt yang dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad

saw.62

Dari pemaparan Ibnu Rusyd tentang nikah mut’ah, penulis berpendapat

bahwa Ibnu Rusyd jelas termasuk kelompok ulama yang tidak mengakui

kehalalan nikah mut’ah. Keberadaan riwayat Ibnu ‘Abbas yang semakna dengan

riwayat Ali hanya sebagai data informatif bukan data argumentatif pendapat

Ibnu Rusyd. Akan tetapi, Ibnu Rusyd tidak memberikan komentar dan kritik

terhadap riwayat-riwayat tersebut.

Setiap permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan hadis, hal

yang paling penting adalah melakukan kajian sanad dan verifikasi periwayat-

periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Karena Ja’far Subhani tidak

menghadirkan sanad yang lengkap di hadis sahabat Ali bin Abi Thalib, peneliti

berusaha mencari sanad lengkap tersebut, berangkat dari informasi yang terdapat

dalam kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m,63

karya Murtadho ‘Askari.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tersebut, hadis sahabat Ali bin Abi Thalib

ada juga di kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q dan tafsir al-T|abari>. Dalam kitab-

kitab tersebut penulis menemukan rantai periwayatan yang sempurna.

Dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q hadis sahabat Ali bin Abi Thalib

memiliki sanad berikut:

62 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, h. 111

63 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, h. 34-35

137

64ةوفاقالبالكلعقأندأصننمرجوأخبرجبناقال

Dari kutipan sanad di atas, ada tiga periwayat yang menjadi guru

periwayatan ‘Abd al-Razza>q. Yaitu Ibnu Juraij, man us{addiq, dan Ali bin Abi

Thalib. Tentang biografi Ibnu Juraij penulis telah menjelaskan pada pembahasan

sebelumnya. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat yang

diakui kredibilitasnya baik oleh kalangan sunni atau pun syiah. Sehingga peneliti

dalam pembahasan ini tidak mengkajinya. Di sini penulis fokus pada periwayat

yang menjadi guru periwayatan Ibnu Juraij. Yaitu man us{addiq, orang yang aku

akui kebenarannya. Di sini Ibnu Juraij tidak menyebutkan nama periwayatnya

langsung. Padahal periwayat tersebut dianggap cukup kredibel oleh Ibnu Juraij

dalam periwayatan hadis. Dalam diskursus hadis periwayat seperti ini disebut

sebagai periwayat mubham.

Tentang hadis mubham, Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa hadis

yang periwayatnya tidak disebutkan dengan jelas merupakah salah satu hadis

yang tidak bisa diterima, dengan alasan karena syarat utama diterimanya suatu

hadis periwayatnya harus memiliki kredibilitas yang baik. Menurut Ibnu Hajar,

bagaimana akan diketahui kredibilitasnya jika namanya saja tidak diketahui. Ibnu

Hajar menambahkan bahwa walaupun periwayat hadis tersebut dimubhamkan

dengan menggunakan ungkapan ta’di>l, seperti akhbarani> s|iqah, hadisnya tetapi

tidak bisa diterima. Karena, menurut Ibnu Hajar, bisa jadi periwayat mubham

tersebut dinilai kredibel oleh satu periwayat tapi tidak oleh periwayat lain.65

64 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983), h. 500

65 Ibnu Hajar ‘Asqalani, Nuzhah al-Naz}r, (Kairo: Daarul Ma’sur, 2011), h. 116

138

Dalam proses verifikasi, selain pendapat ulama sunni, peneliti juga

melakukan verifikasi pendapat ulama syiah tentang hadis mubham. Berdasarkan

konfirmasi peneliti terhadap beberapa kitab ilmu hadis karya ulama syiah,

penulis tidak menemukan terminologi hadis mubham dalam sub-bab yang

terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Tetapi dalam sub-bab kitab-kitab tersebut

ulama syiah menulis sub-bab dengan ungkapan iz|a> qa>l s|iqah h}addas|ani> s|iqah (jika

seorang periwayat s|iqah berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat

s|iqah) atau iz|a> qa>l ‘adl h}addas|ani> ‘adl (jika seorang periwayat ‘adl berkata telah

meriwayatkan kepadaku seorang periwayat ‘adl). Ungkapan-ungkapan seperti

itu, dalam kajian ilmu hadis sunni masuk di pembahasan hadis mubham.

Di sini peneliti akan menampilkan dua pendapat ulama syiah yang

berkaitan dengan hadis mubham.

Pertama, pendapat Zainuddin Al-‘Amiliy (w. 911 h.), yang dikenal

dengan sebutan al-Syahi>d al-S|a>ni> :

هونتعندمالبهاذتوارلبمفالعذلكفكلمة قثثنةحدقذاقالالثإ

تمتس ثقةنووازكجله, وغره اطعنده, قد هوجارحهحرعلجلعه بما

66عندهلوعلمبه

Jika seorang periwayat s|iqah, berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang

periwayat s|iqah maka hal itu tidak cukup menjadi dasar untuk mengamalkan

hadis yang diriwayatkannya. Karena pada dasarnya dalam periwayatan

seorang periwayat harus diketahui dan disebutkan namanya. Karena jika

tidak jelas seperti ini ada kemungkinan dia siqah menurut sebagian dan cacat

menurut yang lainnya lagi.

Kedua, pendapat ‘Abd al-Razza>q ibn ‘Aliy Rid}a> al-Hamda>ni> (w. 1338 h.).

dalam kitabnya dia berpendapat:

66 Zainuddin Al-‘Amili, al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Qum: Al-Mufid, 1421 H.), h. 45

139

راطتعلاشبهبناءفاءتكقرباالفاألل نعدثحدالنداوالعلداذاقالالع

الع الردالة اوف تعذي االطمع العر ما تعسضعارعل او وعدمه ره

67.ضعارعلالمالعاالطكانمإاالكتفاءبهمع

Jika seorang periwayat ‘adl atau dua periwayat ‘adl berkata, telah

meriwayatkan kepadaku seorang periwayat yang ‘adl, maka pendapat yang

lebih dekat adalah sah mengamalkan riwayat tersebut, karena terpenuhinya

syarat ‘adl pada periwayat tersebut dan sulitnya mengidentifikasi

keberadaannya. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifakasi maka

periwayatan seperti ini tidak sah jika ada yang menyelesihinya.

Dari dua pendapat ulama syiah di atas bisa ada informasi bahwa ada

perbedaan pendapat tentang hadis mubham. Pendapat yang menerima hadis

mubham berdasar pada alasan bahwa sulitnya mengidentifikasi identitas

periwayat tersebut. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifikasi dan ada

penilaian yang meyelesihinya maka riwayat seperti ini tidak bisa diterima. Oleh

karena itu, oleh ulama syiah lainnya seperti Hasan Shadr Al-Kazhimi (w. 1354

h.) riwayat seperti ini tidak dikategorikan hadis hasan apalagi hadis s}ah}i>h>.68

Dari pendapat-pendapat di atas, hadis tentang keberatan sahabat Ali bin

Abi Thalib terhadap fatwa sahabat Umar bin Khottab yang termuat dalam kitab

Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q adalah jenis hadis mubham. Karena dalam rantai

periwayatannya ada periwayat yang tidak disebutkan namanya. Menurut ulama

hadis sunni jenis hadis seperti ini tidak bisa diterima. Begitu juga dengan ulama-

ulama syiah. Walau pun ada perbedaan pendapat, tapi status hadis tersebut tidak

sampai derajat hasan dan s}ah}i>h.

67 ‘Abd al-Razza>q al-Hamda>ni>, al-Waji>zah fi> ‘Ilm Dira>yah al-H}adi>s|, dalam Abu> al-Fad}l H}a>fizya>n al-Ba>bali>, Rasa>’il fi ‘Ilm Dira>yah, jld. 2, (Qum: Daarul Hadis, 1424 H.), h. 565

68 Hasan Shadr Al-Kazhimi, Niha>yah al-Dira>yah, (T.Kot: Maktabah Mu’min Quraisy,

th.), h. 422

140

Selain Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q, hadis tentang keberatan sahabat Ali bin

Abi Thalib, sanad lengkapnya bisa ditelusuri dalam tafsir al-T}abari> karya Ibnu

Jarir Al-T}abari>. Hadis tersebut dalam kitab tafsir al-T}abari > diriwayatkan oleh

Muh}ammad ibn al-Mus|anna, dari Muhammad ibn Ja’far, dari Syu’bah, dari al-

H}akam, dan dari ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib.

Pertama, Muh}ammad ibn al-Mus|anna. Muh}ammad ibn al-Mus|anna

memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn al-Mus|anna ibn ‘Ubaid ibn Qais dan

memiliki nama kunyah Abu> Mu>sa> al-Bas}ri>. Muh}ammad ibn al-Mus|anna lahir

pada tahun 167 h. dan meninggal pada tahun 252 h. Dalam periwayatan hadis

Muh}ammad ibn al-Mus|anna berguru kepada Muhammad ibn Ja’far, Sufya>n ibn

‘Uyainah, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi> dan lain sebagainya. Adapun para

periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn al-Mus|anna

adalah Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ja’far ibn Muh}ammad al-Farya>bi>

dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam periwayatan hadis Muh}ammad ibn al-

Mus|anna banyak mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis. Menurut

Ahmad bin Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah seorang periwayat s|iqah.

Sedangkan menurut Muh}ammad ibn Yahya al-Naisa>bu>ri> Muh}ammad ibn al-

Mus|anna adalah periwayat yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan dasar

argumentasi.

Kedua, Muh}ammad ibn Ja’far. Muh}ammad ibn Ja’far memiliki nama

lengkap Muh}ammad ibn Ja’far al-Haz|l dan memiliki nama kunyah Abu> ‘Abdillah

al-Bis}ri>. Muh}ammad ibn Ja’far meninggal pada tahun 193 h. dalam periwayatan

hadis Muh}ammad ibn Ja’far berguru kepada Syu’bah ibn H}ajja>j, yang sekaligus

menjadi ayah angkatnya, Sufya>n al-S|auri>, ‘Abd al-Malik ibn Juraij, dan

141

periwayat-periwayat lainnya. Adapun periwayat hadis yang meriwayatkan hadis

dari Muh}ammad ibn Ja’far adalah Muh}ammad ibn al-Mus|anna>, Ah}mad ibn

Hanbal, Ish}a>q ibn Ra>hawih, dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam

periwayatan hadis Muh}ammad ibn Ja’far mendapatkan penilaian positif dari

para kritikus hadis. Abu H}a>tim al-Ra>zi> menilai bahwa riwayat-riwayat yang

disandarkan kepada Syu’bah melalui jalur Muh}ammad ibn Ja’far dari lebih

dipercaya. Senada dengan Abu H}a>tim al-Ra>zi>, Ibn al-Muba>rak memberi

pandangan bahwa jika terjadi perselisihan tentang riwayat Syu’bah, maka

merujuklah kepada kitab Muh}ammad ibn Ja’far.

Ketiga, Syu’bah ibn Hajja>j. Tentang biografi Syu’bah ibn Hajja>j telah

penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Keempat al-H}akam ibn ‘Utaibah. Pembahasan biografi al-H}akam ibn

‘Utaibah adalah pembahasan yang cukup rumit di kalangan para kritikus hadis.

Pasalnya, nama al-H}akam ibn ‘Utaibah menuai ragam interpretasi. Perdebatan

tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah bertitik dua nama ulama Islam yang

muncul di era tabi’in, yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan nama kunyah Abu>

Muh}ammad al-Kindi> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s. Selain hudup di era

yang sama, kedua ulama tersebut juga berasal dari negara yang sama yaitu

Kufah.69

Menurut penuturan Ibnu Hajar ‘Asqalani, Al-Bukha>ri>, Al-Kalbiy, dan

ahl al-nasab bersepakat bahwa dua nama di atas adalah merupakan nama untuk

satu orang ulama.70

Sedangkan menurut Ibn al-Jauzi>, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-

69Ibn H>}ajar al-Asqala>ni<, Taqri>b al-Tahz|i>b, h. 263

70 Ibn H>ajar al-‘Asqalani>, Lisa>n al-Mi>za>n, Jld. 3, (Beirut: Daarul Basya’ir, 2002), h. 249

142

Nahha>s berbeda dengan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>. al-H}akam ibn ‘Utaibah

al-Nahha>s bukan seorang periwayat hadis, tetapi seorang qa>d}i. Dan ini menjadi

salah satu ketidak-akuratan Imam Bukhori dalam menjelaskan biografi al-H}akam

ibn ‘Utaibah.

Dalam hal ini, peneliti cukup kesulitan dalam melakukan tarji>h pendapat

tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah. Di sini penulis mencoba berhipotesis.

Jika yang dimaksud al-H}akam ibn ‘Utaibah pada hadis keberatan sahabat Ali bin

Abi Thalib tersebut adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, maka jelas bahwa

riwayat ini terputus dari rantai periwayatan. Pasalnya, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-

Nahha>s, sebagaimana penuturan al-Z|ahabi>, tidak meriwayatkan satu hadis pun.71

al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s adalah seorang qad}i> di kota Kufah

menggantikan qad}i< sebelumnya yaitu Ibn al-Asywa’.72

al-H}akam ibn ‘Utaibah, jika yang dimaksud adalah al-H}akam ibn

‘Utaibah seorang ulama besar yang terlibat dalan periwayatan hadis, berarti dia

adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>, yang memiliki nama kunyah Abu>

Muh}ammad al-Ku>fi>y. Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y lahir pada tahun 50 h. dan

meninggal pada tahun 115 h. Dalam periwayatan hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah

berguru kepada ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Ibra>hi>m al-Nakha>’i>,

Abu> Ja’far Muh}ammad ibn ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Mus}’ab ibn

Sa’d ibn Abi> Waqqa>s}, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para

periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah

71 Al-Z|ahabi>, al-Ka>syif, (Jeddah: Daarul Qiblah, 1992), h. 345

72 Waki>’, Akhba>r al-Qud}a>h, Jld. 3, (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th ), h. 22-23

143

Syu’bah ibn H}ajja>j, Aba>n ibn S}a>lih}, H}ajja>j ibn Di>na>r, dan periwayat-periwayat

lainnya. Dalam periwayatan hadis, al-H}akam ibn ‘Utaibah banyak mendapatkan

penilaian positif dari para kritikus hadis. Menurut Yah}ya> ibn Ma’i>n periwayat al-

H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat yang s|iqah. Sedangkan menurut Ah}mad

ibn ‘Abdilla>h al-‘Ajali>, al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat yang s|iqah dan

s|abat. Begitu juga menurut Ibnu Hajar dalam, sebagaimana mengutip pendapat

al-Nasa>’i>, bahwa al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah seorang periwayat s|iqah. Tetapi

Ibnu Hajar juga mengutip pendapat Ibn Sa’d bahwa periwayat al-H}akam ibn

‘Utaibah terkadang melakukan tadli>s.73 Jika al-H}akam ibn ‘Utaibah melakukan

tadli<s , berarti tadli<s tersebut dilakukan atas nama sahabat Ali bin Abi Thalib.

Karena sebagaimana dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, hadis tentang keberatan

sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar bin Khatab, riwayatnya disandarkan

kepada sahabat Ali bin Abi Thalib.74

Berangkat dari penuturan Ibn Sa’d yang dikutip oleh Ibnu Hajar tentang

tadli>s al-H}akam ibn ‘Utaibah, penulis mencoba melakukan komparasi biografi

Ali bin Abi Thalib dan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Menurut penuturan ‘Abd al-

Malik ibn H}usain, seorang ahli sejarah, Ali bin Abi Thalib meninggal pada tahun

40 h. Sedangkan al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada

tahun 50 h. Artinya ada jarak waktu lima tahun di antara dua periwayat hadis

tersebutyang tidak memungkan terjadi pertemuan atau berada di satu zaman. Di

beberapa kitab biografi periwayat hadis, nama Ali bin Abi Thalib tidak ada

73 Ibnu Hajar, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 1, h. 467

74 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10

144

dalam urutan nama-nama guru periwayatan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sejauh

penelusuran penulis, tidak ada kitab biografi periwayat hadis yang

mencantumkan nama sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai guru periwayatan hadis,

kecuali nama cucunya sendiri, yaitu Ali bin Husain bin Ali yang dikenal dengan

sebutan Zain al-‘Abidi>n.

Dari estimasi data-data di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadis yang

menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib terhadap fatwa sahabat Umar

bin Khattab terjadi keterputusan rantai periwayatan. Dalam arti, hadis tersebut

bukan pernyataan sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana penilaian Ja’far

Subhani dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani

menerima hadis yang sanadnya tidak bersambung kepada sahabat Ali bin Abi

Thalib. Maka, menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, Ja’far Subhani

tidak melakukan langkah kritik periwayat-periwayat hadis, al-naqd al-salabi> li

ma’rifah ‘ada>lah al-ruwa>h. Selain itu, pemikiran Ja’far Subhani tentang

keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa Umar bin Khattab tidak bisa

disebut sebagai pemikiran yang valid. Karena pemikirannya tentang hal ini, tidak

sesuai dengan teori ilmiah yaitu ilmu jarh} wa ta’di>l, sehingga belum memenuhi

persyaratan teori kebenaran korespondensi.

D. Hadis-hadis D}a’i>f tentang Penghapusan Nikah Mut’ah

Pembahasan yang menjadi titik sentral perdebatan legalitas nikah mut’ah

adalah keberadaan penghapusan (naskh). Menurut ulama Sunni, telah terjadi

penghapusan hukum dalam legalitas nikah mut’ah. Sedangkan menurut ulama

Syiah, praktek nikah mut’ah masih diperbolehkan dalam kasus-kasus tertentu.

Dalam hal ini, menurut Ja’far Subhani, penghapusan nikah mut’ah tidak pernah

145

terjadi, kecuali diinformasikan oleh riwayat-riwayat yang tidak bisa

dipertanggungjawabkan. Berkaitan dengan hal ini, Ja’far Subhani, dalam

kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, menilai adanya hadis-hadis dho’if dalam kajian nikah

mut’ah terutama dalam masalah penghapusan legalitas hukumnya.

Hadis-hadis yang dinilai tidak s}ah}i>h} dan tidak argumentatif dalam

penghapusan legalitas nikah mut’ah adalah hadis Mira>s|, hadis Khoibar, dan hadis

pengahpusan ayat mut’ah. Hadis Mira>s| adalah hadis riwayat Ibnu Mas’ud yang

menjelaskan bahwa nikah mut’ah tertolak legalitasnya dengan t|ala>q nikah, mi>ra>s|,

dan nafaqah. Hadis Khoibar adalah hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw

tentang nikah mut’ah dan memakan daging keledai kampung yang disampaikan

oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Terakhir adalah hadis yang menjelaskan

terjadinya penghapusan ayat mut’ah dengan ayat t\ala>q, mira>s\, ‘iddah, dan

nafaqah.75

1. Hadis Mira>s| Riwayat Ibnu Mas’ud

Hadis yang dinilai tidak argumentatif dan tidak valid oleh Ja’far Subhani

adalah:

قالالمدللابنمسعود عنعب الطخسنعةمنسوخة ت: داقالقوالصها

76اثرةوالمدوالع

Dari Ibnu Mas’ud dia berkata bahwa mut’ah dihapus. Yang

menghapusnya adalah t}ala>q, s{ada>q, ‘iddah, dan mira>s|.

75 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 85-90

76Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 87

146

Sebagaimana keterangan dalam kitab Mut’ah al-Nisa<’, hadis tersebut

terdapat pada kitab hadis Sunan al-Baih|a>qi>, Ibn al-Munz|ir, dan Mus}annaf ‘Abd

al-Razza>q

Riwayat al-Baihaqi>:

مسعودبنللاعبدعنللاعبدصحابأعنمكالحنعةؤطرابناجالحج

77راثوالمةدوالعداقوالصالقالطهاخسنةوخسنمعةتالمقال

Al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, dari al-H}akam, dari sahabat-sahabat Abdullah, dari

Abdullah ibn Mas’u>d. Dia berkata mutlah itu terhapus. Dihapus oleh

talak, sida>q, ‘iddah, mi>ra>s|.

Riwayat ‘Abd al-Razza>q:

ثعشاألأخبرنقالرامعمثدحرجالتعوسماقالرزبدعقال

علعنثارالحعنحدثإسحاقأبااعمسأنهماأرطاةبناجوالحج

المتعةخسوندقة صلكالزكاةونسختم وصلكرمضانخسنقالأنه

عنمحمدعنثدحالحجاجغرعتوسمقالوالمراثوالعدةالطالق

ح بذكلةحلضاتخسونقالعل78

‘Abd al-Razza>q berkata bahwa aku mendengar seorang laki-laki

meriwayatkan kepada Ma’mar, telah memberitakan kepadaku Asy’as| dan

al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, mereka berdua mendengar Abu> Ish}a>q meriwayatkan

kepada al-H}a>ris|, dari Ali bahwa Ali berkata puasa Ramd}an menghapus

segala puasa, zakat menghapus segala bentuk sadaqah, dan mut’ah

terhapus oleh hukum ‘iddah, t}alaq, dan mi>ra>s|.

Dua riwayat di atas, pada dasarnya memiliki makna yang sama. Yaitu

terhapus legalitas nikah mut’ah.

77

Al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra>, jld. 7, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2003), h. 339

78 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983), h. 505

147

Kembali ke periwayatan al-Baih}a>qi>\, hadis ini diriwayatkan melalui jalur

periwayatan al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah dari H}akam dari sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud.

Dalam sanad Baih}a>qi> lainnya, periwayat H}akam langusng meriwayatkan dari

sahabat Ibnu Mas’ud, tidak meriwayatkan melalui sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud.

Oleh karena itu, maka penting untuk menjelaskan biografi perwayat-periwayat

hadis tersebut.

Pertama al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah. al-H}ajja>j ibn Art}a’ah memiliki nama

kunyah Abu> Art}a’ah. Menurut Imam Nawawi, al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah adalah

seorang atba>’ al-ta>bi’i>n yang berguru kepada al-Zuhri>, Qatadah, al-Sya’bi’, dan

lain sebagainya. al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah meninggal pada tahun 149 h. Para kritikus

hadis seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, dan Yahya bin Ma’in menilai al-

H}ajja>j ibn Art}a>’ah sebagai periwayat lemah dan suka melakukan tadli>s.79

Kedua periwayat al-H}akam. Menurut periwayatan Baih}aqi>, al-H}akam di

sini maksudnya adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya al-H}akam ibn ‘Utaibah dalam dunia periwayatan hadis tidak terlepas

dari dua nama yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah

al-Nahha>s\. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam perwayatan

hadis, kedua periwayat ini tidak bisa diterima periwayatannya. Karena al-H}akam

ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dinilai tidak pernah hidup sewaktu dengan para sahabat

senior.al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada tahun 50

h. sedangakan sahabat Ibnu Mas’ud meninggal pada tahun 32 h80

. Artinya ada

79Syamsuddin al-Z|ahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 1530

80 Sholahuddin Al-S}afadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jld. 17, (Beirut: Dar Ihya Turas|, 2000),

h. 326

148

jarak waktu 18 tahun di antara dua periwayat hadis tersebut yang tidak

memungkinkan terjadi pertemuan atau berada di satu waktu. Adapun al-H}akam

ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\ adalah seorang hakim yang tidak berkecimpung di dunia

periwayatan hadis.

Dari hasil kajian sanad di atas, penulis dalam hal ini sepakat dengan Ja’far

Subhani bahwa hadis mi>ra>s| yang menginformasikan penghapusan nikah mut’ah

adalah riwayat d}a’i >f dan tidak bisa diterima sebagaimana berdasar pada standar

ilmu hadis. Terlebih, para ulama telah membentuk sebuah budaya yang positif

dalam menerima hadis. Selektif dalam menerima hadis-hadis hukum, terutama

yang berkaitan halal-haram, dan mempermudah dalam menerima hadis-hadis

keutaman ibadah.

Sampai di sini, penulis telah menemukan dua periwayatan hadis yang di

dalamnya terdapat periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan penilaian berbeda

terhadap hadis periwayatannya. Sehingga dalam hal ini, penulis menilai telah

terjadi sikap inkonsistensi dalam penilaian hadis oleh Ja’far Subhani.

Berdasarkan teori kritik sanad, Ja’far Subhani tidak teliti dalam menilai sebuah

hadis sehingga terjadi inkonsistensi dalam penilaian hadis. Hadis keberatan

sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa sahabat Umar bin Khattab diterima oleh

Ja’far Subhani. Padahal dalam riwayat tersebut terdapat periwayat hadis al-

H}akam ibn ‘Utaibah. Sehingga dalam kasus ini, pemikiran Ja’far Subhani tidak

sesuai dengan teori kebenaran koherensi. Karena ada pemikiran yang tidak

konsisten.

149

2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya, hadis yang dinilai dho’if oleh Ja’far Subhani adalah hadis

yang menjelaskan larangan atau penghapusan legalitas nikah mut’ah pada hari

Khoibar. Hadis Khoibar yang dikutip dan ditanggapi Ja’far Subhani adalah:

عنع عةتىعنمهللاصلىللاعلهوسلمنسولبنأبطالبأنرل

81ةسراإلنمالحومحللكروعنأبخالنساءوم

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah

mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai

kampung.

Hadis di atas, sebagai mana penuturan Ja’far Subhani diriwayatkan oleh

Imam Muslim dalam bab nikah mut’ah.82

Berdasarkan riwayat Imam Muslim, hadis tersebut diriwayatkan oleh

Yahya bin Yahya, dari Malik dari Syihab Al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan, dari

Muhammad bin Ali, dari Ali bin Abi Thalib.

Periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya>. Yah}ya> ibn Yah}ya memiliki nama kunyah

Abu> Zaka>riya> al-Tami>mi>. Yah}ya> ibn Yah}ya lahir pada tahun 142 h. dan

meninggal pada tahun 226 h. dalam periwayatan hadis Yah}ya> ibn Yah}ya berguru

kepada Ma>lik ibn Anas, Kas|i>r ibn Sali>m, Muslim ibn Kha>lid, dan periwayat-

periwayat lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan hadis kepadanya adalah Imam

Al-Bukha>ri>, Imam Muslim, Muh}ammad ibn al-Ra>fi’ al-Qusyairi>, dan periwayat-

periwayat lainnya. Yah}ya> ibn Yah}ya mendapatkan penilaian-penilaian positif

81 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

82Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

150

dari para kritikus hadis. Di antaranya al-Nasa>’i> yang menilai bahwa Yah}ya> ibn

Yah}ya adalah seorang periwayat s|iqah.83

Periwayat-periwayat setelahnya adalah para imam dalam bidang hadis

yang kredibilatasnya sudah tidak dipermasalahkan. Sehingga di sini penulis

mencukupkan penelitian pada periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya saja.

Jika mempertimbangkan kualitas periwayat-periwayat hadis, hadis

khaibar memiliki sanad yang kuat dan diterima oleh semua kritikus hadis. Dalam

hal ini, Ja’far Subhani, tidak mempertimbangkan kualitas sanad tersebut. Dalam

kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani tidak memberikan uraian argumentasi

tentang validitas hadis ini. Ja’far Subhani mencukupkan diri dengan penilaian

bahwa hadis khaibar ini statusnya adalah bohong atas nama sahabat Ali bin Abi

Thalib.84

Dalam kajian hadis Sunni, hadis khaibar mendapatkan perhatian yang

cukup intens. Tidak sedikit para kritikus hadis memberikan kritik terhadap hadis

tersebut, terutama kritik pada aspek matannya. Permasalahan yang menjadi titik

sentralnya adalah perbedaan pandangan tentang kedudukan yaum khaibar atau

zaman khaibar sebagai keterangan waktu untuk larangan memakan daging

keledai, atau keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah, atau keterangan

waktu untuk larangan keduanya.

83 Syamsuddin Al-Z|ahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4213

84 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

151

Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa Nabi saw telah

melarang nikah mut’ah dan makan daging keledai di saat perang Khaibar. Hadis

yang diriwayatkan oleh para imam hadis, seperti Imam Muslim dan Imam

Bukhari ini, banyak menuai respons para kritikus hadis.

Secara tekstual hadis di atas menjelaskan bahwa keterangan waktu yaum

khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah. Tetapi menurut

pendapat yang dikutip al-Baih}aqi> bahwa Sufya>n ibn ‘Uyainah menilai bahwa

keterangan waktu tersebut adalah keterangan waktu untuk larangan makan

daging keledai, bukan keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah.

Pandangan ini merujuk kepada hadis riwayat Imam Bukhari.85

Tetapi dalam

riwayat Sufya>n bin ‘Uyainah lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab

S}ah}i>h} Muslim dijelaskan bahwa secara tekstual keterangan waktu tersebut

berkaitan dengan larangan nikah mut’ah. Bahkan menurut riwayat Imam Muslim,

dalam riwayat lain, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari

Zuhri, Rasulullah bersabda secara tegas tentang larangan nikah mut’ah pada saat

Khaibar. Tetapi dalam riwayat lainnya, Sufyan bin ‘Uyainah juga meriwayatkan

dari Zuhri bahwa Rasulullah saw melarang makan daging keledai pada saat

Khaibar, dan nikah mut’ah setelahnya.86

Sejauh penelitian, penulis belum menemukan tarji>h al-dala’il tentang

pemaknaan yang lebih tepat untuk hadis ini, kecuali pandangan Ibn ‘Abd al-Barr

yang menyatakan bahwa mayoritas orang berpendapat bahwa keterangan waktu

85Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, jld. 10, h. 165

86Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

152

yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan makan daging keledai,

bukan keterangan waktu untuk larangan nikah mut’ah. Selain itu, Ibnu Hajar

mengutip pendapat al-Suhaili> yang mengatakan bahwa laranagan nikah mut’ah di

perang Khoibar tidak diketahui oleh para ahli sejarah dan ahli periwayatan.

Menurut perselisihan dalam hal ini, faktornya adalah terjadi taqdi>m wa ta’khi>r

dalam riwayat Zuhri. Selain itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibn al-Qayyim

yang menegaskan bahwa para sahabat tidak pernah melakukan mut’ah dengan

para wanita yahudi. Atas dasar ini, menurut Ibn al-Qayyim, maka larangan belum

pernah terjadi pada perang Khoibar. Kecuali praktek mut’ah yang dilakukan oleh

orang-orang dari suku Aus dan Khazraj sebelum Islam datang.87

Dari pemaparan Ibn al-Qayyim yang dikutip dalam Fath} al-Ba>ri>, penulis

berpendapat bahwa pada saat perang Khoibar belum ada larangan nikah mut’ah.

Jadi keterangan waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan

makan daging keledai.

Kembali kepada penilaian Ja’far Subhani tentang kelemahan hadis

khaibar. Di sini penulis mencoba memaparkan perbedaan pandangan antara

penulis dengan Ja’far Subhani. Ja’far Subhani menilai bahwa hadis khaibar yang

diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah riwayat bohong.88

Bohong atas

nama sahabat Ali. Dengan alasan bahwa sahabat Ali telah memperlihatkan

ketidak-setujuannya atas penghapusan nikah mut’ah sebagai dalam riwayat

tentang keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar bin Khattab. Kedua

87

Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

88 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

153

Ja’far Subhani berpendapat sebagaimana pendapat penulis, bahwa di perang

Khaibar belum terjadi larangan nikah mut’ah. Dengan dua alasan ini, Ja’far

Subhani menolak hadis Khaibar yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib.

Sedikit berbeda dengan pandangan Ja’far Subhani, penulis menilai bahwa

hadis Khaibar dengan kualitas sanad yang kuat tidak bisa ditolak. Karena sudah

jelas periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut adalah periwayat

s}iqah dan sebagian besar adalah imam dalam periwayatan hadis, seperti Ibnu

Syihab, Malik, dan Muslim. Selain itu tidak ada yang mempermasalahkan sanad

hadis tersebut. Selanjutnya tentang perbedaan para ulama tentang keterangan

waktu yaum khaibar adalah perbedaan riwa>yah bi al-ma’na> yang masih diakui

dan diterima perbedaannya. Terlebih lagi, ada pendapat yang menguatkan bahwa

ahli sejarah dan ahli periwayatan telah menyatakan bahwa di perang khoibar

belum ada larangan nikah mut’ah. Jadi, dalam hal ini penulis tetap menerima

hadis khoibar dengan ragam periwayatannya.89

Berdasarkan analisis pemikiran Ja’far Subhani di atas, di sini penulis

menilai bahwa Ja’far Subhani melakukan fabrikasi, menilai sebuah hadis lemah

bahkan bohong atas nama Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak ada dasar yang

membuktikannya. Sehingga penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani

keluar dari etika teori-teori kritik hadis dan juga tidak sesuai dengan teori

kebenaran korespondensi karena penilainnya tentang hadis tidak berdasar pada

teori-teori ilmu hadis.

89

Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165

154

3. Hadis penghapusan nikah mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa telah terjadi penghapusan

ayat nikah mut’ah, fa> ma> istamta’tum bihi> dengan ayat fa t}alliqu>hunn li

‘iddatihinn. Salah satu riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.

Dalam hal ini Ja’far Subhani menolak periwayatan tersebut dengan alasan bahwa

sahabat Ibnu ‘Abbas adalah murid sahabat Ali bin Abi Thalib yang dipastikan

lebih paham tentang maksud ayat-ayat Al-Qur’an dari sekedar ayat mut’ah

dihapus dengan ayat t}ala>q dan ‘iddah, karena praktek nikah mut’ah sendiri ada

‘iddahnya.90

Riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas tersebut

adalah:

هنأجورنههنفؤتونمبهمتعتتمهعزوجلفمااساسفقولنعبعناب

91هنتعدقوهنلفطلالنساءقتمهااأهاالنبإذاطلقالنسختفرضة

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunn,

menurut sahabat Ibnu ‘Abbas dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a>

t}allaqtum al-nisa>’ fa t}alliqu>hunn li’iddatihinn.

Periwayat Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j. Ah}mad ibn Muh}ammad

ibn al-H}ajja>j periwayat yang meninggal pada tahun 275 h. dan memiliki nama

kunyah Abu> Bakr al-Marwaz|i> . Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j dalam

periwayatan hadis berguru kepada Ah}mad ibn H}anbal, Ha>ru>n ibn Ma’ru>f, Suraij

ibn Yu>nus, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang

meriwayatkan hadis dari Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah

Muh}ammad ibn ‘I<sa> al-Wali>d, Abu> H}a>mid Ah}mad, dan periwayat-periwayat

90

Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

91Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 88

155

lainnya. Menurut al-Z}ahabi> , Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah seorang

ima>m, ahli hadis, dan sahabat Ah}mad ibn H}anbal yang wara’. 92

Periwayat Yah}ya> ibn Sulaima>n. Yah}ya> ibn Sulaima>n memiliki nama

kunyah Abu> Sa’i>d al-Ju’fi>. Yah}ya> ibn Sulaima>n meninggal pada tahun 237 h.

Yah}ya> ibn Sulaima>n , dalam periwayatan hadis berguru kepada al-Da>ra>wardi> dan

yang berguru kepadanya adalah Imam Bukhori dan Hasan bin Sufyan. Menurut

al-Nasa>’i> , Yah}ya> ibn Sulaima>n adalah periwayat yang tidak s|iqah.93

Periwayat ‘Aliyy ibn Ha>syim. ‘Aliyy ibn Ha>syim, menurut al-Z|ahabi>

adalah seorang pengikut syiah yang memiliki nama kunyah Ibn al-Bari>d dan

meninggal pada tahun 183 h. Menurut Ibnu Ma’in dan Ali Madini, ‘Aliyy ibn

Ha>syim adalah seorang periwayat s|iqah.94

Periwayat ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni

meninggal pada tahun 155 h. dan memiliki nama kunyah Abu> Mas’u>d. ‘Usma>n

ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri, yaitu ‘At}a>’ al-

Khurasa>ni>. Periwayat hadis yang mereiwayatkan hadis dari‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-

Khurasa>ni adalah Muh}ammad ibn Syu’aib, Wali>d ibn Muslim, dan periwayat-

periwayat lainnya. Menurut Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni,

periwayat yang hadisnya tidak kuat dan tidak bisa dijadikan argumen.95

92Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 915

93 Syamsuddin Al-Dimasqi, al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah,

jld. 2, (Jeddah: Muassasah Ulumul Qur’an, 1992), h. 367

94 Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2876

95 Abu Hatim, al-Jarh} wa al-Ta’di>l, jld. 6, (Beirut: Darul Kutub, 1952), h. 162

156

Periwayat ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, nama lengkapnya

adalah Ibn Abi> Muslim. Lahir pada tahun 50 h. dan meninggal pada tahun 135 h.

‘At}a>’ al-Khurasa>ni, dalam periwayatan hadis berguru kepada sahabat Abu

Darda’, Ibnu ‘Abbas, Mughirah bin Syu’bah dan periwayat-periwayat lainnya.

Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah

Ma’mar, Syu’bah, Malik, dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam penilaian para

kritikus hadis, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni mendapatkan penilaian berbeda. Menurut

Ibnu’ Ma’in, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni> adalah seorang yang s|iqah. Tetapi menurut

Daruquthni, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni tidak bertemu dengan sahabat Ibnu ‘Abbas

dalam arti telah melakukan tadli>s dalam periwayatan hadis.96

Periwayat Ibn ‘Abba>s.97

Berdasarkan data biografi dan penilaian para kritikus hadis terhadap

perwiayat-periwayat hadis di atas, penulis menilai bahwa riwayat di atas

memiliki rantai periwayatan yang tidak kuat. Selain ada periwayat yang

melalukan tadli>s, juga ada periwayat lain yang tidak dijadikan sandaran

periwayatannya, yaitu ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Tetapi penulis masih

menemukan riwayat kuat yang semakna dengan hadis ini. Yaitu hadis riwayat

Ibnu Hibban.

وروىسالمعنعبدللابنعمرأنعمربنالخطابصعدالمنبرفحمد

المتعةوقدنهىرسول بالرجالنكحونهذه ما للاوأثنىعله،وقال:

96Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2689

97 Penulis mencukupkan tanpa penelitian tentang biografi dan pandangan kritikus hadis

tentang sahabat Ibnu ‘Abbash. Karena baik ulama Suni atau pun ulama Syiah, masing-masing

merespons positif terhadap sosok Ibnu ‘Abbash.

157

للاصلىللاعلهوسلمعنها؟،الأجدرجالنكحهاإالرجمتهبالحجارة،

وقال:هدمالمتعةالنكاحوالطالقوالعدةوالمراث

Salim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Umar bin

Khattab menaiki minbar kemudian memuji Allah swt dan Ibnu Umar

bertanya kepada Umar bin Khattab:‛bagaimana pendapatmu tentang para

lelaki yang melakukan nikah mut’ah sedangkan Nabi saw telah

melarangnya?‛Umar bin Khattab menjawab:‛aku akan tidak menemukan

laki-laki yang melakukan nikah mut’ah kecual aku rajam dengan batu‛

kemudian Umar bin Khattab berkata:‛telah membinasakan mut’ah, yaitu

nikah, tolak, iddah, dan pembagian waris‛

Selain itu, dalam pandangan Ibn H}ajar, hadis riwayat Ibn ‘Umar di atas

memiliki sya>hid yang kuat, yaitu riwayat Abu> Hurairah.98

Al-Syauka>ni>, dalam

Nail al-Aut}a>r, juga sependapat dengan Ibnu Hajar. Dia berpendapat bahwa hadis

tersebut termasuk hadis hasan. Menurutnya, keberadaan periwayat Mu’ammal

ibn Isma>’i>l yang dinilai lemah oleh Bukhari tidak dapat menurunkan derajat

hasan menjadi da’i>f. Karena hadis tersebut memiliki syawa>hid dalam riwayat

lainnya.99

Di antara syawa>hid hadis di atas adalah hadis Aisyah, istri Nabi saw:

ثا ىظ ح ودذ وهة ػ ثا ات دذ ا عه ذ قال ذ ت أد ت

ثا صانخ ثغح دذ ثا ػ ىظ دذ ػ ػشوج قال أخثش شهاب ات ت

ش ت انض صوج ػائشح أ ه وعهى أخثشذه انث ػه صه للا ف انكاح أ

انجاههح ذاء أستؼح ػه كا ها فكاح أ جم خطة انىو اناط كاح ي انش

جم إن كذها ثى فصذقها اتره أو ونره انش ش آخ وكاح جم كا قىل انش

طهشخ إرا اليشأذه ثها ي إن أسعه ط ه فاعرثضؼ فال وؼرضنها ي

ها وال صوجها غ در أتذا هها رث د جم رنك ي ه ذغرثضغ انز انش ي

98Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 169

99 Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Baitul Afkar, 2004), h\. 1202

158

ذ فإرا هها ث ا أدة إرا صوجها أصاتها د جاتح ف سغثح رنك فؼم وإ

انىنذ غ آخش وكاح االعرثضاع كاح انكاح هزا فكا هظ جر يا انش دو

انؼششج شأج ػه فذخهى هد فإرا صثها ههى ك ان ها ويش ووضؼد د ػه

تؼذ نال هها ذضغ أ هى أسعهد د هى سجم غرطغ فهى إن ي رغ أ در

ؼىا ذها جر انز ػشفرى قذ نهى ذقىل ػ كا اتك فهى ونذخ وقذ يشكى أ ي

ا فال ذغ ه أدثد ي غرطغ ال ونذها ته فهذق تاع رغ أ ته

جم اتغ وكاح انش غ انش انكثش اناط جر شأج ػه فذخهى رغ ال ان ذ ي

جاءها انثغاا وه ك صث ػه سااخ أتىاته ا ذكى ػه ف أساده

دخم ه هد فإرا ػه د هها ووضؼد إدذاه ؼىا د نهى ودػىا نها ج

تانز ذهاون أنذقىا ثى انقافح ته فانراط شو رغ ال اته ودػ رنك ي

ا ذ تؼث فه صه يذ ه للا كاح إال كهه انجاههح كاح هذو تانذق وعهى ػه

100انىو اناط

Diriwayatkan dari Ah}mad ibn S}a>lih}, dari ‘Anbasah, dari Yu>nus, dari Ibn

Syiha>b, dia berkata bahwa ‘Urwah ibn al-Zubair telah memeberitakan

kepadaku bahwa ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad saw memberitakan kepada

‘Urwah ibn al-Zubair bahwa:

Sesungguhnya nikah di zaman jahiliyya ada empat macam. Di antara nikah

model masyarakat sekarang, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau

anak perempuan kepada walinya kemudian membayar mahar dan

menikahinya. Bentuk pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata

kata kepada istrinya: ‚pergilah ke si fulan, kemudian minta untuk

digaulinya dan suaminya menjauhinya dan tidak menyentuhnya sehingg

istrinya tersebut jelas telah mengandung janin hasil dari hubungannya

dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, kemudian

suaminya tersebut melanjutkan hubungannya jika suami tersebut

menginginkannya. Hal ini betujuan untuk mendapatkan keturunan anak

yang cerdas. Nikah seperti ini disebut nikah istibd}a>’. Kemudian, ada juga

praktek nikah yang dilakukan oleh sejumlah laki-laki, kurang dari

sepuluhan, dan mereka melakukan hubungan badan dengan satu wanita.

Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anak, setelah beberapa

hari,wanita tersebut memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara

yang menolak panggilan tersebut sehingga mereka pun berkumpul di rumah

wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata kepada laki-laki tadi:

‚sungguh kalian telah mengetahui urusan kalian, sedangkan aku sekarang

100

Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, jld. 5, (Beirut: Dar Ibnu Kas|ir, th. ), h. 1970

159

telah melahirkan dan anak ini adalah anakmu wahai fulan‛. Kemudian

wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga

dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itu pun tidak boleh

menolaknya. Terakhir, praktek nikah yang dilakukan para laki-laki yang

melakukan hubungan badan dengan seorang wanita yang tidak akan

menolak setiap ajakan laki-laki tersebut yang mendatanginya, karena

mereka adalah para pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu

mereka sebagai tanda siapa yang menginginkannya maka diperbolehkan

masuk. Kemudian jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka para laki-

laki itu berkumpul di tempat tadi, dan mereka pun mendatangkan ahli

firasat, kemudian dihubungkanlah anak tersebut dengan ayahnya atas

anggapan ahli firasat tersebut. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil

sebagai anaknya, dan laki-laki yang terpilih tidak boleh menolaknya.

Kemudian setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul

dengan jalan yang benar, beliau menghapus semua praktek nikah jahiliyyah

tersebut kecuali nikah sebagaimana yang berjalan sekarang ini.

Setelah melakukan verifikasi terhadap kitab-kitab ulama Sunni, penulis

menilai bahwa riwayat Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan ayat mut’ah dengan ayat

‘iddah memiliki kualitas lemah, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan

sanad periwayatannya. Tetapi selain hadis ini ternyata masih ada beberapa hadis

yang memiliki kualitas yang kuat yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah telah

dihapus dengan nikah, t}alaq, ‘iddah, dan pembagian waris. Sehingga hasil dari

verifikasi ini penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani belum melakukan

verifikasi riwayat-riwayat secara sempurna. Dalam istilah Mus}t}afa> al-A’z}ami>,

langkah mengumpulkan data secara sempurna (jam’ al-us}u>l ka>ffah) tidak

dilakukan oleh Ja’far Subhani. Sehingga kesimpulannya tidak korespondens

dengan data-data yang ada.

E. Kontradiksi Riwayat Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah

Ibn H}ajar Al-‘Asqala>ni> berpendapat ada enam waktu yang tersirat dalam

riwayat-riwayat pengharaman nikah mut’ah. Yaitu Khaibar, ‘Umrah al-Qad}a>’,

160

Fath} Makkah, Aut}a>s, Tabuk, Haji Wada’.101

Ja’far Subhani dalam karyanya

Mut’ah al-Nisa>’, menyebutkan lebih ringkas waktu-waktu pengharaman nikah

mut’ah menjadi empat. Yaitu Khaibar102

, Tanah Hawazin atau tahun Aut}a>s,

tanah Mekkah atau Fath} Makkah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat

bahwa telah terjadi kontradiksi dan kekacauan riwayat-riwayat (idt}ira>b) yang

menjelaskan pengharaman nikah mut’ah di waktu-waktu tersebut. Riwayat-

riwayat yang dinilai kontradiktif adalah:

1. Riwayat pengharaman di Khoibar. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far

Subhani mengutip riwayat Ali bin Abi Thalib:

عةتهىعنمرسولللاصلىللاعلهوسلمنأنلبنأبطالب عنع

103سةراإلنمومالححللبروعنأكمخوالنساء

Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah

mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai

kampung.

2. Riwayat pengharaman di tanah Hawazin. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’,

Ja’far Subhani mengutip riwayat Iya>s ibn Salamah:

صرسولللاصلىللاعلهوسلمرخ مةعنأبهقاللاسبنسعنإ

104هىعنهانمأوطاسفالمتعةثالثاثعام

101 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 166

102 Tentang pengharaman di Khaibar sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

103 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukha>ri> dalam kitabnya, bab ‚perang Khoibar‛

Tidak ada perbedaan redaksi antara kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab S}ah}i>h{ al-Bukha>ri>h.

104 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 93

Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi

yang samah.

161

Dari Iya>s ibn Salamah, dari ayahnya, berkata bahwa Nabi saw memberi

keringanan nikah mut’ah pada tahun Aut}a>s selama tiga hari kemudian

melarangnya.

3. Riwayat pengaharaman di Fath} Makkah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa >’,

Ja’far Subhani mengutip riwayat Sabrah

أنأباهغعبنسببعنالر معرسولللاصلىللاعلهوسلمرة زا

نلنا)ثالثنبنللةووم(فؤذعشرةنابهاخمسفؤقم : مكةقالفتح

منأناورجلرسولللاصلىللاعلهوسلمفمتعةالنساءفخرجت

قال-الان-مامةمنالدمالوهوقرب فالجعلهفضل قومول

مهارسولللاصلىللاعلهوحتىحرمنهافلمأخرجثماستمتعت-

105سلم

Dari al-Rabi>’ibn Saburah, berkata bahwa ayahnya berperang bersama

Rasulullah saw pada Fath} Makkah dan kami bertinggal di Mekkah selama

15 hari. Kemudian Rasulullah mengizinkan kami untuk melakukan nikah

mut’ah. Saya bersama seorang laki-laki dari kelompoku keluar. Dia

memiliki keistimewahan dalam hal rupa tetapi tidak istimewa dalam

penampilan. Sab\rah berkata: saya melakukan nikah mut’ah dan tidak

keluar dari kota Makkah sampai Rasulullah mengharamkannya.

Dalam tiga riwayat di atas, menurut Ja’far Subhani telah terjadi

kontradiksi bahkan terjadi kekacauan riwayat (id}t}ira>b). Penulis menilai, letak

kontradiksinya adalah terjadinya proses pengharaman nikah mut’ah di beberapa

tempat dan waktu yang berbeda. Sebagaimana pandangan Ja’far Subhani yang

mempertanyakan proses pengharaman tersebut bahwa, menurutnya, riwayat-

riwayat ini tidak mungkin untuk dilakukan kompromi. Pengharaman di Khoibar

105 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 94

Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi

yang samah.

162

terjadi sekitar tahun ke-7 h. Sedangkan pengharaman di Hawazin, tahun Aut}a>s,

dan pengharaman di Mekkah, Fath} Makkah,terjadi pada tahun ke-8 h. Menurut

Ja’far Subhani, perbedaan-perbedaan seperti ini tidak bisa dikompromikan106

dan

akan melahirkan keraguan tentang pengharaman bagi para pembaca.107

Selain menilainya sebagai riwayat yang kontradiktif, Ja’far Subhani lebih

cendrung terhadap data sejarah, dengan melihat pemaparan-pemaparan kitab-

kitab sejarah, terutama kitab sejarah Ibnu Hisyam. Hasil pembacaan terhadap

data sejarah Ibnu Hisyam tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan bahwa tidak

ada pernyataan pengharaman langsung dari Rasulullah saw yang berkaitan

dengan nikah mut’ah.108

Sebagaimana ulama-ulama Sunni, Ja’far Subhani juga menitik-beratkan

riwayat pengharaman nikah mut’ah pada dua riwayat. Yaitu riwayat Khaibar

dan riwayat Fath} Makkah.

Tentang riwayat khaibar, yang menjelaskan pengharaman nikah mut’ah,

baik Ja’far Subhani atau pun Ibnu Hajar mengambil sikap yang sama bahwa di

Khoibar tidak terjadi pengharaman nikah mut’ah. Karena berdasarkan pada

penelitian sejarah bahwa di Khoibar para sahabat tidak pernah melakukan nikah

mut’ah dengan kecuali orang-orang Yahudi yang telah bersosial dengan

kelompok Aus dan Khazraj sebelum Islam. Pada saat itu belum ada wanita-

wanita muslim. Menurut Ibnu Hisyam, Nabi saw hanya melarang empat hal pada

saat di Khoibar. Yaitu makan daging keledai piaraan, menggauli tawanan-tawana

106Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 95

107Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 103

108Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 96

163

yang hamil, makan daging binatang buas, dan menjual daging domba sampai ada

pembagian.109

Ulama-ulama Sunni pun berpendapat bahwa larangan-larangan yang

terkandung dalam riwayat Khoibar khusus pada larangan makan daging himar.

Adapun dua larangan Nabi saw yang disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi

Thalib kepada sahabat Ibnu ‘Abbas adalah sebuah penegasan karena pada saat itu

Ibnu ‘Abbas menghalalkan nikah mut’ah dan makan daging himar, padahal Nabi

saw melarangnya.110

Adapun larangan di Fath} Makkah, Ibn H}ajar dan Ja’far Subhani

memberikan pandangan yang berbeda. Ibnu Hajar berpendapat bahwa waktu

pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat Fath} Makkah yang diharamkan Nabi

saw sampai hari kiyamat. Riwayat nikah mut’ah ketika ‘Umrah al-Qad}a>’ adalah

riwayat lemah, karena di dalam sanad periwayatannya terdapat periwayat Hasan

yang dinilai banyak melakukan irsa>l. Riwayat nikah mut’ah dalam perang Tabuk,

(hadam al-mut’ah al-nika>h} ), tidak dengan jelaskan menjelaskan adanya praktek

mut’ah pada saat itu, tetapi sebagai respons terhadap praktek mut’ah di zaman

terdahulu dan menjadi pesan bahwa praktek nikah mut’ah bukan yang

disyari’atkan dalam Islam. Adapun riwayat nikah mut’ah dalam Haji Wada’,

menurut Ibnu Hajar telah terjadi ikhtila>f dalam riwayatnya, sehingga yang paling

benar tentang pengharaman nikah mut’ah adalah di saat Fath} Makkah.111

109 Ibnu Hisyam, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Daarul Kitab Arabi, 1990) h.

279-280

110 Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 165

111 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 167

164

Tentang pengaharaman nikah mut’ah di Fath{ Makkah, Ja’far Subhani

berbeda pendapat dengan Ibnu Hajar. Sebagaimana pandangannya tentang

pengharaman di Khaibar, Ja’far Subhani berpendapat bahwa tidak pernah terjadi

pengharaman di nikah mut’ah di Fath} Makkah. Ja’far Subhani mendasarkan

pendapatnya pada informasi dari ahli sejarah. Menurut Ja’far Subhani

berdasarkan informasi dari ahli sejarah tidak ditemukan tentang pengaharaman

atau penghalalan nikah mut’ah. Pendapat Ja’far Subahni tersebut merupakan

hasil pembacaannya terhadap pidato Nabi saw pada saat Fath} Makkah, yang

dikutip dari kitab sejarah Ibnu Hisyam.112

Secara literal apa yang disimpulkan Ja’far Subhani adalah benar bahwa

dalam pidato Fath} Makkah kutipan dari Si>rah Ibn Hisya>m tidak ada

pengharaman atau pun penghalalan nikah mut’ah. Tetapi beberapa ahli sejarah

sepertiAbu> Qa>sim Al-Suhaili>,113 Ibn Kas|i>r,114

dan Ibn Qayyim115 menegaskan

bahwa informasi yang paling jelas tentang pengharaman nikah mut’ah adalah

pada saat Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli sejarah

tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibn Numair riwayat sahabat Rabi’

bin Sabrah.116

Hadis tersebut pada dasarnya berada setelah beberapa hadis

112 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 98

113Abu Qasim Al-Suhaili, al-Raud} al-Unuf, jld. 4, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2009),

h. 75

114 Ibnu Katsir, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1876), h. 336

115 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’a>d, jld. 3, (Beirut: Al-Risalah, 1998), h. 304

116 Hadisnya adalah:

ثنىا حد عمر بن العزز عبد ثنا أبىحد ثنا حد ر نم بن للا عبد بن د محم ثنا أباهحد أن الجهنى سبرة بن بع لر هكانمعرسولللا ثهأن ا»فقال-صلىللاعلهوسلم-حد اسإنىقدكنتأذنتلكمفىاالستمتاعمن هاالن أ

س خل فل شىء امةفمنكانعندهمنهن ومالق مذلكإلى قدحر للا شالنساءوإن تموهن اآت ئابلهوالتؤخذوامم

165

dengan hadis yang sama, yaitu riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu

hadis setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut menjelaskan bahwa

pengaharaman nikah mut’ah yang terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah

disampaikan Nabi saw ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.117

Berdasarkan analisis data di atas, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far

Subhani tentang adanya kontradiksi riwayat pengharaman nikah mut’ah dan

tidak pengharaman pada saat Fath} Makkah adalah kesimpulan yang terkonstruksi

oleh analisis yang tidak sempurna dan terkesan tergesa-gesa dalam

menyimpulkan. Sehingga informasi yang disampaikan belum sesuai dengan data-

data secara keseluruhan. Sebuah proses pengumpulan data secara

menyeluruhv(jam’ al-us}u>l ka>ffah) adalah sebuah langkah yang penting dilakukan

supaya hasilnya korespondens dengan data dan fakta yang ada.

\Muh}ammad ibn ‘Abdillah meriwayatkan dari ayahnya, dari ‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Umar, dari al-Rabi>’ ibn Sabrah al-Juhanni>, bahwa ayahnya meriwayatkan kepada al-Rabi> ibn Sabrah al-Juhanni> sendiri, bahwa ayahnya pernah bersama Rasulullah saw dan beliau bersabd: ‚ wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk bermut’ah dan Allah swt telah mengharamkan itu samapai hari kiyamath. Maka barang siapa yang masih terikat dengan pernikahan tersebut bebaskanlah wainita itu dari perbuatan tersebuth. Dan janganlah mengambil lagi sesuatu yang telah diberikan kepada merekah.

117 Hadisnya adalah:

بهذ عمر بن العزز عبد عن مان سل بن عبدة ثنا حد بة ش أبى بن بكر أبو ثناه توحد رأ قال اإلسناد ارسو ر -صلىللاعلهوسلم-لللا قولبمثلحدثابننم كنوالبابوهو نالر .قائماب

Telah meriwayatkan kepada kami, Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah, dari ‘Abdah ibn Sulaima>n, dari ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Umar, dengan sanad yang ini, dia berkata: ‚aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara rukun dan pintu Ka’bah, beliau bersabda sebagaimana yang ada dalam riwayat Ibn Numairh.

166

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan analisis pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis

Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, penulis

berkesimpulan bahwa:

1. Pandangan-pandangan ilmiah Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni

dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah menjadikan

hadis-hadis tersebut sebagai dalil konstruktif legalitas nikah mut’ah. Ja’far

Subhani menilai bahwa beberapa hadis yang terdapat dalam kitab-kitab

Sunni juga menginformasikan tentang legalitas nikah mut’ah. Penilaiannya

tersebut dilakukan dengan cara inventarisasi hadis-hadis yang dinilai

mendukung terhadap pemikirannya tentang legalitas nikah mut’ah. Hadis-

hadis Sunni yang diterima oleh Ja’far Subhani, pada umumnya, bukan hasil

analisis teori ilmu hadis, terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l, melainkan

berdasar pada interpretasi. Ini terbukti, ketika Ja’far Subhani menilai sebuah

hadis atau berkomentar tentang seorang periwayat hadis, tidak disertai

dengan analisis pendekatan kritik hadis terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l.

2. Dengan menggunakan teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami> dan teori

kebenaran Abdul Mustaqim, penulis menilai bahwa pemikiran Ja’far

Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b

wa al-Sunnah adalah tidak valid, dengan alasan sebagai berikut:

167

a. Pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah

al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah berdasarkan teori ‚kesadaran

keterpengaruhan oleh sejarah (Historically Effected Consciousness)‛,

telah terpengaruh oleh faktor geo-politik, budaya, dan kehidupan

keagamannya. Yaitu mempertahankan ajaran-ajaran doktrinal madzhab

Syiah. Walaupun dalam proses konstruksi kritiknya tidak

mengedepankan ideologi ima>mah-nya. Hal ini terbukti ketika Ja’far

Subhani mengomentari hadis riwayat Ibnu ‘Abbas, ka>nat al-mut’ah fi>

awwal al-islam. Dalam sanad riwayat tersebut tidak ditemukan

periwayat-periwayat bermadzhab syiah. Selain itu riwayat Jabir bin

‘Abdullah, kunna> nastamti’ bi al-qabd}ah. Riwayat ini juga diterima oleh

Ja’far Subhani. Dalam riwayat tersebut terdapat periwayat bermadzhab

syiah yaitu ‘Abdurrazza>q.

b. Pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani bersifat Subjektif. Pemikiran-

pemikiran tersebut terkonstruksi oleh pengutipan atau pembacaan serta

analisis yang tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran

ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat d}a’i>f, merubah redaksi

matan hadis, dan inkonsistensi dalam penilaian hadis.

c. Tentang pengutipan dan analisis yang tidak sempurna, ini terjadi ketika

Ja’far Subhani mengutip dan berkomentar riwayat Ibnu’Abbas tentang

praktek mut’ah pada awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m.

Dalam riwayat Ibnu Abbas tersebut ada informasi tentang penghapusan

ayat mut’ah di akhir matannya, dan Ja’far Subhani tidak

168

mencantumkannya. Selanjutnya, pengutipan yang tidak utuh terjadi

ketika Ja’far Subhani mengutip dan berkomentar tentang riwayat Ibnu

Abbas, yaitu yang menjelaskan bacaan fama> istamta’tum bihi> minhun

ila> ajal musamma>. Dalam hal ini, Ja’far Subhani tidak membaca secara

utuh riwayat-riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas.

Padahal dalam hal ini ada tiga riwayat yang disandarkan kepada Ibnu

Abbas. Yaitu: pertama, riwayat yang menginformaskan bahwa Ibnu

‘Abbas secara mutlak membolehkan nikah mut’ah. Kedua, Ibnu ‘Abbas

membolehkan nikah mut’ah tetapi dalam kondisi darurat sebagaimana

diperbolehkannya makan dagin anjing dan babi. Ketiga, riwayat yang

menginformasikan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas mengakui telah

terjadinya penghapusan nikah mut’ah dan bertaubat dari fatwa nikah

mut’ah yang pernah dihalalkannya. Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak

menyampaikan utuh pemikiran salah satu ulama Sunni yaitu Ibnu Hazm,

sebagaimana yang dikutip Ja’far Subhani dalam kitab Al-Muh}alla>.

Dengan mengutip dari kitab tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan

bahwa ada sederetan sahabat dan tabi’in yang mengakui legalitas nikah

mut’ah. pada jika membuka kitab al-Muh}alla>, secara jelas Ibnu Hazm

termasum ulama yang menolak legalitas nikah mut’ah. Di awal

pembahasan nikah mut’ah telah mengaskan bahwa nikah mut’ah

termasuk yang dilarang. Tentang hal ini sudah dijelaskan secara

terperinci oleh Ibnu Hajar bahwa munculnya dari kalangan sahabat dan

tabi’in yang melegalkan nikah mut’ah karena disebabkan belum

169

meratanya ke penjuruh kota dan desa tentang pengharaman nikah

mut’ah.

Selain itu, ada satu riwayat lagi yang penulis simpulkan bahwa

Ja’far Subhani tidak utuh dalam menganalisis pandangan-pandagan

ulama. Yaitu ketika mengatakan bahwa riwayat pengharaman nikah

mut’ah pada perang Fathu Makkah adalah lemah tidak berasal. Dalam

hal ini, Ja’far Subhani berpandangan bahwa berdasarkan kitab-kitab

sejarah yang terkenal, seperti Si>rah Ibnu Hisyam, dalam kitab tersebut,

menurut Ja’far Subhani, tidak tertulis penghapusan nikah mut’ah di saat

pembebasan kota Makkah. Tetapi beberapa ahli sejarah seperti Abu

Qasim Al-Suhaili, Ibnu Katsir, dan Ibnu Al-Qayyim menegaskan bahwa

informasi yang paling jelas tentang pengharaman nikah mut’ah adalah

pada saat Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli

sejarah tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibnu Numair

riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Hadis tersebut pada dasarnya berada

setelah beberapa hadis dengan hadis yang sama, yaitu riwayat sahabat

Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu hadis setelahnya yang semakna dengan

hadis tersebut menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang

terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah disampaikan Nabi saw

ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.

Akan tetapi tentang pengharaman nikah mut’ah di Khoibar

penulis sepakat dengan Ja’far Subhani bahwa di Khoibar belum terjadi

pengharaman nikah mut’ah secara abadi. Pengharaman pada saat

170

Khoibar fokus pada pengharaman memakan daging keledai.

Pengharaman dalam arti proses penghapusan nikah mut’ah belum terjadi

di Khoibar. Karena di Khoibar pada saat itu belum terjadi praktek

mut’ah kecuali yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Khoibar bukan

umat muslim.

d. Tentang pengutipan riwayat d}a’i>f, sikap ilmiah Ja’far Subhani ini

dilakukan pada saat mengutip riwayat Ibnu Abbas tentang praktek nikah

mut’ah di awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Riwayat

tersebut selain dikutip tidak sempurna oleh Ja’far Subhani, juga dinilai

hadis syadz oleh Ibnu Hajar dan menurut ahli kritikus hadis dalam rantai

periwayatannya terdapat periwayat yang suka meriwayatkan hadis

munkar, yaitu Mu>sa> ibn Ubaidilla>h. Selain riwayat Ibnu Abbas, Jafar

Subhani juga mengutip hadis d}a’i>f yaitu riwayat yang menjelaskan

keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib atas fatwa haram nikah mut’ah

oleh sahabat Umar bin Khattab, lau la> naha> ‘Umar ‘an al-mut’ah ma>

zana> illa< saqiy. Dalam rantai periwayatan hadis tersebut terdapat nama

Hakam bin ‘Utaibah. Terlepas dari perdebatan tentang nama lengkap

Hakam bin ‘Utaibah baik Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindi> atau Hakam bin

‘Utaibah Al-Nahhas tidak memiliki pengaruh dalam merubah derajat

kelemahan hadis tersebut. Dua nama Hakam tersebut lahir di waktu dan

zaman yang sama yaitu sekitar tahun 50 h. Sedangkan sahabat Ali bin

Abi Thalib meninggal pada tahun 40 h.

171

e. Merubah redaksi hadis. Tentang merubah redaksi hadis, penulis temukan

dalam kutipan Ja’far Subhani terhadap riwayat Ibnu Umar yang tengah

menjelaskan tentang pertanyaan yang diberika oleh penduduk Syam

kepadanya. Riwayat ini dikutip Ja’far Subhani dari kitab Sunan

Tirmidzi. Dalam kutipan Ja’far Subhani redaksi yang tertulis adalah

kata al-mut’ah. sedangkan dalam kitab Sunan Tirmidzi redaksinya

adalah al-tamattu’ bukan al-mut’ah. Selain itu, dalam kitab karya Imam

Tirmidzi tersebut tertulis secara jelas bahwa hadis riwayat sahabat Ibnu

Umar tersebut terletak pada kitab haji bab haji tamattu’. Dari sini

penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani telah merubah redaksi

hadis yang terdapat dalam kitab Sunan Tirmidzi, kitab haji bab

tamattu’.

f. Inkonsistensi dalam menilai hadis. Inkonsistensi Ja’far Subhani, penulis

temukan ketika merespons dua riwayat yang diriwayatkan memalui

periwayat yang sama yaitu Hakam bin Utaibah. Riwayat-riwayat

tersebut adalah riwayat tentang keberatan sahabat Ali akan fatwa haram

sahabat Umar bin Khattab, lau la> naha> ‘umar..., dan riwayat yang

menjelaskan penghapusan nikah mut’ah dengan talak, nafakah,

pembagian warisan, dan iddah. Terhadap riwayata sahabat Ali bin Abi

Thalib, Ja’far Subhani menerimanya. Sedangakan terhadap riwayat

sahabat Ibnu Mas’ud menolaknya. Padahal dalam rantai periwayatan

dua hadis tersebut ada periwayat yang melakukan tadli>s yaitu Hakam

bin Utaibah yang berdasarkan data kitab-kitab Rijal Hadis tidak pernah

bertemu dengan dua sahabat Rasulullah tersebut.

172

g. Diukur dengan teori kebenaran koherensi, pemikiran Ja’far Subhani

terhadap hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa

al-Sunnah bersifat tidak koheren, tidak konsisten. Penulis menemukan

proposisi-proposisi yang berkaitan dengan argumentasi legalitas nikah

mut’ahnya terjadi inkonsistensi. Yaitu menerima hadis d}a’i>f di satu ke

sempatan dan menolak di kesempatan yang lain dengan periwayat hadis

yang sama lemahnya, yaitu periwayat yang bernama Hakam bin

Utaibah. Walau pun inkonsistensi ini tidak terbukti dan tidak tertulis

langsung dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.

h. Diukur dengan teori kebenaran korespondensi, secara umum kritik-kritik

Ja’far Subhani tidak bersifat koresponden, banyak keluar dari teori-teori

ilmu hadis. Yaitu terkonstruksi atas pengutipan atau pembacaan serta

analisis yang tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran

ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat yang d}a’i>f, merubah redaksi

matan hadis, dan tidak sesuai dengan teori ilmu hadis maz|hab Syi’ah

sendiri.

i. Diukur dengan teori pragamatis, kritik Ja’far Subhani terhadap hadis-

hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah

secara pragmatis memang memiliki misa dalam rangka memperjuangkan

bahwa nikah mut’ah merupakan solusi dan obat atas problematika yang

ditemukan oleh Ja’far Subhani. Salah satunya menghindarkan pergaulan

bebas atau prostitusi bagi kaum remaja yang masih mempersiapkan diri

untuk membangun rumah tangga namun belum siap secara finansial,

173

terutama mempersiapkan tempat tinggal. Akan tetapi penulis melihat

bahwa misi pragmatis ini belum diakui secara universal oleh seluruh

umat Islam, perihal mempertimbangkan hal yang lebih madharatnya.

Terlebih lagi, fakta di lapangan, bahwa praktek mut’ah di kawasan

negara Iran sendiri langka dilakukan oleh para penganut madzha syiah.

Artinya masyarakat Iran seakan ada sesuatu yang dipertimbangkan jika

ingin melakukan praktek mut’ah. Jika ini benar-benar solusi dalam

rangka menjaga kehormatan, maka telah banyak dilakukan dan banyak

dipraktekan oleh masyarakat setempat. Jumlah peminat atau pelaku

terhadap sebuah solusi menentukan akan relevansi solusi tersebut. Jika

sudah banyak yang melakukan itu artinya tawaran ajaran kemanusiaan

tersebut sudah bersifat solutif. jika masih sedikit atau bahkan langka

orang yang melakukannya berati tawaran kemanusiaan tersebut

konsepnya masih dipertanyakan.

174

B. Saran-saran

Setelah melakukan penelitian terhadap salah satu karya ulama Syiah Is|na>

‘Asyariyyah kontemporer ini, penulis menganjurkan kepada para akademisi

untuk senantiasa bersifat objektif dalam membaca literatur. Objektif di sini

dalam arti berdasar pada teori-teori ilmiah. Sikap seperti ini tidak lain kecuali

demi menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Karena jika sebuah penelitian sudah

tercampuri dengan fanatisme kelompok akan menutup cahaya-cahaya kebenaran.

Dalam penelitian ini, penulis sudah berusaha untuk menjalankan sikap ilmiah di

atas. Ja’far Subhani banyak menulis buku yang membahas isu-isu kontemporer

dengan pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagaimana kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi>

al-Kita>b wa al-Sunnah, Ja’far Subhani menjadikan hadis-hadis Sunni sebagai

argumentasi untuk merekonstruksi pemikirannya. Sehingga penelitian lintas

madzhab seperti ini perlu dilestarikan demi menjunjung tinggi kejujuran ilmiah.

Berdasar kepada kesimpulan penelitian, penulis meyaikini bahwa praktek

nikah mut’ah adalah praktek pernikahan yang syari’atnya sudah dihapus dan

diharamkan selamanya. Untuk itu, secara pribadi penulis menghimbau kepada

masyarakat untuk membangun kehidupan rumah tangga dengan akad yang sah,

akad yang tidak ada batasan waktu dalam membangun rumah tangga.

Karenabsalah satu prinsip dalam berumah tangga adalah melestarikan keturunan

yang baik dan menjaga keutuhan berkeluarga.

175

DAFTAR PUSTAKA

‘Ali> Mahdavirad, Muhammad. Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Ind al-Syi>’ah al-Ima>miyyah.

t.tp.: Nasyr Hastami> Nama>, 2010.

‘Askari, Murtadho. al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m. Beirut. t.pen, t.th.

Abdullah al-Zar’i, Abdurrahman. Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n. Kuwait. Da>r al-

Arqa>m, 1983.

Abi Hatim, Ibnu. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Riyadh: Nazzar Al-Baz, 1997.

Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah. Beirut. Darul Fikr

al-‘Arabi, t.th.

Abu> Sya’bah, Muh}ammad bin Muh}ammad al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \.T.tp.: T.p., t.t.

Abu> Zahra>’, Muhamaad. al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu.

Beiru>t. Da>r al-Fikr, t.th.

Abu> Zahrah, Muhammad. Us{u>l al-Fiqh. Mesir: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1958.

Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-

Sala>m, 2003.

Al-‘Amili, Zainuddin. al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Qum. Al-Mufid, 1421 H.

Baihaqi. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2003.

BazRmul, Muhammad Ibnu. Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛. Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.

Bustamin dan M. Isa H.A. Salam. Metodologi Kritik Hadis .Jakarta: Rajawali

Press, 2004.

CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991.

Al-Dihlawi, Abdul Haq. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|. Beirut: Darul Basya’ir

Islamiyyah, 1986.

176

Al-Dimasqi, Syamsyddin. al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah. Jeddah.Muassasah Ulumul Qur’an, 1992.

Al-Dzahabi, Syamsuddin. Sair A’la>m al-Nubala>’. Libanon. Darul Afkar

Dauliyyah, 2004.

Al-Ha>di al-Fad{l, Abd. Usu>l al-H{adi>s\. Beirut. Markaz al-Gadir, 2009.

H>}ajar al-Asqala>ni<, Ibnu. Taqri>b al-Tahz|i>b. t.kot.: Daarul ‘Ashimah, 1420 H.

__________Tahz|i>b al-Tahz|i>b. India: Majlis Da’irah Ilmiyyah, 1908.

__________al-Is}a>bah fi ma’rifah al-Sah}a>bah. Beirut: Dar Al-Kutub, 1995.

__________Lisa>n al-Mi>za>n. Beirut: Daarul Basya’ir, 2002.

__________Nuzhah al-Naz}r. Cairo: Daarul Ma’sur, 2011.

__________Fath} al-Ba>ri>. Bairut: Darul Fikr, 2012.

H{a>ris Suhaymi, Ahmad.Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp. Da>r

al-Sala>m, 2003.

Hatim, Abu. al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Beirut: Darul Kutub, 1952.

Hazm, Ibnu. Al-Muh}alla>. Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.

Hibban, Ibnu. al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n. Riyadh: Darus Samai’i, 2000.

Hisyam, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Daarul Kitab Arabi, 1990.

Ibn Hazm. Al-Muh}alla>. Mesir. Al-Muniriyyah, 1351 H.

Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, Ibrahim. al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{. Riya>d}: al-Maktabah al-Rasyd, 1998.

Ibnu Hajjaj, Muslim. S}ah}i>h} Muslim. Riyadh. Baitul Afkar Dauliyyah, 1998.

Ibnu Mat{ar al-Zahrani, Muhammad>. Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr . Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>\,

1996.

Ibrahi>m Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{ .Riyad}: al-Maktabah al-Rasyd, 1998.

Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar

al-Salam, 1995.

177

Ilahy al-Zahi>r, Ihsan. al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh. al-Riyad: Dar

al-Salam, 1995.

Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.

Al-Jauzi>, Ibn. Kasyf al-Musykil. Riyadh: Darul Wathon, 1997.

Jawa>d Ka>d}im, Muhammad. al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h } al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013.

Katsir, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Darul Ma’rifah, 1876.

Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amazon, 2010.

Al-Ma>mqa>ti>, Abdullah. Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, t.th.

Muhammad Tijani, As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa. Cianjur: Titian Cahaya 2005.

Naisaburi, Hakim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini. Beirut: Darul Kutub

‘Ilmiyyah, 2002.

Al-Nawawi. Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim. Riyadh: Baitul Afkar, t.th.

Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu. Za>d al-Ma’a>d. Beirut: Al-Risalah, 1998.

Al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n. Mafa>tih} al-Ghaib. Cairo: Daarul Hadis, 2012.

Al-Razza>q, Abd. Mus}annaf. Pakistan: Majlis Ilmi, 1983.

Rusyd, Ibnu. Bida>yah al-Mujtahid. Cairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1415 H.

Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih . Jakarta. Pustaka Kausar, 1997.

Shadr Al-Kazhimi, Hasan. Niha>yah al-Dira>yah. t.kot.: Maktabah Mu’min

Quraisy, t.th.

Shihab, Quraish. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati, 2013.

Shalahuddin Al-Shofadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t. Beirut. Dar Ihya Turas|, 2000.

Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibn al-S}ala>h{. Beirut: Darul Fikr, t.th.

Subh{ani, Ja’far. Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah. Qum: Mu’assasah

Imam Shodiq, 2002.

_________Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Beirut: Da>r Jawa>d al-

Aimmah, 2012.

178

Suh}aymi>, Ahmad Haris. Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r

al-Sala>m, 2003.

Al-Su’u>d, Rabi>’ bin Mah{mu>d. Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m .Cairo: Maktabah Ibn Taimyah. 1414 H.

Al-Suyuti, Jalaluddin. al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r. Kairo: Al-

Muhandisin, 2003.

Al-Suyuti, Jalaluddin. T}abaqa>t al-H}uffaz}. Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah

1983.

Al-Syaukani, Muhammad. Nail al-Aut}a>r. Beirut: Baitul Afkar, 2004.

Al-Syinqithi. Ad}wa>’ al-Baya>n. Jeddah. Daarul ‘Ilmi Fawaid, th.

Syirazi, Nasir Makarim. Inilah Akidah Syi’ah .Kuwait: Mu’assasah Asr al-

Zuhur, 2009.

Al-T}ah}h}a>n, Mahmud. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s .Riya>d{: Makatabah al-Ma’a>rif

Li Nasyr wa al-Tawzi>’, 2010.

Taimiyyah, Ibnu. Miha>j al-Sunnah. t.kot.: t.cet, 1987.

Tijani As-Samawi, Muhammad. Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa. Cianjur: Titian Cahaya, 2005.

Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r. Beirut: Darul Gharb Islami, 1996.

Waki>’. Akhba>r al-Qud}a>h. Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.t.

Al-Warda>ni>, S{a>lih{. ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud. Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.

Al-Z|ahabi>, Syamsuddin. al-Ka>syif. Jeddah: Daarul Qiblah, 1992.

CURRICULUM VITAE

Nama : Ceceng Mumu Muhajirin

Tmpt,Tgl lahir : Tasikmalaya, 25 Juli 1988

Alamat : Kp.Tamansari Kel. Tamanjaya Kec.Tamansar Kota

Tasikmalaya

Alamat di Tangsel : Parigi Lama RT/RW 001/007 Kel. Parigi Lama Kec. Pondok

Aren Kota Tangerang Selatan

No HP : 081381224426

Fak/ Jurusan : Ushuluddin/ Hadis

Motto :

:العمريطي اإلمام قال رفع اعتقاده حسب الفتي اذ

ينتفع لم يعتقد لم من وكل

Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat

mengambil manfaatnya

Keberkahan hidup itu ada pada:

HALAL, ORANG TUA, DAN GURU

orang tua, keluarga, para guru, teman, perhatianserta kebaikanPerhatikan dan renungkan dan “orang-orang sekitarmu”

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. MIS Ciledug lulus 2000

2. MTsN Cilendek lulus 2003

3. MAS Tarbiyatul Mu’allimin lulus 2008

4. PM. Mifatahul Hidayah lulus 2008

5. Strata 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Ushuluddin Tafsri-Hadis)

PENGALAMAN ORGANISSI

1. OSIS MTs sebagai anggota tahun 2002

2. PRAMUKA sebagai PRATAMA 2002-2003

3. OSPM Miftahul Hidayah sebagai ketua 2007-2008

4. Staf pengajar di PM. Miftahul Hidayah 2007-2008

5. Pembantu Direktur II pondok pesantren Al-Istiqomah Tasikmalaya 2010-sekarang

6. Staf Pengajar di Pondok Pesantren Al-Istiqamah Kota Tasikmalaya

7. ISMA sebagai koordinator keta’miran 2008-2009

8. Corps Dakwah Pedesaan (CDP) sebagai Da’i reguler, pengasuh TPA, pengasuh

pengajian tahun 2011

9. Bagian Kesiswaan dan staf pengajar di MTs Miftah Assa’adah 2013-sekarang

PENGALAMAN LAIN

1. Delegasi Kwarcab Tasikmalaya di Perkemahan Santri Nusantara 2006, Cibubur

2. Juara II Fahmil Quran se-Kabupaten Tasikmalaya

3. Juara II Tafsir Bahasa Arab Tingkat Kota Tasikmalaya

4. Peraih beasiswa PBSB Kemenag RI 2008

5. Peraih beasiswa KSU BAZNAS 2014

6. Anggota LPPD Khoiru Ummah Tangerang Selatan

7. Wiraswasta “Cahaya Sejahtera H.A. Hamzah” Kambing Aqiqah dan Qurban