Upload
ngoque
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
I
HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH DALAM PERSPEKTIF HADIS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
SAUFY MAULANA
NIM: 1112034000108
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
II
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Saufy Maulana
NIM : 1112034000108
Program Studi : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas : Ushuluddin
Jenjang : Strata Satu (S1)
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:
1. Skripsi ini hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Pernyataan ini saya tulis dengan sebenarnya dan tanpa ada paksaan dari
pihak manapun.
Demikian pernyataan saya ini agar dimaklumi oleh semua pihak.
Jakarta, 07 Oktober 2017
Saya yang menyatakan,
Saufy Maulana
NIM : 1112034000108
III
HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH DALAM PERSPEKTIF HADIS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
SAUFY MAULANA
NIM: 1112034000108
Pembimbing,
Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag
NIP: 19650817 200003 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
IV
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SKRIPSI
HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH DALAM PERSPEKTIF HADIS
Oleh :
SAUFY MAULANA
NIM: 1112034000108
Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2017.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama
(S.Ag) pada Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 11 Desember 2017
Sidang Munaqasya,
Anggota,
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
NIP: 19711003 199903 2 001
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd
NIP: 19680618 199903 2 001
Penguji I
Dr. M. Isa HA. Salam, MA
NIP: 19531231 198603 1 010
Penguji II
Maulana, MA
NIP: 19650207 199903 1 001
Pembimbing
Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag
NIP: 19650817 200003 1 001
V
PERSEMBAHAN
Ku Persembahkan Karya Kecilku ini Teruntuk:
Almamater Tercinta Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
Kedua Orang Tuaku Terkasih
Istriku Tercinta
Serta Adikku Tersayang...
Yang Selalu Menghujaniku Dengan Penuh Kebahagiaan, Merangkulku Dengan
Penuh Kehangatan, Mengingatkanku Dengan Penuh Keceriaan
Aku Cinta Kalian, Aku Sayang Kalian
VI
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.158 Tahun 1987 dan No.1543 Tahun 1987.
A. Konsonan
q = ق z = ز Tidak Dilambangkan = ا
k = ك s = س b = ب
l = ل sy = ش t = ت
ṣ = ص ś = ث m = م
ḍ = ض j = ج n = ن
ḥ = ح w = و ţ = ط
ẓ = ظ kh = خ h = ه
` = ء ‘ = ع d = د
y = ي g = غ ż = ذ
f = ف r = ر
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
= a ا – = ā ي – = ai
= i ي – = ī و - = aw
= u و – = ū
VII
C. Keterangan dan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam ma’rifah) ditransliterasikan dengan al-,
misalnya al-jizyah, al-dhimmah, al-kāfirūn dan sebagainya. Kata
sandang ini menggunakan huruf kecil kecuali bila berada pada awal
kalimat.
2. Tasydid atau syaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya
rabbanā, al-muwaffa, najjainā.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, sunnah, khusus dan
lainnya.
D. Singkatan
Swt : Subḥ ānahu wa ta'ala
saw : Ṣ allā Allāhu alayh wa sallam
M : Masehi
H : Hijriyah
QS : Qur’ān Surat
HR : Hadis Riwayat
VIII
ABSTRAK
Saufy Maulana
Hak dan Kewajiban Ahl Żimmi Dalam Perspektif Hadis
Misi utama disyari’atkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat
manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dengan hukum Islam ini
tentunya akan mampu mewujudkan kesejahteraan, baik dalam ruang lingkup rumah
tangga maupun masyarakat.
Dalam Negaara Islam, hubungan antara sesama warga negara yang Muslim
dan yang non-Muslim sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan,
kebijakan dan kasih sayang. Setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua
manusia dengan kebijakan daan keaadilan, walaupun mereka tidak mengakui
agama Islam, yang lebih dikenal dengan Ahl Żimmah.
Ahl Żimmah yang tingggal dibawah naungan kaum Muslim tentunya harus
mendapatkan perlindungan, keamanan dan keadilan. Berdasarkan hadis Nabi saw.
yang telah penulis kaji, Negara Islam harus memberikan perlindungan terhadap
kehidupan Ahl Żimmah dari berbagai aspek. Perlindungan terhadap Ahl Żimmah ini
sebagai bentuk keseimbangan dari kewajiban yang diberikan olehnya terhadap
Negara Islam, yakni membayar Jizyah.
Penelitian ini bersifat library reseach sehingga dalam penyelesaiannya
harus dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kaidah, teori, dalil dan
sebagainya supaya hasil kesimpulan penelitian sejalan dengan persoalan-persoalan
yang penulis lakukan.
Kata Kunci: Ahl al-Dzimmah, Hak dan Kewajiban
IX
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمه الرحيم
Segala puji bagi Allah swt. yang telah memberikan kita rahmat dan
ma’unah-Nya kepada kita, sehingga kita dapat melaksanakan aktivitas kita dengan
sebagaimana mestinya. Tiada daya dan upaya yang dapat kita lakukan tanpa
adanya pertolongan dari-Nya. Sebab itu Penyusun bersyukur dapat merampungkan
penulisan skripsi ini dengan judul “HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH
DALAM PERSPEKTIF HADIS” sebagai salah satu syarat akademis untuk
memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercura limpahkan ke hariban baginda
Nabi saw., beliau adalah putra padang pasir, revolusioner Islam, Nabi besar
Muhammad saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam
pencerahan, yaitu dengan adanya Agama Islam.
Sekalipun karya ilmiah ini masih jauh dari standar kualitas sempurna, apa
yang saya lakukan ini merupakan upaya maksimal dengan keterbatasan yang
dimiliki. Selain dari itu, kerja lelah dan tugas yang terasa cukup berat ini tidak
terlepas dari kerelaan, ketulusan, keikhlasan dan kemurahan hati beberapa pihak
yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini dengan
akses berupa pemberian motivasi, bimbingan, pengarahan, petunjuk dan masukan-
masukan yang tidak kecil bagi saya nilainya, sehingga beban penulisan skripsi ini
menjadi lebih ringan.
X
Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat,
penyusun ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof.
Dr. Dede Rosyada, MA (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan
Fakultas Ushuluddin), Dr. Lilik Ummi Kaltsum (Ketua Jurusan
Tafsir Hadits), Dra. Banun Binaningrum, M.Pd (Sekjur Tafsir Hadits).
2. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang
telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan
motivasi selama proses penulisan skripsi.
3. Dr. Mohammad Anwar Syarifuddin, MA selaku dosen Pembimbing
Akademik yang telah membimbing dari semester satu hingga selesai.
4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan
Tafsir Hadits yang telah mendidik, memberikan ilmu, pengalaman, serta
pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan.
5. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
melayani dan menyediakan buku-buku yang dapat membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua yang paling berjasa sepanjang hidup penulis.
Ayahanda Nganiran dan Ibunda Suwarni terimakasih atas segala
do’a, dukungan dan pengorbanannya yang tidak bisa terbayar dengan
apapun.
XI
7. Istri tercinta, Asyiqoh Ana yang selalu menemani dan memberi
motivasi dan mendukung saya yang sampai saat ini tiada henti-hentinya
selalu mendukung dan memberikan semangat atas peneyelesain Skripsi
ini.
8. Kakakku, Sulis dan Aris Mulyono beserta adekku, Melly Pujiyanto,
serta keponakan-keponakanku, semoga kalian menjadi orang yang
sukses, berbakti, dan selalu menjadi kebanggaan keluarga.
9. Seluruh teman-teman TH angkatan 2012, khususnya keluarga besar TH
‘C’ dan kepada seluruh teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
10. Keluarga besar KKN ADEM 2015 terima kasih atas kebersamaan dan
berbagi pengalaman. Mengenal kalian dengan berbagai latar belakang
yang berbeda menjadi warna tersendiri dalam pertemanan kita.
11. Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut
andil dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
setimpal dari Allah swt. sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam ampunan-
Nya.
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan
dalam ikut serta membantu kearah kemajuan pendidikan, khususnya dalam bidang
studi ilmu hadis. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan
membawa keberkahan di dunia dan akhirat dan semoga Allah swt. memberikan
XII
petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada
kita sekalian, Aamiin. Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang
telah diberikan, penyusun hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah swt,
semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh
Allah SWT. jazakumullah ahsanal jaza’…
Jakarta, 07 Oktober 2017
Penyusun,
SAUFY MAULANA
XIII
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................... I
LEMBAR PERNYATAAN . . . . . . . . . . . . . . . . ................................................... II
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. III
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. IV
LEMBAR PERSEMBAHAN..............................................................................V
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... VI
ABSTRAK .......................................................................................................... VIII
KATA PENGANTAR ....................................................................................... IX
DAFTAR ISI ...................................................................................................... XIII
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah .................................. 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian .................................................................. 7
F. Teknik Penulisan ............................................................................ 8
G. Tinjauan Pustaka . . . . . . .................................................................. 8
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 10
BAB II: DINAMIKA AHL ŻIMMAH DALAM LINTASAN SEJARAH
A. Pengertian Ahl al-Dzimmah ............................................................ 12
B. Perkembangan dan Lahirnya Ahl al-Dzimmah ............................... 19
XIV
C. Kerjasama Antar Sosial-Kultural ................................................... 23
XV
BAB III: SEPUTAR HADITS HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH
A. Kegiatan Takhrīj al-Ḥadīs................................................................ 28
B. Takhrīj al-Ḥadīs Hak dan Kewajiban Ahl Żimmah ................ ........
29
1. Hadis Hak Ahl Żimmah ................................................................. 39
2. Hadis Kewajiban Ahl Żimmah .............................. ....................... 40
BAB IV: HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻiMMAH PERSPEKTIF HADIS
A. Hak Ahl Żimmah; Mendapatkan Perlindungan .. .............................. 43
B. Kewajiban Ahl Żimmah; Membayar Jizyah .................................... 47
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 53
B. Saran ............................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awal Rasulullah saw. melakukan langkah-langkah konvergensi sosial
di Madinah, suasana kehidupan di Madinah yang majemuk terlihat damai dan
aman. Berbagai golongan yang ada di Madinah dapat hidup berdampingan di
bawah kepemimpinan politik Rasulullah saw. Masing-masing kelompok penganut
agama dapat menjalankan ibadah menurut ajaran agama masing-masing tanpa
gangguan dari pihak lain.1
Itulah konsep keadilan yang diprioritaskan oleh Rasulullah saw. dalam
menjalankan tampuk kepemimpinannya. Islam hidup berdampingan dengan agam-
agama lain dan secara faktual, Islam telah memberikan kepada ahl żimmah (kaum
minoritas) hak-haknya, baik dalam bidang hukum, sosial dan lain sebagainya.
Hukum Islam ditegakkan kepada siapa saja mereka yang melakukan tindakan
sewenang-wenang.2
Rasulullah saw. mengingatkan umatnya supaya tidak menyakiti orang kafir
żimmi, yakni penganut agama Nasrani dan Yahudi. Hal ini bisa kita tengok pada
Piagam Madinah. Kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah saw. tidak pernah
merendahkan orang kafir. Beliau membuat undang-undang yang harus dipatuhi
1 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at Dalam
Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani, 2003), 74-75 2 http://anugraterindah.blogspot.com/2017/08/fiqih-ahl-dzimmah-pengertian-ahl-al.html?
m=1
2
oleh setiap masyarakat Madinah, baik itu untuk muslim ataupun kafir tanpa
membeda-bedakan.
Ahl żimmah ialah komunitas non-muslim yang melakukan kesepakatan
untuk hidup di bawah tanggungjawab dan jaminan kaum muslim. Mereka
mendapat hak hidup dan tempat tinggal di tengah-tengah komunitas muslim.3
Ahl żimmah yaitu ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negara
Islam, mereka taat dan mematuhi peraturan dan perundangan yang berlaku dan
membayar jizyah kepada negara. Terhadap mereka ini, negara harus menjamin
kemerdekaan dalam menjalankan ibadah agamanya, dijamin haknya dan dijamin
pula keselamatan jiwanya dan janganlah dibunuh.4
Akan tetapi, di era kontemporer ini dimana kesenjangan dan perbedaan
kembali menjadi persoalan besar diantara mayoritas dan minoritas, kaum muslim
dan kaum kafir. Mayaorits bertindak sewenang-wenang dan minoritas melakukan
perlawanan sebagai bukti mereka bukanlah untuk ditindas, maka wajar saja bila
peperangan dan pembunuhan sering terjadi, seperti halnya penindasan minoritas
umat muslim di Rohingya dan juga penindasan minoritas orang kafir di Irak.5
Rasulullah saw. telah memberikan ultimatum bahwa kaum mayoritas harus
menjadi pelindung bagi kaum minoritas. Rasulullah saw. mengancam bagi mereka
yang bertindak sewenang-wenang sebagaimana sabdanya sebagai berikut :
3 Khamani Zada dan Arief Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta, LSIP, 2004,10.
4 Muhammad bin Abi Bakr Ayyub al-Zar`iy Abu Abdillah, Tahqiq: Yusuf Ahmad al-
Bakriy dan Syakir Tawfiq al-`Aruriy, Ahkam Ahl al-Dzimmah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997),
vol.1, h.161 5 Khazanah Tafsir Hadis dalam putrakatong.blogspot.com yang diakses pada Agustus 2008
3
عي ؽذصب ع ث ا صف أ ذ ت ؽذص أث صخش اى أخجشب اث ش د اى دا ث ب ي
خ د آثبئ ع عي عي صي للا أثبء أصؾبة سعه للا عذح أخجش ع سعه للا ع
أ أ ق طبقز ميف ف زقص أ ا ذ ا أ عب ظي قبه أل عي عي ئ ب صي للا ش خز
خ اىقب ش طت فظ فأب ؽغغ ثغ
Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang
terikat perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas
kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan
darinya (merampas), maka aku adalah lawan bertikainya pada
Hari Kiamat”. (H.R. Abu Dawud).6
Sabda Rasulullah saw. :
أ و اىز »ملسو هيلع هللا ىلص قبه7 ه للا سع أ قزو سعال غذ س خ ى إ س ؼ اىغخ ب ى ؾ عذ
غ ب شح عجع عب
“Bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang
membunuh seseorang dari kaum dzimmi (umat agama lain),
niscaya ia tidak mendapatkan harumnya sorga, dan (ketahuilah)
harumnya sorga itu tercium dari jarak perjalanan tujuh puluh
tahun.” (HR. al-Nasā‟ī).7
Meskipun mayoritas warga negaranya Muslim, Indonesia merupakan negara
yang menerapkan sistem nation state bukan sistem dār al-Islām. Dengan demikian,
tidak ada lagi pembedaan antar warga negara yang se-agama, se-suku, se-ras
maupun se-etnis. Tidak ada lagi perbedaan antara kelompok minoritas non-Muslim
6 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Kairo: Darul Hadits, 1998 H), vol: III, 347 no.3052
7 Al-Nasa‟i, Sunan al-Nasa‟i al-Kubra, Kitab al-Qasamah, Bab Ta`zhim Qatl al- Mu`ahid,
(Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1991/1411), vol: IV, 221, dan vol: V, 225.
4
dan kelompok mayoritas Muslim ataupun sebaliknya. Semua warga menjujung
tinggi keamanan, kesejahteraan dan kerukunan.8
Di era sekarang ini, sungguh sangat disayangkan masih banyak kelompok-
kelompok yang beranggapan bahwa kaum minoritas (termasuk ahl żimmah) yang
berada di wilayah kekuasaan Islam, termasuk Indonesia, dianggap tidak memiliki
posisi strategis dalam berbagai bidang. Namun kenyataannya sangatlah berbeda,
banyak non-muslim yang mampu menguasai kursi kepemerintahan, menjadi motor
penggerak ekonomi negara dan terjun dalam dunia perpolitikan dan kemanusiaan.
Hal inilah yang kembali memicu adanya konflik antara muslim dan non-muslim,
kaum mayoritas dan minoritas di Indonesia sehingga membuat kerukunan dan
kenyamanan menjadi keruh.
Bila saja umat mayoritas (muslim) mampu menggali nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam dan umat minoritas (non-muslim) mampu
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Islam, maka akan menemukan
bahwa Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralitas agama. Pengakuan
terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa
agama yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang
paling benar. Dari kesadaran inilah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling
8 Umar Faruq Thohir dalam jurnalnya Diskursus Tentang Hak Asasi Minoritas Dzimmi Di
Tengah Mayoritas Muslim, STAI Zainul Hasaan, Probolinggo.
5
menghormati dan menghargai serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk
beribadah dan bertindak sesuai dengan keyakinan masing-masing.9
Dalam bukunya Fikih Politik, Hasan al-Banna menuturkan bahwa Islam
memandang non-muslim sesuai dengan sikapnya terhadap kaum muslimin. Jika
mereka berdamai, memenuhi komitmennya dan tidak membantu musuh kaum
muslimin, maka Islam mewajibkan kaum muslimin untuk berbuat baik kepada
mereka, melindungi, menjaga keselamatan jiwanya, hartanya dan kehormatannya.10
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis merasa berkepentingan untuk
mengkaji permasalahan tersebut. Oleh sebab itu, penulis mengangkat judul “Hak
dan Kewajiban Ahl Żimmah Dalam Persfektih Hadis”.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pemapaan latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi, antaralain :
a. Masih banyak masyarakat yang belum paham tentang ahl żimmah
b. Masih banyak kelompok organisasi ke-Islaman yang memandang
bahwa ahl żimmah bekedudukan sama dengan ahl harb
9 Madjid, Nurcholis, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), 78 10
Mubith Muhammad Ishaq, Fiqh Politik Hasan al-Bana, Jakarta, Robbana Press, 2012,
115.
6
c. Masih banyaknya pemahaman yang beranggapan bahwa ahl żimmah
tidak perlu dilindungi dan diberikan kebebasan dalam hidup di
dalam Negara Islam
d. Masih banyaknya orang yang tidak mengetahui apa saja hak dan
kewajiban bagi ahl żimmah
2. Batasan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang sudah dipaparkan, maka
dalam penelitian ini penulis akan membatasi permasalahannya tentang hak
dan kewajiban ahl żimmah dengan merujuk kepada hadis-hadis yang
terdapat dalam kutub tis‟ah.
3. Rumusan Masalah
Sesuai dengan batasan masalah di atas, penulis merumuskan bahwa
permasalahan yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah :
- Bagaimana hak dan kewajiban ahl żimmah dalam perspektif hadis ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah agar dapat mentransformasikan
pengetahuan tentang hak dan kewajiban ahl żimmah seperti yang telah penulis
kemukakan, disamping untuk mengetahui serta mengkaji lebih dalam tentang
hak dan kewajiban ahl żimmah dalam perspektif hadits.
7
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :
1. Untuk memperkaya dinamika wacana tentang hak dan kewajiban ahl
żimmah dalam dunia hadis
2. Diharapkan penelitian ini menjadi sumber primer bagi penelitian
berikutnya mengenai sejarah dan keberadaan ahl żimmah.
3. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata
satu (S1) Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Research), yakni penelitian dengan cara mencari
bahan pengetahuan dari buku-buku, kitab-kitab atau sumber lainnya yang
berhubungan dengan masalah penelitian.
2. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian
kepustakaan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Dalam
data primer, penulis mengacu kepada hadis-hadis yang terdapat dalam
8
Kutub Tis‟ah11
. Sementara sumber data sekunder diperoleh daari data-data
yang penulis dapatkan, baik itu dalam buku-buku, skripsi, jurnal ilmiah dan
artikel yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
3. Teknik Analisis Data
Berdasarkan jenis penelitiannya, penelitian kepustakaan, maka teknik
analisa data dilakukan dengan cara menelaah seluruh data yang berhasil
dihimpun dari berbagai sumber sehingga menemukan titik temu untuk
menjelaskan permasalahan yang penulis angkat.
F. Teknik Penulisan
Penelitian ini mengacu kepada pedoman yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 158 tahun
1987 dan No. 0543 tahun 1987.
G. Tinjauan Pustaka
Setelah dilakukan pencarian data dan informasi yang berkaitan dengan
penelitian ini, maka penulis menemukan pembahasan yang mirip dan relevan
dengan penelitian ini, diantaranya;
Umar Faruk Thahir dalam Jurnalnya yang berjudul Diskurusus Tentang
Hak Asasi Minoritas Dzimmi di Tengah Mayoritas Muslim menjelaskan bahwa
pada era perkembangan Islam di masa lalu, negara persemakmuran Islam
11 Șaḥīh al-Bukhari, Șaḥīh Muslim, Sunan Abī Daud, Sunan Tirmiżi, Sunan al-Nasā`i,
Sunan Ibn Majah, Musnad Aḥmad ibn Hanbal, Muwaţţa Malik dan Sunan al-Dārimī.
9
dipandang layak untuk dipertahankan. Keadaan tersebut menyebabkan terbaginya
Negara persemakmuran Islam ke dalam dua (2) kategori, yaitu Dar al-Islam dan
Dar al-Harb. Pembagian ini telah melahirkan sebuah konsep sekolah Islam yang
eksklusif yang menganggap orang kafir yang hidup di wilayah non-Islam dapat
diperangi. Mereka mengira bahwa setiap orang kafir berniat untuk merendahkan
dan memerangi mereka, meskipun anggapan tersebut tidak selalu benar. Sekolah
Islam yang ekslusif ini juga menganggap bahwa pemerintahan harus dipegang oleh
Muslim dan tidak ada kesempatan bagi orang kafir untuk menjadi pemimpin di
segala aspek pemerintahan Islam.12
Syamsul Hadi Untung dan Eko Adhi Sutrisno dalam jurnal berjudul Sikap
Islam Terhadap Minoritas Non-Muslim menjelaskan bahwa dalam sejarahnya,
umat Islam pernah menjadi kelompok minoritas dan juga mayoritas di suatu
tempat. Ketika berposisi sebagai ayoritas, umat Islam telah membuktikan mampu
hidup damai dengan kelompok minoritas. Dalam pemerintahan Islam, kelompok
minoritas ini menjadi tanggung jawab dan hak-hak mereka harus dijaga dan
dipenuhi. Mereka ini dikenal dengan sebutan ahl żimmah. Pemerintahan Islam
berkewajiban menjaga dan melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah,
kehormatan, kehidupan, dan harta benda non-Muslim yang menjadi ahl żimmah
sejauh mereka tidak melanggar pejanjian yang telah disepakati dengan kaum
Muslim.13
12
Umar Faruk Thahir, Diskursus Tentang Hak dan Asasi Minoritas Dzimmi di Tengah
Mayoritas Muslim. Jurnal Dakwah STAI Zainul Hasan Genggong, 2011 13
Syamsul Hadi Untung dan Eko Adhi Sutrisno, Sikap Islam Terhadap Minoritas Non-
Muslim, Jurnal Kalimah Gontor Vol.12 No.1, 2014.
10
Adapun perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah dari sisi
hadis. Penulis akan memaparkan dan menjelaskan hak dan kewajiaban ahl żimmah
menurut hadis-hadis Nabi saw. dengan disertakan pendapat para ulama terkait
hadis-hadis tersebut.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan sebuah hasil yang utuh dan sistematis, pembahasan
materi dalam penelitian ini dibagi kedalam lima bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang apa yang membuat
penulis melakukan penlelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan
juga sistematika penulisan.
Bab II : Dinamika Ahl Żimmah Dalam Lintasan Sejarah
Dalam bab ini penulis menjelaskan tentang pengertian ahl żimmah,
perkembangan dan kelahrian ahl żimmah serta kerjasama antar sosial-
kultural.
Bab III : Seputar Hadis Hak dan Kewajiban Ahl Żimmah
Dalam bab ini akan membahas tentang pengertian takhrīj al-ḥadīs
serta kegiatan men-takhrīj al-ḥadīs yang berbicara tentang hak dan
kewajiban ahl żimmah.
11
Bab IV : Hak dan Kewajiban Ahl Żimmah Dalam Perspektif Hadis
Dalam bab ini, penulis akan hak dan kewajiban ahl żimmah yang
tertuang dalam hadis Nabi saw. dan kemudian memaparkan pula pandangan
ulama terhadap hadis-hadis tersebut.
Bab V : Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan yang telah
penulis teliti dan juga saran-saran dari para pembaca.
12
BAB II
DINAMIKA AHL ŻIMMAH DALAM LINTASAN SEJARAH
A. Pengertian Ahl Żimmah
Ahl Żimmah berasal dari dua kata yang terpisah, yaitu ahl dan żimmah.
Secara etimologis, kata ahl berarti kabilah atau suku dan sanak keluarga atau
kerabat.14
Kemudian kata żimmah yang diderivasi dari kata kerja żamma-yażummu
memiliki arti al-‟ahd yang bermakna janji, atau al-kafālāh wa al-ḍamān yang
berarti tanggungan dan jaminan15
dan juga berarti al-amn yang berarti keamanan.16
Dalam Lisan al-„Arab, Ibn Manzur mendefinikan kata al-Ahl dengan makna
yang berbeda-beda sesuai dengan kata sambungannya. Jika digandeng dengan kata
al-amr (ahl al-amr), berarti orang yang mengurusi masalah tersebut. Jika
digandengkan dengan kata al-rajul (ahl al-rajul), berarti orang-orang terdekat di
sekitar orang tersebut. Jika digandengkan dengan nama semua Nabi, maka
maknanya adalah umatnya.17
Secara terminologi, ahl żimmah memiliki makna khusus yang telah dikenal
dalam tradisi ke-ilmuan Islam. Mereka adalah golongan pemilik perjanjian, pemilik
tanggungan dan pemilik jaminan yang disebut dalam hukum fikih sebagai orang-
orang yang mendapat jaminan dari Allah swt. dan Rasul-Nya serta kaum Muslim
14
Muhammad Murtada al-Husaini al-Zabidi, Taj al-„Arus min Jawāhir al-Qāmūs, Jilid 28,
(Kuwait: Hukumah al-Kuwait, 1385 H/ 1965 M), h.40. 15
Al-Tahir Ahmad al-Zawi, al-Qamus al-Muhit, Jilid.2 (Saudi: Dār „Alam al-Kutub li al-
Nasyr wa al-Tawzi‟, 1417H/1996M), h.268 16
Ibn Manzur , Lisānal-„Arab, (Kairo: Dār al-Hadīs, 2003), Jilid.3, h.523. Muhammad
Murtada al-Husaini al-Zabidi, Taj al-„Aruss min Jawahir al-Qāmūs, Jilid.28, h.206. 17
Ibn Manzur, Lisān al-„Arab, Jilid.3, h.523
13
untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam di dalam
lingkungan masyarakat Islam.18
al-Ghazali menuturkan bahwa ahl żimmah adalah ahli kitab yang telah
balig, berakal, merdeka, laki-laki, mampu berperang dan membayar jizyah.19
Sedangkan menurut Ibn al-Juza‟i, ahl żimmah ialah orang kafir yang merdeka,
balig, laki-laki, menganut agama yang bukan Islam, mampu membayar jizyah dan
tidak gila.20
Sa‟id Hawa mengatakan bahwa ahl żimmah merupakan sekelompok orang-
orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tunduk kepada hukum dan
kekuasaan Allah swt. sehingga masuk dalam perlindungan kaum Muslim.21
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berasumsi bahwa ahl żimmah
merupakan orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk patuh pada aturan
dan hukum Islam sehingga memiliki ikatan dan menjadi bagian dari penduduk
negara Islam yang mendapat jaminan perlindungan.
Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya dalam
konteks Negara Islam dikenal frasa dār al-Islām yang merupakan istilah syar‟i
yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Ada juga
frasa dār al-Kufr yang merupakan istilah syar‟i yang digunakan untuk
18 Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), Jilid.3, h.202. 19
Abū Hamīd al-Ghazāl, Al-Wajīz fī Fiqh al-Imām al-Syāfī, Vol. 2, (Mesir: Muhammad
Mustafa, 1318 H), h.198. 20
Muhammad ibn Ahmad ibn al-Juza‟i al-Kalabī , Al-Qawānūn al-Fiqhiyyah fī Talkhiās
al-Mazhab al-Mālikiyyah, (Beirut: Dār al-Qalam, t. t), h.184. 21
Said Hawa, Al-Islām. Terj. Abdul Hayyi al-Kattani dkk. (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h.294.
14
menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan dār
al-Islām. Begitu pula dengan istilah dār al-Dūfar, dār al-Syirk dan dār al-Ḥarb
yang semuanya adalah istilah syar‟i yang maknanya sama untuk menunjukkan
realitas tertentu dari sebuah Negara.22
Istilah dār al-Islâm dan dār al-Kufr telah dituturkan di dalam sunnah dan
atsar para Sahabat. Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi saw.
bahwa beliau pernah bersabda: “Semua hal yang ada di dalam Darul Islam
menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal yang ada di dalam Dar asy-
Syirk telah dihalalkan.”23
Maksud dari riwayat di atas adalah bahwa semua orang yang hidup di
dalam dār al-Islām, harta dan darahnya terpelihara. Harta penduduk dār al-Islām
tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan tanpa ada alasan
yang syar‟i. Sebaliknya, harta dan darah penduduk dār al-Kufr tidaklah
terpelihara, kecuali ada alasan syar‟i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi
harta dan darahnya.24
Di dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, dituturkan bahwa ada sebuah
surat yang ditulis oleh Khalid bin Walid kepada penduduk Hijrah. Dalam surat itu
tertulis:
22
Dr. Muhammad Khair Haekal, al-Jihâd wa al-Qitâl, vol.1, h . 660. Lihat pula: Imam
asy-Syafi‟i, al-Umm, vol: IV, 270-271 23
Imam al-Mawardi, Ahkâm as-Sulthâniyyah, Tahqiq: Dr. Ahmad Mubarok al-Baghdadi
(Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah, 1989), Cet.I, h.60. 24
Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, (Beirut: Darul Bayariq, 1996),
vol:1, h.660.
15
“Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang
menjalin perjanjian dzimmah), yakni orang tua yang tidak mampu
bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu
jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk
yang lain; semuanya dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan
mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal kaum
Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul
Islam. Jika mereka berpindah ke negeri lain yang bukan Darul
Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim untuk
mencukupi nafkah mereka.”25
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw.
adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dār al-Ḥarb serta tempat untuk
berjihad.”26
Di dalam Hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu „Abidin atas kitab al-Dūr al-
Mukhtār Syarḥ Tanwīr al-Abshār disebutkan:
“Darul Islam tidak akan berubah menjadi daul harbi ..... (karena)
misalnya, orang kafir berhasil menguasai negeri kita, atau penduduk
Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau diterapkan atas
mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah
(perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daula Islam),
atau negeri mereka dikuasai oleh musuh; salah satu hal tersebut
tidak menjadikan Darul Islam berubah menjadi Dar al-Harb jika
telah memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Mohammad
berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni tampaknya
hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.”27
25
Abu Yusuf, Al-Kharâj, (Qohiroh: Maktabah Al-Salafiyah, 1971), h.155-156 26
Imam Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-Atsar, Tahqiq: Muhammad Munir Ad- Dimasyqi
Ahmad Muhamad Syakir (Beirut: Dar Kutub „Ilmiah, 1427), vol.VII, h.305 27
Hâsyiyyah Ibnu „Abidîn, Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr (Riyadh: Dar
Alam al-Kutub, 2003), Vol.3, h.390.
16
Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar:
“Barangkali buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut
tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Karena itu, jika pendapat
Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah
barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori Darul
Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-
hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim.
Karena itu, negeri-negeri ini termasuk Darul Islam. Jika pendapat
Abu Yusuf dan Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan
keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak
terhitung sebagai Darul Islam, tetapi Dâr al-Harb. Sebab, di negeri-
negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam.”28
Adapun menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, “Darul Islam adalah
setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri
yang ditaklukkan oleh kaum Muslim, seperti kota Yaman.”29
Abdul-Qadir Audah menyatakan:
“Darul Islam adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya
penerapan hukum-hukum Islam, atau penduduknya yang Muslim
mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu.
Termasuk Darul Islam setiap negeri yang seluruh penduduknya
beragama Islam, atau mayoritasnya beragama Islam. Juga
termasuk Darul Islam setiap negeri yang dikuasai dan diperintah
oleh kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum
Muslim. Termasuk Darul Islam juga setiap negeri yang dikuasai dan
diperintah oleh non-Muslim, namun penduduknya yang Muslim
masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada
satu pun halangan yang merintangi mereka untuk menampakkan
hukum- hukum Islam.”30
28
Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarîmah wa al-‟Uqûbah fî Fiqh al-Islâmi, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1958), 343 29
Sa‟di Abu Habib, Al-Qâmûus al-Fiqh, (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2000), h.470-471 30
Abdul Qadir Audah, at-Tasyrî‟ al-Jana‟i al-Islâmi (Beirut: Dar Kutub al-Arabi,
1963), Vol.I, h.421.
17
Di dalam kitab al-Siyāsah al-Syar‟iyyah karya Syaikh „Abd al-Wahhab
Khalaf dituturkan:
“Darul-Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-
hukum Islam dan keamanan negeri itu dibawah keamanan kaum
Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi.
Adapun dār al-harb adalah negeri yang didalamnya tidak
diberlakukan hukum-hukum Islam dan keamanan negeri itu tidak
dijamin oleh kaum Muslim.”31
Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan didalam kitab
al-Siyâsah al-Syar‟iyyah karya Syaikh „Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:
“Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur
harus memperhatikan dua perkara. Pertama: hukum yang
diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan
di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya.
Jika suatu negeri memenuhi dua perkara ini maka ia disebut Darul
Islam dan negeri itu telah berubah dari darul kufur menuju Darul
Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu
menjadi darul kufur. Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-
hukum Islam adalah darul kufur. Begitu pula sebaliknya, jika negeri
Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak
dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin
oleh kaum kafir, maka negeri itu termasuk darul kufur. Oleh karena
itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk darul al-
kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam.
Suatu negeri juga tetap disebut darul kufur seandainya di dalamnya
kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas kaum Muslim,
namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan
semacam ini, keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan
secara otomatis ia termasuk darul kufur.”32
31
Syaikh „Abdul Wahhab Khalaf, As-Siyâsah asy-Syar‟iyyah, (Beirut: Dar al- Kutub As-
Syar'iyyah, 1989), 69. 32
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dar al-
Umah, 1996), vol: II, 215-216.
18
Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas,
pendapat yang paling râjih adalah pendapat yang menyatakan bahwa dār al-Islām
adalah negeri yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam
(diatur dengan hukum Islam) dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut
baik keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah kendali kaum Muslim.33
Menurut Jonathan, żimmî adalah sekelompok orang kafir yang hidup
(bertempat tinggal) di wilayah yang berada di bawah kekuasaan muslim.34
Menurut Sayyid Sabiq, kafir żimmî berbeda dengan kafir muāhad. Kafir
muāhad adalah orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan orang Islam, baik
perjanjian itu berisi memohon jaminan keamanan dari orang Islam ataupun
perjanjian dengan cara gencatan senjata yang ditetapkan oleh penguasa Islam,
maupun berdasarkan kontrak fidyah.35
Melalui analisis para ahli tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya tidak
semua orang kafir menentang ajaran Islam dan muslim. Kelompok żimmî adalah
kelompok orang kafir yang justru hidup di bawah perlindungan muslim. Dengan
perjanjian tertentu dan kewajiban membayar jizyah, kelompok minoritas żimmî ini
berharap mendapatkan perlindungan dari kelompok mayorits Muslim. Hubungan
33
Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, (Beirut: Darul Bayariq, 1996),
vol.1, h.669 34
Menurut Jonathan, Dhimmî is a Christian, Jewish, or other protected religious
community within the abode of Islam (Islamic Sovereignity). Because they regarded as People of
the Book. The Dhimmis, though subjected to a poll tax and certain retrains in the practice and
propagation of their faith, were guaranted religious peace and political security under Islam.
Lihat The Happercollins Dictionary of Religion, Jonathan Z. Smith (ed.), (New York: American
Academy, 1995), 317. 35
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, alih bahasa Nor Hasanuddin, cet.2 (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2007), vol: III, 48.
19
antara muslim dan non-muslim sama sekali tidak dilarang oleh Allah swt.
selama pihak-pihak lain menghormati hak-hak Muslim.36
B. Perkembangan dan Kelahiran Ahl Żimmah
Ketika beliau memimpin Negara Madinah, pemerintahan berada di tangan
Rasulullah saw. Beliau menempatkan umat yang berbeda keyakinan dengannya
(agama lain) sebagai masyarakat yang sama statusnya dengan kaum Muslimin.
Artinya, hubungan antara umat agama lain dan umat Islam di Madinah bukan
karena proses penaklukkan yang dilakukan Rasulullah saw. dan bukan pula karena
umat Islam berhijrah ke Madinah, justru beliau bersama umat Islam diundang
berhijrah dan diterima secara damai oleh segenap masyarakat yang telah berabad-
abad sebelumnya bermukim di Madinah.37
Karena itu, keberadaan umat agama lain di Madinah bukan karena belas
kasih kaum Muslimin memberi tempat dan melindungi mereka, melainkan justru
Yatsrib (Madinah) adalah negeri mereka sendiri sejak dahulu kala. Mereka pun
turut merestui kehadiran Rasulullah saw. bersama kaum Muslimin di Madinah.
Umat agama lain dengan keadaannya seperti itu tidaklah disebut żimmi, tetapi
dikatagorikan sebagai kelompok al-Mu‟ahidun atau ahl al-Mitsaq, yaitu golongan
yang terikat perjanjian damai dengan Muslim dalam suatu negeri. Itulah sebabnya
dalam Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah saw. bersama mereka.
Umat agama lain selalu disebut sebagai ummah (umat) yang disamakan dengan
36
Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta:
Permadani, 2004), h.186-187. 37
Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Tahqiq: Mustafa al-Saqa‟ (Mesir: Mustafa al-Babi
al-Hilyi, 1375 H/1955 M), Cet.II, h.501
20
umat Islam. Dalam Piagam tersebut juga diatur bahwa mereka (warga Madinah
yang beragam agamanya) harus saling melindungi, bahu membahu menghadapi
musuh. Maka sekali lagi, hubungan antara Nabi Muhammad saw., Muhajirin dan
umat agama lain di Madinah jauh sama sekali dari pengertian saling menaklukkan
diantara mereka.38
Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk oleh Rasulullah
saw., oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan Negara Kota
(city state). Lalu dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru Jazirah
Arab yang masuk Islam, maka munculah sosok Negara Bangsa (nation state).
Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang
bagaimana bentuk dan konsep Negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan
bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan
termasuk politik dan Negara.39
Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah saw. menjadi
pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai
pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah saw. yang diilhami al-Qur‟an ini
kemudian melahirkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal. Dalam Piagam
tersebut, berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak
38
Istilah al-Mu‟ahidun sering digunakan dalam periwayatan hadis, antaralain digunakan
dalam Sunan al-Nasa‟i, Kitab al-Qasamah. Sedangkan kata al-Mitsaq disebut dalam surah al-Nisa
[4]: 92 yang status hukumnya disamakan dengan hukum Muslim. Bahkan dalam hal tertentu
memperoleh penghormatan dan keistimewaan tersendiri. 39
Abd. Salam Arief, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita;
Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI, 2003), h.134-136
21
perlindungan hukum sampai beragama yang oleh ahli-ahli politik modern disebut
sebagai manifesto politik pertama dalam Islam.40
Rasulullah saw. memang pernah memberikan petunjuk memperlakukan
umat agama lain dengan cara memberlakukan jizyah (pajak) seperti yang
diberlakukan pula kepada umat Islam.. Hal ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan Negara.41
Terkait persoalan ahl żimmah, Ibnu Qayyim al-Jawziyah dalam kitabnya
Ahkam ahl al-Żimmah, justru memberikan pandangan yang relatif progresif.
Dalam dialog dengan seorang muslim yang menikahi perempuan ahl al-Kitab, ia
berpendapat bahwa sang suami mesti menghargai sang istri yang hendak
meminum khamar. Suami pula berhak untuk memperingati sang istri untuk tidak
meminum khamar. Akan tetapi jika sang istri tidak menerimanya, maka sang
suami tidak boleh memaksa sang istri untuk tidak minum khamar.42
40
Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn
Hisyam (w. 213 H) yang menurut Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya
selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap.
Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal
sebanyak 47 itu baru dilakukan oleh A.J. Wensinck (pernah belajar di al-Azhar University selama
15 tahun) dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk
mencapai gelar doktornya dalam sastra semit. Melalui karyanya itu Winsick mempunyai andil besar
dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam.
Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang
membaginya menjadi 10 bab. Lihat Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, vol: III, (Beirut:
Maktabah al-Ma'ârif, tt.), h. 224-226 dan W. Montgomery Watt, Mohammad at Medina (ttp: tp.,
1956), h.225-227 41
Lihat Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats al-„Arabiy, 1409 H), vol:
III, 1357. 42
Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyyun, (Kairo: Dār el-Shorouq, 1999), cet: III,
h.117
22
Sikap kooperatif dan simpatik terhadap ahl żimmah sebenarnya telah
dipraktekkan oleh para ulama terdahulu di tengah-tengah pemerintahan Islam.
Dalam sebuah kisah yang sangat menarik, tatkala Qatlushah seorang Raja Tatar
yang hanya ingin membebaskan tawanan muslim. Ibu Taimiyah langsung
menginterupsi dan menolak sikap diskriminatif Raja Tatar tersebut. Ibnu Taimiyah
meminta agar raja membebaskan semua tawanan, termasuk di dalamnya tawanan
orang-orang Yahudi dan Kristen, karena mereka sebagai ahl al-Dzimmah.43
Suatu ketika, amirul mukminin Umar bin Khattab melihat seorang kakek
Yahudi sedang meminta-minta. Kemudian Umar bertanya tentang sebab ia
meminta-minta, sang kakek menjawab bahwa ketuaan dan uzur yang
membuatnya tidak mampu lagi mencari rezeki. Dengan serta merta, Umar
membawa si kakek tersebut ke bait al-māl dan menganggarkan untuknya
kebutuhan pokok untuk tiap bulan. Kemudian Umar berkata: “Haram hukumnya
kita memungut jizyah ketika ia muda dan kita terlantarkan ketika ia tua”.44
Dalam dinasti Utsmaniyah pun terdapat kisah yang menarik disimak, yaitu
tatkala raja hendak membunuh orang-orang Kristen karena mereka bertarung
dengan penduduk al-Bunduqiyah. As‟ad Zamah, mufti pada waktu itu menentang
keras kebijakan raja. Bahkan bila raja bersikeras akan membunuh orang-orang
43
Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyyun, h.115 44
Muhammad bin Abi Bakr Ayyub al-Zar‟iy Abu Abdillah, Tahqiq Yusuf Ahmad al-
Bakriy dan Syakir Tawfiq al-`Aruriy, Ahkam Ahl al-Dzimmah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997/1418),
vol: I, 161
23
Kristen, sang mufti mengancam akan mendongkel kekuasaannya karena secara
nyata telah melanggar hak perlindungan kaum muslim terhadap ahl żimmah.45
Peristiwa-peristiwa di atas adalah sebagian kecil dari mawāqif Islamiyyah
yang mengilustrasikan bagaimana Islam memperlakukan minoritas non muslim
dengan terhormat dan manusiawi. Tidak ada kamusnya orang non muslim tertindas
atau terintimidasi di bawah naungan sistem Islami. Sejarah membuktikan mereka
hidup aman, tentram dan damai.46
Dengan begitu, sebenarnya non muslim yang disebut ahl żimmah sangat
diperhatikan nasibnya karena meraka terikat pada sebuah perjanjian dengan Allah
swt., Rasulullah saw. dan seluruh komunitas muslim. Mereka berhak mendapatkan
jaminan perlindungan terhadap keselamatan jiwa, raga serta harta bendanya,
termasuk memiliki hak yang sama dalam bidang sosial, ekonomi dan politik
nasional Negara Islam seperti hak dan kewajiban yang dimiliki oleh semua warga
negara lainnya.47
C. Kerjasama Antar Sosial-Kultural
Sebagai seorang yang berasal dari keluarga politeis jahiliyah, Nabi
Muhammad saw. sudah terbiasa bergaul dengan penganut agama lain. Abu Thalib
dan beberapa orang musyrik dari Bani Hasyim turut membantu Nabi Muhammad
saw. dan bahkan memberikan banyak pengorbanan untuk suksesnya perjuangan
45
Fahmi Huwaydi, Muwathinun la Dzimmiyyun, h.115 46
Muhammad bin Abi Bakr Ayyub al-Zar‟iy Abu Abdillah, Tahqiq Yusuf Ahmad al-
Bakriy dan Syakir Tawfiq al-`Aruriy, Ahkam Ahl al-Dzimmah (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997/1418),
vol: I, 551-552. 47
Abdur Rahman Doi, Non-Muslim Under Syari'ah (London: Taha Publisher, 1983),
h.122.
24
beliau. Abu Thalib, paman Nabi Muhammad saw. yang setia mendampingi dan
membelanya, tetap menganut agama jahiliyah leluhur Quraisy dan bahkan sampai
akhir hayatnya tidak pernah menyatakan diri masuk Islam. Ini berarti bahwa
aktifitas ke-Islaman terbuka bagi partisipasi umat agama lain sebagai manifestasi
persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan. Terlebih lagi jika aktifitas ke-Islaman
yang dimaksud memberi manfaat untuk semua.48
Seperti telah diungkap bahwa ketika Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah,
beliau bersama Abu Bakar meminta bantuan seorang pemandu jalan profesional
dari suku Bani al-Dayl yang dalam hadits Bukhari disebut: wa huwa „ala dini
Quraysy (penganut keyakinan jahiliyah Quraisy). Fakta sejarah ini menunjukkan
bahwa untuk suatu keperluan strategis, Rasulullah saw. tidak merasa canggung
memperoleh atau meminta bantuan dari umat beragama lain, sepanjang orang itu
profesional di bidangnya, jujur dan mau bekerjasama untuk perdamaian
kemanusiaan.
Bekerjasama dengan umat agama lain dalam urusan duniawi atas prinsip
kekeluargaan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. bukanlah
sinkretisasi iman, melainkan toleransi antarumat beragama. Setiap agama pada
prinsipnya memang tidak mungkin dipadu secara sinkretis, namun dengan ikatan
persaudaraan, umat dari semua agama dapat bersatu dan berdamai dengan segala
perbedaannya sebagai sebuah keluarga besar. Maka, tatkala Nabi Muhammad saw.
terharu mengingat mandiang Abu Thalib, pamannya yang kafir dan berjasa
48
Rayid al-Ghanusyi, Huquq al-Muwatanah; Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama‟ al-
Islami (Virginia: Ma‟had al-Alam li al-Fikr al-Islam, 1993), h.56-57
25
besar dalam pembelaan Islam semasa hidupnya, tidaklah berarti beliau
melarutkan keislamannya dengan agama jahiliyah Abu Thalib. Hal ini tidak lain
dari empati kemanusiaan terhadap sesama manusia.49
Prototipe hubungan antarumat beragama yang telah dicontohkan Rasulullah
saw. mengambil bentuk lebih konkret lagi pada zaman keemasan sejarah Islam,
yang pernah di raih di Bagdad di bawah dinasti Abbasiyah. Zaman keemasan yang
berlangsung hingga tahun 1258 M itu adalah ditandai dengan keterbukaan umat
Islam bergaul dengan umat agama lain. Peradaban zaman keemasan itu benar-
benar dirancang secara cerdas, diawali dengan penerjemahan buku-buku filsafat
dan sains yang berasal dari Yunani, Persia, India dan Cina. Khalifah al-Ma‟mun
mendirikan Lembaga Penerjemahan yang dikepalai oleh Hunain Ibn Ishaq (seorang
Kristen yang profesional di bidang bahasa). Hunain pernah menyatakan bahwa:
“Bagiku ada dua hal, yaitu agama dan profesi. Agama saya mengharuskan
berbuat baik walaupun kepada musuh, apatahlagi terhadap teman-teman kami.
Dan profesi saya adalah untuk kepentingan umat manusia.”50
Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduk beragama muslim. Bila saja
umatnya mampu menggali nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, maka
akan menemukan bahwa Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralitas agama.
49
Rizqullah, Mahdi, As-Sirah An-Nabawiyah fi Dhaui Al-Mashadir Al-Ashliyah, terj. Sirah
Nabawiyah (Jakarta: Perisai Qur‟an, 2012), 63. 50
Philip K Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 19730,
h.313
26
Pengakuan terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan
meyakini bahwa agama yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling
benar, tetapi bagi penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama
mereka pulalah yang paling benar. Dari kesadaran inilah akan lahir sikap toleran,
inklusif, saling menghormati dan menghargai serta memberi kesempatan kepada
orang lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.51
Hal tersebut sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha
Esa” dan UUD 1945 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan beragama dan
beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan masing- masing. Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945, di samping jaminan kebebasan beragama, keputusan yang
fundamental ini juga merupakaan jaminan tidak ada diskriminasi agama di
Indonesia. Mukti Ali, secara filosofis mengistilahkan dengan agree in
disagreement (setuju dalam perbedaan).52
Setiap agama tidak terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan.
Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralism
yang merupakan watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari.
Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia
termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan
salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Perbedaan di antara manusia
dalam agama terjadi karena kehendak Allah swt. dan orang Muslim meyakini
51
Madjid, Nurcholis, dkk., Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), 78 52
Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 1999), 24.
27
bahwa kehendak Allah swt. itu tidak ada yang dapat menolak dan mengubahnya.
Hal ini disadari oleh para founding father kita sehingga mereka merumuskan
konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.53
53
Fahmi Huwaidy, Demokrasi Oposisi dan masyarakat madani (Bandung: Mizan,
1996), h.30-31. Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,
1992) dalam Kata Pengantar.
28
BAB III
SEPUTAR HADITS HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH
Dalam bab ini penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan
hadis yang berbicara tentang hak dan kewajiban ahl żimmah, termasuk persoalan
takhrij hadisnya.
A. Kegiatan Takhrīj al-Ḥadiś
Takhrīj berasal dari kata kharaja yang berarti tampak atau jelas. Para ahli
bahasa mengartikan dengan mengeluarkan (al-istinbāţ).54
Kegiatan takhrīj ini
dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu :
1. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadis (sumber asal hadis) yang
sedang diteliti.
2. Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang sedang diteliti karena
mungkin saja hadis tersebut memiliki lebih dari satu sanad atau
mungkin juga kualitas diantara sanad itu berbeda-beda.55
Untuk menyelesaikan kegiatan takhrīj al-ḥadīś ini, penulis menggunakan
tiga (3) metode penyelesaian takhrīj al-ḥadīś, yakni metode lafal atau kata yang
terdapat dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, metode
awal matan hadis yang terdapat dalam kitab Mausū‟ah Iţrāf al-Ḥadīś dan metode
tema yang terdapat dalam kitab Kanz al-`Ummāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af‟āl.
54
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
Cet.1, h.198 55
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi saw. (Jakarta: Pustaka Bintang,
1992, h.44
29
B. Takhrīj al-Ḥadiś Hak dan Kewajiban Ahl Żimmah
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, dalam meyelesaikan
takhrīj al-ḥadīś hak dan kewajiban ahl żimmah ini penulis menggunakan tiga (3)
metode berikut :
1. Metode Lafal atau Kata
Metode ini merupakan suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata
yang terdapat dalam matan hadis, baik itu berupa kata benda atau kata
kerja.56
Dalam metode ini, penulis merujuk kepada kitab اىعغ اىفشط لىفبظ
Dalam kitab .(al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī) اىؾذش
ini terdapat beberapa jenis simbol huruf, yaitu huruf ج (Șaḥīh al-Bukhari),
-Sunan al) ن ,(Sunan Tirmiżi) ث ,(Sunan Abī Daud) د ,(Șaḥīh Muslim) م
Nasā`i), جه (Sunan Ibn Majah), دي (Sunan al-Dārimī), ط (Muwaţţa Malik)
dan حم (Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal).57
Dalam kitab ini terdapat rumus yang menunjukkan letak hadis dalam
sebuah kitab hadis, seperti 34جه : جزيت .Ini menunjukan bahwa hadis
yang kita cari terdapat dalam kitab Sunan Ibn Majah dengan tema Jizyah
pada bab ke 23. Berbeda dengan Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal yang ditulis
56
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, h.198 57
Maḥmūd al-Ṭaḥan, Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānid (Riyāḍ: Maktabah al-Ma‟ārif,
1991), Cet.2.
30
dengan rumus : 283: 3حم yang menunjukan bahwa hadis yang kita cari
terdapat dalam Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal, jilid 2, halaman 182.
Dengan metode lafal atau kata, penulis mencantumkan beberapa kata
yang ada kaitannya dengan hadis tentang ahl żimmah sebagai berikut :
58 ذمت59 قتم
60 أخر
5ؿ 7 عضخ 11دبد 7 د 3ؿ 7 دبد
53دبد 7 د 33 دبد7 ع 55 , 55 7 قغبخ
11دبد 7 د 55 7 قغبخ 754 عش د
733 5 7 ؽ 53 7 عضخ ع
7155 5 7 ؽ
62 عاهد 61 يرح63 انجزيت
11دبد 7 د 33 دبد7 ع 33 دبد7 ع
5ؿ 7 عضخ 733 5 7 ؽ 11دبد 7 د
55 7 قغبخ 155 57 7 ؽ
64أخفر
11دبد 7 د
58
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī (Leiden: E.J. Brill,
1936), Juz.2, h.184 59
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.5, h.268 60
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.1, h.24 61
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.2, h.314 62
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.4, h.401 63
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.1, h.346 64
A.J. Wensinck, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaẓ al-Ḥadīś al-Nabawī, Juz.2, h.53
31
2. Metode Awal Matan Hadis
Dalam metode ini, penulis merujuk kepada مزبة ععخ اطشاف اىؾذش
(Mausū‟ah Iţrāf al-Ḥadīś), maka hadis di atas akan terdapat dalam :
خ .. .. او اىز65
75 755 ,55
7153 75 ؽ
Rumus yang tertera di atas, : 56, 36: 8 ن menunjukkan bahwa hadis
yang kita cari terdapat dalam Sunan al-Nasā`i, tema nomor 8 dengan bab
nomor 25 daan 45. Sedangkan untuk Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal ditulis
283: 3حم : yang menunjukan hadis yang kita cari terdapat dalam Musnad
Aḥmad ibn Ḥanbal, jilid 2, halaman 182.
3. Metode Tema
Dalam metode ini, penulis merujuk kepada مزبة مض اىعبه ف ع
الفعبه القاه (Kanzun al-„Umāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-Af‟āl), maka
hadis akan ditemukan dengan keterangan sebagai berikut :
باب انثاو ف اندياث, انفصم االول ف ديت انىفسكتاب انقصاص, ان
....عقو أو اىزخ صف عقو اىغي - 4005666
(.ع اث عش - )
65
Muḥammad al-Sa‟id ibn Basyūnī, Mausū‟ah Iţrāf al-Ḥadīś (Beirut: Daar al-Kutub al-
Islamiyati, t.t), Juz.8, h.456 66
„Alā al-Dīn „Alī al-Muttaqī ibn Ḥisām al-Dīn, Kanzun al-„Umāl fī Sunan al-Aqwāl wa
al-Af‟āl (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989), Juz.15, h.53
32
االعضاء واالطراف وانجراحف ديت ا انثاو كتاب انقصاص, انباب انثاو ف اندياث, انفصم
67 قزو قزال أو اىزخ ى شػ سائؾخ اىغخ.... - 51115
ع اث عش(. -)طت، ك ق
االيمان وانمعاهرة وانىفاء , انفصم االول ف انثانث ف احكام انجهاد, انباب جهادكتاب ان
بانعهد
أل قزو فغب عبذح .... -1165568
)د ع أث ششح(.
Rumus yang tertera di atas, seperti )ث عه أبي هريرة( menunjukkan bahwa
hadis yang kita cari diriwayatkan oleh Abī Hurairah dalam kitab Sunan Tirmiżi.
Setelah dilakukan takhrīj al-ḥadīś, kita dapat mengetahui bahwa terdapat
sepuluh (10) hadis yang berkaitan dengan ahl żimmah yang masing-masing
terdapat dalam :
NO Sumber Kitab Jumlah
Hadis Topik
1 Șaḥīh al-Bukhari 2 Mengambil Jizyah dari Ahl Żimmah
Perlindungan Terhadap Ahl Żimmah
2 Sunan Tirmiżi 2 Akibat Membunuh Ahl Żimmah
Mengambil Jizyah dari Ahl Żimmah
3 Sunan Abī Daud 1 Mengambil Jizyah dari Ahl Żimmah
4 Sunan al-Nasā`i 2 Akibat Membunuh Ahl Żimmah
diyah ahl żimmah
5 Sunan Ibn Majah 1 Akibat Membunuh Ahl Żimmah
6 Musnad Aḥmad ibn
Ḥanbal 2
Akibat Membunuh Ahl Żimmah
Mengambil Jizyah dari Ahl Żimmah
67
Alā al-Dīn „Alī al-Muttaqī ibn Ḥisām al-Dīn, Kanzun al-„Umāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-
Af‟āl, Juz.15, h.65 68
Alā al-Dīn „Alī al-Muttaqī ibn Ḥisām al-Dīn, Kanzun al-„Umāl fī Sunan al-Aqwāl wa al-
Af‟āl, Juz.4, h.364
33
1. Susunan yang terdapat dalam Șaḥīh al-Bukhārī :
- Hadis tetang pengambilan jizyah dari orang-orang Majusi
ع عبثش ث ذ عبىغ ب ا، قبه7 م ش عذ ع ، قبه7 ع ، ؽذصب عفب عجذ للا ث ذ، ؽذصب عي ص
ب ثغبىخ، ط فؾذص أ ش ث ع ذ - و اىجصشح ع ش ثأ ث اىض صعت ث ؽظ ، عب عخ عجع
ض اىخطبة قجو -دسط ص ش ث األؽف، فأربب مزبة ع خ، ع عب ذ مبرج ب ىغضء ث ، قبه7 م
قا ث ثغخ، فش ر غط اى ش أخز اىغضخ ع ن ى غط، اى ؾش مو ر
غ غط ب أخز عي صي للا عي سعه للا ف أ ع ث ؽ ذ عجذ اىش 69ش ؽز ش
Telah bercerita kepada kami 'Ali bin 'Abdullah, telah bercerita
kepada kami Sufyan, ia berkata; aku mendengar 'Amar berkata; "Aku
pernah duduk bersama Jabir bin Zaid dan 'Amru bin Aus, lalu
Bajalah bercerita kepada keduanya suatu peristiwa pada tahun
tujuh puluh saat Mush'ab bin az-Zubair menunaikan ibadah hajji
bersama dengan penduduk Bashrah. Ketika berada di sisi air
zamzam, dia (Bajalah) berkata; "Aku adalah juru tulis Jaz'i bin
Mu'awiyah, paman al-Ahnaf". Kemudian datang surat perintah dari
'Umar bin al-Khaththab sebelum kematiannya yang berisi;
"Pisahkanlah setiap orang yang memiliki mahram dari orang
Majusi". Dan 'Umar belum pernah mengambil jizyah (upeti) dari
Kaum Majusi hingga kemudian datang 'Abdur Rahman bin 'Auf yang
bersaksi bahwa Rasulullah saw. pernah mengambil jizyah orang
Majusi Hajar".
- Hadis tentang perlindungan terhadap ahl żimmah
ش ع ، ع ش ث ع ، ع ؽص اخ، ع بعو، ؽذصب أث ع إع ع ث ؽذصب
خ سعى ر ، خ للا ثز أص ، قبه7 ع للا سض ف ى ، أ عي صي للا عي
ل نيفا إل طبقز ، سائ قبرو أ ، ذ 70 ثع
69
Abī „Abdillāh Muhammad ibn Isma‟īl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī (Beirut: Daar al-
Fikr, 2006), Juz.4, h.96 70
Abī „Abdillāh Muhammad ibn Isma‟īl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī, Juz.4, h.69
34
Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il, telah bercerita kepada
kami Abu 'Awanah dari Hushain dari 'Amru bin Maimun dari 'Umar
r.a, ia berkata; "Aku berwasiat dengan perlindungan Allah dan
Rasulullah saw. tentang ahlu dzimmah agar janji mereka dipenuhi,
agar diperangi siapa saja yang tidak mengikat perjanjian atau
berniyat menyerang, dan janganlah mereka dibebani melainkan
sebatas kemampuan mereka."
2. Susunan yang terdapat dalam Sunan Tirmiżī:
- Hadis tentang akibat membunuh ahl żimmah
أث ع عغال اث ع اىجصش ب عي ث عذ ثشبس ؽذصب ذ ث ؾ ؽذصب أث ع
شح خ س ش ر خ للا ذ ا ى ر عب قزو فغ ب قبه أل عي عي صي للا اىج فقذ ع عى
غ ب ىعذ سؾ إ فال شػ سائؾخ اىغخ خ للا خشف بأخفش ثز 71 شح عجع
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Ma'di bin Sulaiman, ia adalah al-Bashri,
dari Ibnu 'Ajlan dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi saw.,
beliau bersabda: "Ketahuilah, barangsiapa membunuh seorang yang
terikat janji dengan kaum muslimin dan memiliki jaminan keamanan
dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah melanggar perlindungan
Allah dan tidak akan mencium bau surga, sesungguhnya baunya
dapat dicium sejauh perjalanan tujuh puluh masa.”
- Hadis tentang mengambil jizyah dari orang-orang Majusi
دبس ش ث ع أسطبح ع بط ث خ ؽذصب اىؾغ عب ع ؽذصب أث ذ ث ثغبىخ ؽذصب أؽ ع
ذ عجذح قبه م قجيل ث غط ظش ش ا برس فغبءب مزبة ع خ عي عب مبرج ب ىغضء ث
عي صي للا سعه للا ف أخجش أ ع ث ؽ عجذ اىش اىغضخ فإ أخز فخز عي
غط اىغض 72ش غ خ
71
Abī Isā Muhammad ibn Isā ibn Saurah, al-Jāmī al-Șahīh al-Tirmiżī (Beirut: Daar Ahyai
al-Turasi al-„Arabi, 1995), Juz.3, h.74 72
Abī Isā Muhammad ibn Isā ibn Saurah, al-Jāmī al-Șahīh al-Tirmiżī, Juz.3, h.241
35
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami al-Hajjaj bin Arthah dari Amru bin Dinar
dari Bajalah bin Abdah, ia berkata; "Aku adalah sekertaris Jaza' bin
Mu'awiyah, lalu datanglah surat dari „Umar yang menyebutkan;
"Perhatikanlah orang-orang Majusi yang ada di sekitarmu, ambillah
jizyah dari mereka. Sesungguhnya 'Abdurrahman bin Auf telah
mengabariku bahwa Rasulullah saw. pernah mengambil jizyah dari
orang-orang Majusi penduduk Hajar.”
3. Susunan yang terdapat dalam Sunan Abī Daud:
- Hadis tentang mengambil jizyah dari orang-orang Majusi
ع دبس، ع ش ث ع ، ع ذ، ؽذصب عفب غش غذد ث ؽذصب ش ث س ع ثغبىخ، ؾذ
ظ إر عبءب م ق األؽف ث خ ع عب ذ مبرج ب ىغضء ث أثب اىشعضبء، قبه7 م ط، ش أ زبة ع
ؾ مو ر قا ث فش ثغخ7 اقزيا مو عبؽش، ر قجو ع ا غط اى ، ش
ف م ؽش غط اى مو سعو قب ث فش اؽش، صالصخ ع خ، فقزيب ف ض زبة اىض
، ف عي فخز فعشض اىغ ا فذعب ب مضش صع طعب ، قش للا ا أىق ا، ض ض ى فأميا
ؽ ذ عجذ اىش غط ؽز ش اى ش أخز اىغضخ ع ن ى سق، اى ثغي ثغو أ ث
ف »ع ب أخز عي صي للا عي سعه للا غش أ غط »73
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad, telah
menceritakan kepada kami Sufyan, dari 'Amr bin Dinar, ia
mendengar Bajalah, menceritakan kepada 'Amr bin Aus, serta Abu
Asy Sya'tsa`, ia berkata; dahulu aku adalah seorang sekretaris Jaz`
bin Mu'awiyah paman al-Ahnaf bin Qais, tiba-tiba terdapat surat
Umar datang kepada kami satu tahun sebelum ia meninggal, ia
berkata; bunuhlah seluruh tukang sihir, dan pisahkan antara setiap
orang yang memiliki mahram dari kalangan orang-orang majusi,
dan laranglah mereka dari bersuara rendah yang hampir tidak
73
Maḥmud ibn Aḥmad al-„Ainī, Syarḥ Sunan Abī Dāud (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd,
1999), Juz.3, h.168
36
terdengar suaranya. Maka kami dalam sehari telah membunuh tiga
orang tukang sihir, dan memisahkan antara setiap laki-laki majusi
dan mahramnya dalam kitab Allah dan „Umar membuat makanan
yang banyak kemudian mengundang mereka kemudian ia
memperlihatkan pedang di atas pahanya. Mereka makan tanpa
mengeluarkan suara samar yang tidak jelas dan mereka
menjatuhkan bawaan seekor atau dua ekor bighal dari perak, dan
Umar tidak mengambil jizyah dari orang-orang majusi hingga
Abdurrahman bin 'Auf bersaksi bahwa Rasulullah saw.
mengambilnya dari majusi Hajar.”
4. Susunan yang terdapat dalam Sunan al-Nasā`i:
- Hadis tentang akibat membunuh ahl żimmah
اث قبه ؽذصب اىؾغ ا ش قبه ؽذصب دؽ إثشا ث ؽ أخجشب عجذ اىش ش ع ع
ذ غب ع عي صي للا ش قبه قبه سعه للا ع ث عجذ للا خ ع أث أ عبدح ث ع ي
غشح أسثع ب ىعذ سؾ إ غذ سؼ اىغخ خ ى و اىز أ قزو قزال ب 74 عب
Telah mengabarkan kepada kami Abdur Rahman bin Ibrahim
Dukhaim, telah menceritakan kepada kami Marwan, telah
menceritakan kepada kami al-Hasan yaitu Ibnu 'Amru dari Mujahid
dari Junadah bin Abu Umayyah dari Abdullah bin 'Amru, dia
berkata; "Rasulullah saw.bersabda: "Barang siapa yang membunuh
seseorang dari ahli dzimmah maka dia tidak akan mendapatkan bau
Surga padahal baunya tercium dari jarak perjalanan empat puluh
tahun."
- Hadis tentang diyah ahl żimmah
قبه عي ش ث رمش أخجشب ع ع ث ب عي ساشذ ع ذ ث ؾ ع ؽ ؽذصب عجذ اىش
عي صي للا قبه قبه سعه للا عذ ع أث ت ع شع ش ث ع ب ع عب خ مي عي
خ و اىز اىصبسعقو أ د اى غي 75 صف عقو اى
74
Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Sunan al-Nasa‟i bi Syarh al-Hafidz Jalal al-Dīn al-Suyuthī
(Beirut: Daar al-Fikr, 1930), Juz.8, h.394
37
Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Ali telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman dari Muhammad bin Rasyid dari
Sulaiman bin Musa dan dia menyebutkan sebuah kalimat yang
maknanya dari 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, dia
berkata; "Rasulullah saw. bersabda: "Diyat ahli dzimmah adalah
setengah diyat orang muslim, mereka (ahlu dzimmah) adalah Yahudi
dan Nasrani.”
5. Susunan yang terdapat dalam Sunan Ibnu Majah :
- Hadis tentang akibat membunuh ahl żimmah
أث ، ع عغال جأب اث قبه7 أ ب عي ث عذ ثشبس قبه7 ؽذصب ذ ث ؾ أث ؽذصب ، ع
ذ عب قزو قبه7 عي صي للا عي اىج شح، ع فال شػ ش خ سعى ر خ للا ا ى ر
ب عب غشح عجع ب ىعذ سؾ إ سائؾخ اىغخ، 76
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah
menceritakan kepada kami Ma'di bin Sulaiman, telah memberitakan
kepada kami Ibnu 'Ajalan dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi
saw., beliau bersabda: "Barang siapa membunuh orang kafir
mu'ahad yang berada dalam perlindungan Allah dan perlindungan
RasulNya, maka dia tidak dapat mencium harumnya surga,
sedangkan harumnya dapat di cium dari perjalanan tujuh puluh
tahun."
6. Susunan yang terdapat dalam Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal:
- Hadis tentang akibat membunuh ahl żimmah
، ؽذصب اىؾغ ا ش عقت ، ؽذصب اى ذ ع أثب إثشا ؾ بعو ث ش ؽذصب إع ع ث
ش ع عجذ للا ث خ ، ع أث أ عبدح ث ذ ، ع غب ، ع ، قبه 7 قبه سعه للا اىفق
75
Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Sunan al-Nasa‟i bi Syarh al-Hafidz Jalal al-Dīn al-Suyuthī,
Juz.8, h.414 76
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Diyat, Bab Man Qatala Mu‟āhidan, Juz.2, h.896
38
س إ شػ سائؾخ اىغخ ، خ ى و اىز أ قزو قزال 7 عي عي صي للا ب ىعذ ؾ
ب عب غشح أسثع .77
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Muhammad -yaitu Abu
Ibrahim al-Mu`aqqob telah menceritakan kepada kami Marwan telah
menceritakan kepada kami al-Hasan bin 'Amru Al Fuqaimi telah
menceritakan kepada kami Mujahid dari Junadah bin Abu Umayyah
dari Abdullah bin 'Amru dia berkata; Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa membunuh ahli dzimmah (orang kafir yang berada
dalam perlindungan pemerintahan Islam) maka ia tidak akan
mencium bau wanginya surga, padahal bau wanginya tersebut dapat
tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan."
- Hadis tentang mengambil jizyah dari orang-orang Majusi
ق األؽف ث خ ع عب ذ مبرج ب ىغضء ث ع ثغبىخ قه م ش ع ع ع ظ فأربب ؽذصب عفب
ش قجو مو ر مزبة ع قا ث فش عبؽشح ب قبه عفب سث اقزيا مو عبؽش ثغخ أ ر
ع اىش ق ث ععيب فش اؽش خ فقزيب صالصخ ع ض اىض ع ا غط اى ؾش ث و
غط ؽش دعب اى ف عي فخز عشض اىغ ا ب مضش صع عضء طعب ف مزبة للا ز
سث ش أخز ع ن ى خ ض ش ص غ أميا سق ثغي قش ثغو أ ا فأىق ب قبه عفب
ق عي صي للا سعه للا ف أ ع ث ؽ ذ عجذ اىش غط ؽز ش اى جو اىغضخ عي
غش غط ب أخز
Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dia mendengar
Bajalah berkata; Aku seorang juru tulis Jaza' bin Mu'awiyah, paman
Ahnaf bin Qais, kemudian datanglah surat Umar kepada kami
setahun sebelum dia wafat, yang berisi: "Bunuhlah setiap tukang
sihir laki laki.." -dan terkadang Sufyan menyebutkan; "Dan tukang
sihir perempuan."- "dan pisahkan setiap orang (suami istri) yang
semahram dari kalangan Majusi, serta larang mereka mengucapkan
77
Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1995), Juz.2, h.186
39
zamzamah" Maka kami membunuh tiga orang tukang sihir dan kami
memisahkan antara laki-laki (yang beristrikan) mahramnya dengan
kitabullah. Jaza' juga membuat makanan dalam jumlah besar,
kemudian dia menghunuskan pedang di pahanya lalu memanggil
orang Majusi, mereka menyerahkan bawaan sepenuh keledai atau
dua keledai dari perak, dan mereka makan tanpa mengucapkan
zamzamah. Umar tidak mengambilnya. Sufyan berkata; "memungut
jizyah dari orang Majusi sampai Abdurrahman bin Auf bersaksi
bahwa Rasulullah saw. telah memungut dari orang-orang Majusi
hajar."
Berikut ini penulis akan mengklasifikasikan hadis-hadis di atas kedalam dua
macam, hadis yang berkaitan dengan hak ahl żimmah dan hadis yang berkaitan
dengan kewajiban ahl żimmah.
1. Hadis Hak Ahl Żimmah; Mendapatkan Perlindungan
Berdasarkan takhrīj al-ḥadīś di atas, ada 2 hadis yang berkaitan dengan hak
ahl żimmah, yaitu :
أث ، ع عغال جأب اث قبه7 أ ب عي ث عذ ثشبس قبه7 ؽذصب ذ ث ؾ أث ؽذصب ، ع
صي للا عي اىج شح، ع فال شػ ش خ سعى ر خ للا ذ ا ى ر عب قزو قبه7 عي
ب عب غشح عجع ب ىعذ سؾ إ سائؾخ اىغخ، 78
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah
menceritakan kepada kami Ma'di bin Sulaiman, telah memberitakan
kepada kami Ibnu 'Ajalan dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi
saw., beliau bersabda: "Barang siapa membunuh orang kafir
mu'ahad yang berada dalam perlindungan Allah dan perlindungan
RasulNya, maka dia tidak dapat mencium harumnya surga,
sedangkan harumnya dapat di cium dari perjalanan tujuh puluh
tahun."
78
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab Diyat, Bab Man Qatala Mu‟āhidan, Juz.2, h.896
40
ش ع ، ع ش ث ع ، ع ؽص اخ، ع بعو، ؽذصب أث ع إع ع ث ؽذصب
، قبه7 ع للا سض ف ى ، أ عي صي للا عي خ سعى ر ، خ للا ثز أص
ل نيفا إل طبقز ، سائ قبرو أ ، ذ 79 ثع
Telah bercerita kepada kami Musa bin Isma'il, telah bercerita kepada
kami Abu 'Awanah dari Hushain dari 'Amru bin Maimun dari 'Umar
r.a, ia berkata; "Aku berwasiat dengan perlindungan Allah dan
Rasulullah saw. tentang ahlu dzimmah agar janji mereka dipenuhi,
agar diperangi siapa saja yang tidak mengikat perjanjian atau
berniyat menyerang, dan janganlah mereka dibebani melainkan
sebatas kemampuan mereka."
2. Hadis Kewajiban Ahl Żimmah; Membayar Jizyah
Mengenai hadis kewajiban ahl żimmah, ada dua hadis yang menceritakan
tentang kewajiban ahl żimmah, yaitu :
ثغ ؽذصب دبس ع ش ث ع أسطبح ع بط ث خ ؽذصب اىؾغ عب ع ؽذصب أث ذ ث بىخ أؽ
غط ظش ش ا برس فغبءب مزبة ع خ عي عب ذ مبرج ب ىغضء ث عجذح قبه م قجيل ث
عي صي للا سعه للا ف أخجش أ ع ث ؽ عجذ اىش اىغضخ فإ أخز فخز عي
غط 80ش غ اىغضخ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani' berkata, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, ia berkata; telah
menceritakan kepada kami al-Hajjaj bin Arthah dari Amru bin Dinar
dari Bajalah bin Abdah, ia berkata; "Aku adalah sekertaris Jaza' bin
Mu'awiyah, lalu datanglah surat dari „Umar yang menyebutkan;
"Perhatikanlah orang-orang Majusi yang ada di sekitarmu, ambillah
jizyah dari mereka. Sesungguhnya 'Abdurrahman bin Auf telah
79
Abī „Abdillāh Muhammad ibn Isma‟īl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī (Beirut: Daar al-
Fikr, 2006), Juz.4, h.69 80
Abī Isā Muhammad ibn Isā ibn Saurah, al-Jāmī al-Șahīh al-Tirmiżī (Beirut: Daar Ahyai
al-Turasi al-„Arabi, 1995), Juz.3, h.241
41
mengabariku bahwa Rasulullah saw. pernah mengambil jizyah dari
orang-orang Majusi penduduk Hajar.”
رمش أخجش ع ث ب عي ساشذ ع ذ ث ؾ ع ؽ قبه ؽذصب عجذ اىش عي ش ث ب ع
عي صي للا قبه قبه سعه للا عذ ع أث ت ع شع ش ث ع ب ع عب خ ع مي ي
اىصبس د اى غي خ صف عقو اى و اىز 81 عقو أ
Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin Ali telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman dari Muhammad bin Rasyid dari
Sulaiman bin Musa dan dia menyebutkan sebuah kalimat yang
maknanya dari 'Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, dia
berkata; "Rasulullah saw. bersabda: "Diyat ahli dzimmah adalah
setengah diyat orang muslim, mereka (ahlu dzimmah) adalah Yahudi
dan Nasrani.”
81
Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Sunan al-Nasa‟i bi Syarh al-Hafidz Jalal al-Dīn al-Suyuthī,
Juz.8, h.414
42
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN AHL ŻIMMAH PERSFEKTIF HADIS
Ketika Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah dan menetap di sana,
beliau mulai mengatur hubungan antara kaum muslimin dengan kaum yahudi.
Karena itu, beliau menetapkan undang-undang untuk Negara Islam yang baru
berdiri yang dapat menjaga hak-hak semua individu (apapun itu agamanya) dan
menetapkan kewajiban-kewajibannya. Poin-poin yang terdaapat dalam Piagam
Madinah ini menjadi saksi yang baik, bagaimana masyarakat hidup berdampingan
secara damai dengan pemeluk agama lain.82
Secara teoritis, syariah Islam pada awalnya bersifat melindungi dan
memberikan hak-hak non-Muslim, seperti dalam Piagam Madinah. Namun dalam
prakteknya dibeberapa Negara muslim dewasa ini, justru sering terjadi berbagai
penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syariah
Islam itu sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl żimmah sering kali
mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan komunitas muslim.83
Salah satu hal yang menyebabkan persoalan tersebut karena kurangnya
pemahaman dan pengetahuan tentang hak-hak yang harus didapat dan kewajiban
yang harus dilakukan oleh ahl żimmah berdasarkan sumber ajaran Islam, terutama
dalam dunia hadis.
82
Raghib as-Sirjani, Solidaritas Islam Untuk Dunia, Terj: Ali Nurdin, (Bandung: Pustaka
al-Kautsar, 2015), h.183. 83
Raghib As-Sirjani, Solidaritas Islam Untuk Dunia, Terj: Ali Nurdin, h.181-182
43
Para ulama mengatakan :
ى بىب عي ب عيب
“Hak mereka sama dengan hak kita dan kewajiban mereka juga
sama dengan kewajiban kita”.84
A. Hak Ahl Żimmah; Mendapatkan Perlindungan
Kata “hak” dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna, salah satunya
adalah sesuatu yang tetap dan wajib. Ketika kata “hak” diiringi dengan kata ahl
żimmah, maka maksudnya adalah ketetapan yang wajib didapatkan mereka dalam
seluruh aspek kehidupan.85
Adapun hak yang diperoleh oleh non-muslim selama bersatus ahl żimmah
adalah hak mendapatkan perlindungan (baik dari aspek kehidupan, harta dan
keamanan). Hal ini dapat kita lihat dalam hadis Nabi saw. sebagi berikut :
اث قبه ؽذصب اىؾغ ا ش قبه ؽذصب دؽ إثشا ث ؽ أخجشب عجذ اىش ش ع ع
عبد ذ ع غب عي عي صي للا ش قبه قبه سعه للا ع ث عجذ للا خ ع أث أ ح ث
غشح أسثع ب ىعذ سؾ إ غذ سؼ اىغخ خ ى و اىز أ قزو قزال ب 86 عب
Dari „Abdullah ibn „Umar, beliau berkata: Rasulallah saw. bersabda
“Barangsiapa yang membunuh seseorang dari kaum dzimmi (umat
agama lain), niscaya ia tidak mendapatkan harumnya surga dan
(ketahuilah) harumnya surga itu tercium dari jarak perjalanan tujuh
puluh tahun”. (HR. Al-Nasa‟i)
84
Yūsuf Qardāwi, Ghair al-Muslimīn fī al-Mujtama‟ al-Islāmi (Kairo: Maktabah
Wahbah, Cet. ke-3. 1413 H/ 1992 M), h.37 85
Ibn Manzur, Lisanul „Arab, vol.IV, h.349 86
Jalāl al-Dīn al-Suyuthī, Sunan al-Nasa‟i bi Syarh al-Hafidz Jalal al-Dīn al-Suyuthī
(Beirut: Daar al-Fikr, 1930), Juz.8, h.394
44
Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa siapa saja yang membunuh seorang
ahl żimmah, ia tidak akan mendapatkan harumnya surga. Dalam artian, membunuh
ahl żimmah tanpa adanya sebab sangatlah dilarang. Kehidupan ahl żimmah
haruslah dilindungi, sebagaiman hadis Nabi saw. yang diriwayatkan berikut :
أث ع عغال اث ع اىجصش ب عي ث عذ ثشبس ؽذصب ذ ث ؾ أث ؽذصب ع
شح ش عي صي للا اىج فقذ ع خ سعى ر خ للا ذ ا ى ر عب قزو فغ ب قبه أل عي
خشف ب غشح عجع ب ىعذ سؾ إ فال شػ سائؾخ اىغخ خ للا 87 أخفش ثز
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda : ingatlah siapa saja
yang membunuh jiwa seorang mu‟ahad yang memiliki dzimmah
Allah swt. dan dzimmah Rasul-Nya, sungguh dia telah membatalkan
dzimmah Allah swt. sehingga dia tidak mencium aroma surga.
Sesungguhnya aroma surga bisa dicium dari perjalanan 70 tahun”.
(HR. Tirmidzi)
Persoalan membunuh ahl żimmah, kalangan ulama berbeda pendapat.
Mayoritas ulama seperti madzhab Syafi‟i dan Imam Ahmad sepakat bahwa orang
muslim yang membunuh ahl żimmah tidak boleh di qishas dengan alasan bahwa
Nabi saw. bersabda: orang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang
kafir. Akan tetapi, imam Abu Hanifah beserta para muridnya mengatakan bahwa
orang muslim yang membunuh ahl żimmah boleh diperlakukan qishas dengan dalil
bahwa nas al-Qur‟an yang memerintahkan hukum qishas berlaku secara umum.
Sedangkan hadis Nabi saw. yang menyatakan tidak boleh diberlakukannya hukum
87
Abī Isā Muhammad ibn Isā ibn Saurah, al-Jāmī al-Șahīh al-Tirmiżī (Beirut: Daar Ahyai
al-Turasi al-„Arabi, 1995), Juz.3, h.74
45
qishas tersebut ketika orang muslim membunuh orang kafir harb, bukan ahl
żimmah.88
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa diantara hak-hak yang harus diberikan
terhadap ahl żimmah adalah hak perlindungan dari ancaman pihak luar dār al-
Islām sehingga menjadi kewajiban bagi pemimpin kaum Muslim untuk melindungi
ahl żimmah, melepaskan tahanan mereka dan melindungi dari siapa saja yang
bermaksud untuk menyakiti ataupun membunuhnya selama mereka berada di
wilayah Islam. Ibn Taimiyah telah mencontohkannya ketika beliau berhadapan
dengan Timur Lenk, beliau menyatakan agar seluruh tawanan yang ada dalam
kekuasaannya harus dibebaskan. Kemudian Timur Lenk menawarkan untuk
membebaskan tawanan Islam saja kepada Ibn Taimiyah, namun beliau menolak
kecuali jika ahl żimmah juga turut dibebaskan.89
Argumen yang dilontarkan oleh Yusuf Qardhawi tidak lepas dari hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn „Umar r.a :
ش ع ، ع ش ث ع ، ع ؽص اخ، ع بعو، ؽذصب أث ع إع ع ث ؽذصب
صي للا عي خ سعى ر ، خ للا ثز أص ، قبه7 ع للا سض ف ى ، أ عي
ل نيفا إل طبقز ، سائ قبرو أ ، ذ ثع90
„Umar r.a. berkata: “dan aku wasiatkan hak kaum yang dilindungi
Allah dan Rasul-Nya (dzimmi), yaitu dikukuhkannya perjanjian
88
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Zimmah Menurut Yusuf Qardhawi, Tesis
Program Studi Filsafat Hukum Islam Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2017, h.109 89
Yūsuf al-Qardāwi, Ghair al-Muslimīn fī al-Mujtama‟(Kairo: Maktabah Wahbah, Cet.
ke-3, 1413 H/ 1992 M), h.8-9. 90
Abī „Abdillāh Muhammad ibn Isma‟īl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī (Beirut: Daar al-
Fikr, 2006), Juz.4, h.69
46
(damai) bagi mereka, dan mereka dibela dari belakang dan mereka
tidak dibebani selain yang disanggupinnya”. (HR. Bukhari).
Disamping perlindungan keamanan hidup, para ulama dari semua mazhab
telah bersepakat untuk melindungi harta benda kaum minoritas non-muslim (ahl
żimmah) yang hidup dibawah naungan kaum muslim. Umar ibn Khattab telah
berpesan kepada Abu „Ubaidah :
“Cegahlah kaum Muslim dari bertindak zhalim terhadap mereka
(ahl zimmah), mengganggu ataupun memakan harta mereka kecuali
dengan cara-cara yang menghalalkannya”.91
Siapa pun yang mencuri harta milik seorang ahl żimmah maka akan
dipotong tangannya, siapa yang merampasnya akan dihukum dan harta itu pun
akan dikembalikan kepada pemiliknya. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad
saw. sangat melarang keras melakukan tindakan kesewenang-wenang, merampas,
mencuri dan segala perilaku kekerasan serta perbuatan diskriminatif lainnya.92
Nabi Muhammad saw. telah menegaskannya dalam sebuah hadis :
ت ، ، أخجشب اث ش د اى دا ث ب ؽذصب عي ث ا صف ، أ ذ ؽذص أث صخش اى
خ ع د آثبئ أثبء أصؾبة سعه للا ملسو هيلع هللا ىلص ، ع عذح ، ، أخجش ع سعه للا صي عي
ذ عب ظي ئ ب للا عي عي قبه 7 أل ش أخز ، أ ق طبقز ميف ف زقص ، أ ا ا ، أ
ش طت فظ ، فأ خثغ اىقب 93 ب ؽغغ
Dari bapaknya mereka, Dinyah, dari bersabda Rasulallah saw.,
beliau berkata : Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap
91
Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam. Terj. Muhammad
al-Baqir. (Bandung: Karisma, 1994), cet. Ke-3. 35 92
H. A. R. Gibb, Mohammadanism, (New York: Mentor Books, 1955), 39. 93
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Kairo: Darul Hadits, 1998 H), Juz.3, h.170
47
orang yang terikat perjanjian, merendahkannya, membebaninya di
atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa
kerelaan darinya (merampas), maka aku adalah lawan bertikainya
pada Hari Kiamat”. (H.R. Abu Dawud)
Tampak jelas bahwa melalui hadis-hadis di atas kita dapat mengetahu dan
memahami bahwa hak yang meski didapat oleh ahl żimmah ketika ia berada
dibawah naungan kaum Muslim adalah mendapatkan hak perlindungan dan
keamanan hidup dengan tidak menganiayainya dan membunuhnya, serta hak
perlindungan harta dari rampasan, perampokan dan pencurian.
B. Kewajiban Ahl Żimmah; Membayar Jizyah
Disamping hak-hak yang diperoleh oleh ahl żimmah selama ia menjadi
tanggungan umat Islam, mereka juga memiliki kewajiban yang harus dilakukan
sebagai konsekuensi dari perjanjian yang telah disepakati bersama.94
Hadis Nabi saw. menjelaskan bahwa hak bagi seorang ahl żimmah adalah
mendapatkan perlindungan maupun keamanan dari asfek kehidupan dan asfek
harta. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan adalah membayar jizyah (pajak).
Kata jizyah merupakan bentuk kata pecahan dari kata al-jaza yang berarti
suatu imbalan atau balasan. Jizyah adalah sesuatu yang diwajibkan terhadap
harta yang dimiliki setiap individu dari golongan ahl żimmah (non muslim) yang
tinggal dalam kekuasaan Islam dan telah mengikat perjanjian dengannya.95
94
Yusuf Al-Qardhawi, Golongan Bukan Muslim Dalam Masyarakat Islam, (Angkatan
Belia Malaysia), 21. 95
Naili Rahmawati, Jizyah dan „Usyr Dalam Perekonomian Islam. Bisa dilihat dalam
https://alkalinkworld.files.wordpress.com/2009/11/jizyah-dan-e28098usyr.pdf
48
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh non-Muslim yang tinggal di dār
al-Islām (daerah Islam) kepada pemerintah Islam sebagai wujud loyalitas mereka
kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang
diberikan pemerintah Islam untuk mereka.96
Pengambilan jizyah dari ahl żimmah merupakan tindakan wajib yang harus
dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yag telah Rasulallah saw. lakukan. Sabda
beliau :
دبس ش ث ع أسطبح ع بط ث خ ؽذصب اىؾغ عب ع ؽذصب أث ذ ث ثغبىخ ؽذصب أؽ ع
برس فغبءب خ عي عب ذ مبرج ب ىغضء ث عجذح قبه م قجيل ث غط ظش ش ا مزبة ع
عي صي للا سعه للا ف أخجش أ ع ث ؽ عجذ اىش اىغضخ فإ أخز فخز عي
غط 97ش غ اىغضخ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani', telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan
kepada kami Al Hajjaj bin Arthah dari Amru bin Dinar dari Bajalah
bin Abdah ia berkata: "Aku adalah sekertaris Jaza' bin Mu'awiyah,
lalu datanglah surat Umar yang menyebutkan, "Perhatikanlah
orang-orang Majusi yang ada di sekitarmu, ambillah jizyah dari
mereka. Sesungguhnya 'Abdurrahman bin Auf telah mengabariku
bahwa Rasulullah saw. pernah mengambil jizyah dari orang-orang
Majusi penduduk Hajar.” (HR. Tirmidzi)
96
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), 278. 97
Abī Isā Muhammad ibn Isā ibn Saurah, al-Jāmī al-Șahīh al-Tirmiżī (Beirut: Daar Ahyai
al-Turasi al-„Arabi, 1995), Juz.3, h.241
49
Ibn Qayyim al-Jauziyah menuturkan bahwa para ulama bersepakat dalam
mengistilahkan jizyah dengan pajak kepala yang diwajibkan kepada semua non-
muslim dari kalangan laki-laki, merdeka dan sudah dewasa, sehat dan kuat, serta
masih mampu bekerja.98
Besarnya jumlah jizyah sangat relatif, tergantung pada
kebijaksanaan pemerintah. Pembayarannya pun bersifat fleksibel, tidak harus
dengan uang, melainkan dapat juga dibayar dengan hewan ternak dan hanya
diberlakukan sekali setahun.99
Pada masa Rasulullah saw., besarnya jizyah satu dinar per-tahun untuk
orang dewasa yang mampu membayar, sedangkan untuk perempuan, anak- anak,
pengemis, orang tua, penderita sakit jiwa, dan semua yang menderita sakit
dibebaskan dari kewajiban ini.100
Pada saat pengambilan jizyah, Negara wajib melakukannya secara baik,
tidak boleh disertai kekerasan, penyiksaan dan pemaksaan. Jizyah ini diambil
berdasarkan kemampuan ahl żimmah, bila ia tidak mampu untuk membayar,
Negara wajib untuk membantunya.101
Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khattab melihat seorang tua Yahudi yang
mengemis kepada orang-orang. Lalu Umar bertanya kepadanya tentang sebab ia
mengemis. Maka tahulah Umar bahwa usia tua dan kebutuhan hidup yang
98
Ibn Qayim al-Jaūziyah, Ahkām Ahl al-Dzimmah, Tahqīq: Sayyid „Imran, (Kairo:
Dār al-Hadīs, 1424/2003), 28-30 99
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), 278. 100
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: III IT, Cet.II,
2012), 31 101
Zainal Abidin dalam jurnalnya Akad Jizyah (dzimmah) yang diupload pada November
2017 dalam DinulQoyim.com
50
mendorongnya untuk mengemis. Lalu Umar membawa orangtua itu ke penjaga
Baitul Mal kaum Muslim dan memerintahkan agar diberikan kepadanya
kebutuhannya. Tentang hal itu, Umar berkata : “Hendaklah kita bertindak adil
kepadanya karena kita telah memungut jizyah darinya ketika ia masih muda, lalu
apakah kita akan menelantarkannya setelah ia tua ?102
Menurut usuf Qardhawi, jizyah adalah pajak tahunan yang diambil dari
setiap laki-laki yang sudah balig dan mampu dari ahl żimmah. Sedangkan orang
fakir dari kalangan żimmah tidak dibebani sedikitpun dari jizyah ini. Besar atu
kecilnya jizyah tersebut menurut Qardhawi adalah kebijakan pemimpin dan harus
ada perbedaan antara yang kaya raya, menengah dari segi kekayaan dan paling
rendaah dari segi kekayaan. Khalifah Umar menerapkan ukuran jizyah menurut tiga
(3) tingkatan, ahl żimmah ahl immah yang kaya raya harus membayar 48 dirham
setiap tahun, orang yang menengah harus membayar 24 dirha pertahun dan orang
paling rendah diwajibkan membayar 12 dirham pertahun.103
Penarikan jizyah ditentukan berdasarkan akad dan kebutuhan negara.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsmaini mengutarakan beberapa konsekuensi
akad ahl żimmah sebagai berikut :
1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan
semena-mena.
102
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Subuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad
Menurut al-Qur‟an dan Sunnah (Jakarta, Mizan, 2014), h.248 103
Muhammad Zaini, Hak dan Kewajiban Ahl Zimmah Menurut Yusuf Qardhawi, Tesis
Program Studi Filsafat Hukum Islam Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, 2017, h.121
51
2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi
mereka serta tidak mengganggu mereka
3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam
pada jiwa, harta dan kehormatan mereka
4. Wajib bagi pemerintah kaum Islam untuk menegakkan had (hukuman)
atas mereka dalam semua hal yang mereka yakini haram
5. Waajib bagi ahl zimmah untuk tampilbeda denagn kaum Muslimin
dalam berpakaian dan tidaak boleh menaampakkan sesuatu yang
dianggap mungkar dalam Islam
6. Kaum muslimin dilarang menyerupai mereka dan tidak boleh berdiri
menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara di
depan majlis kaum muslimin.
7. Kaum muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada
mereka
8. Kaum muslimin diperbolehkan menjenguk ahl zimmah yang sakit untuk
kemaslahatan.104
Adapun kewajiban membayar jizyah untuk masa sekarang ini, menurut
Abdul Karim Zidan sudah tidak berlaku lagi, mengingat kebanyakn ahl żimmah
sudah ikut serta dengan orang Islam (mayoritas) membela negaranya.105
Inilah
yang menyebabkan hal itu tidak berlaku lagi. Meskipun hal ini sudah tidaak
diberlakukan lagi namun tetap penting untuk dibahas karenaa kebanyakan ulama
104
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsmaini, Huququn Da‟at Ilaiha al-Fithrah wa
Qarraha (Madar al-Watha, 1427 H), Cet.1, hlm.26 105
Abdul Karim Zidan, Pengantar Studi Syari‟ah: Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam
(Rabbani Press, t.t), h. 157
52
beraanggapan bahwa penarikan jizyah merupakan bentuk sanksi yang diberikan
oleh negara Islam kepada ahl żimmah karena tidak mau masuk Islam.106
106
Abdul Karim Zidan, Pengantar Studi Syari’ah, h.146
53
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan terhadap hadis-hadis
Nabi saw., ahl żimmah yang tinggal di dalam Negara Islam berhak untuk
mendapatkan perlindungan, baik dari keamanan hidupnya maupun keamanan
hartanya.
Di samping hak-hak yang diperoleh olehnya selama ia menjadi tanggungan
Islam, ahl żimmah juga memiliki kewajiban sebagai konsekuensi dari perjanjian
yang telah disepakati bersama, yaitu membayar jizyah (pajak).
B. Saran
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu penulis mengharapkan dan menantikan adanya saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi perbaikan di lain waktu agar penelitian dalam
skripsi ini bisa menjadi lebih bermanfaat.
54
DAFTAR PUSTAKA
„Abidin, Hâsyiyyah Ibnu. ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-Abshâr.Riyadh:
Dar Alam al-Kutub. 2003.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Arief, Abd. Salam. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita;
Kajian Pemikiran Syaikh Mahmud Syaltut. Yogyakarta: LESFI. 2003.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2002.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyrî‟ al-Jana‟i al-Islâmi. Beirut: Dar Kutub al-Arabi.
1963.
al-Bukhari. Shahih al-Bukhai : Bab Yuqatal `an Ahl al-Dzimmah. Beirut: Dār Ibn
Katsir al-Yamamah, 1987 M/1407 H.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve. 1996.
Doi, Abdur Rahman. Non-Muslim Under Syari'ah. London: Taha Publisher. 1983.
al-Ghazali, Abū Hamīd. al-Wajīz fi Fiqh al-Imām al-Syāfī. Mesir: Muhammad
Mustafa. 1318 H.
55
Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan
Filsafat Mereka. Banjarmasin: Kafusari Press, 2012.
Haekal, Muhammad Khair. al-Jihâd wa al-Qitâl. Beirut: Darul Bayariq. 1996.
Hanbali, Ahmad. Musnad Imam Ahmad. Mishr: Mu‟assasat Qurthubah. Juz‟ VI.
Hasanah, Rif‟atul. Kerukunan Umat Beragama (Studi Kasus Pemahaman
Masyarakat Mustika Jaya Bekasi Terhadap Peraturan Bersama
Menteri No. 8 dan 9 tahun 2006). Magelang, PKBM Ngudi Ilmu.
2014.
Hawa, Said. al-Islām. Terj.Abdul Hayyi al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani
Press. 2004.
Hazm, Imam Ibnu. al-Muhalla bi al-Atsar. Tahqiq: Muhammad Munir Ad-
Dimasyqi - Ahmad Muhamad Syakir. Beirut: Dar Kutub „Ilmiah. 1427.
al-Hufi, Ahmad Muhammad.Samahah al-Islam. Kairo: Dār Nahdlah Misr. 1979.
Huwaydi, Fahmi. Muwathinun la Dzimmiyyun. Kairo: Dār el-Shorouq. 1999.
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama. 2001.
Ishaq, Mubith Muhammad. Fiqh Politik Hasan al-Bana, Jakarta, Robbana Press.
2012.
56
al-Jauziyah, Ibn Qayim Ahkām Ahl al-Dzimmah.Tahqīq: Sayyid „Imran. Kairo:
Dār al-Hadīs. 1424/ 2003.
Kalabi, Muhammad ibn Ahmad ibn al-Juza‟i. al-Qawānūn al-Fiqhiyyah fī Talkhiās
al-Mazhab al-Mālikiyyah. Beirut: Dār al-Qalam, t.t.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: III IT.
Cet.II.
Khalaf, „Abdul Wahhab. al-Siyâsah asy-Syar‟iyyah,. Beirut: Dar al-Kutub As-
Syar'iyyah. 1989.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitati. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2002.
M. Marmaduke Pickthall. War And Religion. Terj.M.Hashem. Cet.1. Bandung:
al-Ma‟arif, t.t.
Malik. al-Muwattha. Kairo: Maktabah al-Busyro. 1998.
al-Mawardi. Ahkâm as-Sulthâniyyah. Tahqiq: Dr. Ahmad Mubarok sl-Baghdadi.
Kuwait: Maktabah Dar Ibnu Qutaibah.1989.
Maududi, Abul A‟la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Terj. Asep
Hikmat. Bandung: Mizan. Cet.VI. 1998.
Mayer, Ann Elizabeth. Islam and Human Rights: Tradition and Politics. Colorado:
Westview Press, 1995.
57
Moh. Kasira. Metode Penelitian: Refleksi Pengembangan, Pemahaman, dan
Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Munawwar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta:
Penamadani. 2004.
Munawwir. Sikap Islam terhadap Kekerasan, Damai, Toleransi, dan Solidaritas.
Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
Murtada al-Husaini al-Zabidi. Taj al-„Arus min Jawahir al- Qamus. Jilid 28.
Kuwait: Hukumah al-Kuwait. 1385 H/ 1965.
Na‟im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law. Syracuse: Syracuse University Press.
1990.
al-Qardāwi, Yūsuf. Ghair al-Muslimīn fī al-Mujtama‟ al-Islāmiy. Kairo: Maktabah
Wahbah. Cet.ke-3,1413H/1992.
Raghib As-Sirjani, Solidaritas Islam Untuk Dunia, Terjemah: Ali Nurdin,
Bandung: Pustaka al-Kautsar, 2015.
Rizqullah, Mahdi. as-Sirah An-Nabawiyah fi Dhaui Al-Mashadir Al- Ashliyah, terj.
Sirah Nabawiyah, Jakarta: Perisai Qur‟an. 2012.
Sa‟di Abu Habib.al-Qâmûus al-Fiqh, Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. alih bahasa Nor Hasanuddin. Jakarta: Pena Pundi
Aksara. 2007.
58
Said, HA.Fuad. Ketatanegaraan Menurut Syariat Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 2002.
Saifuddin, Azwar. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Santoso, Topo Santoso. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari‟at
Dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Smith, Jonathan Z. The Happercollins Dictionary of Religion. New York:
American Academy. 1995.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta, 2007.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar NKRI 1945.
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sutrisno, Hadi. Metodologi Research. Yogyakarta: Fak.Psikologi UGM. 1990.
T.W. Arnold. The Preaching of Islam: A History of The Propagation of The
Muslim Faith, New York: Bibliotheca Persica Press. 1913.
al-Thabari, Abi Ja‟far Muhammad Ibn Jarir. Tafsir at-Thabari. Beirut: Dar Kutub
„Ilmiyah,.1998.
_________ Tarikh Thohir, Ajid. Sirah Nabawiyah, Nabi Muhammad SAW Dalam
Kajian Ilmu Sosial Humaniora. Bandung: Marja. 2004.
59
Wensinck, Arnold John. Mu‟jam al-Mufahras Li al-Fas al-Hadis al- Nabawi.
Leiden: Martabah Barbal. 1936.
Winarno Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik.
Bandung: Tarsita, 1990.
Yaacob, Abdul Monir dan dkk. Pemerintahan Islam dalam Masyarakat Majmuk.
Malaysia: Institut Kefamaman Malaysia (IKIM). 2000.
Yusuf, Abu. al-Kharâj. Qohiroh: Maktabah al-Salafiyah. 1971.
_________ Teori Politik Islam. Terj. Salahudin Abdullah. Bandung: al-Ma‟arif.
1960
Zada, Khamani dan Arief Arofah. Diskursus Politik Islam. Jakarta: LSIP. 2004.
al-Zawi, al-Tahir Ahmad. al-Qamus al-Muhit. Jilid 2. Saudi: Dār „Alam al- Kutub
li al-Nasyr wa al-Tawzi‟. 1417H/1996.
Zed, Mustika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Nasional,
2004
60
RIWAYAT HIDUP
Nama : Saufy Maulana
Tempat, Tanggal Lahir : Demak, 24 Maret 1992
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Ds. Manis Mata RT. 001 RW. 001. Kec. Manis Mata.
Kab. Ketapang Kalimantan Barat
Riwayat Pendidikan : MI Harjowinangun Demak
MTS Harjowinangun Demak
MA Gajah Demak
S1 Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Organisasi : PMII
HIQMA
Demikian sekilas riwayat hidup ini dibuat dengan belum sempurna.
Jakarta, 24 Desember 2017
Saufy Maulana
61