21
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM A. Pendahuluan Kaum istri dan suami di dalam rumah tangga mempunyai kewajiban masing-masing. Kaum wanita (istri) juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami. Kewajiban istri tidak terlepas dan tidak berbeda dengan para suami dari upaya yang menyangkut dalam pembentukan terciptanya kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri terdapat dalam kompilasi hukum Islam dan fikih. Dalam KHI terdapat dalam pasal 77 – 84. Pasal-pasal tersebut terbagi menjadi 6 kelompok, yaitu bagian umum pasal 77 – 78, kedudukan suami istri pasal 79, kewajiban suami pasal 80, tempat kediaman pasal 81, kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang pasal 82, dan kewajiban istri pasal 83 – 84. Pada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban suami istri yang terdapat dalam KHI tersebut di atas,

Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kompilasi Hukum Islam - Copy

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hukum Islam

Citation preview

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM

A. PendahuluanKaum istri dan suami di dalam rumah tangga mempunyai kewajiban masing-masing. Kaum wanita (istri) juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami. Kewajiban istri tidak terlepas dan tidak berbeda dengan para suami dari upaya yang menyangkut dalam pembentukan terciptanya kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri terdapat dalam kompilasi hukum Islam dan fikih. Dalam KHI terdapat dalam pasal 77 84. Pasal-pasal tersebut terbagi menjadi 6 kelompok, yaitu bagian umum pasal 77 78, kedudukan suami istri pasal 79, kewajiban suami pasal 80, tempat kediaman pasal 81, kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang pasal 82, dan kewajiban istri pasal 83 84. Pada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban suami istri yang terdapat dalam KHI tersebut di atas, terdapat aturan-aturan yang jelas dan baku mengenai status dan peran suami istri. Meskipun demikian, antara satu ayat dengan ayat yang lain terdapat persoalan yang layak dipertanyakan menyangkut pembagian peran dan pemaknaan peran dan status antara suami dan istri pada umumnya. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha menganalisa hak dan kewajiban suami istri yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam perspektif filsafat hukum Islam.

B. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Kompilasi Hukum Islam dan FikihHak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain sedangkan kewajiban merupakan apa yang semestinya dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Di dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan juga sebaliknya, istri juga mempunyai hak. Di balik itu, antara suami dan istri mempunyai beberapa kewajiban. Aturan mengenai hak dan kewajiban suami istri terdapat dalam kompilasi hukum Islam pasal 77 84. Pasal-pasal tersebut terbagi menjadi 6 kelompok, yaitu bagian umum pasal 77 78, kedudukan suami istri pasal 79, kewajiban suami pasal 80, tempat kediaman pasal 81, kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang pasal 82, dan kewajiban istri pasal 83 84. Ditemukan 3 kategori tentang hak dan kewajiban suami istri, yakni (1) hak dan kewajiban bersama, (2) kewajiban-kewajiban suami, (3) kewajiban-kewajiban istri. Adapun yang masuk kelompok kewajiban bersama terdapat 10, di antaranya:[footnoteRef:2] [2: Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004), hlm. 277 279. ]

1. Suami istri wajib menegakkan rumah tangga, dalam KHI pasal 77 ayat 1 menyatakan bahwa: suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. Kemudian dilanjutkan pasal 80 ayat 1 yang menyatakan bahwa: suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.2. Suami istri mempunyai hak yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat. Dalam KHI pasal 79 ayat 2 menyatakan bahwa: hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 3. Suami istri berhak melakukan perbuatan hukum, dalam KHI pasal 79 ayat 3 menyatakan bahwa masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.4. Musyawarah bersama dalam menentukan tempat tinggal (rumah). Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama. (KHI pasal 78 ayat 2).5. Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. (KHI pasal 77 ayat 2).6. Suami istri mempunyai hak gugat apabila salah satu melalaikan kewajibannya. Dalam KHI pasal 77 ayat 5 menyatakan bahwa jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.7. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.8. Masing-masing berhak menguasai dan menggunakan harta bawaan, hadiah, dan warisan masing-masing.9. Harus persetujuan bersama untuk menggunakan harta bersama dan kalau terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. 10. Keduanya harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Dalam KHI pasal 78 ayat 1 menyatakan bahwa suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Adapun kewajiban-kewajiban suami ada 4, yaitu: [footnoteRef:3] [3: Ibid., hlm. 280]

1. Suami wajib membimbing istri dalam kehidupan rumah tangga, dalam KHI pasal 80 ayat 1 menyatakan bahwa suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.2. Suami wajib melindungi istri dan memenuhi keperluan rumah tangga, dalam KHI pasal 80 ayat 2 menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Meliputi nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan, biaya pengobatan, dan biaya pendidikan. Dalam KHI pasal 80 ayat 4 menyatakan bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung (a) nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, (c) biaya pendidikan bagi anak. 3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan belajar. Dalam KHI pasal 80 ayat 3 menyatakan bahwa suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa. 4. Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak atau bekas istri yang masih dalam masa iddah. Dalam KHI pasal 81 ayat 1 menyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam masa iddah. Sementara kewajiban-kewajiban istri terhadap suaminya adalah:[footnoteRef:4] [4: Ibid., hlm. 281]

1. Istri wajib berbakti kepada suami. KHI pasal 83 ayat 1 menyatakan bahwa kewajiban bagi istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. 2. Istri wajib mengatur rumah tangga. Dalam KHI pasal 83 ayat 2 menyatakan bahwa istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, pada pasal 84 ayat 1 terdapat ancaman nusyuz bagi istri yang dianggap tidak mau melaksanakan kewajibannya. Selama nusyuz, suami terlepas dari tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya, kewajiban-kewajiban tersebut harus kembali dilaksanakan kembali ketika istri tidak lagi nusyuz. Ayat ini seakan memberatkan perempuan (istri) akan tetapi pada pasal 84 ayat 4 dijelaskan bahwa ketentuan nusyuz setidaknya seorang istri harus didasarkan atas bukti yang sah dan tidak semata-mata berdasarkan penilaian suami. Adapun pembahasan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam fikih terbagi menjadi 3 jenis, yaitu (1) hak dan kewajiban bersama, (2) hak istri yang menjadi kewajiban suami, (3) hak suami yang menjadi kewajiban istri. [footnoteRef:5] [5: Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Istri, (Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004), hlm. 242 263. ]

Adapun kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami adalah: 1. Memberikan nafkah lahir, suami wajib mencari nafkah untuk keperluan hidup istri dan anaknya. Adapun cara pembayaran nafkah secara prinsip dibayar per hari kecuali ada kesepakatan di antara suami istri untuk membayar dengan cara lain. 2. Memberi nafkah batin, suami diwajibkan memenuhi kebutuhan biologis atau batin istrinya dengan baik dan adil. Artinya, suami menggauli istrinya dengan santun dan berusaha memuaskan istri untuk mencapai puncak kenikmatan sanggama (orgasme). [footnoteRef:6] [6: Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Sholihah, (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 185.]

3. Mendidik istri atau keluarga, suami harus memberikan petunjuk dan pelajaran terhadap istri dan anaknya ke jalan yang benar dan baik, terutama masalah agama agar berkata dan bertindak sesuai dengan etika dan moral ajaran Islam. 4. Menyenangkan dan membahagiakan istri, suami wajib memberikan ketenangan batin kepada istrinya.

Kaum wanita (istri) juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami. Kewajiban istri tidak terlepas dan tidak berbeda dengan para suami dari upaya yang menyangkut dalam pembentukan terciptanya kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Maka dengan begitu, istri mempunyai kewajiban terhadap suami, yaitu sebagai berikut.1. Taat dan patuh kepada suami. 2. Memelihara kehormatan diri dan suami.3. Menyenangkan hati suami.4. Melayani kebutuhan biologis suami.5. Mengatur urusan rumah tangga.6. Tidak menerima tamu yang dibenci suami. [footnoteRef:7] [7: Ibid., hlm. 188 194. ]

Pemenuhan hak dan kewajiban antara suami atau istri secara timbal balik terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing yang harus dilaksanakan secara seimbang, seperti peranan istri untuk menciptakan ketenangan, ketenteraman, serta kasih sayang dalam rumah tangga harus diimbangi dengan peran suami dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai keluarga bahagia yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Pada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban suami istri yang terdapat dalam KHI tersebut di atas, terdapat aturan-aturan yang jelas dan baku mengenai status dan peran suami istri. Meskipun demikian, antara satu ayat dengan ayat yang lain terdapat persoalan yang layak dipertanyakan menyangkut pembagian peran dan pemaknaan peran dan status antara suami dan istri pada umumnya. Masalah hak dan kewajiban yang diatur dalam KHI yang dijelaskan pada pasal 77 86 pada bagian kedua yang menjelaskan kedudukan suami istri pasal 79 dijelaskan: (1) suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, (2) hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dari kandungan isi ketiga ayat dalam pasal 79 terdapat inkonsistensi. Dua ayat terakhir menyatakan kedudukan suami istri seimbang, baik dalam kehidupan di rumah tangga, masyarakat, dan tindakan hukum, namun bagaimana dikatakan seimbang, sementara ayat yang pertama terjadi penegasan bahwa kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Kata kepala memberikan kesan sosok yang memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh terhadap apa yang dikuasai bagi yang menyandang ungkapan kepala. Musdah mulia menjelaskan, penggunaan kata kepala dalam menjelaskan kedudukan suami mengandung konotasi kekuasaan dan terkesan otoriter sehingga tidak sah apabila masyarakat awam memandang suami identik dengan penguasa di dalam keluarga. Implikasi pemahaman seperti ini di dalam masyarakat antara lain suami sah-sah saja berkuasa secara otoriter di rumah tangga, termasuk mewajibkan isteri melakukan seluruh perlakuan dan kebutuhan dirinya lahir dan batin. [footnoteRef:8] [8: Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), hlm.148]

Kritik juga ditujukan kepada perumus KHI oleh Musda Mulia, yang mempertanyakan rujukan yang melegitimasi kedudukan suami sebagai kepala keluarga, sementara istri dinyatakan sebagai ibu rumah tangga. Jika istri dikatakan ibu rumah tangga, mengapa suami tidak dikatakan sebagai bapak rumah tangga atau bapak keluarga, sehingga kedudukan keduanya terlihat equal (setara) dan saling melengkapi. [footnoteRef:9] [9: Ibid.]

Pasal tersebut juga memberi justifikasi bahwa kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga (pemimpin), sehingga tugas mereka adalah di ranah publik. Sedangkan istri adalah sebagai ibu rumah tangga bertugas di ranah domestik, mengurusi anak dan suami. Pasal tersebut semakin melegitimasi berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi perempuan. Ketidakadilan termanifestasikan dalam lima bentuk ketidakadilan yaitu: pertama, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,. Kedua, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan. Ketiga, diskriminasi terhadap istri. Keempat, kekerasan dalam rumah tangga. Kelima, beban ganda yang harus dipikul oleh istri dalam rumah tangga.[footnoteRef:10] [10: Mansour Fakih, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 46-48]

Pada umumnya, pandangan bahwa suami sebagai kepala keluarga dalam masyarakat Islam dan menjadi rujukan dalam perumusan KHI yaitu didasarkan pada surat an-Nisa ayat 34: Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Berkaitan dengan ayat tersebut, ungkapan qowwamuna ala al-nisa yakni pemimpin bagi perempuan. Mayoritas ahli tafsir menempatkan superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam ayat tersebut dijelaskan alasan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan yaitu bahwa: pertama, Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian kaum perempuan. Kedua, karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian hartanya. Menurut Asghar Ali Enginer, pernyataan Al-Quran adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang mereka berikan. Masalah sesungguhnya di sini adalah masalah kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan laki-laki menganggap bahwa dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Al-Quran hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qowwam (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) tidak mengatakan bahwa mereka harus menjadi qowwam. Dapat dilihat qowwam merupakan sebuah pernyataan kontekstual bukan normatif. Seandainya Al-Quran mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qowwam, maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif.[footnoteRef:11] [11: Asghar Ali Enginer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 70 71. ]

Surat Annisa ayat 34 tersebut juga tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh tidak adanya penegasan terhadap kepemimpinan mutlak milik laki-laki. [footnoteRef:12] Masih terdapat pemahaman tentang kepemimpinan perempuan di kalangan masyarakat dan disertai hikmah-hikmah atau doktrin agama bahwa wanita tidak cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Hal ini didasari dengan alasan bahwa perempuan sangat halus perasaannya sehingga tidak mampu mengambil keputusan. [12: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: PARAMADINA, 1999) hlm. 150. ]

Penjelasan keunggulan laki-laki dalam ayat di atas bukanlah keunggulan jenis kelamin atau biologis tetapi keunggulan fungsional. Jadi apabila fungsi itu dipegang siami istri dengan begitu kepemimpinan rumah tangga dipegang secara kolektif. Dan apabila fungsi itu dipegang istri, maka kepemimpinan rumah tangga bukan terdapat di tangan suami melainkan istri. Pernyataan posisi suami sebagai kepala keluarga sesungguhnya mengingkari realitas yang terjadi di masyarakat karena pasal ini hanya mengakomodir satu pola bentuk keluarga yang terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anak. Realitas di masyarakat menunjukkan keragaman bentuk keluarga. Terdapat keluarga yang hanya terdiri atas satu orang tua, yaitu ibu (istri) disertai beberapa anak sehingga ibu mengambil peran sebagai kepala keluarga. Ada juga keluarga yang terdiri dari sejumlah anak yang ditinggalkan orang tua (ayah dan ibu) dan anak tertua perempuan berperan sebagai kepala keluarga. Artinya, secara de facto dalam masyarakat banyak dijumpai perempuan sebagai kepala keluarga walaupun secara de jure belum diakui. Fenomena akhir-akhir ini mempelihatkan peningkatan peran perempuan sebagai kepala keluarga. Hal ini yang kemudian memberikan anggapan adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Disadari atau tidak, pasal 79 ayat 1 tersebut melegitimasi dan memberikan ruang interpretasi yang tidak salah jika suami sebagai penguasanya di dalam keluarga dan istri harus mengikutinya. Sejalan dengan penjelasan di atas, secara jelas dan tegas pasal ini adalah suatu ketentuan yang bermakna gender, juga mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini semakin dipertegas dalam pasal 83 ayat 2: Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Pengukuhan pembagian tugas perempuan pada pasal tersebut mengarah kepada penjinakan, segresi ruang, dan depolitisasi perempuan. Kaum perempuan diletakkan pada posisi yang lemah, lebih rendah daripada kaum laki-laki. Hal tersebut merupakan konstruksi atau rekayasa sosial yang kemudian dikukuhkan menjadi kodrat kultural. Padahal kelebihan ketegaran fisik yang diberikan kepada kaum laki-laki bukan berarti laki-laki lebih kuat dan harus melindungi perempuan yang lemah. Dengan begitu, perempuan dianggap sebagai inferior dan sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa.

C. KesimpulanUntuk mencapai kebahagiaan rumah tangga, suami dan istri harus saling melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri dalam KHI secara tegas dan jelas adalah suatu ketentuan yang bermakna gender juga mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berkembang dalam masyarakat bukan berdasarkan potensi atau kemampuan masing-masing pasangan. Seperti yang ada di dalam masalah kedudukan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan seorang laki-laki atau suami sebagai kepala rumah tangga. Hal ini mengakibatkan perempuan hanya dijadikan sebagai manusia nomor dua dan tidak memiliki kewenangan untuk mengekspresikan dirinya sendiri di dalam perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA

Kompilasi Hukum Islam

Enginer, Asghar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Fakih, Mansour. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Indra, Hasbi dkk, Potret Wanita Sholihah, Jakarta: Penamadani, 2004.

Mulia, Siti Musdah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Kibar Press, 2006.

Nasution, Khoirudin. Hukum Perkawinan I Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2004.

Nasution, Khoiruddin, Islam tentang Relasi Suami dan Istri, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2004.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, Jakarta: PARAMADINA, 1999.