Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN SAMOSIR)
TESIS
O l e h
T I O R I S T A
067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN - KABUPATEN SAMOSIR)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara
O l e h
T I O R I S T A
067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis : HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI
KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR)
Nama Mahasiswa : T i o r i s t a Nomor Pokok : 067011100 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum) K e t u a
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) (Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota Ketua Program Studi Direktur (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc) Tanggal Lulus : 28 Agustus 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal, 28 Agustus 2008 ____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS: Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS.,C.N.
2. Syafnil Gani, S.H., M.Hum.
3. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.
4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya. Kata-kata kunci: Waris, Anak Perempuan, Batak Toba.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba. This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District. The result of the this study shows the position of women in the structure of kinship in Batak Toba community which is basically still different compared to that of men. As seen in the Batak parties, women are hardly seen sitting in the front row, getting involved in a discussion, and making decision. In the scope of smaller family meeting, the women (their daughters) have been allowed to talk but only in terms of introduction such as in the tardidi ceremony (giving a name to their child), and the mangapuli ceremony (amusing a grief family). The position of both sons and daughters has together got the right/share of the parants’ inheritance. Only, in terms
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Sub-district, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it. Key words : Heir, Daughter, Batak Toba.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi
Nama : T I O R I S T A Tempat / Tanggal lahir : Rantauprapat / 24 Desember 1969 Status : Kawin Alamat : Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan
II. Keluarga
Nama suami : Hayata Monro Munthe, ST Nama anak : 1. Joy Ophelia Munthe 2. Rafael Bagasta Munthe 3. Davin Leonardo Munthe Nama ayah : Jansen Sihaloho (Alm) Nama ibu : Rosinim br. Simarmata (Alm)
III. Pendidikan Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat. Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan. Tamat tahun 2008, S2 Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, di Medan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Sembah sujud dan puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa
di tahta-Nya yang Maha Kudus. Penulisan ini dapat diselesaikan bukan karena
kemampuan dan kepintaran saya, tapi hanya karena kasih karunia-Nyalah yang
menolong saya, sebab Dia-lah sumber pengetahuan dari segalanya.
Penulisan tesis ini berjudul “HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Di Kecamatan Pangururan -
Kabupaten Samosir)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan masuk, masukan dan saran. Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak
Komisi Pembimbing:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sebagai Anggota Komisi
Pembimbing.
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., merupakan Ketua Program
Pascasarjana Magister Kenotariatan. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
3. Syafnil Gani, SH.,M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik, juga arahan
juga petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul hingga
hasil penelitian, di mana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh
hasil yang maksimal.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen penguji
yang terhormat dan amat terpelajar yaitu:
1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.
2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Atas kesediannya untuk memberikan bimbingan arahan serta masukan
maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini, sejak tahap kolokium,
selesainya seminar hasil, sehingga penyelesaian tesis ini menjadi lebih terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku rektor
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi
penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Asisten Direktris, beserta
seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga
dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (M.Kn)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua program Magister
Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi
pada program Magister Kenotariatan (MKN).
4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku mantan Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, atas bantuan dalam
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi
pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
5. Pada Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya
pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan pengetahuan sehingga
dapat menyelesaikan studi ini.
6. Para Pegawai / karyawan pada program Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk
memperlancar wawasan administrasi yang diperlukan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
7. Bapak Christo Efrest Sitorus, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri
Tarutung, yang telah memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini.
8. Bapak Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo
Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho
(dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), selaku penetua adat, yang telah banyak
memberikan bantuan dan informasi tentang adat Batak yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini dan responden yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9. Kepada Sahabatku dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Hayata Monro
Munthe, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak
henti-hentinya, serta menemani dan membantu pengetikan serta mencari bahan
literatur kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya,
dan juga kepada anak-anakku yang tersayang Joy Ophelia Munthe, Rafael Bagasta
Munthe dan Davin Leonardo Munthe. Tak lupa ucapan terima kasih dan sayang
penulis kepada orangtuaku Jansen Sihaloho (Alm) dan Rosinim br. Simarmata
(Alm), dan ibu mertuaku S.br. Siringo-ringo, juga saudara dan iparku:
R.br.Haloho/Ir.T.Sitanggang, A.Sihaloho/N.br.Simorangkir, P.Sihaloho/ SW.
br.Simarmata, AO.Sihaloho/R.br.Simarmata, PH.Sihaloho, Amd/ D.br.Saragih,
SS, FH. Sihaloho, SH, karena berkat doa dan dorongan merekalah, penulis bisa
melanjutkan studi S2 (strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dan akhirnya dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Medan, 28 Agustus 2008
Penulis,
T i o r i s t a
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
DAFTAR ISTILAH ................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Pemasalahan ........................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian.................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8
E. Keaslian Penelitian ................................................................. 8
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi................................................ 9
1. Kerangka Teori................................................................ 9
2. Konsepsional ................................................................... 15
G. Metode Penelitian................................................................... 20
BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN
PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR .......................... 25
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................... 25
1. Sejarah Berdiri ................................................................ 27
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Penduduk......................................................................... 39
B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba.............. 40
1. Sejarah Batak .................................................................. 40
2. Sistem Kekerabatan......................................................... 41
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM
HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK
TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN
KABUPATEN SAMOSIR........................................................ 54
A. Kedudukannya Dalam Keluarga. .......................................... 54
B. Hak Mewaris Anak Perempuan............................................. 62
BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI
KECAMATAN PANGURURAN
KABUPATEN SAMOSIR ........................................................ 81
A. Perkembangan Saat ini.......................................................... 81
B. Penyelesaian Sengketa Warisan............................................ 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 104
A. Kesimpulan ........................................................................... 104
B. Saran...................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 106
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005......................................... 31
2 Struktur Kekerabatan Batak Toba.......................................................... 46
3 Kedudukan Anak Perempuan.................................................................. 61
4 Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris........................................ 70
5 Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan............................... 76
6 Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris.................................... 88
7 Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan................................ 89
8 Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka ................................ 92
9 Sengketa Waris Anak Perempuan........................................................... 100
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Peta Wilayah Samosir ............................................................................ 109
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISTILAH Anak : anak laki-laki/putra. Arta panjaean : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah. Boru : anak perempuan/putri. Boruki : putriku Dalihan Na Tolu : tiga tungku. Dongan tubu : kelompok saudara dalam satu marga. Elek marboru : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari semarga. Hagabeon : punya banyak anak. Hamoraon : punya kekayaan. Hasangapon : punya kedudukan. Hasomalon : kebiasaan. Hela : menantu laki-laki. Manat mar dongan tubu : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak. Maranak : mempunyai anak putra. Marhata sinamot : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. Martarombo/martutur : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. Matrilineal : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Parental : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu. Patrilineal : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); Raja parhata : juru bicara dalam adat. Sari matua : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga. Saur matua : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Somba mar hula hula : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Taruhon : mengantar. Umpama/Umpasa : pantun.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum
menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di
berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum.
Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4
Tahun 1999 adalah:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi
Ketiga, Jakarta, 2005, hal. 353, gender berarti jenis kelamin.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan:
”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”.2
Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang
mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari
beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum
waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung
pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut
menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa:
”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.3
Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas
berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut
2Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, 1976, hal. 251. 3Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, hal. 2.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu.
Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi
sosial”.4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup
menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.
Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan
meninggal dunia di dalam masyarakat”.5
”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”.6
Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya,
sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk
hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan
perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka
secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum
yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
4H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41. 5Ibid.
6Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama
mungkin”.7
Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan formal yang bersifat nyata baik bagi
kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum. Menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP)
telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang
wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya
perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tali perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir
akan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar
perkawinan seperti yang dimaksud di atas.
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan. Kematian merupakan hal yang tak terelakkan bagi manusia. Pada saat
kematian itu datang, maka akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam
bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di
tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan
yaitu para ahli waris dari si meninggal.
7Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988, hal. 97.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pewarisan bisa terjadi terjadi bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan
mereka yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dan harus memenuhi Pasal 2 ayat (2) UUP yang
menghendaki tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan
yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indoenesia
dibedakan tiga kelompok yaitu:
1. Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak);
2. Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu);
3. Susunan kekeluargaan parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.8
Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender9,
yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum
laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang
8Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1987, hal. 129-130. 9Sr. Alfocine Idarmeiaty Sianturi, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI,
PPU, 2008, hal. 1., Jender adalah suatu konsep tentang perempuan atau laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat, waktu, golongan masyarakat, perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan agama. Perbedaan jender antara lain: perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan sabar dan peka, laki-laki berani; perempuan emosional, laki-laki rasional.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern
ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”.10
Masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli,
Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap
bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada
anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun
penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Sebaliknya, anak perempuannya
nantinya akan ”dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga
suaminya.
Dalam masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Batak Toba di
Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, bahwa anak laki-laki saja yang berhak
mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus
marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi
penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak
mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya.
Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan
Batak Toba ?.
Maka dalam perkembangan saat ini perlu dilakukan penelitian tentang hak
mewaris anak perempuan terhadap harta peninggalan orangtuanya, khususnya di
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
10James P. Pardede, Berbagi Peran Dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap
Perempuan, Harian Analisa, tanggal 27 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
B. Permasalahan
Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :
1. Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir ?
2. Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
3. Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak
Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
3. Untuk mengetahui pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu
pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya
tentang hukum waris adat pada masyarakat Batak Toba.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat,
masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam
kedudukan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat
Batak Toba.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Hak
Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan
Pangururan-Kabupaten Samosir), belum pernah dilakukan.
Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P., mahasiswa Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan
penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada
Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II
Kecamatan Medan Kota- Kota Medan) yang membahas:
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak
waris anak perempuan dan janda ?
2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum
adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?
3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak
perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?
Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena
penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini
akan berbeda.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi”11, dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”.12 “Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis”13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat
Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).
11J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 12Ibid., hal. 16. 13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam
penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan
penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu
hukum waris adat yang hidup14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri.
Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu
mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan
kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam
masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional,
merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus
yang ingin atau yang akan diteliti”.15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat
dengan harta perkawinan.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa
14Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988,
hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indnesia (UI Press), Jakarta, 1984, hal. 132.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.
Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak16 sejak dalam kandungan
sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah
laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli
waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak
mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.
Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat
waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris
harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat
Batak pada umumnya”.17 Titik tolak anggapan tersebut adalah:
a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.
b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara
dari suaminya yang meninggal.
c. Perempuan tidak mendapat warisan.
16Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum
Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris; anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata.
17Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 65.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Walaupun demikian, kenyataannya anak laki-laki merupakan ahli waris pada
masyarakat patrilineal dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:
a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki (anak perempuan tidak
melanjutkan silsilah).
b. Dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga.
c. Anak perempuan tidak dapat mewakili orangtuanya karena ia nantinya masuk
dalam anggota keluarga suaminya.
Di dalam masyarakat patrilineal khususnya Batak Toba, apabila anak
perempuan sudah kawin, ia dianggap tergolong kelompok suaminya. Dalam
masyarakat Batak Toba, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan
parboru (contohnya: bila ada acara adat, yang salah satu pihak semarga dengan anak
perempuan tersebut maka dia menjadi pihak parboru).
Namun dalam perkembangannya saat ini, peranan anak perempuan/kaum
wanita sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan
ekonomi, pertanian perdagangan, bahkan menteri dan lapangan lainnya. Akan tetapi
walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dapat
dilihat dalam peranannya di dalam masyarakat.
Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang telah
meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu
diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum
adat perkawinan Batak Toba yang mamakai marga itu berlaku keturunan patrilienal,
maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak
laki-laki yang merupakan ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi anak laki-laki
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian sebaliknya.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa orangtua (pewaris) bebas menentukan untuk
membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orangtua
yang tidak membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris pada
masyarakat Patrilineal, terdiri atas:
a. Anak laki-laki.
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta
kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan
pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan istri, maka
harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun istri
seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya.
b. Anak angkat.
Anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian/harta bersama orangtua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c. Ayah dan ibu serta saudara-sudara sekandung si pewaris.
Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang
menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si
pewaris yang mewaris bersama-sama.
d. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara
sekandung pewaris dan ayah ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai
ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e. Persekutuan Adat.
Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka
harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.
Berkaitan dengan hukum adat waris yang hanya mengakui anak laki-laki
sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember
1961 No.179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak antara laki-laki
dengan perempuan di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak
mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal
tersebut.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam
putusan tersebut, antara lain:
a. “Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas
anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,
bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan
yang ditinggalkan oleh orangtuanya”.
b. “Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa
prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara
wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama
berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak
perempuan”.
c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah
Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus
dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”.
2. Konsepsional
Konsepsi adalah :
Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”.18
Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum
waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah
“hukum warisan”.19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan”20 dan
Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”.21
Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang
penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,
18Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.
19Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8. 20Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1 21Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996, hal. 72.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari
hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo.
Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut:
Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.22
Sedangkan menurut J. Satrio bahwa:
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.23
Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris
sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut
“hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad-
22A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,
1990, hal. 1. 23J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi.24
Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena:
1) adanya orang yang meninggal,
2) adanya harta yang ditinggalkan,
3) adanya ahli waris.
Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah
dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami
kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang
berkaitan dengan hukum waris, antara lain:
a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka.
c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan. d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan. f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.25
Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan
sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat
variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal
dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan
24K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1960, hal. 197. 25Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit, hal. 1269.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
sebagai lembaga kekayaan bersama. Misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang
laki-laki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini
juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. Sebab kekayaan yang timbul dalam
perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri.
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada
sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut juga
diatur dalam Pasal 35 UUP sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta
benda dalam perkawinan menurut UUP, yaitu:
1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal
darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari
isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri.
2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri
kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan.
Berdasarkan definisi ayat (1) Pasal 35 UUP yang disebut harta bersama ialah
harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini
pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta
pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang
biasa disebut harta syarikat.
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam harta benda dalam
perkawinan, yaitu :
1) Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu
didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama
suami-isteri.
2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri
kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan.
b. Ahli waris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris.
c. Menurut UUP Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang
kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya.
d. Kedudukan anak tersebut dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP selanjutnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
e. Menurut UUP, yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).
f. Harta warisan dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. (Pasal 35 UUP).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
seseorang yang telah meninggal dunia.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya”.26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan
metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah
yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif 27,
deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat
Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak
perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem
pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,28 dilakukan
guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba,
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian
26Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43. 27Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.. 28Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 14.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir, dengan alasan serta pertimbangan sebagai berikut:
a. Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir yang baru
dimekarkan pada tahun 2002. Kecamatan Pangururan berada di tengah-
tengah pulau Samosir (dikelilingi danau toba).
b. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan masih menjunjung
tinggi hukum adat termasuk hukum waris adat.
c. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan relatif banyak
melakukan urban29 ke Kota Medan dan kota besar lainnya.
3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh orang Batak Toba yang bertempat tinggal
di Kecamatan Pangururan dari 28 desa/kelurahan yang ada di kecamatan tersebut
diambil 5 desa/kelurahan sebagai desa sampel.
Responden penelitian adalah orang yang diharapkan dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan di atas. Dari
jumlah populasi 28.428 jiwa yang dijadikan responden sebanyak 30 orang.
29Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1252, urban berarti perpindahan penduduk
dari desa ke kota.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Responden tersebut di 5 (lima) Desa. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui
penarikan sampel yang bersifat purposive sampling30, yaitu berdasarkan
pertimbangan peneliti antara lain data responden dianggap dapat terwakili dan lokasi
penelitian yang luas, adanya keengganan masyarakat untuk dijadikan responden.
Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 5 (lima) desa diambil responden
secara merata. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan pada pertimbangan dana,
tenaga dan waktu yang terbatas.
Dalam mendukung data primer, diperlukan informan yaitu:
a. Hakim Pengadilan Negeri 1 (satu) orang : Christo Efrest Sitorus,
b. Tokoh Adat 3 (tiga) orang: Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam
Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon),
Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho).
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 (dua) cara yaitu :
30Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel
bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama,
b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi,
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,
mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-
undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun
data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada
responden maupun informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan
sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terstruktur, agar
lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang
diteliti.
5. Alat Pengumpulan Data
Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan:
a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang
berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas
dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan
dengan hukum waris adat Batak Toba.
b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai pihak-pihak yang terkait
yang berhubungan dengan permasalahan ini seperti hakim, dan tokoh
adat. Sebelum dilakukan wawancara maka terlebih dahulu membuat
pedoman wawancara agar pelaksanaan di lapangan menjadi lancar.
c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang
diberikan kepada responden.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
6. Analisis Data
Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut dianalisis dengan
cara kualifikasi sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.31
Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis
dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara
kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan
pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka
diketahui struktur kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, kedudukan anak
perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem
pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka diperoleh suatu
kesimpulan sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang diteliti.
31Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,
hal. 3.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi
pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting
karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu:
1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam).
2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri.
3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen).32
Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan
belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak: a. Tanah Gajo (Gajo Lueus); b. Tanah Alas; c. Tanah Batak (Tapanuli): 1). Tapanuli Utara: a). Batak Pakpak (Barus); b). Batak Karo; c). Batak Simalungun; d). Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Djulu). 2). Tapanuli Selatan: a). Padan Lawas (Tano Sapandjang); b). Angkola; c). Mandailing (Sayurmatinggi).
32Iman Soediyat, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969, hal. 51.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2.a Nias (Nias-Selatan). 3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji). 3.a Mentawai (orang Pagai).
4. Sumatera Selatan: a. Bengkulu (Redjang); b. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung Bawang); c. Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo); d. Jambi (Batin dan Penghulu). 4.a Enggano. 5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung. 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan Dayan Tajan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak Maanjan Patai, Dayak Maanjan Siung, Dayak Ngadju, Dayak Ot Danun, Dayak Penjabung Punan). 8. Minahasa (Menado). 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo). 10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Salaiar, Muna). 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar). 14. Irian. 15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa). 17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta). 19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).33 Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar
menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama
33Iman Soediyat, Ibid, hal. 52-53.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai
persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang.
“Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”.34
Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan
makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan
untuk mengadakan unifikasi hukum di Indonesia”.35 Lebih jauh, Iman Sudiyat
mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan
hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36
1. Sejarah Berdiri37
Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah
untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status
34The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak
Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 36Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 37Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
daerah otonom baru, diharapkan akan memperoleh peluang untuk mengurus
daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu Kabupaten yang menjadi agenda pemekaran Kabupaten Toba
Samosir adalah membentuk Kabupaten Samosir, yang berada di tengah-tengah
Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kajian peningkatan pemekaran Kabupaten Toba
Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan,
mengingat sudah waktunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Oleh karena itu, kajian dan penelitian data perlu dilakukan untuk
mendapatkan penilaian objektif dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku
mengingat bahwa pengelolaan potensi kekayaan yang ada di daerah memerlukan
kajian dan pengaturan yang rasional, profesional dan bertanggung jawab sesuai
dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.
Aspirasi masyarakat untuk memekarkan Kabupaten Samosir menjadi 2 (dua)
Kabupaten, didasarkan pada desakan masyarakat wilayah Samosir dan DPRD
Kabupaten Toba Samosir, maka Kabupaten Toba Samosir diusulkan dan
direncanakan pemekarannya yaitu:
a. Kabupaten Toba Samosir (Induk) terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan
yaitu Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea,
Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Kecamatan
Borbor.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
b. Kabupaten Samosir (Calon) terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu
Kecamatan Pangururan, Sianjur, Mulamula, Simanindo, Nainggolan,
Onan Runggu, Palipi, Ajibata, dan Sitio-tio.
Sesuai dengan aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan
kepada DPRD Kabupaten Toba Samosir dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah ditindaklajuti aspirasi masyarakat
tersebut dengan:
Keputusan DPRD Kebupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Kabupaten Samosir tanggal 20 Juni 2002. Surat Bupati Toba Samosir
Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002 yang ditujukan kepada Gubernur
Sumatera Utara. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3
Juli 2002 perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk
Kabupaten Samosir, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Setiap
argumentasi dan usulan DPRD dan Bupati Toba Samosir, usulan ini diakomodir
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai tanggal 18 Desember 2003.
Terbentuknya Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal
untuk melalui percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Tujuan pembentukannya adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka
perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk merespon
serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat
proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan
kabupaten lainnya, sehingga secara langsung akan mengangkat harkat hidup
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat yang ada di Kabupaten Samosir pada khususnya, Provinsi Sumatera Utara
pada umumnya.
Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha,
terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha. Luas
dan batas perairan di kawasan Danau Toba belum ada ketentuan yang pasti. Namun
mengingat Pulau Samosir tepat berada dan dikelilingi oleh Danau Toba, secara
proporsional luas perairan Danau Toba yang menjadi bahagian daerah Kabupaten
Samosir sewajarnyalah merupakan bahagian yang terluas dibandingkan dengan enam
kabupaten-kabupaten lainnya di sekeliling perairan Danau Toba.
Posisi geografis Kabupaten Samosir berada pada 2°24’ - 2°45’ Lintang Utara
dan 98°21’- 99°55’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh
tujuh kabupaten, yaitu:
Sebelah Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun,
Sebelah Timur : Kabupaten Toba Samosir,
Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas,
Sebelah Barat : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.
Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 kecamatan berada di Pulau
Samosir di tengah Danau Toba dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba
tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Kecamatan Pangururan yang
merupakan bagian dari Wilayah Kabupaten Samosir ( juga merupakan salah satu dari
19 (sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat di atas).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan data statistik luas wilayah Kabupaten Samosir yang dibagi
menurut daerah masing-masing adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 No. Kecamatan LuasWilayah
(km2) Rumah
Tangga (KK) Penduduk
(jiwa) Kepadatan (org/km2)
1 Sianjur Mula-mula 140,24 2.131 10.367 74 2 Harian 394,60 2.354 11.556 29 3 Sitio-tio 249,31 2.250 10.960 61 4 Nainggolan 87,86 2.920 18.153 207 5 Onan Runggu 59,14 2.566 14.164 239 6 Palipi 143,40 2.189 12.086 161 7 Pangururan 84,65 5.369 24.817 293 8 Ronggur Nihuta 87,15 1.717 7.350 84 9 Simanindo 198,20 4.158 20.625 104 JUMLAH 1.444,25 25.654 130.078 90
Sumber: Kantor Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005.
a. Kondisi Sosial Budaya
Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya masyarakat di
Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh
kebudayaan dan agama serta adat istiadat yang ada di daerah tersebut.
Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan dengan jumlah penduduk Tahun 2004
sebanyak 130.078 jiwa (63.741 orang laki-laki dan 66.337 orang perempuan).
Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Samosir secara umum adalah
sekitar 90 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Pangururan
sebanyak 293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harian
sebesar 29 jiwa/km2.
b. Pertumbuhan Penduduk.
Berdasarkan angka hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk
Berkelanjutan (P4B) tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Samosir berjumlah
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
119.254, sedangkan jumlah penduduk tahun 2004 berjumlah 130.078, dengan
demikian laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2003 - 2004 adalah 9
persen.
c. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
Berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Samosir tergolong dalam
struktur umur muda. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk usia muda (0-14
tahun ) yang cukup besar, yaitu 36,72 persen. Besaran penduduk usia muda dan usia
lanjut (65 + tahun ) merupakan beban tanggungan bagi penduduk usia produktif (14-
64 tahun ), di mana persentase penduduk usia produktif tahun 2003 sebesar 55,46
persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa kelompok umur muda perlu
mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan tenaga-
tenaga terampil dan mandiri untuk mengisi pembangunan di masa yang akan datang.
Besarnya jumlah penduduk usia muda ini, berimplikasi pada beban
tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar. Secara kasar angka ini
dapat digunakan sebagai indikator pengukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Rasio
ini menyatakan perbandingan penduduk berusia dibawah 15 tahun dan diatas 65
tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah penduduk
berusia 15 sampai 65 tahun yang dianggap produktif secara ekonomi. Makin tinggi
rasio beban tanggungan berarti semakin kecil jumlah penduduk produktif dan
semakin banyak sumber daya yang harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif.
Beban tanggungan anak di Kabupaten Samosir pada tahun 2003 sebesar 75,08 dan
beban tanggungan usia lanjut sebesar 5,21. Hal ini bahwa setiap 100 orang penduduk
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
usia produktif menanggung sekitar 75,08 orang anak dan 5,21 orang usia lanjut.
Dengan kata lain bahwa beban tanggungan di Kabupaten Samosir masih cukup besar
yaitu mencapai 80,29. Tingginya beban tanggungan ini diduga akibat adanya
perpindahan penduduk usia produktif ke daerah lain dengan tujuan bekerja atau
melanjutkan sekolah.
d. Distribusi menurut Tingkat Pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam
pembangunan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan hakekat
pendidikan itu sendiri, yakni merupakan usaha sadar untuk pengembangan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur
hidup.
Keadaan tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Samosir
berdasarkan hasil Susenas 2003, menunjukkan persentase penduduk usia 10 tahun ke
atas yang berhasil menamatkan pendidikan SD sampai dengan perguruan Tinggi
sebesar 76,40 persen, selebihnya sekitar 23,60 persen adalah mereka yang
berpendidikan SD ke bawah (3,60 persen yang tidak/belum pernah bersekolah dan
20,00 persen yang tidak/belum tamat SD). Dari mereka yang telah menamatkan
paling tidak SD tersebut, hanya sekitar 1,50 persen yang tamat diploma/Sarjana dan
50,80 persen tamat pendidikan menengah (21,20 persen tamat SMTP dan 29,60
persen tamat SMTA). Di satu sisi, dari setiap 1.000 orang berusia 10 tahun ke atas,
sekitar 15 orang diantaranya berpendidikan Tingkat Diploma hingga sarjana.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Keadaan ini dapat dianggap rendah, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh migrasi
penduduk yang telah menyandang gelar Diploma atau sarjana untuk mencari
pekerjaan atau penghidupan yang lebih layak ke daerah/kota lain.
e. Agama.
Walaupun Mayoritas jumlah penduduk di Kabupaten Samosir adalah Agama
Kristen Protestan dan Agama Katolik, namun kerukunan antara umat beragama
tumbuh dan berkembang dengan baik untuk menunjang Pembangunan Daerah
Kabupaten Samosir, serta diupayakan perbaikan prasarana dan sarana ibadah
keagamaan sesuai dengan perkembangan umat beragama di Kabupaten samosir.
f. Etnis dan Suku.
Jumlah Etnis dan Suku yang ada di Kabupaten Samosir adalah 6 etnis (Batak
Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Minang, Batak Toba).
g. Angka Kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2000-
2004. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan, keadaan ini mengalami kenaikan menjadi 41 % pada tahun 2004 atau
naik sekitar 18 %. Secara absolut jumlah penduduk miskin pada periode 2000-2004
mengalami kenaikan sebesar 20.070 Jiwa.
h. Angka Pengangguran.
Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten
Samosir, maka secara singkat keadaan ketenagakerjaan dilihat dari penduduk usia
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Penduduk usia kerja (10
keatas) digolongkan sebagai:
1) Angkatan kerja, bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan dan secara
ekonomis berpotensi menghasilkan out-put atau pendapatan, dan;
2) Bukan angkatan kerja, bila mereka bersekolah, mengurus rumah tangga, dan
lainnya. Semakin tinggi Tingkat Partipasi Angkatan Kerja (TPAK) berarti
semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun keatas dalam pasar kerja.
“Persentase penduduk usia kerja di Kabupaten Samosir yang bekerja adalah sebesar 80,16 %, dimana pria sebesar 79,71 % dan wanita sebesar 80,57 % sedangkan penduduk usia kerja yang mencari kerja adalah sebanyak 0,83 %. TPAK Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003 adalah sebesar 81,82 %. TPAK laki-laki lebih tinggi dari TPAK wanita, hal ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat dalam pasar kerja. Adapun TPAK Laki-laki sebesar 81,18 dan TPAK wanita 80,80. Tingkat pengangguran terbuka penduduk laki-laki sebanyak 1,85 % dan penduduk wanita sebesar 0,29 %, sehinggga tingkat pengangguran terbuka secara umum sebesar 1,04%”.38
i. Kinerja Sektor
1). Pertanian.
Salah satu pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah
terciptanya “pertanian yang maju” Hal ini menunjukan tekad dan kemauan
Pemerintah Kabupaten Samosir dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian
besar penduduk Kabupaten Samosir menggantungkan hidupnya dari sector ini. Sektor
pertanian menjadi andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Tahun
38Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2003 sektor peretanian memberi kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan
PDRB Kabupaten Samosir, yaitu 55,47 persen.
Untuk luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten
Samosir tahun 2002, Pangururan merupakan kecamatan dengan luas lahan sawah dan
lahan kering terluas, yaitu mencapai 21.972 Ha. Sedangkan Simanindo merupakan
yang memiliki luas lahan baik sawah dan lahan kering terkecil, yaitu 1.183 Ha.
2). Perikanan.
Kegiatan usaha perikanan umumnya dikelola dan diusahakan masyarakat
sebagai usaha rumah tangga. Budidaya ikan merupakan salah satu usaha perikanan
yang cukup potensial di Kabupaten Samosir. Kegiatan budidaya ini biasanya
dilakukan di kolam, sawah, kolam air deras, jaring apung dan usaha tempat
pembenihan. Di Kabupaten Samosir jenis budi daya yang memiliki lahan terluas
adalah jaring apung dengan luas 2.808 ha. Sedangkan untuk produksi ikannya, dari
jaring apung dihasilkan ikan sebanyak 615,06 ton, dari sawah sebanyak 9,10 ton dari
kolam sebanyak 4,88 ton.
3). Perkebunan.
Untuk mengopotimalkan hasil perkebunan rakyat perlu adanya peningkatan
usaha peremajaan dan rehabilitasi perkebunan rakyat, peningkatan intensifikasi
tanaman perkebunan, pengadaan bibit unggul, pengendalian hama dan penyakit
terpadu, mengadakan penyuluhan secara terpadu, perluasan areal perkebunan,
meningkatkan pemasaran hasil perkebunan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
“Kopi merupakan komoditi yang diminati masyarakat, hal ini terlihat dari luasnya areal yang ditanami dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Tahun 2003 luas tanaman kopi seluas 835,7 Ha, dengan produksi yang dihasilkan sebesar 469,2 ton dan produktivitas 561,4 kg/ha. Luas tanaman kelapa tahun 2003 seluas 348,5 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 41,38 ton dan produktivitas 118,7 kg/ha. Luas tanaman kulit manis tahun 2003 seluas 6,74 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 3,45 ton dan produktivitas 511,9 kg/ha. Luas tanaman kemiri tahun 2003 seluas 341 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 102,2 ton dan produktivitas 299,7 ka/ha. Sedangkan luas tanaman kakao tahun 2003 seluas 2,15 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 0,932 ton dan produktivitas 433,5 kg/ha. Industri dan Perdagangan”.39
Dari struktur organisasi lembaga dinas dan teknis di Kabupaten Samosir untuk
sector industri dan perdagangan di tangani langsung oleh Dinas Perindustrian,
Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian
Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir. Sesuai dengan rencana strategis, maka
prioritas pembangunan adalah Penataan dan pengembangan sektor industri,
perdagangan, pertambangan, jasa, koperasi, usaha kecil dan usaha menengah dalam
rangka penumbuhan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Serta penataan
dan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang dan wilayah
serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan terutama kawasan
hutan dan perairan Danau Toba.
Dari penjelasan di atas, yang telah dan akan dilakukan Instansi terkait
khususnya Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil
Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir adalah
mengembangkan industri hasil hutan (Agroforestri), meningkatkan pembinaan
39Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
industri kecil dengan mengadakan pelatihan kepada pelaku usaha yang tergabung
dalam UKM dan Koperasi dengan pemanfaatan tehnologi tepat guna untuk
meningkatkan produktivitas dan mendatangkan para Pakar dari Departemen dan
Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan
pemahaman tentang perencanaan usaha dan melakukan studi kelayakan usaha. Untuk
menjaga kelestarian alam lingkungan kawasan hutan dan perairan Danau Toba perlu
mengadakan penataan pembuangan air limbah, pengendalian dan pemanfaatan
enceng gondok di kawasan Danau Toba, penanggulangan lahan kritis/gundul,
pencegahan penebangan liar, penataan sanitasi perkotaan.
4). Pariwisata.
Potensi yang dimiliki Kabupaten Samosir, seperti kekayaan sumber daya alam
(hutan, barang tambang), panorama yang indah dan keunikan Danau Toba serta
kekayaan seni budaya dapat dijadikan objek pariwisata yang menguntungkan.
Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata untuk
menggalakkan kegiatan perekonomian, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa bagi kabupaten.
Pemerintah Kabupaten Samosir sangat peduli terhadap pembangunan sektor ini untuk
menjadikan “Pariwisata yang indah di Samosir”.
Tersedianya prasarana seperti hotel dan akomodasi menjadi faktor yang
sangat penting dalam mendukung pembangunan kepariwisataan. Jumlah hotel di
Kabupaten Samosir tahun 2003 sebanyak 86 buah, dengan 1.365 kamar dan 2.803
tempat tidur. Konsenterasi hotel dan akomodasi terbanyak terdapat di Kecamatan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Simanindo dengan 77 hotel dengan 1.241 kamar dan 2.553 tempat tidur. Hal ini
karena Kecamatan Simanindo merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang
menarik di Kabupaten Samosir. Berikut data Jumlah Hotel dan akomodasi di
Kabupaten Samosir.
Untuk menarik daya minat wisatawan dalam dan luar negeri (mancanegara)
perlu melakukan pemanfaatan tempat bersejarah sebagai tempat wisata, penggalian
cagar budaya sebagai objek wisata, pembinaan seni tradisionil sebagai hiburan bagi
wisatawan lokal dan asing/mancanegara, pemeliharaan rumah ibadah inkulturatif
batak, dan melakukan peningkatan pesona wisata.
Salah satu diantaranya adalah Kecamatan Pangururan yang berada di pulau
Samosir.
2. Penduduk
Wilayah Kecamatan Pangururan yang luasnya 121,43 km2, yang terbagi
dalam 25 desa dan 3 kelurahan. Wilayah ini berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo.
Sebelah Selatan : Kecamatan Palipi.
Sebelah Barat : Kecamatan Sianjur Mulamula.
Sebelah Timur : Kecamatan Ronggur Nihuta.
Penduduk di Kecamatan Pangururan adalah mayoritas Batak Toba, yang
kebanyakan beragama Kristen Protestan dan Agama Katolik, yang berdasarkan tahun
2006 jumlah penduduk diperkirakan 28.428 jiwa40, dengan perbandingan jumlah
40Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, Pangururan Dalam Angka 2006.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
penduduk laki-laki 49,09 % dan perempuan 50,91%, sedangkan jumlah rumah tangga
diperkirakan 5.635 rumah tangga.
B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba
1. Sejarah Batak
Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis
sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada
buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara
subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).41
“Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.”42
Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa
Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur
Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru
tanah Batak.
Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan
nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini
adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-
Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.
41Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17. 42Batara Sangti, Ibid, hal. 26.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Anak dari Si Raja Batak ada 2 orang yaitu:
a. Guru Tatea (Satia) mempunyai 9 anak yaitu: 1) Putra 5 orang, yaitu:
a). Saribu Raja, b). Limbong Mulana, c). Sagala Raja, d). Malau Raja, e). Raja Biak-biak
2) Putri 4 orang, yaitu: a). Boru Paromas, b). Boru Pareme, c). Boru Bidang Laut, d). Nan Tijo.
b. Raja Isombaon (Naga Sumba) mempunyai 3 orang putra, yaitu: 1) Tuan Sori Mangaraja, 2) Raja Asi-asi, 3) Sangkar Som-Alidang.
Maka dari turunan Si Raja Batak sudah mulai memakai marga, pada mulanya
nama itulah yang kemudian menjadi marganya sehingga banyak terdapat marga-
marga pada orang Batak.
2. Sistem Kekerabatan
Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut sistem garis
keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut
dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga43 merupakan suatu bentuk
kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan
pertalian darah. Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-
orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan
43Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, 2005, hal. 715. Menyebutkan marga adalah
kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu
marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.”44
Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang
lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas
mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah
dengan marga.
”Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu
arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”.45 Menurut Djaren Saragih
bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama
panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang
baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan namanya, bukan
tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak.46
Dalam kehidupan sehari-hari, marga sangat berguna bagi orang batak, antara
lainnya:
a. mengatur tata pergaulan,
b. mengatur tata cara adat,
c. mengatur hubungan kekeluargaan.47
Ada beberapa marga yang dominan dijumpai di Kecamatan Pangururan, di
antaranya marga Simbolon, Sitanggang, Naibaho, Simarmata.
44J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986, hal. 9.
45T.M. Sihombing, Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986, hal. 57.
46Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980, hal. 9.
47Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988, hal. 9.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada masyarakat Batak Toba dikenal 3 (tiga) warna yaitu merah, hitam dan
putih dengan istilah 3 (tiga) bolit, artinya bahwa alam semesta terdiri dari 3 (tiga)
bagian yaitu Banua Toru, Banua Tonga dan Banua Ginjang. Penguasa Banua Toru
ialah Batara Guru, Penguasa Banua Tonga ialah Debata Sori dan Penguasa Banua
Ginjang ialah Mengala Bulan. Kegiatannya dikenal dengan sebutan "Debata Si Tolu
Sada". Pembagian alam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan Batak antara
lain :
a. Rumah adat Batak terdiri dari Bara, Bagas, dan Bonggar.
b. Ornamen (gorga) Batak terdiri dari 3 (tiga) warna
c. Bonang manalu terdiri dari 3 (tiga) warna
d. Talitali (berbentuk topi) juga terdiri dari 3 (tiga) warna
e. Dalihan Na Tolu: somba Marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek
marboru.
Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu
”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”. Artinya
ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun
kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan Na Tolu”, terdapat
perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui
peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang
terbaik. Menurut S. Sagala, bahwa Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan
fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
(adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.48 Dalam
berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan
Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya
hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).
”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu
marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni ari
binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati
karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti
bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga (yang termasuk
kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya,
setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya), dan
”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman
semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut
garis keturunan bapak). Menurut Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot
Naibaho), Pengetua Adat bahwa ”Budaya Dalihan Na Tolu perlu dilestarikan jangan
sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda
Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.”49 Dalihan Na Tolu
juga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga
dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih
dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Ini
48S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1996, Yayasan Budaya Batak,
Medan, hal. 46. 49Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
merupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver),
boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga).
Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada
prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti terlihat
pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan
depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun dalam lingkup pertemuan
keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya
sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara
memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli).
Menurut Pengetua Adat Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot
Naibaho) bahwa: ”3 (tiga) unsur Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ditambah lagi satu
lagi burju mardongan sahuta (berhubungan baik dengan teman sekampung), jika
tidak baik akan dikucilkan di tengah-tengah masyarakat”.50 Sejalan juga dengan
pendapat Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon)
yang mengatakan ”Sebuah keluarga kurang burju/baik di lingkungannya terlihat dari
kurang kompaknya anggota masyarakat di sekitar itu bila ada sebuah keluarga
membuat suatu acara adat/pesta”.51 Dengan Dalihan Na Tolu merupakan suatu
kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak berinteraksi dengan
lingkungannya, yang kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan
sepanjang zaman. Karena, sistem nilai yang ada di dalamnya sangat universal dengan
50Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Op.Cit.
51Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai Dalihan Na Tolu adalah
kerendahan hati. Menurut Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam
Sitanggang) bahwa:
”bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama ”hula-hula”nya, tanpa syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak, Boru adalah kelumpok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga. Kenapa dikatakan manat (hati-hati) dengan dongan sabutuha, sangat jarang di dalam umpama/umpasa yang memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik di antara mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf”.52
Berdasarkan hasil penelitian melalui jawaban responden tentang tanggapan
terhadap struktur kekerabatan Batak Toba, dapat di lihat pada Tabel-2 berikut ini:
Tabel 2. Struktur Kekerabatan Batak Toba n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Tetap dipertahankan 20 67% 2 Disederhanakan tanpa menghilangkan intinya 10 33% 3 Tidak tahu 0 0% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Batak Toba masih tetap
dipertahankan merupakan tanggapan yang tidaklah begitu dominan (sebanyak 60%),
bila dibandingkan dengan jawaban responden lainnya (sebanyak 40%) yang
mengatakan bahwa adat batak perlu disederhanakan tanpa menghilangkan
52Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
intinya/maknanya. Struktur kekerabatan dari budaya Batak Toba merupakan salah
satu kekayaan budaya bangsa Indonesia sebenarnya harus tetap dipertahankan dan
dijaga walaupun ada penyederhanaan tetapi jangan sampai menghilangkan nilai
ataupun ciri khas budaya itu sendiri, karena lama-kelamaaan bukan hanya
menghilangkan budaya saja tetapi juga masyarakatnya.
Sejalan dengan itu, Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung
Manatap Simbolon) yang mengatakan bahwa: ”Dalam acara-acara resmi adat batak
dari dulu sampai sekarang ada mengalami penyederhanaan, sehingga acaranya
semakin simpel dan waktu yang dibutuhkan relatif tidak lama”.53
Adat adalah kebiasaan/hasomalon yang diawali dari kesepakatan komunitas
tertentu dalam masyarakat batak, makanya banyak pelaksanaan adat batak yang
berbeda dari satu marga dengan marga lainnya atau di satu daerah dengan daerah
lainnya. Contoh, di Toba kalau seorang bapak meninggal, maka yang memberi ulos
saput adalah hula-hula, sedangkan di Humbang yang memberi ulos saput adalah
tulang. Kelebihan adat batak adalah adanya pepatah: "aek godang tu aek laut dos ni
roha do sibaen na saut", sehingga perbedaan tersebut dapat di atasi.
Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang
berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau
tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan
menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati
oleh warga masyarakat.
53Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh
jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini
pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah
manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan
fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang
stagnasi dan konservatisme.
Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti
dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada
saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.
Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, Napinungka ni ompunta na parjolo yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi kita perbaiki dari belakang
Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita
terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang. Ungkapan ini
menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering
menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-
pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba
antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin
perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan
umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara
adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain:
Aek godang tu aek laut Dos ni roha do sibahen na saut, Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Nangkok si puti tuat si deak a i na ummuli ima tapareak, Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan
Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir
pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara
perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak
dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot,
sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.
Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang
mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah
penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk
menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan
dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak
gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari
berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot
yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya
adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis
upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai
dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-
sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat
yang telah ditentukan.
“Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip”.54
Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura)
menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh
pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh)
helai sampai 800 (delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah
suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari
(diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga
tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.
Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang
meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang
meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke
dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang
meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat
meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin
tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status
kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan
kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan
54Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi
masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).
Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status
kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah
apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan
sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah
memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya
diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung
adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila
seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki
cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).
“Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan
upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang
sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi
pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian
juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan.”55
Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan
pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali
tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.
55Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Adat secara umum dapat di bagai 2 (dua) yaitu:
a. Adat formal, yang biasa dapat dilihat dari pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, sampai meninggal. Banyak sekali praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah mertuanya "mamboan aek ni unte", "pasahat ulos parompa", paebathon. Setelah besar, anak laki-laki biasanya "manulangi tulang", untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal.
b. Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak, yang di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik.56
Dari penjelasan di atas, adat Batak formal, akan berubah sesuai dengan
tuntutan zaman. Jangankan masalah waktu, yang mengakibatkan dibiasakannya
"ulaon sadari", mungkin pada saatnya nanti, pesta adat Batak bisa dilakukan melalui
video conference, tidak harus ada di tempat yang sama. Tapi jangan juga ditiadakan
sama sekali. Adat formal Batak adalah laboratorium bagi orang Batak untuk
mempraktekkan adat Batak material. Dengan mengikuti pesta-pesta/acara adat Batak,
maka pemahaman akan adat Batak material akan semakin baik. Adat Batak formal
sangat dilandasi oleh satu prinsip "dos ni roha sibaen na saut" (konsensus), tapi adat
Batak material adalah suatu kerangka sistem nilai Batak yang membuat budaya Batak
lestari.
Perlu juga diuraikan bahwa dalam masyarakat Batak, kata "Horas" adalah
sapaan universal (akrab) dari masyarakat batak yang berarti "selamat". Pada
hakekatnya kata "Horas" juga merupakan doa spontanitas kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.
56Sumber dari [email protected], Tentang Adat Batak.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Ulos Batak terkenal karena bentuk dan motifnya yang spesifik. Ulos pada
mulanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun gigitan
serangga. Kemudian fungsi ulos berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan bentuknya beraneka ragam selain untuk melindungi tubuh juga diyakini bahwa
ulos secara filosofis mengandung makna untuk melindungi rohani (tondi) manusia,
sesuai dengan suasana maupun bentuk adat yang dilaksanakan. Pada saat tertentu ulos
juga digunakan untuk :
a. Topi (Tali-tali),
b. Pakaian kebesaran (topi, ampe-ampe dan abit).
Selain itu Ulos Batak dicontohkan dalam perumpamaan yaitu ulos ganjang
dan ulos si godang rambu. Artinya semoga panjang umur, banyak rejeki dan semoga
banyak keturunan (torop pomparan). Ulos batak adalah untuk melindungi/
mengayomi badan dan rohani manusia (mangulosi badan dohot tondi).
Oleh karena itu, Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam
Sitanggang) menyimpulkan bahwa “adat batak dalam berbagai bentuk upacara resmi
adat perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda, khususnya generasi
batak, karena sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, ditakutkan akan hilang
karena perubahan zaman.”57
57Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS
PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Kedudukannya Dalam Keluarga
Sebuah keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan yang sah, karena sah
tidaknya sebuah perkawinan akan berakibat hukum terhadap kedudukan dan status
anak yang dilahirkan tersebut. Untuk sahnya perkawinan dalam Pasal 2 UUP
menyatakan bahwa ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
agama dan kepercayaannya, sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam adat Batak Toba bahwa perkawinan bukanlah urusan pribadi namun
lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Lebih jauh
menurut Soerjono Soekanto mengatakan “perkawinan sebagai urusan keluarga dan
kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu
masyarakat kerabat melalui angkatan/generasi baru, dimana anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang
sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan ataupun suku”.58
Dalam budaya Batak Toba di kenal tujuan hidup atau nilai-nilai yang
berhubungan dengan keturunan, yaitu:
1. Hagabeon (diberkati karena keturunan, apalagi sudah punya anak laki-laki),
2. Hamoraon (kaya),
58Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Op.Cit. hal. 28.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
3. Hasangapon (prestice).
Pergeseran makna hagabeon terjadi dalam hal pendidikan anak. Menurut
Saudin Sitanggang bahwa ”menjadikan anak sarjana sudah menjadi kebutuhan bagi
orang Batak baik di kota maupun di kampung. Mereka menganggap pendidikan
adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup”.59 Dalam hal inilah perempuan
Batak sangat berperan. Perempuan Batak yang berjualan cabe dan bawang beralaskan
karung goni di pasar mampu mengirimkan uang kepada anaknya setiap bulan untuk
bersekolah, sehingga anaknya menjadi insinyur dan orang terkenal. Dengan gigih
mereka berjuang. Semua itu mereka lakukan demi anakhonhi do hamoraon di ahu.
Bila hagabeon tercapai dalam arti memiliki anak sarjana, pandai mencari uang
dan kaya, bahkan terkenal, dengan sendirinya tujuan hidup yang lain hamoraon dan
hasangapon juga tercapai. Karena sekarang sudah banyak orang Batak menjadi
berpendidikan, berpangkat, kaya dan terkenal dalam berbagai bidang profesi, maka
tujuan hidup menjadi sangap (terhormat, gengsi) juga dikait-kaitkan dengan adanya
jaringan hubungan dengan kaum elit Batak tersebut.
Khusus, mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak
tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting. Dalam banyak upacara
perkawinan selalu diungkapkan permohonan berkat agar keluarga diberi karunia
banyak keturunan (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom).
59Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil
Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Setiap keluarga mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat
berjalan harmonis. Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar
dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kepribadian anak dapat
tumbuh secara baik jika pendidikan diberikan kepada anak disertai dengan perhatian
dan kasih sayang. Perhatian demikian akan tercurah dengan baik bila keluarga itu
punya hubungan harmonis diantara anggota keluarga, tanpa ada pilih kasih.
Kewajiban pemeliharaan anak bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani tetapi
juga kebutuhan rohani.
Dalam sebuah keluarga selalu mengharapkan agar perkawinan yang telah
dibina dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Keharmonisan keluarga, mempunyai peranan yang cukup besar dalam
pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak ke arah yang lebih baik,
sebaliknya bila hubungan yang kurang harmonis di tengah-tengah keluarga dapat
menyebabkan seorang anak tumbuh menjadi tidak baik. Keluarga yang bahagia dan
sejahtera menjadi idaman setiap keluarga bila dapat terwujud.
Masyarakat hukum di Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah
berbeda-beda, dimana setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem
kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak laki-
laki dengan anak perempuan dalam sebuah keluarga pada prinsipnya adalah berbeda.
“Dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut”.60
Dalam keluarga orang Batak Toba, bahwa anak menjadi harta berharga bila
dibandingkan dengan yang lain, terutama dalam keluarga masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Pangururan. Dimana anak laki-laki diharuskan berhasil sehingga dapat
meningkatkan derajad sosial dari marganya, bila berhasil menjadi sarjana atau bekerja
merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Bagaimanapun cantik, pintar dan baiknya kedua putri kita itu kehadiran
mereka, oleh banyak orang batak, belum dianggap cukup untuk membanggakan dan
membahagiakan ayah-ibunya, ompung-nya, keluarga besarnya, apalagi dunia
kebatakan.
Masyarakat di Kecamatan Pangururan yang mayoritas Batak Toba merupakan
salah satu masyarakat adat yang hidup dengan sistem kekerabatan mengikuti garis
keturunan si bapak (patrilineal), dimana dibedakan antara anak laki-laki dengan anak
perempuan. Sebagai anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak
bapaknya, sedangkan anak perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah menikah
marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari keluarga suaminya.
Selama anak perempuan belum kawin dia masih tetap kelompok ayahnya.
60Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 9.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Adat Batak kuno menganggap perempuan nyata-nyata lebih rendah daripada
laki-laki. Perempuan bukanlah pribadi bebas dan otonom, tetapi sub-ordinat atau
perpanjangan tangan laki-laki. Itulah yang menyebabkan dalam pesta-pesta batak
sampai hari ini termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta kita hampir tidak pernah
menyaksikan ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil
keputusan. Mereka ada di barisan belakang dan diam (atau ngobrol sendiri dengan
sesamanya) tak ubah penghias atau asesori pesta, atau sibuk di dapur sebagai
pembantu (parhobas) saja.
Dalam adat batak ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak
perempuan antara lain:
1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang),
2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan),
3. holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.61
Pada masa dulu anak laki-laki sangat dibedakan dengan anak perempuan
dalam perhatian keluarganya, karena anak perempuan nantinya akan masuk ke dalam
marga suaminya. Dan juga bila anak laki-laki berhasil maka saudara anak perempuan
bangga bila saudaranya laki-laki/“ito” nya berhasil. Namun pemahaman sudah mulai
bergeser, bukan saja anak laki-laki yang diberi perhatian lebih, namun juga anak
61J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 485.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perempuan juga telah sama diperhatikan dalam hal pendidikan, perhatian dan kasih
sayang, karena tokh juga anak perempuannya adalah darah daging dari orangtuanya
juga. Bahkan suatu saat kelak bahwa tingkat taraf hidup bukan saja dilihat dari
keberhasilan anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan, dan bila anak perempuan
menikah dan dapat suami (hela) yang dapat mengangkat derajad kehidupan dari suatu
keluarga tersebut.
Dalam keseharian, anak laki-laki kerap lebih diistimewakan di banding
perempuan. Laki-laki, karena alasan membawa nama keluarga lebih dijunjung,
dengan melakukan berbagai usaha supaya dapat sekolah setinggi-tingginya, yang
akhirnya diharap memperoleh nama dan kedudukan di tengah masyarakat. Sedangkan
perempuan karena karena dianggap akan menjadi milik marga lain maka cukuplah
kalau tahu baca dan tulis. Anak perempuan sedari kecil dilatih untuk hormat kepada
saudara laki-laki walaupun lebih muda dari dia. Perempuan dilatih untuk melayani
laki-laki, bahkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan sendiri misalnya: mengambil
piringnya (ketika hendak makan), mencuci piring dan berbagai pekerjaan rumah
lainnya. Ketika anak perempuan sibuk di dapur, anak laki-laki bisa dengan tenang
bermain catur menunggu makan malam selesai disiapkan.
Akibatnya, seorang perempuan memiliki konsep bahwa harus mengalah
kepada laki-laki. Laki-laki adalah raja yang harus ditaatinya, dilayaninya dan
kepentingan merekalah yang harus didahulukan. Konsep ini akan diturunkan lagi
kepada putrinya kelak. Bagi laki-laki sendiri, kerugiannya ada juga, walau tidak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
seberat yang dialami perempuan. Seorang laki-laki akan kesulitan hidup mandiri atau
sendiri. Jika tidak ada perempuan untuk melayaninya, ia akan kebingungan dan
cenderung mencari seseorang yang bisa melakukan peran itu. Dia kesulitan untuk
mengurus dirinya sendiri.
Ketidakadilan dalam keluarga Batak Toba tidak sulit ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan itu dialami oleh anak perempuan terlihat dalam
adat seperti: peran dalam pesta, mahar (tuhor), hak kepemilikan, pembagian harta
warisan yang akan dibahas pada bagian tersendiri dan hak mengeluarkan pendapat
dalam pertemuan resmi/pengambilan keputusan.
Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau
siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu dimana
ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan
perempuan terbilang hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada
perempuannya.
Kata “kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang
sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara”.62 Kedudukan
dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam
mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga,
kerabat dan masyarakat.
62W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976,
hal.38.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa:
“Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu sendiri. Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah, kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya”.63
Dalam pembahasan ini yang dibahas adalah anak perempuan yang dilahirkan
secara sah dalam sebuah perkawinan sah dari keluarga Batak Toba di Kecamatan
Pangururan Kabupaten Samosir, dan kaitannya dengan kedudukannya dalam
keluarga.
Dari hasil penelitian di lapangan dapat diketahui jawaban responden tentang
kedudukan anak perempuan, melalui Tabel-3 berikut ini:
Tabel 3. Kedudukan Anak Perempuan n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih tinggi kedudukan anak laki-laki 16 53% 2 Sama kedudukannya 13 43% 3 Tidak tahu 1 4%
Jumlah 30 100 % Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-3 di atas, diketahui bahwa dari hasil penyebaran kuesioner
menunjukkan jawaban responden tentang kedudukan anak perempuan dengan anak
laki-laki dalam sebuah keluarga cenderung ke arah persamaan derajat (persentase
53% berbanding 43%). Hal ini membuktikan adanya pergeseran, di mana
kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama. Namun menurut
63Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara,
tanggal 11 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
pendapat Kartolo Simbolon bahwa “persamaan derajat anak laki-laki dengan
perempuan tidak akan pernah sama dalam keluarga 100%, mungkin secara umum
bisa. Tapi dalam setiap hati kecil orangtua orang batak yang punya anak laki-laki dan
anak perempuan pasti ada lebih ke arah anaknya laki-laki”.64 Hal ini juga didukung
oleh Saudin Sitanggang karena ada pepatah “anakhonhi do hamoraon di au, tidak
disebutkan boruki do hamoraon di au. Jadi masih ada pilih kasih, tapi bila di
bandingkan antara sekarang dengan zaman dulu, perubahannya cukup banyaklah”.65
B. Hak Mewaris Anak Perempuan
Hukum waris mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau
harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli
waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima
bagiannya.
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bentuk susunan
kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya. Sebagaimana
dikatakan Hazairin bahwa : “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.66 Pada kenyataannya
pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang
sama. “Di Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem
64Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
65Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
66Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 211.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kewarisan individual…, kedua sistem kewarisan kolektif..., ketiga sistem kewarisan
mayorat…”.67
a. Ciri sistem pewarisan individual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-
bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana menurut hukum
perundang-undangan KUH Perdata dan hukum Islam, begitu pula berlaku di
lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa yang
parental, atau juga pada keluarga-keluarga Batak yang patrilineal.
b. Ciri sistem pewarisan kolektif ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi atau
dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang
seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum
adat). Sistem pewarisan ini dikenal di Minangkabau dan juga di Lampung.
c. Sedangkan ciri sistem pewarisan mayorat ialah bahwa harta peninggalan
orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur (pusaka tinggi) tetap
utuh tidak di bagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua
lelaki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga
di Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di
lingkungan masyarakat matrilineal Sumando dan Sumatera Selatan dan
Lampung.
Di kalangan masyarakat Batak sendiri pun dijumpai adanya sistem pewarisan.
Masyarakat Batak yang dikenal menganut ciri kekeluargaan bercorak patrilineal yaitu
67Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika
Aditama, Bandung, 2005, hal. 43.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. Di mana kedudukan
pria lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan wantia di dalam
pewarisan. Hilman Hadikusuma mengatakan, “dengan ciri kekeluargaan patrilineal
itu masyarakat Batak menganut milik perseorangan. Jadi bersistem individual”.68
Masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari masyarakat Batak secara
keseluruhan bertumpu pada garis keturunan yang ditarik menurut garis bapak.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat di Kecamatan Pangururan
sistem pewarisannya berciri individual.
Kata “pewaris” ini digunakan untuk menunjukkan orang yang meneruskan
harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat
meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris.
Pewaris adalah empunya harta peninggalan, atau empunya harta warisan. Pewarisan
adat harus diingat pada susunan kekerabatan yang mempengaruhinya dan bentuk
perkawinan yang dilakukan ketika hidupnya pewaris.
Pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, susunan
kekerabatannya mempertahankan garis keturunan pria (patrilineal) sebagaimana
berlaku di Batak pada umumnya, maka yang berkedudukan sebagai pewaris adalah
kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak ayah), sedangkan kaum
perempuan bukan pewaris. Jadi ibu atau pihak ibu, saudara-saudara ibu pria dan
wanita bukan ahli waris. Pria yang berhak menjadi pewaris, adalah pria yang
68Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 24.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam adat perkawinan di
Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual (eksogami-patriarcht).
Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Tetapi ada
orang yang tidak merupakan ahli waris, namun ia turut mendapat harta warisan
misalnya pemberian. Dalam kekerabatan patrilineal semua anak lelaki adalah ahli
waris, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat
warisan sebagai pemberian. Begitu pula istri sebagai janda bukan ahli waris dari
suaminya yang telah meninggal, tetapi jika anak-anaknya masih kecil belum mampu
menguasai harta warisan, maka yang berkuasa dan memelihara atas harta warisan
tersebut adalah istrinya, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa
dan harta warisan akan dibagikan, maka si istri boleh mendapat bagian, atau ia ikut
pada anak yang tertua.
Di masyarakat Batak Toba seperti halnya di tanah Batak pada umumnya anak
perempuan bukanlah ahli waris, tetapi mereka selama hidupnya (belum kawin)
berhak memakai dan menikmati harta orangtuanya dalam batas kebutuhan
penghidupannya.
Bahkan, janda bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan
penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki,
maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dari isterinya yang meninggal karena
menurut alam pikiran dalam sistem kekerabatan ini isteri adalah milik suami, apalagi
harta bawaan dan harta pencahariannya yang selama perkawinan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi bagi kedudukannya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Maka untuk seorang duda dapat dikatakan tidak ada masalah, ia tetap
berkewajiban mengurus anak dan harta kekayaan mereka. Apakah ia kelak kawin lagi
dengan mengambil adik kandung si isteri ataukah dengan orang lain tidak mempunyai
kedudukan harta warisan, oleh karena hak mewaris tetap pada anak-anaknya yang
lelaki.
Warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi atau
memang tidak dibagi. Jadi apabila membicarakan tentang harta warisan maka berarti
mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan apakah
harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang
tidak dapat dibagi.
Pada umumnya seorang yang meninggal dunia atau seorang pewaris ada
memiliki dua bahagian harta benda yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Di
samping kedua bagian harta tersebut mungkin juga ditemukan adanya harta yang
diperoleh atau didapat seseorang pewaris semasa hidupnya sebagai hadiah dari orang
lain, maka untuk harta demikian dapat dipersamakan dengan harta pencaharian.
Ada dua macam harta peninggalan, yaitu:
1. Harta bawaan, ialah harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan
seperti warisan, pemberian.
2. Harta pencarian, ialah harta yang diperoleh selama suami isteri dalam
perkawinan, sebagai harta bersama, seperti rumah dan sebagainya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut hukum adat Batak Toba bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka
adalah harta yang diperoleh atau didapat seseorang, dimana harta tersebut
diperolehnya dari kakeknya/ompungnya yang telah meninggal.
Umumnya, objek harta pusaka adalah berupa tanah (tano), rumah (jabu), dan
sawah (hauma). Walaupun ada juga seseorang memiliki harta bergerak (lumbung
padi, ternak, pohon, piutang) yang diperolehnya dari kakeknya yang telah meninggal,
harta demikian umumnya tidak dipandang sebagai harta pusaka. Menurut pandangan
orang Batak Toba sulit rasanya untuk mengetahui atau menentukan apakah harta
bergerak itu merupakan harta yang diperoleh dari kakeknya atau tidak. Di samping itu
harta bergerak sangat mudah diasingkan dibandingkan dengan harta yang tidak
bergerak.
Sedangkan harta pencaharian adalah segala harta yang tidak termasuk ke
dalam harta pusaka. Untuk harta pencaharian ini tidak dibedakan dengan harta yang
diperoleh seseorang sebagai hadiah dari pemberian orang lain.
Untuk harta pencaharian dapat juga diberikan kepada anak laki-laki yang
melangsungkan perkawinan yang tidak dibicarakan sewaktu pembagian harta warisan
sesuai dengan adat. Karena pewarisan harta pencaharian, proses pewarisannya
diserahkan sepenuhnya kepada pewaris. Di sini pengaruh kerabat dekat suaminya
tidak ada dan terhadap anak perempuan juga dapat diberikan harta pencaharian ini.
Sedangkan dengan harta pusaka yang masih terasa adanya pengaruh kerabat
dekat si pewaris apabila harta tersebut hendak diwariskan. Seorang ahli waris yang
memperoleh bagian dari harta warisan berupa harta pusaka, kemudian dari harta
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan
termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian.
Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta
peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika
pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia.
Menurut Hilman Hadikusuma:
“Yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat”.69
Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya
dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae
(mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja.
Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut
bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak
tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut
hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta
panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan
bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat
69Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama Hindu-Islam, Loc.Cit, hal. 95.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
disebut sebagai ripe yang mandiri menurut hukum adat. Harta yang diterima anak
tersebut (arta panjaean) selalu diperhitungkan pada waktu orang tuanya meninggal,
terutama jika pada saat meninggalnya orang tua tersebut masih ada ahli waris yang
belum menerima bagiannya.
Dengan diberikannya panjaean yang terdiri dari sebagian harta benda ayah
kepada anaknya sewaktu manjae, maka pada saat tersebutlah berakhir
pertanggungjawaban bapak tersebut anaknya dalam hidup bermasyarakat dan
sekaligus berakhirlah pertanggungjawabannya untuk memenuhi kebutuhan hidup
isteri anaknya (parumaen-nya).
Pewarisan semasa hidupnya pewaris terutama kepada semua anak-anaknya
yang sudah kawin dan manjae (mencar) atas segala harta bendanya, terjadi apabila
ayah dan ibu tidak kuat lagi bekerja. Setelah diadakannya pewarisan tersebut, maka
ayah atau ibu seakan-akan menumpang kepada anak-anaknya.
Pewarisan semasa hidupnya pewaris bisa juga terjadi walaupun ayah dan ibu
masih sehat. Dalam hal ini jika ayah mempunyai tiga orang anak, maka ayah
membagi segala harta bendanya atas empat bagian. Tiap-tiap anak termasuk ayah
sendiri memperoleh satu bagian.
Berdasarkan hal-hal yang diutarakan diatas, maka ternyata bahwa pewarisan
di daerah Kecamatan Pangururan bisa juga terjadi pada waktu pewaris masih hidup,
di mana segala kewajiban dari pewaris termasuk kewajibannya kepada dirinya
sendiri berpindah bersama segala harta bendanya kepada para ahli warisnya. Para ahli
waris tersebutlah yang melangsungkan pengerjaan segala kewajiban pewaris
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
termasuk mengurus kepentingan diri pribadi dari pewaris sendiri. Juga bisa terjadi
hanya sebahagian dari kewajiban pewaris yang berpindah bersama sebahagian harta
bendanya kepada ahli waris yang menerima kewajiban tersebut.
Apabila pemberian oleh si ayah kepada anaknya yang perempuan dilakukan
pada waktu pewarisan, ataupun diterima oleh anak perempuan tersebut pada waktu
pembagian harta peninggalan oleh saudara-saudaranya, maka pemberian itu disebut
“ulos na so buruk”, artinya kain yang tak kunjung buruk. Jelaslah bahwa menurut
hukum adat Batak Toba, anak perempuan walaupun bukan ahli waris, tetapi
berdasarkan lembaga holong ni ate anak perempuan patut mendapat pemberian dari
harta peninggalan ayah kandungnya. Mengenai pengakuan terhadap lembaga holong
ni ate ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968
Reg. No. 136 K/Sip/1967. Tentang hal-hal tersebut diatas, maka oleh karena itu
adalah merupakan pesan pewaris sewaktu ia masih hidup, maka pesan tersebut
barulah mempunyai kekuatan untuk berlaku sesudah pewaris tersebut meninggal.
Lebih lanjut, untuk mengetahui apa yang menjadi alasan anak perempuan
dijadikan sebagai ahli waris dapat dilihat pada Tabel-4 berikut ini:
Tabel 4. Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Persamaan Hak. 16 53% 2 Kasih sayang/perhatian. 9 30% 3 Supaya ada yang jaga kampung/huta. 5 17% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari Tabel tersebut, responden lebih banyak menjawab anak perempuan
dijadikan sebagai ahli waris (53%), hal ini dikarenakan sudah adanya perubahan
pandangan bahwa saat ini antara anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap
sama, sedangkan memilih alasan kasih sayang/perhatian sebanyak 30% dan supaya
ada yang jaga kampung sebanyak 17%. Dalam hal pewaris masih meninggalkan
janda, anak perempuan yang belum kawin ataupun anak laki-laki yang belum dewasa,
hal mana merupakan kewajiban dari pewaris, yang sesudah ia meninggal dunia hanya
dapat dipenuhi dengan harta peninggalan, maka selama hal tersebut masih ada,
biasanya harta peninggalan dibiarkan tetap tidak terbagi hingga kewajiban tersebut
kelak dapat dipenuhi.
Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa: “pada prinsipnya setuju bila anak
perempuan mewaris bersama saudaranya laki-laki walaupun tidak sama, sepanjang
ada harta peninggalan yang akan dibagikan, karena didasarkan pada persamaan hak
dan adanya lembaga holong ate yang dijadikan sebagai yurisprudensi”.70
Jika hal tersebut sudah dipenuhi, yakni pada saat meninggalnya janda pewaris
dan pada saat kawinnya anak perempuan pewaris ataupun pada saat sesudah
dewasanya anak laki-laki dari pewaris, barulah para ahli waris dapat memperoleh
bagian yang bersih.
Jika para ahli waris tidak sabar, dan ingin dengan segera sesudah
meninggalnya pewaris membagi harta peninggalan, maka mereka dapat membagi
70Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara,
tanggal 11 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
harta peninggalan menurut perbandingan dari jumlah anak laki-laki dari pewaris
dengan memperhitungkan kewajibannya dari pewaris yang belum dipenuhi. Beban
harta peninggalan lainnya yang segera sesudah meninggalnya pewaris dapat dilunasi,
adalah hutang pewaris semasa hidupnya berupa uang ataupun tenaga. Juga termasuk
ongkos-ongkos penguburan serta segala biaya-biaya yang diperlukan dalam upacara-
upacara adat untuk penguburannya.
Jikalau harta peninggalan sudah terbuka untuk dibagi-bagi maka sebelum
dibagi-bagi, terlebih dahulu harus dilunasi segala hutang pewaris termasuk ongkos
penguburan. Dan jika harta peninggalan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban pewaris ataupun tidak cukup untuk membayar hutang dan ongkos
penguburannya, maka para ahli waris tersebut yang melunasinya.
Setelah dipenuhi segala kewajiban pewaris, dilunasi segala hutang serta
ongkos penguburannya dan dilaksanakan pesan-pesannya mengenai barang-barang
tertentu yang tidak bertalian dengan pewarisan, maka apabila masih ada
kelebihannya, barulah harta peninggalan terbuka untuk dibagi-bagi oleh para ahli
warisnya. Harta peninggalan yang akan dibagi oleh para ahli waris, tidaklah
diperhitungkan menurut nilai kesatuannya berupa uang, tetapi tiap benda dipandang
tersendiri menurut jenisnya. Jika anak yang sulung memperoleh rumah, maka anak
yang bungsu memperoleh rumah, sedang anak yang lainnya dari pewaris memperoleh
jenis harta peninggalan yang lain.
Jikalau tidak ada perselisihan di antara para ahli waris, maka pembagian harta
peninggalan sudah dapat terlaksana di rumahnya pewaris. Namun apabila ada
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perselisihan diantara para ahli waris mengenai bagian-bagian mereka, maka
diperlukan turut campurnya kelompok Dalihan Na Tolu.
Dalam hukum waris adalah, anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan
bapaknya. Jika ada anak laki-laki, hanya merekalah yang menjadi ahli waris. Apapun
yang diperoleh bapak melalui keringatnya sendiri, dipungka, tidak pernah boleh jatuh
ke tangan satu anak saja, dia mesti dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau tetap
tidak dibagikan. Anak perempuan bersama harta peninggalan ayahnya berpindah ke
tangan ahli waris yang kemudian berdasarkan kebijaksanaannya sendiri atau adat
menentukan bagian yang menjadi perolehan anak perempuan tersebut. Apalagi
seorang janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi harta
peninggalan suaminya, hanya boleh mengelola harta peninggalan suaminya sebelum
kemudian beralih ke tangan ahli waris. Jika janda tersebut tidak mempunyai
keturunan, atau hanya keturunan anak perempuan, maka harta peninggalan suaminya
beralih ke kerabat dari suaminya.
Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah anak laki-laki. Namun anak
perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan ayahnya
baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia. Ada pemberian yang
dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya selagi masih kecil,
ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak perempuan
selagi dia masih anak kecil, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama dia
berumah tangga, atau yang serahkan kepada anak-anaknya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti
hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari
kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan
tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya anak
perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya
menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada, melalui
upacara manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak
laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah, atau jika
masih ada ibu yang ongkos hidupnya harus diambilkan dari harta peninggalan.
Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari
keadaan. Anak sulung yang mengambil keputusan, harus mempertimbangkan hak dan
kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan. Menurut Vergouwen bahwa
“hampir tidak pernah terjadi hubungan yang sumbang antara hula-hula dan boru
karena perkara ini, paling-paling hanya tarik urat mengenai apa yang pernah
dijanjikan tetapi tidak diberikan. Hakim biasanya tidak pernah repot dalam
menghadapi perselisihan semacam itu”.71
Jika ibu masih hidup dan anak-anak perempuan belum menikah, si ibu akan
disetujui mengelola bagian terbesar harta kekayaan, dan ahli waris akan menetapkan
besarnya pauseang (hadiah perkawinan) bagi anak perempuan bila ia menikah.
Hadiah ini biasanya hanya bagian kecil saja sebagai pengakuan atas hak mereka
selaku uaris juga. Namun banyak juga keluhan pahit anak-anak perempuan, dan ibu
71J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 316
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
yang hanya melahirkan anak perempuan, karena begitu bapak atau suami meninggal,
ahli waris bersikeras menjalankan haknya untuk memberlakukan perwalian dan
pengelolaan, menyita segala-galanya.
Mereka hanya bersedia memberi kepada perempuan jumlah yang hampir-
hampir tidak mencukupi untuk menutup keperluan yang paling pokok, dan juga tidak
mau memberi apa-apa lagi kepada anak perempuan yang sudah kawin di luar apa
yang sudah diterima sebagai pauseang.
Garis keturunan yang mengikuti jalur laki-laki berkonsekuensi pada sistem
pewarisan. Warisan jatuh ke tangan keturunan laki-laki. Namun tidak berarti anak
perempuan tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak,
akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Menurut secara
tradisional falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain,
mengapa ia harus mendapat warisan. Namun prinsip ini sekarang menurutnya, sudah
bergeser, perempuan juga harus mendapat seperti laki-laki.
Harta adalah benda bergerak (perhiasan, ternak, dll), dan inilah yang dapat
diberikan kepada anak perempuan. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu
marga, oleh karena itu warisan harus jatuh ke tangan laki-laki saja. Harta pencaharian
atau harta yang didapat selama perkawinan boleh diberikan kepada anak laki-laki
maupun anak perempuan, tetapi anak laki-laki tetap harus mendapat bagian yang
lebih banyak. Anak laki-laki bertanggung jawab atas adik-adiknya, bila adik-adiknya
menderita anak laki-laki harus membantu.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Bahwa orang batak agak lain, karena warisan dibagikan sewaktu seseorang
masih hidup. Ada warisan yang diberikan sewaktu orang tua masih manjae (mandiri).
Anak-anak laki-laki diberi sawah, kebun, rumah. Anak laki-laki bungsu menempati
kedudukan yang istimewa. Ia dianggap kawan sehidup semati oleh orang tuanya. Ia
orang yang terakhir dilahirkan dan harus dekat dengan orang tuanya. Dialah yang
harus memberangkatkan orang tuanya ke kuburan. Oleh karena itu harta orang tuanya
akan diberikan kepadanya.
Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak
bergerak (seperti rumah dan sawah) maupun benda gerak (seperti cincin dan gelang).
Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh jawaban melalui responden tentang
warisan yang diberikan kepada anak perempuan, seperti terlihat pada Tabel-5 berikut
ini:
Tabel 5. Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Rumah. 2 6% 2 Tanah (sawah/ladang). 6 20% 3 dll (seperti perhiasan, dll) 22 74% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel tersebut terlihat, bahwa anak perempuan telah mendapat warisan
rumah namun persentasenya masih kecil yaitu hanya 6% dan tanah sebanyak 20%,
namun hal ini menjadi titik awal persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan
perempuan. Dari 2 responden diketahui bahwa rumah diberikan karena saudara laki-
lakinya sudah merantau ke luar pulau samosir ke kota, kecuali bila ada anak laki-laki
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
mungkin tidak diberikan. Tetapi benda-benda lain seperti perhiasaan lebih dominan
yaitu sebanyak 74%.
Dalam hal perempuan boleh mendapat bagian dari harta ayahnya berupa
tanah. Menurutnya perempuan pada waktu kawin mendapat hadiah yang disebut ulos
na sora buruk, bisa berupa tanah, kebun atau barang-barang pusaka. Ada lagi yang
disebut hoban, yaitu sebidang tanah yang ada mata airnya. Hoban ini juga bisa
diberikan kepada anak perempuan. Biasanya satu keluarga bisa memiliki hoban lebih
dari satu. Hadiah lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan adalah perhiasan.
Bahwa salah satu tujuan hidup orang Batak yaitu mencapai hagabeon,
memiliki (banyak) keturunan terutama laki-laki, ternyata nyaris tidak berubah sampai
saat ini. Bagi orang Batak yang tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut
diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati
adalah, meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara,
tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan
dengan waris, maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak
diuntungkan. Seperti kasus di atas secara normatif adat, harta seorang bapak akan
jatuh ke tangan kerabatnya, meskipun ia memiliki seorang anak kandung perempuan
dan anak adopsi laki-laki. Seorang ibu juga akan kehilangan harta suaminya
meskipun ia sudah memiliki anak adopsi laki-laki. Mengapa nilai untuk memiliki
anak laki-laki bagi orang Batak Toba nyaris tidak berubah, berdasarkan kasus di atas,
ada kaitannya dengan masalah mempertahankan harta milik.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam hukum adat Batak Toba, perempuan tidak memperoleh hak untuk
mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya. Dalam
masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki mempunyai
kedudukan yang timpang, di mana anak perempuan pada posisi yang lemah,
khususnya dalam hal waris. Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak
memberikan hak waris kepada anak perempuan72, baik yang berupa tanah, rumah
maupun benda tidak bergerak lainnya. Sementara itu dalam berbagai peraturan
perundangan nasional73 menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.
Menurut Tapi Omas Ihromi, bahwa “dalam praktek sehari-hari tampaknya
menunjukkan adanya peneguhan kepada aturan adat Batak yang tidak memberikan
hak waris kepada perempuan bila orangtuanya meninggal, perempuan tidak pernah
diperhitungkan dalam pembagian waris yang berlangsung dalam pertemuan keluarga,
di mana anggota kerabat laki-laki memainkan peranan penting”.74
Akses perempuan kepada harta warisan memang sangat dibatasi, sehingga
perempuan harus memperjuangkannya, terutama melalui sengketa melawan kerabat
72Bandingkan dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 174 KHI:
yang memiliki hak untuk mewaris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 176: Bagian dari anak perempuan adalah ½, dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bersama-sama. Jika ada anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1.
73Dalam UUD 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002) Pasal 27 (1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum; UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, Pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami dan istri yang seimbang; Pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Pasal 36 (1) atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
74Tapi Omas Ihromi, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994, hal. 527.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
saudara laki-laki. Akses perempuan75 kepada tanah ayahnya semakin hilang karena
kelangkaan tanah di kampung, sementara itu pewarisan kepada anak laki-laki dan
pewarisan kolateral berdasarkan garis laki-laki masih tetap berlangsung. Pengaturan
mengenai akses kepada tanah secara tradisional yang tetap dipertahankan ini adalah
suatu cara untuk menjaga agar tanah tetap berada dalam wilayah hukum adatnya.
Harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam perkawinan sebagai modal
di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas
umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami ataupun isteri yang
memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik
suami atau isteri. Harta bawaan itu dapat berupa rumah, tanah, kebun dan perhiasan
lainnya. Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki
atau perempuan disebut istilahnya dengan “holong ate” (kasih sayang).
Pemberian-pemberian harta benda ini mempunyai istilah berbeda-beda. Harta
benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah “harta panjaean”
sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan “pauseang”.
Walaupun sebenarnya artinya sama.
Selain dari harta pauseang maupu panjaean masih ada lagi harta bawaan yang
fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean tadi antara lain :
75Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian
atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Indahan arian, ialah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak
perempuannya apabila anak perempuan tersebut telah mempunyai anak. Jadi
pemberian ini adalah bermaksud indahan arian bagi cucunya.
2. Batu ni assimun, ialah pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya
yang sudah mempunyai anak. Yaitu berupa hewan peliharaan dan emas.
Maksudnya disini adalah pemberian yang seolah-olah sebagai hadiah bagi
cucunya.
3. Dondon tua, yaitu pemberian seorang ayah kepada anak perempuannya yang telah
melahirkan anak berupa sebidang sawah kepada cucunya yang paling besar dan si
cucu boleh menerima setelah kakek meninggal dunia.
4. Hauma punsu tali, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak
perempuannya, pemberian ini adalah merupakan pemberian terakhir dan baru
dapat diterima oleh anak perempuannya apabila si ayah meninggal dunia.
5. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak
perempuannya. Harta pemberian ini adalah merupakan sebagai modal pertama
pada saat mulai membangun rumah tangga.
Dalam keadaan demikian anak perempuan masih mempunyai kesempatan
beroleh bagian dari “sinamot” orangtuanya, lewat ulos dan pauseang (tanda sayang).
Dalam membela kesamaan/kesetaraan derajat antara anak perempuan dengan anak
laki-laki sekarang ini dalam hukum adat Batak Toba ada ungkapan : “Sarupa adop do
marmeme anak dohot boru”. Kesetaraan anak perempuan dengan anak laki-laki
sangat digaris bawahi.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Perkembangan saat ini
Diskriminasi perempuan sangat gampang ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Kepemimpinan perempuan, contohnya, masih kerap terkungkung pola-pola
patriaki. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluargapun, hak-hak
perempuan ikut tertindas.
Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau
siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu di mana
ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki
dengan perempuan hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada
perempuannya. Dalam kancah politik dan bidang lainnya suara perempuan sudah
mulai didengar. Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki seperangkat potensi
hidup berupa akal dan naluri yang mempunyai peran beragam, yaitu sebagai makhluk
(hamba) Allah, sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Sebagai hamba,
perempuanpun wajib beribadah kepada Allah, sebagaimana laki-laki.
Demikian juga dalam adat istiadat/budaya khususnya Batak Toba, perempuan
pada umumnya tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan,
yang menempatkan mereka dalam arena adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari
peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang profesi-
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
profesi terhormat dalam masyarakat, dan hidup sebagai “orang-modern”, mereka
tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Misalnya mereka
“harus” melahirkan anak laki-laki, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan
suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi saudara-saudara suaminya
maupun kelompok kekerabatan marga ayahnya (hula-hula), dan memiliki berbagai
kewajiban kerja tetapi tidak memiliki hak bicara dalam berbagai pertemuan keluarga
(adat). Meskipun tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adat,
perempuan dari lapisan sosial bawah secara diam-diam bekerja di sektor ekonomi
menjalani berbagai profesi dagang.
Pandangan mengenai perempuan yang tidak berhak atas harta bapaknya harus
dilihat dari falsafah masyarakat tradisional, yang berorientasi pada kelangsungan
hidup kelompok dan kaitannya dengan terbatasnya sumberaya. Dalam masyarakat
tradisional, laki-laki dalam kelompok clan ayahnya dipandang bertanggung jawab
terhadap pemenuhan kebutuhan hidup perempuan dari clan tersebut. Di samping itu
perempuan dianggap akan menikmati bagian harta suaminya, yang didapat dari clan
suaminya. Untuk kelestarian hidup kelompok itulah, telah diciptakan aturan-aturan
adat yang bersumber pada falsafah tradisional.
Namun kehidupan orang Batak Toba yang tadinya berorientasi pada
kelompok (kolektif) lambat-laun berubah menjadi kehidupan yang cenderung
menagrah pada individu, terutama di kota besar. Falsafah tradisional yang
berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok tidak lagi sepenuhnya dapat
dibayangkan. Aturan-aturan yang tadinya sangat baik untuk menjaga kelangsungan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
hidup kelompok, khususnya yang berkaitan dengan waris, sesunguhnya dalam segi-
segi tertentu sudah tidak cocok lagi. Pada masa sekarang peraturan adat yang
mengatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak
menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin
dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin), dan dia
dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada
posisi yang tidak diuntungkan.
Persoalan mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat
menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur
kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang laki-
laki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan
sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan
hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan-hubungan kekerabatan
dan hubungan sosial.
Bagaimana konsep jender dalam hubungan kekerabatan dan hubungan sosial
berkaitan dengan pembatasan perempuan terhadap harta milik ?. Bila jenis kelamin
(sex) mengacu pada kategori biologis, maka konsep gender mengacu pada konsep
sosial yang menempatkan seseorang sebagai maskulin atau feminin berdasarkan
karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari
melalui pengalaman sosialisasi. Makna kodrat yang seharusnya mengacu kepada
perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi reproduksinya, diperluas menjadi
peranan dan kedudukan di berbagai bidang kehidupan. Tambahan lagi, kondisi di atas
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
didukung oleh penafsiran teks-teks kitab suci yang bias laki-laki. Pemaknaan
terhadap hakikat perempuan dan laki-laki menjadi berbeda. Dalam hubungan
pertukaran dalam perkawinan, perempuan dilihat sebagai salah satu jenis harta milik
dan menerima pembagian kerja di sektor domestik. Sementara laki-laki adalah orang
yang memiliki akses kepada penguasaan dan kontrol atas harta milik dan
mendapatkan pembagian kerja di sektor publik. Cara pandang atau konstruksi sosial
mengenai perempuan dan laki-laki yang demikian itulah yang disebut sebagai gender.
Konsep jender bervariasi di setiap kebudayaan dan konteks waktu. Apa yang patut
atau tidak patut dikenakan bagi laki-laki dan perempuan pada suatu masyarakat bisa
berbeda pada masyarakat lain, atau pada suatu waktu yang lain.
Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya
masing-masing dalam hubungan kekerabatan itu merupakan cara yang ampuh bagi
dipertahankannya patrilineage, sekaligus patriarkhi, dengan “mengorbankan”
perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik.
Masalah yang dihadapi oleh anak perempuan Batak Toba yang berkaitan
dengan akses terhadap hak waris adalah mengenai bagaimana anak perempuan untuk
mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana anak perempuan dan harta
orang tuanya dalam pandangan hukum adat dan hukum negara. Penyelesaian
sengketa harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa
harta waris, dibedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan
akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur
untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial.
Perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif
yang menjadi bagian dari strategi bagi anak perempuan dalam penyelesaian sengketa
harta waris merupakan keunikan tersendiri. Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa
hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara anak
perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni “hak meminta” berdasarkan cinta
kasih. “Hak meminta” ini mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang
tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi,
sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi
kecuali ia meminta. Artinya “hak meminta” pun masih belum pasti antara diberi dan
tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak
memiliki hak waris.
Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta
suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya
ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka
perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka
suaminya. Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang di lapangan,
yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan
harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak
perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga.
Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
dimenangkan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan
antara harta pusaka dan harta perkawinan.
Berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan ketika bersengketa, mulai
dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap
menjalin hubungan baik dengan keluarganya, sampai dengan cara yang frontal untuk
mempertahankan harta orangtuanya.
Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas
harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan, meskipun hak
waris telah diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang didukung
dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Untuk kasus-kasus yang tidak
dipengadilankan, ada kecenderungan terjadinya “pengambangan”, artinya kasus
tersebut dibiarkan saja, tetapi si perempuan tetap berhubungan dengan pihak lawan
atau dengan cara mengelak dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan
pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang.
Strategi anak perempuan, meskipun dengan cara yang berbeda dalam
menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari bersandiwara untuk
mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal
kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan
sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika
perempuan sudah dalam keadaan sangat terdesak, maka anak perempuan dalam
menghadapi kasus sengketa warisan melalui pengadilan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Anak perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke
pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses
pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak
segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa
tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah
tidak tercapai.
Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan
memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan).
Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah
dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak
perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun
masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’
ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris. Menurut
Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa
yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung
menghindari peradilan negara, yaitu:
a. penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi;
b. gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi;
c. aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial.76
Peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh anak
perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan
negara sebagai cara pertama, kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan
musyawarah di tengah-tengah keluarga dan jika ada yang memperadilankan kasus
sengketa terlebih dahulu, yang akhirnya mengenalkan anak perempuan pada institusi
hukum negara. “Hal ini menimbulkan terjadinya pilihan hukum di bidang waris
sehingga menimbulkan pluralisme hukum dan terdapat perdebatan menyangkut
sumber hukum adat dan mekanisme pembentukannya.”77
Dari Tabel-6 berikut ini dapat diketahui dari responden, apakah anak
perempuan termasuk dalam ahli waris, sebagai berikut:
Tabel 6. Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Setuju. 16 54% 2 Tidak Setuju. 12 40% 3 Tidak Tahu. 2 6% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-6 tersebut, jawaban responden yang mengatakan setuju sebanyak
16 responden (54%) sedangkan tidak setuju sebanyak 12 responden (40%). Dari tabel
tersebut tergambar bahwa anak perempuan telah mendapat hak secara bersama-sama
76Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES
(terjemahan), Jakarta, hal. 161. 77Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan
Resistensi, www. law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
dengan saudara laki-lakinya untuk mewaris harta peninggalan orangtuanya. Kalaupun
perempuan dapat bagian harta warisan dikarenakan harta peninggalan memang ada
untuk dibagikan dan semua dapat bagian, umumnya di Kecamatan Pangururan anak
laki-laki yang tertua mendapat rumah. Bahwa implementasi hukum adat tidak
berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan
sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan berpengaruhnya implementasi
hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah. Tingkat pendidikan perempuan
berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris.
Berdasarkan penyebaran kuisioner di lapangan, ditemukan jawaban para
responden tentang besarnya bagian warisan untuk anak perempuan, dari Tabel-7,
sebagai berikut:
Tabel 7. Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih Besar Untuk Anak Laki-laki. 14 46% 2 Sama Besarnya. 6 20% 3 Sesuai Kesepakatan Ahli waris. 10 34% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel diatas, responden masih memihak kepada anak laki-laki dengan
persentase 46%, sedangkan jawaban responden yang mengatakan sama besarnya
hanya 20% saja. Sedangkan sesuai kesepakatan responden hanya berjumlah 10
responden (34%). Bahkan berdasarkan penelitian di lapangan dalam keluarga besar
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Simbolon ( E. Simbolon78, seorang anak laki-laki bersama 9 saudaranya yang lain,
yang awal tahun 2008 melaksanakan pembagian warisan yang telah
ditentukan/kesepakatan bersama sewaktu ayahnya masih hidup) bahwa “mereka yang
berjumlah 10 orang bersaudara (7 laki-laki dan 3 saudara perempuan), bahwa mereka
mendapat bagian tanah yang sama, sedangkan kelebihannya dibagikan kepada
saudara laki-laki, tetapi pembagian itu tidaklah sama persis, yang penting para ahli
waris (baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian).
Ada sebagian keluarga, untuk penentuan bagian warisan pada waktu
orangtuanya sudah tua atau sakit-sakitan, mereka semua semua berkumpul dan
diundang saksi-saksi. Maka setelah orangtuanya meninggal maka dilaksanakan
pembagian harta warisan, sepanjang ada yang dibagikan. Adat setempat mengakui
untuk rumah diberikan kepada anak laki-laki yang paling tua.
Mungkin sudah waktunya memang anak perempuan Batak harus mengambil
sikap, dan juga tuntutan zaman yg harus begitu. Dalam perkembangannya saat ini,
bahwa anak perempuan untuk mendapatkan harta warisan dari orangtuanya dapat
dilakukan berbagai cara, seperti membuat testamen, memberikan warisan dalam
bentuk lain seperti uang, pendidikan, perhiasan.
Namun pemberian warisan tersebut di atas kepada anak perempuan tetap
tidak dianggap sebagai hak. Bagaimana anak perempuan batak mengembangkan
78E. Simbolon bertempat tinggal di Jakarta, yang pada saat penelitian lapangan dilakukan
sedang berada di Pangururan, dan sedang mengurus surat tanah atas tanah yang baru diperolehnya dari pembagian tanah warisan yang ada di Pangururan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
berbagai strategi untuk memperjuangkan aksesnya atas harta warisan. Sudah
diketahui bahwa adat Batak yang kuat sistem patriarkinya hanya mengenal laki-laki
sebagai ahli waris. Dalam adat dahulu di tanah Batak memang dikenal suatu cara
untuk memberi keseimbangan hak anak perempuan dengan memberikan sebidang
tanah kepada anak perempuan yang kawin, yang disebut "pauseang". Juga untuk
menunjukkan kasih sayang atas kelahiran cucunya dari anak perempuan dapat juga
diberi sebidang lahan disebut "indahan arian" atau "punsu tali".
Secara umum perempuan Batak tidak terlalu mempermasalahkan harta
pusaka, yang adalah hak dari anak laki-laki dalam sistem patrilineal. Yang
dipersoalkan adalah harta perkawinan, gono gini. Bagaimana perempuan Batak
melancarkan strategi ? Strategi mulai dari cara yang halus sampai cara frontal. Cara
halus maksudnya, dengan tidak kentara, misalnya tetap memelihara hubungan dengan
saudara laki-laki. Bisa juga terjadi meminta dukungan tulang (saudara laki-laki) dari
ibu, yang memang dimungkinkan adat. Dia juga mendata semua harta peninggalan
yang lain di kampung halaman yang diperoleh dari warisan orangtuanya. Cara anak
perempuan berperkara di pengadilan, karena melihat ada peluang di pengadilan.
Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya cenderung menganut pandangan
bahwa anak perempuan adalah juga ahliwaris harta perkawinan. Maka itu ada anak
perempuan Batak pakai strategi mengajukan gugatan atau melayani gugatan kerabat
suami di pengadilan. Sekarang sudah semakin meluas paham kesamaan kedudukan
perempuan dan laki-laki, emansipasi. Ini tantangan bagi budaya Batak.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam Tabel-8 berikut ini akan tergambar bagaimana tanggapan para
responden terhadap harta pusaka, sebagai berikut:
Tabel 8. Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka n=30
No Jawaban Responden Jumlah % 1 Hanya untuk anak laki-laki saja. 28 94% 2 Di bagi sama. 1 3% 3 Tidak Tahu. 1 3% Jumlah 30 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-8 terjawab, bahwa para responden dengan jumlah 28 orang
(persentase 94%) tidak rela harta pusaka dibagikan untuk saudara perempuan.
Mungkin hal ini dapat dimaklumi bahwa harta pusaka itu merupakan pemberian
kakeknya/ompung dolinya yang harus diteruskan kepada anak laki-laki kepada cucu
laki-laki dan seterusnya. Bila diberikan kepada anak perempuan maka akan hilang,
karena harta pusaka itu masuk kepada clan/marga dari suaminya/hela-nya.
B. Penyelesaian Sengketa Warisan
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 ayat (1)
menyatakan: “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman”. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 5 ayat (2) menyatakan: “Pengadilan membantu pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Maka profesi hakim dalam
peraturan perundang-undangan tersebut diatas, adalah hakim sebagai pejabat
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kekuasaan kehakiman yang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan
kepadanya.
Dalam penelitian ini, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir yang
memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang
diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan)
tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara perdata (pewarisan) yang dimintakan banding serta Mahkamah
Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat terakhir
tentang perkara yang dimintakan kasasi.
Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku
bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang
dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak
memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus
keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut
hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat
Batak. Sejak tahun 1961 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu
Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang
memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang
sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari
Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli
waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris
apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).
“Walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.”79
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak
mewaris anak perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak
ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian
dari harta ayahnya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimana anak perempuan Batak
Toba menggunakan hukum nasional, hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan, dalam
melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris.
Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarkhi dapat
ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah
berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut.
Berdasarkan penelitian lapangan sejak berdirinya Pengadilan Negeri
Kabupaten Samosir, belum pernah ada sengketa warisan. Namun melalui penelusuran
kepustakaan bahwa ada beberapa putusan dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pewarisan putusan Kasasi tersebut No. 79Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 208.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
179 /Sip/1961 tanggal 1 Nopember 1961 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Nomor 204/1959 tanggal 29 Desember 1959 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Kabanjahe Nomor.3/S 1957 tanggal 8 September 1958 yaitu: Langtewas Sitepu dan
Ngadu Sitepu vs Benih Ginting, yang menjadi tonggak sejarah bagi anak perempuan
menyatakan bahwa anak perempuan dengan anak laki-laki sama-sama berhak
mewaris. Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:
Kasus Posisi:80
Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil:
1. bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu;
2. bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak anak laki-laki, dan setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo tanah itu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu tersebut.
3. bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Empat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 Nomor. 69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak buat memakai tanah itu selama mereka hidup.
4. bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut.
5. bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe memberi putusan: a. Mengakui di dalam hukum, bahwa ladang perkara berasal dari pusaka
mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh penggugat-penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung penggugat-penggugat, karena ia (Rolak Sitepu) telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua pengugat-penggugat;
80R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung, 1983, hal. 15.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
b. menentukan di dalam hukum untuk menyudahi/memutus pemakaian tergugat atas ladang terperkara dan menyerahkannya kepada penggugat-penggugat.
Maka Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September
1958 Nomor.3/S 1957, mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk
menyerahkan ladang ”Juma Pasar” kepada para penggugat. Namun dalam tingkat
banding, Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan tanggal 29 Desember 1959
Nomor 204/1959, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili
kembali menolak gugatan penggugat-penggugat. Kemudian dalam Tingkat Kasasi di
Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, keberatan-keberatan yang
diajukan pada pokoknya adalah: Bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan
(dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah bukan ahliwaris dari ayahnya, dan
bahwa penggugat-penggugat kasasi adalah menurut hukum adat Karo ahliwaris dari
Rolak Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal
dunia.
Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. Keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo
masih tetap berlaku hukum yang hidup. Seorang anak perempuan tidak berhak
sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya;
2. Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa kemanusiaan dan keadilan umum
juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di
seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang
peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa
bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan;
3. Bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka
juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli
waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya;
4. bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan penggugat-penggugat
untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan,
meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, ada kasus yang telah menjadi
yurisprudensi untuk kalangan masyarakat Batak Toba, yang sebelumnya putusan
tersebut didasarkan atas yurisprudensi No.179K/Sip/1961 dan No.100/K/Sip/1967,
yaitu No.136/K/Sip/1967.
Kasus Posisi:81
Salmah (pr) menggugat Hadji Fahri dan Siti Dour (pr), anak kandung dari mendiang Hadji Muhammad. Arsjad di muka Pengadilan Negeri Padangsidempuan pada pokoknya atas dalil:
1. bahwa almarhum ada meninggalkan beberapa bidang tanah dan beberapa rumah yang berasal dari harta pencaharian;
2. bahwa semua harta peninggalan tersebut dikuasai dan dinikmati sendiri oleh saudara penggugat yaitu Hadji Fahri.
3. dst...
81Mahkamah Agung R.I., Yurisprudensi Indonesia, Penerbitan, I-II-III-IV/1969.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada Tingkat Pertama, gugatan Salmah (pr) selaku pengugat dikabulkan
sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji Muhammad. Arsjad
diadakan pembahagian menurut hukum adat Batak “Holong Ate”, yaitu penggugat
mendapat 1 (satu) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Negeri
No.91/1956 Per.Ps. tanggal 12 Pebruari 1958). Namun penggugat Salmah (pr) tidak
puas atas putusan tersebut, lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan,
dengan yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut:
1. Hukum apakah yang dipergunakan ? hukum adat atau hukum Islam ?
2. Apakah benar yang didalilkan 2 rumah tersebut diserahkan dengan
memakai wasiat ?
3. dst...
Pertimbangan hukum dari Hakim judex factie bahwa:
1. Yang dipergunakan ialah hukum adat meskipun di sana sini di dalam tubuh
hukum adat itu ada terdapat faktor-faktor dari Hukum Islam.
2. Dalil terbanding/tergugat tidak dapat dibuktikan.
3. dst...
Pada Tingkat Banding, permohonan Salmah (pr) selaku pembanding
dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji
Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian yaitu pembanding mendapat 2 1/2 (dua
setengah) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Tinggi Medan
No.201/1958 Perdata tanggal 5 Agustus 1964).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Namun, terhadap putusan banding tersebut membuat Hadji Fahri mengajukan
kasasi dengan keberatan-keberatan untuk kasasi sebagai berikut:
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan memutus bertentangan dengan apa yang
telah terbukti karena tidak dapat dibuktikan adanya warisan, semua rumah
asal sudah terbakar, semua yang ada sekarang sudah didirikan oleh orang
lain.
2. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan salah menerapkan hukum hukum adat
sebab menurut adat Holong Ate yang dapat diberikan oleh ahli waris
kepada anak perempuan ialah bagian yang dibagi dengan sukarela di
hadapan raja-raja adat, anak perempuan tidak berhak menentukan harta
mana yang hendak diterimanya sebagai holong ate, dan ahli waris tidak
diwajibkan untuk menyerahkan harta yang bukan harta peninggalan.
Terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas maka Hakim Judex Factie
berpendapat bahwa:
1. Bahwa keberatan butir (1) tidak dapat dibenarkan, karena keberatan
mengenai penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi.
2. Bahwa keberatan butir (2) tidak dapat dibenarkan, karena menurut
pendapat Mahkamah Agung putusan Pengadilan Tinggi yang
mempergunakan hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian
warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan
kemajuan kedudukan wanita dan hak-hak wanita di tanah Batak, yaitu 2
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1/2 pintu rumah beserta tanah pekarangannya yang tersebut pada surat
gugat, adalah sudah tetap dan adil.
Dari pertimbangan hukum di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan
oleh pemohon kasasi (Hadji Fahri) tersebut ditolak.
Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita
Tapanuli dan dapat dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses
pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini
Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan di
Tapanuli.
Untuk melengkapi penulisan ini, perlu dicantumkan beberapa kasus sengketa
waris anak perempuan secara nasional:82
Tabel 9. Sengketa Waris Anak Perempuan Persepsi Para Pihak Pilihan Pengaduan
No Lawan Sengketa
Harta warisan Laki-laki Perempuan
Pilihan Hukum
Perempuan Adat Negara
1.
2.
3.
Kakak sulung
laki-laki.
Saudara kandung laki-laki.
dst ...
Rumah, tanah seluas 50m2.
sawah, tanah,
ladang, rumah,
kebun di 37
tempat berbeda, perhiasan
...
Ingin hukum adat: perempuan tidak berhak mewaris. Perempuan sudah
dibeli suami, wajib membeli rumah.
Variasi pandangan dlm kelompok
pihak laki2: hy anak laki2 yang
berhak mewaris harta perkawinan,
tdk keberatan perempuan mendpt bagian warisan. ...
...
Tidak ingin hukum adat. Merasa punya
hak atas bagian harta perkawinan orangtua.
Dilahirkan dari ibu yang sama.
Meskipun perempuan, harus dianggap sbg
ahli waris jg meminta menuntut pembagian
sama rata dengan anak laki-laki.
...
Harta pusaka tunduk pada hukum adat.
Harta pencaharian: tidak pada
hukum adat...
Mengggugat ke PN
...
-
Upaya nego-siasi gagal
...
-
PN, PT, MA memenang-
kan anak Perempuan
...
82Sulistyowati Irianto, Op.Cit, hal. 275-276.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari Tabel tersebut merupakan sebagian dari kasus-kasus sengketa waris yang
terjadi di Indonesia yang diteliti oleh Sulistyowati Irianto dalam memperoleh gelar
Doktornya dalam bidang Antrologi Hukum yang berjudul Perempuan Di antara
Berbagai Pilihan Hukum.
Nomor 1 dari Tabel tersebut merupakan data yang diperoleh di lapangan yang
dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa
antara AP vs PP. Kasus ini memperlihatkan strategi anak perempuan (AP) yang
dibantu oleh saudara-saudara kandungnya melawan kakak sulung laki-laki, untuk
mempertahankan sepetak rumah yang menjadi tempatnya bertuduh. Saudara laki-laki
yang selalu berupaya menjual rumah peninggalan orangtuanya itu adalah seorang
Sarjana Hukum (satu-satunya sarjana dalam keluarganya), mempunyai pekerjaan
yang cukup baik, dan sudah mendapatkan bagian terbesar dari harta ayahnya.
Sementara itu saudara perempuan lawan sengketanya tidak memiliki apa-apa, kecuali
rumah petak di atas tanah 50 m2 yang disengketakan itu. Pertengkaran demi
pertengkaran mewarnai hubungan persaudaraan mereka, dan sampai saat ini tidak ada
penyelesaian.
Namun Nomor 2 dari Tabel tersebut berbeda, karena merupakan data yang
diperoleh dari studi dokumen yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus
tersebut merupakan sengketa antara Muj, Pel dan Ter vs Raja Pulung M dan Raja
Meriah M (Putusan MA No.182/K/Sip/1970). Kasus waris ini menyangkut harta
yang sangat banyak berupa ladang, kebun, sawah, rumah yang terletak di 37 tempat
yang berbeda. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya harta yang disengketakan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
juga meliputi benda bergerak berupa berbagai perhiasaan yang beratnya 478 gram.
Perseteruan terjadi antara anak-anak perempuan melawan saudara-saudara kandung
mereka yang laki-laki, memperebutkan harta mendiang orangtua mereka. Baik
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memenangkan
pihak anak perempuan.
Dengan demikian upaya yang dilakukan anak perempuan untuk mendapat
hak yang dituntutnya baik melalui musyawarah keluarga atau musyawarah adat,
bahkan mengajukan gugatan sengketa warisan ke pengadilan merupakan suatu
kemenangan untuk memperoleh hak/bagian bersama-sama dengan saudaranya laki-
laki atas harta peninggalan dari orangtua mereka.
Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap
praktek di atas dengan menetapkan secara tegas kedudukan yang sama dalam hak
waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan. “Namun pada sisi lain
pertimbangan hukum dalam putusan Mahakamah Agung tidak dikaitkan dengan
filosofi, sejarah Hukum Waris Adat Batak Toba dan nilai-nilai yang hidup pada
masyarakatnya.”83 Sehingga tidak semata-mata berisi pertimbangan persamaan
kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dari aspek kemanausiaan,
perkembangan peradaban manusia dan pendapat pribadi majelis hakim. Menurut
Barita LM. Simanjuntak dalam disertasinya bahwa:
“Putusan Mahkamah Agung selanjutnya dipahami sebagai penafsiran kaidah Hukum Waris Adat Batak Toba yang baru sehingga dalam perkembangannya
83Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan
Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
otoritas badan peradilan (Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi Hukum Waris Adat Batak Toba yang sesungguhnya.”84
84Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan pada bab-bab terdahulu khususnya mengenai pembahasan,
maka pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada
prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak
perempuan tidak berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat di acara-acara
resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan
duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini,
dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah
diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara
pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi
keluarga yang berduka (mangapuli).
2. Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah
mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap
harta pusaka, yang berhak tetap anak laki-laki karena sebagai penerus marga
bapaknya.
3. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian
warisannya telah mengalami perubahan. Sebelumnya anak perempuan tidak
mendapat bagian warisan terhadap harta peninggalan orangtuanya, kecuali
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
pemberian. Namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta
warisan dari orangtuanya seperti tanah, ladang, sawah.
B. Saran
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil
diberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Disarankan kepada tokoh-tokoh adat dan kaum laki-laki, mulai memberi
kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan mengambil keputusan dalam
acara pesta-pesta Batak tanpa menghilangkan rasa hormat kepada laki-laki dan
ataupun mengubah struktur kekerabatan Batak Toba yaitu “Dalihan Na Tolu”.
2. Persamaan hak itu merupakan tuntutan rasa keadilan dan hukum, karena
yurisprudensi tentang waris telah ada dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan
mengatur persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Maka disarankan
perlu adanya sosialisasi ditengah-tengah masyarakat (tokoh adat, pemerintah
setempat) untuk memberi pemahaman yang sama “kedudukan anak perempuan
sama dengan anak laki-laki” sehingga tidak terjadi perselisihan pewarisan dalam
satu keluarga.
3. Perkembangan hak mewaris bagi anak perempuan dari tidak mewaris menjadi
mewaris, perlu disikapi secara positif. Untuk itu pemerintah disarankan membuat
peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang bersifat
nasional, sehingga tidak ada lagi keanekaragaman pembagian warisan. Maka
terciptalah kepastian hukum dan kepastian pembagian warisan bagi para ahli
waris.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional, 1976.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Edisi Ketiga, Jakarta, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. -------------------------, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas, Jakarta. Ihromi, Tapi Omas, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law
and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994. Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2005. Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara,
Jakarta, Cetakan 1, 1988. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,
LP3ES (terjemahan), Jakarta. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas
Trisakti, Jakarta. Manan, H. Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004. Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam
Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa,
Jakarta, 1990. Poesponoto, K.Ng. Soebakti, Azas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta 1990. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1989. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1976. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997. Saragih, Djaren, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba,
Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980.
Satrio, J., Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992. Sianturi, Sr. Alfocine Idarmeiaty, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru,
WKRI, PPU, 2008. Sihombing,T.M., Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai
Pustaka, Jakarta 1986. Sihotang, Jailani, dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan
di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988. Soediyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984. -----------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1988.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996. Subagio, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1994. Subekti, R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,
Bandung, 1983. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001. Suparman, Erman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW,
Refika Aditama, Bandung, 2005. Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta,
1986. Vollmar, HFA., (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata,
Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung,
Jakarta, 1987. Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid
I, FE-UI, Jakarta, 1996. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
C. Media Cetak dan Elektronik Harian Analisa., 27 April 2008. Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor.8. 1996. Magazine The International Day of World’s Indigenous Peoples, 9 Agustus 2006. [email protected] www.google.com www.law.ui.com www.samosir.go.id
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 1 Peta Wilayah Samosir:
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008