55
Hak Milik dalam Islam A. Pengertian Hak Milik Manusia adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu yang lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan masing- masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia salah satunya adalah hak milik. Secara garis besar, hak dibedakan menjadi dua yaitu maal dan ghoiru maal. Hak maal adalah sesuatu yang berkaitan dengan harta seperti pemilikan benda atau hutang-hutang sedangkan ghoiru maal dibagi menjadi dua yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Hak syakhshi adalah suatu tuntutan yang ditetapkan oleh syara’ dari seseorang terhadap orang lain sedangkan hak ‘aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. ( Fiqh Mu’amalah, Drs, H. Hendi Suhendi, M.Si, 2008 ) Dilihat dari pembagian diatas hak milik atau milkiyyah termasuk dalam hak ‘aini karena dilihat dari definisinya hak milik adalah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskan, merusakkan dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain. Milik atau almilku berasal dari kata “ malaka – yamliku – milkan “, malaka asy syaia yang berarti memiliki atau mempunyai sesuatu. ( Kamus Arab – Indonesia, Prof. Dr. Mahmud Yunus, 1972 ). Milik menurut bahasa berarti Pemilikan atas sesuatu ( harta ) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Islam ( Dwi Suwiknyo, SEI. MSI, 2009 ) Almilk yaitu penguasaan terhdap sesuatu yang dimiliki (harta) sedangkan kepemilikan adalah pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya. Berikut beberapa definisi hak milik atau milkiyyah yang

Hak Milik Dalam Islam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hak Milik Dalam Islam

Hak Milik dalam IslamA. Pengertian Hak Milik

Manusia adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu yang lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia salah satunya adalah hak milik. Secara garis besar, hak dibedakan menjadi dua yaitu maal dan ghoiru maal. Hak maal adalah sesuatu yang berkaitan dengan harta seperti pemilikan benda atau hutang-hutang sedangkan ghoiru maal dibagi menjadi dua yaitu hak syakhshi dan hak ‘aini. Hak syakhshi adalah suatu tuntutan yang ditetapkan oleh syara’ dari seseorang terhadap orang lain sedangkan hak ‘aini adalah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. ( Fiqh Mu’amalah, Drs, H. Hendi Suhendi, M.Si, 2008 ) Dilihat dari pembagian diatas hak milik atau milkiyyah termasuk dalam hak ‘aini karena dilihat dari definisinya hak milik adalah hak yang memberikan pemiliknya hak wilayah untuk memiliki, menggunakan, mengambil manfaat, menghabiskan, merusakkan dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.Milik atau almilku berasal dari kata “ malaka – yamliku – milkan “, malaka asy syaia yang berarti memiliki atau mempunyai sesuatu. ( Kamus Arab – Indonesia, Prof. Dr. Mahmud Yunus, 1972 ). Milik menurut bahasa berarti Pemilikan atas sesuatu ( harta ) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya.Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Islam ( Dwi Suwiknyo, SEI. MSI, 2009 ) Almilk yaitu penguasaan terhdap sesuatu yang dimiliki (harta) sedangkan kepemilikan adalah pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya. Berikut beberapa definisi hak milik atau milkiyyah yang dijelaskan oleh para fuqaha, antara lain:1) Definisi yang disampaikan Prof. Dr. Wahbah Zuhaily:“ Milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan syar’i “2) Definisi yang disampaikan oleh Musthafa Ahmad Azzarqa :“ Milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) yang bersifat menghalangi orang lain yang syara’ memberikan kewenangan kepada pemilik ber – tasharruf kecuali terdapat halangan “3) Definisi yang disampaikan oleh Muhammad Musthafa Assya’labi :

“ Hak milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya ber – tasharruf secara langsung atasnya selama tidak ada halangan syara’ “

4) Definisi yang disampaikan oleh Ali Khafifi :“ Hak milik adalah keistimewaan ( Ikhtishash ) yang memungkinkan pemiliknya bebas

Page 2: Hak Milik Dalam Islam

ber – tasharruf dan memanfaatkannya sepanjang tidak ada halangan syara’ “Seluruh definisi diatas menggunakan kata ikhtishash yang berarti keistimewaan sebagai kata kunci milkiyyah. Jadi milkiyyah adalah keistimwaan, ada 2 keitimewaan dalam konsep hak milik yaitu:1. Keistimewaan dalam menghalangi orang lain untuk memanfaatkan harta tanpa kehendak atau izin dari pemiliknya2. Keistimewaan dalam ber – tasharruf. Tasharruf berarti sesuatu yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa konsekwensi yang berkaitan dengan hakJadi kesimpulannya milkiyyah adalah kebebasan dalam bertasharruf ( berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu )terhadap harta kecuali ada halangan tertentu yang diakui oleh syara’ dan menghalangi orang lain untuk memanfaatkan harta tanpa kehendak atau izin dari pemiliknya.Halangan syara’ ( Al Mani’ ) yang membatasi kebebasan pemilik dalam ber – tasharruf ada 2 macam: 1. Halangan yang disebabkan karena pemilik dipandang tidak cakap secara hukum, seperti anak kecil karena anak kecil dianggap belum mumayyiz atau karena safih ( cacat mental ), atau karena alasan taflish.2. Halangan yang dimaksudkan untuk melindungi hak orang lain seperti yang berlaku pada harta bersama ( harta campuran ).Bila diperhatikan secara seksama hak milik adalah konsep hubungan manusia dengan harta, beserta hukum, manfaat dan akibat yang terkait dengannya. Dengan demikian milkiyyah tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat kebendaan ( materi ) saja tapi juga manfaatnya.B. Sebab – sebab kepemilikanHak milik dapat diperoleh melalui sebab – sebab berikut ini:1. Ihrazul Mubahat ( Penguasaan harta bebas )Al mubahat adalah harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi ( dikuasai oleh orang lain ) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Jadi Ihrazul mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain. Harta almubahat contohnya tanah mati, ikan dilaut, hewan dan pohon dihutan. Setiap orang berhak untuk memiliki dan menguasai harta benda tersebut berdasarkan batas kemampuannya masing – masing.Berdasarkan keterangan diatas kepemilikan dengan cara Ihrazul mubahat dapat dilakukan apabila memenuhi 2 sarat berikut:a) Tidak ada pihak lain yang mandahului melakukan ihrazul mubahat. Seperti dalam kaidah: “ Barang siapa lebih dahulu menguasai harta bebas maka sungguh ia telah memilikinya”Seperti dalam kasus tanah yang telah digarap dan dicocoki tanaman kemudian ditinggalkan maka tanah tersebut tidak lagi termasuk tanah mati atau harta bebas karena tentunya ketika pemiliknya tinggalkan memberi tanda terlebih dahulu seperti memberikan batas dengan memasang pagar dan sebagainya yang menghalangi orang lain untuk memiliki tanah tersebut.b) Penguasaan harta tersebut bertujuan untuk dimiliki bukan untuk yang lain.Jadi kata kunci Ihrazul mubahat adalah harta bebas untuk tujuan dimiliki tidak untuk selain itu. Penguasaan tersebut bisa dengan cara – cara yang lazim seperti memberi batas

Page 3: Hak Milik Dalam Islam

atau tanda pemilikan.2. Tawallud ( Anak pinak / berkembang biak )Tawallud adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yag lainnya atau dalam kaidah dikatakan:“ Setiap peranakan atau segala sesuatu yang tumbuh ( muncul ) dari harta milik adalah milik pemiliknya”Prinsip tawallud ini hanya berlaku pada harta benda yang besifat produktif. Harta benda yang bersifat produktif disini berarti benda hidup atau bergerak yang dapat menghasilkan sesuatu yang lain atau baru seperti binatang yang dapat bertelur, beranak menghasilkan susu dan kebun yang dapat menghasilkan buah dan bunga. Benda mati yang tidak bersifat produktif seperti rumah dan mobil tidak berlaku prinsip tawallud karena rumah dan mobil tidak bisa berbunga, bertelur apalagi beranak. Kalau ada keuntungan yang dihasilkan dari mengusahakan harta tersebut maka keuntungannya didasarkan pada hasil usaha kerja ( Tijari ) bukan tawallud.3. Al Khalafiyah ( penggantian )Al khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dibedakan menjadi 2 yaitu:a) Penggantian atas seseorang oleh orang lain seperti pewarisan. Dalam pewarisanseorang ahli waris menggantikan posisi pemilikan orang yang wafat terhadap harta yang ditinggalkannya.b) Penggantian benda atas benda yang lainnya seperti terjadi pada tadhmin ( pertanggungan ) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain , lewat tadhmin ini terjadi penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepemilik kedua.

4. Al Aqdu ( Akad )Akad adalah pertalian antara iab dengan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab pemilkan yang paling kuat dan berlaku luas dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi kekayaan dibandingkan dengan sebab – sebab pemilikan diatas. Dari segi sebab pemilikannya dibedakan menjadi 2 yaitu:

a) Uqud jabbariyah ( akad secara paksa ) yang dilaksanakan oleh otoritas pengadilansecara langsung atau melalui kuasa hukumnya . seperti paksaan menjual harta untuk melunasi hutang , kekuasaan hakim untuk menjual harta timbunan dalam kasus ihtikar demi kepentingan umum.b) Tamlik jabbari ( pemilikan secara paksa ) dibedakan menjadi 2 yaitu: Pemilikan secara paksa atas maal uqar ( harta tidak bergerak ) yang hendak diual. Hak pemilikan paksa seperti ini dalam fiqh mu’amalah dikenal syu’fah. Pemilikan secara paksa untuk kepentingan umum seperti ketika ada kebutuhan untuk perluasan masji karena tidak dapat lagi menampung jama’ah yang jumlahnya banyak, syariat membolehkan untuk pemilikan secara paksa terhadap tanah yang berdekatan dengan masjid sekalipun pemiliknya tidak mau menjualnya.Dari 4 sebab diataslah seseorang menjadi pemilik suatu harta. Pemilikan ini merupakan keistimewaan bagi seseorang untuk secara bebas ber – tasharruf atau bertindak terhadap

Page 4: Hak Milik Dalam Islam

harta yang dimilikinya. Pun demikian, Keistimewaan ini tidak bersifat mutlaq karena sekalipun islam menghormati dan melindugi pemilikan harta, penggunaannya tetap tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariat islam atau berbenturan dengan kepentingan umum dan lain - lain.C. Pembagian macam – macam milkiyyahMilik yang dibahas dalam fiqh mu’amalah secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:1. Milk Taam, yaitu suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus, artinya bentuk benda ( zat benda ) dan kegunaanya dapat dikuasai. Pemilikan taam dapat diperoleh dengan banyak cara seperti jual beli dll. Kepemilikan jenis ini tidak dibatasi oleh waktu ( selamanya ) dan kepemilikannya tidak dapat dibatalkan kecuali dialihkan atau ada pemindahan kepemilikan kepada pihak lain sesuai ketentuan syariat. Hal ini sesuai dengan prinsip pemilikan, yaitu: “pada prinsipnya milk al-’ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai dengan milk al-manfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan sebaliknya”.2. Milk Naqish, yaitu bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut. Bisa memiliki zat bendanya tanpa memiliki manfaatnya ( hak pakai atau manfaat milik orang lain ) dan hal ini tidak dapat diwariskan ( menurut Hanafiyyah ) atau memiliki manfaatnya ( kegunaannya ) saja tanpa memiliki zatnya seperti pada kasus Ijarah. Berbeda dengan Milk Taam, pemilikan jenis ini dibatasi oleh waktu dan pemilikannya dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan prinsip pemilikan, yaitu: “ Pada dasarnya pemilikan sempurna tidak dibatasi oleh waktu tapi pemilikan naqish dibatasi oleh waktu “. Berikut lima hal yang menyebabkan hak pakai/pemilikan manfaat tanpa pemilikan zat bendanya:1. Peminjaman( I’arah ), para fuqaha berbeda pendapat tentang boleh tidaknya barang pinjaman dipinjamkan kembali. Ulama hanafiyyah dan malikiyyah berpendapat boleh sedangkan syafi’iyyah dan hanabilah melarangnya.2. Sewa (Ijarah), yaitu pemindahan hak pakai dengan membaya fee3.Wakaf4. Wasiyat5. Ibahah, izin untuk menggunakan sesuatu atau memakainyaPemilikan manfaat tanpa zat bendanya ini dapat habis atau selesai apabila habis waktu pemanfaatannya sebagaimana akad awal ( seperti dalam kasus sewa atau ijarah ), rusaknya benda atau barang yang digunakan, wafatnya si pengguna ( menurut Hanafiyyah ) dll.Dilihat dari segi mahal ( tempat ), milik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:1. Milk ‘Ain atau disebut juga Milk Raqabah, yaitu memiliki semua benda, baik benda tetap ( yang tidak dapat dipindahkan ) maupun benda-benda yang dapat dipindahkan seperti pemilikan rumah, tanah, motor dll.2. Milk Manfa’ah, yaitu seseorang hanya memiliki manfaatnya saja dari suatu benda, seperti benda hasil meminjam, wakaf dan lainnya.3. Milk dayn, yaitu pemilikan karena adanya hutang, misalnua sejumlah uang dipinjamkan kepada seseorang atau pengganti benda yang dirusakkan. Hutang wajib dibayar oleh hutang yang berhutang bahkan jika yang berhutang meninggal sebelum membayar hutangnya maka ahli warisnyalah yang berkewajban membayar hutangnya.Dilihat dari segi shurah ( cara berpautan milik dengan yang dimiliki ), milik dibagi

Page 5: Hak Milik Dalam Islam

menjadi dua bagian, yaitu:1. Milk Mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain yang memiliki batasan-batasan yang dapat memisahkannya dari yang lain. Misalnya adalah antara sebuah mobil dan seekor kerbau sudah jelas batas-batasnya.2. Milk Musya’ yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang nisbi dari kumpulan sesuatu, betapa besar atu betapa kecilnya kumpulan itu. Misalnya memiliki sebagian rumah, daging domba dan harta-harta lainnya yang dikongsikan seperti seekor sapi yang dibeli oleh 40 orang untuk disembelih dan dibagikan dagingnya. Sedangkan apabila dilihat dari segi dapat dimiliki dan dihak milikkan atau tidaknya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:1. Harta yang tidak dapat dimiliki dan dihak milikkan kepada orang lain, misalnya harta milik umum seperti jalanan, jembatan, sungai dll dimana harta atau barang/benda tersebut untuk keperluan umum.2. Harta yang tidak dapat dimiliki kecuali dengan ketentuan syariah,Seperti hata wakaf, harta baitul maal dll. ( harta wakaf tidak bias dijual atau dihibahkan kecuali dalam kondisi tetentu sepeti mudah rusak atau biaya pengurusannya lebih besar dari nilai hatanya ).3. Harta yang dapat dimiliki dan dihak milikkan kepada orang lain selain yang disebutkan diatas

D. Pembagian macam – macam kepemilikanDalam buku “ Sistem Ekonomi Islam “ ( Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani, 2004 ) secara garis besar kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Kepemilikan individuSetiap manusia secara fitrah terdorong untuk memenuhi segala kebutuhannya. Manusia selalu berusaha untuk memperoleh kekayaan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya karena hal ini selain termasuk perkara yang fitri juga merupakan perkara yang pasti dan harus dilakukan. Oleh karena itu, setiap upaya melarang atau membatasi manusia untuk memperoleh kekayaan tersebut tentu bertentangan dengan fitrah tapi bukan berarti manusia dibiarkan untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya dan mengelolanya dengan cara sesuka hatinya. Syariat memberikan aturan-aturan berkaitan dengan hal ini seperti memberikan keterangan berkaitan sebab-sebab kepemilikan, dan bagaimana ber-tasharruf dengan harta tersebut. Harta yang termasuk kepemilikan ini adalah harta yang bukan merupakan menyangkut kepentingan manusia secara umum seperti rumah, tanah, kebun dll. 2. Kepemilikan umumKepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat untu sama-sama memanfaatkan benda/barang. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan ini adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh syari’ memang diperuntukan bagi suatu kominitas masyarakat, karena mereka masing-masing saling membutuhkan dan syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh seorang saja. Benda-benda ini tampak pada tiga macam, yaitu:1. Merupakan fasilitas umum; kalau tidak ada didalam suatu negeri atau suatu komunitas maka akan menyebabkan sengketa atau perselisihan dalam mencarinya. Jadi fasilitas

Page 6: Hak Milik Dalam Islam

umum pada intinya adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum sebagaimana sabda Rasulullah saw: " Kaum muslim bersekutu ( memiliki hak yang sama ) dalam tiga hal: air, padang dan api” ( HR. Abu Daud )2. Barang tambang yang tidak terbatas3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perseorangan.

3. Kepemilikan negaraKepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah atau dalam konteks saat ini adalah pemerintah suatu negara. Benda-benda atau harta yang termasuk kepemilikan negara adalah harta yang tidak termasuk milik umumn namun milik individu/perseorangan ( karena harta tersebut dapat dimiliki secara pribadi seperti tanah dan barang-barang bergerak) tapi karena harta tersebut terkait hak kaum muslim secara umum maka harta tersebut tidak termasuk milik individu dan umum tapi menjadi milik negara dan dikelola oleh negara untuk kemaslahatan kaum muslim bersama. 

E. KesimpulanUsaha munusia sebagaimana disampaikan dimuka untuk memperoleh kekayaan merupakan hal yang fitri, bahkan merupakan suatu keharusan. Hanya saja dalam mencari kekayaan tadi tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan sesukanya dan memanfaatkannya dengan sekehendak hatinya. Sebab hal ini hal ini akan menyebabkan gejolak, kerusakan bahkan kenestapaan. ( Ekonomi Miko dalam Pespektif Islam, Drs. Muhammad. MAg, 2004 ).Oleh karena itu, Islam menjelaskan secara utuh pengertian hak milik, sebab-sebab pemilikan harta, pembagian pemilikan dan berbagai hal yang berkaitan dengan harta yang tentunya semua hal ini tidak lepas dari universalitas islam sebagai agama agar manusia memahami batasan-batasan tentang bagaimana memperoleh harta dan memanfaatkannya. Karena pada hakikatnya semua yang ada di dunia ini adalah titipan atau amanah dari Allah swt yang dimaksudkan agar manusia mampu memanfaatkannya dengan benar dalam rangka beribadah kepada Allah swt.

3. Fatwa-Fatwa Tentang Bunga Bank  a. Majlis Tarjih Muhammadiyah[19]Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :1.    Riba hukumnya haram dengan nash shorih Al-Qur’an dan As-Sunnah.2.    Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.3.    Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musyabihat.4.    Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.

Page 7: Hak Milik Dalam Islam

b. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhlatul Ulama’[20]menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama’ sehubungan dengan masalah ini.1.    Haram sebab termasuk utang yang dipungut rente.2.    Halal, sebab tidak ada syarat pad awaktu akad sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.3.    Syubhat (tidak tentu halal haramnya) sebab para ahliu hukum berselisih pendapat tentangnya.Meskipun ada perbedaan pandangan lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yaitu menyebut bunga bank adalah haram.c. Sidang Konferensi Islam (OKI)Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di korachi, pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu :1.    Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan Syari’ah Islam.2.    Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah.  Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikanya Bank pembangunan Islam    / Islamic Development Bank (IDB).d. Mufti Negara Mesirkeputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingg 1989, Mufti Negara  Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.e. Konsul Kajian Islam Dunia  (;;;;;;;;;;;;;;;;)Ulama’-ulama’ besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam konferensi II KKID yang diselenggarakan di universitas Al-Azhar, Kairo, pada bulan Muharram 1385 H/ Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun kerugian atas haramnya praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional.f.     Majelis Ulama’ Indonesia.Dalam lokakarya alim ulama’ di Usaura tahun 1991 bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank alternatif. Selanjutnya, keputusan fatwa MUI No. 1 tahun 2004 tentang bunga, bahwa praktek pembungaan uang pada saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rosululloh Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan semikian, praktek pembungaan ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, penggadaian, koperasi, dan lembaga-lembaga lainya maupun dilakukan oleh individu.

Hukum Perdagangan Menurut Syariat Islam

Page 8: Hak Milik Dalam Islam

Perdagangan konvensional yang sering lakukan sehari-hari merupakan salah satu hal yang tak lepas dari perdagangan. Tapi tahukah Anda kalau dalam islam perdagangan juga dibahas dan ada aturannya? Kali ini saya akan membahas tentang hukum perdagangan menurut syariah islam. Seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam kehidupan sehari-hari bisa dikatakan kita tidak dapat terlepas dari kegiatan perdagangan, akan tetapi terkadang kita tidak mengetahui apakah perdagangan yang kita lakukan itu halal atau haram menurut hukum syariah islam.

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk di Indonesia. Seperti yang kita ketahui ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. Adapun perdagangan (jual-beli) yang dibahas dalam ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu'amalah. Ajaran Islam dapat bersumber dari Al-qur’an dan hadist, semua aspek kehidupan dibahas di dalamnya.

Aturan perdagangan Islam adalah Islam itu sendiri, yang meliputi tiga aspek pokok yaitu aqidah, akhlaq dan hukum (yang dalam fiqih Islam yaitu pembahasan mu'amalah). Perdagangan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi yang secara tegas sah (halal) menurut Islam, maka ia mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :

1.      Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Khalifah Harta2.      Terikat dengan Aqidah, Syari'ah (Hukum) dan Akhlaq (Moral)3.      Seimbang antara Keruhanian dan Kebendaan4.      Adil dan Seimbang dalam Melindungi Kepentingan Ekonomi Individu dan Masyarakat5.      Tawassuth dalam Memanfaatkan Kekayaan6.      Kelestarian Sumber Daya Alam7.      Kerja (Tidak Menunggu)8.      Zakat9.      Larangan Riba

Adapun syarat sebagai elemen penentu dan pengikat layak atau tidaknya sesuatu menjadi komponen pokok dari transaksi jual beli yang tertuang dalan rukun dan syarat jual beli :

1.      Madzhab Syafi'i

2.      Madzhab Hanafi

3.      Madzhab Maliki

4.      Madzhab Hambali

Dari uraian diatas bahwa rukun jual beli menurut madzhab empat kecuali madzhab Hanafi adalah sama, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma'qud 'alaih (alat beli dan barang yang dijual) dan shighat/ma'qud bih (ijab dan qabul). Sementara dalam madzhab Hanafi rukunnya hanya satu yaitu shighat (ijab dan qabul).

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa hukum yang mengatur perdagangan dalam islam adalah muamalat. Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang

Page 9: Hak Milik Dalam Islam

memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain. Dan dalam bahasan kaliini akan menjelaskan sedikit tentang muamalat jual beli.

Menurut syariah islam, dalam melakukan jual beli atau perdagangan harus memenuhi rukun jual beli. Rukun adalah ketentuan dalam menegakkan pekerjaan itu sendiri atau dalam bahasa mudahnya(Rukun adalah bagian dari pekerjaan itu sendiri). Berikut ini merupakan rukun jual beli menurut syariah islam :

1. Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros.

2. Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat lain namanya salam.

3. Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).

            Adapun dalam hukum muamalat ada hal-hal yang terlarang atau larangan dalam melakukan jual beli. Larangan itu meliputi :

1. Membeli barang di atas harga pasaran

2. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.

3. Memjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).

4. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.

5. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.

6. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.

7. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.

8. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.

9. Menjual atau membeli barang haram.

10. Jual beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.

            Dalam melakukan kegiatan perdagangan atau jual beli ada beberapa hukumnya, yaitu haram, mubah, dan wajib. Berikut ini adalah penjelasan tentang hukum jual beli :

1. Haram Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.

Page 10: Hak Milik Dalam Islam

2. Mubah Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.

3. Wajib Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.

            Begitulah sedikit pembahasan tentang perdagangan menurut syariah islam. Dalam melakukan kegiatan perdagangan baik secara konvensional maupun syariah islam, yang terpenting adalah dalam kegiatan jual beli tersebut tidak ada pihak yang dirugikan.

Jual beli dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari ungkapan perdagangan atau dapat juga disamakan dengan perdagangan. Pengungkapan perdagangan ini ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah, bay’ dan Syiraa’. Kata التجارة adalah mashdar dari kata kerja ( و تجرا يتجر تجر .yaitu menjual dan membeli ( شراع dan باع) yang berarti (تجارةJual beli secara etimologis berarti pertukaran mutlak. Kata al-bai’ (jual) dan Asy-Syiraa’ (beli) penggunaannya disamakan antara keduanya, yang masing-masing mempunyai pengertian lafadz yang sama dan pengertian berbeda. Tentang perdagangan di dalam Al-Qur’an dengan jelas disebutkan bahwa perdagangan atau perniagaan merupakan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk menghindarkan manusia dari jalan yang bathil dalam pertukaran sesuatu yang menjadi milik di antara sesama manusia. Seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa’ 29.Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. 

Dalam syariat Islam, jual beli merupakan pertukaran semua harta (yang dimiliki dan dapat dimanfaatkan) dengan harta lain berdasarkan keridhaan antara keduanya. Atau dengan pengertian lain memindahkan hak milik dengan hak milik orang lain berdasarkan persetujuan dan hitungan materi. Selanjutnya bentuk perdagangan lain yang juga dipergunakan di dalam Al-Quran adalah Asy-Syiraa’. Kata ini terdapat dalam 25 ayat Akan tetapi setelah diteliti, hanya 2 ayat saja yang berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya, yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22. Dalam Islam, hal yang berkaitan dengan muamalah jual beli harus memenuhi syarat dan rukun jual beli. Dalam hal ini dijelaksan rukun jual beli adalah sebagai berikut:

1. Penjual dan Pembeli2. Aqad (Ijab dan Qabul)3. Barang (Ma’kud Alaih/Subject Matter)

Sedangkan syarat-syarat bagi setiap rukun-rukun tersebut adalah penting dan mesti dipenuhi. Karena jual beli dinyatakan syah apabila telah memenuhi syarat-syarat atas pelaku akad, barang yang akan diakadkan, atau tempat berakad, barang yang akan dipindahkan kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga.

BAB II

Page 11: Hak Milik Dalam Islam

PINJAMAN (ARIYAH)A. PengertianPinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:1. menurut Hanafiyah, ariyah ialah:“memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”2. menurut malikiyah, ariyah ialah:“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah:“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”4. menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah:“kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”5. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di gantiDengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ariyah.

B. Dasar Hukum ‘AriyahMenurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:“dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.”(Al-Maidah:2)“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Daud)“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”(Riwayat Bukhari dan Muslim)

C. Rukun dan Syarat ‘AriyahMenurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada

Page 12: Hak Milik Dalam Islam

kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.

2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah: baligh berakal orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.

3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu: Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.

D. Pembayaran PinjamanSetiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”(Riwayat Bukhari dan Muaslim).Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.Rasulallah Saw. Bersabda:“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” 

Page 13: Hak Milik Dalam Islam

( Dikeluarkan oleh Baihaqi).E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.

F. Tanggung Jawab PeminjamBila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda:“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan” (Dikeluarkan ai-Daruquthin) 

G. Tatakrama Berutang Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.

Page 14: Hak Milik Dalam Islam

Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-stubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah tengkurung atau terjerat.

            Menurut istilah syara’, yang dimaksut dengan rahn adalah:1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran

dengan sempurna darinya.

2.      Menjadikan harta sebagai jaminan utang.

3.      Gadai ialah menjadikan harta benda sebagai suatu jaminan atas utang.

4.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam utang-piutang.

5.      Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :[3]1.      Menurut ulama Syafi’iyah:

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.

2.      Menurut ulama Hanabilah :

Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) utangnya kepada pemberi pinjaman.

B.     Sifat Rahn

Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahn adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.

      Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.[4]

C.     Dasar  Hukum Rahn

Sebagai referensi atau landasan hukum pinjam-meminjam dengan jaminan (brog) adalah firman Alloh Swt.[5]

�وض�ة� م�ق�ب ف�ر�ه�ان� �ا �ب �ات ك �ج�د�وا ت �م� و�ل ف�ر! س� ع�ل�ى �م� �ت �ن ك �ن� و�إ

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ( oleh berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah

Page 15: Hak Milik Dalam Islam

yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh Tuhanny ( Al-Baqarah 283).

Diriwatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:

�د� – – : – – ن ع� �ة� �م�د�ين �ال ب �ه� ل ع�ا د�ر� وسلم عليه الله صل �ى/ 0ب الن ه�ن� ر� �ق�د� ل قال عنه الله رضى �ن�س! أ ع�ن� ، ا �ع�ير ش� �ه� م�ن خ�ذ�

� و�أ �ه�ود�ى; ى ي “ Rasullah Saw, telah meruguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).                        Dari hadist di atas dapat dipahami bahwa bermualah dibenarkan juga dengan non-muslim dan harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada kekhawatiran bagi yang memberi  piutang.

Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh). Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.

D.    Rukun dan Syarat Gadai

Gadai atau pinjaman dengan jaminan suatu benda memiliki beberapa rukun, antara lain yaitu:

1.         Akad dan ijab Kabul

2.         Aqid, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat yang berakad adalah ahli tasyarruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyahadalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dam mumyyis, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. 3.         Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda uyang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tiddak rusak sebelum janji utang harus dibayar. Rosul bersabda: “Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan barang gadai”

Menurut ulam Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:a.       Dapat diperjual belikan

b.      Bermanfaat

c.       Jelas

d.      Milik rahin

e.       Bisa diserahkan

f.       Tidak bersatu dengan harta lain

g.      Dipegang oleh rahin

Page 16: Hak Milik Dalam Islam

h.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

4.         Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Menurut Sayyid Sabiq bahwa gadai itu baru dianggap sah apabila memenuhi empat syarat, yaitu:

1.         Orangnya sudah dewasa.

2.         Berpikiran sehat.

3.         Barang yang akan digadaikan sudah ada pada saat terjadi akad gadai dan barang gadaian itu  dapat diserahkan/diserahkan kepada penggadai.

4.         Barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan itu dapat berupa emas, berlian dan benda bergerak lainnya dan dapat pula surat-surat berharga ( surat tanah atau surat rumah).

E.     Pengambilan Manfaat Barang Gadai

Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama’ berbeda pendapat, diantara jumhur fuqoha dan ahmad.

Jumhur fuqoha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang terdapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.

Rasul bersbada:“Setiap orang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” ( riwayat Harits bin Abi

Usamah).Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa

kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraaan atau binatang itu ada padanya. Jika barang gadai butuh biaya perawatan, misalnya: hewan perahan, hewan tunggangan dan budak ( sebagaimana dalam as-sunah) maka:

         Jika dia dibiayai oleh pemiliknya, maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.

         Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan, tidak boleh lebih.[9]Rasul bersabda:

ب� ر� �ش� ي الد0ر@ �ن� �ب و�ل �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ �ب� ك �ر� ي �ه�  الظ0ه�ر� �ف�ق�ت ن ب� ر� �ش� و�ي �ب� ك �ر� ي 0ذ�ى ال و�ع�ل�ى �ا ه�ون م�ر� �ان� ك �ذ�ا إ

“ Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiyayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiyayaannya, bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.

Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan pada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memgang barang-barang gadai seperti di atas punya

Page 17: Hak Milik Dalam Islam

kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus membelikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.

Menurut hemat penulis, barang jaminan seprti sawah atau ladang hendaknya diolah supaya tidak mubadir mengenai hasilnya dapat dibagi antara pemilik dan penggadai atas kesepakatan bersama. Ada hal yang sangat penting yang perlu diingat bahwa hasilnya tidak boleh menjadi sepenuhnya pegadai seperti yang berlaku dalam masyarakat dan praktek semacam inilah yang diupayakan supaya lurus dan sejalan dengan ajaran islam.[10]

F.      Risiko Kerusakan Marhun

Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaiannya itu atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, bila ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, mennjadi tanggung jawab murtahin.

G.    Penyelasaian Gadai

Untuk menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan, tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan: “ Apabila rahin tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”, sebab ada yang memungkinkan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar hutang harga marhun akan lebih kecil dari pada utang rahin yang harus dibayar yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang ditentukan akan lebih jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan rahin.            Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak  murtahin ialah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanya sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan pada rahin dan sebaliknya, apabila harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.

H.    Riba dan Gadai

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membyar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.

Bila rahin tidak mampu memabayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga mahun kepada rahin.

9. Implementasi Operasi Pegadaian SyariahImplementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan

Pegadaian Konvensional. Seperti halnya PegadaianKonvensional, Pegadaian Syariah juga

Page 18: Hak Milik Dalam Islam

menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana.

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan.Penggadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian Konvensional

Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga disini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya sebagai ‘lipstick’ yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di Pegadaian. 

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya (emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :

1.   Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan .2.  Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- ( sembilan puluh rupiah ) dari kelipatan

taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang

pinjaman.Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :

           melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.

           mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.

           atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS. 

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan

Page 19: Hak Milik Dalam Islam

kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja, jadi sesuai dengan motto pegadaian adalah mengatasi masalah tanta masalah bisa di buktikan.[11]

PEMBAHASANA. Pengertian1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau selainnya. Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepafa orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :a) Ibraa, yakni menghibahlan utang kepada yang berhutang;b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di akhirat;c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan. 2. Pengertian Hibah Menurut IslamMenurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:a) Menurut mazhab hanafi adalah enda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimilik yang akan diberika itu adalah syah milik si pemberi b) Menurut mazhab Maaliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan daro Allah. Hibah menurut Maliki ini sama drngan dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekahc) Menurut Madzhab Hanbali, adalah memberika hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib, dan dilakukan pada waktu sdi pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbaland) Menurut Madzhab Syafii, hibah mengandung dua pengertian:1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian yang mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup hadiah dan sedekahWalaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama, yaitu;“hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal kebaikan” 3. Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu persetujuan, dengan si pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai layaknya milik pribadi. Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah, kecuali hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang sudah ada,

Page 20: Hak Milik Dalam Islam

jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH Perdata)4. Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian ini sama dengan definisi yang banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional bahwa yang dimaksud dengan hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsure yang harus da dalam pelaksanaan hibah. Jadi asasnya adalah sukarela.B. Landasan hukum1. Surat Al-Baqarah:195

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain2. Surat Ali-Imran:92

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan berapapun jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.Untuk itu, Berkaitan dengan masalah di atas pasal 210 KHI telah memberikan solusi, 3. KHI PASAL 210 yang berbunyi:“Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.4. Hadis Nabi:ق�ال� �يه� ب

� أ ع�ن� و�ق0اص! �ي ب� أ �ن� ب ع�د� س� �ن� ب ع�ام�ر� �ي ن �ر� ب خ�

� أ ق�ال� ه�ر�ي/ الز/ �ا �ن ح�د0ث �ان� ف�ي س� �ا �ن ح�د0ث �د�ي/ �ح�م�ي ال �ا �ن ح�د0ث�ا ي ف�ق�ل�ت� �ي �ع�ود�ن ي 0م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل 0ه� الل ص�ل0ى �ي/ 0ب الن �ي �ان ت

� ف�أ �م�و�ت� ال ع�ل�ى �ه� م�ن �ت� ف�ي ش�� ف�أ ض�ا م�ر� 0ة� �م�ك ب م�ر�ض�ت�

Page 21: Hak Milik Dalam Islam

ط�ر� ف�الش0 ق�ل�ت� ق�ال� ال� ق�ال� م�ال�ي �ي� �ث �ل �ث ب �ص�د0ق� ت� �ف�أ أ �ي �ت �ن اب �ال0 إ �ي �ن �ر�ث ي �س� �ي و�ل ا ��ير �ث ك �م�اال ل�ي �ن0 إ 0ه� الل س�ول� ر�

0اس� الن �ف0ف�ون� �ك �ت ي ��ة ع�ال �ه�م� ك �ر� �ت ت ن�� أ م�ن� �ر� ي خ� �اء� �ي غ�ن

� أ �د�ك� و�ل �ت� ك �ر� ت �ن� إ 0ك� �ن إ �ير� �ب ك /ل�ث� الث ق�ال� /ل�ث� الث ق�ل�ت� ال� ق�ال��خ�ل0ف� آأ 0ه� الل س�ول� ر� �ا ي ف�ق�ل�ت� �ك� ت

� أ ام�ر� ف�ي �ل�ى إ ف�ع�ه�ا �ر� ت /ق�م�ة� الل 0ى ت ح� �ه�ا �ي ع�ل ت� ج�ر�� أ �ال0 إ ��ف�ق�ة ن �ف�ق� �ن ت �ن� ل 0ك� �ن و�إ

�ن� أ �ع�ل0 و�ل �ج�ة و�د�ر� �ر�ف�ع�ة �ه� ب د�د�ت� از� �ال0 إ 0ه� الل و�ج�ه� �ه� ب �ر�يد� ت �ع�م�ال �ع�م�ل� ف�ت �ع�د�ي ب ل0ف� �خ� ت �ن� ل ف�ق�ال� �ي ت ه�ج�ر� ع�ن�0ه� الل س�ول� ر� �ه� ل �ي ث �ر� ي �ة� خ�و�ل �ن� ب ع�د� س� �س� �ائ �ب ال �ك�ن� ل ون� آخ�ر� �ك� ب �ض�ر0 و�ي ق�و�ام�

� أ �ك� ب �ف�ع� �ت �ن ي 0ى ح�ت �ع�د�ي ب ل0ف� �خ� ت�ؤ�ي; ل �ن� ب ع�ام�ر� �ي �ن ب م�ن� ج�ل� ر� �ة� خ�و�ل �ن� ب ع�د� و�س� �ان� ف�ي س� ق�ال� 0ة� �م�ك ب م�ات� ن�

� أ 0م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل 0ه� الل ص�ل0ىArtinya: diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari} 

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris

C. PENDAPAT PARA ULAMA’ MENGENAI HIBAH YANG LEBIH DARI SEPERTIGA1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris. 2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang bebuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:1) jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi 2) jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain3. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adill diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan

Page 22: Hak Milik Dalam Islam

sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-lakiitu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam , sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batalPrinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakuka tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khttab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan4. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga hartaharus mendapat izin dari suaminyab) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertga. Jika menghibahkan lebih dari sepertga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris

Wakaf adalah salah satu dari jenis sedekah yang bertujuan untuk ibadah mendekatkan diri pada Allah. Wakaf termasuk ibadah yang dianjurkan oleh syariah dan menjadi salah satu jalan berbuat amal kebaikan dan mendapatkan pahala bagi yang beramal apabila dibarengi dengan niat yang baik dan tujuan yang benar.

DAFTAR ISI

1. Pengertian Wakaf

2. Dasar Hukum Dalil Wakaf

3. Hukum Melaksanakan Wakaf

4. Persyaratan Wakaf

5. Rukun Tata Cara Wakaf

PENGERTIAN DAN DEFINISI WAKAF

Page 23: Hak Milik Dalam Islam

Pengeretian wakaf dalam madzhab Syafi'i adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tapi bendanya tetap dengan cara memanfaatkannya untuk kebaikan dengan niat ibadah pada Allah. 

Teks bahasa Arab menurut Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma wal Lughat 4/194 sbb:

تقربا البر إلى منافعه وتصرف رقبته في التصرف بقطع عينه بقاء مع به االنتفاع يمكن حبسمالتعالى الله إلى

Dr. Muhammad Al-Ahmad Abu Al-Nur, mantan Menteri Wakaf Mesir Wakaf mendefinisikan wakaf sebagai harta atau tanah yang ditahan oleh pemiliknya sehingga dapat menghalang penggunaannya dengan dijual atau dibeli ataupun diberikan sebagai pemberian dengan syarat dibelanjakan faedahnya atau keuntungannya atau hasil kepada orang yang ditentukan oleh pewakaf (waqif).

DASAR HUKUM DAN DALIL WAKAF

Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum atas boleh dan sunnahnya wakaf adalah sbb:

- QS Ali Imron 3:92

/ون� ب �ح� ت مم0ا تنف�ق�وا حتى البر0 �وا �ال �ن ت لن

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.

- Hadits sahih

له : يدعو صالح ولد أو ، به ينتفع علم أو ، جارية صدقة ثالثة hمن إال عمله انقطع آدم ابن مات إذا

Artinya: Apabila seorang anak Adam mati, maka putuslah amalnya kecuali tiga: sadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.

- Hadits sahih riwayat Bukhariصدقة تركها � وأرضا ، وسالحه البيضاء بغلته h إال سلم و عليه الله صلى الله رسول ترك ما

Artinya: Rasulullah (saat meninggal) tidak meninggalkan (apa-apa) kecuali keledai putih, senjata dan tanah yang disedekahkan.

- Hadits sahih riwayat Bukhari Muslim (muttafaq alaih) dari Ibnu Umarأنفس : قط ماال أصب لم أرضا أصبت فقال وسلم عليه الله صلى النبي فأتى أرضا بخيبر عمر أصاب

وال : أصلها يباع ال أنه عمر فتصدق ، بها وتصدقت أصلها حبست شئت إن قال ، به تأمرني فكيف منهعلى جناح ال السبيل وابن والضيف الله سبيل وفي والرقاب والقربى الفقراء في ، يورث وال يوهب

فيه متمول غير صديقا يطعم أو بالمعروف منها يأكل أن وليها من

Page 24: Hak Milik Dalam Islam

Arti ringkasan: Umar bin Khattab mewakafkan tanahnya di Khaibar.

HUKUM BER-WAKAF 

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa wakaf hukumnya boleh dan sunnah berdasarkan dalil Al-Quran dan hadits yang tersebut di atas. Baik dalil yang bersifat umum tentang anjuran bersedekah dan amal jariyah atau khusus terakait hadits tentang Umar bin Khatab yang mewakafkan tanahnya. 

PERSYARATAN WAKAF 

Syarat yang harus terpenuhi pada unsur-unsur penting dalam wakaf

1. Orang yang mewakafkan (waqif). 

Syarat sahnya menjadi waqif adalah (a) akil baligh; (b) berakal sehat dan normal; (c) sukarela (tidak terpaksa dan tidak ada yang memaksa); (d) pemilik dari harta yang akan diwakafkan.

2. Harta atau benda yang diwakafkan (mauquf).

Syarat sahnya mauquf adalah (a) harus berupa harta yang berharga atau ada nilainya; (b) dapat dan boleh diambil manfaatnya (bukan barang haram seperti alkohol); (c) dimiliki oleh waqif saat melakukan wakaf; (d) diketahui keberadaan harta saat pelaksanaan wakaf.

Mauquf atau harta yang diwakafkan boleh dalam bentuk (a) harta tunai; (b) tanah atau harta tak bergerak lain; (c) saham; (d) segalam macam harta bergerak yang dapat diambil manfaatnya; (e) dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam arti tidak berupa benda yang mudah rusak seperti makanan; atau wakaf untuk anak dan kerabat dalam masalah wakaf keluarga.

3. Tujuan pemanfaatan harta wakaf (mauquf alaih) 

Syarat mauquf alaih atau tujuan wakaf adalah (a) tidak untuk sesuatu yang diharamkan syariat; (b) mengandung tujuan yang tidak terputus seperti wakaf untuk tujuan kebaikan seperti Al-Quran, orang fakir miskin, memberi makan, dan lain-lain. 

RUKUN TATA CARA WAKAF 

Rukun yang harus ada saat transaksi wakaf berlangsung ada 4 (empat) yaitu:

1. Waqif atau orang yang mewakafkan.2. Mauquf atau harta benda yang diwakafkan.

Page 25: Hak Milik Dalam Islam

3. Mauquf alaih atau tujuan pemanfaatan harta wakaf.4. Sighat atau lafadz atau kata terkait dengan harta dan tujuan wakaf.

Pendapat Ulama Tentang Bank

Pada umumnya para ‘ulama terbagi menjadi tiga golongan dalam menghadapi masalah bunga perbankan ini, yakni golongan yang mengharamkan, golongan yang menganggap syubhat (samar), dan golongan yang menganggap halal. 

Muhammad Abu Zahroh, Abul A’la al-Maududi, Muhammad Abdul al-‘Arobi, dan Muhammad Nejatullah Shiddiqi adalah golongan yang mengharamkan bunga bank, baik yang mengambilnya (penyimpan) maupun yang mengeluarkannya (peminjam). Adapun alasan mereka mengharamkan bunga bank adalah sebagai berikut :

a.    Bunga bersifat menindas (dzalim) yang menyangkut pemerasan;

b.    Bunga memindahkan kekayaan dari orang miskin (lemah) kepada orang kaya (kuat) yang kemudian dapat menciptakanketidak seimbangan kekayaan;

c.    Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur, yaitu para penanam modal menerima kekayaan dari bunga-bunga modalnya sehingga mereka tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Ulama Muhammadiyah dalam mu’tamar Tarjih di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya dan sebaliknya termasuk masalah musytabihat. Masalah musytabihat merupakan perkara yang belum jelas atau belum ditemukan kejelasan hukum halal atau haramnya. Di pihak lain bunga masih termasuk riba sebab merupakan tambahan bagi pinjaman pokok. Meskipun tidak terlalu besar, tapi disisi lain bunga yang relatif kecil itu bukan merupakan keuntungan perorangan melainkan keuntungan yang digunakan untuk kepentingan umum. Meskipun bunga bank dianggap musytabihat tidak berarti umat Islam diberi kebebasan untuk mengembangkan bunga. Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk berhati-hati terhadap perkara syubhat dengan cara menjauhinya.

Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang menghalalkan pengambilan atau pembayaran bunga di bank. Pendapat ini dipelopori oleh A. Hasan dan Fuad Moh. Fachruddin. Alasan yang digunakan mereka dalam menghalalkan bunga bank adalah firman Allah SWT :

ـة� ـاع�ـف� مض� فـا ـع�ـا أ�ض� بـا الر� كلـواأ� تـ� ال�

Artinya : “Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran : 130)Jadi yang termasuk riba menurut mereka adalah bunga yang berlipat ganda. Bila bunga hanya

2% dari modal pinjaman itu tidak berlipat ganda, sehingga tidak termasuk riba yang diharamkan oleh agama Islam.

Page 26: Hak Milik Dalam Islam

PENDAPAT ULAMA TENTANG BUNGA BANK

Ada tiga pendapat  tentang persoalaan apakah bunga bank itu sama dengan riba yaitu:1.      Bunga bank adalah riba dan karenanya dianggap haram2.      Membolehkan bunga ank karena dianggap tidak sama dengan riba yang diharamkan oleh

syariat islam3.      Bunga bank haram tapi karena belum ada jalan keluar untuk mengindarinya, maka

diperbolehkan.Para ulama dan cendekiawan muslim masih berbeda pendapat tentang hukum muamalah

dengan bank konvensional dan bunga bank diantaranya:Abu zahrah, abu ‘ala al-Maududi Abdullah al- ‘Arabi dan yusuf Qardhawa mengatakan

bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh islam. Karena itu umat islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurut beliau bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’ sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank,

Musthafa Ahmad Zarqa Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata pada universitas syiria di Damaskus mengatakan, berpendapat bsebagai berikut:

a.       System prbankan yang berlaku sampai kini dapat diterima sebagai suatu penyimpangan yang bersifat sementara. Dengan kata lain istem perbankan merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari sehingga umat islam diperbolehkan bermuamalah atas dasar pertimbangan darurat, tetapi umat islam harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.

b.      Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba di kalangan jahiliyah yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang-piutang yang bersifat konsumtif, bukan utang-piutang yang bersifat produktif.

c.       Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan Negara yang akan menghilangkan unsure-unsur ekploitasi. Sekalipun bank Negara mengambil bunga sebagai keuntungan, penggunanya bukan untuk orang-orang tertentu, melainkan akan menjadi kekayaan Negara yang akan digunakan untuk kepentingan umum.

Ulama di negara-negara Timur Tengah dan beberapa orang pakar ekonomi di negara sekuler, berpendapat bahwa riba tidaklah sama dengan bunga bank. Seperti Mufti Mesir Dr.

Page 27: Hak Milik Dalam Islam

Sayid Thantawi yang berfatwa tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. Doktor Ibrahim dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba”. Mr. Kasman Singodimedjo berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim, oleh karenanya tidak perlu didirikan bank tanpa bunga. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya. Prof.Dr.Nurcholish Madjid berpendapat bahwa riba di mengandung unsur eksploitasi satu pihak kepada pihak lain, sementara dalam perbankan (konvensional) tidaklah seperti itu. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV sekitar tahun 2004 lalu, juga berpendapat bunga bank bukanlah riba.

Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamar di sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa; a) Riba hukumnya haram dengan nash sharih Qur’an dan sunah, b) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal, c) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabiat , d) menyarankan kepada PP muhammadiya untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah islam.

Dapat disimpulkan bahwa ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah bunga bank yaitu:

1.      Pendapat yang mengharamkan.2.      Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif dan tidak haram bila bersifat produktif.3.      Pendapat yang membolehkan (tidak haram)4.      Pendapat yang mengatakan subhat.

Lajnah Bahtsul Masail NU berpendapat mengenai bank dan pembungaan uang meskipun ada perbedaan pandangan , memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank adalah haram.

Apa yang disarankan oleh Muktamar Muhammadiyah di atas, saat ini sepertinya telah terjawab, hal itu dibuktikan dengan telah menjamurnya bank-bank yang berprinsipkan syariah,seperti bank muamalat dan sebagainya. Bahkan di bank konvensional pun telah dibuka bank yang menggunakan system syariah. , lebih jauh lagi MUI dalam dua tahun ini telah mengeluarkan fatwa mengenai haramnya umat islam bermuamalah dengan menggunakan bank konvensional yang menggunakan system bunga, hal itu karena telah banyak bank yang menggunakan system syariah.

Page 28: Hak Milik Dalam Islam

Asuransi menurut islam

Bagaimana menurut isLam tentang Asuransi,.?trims

(Syaiful AL Bakrie – Via Facebook)

Jawab :

Asuransi merupakan persoalan baru dalam fikih Islam. Oleh karena itu pendapat ulama mengenai asuransi lebih banyak bersifat ijtihad yang mereka simpulkan dari sumber utama hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Salah satu sumber itu adalah firman Allah: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras pembalasan-Nya. (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 2). Ada juga hadits Rasulullah saw. yang sering dijadikan dasar hukum asuransi, yaitu: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, dan belas kasih sesama mereka bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh mengeluhkan sakit, anggota badan yang lain ikut terkena dampaknya. (H.R. Muslim, dari Nu’man bin Basyir).Para ulama mengamati praktik asuransi dan kemudian mengelompokkannya secara garis besar ke dalam dua bentuk: (a) asuransi yang bersifat sosial, dan (b) asuransi yang bersifat komersial. Asuransi yang bersifat sosial adalah semacam program asuransi atau jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Asuransi ini biasanya didasarkan pada ide saling menanggung atau solidaritas sosial. Asuransi seperti ini pada umumnya dipandang boleh dan halal oleh ulama, karena prinsipnya sama dengan sumbangan (tabarru‘), gotong royong, dan saling membantu dalam kebajikan, tanpa berorientasi meraih keuntungan.Sedangkan asuransi komersial adalah asuransi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan komersial. Di sini terdapat perbedaan di kalangan ulama antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan. Mereka yang mengharamkan beralasan bahwa praktik asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan itu pada umumnya mengandung unsur gharar (semacam penipuan) yang jelas terlarang dalam fikih Islam, mengandung unsur qimâr (judi, adu nasib), dan murâhanah (taruhan). Sementara kalangan yang membolehkan berdalih bahwa pada prinsipnya asuransi itu sama dengan sumbangan dan tolong menolong.Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu (Q.S. al-Mâ’idah [5]: 1) merupakan ayat yang dijadikan dalil oleh kalangan yang membolehkan. Menurut mereka, kata al-‘uqûd(akad-akad) pada ayat itu bersifat umum yang mencakup segala macam akad, termasuk akad asuransi. Kalau saja akad asuransi itu dilarang –kata mereka lebih jauh– tentu sejak awal Rasulullah saw. sudah mengingatkan kita. Nah, karena tidak ditemukan larangan atau peringatan Rasul saw. mengenai ketidakbolehan akad asuransi, maka tentu yang dimaksud dengan al-‘uqûd di situ adalah akad secara umum, termasuk akad asuransi.

Page 29: Hak Milik Dalam Islam

Selain itu, ada sebuah riwayat dari Umar bin Yatsriy di mana ia mengatakan, “Aku menyaksikan khutbah Nabi saw. di Mina. Di antara kata-kata yang diucapkannya pada khutbah itu adalah: ‘Tidak halal bagi seseorang harta saudaranya kecuali yang direlakan, atau yang direlakan oleh hati pemberinya (mâ thâbat bihi nafsuh)’.” (HR Ahmad bin Hanbal). Di sini, Rasulullah saw. menjadikan kerelaan si pemberi sebagai salah satu cara untuk menghalalkan hartanya bagi orang lain. Dalam asuransi, kedua pihak yang bertransaksi telah saling rela menyangkut pengambilan uang dengan cara-cara yang disepakati dalam akad. Mereka juga berdalil pada kebiasaan (al-‘urf) dan mashâlih mursalah (kemaslahatan).Mufti Mesir, Syaikh Ali Jum’ah, berpendapat bahwa asuransi jiwa tidak termasuk akad yang mengandung unsur gharar (tipuan), karena pada prinsipnya asuransi itu merupakan akad sumbang-menyumbang dan tolong menolong. Apalagi, menurutnya, dalam praktik yang berkembang dewasa ini, para peserta asuransi sudah tahu sejak awal berapa besaran sumbangan yang harus ia setorkan dan berapa besaran dana yang akan diperolehnya, yang berarti tidak ada unsur gharar di situ. Selain itu, masih menurut Syaikh Ali Jum’ah, unsur judi (qimâr) juga tidak ada, karena judi didasarkan pada adu nasib (untung-untungan, gambling), sementara asuransi lebih didasarkan pada perhitungan yang jelas.

Namun demikian, sekali lagi, masalah ini lebih bersifat ijtihadi yang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana

perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain

sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat

terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, dimana melibatkan pembayaran premi

secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan

tersebut. [1]

Istilah "diasuransikan" biasanya merujuk pada segala sesuatu yang mendapatkan perlindungan

Koperasi Dalam Pandangan IslamA.    Pengertian Koperasi

Dari segi etimologi kata koperasi berasal dari bahasa inggris yaitu coperation yang artinya bekerja sama. Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama dengan penuh kesabaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan.

Koperasi dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang mendasari gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerjasama, gotong-royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum.

Sebagian ulama menyebut koperasi dengan yyirkah ta’awuniyah (persetujuan tolong menolong) yaitu suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih, yang satu pihak menyediakan modal usaha sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar membagi untung

Page 30: Hak Milik Dalam Islam

menurut perjanjian. Dalam koperasi ini terdapat unsur mudharabah karena satu pihak memiliki modal dan pihak lain melakukan usaha atas modal tersebut.

B.     Koperasi ( Sirkah Ta’awuniyah) Dalam Pandangan IslamSirkah berarti ikhtilath (percampuran). Para fuqaha mendefinisikan sebagai Akad antara

orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Definisi ini dari mazhab Hanafi. Sebelum membahas tentang koperasi (sirkah ta’awuniyah), sirkah secara umum disyariatkan dengan Kitabullah, Sunnah dan Isjma’.

Koperasi Syariah merupakan sebuah konversi dari koperasi konvensional melalui pendekatan yang sesuai dengan syariat Islam dan peneladanan ekonomi yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya. Konsep pendirian Koperasi Syariah menggunakan konsep Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama besar dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Dan tidak diperkenankan salah seorang memasukan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya.

Azas usaha Koperasi Syariah berdasarkan konsep gotong royong, dan tidak dimonopoli oleh salah seorang pemilik modal. Begitu pula dalam hal keuntungan yang diperoleh maupun kerugian yang diderita harus dibagi secara sama dan proporsional.

Koperasi berdasarkan prinsip syariah telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf Islam Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha semacam koperasi, di antaranya dengan Sai bin Syarik di Madinah.

Kini, koperasi sebagai organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association), menjadi substantive power perekonomian negara-negara maju. Misalnya Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia. Meskipun, awalnya hanya countervailing power (kekuatan pengimbang) kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association), yang sering jadi sapi perah pemilik modal (share holders) dengan sistem dan mekanisme tarpeting yang memeras pengelola.

C.    Dalil  KoperasiDalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah

kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24.

Bahkan, Nabi saw tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan

Page 31: Hak Milik Dalam Islam

mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)

Penekanan manajemen usaha dilakukan secara musyawarah (Syuro) sesama anggota dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dengan melibatkan seluruhnya potensi anggota yang dimilikinya. Sebagaimana firman Allah SW“…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Allah amat berat siksaannya “. (Q.S Al Maidah ayat 2).            Berdasarkan pada ayat Al-quran diatas kiranya dapat dipahami bahwa tolong-menolong dalam kebajikan dan dalam ketakwaan dianjurkan oleh Allah. Koperasi merupakan tolong menolong, kerja sama, dan saling menutupi kebutuhan. Menutupi kebutuhan dan tolong menolong kebajikan adalah salah satu wasilahuntuk mencapai ketakwaan yang sempurna (haqa tuqatih)Di dalam Kitabullah, Allah berfirman “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga.”(Q.S an- Nisa: 12). “Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu.” (Q. S. 38: 24)

Di dalam As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Allah SWT berfirman: “Aku ini Ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.”(HR. Abu Daud dari Abu Hurairah)

D.    Pendapat Ulama Mengenai KoperasiSebagian ulama menganggap koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah,

yakni suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian, dan di antara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan keuntungan setiap tahun dengan persentasi tetap, misalnya 1% setahun kepada salah satu pihak dari mudharabah tersebut. itu termasuk mudharabah atau qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase keuntungan tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu tidak sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan pelaksana usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.

Sedangkan Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab Syirkah Ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dinimuskan oleh fuqaha. Sebab Syirkah Ta’awuniyah, modal usahanya adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masmg. Kalau pemegang saham turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan sistem penggajian yang balaku. Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang dimungkinkan banyak sekali manfaatnya, yaitu membari keuntungan kepada para anggota pemilik saham, membori lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dan sebagian hasil koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.

Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin).

Page 32: Hak Milik Dalam Islam

Pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh sebab itu koperasi itu dapat dibenarkan oleh Islam.

Penulis Timur Tengah ini berpendapat, haram bagi ummat Islam berkoperasi. Sebagai konsekuensinya, penulis ini juga mengharamkan harta yang diperoleh dari koperasi. Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi, ialah pertama disebabkan karena prinsip-prinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariah. Di antara yang dipersoalkan adalah persyaratan anggota yang harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang dianggap akan membentuk kelompok-kelompok yang eksklusif. Argumen kedua adalah mengenai ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan. Koperasi mengenal pembagian keuntungan yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerja sama dalam Islam hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, atas dasar jerih payah atau atas dasar keduanya. Argumen selanjutnya adalah didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah yang dianggapnya hanya bermaksud untuk menenteramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis (angan-angan/khayalan).

Pendapat tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian bahasan yang bermaksud membuka spektrum hukum berkoporasi, maka selain melihat segi-segi etis hukum berkoperasi dapat dipertimbangkan dari kaidah penetapan hukum, ushul al-fiqh yang lain.

Menurut Masjfuk Zuhdi, koperasi yang memberikan persentase keuntungan tetap setiap tahun kepada para anggota pemegang saham bertentangan dengan prinsip ekonomi yang melakukan usahanya atas perjanjian keuntungan dan kerugian dibagi antara para anggota (profit and loss sharing) dan besar kecilnya persentase keuntungan dan kerugian bergantung pada kemajuan dan kemunduran koperasi.

Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat atau kesejahleraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Ini berarti bahwa ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama yang merupakan kepentingan masyarakat.

Menurut Fuad Mohd. Fachruddin, perjanjian perseroan koperasi yang dibentuk atas dasar kerelaan adalah sah. Mendirikan koperasi dibolehkan menurut agama Islam tanpa ada keragua-raguan apapun mengenai halnya, selama koperasi tidak melakukan riba atau penghasilan haram.

Tolong menolong merupakan perbuatan terpuji menurut agama Islam. Salah satu bentuk tolong-menolong adalah mendirikan kopersai, maka mendirikan dan menjadi anggota koperasi merupakan salah satu perbuatan terpuji menurut agama Islam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata [dalam Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin] :

“Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang) dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” [Al-Baqarah : 282]

Page 33: Hak Milik Dalam Islam

Demikian pula, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah membolehkan jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual. Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada beberapa cara, di antaranya :

PertamaSeseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang tidak memilikinya, sembari berkata, “Sesungguhnya saya memerlukan mobil begini”. Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan, seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga, pent), padahal para ulama berkata, “Setiap pinjaman yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba”. Jadi, standarisasi dalam setiap urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.KeduaBahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.

Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata, “Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk membayar sisanya”. Kemudian si pedagang berkata, “Saya akan pergi ke pemilik barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda, lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.

Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk) pengelabuan (siasat licik)“. [Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil 1535]

Mengenai penjualan kredit dengan penambahan harga, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan [dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah V/419-427] :

Page 34: Hak Milik Dalam Islam

“”Barangsiapa menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, maka baginya (harga,-pent) yang paling sedikit atau (kalau tidak mau, maka harga yang lebih tinggi adalah, -pent) riba” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf (VI/120/502)", Abu Daud dari Ibnu Abi Syaibah (no. 3461), Ibnu Hibban di dalam "Shahihnya (1110)", Al-Hakim (II/45), dan Al-Baihaqi (V/343) kesemuanya meriwayatkan bawha telah becerita kepada kami Ibnu Abi Zaidah dari Muhammad bin Amir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah secara marfu, sanadnya hasan, bahkan telah dishahihkan oleh Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga oleh Ibnu Hazm di dalam "Al-Muhalla (IX/16). Juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i (VII/296, cetakan baru), At-Tirmidzi (I/232), dia menshahihkannya, Ibnul Jarud (286), Ibnu Hibban (1109), Al-Baghawi di dalam "Syarh As-Sunnah (VIII/142/211)", ia juga menshahihkannya, Ahmad (II/342, 375, 503) dan Al-Baihaqi dari beberapa jalan dari Muhammad bin Amr dengan lafazh : "Beliau melarang dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan"]

Al-Baihaqi berkata : “Bahwa Abdul Wahhab (yakni Ibnu Atha’) berkata yaitu (si penjual) berkata : “Itu (barang) untukmu apabila kontan Rp 10,- namun jika dengan penundaan (seharga) Rp 20,-”

Imam Ibnu Qutaibah juga menerangkannya dengan (keterangan) ini, beliau berkata di dalam “Gharib Al-Hadits (I/18) : “Diantara jual beli yang terlarang (ialah) dua syarat (harga) dalam satu penjualan, yaitu (misalnya) seseorang membeli barang seharga dua dinar jika temponya dua bulan, dan seharga tiga dinar jika temponya tiga bulan. Itulah makna “dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.”

Dan hadits itu dengan lafazh ini ["Dua syarat di dalam satu penjualan"] adalah ringkas dan shahih. Hadits ini tersebut didalam hadits Ibnu Umar dan Ibnu Amr, keduanya telah ditakhrij di dalam “Irwaa Al-Ghalil (V/150-151)”.

Dan semakna dengan hadits itu adalah ucapan Ibnu Mas’ud : “Satu akad jual beli di dalam dua akad jual beli adalah riba” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq di dalam Al-Mushannaf (VIII/138-139), Ibnu Abi Syaibah (VI/199), Ibnu Hibban (163, 1111) dan Ath-Thabrani (41/1), sanadnya shahih]Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/393), dan ini juga merupakan riwayat Ibnu Hibban (1112) (dari Ibnu Mas’ud,-pent) dengan lafazh : “Tidak patut dua akad jual-beli di dalam satu akad jual-beli (menurut lafazh Ibnu Hibban : Tidak halal dua akad jual beli) dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Allah melaknat pemakan (riba) [Pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun tidak makan, diungkapkan dengan makan karena makan adalah kegunaan terbesar dari riba dan karena riba itu umumnya seputar makanan. Pemberi makan riba adalah orang yang memberikan riba kepada orang yang mengambilnya, walaupun yang mengambil tadi tidak memakannya,-pent. (Lihat Al-Fathur-Rabbani Ma'a Syarhihi Bulughul -Amani (XV/68) oleh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, Penerbit Dar Ihya At-Turots Al-Arabi, tanpa tahun], saksinya dan penulisnya“. Dan sanadnya juga shahihDemikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Nashr di dalam As-Sunnah (54), dia menambahkan dalam satu riwayat “Yaitu seseorang berkata : “Jika kontan maka (harganya) sekian dan sekian, dan jika tidak kontan maka (harganya) sekian dan sekian“.

Page 35: Hak Milik Dalam Islam

Apalagi sekelompok ulama dan Fuqaha (para ahli fiqh) menyepakatinya atas hal itu. Mereka adalah :

1. Ibnu Sirin Ayyub. Meriwayatkan darinya, bahwa Ibnu Sirin membenci seseorang berkata : “Aku menjual (barang,-pent) kepadamu seharga 10 dinar secara kontan, atau 15 dinar secara tempo” [Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di dalam "Al-Mushannaf (VIII/138/14630)" dengan sanad yang shahih darinya (Ibnu Sirin)].

1. Thawus. Dia berkata : “Apabila (penjual,-pent) mengatakan bahwa (barang) itu dengan (harga) sekian dan sekian jika temponya sekian dan sekian, tetapi dengan (harga) sekian jika temponya sekian dan sekian. Lalu terjadi jual beli atas (cara) ini, maka (penjual harus mengambil, -pent) harga yang lebih rendah sampai tempo yang lebih lama. [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq juga (14631) dengan sanad yang shahih juga. Abdur Razaq juga meriwayatkan (pada no 14626), demikian pula Ibnu Abu Syaibah (VI/120) dari jalan Laits dari Thawus dengannya (perkataan di atas,-pent) secara ringkas, tanpa perkataan : "Lalu terjadi jual beli..." tetapi dengan tambahan (riwayat) : "Kemudian (jika penjualnya, -pent) menjual dengan salah satu dari kedua harga itu sebelum (pembeli, -pent) berpisah dari (penjual), maka tidak mengapa". Akan tetapi ini tidak shahih dari Thawus, karena :Laits -yaitu Ibnu Abu Salim- telah berubah ingatan (karena tua)].

1. Sufyan Ats-Tsauri. Mengatakan bahwa, jika engkau berkata : “Aku menjual kepadamu dengan kontan (seharga) sekian, dan dengan tidak kontan (seharga) sekian dan sekian”, kemudian pembeli membawanya pergi, maka dia berhak memilih di antara dua (harga) penjualan tadi, selama belum terjadi keputusan jual-beli atas salah satu harga. Dan jika telah terjadi jual-beli seperti ini, maka itu adala dibenci.Itulah “dua penjualan di dalam satu penjualan”, dan itu tertolak serta terlarang. Maka jika engkau mendapati barangmu masih utuh, engkau dapat mengambil harga yang paling rendah dan waktu yang lebih lama. [Diriwayatkan oleh Abdur Razaq (14632) dari Sufyan Ats-Tsauri].

1. Al-Auza’i. Riwayatnya secara ringkas senada dengan di atas. Dalam riwayat itu dikisahkan bahwa Al-Auza’i ditanya : “Jika (pembeli,-pent) membawa pergi dagangan itu (berdasarkan jual-beli dengan) dua syarat tadi?” Dia (Al-Auza’i) menjawab : “Harga barang itu dengan harga yang terendah dengan tempo yang lebih lama“. Al-Khaththabi menyebutkannya (riwayat ini, pent) di dalam “Ma’alimus Sunnah (V/99)”. Kemudian para imam hadits dan lughoh (bahasa Arab) berjalan mengikuti sunnah mereka, diantaranya :

Imam An-Nasa’i. Beliau berkata dibawah bab : Dua penjualan di dalam satu penjualan: “yaitu seseorang berkata : Aku menjual kepadamu barang ini seharga 100 dirham secara kontan, dan seharga 200 dirham secara tidak kontan”.Demikian juga An-Nasa’i menerangkan seperti itu pada hadits Ibnu Amr “Tidak halal dua persyaratan di dalam satu penjualan“. [Hadits ini ini telah ditakhrih didalam "Al-Irwaa (1305) dan lihatlah "Shahihul Jaami (7520)".

Ibnu Hibban. Beliau berkata di dalam "Shahihnya (VII/225-Al-Ihsan)" : "Telah disebutkan larangan tentang menjual sesuatu dengan harga 100 dinar secara kredit, dan seharga 90 dinar secara kontan. Beliau menyebutkan hal itu dibawah hadits Abu Hurairah dengan lafazh yang ringkas.

Ibnul Atsir. Di dalam "Gharibul Hadits" dia menyebutkannya di dalam penjelasan dua hadits yang telah diisyaratkan tadi.

HUKUM JUAL BELI KREDITSesungguhnya telah disebutkan pendapat-pendapat yang lain mengenai tafsir "dua penjualan" itu, mungkin sebagiannya akan dijelaskan berikut ini. Namun tafsir yang telah lewat di atas adalah

Page 36: Hak Milik Dalam Islam

yang paling benar dan paling masyhur, dan itu persis dengan apa yang sekarang ini dikenal dengan (istilah) "Jual Beli Kredit". Bagaimana hukumnya ?

Dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat semenjak dahulu hingga sekarang dan menjadi tiga pendapat.

1. Bahwa hal itu adalah batil secara mutlak, dan ini adalah pendapat Ibnu Hazm2. Bahwa hal itu adalah tidak boleh kecuali apabila dua harga itu dipisah (ditetapkan) pada salah

satu harga saja. Misalnya apabila hanya disebutkan harga kreditnya saja.3. Bahwa hal itu tidak boleh. Akan tetapi apabila telah terjadi dan harga yang lebih rendah

dibayarkan maka boleh.

Dalil madzhab yang pertama adalah zhahir larangan pada hadits-hadits yang telah lalu, karena pada asalnya larangan itu menunjukkan batilnya (perdagangan model itu). Inilah pendapat yang mendekati kebenaran, seandainya tidak ada apa yang nanti disebutkan saat membicarakan dalil bagi pendapat yang ketiga.

Sedangkan para pelaku pendapat kedua berargumentasi bahwa larangan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan harga, yaitu : ketidak pastian harga ; apakah harga kontan atau kredit. Al-Khaththabi berkata : "Apabila (pembeli) tidak tahu harga (maka) jual beli itu batal. Adapun apabila dia memastikan pada salah satu dari dua perkara (harga, -pent) itu dalam satu majlis akad, maka (jual-beli) itu sah".

Syaikh Al Albani berkata : "Alasan dilarangnya ‘dua (harga) penjualan dalam satu penjualan' disebabkan oleh ketidaktahuan harga, adalah alasan yang tertolak. Karena hal itu semata-mata pendapat yang bertentangan dengan nash yang jelas di dalam hadits Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud bahwa (penyebab larangan) itu adalah riba. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain (yang menjadi pendapat ini tertolak, -pent) ialah karena alasan mereka ini dibangun di atas pendapat wajibnya ijab dan qabul dalam jual beli. Padahal (pendapat) ini tidak ada dalilnya, baik melalui Kitab Allah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di dalam (jual-beli) itu cukup (dengan) saling rela dan senang hati. Maka selama ada rasa saling rela dan senang hati di dalam jual beli, dan ada petunjuk kearah sana, berarti itu merupakan jual-beli yang syar'i. Itulah yang dikenal oleh sebagian ulama dengan (istilah) jual beli Al-Mu'aathaah [Yaitu akad jual beli yang terjadi tanpa ucapan atau perkataan (ijab qabul) akan tetapi dengan perbuatan saling rela. Seperti pembeli mengambil barang dagangan dan memberikan (uang) harganya kepada penjual ; atau penjual memberikan barang dan pembeli memberikan (uang) harganya tanpa berbicara dan tanpa isyarat, baik barang itu remeh atau berharga. (Lihat "Al-Fihul Islami wa Adillatuhu IV/99 oleh DR Wahbah Az-Zuhaili)], Asy-Syaukani berkata di dalam “As-Sail Al-Jarar (III/126)”

“Jual beli al-mu’aathaah ini, yang dengannya terwujud suasana saling rela dan senang hati adalah jual beli syar’i yang diijinkan oleh Allah, sedangkan menambahinya (dengan syarat-syarat lain, pent) adalah termasuk mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh syara (agama)”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga telah menjelaskan hal itu di dalam Al-Fatawa (XXIX/5-21) yang tidak memerlukan tambahan lagi, hendaklah orang yang ingin memperluas (masalah ini) melihat ke sana.

Page 37: Hak Milik Dalam Islam

Syaikh Al-Albani berkata : “Apabila demikian, maka seorang pembeli sewaktu dia telah berpaling (membawa) apa yang dia beli, mungkin dia membayar kontan atau mungkin membayar kredit. Jual beli dengan cara yang pertama itu sah, sedangkan pada cara kedua yaitu pembeli membawa barang dengan menanggung harga kredit -dan inilah masalah yang sedang diperselisihkan-, lalu mana alasan tidak mengerti harga yang dikemukakan di atas ? Khususnya lagi apabila pembayaran itu dengan angsuran, maka angsuran yang pertama dia bayar dengan kontan sedang sisa angsurannya tergantung kesepakatan. Dengan demikian batallah illat (alasan/sebab) tidak mengertinya harga sebagai dalil, baik melalui atsar maupun melalui penelitian.

Dalil pendapat yang ketiga adalah hadits bab ini (hadits yang dibicarakan ini ,-pent), ditambah atsar (hadits) Ibnu Mas’ud. Sesungguhnya kedua hadits tersebut sepakat bahwa : ‘dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan adalah riba”. Jadi riba itulah yang menjadi illat (alasan)nya. Dengan demikian maka larangan itu berjalan sesuai dengan illat (alasan)nya, baik larangan itu menjadi ada, ataupun menjadi tidak ada. Karenanya bila dia mengambil harga yang lebih tinggi, berarti itu riba. Tetapi bila mengambil harga yang lebih rendah, maka hal itu menjadi boleh. Sebagaimana keterangan dari para ulama, yang telah menyatakan bahwa boleh untuk mengambil yang lebih rendah harganya, dengan tempo yang lebih lama, karena sesungguhnya dengan demikian berarti dia tidak menjual dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan.

Bukankah anda lihat apabila (penjual) menjual barang dagangannya dengan harga pada hari itu, dan dia membebaskan pembeli untuk memilih antara membayar harga secara kontan atau hutang, maka dia tidak dikatakan : Telah menjual dengan dua (harga) penjualan di dalam satu penjualan, sebagaimana hal itu jelas. Dan itulah yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya pada hadits yang bicarakan, “Maka baginya (harga) yang paling sedikit, atau (kalau tidak mau maka harga yang lebih tinggi adalah) riba” [lihat hadits yang menjadi pokok bahasan di atas, -pent]

Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensahkan penjualan itu karena hilangnya illat (alasan/sebab yang menjadikannya terlarang). Beliau membatalkan harga tambahan, karena hal itu adalah riba. Pendapat ini adalah juga pendapat Thawus, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i rahimahullah sebagaimana telah diterangkan di atas. Dari sinilah dapat diketahui gugurnya perkataan Al-Khaththabi di dalam “Ma’alimus Sunan (V/97)”.

Dan kesimpulannya ; bahwa pendapat yang kedua itu adalah pendapat yang paling lemah, karena tidak ada dalil padanya kecuali akal bertentangan dengan nash. Kemudian diiringi oleh pendapat yang pertama, karena Ibnu Hazm yang mempunyai pendapat itu mengklaim bahwa hadits bab ini telah dihapus (mansukh) oleh hadits-hadits yang melarang dua penjualan di dalam satu penjualan, dan klaim itu tertolak, karena bertentanan dengan ushul (fiqh,-pent).

Karena (di dalam ushul fiqh, sebuah hadits itu,-pent) tidak akan menjadi (pembicaraan) naskh (penghapusan hukum) kecuali apabila jama’ (penggabungan nash) sulit dilakukan, padahal jama’ bisa dilakukan dengan mudah disini.

Ketahuilah akhi (saudaraku) Muslim ! bahwa mu’amalah tersebut yang telah tersebar di kalangan para pedagang dewasa ini, yaitu jual beli kredit, dan mengambil tambahan (harga) sebagai ganti tempo, dan semakin panjang temponya ditambah pula harganya. Dari sisi lain itu hanyalah mu’amalah yang tidak syar’i karena meniadakan ruh Islam yang berdiri di atas (prinsip)

Page 38: Hak Milik Dalam Islam

memudahkan kepada manusia, kasih sayang terhadap mereka, sebagaimana di dalam sabda beliau “Mudah-mudahan Allah merahmati seorang hamba, yang mudah apabila dia menjual, mudah apabila dia membeli, mudah apabila dia menagih” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang dermawan, yang lemah lembut, yang dekat niscaya Allah haramkan dari neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan lainnya, dan telah disebutkan takhrijnya no. 938]Maka seandainya salah seorang dari mereka (para pedagang ) bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjual (barang) dengan (sistim hutang atau kredit dengan harga kontan, sesunguhnya itu lebih menguntungkannya, hatta dari sisi materi. Karena hal itu akan menjadikan orang-orang ridha kepadanya dan mau membeli darinya serta akan diberkati di dalam rizkinya, sesuai dengan firmanNya Azza wa Jalla “Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka” [Ath-Thalaq : 2]

Dan pada kesempatan ini aku nasehatkan kepada para pembaca untuk meruju kepada risalah al-akh Al-Fadhil Abdurrahman Abdul Khaliq (yang berjudul) : “Al-Quuluf Fashl Fii Bari’il Ajl”, karena risalah ini istimewa dalam masalah ini, bermanfaat dalam temanya, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kepadanya.”