18
Apakah tarian lagu daerah, corak kain tenun atau batik yang tidak diketahui penciptanya namun dikenal oleh khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai public domain? Ya, karena dalam peraturan Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai budaya daerah sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat (2) tertulis bahwa: Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Folklor merupakan bagian dari pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional dapat diartikan sebagai, Pengetahuan yang merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal dari seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk folklor, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, serta bahasa daerah. 1 Menurut Arif Syamsuddin pengeahuan tradisional dalam bentuk folklor mencakup, musik tradisional, narasi dan 1 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Hlm. 27-28.

haki

  • Upload
    khairul

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hakintelektual

Citation preview

Page 1: haki

Apakah tarian lagu daerah, corak kain tenun atau batik yang tidak diketahui penciptanya namun dikenal oleh khalayak ramai dapat dikategorikan sebagai public domain?

Ya, karena dalam peraturan Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai budaya daerah sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta pada pasal 10 ayat (2) tertulis bahwa:

Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

Folklor merupakan bagian dari pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional dapat diartikan sebagai, Pengetahuan yang merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal dari seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman melalui negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan, pengetahuan tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal itu menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk folklor, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum masyarakat, serta bahasa daerah.1

Menurut Arif Syamsuddin pengeahuan tradisional dalam bentuk folklor mencakup, musik tradisional, narasi dan literatur tradisional, seni tradisional, kerajinan tradisional, simbol/nama/istilah tradisional, pertunjukkan tradisional, seni arsitektur tradisional, danlain-lain. Contoh ekspresi budaya tradisional dikelompokkan menjadi ekspresi verbal: berpantun, berpuisi, kata/tanda/simbol, ekspresi musik: instrumen musik, pelantunan lagu, ekspresi gerakan: tari-tarian, bentuk permainan, upacara ritual, sesaji, ekspresi bentuk nyata: produksi seni tradisional (menggambar,memahat patung, kerajinan kayu, kerajinan logam, perhiasan, karpet tradisional, alat-alat musik tradisional, bangunan arsitektur tradisional).

1 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Hlm. 27-28.

Page 2: haki

Wujud atau ekspresi kebudayaan tradisional/folklor merupakan tradisi yang dipelihara, dipertahankan dan dikembangkan secara turun temurun dari generasi ke generasi kehidupan komunitas masyarakat adat atau komunitas budaya lokal di seluruh kepulauan Indonesia untuk kesejahteraan hidupnya pada akhirnya menjadi identitas budaya nasional. Dengan demikian ekspresi budaya tradisional/folklor Indonesia dapat diartikan sebagai  keseluruhan sistem yang merupakan ungkapan ide, gagasan, tindakan  dan hasil karya manusia sebagai ungkapan tradisi turun temurun dalam masyarakat.

Dasar  hukum perlindungan terhadap EBT Indonesia sebagaimana terlihat dalam Pasal 32 dan Penjelasan  Undang-Undang Dasar NRI 1945 dan Pasal 28C ayat (1,2), Pasal 28 I, ayat (3) UUD NRI 1945 sekaligus menjadi landasan konstitusional perlindungan EBT Indonesia. Landasan operasional politik hukum perlindungan terhadap EBT terdapat di dalam Pasal 10 UU Hak Cipta Tahun 1982, 1986 dan 2002

1)   Prinsip Pendekatan Perlindungan Sui GenerisBelum terakomodasinya perlindungan hukum yang komprehensif terhadap

karya-karya EBT di beberapa peraturan hukum kekayaan intelektual Indonesia maupun peraturannya lainnya membawa dampak terhadap munculnya kasus-kasus dan klaim kepemilikan dan pemanfaatan secara komersial terhadap karya-karya cipta ataupun temuan EBT Indonesia oleh pihak-pihak di luar komunitas masyarakat  adat ataupun oleh pihak asing yang semakin banyak dan tidak terselesaikan secara tuntas.

Menyadari hal tersebut pemerintah perlu menyiapkan kebijakan hukum mengenai perlindungan EBT melalui peraturan hukum kekayaan intelektual sui-generis[6], artinya pendekatan perlindungan yang mengenalkan konsep hak baru terhadap kepemilikan EBT yang selama ini dianggap public domain dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sistem hukum kekayaan intelektual secara tersendiri.  Ada beberapa alasan mengapa pendekatan perlindungan sui generisdiperlukan dalam memberikan perlindungan terhadap EBT Indonesia yaitu :

Pertama, selama ini perlindungan EBT dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip yang ada dalam hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis di Indonesia secara substantif ketentuan-ketentuan di dalam hukum kekayaan intelektual (cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang dan varitas tanaman ) kurang mampu melindungi secara utuh terhadap EBT, hal ini disebabkan karena ada perbedaan karakteristik hak kekayaan intelektual dan ekspresi budaya tradisional. 

Walaupun sama-sama bersumber pada kreativitas intelektual manusia akan tetetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat perbedaan  dalam karakternya. HKI bentuk gagasan harus diwujudkan dalam bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan didengar,  tetapi kalau dalam EBT bentuk gagasan bisa berwujud ( ekspresi nyata),  atau tidak berwujud (bisa dalam bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi . Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan ilmu pengetahuan, desain, merek, temuan tehnologi dan  species sebagai karya atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan

Page 3: haki

sebelumnya (originality), sedangkan dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar tradisi turun temurun.

Pencipta dalam HKI teridentifikasi dengan jelas yaitu individu ataupun korporasi  dan orientasi unruk menghasilkan ciptaan lebih mengarah pada motif ekonomi daripada sekedar ekspresi dari pencipta atau penemu. Hasil ciptaannya dikonstruksikan sebagai benda yang dikategorikan sebagai benda tak berwujud sehingga bisa menjadi obyek hak kekayaan. Hal ini  berbeda dalam EBT, identifikasi pencipta aslinya tidak diketahui, komunitas masyarakat tradisional/lokal mencipta karya EBT secara turun temurun lintas generasi ataupun  individu yang mempunyai kewenangan berdasarkan tradisi dan orientasi untuk menghasilkan ciptaan untuk meneruskan tradisi baik yang menyangkut kepentingan budaya dan keagamaan. Hasil ciptaan dikonstruksikan sebagai warisan budaya dari generasi sebelumnya bukan untuk dimiliki tetapi dijadikan identitas komunitas masyarakat yang selama mempertahankan dan memelihara  EBT.

Adanya perbedaan karakter antara HKI dan EBT menyebabkan persyaratan substantif untuk mendapat perlindungan melalui ketentuan hukum kekayaan intelektual tidak terpenuhi. Pemberian perlindungan dengan pendekatan hukum kekayaan intelektual sui generis diharapkan lebih sesuai dengan karakteristik EBT, sehingga lebih mampu memberikan perlindungan terhadap EBT secara utuh.

Kedua, prinsip-prinsip perlindungan hak kekayaan intelektual yang mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis di Indonesia merupakan prinsip-prinsip hukum perlindungan HKI mengadopsi paham individualis dan monolistis. Paham mendasarkan filosofi perlindungan HKI pada  konsep natural rights Jhon Locke. Konsepnatural rights atau hak alamiah, dijadikan argumen moral bahwa orang yang mampu melahirkan karya-karya intelektualnya, mereka secara alami, serta dengan sendirinya akan memiliki hak alamiah yang melekat secara inheren atas karya-karya yang diciptakan. Disamping itu argumen moral juga mendasarkan teori Labour, bahwa lahirnya hak kekayaan intelektual pada pencipta atau penemu karena seseorang telah menggunakan pemikirannya, kemudian berkerja secara keras sehingga menghasilkan sesuatu karya yang tadinya tidak ada atau kurang (scare), kemudian dengan proses labour maka menjadi sesuatu yang ada. Karenanya memberikan reward dan melegetimasi perlindungan kepada orang yang melahirkan karya intelektual tersebut.

Filosofi ini melahirkan doktrin moral  kepemilikan eksklusif HKI yaituhak individu pemilik kreativitas intelektual agar hak-haknya tidak diganggu oleh orang lain. Dengan demikian jelas sekali bahwa perlindungan HKI mengadopsi gagasan yang mengedepankan hak-hak individu atau dengan kata lain perlindungan HKI mengadopsi paham individualis. Paham ini menerima sesorang itu memiliki harga perseorangan yang kuat, kalau hendak dikatakan mutlak, seseorang atau individu diyakini memiliki harga moral yang intrinsik/inheren. Berdasarkan keyakinan tersebut, maka paham perseorangan mendorong otonomi seseorang dalam berpikir dan bertindak. Sebagai

Page 4: haki

konsekuensiya maka eksklusivitas diri sebagai invidu (individual privacy) mendapat tempat dan diakui sebagai penting. Seseorang benar-benar otonom karena dilepaskan dengan hubungan spesifik dengan orang lain. Tujuan yang ingin dicapai berpusat pada pengembangan diri sendiri.[7]

Lebih jauh lagi filosofi prinsip-prinsip HKI berdasarkan argumen ekonomi bahwa perlindungan karya intelektual bukan saja mendasarkan pada hak yang inheren, melainkan lebih menekankan pada investasi yang berkaitan pada kepentingan ekonomi karena individu telah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran dan biaya demi sebuah karya atau temuan yang berguna bagi kehidupan. Hak ekonomi adalah imbalan yang pantas bagi pencipta ataupun penemu jika ia telah menciptakan dan metemukan. Rasionalitas untuk melindungi modal investasi tersebut mesti dibarengi dengan pemberian hak eksklusif terhadap individu yang bersangkutan agar menikmati secara eksklusif hasil olehah pikirnya.

Kepemilikan ekskusifnya dapat membawa konsekuensi pemilik HKI

mempunyai hak monopoli dan hak untuk mengeksploitasi manfaat ekonomi dari

hasil karya ataupun temuannya sebesar-besarnya tanpa gangguan pihak lain

selama masa perlindungan dan menjadi pembatasannya hanyalah selama tidak

melanggar hak dan merugikan orang lain.

Paham individualis dan monopolistis ini jelas berbeda dengan kosmologi

masyarakat Indonesia yang bercorak komunal. Sikap hidup masyarakat yang sangat

diwarnai oleh kebersamaan menjadikan masyarakat memandang warganya  bukan

orang sebagai individu, melainkan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan

masyarakat. Setiap individu dalam lingkungan  kesatuannya bergerak dan berusaha

sebagai pengabdian kepada seluruh kesatuan. Terdapat kecenderungan untuk tidak

memisahkan (separte out) seseorang dari konteks sosialnya, cara-cara seseorang

bertindak dalam konteks atau keseluruhan.Sehingga menciptakan ataupun

menemukan sesuatu merupakan hasil gerak dan usaha individu, dan hasilnya yang

berupa karya cipta ataupun temuan  dapat dinikmati secara kolektif (berbagi)

seluruh anggota masyarakat dimana individu berada.  Karya-karya intelektual

tersebut diciptakan oleh para kreator dan inventor bukan bertujuan untuk dimiliki

secara pribadi sebagai kekayaan, tetetapi semata-mata bertujuan memenuhi

kebutuhan komunitas masyarakat dimana dia merupakan bagian komunitas

masyarakat yang bersangkutan.

Perlindungan EBT melalui prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual yang

sekarang ini eksis berlaku di Indonesia maupun secara internasional berarti

memberikan perlindungan EBT dengan tidak mendasarkan ide dasar, nilai-nilai,

Norma yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri, sebab masyarakat

Indonesia sudah terbiasa dengan nilai-nilai yang bercorak komunal dan

religius/spiritual. Hal ini berbeda dengan filosofi HKI yang tumbuh berkembang di

dalam masyarkat Eropa dan Amerika yang kemudian dikembangkan di dalam

Page 5: haki

konvensi-konvensi HKI internasional yang  mengandung paham individualis dan

monopolistis.

Prinsip-prinsip yang terdapat hukum kekayaan intelektual Indonesia merupakan  transplantasi (tranplantation) dari hukum asing baik melaluiwarisan hukum kolonial Belanda serta merta menjadi hukum nasional ataupun transplantasi hukum internasional (persetujuan TRIPs) ke dalam hukum nasional. Sehingga sistem hukum kekayaan intelektual Indonesia menurut Tamanaha merupakan ketentuan hukum yang dipaksakan dari luar Indonesia(imposed from out side),  tidak berakar pada kehidupan sosial (not peculiar of social life) kehidupan bangsa Indonesia. Membuat kebijakan perlindungan EBT secara sui-generis berarti kebijakan perlindungan EBT tidak semata-mata mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum kekayaan intelektual akan tetetapi juga mendasarkan pada nilai-nilai ataupun ide dasar yang hidup dan mengakar di dalam komunitas-komunitas penghasil kreatiftas intelektual bangsa Indonesia.

Ketiga, bagi Indonersia ataupun negara lainnya adopsi ataupun implementasi terhadap hukum internasioal adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari pada era globalisasi sekarang ini, Oleh karena itu interdependensi antar negara-negara  di dunia semakin kuat, bahkan tidak ada satu pun negara di dunia ini yang bisa melepaskan diri dari hubungan saling ketergantungan dengan negara lain. Ketergantungan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, teknologi maupun politik. Interdependensi yang erat juga terjadi antara hukum nasional dan hukum internasional, sehingga hukum nasional Indonesia juga mempunyai keterikatan yang kuat terhadap hukum internasioanl. 

Keterikatan ini terutama terhadap hukum internasional masuk kategori hukum internasional dengan karakter norma “hard law”,  seperti halnya persetujuan TRIPs, sehingga sistem hukum kekayaan intelektual Indonesia terikat penuh (konsekuensi prinsip full complainment) dengan standart-standartnorma  ataupun prinsip-prinsip perlindungan HKI yang diatur secara terperinci dalam persetujuan TRIPs dan kalau tidak ditaati akan memberikan dampak terhadap kemungkinan mendapakan ancaman gugatan melalui DSB nya WTO atau tindakan unilateral dari negara lain, sehingga tidak ada keleluasan untuk membuat ketentuan-ketentuan di luar standart Norma persetujuaan TRIPs. Memberikan perlindungan terhadap EBT melalui ketentukan hukum kekayaan intelektual sui generis diharapkan memberikan keleluasaan untuk tidak harus terikat demgan standart norma maupun prinsip-prinsip perlindungan HKI berdasarkan persetujuan TRIPs sekaligus menghindarkan dari ancaman gugatan melalui DSB ataupun tindakan unilateral dari negara lain terutama dari negara-negara maju tujuan ekspor.

2)      Prinsip Perlindungan TerpaduPrinsip perlindungan terpadu terhadap EBT perlu dilakukan, agar perlindungan

EBT diharapkan tidak hanya melindungi EBT nya saja, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap warisan budaya yang berkaitan dengan EBT tersebut. Pendekatan ini juga memberikan perlindungan untuk kepentingan komunitas masyarakat yang selama ini memelihara, mempertahankan dan mengembangkan EBT.

Page 6: haki

Memberikan perlindungan secara terpadu berarti menggunakan strategi perlindungan terhadap EBT yang selama berkembang baik dalam trend perkembangan global maupun yang dipraktekkan oleh negara-negara baik melalui penggabungan dua pendekatan sekaligus yaitu strategi positive protection  strategi dan defencive protection. Strategi tersebut memberikan perlindungan EBT dengan tujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari penggunaan EBT secara komersial oleh pihak di luar komunitas. Sekaligus mencegah penggunaan yang tidak dikehendaki yaitu penggunaan EBT secara tidak pantas atau bahkan melecehkan. Strategi ini juga untuk mencegah agar EBT pada khususnya tidak hilang atau punah. Tujuan defencive protectionuntuk menjaga keutuhan nilai-nilai budaya yang hidup sembari tetap menjaga integritas dan keberadaan EBT dapat diakses dan digunakan siapa saja dan dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Berdasarkan penelitian Peter Jazzi[8], mayoritas masyarakat menganggap isu perlindungan HKI dan komersialisasi dari EBT Indonesia adalah kurang urgen dibandingkan dengan resiko punahnya EBT. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengakuan dan perhatian pemerintah, serta tidak adanya upaya dokumentasi atas EBT dan masyarakat pengembannya (kustodian). Komunitas tradisional sesungguhnya juga tidak dapat menerima penyalahgunaan dan komersialisasi EBT mereka, akan tetapi kedua hal ini bukan merupakan keprihatinan utama mereka. Keprihatinan utama mereka adalah: Keberlanjutan budaya mereka; Keberadaan sistem yang dapat mempertahankan dan mentransmisikan budaya mereka ke generasi selanjutnya; Keseimbangan antara pemberian perlindungan pada budaya mereka dan pemberian akses pada tiap orang untuk memanfaatkannya demi terciptanya kreativitas dan inovasi baru. Menurut mereka, tujuan undang-undang baru untuk memberikan perlindungan EBT seharusnya adalah untuk mengatur ketiga hal tersebut.

Penggunaan prinsip-prinsip perlindungan berdasarkan hukum kekayaan intelektual bertujuan melindungan aspek moral dan aspek ekonomi EBT. Perlindungan aspek moral EBT dalam rangka memberikan perlindungan dari tindakan distorsi, muntilasi dan atribusi dari EBT yang yang dapat menyebabkan hilangnya kesucian ataupu kesakralan karya EBT dan dapat menyebabkan komunitas  masyarakat pendukungnya  terhina, dan terciderai. Perlindungan aspek ekonomi dalam rangka memberi perlindungan hak ekonomi komunitas ketika EBT dimanfaatkan secara komersial oleh pihak lain. Kebijakan memberikan perlindungan EBT berdasarkan hukum kekayaan intelektual yang sekarang ini eksis harus dilakukan dengan pendekatan prismatika hukum seperti dijelaskan walaupun secara substantif dan filosofis prinsip-prinsip perlindungan berdasarkan hukum kekayaan intelektual tidak bisa diterapkan secara komprehensif terhadap EBT (lihat uraian bab III disertasi ini ). Dengan demikian  penerapan prinsip-prinsip HKI harus dilakukan secara khusus (sui generis) disesuaikan dengan karakteristik EBT itu sendiri maupun nilai-nilai/ide dasar yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia tentang keberadaan kreatiftas intelektual berbasis EBT.

Page 7: haki

Prinsip-prinsip pelestarian dan konservasi berdasarkan hukum warisan budaya diterapkan dalam rangka memberikan perlindungan tentang keberadaan EBT agar tetap hidup, dan tetap memberikan ruang untuk pengembangan antar generasi secara alami. Pelestarian dan penyebaran identitas budaya dan sosial komunitas seperti integritas, kepercayaan spiritual, nilai-nilai dan karakter komunitas mereka yang terus berkembang. Pendekatan ini bertujuan agar keberadaan EBT tetap berkesinambungan dan berkelanjutan  bagi generasi yang akan datang masih tetap menikmati EBT. Sebagaimana diketahui karya EBT mengajarkan tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal yang dikemas dan diturunkan ke anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, upacara, yang berangsur-angsur membentuk norma sosial dan tata hidup bangsa Indonesia. Punahnya EBT berarti hilangnya juga norma sosial dan tradisi Indonesia yang dapat membawa implikasi sosial seperti munculnya ketegangan maupun konflik-konflik sosial yang akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia.[9]

Pendekatan dengan menggunakan prinsip-prinsip perlindungan HAM bertujuan melindungi hak komunal masyarakat adat terutama berkaitan kepemilikan EBTnya dan juga bertujuan supaya terjadi keseimbangan antara hak individu atas hasil dari kreativitas intelektualnya dan hak masyarakat untuk menikmati kreatiftas intelektual. Penerapan prinsip-prinsip hukum adat yang masih hidup diterapkan agar prinsip-prinsip yang mengatur perlindungan EBT benar-benar mencerminkan nilai, ide dasar maupun perilaku  sebagian besar masyarakat Indonesia.  

Bentuk ekspresi budaya tradisional dapat mencakup banyak hal dan berkaitan dengan berbagai elemen EBT memerlukan keterlibatan berbagai sektor/instansi dalam melindunginya. Langkah-langkah perlindungan terhadap EBT perlu dilakukan secara komprehensif, yang pada akhirnya memerlukan peran aktif dari berbagai sektor yang berkaitan untuk diintegrasikan di tingkat kebijakan nasional.

Tujuan perlindungan EBT Indonesia dalam RUU Perindungan PTEBT kurang komprehensif karena hanya bertujuan pada aspek kekayaan intelektualnya, hal ini terlihat dalam pertimbangan dikeluarkan kebijakan tersebut bahwa   keanekaragaman etnik atau suku bangsa, dan karya intelektual yang merupakan kekayaan warisan budaya tersebut, telah menjadi daya tarikuntuk dimanfaatkan secara komersial sehingga pemanfaatan tersebut perludiatur untuk kemaslahatan masyarakat. Tujuan perlindungan PTEBT dalamkebijakan hukum nasional ini berbeda dari tujuan perlindungan PTEBT yang sedang diusahakan di forum-forum internasional.[10] Tujuan perlindungan PTEBT di forum internasional[11] adalah untuk memelihara (preservasi)PTEBT, sedangkan perlindungan HKI-nya adalah merupakan konsekuensi daripreservasi PTEBT tersebut.

3)      Prinsip Kompensasi (Compensatory Liability Principle)Prinsip kompensasi atau Compensatory Liability Principle yaitu penerapan

sistem pembayaran atau kompensasi kepada pemilik EBT atas pemanfaatan ataupun penggunaan EBT di luar konteks tradisi ataupun pemanfaatan untuk tujuan komersial

Page 8: haki

(menghasilkan keuntungan ekonomi). Pendekatan ini ada dua alternatif yang bisa ditempuh yaitu melalui mekanisme penerapan prinsip pembayaran terhadap kepemilikan publik atau domain public payant tanpa adanya hak eksklusif atas EBT tersebut. Alternatif yang kedua yaitu melaui mekanisme perjanjian bagi hasil (benefit Sharing)  atas pemanfaatan EBT oleh pihak di luar komunitas masyarakat sebagai pemilik hak eksklusif EBT

Pendekatan juga dikenal dengan prinsip domain public payant[12]yaitu prinsip hukum yang berasal dari tradisi hukum di Perancis. Prinsip pertama kali diusulkan oleh Victor Hugo pada waktu pembukaan Konperensi Internasional Congress Littéraire International  pada 25 Juni 1878 yang bertujuan  untuk membantu dan mengumpulkan dan mendistribusikan dana budaya  untuk memberikan subsidi kepada penulis berikutnya ataupun perlu memberikan renumerasi yang dapat memberi manfaat bagi peningkatan kreator generasi baru yang diatur dalam ketentuan hukum.[13] Prinsip hukum ini mewajibkan membayar fee atas penggunaan untuk tujuan komersial ataupun eksploitasi yang menguntungkan karya-karya yang sudah menjadi “public domain” karena masa perlindungan sudah berakhir yang sifatnya diwajibkan (compulsory licence) dan  penggunaanya tanpa memerlukan otoritas.

Penerapan prinsip “domain public payant” berarti menempatkan EBT dalam ranah domain publik dan tanpa hak eksklusif yang melekat pada komunitas pemelihara EBT dan dengan prinsip  pihak di dalam maupun di luar komunitas bebas menggunakan dan memanfaatkan EBT (free access). Akan tetapi bilamana  EBT yang bersangkutan digunakan ataupun dimanfaatkan oleh pihak di dalam ataupun pihak di luar komunitas  di luar konteks tradisi ataupun dan atau digunakan untuk tujuan komersial akan di kenakan pembayaranprosentase tertentu.

Berdasarkan prinsip ini berarti menerapkan juga prinsip “compulsory licence” atau lisensi wajib, artinya dalam konteks perlindungan EBT setiap penggunaan dan pemanfaatan  EBT “free accses” tanpa harus memerlukan otorisasi baik dari pemilik EBT maupun otoritas berwenang. Di banyak negara yang menjadi subyek prinsip ini adalah  ketika penggunaan EBT yang sudah domain publik digunakan untuk kepentingan komersial ataupun tujuan mencari keuntungan. Perlindungan EBT dengan menggunakan prinsip ini diadopsi di dalam Tunis Model Law1976 dan Bangui Agreement 1999 dalam rangka mempromosikan dan penyebarkan EBT dan dipraktekkan di negara Bolivia,Croasia, Panama, Peru dan Negara Republik Dominica.

Berdasarkan hasil penelitian penulis penerapan prinsip ”domain public payant” dalam rangka memberikan perlindungan EBT Indonesia terutama ditujukan pada EBT yang penggunaan ataupun pemanfatannya tidak begitu terikat dengan norma-norma tradisional ataupun hukum adat, artinya keberadaan EBT sudah digunakan, diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas tanpa ada komplain ataupun keberatan oleh komunitas masyarakat Adat/tradisional ataupun komunitas masyarakat tertentu lainnya. Hasil pembayaran ini untuk kepentingan komunitas maupun institusi penghasil EBT

Page 9: haki

tersebut dan digunakan dalam upaya perlindungan (pelestarian ataupun penyelamatan) serta diseminasi terhadap EBT sebagai bagian warisan budaya nasional.

Berdasarkan prinsip benefit sharing atau pembagian keuntungan, berarti setiap penggunaan ataupun pemanfaatan EBT di luar kontekss tradisi dan ataupun untuk tujuan komersial oleh pihak di luar komunitas pemilik EBT memerlukan PIC sebagai konsekuensi dari hak ekslusif kepemilikan EBT oleh komunitas masyarakat yang memelihara, mempertahankan dan mengembangkan EBT. Penggunaan ataupun pemanfaatan EBT dilakukan melalui perjanjian (kontrak) antara pemilik EBT dan pengguna EBT dan di dalam kontrak perjanjian inilah prinsip pembagian keuntungan ini diterapkan.

Pelaksanaan prinsip pembagian keuntungan di dalam setiap pemanfaatan terhadap EBT harus dilakukan adil dan seimbang dan pembagian keuntungan, finansial dan/atau non finansial, dari keuntungan setiappemanfaatan EBT diberikan berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms atau MTA) antara komunitas pemelihara EBT dan pengguna EBT.[14] Pelaksanaan prinsip harus dengan cara-cara yang kondusif terhadap peningkatan sosial dan ekonomi komunitas masyarakat tradisional maupun komunitas masyarakat lokal, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan menjamin adanya pembagian keuntungan yang adil dan pemanfaatan EBT secara komersial.

Penerapan prinsip kompensasi dalam perlindungan EBT Indonesia merupakan upaya membangun partisipasi publik ataupun masyarakat luas untuk usaha pelestarian dan penyelamatan EBT  yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia agar bisa diwarisi oleh generasi yang akan datang. Penerapan prinsip kompensasi  juga diberlakukan ketika EBT dikembangkan dengan cara memodifikasi EBT menjadi karya EBT yang inovatif dan karya tersebut dikomersialkan.

Penerapan prinsip kompensasi baik yang melalui mekanisme domain public payant maupun pembagian keuntungan atau benefit sharing atas pemanfaatan EBT memerlukan lembaga pengumpul royalti (collecting body). Lembaga ini bertanggung jawab untuk mengumpulkan hasil pembagian keuntungan dan sekaligus bertanggung jawab terhadap penggunaan pembagian keuntungan yaitu untuk pelestarian dan pemgembangan EBT itu sendiri. Di Indonesia dalam rangka penerapan prinsip kompensasi ini pemerintah dapat membentuk Lembaga Pengumpul dan Pengelola Royalti (LPPR) atau  TheCollective Rights Administration Body hasil pemanfaatan EBT Indonesia. LPPR mempunyai kewenangan untuk mengumpulkan dan mengelola hasil pemanfaatan EBT baik berupa moneter maupun non moneter dari hasil penerapan prinsip domain public payant ataupun melalui penerapan prinsipbenefit sharing untuk kepentingan pelesatarian, promosi dan pengembangan inovasi kreativitas intelektual berbasis EBT.

3.      Kesimpulan

Page 10: haki

Pendekatan perlindungan hukum kekayaan intelektual Sui-generis

terhadap EBT Indonesia diharapkan secara substantif agar lebih mampu

memberikan perlindungan sesuai dengan karakteristik EBT Indonesia dan lebih

sesuai dengan sistem nilai yang diakui serta diyakini oleh sebagian besar

masyarakat Indonesia. Pendekatan perlindungan terpadu diharapkan tidak hanya

memberikan perlindungan aspek moral dan ekonomi EBT, tapi juga melakukan

konservasi keberadaan EBT sebagai warisan budaya bangsa serta sekaligus

memberikan perlindungan untuk kepentingan komunitas masyarakat yang selama

ini memelihara, mempertahankan dan mengembangkan EBT. Prinsip kompensasi

sebagai upaya memperoleh manfaat ekonomi dari setiap penggunan EBT di luar

konteks tradisi dan penggunaan secara komersial untuk kepentingan komunitas

pemelihara EBT dan pengembangan EBT secara berkelanjutan agar keberadaan

EBT masih dinikmati oleh generasi yang akan datang.

4.      Daftar PustakaAfifah Kusumadara, Pemeliharaan dan Pelestarian Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi

Budaya Tradisional Indonesia:Perlindungan Hak Kekayaan Intelektualdan Non-Hak Kekayaan Intelektual, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18, 18 Januari 2011

Agus SarjoNo, HKI dan Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni Bandung, 2004Christop Beat Graber , International Trade in Indigenous Cultural Heritage, Legal and

Policy Issues, Edward Elgar Publishing 2012Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual

in Japan and United State, New Haven, Yale University Press, 1992Paul Torremans, Copyright Law: A Handbook of Contemporary Research,Edward Elgar

Publishing Inc. Massasuchets, USA 2007Peter Jazzi, Traditional Culture: A Step Forward for Protection in Indonesia, Washington

College of Law Research Paper No. 2010-16, American University Washington College of Law, 2010

Sathipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009

WIPO/GRTKF/IC/9/4 Annex

[1] Kholis Roisah, adalah Tim Pengelola Klinik HKI FH UNDIP, Staf Pengajar Mata Hukum Internasional dan HKI di  Program S1 dan S2 FH UNDIP. Paper  ini disampaikan pada Seminar Nasional dan Konferensi Tahunan Asosiasi Pengajar HKI : Strategi Perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradsional (SDGPTEBT) Indonesia dan Isu Terkini di Bidang HKI dalam Liberalisasi Perdagangan Internasional,  Fakultas Hukum Udayana, Denpasar 26-27 September 2013

Page 11: haki

[2] Dalam konteks perlindungan budaya dunia (World Cultural Heritage) dikategorikan warisan benda (tangible heritage) maupun takbenda (intangible heritage).[3] Map of Indonesian Culturehttp://sem2008.blogs.wesleyan.edu/files/2008/10/srihastantopaper.pdf diakses pada tanggal 25 Mei 2010.[4] Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia atau Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity adalah program UNESCO yang bertujuan menjamin Perlindungan (Safeguarding) berarti memastikan bahwa warisan budaya takbenda tetap menjadi bagian aktif dari kehidupan generasi saat ini dan dapat diteruskan ke generasi mendatang, termasuk identifikasi, dokumentasi, penelitian, preservasi, perlindungan, pemajuan, peningkatan, penyebaran, khususnya melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal, serta revitalisasi berbagai aspek warisan budaya tersebut. Bukan perlindungan atau konservasi dalam arti biasa yang dapat menyebabkan warisan budaya takbenda menjadi tetap atau beku. Perlindungan ini berfokus pada proses yang terlibat dalam penyebaran WBTB dari generasi ke generasi, bukan pada produk kongkrit dari manifestasi WBTB, seperti pertunjukan tari, lagu, instrumen musik atau kerajinan. (Pasal 2 (3). Program ini dimulai tahun 2008, setelah berlakunya Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda. Sebelumnya, sebuah proyek yang disebut Karya Agung atau Masterpeace Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia telah aktif dalam mengenali nilai-nilai budaya takbenda seperti tradisi, adat istiadat, dan ruang budaya, beserta tokoh-tokoh setempat yang melestarikan bentuk-bentuk ekspresi budaya tersebut. Identifikasi Karya Agung juga melibatkan komitmen dari negara-negara untuk mempromosikan dan melindungi kekayaan-kekayaan budaya miliknya, sementara UNESCO membiayai rencana-rencana konservasi. Seluruhnya sudah ada tiga kali pengumuman Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia. Pengumuman pertama dilakukan pada tahun 2001, dan dilakukan dua tahun sekali hingga tahun 2005, dengan total 90 bentuk-bentuk warisan takbenda dari seluruh dunia[5] Negara Indonesia harus wujudkan: (a) membuat kebijakan umum yang bertujuanmempromosikan fungsi warisan budaya takbenda dalam masyarakat, dan mengintegrasikan perlindungan warisan tersebut ke dalam perencanaan program; (b) menunjuk atau membentuk satu atau lebih badan yang kompeten untuk perlindungan terhadap warisan budaya takbenda di wilayahnya; (c) mendorong studi ilmiah, teknis dan artistik, serta penelitian, dengan maksud untuk perlindungan efektif warisan budaya takbenda, khususnya warisan budaya takbenda yang terancam;(d) mengadopsi langkah-langkah hukum yang tepat administratif dan teknis keuangan bertujuan untuk: i. mendorong penciptaan atau penguatan lembaga untuk pelatihan dalam pengelolaan warisan budaya takbenda dan penyebaran warisan tersebut melalui forum dan ruang yang dimaksudkan untuk pertunjukan atau ekspresi daripadanya; ii. memastikan akses terhadap warisan budaya takbenda dengan menghormati praktek adat yang mengatur akses ke aspek-aspek spesifik warisan tersebut;iii. mendirikan lembaga dokumentasi untuk fue warisan budaya takbenda dan memfasilitasi akses kepada mereka.

[6] Sui Generis berasal dari ungkapan Latin yang berati of its own, yang secara harfiah diartikan dari jenisnya atau genusnya sendiri (Oxford English Dictionary (3rd) , Oxford Dictionary Press, 2005 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis) dan berkarakter unik atau unique in its

Page 12: haki

characteristics (Merrian Webster, An Ensyclopidia Britanian Company http://www.merriam webster.com/dictionary/solo?show=0&t=1369688439). Di bidang hukum istilah sui generisdigunakan untuk menyebut jenis  jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat  spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsepyang lebih luas. Dalam hukum  adalah istilah ini yang digunakan untuk mengidentifikasi klasifikasi hukum yang ada terlepas dari kategorisasi lain karena singularitas atau karena penciptaan spesifik dari suatu hak atau kewajiban  Di bidang hukum kekayaan intelektual status hukum sui generis berlaku eksis di beberapa negara berkaitan perluasan perlindungan kreatiftas intelektual  yang dianggap mempunyai karakter unik, seperti di Perancis perlindungan terhadap karya cipta topeng, fashion design, data base dan varitas tanaman. Di Amerika, Jepang dan beberapa negara Eropa perlindungan terhadap topografi, chip semikonduktor dan sirkuit terpadu yang diatur dalam hukum cipta dan paten tetapi dalam hal inid iatur secara sui generis. (http://en.wikipedia.org/wiki/Sui_generis diakses 28 Mei 2013). Sui generis berasal dari bahasa latin yang berarti of  its own (dalam jenisnya sendiri). Sui generis suatu sistem yang dirancang khusus untuk mengatasi kebutuhan khusus dan mengatAsi isu-isu teretentu. (Peter Jazzi hasil penelitian HKI dan Kesenian Tradisional dalam lampiran Agus SarjoNo, HKI dan Pengetahuan Tradisional, Penerbit Alumni Bandung, halaman 470)

[7]Hamilton V. Lee &  Sanders, Yoseph, Everyday Justice, Responsibility and The Individual in Japan

and United State, New Haven, Yale University Press, 1992 dalam Sathipto Rahardjo,Negara Hukum yang

Membahagiakan Rakyatnya, Cetakan II, Genta Publishing, Yogjakarta 2009, halaman 60[8]Peter Jazzi, Traditional Culture: A Step Forward for Protection in Indonesia, Washington College of

Law Research Paper No. 2010-16, American University Washington College of Law, 2010, halaman 21-

22,  dalam Afifah Kusumadar, Pemeliharaan dan Pelestarian Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi

Budaya Tradisional Indonesia:Perlindungan Hak Kekayaan Intelektualdan Non-Hak Kekayaan

Intelektual, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18, 18 Januari 2011,halaman 25

[9] Afifah Kusumadara, Op Cit, halaman 4[10]Afifah Kusumadara, Op Cit,  halaman 24[11]Tujuan perlindungan EBT merupakan pengakuan terhadap warisan budaya masyarakat tradisional ataupun masyarakat lokal yang mempunyai nilai-nilai instrinsik seperti nilai sosial, budaya, spiritual ilmu pengetahuan, ekonomi dan nilai pendidikan dan sekaligus mempromosikan dan menghormati martabat, integritas budaya, philosofi, intelektual dan nilai spiritual dari orang-orang masyarakat tradisional ataupun komunitas budaya yang selama ini memelihara dan mengembangkan EBT. Disamping itu perlindungan EBT merupakan bagian integral dari kebijakan mengenai promosi dan perlindungan kreativitas dan inovasi, pengembangan masyarakat danstimulasi dan promosi industri kreatif sebagai bagian dar ipembangunan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat adat dan atau masyarakat tradisional dan komunitas budaya lainnya dan juga sebagai upaya untuk mencegah dan mengontrol penggunaan EBT yang tidak sesuai dengan kontekss tradisi serta mempromosikan pembagian manfaat keuntunganpatut atas penggunaan EBT dan karya turunannya. Serta merupakan bagi upaya untuk  memelihara dan mengamankan praktek-praktek budaya masyarkat secara berkelanjutan  berkelanjutan.(Diringkas dari Objective WIPO/GRTKF/IC/9/4 Annex, page 2)

[12]Paul Torremans, Copyright Law: A Handbook of Contemporary Research, Edward Elgar Publishing

Inc. Massasuchets, USA 2007, page 182

[13]Christop Beat Graber , International Trade in Indigenous Cultural Heritage, Legal and Policy Issues,

Edward Elgar Publishing 2012, page 214

Page 13: haki

[14] Prinsip pembagian keuntungan juga diterapkan dalam akses pemanfaatan   sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional  yang diadopsi dalam Convention Biological Diversity 1992 dan diatur lebih lanut dalam Nagoya Protocol on Acces to Genetic Resources and the Fair ant Equitable Sharing of Benefit Sharing from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity 2011  atau dikenal sebutan  ABS Protocol.