hakikat manusia

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS PENGANTAR PENDIDIKAN Hakikat Manusia dan Pengembanganya

Oleh: Rida Catur Ningtyas 08390164 Kelas I D

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Masalah pendidikan, sesungguhnya sudah banyak dibicarakan oleh para ahli pendidikan. Mereka menyadari, bahwa masalah pendidikan adalah masalah yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan itu menyangkut kelangsungan hidup manusia. Manusia tidak cukup hanya tumbuh dan berkembang dengan dorongan insting saja, tetapi perlu bimbingan dan pengarahan dari luar dirinya supaya ia menjadi manusia yang lebih baik. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Mendidik mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidik memiliki gambaran tentang siapa manusia itu yang sebenarnya. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dengan hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan disebut sifat hakikat manusia, maksudnya karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan bagi manusia dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik. Dengan kata lain, menggunakan peta tersebut sebagai acuan seorang pendidik tidak mudah terkecoh ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang patoligis dan berakibat merugikan subjek pendidikan. Jadi pendidikan itu memang perlu bagi manusia dan hanya manusialah yang memerlukan pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan hakikat manusia? 2. Bagaimana fase perkembangan menurut para ahli psikologi? 3. Bagaimana sifat hakikat manusia? 4. Apa saja dimensi-dimensi hakikat manusia itu? 5. Bagaimana pengembangan dimensi hakikat manusia itu sendiri? 1.3 Tujuan Tujuan dari masalah ini antara lain: Mengetahui pengertian hakikat manusia menurut beberapa pandangan Mengetahui fase perkembangan menurut para ahli psikologi Mengetahui sifat hakikat manusia Mengetahui dimensi-dimensi hakikat manusia Mengetahui pengembangan dimensi hakikat manusia

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Hakikat Manusia Hakikat manusia merupakan permasalahan yang sangat rumit. Salah satu pandangan filsafat mengatakan bahwa manusia adalah makhluk monodulalis: Jiwa-raga(Notonegoro,1986). Dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta, rasa, dan karsa sehingga dalam tingkah lakunya ia mampu mempertimbangkan betul-salah, baik-buruk, menerima atau menolak terhadap sesuatu yang dihadapi. Dari aspek raga, manusia memiliki sifat benda mati (an organis), tumbuh-tumbuhan (vegetatif), dan animal (animal), sehingga dalam tingkah lakunya ia dikuasai oleh hukum alam dan didorong oleh instingnya. Dari aspek yang lain, manusia adalah makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berdiri sendiri, dan makhluk bertuhan. Bila ditinjau dari filsafat Antropologi, hakikat manusia itu bermacam-macam formulasinya yaitu, manusia adalah makhluk berbudi (homosapien), manusia adalah makhluk berakal (homorational), manusia adalah makhluk kreatif (homofaber), manusia adalah makhluk ber Tuhan (homo religius), dan manusia adalah binatang yang dapat dididik (animal educandum) (Soedama H, 1983 : 1) Hakekat manusia adalah sebagai makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial, yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. Disisi lain hakekat manusia antara lain : 1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. 3. Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya. 4. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.

5. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati 6. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas 7. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat. 8. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial. Menurut Beberapa Pandangan : Hakikat Manusia Tuhan menciptakan. mahluk yang mengisi dunia fana ini atas berbagai jenis dan tingkatkan. Dari berbagai jenis dan tingkat mahluk Tuhan tersebut manusia adalah mahluk yang paling mulia dan memiliki berbagai kelebihan. Keberadaan manusia apabila dibandingkan dengan mahluk lain (hewan), selain memiliki insting sebagaimana yang dimiliki hewan, manusia adalah mahluk yang memiliki beberapa kemampuan antara berfikir, rasa keindahan, perasaan batiniah, harapan, menciptakan dan lain lain. Sedangkan kemampuan hewan lebih bersifat instingtif dan kemampuan berfikir sangat rendah untuk mencari makan, mempertahankan diri dan mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya. Pada hakikatnya hewan tidak menyadari tugas hidupnya, dan ia melakukan sesuatu atas dorongan dari dalam jiwanya. Dorongan itu merupakan perintah baginya yang harus dilaksanakan apabila ia menemui rintangan dari luar, misalnya dihalanghalangi oleh manusia atau hewan lain, dengan bermacam-macam usaha barulah ia melawan instingnya. Lain halnya manusia, selain mahluk instingtif manusia juga mampu berfikir (homo sapiens) mampu mengubah dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan rasa keindahan dan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu manusia adalah mahluk moral dan religius. Dari penjelasan tentang perbedaan manusia dan hewan diatas, kemudian timbul pertanyaan , apakah manusia itu ?.

Beberapa pandangan tentang hakikat manusia disebutkan secara singkat sebagai berikut: a. Pandangan psikoanalitik Tokoh psikoanalitik (Hansen, Stefic, Wanner, 1977) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Tingkah laku seseorang ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sudah ada pada diri seseorang, tidak ditentukan oleh nasibnya tetapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan insting biologisnya. b. Pandangan Humanistik Pandangan humanistic (Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki control terhadap nasibnya sendiri. Tokoh humanis (Rogers) berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk menyerahkan dirinya sendiri ke arah positif, manusia itu rasional, tersosialisasikan dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia mampu mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Jika manusia dalam keadaan yang memungkinkan dan mempunyai kesempatan untuk berkembang maka akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang maju dan positif, terbebas dari kecemasan dan menjadi anggota masyarakat yang bertingkah laku secara memuaskan. Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa pribadi manusia sebagai aliran atau arus yang terus mengalir tanpa henti, tidak statis, dan satu kesatuan potensi yang terus-menerus berubah. Pandangan Adler (1954) bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun digerakkan oleh rasa tanggung jawab social serta oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih dari itu bahwa individu melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri dalam membantu orang lain dan membuat dunia menjadi lebih baik untuk ditempati. Pandangan Martin Buber (1961) tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia berdosa dan dalam genggaman dosa. Buber berpendapat bahwa manusia tidak dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ini atau itu. Manusia merupakan suatu keberadaan (eksistensi) yang berpotensi. Namun, dihadapkan pada

kesemestaan atau potensi manusia itu terbatas. Keterbatasan ini bukanlah keterbatasan yang mendasar (esensial), tetapi keterbatasan factual semata-mata. Ini berarti bahwa yang akan dilakukan oleh manusia atau perkembanagn manusia itu tidak dapat diramalkan dan manusia masih menjadi pusat ketakterdugaan (surprise) dunia. Tetapi perlu diingat, ketakterdugaan ini merupakan ketakterdugaan yang terkekang dan kekangan ini amat kuat. Manusia itu tidak pada dasarnya baik, atau jahat, tetapi manusia itu dengan amat kuat mengandung kedua kemungkinan ini. Justru inilah keterbatasan manusia, yaitu adanya kemungkinan untuk menjadi jahat. Perlu juga diingat bahwa ketetbatasan ini sifatnya hanya faktual belaka, tidak mendasar. Kejahatan yang ada pada diri manusia (dilambangkan dengan perbuatan Adam memakan buah larangan di surga) bukanlah keingkaran pada Tuhan, melainkan semata-mata untuk mewujudkan kemanusiaan manusia oleh manusia itu sendiri. Manusia adalah mahluk yang cerdik yang tidak merasa puas dalam keadaan yang aman, tentram, bahagia dan tergoda untuk melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Namun anehnya, setelah aturan dilanggar terkuaklah sejarah kemanusiaan yang sejati melalui berbagai ketidak pastian, perjuangan dan kegagalan. Sejarah kemanusiaan ini sejalan dengan aturan Tuhan. c. Pandangan Behaviouristik Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk, 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factor-faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata-mata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti teopri pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik dan jelek, tetapi netral. Hal-hal yang mempengaruhi kepribadian individu semata-mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembanagan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan. Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari

adanya ciri-ciri penting yang ada pada manusia dan yang tidak ada pada ciri-ciri mesin atau binatang, seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini, Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuankemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkah laku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Semua ciri yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Dibandingkan dengan binatang mungkin manusia adalah binatang yang sangat unik, binatang yang bermoral , namun manusia tidak dapat dikatakan memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujudkan dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikam manusia, melainkan justru memanusiakan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang didekati secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat manusia dipertinggi. Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa pengertian bahwa: (1) Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya; (2) Dalam diri manusia (individu) ada fungsi yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku sosial dan rasional individu; (3) Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri; (4) Manusia pada hakikatnya dalam proses menjadi, berkembang terus tidak pernah selesai, (5) dalam hidupnya individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati; (6) Manusia merupakan suatu keberadaaan berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan, namun potensi ini terbatas; (7) Manusia adalah mahluk Tuhan yang mengandung kemungkinan baik dan jahat; dan (8) Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini merupakan wujud kepribadian manusia. Pandangan yang meyeluruh tentang manusia seyogyanya tidak hanya menekankan salah satu atau beberapa aspek saja dan ciri ciri hakikat tersebut di atas. Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah yang luar biasa, melainkan

manusia yang memiliki kekuatan juga manusia yang dilekati dengan kelemahankelemahan, manusia yang di samping memiliki kemampuan kemampuan juga mempunyai sifat-sifat keterbatasan keterbatasan manusia yang disamping mempunyai sifat-sifat yang kurang baik manusia yang hendak kita pahami bukanlah manusia kita tempatkan di luar batas kemampuan dan kelayakan manusiawi. Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang merupakan kesatuan buIat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dalam hidup secara layak diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih bank, mustahillah hal itu di kerjakan sendiri oleh seseorang tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat. Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata-mata melainkan terletak pada kemampuannya untuk bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dengan masyarakat itulah manusia menciptakan kebudayaan , yang pada hakekatnya membedakan manusia dari segenap mahluk hidup lainnya, yang mengantarkan manusia pada tingkat mutu, martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada masa sekarang dan zaman yang akan datang. Kesadaran akan hal-hal tersebut di atas selanjutnya menimbuhkan kesadaran bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik untuk orang lain dan masyarakatnya. Semuanya itu melahirkan sikap dasar bahwa untuk mewujudkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hubungan soaial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya , manusia perlu mengendalikan diri dari kepentingan merupakan suatu sikap yang mempunyai arti sangat penting dan merupakan sesuatu yang diharapkan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan keseimbangan dan stabilitas masyarakat. 2.2 Fase Perkembangan Menurut Ahli Psikologi

Perkembangan merupakan suatu proses sosialisasi dalam bentuk irnitasi yang berlangsung dengan adaptasi (penyesuaian) dan seleksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah keturunan, lingkungan, dan manusia itu sendiri. Fase-fase perkembangan menurut beberapa ahli psikologi : a. Menurut Aristoteles 1. 2. 3. 0,0-7,0 7,0-14,0 14,0-21,0 : masa anak kecil : masa anak : masa remaja

b. Menurut Mantessori 1. 2. 3. 4. 0,0-7,0 7,0-12,0 12,0-18,0 18,0-22,0 : periode penemuan dan pengaturan dunia luar. : periode rencana abstrak : periode penemuan diri dan kepekaan sosial : periode pendidikan tinggi

c. Menurut Comenius 1. 2. 3. 4. 0,0-6,0 6,0-12,0 12,0-18,0 18,0-24,0 : scola matema : scolavernatulata : scola latina : acodemia

d. Menurut J.J Rousseau 1. 2. 3. 0,0-2,0 2,0-12,0 12,0-15,0 : masa asuhan : masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera : masa pendidikan akal.

4.

15,0-20,0

: masa pembentukan watak dan pendidikan agama

e. Menurut Oswald Kroch 1. 2. 3. masa anak-anak masa bersekolah masa kematanga.

f. Menurut Elizabeth B. Hurlock 1. 2. 3. 4. 5. periode pre natal masa oral masa bayi masa anak-anak masa pubertas

Hukum tempo perkembangan menyatakan bahwa tiap-tiap anak memiliki tempo perkembangan yang berbeda. Anak juga memiliki masa peka, yaitu suatu masa di mana suatu organ atau unsur psikologis anak mengalami perkembangan yang sebaik-baiknya. Bagi seorang pendidik, mengetahui perkembangan anak diperlukan dalam membimbing anak sesuai dengan perkembangannya. Perubahan Tingkah Laku Akibat Belajar Pengertian belajar dapat disimpulkam sebagai berikut : Dengan belajar itu belajar itu diharapkan tingkah laku seseorang akan berubah. Dengan belajar pengetahuan dan kecakapan seseorang akan bertarnbah. Perubahan tingkah laku dan penambahan pengetahuan ini di dapat lewat suatu usaha. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar adalah : Anak yang belajar meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Faktor dari luar : 1. Endogen : fisiologis (kesehatan fisik dan indra) psikologis :

adanya rasa ingin tahu.dari siswa. kreatif, inovatif de akseleratif bermotivasi tinggi. adanya sifat kompetitif yang sehat kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, aktualisasi diri, kasih sayang dan rasa memiliki.

2. Eksogen : Instrumental (kurikulum, program, laboratorium) lingkungan (sosial dan non sosial) Pusat berlangsungnya pendidikan adalah : a. Keluarga. b. Sekolah c. Masyarakat. Ciri-ciri keberhasilan pendidikan pada seseorang dapat terlihat pada : 1. 2. 3. 4. 5. Mengerti benar akan tugasnya dengan baik dan didorong oleh rasa tanggung jawab yang kuat terhadap dirinya serta terhadap Tuhan. Mampu mengadakan hubungan sosial dengan bekerja sama dengan orang lain. Mampu menghadapi segala perubahan dunia karena salah satu ciri kehidupan ialah perubahan. Sadar akan dirinya dan harga dirinya sehingga tidak mudah memperjualbelikan dirinya dan kreatif. Peka terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohaniah. Pribadi manusia tidak dapat dirumuskan sebagai suatu keseluruhan tanpa sekaligus meletakkan hubungannya dengan lingkungan. Jadi kepribadian adalah suatu kesatuan psikofisik termasuk bakat, kecakapan, emosi, keyakinan, kebiasaan, menyatakan dirinya dengan khas di dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sedangkan peranan pendidik/tutor dalam pengembangan kepribadian adalah menjadi jembatan penghubung atau media untuk mengaktualisasikan

potensi psikofisik individu dalam menyelesaikan diri dengan lingkungannya. 2.3 Sifat Hakikat Manusia Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi suatu keharusan karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya fisilosofis normatif. Bersifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normatif karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Gambaran yang jelas dan benar tentang manusia akan memberi arah yang tepat kepada pendidik ke mana peserta didiknya harus dibawa. Selanjutya akan membahas tentang pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat manusia.

2.3.1 Pengertian Sifat Hakikat Manusia Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Misalnya bentuk orang hutan yang memiliki tulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Dari kenyataan dan pernyataan tersebut menimbulkan kesan yang keliru, bahwa hewan dan manusia hanya berbeda secara gradual yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperatur menjadi es batu. Maka dari itu, upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia sudah ditemukan. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk dari primat atau kera melalui proses evolusi yang bersifat gradual.

2.3.2 Wujud Sifat Hakikat Manusia Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaitu: a. Kemampuan Menyadari Diri Kaum Rasionalis menunjukkan kunci perbedaan antara manusia dengan hewan dengan adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah ke luar dan ke dalam. Dengan arah ke luar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek. Puncak aktivitas yang mengarah ke luar dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Sedangkan dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (kamu, dia, mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah ke luar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam merupakan pembinaan aspek individualitas manusia. Yang lebih istimewa ialah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak diri dengan akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Bukankah pada suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau pendidik atas dirinya, terdakwa, atau si terdidik. Dapat dikatakan bahwa peran yang paling besar ialah menghadapi musuh yang ada di dalam diri sendiri. Inilah manifestasi dari puncak karekteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapatkan perhatian secara serius dari semua pendidik.

b. Kemampuan Berinteraksi Kemampuan menempatkan diri disebut dengan kemampuan berinteraksi. Dengan adanya kemampuan berinteraksi manusia bukan ber-ada seperti hewan di dalam kandang dan tumbuh-tumbuhan didalam kebun, melainkan meng-ada di muka bumi (Drijarkara, 1962: 61-63). Kemampuan berinteraksi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar supaya belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak. c. Kata Hati (Conscience of Man) Kata hati atau Conscience of Man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, dan sebagainya. Dengan sebutan hati nurani menunjukkan bahwa kata hati adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruk perbuatannya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagsi manusia disebut kata hatinya tidak cukup tajam. Sedangkan orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya. Dapat disimpulkan bahwa kata adalah kemapuan membuat kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitannya dengan moral, kata hati merupakan petunjuk bagi moral/perbutan. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam. d. Moral Jika hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (sering disebut etika) perbuatan itu sendiri. Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya pendidikan moral

sering disebut pendidikan kemauan, yang oleh M.J Langeveld dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil (kemauan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini bertalian erat dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya moral adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan bermaksud menumbuhkembangkan etiket(kesopansantunan) dan etika (keberanian/kemauan bertindak) yang baik dan harus pada peserta didik. e. Kemampuan Bertanggung Jawab Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbutan yang menuntut jawab, merupakan sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri yang berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat yang berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial, bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial sperti, cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan sebagainya. Bertangung jawab kepada Tuhan yang berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasan berdosa dan terkutuk. Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan suatu perbuatan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan sehingga sanksi apapun yang dituntutkan bisa diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. f. Rasa Kebebasan (kemerdekaan) Merdeka adalah rasa bebas tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang saling bertentangan yaitu rasa bebas dan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia yang berarti ada ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Selama ini perbutan bebas sering membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati,

sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturanaturan ke dalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya. g. Kewajiban dan Hak Kewajiban dan hak adalah macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak adalah sesuatu yang masih kosong yang artinya meskipun hak tentang sesuatu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Sedangkan wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia tidak merdeka dan mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Dalam merealisasikan hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban berhubungan erat denga keadilan, dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud jika hak sejalan dengan kewajiban. Usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin. Pendidikan disiplin dan tanggung jawab sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak usia dini. h. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan Kebahagiaan adalah suatu istilah lahir dari kehidupan manusia dan disebut juga dengan penghayatan hidup, meskipun tidak mudah dijabarkan tetapi tidak sulit dirasakan misalnya senang, gembira, bahagia, dan sebagainya. Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan daripada aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan kebahagiaan bersifat irasional. Dapat ditarik kesimpulan bahwa

mengyati kebahagiaan itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual, rangakaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya dengan keheningan jiwa. 2.4 Dimensi-dimensi Hakikat Manusia Berikut ini akan disajikan beberapa dimensi-dimensi manusia, yaitu: a. Dimensi Keindividualan (Manusia sebagai Makhluk Individu) Lysen mengartikan bahwa individu sebagai orang-seorang, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in divide). Individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensiuntuk menjadi berbeda dari yang lain, atau dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. M.J. Langeveld mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J langeveld, 1955: 54). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai matanya. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. Pendek kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Pada perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri yang dipertanggungjawabkan sendiri, tanpa mengharapkan bantuan orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkannya. M.J. Langeveld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun disisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian unik akan tetap tinggal laten. Dengan kata lain bahwa kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa manusia sebagai individu dalam rangka mengembangkan dirinya, ia memerlukan sesuatu di sekitarnya. Salah satu dari alam sekitar yang dibutuhkan sebagai individu adalah pendidikan. Dalam hal ini

tugas pendidikan yang relevan bagi manusia adalah mengembangkan semua potensi positif yang ada pada diri manusia, sehingga ia dapat memanusia/menjadi manusia yang sempurna. Dalam hal ini untuk mengembangkan individualitas melalui tidak dibenarkan jika pendidik memaksakan keinginannya pada subjek didik. Tugas dari pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada prinsip ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karso, tutwuri handayani. b. Dimensi Kesosialan (Manusia sebagai Makhluk Sosial) Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas (M.J. Langeveld, 1955: 54), artinya setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Dengan adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul, serta adanya dorongan untuk bergaul setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Seseorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi, seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya. Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam rangka mengembangkan dirinya, ia perlu kerjasama dengan dunia sekitar, dunia sosial, dan dunia pendidikan. Tugas pendidikan dalam hal ini adalah mengembangkan semua potensial sosial, mampu berperan dan menyesuaikan dirinya dalam masyarakat. c. Dimensi Kesusilaan (Manusia sebagai Makhluk Susila) Perkataan susila artinya perkataan adab, tetapi menurut istilah susila artinya kehalusan budi manusia, sedangkan adab artinya keluhuran budi manusia. Jadi kehalusan dan keluhuran budi yang nampak pada manusia ini dapat membedakan antara manusia dengan hewan. Kesusilaan atau kehalusan budi, menunjukkan sifat hidup lahir manusia yang serba halus dan indah, sedangkan adab atau keluhuran budi menunjukkan sifat hidup

batin manusia misalnya: keinssafan tentang kesucian, kmerdekaan, keadilan, ke Tuhanan, cinta kasih, kestiaan, kedamaian, dan sebagainya (Ki Hajar Dewantara. 1962 : 483). Manusia susila adalah manusia (pribadi) yang memiliki, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dalam hidupnya. Implikasi pedagogisnya bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan sifat dan bentuk kebaikan dalam hidup manusia, tidak hanya untuk diketahui dan dimengerti tetapi untuk diinsyafi, diingini dan dikendaki, serta untuk dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, pendidikan manusia susila dan manusia beradab juga menanamkan hak dan kewajiban manusia, baik sebagai diri pribadi maupun sebagai anggota dari masyarakatnya (Ki Hajar Dewantara, 1962: 483). d. Dimensi Keberagamaan (Manusia sebagai Makhluk Beragama) Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat inderanya, diyakini adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang atau sandaran vertikal manusia. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya dan manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogianya menjadi tugas orang tua dalam lingkunga keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama, akan tetapi dari segi-segi afektif harus diutamakan. Pendidikan agama bisa ditempuh melalui pendidikan non-formal dan informal. 2.5 Pengembangan Dimensi Hakikat Manusia Sudah berulangkali dikatakan, sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kearah status manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahan yang disebut salah

didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu: 1. Pengembangan yang utuh Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas hakikat dimensi manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Namun demikian kuliatas dari hasil akhir pendidikan sebenarnya harus dipulangkan kembali kepada peserta didik itu sendiri sebagai subyek sasaran pendidikan. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang sanggup menghantar subjek didik menjadi seperti dirinya sendiri selaku anggota masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakikat manusia seacara utuh diartikan sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi hakikat manusia. Perkembangan dimaksud mencakup yang bersifat menciptakan keseimbangan dan menciptakan ketinggian martabat manusia. Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia nyang utuh. 2. Pengembangan yang tidak utuh

Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan. Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Sosok Manusia Indonesia Seutuhnya Sosok manusia indonesia seutuhnya telah dirumuskan di dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalm rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Yang berarti bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian di masyarakat, tetapi juga sebagai keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, antara sesama

manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bansa, dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.

BAB III KESIMPULAN Dari uaraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat hakiakt manusia dan seluruh dimensi-dimensinya hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Ciri-ciri yang khas tersebut membedakan secara prinsipiil dunia hewan dengan dunia manusia. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan dan sekaligus menguasai hewan. Salah satu sifat hakikat yang istimewa ialah adanya kemampuan menghayati kebahagiaan pada manusia. Semua sifat hakikat manusia dapat dan harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan. Berkat pendidikan maka sifat hakikat manusia dapat ditumbuh kembangkan secara selaras dan berimbang sehingga menjadi manusia yang seutuhnya.

DAFTAR PUSTAKA Tirtarahardja Umar dan Sulo La. 2005. Pengantar Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. RINEKA CIPTA Seodomo Hadi. 2008. Pendidikan (Suatu Pengantar). Surakarta: LPP UNS dan UNS PRESS http://pengantar-pendidikan-hakikat manusia