Upload
dinhtu
View
223
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
HAKIKAT SYAHWAT DI SURGA
(STUDI TAFSIR AL-TAHRIR WA AL-TANWIR KARYA IBNU `ASYUR)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Abdul Halim Tarmizi
NIM: 1113034000030
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2017 M
LERIIBAR PERSETUJUAN PEDEIBIMBING SKRIPSI
SKRIPSI
HAKIKAT SYATTWAT MUKMIN DI KEHIDUPAN SURGA
(sruDr rAFsrR AL-TAHRTR WA AL-TANWTR KARYA rBNU'ASYUR)
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan FilsafatUniversitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar
SarjanaAgama (S.Ag)
01ch:
Abdul Halim Tarlnizi
NIM.1113034000030
Muslih,M.AgNIP,197210242003121002
PROG脚 ⊂STUDIILMU AL… QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437H/2017 PI
Pembimbing
PENGESAⅡ AN PANITIA UJIAN
Skripsi ini beゴudul“ⅡAKIKAT SYAⅡ WAT DI SURGA(STUDI
TAFSIR AL― TAⅡRIR WA AL― TANⅥ√IR KARYA IBNU` ASYUR)"telall
dittikan dalaln sidang mulllaqasah Fakllltas Ushuluddin UIN Syanf Hidayatullah
」akarta pada 12 0ktober 2017.Skl‐ ipsi ini tclah dite五 Ina sё bagai salah satu syarat
memperolch gclar Sttana Agalllla(S.Ag)pada PrOgraln Studi 1lmu al― Quran dan
Tafsir.
Jakarta,12 0ktober 2017
Panitia Ujian Munaqasah
Penguji II
A.Ritti Muchtar,MA
NIP。 196908221997031002
Ketua
づ
NIP。 197110031999032001
Sekretaris
181999032001
Penguji I
NIP。 195 52000122001
i
NIP.197210242003121002
Anggota
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NIM
Fakultas
Jurursan
LEMBAR PERNYATAAN
Abdul Halim Tarmizi
I 1 13034000030
Ushuluddin dan Filsafat
Ilmu at-Qur'an dan Tafsir
Dengan ini sayamenyatakan bahwa:
l. Skripsi ini hasil karya asli saya yang diajukan unhrk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) Universitas Islam Negeri Onf)Syarif Hidayatullah J akafia.
2. Semua sumber saya gunakan dalarn penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Of$ Syarif
Hidayatullah lakilfa"
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dankarya orang laiq mzka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Un\D Syarif Hidayatullah
Iakarla.
Jakarta" 12 Oktober 2017
Abdul Halim Tallllizi
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y ye ي
ii
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah و
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ا
Ī i dengan daris di atas ي
Ū u dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah,
al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,
seperti السنة = al-sunnah.
iii
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.
iv
ABSTRAK
ABDUL HALIM TARMIZI
Hakikat Syahwat di Surga (Studi Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Karya Ibnu
`Asyur)
Obyek penelitian yang penulis teliti adalah hakikat syahwat yang yang
disandarkan kepada orang mukmin di dalam surga pada enam ayat dalam al-Qur`an.
Penulis mengaitkakan masalah ini dengan pandangan masyarakat terkait dengan kata
syahwat tersebut, yang mana pandangan masyarakat akan kata syahwat selalu
berhubungan dengan seksualitas. Hal ini penulis temukan di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang juga mengartikan kata syahwat dengan keinginan
berhubungan badan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
hakikat syahwat mukmin di kehidupan surga, yang mana secara umum bahwa
syahwat selalu dikaitkan dengan seksualitas.
Terkait jenisnya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka
Library Research yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan
masalah terkait. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metodedeskriptif analitis. Adapun terkait dengan metode tafsir yang penulis gunakan
adalah Metode Maudhu`i (Tematik) dengan melakukan pendekatan kebahasaan.
Adapun ayat-ayat tentang syahwat di surga dalam tafsir Ibnu `Asyur, di
antaranya; surat al-Anbiya 102, Fushilat 31, az-Zukhruf 71, ath-Thur 22, al-Mursalat
42, al-Waqi`ah 21. Dari keenam ayat di atas, memiliki dua klasifikasi mengenai
syahwat di surga, yaitu tentang keadaan surga dan keinginan orang-orang yang ada di
surga berupa makanan dan minuman.
Keywords: Syahwat, Surga
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah mencurahkan
kasih sayang, kesehatan dan ridho-Nya serta memberikan istiqomah, keikhlasan dan
kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul:
HAKIKAT SYAHWAT DI SURGA (STUDI TAFSIR AL-TAHRIR WA AL-
TANWIR KARYA IBNU`ASYUR). Shalawat dan salam kepada nabi Muhammad
Saw junjungan para umat yang berpikir, dimana mencari sebuah kebenaran dalam
sebuah konsep ketuhanan yang telah dikonsep secara rapi dan sistematis untuk
umatnya hingga akhir zaman.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya tugas akhir untuk jenjang pendidikan
Strata Satu (S1) yang penulis tempuh. Penulis yakin di dalam penulisan skripsi ini
pasti banyak kekurangan di dalam menyelesaikannya. Maka dari itu penulis
menyadari dan mempunyai kewajiban untuk menghaturkan permintaan maaf kepada
pembaca atas ketidaksempurnaan yang memang itu telah kodrat bagi manusia itu
sendiri.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat
tercapai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu sebagai
ungkapan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr.
vi
Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik
Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir
dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
al-Qur`an dan Tafsir.
2. Bapak Muslih,M.Ag, selaku dosen pembimbing penulis yang telah
memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga
skripsi dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga bapak
selalu sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Amin.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.
4. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi
Ilmu al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan,
bimbingan wawasan dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada
seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi
ayahanda Ir.Tarmizi dan ibunda tercinta Prima Arteti,S.H yang selalu
memberikan masukan kepada saya untuk selalu semangat dan sabar
dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak lupa mereka selalu
mendoakan saya agar selalu diberikan kesehatan dan waktu luang agar
vii
dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik dan benar. Kedua orang tua
adalah sumber inspirasi bagi penulis dalam menjalankan hidup dan
menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada saudara-saudara penulis yang tersayang Abdul Haris Tarmizi,
Abdul Hafiz Tarmizi, dan Abdul Hamzah Tarmizi, serta keluarga besar
penulis yang selalu memberikan semangat dan mendoakan penulis
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
8. Kepada paman penulis Muhammada Rezi,M.A yang telah membantu
serta menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Kepada Nurhayati Fardilla,S.Pd calon pendamping penulis yang telah
memberi semangat serta dukungan dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini, semoga menjadi istri penulis. Amiin.
10. Teman-teman seperjuangan. Kepada seluruh teman-teman Jurusan
Tafsir Hadis angkatan 2013, khususnya TH A, dan juga teman sekelas,
senasib, dan satu asal daerah yang sama: Rino, Nelfi, Ica Mukhlis,
Andrian dan lain-lain, maafkan penulis tidak dapat menuliskan seluruh
nama-nama kalian seangkatan, tapi percayalah pertemanan kita akan
selalu dikenang. kepada teman satu kost:Fajri, Putra, Rendi, Yudi,
Terima Kasih telah menemaniku selama kita satu kamar, semoga Allah
memudahkan segala urusan kalian. Amin.
11. Kepada sahabat Salman al-Farisi, Muslih Muhaimin, Afif hassan
Naufal (alm), Iqbal Firdaus, Fadhil Nabhani, yang telah menyemangati
penulis dan memberikan semangat serta masukan-masukan, semoga
viii
kita menjadi sahabat selamanya dan juga semoga Allah memeberikan
kesehatan kepada kita semua.
12. Kepada teman-teman seperantauan dan seperjuangan Mustaqim,
Ridwan Kusuma, Sanleo Hafis, Hanif,S.Thi, Harry N, Fakhriserta
teman-teman Pondok Adil yang telah memberikan waktu luangnya
untuk menyemangati penulis dan juga mediskusikan masalah ini,
sehingga penulisan skripsi ini bisa penulis selesaikan.
13. Teman-Teman KKN Revival: Fahmi, Rendra, Aan, Lutfi, Fajar, Zyra,
Lulu, Cici, Lia, dan Lisa, kebersamaan dengan kalian selama kurang
lebih sebulan banyak memberi saya pelajaran yang sangat
berharga,serta memberi banyak masukan kepada penulis dalam
penulisan skripsi ini.
14. Dan kepada teman-teman yang penulis tidak dapat sebutkan namanya
satu persatu yang mana selalu memberikan semangat dan motivasi
penulis dalam menyelasaikan karya ilmiah ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan
yang berlipat ganda.
Jakarta, September 2017
Abdul Halim Tarmizi
ix
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat ....................................................................................... 6
D. Kajian Terdahulu ............................................................................................ 7
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM HAKIKAT SYAHWAT DI SURGA .................... 14
A. Hakikat Syahwat .......................................................................................... 14
1. Pengertian Syahwat .............................................................................. 14
2. Perbedaan Syahwat, dan Hawa Nafsu ............................................... 18
B. Hakikat Surga ............................................................................................... 23
BAB III: IBNU `ASYUR DAN TAFSIRNYA ........................................................... 30
A. Biografi Ibnu `Asyur ....................................................................................... 30
1. Riwayat Hidup Ibnu `Asyur .............................................................. 30
2. Riwayat Pendidikan Ibnu `Asyur .................................................... .33
B. Mengenal Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir ...................................................... 35
x
1. Latar belakang penyusunan kitab tafsir al-Tahrir wa al Tanwir .... 35
2. Gambaran umum tentang Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir ................ 36
3. Metode Ibnu `Asyur dalam penulisan kitab al-Tahrir
wa al-Tanwir ......................................................................................... 37
BAB IV: PENAFSIRAN MENGENAI AYAT-AYAT SYAHWAT DI SURGA
A. Penafsiran Ibnu `Asyur Mengenai Ayat-Ayat Syahwat di Surga ........... 40
B. Analisa Penulis Mengenai Ayat-Ayat Syahwat di Surga .......................... 49
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 51
B. Saran .................................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Syahwat merupakan fitrah manusia yang mempunyai peran besar dalam
menggerakkan tingkah laku manusia. Bila seorang sedang lapar atau haus maka
tingkah lakunya selalu mengarah kepada tempat di mana dapat diperoleh makanan
dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga
selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual. Perilaku manusia
sangat dipengaruhi oleh syahwat apa yang sedang dominan dalam dirinya; syahwat
seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga
diri, syahwat kelezatan dan lain-lainnya. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak,
jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali. Syahwat yang
dimanjakan akan mendorong orang pada pola hidup hedonis.1
Dalam Islam, syahwat harus ‘dijinakkan’ dan dikendalikan. Metode
pengendalikan syahwat dilakukan secara sistemik dalam ajaran yang terkemas
dalam shari’ah dan akhlak. Syahwat yang dikendalikan akal sehat dan hati yang
bersih akan berfungsi sebagai penggerak tingkah laku atau motif dan menyuburkan
motivasi kepada keutamaan hidup. Kecuali itu, syahwat memiliki tabiat menuntut
pemuasan seketika tanpa mempedulikan dampak bagi diri sendiri maupun bagi
orang lain. Begitu kuatnya dorongan, maka al-Qur’an mengibaratkan kedudukan
syahwat bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya seperti tuhan yang harus
1 Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat Dalam Al-Qur’an, (Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02,
Desember 2016),hlm. 386
2
disembah. Pengabdi syahwat akan menuruti apapun perilaku yang harus dikerjakan,
betapa pun itu menjijikkan.2
Kata syahwat secara umum seringkali dimaknai dengan nafsu atau
keinginan bersetubuh, hingga dalam kamus besar bahasa Indonesia pun juga
mendefinisikan kata syahwat dengan makna tersebut.3 Padahal makna asli kata
tersebut bukanlah demikian jika dilihat dari al-Qur`an.
Kata syahwat dalam bahasa Arab adalah الشهوات (asy-syahawât, bentuk
jamak dari syahwat). Kata الشهوات tersusun dari kata dasar dengan suku kata: ش
Jumlah pemakaian .ي :dan huruf ketiga ,ه :huruf kedua ,ش :huruf pertama , ي ه
pola dasar ي ه ش dalam Alquran 13 kali, yang terdiri dari dipakai kata benda
sebanyak 5 kali, dipakai kata kerja sebanyak 8 kali.4
Raghib Al Asfahani menjelaskan bahwa ‘’syahwat pada dasarnya berarti
nafsu terhadap sesuatu yang diingini. Ia membagi syahwah menjadi dua macam; 1.
Syahwat shadiqah: syahwat yang benar, berupa keinginan yang jika tidak dipenuhi
dapat merusak badan, seperti nafsu makan ketika lapar; 2. Syahwat kadzibah;
syahwah yang tidak benar, yang jika tidak terpenuhi, tidak berakibat apa-apa bagi
badan.’’5
2 Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat Dalam Al-Qur’an, (Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02,
Desember 2016),hlm. 387 3 Depertem pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta Utara: PT
Gramedia Pustaka utama,2012), hlm. 1367 4 Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Dar
al-Hadis, 2007), hlm. 480 5 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: lentera Hati 2007) hlm. 937
3
Dari ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut al-Qur’an, di
dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk
melakukan hal-hal yang memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan
kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan kepuasan harga diri.6
Dalam Mu’jam Mufahras li Alfadz al-Qur`an, penulis menemukan ternyata
ayat-ayat syahwat tidak hanya merujuk kepada hal-hal yang bersifat negatif saja,
namun ada juga yang merujuk kepada hal-hal yang bersifat positif yang di dalam
Qur`an disandarkan di surga. Syahwat ini dijelaskan dalam konteks surga.7 Berikut
penulis jelaskan dalam bentuk tabel:
No. Ayat Objek Konteks
01 QS. al-Anbiya’:
102
JUZ 17
Mukmin Keinginan bahwa mereka kekal
dalam surga, bahwa mereka tidak
mendengar desisan api neraka
02 QS. Fushshilat: 31
JUZ 24
Mukmin Keinginan untuk memperoleh apa
saja di surga, bahwasannya mereka
akan mendapatkan apa saja yang
mereka sukai dan penghormatan
yang mereka dambakan
6 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2001), hlm. 79 7 Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Kairo; Dar
al-Hadis, 2007), hlm. 480
4
03 QS. az-Zukhruf:
71
JUZ 25
Mukmin Keinginan oleh hati dan sedap di
pandang mata berupa piring-piring
dari emas dan piala-piala
04 QS. ath-Thur: 22
JUZ 27
Mukmin Keinginan akan makanan berupa
buah-buah an dan daging
05 QS. al-Waqiah: 21
JUZ 27
Mukmin Keinginan akan makanan berupa
daging burung
06 QS. al-Mursalat:
42
JUZ 29
Muttaqin Keinginan akan makanan berupa
buah-buahan lezat yang mereka
inginkan
Dari sedikit pemaparan di atas, timbul beberapa masalah berupa seperti apa
syahwat di surga, bagaimana syahwat dalam surga, kenapa masih ada syahwat
meski berada di surga, dan kalau meminjam definisi syahwat dari Raghib al-
Ashfahani yang telah dijelaskan di atas, apakah syahwatnya termasuk Syahwat
shadiqah atau Syahwat kadzibah, dan lain sebagainya. Karena itulah penelitian ini
menarik dan penting untuk dibahas. Adapaun penulis membaca masalah ini melalui
sudut pandang Ibnu Asyur dalam karyanya Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir sebagai
titik fokus pelitian ini dengan alasan tafsir ini memaparkan wawasan umum tentang
dasar-dasar penafsiran, dan bagaimana seorang penafsir berinteraksi dengan kosa
kata, makna, struktur, dan sistem al-Qur’an. Serta, Ibn ‘Âsyûr menggunakan corak
dalam tafrsir tersebut diawali dengan pengkajian kebahasaan, selanjutnya baru
dijelaskan teori-teori ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ayat, sehingga tidak
5
memberi kesan pemaksaan teori ilmu pengetahuan terhadap makna ayat al-Quran.8
Hingga berujung pada pemberian judul penelitian ini dengan judul : HAKIKAT
SYAHWAT DI SURGA (STUDI TAFSIR AL-TAHRIR WA AL-TANWIR
KARYA IBNU `ASYUR).
B. Identifikasi Masalah
Maka dari itu sesuai dengan latar belakang penulis memberikan masalah
awal sebagai berikut:
1. Syahwat sering dikonotasikan dengan hal-hal yang berbau seksualitas.
Padahal selain itu, syahwat merupakan rasa keinginan atas harta,
kekuasaan, dan kenikmatan.
2. Syahwat seringkali dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat negatif,
akan tetapi di dalam al-Qur’an ada enam ayat yang berbicara tentang
syahwat di surga.
3. Al-Ashfahani membagi syahwah menjadi dua macam; Syahwat
shadiqah berupa keinginan yang jika tidak dipenuhi dapat merusak
badan, seperti nafsu makan ketika lapar. Dan Syahwat kadzibah, yang
jika tidak terpenuhi, tidak berakibat apa-apa bagi badan. Bagaimana
dengan syahwatnya orang mukmin yang kekal di dalam surga?
4. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang syahwat, padahal di dalam
surga segala keinginannya akan terwujud.
8 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal
Ushuluddin Vol. XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 80
6
C. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, beberapa ayat dalam al-
Qur’an; al-Anbiya’: 102, Fushshilat: 31, az-Zukhruf: 71, ath-Thur: 22, al-Waqiah:
21, al-Mursalat: 42 menjelaskan tentang syahwat di surga, agar pembahasan dalam
penelitian ini tidak melenceng dan terarah dengan baik, maka penulis membatasi
penafsiran terhadap ayat-ayat yang telah penulis paparkan. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya ibn `Asyur.
Adapun dengan rumusan masalah tersebut adalah bagaimana hakikat
syahwat di surga, dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu `Asyur.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Begitu banyak informasi-informasi yang di dapatkan perihal tentang
syahwat, namun terkadang informasi yang di dapatkan belumlah terkuak, maka dari
itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji hakikat syahwat di surga yang
dijelaskan di dalam al-Qur’an
Sedangkan dengan adanya penelitian ini, penulis berharap akan
mendatangkan manfaat, diantaranya yaitu berupa manfaat ilmiah dalam rangka
memperkaya khazanah ilmiah di bidang tafsir al-Qur’an, juga manfaat kepada
masyarakat adalah untuk menambah pengetahuan bahwa tidak semua apa yang
dipandang masyarakat mengenai syahwat tidak mempunyai arti konotasi yang
bersifat negatif, bahkan di surga pun mempunyai syahwat, akan tetapi mempunyai
konotasi yang berbeda.
7
E. Kajian Terdahulu
Sejauh pengetahuan penyusun yang melakukan tinjauan terhadap
kepustakaan sudah ada beberapa karangan ataupun penelitian yang meninjau
tentang syahwat, berikut ini penyusun sebutkan beberapa karya yang telah di
jadikan skripsi atau pun jurnal yang membahas mengenai syahwat antara lain;
1). Syahwat adalah libido secara umum berarti gairah seksual; namun
dalamdefinisi yang bersifat lebih teknis menurut Jung mempunyai pengertian yang
lebih umum. Libido sebagai energi psikis yang dimiliki individu untuk digunakan
bagi perkembangan pribadi atau individuasi. Identitas dan kepribadian laki-laki
Arab pada era itu adalah laki-laki yang memiliki libido terhadap hal-hal yang sudah
disebutkan tadi. Namun ada hal yang menarik juga, dorongan seksual tidak hanya
sebatas berhubungan dengan jenis kelamin saja, ada yang berhasrat karena hal-hal
yang berkaitan dengan selera. Seperti halnya makanan yang menggairahkan bukan
karena ia sekadar makanan saja, namun membangkitkan selera karena aromanya,
cara penyajiannya, sensasi di lidah saat dicecap.9
Adapun perbedaan tulisan di atas dengan penelitian yang akan penulis teliti
adalah: pada tulisan di atas membahas mengenai syahwat yang berkaitan dengan
sejarah seksualitas pada masa kaum Nabi Luth, sedangkan penulis ingin membahas
mengenai syahwat yang berkaitan dengan kehidupan di surga.
2). Al-Qur`an menggambarkan syahwat dengan hal yang berhubungan
dengan kesenangan dan biasanya cenderung mengarah kepada hal-hal yang negatif.
9 Mohammad Guntur Romli, Sejarah Seksualitas dalam Islam, (Jurnal Perempuan, 2008)
8
Syahwat memiliki dampak positif dan negatif. Dari sisi positif, syahwat merupakan
faktor penggerak terkuat pada jiwa manusia; tangga menuju kesempurnaan;
pergumulan internal jiwa manusia. Namun, sisi negatif, syahwat mengakibatkan
manusia jauh dari kebenaran; mengakibatkan kemuliaan manusia terjatuh. Syahwat
dapat pula memunculkan bencana bila dipenuhi dengan melampui batas.10
Adapun perbedaan penulisan di atas dengan penelitian yang ingin penulis
teliti adalah: penulisan di atas hanya terbatas pada pengertian syahwat dalam al-
Qur`an, sedangkan penulis ingin menyajikan serta meneliti bagaimana pengertian
syahwat yang ada di surga dengan mengangkat satu tokoh mufassir.
3). Bagi orang awam syahwat selalu dikonotasikan dengan seks sehingga
orang 'suka' malu jika disebut besar syahwatnya. Sesungguhnya syahwat
merupakan salah satu subsistem dalam sistem kejiwaan (sistem nafsani) manusia,
bersama dengan akal, hati, dan hati nurani. Syahwat itu bersifat fitrah, manusiawi,
normal, tidak tercela, bahkan dibutuhkan keberadaannya, sebab jika seseorang
sudah tidak memiliki syahwat pasti ia tidak lagi memiliki semangat hidup. Yang
diperlukan adalah kemampuan memenej syahwat, sehingga ia terkendali dan
menjadi penggerak tingkahlaku secara proporsional. Memang syahwat yang tidak
terkendali dapat berubah menjadi hawa (menurut bahasa Indonesia hawa nafsu)
yang bersifat destruktif.11
Adapun perbedaan penulisan di atas dengan penelitian dalam tulisan ini
adalah: penulisan di atas membahas mengenai bagaimana cara untuk
10 Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat dalam al-Qur`an, (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
UIN Sumatera Utara Medan, Desember 2006) 11 Muhsin Hariyanto, Manajemen Syahwat, (Dosen FAI-UM, Yogyakarta)
9
mengendalikan nafsu, baik nafsu seksual, maupun kepada nafsu harta benda atau
kekayaan, sedangkan penulis ingin meneliti hakikat syahwat di surga, bagaimana
makna syahwat terhadap kehidupan surga.
4). Syahwat, yang sering diterjemahkan dengan hasrat seksual, sebenarnya
memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengertian bahasa (Arab), syahwat
dimaknai sebagai kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang
bersifat inderawi dan materiil. Dalam fitrahnya, syahwat bukanlah sesuatu yang
layak dibenci, namun merupakan karunia Allah yang harus dikendalikan, sehingga
memiliki nilai tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia. Ego (nafs) manusia bisa
terbawa ke arah positif atau negatif, tergantung pada kemampuan setiap diri
(pribadi) manusia untuk mengarahkannya.12
Adapun perbedaan dalam penelitian ini, penulisan di atas hanya sebatas
tentang bagaimana cara pengendalian dalam syahwat, sedangkan penulis dalam
penelitian ini ingin mengkaji lebih dalam bagaimana syahwat dalam kehidupan
surga.
5). Dalam Alquran syahwat digambarkan dengan hal yang berhubungan
dengan kecintaan dan kecendrungan kepada hal yang indah dan biasanya mengarah
kepada hal-hal yang negatif. Indikator yang dapat dipahami dari Alquran tentang
syahwat adalah: hati-hati menjadi seorang pengekor syahwat, karena dapat
membuat fitnah dan terlalu mencintai dunia dan seluruh gambaran fatamorgana
yang ada didalamnya. Syahwat memiliki dampak positif dan negatif terhadap
manusia. Adapun dampak positifnya adalah: Sebagai aktor penggerak terkuat pada
12 Hand Out, Pengendalian Syahwat dalam Perspektif al-Qur`an, (Kajian Tafsir al-Qur`an,
Yogyakarta 2007)
10
jiwa manusia; tangga menuju kesempurnaan; pergumulan internal jiwa manusia.
Sedangkan dampak negatifnya: Allah menciptakan syahwat dalam diri manusia
yang menyebabkan dapat terbuang dari kebenaran; membuat derajat manusia jatuh
dari kemuliaan; bahaya zaman saat ini disebabkan oleh manusia hidup di zaman
terbukanya segala sesuatu yang menyebabkan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
berbau negatif; di sisi lain orang yang terlalu melampaui batas dalam syahwat dapat
menjadikan sebab munculnya bala dan bencana.13
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis teliti
adalah: penelitian ini hanya menjelaskan bagaimana hakikat syahwat dalam al-
Qur`an, sedangkan penelitian yang ingin penulis teliti adalah: mengenai hakikat
syahwat yang ada di surga.
6). Modernisasi sebagai sebuah perkembangan peradaban layaknya dua sisi
koin mata uang yang membawa dampak positif dan negatif bagi kebudayaan asli
sebuah daerah. Ancaman pergeseran nilai budaya dimana nilai dan norma sedikit
demi sedikit menjadi terkikis dengan adanya dampak negatif dari sebuah
modernitas menjadi fenomena sosial yang jamak ditemui di masyarakat kita.
Munculnya Sales Promotion Girls atau yang lebih sering dikenal dengan singkatan
SPG, yang kemudian melahirkan pula SPG menunjukkan bahwa ancaman dari
dampak modernisasi nyata ada di masyarakat. Tulisan ini menggunakan latar
belakang hadirnya fenomena SPG yang kemudian dikorelasikan dengan fenomena
lain yakni praktek gratifikasi syahwat. Gratifikasi syahwat sendiri kini mulai
13 Farid Adnir, Syahwat Dalam Alquran, Tesis Program Pascasarjana, (Institut Agama Islam Negeri
Sumatera Utara Medan, 2014)
11
populer di telinga masyarakat kita seiring dengan terbongkarnya beberapa kasus
korupsi yang menggunakan SPG sebagai sebuah alat tukar maupun hadiah agar
beberapa oknum yang mayoritas berasal dari kalangan pengusaha mampu
memenangkan sebuah proyek/tender.14
Adapun perbedaan penelitian ini adalah: penulisan ini membahas mengenai
gratifikasi syahwat yang melatar belakangi SPG sebagai objek, sedangkan pelitian
yang ingin penulis teliti adalah: mengenai syahwat di surga.
F. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Bentuk penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengklarifikasi serta menelaah beberapa
literatur yang berkaitan dengan inti permasalahan.
Kegiatan pengumpulan data, dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa buku-
buku. Sumber data primer adalah Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya ibn `Asyur.
Adapun sumber data sekunder adalah buku-buku yang membantu memberikan
penjelasan ke arah tersebut. Dimaksudkan untuk sebagai bahan tambahan bagi
sumber primer. Dari sumber data primer maupun sekunder, diharapkan diperoleh
data kualitatif sesuai yang diinginkan.
14 Ruth Royke Wadja, Gratifikasi Syahwat, (skripsi Universitas Airlangga, 2014)
12
2. Metode analisis
Metode yang ditempuh dalam tulisan ini adalah deskriptif analisis.
Deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan,
peristiwa, objek, ataupun segala sesuatu yang terkait variable-variable yang bisa
dijelaskan.15
Dari keterangan di atas, penulis ingin mendeskripsikan dan menganalisa
data yang ditemui melalui objek kajian yang telah ditentukan di latar belakang
masalah yaitu hakikat syahwat mukmin di kehidupan surga studi tafsir al-Tahrir wa
al-Tanwir karya ibn `Asyur.
3. Metode penulisan
Dalam teknik penulisan berpedomankan kepada: Buku pedoman Akademik
Program strata 1 2013/2014 dan Pedoman Penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisannya, penulis membagi penulisan ini dalam
lima bab, yakni:
Bab pertama, pendahuluan menjelaskan tentang apa yang melatar belakangi
skripsi ini sehingga timbul permasalahan, mengidentifikasi, membatasi dan
15 Setyosar punaji, metode penelitian pendidikan dan pengembangan, (Jakarta: kencana, 2010),
hal.36
13
merumuskan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi
penelitian dan metodelogi penulisan serta sistematika penulisan.
Bab kedua, menjelaskan mengenai pengertian dari kata syahwat dalam al-
Qur`an. lalu bagaimana perbedaan syahwat dengan hawa nafsu. Serta mejelaskan
bagaimana hakikat dari surga.
Bab ketiga, menjelaskan menegenai ibn `Asyur serta kitab tafsir al-Tahrir
wa al-Tanwir. Dari mulai biografi beliau, karya-karyanya, metode tafsir,
karakterisktik tafsir, serta sitemetika penulisan tafsir beliau.
Bab keempat, memaparkan penafsiran ibn `Asyur dalam kitab al-Tahrir wa
al-Tanwir terhadap ayat-ayat yang membahas mengenai syahwat yang disandarkan
kepada mukmin di surga, sebagai berikut: al-Anbiya’: 102, Fushshilat: 31, az-
Zukhruf: 71, ath-Thur: 22, al-Waqiah: 21, Tafsir QS. al-Mursalat: 42. Serta, serta
pendapat Quraish Shihab mengenai ke enam ayat tersebut dan analisa dari penulis.
Bab kelima, merupakan bab terakhir yang berisikan mengenai kesimpulan
dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM HAKIKAT SYAHWAT DI SURGA
A. Hakikat Syahwat
1. Pengertian syahwat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan syahwat yaitu nafsu
atau keinginan bersetubuh, kebirahian.1 Demikian pula W.J.S.
Poerwadarminta, mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau
kegemaran bersetubuh.2 Arti yang sama terdapat dalam Kamus Modern
Bahasa Indonesia, syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama keinginan
bercampur antara laki-laki dan perempuan.3
Kata syahwat dalam bahasa Arab adalah الشهوات (asy-syahawât,
bentuk jamak dari syahwat). Kata الشهوات tersusun dari kata dasar dengan
suku kata: ي ه ش , huruf pertama: ش, huruf kedua: ه, dan huruf ketiga: ي.
Jumlah pemakaian pola dasar ي ه ش dalam Al-Qur`an 13 kali, yang terdiri
dari dipakai kata benda sebanyak 5 kali, dipakai kata kerja sebanyak 8 kali.4
Kalimat syahwat disebut Al-Qur`an dalam bentuk mufrad sebanyak dua kali.
Raghib Al Asfahani menjelaskan bahwa, syahwat pada dasarnya
berarti nafsu terhadap sesuatu yang diingini. Ia membagi syahwat menjadi
1 Depertem pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta Utara:
PT Gramedia Pustaka utama,2012). 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Perpustakaan Nasional
Balai Pustaka, 1976), hlm. 985. 3 Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, tt.), hlm.
893. 4 Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al-Karim,
(Kairo: Dar al-Hadis, 2007), hlm. 480
15
dua macam; 1. Syahwat shadiqah: syahwat yang benar, berupa keinginan
yang jika tidak dipenuhi dapat merusak badan, seperti nafsu makan ketika
lapar; 2. Syahwat kadzibah; syahwat yang tidak benar, yang jika tidak
terpenuhi, tidak berakibat apa-apa bagi badan.’’5
Adapun di dalam al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk
beberapa arti:
1). Dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti
pikiran orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-
Qur’an:
أنيت وبعليك موي ريد ي ريد والله الذينيتبع ونالشهواتأنتميل واميلا
ا عظيما
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya
(dari kebenaran).” (QS. An-Nisa’: 27).
Al-Sabuni menafsirkan kalimat syahwat pada ayat di ini bahwa
manusia senang kepada kemunkaran, mereka mengikuti setan, berpaling dari
kebenaran kepada kebathilan, sehingga mereka menjadi fasik dan inkar.
Padahal Allah menginginkan kemudahan bagi manusia, maka diturunkanlah
syari’at yang mudah dan Allah tahu bahwa manusia sangat lemah untuk
melawan hawa nafsu dan tidak sabar untuk mengikuti keinginan syahwat.6
2). Dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan
kesenangan.
5 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi al-Qur’an (Jakarta: lentera Hati 2007) h 937 6 Muhammad Ali al-Ṣabuni, Ṣafwat al-Tafasīr Jilid II (Beirut: Maktabah al-Misriah,2011),
hlm. 229
16
الشهو ب ي نللناسح قنطرةمنالذهبز اتمنالن ساءوالبنينوالقناطيرالم
لكمتاع الحياةالدنياوالله ذ مةوالنعاموالحرث سو ةوالخيلالم والفض
المآب سن ح عنده
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).”(QS Ali-Imran: 14).
syahwat pada ayat di atas dimaksudkan untuk menyebutkan potensi
keinginan manusia. Ayat ini menyatakan syahwat sebagai potensi keinginan
manusia, yakni pada dasarnya manusia menyukai terhadap wanita (seksual),
anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan atau benda berharga (kebanggaan,
kenyamanan, kesenangan), binatang ternak (kesenangan, kemanfaatan) dan
sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan), jadi kecenderungan manusia
terhadap seksual, harta benda, dan kenyamanan dalam pandangan Alqur`an
adalah manusiawi.7
لةواتبع واالشهواتفسوفيلقونغيا فخلفمنبعدهمخلفأضاع واالص
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan”(QS Maryam: 59).
Al-Sabuni menafsirkan kalimat syahwat pada ayat tersebut dengan
orang-orang yang meninggalkan shalat dan berada di jalan syahwat yang
dapat membawa mereka kepada keburukan, kerugian dan kehancuran.8
3). Berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan
dalam al-Qur’an:
7 Ulya Hikmah Sitorus Pane, Syahwat Dalam Al-Qur’an, hlm. 388 8 Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafasīr Jilid I, hlm.649
17
مند ونالن ساءبلأنت مقومتجهل ون جالشهوةا أئنك ملتأت ونالر
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat
(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sesungguhnya kamu adalah kaum yang
tidak mengetahui (akibat dari perbuatanmu)” (QS. An-Naml: [55]).
Syaikh Muhammad Ali al-Ṣabuni, dalam kitab Ṣafwat al-Tafasīr,
menjelaskan ayat di atas berulang-ulang sebagai cacian terhadap kaum Luṭ,
“Wahai kaum Luṭ yang sangat bodoh mengapa kamu lebih memiliki syahwat
kepada laki-laki dan meninggalkan perempuan.”9
Menurut penulis pada hakikatnya, syahwat merupakan fitrah manusia
dan manusia merasa indah jika syahwatnya terpenuhi maka syahwat menjadi
penggerak tingkah laku. Jika seseorang sedang lapar atau haus maka tingkah
lakunya selalu mengarah kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan dan
minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga
selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual. Begitulah
seterusnya, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh syahwat apa yang
sedang dominan dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat
pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan
lain-lainnya. Syahwat itu seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan
melakukan apa saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti
dorongan kepuasan, belum mengerti tanggung jawab. Jika dididik, jangankan
anak-anak, binatang pun tingkah lakunya bisa dikendalikan. Syahwat yang
dimanjakan akan mendorong pada pola hidup glamour dan hedonis.
9 Muhammad Ali al-Ṣabuni, Ṣafwat al-Tafasīr Jilid II (Beirut: Maktabah al-Misriah,2011),
hlm. 858
18
2. Perbedaan Syahwat dan Hawa Nafsu
Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas bahwasannya
syahwat merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika
syahwatnya terpenuhi maka syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika
seseorang sedang lapar atau haus maka tingkah lakunya selalu mengarah
kepada tempat dimana dapat diperoleh makanan dan minuman. Jika yang
sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga selalu mengarah
kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual, adapun perbedaan syahwat
dengan hawa nafsu yang ingin penulis jelaskan.
Sedangkan hawa nafsu secara bahasa kata nafs berasal dari kata
nafasa yang berarti `bernafas`, Artinya nafas keluar dari rongga. Belakangan,
arti kata tersebut berkembang sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka
ragam seperti `menghilangkan`, `melahirkan`, `bernafas`, `jiwa`, `ruh`,
`manusia`, `dan diri`. Namun, keanekaragaman ini tidak menghilangkan arti
asalnya, misalnya ungkapan bahwa Allah menghilangkan kesulitan dari
seseorang digambarkan dengan ungkapan (nafasa Allah kurbatahu) kesulitan
seseorang itu hilang bagaikan embusan nafasnya.10
Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa
kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian
yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna
keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap
manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal
10 Ensiklopedia al-Qur`an, KAJIAN KOSA KATA, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), jilid II:
hlm.691
19
menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat
ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh,
menyebabkan hilangnya kehidupan.11
Di dalam al-Qur’an terdapat 140 ayat yang menyebutkan nafs, dalam
bentuk jama’nya nufus terdapat 2 ayat, dan dalam bentuk jama’ lainnya anfus
terdapat 153 ayat. Berarti dalam al-Qur’an kata nafs disebutkan sebanyak 295
kali. Kata ini terdapat dalam 63 surat dari seluruh jumlah surat yang terdapat
dalam al-Qur’an, yang terbanyak dimuat dalam surat al-Baqarah (35 kali), Ali
Imran (21 kali), al-Nisa’ (19 kali), al-An’am dan al-Taubah (masing-masing
17 kali, serta al-A’raf dan Yusuf (masing-masing 13 kali).12
Nafsu itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk. nafsu pada
umumnya mendorong kepada kehendak-kehendak rendah yang menjurus hal-
hal yang negatif. Namun ada pula nafsu yang mendapat rahmat yang
membawa kepada kebaikan yang kelak dalam perkembangan ilmu tasawuf
disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah atau kepribadian yang mengandung
sifat kasih sayang.13
Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang
merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang
11 Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz VIII, (Kairo: Dar
al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968), hlm.119-120.
12 Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrash li Iifadli al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), hlm.881 13 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996),hlm. 251
20
kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan
pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.14
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi,
memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang
ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana,
tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat
tinggi.15
Sebenarnya dalam Alquran terdapat dua kata yang sama-sama
diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti hasrat ,
hawa nafsu. Kata hawa atau ahwa disebut 17 kali dalam Alquran.16
Al-Raghib, dalam Abdul Muin Salim, menambahkan bahwa
kecenderungan jiwa pada syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan
seseorang akan kehidupan dunia ini ke dalam kecelakaan dan dalam
kehidupan akhirat ke dalam neraka.17
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa pengertian hawa nafsu itu
berhubungan erat dengan syahwat, sehingga menurut Toshihiku Izutsu, kata
hawa merupakan sinonim dari kata syahwat, yakni suatu kata yang bermakna
14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, (Jakarta: Pustaka Karim, 1992), hlm. 196 15 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.180.
16 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 251. 17 Abdul Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1994), hlm. 117.
21
keinginan atau nafsu. Bahkan dalam konteks tersebut kata syahwat dapat
menggantikan kata hawa tanpa menyebabkan perubahan makna yang nyata.18
Fazlur Rahman, dalam Rahardjo, menjelaskan mengenai nafs dalam
Alquran, kata ini dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep
tentang jiwa dengan pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari
jasmani. Jiwa yang dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang
dinyatakan oleh Alquran dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah
secara eklusif dari raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, Alquran
tidak mendukung doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga.
Menurut penafsirannya nafs yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul),
sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau aku. Adapun predikat yang
beberapa kali disebut dalam Alquran hanyalah dan seharusnya dipahami
sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watak-watak, dan kecenderungan-
kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini seharusnya dipahami
sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik, tetapi tidak sebagai
substansi yang terpisah.19
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti
al-Ghazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-Ghazali
nafs itu mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah
yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-
ghadlab), dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh
18 Thosihiku Izutsu, Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993), hlm. 168. 19 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, hlm. 260.
22
hewan dan manusia. Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang
lembut, halus, suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan
lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya.20
فكانمن الشيطان آياتنافانسلخمنهافأتبعه عليهمنبأالذيآتيناه واتل
الغاوين
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami
berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab),
kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh
syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat.”(QS Al-A`raf: 175).
كمثلالكلب فمثل ه أخلدإلىالرضواتبعهواه كنه بهاول ولوشئنالرفعناه
القومالذينكذب وابآياتنا لكمثل يلهثذ كه إنتحملعليهيلهثأوتتر
ون ميتفكر فاقص صالقصصلعله
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”(QS Al-
A`raf: 176).
وأ هواه هه سمعهوقلبهأفرأيتمناتخذإل علموختمعلى على الله ضله
ون فمنيهديهمنبعداللهأفلتذكر بصرهغشاوةا وجعلعلى
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak
mengambil pelajaran?”(QS Al-Jasiyah: 23).
20 Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 78.
23
Sebagaimana ayat-ayat yang telah penulis mengenai hawa nafsu,
Adapun perbedaan antara syahwat dan hawa nafsu adalah: syahwat berfungsi
sebagai penggerak tingkah laku atau motif dan menyuburkan motivasi kearah
keutamaan hidup. Dalam kondisi demikian syahwat seperti energy yang
selalu menggerakkan mesin untuk tetap hidup dan hangat. Keseimbangan itu
menjadikan orang mampu menekan dorongan syahwat yang ada saatnya
harus ditekan (seperti rem mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar
yang dibutuhkan, Sedangkan hawa nafsu memiliki tabiat menuntut pemuasan
seketika tanpa memperdulikan dampak bagi orang lain maupun diri sendiri.
Begitu kuatnya dorongan hawa nafsu, maka Alquran mengibaratkan
kedudukan hawa nafsu bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya
seperti “tuhan” yang harus disembah.
B. Hakikat Surga
Kata surga itu sendiri diambil dari kata janna yang berasal dari kata
janana pada asalnya berarti `tertutup`, yaitu tidak dapat dijangkau oleh
pancaindra manusia. Dari akar kata inilah pengertiannya berkembang sejalan
dengan perkembangan konteks pemakaiannya sehingga terbentuk kata lain.
Misalnya kata janin diartikan dengan `bayi yang masih berada dalam
kandungan ibunya`. Dalam AL-Qur`an kata ini disebutkan sebanyak 161 kali
dalam bentuk kata jannah.21
بماكان وايعمل ون ةأعي نجزاءا ممنق ر نفسماأ خفيله فلتعلم
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang
indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka
kerjakan.”(QS. As-Sajdah: 17).
21 M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur`an (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.386
24
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang tidak dapat mengetahui betapa
besar kebahagiaan dan kesenangan yang akan diberikan kepada mereka di
surga nanti, semua itu adalah balasan yang sempurna atas perbuatan baik atau
amal-amal saleh yang telah dikerjakan selama hidup di dunia. Hasan al-Basri
berkata: “Karena mereka menyembunyikan amalnya, maka Allah pun
menyembunyikan balasan yang akan diberikan kepadanya sebagai balasan
setimpal”.22
Adapun surga menurut defenisi AL-Qur`an adalah sebuah alam yang
di dalamnya terdapat segala sesuatu yang diinginkan hati, segala sesuatu yang
menyedapkan mata, dan segala sesuatu yang saat ini masih dalam angan-
angan orang-orang yang kelak menikmatinya. Di dalam surga juga terdapat
segala hal yang baru dan ada tambahan nikmat dari Allah yang tidak pernah
terdetik dalam pikiran.23
عليهمبصحافمنذهبوأكوابوفيهاماتشتهيه ي طاف النف س
وأنت مفيهاخالد ون العي ن وتلذ
“Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas,
dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang
sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya.” (QS Az-Zukhruf
[43]: 71).
Sebenarnya kata surga dalam bahasa Indonesia tidak dikenal di dalam
Alquran karena kata surga berasal dari bahasa Jawa Sansekerta yang berarti
tingkatan suatu keadaan orang mencapai kebahagiaan. Makna surga itu
22 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi, jilid 30 terj. Bahrun Abu Bakar
(Semarang: Toha Putra, 1986), hlm. 214 23 Said Ramadhan Al-Buthy, La Ya’tihil Bathil, terj Misbah, cet I (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2010), hlm.124
25
kemudian digunakan untuk menerjemahkan konsep jannah di dalam Alquran.
Esensi dua makna tersebut pada dasarnya sama-sama mengandung pengertian
kebahagian, meskipun ada perbedaan antara du konsep tersebut. Akan tetapi
perbedaan itu bukan perbedaan yang esensial sehingga perbedaan tersebut
bisa dinafikkan. Penerjemahan konsep jannah dalam Alquran dengan surga
sudah menjadi kebenaran yang diterima oleh seluruh hampir umat muslim
Indonesia. Bahkan ada wacana penulisan yang benar untuk kata surga adalah
surga. Oleh karena itu, dalam tulisan ini jannah diterjemahkan menjadi
surga.24
Surga adalah tempat kenikmatan yang kekal dan sempurna yang tidak
ada di dalamnya kekurangan apapun. Surga disediakan oleh Allah SWT bagi
mereka yang mentaati perintah-Nya dan tidak mengingkari kebenaran yang
dibawah oleh rasul-rasul-Nya. Surga adalah tempat orang-orang yang
dikaruniai nikmat oleh Allah, dari kalangan para nabi, shiddiqin, shuhada dan
orang-orang yang saleh. Surga adalah tempat yang tamannya berisi sungai-
sungai yang mengalir di bawahnya. Ia adalah tempat yang istananya tersusun
dari bata dan perak. Tanahnya dari minyak misik terbaik, pasirnya intan dan
mutiara, kemah-kemahnya dijalin dari mutiara.25
مجناتتجريمنتح له الحاتأن رالذينآمن واوعمل واالص وبش تهاالنهار
وأ ت وابه زقنامنقبل ذاالذير زق وامنهامنثمرةرزقااقال واه ك لمار
رةوه مفيهاخالد ون طه مفيهاأزواجم اوله تشابها م
24 Nur Aris, Andai Surga dan Neraka Tiada, (Jakarta: Inti Media, 2009), hlm. 1 25 Nur Aris, Andai Surga dan Neraka Tiada, hlm. 1
26
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman
dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam
surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”(QS Al-
Baqarah: 25).
لك مللذيناتقواعندرب همجناتتجريمنتحتهانب ئ ك مبخيرمنذ ق لأؤ
بصيربالعباد رةورضوانمناللهوالله طه خالدينفيهاوأزواجم النهار
“Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik
dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah),
pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-
sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang
disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-
hamba-Nya.”(QS Ali-Imran: 15).
االذينا مففيرحمةاللهه مفيهاخالد ونوأم وه ه ج بيضتو
“Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka
berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.”(QS Ali-
Imran: 107).
ه ممغفرةمن ئكجزاؤ خالدينأ ول رب هموجناتتجريمنتحتهاالنهار
العاملين فيهاونعمأجر
“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga
yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”(QS
Ali-Imran: 136).
لا خالدينفيهان ز مجناتتجريمنتحتهاالنهار مله كنالذيناتقواربه ل
منعنداللهوماعنداللهخيرللبرار
“Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi
mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka
kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan
apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang
berbakti.”(QS Ali-Imran: 198).
27
إذاجاء وهاوف تحتأبواب ها حتى ا مرا مإلىالجنةز وسيقالذيناتقواربه
ل وهاخالدين مخزنت هاسلمعليك مطبت مفادخ وقالله
“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam
surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke
surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah
kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”.(Az-
Zumar: 73).
Kata yang paling sering dipakai untuk menunjukkan hakikat surga
adalah khulud, sebagaimana beberapa ayat yang telah penulis cantumkan di
atas. Kata khulud berarti kekal, abadi. Akar katanya khalada yang
menunjukan arti tetap dan kekal. Kekekalan yang ditunjukka khalada dapat
berarti kekal sementara dan kekekalan di dalam arti sesungguhnya, abadi
terus menerus tanpa akhir, tetapi mempunyai awal. Al-Qur‘an menggunakan
kata-kata tersebut dengan makna kekekalan sementara, dan kekekalan dalam
arti sesungguhnya, yaitu tidak mengalami kerusakan dan perubahan.26
Term khulud mengandung makna a'qama (tinggal menetap), dawam
al-Baqa (keadaan kekal dan tidak binasa) dalam sebuah tempat yang tidak
ada kemungkinan keluar lagi dari padanya. Di dalam al-Qur‘an, term khulud
ditemukan memiliki pola isim fa’il. Isim itu mengandung pengertian
keikutsertaan seseorang dalam sesuatu ruang dan aktifitas. Dengan demikian,
seseorang yang masuk dalam surga akan ikut serta mengalami kekekalan atau
26 Tim Penyusun, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati,
2007), hlm. 451
28
ketidak binasaan. Jadi, penghuni surga tidak binasa sebagaimana tidak
binasanya surga.27
Kata khulud yang berpola isim fa’il mengandung pengertian bahwa
penghuni surga akan kekal (tetap ketika yang lain hancur). Oleh karena itu,
kata khalidina terkadang bergandengan dengan kata abadan, yang
penyebutannya sebanyak 10 kali.28
Setiap kali menyebutkan kata abadan yang menyandingi term
khalidina untuk menunjukan kekekalan surga dan penghuninya. Allah swt
menegaskan dengan mengatakan pernayataan zalika al-Fauzul al-‘azim
(itulah kemenangan yang amat mulia), wa‘dallahi haqqa (janji Allah akan
terwujud), dan qad ahsanallahu rizqa (sungguh sangat baik rezki Allah).29
Sementara, penggunaan kata khalud dalam bentuk isim masdar yang
bertalian dengan surga ditemukan berulang sebanyak dua kali, seperti jannatu
al-khuld dan yaum al-khulud.
Frase jannatu al-khuld memiliki konteks mudaf wa mudaf ilaih
(sandar menyandari). Al-Razi dalam tarsirnya berkata, Penyandaran sebuah
kata dengan kata lain adakalanya bertujuan li al-tamyiz (membedakan untuk
memunculkan keistimewaan salah satu dari dua sesuatu) dan adakalanya pula
bertujuan bayan sifah al-kamal (penjelasan mengenai sifat kesempurnaan).
Oleh karena itu, kata khulud sandar ke kata al-jannah (surga) dan yaum
(waktu) untuk menjelaskan bahwa surga memiliki sifat istimewa
27 Mukhtar Yunus, Al-Jannah dalam Perspektif Al-Qur‟an: Sebuah Kajian Tafsir dengan
Metode Tematik” (Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana UIN Alauddin, Makassar, 2011), hlm. 150 28 M. Samsul Hady, Islam Spiritual; Cetak Biru Keserasian Eksistensi (T.C; Malang: UIN
Malang pres, 2007), hlm. 226 29 Mukhtar Yunus, Al-Jannah dalam Perspektif Al-Qur‟an: Sebuah Kajian Tafsir dengan
Metode Tematik”, hlm. 153
29
dibandingkan dunia, yakni kekal dan tidak binasa bahkan waktu di sana juga
kekal.30
Pada hakikat bahwa surga adalah kekal adanya, hal ini dijelaskan oleh
Allah swt melalui firman-Nya. Adapun term yang menunjukkan bahwa surga
kekal adalah al-khulud yang berarti kekal, abadi. Sebagaimana dari beberapa
ayat yang telah penulis cantumkan di atas, bahwa term khulud mengandung
makna a'qama (tinggal menetap), dawam al-Baqa (keadaan kekal dan tidak
binasa) dalam sebuah tempat yang tidak ada kemungkinan keluar lagi dari
padanya.
30 Muhammad Ibn Umar Ibn al-Husain al-Razi, Tafsir al-Razi, (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr,
1401 H/1981 M), hlm. 57
30
BAB III
IBNU `ASYUR DAN TAFSIRNYA
A. Biografi Ibnu `Asyur
1. Riwayat Hidup Ibnu `Asyur
Di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan, muncullah sebuah suku
yang bernama suku ‘Asyuriyah. Mereka hidup di sebuah kawasan Andalusia.
Suku ini masih menggunakan budaya nomaden. Sekitar tahun 1620 M mereka
pindah ke kawasan Maghrib dan tahun 1648 M mereka pindah ke Tunisia. Di
antara nenek moyang suku ini adalah Syeikh Shaleh Syarif Abdullah,
Muhammad ibn ‘Asyur al- Husniy. Dari suku ‘Asyuriyah ini, muncul seorang
ulama yang menjadi tokoh di bidang ushul fiqh dan bidang tafsir yang
bernama Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur.
Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn
Muhammad al-Thahir ibn Muhammad ibn Muhammad al-Syadzuliy ibn Abd
al-Qadir ibn Muhammad ibn ‘Asyur. Ayah nya bernama Muhammad ibn
‘Asyur dan ibunya bernama Fathimah binti al- Syeikh al-Wazir Muhammad
al-‘Aziz ibn Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Thaib ibn Muhammad
ibn Muhammad Bu’atur. Muhammad al-Thahir ibn Asyur dikenal dengan Ibn
‘Asyur. Ia lahir di Mursi pada Jumadil Awal tahun 1296 H atau pada
September tahun 1879 M.1
1 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal
Ushuluddin Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 81
31
Ibnu `Asyūr tumbuh dalam asuhan kakek, beliau adalah seorang
perdana mentri, orang tua Ibnu `Asyur menginginkan kelak beliau menjadi
seperti kakeknya dalam keilmuan dan kepandain kakeknya, untuk selalu
menjaganya dan bersemangat agar kelak ia menjadi penggantinya baik dalam
keilmuan, kekuasaan dan kedudukanya.2
Ibnu `Asyūr merupakan pemimpin para mufti, beliau disebut Syaikh
al-Imām, beliau seorang `Alim dan guru di bidang Tafsīr dan Balaghāh di
Universitas al-Zaituniyyah, beliau seorang Qadiy, guru yang agung dan
mulia, beliau juga sebagai Majami’ al-Lughah al-‘Arabiyyah. Ibnu `Asyūr
juga dikenal sebagai pusat (Qutb) pembaharuan pendidikan dan bersosial
pada masanya.3
Cita-cita dan harapan keluarganya akhirnya terwujud,setelah selesai
mengenyam pendidikan di al-Zaituniyyah,ia mengabdi dan mendapatkan
berbagai kedudukan di bidang Agama, kegiaatn selama ini tidak didasari
material oriented, tetapi didasari risalah amanah yang mesti dia emban dalam
menjalankan misinya, dia terbantu oleh keberdaan perpustakaan besar yang
mengoleksi literatur-literatur kuno dan langka, di samping literatur modern
dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Perpustakaan itu adalah
warisan generasi tua dari para cendikiawan dan termasuk perpustakaan
terkenal di dunia.4
2 Mani’ ‘Abd al-Halim’Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”,terj Faisa Saleh
Syahdianur,(Jakarta.PT. Karya Grafindo,2006), hlm,313 3 Musyrif bin Ahmad al-Zuhainy,’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-Tafsir‘Indalibni
‘Ᾱsyūr, (Baeirut,Muasash al-Rayyan,2002), hlm. 21 4 Mani’ ‘Abd al-Halim’Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”,terj Faisa Saleh
Syahdianur,(Jakarta.PT. Karya Grafindo,2006), hlm,314
32
Dalam membina keluarga Ibnu ‘Asyur menikah dengan Fatimah binti
Muhammad Muhsin, dari pernikahanya ini beliau dikaruniai lima anak yang
terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan, mereka adalah:
1. Muhammad al-Fadl kemudian menikah dengan Sabih binti
Muhammad al-‘Aziz.
2. ‘Abd al-Malik menikah dengan Radiya binti al-Habib al-Jaluli.
3. Zain al-‘Abidin menikah dengan Fatimah binti Salih al-Din bin al-
Munsif Bay.
4. Umm Hani’ yang menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin
Basyir bin al-Khuja’.
5. Syafiya yang menikah dengan al-Syaziliy al-Asrar.
Semasa hidup Ibnu`Asyur telah meraih berbagai prestasi gemilang, ia
juga menduduki jabatan yang penting, baik dalam bidang Agama keislaman
dan perkantoran.Adapun diantara yang terpenting adalah:5
1. Guru di Jami' Zaitunah dan Madrasah Sadiqiyah, mulai dari tahun
1900 M hingga tahun 1932 M.
2. Anggota Majelis Idarah al-Jam'iyah al-Khalduniyah tahun 1323 H/
1905 M.
3. Anggota Lajnah al-Mukhallifah yang mengatur atau mengelola buku-
buku dan naskah-naskah di Maktabah al-Sadiqiyah tahun 1905 M.
4. Delegasi Negara dalam penelitian ilmiah tahun 1325 H/ 1907 M.
5 Muhammad al-Tahir ibnu ‘asyur,Syarh al-Muqadimah al-Adabiyyah li al-Marzuqy ‘ala
diwani al-amasah, hlm,16-17
33
5. Anggota Lajnah Revisi Program Pendidikan tahun 1326 H/ 1908 M.
6. Dan lain-lain.
2. Riwayat Pendidikan Ibnu `Asyur
Pendidikan awal beliau dapatkan dari kedua orang tuanya dan dari
segenap keluarganya, baik langsung ataupun tidak, khususnya kakek dari
ibunya, beliau belajar al-Qur’ān dirumah keluarganya kemudian dapat
menghafalnya. Menurut pendapat lain ibnu ‘ belajar al-Quran sampai hafal
dan membacakanya kepada Muhammad al-Khiyari di masjid Sayyidiy Hadid
yang berada di sebelah rumahnya. Setelah itu beliau menghafal kumpulan
kitab-kitab matan seperti matan Ibnu ‘Asyir al-jurmiyyah dan juga kitab
syarah al-Syaikh Khalid al-Azhariy ‘Ala al-Jurmiyyah,semuanya adalah yang
dipersiapkan oleh siswa-siswa yang akan melanjutkan studi di Universitas al-
Zaituniyyah.
Ibnu ‘Asyūr diterima dan belajar di Universitas al-Zaituniyyah pada
saat umurnya 14 tahun, tepatnya pada tahun 1310 H bertepatan 1893 M,
berkat arahan dari kedua orang tua kakek dan gurunya, beliau sangat haus dan
cinta pada ilmu pengetahuan, sehingga dalam proses belajar Ibnu ‘Asyūr
tidak sekedar bertatap muka dengan para guru dan teman-temanya di tempat
belajar tetapi beliau juga memberikan kritik yang cerdas dan baik.6
Beliau belajar di al-Zaituniyyah pada awal-awal abad 14 Hijriyyah, Ia
begitu mahir dan jenius dalam semua disiplin ilmu pengetahuan dan ilmu
6 Nani Haryati, Analisa pendekatan teks dan konteks penafsiran poligami Ibnu `Asyur dalam
kitab al-Tahrir wa al-Tanwir,( Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2017),hlm.78
34
keislaman, prestasi belajarnya diatas rata-rata sampai di penghujung masa
belajarnya di al-Zaituniyyah. Tercatat bahwa beliau mempelajari bermacam-
macam kitab di Universitas tersebut, diantaranya:7
1. Ilmu Nahwu (al-Fiyyah Ibnu Malik beserta kitab-kitab syarahnya seperti
Tudih karya Syaikh Khalid al-Azhariy, Syarahal-Mukawwady, al-
Asepuriy, Mugni Labib karangan Ibnu Hisyam, Tuhfah al-Garib yang
merupakan syarah dari Mugni Labib dan lain-lainya.
2. Ilmu Balaghah (Syarah risalah al-Samarqandiy,karya al-Damanuriy al-
Takhlis dengan syarah al-Mutawal karya al-Sa’d al-Taftanzani.
3. Al-Lughah (al-Mazhar li al-Suyutiy).
4. Ilmu Fiqih (Aqrab al-Mālik ila Mazhab al-Imām al-Mālik karya al-Dadir
syarah al-Tawadiy ‘ala al-Tuhfah).
5. Ilmu Usul Fiqih (Syarah al-Hatab ‘ala waraqat Imam al-Haramain).
6. Al-Hadis (Shahih al-Bukhari,Muslim kitab Sunan dan Syarah Garamiy
Sahih).
7. Mantiq (al-Salam fil al-Mantiq li Abd ar-Ruhman Muhammad al-Sagir).
8. Ilmu Kalam (al-Wusta ‘ala ‘Aqaid al-Nasafiyyah).
9. Ilmu Farāid (kitab al-Durrah).
10. Ilmu Tarīkh (al-Muqadimah dan lain-lainnya).
7 Nani Haryati, Analisa pendekatan teks dan konteks penafsiran poligami Ibnu `Asyur dalam
kitab al-Tahrir wa al-Tanwir, hlm.78
35
B. Mengenal Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
1. Latar Belakang penyusunan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
Dalam penulisan kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn ‘Asyur ingin
menjelaskan kepada masyarakat apa yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan di dunia dan akhirat, menjelaskan kebenaran, akhlak mulia, kandungan
balaghah yang dimiliki al-Qur’an, ilmu-ilmu syari’at, serta pendapat-pendapat-
pendapat para mufasir terhadap makna ungkapan al- Qur’an. Cita-cita Ibn ‘Asyur
tersebut sering diungkapkannya kepada sahabat-sahabatnya, sembari meminta
pertimbangan dari mereka. Sehingga pada akhirnya cita-cita tersebut makin lama
makin menjadi kuat. Demikianlah, kemudian Ibn ‘Asyur menguatkan ‘azam-nya
untuk menafsirkan al-Qur’an, dan meminta pertolongan dari Allah semoga dalam
ijtihadnya ini ia terhindar dari kesalahan.8
Ibn ‘Asyur juga ingin mengungkap dalam kitab tafsirnya ini
pemahaman al- Qur’an berdasarkan persoalan-persoalan ilmiah yang tidak
diungkapkan oleh ulama terdahulu. Namun, Ibn ‘Asyur juga
menggarisbawahi bahwa pandangan ini tidak mutlak hanya dimiliki olehnya
sendiri, dan tidak menutup kemungkinan ulama-ulama lainnya juga
berpandangan yang sama dengannya dan menulis tafsir dengan cara ia
tempuh juga.9
Dari uraian di atas, penulis dapat memahami, bahwa Ibn ‘Asyur
menulis kitab tafsir dengan latar belakang kecintaan kepada Islam dan umat
Islam. Ibn ‘Asyur menginginkan ajaran Islam berkembang, disebabkan al-
8 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal
Ushuluddin Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 86 9 Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun
li al-Nasyr wa al Tauzi’, 1997), Juz 1, h. 5-6
36
Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Ibn ‘Asyur menafsirkan al-Qur’an
dengan harapan kitab tafsirnya tersebut mampu memberi pengaruh kepada
masyarakat, seperti dari segi akhlak, pemahaman keagamaan serta wawasan
mereka. Ibn ‘Asyur menginginkan umat Islam menyadari bahwa al-Qur’an
adalah kitab yang agung.
2. Gambaran Umum Tentang Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir
Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir diawali dengan pengantar yang
ditulis sendiri oleh Ibn ‘Asyur. Pengantar ini berisikan penjelasan dari Ibn
‘Asyur, tentang apa yang menjadi motivasinya dalam menyusun kitab
tafsirnya, menjelaskan persoalan apa saja yang akan diungkapkan dalam kitab
tafsirnya, serta nama yang diberikan kepada kitab tafsirnya. Tahrir wa al-
Tanwir berisikan muqaddimah.
Gamal al-Banna dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-
Qudama’ wa al-Muhadditsin berkomentar bahwa keistimewaan tafsir ini
terletak pada muqaddimah-nya yang memaparkan kepada pembaca wawasan
umum tentang dasar-dasar penafsiran, dan bagaimana seorang penafsir
berinteraksi dengan kosa kata, makna, struktur, dan sistem al-Qur’an.
Pengantar ini ditampilkan dengan bahasa yang mudah, walaupun pada
beberapa aspek masih menggunakan gaya bahasa lama. Metode yang
digunakan oleh Ibn ‘Asyur adalah metode yang moderat. Gamal al-Banna
menegaskan muqaddimah ini merupakan bagian yang terbaik dalam karya
tafsir ini, bahkan sebagai pengganti tafsir itu sendiri. Posisi penting
37
muqaddimah tafsir ini dari pada tafsirnya sama halnya dengan posisi
pengantar sejarah karya Ibn Khaldun dalam buku al-Muqaddimah.10
Tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr berisikan sepuluh muqaddimah yaitu:
1. Berbicara tentang tafsīr, takwīl dan posisi tafsīr sebagai ilmu.
2. Berbicara tentang referensi atau alat bantu (istimdād) ilmu tafsīr.
3. Ibnu `Asyur berbicara keabsahan tafsir tanpa nukilan (ma’tsūr) dan
tafsīr (bi ra’yi).
4. Menjelaskan tentang maksud dari seorang mufasir.
5. Khusus membicarakan soal konteks turunnya ayat (asbāb al-nuzūl).
6. Berisikan tentang soal aneka ragam bacaan (al-qirā’āt).
7. Ibnu ‘Asyur berbicara tentang kisah-kisah al-Qur’ān.
8. Berbicara tentang nama, jumlah ayat dan surah, susunan, dan nama
nama al-Qur’ān.
9. Berisikan tentang makna-makna yang dikandung oleh kalimat-
kalimat al-Qur’ān.
10. menjelaskan tentang i’jāz al-Qur’ān.
3. Metode Ibnu `Asyur dalam penulisan kitab al-Tahrir wa al-
Tanwir
Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn ‘Asyur banyak berisikan
kajian kebahasaan. Kata perkata dari lafal al-Qur’an tersebut diungkap oleh
Ibnu `Asyur, dan selanjutnya diulas munasabah kata tersebut dengan kata
10 Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al- Qudama’ wa al-Muhadditsin, terj;
Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), hlm. 130
38
lainnya. Dalam muqaddimah tafsirnya Ibnu `Asyur menjelaskan bahwa ia
sangat tertarik dengan makna-makna mufradat dalam bahasa Arab, ia ingin
memberikan perhatian kepada mufradat yang tidak begitu jadi perhatian oleh
kamus-kamus bahasa.
Ibnu `Asyur banyak juga mengungkapkan koreksian-koreksian
pemahaman suatu makna. Selain itu, Ibnu `Asyur juga sangat perhatian
dengan persoalan ilmiah, karena ayat-ayat al-Qur’an banyak mengandung
isyarat-isyarat ilmiah. Penafsiran dengan corak seperti ini dinamakan corak
‘ilmi.11
Dalam uraian Ibnu `Asyur biasanya memulai penjelasan dengan
menampilkan ayat yang akan ditafsirkan, kemudian pembahasannya dengan
kajian kebahasaan, dan setelah itu Ibnu Asyur menjelaskan tentang persoalan
ilmiah yang dikandung oleh ayat tersebut. Penafsiran Ibnu Asyur tidak selalu
diiringi dengan keterangan dari ayat-ayat al-Qur’an, walau masih ada tapi hal
itu tidak mendominasi. Jadi, melihat kepada cara dan uraian Ibnu `Asyur
maka dapat dikatakan bahwa manhaj yang digunakan oleh Ibn ‘Asyur dalam
kitab tafsirnya adalah tafsir bi al-ra’yi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang
sumber penafsirannya didominasi oleh ijtihad mufasir dan meskipun juga
menyertakan keterangan dengan ayat-ayat al-Qur’an lainnya ataupun
keterangan hadits Nabi Saw. Sedangkan, thariqah yang digunakan adalah
11 Jani Arni, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, (Jurnal
Ushuluddin Vol.XVII No. 1, Januari 2011), hlm. 94
39
tahliliy, yaitu dalam menjelaskan makna ayat al-Qur`an, Ibnu `Asyur
mengikuti urutan mushaf al-Qur’an.
Adapun corak penafsiran yang digunakan Ibnu `Asyur adalah corak
kebahasaan (laun al-lughawiy) dan corak ilmiah (laun al-‘ilmi). Karena kedua
hal ini – penjelasan sisi kebahasaan dan ilmiah- menjadi keterangan atau
penjelasan terhadap makna yang dikandung oleh ayat al-Qur’an al-Karim.12
12 Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun
li al-Nasyr wa al Tauzi’, 1997), Juz 1, hlm 8
40
BAB IV
PENAFSIRAN MENGENAI AYAT-AYAT SYAHWAT DI SURGA
A. Penafsiran Ibnu `Asyur Mengenai Ayat-Ayat Syahwat di Surga
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di bab sebelumnya, bahwa
ayat-ayat tentang syahwat di surga penulis menemukan ada enam ayat,
diantaranya sebagai berikut:
Surat Al-Anbiyya ayat: 102
ل يسمعون حسيسها وهم في ما اشتهت أنفسهم خالدون
“mereka tidak mendengar sedikitpun suara api neraka, dan mereka
kekal dalam menikmati apa yang diingini oleh mereka.”
Kalimat “dan mereka tidak mendengar desis (Api Neraka)”
Penjelasan dari makna mereka dijauhkan, yaitu suara yang didengar dari jarak
jauh, itulah sebabnya mereka dijauhkan dari api neraka sehingga suara api
yang menggelegak itu tidak sampai kepada mereka, dan mereka terbebas dari
desisan api dan telinga mereka tidak sakit mendengar desisnya.
Dampak dijauhkan dari api neraka, tidak saja mereka selamat dari
siksaan tetapi mereka mendapatkan kenikmatan yang sesuai dengan apa yang
mereka inginkan (hawa nafsu) mereka, dan mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya.
41
Dalam ayat ini, syahwat menurut Ibnu `Asyur adalah apa saja yang
dirindukan oleh nafsu manusia yang memberi kenikmatan kepadanya.1
Surat Fussilat ayat: 31
نحن أولياؤكم في الحياة الدنيا وفي الخرة ولكم فيها ما تشتهي أنفسكم ولكم
فيها ما تدعون
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di
dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
Kalimat dan malaikat berkata (Kamilah pelindung-pelindungmu
dalam kehidupan dunia dan akhirat) maksudnya adalah kepada orang-orang
mukmin.
Sesungguhnya perlu diketahui bahwa orang-orang yang bertemu
dengan orang-orang yang terdahulu ditambahkan kepada orang-orang yang
terdahulu itu kegembiraan dan dihilangkan darinya kegelisahan dan
diringankan darinya kemarahan, dan juga dihilangkan darinya kebengisan,
artinya kita yang bertemu di dunia, dan melakukan perbuatan baik dan
bersaksi kepada Allah dengan shalat-shalat mereka, seperti dalam hadis
(saling bergantian malaikat datang kepada mereka(orang-orang mukmin) di
malam hari dan di siang hari maka Allah bertanya kepada malaikat sedangkan
Allah lebih mengetahui dari pada malaikat: kenapa kalian meninggalkan
1Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XVII, (Tunisia:
Dar Shuhnun li al-Nasyr wa al Tauzi’, 1997), hlm.156
42
hamba-Ku? Maka malaikat menjawab: kami mendatangi mereka, sedangkan
mereka sedang shalat, dan ketika kami meninggalkan mereka, mereka masih
dalam keadaan shalat). Dan orang-orang mukmin telah menjaga janji-janji
nya kepada Allah maka malaikat menjadi pelindung mereka di akhirat, maka
dengan perkataan ini didatangkan kepada orang-orang mukmin serta
istiqamah dengan keimanan mereka maka dijanjikan kepada mereka surga
yang penuh kenikmatan lagi baik dan kenikmatan tersebut bertambah terus
menerus.
Kalimat في حياة الدنيا bahwasannya orang-orang yang mukmin yang
ada di dunia diberikan kepada mereka pendamping yaitu para malaikat.
Kalimat ولكم فيه ا ما تشتهي أنفسكم `athaf atas “التي كنتم توعدون”
dan apa yang ada di antara keduanya kalimat yang bertentangan yang telah
dijelaskan sebelumnya. Makna “apa yang kau minta” itu berarti “apa yang
kau inginkan”. Telah ada kalimat ini dalam firman Allah dalam surat yasin
dan makna “di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu ”ولهم ما يدعون“
inginkan” yang berada setelah kalimat “الحس” dan apa yang kamu inginkan
untuk diri kalian dari setiap apa yang diingini keinginan. Maka apa yang kau
minta selain yang diingininya oleh diri kalian.
Segala sesuatu yang muncul dalam fikiran yang ada dalam
khayalannya saja, dalam artian tidak pernah terlihat, terjadi, hanya ada dalam
pikiran saja.
43
Ayat ini menjelaskan bahwa para malaikat adalah pelindung-
pelindung orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan kehidupan
akhiratnya. Dalam kehidupan dua alam ini mereka mendapatkan apa saja
yang mereka inginkan, baik itu yang bisa dicapai oleh indra mereka yang
diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Yaitu semua keinginan dan kelezatan
yang pernah terbetik di hati mereka dan yang pernah mereka khayalkan dalam
kehidupan mereka, karena memang mereka mengharapkan apa yang selalu
mereka inginkan (hawa nafsu mereka) yang ada dalam diri mereka.
Dalam ayat ini, Ibnu `Asyur mengartikan syahwat adalah apa yang
dinginkan oleh manusia dari berbagai kenikmatan.2
Surat Az-Zukhruf Ayat: 71
يطاف عليهم بصحاف من ذهب وأكواب وفيها ما تشتهيه النفس وتلذ
العين وأنتم فيها خالدون
“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di
zdalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap
(dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.”
Kalimat “Diedarkan kepada mereka piring-piring” sampai akhir ayat
perbandingan antara sebagian pendapat maka tidak ada padanya Dhamir
.”عليهم“
2 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXIV,
hlm.286-287
44
Kalimat صحاف jama` dari صفحة maksudnya adalah bejana yang
lebar. Dan صفحة adalah tempat untuk meletakkan makanan atau buah-
buahan.
Kalimat الكواب adalah jama` dari dengan didhamahkan huruf كوب
kaf yaitu tempat untuk minum air atau khamar yang bentuknya seperti leher
yang kecil dan di atasnya bibir gelas tersebut, jadi dari bibir gelas itu tempat
keluar air dari rongga gelas tersebut.
Dan sifat-sifat gelas dihapuskan untuk menunjukkan sifat-sifat piring,
atas gelas-gelas tersebut, maksudnya adalah gelas-gelas dari emas.
Dan pada gelas tersebut kadang kala berisi air dan kadang kala berisi
khamar.
Kalimat “dan di dalamnya ada segala sesuatu yang diingini oleh diri”
maksudnya adalah keadaan surga. Penjelasan ini adalah penjelasan perkataan
orang-orang terdahulu.
Dhamir “didalamnya, `aid kepada surga dan `am pada firman “apa
yang diingini diri” setiap apa yang berhubungan dengan syahwat nafsiah
dengan keinginan dan pencapaian, dan Allah menciptakan pada ahli surga itu
syahwat yang sopan dengan ilmu yang abadi dan terhormat,
Dan sedap di pandang itu maksudnya indah pada bentuknya dan
warnanya yang apabila di pandang mereka merasa bahagia, maka sedap di
45
pandang itu sebab dari bahagianya diri, dan تلذ النفس `thaf atas ما تشتهيه
.النفس
Dan النفس itu fa`il تلذ dan dihapuskan maf`ul bih nya untuk
memperjelas.
Dan kalimat انتم فيها خالدون adalah anugerah bagi mereka tanpa
terputus dan diberi rezeki yang luas dan mereka mendapatkan apa yang
mereka hendaki, jadi maksudnya adalah bagi orang-orang mukmin tersebut
diberikan anugerah yang terus menerus dan rezeki yang tidak terhitung.
Ayat ini menjelaskan bahwa para penghuni surga hidup dalam
kenikmatan dimana mereka dikelilingi dengan berbagai bejana-bejana
emasyang berisi makanan dan minuman, ini merupakan (hawa nafsu) mereka
inginkan.
Kenikmatan berupa hal-hal yang menyenangkan mata untuk dilihat.
Kenikmatan disini juga bisa diartikan dengan kesenangan yang tidak bisa
dilihat oleh mata seperti kenikmatan bercengkrama dengan sesama sahabat
dan teman, dan juga kenikmatan mendengarkan suara-suara yang indah dan
dentingan musik.3
Surat Ath-Thur ayat: 22
ا يشتهون وأمددناهم بفاكهة ولحم مم
3 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXV, ,
hlm.255-256
46
“Dan Kami beri mereka tambahan, dengan buah-buahan dan daging, dari
segala jenis yang mereka ingini.”
Kalimat imdad adalah pemeberian pertolongan yakni segala macam
manfaat pada apa yang ditambahkan di dalam surga, artinya kami
menambahkan untuk mereka atas segala sesuatu dari kenikmatan, makanan,
minuman, buah-buahan yang lezat, serta daging dari apa yang mereka
inginkan dari buah-buahan dan daging-daging yang diinginkan di dalam
surga, artinya didatangkan kepada mereka segala sesuatu yang mereka
harapkan dari segala sesuatu yang mereka inginkan.
Khusus pada buah-buahan dan daging-daging di surga tersebut dalam
keadaan tergantung, seperti dalam firman Allah:
يتنازعون فيها كأسا ل لغو فيها ول تأثيم
“Di dalam surga mereka tidak saling memperebutkan gelas yang
isinya tidak (menimbulkan) kata-kata yang tidak berfaedah dan tiada pula
perbuatan dosa.” Allah memberi kepada mereka pada hari akhir kelezatan
aroma khamar dan dibolehkan meminumnya karena khamar salah satu hal
yang baik lagi enak bagi mereka di surga, dan ketika orang kaya di dunia
apabila meminum khamar mereka gembira.
Diantara kenikmatan surga yang diperoleh oleh orang-orang beriman
adalah mereka mendaptkan makanan dan minuman yang lezat dan
menyenangkan berupa buah-buahan dan daging yang memang selalu mereka
inginkan. Sesuai dengan hawa nafsu mereka. Di surga mereka mendapatkan
47
apa saja dari makanan yang mereka sukai dan dari minuman yang mereka
gemari dalam jumlah yang terus bertambah bahkan berlebihan4
Surat Al-Waqi’ah ayat: 21
ا م يشتهون ولحم طير م
“Dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.”
Dan kalimat fakihah itu bermakna buah-buahan, dan telah terdahulu
pada surat ar-Rahman, dan `athaf kalimat fakihah itu kepada “akwab” (gelas-
gelas) yang artinya mereka dikelilingi oleh buah-buahan yang mudah didapati
dengan tangan-tangan mereka. Maksudya mereka dengan gampang memetik
buah-buahan dari dahan-dahan atau ranting-ranting pohon.
Kalimat daging burung itu bermakna adalah daging yang paling
mewah diantara daging-daging yang lain dan itulah yang mereka inginkan.
Dan و لحم طير ‘athaf kepada kepada فاكهة seperti ‘athafnya فاكهة
.اكواب
dan اشتهاء mashdar dari اشتهى yaitu keinginan yang disukai dari
sesuatu hal yang bisa dirasakan dan secara maknawiyah, kalimat شهى seperti
kalimat رضي dan juga kalimat شهى itu seperti kalimat دعا . Dan sebagian
ulama mengatakan اشتهى.
4 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXVII,
hlm.52-53
48
Didahulukan penyebutan kata buah-buhan dari pada daging daging
burung dikarenakan buah-buahan lebih mulia dari pada daging. Dan ini
sangat jelas perbedaan antara buah-buahan dan daging burung maka dijadikan
penyebutan buah-buahan itu lebih awal, dan burung semasa hidupnya makan
dari buah-buahan. Ini alasan mengapa kata buah-buahan disebut lebih dahulu
dari kata daging burung.
Ayat ini menjelaskan bentuk kenikmatan surga yang khusus
disebutkan yaitu daging burung yang paling istimewa, paling nikmat, dan
paling mahal.
Kata isytiha disini diterjemahkan oleh Ibnu `Asyur sebagai emosi dari
hawa nafsu yaitu kecintaan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan baik
oleh panca indra maupun hati nurani.5
Surat Al-Mursalat ayat: 42
ا يشتهون وفواكه مم
“Dan (mendapat) buah-buahan dari (macam-macam) yang mereka ingini.”
Kata ظالل jama` dari kata ظل, adalah kemewahan yang banyak dari
pohon surga dan banyak lagi kemewahan-kemewahan di dalamnya,
dikarenakan kemewahan dan orang orang yang ada di dalam surga itu abadi.
Dan itulah keadaan di surga.
5 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXVII,
hlm.295-296
49
Pengertian dari kalimat muttaqin adalah segala kemewahan yang ada
di surga akan diberikan kepada setiap orang-orang yang bertaqwa.
Dan kalimat في adalah zorf yang dinisbatkan kepada ظالل karna
orang yang menerima kemewahan (muttaqin) menjadi mazruf kepada
kemewahan. Dan zorf majazi dinisbatkan kepada mata air-mata air dan buah-
buahan dalam keadaan yang diingini di sekelilingnya dengan diketahui zarf
nya. Dan firman-Nya مما يشتهون sifat dari Dan jama` fawakih adalah . فواكه
buah-buahan dan sebagainya, jadi tidak hanya buah-buahan saja melainkan
ada tumbuhan-tumbuhan lainnya, sebagian ulama ada menunjukkan huruf من
itu merupakan sebagian dari sifat-sifat syahwat tidak dari macam buah-
buahan, jadi makna dari buah-buahan itu adalah kumpulan dari kelezatan-
kelezatan yang lainnya dari apa yang diingini oleh orang muttaqin.
Dalam ayat ini Ibnu `Asyur menjelaskan bahwa syahwat adalah kenikmatan
surga berupa buah-buahan yang dinginkan oleh hawa nafsu mereka.6
B. Analisa Penulis Mengenai Ayat-Ayat Syahwat di Surga
Mengenai enam ayat di atas, penulis menyimpulkan tentang syahwat
di surga ada beberapa point:
Pertama, dari kedua pendapat mufassir di atas, bahwa syahwat di
surga lebih menekankan kepada hal yang positif, berbeda hal nya dengan
6 Muhammad Thahir Ibnu `Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Juz XXIX,
hlm.443
50
syahwat di dunia, yang lebih menekankan kepada hal negatif, walaupun
tidak selamanya negatif.
Kedua, kata syahwat di surga memiliki arti kenikmatan terhadap hal-
hal yang lezat, maksudnya adalah bahwa syahwat di surga memberikan
hal-hal yang baik, yang luas, dan tiada batas.
Ketiga, syahwat di surga itu lebih ditekankan terhadap makanan-
makanan dan minuman-minuman.
Keempat, Allah menganugerahkan segala kemewahan yang ada di
surga yang tiada tara serta abadi di dalamnya.
Kelima, semua hal-hal yang di berikan oleh Allah di surga merupakan
hadiah buat merela yang ta`at serta patuh terhadap perintah-perintah Allah
semasa hidupnya di dunia.
Penulis mengklasifikasikan mengenai enam ayat tentang syahwat di
surga tersebut menjadi beberapa kelompok ayat, sebagai berikut:
Pertama, ayat-ayat yang menjelaskan tentang keadaan surga, ayat
tersebut terdapat pada surat al-Anbiya 102, Fishilat 31, az-Zukhruf 71.
Kedua, ayat-ayat yang menjelaskan tentang orang-orang yang berada
di surga diberikan semua keinginannya berupa makanan dan minuman, di
antara ayatnya: ath-Thur 22, al-Mursalat 42, al-Waqi`ah 21.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu `Asyur memiliki pandangan bahwasannya syahwat memiliki arti
keinginan diri terhadap hal-hal nikmat. Syahwat tidak hanya berlaku di dunia,
namun juga berlaku di akhirat sebagaimana Allah menjelaskan dalam al-
Qur`an bahwasannya syahwat juga ada dalam kehidupan surga. Rasa
keinginan itu dikontrol dengan baik dan dijadikan sebagai motivasi yang
mendorong dalam ketaatan supaya ia termasuk ke dalam golongan penghuni
surga.
Adapun ayat-ayat tentang syahwat di surga dalam tafsir Ibnu `Asyur,
di antaranya; surat al-Anbiya 102, Fushilat 31, az-Zukhruf 71, ath-Thur 22,
al-Mursalat 42, al-Waqi`ah 21.
Dari keenam ayat di atas, memiliki dua klasifikasi mengenai syahwat
di surga, yaitu tentang keadaan surga dan keinginan orang-orang yang ada di
surga berupa makanan dan minuman.
B. Saran
Bahwasanya penelitian ini merupakan cabang ilmu al-Qur`an yang
membantu untuk memahami kitab suci al-Qur`an secara komprehensif
dengan menelusuri makna dalam Qur`an, agar membantu kita menghindari
pemahaman yang parsial, maka penulis menyarankan sebagai kelanjutan dari
studi penelitian ini. Penelitian ini hanya membahas aspek makna syahwat di
52
surga, penulis hanya baru meneliti syahwat secara makna, masih ada tujuh
ayat lainnya yang membahas mengenai syahwat. Kajian yang penulis lakukan
ini masih berupa tinjauan awal untuk mengembangkan khazanah ilmu tafsir,
dan menghidupkan kembali nilai-nilai al-Qur`an secara utuh.
53
DAFTAR PUSTAKA
`Asyur, Muhammad Thahir Ibnu, Syarh al-Muqadimah al-Adabiyyah li al-
Marzuqy ‘ala diwani al-amasah, Riyadh, Maktabah Dar al-Minhaj, 2008.
Anshari, Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram, Lisan al-Arab, Juz VIII,
Kairo: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968.
Arni, Jani, Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn
Asyur, Jurnal Ushuluddin Vol. XVII No. 1, 2011.
Ash-Shalaby, Ali Muhammad, Iman Kepada Hari Akhir, terj; Chep M Faqih,
Jakarta: Ummul Qura, 2014.
Bakar, Abu, Semarang : Toha Putra, 1986.
Al-Banna, Gamal, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al- Qudama’ wa al-
Muhadditsin, terj; Novriantoni Kahar, Jakarta: Qisthi Press, 2004.
Al-Baqy, Muhammad Fuad Abd, al-Mu’jam al-Mufarras li Alfadz al-Qur’an al
Karim, Kairo: Dar al-Hadis, 2007.
Al-Buthy, Said Ramadhan Al-Buthy, La Ya’tihil Bathil, terj Misbah, cet I, Jakarta:
PT Mizan Publika, 2010.
Depertem pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Utara:
PT Gramedia Pustaka utama, 2012.
Ensiklopedia al-Qur`an, Kajian Kosa Kata, jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Al-Halim, Mani’ Abd, Kajian Tafsir Konprehenshif metode Ahli Tafsir”, terj;
Faisa Saleh Syahdianur, Jakarta: PT. Karya Grafindo, 2006.
Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam Qur`an, terj. Mansuruddin Djoely, cet
II, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
54
Kafie, Jamaluddin, Tasawuf Kontemporer, (Jakarta: Mutiara Al-Amieen
Prenduan, 2003.
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, tafsir al-Maraghi, jilid 30 terj. Bahrun
Mubarok, Achmad, Psikologi Qur’ani, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Nani, Haryati, Analisis Pendekatan Teks Dan Konteks Penafsiran Poligami Ibnu
Asyur Dalam Kitab Al-Tahrir Wa Al-Tanwir, Yogyakarta: Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, 2017.
Pane, Ulya Hikmah Sitorus, Syahwat Dalam Al-Qur’an, Kontemplasi, Volume 04
Nomor 02, 2016.
Permadi, K, Iman dan Takwa Menurut al-Qur`an, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1995.
Punaji, Setyosar, metode penelitian pendidikan dan pengembangan, Jakarta:
kencana, 2010.
Al-Qodhi, Abdurrahman bin Ahmad, Kehidupan Sebelum dan Sesudah
Kematian, terj Yodi Indrayadi, Kairo: Matba`at Sharaf cet v, 2015.
Rahardjo, M Dawam, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Ṣabuni, Muhammad Ali, Ṣafwat al-Tafasīr, Jilid II , Beirut: Maktabah al-
Misriah, 2011.
Saidah, Nor, Bidadari Dalam Kontruksi al-Qur`an, PALASTREN, Vol. 6, No. 2,
2013.
Shihab, M Quraish, Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: lentera Hati, 2007.
55
________________, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka Karim, 1992.
Al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fii
Ta’wil al-Qur’an, Jilid. II, Cet. I, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000.
Al-Utsimin, Muhammad bin Shalih, Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Cet. I,
Kairo: Dar Ibnu al-Haitsm, 2002.
Al-Zuhainy, Musyrif bin Ahmad, ’Asar al-Dilalat al-Lugawiyyah fi al-
Tafsir‘Indalibni ‘Ᾱsyūr, Baeirut,Muasash al-Rayyan, 2002.