13
181 Halaqah Tadabbur Qur`an 18 (QS Al-Baqarah 113-119) Dr. Saiful Bahri, MA ﻟﺬ % ﻟﺤﻤﺪ % ﻟﺤﻤﺪ ﻗﻠﻮﺑﻨﺎ ﻟﻒﻧﺎﺧﻮ ﺑﻨﻌﻤﺜ ﻓﺎﺻﺒﺤﻨﺎ. ﺑﺎ ﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰﻟﻠ ﻋﻠﻰ ﺣﺒﺒﻨﺎﻟﻤﺴﻄ ﻣﺤﻤﺪ ﺳﻠﻢ ﻋﻠ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺻﺤ ﺛﺒﻊ ﻣﻦ ﺑﻌﺪBapak-bapak, Ibu-ibu, kaum muslimin dan muslimat yang dicintai Allah. Bersyukur kepada Allah, pada pagi hari ini di akhir tahun 1434 Hijriyah kita diberikan kenikmatan Allah subhanahu wa ta’ala untuk berkumpul di tempat ini, dengan harapan di hari Jum’at yang terakhir di tahun 1434 ini memberikan harapan bahwa ada momentum perubahan. Ketika kita mengingat hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti di situlah sedikit kita merasa bahwa kita ada momentum berubah kepada sesuatu yang lebih baik. Kita jadikan setiap terminal-terminal perubahan tersebut adalah terminal perubahan ke arah yang lebih baik. Pada kesempatan kali ini kita juga masih menadabburi kisah seputar bani Israil. Bani Israil kisah yang sangat umum sekali, yang pada hari ini mereka digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani dua-duanya adalah bani Israil. Lalu kenapa Allah subhanahu wa ta’ala di sini membedakan antara keduanya? Aqidah keduanya berbeda, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala nantinya membandingkan dengan orang-orang yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam face-to-face sebelum ke Madinah. Ini lanjutan dari penyakit-penyakit sosial bani Israil yang tempo hari sama-sama kita tadabburi bersama, bahwa rezim Fir’aun ketika runtuh, di situlah sesungguhnya manusia diuji kesyukurannya. Ketika kita melawan musuh eksternal yang sangat besar, itu bisa jadi kita ‘bersabar’, tapi ketika musuh eksternal tersebut tumbang, itulah saatnya kita mengobati penyakit yang ada dalam diri kita masing-masing. Dan cerminan bahwa bani Israil itu banyak sekali penyakit sosialnya, bukan berarti kita terlepas dari penyakit tersebut. Dengan harapan tadabbur kita pada pekan lalu juga pada pekan ini lanjutannya, kita bisa mengintrospeksi untuk selanjutnya tidak terjerembab dalam kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita. Kita akan memulai tadabbur pada ayat 113 sampai 119 insya Allah. Di ayat 113 ini Allah berfirman:

Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Transcribed by Adhe Purwanto

Citation preview

Page 1: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  181  

Halaqah Tadabbur Qur`an 18 (QS Al-Baqarah 113-119) Dr. Saiful Bahri, MA

محمد فسيید االمسط حببنا على االلهھم صلى وو سلم وو بارركك . فاصبحنا بنعمثهھ ااخواانا لف بيین قلوبنالحمد % ٬، االحمد % االذيي اااا بعدوو من ااثبع االهھد وو بهھاصحااوو االهھ وو علىصل هللا عليیهھ وو سلم

Bapak-bapak, Ibu-ibu, kaum muslimin dan muslimat yang dicintai Allah. Bersyukur kepada Allah, pada pagi hari ini di akhir tahun 1434 Hijriyah kita diberikan kenikmatan Allah subhanahu wa ta’ala untuk berkumpul di tempat ini, dengan harapan di hari Jum’at yang terakhir di tahun 1434 ini memberikan harapan bahwa ada momentum perubahan. Ketika kita mengingat hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berarti di situlah sedikit kita merasa bahwa kita ada momentum berubah kepada sesuatu yang lebih baik. Kita jadikan setiap terminal-terminal perubahan tersebut adalah terminal perubahan ke arah yang lebih baik. Pada kesempatan kali ini kita juga masih menadabburi kisah seputar bani Israil. Bani Israil kisah yang sangat umum sekali, yang pada hari ini mereka digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani dua-duanya adalah bani Israil. Lalu kenapa Allah subhanahu wa ta’ala di sini membedakan antara keduanya? Aqidah keduanya berbeda, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala nantinya membandingkan dengan orang-orang yang memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam face-to-face sebelum ke Madinah. Ini lanjutan dari penyakit-penyakit sosial bani Israil yang tempo hari sama-sama kita tadabburi bersama, bahwa rezim Fir’aun ketika runtuh, di situlah sesungguhnya manusia diuji kesyukurannya. Ketika kita melawan musuh eksternal yang sangat besar, itu bisa jadi kita ‘bersabar’, tapi ketika musuh eksternal tersebut tumbang, itulah saatnya kita mengobati penyakit yang ada dalam diri kita masing-masing. Dan cerminan bahwa bani Israil itu banyak sekali penyakit sosialnya, bukan berarti kita terlepas dari penyakit tersebut. Dengan harapan tadabbur kita pada pekan lalu juga pada pekan ini lanjutannya, kita bisa mengintrospeksi untuk selanjutnya tidak terjerembab dalam kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita. Kita akan memulai tadabbur pada ayat 113 sampai 119 insya Allah. Di ayat 113 ini Allah berfirman:

Page 2: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  182  

Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili diantara mereka pada hari Kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. Di sini ada yang menarik. Ketika kita melihat pada lanjutan pekan lalu, ketika orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani itu mengatakan lan yadkhulal jannah. Al jannah di pekan lalu disebut alif lam ma’hud, itu surga menurut mereka. Jadi surga menurut mereka bukan berarti sama persepsinya antara mereka. Di sini ketika dikatakan laisatin nashara ‘ala syai`in dan sebaliknya, itu adalah terjemahan lan yadkhulal jannah dan tilka amaniyyuhum. Jadi seolah-olah setiap mereka memiliki al jannah. Itu yang disebut dengan al ma’hud. Persepsinya masing-masing. “Tidak masuk surga kecuali orang-orang Nasrani,” surga mereka itu berbeda dengan surga orang Yahudi. Masing-masing disebut di sini ‘ala syai`in. ‘Ala syai`in itu ada dua sisi ekstrem. Kalau besar itu unlimited, sangat besar sekali. Kalau kecil, itu sangat kecil sekali. Ketika dikatakan wa qalatil yahudu laisatin nashara ‘ala syai`in, orang Nasrani itu laisat ‘ala syai`in. Laisat ‘ala syai`in itu berarti sangat kecil sekali, bahkan nyaris tidak ada. Jadi kebalikan, kalau itu banyak, itu besar sekali, banyak sekali, tidak bisa dibatasi banyaknya seperti apa. Kalau sedikit juga demikian, laisat ‘ala syai`in itu mungkin dibilang nyaris tidak ada. Orang-orang Nashara juga demikian, laisatil yahudu ‘ala syai`in, orang-orang Yahudi juga apa sih mereka sebenarnya? Keberadaannya apa sih? Tidak ada, sudah habis mereka. Jadi dua-duanya sama. Mengulang sebentar pekan lalu, tilka amaniyyuhum, padahal ini dua golongan besar. Allah tidak menyebut tilka amaniyyuhuma, angan-angan dua golongan ini, tidak. Tapi langsung hum, itu berarti tiap orang bahkan berbeda-beda persepsinya. Sama-sama masuk surga, surganya si A dengan si B beda menurut persepsi dia. Maka ‘ala syai`in di sini klaimnya beda. Allah mengatakan wa hum yatlunal kitab, sementara mereka itu masing-masing sudah mendapatkan kitab. Al kitab itu kenapa di sini satu? Kenapa tidak dikatakan wa hum yatlunal kitabain? Nabi Musa diberikan Taurat, dan Nabi Isa diberikan Injil. Bahkan kaum nabi Musa itu bukan hanya Taurat

Page 3: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  183  

didapat. Dapat Taurat, dapat shuhuf, dapat mitsaq, perjanjian yang tempo hari kita tadabburi bersama. Jadi dapatnya berlipat-lipat. Pun pada saat era Isa mereka mendapatkan Injil. Yang menarik di sini dikatakan Allah wa hum yatlunal kitab. Jadi bentuknya tidak plural, tidak banyak, padahal ada shuhuf di situ, tapi satu. Menandakan bahwa mereka itu sama sumber aslinya. Entah itu nabi Isa, entah nabi Musa, sumber kitabnya sama, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Tapi sangat disayangkan, mereka tidak berpengaruh. Makanya di sini, kadzalika qala alladzina la ya’lamuna mitsla qaulihim. Ini ada golongan baru yang disebut di sini. Dan yang menarik di sini, Allah subhanahu wa ta’ala membahasakan kadzalika qala alladzina la ya’lamuna. Di sini ada beberapa pendapat. Yang pertama mengatakan alladzina la ya’lamuna itu orang musyrik di zaman itu non ahli kitab, bukan orang Yahudi dan bukan orang Nasrani. Ada yang mengatakan, sebelum mereka. Jumhur ulama mengatakan ini orang-orang musyrik Arab, atau lebih khusus lagi musyrik Quraisy, yang mempunyai peran antagonis menonjol di waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Makanya di sini fallahu yahkumu bainahum. Hum itu baik Nasrani dan Yahudi, yang sebenarnya saling mengejek juga, yang punya kepentingan masing-masing juga, ataupun plus golongan baru, yaitu yang disebut alladzina la ya’lamunal kitab. Yang menarik sekali lagi, Allah subhanahu wa ta’ala tidak memilah-milah. Jadi mereka dikatakan jadi satu. Ini yang pertama. Yang kedua, tempo hari al faqir juga pernah sedikit menyinggung bahwa mereka itu disebut millah wahidah, satu millah. Millah itu keyakinan yang menyatukan mereka, di dalam surah Al Hasyr disebut dengan ukhuwwah. A lam tara ilal ladzina nafaqu yaquluna li ikhwanihim alladzina kafaru min ahlil kitab. Jadi orang-orang munafiq itu berukhuwwah dengan orang-orang kafir dari ahli kitab. Nah ini sama sebenarnya, Allah ingin menyamakan. Fallahu yahkumu bainahum. Semuanya. Yaumal qiyamati fi ma kanu fihi yakhtalifun. Jadi perbedaan-perbedaan itu mereka juga saling cekcok, dan itu terjadi bukan hanya sekali dua kali. Mereka bahkan pernah nyaris bersatu memusuhi Rasulullah pada saat perang Khandaq. Perang Khandaq itu mereka bersepakat. Orang-orang Yahudi, bani Ghathafan, Quraisy, dan beberapa suku-suku di Arab bersepakat. Tapi pada hakikatnya mereka itu kemudian menjadi ragu. Dan dalam sebuah hadits yang diceritakan sahabat Nu’aim bin Mas’ud, dia masuk Islam, kemudian karena dia dari suku Ghathafan, mendatangi Quraisy, mendatangi Ghathafan, mendatangi Yahudi, jadi semuanya diragukan. Misalkan orang-orang Yahudi diberi keragu-raguan, kalau seandainya nanti orang-orang itu tidak jadi perang, kalian mengikrarkan perang dengan Muhammad, mereka pulang ke kampungnya, kalian bagaimana? Mereka jadi ragu-ragu. Mereka ke Ghathafan juga demikian. Jadi masing-masing itu ditimbulkan keraguan. Akhirnya terungkap sesungguhnya rencana mereka itu disatukan dengan kebersamaan memusuhi Muhammad, tapi sebenarnya mereka memiliki agenda masing-masing. Ini yang disebut dengan al kufru millah wahidah. Jadi, satu, pada hari ini lanjutan setelah klaim mereka bahwa “yang masuk surga itu nanti golongan saya saja, golongan yang lainnya tidak masuk surga.” Kalau di akhirat kan tempat cuma dua. Kalau dibilang tidak masuk surga, itu artinya klaimnya adalah semuanya sesat dan masuk neraka.

Page 4: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  184  

Sekarang sesama mereka sendiri ternyata mengklaim “Ah ente mah tidak ada apa-apanya.” Jadi klaim laisat ‘ala syai`in itu mengecilkan, menyepelekan, mengecilkan peran, atau me-nol-kan, jadi tidak ada peran sama sekali. Yang kedua:

Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat. Ini ada yang mengatakan, ini bukan mereka, tapi nasib yang mereka alami. Ada yang menyebut namanya, nama salah satu kaisar di Romawi yang menghancurkan tempat ibadah bani Israil. Nanti pada saatnya kita akan membahas esensi masajid. Masjid itu di zaman dulu tidak identik dengan bangunan. Masjid itu adalah sebuah tempat tertentu, mungkin digaris sebuah area, di situ tempat sujud. Kalau sekarang menjadi bangunan. Padahal kata baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, salah satu keistimewaan yang diberikan Rasulullah adalah ju`ilal ardhu liya masjidan, setiap jengkal tanah itu dijadikan bagi umat Islam masjid. Jadi di zaman dulu tidak boleh kecuali tempat tertentu untuk shalat. Kalau sekarang, kita mau shalat di masjid dalam artian bentuk fisik masjid atau musholla, mau shalat di taman, mau shalat di dalam rumah kita, itu boleh. Berarti makna yang dimaksud di sini apa? Di sini adalah lil hikayah. Pertama. Kedua, meskipun lil hikayah, kisah ini bentuknya adalah .... . Jadi fungsinya ditekankannya bukan di masjid di sini. Diartikan, siapa yang lebih zhalim dari orang-orang yang mencegah orang-orang yang memakmurkan, memasuki, menghidupkan masjid-masjid Allah, an yudzkara fiha ismuhu wa sa’a fi kharabiha. Di situ kandungannya masjid dikaitkan dengan dzikir. Tempat dzikir itu tidak identik dengan kita di dalam masjid membaca la ilaha illallah atau istighfar dan sebagainya. Bukan. Di situ dijadikan tempat yang bisa membuat kita mengingat Allah. Majelis ilmu, berdzikir, saling menasihati, itu disebut dengan an yudzkara fiha ismuhu wa sa’a fi kharabiha. Wa sa’a fi kharabiha. Dalam bahasa Arab, kharab itu tidak memfungsikan sebagaimana mestinya, baik bentuk fisik maupun non fisik. Kalau orang-orang Arab wa bil khusus Mesir, kalau dia

Page 5: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  185  

marah disebut Allah yakhrab baitak, Allah merusak rumah Anda. Merusak rumah itu dua artinya. Bisa merusak rumah secara fisik dengan kebakaran, runtuh, gempa, atau merusak rumah dengan membuat rumah kita tidak harmonis. Nah sekarang, masjid tidak berfungsi itu artinya bisa dua. Satu, betul-betul dirusak secara fisik, atau yang kedua, dirusak fungsinya. Jadi masjid yang harusnya sebagai tempat pusat peradaban, di situ mengingat Allah, shalat dan sebagainya, itu ‘dikuasai pihak tertentu’ misalnya. Orang selain golongan A tidak boleh masuk masjid ini, itu sudah masuk definisi kharabiha pada fungsinya. Atau sebaliknya, ada golongan lain shalat di masjid ini, mereka pulang, kita cuci masjidnya. Itu sama saja, masuk fi kharabiha. Cuma perspektif kita tentang kharab, perusakan, lebih sering kepada bentuk fisik. Padahal kita merusak masjid secara non fisik itu lebih berat akibatnya. Atau kita buat masjid itu menjadi kuburan potensi. Kalau ada masjid di sekitar rumah kita, harusnya masjid itu pusat perkumpulan orang di situ. Ketika ada masalah sosial, penyelesaiannya di situ. Penyelesaian yang pertama itu apa? Dzikrullah, shalat. Setelah shalat selesaikan masalah. Rapat, lakukan setelah shalat. Kemudian ada proyeksi masa depan, pembangunan fisik ataupun non fisik, itu di situ. Orang yang melakukan kharab itu merusak fungsinya. Para mufassirin mengatakan ini terjadi dan dialami oleh mereka. Itu penafsiran pertama. Penafsiran kedua, ini bukan hanya dialami mereka. Mereka itu melakukan. Jadi salah satu aliran yang terburuk dari Judaisme, di antaranya ada penganut madzhab konspirasi sejarah, sehingga yang penting bagi orang-orang Yahudi, orang Islam atau orang Nasrani meninggalkan agama. Tidak penting mereka masuk Yahudi, yang penting tinggalkan masjid. Itu termasuk kharabiha. Jadi sistemnya mengusahakan sebanyak mungkin manusia tidak masuk masjid secara fisik. Dan secara non fisik lupa Allah. Orang yang paling zhalim kalau punya proyek seperti itu. Sedang waktunya shalat dipalingkan supaya tidak shalat, itu masuk funginya, berarti dia menghalang-halangi. Bukan berarti mengancam. Min man mana’a bahasanya di sini, bukan mengancam, yang menghalangi terjadinya seseorang sujud dan mengingat Allah di waktunya. Ula`ika ma kana lahum an yadkhuluha illa kha`ifin. Ini terjadi pada masa bani Israil, sehingga mereka merefleksikan ibadah itu tidak sempurna. Kan kalau kita disuruh bi quwwah, dengan bebas tanpa adanya halangan. Ini analisa bil hikayah yang tadi saya sebutkan. Lahum, bagi orang-orang yang tadi melakukan kezhaliman, fid dunya khizyun, mendapatkan kehinaan di dunia, wa lahum fil akhirati ‘adzabun ‘azhim, dan mendapatkan adzab yang besar di akhirat nanti. Sampai di sini selesai, berganti tema baru:

Page 6: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  186  

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. Bagi Allah adalah tempat terbitnya matahari dan tempat terbenamnya matahari. Itu kunci yang mematikan bagi orang-orang sombong. Jadi orang-orang sombong di dunia ini, yang mengaku Tuhan, itu selalu “Saya bisa memutuskan. Orang ini mau saya hukum seumur hidup, mau saya hukum mati, mau saya hilangkan namanya tidak ketahuan, mau tiba-tiba besok ditemukan mayatnya di sungai, itu saya penguasa.” Penguasa yang zhalim cenderung bicara begitu, kekuasaan ada di dia. Ini sebenarnya masih berhubungan dengan min man mana’a tadi. “Kamu saya kasih shalat harusnya bersyukur. Kamu tidak saya larang shalat harusnya bersyukur.” Ketika dikatakan wa lillahil masyriqi wal maghrib, itu skak. Dalam perdebatan Ibrahim dengan Namrudz kan begitu.”Kalau kamu bilang Tuhan kamu menghidupkan, aku juga uhyi wa umit, aku menghidupkan dan mematikan.” Ketika nabi Ibrahim menjawab bahwa mendatangkan matahari dari tempat terbitnya dan menenggelamkan dari tempat tenggelamnya, fa`ti biha minal maghrib, sekarang coba kamu terbitkan matahari dari tempat tenggelamnya. Apa kata Namrudz? Fa buhital ladzi kafar. Dia diam, langsung ditutup mulutnya. Karena ini penegarasan bahwa Allah satu-satunya yang bisa menerbitkan matahari. Coba sekarang, siapa di antara orang terpintar di dunia, suruh membalik terbit matahari. Tidak bisa. Makanya bahasanya wa lillahi al masyriq wal maghrib. Fa aina ma tuwallu fa tsamma wajhullah. Dalam beberapa penafsiran ada yang mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan bagi orang-orang yang ragu terhadap kiblat. Masyriq wal maghrib itu arahan dalam kita shalat. Jadi sebenarnya kiblat itu simbol saja. Orang bodoh yang mengatakan bahwa umat Islam sama dengan orang-orang sebelumnya, menjadikan ka’bah itu berhala, buktinya seluruh dunia shalat menghadap ka’bah. Itu salah. Ka’bah itu hanya arah. Syathral masjidil haram, tidak menghadap ka’bah. Syathral masjidil haram itu sebenarnya perkiraan. Sekarang saya tanya Bapak-bapak, adakah yang bisa memastikan, shalat Bapak-bapak kalau ditarik garis lurus itu tepat kena Ka’bah? Itu hanya syathral masjidil haram, menghadap perkiraan ke sana. Maka di sini dikatakan Fa aina ma tuwallu fa tsamma wajhullah. Kemanapun kita memalingkan wajah, fa tsamma wajhullah. Makanya dikatakan di dalam juz 2 nanti, laisal birra an tuwallu wujuhakum qibalal masyriqi wal maghrib, yang dinamakan kebaikan itu bukan kita menghadap ke timur, ke selatan, ke utara, ke barat. Karena menghadap ke Ka’bah itu ke timur atau ke mana itu tergantung posisi kita. Kalau berada di Madinah, berarti kiblatnya ke selatan. Kita berada di Yaman, kiblatnya ke utara. Itu maksudnya. Tetapi yang dinamakan wa lakinnal birra man amana. Itu substansinya. Simbol perlu, tapi tanpa dijiwai simbol itu menjadi mati. Innallaha wasi’un ‘alim, Allah subhanahu wa ta’ala memiliki keluasan rahmat dan memiliki pengetahuan yang unlimited, tidak dibatasi. Saya ingin membahas pada ayat 116 dan berikutnya, sekaligus nanti kita ulang, diulang dua kali, alladzina la ya’lamun.

Page 7: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  187  

Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Orang-orang itu, baik orang-orang yang tadi dikatakan alladzina la ya’lamun. Menarik, Allah menyebut orang-orang musyrik bukan dengan kadzalika qala al musyrikun atau kadzalika qala alladzina kafaru min qablihim misalnya, tapi kadzalika qala alladzina la ya’alamuna mitsla qaulihim. La ya’lamun, jadi meniadakan ilmu. Lihat bahasa Al Qur`an: Ar Rahman, allamal Qur`an. Jadi ilmu yang diberikan Allah nomor satu, itu ilmu kitab. Dengan diturunkannya kitab kepada kita, itu ilmu yang luar biasa. Baru setelah itu khalaqal insan, ‘allamahul bayan. Itu ilmu yang kedua baru mengajari kita membaca, berbicara, mengungkapkan sehingga bisa difahami. Maka sebenarnya nikmat teragung ilmu yang diberikan Allah pada kita itu al kitab, karena ada orang-orang yang tidak diberikan sebelumnya. Jadi orang-orang musyrik Arab tidak disebut ahlu kitab, kenapa? Karena mereka sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah diberi kitab. Itu malah disebut meniadakan ilmu, padahal kalau dilihat dari sisi keilmuan, dari tata bahasa, dari yang lainnya, bukan mereka tidak punya peradaban. Ada. Tetapi peradaban yang luar biasa itu ditiadakan Allah. Kenapa? Karena ilmu yang tidak dituntun oleh Allah tidak dianggap. Mereka itu orang-orang itu, dan juga termasuk orang-orang kafir dari golongan Yahudi dan Nasrani mengatakan ittakhadzallahu walada, Allah memiliki anak. Ini kalau dipikir tidak masuk akal. Allah punya anak, yang benar saja? Anak Allah itu siapa, seperti apa, itu nanti debatable lagi. Jadi mereka berpendapat Allah punya asisten, mereka sepakat. Tapi asistennya seperti apa? Di situ debatable lagi. Maka kata Allah langsung, subhanahu. Dengan kata-kata subhanahu itu sudah selesai. Maha Suci Allah. Di dalam Al Qur`an kata-kata tasbih itu disebut dengan semua rangkaiannya. Bahkan kalau boleh kita tadabburi, awal surah saja, yang paling sempurna itu kata-kata tasbih. Misalkan surah Al Isra, subhanalladzi asra. Maha Suci Allah itu penasbihan. Nanti di dalam surah lain ada yang dimulai dengan sabbaha lillah, bentuknya past tense, jadi sudah bertasbih sebelum manusia, ma fis samawati wal ardh, sesuatu yang di langit dan di bumi. Dan yusabbihu lillah, ada juga surah yang dimulai dengan demikian, itu masih berlangsung. Dan nanti terakhir di dalam juz 30, ada surah yang dimulai dengan sabbihisma rabbika al a’la. Itu bentuknya perintah. Dari bentuknya tahbis, mashdar, kemudian fi’il madhi, past tense, kemudian present dan continuous tense itu yusabbihu lillah, dan terakhir bentuk perintah. Maha Suci Allah, itu artinya apa? Seandainya seluruh manusia tidak ada yang menyembah Allah, atau seandainya seluruh manusia di dunia ini mengatakan Allah punya anak, Allah tetap mengatakan subhanahu, Maha Suci. Allah tetap mengatakan Allah Maha Kaya. Tidak berpengaruh semua itu.

Page 8: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  188  

Subhanahu itu sudah klimaksnya. Itu sudah ditahbiskan. Yang menahbiskan Allah sendiri. Kamu mau menyembah-Ku atau tidak itu tidak berpengaruh. Karena kebaikan itu kembalinya kepada manusia. Yang kedua, sabbaha lillah, sebelum diutusnya nabi kepada manusia, itu sudah bertasbih benda-benda di langit dan di bumi. Maka kemudian Allah perlu menyebutkan yusabbihu lillah. Manusia bertasbihlah. Fa sabbih bismi rabbika al ‘azhim. Mendingan kita jadi makmum masbuq dalam bertasbih. Kita jangan malu untuk meniru burung-burung, gunung-gunung dan makhluk-makhluk lain yang bertasbih sebelum kita lahir atau sebelum diutusnya nabi kepada kita. Kalau saya boleh mengistilahkan, ada shalat masbuq dan ada tasbih masbuq. Manusia itu termasuk yang bertasbih secara masbuq. Selama dia belum bertasbih, dia masih disebut dengan orang yang ‘belum shalat’. Tapi kalau dia ‘shalat’ berjamaah, sah selama masih ada imamnya di situ. Coba kita lihat dalam satu hari, dalam shalat saja, Bapak-bapak dan Ibu-ibu pernah menghitung bertasbihnya berapa kali? Satu rakaat sembilan kali. Dikali tujuh belas, 153. Kemudian kita baca selesai shalat, 33. Dikali lima, 165. Totalnya 153 + 165 = 318. Itu kita bertasbih. Dan esensinya itu sebenarnya yang penting. Orang yang bertasbih mengatakan Maha Suci Allah. Tetapi ada tidak, setelah dia melakukan shalat, musim pilkada atau musim pencalegan, mendatangi dukun misalnya? Dia berarti menghilangkan makna tasbih itu sendiri. Berarti menganggap Allah punya asisten, meskipun tidak jelas menyebut Allah punya anak. Orang mau membangun rumah, dia pelajari, oh ini secara ilmu fengshui tidak tepat. Lalu dia percaya. Disebut dengan tathayyur. Itu subhanahu. Tasbih yang 318 kali tadi hilang. Padahal 318 dalam sepuluh hari sudah tiga ribuan. Itu di luar shalat sunnah. Nah ini, saya tidak memperpanjang di situ. Lihat kata Allah, bal lahuma fis samawati wal ardh kullun lahu qanitun. Bal lahuma fis samawati wal ardh itu dalam bahasa Al Qur`an sabbaha lillah. Jadi sebelum manusia, semua sudah bertasbih. Kalau seandainya kita katakan, di bumi sebelum manusia ada tidak yang bertasbih? Ada. Gunung-gunung, semuanya. Wa lakin la tafqahunna tasbihahu. Semua bertasbih. Kita tidak faham. Pagi ini kita bertasbih bersama para makhluk Allah. Makanya dikatakan thau’an au karha, mereka mau atau tidak mau itu suatu keniscayaan. Hanya manusia saja yang diberikan pilihan. Jadi makhluk Allah selain kita dan jin, semuanya bertasbih kepada Allah. Ikan, segalak-galaknya ikan, dia tetap bertasbih. Batu-batuan, tumbuh-tumbuhan, semuanya bertasbih. Yang di langit, ada ma fis samawati wal ardh, ada juga man fis samawati wal ardh. Kalau ma itu apa? Bintang-bintang bertasbih pada Allah. Man? Malaikat bertasbih pada Allah. Jadi kita mengartikannya luas. Yang bernyawa, yang tidak bernyawa. Yang kita tahu, yang tidak kita tahu. Semuanya lahu ma fis samawati wal ardh. Yusabbihu lillah dan sabbaha lillah. Makanya tasbih itu, kunci penyucian itu bisa menghilangkan penyakit-penyakit sosial yang hari ini kita tadabburi. Melempar kesalahan, atau menghalangi orang dari berdzikir kepada Allah atau menghidupkan fungsi masjid. Allah sebutkan lagi sifat Allah yang kedua. Setelah tadi kepemilikan penuh.

Page 9: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  189  

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia. Badi’ itu Pencipta, bukan Khaliq saja. Kalau Khaliq itu asal membuat. Lihat anak kecil mewarnai, kan keluar garis. Tapi bandingkan dengan pelukis profesional. Mana lukisan yang paling bagus? Pelukis profesional. Saya tidak membandingkan, tapi sekadar supaya kita masuk. Pelukis profesional itu yang disebut dengan Badi’. Anak kecil itu disebut dengan menciptakan, tapi Badi’ lebih dari itu. Lihat saja susunan fisik tubuh kita, tata artistiknya. Kenapa mata itu di depan, kenapa hidung itu di antara dua mata. Coba seandainya hidung itu dipasang di atas. Orang seperti saya yang punya penyakit mata nanti menyantolkan kacamata di mana? Pakai tali atau bagaimana? Lalu coba lihat gigi. Gigi yang kita lihat itu luarnya, ternyata akarnya lebih banyak. Itu siapa yang menanam? Luar biasa. Teorinya sama dengan teori gunung, dijadikan pasak. Lalu gigi itu kita pakai memamah apa saja setiap hari. Dan sebagainya. Itu yang disebut dengan Badi’, penciptaan. Kita bisa buka channel Discovery atau National Geographic ketika membahas binatang-binatang yang aneh. Ada binatang yang sangat kecil sekali, untuk apa dihidupkan Allah? Bagaimana cara makannya? Lalu ada binatang bersel satu, yang tidak menikahi lawan jenisnya. Dia membelah diri. Luar biasa. Maka disebut dengan Badi’us samawati wal ardh. Yang di langit, yang kita tidak tahu esensinya sampai sekarang, yang di bumi, itu diciptakan Allah. Dan lihat kata Allah, wa idza qadha amran, ketika menginginkan sesuatu, tinggal bilang kun. Kun itu bentuk verbal. Allah menginginkan, pasti terjadi. Ini yang kita takuti. Makanya kita sebagai umat Islam menjadikan tadzkirah itu diiringi dengan ketakutan. Takutnya bukan kita takut disiksa. Wa khasyiyar rahmana bil ghaib dalam surah Yasin. Harusnya kan orang takut kepada yang maha kejam, yang maha sadis. Wa khasyyal ‘aziz, wa khasyiyal qahhar, wa khasyiyal qadir. Tapi di dalam surah Yasin itu Wa khasyiyar rahmana bil ghaib, yang takut kepada dzat yang Maha Penyayang. Kok takut? Kita takut ditinggalkan. Itu yang harusnya dominan pada diri kita. Makanya di sini, ketika Allah mencipta, kun! Itu terjadi, bukan hanya bentuk fisiknya yang kita diciptakan punya anak, kun, kamu insya Allah punya anak. Qadha amran, itu nasib kita. Allah tinggal bilang saja. Jadi kalau seandainya kita sudah ditentukan celaka atau tidak, Allah sanggup mengubah. Itu kekuasaan Allah. Berarti doa kita bisa mengubah takdir? Jumhur ulama mengatakan, takdir itu ada dua macam. Ada yang bisa diubah, ada yang tidak. Takdir umum tidak bisa diubah. Takdir terperinci bisa diubah.

Page 10: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  190  

Nasib kita? Misalkan kita sudah ditentukan masuk surga atau neraka bisa diubah atau tidak? Kita tidak tahu. Siapa yang mengatakan bahwa sekarang ini kita di sini masuk surga atau neraka? Tidak ada yang tahu. Lalu bagaimana kita mengatakan kita diubah? Dalam hadits, ada antara seseorang dengan surga itu tinggal sejengkal. Itu secara fisik. Orangnya setiap hari shalat, membayar zakat. Tapi di akhir hidupnya dia melakukan perbuatan ahli neraka, dan masuk neraka. Berarti dia sudah ditentukan begitu. Allah sudah tahu, ini jalannya seperti ini, seperti ini, akhirnya dia akan tersesat. Kezhaliman itu tidak ada pada Allah, tapi pada manusia yang memilihnya saja. Kun kok ada fa, yakun. Kun, jadilah. Fa yakunu, maka dia menjadi. Fa di situ disebut dengan proses. Padahal fa di dalam bahasa Arab itu li ta’qib, tidak ada yang lama. Orang hamil mau punya anak kok sampai sembilan bulan. Masa` sembilan bulan disebut cepat? Fa di situ proses jadi. Kalau bahasa manusia nyaris jadi, biar tidak seperti sulap. Contoh, orang ini pintar. Fa-nya apa? Bisa melalui sekolah, bisa melalui dia bertemu orang-orang pintar. Tidak mungkin orang lahir kemudian fa yakunu-nya langsung hafal Qur`an. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya manusia lahir langsung hafal Qur`an, langsung bisa membaca, pasti tidak ada manusia bodoh di muka bumi ini. Proses harus ada. Dan di situ yang tempo hari berkali-kali kita tadabburi makna dari ikhtiar untuk menjemput huruf fa ini. Maka fa yakunu itu jadilah. Allah ulang lagi:

Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin. Wa qala alladzina la ya’lamuna. Apa tadi alladzina la ya’lamuna itu? Orang-orang musyrik. Orang-orang yang tidak memiliki kitab itu disebut orang-orang yang tidak tahu. Meskipun dia sudah profesor, sudah doktor, tapi dia belum pernah membaca Al Qur`an, dinafikan ilmunya oleh Allah. Na’udzu billah, mudah-mudahan kita tidak termasuk. Sudah pintar, berbusa-busa pandai berdebat sana-sini, tapi dia tidak pernah membaca Al Qur`an, tidak pernah mengkaji Al Qur`an, itu masuk dalam kategori ini. Kategori la ya’lamuna itu bukan hanya berarti tidak diturunkan kepada kita. Diberi kitab tapi tidak dipakai, itu masuk juga. Dia mendapatkan keistimewaan, mendapatkan kitab dari Allah, dan ini yang terbaik, kemudian tidak digunakan, itu la ya’lamuna.

Page 11: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  191  

Lau la yukallimunallahu au ta`tina ayatun. Ini klimaks bodohnya mereka mengatakan begini, “kami baru beriman kalau kami langsung diajak bicara oleh Allah, ngapain Allah pakai utus-utus perantara, kan Allah bisa bicara dengan kami.” Sepintas masuk akal. Begini sekarang, kenapa sih Allah menurunkan Al Qur`an melalui malaikat Jibril? Apa Allah tidak bisa langsung bicara dengan Nabi Muhammad? Pernah tidak kita berpikir seperti itu? Itu ternyata untuk menguji juga. Jibril ini amanah tidak? Untuk menguji kita juga. Allah bisa menurunkan Al Qur`an bahkan tidak harus melalui Nabi Muhammad. Langsung kepada kita. Setiap kita diberikan hafalan Al Qur`an. Tapi itu tidak jaminan kita akan melakukan perintah Allah. Au ta`tina ayatun, atau datang tanda-tanda kebesaran Allah, mukjizat. Dan itu sudah terjadi. Dulu di zaman nabi Shaleh, “Kami baru percaya kalau kamu punya tanda. Apa tanda kamu? Tanda-tanda kekuasaan Allah, mukjizat kamu apa? Coba kamu keluarkan unta dari batu.” Nabi Shaleh bisa itu. Begitu keluar dari batu, nabi Shaleh pesannya apa? Jangan sembelih unta ini. Itu sebenarnya simbol. Mereka tidak tahan juga, ternyata percuma juga. Zaman dulu ada orang mengatakan, “Coba sekarang, kalau seandainya Allah itu Maha Kuasa, coba turunkan hujan batu.” Apakah setelah hujan batu mereka beriman? Tidak, kecuali hujan batu menyiksa mereka. Tidak bermanfaat iman seperti itu, sudah nyaris mati baru beriman. Makanya dua ini sangat buruk. Allah subhanahu wa ta’ala selalu memiliki cara menegur kita. Kita berdoa agar pada saat Allah menegur kita itu teguran-Nya lembut, dan kita diberi karunia agar bisa merasakan kelembutan teguran Allah. Ada orang yang cuma tersandung saja dia langsung “Oh ini saya ada salah apa.” Tapi ada orang, dia sudah macam-macam, bangkrut, dia tidak ingat Allah, na’udzu billah, itu berarti orang ini tidak peka sensitivitasnya. Nah ini seperti ini, “Saya baru beriman kalau diajak bicara langsung oleh Allah.” Ini perkataan orang yang tidak bersentuhan dengan al kitab. Al kitab itu kalau di zaman kita Al Qur`an. Jadi meskipun secara fisik Al Qur`an sampai di rumah kita, kita tidak membuka dan mempelajarinya, kita masuk kategori ini. Na’udzu billahi min dzalik. Kadzalika qala alladzina min qablihim. Orang-orang yang tidak punya kitab itu bukan hanya mereka, sebelum mereka juga sama. Dan orang-orang yang mendapatkan al kitab, mitsla qaulihim. Menghina orang lain itu tidak hanya dilakukan oleh orang diluar kita. Sebelum kita juga dilakukan. Sesama mereka merebutkan kekuasaan itu pasti menjatuhkan. Kalau bahasa politik black campaign. Itu dilakukan orang sebelumnya. Tasyabahat qulubuhum, mereka itu sama. Memusuhi kita, memusuhi orang yang memakmurkan masjid, menghidupkan dzikir, mengingat Allah dalam berbagai sarana, dengan shalat, dengan ngaji, dengan majelis ilmu, dengan majelis tausiyah dan sebagainya. Tasyabahat qulubuhum. Qad bayyanna al ayati li qaumin yuqinuna, tugas Kami kata Allah subhanahu wa ta’ala, menjelaskan ayat bagi orang-orang yang yakin. Jadi kita cuma perlu motivasi saja. Motivasinya apa? Sama dengan yang diberikan kepada Nabi Muhammad. Kita closing di ayat 119:

Page 12: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  192  

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka. Inna arsalnaka bil haqqi basyiran wa nadziran, sesungguhnya Kami utus engkau Muhammad dengan sesungguh-sungguhnya, dengan benar-benar. Basyiran, sebagai pembawa kabar berita. Wa nadziran, sebagai pembawa rambu-rambu. Dan ingat, wa la tus`alu ‘an ashhabil jahim. Nanti tidak pernah dikatakan, “Kenapa si A itu tidak mau mendengarkan kamu? Kenapa si A itu masuk neraka? Tidak pernah. Jadi kalau sekarang tugas kita itu berdakwah. Orang itu nantinya memusuhi kita sampai mati, dan mudah-mudahan kita akhirnya masuk surga, orang yang kita dakwahi itu tidak ada kesempatan bertanya, “Ya Rabb, kenapa saya dulu tidak Engkau beri hidayah?” Hidayah itu kalau diibaratkan adalah seperti halnya sinar matahari. Sinar matahari yang mengenai bumi itu tidak pilih-pilih. Tetapi posisi bumi itulah yang menentukan apakah dia mendapat sinar matahari atau tidak. Jadi ketika ada hidayah, kita memalingkan, berarti yang kena sinar itu sebelah mana? Belakang punggung kita. Kalau ada hidayah kemudian kita sambut, ada kemungkinan besar kita bisa mendapatkan hidayah. Jadi hidayah itu bukan perkara nasib. Kita harus menjemput hidayah itu. Kenapa saya kadang shalat semangat, kadang tidak semangat, itu berarti sedang tidak kena ‘sinar matahari’, posisinya tidak pas. Apalagi musim hujan, lebih susah lagi. Posisinya harus ada, tapi apa? Wa man azhlamu min man mana’a, ada penghalang. Nah penghalang itu, biasanya manusia lebih sering menyalahkan orang lain. Dan di sini Yahudi dan Nasrani sama-sama memusuhi Islam. Bahasanya mereka mengecilkan peran orang lain. Maka di sini tugas kita cuma satu, berdakwah, mengajak dan mengajak. Permasalahan nanati mereka masuk neraka, kita tidak akan pernah sekali-kali ditanya Allah kenapa si A masuk neraka. Dalam berbagai hal, Allah bukan berorientasi hasil. Orientasi-Nya proses. Contohnya nabi Nuh, contohnya adalah nabi Yunus, nabi-nabi yang lain, bahkan nabi yang tidak punya pengikut, yang dia dibunuh sebelum punya pengikut, yang akan Allah hisab itu mereka menyampaikan atau tidak, bukan kamu berhasil dapat berapa pengikut. Ini saya kira, mudah-mudahan kita bisa mempelajari tiga hal pokok: Kelemahan orang Yahudi menyalahkan orang lain, yang kedua, mereka tidak mengambil pelajaran. Dulu pernah mereka dihalang-halangi mengingat Allah pada saat masih lurus-lurusnya, tapi mereka melakukan itu. Kemudian yang ketiga, kita seandainya menjadi orang yang bertasbih masbuq, masih lebih bagus. Sabbaha lillah. Kita sekarang yusabbihu lillah. Sabbihisma rabbika al a’la. Masih ada jeda waktu

Page 13: Halaqah tadabbur quran 18 (Al Baqarah 113-119)

  193  

yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki tasbih kita. Barangkali rutinitas itu tidak cukup, 318 tadi, kita bisa bertasbih. Dan yang terakhir kita renungi ciptaan Allah, dan mari kita ikuti dakwah Rasulullah. Kita tidak pedulikan orang itu mau ikut atau tidak, tapi kita tetap harus menyampaikan. Mohon maaf jika ada kekurangan, jazakumullahu khairan.**