12
JAKARTA, Indonesia – Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia berulang tiap dekade. Namun, hampir tak ada satu pun kasus HAM yang benar-benar tuntas diungkap. Alih-alih ditemukan aktor utamanya, sebagian besar kasus malah terbengkalai. Dalam rangka memperingati hari HAM dan untuk melawan lupa, Rappler Indonesia mendaftar lima kasus HAM paling besar di Indonesia yang belum pernah terungkap hingga tuntas. Para pelaku utamanya juga belum pernah diadili. Berikut daftarnya: 1. Kasus tragedi 1965-1966 Sejumlah jenderal dibunuh dalam peristiwa 30 September 1965. Pemerintahan orde baru kemudian menuding Partai Komunis Indonesia sebagai biang keroknya. Lalu pemerintahan saat itu membubarkan organisasi tersebut, dan melakukan razia terhadap simpatisannya. Razia itu dikenal dengan operasi pembersihan PKI. Komnas HAM memperkirakan 500.000 hingga 3 juta warga tewas dibunuh saat itu. Ribuan lainnya diasingkan, dan jutaan orang lainnya harus hidup dibawah bayang-bayang ‘cap PKI’ selama bertahun-tahun. Dalam peristiwa ini, Komnas HAM balik menuding Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan semua panglima militer daerah yang menjabat saat itu sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab. Saat ini, kasus ini masih ditangani oleh Kejaksaan Agung. Namun penanganannya lamban. Tahun 2013 lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas ke Komnas HAM, dengan alasan data kurang lengkap. 2. Kasus penembakan misterius (Petrus) tahun 1982- 1985 Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus alias operasi clurit adalah operasi rahasia yang digelar mantan Presiden Soeharto dengan dalih mengatasi tingkat kejahatan yang begitu tinggi. Operasi ini secara umum meliputi operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas, tak pernah tertangkap, dan tak pernah diadili.

Ham Teti

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas

Citation preview

JAKARTA, Indonesia Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia berulang tiap dekade. Namun, hampir tak ada satu pun kasus HAM yang benar-benar tuntas diungkap. Alih-alih ditemukan aktor utamanya, sebagian besar kasus malah terbengkalai. Dalam rangka memperingati hari HAM dan untuk melawan lupa, Rappler Indonesia mendaftar lima kasus HAM paling besar di Indonesia yang belum pernah terungkap hingga tuntas. Para pelaku utamanya juga belum pernah diadili. Berikut daftarnya:1. Kasus tragedi 1965-1966Sejumlah jenderal dibunuh dalam peristiwa 30 September 1965. Pemerintahan orde baru kemudian menuding Partai Komunis Indonesia sebagai biang keroknya. Lalu pemerintahan saat itu membubarkan organisasi tersebut, dan melakukan razia terhadap simpatisannya. Razia itu dikenal dengan operasi pembersihan PKI. Komnas HAM memperkirakan 500.000 hingga 3 juta warga tewas dibunuh saat itu. Ribuan lainnya diasingkan, dan jutaan orang lainnya harus hidup dibawah bayang-bayang cap PKI selama bertahun-tahun. Dalam peristiwa ini, Komnas HAM balik menuding Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan semua panglima militer daerah yang menjabat saat itu sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab. Saat ini, kasus ini masih ditangani oleh Kejaksaan Agung. Namun penanganannya lamban. Tahun 2013 lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas ke Komnas HAM, dengan alasan data kurang lengkap.

2. Kasus penembakan misterius (Petrus) tahun 1982-1985Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus alias operasi clurit adalah operasi rahasia yang digelar mantan Presiden Soeharto dengan dalih mengatasi tingkat kejahatan yang begitu tinggi. Operasi ini secara umum meliputi operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas, tak pernah tertangkap, dan tak pernah diadili. Hasil dari operasi clurit ini, sebanyak 532 orang tewas pada tahun 1983. Dari jumlah itu, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Kemudian pada tahun 1984, tercatat 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Setahun kemudian, pada 1985, tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak.'Korban Tembakan Misterius ini selalu ditemukan dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Sebagian besar korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, atau dibuang ke sungai, laut, hutan, dan kebun.

3. Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka. Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi. Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala. Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.4. Kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir Said ThalibMunir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar. Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu. Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini. Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia. Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya. Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik. Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa

5. Tragedi Wamena Berdarah pada 4 April 2003Tragedi itu terjadi pada 4 April 2003 pukul 01.00 waktu Papua. Sekelompok massa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskankan dua anggota Kodim, yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Prajurit Ruben Kana (penjaga gudang senjata). Kelompok penyerang diduga membawa lari sejumlah pucuk senjata dan amunisi. Dalam rangka pengejaran terhadap pelaku, aparat TNI-Polri diduga telah melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa, sehingga menimbukan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa. Pada pemindahan paksa ini, tercatat 42 orang meninggal dunia karena kelaparan, serta 15 orang jadi korban perampasan. Komnas juga menemukan pemaksaan penanda tanganan surat pernyataan, serta perusakan fasilitas umum. Proses hukum atas kasus tersebut hingga saat ini buntu. Terjadi tarik ulur antar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sementara para tersangka terus menikmati hidupnya, mendapat kehormatan sebagai pahlawan, menerima kenaikan pangkat dan promosi jabatan tanpa tersentuh hukum.'Pada Juli 2004, Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan Projusticia atas dugaan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan di Wamena. Kasus tersebut dilaporkan setelah 9 orang terbunuh.'

6. Kasus MarsinahMarsinah (10 April 1969?Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap. Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah "direkayasa".7. Kasus Babeh BaekuniNama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi, lelaki berusia 50 tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang dibuang di Jakarta, sebagian dikubur di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa Mranggen, Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu. Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya hanya dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat anak-anak jalanan. Di mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia menyediakan tempat menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. Pernah suatu hari, teman saya bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan lebih besar dibandingkan Diki. Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam, kata Anggi Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe. Perkenalan Anggi dengan Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang mengamen di pintu tol Cakung, ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab dengan seorang pria penjual rokok. Anak-anak itu memanggilnya Babe, kenang Anggi. Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap hari empat hingga lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya bisa bertambah hingga 15 anak. Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama. Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut anak-anak jalanan itu. Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas habis di bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu dimandikan Babe. Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak itu direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen. Sabun cuci itu juga digunakan sebagai sampo. Nunduk, nunduk, Anggi masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu memandikannya. Ketika anak-anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan mencuci baju anak-anak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan Babe. Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam hari, Babe mengajak patungan membeli mi instan. Dia juga memasok nasi goreng untuk kami, kata Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang mengobati mereka. Biasanya, kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. Dia disayangi anakanak, dan saya menganggap sebagai orang tua sendiri, kata Anggi yang masih punya orang tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan diberikan kepada orang tua masing-masing. Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih memiliki orang tua, termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut, misalnya, Babe mengancam mereka agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal Babe. Sebelum berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima ribu rupiah. Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung selama satu bulan, kata Deni. Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu Babe pernah menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat kehidupan anakanak jalanan termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe. Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi dan diduga sebagai pelaku pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe mengaku membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga korban Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak jalanan yang dikoleksi Babe. Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang disenangi dia (Babe), kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua pembunuhan sadis itu? Polisi menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal, kata Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan, dan tangan kirinya menarik tali ke belakang. Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik bocah itu meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe, kata Rangga. Jika korban sudah meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah itu. Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena sewaktu anak-anak, kulit Babe juga bersih, kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal melakukan pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena itu, juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera terungkap. Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air mineral. Sehari-hari dia kan berdagang rokok, dan air mineral, kata Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui polisi, awal Januari silam: Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang bocah, yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya. Dari mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. Saya percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh, kata Anggi. _ rangga prakoso.

8. Tragedi Trisakti

PENYEBAB.Ekonomi Indonesiamulai goyah pada awal1998, yang terpengaruh olehkrisis finansial Asiasepanjang1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran kegedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menujuGedung Nusantarapada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dariPolridan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalahBrigade MobilKepolisian RI,Batalyon Kavaleri9,Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan UdaraKostrad,Batalyon Infanteri 202,Pasukan Anti Huru HaraKodamseta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng,gas air mata,Styer, danSS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakanpeluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementaradiprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.HAK YANG DI LANGGARSalah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam kebebasan menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal pelanggaran pelaksanaan demokrasi pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai sekarang, pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan bahkan upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus diselesaikan secara tuntas agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga keadilan dapat ditegakan.PENYELESAIANAgar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena pengusutan kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak terkait seharusnya masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan harus jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi tetap banyak masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah tersebut, seharusnya masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar karena di pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap warga negara benar-benar harus ditegakan.