Upload
ailegnacantik
View
216
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Religion and Culture
Citation preview
2012
HARMONISASI AGAMA DAN BUDAYA
MUDZAKARAH AKTUALISASI KEAGAMAAN DAN SOSIAL MUI KABUPATEN CIREBON
H. Mukhlisin Muzarie
5 JULI 2012
0231-231816
CIREBON 45153
1
HARMONISASI AGAMA DAN BUDAYAOleh : Mukhlisin Muzarie
Mudzakarah Aktualisasi Keagamaan dan Sosial MUI Kabupaten Cirebon Tanggal 5 Juli 2012
A.PENDAHULUAN
Adalah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah, bahwa
agama semenjak pertama kali diturunkan hingga masa-masa
perkembangannya selalu berhubungan dengan adat dan budaya
setempat. Bangsa Arab Jahiliyah ketika datangnya Islam telah
memiliki adat dan budaya. Mereka memiliki pujangga dan
penyair yang ulung, penutur cerita prosa yang indah, ahli
pidato, ahli peribahasa, tukang tenung, peramal dan sebagainya.
Selain itu, mereka memiliki tradisi yang tidak terikat dengan
norma moral yang ketat. Perbuatan seperti minum tuak, berjudi,
berzina, mencuri, merampok, dan menipu dipandang sebagai
pekerjaan yang lumrah. Kaum wanita dipandang sangat rendah,
dapat diperjual belikan, bahkan ada kabilah tertentu yang
membenarkan mengubur anak perempuan hidup-hidup, karena
saat itu memelihara anak perempuan dipandang sebagai beban
dan aib keluarga.1 Kemudian Islam datang membawa perubahan
mendasar terhadap adat-istiadat bangsa yang terkenal dalam
sejarah sebagai bangsa yang tidak bermoral (jahiliyah) tersebut,
baik dalam sistem kepercayaan maupun dalam sistem hukum
dan etik sehingga akhirnya menjadi bangsa yang maju dan
berakhlak mulia.
Kedatangan Islam di berbagai wilayah bertujuan untuk
membawa misi perubahan menuju pencerahan, akan tetapi tidak
berarti Islam menghancurkan tradisi dan pranata sosial yang
1 H.A.Hafizh Anshari AZ, dkk , Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jld 2, hlm. 247-248
2
ada. Islam datang melakukan reformasi terhadap nilai-nilai
akidah yang telah menyimpang dari prinsip-prinsip tauhid dan
merehabilitasi akhlak yang sudah rusak. Islam pada mulanya
diturunkan di Mekah, kemudian berkembang di Madinah, dan
setelah berhasil meletakan dasar-dasar pemerintahan Islam
dengan pusatnya di Madinah dikembangkan oleh Nabi SAW ke
luar Mekah dan Madinah. Islam dikembangkan lagi pada masa
Khulafa al-Rasyidin hingga meliputi semenanjung Arabia.
Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh khalifah Bani
Umayah dan Bani Abasiyah hingga meliputi Palestina, Suriah,
Irak, Persia, Mesir, Aftika Utara, Sisilia, Spanyol, Rusia,
Afghanistan, India, Indonesia dan sebagainya.2
Dengan perkembangan Islam menjangkau wilayah-
wilayah non Arab, maka kontak Islam dengan adat dan budaya
lokal tidak dapat dihindari sehingga wilayah-wilayah non Arab
terpengaruh oleh kebudayaan Arab yang Islami di samping
terdapat asimilasi Islam dengan tradisi dan budaya masyarakat
setempat. Faktanya menunjukkan bahwa Islam sebagai ajaran
disebarkan melalui kontak budaya (dakwah), akan tetapi sebagai
kekuatan politik Islam disebarkan juga melalui kontak senjata
(perang). Namun demikian tidak berarti Islam memaksakan
pihak lain untuk memeluk Islam walaupun mereka adalah
penduduk negeri yang berhasil ditaklukkan. Perang dalam
politik Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan dan
mewujudkan perdamaian, bukan untuk memaksa pihak lain agar
memeluk Islam. Menurut catatan sejarah, Islam memasuki
benua Eropah melalui kontak senjata (perang) sehingga
meninggalkan dendam yang berkepanjangan. Berbeda dengan
itu, Islam memasuki wilayah Nusantara (Indonesia) dilakukan
2 H.A.Hafizh Anshari AZ, dkk , Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jld 2, hlm. 259
3
melalui kontak budaya (dakwah), bukan melalui kontak senjata,
sehingga menyebar ke desa-desa dengan penuh kedamaian.
Ketika Islam memasuki ranah Minang Sumatra Barat,
didapati penduduk negeri yang sudah teratur dengan hukum
adat yang sangat kuat. Sementara itu banyak dijumpai
peraturan adat yang bertentangan dengan ajaran Islam,
terutama terkait dengan sistem matrilineal sedangkan Islam
lebih condong pada sistem patrilineal. Selain itu, adat
Minangkabau sebelumnya telah terpengaruh oleh kepercayaan
animisme, dinamisme, Hindu dan Budha. Akan tetapi sistem
adat itu, meski dipegang teguh oleh masyarakat, tetapi tetap
memberi peluang akan adanya perubahan. Oleh karena itu,
HAMKA, seperti dikutip dalam Ensiklopedi Islam, menyebutkan
bahwa adat dan agama Islam ketika pertama kali datang tidak
serta merta saling tolak menolak. Islam dapat diterima karena
dipandang dapat memperkaya khazanah adat, dan sebaliknya,
adat tidak pula ditolak untuk kemudian dilenyapkan oleh Islam,
tetapi Islam mengakomodir dan mengokohkannya dengan
menambah unsur-unsur baru yang lebih baik. Dari kontak
antara Islam dan budaya tersebut akhirnya menghasilkan
sintesis yang berbunyi “Adat basandi syara’ dan syara’ basandi
kitabullah” yang artinya adat bersendi ajaran agama Islam dan
ajaran agama Islam bersendikan kitab Allah Al-Qur’an.3
Dengan demikian persoalannya menjadi jelas bahwa
agama Islam selalu bersentuhan dengan adat dan budaya lokal,
karena ketika agama itu memasuki sebuah wilayah
masyarakatnya telah memiliki adat dan budaya yang sudah
berakar dan selalu dijunjung tinggi semenjak nenek moyang
hingga turun temurun. Untuk itu, Islam dituntut untuk
menunjukkan kearifan lokal yang ditandai dengan kemampuan 3 Lihat : H.A.Hafizh Anshari AZ, dkk ., Saplemen Ensiklopesi Islam, jld 1.hlm. 15
4
untuk beradaptasi dengan realitas sehingga mampu tampil
sebagai agama rahmatan lil alamin yang membawa kedamaian,
bukan sebaliknya, tampil dengan cara frontal, sporadis dan
penuh kekerasan sehingga sulit diterima oleh masyarakat. Para
penyebar agama Islam di tanah Jawa (para wali) telah berhasil
menampilkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang
damai dan akamodatif serta memberikan klarifikasi secara
bijaksana terhadap unsur-unsur adat dan budaya yang dapat
dipelihara dan unsur-unsur adat dan budaya yang harus
ditinggalkan. Faktanya menunjukkan bahwa berbagai ritual
Islam Jawa yang memiliki makna bermacam-macam itu ternyata
sarat dengan muatan budaya yang umumnya ditampilkan dalam
bentuk upacara dan slametan. Upacara dan slametan yang
ditampilkan sebagai simbol ritual tersebut hampir didapati pada
semua siklus kehidupan, mulai dari upacara kehamilan dan
kelahiran hingga perkawinan dan kematian. Dengan demikian
slametan menjadi sarana yang menampung berbagai maksud
dan tujuan, mulai dari pernyataan rasa syukur hingga
permohonan perlindungan agar terhindar dari berbagai
musibah, semuanya ditampilkan dalam bentuk slametan.
B. Agama dan Budaya
Agama dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Sansakerta yang berarti tidak pergi, tetap di tempat, atau
diwarisi turun temurun.4 Dalam kamus bahasa Indonesia
dijelaskan bahwa agama adalah suatu keprcayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta ajaran dan kewajiban yang berhubungan
dengan kepercyaan tersebut. Beragama artinya memeluk atau
menjalankan suatu agama sesuai dengan kepercayaannya itu.5
Dalam bahasa Arab agama disebut al-dien, kata kerjanya dana 4 Lihat : H.A.Hafizh Anshari AZ, dkk , Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1999), jld 1, hlm. 63
5
yadinu yang artinya kebiasaan atau prilaku, tunduk, patuh dan
taat.6 Dengan demikian agama atau al-dien merupakan suatu
kebiasaan atau peraturan yang dipatuhi atau ditaati oleh
pemeluknya, baik dalam bentuk perintah yang wajib
dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan.
Kata “Islam” secara leteral berasal dari kata aslama
yuslimu islaman yang artinya selamat, aman, tenteram dan
damai; Atau bisa juga diartikan tunduk, patuh dan pasrah,7
dalam hal ini tunduk, patuh dan pasrah kepada Allah SWT
Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, Islam dijadikan nama
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk mengatur
dan menyelamatkan umat manusia baik dalam urusan dunia
maupun akhirat. Sejak awal penciptaan manusia Allah SWT
telah menurunkan agama yang dibawa oleh seorang nabi dan
rasul sebagai pedoman agar manusia mengetahui mana yang
baik dan mana yang buruk serta mana yang hak dan mana yang
batil. Hal itu berlangsung dari masa ke masa hingga datangnya
Nabi Muhammad SAW, nabi dan rasul terakhir yang membawa
syariat untuk seluruh umat manusia dan berlaku sepanjang
masa.
Unsur-unsur agama secara umum meliputi, pertama
adanya kekuatan ghaib; manusia menyadari bahwa dirinya
adalah makhluk yang lemah sehingga berhajat pada kekuatan
yang ghaib itu sebagai tempat untuk memohon pertolongan.
Kedua adanya keyakinan bahwa kesejahteran hidup di dunia dan
kebahagian di akhirat tergantung pada hubungan baik antara
manusia dengan kekuatan yang ghaib tersebut. Ketiga adanya
respon yang bersifat emosional dalam bentuk perasaan takut
5 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ( Jakarta, Balai Pustaka, 1976), hlm. 18-19
6 Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, (Bairut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Tt.), jld.4, hlm. 460-4617 Ibid, jld.6, hlm. 345-347
6
dan perasaan cinta yang selanjutnya mengambil bentuk
pemujaan atau penyembahan serta tata hidup tertentu yang
berlaku dalam pergaulan bermasyarakat. Keempat adanya
paham yang kudus (the sacred) atau yang suci, seperti kitab
suci, tempat suci, perbuatan suci (ibadah) dan sebagainya.8
Para ahli mengelompokan agama kedalam agama samawi
(refealed religions) dan agama wadh’ie (natural religions).
Agama samawi adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk
menjadi petunjuk bagi manusia. Yang tergolong agama samawi
adalah agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam.
Sedangkan agama wadh’ie adalah agama yang timbul di antara
manusia dan lingkungan dimana mereka hidup. Yang tergolong
agama wadh’ie antara lain agama Hindu, agama Budha, agama
Kong Hu Cu, dan agama Shinto. Ada pula yang
mengelompokkan agama menurut negara atau benua asalnya,
seperti agama Mesir kuno, agama Yunani kuno, agama Romawi
kuno, agama Persia, agama India, agama China, agama Jepang
dan agama Arab (Semitik-Abrahamik).9 Masing-masing agama
tersebut, baik agama samawi maupun agama wadh’ie dalam
perkembangannya mengalami perpecahan internal sehingga
melahirkan sekte-sekte atau madzhab-madzhab yang banyak
jumlahnya dan sulit untuk dipersatukan karena masing-masing
sekte atau madzhab mengklaim bahwa hanya sekte atau
madzhabnya itu yang benar sementara yang lainnya tidak benar.
Sedangkan kata “budaya” artinya akal budi atau pikiran,
kebudayaan berarti hasil penciptaan akal budi manusia yang
meliputi kepercayaan, kesenian, adat istiadat dan sebagainya.10
8 Lihat : H.A.Hafizh Anshari AZ, dkk , Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jld 1, hlm. 63
9 Ibid, hlm. 63-6410 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1976),
hlm. 157
7
Dengan demikian budaya dan kebudayaan selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Sementara
adat artinya suatu peraturan atau perbuatan yang lazim diturut
atau dilakukan oleh masyarakat turun temurun. Dengan kata
lain, adat adalah suatu cara atau kelakuan atau kepercayaan
dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat.11
Adat disebut juga tradisi, berasal dari bahasa Inggeris
“tradition” artinya suatu kebiasaan atau ajaran atau
kepercayaan dan sebagainya yang diterima dari nenek moyang
turun temurun.12 Dengan demikian, ungkapan kalimat
“masyarakat tardisional” berarti masyarakat yang berpegang
teguh pada pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, upacara
dan sebagainya yang dipraktekkan turun temurun.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa adat dan budaya
merupakan tatanan yang hidup dan berkembang dalam
pergaulan masyarakat. Koentjoroningrat menjelaskan bahwa
adat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan
yang dapat berperan sebagai penggerak untuk menumbuhkan
kesadaran masyarakat akan arti pentingnya hidup berkelompok
serta sebagai pendorong kerjasama agar suatu tujuan dapat
tercapai.”13 Soerdjono Soekanto juga mengatakan bahwa adat
merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang
menunjukkan adanya unsur-unsur yang mengatur tingkah laku
anggota masyarakat.14 Artinya adat atau tradisi baik sebagai
bagian dari kebudayaan maupun sebagai lembaga
kemasyarakatan selalu dijumpai dalam kehidupan masyarakat
dimana anggotanya terikat dengan norma-norma bertingkah
11 Ibid, hlm. 1512 Ibid, hlm. 108813 Rusdi Mukhtar, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia 1, hlm. 17514 Ibid
8
laku, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan
bermasyarakat serta menjadi pegangan dalam sistem
pengendalian sosial.
C. Peran Agama dan Budaya
Agama adalah bagian terpenting dari kehidupan manusia
karena agama selain sebagai sistem kepercayaan yang
meluruskan tauhid juga merupakan sistem hukum dan sistem
moral yang mengatur kehidupan manusia. Tanpa agama
manusia bagaikan hidup di hutan belantara yang berlaku hukum
rimba dan saling menindas. Selain itu, agama merupakan bagian
inheren dari manusia yang dibawanya semenjak lahir sehingga
sepanjang sejarahnya manusia selalu menganut suatu agama.
Buktinya seperti telah dikemukakan di atas bahwa manusia
menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang lemah, oleh
karena itu ia mencari-cari kekuatan yang absolut sebagai
tempat untuk memohon dan tempat untuk berlindung atas
kelemahannya itu. Menurut Wiliam James, selama manusia
memiliki naluri cemas dan harap, maka selama itu pula ia
beragama.15 Dengan demikian manusia sekalipun masih primitif
selalu melakukan ritual yang ditampilkan dengan berbagai
bentuk upacara dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
kekuatan yang absolut tersebut. Dalam Islam, kecenderungan
seseorang untuk menganut agama disebut fithrah. Allah
menjelaskan fithrah dan hubungannya dengan manusia dalam
QS Ar-Rum, 30 : 30 sebagai berikut :
15 Rusdi Mukhtar, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia 1, hlm. 175
9
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui; Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah; Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya itu.
Wahbah Zuhailie dalam Al-Tafsir al-Munir memberikan
komentar bahwa fithrah adalah bagian inheren dari manusia
yang berupa kecenderungan untuk menyembah Allah,
kecenderungan menerima kebenaran dan kecenderungan
menjalankannya. Sedangkan Islam adalah agama yang lurus
yang tidak mengubah fitrah dari asal kejadiannya dimana
manusia diperintah untuk mengikutinya. Selanjutnya Allah
mengintruksi manusia agar selalu menjaga fitrah dengan
kesadaran bertaubat, kesadaran bertakwa, merasa cemas dan
harap, mendirikan shalat karena Allah semata-mata dan tidak
menyekutukan-Nya. Pada bagian akhir Allah mengingatkan agar
manusia berhati-hati terhadap penyimpangan agama yang
mengakibatkan konflik internal karena masing-masing golongan
merasa paling benar sementara yang lainnya dianggap salah
dan sesat.16
Uraian tersebut menggambarkan hubungan antara
agama dan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Manusia
semenjak dilahirkan telah memiliki naluri beragama. Apabila
dalam perjalanan hidupnya ternyata meninggalkan agama, maka
hal itu disebabkan karena pengaruh lingkungan yang tidak
16 Lihat : Wahbah Zuhailie, Al-Tafsir al-Munir fie al-Aqidah, wa al-Syai’ah wa al-Manhaj (Bairut, Dar al-Fikr al-Mu’ashir, Tt.), juz 21, hlm. 81-85
10
kondusif. Manusia membutuhkan agama untuk membimbing dan
mengarahkan hidupnya, terutama dalam menjawab persoalan-
persoalan yang rumit dan sulit untuk dipecahkan, seperti
mengubah rasa cemas menjadi harap, mengubah rasa kecewa
menjadi tawakkal dan mengubah rasa putus asa menjadi sabar.
Menanamkan keyakinan keberagamaan bahwa Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa selalu melindungi dan memberikan kasih sayang
serta memenuhi harapan hamba-hamba-Nya yang meminta
merupakan unsur terpenting dalam mempertahankan
kelangsungan hidup manusia. Tanpa keyakinan tersebut dapat
dipastikan manusia akan mudah frustasi dan akhirnya menjadi
binasa. Secara psikologis, agama merupakan kebutuhan
manusia yang paling mendasar, baik dalam berinteraksi dengan
dirinya maupun berinteraksi dengan lingkungannya.17 Manusia
adalah makhluk sosial yang paling banyak membutuhkan
hubungan dengan pihak lain. Dalam hal ini, agama diperlukan
untuk membimbing dan mengarahkan tentang bagaimana
seharusnya manusia bersikap dan bertingkah laku dengan
lingkungannya agar dapat menjalani kehidupan berkelompok
dan bermasyarakat yang tertib dan teratur. Sedangkan budaya
memiliki peranan sebagai ciri bagi suatu masyarakat.
Masyarakat Arab, masyarakat Indonesia dan masyarakat lainnya
memiliki ciri yang berbeda sehubungan dengan tradisi dan
budaya yang dimiliki masing-masing.
Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat dan
kebiasaan yang diterima oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kompleksitas kebudayaan tampak pada perangkat
peraturan atau norma yang dimiliki oleh anggota masyarakat.
Aturan atau norma tersebut melahirkan perilaku yang oleh para 17 Lihat : Rusdi Mukhtar, dalam Harmonisasi Agama, hlm. 175
11
anggotanya dipandang layak atau patut dan dapat diterima,
sementara yang lainnya tertolak.18 Manusia dalam hidupnya
tidak akan terlepas dari hubungan dengan individu-individu
yang ada disekitarnya, karena manusia adalah makhluk sosial
yang selalu membutuhkan kehadiran orang lain. Hubungan
manusia dengan yang lainnya diatur dengan suatu norma atau
suatu aturan yang dibuat dan disepakati serta dilaksanakan
bersama untuk melindungi kepentingan masing-masing. Norma
atau aturan tersebut bersifat mengikat masing-masing individu
yang menjadi bagian dari kelompoknya. Norma yang terbentuk
dan berkembang di suatu masyarakat memunculkan sanksi-
sanksi yang memaksa masing-masing individu untuk
mentaatinya. Norma yang mengatur cara individu bersikap dan
bertingkah laku tersebut disebut tradisi sehingga tradisi
merupakan cara individu bersikap sesuai dengan norma yang
dianut oleh masyarakatnya. Cara bersikap dan bertingkah laku
yang demikian didasarkan atas pengalaman yang dimiliki oleh
masyarakat sendiri, bukan atas dasar pengalaman yang diambil
dari luar.19
Radcliff-Brown mengatakan bahwa masyarakat bukanlah
organisme, oleh karena itu masyarakat tidak mengenal berhenti
atau mati. Dengan demikian norma yang mengikat manusia
dalam masyarakat akan terus hidup dan berkembang, tidak
akan berhenti atau mati. Norma sebagai aturan untuk bertindak
dan bertingkah laku itu bersifat khusus dan perumusannya
bersifat rinci, jelas dan tegas sehingga dapat ditaati oleh
anggota masyarakat dalam menjalankan interaksi sosialnya.20
Manusia yang sifatnya selalu berubah dapat mendorong budaya
18 Hattama Rosid dkk, dalam Harmonisasi Agama dan Budaya, jld.1, hlm. 370-37119 Ibdid, hlm. 37120 Ibid
12
yang melingkupinya ikut berubah. Hal ini didasarkan pada
manusia yang sifatnya tidak pernah puas dengan apa yang telah
diperoleh sehingga selalu berupaya untuk melakukan
pembaharuan-pembaharuan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Fungsi utama dari kebudayaan adalah untuk menjaga
dan memelihara ketertiban masyarakat. Perubahan budaya
bukanlah semata-mata karena penemuan, tetapi juga karena
mengadaptasi lingkungan. Adapun mengenai mekanisme
perubahan, maka diantaranya ialah melalui diffusi, yaitu
memasukkan budaya baru yang berasal dari kebudayaan lain
kedalam kebudayaan yang telah ada. Bentuk modifikasi lainnya
adalah substitusi, yaitu pergantian salah satu unsur yang ada
oleh sesuatu yang lain yang mengambil alih fungsi dengan
hanya sedikit menimbulkan perubahan struktural sehingga
bentuk perubahannya hanya terbatas pada permukaan saja
(empiris). Perubahan substitusi ini dapat terjadi diantara unsur-
unsur yang berada dalam satu sistem budaya. Unsur yang dinilai
tidak menguntungkan masyarakat akan digantikan oleh unsur
lain yang berasal dari budaya sendiri.21
D. PENUTUP
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa agama dan
budaya memiliki kaitan yang erat dan keduanya berfungsi untuk
membimbing dan mengarahkan manusia agar dapat menjalani
kehidupan yang tertib dan teratur. Durkheim, seperti dikutif
Cucu Nurhayati, menjelaskan tentang adanya keterkaitan antara
agama dan masyarakat. Menurut pandangannya yang membagi
masyarakat kedalam kelompok mekanik dan organik,
memasukan agama sebagai faktor yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Durkheim mengakui adanya perbedaan 21 Ibid, hlm. 372-373
13
pemaknaan dan pengamalan agama antara masyarakat
tradisional dan masyarakat modern, akan tetapi tidak berarti
masyarakat modern menafikan peranan agama. Agama bagi
masyarakat tradisional dipahami dalam bentuk totemisme
(penyembah berhala) yang terkait dengan organisasi ke-suku-
an, sedangkan pada masyarakat modern, agama merupakan
pemahaman ketuhanan seseorang yang berupa monotheisme
(faham satu tuhan) maupun berupa polytheisme (faham banyak
tuhan).22 Namun pemaknaan dan pengamalan agama itu bukan
hanya dapat mewujudkan kehidupan yang tertib dan teratur,
melainkan juga mendorong untuk bekerja dan berkarya lebih
produktif, karena dengan beragama masyarakat meyakini
tentang kesuksesan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat
harus diraih dengan bekerja keras dan beramal saleh.
DAFTAR ISI
A. PENDAHULUAN 1
B. PENGERTIAN AGAMA DAN BUDAYA
5
C. HARMONISASI AGAMA DAN BUDAYA
8
22 Lihat : Cucu Nurhayati, dalam Jurnal Bimas Islam (Jakarta, Kemenag, 2010), vol.3, no.1, hlm.69
14
D. PENUTUP 12
15