31
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005). Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit, dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut. Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan juga mengandung banyak humus. Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan. Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase generatif, yaitu sebesar 51.4 % (Lampiran 1). Faktor air tidak menjadi pembatas

HASIL DAN PEMBAHASAN · Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit, dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation rendah

Embed Size (px)

Citation preview

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga

Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis

tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005).

Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah

latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia

yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit,

dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation

rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya

proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut.

Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah

yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan

sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih

dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat

masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar

Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat

kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan

juga mengandung banyak humus.

Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai

Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya

yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu

rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini

menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu

optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan

yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh

kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan.

Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase

generatif, yaitu sebesar 51.4 % (Lampiran 1). Faktor air tidak menjadi pembatas

21

dalam penelitian ini, kebutuhan air tercukupi, sehingga pertumbuhan vegetatif

optimal. Memasuki fase generatif (7-8 MST) curah hujan menurun, sehingga

kerontokan bunga diduga berkurang, selain itu fotosintesis juga lebih optimal

pada saat pengisian polong.

Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar

matahari (b), dan kecepatan angin (c)

Curah hujan pada musim tanam pertama lebih rendah dibandingkan

dengan musim tanam ke dua terutama pada awal pertanaman dan air tidak

0

50

100

150

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Cura

h h

uja

n (

mm

)

MST

MT 1 (10 April-16 Juli

2010

MT 2 (31 Oktober 2010-

29 Januari 2011)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Inte

nsi

ras

Mat

ahar

i

(Cal

/cm

2/m

enit

)

MST

MT 1 (10 April-16 Juli 2010)

MT 2 (31 Oktober 2010-29

Januari 2011)

0

10

20

30

40

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kec

epat

an a

ng

in

(km

/jam

)

MST

MT 1 (10 April-16 Juli 2010)

MT 2 (31 Oktober 2010-29

Januari 2011)

Tingkat curah hujan (a)

Tingkat intensitas matahari (b)

Kecepatan angin (c)

22

menjadi faktor pembatas selama pertumbuhan kedelai pada percobaan (musim

tanam 2) (Gambar 1 a). Hal tersebut dikarenakan curah hujan merata tiap MST,

kecuali 1 MST yang berpengaruh pada daya tumbuh. Curah hujan pada penelitian

ini cukup memadai, karena berdasarkan Van Doren and Recosky (1987) dalam

Sumarno dan Manshuri (2007), kebutuhan air pada kedelai yang dipanen umur

100-190 hari yaitu 4.5 mm per hari atau sekitar 31.5 mm per MST. Lampiran 1

menunjukkan bahwa rata-rata kondisi curah hujan pada tiap MST lebih dari 31.5

mm per MST sehingga air sebagai salah satu syarat tumbuh pertumbuhan kedelai

pada penelitian ini terpenuhi.

Air menjadi faktor pembatas daya tumbuh kedelai pada 1 MST yang hanya

sebesar 64 %. Hal tersebut ditunjukkan pada Lampiran 1, curah hujan pada satu

MST lebih rendah dibandingkan waktu-waktu lainnya, karena terhambatnya

proses imbibisi benih, maka daya kecambah kedelai rendah. Selain itu, adanya

serangan cendawan Asperigullus flavus yang menyebabkan benih busuk atau mati.

Daya tumbuh kedelai mengalami peningkatan menjadi 94% setelah dilakukan

penyulaman. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi ketersediaan air

tercukupi karena adanya kenaikan intensitas curah hujan pada 2 MST

(Gambar 1a).

Masa mulai berbunga pada penelitian ini mengalami kemunduran 1 MST

dibandingkan Andriyani (2005) dan 2 MST jika dibandingkan Kurniasih (2006),

sehingga masa panen pada penelitian ini juga mengalami kemunduran satu

minggu lebih lama (13 MST) jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Andriyani (2005). Kemunduran masa panen tersebut diduga karena

perbedaan kondisi cuaca. Curah hujan pada percobaan ini lebih tinggi daripada

saat percobaan Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), sehingga pertumbuhan

vegetatif tanaman lebih baik dan memasuki fase generatif lebih lambat. Sebagai

akibatnya, umur panen juga lebih panjang dibandingkan kedua penelitian tersebut.

Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan

penyinaran matahari secara penuh. Faktor yang mempengaruhi efisiensi

penerimaan dan pemanfaatan energi sinar matahari, antara lain total luasan daun,

kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2

di udara, dan intersepsi radiasi-fotosintesis aktif (Sumarno dan Manshuri, 2007).

23

Tingkat intensitas matahari pada musim tanam (MT) 1 lebih tinggi dibandingkan

MT 2 (Gambar 1b). Intensitas matahari pada fase vegetatif MT 1 lebih tinggi

20.05 % dibandingkan MT 2, dan 7.69 % pada fase generatif lebih besar daripada

MT 2.

Tingkat kecepatan angin pada musim tanam (MT) 2 lebih tinggi

dibandingkan musim tanam 1. Kondisi ini menyebabkan varietas kedelai, baik

Wilis maupun Anjasmoro mengalami rebah. Tingkat kecepatan angin mulai

meningkat pada 7-12 MST (Gambar 1c). Masa-masa tersebut (7 MST) morfologi

kedelai memasuki fase generatif, sehingga faktor kerebahan diduga berdampak

pada penghambatan pembungaan serta penyebab terjadinya etiolasi.

Organisme penggangu tanaman merupakan faktor biotik yang

mempengaruhi produksi kedelai. Jenis hama yang menggangu selama

pertumbuhan kedelai, antara lain ulat api (Setora nitens), lalat pucuk

(Melanagromiza dolicostigma), belalang (Valanga sp. dan Nympahea sp.), kepik

polong (Riptortus linearis), dan rayap (Macrotermes gilvus). Jenis penyakit yang

menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun. Organisme

pengganggu tanaman, jenis gulma yang dominan yaitu teki dan gulma daun lebar.

Kandungan Hara pada Pupuk Organik (Centrosema pubescens, pupuk

kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)

Analisis kandungan hara makro dan mikro dilakukan pada tiga jenis pupuk

organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)

yang digunakan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan C, N, P dari Tithonia

diversifolia tertinggi di antara dua jenis pupuk organik lainnya, yaitu 54.88; 3.64;

0.34 %. Dibandingkan dengan pupuk kandang ayam, kandungan hara C dari

Tithonia diversifolia lebih besar 143.6 %. Hara N dan P Tithonia diversifolia juga

lebih besar berturut-turut 766.7 dan 61.9 % dibandingkan pupuk kandang ayam.

Hal yang berbeda pada unsur hara K, pupuk kandang ayam lebih tinggi sebesar

23.08 % dan 14.29 % dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia

diversifolia.

24

Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik

(Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia

diversifolia)

Perlakuan C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn

...............................(%)...................... ..........................ppm..................

Centrosema

pubescens

54.19 2.97 0.33 0.52 0.64 0.28 1 729.15 42.02 32.95 135.70

Pupuk

kandang

ayam

22.53 0.42 0.21 0.64 0.87 0.21 5 119.10 365.12 2.90 52.70

Tithonia

diversifolia

54.88 3.64 0.34 0.56 0.70 0.32 1 622.15 33.26 47.75 141.05

Proses Pengomposan Pupuk Organik

Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan

yang menyerupai humus (C/N mendekati 10). Faktor yang mempengaruhi

pengomposan, antara lain kelembaban, sirkulasi udara, penghalusan dan

pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu (Sutanto, 2002). Temperatur

dan curah hujan (Lampiran 1) selama satu bulan (Oktober) cukup mendukung

proses dekomposisi dengan metode penimbunan, yaitu berturut-turut 23.51 ºC dan

18.39 mm/hari. Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pH tanah sebagai syarat

optimum dekomposisi yaitu 5.0-8.0, sehinggga pH 6.57 (pada tanah penelitian)

masih dalam rentang tersebut. Adanya proses pencacahan pada bahan pupuk hijau

(Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) menunjang untuk mempercepat

proses pengomposan.

Dilihat dari nisbah C/N, Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam,

Tithonia diversifolia, masing-masing 18.25, 53.64, dan 15.08 (Tabel 4). Nisbah

C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan

organik (Indranada, 1989). Nisbah C/N dari bahan kompos yang optimal yaitu

20-35. Pupuk kandang ayam yang digunakan untuk bahan dasar kompos memiliki

nisbah C/N besar, yaitu 53.64. Nisbah C/N pupuk kandang ayam ini tergolong

lebih tinggi dibandingkan Hartatik dan Widowati (2005), perbedaannya mencapai

387.6 %. Perbedaan yang signifikan tersebut diduga karena faktor sejarah pupuk

Jenis Pupuk Organik Nisbah C/N

Centrosema pubescens 18.25

Pupuk kandang ayam 53.64

Tithonia diversifolia 15.08

25

kandang ayam yang digunakan. Bahan pupuk kandang ayam yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan pupuk organik tersimpan di gudang kebun sejak

musim tanam pertama, sehingga diduga N dalam pupuk kandang ayam berkurang

karena penguapan atau melalui denitrifikasi. Dugaan tersebut ditunjang oleh

penjelasan Soepardi (1983) bahwa adanya pelapukan aerob dan anaerob

menyebabkan kehilangan nitrogen yang cepat dalam bentuk amonia, nitrat, dan

gas nitrogen. Tidak adanya kegiatan preventif untuk mengurangi kehilangan

nitrogen dengan cara memadatkan dan membasahkan diduga mempengaruhi

kehilangan N secara cepat. Hal tersebut ditunjang dengan data analisis kandungan

hara makro pada penelitian musim pertama yang dilakukan oleh Kurniansyah

(2010) bahwa kadar N pupuk kandang mencapai 1.14 % atau lebih besar 171.4 %

dibandingkan musim tanam kedua (penelitian ini). Nisbah C/N yang tinggi pada

pupuk kandang ayam dalam penelitian ini mungkin tidak diartikan terjadinya

penghambatan proses dekomposisi tetapi karena terbatasnya jumlah nitrogen.

Sumbangan Hara Potensial

Sumbangan hara potensial didapatkan dari perhitungan perkalian antara

sumber hara dari kadar unsur hara makro (%) tiga jenis pupuk organik (Tabel 4)

dan bobot kering dan jumlah dosis pupuk organik yang digunakan (ton/ha). Hasil

tersebut merupakan dugaan karena adanya pengaruh faktor lingkungan berupa

pencucian dan denitrifikasi yang mempengaruhi kandungan hara sumbangan

potensial.

Tabel 5 menunjukkan bahwa sumbangan hara P dan K potensial tertinggi

yaitu dari perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam sebesar 9.03 kg/ha

dan 27.52 kg/ha. Unsur P ini lebih besar 31.3 % dibandingkan Centrosema

pubescens dan 33.6 % dari Tithonia diversifolia. Kandungan K pada sumbangan

hara potensial pupuk kandang ayam juga lebih besar 57.3 dan 57.6 % berturut-

turut dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hal yang

sebaliknya terjadi pada kandungan unsur N, pupuk kandang ayam memiliki hara

N nilai terendah dibandingkan perlakuan 1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton

pupuk kandang ayam dan 1.75 ton Tithonia diversifolia + 5 ton pupuk kandang

ayam yang masing-masingnya 30.34 kg/ha dan 33.11 kg/ha. Dua jenis pupuk di

26

atas lebih besar berturut-turut 67.99 dan 83.33 % dibandingkan pupuk kandang

ayam.

Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per hektar

Pupuk Kandungan Hara (kg)

N P K

1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam 30.34 6.88 17.49

10 ton Pupuk kandang ayam 18.06 9.03 27.52

1.75 ton Tithonia diversifolia +5 ton pupuk kandang ayam 33.11 6.76 17.46

Kandungan Hara dari Analisis Tanah sebelum Tanam

Analisis tanah bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif

dijabarkan dengan variable dan kuantitatif melalui angka (Notohadiprawiro,

2006). Berdasarkan hasil analisis tanah awal penelitian dapat diketahui bahwa pH

tanah netral agak masam, yaitu 6.57.

Kandungan hara makro dan mikro dalam analisis tanah nilainya beragam

dan pada umumnya sedang. Berdasarkan rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil

analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), kandungan C-

organik tergolong sedang (2.74 %). Balittan (2006) menambahkan nilai C-organik

tersebut cukup memenuhi syarat tanah guna memperoleh produktivitas yang

optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.

Nilai P sebesar 58.40 ppm dan unsur makro lainnya, antara lain Ca, Mg,

K, Na, masing-masing 8.93; 4.01; 0.53; 0.98 me/100g. Berdasarkan rentang

klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat (1994) (Lampiran 3), nilai Ca dan Mg tersebut tergolong sedang,

unsur K rendah sedangkan Na termasuk tinggi. Kadar mikro Fe, Cu, Zn, Mn

berturut-turut 19.78; 0.59; 3.13; 11.86 ppm (Tabel 3). Berdasarkan Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), diantara unsur mikro

tersebut masih dalam rentang cukup.

29

Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perbandingan kandungan hara musim tanam dua dengan musim tanam satu bertujuan untuk mengetahui status hara tanah

setelah adanya aplikasi pupuk organik pada masing-masingnya (Tabel 6).

Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2

Perlakuan C-org N-Tot P (Bray I) Ca Mg K Na Fe Cu Zn Mn

.............%.............. ppm .....................me/100g...................... ............................ppm.............................

Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Pertama

CA 1.57 (R) 0.15 (R) 11.57 (R) 11.67 2.61 0.91(R) 0.63 1.24 0.35 0.24 10.76

CW 1.81 0.18 10.57 12.63 3.05 0.83 0.56 1.34 0.40 0.29 13.65

PA 1.75 (R) 0.16 (R) 9.60 (R) 15.54 2.55 0.88(R) 0.58 1.32 0.35 0.19 9.20

PW 1.81 0.17 17.40 16.21 1.02 0.80 1.28 0.32 0.07 6.76 10.8

TA 1.83 (R) 0.17 (R) 10.60 (R) 14.37 2.59 0.92(R) 0.64 1.31 0.35 0.12 7.95

TW 2.02 0.20 13.23 14.67 2.74 0.79 0.65 1.32 0.32 0.04 8.07

Hasil Analisis Hara sebelum Tanam MT 2 (setelah Aplikasi Pupuk Organik)

CA 1.83(S) 0.17(S) 77.0(T) 9.10 4.08 0.42(R) 0.65 17.82 0.64 4.36 15.20

CW 2.71 0.26 38.9 9.56 4.88 0.53 0.94 21.76 0.59 4.12 13.70

PA 2.87(S) 0.26(S) 82.7 9.12 4.37 0.73(R) 1.34 17.60 0.56 1.40 6.80

PW 2.79 0.25 81.4 10.36 4.92 0.63 1.29 17.60 0.64 1.52 10.80

TA 2.15(S) 0.21(S) 30.4 8.22 3.14 0.41(R) 0.73 20.10 0.62 5.38 18.90

TW 2.95 0.25 51.5 8.74 3.92 0.46 0.81 23.38 0.62 4.92 16.80

Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Kedua

CA 2.07(R) 0.18(R) 8.70(R) 6.60 2.73 0.98(R) 1.01 0.56 0.08 1.95 32.65

CW 2.00 0.18 9.00 7.33 2.60 0.99 1.04 0.67 0.12 2.51 57.96

PA 2.39(S) 0.22(S) 17.90(R) 7.36 2.61 1.20(S) 1.14 0.55 0.09 0.67 86.51

PW 2.31 0.22 11.40 7.09 2.31 1.11 1.07 0.60 0.23 0.49 90.32

TA 2.07(R) 0.19(R) 8.10(R) 6.47 1.73 1.19(S) 1.04 0.90 0.06 5.61 67.05

TW 1.44 0.15 7.30 7.41 2.86 0.93 1.02 1.09 0.08 0.01 0.40

Keterangan : CA (Centrosema pubescens + Varietas Anjasmoro) TA (Tithonia diversifolia +Varietas Anjasmoro)

CW (Centrosema pubescens + Varietas Wilis) TW (Tithonia diversifolia +Varietas Wilis)

PA (Pupuk kandang ayam + Varietas Anjasmoro) PW (Pupuk kandang ayam + Varietas Wilis)

(R) = rendah; (S) = sedang; (ST) = sangat tinggi; Sumber : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994)

27

28

Unsur hara makro (C-org, N, P, Mg) umumya mengalami kenaikan dalam

tanah yang mendapat Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia

diversifolia (Tabel 6). Hal yang sama juga dilaporkan Kariada dan Aribawa

(2004) bahwa adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik

tanah.

Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar N musim tanam 2 pada lahan yang

mendapat pupuk kandang ayam lebih tinggi 18.18 % dibandingkan yang

mendapatkan Centrosema pubescens, dan lebih besar 13.04 % daripada dengan

Tithonia diversifolia. Kadar N tanah mengalami peningkatan setelah aplikasi

pupuk organik. Peningkatan kadar N tertinggi yaitu pada tanah dengan pemberian

jenis pupuk kandang ayam. Hakim et al. (1986) dalam Kariada dan Aribawa

(2004) mengemukakan bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan

senyawa yang mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat, dan gas

nitrogen. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Hairunsyah (1991),

Raihan dan Nurtirtayani (2001) dalam Kariada dan Aribawa (2009) yang

melaporkan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan

pemberian pupuk organik.

Kandungan P meningkat tajam selama proses dekomposisi. Peningkatan

ketersediaan P tanah disebabkan oleh penguraian mikrobiologis dari pupuk

organik yang diberikan oleh mikroba tanah yang melibatkan proses enzimatik,

dimana P organik akan dibebaskan menjadi fosfat anorganik sehingga tersedia

dalam tanah (Hairunsyah, 1991; Raihan dan Nurtirtayani, 2001 dalam Kariada

dan Aribawa, 2004). Kadar P tersedia dalam tanah yang diberi pupuk kandang

ayam lebih tinggi 57.18 % dibandingkan Centrosema pubescens dan 100.37 %

daripada Tithonia diversifolia.

Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kandungan N pada pupuk kandang

ayam kontinyu tersedia selama periode pertumbuhan kedelai, hal tersebut terlihat

dari residu hara setelah panen MT 1 yang tidak berbeda jauh dari data analisis

tanah setelah aplikasi. Pupuk kandang ayam memiliki jumlah kandungan hara N

tersisa ditanah (analisis setelah panen MT 2) lebih tinggi sebesar 22.2 dan 29.4 %

berturut-turut dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan Tithonia

diversifolia. Pelepasan hara N dari pupuk kandang ayam bertahap dalam masanya,

29

sehingga menekan kehilangan N melalui penguapan, pencucian, maupun

denitrifikasi. Hal tersebut mengindikasikan sumbangan hara (residu) relatif

banyak untuk musim tanam berikutnya.

Data pada Tabel 6 menunjukkan residu P dan K terbanyak dari musim

tanam sebelumnya yaitu berasal dari pupuk kandang ayam. Tanah dengan

perlakuan pupuk kandang memiliki kandungan hara P lebih tinggi 65.5 %

dibandingkan perlakuan C. pubescens dan 90.3 % daripada tanah yang mendapat

T. diversifolia. Selain itu residu K dari penambahan pupuk kandang ayam juga

lebih tinggi berturut-turut 17.8 dan 9.4 % dibandingkan C. pubescens dan

T. diversifolia. Hal tersebut mengindikatorkan bahwa K dan P dari pupuk kandang

ayam terdekomposisi hingga tersedia secara bertahap dalam tiap musim

tanamnya.

Fase Vegetatif dan Generatif

Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh

banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh. Fase

berakhir jika fase generatif dimulai, yaitu dengan munculnya bunga dan diakhiri

jika 95 % polong telah matang (Fehr dan Caviness, 1977 dalam Adie dan

Krisnawati 2007). Fase perkecambahan kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro

dimulai 3-4 Hari Setelah Tanam (HST). Fase generatif, mulai saat berbunga pada

7 Minggu Setelah Tanam (MST). Selanjutnya pembentukan polong terjadi

pada 7-8 MST, polong terisi penuh pada 10-11 MST dan mengeras pada 12-13

MST. Umur tanaman tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,

terjadi kemunduran waktu lebih lama ± 1-2 minggu. Perbedaan waktu diduga

karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan dan temperatur).

Fase generatif penelitian kali ini masuk dalam musim penghujan, dengan

intensitas curah hujan tinggi (39.33 mm/MST atau 275.13 mm/bulan), intensitas

matahari (1716.5 cal/cm2/menit

2) dan suhu rendah (24.85 ºC) (Lampiran 1).

Kondisi tersebut tergolong optimal menunjang fase generatif. Hal tersebut sesuai

dengan Irwan (2006) yang melaporkan bahwa suhu optimal pembungaan

yaitu 24-25

ºC. Sumarno dan Manshuri (2007) juga menyebutkan bahwa

intensitas curah hujan optimum untuk tumbuh yaitu 200-300 mm/musim tanam.

30

Hasil

Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi jenis pupuk organik dengan

varietas tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif maupun generatif.

Jenis pupuk organik umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap komponen

vegetatif dan generatif, bobot basah bintil akar, jumlah buku produktif, dan

jumlah cabang. Varietas umumnya berbeda nyata pada komponen vegetatif dan

generatif.

Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan

Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik serta

Varietas

Peubah

Perlakuan

Umur

(MST)

Pupuk

(P)

Varietas

(V)

P*V KK

(%)

A. Vegetatif

Tinggi (cm) 2 tn ** tn 7.31

3 tn ** tn 12.02

4 tn * tn 10.04

5 tn ** tn 4.89

6 tn ** tn 5.46

7 tn * tn 5.56

8 tn tn tn 4.53

Jumlah Daun 2 tn tn tn 8.78

3 tn tn tn 6.35

4 tn tn tn 8.66

5 tn tn tn 13.56

6 tn tn tn 19.1

7 tn tn tn 10.76

8 tn tn tn 11.67

Bobot basah batang (g) 7 tn tn tn 15.27

Bobot basah daun (g) 7 tn * tn 18.69

Bobot basah akar (g) 7 tn * tn 22.12

Bobot basah bintil akar (g) 7 * ** tn 18.31

Bobot kering batang (g) 7 tn tn tn 10.24

Bobot kering daun (g) 7 tn * tn 21.93

Bobot kering bintil akar (g) 7 tn * tn 29.20

Bobot kering akar (g) 7 tn * tn 13.62

Kadar N daun (%) 7 tn tn tn 7.14

Kadar P daun (%) 7 tn tn tn 1.98

Kadar K daun (%) 7 ** ** tn 7.49

Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn * tn 23.72

Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn * tn 21.96

Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn ** tn 24.86

Serapan N tajuk (g/tanaman) 7 tn tn tn 10.69

31

Peubah

Perlakuan

Umur

(MST)

Pupuk

(P)

Varietas

(V)

P*V KK

(%)

Serapan P tajuk (g/tanaman) 7 tn tn tn 10.02

Serapan K tajuk (g/tanaman) 7 tn ** tn 12.89

b. Komponen Produktif

Jumlah cabang/ tanaman * ** tn 11.52

Bobot tajuk tanaman contoh (g) tn tn tn 24.92

Jumlah tanaman petak bersih /4.32 m2 tn tn tn 24.97

Jumlah tanaman petak pinggir/ 2.88 m2 tn tn tn 17.35

Jumlah polong isi/ tanaman ** ** tn 7.5

Jumlah polong hampa/ tanaman tn tn tn 27.39(xx)

Bobot 100 biji (g) tn ** tn 5.44

BK biji tanaman contoh (g) tn tn tn 21.59

BK biji pada petak bersih (g/4.32 m2) tn * tn 12.16

BK biji pada petak pinggir (g/2.88 m2) * tn * 8.79

Potensi produksi (ton/ha) tn ** tn 12.17

Kadar N pada biji kering (%) tn tn tn 9.49

Kadar P pada biji kering (%) tn ** tn 3.31

Kadar K pada biji kering (%) tn tn tn 4.84

Kadar Fe pada biji kering (%) ** tn ** 8.16

Kadar Zn pada biji kering (%) tn tn tn 14.07

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%. (xx) hasil transformasi √(x+1)

A. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Vegetatif Kedelai

Fase vegetatif dicirikan dengan adanya penambahan tinggi dan jumlah

daun. Fase vegetatif diakhiri dengan munculnya bunga (Adie dan Krisnawati,

2007). Berdasarkan Tabel 8, jenis pupuk organik berpengaruh nyata terhadap

bobot basah bintil akar dan intensitas keparahan penyakit, serta berpengaruh

sangat nyata terhadap kandungan hara K daun dan intensitas serangan hama.

Tabel 8 juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga jenis pupuk

organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan hara N dan P daun,

serapan NPK daun, bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah akar,

bobot kering akar, bobot kering bintil akar, bobot kering batang, dan bobot kering

daun.

Ada perbedaan, meskipun tidak nyata, tinggi tanaman yang mendapat

pupuk kandang dengan yang lainnya, hal tersebut mungkin berkaitan dengan

kadar hara dalam tanah. Kadar N, P, K tanah pada MT 2 lebih tinggi pada tanah

yang mendapat pupuk kandang ayam. Faktor lingkungan berpengaruh relatif besar

32

terhadap tinggi tanaman dalam penelitian ini. Kondisi lingkungan berupa curah

hujan tinggi (Gambar 1a) diikuti dengan kekuatan angin yang besar menjelang 6-7

MST (Gambar 1c) menyebabkan tanaman kedelai rebah. Kedelai yang rebah,

menyebabkan letak pucuk tanaman berada di bawah (mendekati tanah). Adanya

sifat fotoperiodisme tanaman, yaitu tumbuh menuju arah sinar matahari,

menyebabkan tanaman kedelai mengalami etiolasi dengan jarak antar internode

pada batang cukup berjauhan, kurus, dan lemah. Hal tersebut ditunjukkan pada

Tabel 8 tingkat pertumbuhan tanaman saat 6-8 MST mengalami peningkatan

tajam pada tiap minggunya.

Tabel 8 menunjukan bahwa perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat

nyata terhadap kandungan hara K daun, serta tidak berpengaruh nyata pada

kandungan hara N dan P daun. Kandungan hara K daun kedelai dari penambahan

Centrosema pubescens memiliki nilai tertinggi dibandingkan dua pupuk organik

lainnya. Serapan K daun pada perlakuan Centrosema pubescens lebih

besar 15.71 % dan 15 % dibandingkan perlakuan pupuk kandang ayam dan

Tithonia diversifolia. Kadar N daun pada penelitian ini belum optimal pada semua

jenis pupuk organik yang digunakan. Kadar N daun pada perlakuan pupuk

kandang hanya mencapai 82.60 % dari kriteria tingkat optimal jika merujuk pada

Vitosh et al. (1995) pada nilai 4.25-5.50 %. Hal yang berbeda terjadi pada serapan

P dan K daun bahwa dari semua jenis pupuk organik cukup mencapai optimal dari

kriteria, yaitu melebihi 0.30-0.50 % (P) dan 2.01-2.50 % (K) jika dibandingkan

dengan kriteria menurut Vitosh et al. (1995).

Tabel 8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis

Pupuk Organik

Peubah

Jenis Pupuk

Umur

(MST)

Uji F Pupuk

kandang

ayam

Tithonia

diversifolia

Centrosema

pubescens

Tinggi (cm) 2 tn 13.01 12.97 12.89

3 tn 18.99 18.61 20.74

4 tn 32.88 34.10 34.71

5 tn 50.30 50.10 50.21

6 tn 70.60 69.28 68.71

7 tn 89.23 88.46 86.34

33

Peubah

Jenis Pupuk

Umur

(MST)

Uji F Pupuk

kandang

ayam

Tithonia

diversifolia

Centrosema

pubescens

8 tn 92.81 92.23 88.85

Jumlah Daun 2 tn 1.9 2.0 1.9

3 tn 3.8 3.8 3.7

4

5

tn

tn

6.9

10.8

6.7

9.7

6.4

9.7

6 tn 15.9 14.4 15.9

7 tn 20.3 18.9 20.3

8 tn 20.3 19.4 21.7

Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.60 3.56 3.69

Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.59 0.56 0.60

Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.18b 3.20b 3.69a

Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn 34.24 30.04 29.24

Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn 5.64 4.68 4.75

Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn 30.31 27.70 29.34

Bobot basah daun (g) 7 tn 36.29 29.46 28.79

Bobot basah batang (g) 7 tn 50.50 45.33 42.75

Bobot basah akar (g) 7 tn 4.25 3.67 3.58

Bobot basah bintil akar (g) 7 * 0.98b 1.47a 1.13b

Bobot kering daun (g) 7 tn 9.48 8.43 7.92

Bobot kering batang (g) 7 tn 8.93 8.56 7.80

Bobot kering akar (g) 7 tn 1.28 1.14 1.08

Bobot kering bintil akar (g) 7 tn 0.34 0.47 0.36

Intensitas serangan hama (%) 7 ** 17.51a 14.72b 15.17b

Intensitas keparahan penyakit

(%)

7 * 10.61a 8.27b 10.25a

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%.

Intensitas serangan hama sangat nyata dipengaruhi jenis pupuk organik

(Tabel 8). Tingkat serangan tertinggi pada tanaman yang mendapat pupuk

kandang ayam, yaitu berturut-turut lebih besar 18.95, 15.43 % dibandingkan yang

mendapatkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Jenis pupuk

organik juga berpengaruh nyata terhadap intensitas keparahan penyakit. Hal yang

sama juga pada tingkat keparahan penyakit, tanaman dengan perlakuan pupuk

kandang ayam menyebabkan tingkat keparahan penyakit terbanyak dibandingkan

dua perlakuan jenis pupuk organik lainnya. Intensitas serangan hama dan

keparahan penyakit dipengaruhi oleh tingkat kadar air pada tanaman. Lampiran 4

menunjukkan bahwa kadar air pada tajuk tanaman kedelai yang mendapatkan

pupuk kandang ayam memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan perlakuan

34

Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens, sehingga diduga lebih sekulen

sehingga menyebabkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tertinggi

dibandingkan dua perlakuan pupuk organik lainnya.

B. Komponen Vegetatif Dua Varietas Kedelai

Dua jenis varietas kedelai berbeda sangat nyata pada tinggi 2, 3, 5, dan 6

MST, kandungan hara K daun serta bobot basah bintil akar. Varietas kedelai juga

berbeda nyata pada tinggi tanaman 4 dan 7 MST, bobot basah akar dan daun,

bobot kering daun, akar serta bintil akar. Anjasmoro dan Wilis masing-masing

tingginya, yaitu 92.06 dan 90.53 cm (Tabel 9). Hal yang berbeda ditunjukkan oleh

Balitkabi (2008) yang mendeskripsikan ketinggian Anjasmoro dan Wilis,

berturut-turut 64-68 cm dan 40-50 cm. Adanya penambahan tinggi yang cukup

berbeda jauh ini salah satunya disebabkan oleh adanya etiolasi. Selain itu

perbedaan kondisi lingkungan antara daerah Malang yang memiliki intensitas

matahari lebih tinggi dibandingkan di Bogor (banyak awan) dan adanya

penggunaan pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia

tanah memperbaiki pertumbuhan tanaman.

Penambahan tinggi tanaman kedelai setelah memasuki fase generatif yang

ditunjukkan pada Tabel 8, mengindikasikan varietas Anjasmoro dan Wilis dalam

kondisi dapat digolongkan indeterminate. Adie dan Krisnawati (2007)

menjelaskan ciri-ciri kedelai tipe indeterminate yaitu pertumbuhan vegetatif

berlanjut setelah berbunga, batang daun tinggi, melilit, dan daun teratas lebih kecil

dari daun pada batang bagian atasnya. Ukuran ujung batang lebih kecil dari

batang tengah. Selain itu masa berbunga lebih lama. Kondisi tanaman tersebut

(penelitian ini) tidak sesuai yang disebutkan dalam deskripsi kedelai (Balitkabi,

2008) yang menjelaskan bahwa varieatas Anjasmoro dan Wilis dikategorikan

determinate, yaitu karena tinggi tanaman yang masih meningkat setelah

memasuki fase generatif. Adanya kondisi tersebut diduga mendukung

peningkatan produktivitas kedelai MT 2.

35

Varietas tidak berbeda nyata pada jumlah daun. Berdasarkan morfologi

bentuk daun, varietas Wilis lebih kecil dibandingkan Anjasmoro, sehingga

menunjang pembentukan daun dalam jumlah yang lebih banyak.

Tabel 9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas

Peubah

Varietas

Umur

(MST)

Uji F Anjasmoro Wilis

Tinggi (cm) 2 ** 14.20a 11.71b

3 ** 21.57a 17.32b

4 * 36.33a 31.46b

5 ** 53.97a 46.43b

6 ** 73.83a 65.21b

7 * 91.32a 84.70b

8 tn 92.06 90.53

Jumlah Daun 2 tn 1.9 1.9

3 tn 3.8 3.7

4 tn 6.4 6.9

5 tn 9.4b 10.8a

6 tn 15.4 15.4

7 tn 19.2 20.4

8 tn 19.4 21.5

Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.65 3.58

Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.58 0.59

Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.61a 3.10b

Serapan N daun (g/tanaman) 7 * 35.74a 26.61b

Serapan P daun (g/tanaman) 7 * 5.67a 4.38b

Serapan K daun (g/tanaman) 7 ** 35.19a 23.04b

Bobot basah daun (g) 7 * 35.75a 27.28b

Bobot basah batang (g) 7 tn 47.36a 45.03b

Bobot basah akar (g) 7 * 4.36a 3.31b

Bobot basah bintil akar (g) 7 ** 1.39a 0.99b

Bobot kering daun (g) 7 * 9.78a 7.44b

Bobot kering batang (g) 7 tn 8.84 8.03

Bobot kering akar (g) 7 ** 1.32a 1.01b

Bobot kering bintil akar (g) 7 * 0.46a 0.32b

Intensitas serangan hama (%) 7 tn 15.38 16.22

Intensitas keparahan penyakit (%) 7 tn 9.80 9.62

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%.

Varietas berbeda nyata pada bobot basah akar, bobot basah daun dan

berbeda sangat nyata pada bobot basah bintil akar. Tabel 9 menunjukkan bahwa

morfologi dari kedelai varietas Anjasmoro lebih baik dibandingkan Wilis, dengan

ditunjangnya sifat fisik tanaman yang baik, sehingga dihasilkan potensi produksi

yang lebih besar juga (Tabel 12).

36

Varietas berbeda nyata pada serapan N, P, K daun. Tingkat serapan N, P,

K daun dari Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Serapan N daun

pada varietas Anjasmoro dan Wilis kurang dari tingkat optimal serapan N yang

ditunjukan oleh Vitosh et al (1995) yaitu 4.25-5.50 %. Hal yang sebaliknya

terjadi pada serapan P dan K, tingkat serapan P dan K daun Anjasmoro mencapai

1.5 kali lipat dari batas bawah kriteria serapan P (Lampiran 4).

C. Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan dalam Teknik Budidaya

Kedelai Organik

Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah sumbangan hara N dan K pada tanah

dari pupuk organik lebih banyak dibandingkan jumlah hara dalam pupuk

anorganik yang direkomendasikan oleh Adisarwanto et al. (2005) dengan dosis 50

kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl /ha. Estimasi ketersediaan hara N

tanah tertinggi pada MT 2 yaitu berasal dari pupuk kandang ayam, yaitu lebih

tinggi 18.60 % dibandingkan dari Centrosema pubescens dan 10.87 % daripada

Tithonia diversifolia. Jumlah hara P tanah tertinggi yaitu pada pemberian pupuk

organik jenis pupuk kandang ayam dengan 100.37 % lebih tinggi dibandingkan

Centrosema pubescens. Dibandingkan dengan pupuk anorganik, kadar P tanah

dari perlakuan pupuk kandang ayam lebih besar 447 %. Diantara tiga jenis pupuk

organik, tanah yang mendapat tambahan pupuk kandang ayam memiliki jumlah

hara K tertinggi dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk anorganik.

Ketersediaan K tanah dari perlakuan pupuk kandang ayam lebih tinggi 8.8 %

dibandingkan tanah yang mendapat tambahan pupuk anorganik. Hal tersebut

menjelaskan bahwa jumlah sumbangan hara dari pemberian atau aplikasi pupuk

organik yang digunakan pada penelitian ini hampir menyetarai bahkan melebihi

pupuk anorganik (khususnya untuk hara N dan P).

Tabel 10 menunjukkan bahwa ketersediaan hara pada tanah yang diberi

jenis pupuk organik lebih sedikit dibandingkan serapan hara tajuk tanaman dan di

antara ketiga jenis unsur hara makro, hanya unsur P dari pupuk organik yang

dapat memenuhi kebutuhan serapan hara tajuk. Dosis pupuk kandang ayam yang

digunakan pada penelitian ini (MT 2) memberikan hara P lebih banyak sebesar

625.30 % dibandingkan kebutuhan serapan tajuk tanaman kedelai. Unsur N dari

37

pupuk kandang lebih rendah daripada serapan hara dari tajuk tanaman. Serapan

hara N dalam tajuk tanaman lebih banyak 66.85 % dibandingkan dengan jumlah

hara tanah pada perlakuan pupuk kandang ayam, 173.77 % lebih besar

dibandingkan tanah dengan aplikasi Tithonia diversifolia, dan 181.22 % lebih

tinggi daripada tanah pada perlakuan Centrosema pubescens. Kadar K pada tanah

aplikasi pupuk kandang ayam hampir memenuhi kebutuhan hara serapan tajuk

tanaman jika dibandingkan dengan dua jenis perlakuan pupuk organik lainnya.

Unsur K pada tanah dengan perlakuan pupuk kandang ayam hanya

sebesar 44.60 % dari kebutuhan hara serapan tajuk tanaman.

Tabel 10. Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan

Unsur

Hara

Pemupukan Serapan

Hara

Tajuk

(kg/ha)

Hara dalam Tanah (kg/ha)

Dosis

Rekomendasi

Kedelai

Konvensional

(kg/ha)

Sesudah

MT I

Saat

MT II

N Tithonia diversifolia 151.12 44.4 55.2 22.5

Pupuk kandang ayam 165.69 39.6 61.2

Centrocema pubescens 145.11 39.6 51.6

P Tithonia diversifolia 23.77 28.60 98.28 36

Pupuk kandang ayam 27.15 32.4 196.92

Centrocema pubescens 23.60 26.57 139.08

K Tithonia diversifolia 135.84 82.08 41.76 60

Pupuk kandang ayam 146.36 80.64 65.28

Centrocema pubescens 144.72 83.52 45.6

Tabel 10 menunjukkan bahwa dari perhitungan estimasi serapan hara tajuk

tanaman lebih banyak dibandingkan hara tanah tetapi pertumbuhan tanaman di

lapangan tetap cukup optimal. Hal tersebut diduga karena adanya penambahan

pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama strukurnya sehingga

aerasi meningkatkan kemampuan tanah dalam daya pegang air dan menciptakan

kondisi optimal untuk ketersediaan hara. Selain itu pupuk organik juga

memperbaiki sifat biologi tanah yaitu dengan menunjang perkembangbiakan

mikroorganisme tanah. Adanya pengaruh residu dari musim tanam sebelumnya

diduga telah memperbaiki sifat tanah sehingga hara tersedia secara kontinyu untuk

38

menunjang pertumbuhan tanaman kedelai secara optimal. Hal tersebut didukung

oleh analisis tanah (Tabel 5) yang menunjukkan bahwa kandungan C-Organik, N,

dan P meningkat setelah aplikasi pupuk organik serta hara residu pada musim

tanah selanjutnya tetap tersedia.

D. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi Kedelai

Pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia, dan Centrosema pubescens

berpengaruh nyata pada jumlah cabang dan bobot kering (BK) biji pada petak

pinggir, serta berpengaruh sangat nyata pada jumlah polong isi. Tanaman kedelai

dengan perlakuan jenis pupuk hijau (Centrosema pubescens) memiliki jumlah

cabang dan jumlah polong isi lebih tinggi dibandingkan yang mendapat pupuk

kandang ayam, masing-masingnya 11.5 % dan 21.3 %. Peubah jumlah cabang dan

jumlah polong isi dari tanaman kedelai yang mendapatkan perlakuan Tithonia

diversifolia mempunyai nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan dua jenis

pupuk organik lainnya. Tanaman kedelai dengan perlakuan Centrosema

pubescens memiliki jumlah polong isi terbanyak, tetapi memiliki BK biji per

petak bersih (4.32 m2) terendah, hal tersebut disebabkan oleh jumlah tanaman

yang lebih rendah dibandingkan pada dua jenis pupuk organik lainnya (Tithonia

diversifolia dan pupuk kandang ayam) (Tabel 11). Jumlah tanaman yang rendah

tersebut dari perlakuan Centrosema pubescens disebabkan oleh daya tumbuh yang

rendah dibandingkan dengan dua perlakuan pupuk organik lainnya.

Tabel 11. Komponen Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk

Organik

Peubah

Jenis Pupuk

Uji F Pupuk

kandang

ayam

Tithonia

diversifolia

Centrosema

pubescens

Jumlah cabang/tanaman * 7.8ab 7.1b 8.7a

BK tajuk tanaman contoh (g/tanaman) tn 24.92 21.53 28.65

Jumlah tanaman petak bersih/4.32 m2 tn 76.3 87.3 65.0

Jumlah tanaman petak pinggir/2.88 m2 tn 62.7 77.0 71.0

Jumlah polong isi/tanaman ** 94.4b 86.3b 114.5a

Jumlah polong hampa/tanaman tn 2.9 3.0 4.1

Bobot 100 biji (g) tn 15.80 15.13 15.37

39

Peubah

Jenis Pupuk

Uji F Pupuk

kandang

ayam

Tithonia

diversifolia

Centrosema

pubescens

BK biji tanaman contoh (g/tanaman) tn 26.83 23.15 23.90

BK biji petak bersih (g/ 4.32m2) tn 921.83 894.33 820.78

BK biji petak pinggir (g/2.88 m2) * 710.33b 862.17a 798.83a

Potensi produksi (ton/ha) tn 2.13 2.07 1.99

Kadar N pada biji kering (%) tn 7.71 7.73 7.71

Kadar P pada biji kering (%) tn 0.74 0.72 0.75

Kadar K pada biji kering (%) tn 1.75 1.75 1.68

Kadar Fe pada biji kering (%) ** 141.05b 160.31a 126.69b

Kadar Zn pada biji kering (%) tn 83.80 71.56 75.67

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada

taraf 1%.

E. Komponen Produksi Dua Varietas Kedelai

Varietas berbeda sangat nyata pada bobot 100 biji, jumlah cabang, jumlah

polong isi serta nyata pada jumlah buku produktif dan jumlah tanaman pinggir

(Tabel 12). Kedelai varietas Anjasmoro berkarakteristik berbiji besar. BK 100 biji

Anjasmoro lebih besar 59.76 % dibandingkan Wilis. BK 100 biji pada penelitian

ini juga lebih tinggi dibandingkan deskripsi varietas Anjasmoro oleh Balitkabi

(2008) (Lampiran 5), yaitu sebesar 24.05%. Potensi produksi Anjasmoro lebih

besar 9.79 % dibandingkan Wilis. Bobot tajuk tanaman varietas Anjasmoro lebih

banyak dibandingkan Wilis karena morfologi jenis Anjasmoro lebih besar

(diameter batang lebih besar, daun lebih lebar, dan akar yang lebih banyak). Hal

tersebut terlihat dari bobot basah dan kering dari kedelai varietas Anjasmoro yang

lebih banyak (Tabel 9).

Jumlah tanaman Anjasmoro lebih sedikit dibandingkan dengan Wilis.

Tingkat ketahanan hidup dari tanaman petak bersih Wilis lebih banyak 29.52 %

dibandingkan Anjasmoro. Hal tersebut diduga karena jenis Wilis lebih adaptif

pada lingkungan wilayah Bogor dan teknik budidaya yang diterapkan. Morfologi

tanaman kedelai varietas Wilis yang lebih kecil dibandingkan dengan Anjasmoro

(Tabel 9) sehingga tingkat kerebahan atau kerusakan (kematian) tanaman lebih

rendah.

40

Tabel 12. Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Dua Varietas

Kedelai

Peubah

Varietas

Uji F Anjasmoro Wilis

Jumlah cabang/tanaman ** 7.0b 8.8a

BK tajuk tanaman contoh (g/tanaman) tn 26.40 23.67

Jumlah tanaman petak bersih/4.32m2 tn 66.4 86.0

Jumlah tanaman petak pinggir tn 64.1 76.3

Jumlah polong isi/tanaman ** 87.1b 106.7a

Jumlah polong hampa/tanaman tn 3.8 2.9

Bobot 100 biji (g) ** 18.98a 11.88b

BK biji tanaman contoh (g/tanaman) tn 27.04 24.43

BK petak bersih (g/ 4.32m2) tn 918.44 839.52

BK petak pinggir (g/ 2.88 m2) * 744.56b 836.33a

Potensi produksi (ton/ha) tn 2.13 1.94

Kadar N pada biji kering (%) tn 7.67 7.76

Kadar P pada biji kering (%) ** 0.76a 0.71b

Kadar K pada biji kering (%) tn 1.76 1.70

Kadar Fe pada biji kering (%) tn 146.63 138.73

Kadar Zn pada biji kering (%) tn 72.14 81.88

Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada taraf 1%.

F. Korelasi Peubah Vegetatif dan Komponen Produksi Kedelai

Berdasarkan data di Lampiran 2, tinggi tanaman berkorelasi positif dengan

BK biji pada petak bersih, bobot 100 biji, dan produktivitas. Hal tersebut

ditunjang dengan adanya jumlah daun yang juga berkorelasi positif dengan polong

isi dan produktivitas. Jumlah cabang berkorelasi positif terhadap polong isi, BK

petak bersih, dan produktivitas. Jumlah buku produktif berkorelasi positif

terhadap polong isi. BK petak bersih juga berkorelasi positif terhadap potensi

produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen vegetatif (tinggi tanaman

jumlah daun) sebagai sources dari proses fotosintesis dalam menghasilkan hasil

assimilat untuk didistribusikan ke sink pada tanaman kedelai.

41

G. Perbandingan Potensi Produksi Kedelai antara Musim Tanam 1 dan

Musim Tanam 2 pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas

Berdasarkan data Tabel 13, terjadi peningkatan pada semua tingkat

produksi di masing-masing tiga jenis pupuk organik pada musim tanam 2.

Perbedaan hasil produksi tersebut diduga dipengaruhi faktor lingkungan dan

ketersediaan unsur hara. Diketahui bahwa pada penelitian MT 2 kondisi

lingkungan optimal, selain itu disebabkan oleh rendahnya tingkat serangan hama

dan penyakit. Faktor unsur hara yang terpenuhi, khususnya, fosfor dan kalium

menunjang terjadinya optimalisasi produktivitas. Hara tersebut selain juga

didapatkan dengan adanya penambahan input, juga karena adanya faktor residu.

Tabel 13. Perbandingan Potensi Produksi pada Musim Tanam 1 dan 2

pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas Kedelai

Musim Tanam 1 (ton/ha)

(Kurniansyah, 2010)

Musim Tanam 2

(ton/ha)

a. Pupuk Organik

Centrosema pubescens 1.33 1.89

Pupuk kandang ayam 1.16 2.13

Tithonia diversifolia 1.48 2.07

b. Varietas

Anjasmoro 1.57 2.13

Wilis 1.07 1.94

Dilihat dari sifat persediaan zat makanan, pupuk kandang tersedia secara

bertahap bagi tanaman. Pemberian secara teratur ke dalam tanah, sehingga daya

menghasilkan tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama akan tetap baik. Hal

ini karena di dalam tanah telah terbentuk sejumlah unsur hara atau zat esensial

bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa peningkatan produksi pada

musim tanam ke dua juga terjadi pada faktor varietas. Potensi produksi pada

penelitian ini (musim tanam ke dua) secara umum lebih tinggi dibandingkan

deskripsi varietas dari Balitkabi (2008). Peningkatan ini diduga karena adanya

kondisi lingkungan yang cocok dan penerapan teknologi budidaya yang sesuai.

Potensi produksi pada varietas Wilis lebih tinggi 21.25 % dibandingkan deskripsi

Balitkabi (2008). Kondisi lingkungan yang optimum pada musim tanam dua ini

42

terlihat dari peningkatan C organik, N-total, P, dan unsur hara lainnya (Tabel 6).

Kegiatan penambahan pupuk organik berpengaruh terhadap peningkatan bahan

organik. Menurut Soepardi (1983) bahan organik pada tanah dapat diperbaharui

dengan adanya penambahan sisa tanaman atau binatang. Bahan organik

berpengaruh terhadap proses mineralisasi hara tersedia untuk tanaman. Bahan

organik juga berfungsi sebagai „pengikat‟ butir-butir tanah, sehingga menunjang

pembentukan struktur tanah yang baik. Struktur tanah yang baik berpengaruh

terhadap aerasi tanah, dan kemampuan tanah dalam daya pegang air. Kondisi

tersebut menunjang dalam perkembangan akar dan penyerapan hara tanah oleh

akar.

Kondisi cuaca pada penelitian ini juga tergolong optimum dengan tingkat

curah hujan (275.13 mm/bulan) yang masih dalam rentang syarat pertumbuhan

tanaman kedelai sehingga menunjang ketersediaan air. Suhu lingkungan selama

pertumbuhan kedelai rata-rata pada fase vegetatif yaitu 24.19 ºC dan fase

generatif 24.85 ºC juga masih dalam rentang syarat optimum pertumbuhan

menurut Ristek (2010).

43

Pembahasan

A. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Organik terhadap Fase Vegetatif Kedelai

Peubah dalam komponen vegetatif (tinggi tanaman; jumlah daun; bobot

basah dan kering daun, batang, akar) umumnya tidak berbeda nyata secara

statistik, tetapi ada kecenderungan yang konsisten bahwa tanaman yang mendapat

tambahan pupuk kandang ayam memiliki pertumbuhan vegetatif lebih baik

dibandingkan dengan dua perlakuan pupuk lainnya. Adanya residu hara dan

perbaikan sifat tanah terutama C organik setelah aplikasi pupuk organik (kondisi

tanah pada ketiga perlakuan lebih optimum dalam menunjang pertumbuhan

kedelai), sehingga diduga berpengaruh terhadap hasil tidak nyata secara statistik.

Kecenderungan tanaman kedelai pada perlakuan pupuk kandang lebih baik diduga

karena proses dekomposisi pupuk kandang lebih cepat dibandingkan pupuk hijau,

sehingga hara lebih cepat tersedia, selain itu adanya kemungkinan karena

mikroorganisme di dalam pupuk kandang menstimulir proses ketersediaan hara

dalam tanah, hal tersebut mungkin berkaitan dengan kadar hara dalam tanah.

Kadar N, P, K tanah pada MT 2 lebih tinggi pada tanah yang mendapat pupuk

kandang ayam. Melati et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pupuk hijau

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dekomposisi dibandingkan pupuk

kandang, sehingga belum banyak hara yang diserap oleh tanaman.

Adanya pengaruh tidak nyata dari tiga jenis pupuk organik terhadap tinggi

tanaman dijelaskan pada Tabel 8. Tinggi tanaman pada penambahan pupuk

kandang ataupun pupuk hijau tidak terlalu beda jauh perbedaannya. Selisih antara

tinggi tanaman yang mendapatkan pupuk kandang ayam lebih tinggi 0.63 %

dibandingkan dari perlakuan Tithonia diversifolia (mewakili pupuk hijau). Hal

tersebut menjelaskan bahwa unsur hara baik dari pupuk kandang maupun pupuk

hijau cukup memenuhi kebutuhan hara fase vegetatif. Kadar N tanah pada

perlakuan pupuk kandang ayam pada MT 2 (setelah aplikasi) lebih tinggi

dibandingkan tanah yang mendapat tambahan pupuk hijau lainnya, sehingga

menunjang fase vegetatif. Kadar N tanah pada perlakuan pupuk kandang ayam

setelah panen MT 2 juga memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan dua

44

jenis pupuk organik lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa N pada pupuk

kandang memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan dan residunya tinggi

untuk dimanfaatkan pada musim tanam berikutnya.

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh kondisi meristem, hasil

fotosintesa, hormon dan substansi pertumbuhan lainnya, serta lingkungan yang

mendukung. Cahaya merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman (Salisburry dan Ross, 1997). Tinggi tanaman kedelai pada

8 MST dari tiga jenis pupuk kandang organik (pupuk kandang ayam, Tithonia

diversifolia dan Centrosema pubescens) ini, berturut-turut 92.81, 92.23 cm, dan

88.85 cm. Tinggi tanaman tersebut salah satunya diduga dipengaruhi oleh adanya

etiolasi. Etiolasi terjadi dalam penelitian ini karena menjelang 6-7 MST tanaman

rebah. Kedelai yang rebah, menyebabkan letak pucuk tanaman berada di bawah

(mendekati tanah). Adanyat sifat fotoperiodisme tanaman, yaitu tumbuh menuju

arah sinar matahari, menyebabkan tanaman kedelai mengalami etiolasi. Menurut

Yunasfi (2002), etiolasi adalah keadaan dimana suatu tanaman kekurangan cahaya

matahari, sehingga memperlambat pembentukan klorofil dan mendorong

pertumbuhan ramping dengan ruas yang panjang, kemudian menyebabkan daun

berwarna hijau pucat.

Residu hara P dan K dari pupuk kandang ayam pada musim tanam

sebelumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis pupuk hijau lainnya.

Adanya simpanan hara dari musim tanam pertama, sehingga meningkatkan dan

menunjang ketersediaan hara pada fase vegetatif MT 2, sebelum sepenuhnya

bahan pupuk kandang terdekomposisi. Menurut Verna (1999) dalam

Anjasari et al. (2007), ketersediaan fosfor akan memperkuat pertumbuhan batang.

Hal tersebut sesuai dengan bobot basah dan kering pupuk kandang ayam lebih

banyak dibandingkan yang lain. Selain itu menurut Ismunadji et al. (1976) dalam

Jamil et al. (1984), kalium juga berpengaruh dalam membentuk batang yang kuat

dan berpengaruh terhadap hasil. Adanya batang yang kuat berbanding lurus

dengan bobot akar dan bobot daun sehingga pertumbuhannya optimum. Menurut

Leiwakabessy dan Sutandi (2003), fosfor juga berpengaruh untuk merangsang

perkembangan akar. Akar sebagai penyedia hara dari tanah bekerja secara

45

optimal, ditunjang adanya proses fotosintesis di daun sebagai sources

menghasilkan fotosintat sehingga menunjang vegetatif tanaman.

Jenis pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan

hama dan berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel 8). Tingkat

serangan tertinggi pada tanaman kedelai yang mendapatkan pupuk kandang ayam,

yaitu berturut-turut lebih besar 18.95, 15.43 % dibandingkan perlakuan Tithonia

diversifolia dan Centrosema pubescens. Hal yang sama juga pada tingkat

keparahan penyakit, tanaman dari perlakuan pupuk kandang ayam memiliki

jumlah terbanyak dibandingkan tanaman yang mendapatkan dua jenis pupuk

organik lainnya. Tanaman kedelai dengan perlakuan pupuk kandang ayam

memiliki tingkat serangan hama dan keparahan penyakit yang tertinggi

dibandingkan tanaman dari dua perlakuan pupuk organik lainnya. Hal tersebut

diduga karena kadar N tanah (setelah aplikasi pupuk organik MT 2 dan setelah

panen MT2) pada jenis pupuk ini juga tinggi dibandingkan Tithonia diversifolia

dan Centrosema pubescens (Tabel 6). Tingkat serangan hama dan keparahan

penyakit, salah satunya dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya kadar protein.

Leiwakabessy (1988) menyebutkan bahwa protein merupakan perubahan bentuk

senyawa kompleks dari reduksi nitrogen. Ditambahkan oleh Langton (1989)

bahwa protein yang tinggi menyebabkan protoplasma yang terbentuk juga banyak.

Tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit, jika kadar protein

tinggi. Hal ini disebabkan oleh menipisnya dinding sel karena terdesaknya

protoplasma. Soepardi (1983) menyebutkan bahwa pemberian N secara

berlebihan dapat melemahkan tanaman terhadap serangan hama dan keparahan

penyakit. Hal tersebut ditunjang dari hasil penelitian Irmayani (2009) yang

menjelaskan bahwa tingkat serangan penyakit Helminthosporium maydis Nisik

dan Helminthosporium turcicum Pass tertinggi pada dosis 11.57 g N/tanaman

dengan nilai serangan 81.98 % dan 65.09 %. Intensitas keparahan penyakit

menurun dengan nilai 65.09 % dan 61.88 %, yang seiring dengan penurunan dosis

N (6.93 g N/tanaman).

Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit juga diduga dipengaruhi

oleh tingkat kadar air pada tanaman. Lampiran 4 menunjukkan bahwa kadar air

pada tajuk tanaman kedelai yang mendapatkan pupuk kandang ayam memiliki

46

kadar air lebih tinggi dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema

pubescens, sehingga lebih sekulen dan diduga yang menyebabkan intensitas

serangan hama dan keparahan penyakit tertinggi dibandingkan perlakuan yang

lainnya.

B. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi

Kedelai

Dibandingkan dua jenis pupuk organik yang digunakan dalam penelitian

ini, meskipun tidak nyata jenis pupuk kandang ayam menyebabkan potensi

produksi lebih baik dibandingkan yang lainnya. Hal yang sama juga ditunjukkan

pada hasil penelitian Kurniasih (2006), penggunaan pupuk kandang ayam dalam

budidaya kedelai organik panen muda, menghasilkan produktivitas tertinggi

dibandingkan pupuk hijau, budidaya konvensional, ataupun budidaya organik

tanpa pupuk. Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005) dan Sinaga (2005) juga

menunjukkan bahwa hasil produksi panen muda kedelai dengan penggunaan

pupuk kandang ayam lebih tinggi dibandingkan pupuk hijau dan pupuk kandang

kambing.

Potensi produksi yang tinggi salah satunya dipengaruhi kebutuhan unsur

hara yang terpenuhi dengan optimal. Tanah yang mendapat pupuk kandang ayam

memiliki unsur hara P dan K yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Kedua

unsur hara tersebut dibutuhkan dalam jumlah banyak memasuki fase generatif.

Soepardi (1983) menjelaskan bahwa fosfor berpengaruh dalam memperbaiki

pembungaan, pembuahan, dan mengurangi kerontokan buah. Ditambahkan oleh

Leiwakabessy dan Sutandi (2003), tanaman pada fase generatif membutuhkan

unsur fosfor untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar,

mempercepat kematangan buah dan biji. Hal yang sama juga dilaporkan Suprapto

(2000) dalam Nazariah (2009) bahwa fosfat merupakan unsur hara yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Pada tanaman yang tercukupi kebutuhan

fosfatnya dapat mendorong pembentukan bunga lebih banyak dan pembentukan

biji lebih sempurna.

47

Kalium berperan untuk mengimbangi pengaruh buruk dari nitrogen

Soepardi (1983). Ditambahkan Yacob dan Uex Kull (1972) dalam

Jamil et al. (1984) menyatakan bahwa fungsi dari kalium adalah menjaga keadaan

fisiologis dari plasma sel untuk proses metabolisme normal. Selain itu K mengatur

kesetimbangan antara respirasi dan transpirasi sehingga berhubungan dengan

assimilasi CO2 dan pembentukan protein dan lemak. Sudadi et al. (2007) juga

menambahkan bahwa unsur K berperan dalam meningkatkan laju fotosintesis dan

penyebaran hasil fotosintesis ke berbagai tempat termasuk dalam pembentukan

biji, sehingga semakin besar laju fotosintesis maka biji yang dihasilkan semakin

banyak.

Adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan tentang

manfaat fosfor dan kalium, menunjang data hasil penelitian dari tanaman yang

mendapat tambahan pupuk kandang ayam yang memiliki potensi produksi

tertinggi (Tabel 11). Adanya metabolisme normal, sehingga assimilasi optimum,

dilanjutkan peningkatan perangsangan pembungaan lebih banyak, dan

pengurangan kerontokan bunga, sehingga diduga pembentukan biji lebih

sempurna.

Potensi produksi pada musim tanam ke dua (penelitian ini) lebih besar

dibandingkan musim tanam pertama. Hal tersebut diduga karena adanya simpanan

(residu) hara N, P dan K musim tanam pertama yang lebih banyak (Tabel 6) pada

tanah dengan perlakuan pupuk kandang dibandingkan dengan dua jenis pupuk

organik lainnya, sehingga dapat termanfaatkan secara optimal pada musim tanam

ke dua atau berikutnya. Selain itu C-organik tanah (setelah aplikasi pupuk organik

MT2) memiliki jumlah tertinggi pada tanah yang mendapat pupuk kandang

dibandingkan jenis pupuk organik lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa

adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik. Berdasarkan

rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat (1994) C-organik pada penelitian ini tergolong sedang (2.74 %).

Balittan (2006) menambahkan nilai C-organik tersebut cukup memenuhi syarat

tanah guna memperoleh produktivitas yang optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.

Tanah dengan bahan organik yang cukup, mempunyai sifat fisik (merangsang

granulasi, menurunkan plastisitas, kohesi, meningkatkan kemampuan menahan

48

air), kimia, dan biologi yang lebih baik (Soepardi, 1983). Adanya peningkatan

produktivitas pada musim tanam ke dua juga dilaporkan Sutriadi et al. (2005)

menunjukkan bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha

meningkatkan produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama sedangkan

pada musim kedua sebesar 40 %.

Pupuk organik memiliki pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong

isi. Tanaman dari perlakuan Centrosema pubescens memiliki jumlah polong isi

(Tabel 11) terbanyak dibandingkan tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam

dan Tithonia diversifolia, yaitu berturut-turut 21.29 dan 32.68 %. Namun,

memiliki BK biji petak bersih terendah, meskipun secara statistik tidak nyata. Hal

tersebut disebabkan oleh adanya jumlah tanaman lebih rendah dibandingkan dua

jenis pupuk organik lainnya (Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam).

Jumlah tanaman kedelai dari Centrosema pubescens rendah karena daya

tumbuhnya juga paling rendah di antara dua perlakuan lainnya. Daya tumbuh

yang rendah tersebut diduga dipengaruhi hara jenis tanah (analisis tanah MT 2,

setelah aplikasi dan sebelum tanam) dengan penambahan Centrosema pubescens

memiliki kandungan NPK juga terendah.

Tabel 6 menjelaskan bahwa kadar N tanah setelah panen pada MT 2 dari

Centrosema pubescens lebih banyak dibandingkan Tithonia diversifolia (pupuk

hijau non legum) walaupun hasil analisis tanah sewaktu sebulan setelah aplikasi

pemupukan kadar N Centrosema pubescens sebaliknya. Hal tersebut diduga

adanya pengaruh faktor rasio C/N, Centrosema pubescens (18.25) lebih tinggi

21.02% dibandingkan Tithonia diversifolia (15.08). Semakin tinggi rasio C/N

maka makin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terdekomposisi. N

tersedia untuk tanaman pada aplikasi C. pubescens termineralisasi secara bertahap

lebih lama dibandingkan T. diversifolia sehingga residu N setelah MT 2 lebih

tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk musim tanam berikutnya.

49

C. Respon Varietas pada Fase Vegetatif dan Produksi Kedelai terhadap

Perlakuan

Hampir semua nilai peubah fase vegetatif dan komponen produksi varietas

Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Kedelai varietas Anjasmoro

pada penelitian ini mencapai hasil rata-rata dari deskripsi Balitkabi (2008), dan

pada jenis Wilis lebih tinggi 21.25 % dari deskripsi Balitkabi (2008). Hal tersebut

menunjukkan bahwa kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis adaptif untuk

dibudidayakan secara organik di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor.

Adanya peningkatan produktivitas dibandingkan pada musim tanam

sebelumnya mencapai 34.42 % dan 81.62 %, berturut-turut untuk Anjasmoro dan

Wilis. Perbedaan tingkat produktivitas tersebut diduga karena pengaruh sejarah

lahan. Pada musim tanam pertama, awalnya lahan tersebut terbengkalai dan hanya

ditumbuhi alang-alang. Hal yang sangat berbeda terjadi pada kondisi musim

tanam dua, yaitu dengan penggunaan lahan yang telah diolah dan ditanami kedelai

pada musim tanam satu dengan penambahan bahan organik. Soepardi (1983)

menjelaskan bahwa adanya pengolahan tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah.

Selain itu adanya penggunaan pupuk organik selama dua musim tanam berturut-

turut mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga menunjang

pertumbuhan tanaman kedelai yang optimal. Hal tersebut sesuai dengan Balittan

(2005) yang menjelaskan bahwa manfaat utama pupuk organik di antaranya

adalah memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah. Pupuk organik dimanfaatkan

tanaman dalam bentuk bahan organik hasil dekomposisi mikroorganisme tanah.

Menurut Soepardi (1983) bahan organik pada tanah dapat diperbaharui dengan

adanya penambahan sisa tanaman atau binatang. Bahan organik berpengaruh

terhadap proses mineralisasi hara tersedia untuk tanaman. Bahan organik juga

berfungsi sebagai „pengikat‟ butir-butir tanah, sehingga menunjang pembentukan

struktur tanah yang baik. Struktur tanah yang baik berpengaruh terhadap aerasi

tanah, dan kemampuan tanah dalam daya pegang air. Kondisi tersebut menunjang

dalam perkembangan akar dan penyerapan hara tanah oleh akar.

Adanya peningkatan C organik, N-total, P, dan unsur hara lainnya pada

tanah setelah aplikasi dan juga adanya pengaruh residu hara dari pupuk organik

50

pada musim tanam sebelumnya juga merupakan salah satu faktor peningkatan

produksi pada musim tanam kedua (Tabel 6).

Kondisi cuaca pada penelitian ini juga tergolong optimum dengan tingkat

curah hujan (275.13 mm/bulan) yang masih dalam rentang syarat pertumbuhan

tanaman kedelai sehingga menunjang ketersediaan air. Suhu lingkungan selama

pertumbuhan kedelai rata-rata pada fase vegetatif yaitu 24.19 ºC dan fase

generatif 24.85 ºC juga masih dalam rentang syarat optimum pertumbuhan

menurut Ristek (2010).