Upload
dinhmien
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Tipe Tanah Cikarawang, Kecamatan Darmaga
Penelitian ini dilakukan di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor. Jenis
tanah di wilayah tersebut yaitu latosol-inceptisol (Nursyamsi dan Suprihati, 2005).
Menurut Buringh (1983); Darmawijaya (1980) dalam Nuryani et al. (2006), tanah
latosol yang kaya seskuiosksida, miskin unsur-unsur kimia dengan sifat kimia
yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1 dari golongan kaolinit,
dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation rendah, kejenuhan kation
rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut juga rendah karena adanya
proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan lanjut.
Tipe tanah di daerah Cikarawang, Darmaga berdasarkan analisis tanah
yang dilakukan bertekstur liat. Menurut Soepardi (1983), tanah yang digolongkan
sebagai liat mengandung paling sedikit (35 % separat liat) dan biasanya lebih
dari (40 %). Hasil dari analisis tanah, yaitu persentase kadar pasir, debu, liat
masing-masing adalah 8.51 %, 19.55 %, dan 71.95 %. Nilai Kapasitas Tukar
Kation (KTK) yaitu 21.18 me/100g. Nilai KTK bertambah seiring dengan tingkat
kehalusan tekstur tanah. Tanah bertekstur halus mengandung lebih banyak liat dan
juga mengandung banyak humus.
Data Cuaca selama Pertumbuhan Kedelai
Faktor abiotik berpengaruh terhadap pertumbuhan kedelai, salah satunya
yaitu cuaca. Kondisi temperatur selama fase vegetatif pada penelitian ini, yaitu
rata-rata 24.19 ºC dan fase generatif yaitu 24.85 ºC (Lampiran 1). Suhu ini
menunjang pertumbuhan kedelai karena berdasarkan Ristek (2010), suhu
optimum pertumbuhan kedelai yaitu 23-27 ºC. Curah hujan rata-rata per bulan
yaitu 275.13 mm (Lampiran 1). Kondisi ini masih dalam rentang syarat tumbuh
kedelai (Ristek, 2010), yaitu 100-400 mm/bulan.
Tingkat curah hujan pada fase vegetatif lebih banyak dibandingkan fase
generatif, yaitu sebesar 51.4 % (Lampiran 1). Faktor air tidak menjadi pembatas
21
dalam penelitian ini, kebutuhan air tercukupi, sehingga pertumbuhan vegetatif
optimal. Memasuki fase generatif (7-8 MST) curah hujan menurun, sehingga
kerontokan bunga diduga berkurang, selain itu fotosintesis juga lebih optimal
pada saat pengisian polong.
Gambar 1. Kondisi cuaca selama percobaan yaitu curah hujan (a), intensitas sinar
matahari (b), dan kecepatan angin (c)
Curah hujan pada musim tanam pertama lebih rendah dibandingkan
dengan musim tanam ke dua terutama pada awal pertanaman dan air tidak
0
50
100
150
200
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Cura
h h
uja
n (
mm
)
MST
MT 1 (10 April-16 Juli
2010
MT 2 (31 Oktober 2010-
29 Januari 2011)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Inte
nsi
ras
Mat
ahar
i
(Cal
/cm
2/m
enit
)
MST
MT 1 (10 April-16 Juli 2010)
MT 2 (31 Oktober 2010-29
Januari 2011)
0
10
20
30
40
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kec
epat
an a
ng
in
(km
/jam
)
MST
MT 1 (10 April-16 Juli 2010)
MT 2 (31 Oktober 2010-29
Januari 2011)
Tingkat curah hujan (a)
Tingkat intensitas matahari (b)
Kecepatan angin (c)
22
menjadi faktor pembatas selama pertumbuhan kedelai pada percobaan (musim
tanam 2) (Gambar 1 a). Hal tersebut dikarenakan curah hujan merata tiap MST,
kecuali 1 MST yang berpengaruh pada daya tumbuh. Curah hujan pada penelitian
ini cukup memadai, karena berdasarkan Van Doren and Recosky (1987) dalam
Sumarno dan Manshuri (2007), kebutuhan air pada kedelai yang dipanen umur
100-190 hari yaitu 4.5 mm per hari atau sekitar 31.5 mm per MST. Lampiran 1
menunjukkan bahwa rata-rata kondisi curah hujan pada tiap MST lebih dari 31.5
mm per MST sehingga air sebagai salah satu syarat tumbuh pertumbuhan kedelai
pada penelitian ini terpenuhi.
Air menjadi faktor pembatas daya tumbuh kedelai pada 1 MST yang hanya
sebesar 64 %. Hal tersebut ditunjukkan pada Lampiran 1, curah hujan pada satu
MST lebih rendah dibandingkan waktu-waktu lainnya, karena terhambatnya
proses imbibisi benih, maka daya kecambah kedelai rendah. Selain itu, adanya
serangan cendawan Asperigullus flavus yang menyebabkan benih busuk atau mati.
Daya tumbuh kedelai mengalami peningkatan menjadi 94% setelah dilakukan
penyulaman. Peningkatan tersebut salah satunya dipengaruhi ketersediaan air
tercukupi karena adanya kenaikan intensitas curah hujan pada 2 MST
(Gambar 1a).
Masa mulai berbunga pada penelitian ini mengalami kemunduran 1 MST
dibandingkan Andriyani (2005) dan 2 MST jika dibandingkan Kurniasih (2006),
sehingga masa panen pada penelitian ini juga mengalami kemunduran satu
minggu lebih lama (13 MST) jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Andriyani (2005). Kemunduran masa panen tersebut diduga karena
perbedaan kondisi cuaca. Curah hujan pada percobaan ini lebih tinggi daripada
saat percobaan Andriyani (2005) dan Kurniasih (2006), sehingga pertumbuhan
vegetatif tanaman lebih baik dan memasuki fase generatif lebih lambat. Sebagai
akibatnya, umur panen juga lebih panjang dibandingkan kedua penelitian tersebut.
Kedelai termasuk tanaman golongan strata A, yang memerlukan
penyinaran matahari secara penuh. Faktor yang mempengaruhi efisiensi
penerimaan dan pemanfaatan energi sinar matahari, antara lain total luasan daun,
kandungan N dalam sel daun, status air dalam sel daun, suhu dan kandungan CO2
di udara, dan intersepsi radiasi-fotosintesis aktif (Sumarno dan Manshuri, 2007).
23
Tingkat intensitas matahari pada musim tanam (MT) 1 lebih tinggi dibandingkan
MT 2 (Gambar 1b). Intensitas matahari pada fase vegetatif MT 1 lebih tinggi
20.05 % dibandingkan MT 2, dan 7.69 % pada fase generatif lebih besar daripada
MT 2.
Tingkat kecepatan angin pada musim tanam (MT) 2 lebih tinggi
dibandingkan musim tanam 1. Kondisi ini menyebabkan varietas kedelai, baik
Wilis maupun Anjasmoro mengalami rebah. Tingkat kecepatan angin mulai
meningkat pada 7-12 MST (Gambar 1c). Masa-masa tersebut (7 MST) morfologi
kedelai memasuki fase generatif, sehingga faktor kerebahan diduga berdampak
pada penghambatan pembungaan serta penyebab terjadinya etiolasi.
Organisme penggangu tanaman merupakan faktor biotik yang
mempengaruhi produksi kedelai. Jenis hama yang menggangu selama
pertumbuhan kedelai, antara lain ulat api (Setora nitens), lalat pucuk
(Melanagromiza dolicostigma), belalang (Valanga sp. dan Nympahea sp.), kepik
polong (Riptortus linearis), dan rayap (Macrotermes gilvus). Jenis penyakit yang
menyerang tanaman kedelai dalam penelitian ini, yaitu karat daun. Organisme
pengganggu tanaman, jenis gulma yang dominan yaitu teki dan gulma daun lebar.
Kandungan Hara pada Pupuk Organik (Centrosema pubescens, pupuk
kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)
Analisis kandungan hara makro dan mikro dilakukan pada tiga jenis pupuk
organik (Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia diversifolia)
yang digunakan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kandungan C, N, P dari Tithonia
diversifolia tertinggi di antara dua jenis pupuk organik lainnya, yaitu 54.88; 3.64;
0.34 %. Dibandingkan dengan pupuk kandang ayam, kandungan hara C dari
Tithonia diversifolia lebih besar 143.6 %. Hara N dan P Tithonia diversifolia juga
lebih besar berturut-turut 766.7 dan 61.9 % dibandingkan pupuk kandang ayam.
Hal yang berbeda pada unsur hara K, pupuk kandang ayam lebih tinggi sebesar
23.08 % dan 14.29 % dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia
diversifolia.
24
Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam Tiga Jenis Pupuk Organik
(Centrosema pubescens, Pupuk Kandang Ayam, dan Tithonia
diversifolia)
Perlakuan C N P K Ca Mg Fe Cu Zn Mn
...............................(%)...................... ..........................ppm..................
Centrosema
pubescens
54.19 2.97 0.33 0.52 0.64 0.28 1 729.15 42.02 32.95 135.70
Pupuk
kandang
ayam
22.53 0.42 0.21 0.64 0.87 0.21 5 119.10 365.12 2.90 52.70
Tithonia
diversifolia
54.88 3.64 0.34 0.56 0.70 0.32 1 622.15 33.26 47.75 141.05
Proses Pengomposan Pupuk Organik
Pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan
yang menyerupai humus (C/N mendekati 10). Faktor yang mempengaruhi
pengomposan, antara lain kelembaban, sirkulasi udara, penghalusan dan
pencampuran bahan, nisbah C/N, nilai pH, dan suhu (Sutanto, 2002). Temperatur
dan curah hujan (Lampiran 1) selama satu bulan (Oktober) cukup mendukung
proses dekomposisi dengan metode penimbunan, yaitu berturut-turut 23.51 ºC dan
18.39 mm/hari. Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pH tanah sebagai syarat
optimum dekomposisi yaitu 5.0-8.0, sehinggga pH 6.57 (pada tanah penelitian)
masih dalam rentang tersebut. Adanya proses pencacahan pada bahan pupuk hijau
(Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia) menunjang untuk mempercepat
proses pengomposan.
Dilihat dari nisbah C/N, Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam,
Tithonia diversifolia, masing-masing 18.25, 53.64, dan 15.08 (Tabel 4). Nisbah
C/N merupakan indikator yang menunjukkan tingkat dekomposisi dari bahan
organik (Indranada, 1989). Nisbah C/N dari bahan kompos yang optimal yaitu
20-35. Pupuk kandang ayam yang digunakan untuk bahan dasar kompos memiliki
nisbah C/N besar, yaitu 53.64. Nisbah C/N pupuk kandang ayam ini tergolong
lebih tinggi dibandingkan Hartatik dan Widowati (2005), perbedaannya mencapai
387.6 %. Perbedaan yang signifikan tersebut diduga karena faktor sejarah pupuk
Jenis Pupuk Organik Nisbah C/N
Centrosema pubescens 18.25
Pupuk kandang ayam 53.64
Tithonia diversifolia 15.08
25
kandang ayam yang digunakan. Bahan pupuk kandang ayam yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan pupuk organik tersimpan di gudang kebun sejak
musim tanam pertama, sehingga diduga N dalam pupuk kandang ayam berkurang
karena penguapan atau melalui denitrifikasi. Dugaan tersebut ditunjang oleh
penjelasan Soepardi (1983) bahwa adanya pelapukan aerob dan anaerob
menyebabkan kehilangan nitrogen yang cepat dalam bentuk amonia, nitrat, dan
gas nitrogen. Tidak adanya kegiatan preventif untuk mengurangi kehilangan
nitrogen dengan cara memadatkan dan membasahkan diduga mempengaruhi
kehilangan N secara cepat. Hal tersebut ditunjang dengan data analisis kandungan
hara makro pada penelitian musim pertama yang dilakukan oleh Kurniansyah
(2010) bahwa kadar N pupuk kandang mencapai 1.14 % atau lebih besar 171.4 %
dibandingkan musim tanam kedua (penelitian ini). Nisbah C/N yang tinggi pada
pupuk kandang ayam dalam penelitian ini mungkin tidak diartikan terjadinya
penghambatan proses dekomposisi tetapi karena terbatasnya jumlah nitrogen.
Sumbangan Hara Potensial
Sumbangan hara potensial didapatkan dari perhitungan perkalian antara
sumber hara dari kadar unsur hara makro (%) tiga jenis pupuk organik (Tabel 4)
dan bobot kering dan jumlah dosis pupuk organik yang digunakan (ton/ha). Hasil
tersebut merupakan dugaan karena adanya pengaruh faktor lingkungan berupa
pencucian dan denitrifikasi yang mempengaruhi kandungan hara sumbangan
potensial.
Tabel 5 menunjukkan bahwa sumbangan hara P dan K potensial tertinggi
yaitu dari perlakuan 10 ton pupuk kandang ayam sebesar 9.03 kg/ha
dan 27.52 kg/ha. Unsur P ini lebih besar 31.3 % dibandingkan Centrosema
pubescens dan 33.6 % dari Tithonia diversifolia. Kandungan K pada sumbangan
hara potensial pupuk kandang ayam juga lebih besar 57.3 dan 57.6 % berturut-
turut dibandingkan Centrosema pubescens dan Tithonia diversifolia. Hal yang
sebaliknya terjadi pada kandungan unsur N, pupuk kandang ayam memiliki hara
N nilai terendah dibandingkan perlakuan 1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton
pupuk kandang ayam dan 1.75 ton Tithonia diversifolia + 5 ton pupuk kandang
ayam yang masing-masingnya 30.34 kg/ha dan 33.11 kg/ha. Dua jenis pupuk di
26
atas lebih besar berturut-turut 67.99 dan 83.33 % dibandingkan pupuk kandang
ayam.
Tabel 5. Sumbangan Unsur Hara Tiga Jenis Pupuk Organik per hektar
Pupuk Kandungan Hara (kg)
N P K
1.75 ton Centrosema pubescens + 5 ton pupuk kandang ayam 30.34 6.88 17.49
10 ton Pupuk kandang ayam 18.06 9.03 27.52
1.75 ton Tithonia diversifolia +5 ton pupuk kandang ayam 33.11 6.76 17.46
Kandungan Hara dari Analisis Tanah sebelum Tanam
Analisis tanah bersifat kualitatif dan kuantitatif. Analisa kualitatif
dijabarkan dengan variable dan kuantitatif melalui angka (Notohadiprawiro,
2006). Berdasarkan hasil analisis tanah awal penelitian dapat diketahui bahwa pH
tanah netral agak masam, yaitu 6.57.
Kandungan hara makro dan mikro dalam analisis tanah nilainya beragam
dan pada umumnya sedang. Berdasarkan rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil
analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994), kandungan C-
organik tergolong sedang (2.74 %). Balittan (2006) menambahkan nilai C-organik
tersebut cukup memenuhi syarat tanah guna memperoleh produktivitas yang
optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.
Nilai P sebesar 58.40 ppm dan unsur makro lainnya, antara lain Ca, Mg,
K, Na, masing-masing 8.93; 4.01; 0.53; 0.98 me/100g. Berdasarkan rentang
klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (1994) (Lampiran 3), nilai Ca dan Mg tersebut tergolong sedang,
unsur K rendah sedangkan Na termasuk tinggi. Kadar mikro Fe, Cu, Zn, Mn
berturut-turut 19.78; 0.59; 3.13; 11.86 ppm (Tabel 3). Berdasarkan Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) (Lampiran 3), diantara unsur mikro
tersebut masih dalam rentang cukup.
29
Perbandingan Hasil Analisis Kandungan Hara Tanah setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2
Perbandingan kandungan hara musim tanam dua dengan musim tanam satu bertujuan untuk mengetahui status hara tanah
setelah adanya aplikasi pupuk organik pada masing-masingnya (Tabel 6).
Tabel 6. Perbandingan Hasil Analisis Hara setelah Musim Tanam (MT) 1 dan MT 2
Perlakuan C-org N-Tot P (Bray I) Ca Mg K Na Fe Cu Zn Mn
.............%.............. ppm .....................me/100g...................... ............................ppm.............................
Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Pertama
CA 1.57 (R) 0.15 (R) 11.57 (R) 11.67 2.61 0.91(R) 0.63 1.24 0.35 0.24 10.76
CW 1.81 0.18 10.57 12.63 3.05 0.83 0.56 1.34 0.40 0.29 13.65
PA 1.75 (R) 0.16 (R) 9.60 (R) 15.54 2.55 0.88(R) 0.58 1.32 0.35 0.19 9.20
PW 1.81 0.17 17.40 16.21 1.02 0.80 1.28 0.32 0.07 6.76 10.8
TA 1.83 (R) 0.17 (R) 10.60 (R) 14.37 2.59 0.92(R) 0.64 1.31 0.35 0.12 7.95
TW 2.02 0.20 13.23 14.67 2.74 0.79 0.65 1.32 0.32 0.04 8.07
Hasil Analisis Hara sebelum Tanam MT 2 (setelah Aplikasi Pupuk Organik)
CA 1.83(S) 0.17(S) 77.0(T) 9.10 4.08 0.42(R) 0.65 17.82 0.64 4.36 15.20
CW 2.71 0.26 38.9 9.56 4.88 0.53 0.94 21.76 0.59 4.12 13.70
PA 2.87(S) 0.26(S) 82.7 9.12 4.37 0.73(R) 1.34 17.60 0.56 1.40 6.80
PW 2.79 0.25 81.4 10.36 4.92 0.63 1.29 17.60 0.64 1.52 10.80
TA 2.15(S) 0.21(S) 30.4 8.22 3.14 0.41(R) 0.73 20.10 0.62 5.38 18.90
TW 2.95 0.25 51.5 8.74 3.92 0.46 0.81 23.38 0.62 4.92 16.80
Hasil Analisis Hara setelah Panen Kedelai Musim Kedua
CA 2.07(R) 0.18(R) 8.70(R) 6.60 2.73 0.98(R) 1.01 0.56 0.08 1.95 32.65
CW 2.00 0.18 9.00 7.33 2.60 0.99 1.04 0.67 0.12 2.51 57.96
PA 2.39(S) 0.22(S) 17.90(R) 7.36 2.61 1.20(S) 1.14 0.55 0.09 0.67 86.51
PW 2.31 0.22 11.40 7.09 2.31 1.11 1.07 0.60 0.23 0.49 90.32
TA 2.07(R) 0.19(R) 8.10(R) 6.47 1.73 1.19(S) 1.04 0.90 0.06 5.61 67.05
TW 1.44 0.15 7.30 7.41 2.86 0.93 1.02 1.09 0.08 0.01 0.40
Keterangan : CA (Centrosema pubescens + Varietas Anjasmoro) TA (Tithonia diversifolia +Varietas Anjasmoro)
CW (Centrosema pubescens + Varietas Wilis) TW (Tithonia diversifolia +Varietas Wilis)
PA (Pupuk kandang ayam + Varietas Anjasmoro) PW (Pupuk kandang ayam + Varietas Wilis)
(R) = rendah; (S) = sedang; (ST) = sangat tinggi; Sumber : (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994)
27
28
Unsur hara makro (C-org, N, P, Mg) umumya mengalami kenaikan dalam
tanah yang mendapat Centrosema pubescens, pupuk kandang ayam, dan Tithonia
diversifolia (Tabel 6). Hal yang sama juga dilaporkan Kariada dan Aribawa
(2004) bahwa adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik
tanah.
Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar N musim tanam 2 pada lahan yang
mendapat pupuk kandang ayam lebih tinggi 18.18 % dibandingkan yang
mendapatkan Centrosema pubescens, dan lebih besar 13.04 % daripada dengan
Tithonia diversifolia. Kadar N tanah mengalami peningkatan setelah aplikasi
pupuk organik. Peningkatan kadar N tertinggi yaitu pada tanah dengan pemberian
jenis pupuk kandang ayam. Hakim et al. (1986) dalam Kariada dan Aribawa
(2004) mengemukakan bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan
senyawa yang mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat, dan gas
nitrogen. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh Hairunsyah (1991),
Raihan dan Nurtirtayani (2001) dalam Kariada dan Aribawa (2009) yang
melaporkan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan
pemberian pupuk organik.
Kandungan P meningkat tajam selama proses dekomposisi. Peningkatan
ketersediaan P tanah disebabkan oleh penguraian mikrobiologis dari pupuk
organik yang diberikan oleh mikroba tanah yang melibatkan proses enzimatik,
dimana P organik akan dibebaskan menjadi fosfat anorganik sehingga tersedia
dalam tanah (Hairunsyah, 1991; Raihan dan Nurtirtayani, 2001 dalam Kariada
dan Aribawa, 2004). Kadar P tersedia dalam tanah yang diberi pupuk kandang
ayam lebih tinggi 57.18 % dibandingkan Centrosema pubescens dan 100.37 %
daripada Tithonia diversifolia.
Tabel 6 juga menunjukkan bahwa kandungan N pada pupuk kandang
ayam kontinyu tersedia selama periode pertumbuhan kedelai, hal tersebut terlihat
dari residu hara setelah panen MT 1 yang tidak berbeda jauh dari data analisis
tanah setelah aplikasi. Pupuk kandang ayam memiliki jumlah kandungan hara N
tersisa ditanah (analisis setelah panen MT 2) lebih tinggi sebesar 22.2 dan 29.4 %
berturut-turut dibandingkan dengan Centrosema pubescens dan Tithonia
diversifolia. Pelepasan hara N dari pupuk kandang ayam bertahap dalam masanya,
29
sehingga menekan kehilangan N melalui penguapan, pencucian, maupun
denitrifikasi. Hal tersebut mengindikasikan sumbangan hara (residu) relatif
banyak untuk musim tanam berikutnya.
Data pada Tabel 6 menunjukkan residu P dan K terbanyak dari musim
tanam sebelumnya yaitu berasal dari pupuk kandang ayam. Tanah dengan
perlakuan pupuk kandang memiliki kandungan hara P lebih tinggi 65.5 %
dibandingkan perlakuan C. pubescens dan 90.3 % daripada tanah yang mendapat
T. diversifolia. Selain itu residu K dari penambahan pupuk kandang ayam juga
lebih tinggi berturut-turut 17.8 dan 9.4 % dibandingkan C. pubescens dan
T. diversifolia. Hal tersebut mengindikatorkan bahwa K dan P dari pupuk kandang
ayam terdekomposisi hingga tersedia secara bertahap dalam tiap musim
tanamnya.
Fase Vegetatif dan Generatif
Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh
banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh. Fase
berakhir jika fase generatif dimulai, yaitu dengan munculnya bunga dan diakhiri
jika 95 % polong telah matang (Fehr dan Caviness, 1977 dalam Adie dan
Krisnawati 2007). Fase perkecambahan kedelai varietas Wilis dan Anjasmoro
dimulai 3-4 Hari Setelah Tanam (HST). Fase generatif, mulai saat berbunga pada
7 Minggu Setelah Tanam (MST). Selanjutnya pembentukan polong terjadi
pada 7-8 MST, polong terisi penuh pada 10-11 MST dan mengeras pada 12-13
MST. Umur tanaman tersebut berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya,
terjadi kemunduran waktu lebih lama ± 1-2 minggu. Perbedaan waktu diduga
karena perbedaan perlakuan dan kondisi lingkungan (curah hujan dan temperatur).
Fase generatif penelitian kali ini masuk dalam musim penghujan, dengan
intensitas curah hujan tinggi (39.33 mm/MST atau 275.13 mm/bulan), intensitas
matahari (1716.5 cal/cm2/menit
2) dan suhu rendah (24.85 ºC) (Lampiran 1).
Kondisi tersebut tergolong optimal menunjang fase generatif. Hal tersebut sesuai
dengan Irwan (2006) yang melaporkan bahwa suhu optimal pembungaan
yaitu 24-25
ºC. Sumarno dan Manshuri (2007) juga menyebutkan bahwa
intensitas curah hujan optimum untuk tumbuh yaitu 200-300 mm/musim tanam.
30
Hasil
Tabel 7 menunjukkan bahwa kombinasi jenis pupuk organik dengan
varietas tidak berpengaruh nyata terhadap komponen vegetatif maupun generatif.
Jenis pupuk organik umumnya tidak berpengaruh nyata terhadap komponen
vegetatif dan generatif, bobot basah bintil akar, jumlah buku produktif, dan
jumlah cabang. Varietas umumnya berbeda nyata pada komponen vegetatif dan
generatif.
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Komponen Pertumbuhan dan
Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk Organik serta
Varietas
Peubah
Perlakuan
Umur
(MST)
Pupuk
(P)
Varietas
(V)
P*V KK
(%)
A. Vegetatif
Tinggi (cm) 2 tn ** tn 7.31
3 tn ** tn 12.02
4 tn * tn 10.04
5 tn ** tn 4.89
6 tn ** tn 5.46
7 tn * tn 5.56
8 tn tn tn 4.53
Jumlah Daun 2 tn tn tn 8.78
3 tn tn tn 6.35
4 tn tn tn 8.66
5 tn tn tn 13.56
6 tn tn tn 19.1
7 tn tn tn 10.76
8 tn tn tn 11.67
Bobot basah batang (g) 7 tn tn tn 15.27
Bobot basah daun (g) 7 tn * tn 18.69
Bobot basah akar (g) 7 tn * tn 22.12
Bobot basah bintil akar (g) 7 * ** tn 18.31
Bobot kering batang (g) 7 tn tn tn 10.24
Bobot kering daun (g) 7 tn * tn 21.93
Bobot kering bintil akar (g) 7 tn * tn 29.20
Bobot kering akar (g) 7 tn * tn 13.62
Kadar N daun (%) 7 tn tn tn 7.14
Kadar P daun (%) 7 tn tn tn 1.98
Kadar K daun (%) 7 ** ** tn 7.49
Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn * tn 23.72
Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn * tn 21.96
Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn ** tn 24.86
Serapan N tajuk (g/tanaman) 7 tn tn tn 10.69
31
Peubah
Perlakuan
Umur
(MST)
Pupuk
(P)
Varietas
(V)
P*V KK
(%)
Serapan P tajuk (g/tanaman) 7 tn tn tn 10.02
Serapan K tajuk (g/tanaman) 7 tn ** tn 12.89
b. Komponen Produktif
Jumlah cabang/ tanaman * ** tn 11.52
Bobot tajuk tanaman contoh (g) tn tn tn 24.92
Jumlah tanaman petak bersih /4.32 m2 tn tn tn 24.97
Jumlah tanaman petak pinggir/ 2.88 m2 tn tn tn 17.35
Jumlah polong isi/ tanaman ** ** tn 7.5
Jumlah polong hampa/ tanaman tn tn tn 27.39(xx)
Bobot 100 biji (g) tn ** tn 5.44
BK biji tanaman contoh (g) tn tn tn 21.59
BK biji pada petak bersih (g/4.32 m2) tn * tn 12.16
BK biji pada petak pinggir (g/2.88 m2) * tn * 8.79
Potensi produksi (ton/ha) tn ** tn 12.17
Kadar N pada biji kering (%) tn tn tn 9.49
Kadar P pada biji kering (%) tn ** tn 3.31
Kadar K pada biji kering (%) tn tn tn 4.84
Kadar Fe pada biji kering (%) ** tn ** 8.16
Kadar Zn pada biji kering (%) tn tn tn 14.07
Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada
taraf 1%. (xx) hasil transformasi √(x+1)
A. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Vegetatif Kedelai
Fase vegetatif dicirikan dengan adanya penambahan tinggi dan jumlah
daun. Fase vegetatif diakhiri dengan munculnya bunga (Adie dan Krisnawati,
2007). Berdasarkan Tabel 8, jenis pupuk organik berpengaruh nyata terhadap
bobot basah bintil akar dan intensitas keparahan penyakit, serta berpengaruh
sangat nyata terhadap kandungan hara K daun dan intensitas serangan hama.
Tabel 8 juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata dari tiga jenis pupuk
organik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, kandungan hara N dan P daun,
serapan NPK daun, bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah akar,
bobot kering akar, bobot kering bintil akar, bobot kering batang, dan bobot kering
daun.
Ada perbedaan, meskipun tidak nyata, tinggi tanaman yang mendapat
pupuk kandang dengan yang lainnya, hal tersebut mungkin berkaitan dengan
kadar hara dalam tanah. Kadar N, P, K tanah pada MT 2 lebih tinggi pada tanah
yang mendapat pupuk kandang ayam. Faktor lingkungan berpengaruh relatif besar
32
terhadap tinggi tanaman dalam penelitian ini. Kondisi lingkungan berupa curah
hujan tinggi (Gambar 1a) diikuti dengan kekuatan angin yang besar menjelang 6-7
MST (Gambar 1c) menyebabkan tanaman kedelai rebah. Kedelai yang rebah,
menyebabkan letak pucuk tanaman berada di bawah (mendekati tanah). Adanya
sifat fotoperiodisme tanaman, yaitu tumbuh menuju arah sinar matahari,
menyebabkan tanaman kedelai mengalami etiolasi dengan jarak antar internode
pada batang cukup berjauhan, kurus, dan lemah. Hal tersebut ditunjukkan pada
Tabel 8 tingkat pertumbuhan tanaman saat 6-8 MST mengalami peningkatan
tajam pada tiap minggunya.
Tabel 8 menunjukan bahwa perlakuan pupuk organik berpengaruh sangat
nyata terhadap kandungan hara K daun, serta tidak berpengaruh nyata pada
kandungan hara N dan P daun. Kandungan hara K daun kedelai dari penambahan
Centrosema pubescens memiliki nilai tertinggi dibandingkan dua pupuk organik
lainnya. Serapan K daun pada perlakuan Centrosema pubescens lebih
besar 15.71 % dan 15 % dibandingkan perlakuan pupuk kandang ayam dan
Tithonia diversifolia. Kadar N daun pada penelitian ini belum optimal pada semua
jenis pupuk organik yang digunakan. Kadar N daun pada perlakuan pupuk
kandang hanya mencapai 82.60 % dari kriteria tingkat optimal jika merujuk pada
Vitosh et al. (1995) pada nilai 4.25-5.50 %. Hal yang berbeda terjadi pada serapan
P dan K daun bahwa dari semua jenis pupuk organik cukup mencapai optimal dari
kriteria, yaitu melebihi 0.30-0.50 % (P) dan 2.01-2.50 % (K) jika dibandingkan
dengan kriteria menurut Vitosh et al. (1995).
Tabel 8. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Tiga Jenis
Pupuk Organik
Peubah
Jenis Pupuk
Umur
(MST)
Uji F Pupuk
kandang
ayam
Tithonia
diversifolia
Centrosema
pubescens
Tinggi (cm) 2 tn 13.01 12.97 12.89
3 tn 18.99 18.61 20.74
4 tn 32.88 34.10 34.71
5 tn 50.30 50.10 50.21
6 tn 70.60 69.28 68.71
7 tn 89.23 88.46 86.34
33
Peubah
Jenis Pupuk
Umur
(MST)
Uji F Pupuk
kandang
ayam
Tithonia
diversifolia
Centrosema
pubescens
8 tn 92.81 92.23 88.85
Jumlah Daun 2 tn 1.9 2.0 1.9
3 tn 3.8 3.8 3.7
4
5
tn
tn
6.9
10.8
6.7
9.7
6.4
9.7
6 tn 15.9 14.4 15.9
7 tn 20.3 18.9 20.3
8 tn 20.3 19.4 21.7
Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.60 3.56 3.69
Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.59 0.56 0.60
Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.18b 3.20b 3.69a
Serapan N daun (g/tanaman) 7 tn 34.24 30.04 29.24
Serapan P daun (g/tanaman) 7 tn 5.64 4.68 4.75
Serapan K daun (g/tanaman) 7 tn 30.31 27.70 29.34
Bobot basah daun (g) 7 tn 36.29 29.46 28.79
Bobot basah batang (g) 7 tn 50.50 45.33 42.75
Bobot basah akar (g) 7 tn 4.25 3.67 3.58
Bobot basah bintil akar (g) 7 * 0.98b 1.47a 1.13b
Bobot kering daun (g) 7 tn 9.48 8.43 7.92
Bobot kering batang (g) 7 tn 8.93 8.56 7.80
Bobot kering akar (g) 7 tn 1.28 1.14 1.08
Bobot kering bintil akar (g) 7 tn 0.34 0.47 0.36
Intensitas serangan hama (%) 7 ** 17.51a 14.72b 15.17b
Intensitas keparahan penyakit
(%)
7 * 10.61a 8.27b 10.25a
Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada
taraf 1%.
Intensitas serangan hama sangat nyata dipengaruhi jenis pupuk organik
(Tabel 8). Tingkat serangan tertinggi pada tanaman yang mendapat pupuk
kandang ayam, yaitu berturut-turut lebih besar 18.95, 15.43 % dibandingkan yang
mendapatkan Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens. Jenis pupuk
organik juga berpengaruh nyata terhadap intensitas keparahan penyakit. Hal yang
sama juga pada tingkat keparahan penyakit, tanaman dengan perlakuan pupuk
kandang ayam menyebabkan tingkat keparahan penyakit terbanyak dibandingkan
dua perlakuan jenis pupuk organik lainnya. Intensitas serangan hama dan
keparahan penyakit dipengaruhi oleh tingkat kadar air pada tanaman. Lampiran 4
menunjukkan bahwa kadar air pada tajuk tanaman kedelai yang mendapatkan
pupuk kandang ayam memiliki kadar air lebih tinggi dibandingkan perlakuan
34
Tithonia diversifolia dan Centrosema pubescens, sehingga diduga lebih sekulen
sehingga menyebabkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit tertinggi
dibandingkan dua perlakuan pupuk organik lainnya.
B. Komponen Vegetatif Dua Varietas Kedelai
Dua jenis varietas kedelai berbeda sangat nyata pada tinggi 2, 3, 5, dan 6
MST, kandungan hara K daun serta bobot basah bintil akar. Varietas kedelai juga
berbeda nyata pada tinggi tanaman 4 dan 7 MST, bobot basah akar dan daun,
bobot kering daun, akar serta bintil akar. Anjasmoro dan Wilis masing-masing
tingginya, yaitu 92.06 dan 90.53 cm (Tabel 9). Hal yang berbeda ditunjukkan oleh
Balitkabi (2008) yang mendeskripsikan ketinggian Anjasmoro dan Wilis,
berturut-turut 64-68 cm dan 40-50 cm. Adanya penambahan tinggi yang cukup
berbeda jauh ini salah satunya disebabkan oleh adanya etiolasi. Selain itu
perbedaan kondisi lingkungan antara daerah Malang yang memiliki intensitas
matahari lebih tinggi dibandingkan di Bogor (banyak awan) dan adanya
penggunaan pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia
tanah memperbaiki pertumbuhan tanaman.
Penambahan tinggi tanaman kedelai setelah memasuki fase generatif yang
ditunjukkan pada Tabel 8, mengindikasikan varietas Anjasmoro dan Wilis dalam
kondisi dapat digolongkan indeterminate. Adie dan Krisnawati (2007)
menjelaskan ciri-ciri kedelai tipe indeterminate yaitu pertumbuhan vegetatif
berlanjut setelah berbunga, batang daun tinggi, melilit, dan daun teratas lebih kecil
dari daun pada batang bagian atasnya. Ukuran ujung batang lebih kecil dari
batang tengah. Selain itu masa berbunga lebih lama. Kondisi tanaman tersebut
(penelitian ini) tidak sesuai yang disebutkan dalam deskripsi kedelai (Balitkabi,
2008) yang menjelaskan bahwa varieatas Anjasmoro dan Wilis dikategorikan
determinate, yaitu karena tinggi tanaman yang masih meningkat setelah
memasuki fase generatif. Adanya kondisi tersebut diduga mendukung
peningkatan produktivitas kedelai MT 2.
35
Varietas tidak berbeda nyata pada jumlah daun. Berdasarkan morfologi
bentuk daun, varietas Wilis lebih kecil dibandingkan Anjasmoro, sehingga
menunjang pembentukan daun dalam jumlah yang lebih banyak.
Tabel 9. Komponen Pertumbuhan Kedelai pada Perlakuan Varietas
Peubah
Varietas
Umur
(MST)
Uji F Anjasmoro Wilis
Tinggi (cm) 2 ** 14.20a 11.71b
3 ** 21.57a 17.32b
4 * 36.33a 31.46b
5 ** 53.97a 46.43b
6 ** 73.83a 65.21b
7 * 91.32a 84.70b
8 tn 92.06 90.53
Jumlah Daun 2 tn 1.9 1.9
3 tn 3.8 3.7
4 tn 6.4 6.9
5 tn 9.4b 10.8a
6 tn 15.4 15.4
7 tn 19.2 20.4
8 tn 19.4 21.5
Kandungan hara N daun (%) 7 tn 3.65 3.58
Kandungan hara P daun (%) 7 tn 0.58 0.59
Kandungan hara K daun (%) 7 ** 3.61a 3.10b
Serapan N daun (g/tanaman) 7 * 35.74a 26.61b
Serapan P daun (g/tanaman) 7 * 5.67a 4.38b
Serapan K daun (g/tanaman) 7 ** 35.19a 23.04b
Bobot basah daun (g) 7 * 35.75a 27.28b
Bobot basah batang (g) 7 tn 47.36a 45.03b
Bobot basah akar (g) 7 * 4.36a 3.31b
Bobot basah bintil akar (g) 7 ** 1.39a 0.99b
Bobot kering daun (g) 7 * 9.78a 7.44b
Bobot kering batang (g) 7 tn 8.84 8.03
Bobot kering akar (g) 7 ** 1.32a 1.01b
Bobot kering bintil akar (g) 7 * 0.46a 0.32b
Intensitas serangan hama (%) 7 tn 15.38 16.22
Intensitas keparahan penyakit (%) 7 tn 9.80 9.62
Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada
taraf 1%.
Varietas berbeda nyata pada bobot basah akar, bobot basah daun dan
berbeda sangat nyata pada bobot basah bintil akar. Tabel 9 menunjukkan bahwa
morfologi dari kedelai varietas Anjasmoro lebih baik dibandingkan Wilis, dengan
ditunjangnya sifat fisik tanaman yang baik, sehingga dihasilkan potensi produksi
yang lebih besar juga (Tabel 12).
36
Varietas berbeda nyata pada serapan N, P, K daun. Tingkat serapan N, P,
K daun dari Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Serapan N daun
pada varietas Anjasmoro dan Wilis kurang dari tingkat optimal serapan N yang
ditunjukan oleh Vitosh et al (1995) yaitu 4.25-5.50 %. Hal yang sebaliknya
terjadi pada serapan P dan K, tingkat serapan P dan K daun Anjasmoro mencapai
1.5 kali lipat dari batas bawah kriteria serapan P (Lampiran 4).
C. Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan dalam Teknik Budidaya
Kedelai Organik
Tabel 10 menunjukkan bahwa jumlah sumbangan hara N dan K pada tanah
dari pupuk organik lebih banyak dibandingkan jumlah hara dalam pupuk
anorganik yang direkomendasikan oleh Adisarwanto et al. (2005) dengan dosis 50
kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl /ha. Estimasi ketersediaan hara N
tanah tertinggi pada MT 2 yaitu berasal dari pupuk kandang ayam, yaitu lebih
tinggi 18.60 % dibandingkan dari Centrosema pubescens dan 10.87 % daripada
Tithonia diversifolia. Jumlah hara P tanah tertinggi yaitu pada pemberian pupuk
organik jenis pupuk kandang ayam dengan 100.37 % lebih tinggi dibandingkan
Centrosema pubescens. Dibandingkan dengan pupuk anorganik, kadar P tanah
dari perlakuan pupuk kandang ayam lebih besar 447 %. Diantara tiga jenis pupuk
organik, tanah yang mendapat tambahan pupuk kandang ayam memiliki jumlah
hara K tertinggi dan juga lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk anorganik.
Ketersediaan K tanah dari perlakuan pupuk kandang ayam lebih tinggi 8.8 %
dibandingkan tanah yang mendapat tambahan pupuk anorganik. Hal tersebut
menjelaskan bahwa jumlah sumbangan hara dari pemberian atau aplikasi pupuk
organik yang digunakan pada penelitian ini hampir menyetarai bahkan melebihi
pupuk anorganik (khususnya untuk hara N dan P).
Tabel 10 menunjukkan bahwa ketersediaan hara pada tanah yang diberi
jenis pupuk organik lebih sedikit dibandingkan serapan hara tajuk tanaman dan di
antara ketiga jenis unsur hara makro, hanya unsur P dari pupuk organik yang
dapat memenuhi kebutuhan serapan hara tajuk. Dosis pupuk kandang ayam yang
digunakan pada penelitian ini (MT 2) memberikan hara P lebih banyak sebesar
625.30 % dibandingkan kebutuhan serapan tajuk tanaman kedelai. Unsur N dari
37
pupuk kandang lebih rendah daripada serapan hara dari tajuk tanaman. Serapan
hara N dalam tajuk tanaman lebih banyak 66.85 % dibandingkan dengan jumlah
hara tanah pada perlakuan pupuk kandang ayam, 173.77 % lebih besar
dibandingkan tanah dengan aplikasi Tithonia diversifolia, dan 181.22 % lebih
tinggi daripada tanah pada perlakuan Centrosema pubescens. Kadar K pada tanah
aplikasi pupuk kandang ayam hampir memenuhi kebutuhan hara serapan tajuk
tanaman jika dibandingkan dengan dua jenis perlakuan pupuk organik lainnya.
Unsur K pada tanah dengan perlakuan pupuk kandang ayam hanya
sebesar 44.60 % dari kebutuhan hara serapan tajuk tanaman.
Tabel 10. Estimasi Ketersediaan Hara dan Serapan
Unsur
Hara
Pemupukan Serapan
Hara
Tajuk
(kg/ha)
Hara dalam Tanah (kg/ha)
Dosis
Rekomendasi
Kedelai
Konvensional
(kg/ha)
Sesudah
MT I
Saat
MT II
N Tithonia diversifolia 151.12 44.4 55.2 22.5
Pupuk kandang ayam 165.69 39.6 61.2
Centrocema pubescens 145.11 39.6 51.6
P Tithonia diversifolia 23.77 28.60 98.28 36
Pupuk kandang ayam 27.15 32.4 196.92
Centrocema pubescens 23.60 26.57 139.08
K Tithonia diversifolia 135.84 82.08 41.76 60
Pupuk kandang ayam 146.36 80.64 65.28
Centrocema pubescens 144.72 83.52 45.6
Tabel 10 menunjukkan bahwa dari perhitungan estimasi serapan hara tajuk
tanaman lebih banyak dibandingkan hara tanah tetapi pertumbuhan tanaman di
lapangan tetap cukup optimal. Hal tersebut diduga karena adanya penambahan
pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah terutama strukurnya sehingga
aerasi meningkatkan kemampuan tanah dalam daya pegang air dan menciptakan
kondisi optimal untuk ketersediaan hara. Selain itu pupuk organik juga
memperbaiki sifat biologi tanah yaitu dengan menunjang perkembangbiakan
mikroorganisme tanah. Adanya pengaruh residu dari musim tanam sebelumnya
diduga telah memperbaiki sifat tanah sehingga hara tersedia secara kontinyu untuk
38
menunjang pertumbuhan tanaman kedelai secara optimal. Hal tersebut didukung
oleh analisis tanah (Tabel 5) yang menunjukkan bahwa kandungan C-Organik, N,
dan P meningkat setelah aplikasi pupuk organik serta hara residu pada musim
tanah selanjutnya tetap tersedia.
D. Pengaruh Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi Kedelai
Pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia, dan Centrosema pubescens
berpengaruh nyata pada jumlah cabang dan bobot kering (BK) biji pada petak
pinggir, serta berpengaruh sangat nyata pada jumlah polong isi. Tanaman kedelai
dengan perlakuan jenis pupuk hijau (Centrosema pubescens) memiliki jumlah
cabang dan jumlah polong isi lebih tinggi dibandingkan yang mendapat pupuk
kandang ayam, masing-masingnya 11.5 % dan 21.3 %. Peubah jumlah cabang dan
jumlah polong isi dari tanaman kedelai yang mendapatkan perlakuan Tithonia
diversifolia mempunyai nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan dua jenis
pupuk organik lainnya. Tanaman kedelai dengan perlakuan Centrosema
pubescens memiliki jumlah polong isi terbanyak, tetapi memiliki BK biji per
petak bersih (4.32 m2) terendah, hal tersebut disebabkan oleh jumlah tanaman
yang lebih rendah dibandingkan pada dua jenis pupuk organik lainnya (Tithonia
diversifolia dan pupuk kandang ayam) (Tabel 11). Jumlah tanaman yang rendah
tersebut dari perlakuan Centrosema pubescens disebabkan oleh daya tumbuh yang
rendah dibandingkan dengan dua perlakuan pupuk organik lainnya.
Tabel 11. Komponen Produksi Kedelai pada perlakuan Jenis Pupuk
Organik
Peubah
Jenis Pupuk
Uji F Pupuk
kandang
ayam
Tithonia
diversifolia
Centrosema
pubescens
Jumlah cabang/tanaman * 7.8ab 7.1b 8.7a
BK tajuk tanaman contoh (g/tanaman) tn 24.92 21.53 28.65
Jumlah tanaman petak bersih/4.32 m2 tn 76.3 87.3 65.0
Jumlah tanaman petak pinggir/2.88 m2 tn 62.7 77.0 71.0
Jumlah polong isi/tanaman ** 94.4b 86.3b 114.5a
Jumlah polong hampa/tanaman tn 2.9 3.0 4.1
Bobot 100 biji (g) tn 15.80 15.13 15.37
39
Peubah
Jenis Pupuk
Uji F Pupuk
kandang
ayam
Tithonia
diversifolia
Centrosema
pubescens
BK biji tanaman contoh (g/tanaman) tn 26.83 23.15 23.90
BK biji petak bersih (g/ 4.32m2) tn 921.83 894.33 820.78
BK biji petak pinggir (g/2.88 m2) * 710.33b 862.17a 798.83a
Potensi produksi (ton/ha) tn 2.13 2.07 1.99
Kadar N pada biji kering (%) tn 7.71 7.73 7.71
Kadar P pada biji kering (%) tn 0.74 0.72 0.75
Kadar K pada biji kering (%) tn 1.75 1.75 1.68
Kadar Fe pada biji kering (%) ** 141.05b 160.31a 126.69b
Kadar Zn pada biji kering (%) tn 83.80 71.56 75.67
Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada
taraf 1%.
E. Komponen Produksi Dua Varietas Kedelai
Varietas berbeda sangat nyata pada bobot 100 biji, jumlah cabang, jumlah
polong isi serta nyata pada jumlah buku produktif dan jumlah tanaman pinggir
(Tabel 12). Kedelai varietas Anjasmoro berkarakteristik berbiji besar. BK 100 biji
Anjasmoro lebih besar 59.76 % dibandingkan Wilis. BK 100 biji pada penelitian
ini juga lebih tinggi dibandingkan deskripsi varietas Anjasmoro oleh Balitkabi
(2008) (Lampiran 5), yaitu sebesar 24.05%. Potensi produksi Anjasmoro lebih
besar 9.79 % dibandingkan Wilis. Bobot tajuk tanaman varietas Anjasmoro lebih
banyak dibandingkan Wilis karena morfologi jenis Anjasmoro lebih besar
(diameter batang lebih besar, daun lebih lebar, dan akar yang lebih banyak). Hal
tersebut terlihat dari bobot basah dan kering dari kedelai varietas Anjasmoro yang
lebih banyak (Tabel 9).
Jumlah tanaman Anjasmoro lebih sedikit dibandingkan dengan Wilis.
Tingkat ketahanan hidup dari tanaman petak bersih Wilis lebih banyak 29.52 %
dibandingkan Anjasmoro. Hal tersebut diduga karena jenis Wilis lebih adaptif
pada lingkungan wilayah Bogor dan teknik budidaya yang diterapkan. Morfologi
tanaman kedelai varietas Wilis yang lebih kecil dibandingkan dengan Anjasmoro
(Tabel 9) sehingga tingkat kerebahan atau kerusakan (kematian) tanaman lebih
rendah.
40
Tabel 12. Komponen Produksi Kedelai pada Perlakuan Dua Varietas
Kedelai
Peubah
Varietas
Uji F Anjasmoro Wilis
Jumlah cabang/tanaman ** 7.0b 8.8a
BK tajuk tanaman contoh (g/tanaman) tn 26.40 23.67
Jumlah tanaman petak bersih/4.32m2 tn 66.4 86.0
Jumlah tanaman petak pinggir tn 64.1 76.3
Jumlah polong isi/tanaman ** 87.1b 106.7a
Jumlah polong hampa/tanaman tn 3.8 2.9
Bobot 100 biji (g) ** 18.98a 11.88b
BK biji tanaman contoh (g/tanaman) tn 27.04 24.43
BK petak bersih (g/ 4.32m2) tn 918.44 839.52
BK petak pinggir (g/ 2.88 m2) * 744.56b 836.33a
Potensi produksi (ton/ha) tn 2.13 1.94
Kadar N pada biji kering (%) tn 7.67 7.76
Kadar P pada biji kering (%) ** 0.76a 0.71b
Kadar K pada biji kering (%) tn 1.76 1.70
Kadar Fe pada biji kering (%) tn 146.63 138.73
Kadar Zn pada biji kering (%) tn 72.14 81.88
Keterangan: (tn) tidak berbeda nyata; (*) berbeda nyata pada taraf 5%; (**) berbeda nyata pada taraf 1%.
F. Korelasi Peubah Vegetatif dan Komponen Produksi Kedelai
Berdasarkan data di Lampiran 2, tinggi tanaman berkorelasi positif dengan
BK biji pada petak bersih, bobot 100 biji, dan produktivitas. Hal tersebut
ditunjang dengan adanya jumlah daun yang juga berkorelasi positif dengan polong
isi dan produktivitas. Jumlah cabang berkorelasi positif terhadap polong isi, BK
petak bersih, dan produktivitas. Jumlah buku produktif berkorelasi positif
terhadap polong isi. BK petak bersih juga berkorelasi positif terhadap potensi
produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen vegetatif (tinggi tanaman
jumlah daun) sebagai sources dari proses fotosintesis dalam menghasilkan hasil
assimilat untuk didistribusikan ke sink pada tanaman kedelai.
41
G. Perbandingan Potensi Produksi Kedelai antara Musim Tanam 1 dan
Musim Tanam 2 pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas
Berdasarkan data Tabel 13, terjadi peningkatan pada semua tingkat
produksi di masing-masing tiga jenis pupuk organik pada musim tanam 2.
Perbedaan hasil produksi tersebut diduga dipengaruhi faktor lingkungan dan
ketersediaan unsur hara. Diketahui bahwa pada penelitian MT 2 kondisi
lingkungan optimal, selain itu disebabkan oleh rendahnya tingkat serangan hama
dan penyakit. Faktor unsur hara yang terpenuhi, khususnya, fosfor dan kalium
menunjang terjadinya optimalisasi produktivitas. Hara tersebut selain juga
didapatkan dengan adanya penambahan input, juga karena adanya faktor residu.
Tabel 13. Perbandingan Potensi Produksi pada Musim Tanam 1 dan 2
pada Tiga Jenis Pupuk Organik dan Dua Varietas Kedelai
Musim Tanam 1 (ton/ha)
(Kurniansyah, 2010)
Musim Tanam 2
(ton/ha)
a. Pupuk Organik
Centrosema pubescens 1.33 1.89
Pupuk kandang ayam 1.16 2.13
Tithonia diversifolia 1.48 2.07
b. Varietas
Anjasmoro 1.57 2.13
Wilis 1.07 1.94
Dilihat dari sifat persediaan zat makanan, pupuk kandang tersedia secara
bertahap bagi tanaman. Pemberian secara teratur ke dalam tanah, sehingga daya
menghasilkan tanah tersebut dalam jangka waktu yang lama akan tetap baik. Hal
ini karena di dalam tanah telah terbentuk sejumlah unsur hara atau zat esensial
bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa peningkatan produksi pada
musim tanam ke dua juga terjadi pada faktor varietas. Potensi produksi pada
penelitian ini (musim tanam ke dua) secara umum lebih tinggi dibandingkan
deskripsi varietas dari Balitkabi (2008). Peningkatan ini diduga karena adanya
kondisi lingkungan yang cocok dan penerapan teknologi budidaya yang sesuai.
Potensi produksi pada varietas Wilis lebih tinggi 21.25 % dibandingkan deskripsi
Balitkabi (2008). Kondisi lingkungan yang optimum pada musim tanam dua ini
42
terlihat dari peningkatan C organik, N-total, P, dan unsur hara lainnya (Tabel 6).
Kegiatan penambahan pupuk organik berpengaruh terhadap peningkatan bahan
organik. Menurut Soepardi (1983) bahan organik pada tanah dapat diperbaharui
dengan adanya penambahan sisa tanaman atau binatang. Bahan organik
berpengaruh terhadap proses mineralisasi hara tersedia untuk tanaman. Bahan
organik juga berfungsi sebagai „pengikat‟ butir-butir tanah, sehingga menunjang
pembentukan struktur tanah yang baik. Struktur tanah yang baik berpengaruh
terhadap aerasi tanah, dan kemampuan tanah dalam daya pegang air. Kondisi
tersebut menunjang dalam perkembangan akar dan penyerapan hara tanah oleh
akar.
Kondisi cuaca pada penelitian ini juga tergolong optimum dengan tingkat
curah hujan (275.13 mm/bulan) yang masih dalam rentang syarat pertumbuhan
tanaman kedelai sehingga menunjang ketersediaan air. Suhu lingkungan selama
pertumbuhan kedelai rata-rata pada fase vegetatif yaitu 24.19 ºC dan fase
generatif 24.85 ºC juga masih dalam rentang syarat optimum pertumbuhan
menurut Ristek (2010).
43
Pembahasan
A. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Organik terhadap Fase Vegetatif Kedelai
Peubah dalam komponen vegetatif (tinggi tanaman; jumlah daun; bobot
basah dan kering daun, batang, akar) umumnya tidak berbeda nyata secara
statistik, tetapi ada kecenderungan yang konsisten bahwa tanaman yang mendapat
tambahan pupuk kandang ayam memiliki pertumbuhan vegetatif lebih baik
dibandingkan dengan dua perlakuan pupuk lainnya. Adanya residu hara dan
perbaikan sifat tanah terutama C organik setelah aplikasi pupuk organik (kondisi
tanah pada ketiga perlakuan lebih optimum dalam menunjang pertumbuhan
kedelai), sehingga diduga berpengaruh terhadap hasil tidak nyata secara statistik.
Kecenderungan tanaman kedelai pada perlakuan pupuk kandang lebih baik diduga
karena proses dekomposisi pupuk kandang lebih cepat dibandingkan pupuk hijau,
sehingga hara lebih cepat tersedia, selain itu adanya kemungkinan karena
mikroorganisme di dalam pupuk kandang menstimulir proses ketersediaan hara
dalam tanah, hal tersebut mungkin berkaitan dengan kadar hara dalam tanah.
Kadar N, P, K tanah pada MT 2 lebih tinggi pada tanah yang mendapat pupuk
kandang ayam. Melati et al. (2008) juga menjelaskan bahwa pupuk hijau
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dekomposisi dibandingkan pupuk
kandang, sehingga belum banyak hara yang diserap oleh tanaman.
Adanya pengaruh tidak nyata dari tiga jenis pupuk organik terhadap tinggi
tanaman dijelaskan pada Tabel 8. Tinggi tanaman pada penambahan pupuk
kandang ataupun pupuk hijau tidak terlalu beda jauh perbedaannya. Selisih antara
tinggi tanaman yang mendapatkan pupuk kandang ayam lebih tinggi 0.63 %
dibandingkan dari perlakuan Tithonia diversifolia (mewakili pupuk hijau). Hal
tersebut menjelaskan bahwa unsur hara baik dari pupuk kandang maupun pupuk
hijau cukup memenuhi kebutuhan hara fase vegetatif. Kadar N tanah pada
perlakuan pupuk kandang ayam pada MT 2 (setelah aplikasi) lebih tinggi
dibandingkan tanah yang mendapat tambahan pupuk hijau lainnya, sehingga
menunjang fase vegetatif. Kadar N tanah pada perlakuan pupuk kandang ayam
setelah panen MT 2 juga memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan dua
44
jenis pupuk organik lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa N pada pupuk
kandang memenuhi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan dan residunya tinggi
untuk dimanfaatkan pada musim tanam berikutnya.
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh kondisi meristem, hasil
fotosintesa, hormon dan substansi pertumbuhan lainnya, serta lingkungan yang
mendukung. Cahaya merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman (Salisburry dan Ross, 1997). Tinggi tanaman kedelai pada
8 MST dari tiga jenis pupuk kandang organik (pupuk kandang ayam, Tithonia
diversifolia dan Centrosema pubescens) ini, berturut-turut 92.81, 92.23 cm, dan
88.85 cm. Tinggi tanaman tersebut salah satunya diduga dipengaruhi oleh adanya
etiolasi. Etiolasi terjadi dalam penelitian ini karena menjelang 6-7 MST tanaman
rebah. Kedelai yang rebah, menyebabkan letak pucuk tanaman berada di bawah
(mendekati tanah). Adanyat sifat fotoperiodisme tanaman, yaitu tumbuh menuju
arah sinar matahari, menyebabkan tanaman kedelai mengalami etiolasi. Menurut
Yunasfi (2002), etiolasi adalah keadaan dimana suatu tanaman kekurangan cahaya
matahari, sehingga memperlambat pembentukan klorofil dan mendorong
pertumbuhan ramping dengan ruas yang panjang, kemudian menyebabkan daun
berwarna hijau pucat.
Residu hara P dan K dari pupuk kandang ayam pada musim tanam
sebelumnya lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis pupuk hijau lainnya.
Adanya simpanan hara dari musim tanam pertama, sehingga meningkatkan dan
menunjang ketersediaan hara pada fase vegetatif MT 2, sebelum sepenuhnya
bahan pupuk kandang terdekomposisi. Menurut Verna (1999) dalam
Anjasari et al. (2007), ketersediaan fosfor akan memperkuat pertumbuhan batang.
Hal tersebut sesuai dengan bobot basah dan kering pupuk kandang ayam lebih
banyak dibandingkan yang lain. Selain itu menurut Ismunadji et al. (1976) dalam
Jamil et al. (1984), kalium juga berpengaruh dalam membentuk batang yang kuat
dan berpengaruh terhadap hasil. Adanya batang yang kuat berbanding lurus
dengan bobot akar dan bobot daun sehingga pertumbuhannya optimum. Menurut
Leiwakabessy dan Sutandi (2003), fosfor juga berpengaruh untuk merangsang
perkembangan akar. Akar sebagai penyedia hara dari tanah bekerja secara
45
optimal, ditunjang adanya proses fotosintesis di daun sebagai sources
menghasilkan fotosintat sehingga menunjang vegetatif tanaman.
Jenis pupuk organik berpengaruh sangat nyata terhadap intensitas serangan
hama dan berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel 8). Tingkat
serangan tertinggi pada tanaman kedelai yang mendapatkan pupuk kandang ayam,
yaitu berturut-turut lebih besar 18.95, 15.43 % dibandingkan perlakuan Tithonia
diversifolia dan Centrosema pubescens. Hal yang sama juga pada tingkat
keparahan penyakit, tanaman dari perlakuan pupuk kandang ayam memiliki
jumlah terbanyak dibandingkan tanaman yang mendapatkan dua jenis pupuk
organik lainnya. Tanaman kedelai dengan perlakuan pupuk kandang ayam
memiliki tingkat serangan hama dan keparahan penyakit yang tertinggi
dibandingkan tanaman dari dua perlakuan pupuk organik lainnya. Hal tersebut
diduga karena kadar N tanah (setelah aplikasi pupuk organik MT 2 dan setelah
panen MT2) pada jenis pupuk ini juga tinggi dibandingkan Tithonia diversifolia
dan Centrosema pubescens (Tabel 6). Tingkat serangan hama dan keparahan
penyakit, salah satunya dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya kadar protein.
Leiwakabessy (1988) menyebutkan bahwa protein merupakan perubahan bentuk
senyawa kompleks dari reduksi nitrogen. Ditambahkan oleh Langton (1989)
bahwa protein yang tinggi menyebabkan protoplasma yang terbentuk juga banyak.
Tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit, jika kadar protein
tinggi. Hal ini disebabkan oleh menipisnya dinding sel karena terdesaknya
protoplasma. Soepardi (1983) menyebutkan bahwa pemberian N secara
berlebihan dapat melemahkan tanaman terhadap serangan hama dan keparahan
penyakit. Hal tersebut ditunjang dari hasil penelitian Irmayani (2009) yang
menjelaskan bahwa tingkat serangan penyakit Helminthosporium maydis Nisik
dan Helminthosporium turcicum Pass tertinggi pada dosis 11.57 g N/tanaman
dengan nilai serangan 81.98 % dan 65.09 %. Intensitas keparahan penyakit
menurun dengan nilai 65.09 % dan 61.88 %, yang seiring dengan penurunan dosis
N (6.93 g N/tanaman).
Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit juga diduga dipengaruhi
oleh tingkat kadar air pada tanaman. Lampiran 4 menunjukkan bahwa kadar air
pada tajuk tanaman kedelai yang mendapatkan pupuk kandang ayam memiliki
46
kadar air lebih tinggi dibandingkan Tithonia diversifolia dan Centrosema
pubescens, sehingga lebih sekulen dan diduga yang menyebabkan intensitas
serangan hama dan keparahan penyakit tertinggi dibandingkan perlakuan yang
lainnya.
B. Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Organik terhadap Komponen Produksi
Kedelai
Dibandingkan dua jenis pupuk organik yang digunakan dalam penelitian
ini, meskipun tidak nyata jenis pupuk kandang ayam menyebabkan potensi
produksi lebih baik dibandingkan yang lainnya. Hal yang sama juga ditunjukkan
pada hasil penelitian Kurniasih (2006), penggunaan pupuk kandang ayam dalam
budidaya kedelai organik panen muda, menghasilkan produktivitas tertinggi
dibandingkan pupuk hijau, budidaya konvensional, ataupun budidaya organik
tanpa pupuk. Barus (2005); Melati dan Andriyani (2005) dan Sinaga (2005) juga
menunjukkan bahwa hasil produksi panen muda kedelai dengan penggunaan
pupuk kandang ayam lebih tinggi dibandingkan pupuk hijau dan pupuk kandang
kambing.
Potensi produksi yang tinggi salah satunya dipengaruhi kebutuhan unsur
hara yang terpenuhi dengan optimal. Tanah yang mendapat pupuk kandang ayam
memiliki unsur hara P dan K yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Kedua
unsur hara tersebut dibutuhkan dalam jumlah banyak memasuki fase generatif.
Soepardi (1983) menjelaskan bahwa fosfor berpengaruh dalam memperbaiki
pembungaan, pembuahan, dan mengurangi kerontokan buah. Ditambahkan oleh
Leiwakabessy dan Sutandi (2003), tanaman pada fase generatif membutuhkan
unsur fosfor untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar,
mempercepat kematangan buah dan biji. Hal yang sama juga dilaporkan Suprapto
(2000) dalam Nazariah (2009) bahwa fosfat merupakan unsur hara yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Pada tanaman yang tercukupi kebutuhan
fosfatnya dapat mendorong pembentukan bunga lebih banyak dan pembentukan
biji lebih sempurna.
47
Kalium berperan untuk mengimbangi pengaruh buruk dari nitrogen
Soepardi (1983). Ditambahkan Yacob dan Uex Kull (1972) dalam
Jamil et al. (1984) menyatakan bahwa fungsi dari kalium adalah menjaga keadaan
fisiologis dari plasma sel untuk proses metabolisme normal. Selain itu K mengatur
kesetimbangan antara respirasi dan transpirasi sehingga berhubungan dengan
assimilasi CO2 dan pembentukan protein dan lemak. Sudadi et al. (2007) juga
menambahkan bahwa unsur K berperan dalam meningkatkan laju fotosintesis dan
penyebaran hasil fotosintesis ke berbagai tempat termasuk dalam pembentukan
biji, sehingga semakin besar laju fotosintesis maka biji yang dihasilkan semakin
banyak.
Adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan tentang
manfaat fosfor dan kalium, menunjang data hasil penelitian dari tanaman yang
mendapat tambahan pupuk kandang ayam yang memiliki potensi produksi
tertinggi (Tabel 11). Adanya metabolisme normal, sehingga assimilasi optimum,
dilanjutkan peningkatan perangsangan pembungaan lebih banyak, dan
pengurangan kerontokan bunga, sehingga diduga pembentukan biji lebih
sempurna.
Potensi produksi pada musim tanam ke dua (penelitian ini) lebih besar
dibandingkan musim tanam pertama. Hal tersebut diduga karena adanya simpanan
(residu) hara N, P dan K musim tanam pertama yang lebih banyak (Tabel 6) pada
tanah dengan perlakuan pupuk kandang dibandingkan dengan dua jenis pupuk
organik lainnya, sehingga dapat termanfaatkan secara optimal pada musim tanam
ke dua atau berikutnya. Selain itu C-organik tanah (setelah aplikasi pupuk organik
MT2) memiliki jumlah tertinggi pada tanah yang mendapat pupuk kandang
dibandingkan jenis pupuk organik lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
adanya penambahan pupuk organik dapat meningkatkan C-organik. Berdasarkan
rentan klasifikasi kriteria penilaian hasil analisis tanah Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (1994) C-organik pada penelitian ini tergolong sedang (2.74 %).
Balittan (2006) menambahkan nilai C-organik tersebut cukup memenuhi syarat
tanah guna memperoleh produktivitas yang optimal, karena jumlahnya > 2.5 %.
Tanah dengan bahan organik yang cukup, mempunyai sifat fisik (merangsang
granulasi, menurunkan plastisitas, kohesi, meningkatkan kemampuan menahan
48
air), kimia, dan biologi yang lebih baik (Soepardi, 1983). Adanya peningkatan
produktivitas pada musim tanam ke dua juga dilaporkan Sutriadi et al. (2005)
menunjukkan bahwa dengan aplikasi pupuk kandang ayam sebesar 2 ton/ha
meningkatkan produksi jagung sebanyak 6 % pada musim pertama sedangkan
pada musim kedua sebesar 40 %.
Pupuk organik memiliki pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong
isi. Tanaman dari perlakuan Centrosema pubescens memiliki jumlah polong isi
(Tabel 11) terbanyak dibandingkan tanaman yang mendapat pupuk kandang ayam
dan Tithonia diversifolia, yaitu berturut-turut 21.29 dan 32.68 %. Namun,
memiliki BK biji petak bersih terendah, meskipun secara statistik tidak nyata. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya jumlah tanaman lebih rendah dibandingkan dua
jenis pupuk organik lainnya (Tithonia diversifolia dan pupuk kandang ayam).
Jumlah tanaman kedelai dari Centrosema pubescens rendah karena daya
tumbuhnya juga paling rendah di antara dua perlakuan lainnya. Daya tumbuh
yang rendah tersebut diduga dipengaruhi hara jenis tanah (analisis tanah MT 2,
setelah aplikasi dan sebelum tanam) dengan penambahan Centrosema pubescens
memiliki kandungan NPK juga terendah.
Tabel 6 menjelaskan bahwa kadar N tanah setelah panen pada MT 2 dari
Centrosema pubescens lebih banyak dibandingkan Tithonia diversifolia (pupuk
hijau non legum) walaupun hasil analisis tanah sewaktu sebulan setelah aplikasi
pemupukan kadar N Centrosema pubescens sebaliknya. Hal tersebut diduga
adanya pengaruh faktor rasio C/N, Centrosema pubescens (18.25) lebih tinggi
21.02% dibandingkan Tithonia diversifolia (15.08). Semakin tinggi rasio C/N
maka makin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terdekomposisi. N
tersedia untuk tanaman pada aplikasi C. pubescens termineralisasi secara bertahap
lebih lama dibandingkan T. diversifolia sehingga residu N setelah MT 2 lebih
tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk musim tanam berikutnya.
49
C. Respon Varietas pada Fase Vegetatif dan Produksi Kedelai terhadap
Perlakuan
Hampir semua nilai peubah fase vegetatif dan komponen produksi varietas
Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas Wilis. Kedelai varietas Anjasmoro
pada penelitian ini mencapai hasil rata-rata dari deskripsi Balitkabi (2008), dan
pada jenis Wilis lebih tinggi 21.25 % dari deskripsi Balitkabi (2008). Hal tersebut
menunjukkan bahwa kedelai varietas Anjasmoro dan Wilis adaptif untuk
dibudidayakan secara organik di daerah Cikarawang, Darmaga, Bogor.
Adanya peningkatan produktivitas dibandingkan pada musim tanam
sebelumnya mencapai 34.42 % dan 81.62 %, berturut-turut untuk Anjasmoro dan
Wilis. Perbedaan tingkat produktivitas tersebut diduga karena pengaruh sejarah
lahan. Pada musim tanam pertama, awalnya lahan tersebut terbengkalai dan hanya
ditumbuhi alang-alang. Hal yang sangat berbeda terjadi pada kondisi musim
tanam dua, yaitu dengan penggunaan lahan yang telah diolah dan ditanami kedelai
pada musim tanam satu dengan penambahan bahan organik. Soepardi (1983)
menjelaskan bahwa adanya pengolahan tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Selain itu adanya penggunaan pupuk organik selama dua musim tanam berturut-
turut mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, sehingga menunjang
pertumbuhan tanaman kedelai yang optimal. Hal tersebut sesuai dengan Balittan
(2005) yang menjelaskan bahwa manfaat utama pupuk organik di antaranya
adalah memperbaiki sifat fisik dan biologis tanah. Pupuk organik dimanfaatkan
tanaman dalam bentuk bahan organik hasil dekomposisi mikroorganisme tanah.
Menurut Soepardi (1983) bahan organik pada tanah dapat diperbaharui dengan
adanya penambahan sisa tanaman atau binatang. Bahan organik berpengaruh
terhadap proses mineralisasi hara tersedia untuk tanaman. Bahan organik juga
berfungsi sebagai „pengikat‟ butir-butir tanah, sehingga menunjang pembentukan
struktur tanah yang baik. Struktur tanah yang baik berpengaruh terhadap aerasi
tanah, dan kemampuan tanah dalam daya pegang air. Kondisi tersebut menunjang
dalam perkembangan akar dan penyerapan hara tanah oleh akar.
Adanya peningkatan C organik, N-total, P, dan unsur hara lainnya pada
tanah setelah aplikasi dan juga adanya pengaruh residu hara dari pupuk organik
50
pada musim tanam sebelumnya juga merupakan salah satu faktor peningkatan
produksi pada musim tanam kedua (Tabel 6).
Kondisi cuaca pada penelitian ini juga tergolong optimum dengan tingkat
curah hujan (275.13 mm/bulan) yang masih dalam rentang syarat pertumbuhan
tanaman kedelai sehingga menunjang ketersediaan air. Suhu lingkungan selama
pertumbuhan kedelai rata-rata pada fase vegetatif yaitu 24.19 ºC dan fase
generatif 24.85 ºC juga masih dalam rentang syarat optimum pertumbuhan
menurut Ristek (2010).