hasil makalah jelajah

Embed Size (px)

Citation preview

METODOLOGI STUDI AL-QURAN*1+

Oleh : Umi Sumbulah[2]

A. Wacana tentang Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan

Al-Quran yang merupakan seperangkat aturan hidup, memberikan porsi besar kepada perkembangan manusia terutama menyangkut maksimalisasi fungsi pikirnya. Isyarat ilmiah dalam al-Quran, merupakan salah satu aspek Ijaz al-Quran yang lazim dikenal dengan ijaz ilmy. Membahas hubungan dan isyarat ilmiah dalam al-Quran, penting mengutip pendapat Quraish Shihab bahwa melihat isyarat ilmiah dalam al-Quran bukan berarti dengan melihat misalnya adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang sudah mapan? dengan kata lain meletakkanal-Quran pada sisi social psychology (psikologi sosial) dan bukan pada sisi history of scientific progress (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.*3+

Pernyataan Quraish Shihab di atas penting diingat karena ilmu pengetahuan sangat terkait dengan ruang dan waktu. Karena itu, tidak beralasan pendapat yang mencoba memaksakan bahwa al-Quran mengandung semua pengetahuan ilmiah, sebab ini selanjutnya akan mengandaikan terikatnya kebenaran al-Quran dengan ruang dan waktu. Mengandaikan hal ini akan mengakibatkan pemahaman kita terhadap al-Quran menjadi absurd, sekaligus mereduksi keagungannya sebagai kitab suci.

Berangkat dari pemikiran di atas, para mufassirin memposisikan al-Quran sebagai kitab hidayah yang di dalamya mengandung isyarat-isyarat ilmiah, untuk selanjutnya merangsang manusia untuk mengembangkan dan menganalisisnya lebih jauh lewat observasi dan penelitian. Untuk memberi arah pada observasi dan penelitian ilmiah inilah al-Quran meletakkannya dalam kerangka memperkuat keimanan seseorang. Karena itu, logis kalau al-Quran melabelkan ilmu pengetahuan pada kadar dan tingkat keimanan seseorang. Di sinilah bertemunya isyarat ilmiah al-Quran dengan perintah iqra yang sejak pertama diperintahkan Allah kepada Muhammad SAW.

Berkaitan dengan pemikiran di atas, Muhammad Ismail Ibrahim,*4+ menyebutkan bahwa maksimalisasi peran akal dan kecintaan ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberagamaan sekaligus keimanan seseorang. Ismail menyebutkan bahwa dalam melihat hal ini, ia harus diletakkan dalam

kerangka pencarian kebenaran dan kedekatan pada sang Pencipta, serta harus bersesuaian dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah (bismi rabbik).[5]

Dalam kaitannya dengan kemujizatan al-Quran, isyarat-isyarat ilmiahnya muncul dalam porsi terbesarnya tentang anjuranya untuk membaca ayat-ayat kawniyah yang terdapat di alam.[6] Anjurannya untuk mleihat alam semesta ini, menurut Sirajuddin Zar bertujuan untuk mengantarkan manusia agar mereka menyadari bahwa di balik tirai alam semesta yang disebutnya sebagai kitab alam, ada Zat Yang Maha Kuasa, seklaigus untuk menguatkan keyakinan bahwa Tuhan memang Maha Kuasa sebagaimana yang ditunjukkan al-Quran. Dalam konteks ini, Mehdi Ghulsyani,[7] menyatakan bahwa lebih dari 10% ayat-ayat al-Quran merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam.Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di era sekarang kita menemukan banyak tafsir ayat al-Quran yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam. Di sinilah letak perpaduan harmonis antara ilmu tafsir dan ijaz al-Quran.

Di antara dorongan untuk bersikap dan memiliki kesadaran ilmiah ini, secara lebih khusus lagi muncul dalam anjuran al-Quran untuk :1) memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi; 2)Memikirkan diri manusia sendiri; 3) memikirkan bumi dan alam yang mengitari matahari; 4)mengangkat kedudukan orang-orang yang berilmu dan membedakan kualifikasi antara yang berilmu dan yang tidak, dan sebagainya.

Misalnya dalam QS. Yunus; 5 disebutkan bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Sebuah pernyataan yang jika ditinjau dari segi ilmiah, dapat diterima kebenarannya. Ia juga merupakan buah kemujizatan, sebab kitab suci yang diturunkan Tuhan beberapa abad silam kepada Muhammad SAW yang ummi itu, ternyata mampu berbicara sesuatu yang lewat perspektif modern dapat diterima kebenarannya.

B. Metode Studi al-Quran: Menuju Pemahaman Holistik

1. Beberapa pendekatan dalam penafsiran al-Quran

Beragam kitab tafsir mulai era klasik hingga era modern yang didominasi dan hegemoni oleh metode tahlily, menyisakan catatan penting tentang beberapa kelemahan metode tersebut. Selain pendekatannya yang menekankan pada kronologi ayat berdasarkan tertib surat mushaf Usmani, pendekatan ini juga mengedepankan logika keumuman lafadz daripada kekhususan sebab (al-ibrah bi umum al-lafdzi la bi khushus al-sabab) serta kurang memperhatikan koteks ketika ayat tersebut turun.

Hal ini mengakibatkan kurang tersentuhnya problem masyarakat oleh al-Quran yang sesungguhnya prinsip umumnya telah digariskan di dalamnya. Demikian juga dua metode lainnya, yakni metode Ijmaly (tafsir global) dan muqaran (tafsir komparatif).

Fenomena interpretasi teks-teks suci berkaitan dengan konsep jender yang mendiskreditkan kaum perempuan ini, menurut kesimpulan beberapa feminis muslim, disebbkan oleh beberapa hal : 1) belum jelasnya konsep seks dan jender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan, 2)ilfiltrasi israiliyat dalam teks-teks suci yang berkembang di kawasan Timur Tengah, 3)metode interpretasi yang mengandalkan metode tahlili dan bukan maudhui serta 4)kemungkinan ketidaknetralannya mencermati teks. Karena itu, perlu adanya penggalakan interpretasi teks dengan metode maudhui, yang sangat menekankan aspek kontekstual/sosial-budaya ketika att tersebut turun.

Teks yang sesungguhnya tidak netral, kemudian dipahami oleh para pembaca (mufassir, fuqaha, dosen, dai dsb) dengan hanya berdasarlajn teks, tanpa melihat lebih jauh kapan, di mana dan untuk apa teks itu muncul. Kendati ada perbenturan terus menerus antara pengarang dan pembaca, namun dengan pendekatan yang demokratis tanpa ada hegemoni tertentu, maka isu-isu kontemporer dapat terakomodir di sana.

Dengan metode mawdhuiy ini, akan dikukuhkan kembali fungsi al-Quran sebagai Kitab suci yang menuntun jalan setiap gerak kehidupan manusia, serta dapat menjadi bukti bahwa ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Berangkat dari kenyataan itulah, Sayyid al-Kumy mencetuskan pertama kali Tafsir Mawdhuiy pada tahun 1981,dengan harapan bahwa problematika masyarakat dapat dicarikan solusinya dalam al-Quran. Gagasan ini kemudian banyak menginfiltrasi pemikiran dan ldikembangkan oleh dosen-dosen di Al-Azhar seperti Al-Husaini Abu Farhah, dan bahkan Abdul Hayy al-Farmawy sukses menyempurnakan formula gagasan tersebut lewat masterpeace-nya yang bertitel al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhuiy. Sebagaimana disitir Quraish Shihab,[8] beberapa perincian dan kinerja metode tersebut :

Menetapkan masalah yang akan dibahas

memperhatikan masalah yang terjadi di masyarakat

locally dan temporal

melalui kosakata atau sinonimnya

Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut

Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul

Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surat masing-masing

Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline)

Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan

Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang memiliki pengertian yang sama, mengkompromikan antara yang am dan yang khash, muthlaq dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara pemahman, tanpa perbedaan atau pemaksaan. Dalam konteks inilah interpretasi metode mawdhui dengan pendekatan ilmu-ilmu modern menjadi penting adanya, bahkan juga mengharuskan pendekatan-pendekatan lintas-disipliner.

D. Penafsiran Mawdhui tentang Penciptaan Alam: Sekedar Contoh

Al-Quran mengungkapkan penciptaan alam dengan terma yang berbeda-beda, antara lain dengan kata khalaqa, badaa dan fathara. Hal ini misalnya dapat disimak dalam QS. 11:7, QS. 21:30 (jaala), QS. 32:4, QS. 51: 47, 5. QS.41: 9-12, dan QS. 65: 12. Namun ketiga ungkapan tersebut tidak memberikan penjelasanyang tegas apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Jadi ketiganya hanya menjelaskan bahwa Allah pencipta alam semesta tanpa menyebutkan dari ada dan tiadanya.[9]

Dalam QS.Hud/11:7, ada beberapa kata kunci yang memberikan penjelasan tentang hal ini, yakni sittati ayyam,arsyuhu ala al-ma, al-samawat dan al-ardh. Alam semesta diciptakan dalam 6 tahapan dan arasy Allah ketika berlangsungnya proses penciptaan alam semesta di atas zat alir atau sop kosmos (alma).Al-sama dipahami sebagai ruang alam yang di dalamnya terdapat galaksi-galaksi, bintang-bintng dan lainya, dan bukan sebagai bola super raksasa yang mewadahi seluruh alam. Sedangkan al-ardh dalam konteks ayat ini dipahami sebagai mataeri yakni bakal bumi yang telah ada sesaat setelah Allah menciptakan jagat raya.

Dalam QS. Al-Anbiya/21: 30 dideskripsikan bahwa ruang alam (al-sama) dan materi (al-ardh) sebelum dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu (ratq), kendati al-Quran tidak menyebutkan bagaimana bentuk keterpaduannya. Rangkaian proses berikutnya setelah terjadinya proses pemisahan, akan alam semesta mengalami proses transisi membentuk dukhan, yang hal ini dapat disimak dalam QS. Fusshilat/41:11.

Karena tidak ada penjelasan rinci tentang arti aldukhan ini, Bucaile misalnya mengartikannya sebagai asap yang terdiri dari stratum gas dengan bagian-bagian kecil yang mungkin memasuki tahapan keadaan keras atau cair dalam suhu rendah atau tinggi.[10] Ibnu Katsir,[11] menafsirkannya sebagai uap air, AlRaghib menjelaskannya sebagai sesuatu yang halus dan ringan[12], sedangkan Hanafy Ahmad memberikan sifat dukhan sebagai sesuatu yang dapat mengalir dan beterbangan di udara seperti mengalirnya al-sahab.[13]

Masih dalam koteks QS. Fushilat ini, al-am tidak diartikan sebagai zat alir/sop kosmos sebagaimana dalam QS.Hud/11:7, namun diartikan sebagai air yang daripadanya dijadikan segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Anbiya/21:30) yang diperkuat oleh QS. Al-Nur/24: 45, yang menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan segala jenis hewan dari air.. Bhkan issyarat Al-Quran ini dibuktikan oleh ilmu biologi kontemorer yang menunjukkan bahwa semua kehidupan dimulai dari air.[14]

Berkaitan dengan proses penciptaan alam dalam enam tahapan, yang secara umum disebut dalam QS. Hud/11:7 disusul dalam QS. Al-sajdah/32:4 dan dirinci oleh QS.Fushilat/41: 9-12 dan didukung oleh QS.al-Araf/7:54, Yunus/10:3, al-Furqan/25:59, Qaf/50: 38 dan al-hadid/57:4.Enam tahap dimaksud bukan menunjukkan urut-urutan dalam penciptaan ruang alam (al-sama)dan materi (al-ardh) namun diartikan sebagai tahapan atau periode penciptaan alam semesta secara keseluruan dalam waktu yang sama.

Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa kata yawm (plural: ayyam) tidak mesti berarti 6 hari seperti dalam hitungan manusia, namun berarti suatu masa yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tiada seorangpun yang mengetahui hakikatnya. Ini karena hitungan hari seperti dimaksud manusia sekarang baru ada setelah sempurnanya penciptaan alam semesta. Sebagaimana diilustraskan dalam QS.alHajj/22:47dan al-sajadah/32:5 bahwa sehari dalam hitungan Tuhan sama dengan seribu tahu dalam hitungan manusia (inna yawman inda rabbik ka alfi sanat), dan al-Maarij/70:4 bahwa sehari dalam hitungan Tuhan sama dengan 50 ribu tahun (khamsina alfa sanat).

E. Catatan Akhir

Catatan sekelumit tentang metode studi al-Quran di atas, sesungguhnya hanya merupakan upaya mengintegrasikan antara isyarat-isyarat ilmiah al-Quran dengan temuan penelitian sains modern, serta untuk membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia Tuhan menciptakan segala sesuatu. Untuk mencpai tujuan ini, metode tafsir klasik, bak tahlily, ijmaly dan muqaran tidak cukup memberikan penjelasan dan bahkan beberapa pesan al-Quran justru terkesan parsial dan reduksionis. Oleh karena itu, kehadiran metode mawdhuiy dengan pendekatan-pendekatan ilmu modern menjadi penting adanya.

Sekali lagi bahwa hal ini bukan berarti bahwa studi al-Quran dan sains semata-mata hanya sebagai upaya jusitifikasi yang apologetik, namun yang lebih penting dari itu adalah dalam rangka melaksanakan perintah IQRA yang sejak awal telah dijadikan sebagai isyarat bagi tumbuh kembangnya Islam. Dengan demikian, tanpa IQRA mustahil Islam akan bisa berkembang dan dikembangkan sebagai agama yang benar-benar rahmatan li al -alamin.

Wa allah alam bi al-shawab.

DAFTAR BACAAN

Ahmad, Hanafy al-Tafsir al-Ilmy li Ayat al-Kawniyat. Kairo: Dar al-Maarif, tt.

Al-Asfahany, al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Beirut: Dar a-Maarif, tt.

Ali Khan, Majid. Islam dan Evolusi Kehidupan, terj.Cuk Sukanto. Yogyakarta: PLP2M, 1987.

Bucaile, Maurice. Bibel, Quran dan Sains Modern, terj. M. Rasyidi .Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Ghulsyani, Mehdi. Filsafat Sains Menurut al-Quran, terj Agus Effendi.Bandung: Mizan, 1993.

Ibrahim, Muhammad Ismail. Al-Quran wa Ijazuh alIlm. Dar al-Fikr al-Araby: tth.

Katsir, Ibnu. Tafsir al-Quran al-Adzim. Beirut: Isa al-Baby al-Halaby, 1969.

Shihab,Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1994.

Zar, Sirajuddin. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Quran. Jakarta: Rajawali Press, 1994.

SEJARAH AL QURAN

Apakah itu al-Quran.

"Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qaraa. Kata Al Quran itu berbentuk masdar dengan arti isim maful yaitu maqru (dibaca).

Di dalam Al Quran sendiri ada pemakaian kata "Quran" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:

Artinya:

Sesungguhnya mengumpulkan Al Quran (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya". Kemudian dipakai kata "Quran" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.

Adapun definisi Al Quran ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"

Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Quran seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Quran.

Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.

Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:

1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).

2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.

3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".

4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Quran surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.

Artinya:

Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.

Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur

Al Quran diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Quran diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:

1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat Aisyah r.a.

2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Quran diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).

3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.

4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Quran tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Quran ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:

mengapakah Al Quran tidak diturunkan kepadanya sekaligus

Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:

demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu

5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Quran diturunkan sekaligus.

Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah

Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Quran itu dibahagi atas dua golongan:

-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.

2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.

Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Quran terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Quran terdiri atas 28 surah.

Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:

1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Quran ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Quran jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.

Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syuaraa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.

2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan Yaa ayyuhannaas, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.

3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

Nama-nama al-Quran

-Nya dengan Al Quran yang berarti "bacaan".

di atas.

Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut

-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqiah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.

Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Quran itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Selain Al Quran, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:

na tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya." Lihat pula surat (6) Al Anaam ayat 114.

2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"

-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Quran". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Quran. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Quran, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.

Surah-surah dalam al-Quran

surat yang terdapat dalam Al Quran ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).

Sebagian dari surat-surat Al Quran mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.

Surat-surat yang ada dalam Al Quran ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:

Nisaa, Al Araaf, Al Anaam, Al Maa-idah dan Yunus.

2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mumin dsb.

3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.

4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.

g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.

Di dalam Al Quran terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:

rahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syuaraa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mumin, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).

Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan Fawaatihushshuwar artinya pembukaan surat-surat.

Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)

Sejarah Penyusunan Al-Qur'an (1/2)

Indeks Islam | Indeks Bucaille | Indeks Artikel | Tentang Penulis ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

II. KEASLIAN QUR-AN

(1/2)

SEJARAH PENYUSUNANNYA

Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada Qur-an suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab Suci, kedudukan itu khusus bagi Qur-an, dan tidak dibarengi oleh Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Dalam dua bagian pertama daripada buku ini kita telah menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam Perjanjian Lama dan empat Injil, sebelum Bibel dapat kita baca dalam keadaannya sekarang. Qur-an tidak begitu halnya, oleh karena Qur-an telah ditetapkan pada zaman Nabi Muhammad, dan kita akan lihat bagaimana caranya Qur-an itu ditetapkan

Perbedaan-perbedaan yang memisahkan wahyu terakhir daripada kedua wahyu sebelumnya, pada pokoknya tidak terletak dalam "waktu turunnya" seperti yang sering ditekankan oleh beberapa pengarang yang tidak memperhatikan hal-hal yang terjadi sebelum kitab suci Yahudi Kristen dibukukan, dan hal-hal yang terjadi sebelum pembukuan Qur-an, mereka juga tidak memperhatikan bagaimana Qur-an itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Orang mengatakan bahwa teks yang ada pada abad VII Masehi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk dapat sampai kepada kita tanpa perubahan daripada teks yang jauh lebih tua daripada Qur-an dengan perbedaan 15 abad. Kata-kata tersebut adalah tepat, akan tetapi tidak memberi keterangan yang cukup. Tetapi di samping itu, keterangan tersebut diberikan untuk memberi alasan kepada perubahan-perubahan teks kitab suci Yahudi Kristen yang terjadi selama berabad-abad, dan bukan untuk menekankan bahwa teks Qur-an itu karena lebih baru daripada teks kitab suci Yahudi Kristen, lebih sedikit mengandung kemungkinan untuk dirubah oleh manusia.

Bagi Perjanjian Lama, yang menjadi sebab kekeliruan dan kontradiksi yang terdapat di dalamnya adalah: banyaknya pengarang sesuatu riwayat, dan seringnya teks-teks tersebut ditinjau kembali dalam periode-periode sebelum lahirnya Nabi Isa; mengenai empat Injil yang tidak ada orang dapat

mengatakan bahwa kitab-kitab itu mengandung kata-kata Yesus secara setia dan jujur atau mengandung riwayat tentang perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan realitas yang sungguh-sungguh terjadi, kita sudah melihat bahwa redaksi-redaksi yang bertubi-tubi menyebabkan bahwa teks-teks tersebut kehilangan autentisitas. Selain daripada itu para penulis Injil tidak merupakan saksi mata terhadap kehidupan Yesus.

Selain daripada itu kita harus membedakan antara Qur-an, Wahyu tertulis, daripada Hadits jami' kumpulan riwayat, tentang perbuatan dan kata-kata Nabi Muhammad. Beberapa sahabat Nabi telah mulai mengumpulkannya segera setelah Nabi Muhammad wafat.5 Dalam hal ini, dapat saja terjadi kesalahan-kesalahan yang bersifat kemanusiaan karena para penghimpun Hadits adalah manusia-manusia biasa; akan tetapi kumpulan-kumpulan mereka itu kemudian disoroti dengan tajam oleh kritik yang sangat serius, sehingga dalam prakteknya, orang lebih percaya kepada dokumen yang dikumpulkan orang, lama setelah Nabi Muhammad wafat.

Sebagaimana halnya dengan teks-teks Injil, Hadits mempunyai autentisitas yang berlainan, dari satu pengumpul kepada pengumpul yang lain. Sebagaimana hal Injil, tak ada sesuatu Injil yang ditulis pada waktu Yesus masih hidup (karena semuanya ditulis lama sesudah Nabi Isa meninggal) maka kumpulan Hadits juga dibukukan setelah (Nabi Muhammad meninggal).

Bagi Qur-an, keadaannya berlainan. Teks Qur-an atau Wahyu itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh beberapa sahabat-sahabatnya yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan, Qur-an mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak dimiliki Injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Penghafalan Qur-an pada zaman manusia sedikit sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang sangat besar pada waktu pembukuan Qur-an secara definitif, dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pembukuan tersebut.

Wahyu Qur-an telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan ayat-ayat pertama daripada surat nomor 96. Kemudian Wahyu itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M.; dapat dikatakan bahwa turunnya Wahyu berlangsung 10 tahun sebelum Hijrah (622) dan 10 tahun lagi sesudah Hijrah.

Wahyu yang pertama diterima Nabi Muhammad adalah sebagai berikut (Surat 96 ayat 1-5):6

"Bacalah dengan {menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia)

dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."

Professor Hamidullah mengatakan dalam Pengantar yang dimuat dalam terjemahan Qur-an bahwa isi dari wahyu pertama adalah "penghargaan terhadap kalam sebagai alat untuk pengetahuan manusia" dan dengan begitu maka menjadi jelas bagi kita "perhatian Nabi Muhammad untuk menjaga kelangsungan Qur-an dengan tulisan."

Beberapa teks menunjukkan secara formal bahwa lama sebelum Nabi Muhammad meninggalkan Mekah untuk hijrah ke Madinah, ayat-ayat Quran yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad sudah dituliskan. Kita nanti akan mengetahui bahwa Qur-an membuktikan hal tersebut.

Kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya biasa menghafal teks-teks yang telah diwahyukan. Adalah tidak masuk akal jika Qur-an menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas, karena hal-hal itu mudah dikontrol disekeliling Muhammad yakni oleh sahabat-sahabat yang mencatat Wahyu tersebut.

Empat Surat Makiyah (diturunkan sebelum Hijrah) memberi gambaran tentang redaksi Qur-an sebelum Nabi Muhammad meninggalkan Mekah pada tahun 622 M.

Surat 80 ayat 11-1 6:

"Sekali-kali jangan (demikian), sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikan. Di dalam ktab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan, lagi disucikan. Di tangan para penulis, yang mulia lagi berbakti."

Yusuf Ali, dalam Terjemah Qur-an yang ditulisnya pada tahun 1936 mengatakan bahwa pada waktu Surat tersebut diwahyukan sudah ada 42 atau 45 Surat yang beredar di antara kaum muslimin di Mekah (Jumlah Surat-surat dalam Qur-an adalah 114 Surat).

"Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al Qur-an yang mulia yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz."

"Sesungguhnya Al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia (yang terdapat) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Makfudz). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."

"Dan mereka berkata (lagi). Dongengan-dongengan orang-orang dahulu dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang."

Ayat tersebut menyinggung dakwaan para lawan Nabi Muhammad yang menuduh bahwa Muhammad adalah Nabi palsu, mereka menggambarkan bahwa ada orang yang mendiktekan sejarah kuno

kepada Nabi Muhammad

dan

Muhammad

menyuruh

sahabat-sahabatnya untuk menulisnya.

Ayat tersebut menyebutkan: "Pencatatan dengan tulisan" yang didakwakan kepada Muhammad oleh lawan-lawannya.

A. Pengertian Ijazul Quran

Ijaz (kemukjizatan) adalah penetapan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mujiz (sesuatu yang melemahkan), yang dimaksud dengan ijaz ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-Quran, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Rasulullah telah meminta orang Arab menandingi Quran dalam tiga tahapan:

1) Menantang mereka dengan seluruh Quran dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia mereka secara padu melalui Firman Allah :

% 9 MyyJtG_$# RM}$# `f9$#ur #n?t br& (#q?'t @VJ/ #xyd b#u)9$# w tbq?'t WJ/ qs9ur c%x. Nkt/