51
BAB I DASAR TEORI A. Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit Leukosit atau sel darah putih (white blood cell) adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3. Leukosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung granula spesifik dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit agranular yaitu, limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil. 1. Granula a. Neutrofil Neutrofil, sel ini berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan mengandung 1

Hasil Penyusunan Laporan PK2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan

Citation preview

BAB I

DASAR TEORI

A. Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit

Leukosit atau sel darah putih (white blood cell) adalah sel darah yang

mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah leukosit dalam

darah manusia normal adalah 5000-9000/mm3. Leukosit terdiri dari dua

golongan utama, yaitu agranular dan granular.

Leukosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan

intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Leukosit granular mengandung

granula spesifik dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang

memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis leukosit

agranular yaitu, limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma

sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung

sitoplasma lebih banyak. Terdapat 3 jenis leukosit granular yaitu neutrofil,

basofil, dan eosinofil.

1. Granula

a. Neutrofil

Neutrofil, sel ini berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang

khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus

dengan rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula

merah jambu (azuropilik). Granula terbagi menjadi granula primer

yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul

pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua

granula berasal dari lisosom, yang primer mengandung

mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang

sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom. (Hoffbrand,

A.V & Pettit, J.E, 1996).

b. Eosinofil

Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula

sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena

mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus

1

inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium sebelumnya

tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan

dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada untuk neutropil.

Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan

peranan istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan

parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama

peradangan (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).

c. Basofil

Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi

normal. Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-

10 μm. Jumlahnya 1% dari total sel darah putih. Basofil memiliki

banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung

heparin dan histamin.

2. Tidak Bergranula

a. Monosit

Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih

besar daripada leukosit darah tepi yaitu diameter 16-20 μm dan

memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin

mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan

mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti

kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam

sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari

mieloblas dan monosit (Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).

b. Limfosit

Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi

merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10μm. Intinya

yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok

kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli normal terlihat.

Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel,

terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit

yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 12-

16μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit

2

granula azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya telah

dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein asing

(Hoffbrand, A.V & Pettit, J.E, 1996).

B. Pemeriksaan Hematokrit

Darah membentuk sekitar 8% dari berat tubuh total dan memiliki

volume rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria. Darah terdiri dari

tiga jenis unsur sel khusus, eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang terendam

dalam cairan kompleks plasma. Pergerakan konstan darah sewaktu mengalir

melalui pembuluh darah menyebabkan unsur-unsur sel tersebar relatif merata

di dalam plasma. Namun, apabila suatu sample darah utuh ditaruh dalam

sebuah tabung reaksi dan diberi zat untuk mencegah pembekuan, unsur-unsur

sel yang lebih berat akan secara perlahan mengendap di dasartabung. Karena

lebih dari 99% sel adalah eritrosit, hematokrit atau packed cell volume, pada

dasarnya mewakili persentase volume darah total yang ditempati oleh eritrosit.

Plasma membentuk volume sisanya. Hematokrit pada wanita rata-rata adalah

42% dan untuk pria sedikit lebih tinggi, yaitu 48%, sedangkan volume rata-rata

yang ditempati plasma pada wanita adalah 58% sedangkan pria 55%. Sel darah

putih dan trombosit, yang tidak berwarna dan kurang padat dibandingkan

dengan eritrosit, mengendap membentuk sebuah lapisan tipis berwarna krem,

“buffy coat” di atas kolom sel darah merah. Lapisan ini menempati kurang dari

1% volume darah total (Sherwood, 2011).

Hematokrit adalah persentase volume seluruh sel darah merah yang ada

dalam darah yang diambil dalam volume tertentu. Pemeriksaan hematokrit

merupakan salah satu pemeriksaan darah khusus yang sering dikerjakan

dilaboratorium berguna untuk membantu diagnosa berbagai penyakit

diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD), anemia, polisitemia. Penetapan

nilai hematokrit dapat dilakukan dengan cara makro dan mikro. Pada cara

makro digunakan tabung wintrobe, sedangkan pada cara mikro digunakan pipet

kapiler (Wirawan, dkk, 2011).

Metode pemeriksaan secara mikro berprinsip pada darah yang dengan

antikoagulan dicentrifuge dalam jangka waktu dan kecepatan tertentu, sehingga

3

sel darah dan plasmanya terpisah dalam keadaan mapat. Prosentase volum

kepadatan sel darah merah terhadap volume darah semula dicatat sebagai hasil

pemeriksaan hematokrit (Gandasoebrata, 2008).

Pada anemia hematokrit lebih rendah daripada normal karena jumlah

eritrosit yang beredar terlalu sedikit, sedangkan pada polisitemia vera

hematokrit diatan normal akibat jumlah eritrosit yang berlebihan. Hematokrit

juga dapat meningkat pada dehidrasi akibat jumlah normal eritrosit yang

bersirkulasi terkonsentrasi di dalam plasma yang volumenyaberkurang.

Perhatikan Gambar 1 (Sherwood, 2011).

C. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit

Hitung eritrosit adalah jumlah eritrosit per milimeterkubik atau

mikroliter darah. Metode penghitungan hampir sama dengan hitung leukosit,

yaitu menggunakan bilik hitung.

Berikut ini adalah nilai rujukan yang dianjurkan pada pemeriksaaan

jumlah eritrosit:

1. Pria dewasa : 4,5 – 6,5 juta/mm3

2. Wanita dewasa : 3,9 – 5,6 juta/mm3

3. Anak usia <3 bulan : 4,0 – 5,6 juta/mm3

4. Anak usia 3 bulan : 3,2 – 4,5 juta/mm3

5. Anak usia 1 tahun : 3,6 – 5,0 juta/mm3

6. Anak usia 12 tahun : 4,2 – 5,2 juta/mm3

D. Pemeriksaan Indeks Eritrosit

Secara fisiologis, darah akan mengalir di dalam pembuluh darah,

membawa oksigen, menjalankan sistem imun, dan lain sebagainya. Eritrosit

dapat disebut juga sel darah merah. Eritrosit dalam keadaan normal berbentuk

cakram bikonkaf berwarna kuning dan tidak berinti. Hemoglobin terdapat

dalam eritrosit dan berfungsi untuk mengangkut oksigen (Dorland, 2011).

Eritrosit bekerjasamahemoglobin yang bekerja dengan mengikat

oksigen dan mengedarkannya ke seluruh tubuh. Sehingga, apabila volume

4

eritrosit maupun nilai Hb rata-rata tidak mencukupi kebutuhan organ atau

jaringan yang membutuhkan oksigen, dapat terjadi anoksia (kekurangan

oksigen) yang dapat berakibat kepada kondisi patologis.Indeks eritrosit

termasuk ke dalam salah satu tes penyaring dalam pemeriksaan laboratorium

hematologis. Umumnya pemeriksaan ini digunakan untuk pemeriksaan

diagnosa anemia (Handayani, 2008).

Indeks eritrosit terdiri atas : isi/volume atau ukuran eritrosit (MCV :

mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-rata), berat (MCH : mean

corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), konsentrasi

(MCHC : mean corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin

eritrosit rata-rata. Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam

mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai

macam anemia (Gandasoebrata, 2010).

5

BAB II

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

1. Menghitung Jenis Leukosit.

a. Alat :

1) Preparat Hapus Darah Tepi.

2) Mikroskop.

b. Bahan :

1) Darah vena atau darah kapiler.

2) Minyak emersi.

2. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit.

a. Alat

1) Alat untuk mengambil darah vena / kapiler

2) Hemositometer :

a) Bilik hitung Neubauer Improve.

b) Kaca penutup.

c) Pipet Eritrtosit : pipet dengan bola merah dengan skala 0,5 – 1

– 101.

3) Mikroskop.

b. Bahan.

1) Darah vena / darah kapiler.

c. Reagen.

1) Larutan Hayem terdiri dari :

a) Na2SO4 kristal : 5,0 gram.

b) NaCl : 1,0 gram.

c) HgCl2 : 0,5 gram.

d) Aquadest : 200,0 ml.

3. Pemeriksaan Hematokrit.

a. Alat :

1) Pipet kapiler Hematrokit.

6

I II IIIIV V VI

2) Sentrifuge.

3) Vaselin.

4) Skala pembaca hematokrit.

5) Alat untuk mengambil darah vena.

6) Tabung kosong penampung darah berisi antikoagulan.

b. Bahan

1) Darah Vena.

c. Reagensia

1) Heparin (sudah melapisi lumen pipet kapiler hematrokit.

4. Nilai Eritrosit rata-rata

a. Alat

-

b. Bahan

-

B. Cara Kerja

1. Menghitung Jenis Leukosit.

Siapkan preparat hapus darah tepi di mikroskop

Amati jenis-jenis leukosit yang terdapat di preparat pada zona V

Hitung sebanyak 50 sel dan catat sel yang ditemukan

2. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit.

Prinsip Pemeriksaan

Menghitung sel eritrosit dalam larutan yang menghancurkan sel –

sel lain.

7

Cara Pemeriksaan

Serupa menghitung sel Leukosit :

A. Bilik hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup

diletakkan di bawah mikroskop.Cari kotak kecil / kotak

eritrosit ( bila menggunakan bilik hitung Neubauer

Improve ada ditengah )

Gambar :

B. Dengan pipet eritrosit, pipet darah sampai angka 1

( pengencerran 100 x ).Atau sampai angka 0,5

( pengenceran 200 x ). Bersihkan ujung pipet.

C. Pertahankan posisi pipet, hisap lar Hayem sampai angka

101.

D. Bersihkan ujung pipet.

E. Kocok dengan arah horizontal.

F. Buang 3 tetes yang pertama.

G. Teteskan ke bilik hitung lewat sela – sela kaca penutup.

Cara Pemeriksaan Secara Skematis :

8

Bilik hitung diletakkan di mikroskop (400x).

Cari kotak eritrosit (pada bagian tengah yang memiliki 25 kotak sedang yang masing – masing berisi 16 kotak kecil)

Perhitungan

Jumlah eritrosit = Jumlah Eritrosit

Jumlah Kotak Kecil Yang Dihitung x

400 x 10 (tinggi bilik hitung) x 100 (pengenceran)

Nilai Rujukan

a. Pria dewasa : 4,5 – 6,5 juta / mm3

b. Wanita dewasa : 3,9 – 5,6 juta / mm3

c. < 3 bulan : 4,0 – 5,6 juta / mm3

d. 3 bulan : 3,2 – 4,5 juta / mm3

e. 1 tahun : 3,6 – 5,0 juta / mm3

f. 12 tahun : 4,2 – 5,2 juta / mm3

3. Pemeriksaan Hematokrit.

a. Melakukan pengambilan darah vena pada probandus

9

Ambil darah hingga angka 0,5dengan pipet eritrosit dan bersihkan ujung pipet.

Ambil larutan hayem hingga 101 dengan pipet yang sama dan bersihkan ujung pipet.

Kocok horizontal selama 15 – 30 detik

Buang 3 tetes pertama, lalu teteskan pada bilik NI

b. Masukkan darah yang sudah di ambil ke dalam botol yang telah

diberi antikoagulan

c. Isap darah menggunakan tabung kapiler hematokrit dengan cara

buka-tutup ujung tabung kapiler hingga terisi ¾ tabung darah.

d. Tusukkan ujung tabung kapiler pada vaselin sebanyak tiga kali

atau sampai benar-benar tertutup.

e. Sentrifuge tabung kapiler dengan kecepatan 16.000 rpm selama

3-5 menit.

f. Baca dengan skala hematokrit panjang kolom merah.

4. Nilai Eritrosit rata-rata

-

10

BAB III

HASIL

A. Menghitung Jenis Leukosit.

Eos / Baso / Staf Netro / Segmen Netro / Limfo / Mono

0 / 1 / 3 / 33 / 13 / 0

B. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit.

Jumlah eritrosit :

1. Kotak 1 : 71

2. Kotak 2 : 69

3. Kotak 3 : 79

4. Kotak 4 : 78

5. Kotak 5 : 88

Jumlah Total : 385

Jumlah eritrosit= Sel eritrosit yangdi h itungJumlah kotak kecil yangdi hitung

x 400 x10 x200

Jumlah eritrosit=38580

x 400 x10 x 200

Jumlah eritrosit=3.850 .000 eritrosit /mm3

Interpretasi : Rendah

C. Pemeriksaan Hematokrit.

Berdasarkan praktikum yang dilakukan dengan metode

pemeriksaan mikro hematokrit, kadar hematrokit yang terbaca pada skala

hematokrit dari probandus tersebut adalah 35%.

D. Nilai Eritrosit rata-rata

1. MCV

MCV= Ht

∑ eritrosit dalam juta×10

MCV= 353,85

× 10

11

MCV=90,90 femtoliter

2. MCH

MCH= Hb

∑ eritrosit dalam juta×10

MCV= 63,85

× 10

MCV=15 pikogram

3. MCHC

MCHC= HbHt

×100 %

MCV= 635

× 100 %

MCV=17 %

12

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Menghitung Jenis Leukosit.

Pada praktikum kedua ini, kita mempelajari bagaimana cara

menghitung jrnis leukosit. Untuk menghitung jenis leukosit dilakukan

pada counting area, mula-mula dengan pembesaran 100x kemudian

dengan pembesaran 1000x dengan minyak imersi. Pada hitung jenis

leukosit hapusan darah tepi yang akan digunakan perlu diperhatikan

hapusan darah harus cukup tipis sehingga eritrosit dan leukosit jelas

terpisah satu dengan yang lainnya, hapusan tidak boleh mengandung cat,

dan eritrosit tidak boleh bergerombol (Ripani,2010).

Terdapat lima jenis leukosit yang masing-masingnya memiliki ciri-

ciri tersendiri. Diantaranya terdapat eosinofil, basofil, satb, segmen,

limfosit, dan monosit. Berikut hasil yang kami daptkan dalam praktikum

kali ini

Tabel hitung jenis leukosit normal.

1 2 3 4 5 jumlah

Eos - - - - - 0

Bas - - - 1 - 1

Staf 1 - 1 - 1 3

Sg 5 8 9 9 2 33

Limf 4 2 - - 7 13

Mono - - - - - 0

Jml 10 10 10 10 10 50

13

Dari tabel tersebut didapatkan hasil :

Eos/ Baso/ Staf Netro / Segmen netro/ Limfo/ Mono

0/ 1/ 3/ 33/ 13/ 0

Untuk mengetahui jenis leukosit tersebut, kita harus

mengetahui batas normal dari masing-masing jenis :

Nilai normal menurut Miller :

Eosinofil : 1 – 4 %.

Basofil : 0 – 1 %.

Stab : 2 – 5 %.

Segmen : 50 – 70 %.

Limfosit : 20 – 40 %.

Monosit : 1 – 6 %.

Selain mengetahui nilai normal jenis leukosit, kita juga

harus mengetahui ciri-ciri dari masing-masing jenis

leukosit(Handayani,2008):

Neutrofil

• Ukuran sel: 14 - 20 m

• Bentuk sel: oval atau bulat

• Warna sitoplasma: pink

• Granula: neutrofilik (granula

halus, warna jingga, tidak

menutupi inti)

• Bentuk inti: berlobus (3- 5

lobus)

14

Eosinofil.

• Ukuran sel: 14 - 20 m

• Bentuk sel: oval atau bulat

• Warna sitoplasma: merah

• Granula: eosinofilik (granula

kasar, besar sama, warna merah,

tidak menutupi inti)

• Bentuk inti: berlobus 2, seperti

kacamata

Basofil

• Ukuran sel: 14 - 20 m

• Bentuk sel: oval atau bulat

• Warna sitoplasma: biru

• Granula: basofilik (granula

kasar, besar tidak sama, warna

biru kehitaman, menutupi inti)

• Bentuk inti: berlobus, seperti

daun semanggi

Limfosit

Ukuran: 10 - 15 m

Bentuk: bulat, kadang-kadang

oval

Warna sitoplasma: biru

Granula: tidak ada

Bentuk inti: bulat atau agak

oval

• Ukuran sel: 20-25 m

• Bentuk sel: tidak beraturan

• Warna sitoplasma: biru,

bervakuola

• Granula: tidak ada

15

Monosit. • Bentuk inti: seperti ginjal, tidak

beraturan

Berikut akan dibahas mengenai zona-zona yang terdapat di

preparat (Sacher,2008)

Zona I : irregular, tidak teratur,berdesakan, 3%

Zona II : tipis,tidak rata,berdesakan, 14%

Zona III : tebal, bergerombol,rouleux, 45%

Zona IV : sama zona II,tipis, 18%

Zona V : even zona, tidak berdasarkan, tidak bertumpukan, regular,

rata,

bentuk utuh, 11%

Zona VI : sangat tipis, lebih longgar dan jarang, 9%

16

Zone I (Irreguler zone)

3 %

Zone II (Thin zone)

14%

Zone III Thick zone)

45%

Zone IV (Thin Zone)18%

Zone IV (Thin Zone)18%

Zone IV (Thin Zone)18%

B. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit.

Pada praktikum kali ini dapat dilihat bahwa jumlah eritrosit probandus

adalah 3.850.000 /mm3 dan jika dibandingkan dengan skala nilai normal untuk

wanita yaitu berkisar 3,9 - 5,6 juta/mm3 dapat dikategorikan sebagai jumlah

eritrosit rendah. Kemungkinan terjadi kesalahan dalam praktikum baik yang

sengaja maupun tidak disengaja, kesalahan-kesalahan tersebut bisa saja datang

dari aspek:

1. Alat

Dalam hal ini mungkin saja terjadi kesalahan seperti pipet

eritrosit yang lupa dibersihkan atau kurang bersih ketika akan

dimasukkan ke dalam darah atau larutan hayem, kesalahan bisa

juga datang dari kurang tepatnya larutan maupun sampel

darah pada skala di pipet.

2. Pemeriksa

Kesalahan pada pemeriksa misalnya ketidak telitian dalam

menghitung jumlah eritrosit pada mikroskop

Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen darah yang paling

banyak, dan berfungsi sebagai pengangkut / pembawa oksigen dari paru-paru

untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan membawa kardondioksida dari seluruh

tubuh ke paru-paru. Nilai normal eritrosit pada pria berkisar 4,5 juta - 6,5 juta

sel/ul darah, sedangkan pada wanita berkisar 3,9 juta - 5,6 juta sel/ul darah.

Eritrosit yang tinggi bisa ditemukan pada kasus hemokonsentrasi, PPOK

(penyakit paru obstruksif kronik), gagal jantung kongestif, perokok,

preeklamsi, dll, sedangkan eritrosit yang rendah bisa ditemukan pada anemia,

leukemia, hipertiroid, penyakit sistemik seperti kanker dan lupus, dll (Kris

Cahyo Mulyanto,2012).

Penurunan pada jumlah eritrosit bisa disebabkan oleh kehilangan darah

(perdarahan), anemia, leukemia, infeksi kronis, mieloma multipel, cairan per

intra vena berlebih, gagal ginjal kronis, kehamilan, dan hidrasi berlebihan.

Sedangkan peningkatan pada jumlah eritrosit disebabkan oleh polisitemia

vera, hemokonsentrasi/dehidrasi, dataran tinggi, dan penyakit kardiovaskuler

(Kumala, 2010).

17

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi temuan

laboratorium. Faktor-faktor tersebut jika dikelompokkan ada dua kelompok,

yaitu faktor di luar pasien dan faktor pasien. Faktor-faktor di luar pasien yang

dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium adalah faktor-faktor

yang mencakup seluruh proses, meliputi pra-analitik, analitik dan paska

analitik. Sedangkan faktor pasien antara lain diet, obat-obatan, aktivitas fisik,

merokok, alkohol, ketinggian, kondisi demam, trauma, variasi circadian

rythme, usia, ras, jenis kelamin, dan kehamilan (Riswanto, 2009).

1. Faktor Diet

Makanan dan minuman dapat mempengaruhi hasil

beberapa jenis pemeriksaan laboratorium baik langsung maupun

tidak langsung, misalnya pemeriksaan glukosa darah dan

trigliserida.Pemeriksaan ini dipengaruhi secara langsung oleh

makanan dan minuman.Karena pengaruhnya yang sangat besar,

maka pada pemeriksaan glukosa darah, pasien perlu dipuasakan

10 – 12 jam dan untuk pemeriksaan trigliserida, pasien dipuasakan

sekurang-kurangnya 12 jam sebelum pengambilan darah.

2. Obat-obatan

Obat-obatan yang diberikan baik secara oral maupun cara

lainnya akan menyebabkan respon tubuh terhadap obat tersebut.

Disamping itu pemberian obat secara intra muskular akan

menimbulkan jejas pada otot, sehingga menyebabkan enzim yang

dikandung dalam otot tersebut akan masuk ke dalam darah, yang

selanjutnya dapat mempengaruhi hasil beberapa pemeriksaan.

Obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium

misalnya :

a. Diuretik, cafein menyebabkan hampir seluruh pemeriksaan

substrat dan enzim dalam darah akan meningkat karena

terjadi hemokonsentrasi, terutama pemeriksaan hemoglobin,

hitung jenis lekosit, hematokrit, elektrolit.

b. Tiazid mempengaruhi hasil tes glukosa, ureum.

c. Kontrasepsi oral dapat mempengaruhi hasil tes hormon, LED

18

d. Morfin dapat mempengaruhi hasil tes enzim hati (AST, ALT)

3. Merokok

Merokok dapat menyebabkan perubahan cepat dan lambat

pada kadar zat tertentu yang diperiksa. Perubahan dapat terjadi

dengan cepat hanya dalam 1 jam dengan merokok 1 – 5 batang

dan akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan kadar asam

lemak, epinefrin, gliserol bebas, aldosteron dan kortisol.

Perubahan lambat terjadi pada hitung lekosit, lipoprotein, aktifitas

beberapa enzim, hormon, vitamin, petanda tumor dan logam berat.

4. Alkohol

Konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan perubahan

cepat dan lambat pada kadar analit. Perubahan cepat dapat terjadi

dalam waktu 2 – 4 jam setelah konsumsi alkohol dan akibat yang

terjadi adalah peningkatan kadar glukosa, laktat, asam urat dan

terjadinya asidosis metabolik. Perubahan lambat berupa

peningkatan aktifitas gamma glutamyl transferase (gamma-GT),

GOT, GPT, trigliserida, kortisol, dan MCV.

5. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik dapat menyebabkan shift volume antara

kompartemen di dalam pembuluh darah dan interstitial,

kehilangan cairan karena berkeringat, dan perubahan kadar

hormon. Akibatnya akan terjadi perbedaan besar antara kadar

glukosa darah di arteri dan vena, serta terjadi perubahan

konsentrasi gas darah, asam urat, kreatinin, creatin kinase, GOT,

LDH, KED, hemoglobin, hitung sel darah, dan produksi urine.

6. Demam

Pada waktu demam akan terjadi :

a. Peningkatan glukosa darah pada tahap permulaan, dengan

akibat terjadi peningkatan kadar insulin yang akan

menyebabkan penurunan glukosa darah pada tahap lebih

lanjut.

19

b. Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida pada awal demam

akibat terjadinya peningkatan metabolisme lemak, dan terjadi

peningkatan asam lemak bebas dan benda-benda keton

karena penggunaan lemak yang meningkat pada demam yang

sudah lama.

c. Meningkatkan kemungkinan deteksi malaria dalam darah.

d. Meningkatkan kemungkinan hasil biakan positif (pada kasus

infeksi).

e. Terjadi reaksi anamnestik yang akan menyebabkan kenaikan

titer Widal.

7. Trauma

Trauma dengan luka perdarahan akan menyebabkan antara

lain penurunan kadar substrat maupun aktifitas enzim, termasuk

juga hemoglobin, hematokrit dan produksi urine. Hal ini terjadi

karena terjadi pemindahan cairan tubuh ke dalam pembuluh darah

yang menyebabkan pengenceran darah. Pada tingkat lanjut akan

terjadi peningkatan ureum dan kreatinin serta enzim-enzim yang

berasal dari otot.

8. Umur

Umur berpengaruh terhadap kadar dan aktifitas zat dalam

darah. Hitung eritrosit dan kadar hemoglobin jauh lebih tinggi

pada neonatus daripada dewasa. Fosfatase alkali, kolesterol total

dan kolesterol-LDL akan berubah dengan pola tertentu sesuai

dengan pertambahan umur.

9. Ras

Jumlah lekosit pada orang kulit hitam Amerika lebih rendah

daripada orang kulit putihnya.Demikian juga pada aktifitas creatin

kinase. Keadaan serupa juga dijumpai pada ras bangsa lain, seperti

perbedaan aktifitas amylase, kadar vitamin B12 dan lipoprotein.

10. Jenis Kelamin

Berbagai kadar dan aktifitas zat dipengaruhi oleh

jenis kelamin. Kadar besi serum dan hemoglobin berbeda pada

20

wanita dan pria dewasa. Perbedaan ini akan menjadi tidak

bermakna lagi setelah umur lebih dari 65 tahun. Perbedaan lain

berdasarkan jenis kelamin adalah aktifitas CK dan kreatinin.

Perbedaan ini lebih disebabkan karena massa otot pria relatif lebih

besar daripada wanita. Sebaliknya, kadar hormon seks wanita,

prolaktin, dan kolesterol-HDL akan dijumpai lebih tinggi pada

wanita.

11. Kehamilan

Bila pemeriksaan dilakukan pada wanita hamil, pada saat

interpretasi hasil perlu mempertimbangkan masa kehamilan

wanita tersebut. Pada kehamilan akan terjadi hemodilusi

(pengenceran darah) yang dimulai pada minggu ke-10 kehamilan

dan terus meningkat sampai minggu ke-35 kehamilan. Volume

urine akan meningkat 25% pada trimester ke-3. Selama kehamilan

akan terjadi perubahan kadar hormon kelenjar tiroid, elektrolit,

besi, ferritin, protein total, albumin, lemak, aktifitas fosfatase

alkali, faktor koagulasi dan kecepatan endap darah. Perubahan

tersebut dapat disebabkan karena induksi oleh kehamilan,

peningkatan protein transport, hemodilusi, peningkatan volume

tubuh, defisiensi relatif karena peningkatan kebutuhan atau

peningkatan protein fase akut (Riswanto, 2009).

C. Pemeriksaan Hematokrit.

Hematokrit (Packet Red Cell Volume) adalah fraksi darah yang terdiri atas

sel darah merah, yang ditentukan melalui sentrifugasi darah dalam tabung

hematokit sampai sel-sel ini menjadi benar-benar mampat dibagian bawah

tabung. Jadi, apabila probandus mempunyai hematokrit 35, hal ini berarti 35

persen volume darah adalah sel dan sisanya adalah plasma. Hematokrit pada

laki-laki normal rata-rata adalah sekitar 47±7 atau 0,40. Sedangkan pada

wanita normal rata-rata sekitar 42±5 atau 0,36. Pada kadar hematokrit

probandus ini tergolong lebih rendah dari angka normal. Angka ini sangat

bervariasi, tergantung apakah seseorang menderita anemia atau tidak, derajat

21

aktivitas tubuhnya, dan ketinggian lokasi tempat seseorang berada. Perubahan

hematokrit ini berhubungan dengan sel-sel darah merah dan fungsinya dalam

transpor oksigen.

Semua sel darah merah tidak mungkin untuk dimampatkan, karenanya

sekitar 3 sampai 4 persen plasma tetap terjebak diantara sel-sel dan nilai

hematokrit yang sebenarnya hanya sekitar 96 persen dari nilai hematokrit yang

terukur. Pada anemia berat, hematokrit dapat turun sampai 0,10, yaitu suatu

nilai yang hampir tidak cukup untuk mempertahankan hidup. Sebaliknya, ada

beberapa kondisi yang mengakibatkan terjadinya produksi sel darah merah

yang berlebihan yaitu polisitemia. Pada kondisi tersebut, nilai hematokrit

dapat meningkat sampai 0,65 (Guyton, 2014).

Pengaruh hematokrit terhadap viskositas darahnadalah viskositas darah

meningkat secara drastis dengan meningkatnya hematokrit. Viskositas darah

lengkap pada hematokrit normal sekitar 3; hal ini berarti bahwa diperlukan

tekanan tiga kali lebih besar untuk mendorong darah lengkap seperti

mendorong air melalui pembuluh darah yang sama. Bila hematokrit meningkat

sampai 60 atau 70, yang seringkali terjadi pada polisitemia, viskositas darah

dapat meningkat menjadi 10 kali lebih besar daripada air, dan alirannya dalam

pembuluh darah menjadi sangat terhambat. Faktor lain yang mempengaruhi

viskositas darah adalah konsentrasi protein plasma dan jenis protein dalam

plasma, tetapi pengaruhnyakurang begitu penting dibandingkan dengan

pengaruh hematokrit, sehingga tidak dipertimbangkan serius pada penelitian

hemodinamik. Viskositas plasma darah adalah sekitar 1,5 kali viskositas air

(Guyton, 2014).

D. Nilai Eritrosit rata-rata

Index Eritrosit menyatakan ukuran serta kandugan hemoglobin

pada sel-sel darah merah tubuh. Index eritrosit digunakan utamanya

dalam penegakan diagnosis dari anemia (Ryan dalam Lichtman et al,

2010). Index eritrosit dinyatakan dalam tiga nilai, yakni MCV,MCH,

dan MCHC.

22

1. MCV (Mean Corpuscular Volume)

MCV atau volume rata-rata eritrosit menyatakan

ukuran sel-sel darah merah yang terkandung dalam sampel

darah. Nilai MCV ditentukan dengan rumus :

MCV= Ht

∑ eritrosit dalam juta×10

Ht atau nilai hematokrit menunjukkan fraksi eritrosit

dalam suatu sampel whole blood. Nilai ini kemudian dibagi

dengan jumlah eritrosit dalam juta dan dikalikan dengan 10.

Nilai MCV kemudian dinyatakan dalam satuan femtoliter (

10−15 L atau μm3).

Standar nilai normal MCV yang digunakan dalam

percobaan adalah 82-92 femtoliter. Sementara nilai MCV

pada percobaan menunjukkan nilai 90,90 femtoliter. Nilai ini

masih berada dalam rentang nilai MCV normal. Artinya,

eritrosit pada sampel masih berukuran normal (normositik).

Nilai MCV yang lebih dari normal menandakan adanya

peningkatan ukuran eritrosit. Artinya, eritrosit pada sampel

telah mengalami pembesaran. Sebaliknya apabila didapat

nilai MCV kurang dari normal, artinya eritrosit pada sampel

mengalami penyusutan ukuran.

Hal inilah yang menjadikan nilai MCV sebagai salah

satu guide dalam mendiagnosis anemia(Ryan dalam

Lichtman et al, 2010). Nilai MCV akan menunjukkan apakah

anemia yang dialami pasien termasuk dalam anemia

makrositik, anemia mikrositik, atau anemia normositik.

Anemia mikrositik utamanya diseabkan defisiensi Fe,

hemoglobinopathy, dan anemia karena penyakit kronis.

Anemia normositik utamanya karena hemolisis, penyakit

kronis, dan kelainan sumsum tulang. Anemia makrositik

23

seringkali disebabkan paparan zat toksik ataupun defisiensi

asam folat dan/atau vitamin B12 (Donker et al, 2014).

Penurunan nilai MCV dapat pula dikaitkan dengan

polimorfisme sel darah merah, yang disebabkan adanya

kesalahan koding pada genome yang bertanggung jawab pada

deteksi defisiensi Fe dan menghambat produksi hepcidin

(Donker et al, 2014).

Nilai MCV probandus yang didapat dari percobaan

menunjukkan nilai normal, sehingga dapat disimpulkan

bahwa percobaan sesuai dengan teori.

2. MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)

MCH atau hemoglobin rata-rata sel darah merah

menyatakan banyaknya hemoglobin yang terkandung dalam

eritrosit sampel. Banyaknya hemoglobin dinyatakan dalam

massa (pikogram). Nilai MCH ditentukan dengan

persamaan :

MCH= Hb

∑ eritrosit dalam juta×10

Nilai MCH dinyatakan dalam pikogram (10−12gram)

dengan rentang nilai normal yang digunakan dalam

percobaan adalah 27-32 pg. Sementara pada percoban didapat

nilai MCH sebesar 15 pg. Nilai ini sangat jauh dari nilai

normal, sehingga tidak sesuai dengan teori. Ketidaksesuaian

dengan teori ini besar kemungkinan disebabkan karena

adanya kesalahan-kesalahan dalam percobaan.

Nilai MCH yang kurang dari normal menandakan

sedikitnya Hb yang terkandung dalam tiap eritrosit.

Sebaliknya nilai MCH yang lebih dari normal menandakan

bahwa setiap eritrosit mengandung terlalu banyak Hb. Perlu

diingat bahwa adanya ion Fe2+ pada Hb berkontribusi pada

warna merah eritrosit. Sehingga banyak-sedikitnya Hb yang

24

dikandung akan berpengaruh pada warna eritrosit di mana

semakin banyak Hb akan memekatkan warna eritosit. Begitu

pula sebaliknya(Perkins dalam Greer et al, 2009)..

Nilai MCH lebih dari normal menandakan bahwa

eritrosit sampel bersifat hipokromatik. Sebaliknya nilai MCH

kurang dari normal menandakan bahwa eritrosit sampel

bersifat hiperkromatik. Sementara nilai MCH normal

menandakan eritrosit yang normokromatik

Oleh karena itu, nilai MCH dapat menentukan apakah

anemia pasien termasuk dalam kategori anemia

normokromatik, hiperkromatik ataupun hipokromatik

(Perkins dalam Greer et al, 2009).

3. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)

Seperti nilai MCH, MCHC atau konsentrasi rata-rata

hemoglobin dalam sel darah merah menyatakan banyaknya

hemoglobin yang terkandung dalam eritosit sampel. Namun

pada MCHC kandungan hemoglobin dinyatakan dalam

prosentase berat Hb tiap volume eritrosit. Nilai MCHC

ditentukan dengan persamaan :

MCHC= HbHt

×100 %

Di mana nilai MCHC normal yang digunakan dalam

percobaan adalah adalah 32-37%. Sementara pada percobaan

didapat nilai MCHC sebesar 17%. Nilai ini sangat jauh dari

nilai normal, sehingga tidak sesuai dengan teori.

Ketidaksesuaian dengan teori ini besar kemungkinan

disebabkan karena adanya kealahan-kesalahan dalam

percobaan.

MCHC menunjukkan konsentrasi, densitas atau

“kepadatan populasi” Hb pada tiap eritrosit(Perkins dalam

Greer et al, 2009).Artinya, nilai MCHC menunjukkan dua

dimensi : jumlah populasi dan luas wilayah yang ditempati

25

(volume eritrosit). Nilai MCHC yang lebih dari normal

menunjukkan densitas Hb yang tinggi. Hal ini dapat

menunjukkan :

a. Terdapat Hb dalam jumlah yang lebih dari normal

pada tiap eritrosit dengan ukuran normal, atau

b. Terdapat Hb dalam jumlah normal/lebih dari normal

pada eritrosit yang mikrositik/berukuran kecil,

c. atau sebab lain yang mengakibatkan tingginya

konsentrasi Hb pada eritrosit. Misalnya pada

spherocytosis di mana sel darah merah berbentuk

bola (ball-shaped) atau pada anemia sel sabit (King

et al, 2014).

Sementara nilai MCHC yang kurang dari normal

menandakan hal sebaliknya.

Percobaan indeks eritrosit ini dapat dikatakan sebagai

percobaan dry lab, di mana yang dilakukan bukanlah

mempraktekkan uji seperti percoban-percobaan wet lab

melainkan melakukan perhitungan dari nilai-nilai yang telah

didapat dari percobaan-percobaan sebelumnya. Oleh karena

itu, adanya ketidaksesuaian dengan teori pada hasil percobaan

ini dapat dikarenakan adanya kesalahan-kesalahan pada

percoabaan-percobaan sebelumnya, seperti uji hematokrit, uji

hitung jumlah eritrosit, dan uji Hb. Di mana kemungkinan

kesalahan pada uji-uji tersebut akan dibahas pada subbab

masing-masing.

26

BAB V

APLIKASI KLINIS

A. Pemeriksaan Hitung Jenis Leukosit

1. Leukimia Myeloid Akut

Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang

ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-

sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan

mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu

sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA

terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu

pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini

banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya.

Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi

yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok

sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti antibiotik

generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek

samping pengobatan. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed.

IV.1234). 

Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan

dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang

sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam

bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas bawah

atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang

lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC.

Kasus DIC ini pling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi

sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektl,

sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien

LMA dengan demam.

Penatalaksanaan penyakit leukimia myeloid akut antara lain

dengan terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen

27

sitarabin dan daunorubisin dengan protokol sitarabin 100 mg/m2

diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60

mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi

komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan sebagai

obat tunggal, sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi remisi

komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. (Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II, Ed. IV.1238).

B. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit.

1. Leukemia

Leukemia adalah suatu penyakit yang dikenal dengan adanya

proliferasi neoplasitik dari sel-sel organ hemopoietik, yang terjadi

sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan

membentuk suatu klon sel leukemia. Leukemia merupakan

keganasan hemopoietik yang mengakibatkan proliferasi klon yang

abnormal dan sel bakal mengalami transformasi leukemia, terjadi

kelainan pada diferensiasi dan pertumbuhan dari sel limfoid dan

mieloid.

Proliferasi ini memberikan berbagai keadaan yang sering

ditemukan, yaitu

a. Penggantian difus sumsum tulang normal oleh sel leukemia

dengan akumulasi sel abnormal pada darah tepi.

b. Infiltrasi organ, misalnya hati, limpa, kelenjar limfe, meningen,

dan gonad oleh sel leukemik.

Etiologi dari leukemia adalah :

a. Radiasi (selamat dari bom atom)

b. Obat-obatan ( misalnya agen alkilating pada pengobatan

limfom )

c. Zat kimia ( benzene, arsen, pestisida, kloramfenikol,

fenilbutazon, dan agen antineoplastik )

d. Virus

e. Faktor genetic ( kelainan kromosom )

28

f. Faktor lingkungan ( radiasi pergion dosis tinggi disertai

manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian ).

Kegagalan sumsum tulang dengan anemia, neutropenia, dan

trombositopenia merupakan akibat yang paling penting, terutama

pada leukemia akut.

Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa

jenis penyakit yang berbeda dengan manisfestasi patofiologis yang

berbeda pula. Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum

tulang yang berat pula seperti pada leukemia akut sampai kepada

penyakit dengan perjalanan yang lambat dan gejala ringan (indolent)

seperti pada leukemia kronik.Pada dasarnya efek patofisiologi

berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat

berbeda dengan leukemia kronik.

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya

termasuk asal mula “gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi,

kelainan sitogenetik dan morfologi, kegagalan differensiasi, petanda

sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal.

Klasifikasi Leukemia menurut FAB :

a. Akut

1) Seri mieloid : AML (Acute Myeloblastic Leukemia)

a) M0 àleukemia mieloblastik akut dg diferensiasi minimal

b) M1à leukemia mieloblastik akut tanpa maturasi

c) M2à leukemia mieloblastik akut dg maturasi

d) M3à leukemia promielositik akut

e) M4à leukemia mielomonositik akut

f) M5aà leukemia monositik akut tanpa pematangan

g) M5b à leukemia monositik akut dg pematangan

h) M6 à eritroleukemia

i) M7à leukemia megakariositik akut

2) Seri Limfoid : ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)

a) L1 à blas kecil, homogen, sitoplasma sempit

b) L2 à blas besar, heterogen, sitoplasma bervariasi

29

c) L3 à blas besar, heterogen, sitoplasma basofilik dan

bervakuola

b. Kronik

1) Seri Mieloid

a) CML (Chronic Myelositik Leukemi)

b) PV (Polisitemia Vera)

c) ET (Essensial Thrombocythemia)

2) Seri Limfoid

a) CLL (Chronic Lymphositic Leukemi)

b) PLL (Prolimphositic Leukemia)

c) HCL (Hairy Cell Leukemi) (Price, 2005)

C. Pemeriksaan Hematokrit.

1. Polisitemia

Polisitemia ditandai dengan sel darah merah dalam darah terlalu

banyak dan peningkatan hematokrit. Berdasarkan keadaan yang

memicu produksi sel darah merah berlebihan, terdapat dua jenis

umum polisitemia menurut Sherwood, 2012 :

a. Polisitemia Primer, disebabkan oleh penyakit mirrip tumor di

sumsum tulang dimana eritropoeisis berlangsung dengan

kecepatan berlebihan tak terkendali dan tidak dapat diatur

oleh mekanisme-mekanisme yang secara normal mengatu

eritropoetin. Hitung SDM dapat mencapai 11 juta sel/mm3

(normalnya adalah 5 juta sel/mm3) dan hematokrit dapat

mencapai 70% sampai 80% (normalnya adalah 42% sampai

45%). Jumlah SDM yang berlebihan ini menyebabkan

viskositas darah meningkat lima sampai tujuh kali daipada

normal (yaitu menyebabkan darah bertambah “kental”),

menyebabkan darah mengalir lebih lambat, yang sebenarnya

malah mengurangi penyaluran O2 ke jaringan. Peningkatan

kekentalan juga meningkatkan resistensi perifer total yang

30

dapat meningkatkan tekanan darah sehingga beban kerja

jantung bertambah, kecuali jika mekanisme kontrol tekanan

darah dapat melakukan kompensasi.

b. Polisitema Sekunder, sebaliknya adalah mekanisme adaptif

yang sesuai yang dipicu oleh eritropoitin untuk memperbaiki

kemampuan darah mengangkut O2 sebagai respon terhadap

penurunan berkepanjangan penyaluran O2 ke jaringan. Hal ini

terjadi secara normal pada orang yang tinggal di tempat

tinggi, dimana O2 yang tersedia diudara atmosfir lebih

sedikit, atau orang yang penyaluran O2 nya ke jaringan

terganggu oleh penyakit paru kronik atau gagal jantung.

Hitung sel darah merah pada polisitema sekunder biasanya

lebih rendah daripada yang dijumpai pada polisitema primer,

biasanya berkisar antara 6 juta sampai 8 juta sel/mm3. Harga

yang harus dibayar untuk peningkatan penyaluran O2 ini

adalah meningkatnya kekentalan darah.

Peningkatan hematokrit dapat terjadi jika tubuh kehilangan

cairan tanpa eritrosit, seperti pada dehidrasi yang menyertai keringat

berlebihan atau diare hebat. Namun, ini bukan polisitema sejati karena

jumlah SDM dalam darah tidak meningkat. Yang terjadi hanyalah

eritrosit dalam jumlah normal terkonsentrasi dalam volume plasma

yang lebih sedikit. Kondisi ini dinamai polisitemia relatif.

D. Nilai Eritrosit rata-rata

1. Hereditary Spherocytosis

Hereditary Spherocytosis adalah suatu anemia hemolitik

yang dicirikan dengan eritrosit berbentuk bulat, reticulocytosis, dan

splenomegali. Kerusakan sel utamanya disebabkan adanya

kecenderungan eritrosit untuk kehilangan sebagian membran sel saat

melalui sirkulasi limpa. Sel-sel yang mengalam hal ini kemudian

akan dihancurkan (hemolisis) sehingga timbul anemia (Ryan dalam

Lichtman et al, 2010). Kehilangan membran ini dikarenakan

31

kelainan gen yang kemudian mengakibatkan hilangnya beberapa

protein struktural pada membran sel darah merah. Protein-protein

tersebut diantaranya adalah ankyrin, hepcidin, α-spectrin, β-spectrin,

dll (King et al, 2014).

2. Sickle-cell Anemia

Sickle-cell anemia adalah anemia akibat perubahan bentuk

eritrosit menjadi sel sabit (sickle shaped). Hal ini akibat

terpolimerisasinya Hb menjadisickle hemoglobin yang tak mampu

mengikat oksigen dan mengubah bentuk eritrosit. Sickle Hb adalah

Hb mutan akibat adanya substitusi asam amino valin menjadi

glutamin pada asam amino keenam pada rantai globin β (Ryan dalam

Lichtman et al, 2010).

32

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. 2009. Perkembangan Terbaru Diagnosis dan Penatalaksanaan

Polisitemia Vera. Padang: FK UNAND.

Baron, D. N. 2008. Patologi Klinik. Jakarta : EGC

Cahyo, Kris Mulyanto. 2012.

”http://www.itd.unair.ac.id/files/pdf/protocol1/PEMERIKSAAN%20DARA

H%20LENGKAP.pdf”. Di akses pada 9 September 2014.

Donker,Albertine E., dkk. 2014. “Diagnosis & Management of Microcytic

Anemias due to Genetic Disorders of Iron Metabolism or Heme Synthesis:

1. Disorders Due to Low Iron Availability for Erythropoiesis”.

Blood. 2014;123(25):3873-3886

Dorland. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. (Alih bahasa : Retna Neary

Elseria). Jakarta : EGC

Dorland, WAN. 2010. Kamus Saku Kedokteran Dorland Ed.31 (Alih Bahasa :

Albertus Agung Mahode). Jakarta: EGC.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta :

EGC.

Guyton, Arthur C. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Alih Bahasa: Irawati).

Jakarta : EGC

Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan

Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

King , llison A & Shalini Shenoy. 2014. “Evidence-Based Focused Review of the

Status of Hematopoietic Stem Cell Transplantation as Treatment for Sickle

Cell Disease and Thalassemia”. Blood. 2014;123(20):3089-3094

Marks, PW, Glader B. 2009.“Approach to Anemia in the Adult and Child”. dalam: Hoffman F, Benz EJ, Shattil SJ.Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone

33

Perkins, SL. 2009. “Examination of the Blood and Bone Marrow”. dalam: Greer,

J.P, Foester J, Rodgers GM, et al, .Wintrobe's Clinical Hematology.

12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Price, Sylvia A. 2005. Gangguan Sistem Hematologi. Patofisiologi Konsep Klinis

dan Proses – Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC

Ryan, DH. 2010. “Examination of Blood Cells”. dalam: Lichtman MA, Kipps TJ,

Seligsohn U, et al. Williams Hematology. 8th ed. New York: The McGraw-

Hill Companies, Inc

Sacher, A. Ronald. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 2008.

Jakarta: EGC

Sherwood, 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (Alih bahasa: dr.

Brahm U. Pendit,SpKK). Jakarta : EGC

Sudoyo,W. Aru. Ilmu Penyakit Dalam. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

34