60
GAMBARAN DARAH IKAN MAS (Cyprinus carpio Linn) STRAIN SINYONYA YANG BERASAL DARI DAERAH CIAMPEA-BOGOR ORNELLA VONTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Hbitat n Mrfologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fjcbwsslfjbsflbsklfvbs

Citation preview

Page 1: Hbitat n Mrfologi

GAMBARAN DARAH IKAN MAS (Cyprinus carpio Linn)

STRAIN SINYONYA YANG BERASAL DARI

DAERAH CIAMPEA-BOGOR

ORNELLA VONTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 2: Hbitat n Mrfologi

ABSTRAK

ORNELLA VONTI. Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn)

Strain Sinyonya Yang Berasal dari Daerah Ciampea-Bogor. Di bawah bimbingan RISA TIURIA dan ANITA ESFANDIARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil beberapa parameter

hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dari Ciampea-

Bogor. Enam ekor ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil dari vena caudalis sebanyak 0,5 ml

untuk dilakukan pemeriksaan terhadap nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin,

jumlah eritrosit dan diferensiasi leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dari preparat ulas darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang dapat dilihat adalah eritrosit, limfosit, monosit, heterofil dan eosinofil. Ikan mas

yang diperiksa memiliki rata-rata nilai hematokrit 29,30+4,68 (21-34%),

konsentrasi hemoglobin 8,3+1,78 (6,4-10,8 g%) dan jumlah eritrosit 2,50+1,20

(1,67-4,47)x106 sel/mm

3. Ketiga parameter eritrosit tersebut masih dalam kisaran

normal. Persentase limfosit rata-rata ikan mas yang diperiksa 55,29+10,27%, lebih

rendah dari kisaran normal, sedangkan persentase rata-rata monosit dan heterofil

masing-masing adalah 9,43+3,58% dan 19,71+8,46%, lebih tinggi dari kisaran

normal. Jumlah eosinofil rata-rata ikan mas 0,57+0,82%, dan masih dalam kisaran

normal.

Page 3: Hbitat n Mrfologi

GAMBARAN DARAH IKAN MAS (Cyprinus carpio Linn)

STRAIN SINYONYA YANG BERASAL DARI

DAERAH CIAMPEA-BOGOR

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh

Gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian

Bogor

Oleh:

ORNELLA VONTI

B04104179

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Page 4: Hbitat n Mrfologi

“Dan ada kekalahan. Tak seorangpun dapat menghindarinya. Tapi lebih

baik kalah dalam beberapa pertarungan demi impian-impianmu, daripada kalah

tanpa mengetahui apa yang kau perjuangkan” (Paulo Coelho).

“Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur. Sang

pemanah maka tau sasaran bidikan keabadian, dia merentangmu dengan

kekuasanNya, hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat” (Kahlil Gibran).

Dalam keheningan malam, diam berbicara

Berkesah sungai deras di tengah hutan

Tertutup kabut pekat dan dingin

Menembus bak onak duri

Terasa gema pun membisu

Tersela oleh harum bisikan nafas malam

Karena ada sebuah tanya

Yang berdegup di balik bukit

Mungkin karena keresahan

Terhirup di dalam kesesakan pepohonan

Hingga menutup jalan cahaya

Ke arah matanya yang elok

Terhimpit oleh bayangan senja yang mengintip

Di baliknya fajar menggegap

Menggertak ke dalam cermin mimpi

Menangis angin berseru, memanggil Sang Putra cahaya

Lalu mendekatlah bagai buih ombak lembut

Cahaya yang mengenakan mahkotanya

Menyingkapkan semua mimpi buruk

Dan mengisinya dengan keindahan langit biru

(Dedicated for Son of the light)

Page 5: Hbitat n Mrfologi

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gambaran Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn)

Strain Sinyonya Yang Berasal dari Daerah Ciampea-

Bogor.

Nama Mahasiswa : Ornella Vonti

NIM : B04104179

Disetujui

Drh. Risa Tiuria, M.S, PhD Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal lulus :

Page 6: Hbitat n Mrfologi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Tritunggal, karena atas

penyertaan, berkat dan kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat

pada waktunya. Skripsi ini disusun setelah penulis melakukan penelitian di

Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan kesehatan

Masyarakat Veteriner dan Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik,

Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Drh. Risa Tiuria, MS, PhD selaku dosen pembimbing pertama yang telah

begitu banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat

membantu penulis dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen pembimbing kedua yang telah

membimbing, membantu dan memberikan pengetahuan mendalam kepada

penulis, erat kaitannya dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. drh Ariyani S Satyaningtijas, MSc selaku dosen penguji dalam ujian akhir

skripsi atas banyak masukan dan koreksian yang sangat berharga bagi

penulisan skripsi ini.

4. Dr. drh. Damiana Rita Ekastuti, MS sebagai dosen penilai dan Dr. drh. Fajar

Satrija, MSc sebagai moderator dalam seminar yang telah memberikan banyak

saran dan masukan dalam penulisan.

5. My Beloved Family: Mama, Papa, AU, Akoh Inyoh, AIH, young brother Gie,

Ci Utin, Ci Usan, Ko Tommy yang telah ada untuk memberikan doa, tempat

berlindung secara fisik maupun mental dengan penuh kasih sayang.

6. Pak Eman, Bu Tiawati dan Pak Jajat yang banyak membantu selama

penelitian.

7. Pdt. Nugroho atas doa dan bimbingannya.

8. Chipo yang telah memberikan masukan berharga bagi penulis.

9. Teman-teman satu penelitian yang telah saling membantu dan bekerja sama :

Asri, Mones, Uya, Ina, Nope, Sio, Linong, Arie, Arios, Debby, Ivan dan Dwi.

10. Ai, Chubi, Teteg, Loren, Memey, Ven2, Bagus, Dika, Candut, Tongki, Sherly,

Willin, Tari, Sius, Bertha, Yuli, Jane, anak-anak PF&PMK, serta teman-teman

Asteroidea ‘41 atas segala dukungannya.

Page 7: Hbitat n Mrfologi

11. Shella, Marini, Donna, Helen untuk doa dan dukungan yang telah diberikan.

12. Kepada mereka yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu-

persatu, penulis juga mengucapkan terima kasih.

Terlepas dari kekurangan yang ada penulis berharap semoga tulisan ini

bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Bogor, September 2008

Penulis

Page 8: Hbitat n Mrfologi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 2 November 1986 sebagai anak

sulung dari dua bersaudara, dari Bapak Tatang Tjahjaman Sandjaja dan Ibu Liem

Mey Lien. Pendidikan dasar ditempuh di SDK 6 BPK Penabur Bandung tahun

1992-1998, kemudian dilanjutkan pada SLTPK 5 BPK Penabur Bandung pada

tahun 1998 sampai 2001. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMU Trinitas

Bandung dari tahun 2001 sampai 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswi IPB pada Fakultas Kedokteran Hewan

tahun 2004 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama

mengenyam pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi salah satu pengurus

Persekutuan Fakultas FKH, sekretaris Veterinary Japanese Club (VJC), anggota

UKM Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, anggota Paduan Suara Gita Klinika

FKH, anggota HIMPRO HKSA dan HIMPRO Satwa liar. Penulis juga pernah

menjadi ketua panitia Natal PF FKH dan pernah berpartisipasi dalam pelaksanan

pengobatan massal eliminasi Filariasis di kota Bogor.

Page 9: Hbitat n Mrfologi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................... ….ix

DAFTAR TABEL .......................................................................................... …..x

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ….xi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. …xii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ................................................................................................. …...1

Tujuan Penelitian ............................................................................................. .......2

Manfaat Penelitian ........................................................................................... .......2

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan mas (Cprinus Carpio Linn) strain Sinyonya Sejarah ikan mas .................................................................................. .......3

Morfologi ikan mas .............................................................................. .......4

Strain ikan mas.............................................................................................5

Taksonomi ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya ............ .......5 Parameter kualitas air untuk ikan mas..........................................................6

Pakan ikan mas.............................................................................................7

Siklus reproduksi..........................................................................................7

Parasit pada ikan

Kecacingan pada ikan .......................................................................... .......9

Virus pada ikan...........................................................................................11

Protozoa pada ikan ............................................................................... .....12

Bakteri pada ikan.................................................................................. .....14

Darah ................................................................................................................ .....14

Eritrosit ................................................................................................. .....16

Leukosit ................................................................................................ .....18

Limfosit............. ................................................................................... .....18

Monosit............. ................................................................................... .....20

Heterofil....... ........................................................................................ .....21

Eosinofil.................... ........................................................................... .....22

Basofil........................................................................................................23

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................................... .....24

Bahan dan Alat Penelitian ................................................................................ ….24

Metode Penelitian

Koleksi sampel darah ikan ................................................................... .....24

Pembuatan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa ................ .....25

Jumlah eritrosit ..................................................................................... .....25

Page 10: Hbitat n Mrfologi

Pemeriksaan nilai hematokrit ............................................................... .....26

Pemeriksaan konsentrasi hemoglobin .................................................. .....26

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya .. .....27 Eritrosit ................................................................................................. .....27

Limfosit ................................................................................................ .....28

Monosit ................................................................................................ .....28

Heterofil ............................................................................................... .....29

Eosinofil ............................................................................................... .....29

Nilai hematokrit ............................................................................................... .....30

Konsentrasi hemoglobin................................................................................... .....31

Jumlah eritrosit ................................................................................................. .....33

Diferensiasi leukosit ......................................................................................... .....35

Persentase monosit ............................................................................... .....38

Persentase limfosit ............................................................................... .....39

Persentase heterofil .............................................................................. .....40

Persentase eosinofil....................................................................................40

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ...................................................................................................... .....42

Saran.......................................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: Hbitat n Mrfologi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin dan jumlah eritrosit

ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya .................................. ….30

2. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mas

(Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya……………………………………36

Page 12: Hbitat n Mrfologi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Common carp/ikan mas (Cyprinus carpio Linn) ...................................... .......3

2. Limfosit pada darah ikan ........................................................................... .....19

3. Monosit pada darah ikan ........................................................................... .....20

4. Heterofil pada darah ikan zebrafish .......................................................... .....21

5a. Eosinofil pada darah ikan zebrafish .......................................................... .....22

5b. Eosinofil pada darah ikan Salminus maxillosus. ..................................... .....22

6. Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya: limfosit, eritrosit, heterofil, monosit, eosinofil…………………..27

7. Nilai hematokrit pada ikan mas strain Sinyonya …………………………....31

8. Perbandingan konsentrasi hemoglobin pada masing-masing ikan

mas strain Sinyonya…………………………………………………………32

9. Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya …...……....33

10. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit ikan mas

(Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diperiksa………………..…...37

Page 13: Hbitat n Mrfologi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Metode penghitungan eritrosit per mm3 ...................................................... ….47

Page 14: Hbitat n Mrfologi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki beraneka macam

kekayaan sumber daya perairan. Produksi ikan di Indonesia memberikan dampak

positif yang signifikan pada sektor ekonomi. Salah satu jenis ikan air tawar yang

umum dikonsumsi dan dibudidayakan yaitu ikan mas (Cyprinus carpio Linn).

Ikan mas (Cyprinus Carpio Linn) merupakan jenis ikan air tawar yang

mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, pemeliharaannya mudah dan banyak

diminati masyarakat karena dagingnya enak dan gurih serta kandungan proteinnya

cukup tinggi (Retno 2008). Ikan ini menyebar hampir di semua tempat budidaya

ikan air tawar di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah tertentu

seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan,

budidaya ikan mas telah menjadi sumber mata pencarian masyarakat setempat

(Lingga 2002).

Mengingat pentingnya masalah epizootika di Indonesia yang menghantam

sektor perikanan beberapa dekade belakangan ini (sebagai contoh, merebaknya

kasus Myxobolus pyriformis pada tahun 1951; Lernaea cyprinacea pada tahun

1953; dan Aeromonas sp. pada tahun 1980, yang menyebabkan hilangnya 125

triliun ikan mas (Oswald & Hulse 1982), maka perlu tindak lanjut upaya

pengoptimalan perkembangbiakan dan pertumbuhan yang dapat direalisasikan

dengan penerapan kesehatan dan diagnosis penyakit.

Selain menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar, beberapa agen

penyakit pada ikan juga diduga dapat menular pada manusia. Beberapa contohnya

adalah Vibrio cholera dan Salmonella sp. (Oswald & Hulse 1982). Penyakit-

penyakit seperti Epizootic haematopoietic necrosis, Infectious haematopoietic

necrosis, Spring viraemia of carp, Viral haemorrhagic septicaemia, Infectious

pancreatic necrosis, Infectious salmon anaemia,

Epizootic ulcerative syndrome, Bacterial kidney disease

(Renibacterium salmoninarum), Gyrodactylosis (Gyrodactylus salaris) dan Red

sea bream iridoviral disease bahkan telah masuk kedalam list OIE sebagai disease

notifiable (OIE 2006).

Page 15: Hbitat n Mrfologi

Untuk mencegah masuknya penyakit ikan yang berbahaya, maka perlu

adanya karantina ikan yang mengatur mengenai: (1) syarat sertifikasi kesehatan

ikan bagi negara pengekspor, (2) inspeksi ikan yang akan diimpor, termasuk

laboratorium uji sampel ikan, (3) perlakuan dan observasi ikan, (4) terjaminnya

keamanan air ikan yang dipelihara, (5) pengawasan sanitasi lingkungan, (6)

penolakan bagi ikan yang tidak memenuhi kriteria kesehatan (Oswald & Hulse

1982).

Pemeriksaan hematologi dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk

membantu diagnosis penyakit pada ikan dengan efektif dan cepat. Oleh karena itu

studi tentang gambaran darah, dalam hal ini profil beberapa parameter hematologi

pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn), khususnya ikan mas strain Sinyonya perlu

dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil beberapa parameter

hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dari Ciampea-

Bogor yang meliputi jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, konsentrasi

hemoglobin, dan diferensiasi leukosit (persentase limfosit, monosit, heterofil,

eosinofil dan basofil).

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil

beberapa parameter hematologi pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain

Sinyonya.

Page 16: Hbitat n Mrfologi

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya

Sejarah ikan mas

Ikan mas (Gambar 1) sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di

Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920 (Sutanmuda

2007). Ikan mas yang pertama kali masuk ke Indonesia berasal dari daratan Eropa

dan China, kemudian berkembang menjadi ikan budidaya yang sangat penting.

Ikan mas berkembang membentuk beberapa ras atau strain. Strain-strain yang ada

terbentuk secara alami maupun rekayasa dalam waktu cukup lama. Ras-ras ikan

mas berwarna gelap diduga berasal dari Eropa dan warna terang berasal dari

China (Suseno 1994).

Gambar 1. Common carp/ikan mas (Cyprinus carpio Linn) (Anonim 2008b)

Dua ras ikan mas yaitu ras Galisia (karper Gajah) dan ras Frankisia (karper

Kaca) yang berasal dari Belanda dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1927 dan

1930. Dua ras ini sangat disukai karena memiliki kualitas daging yang baik,

memiliki duri yang sedikit dan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan ras

lokal. Pada tahun 1974, Indonesia mengimpor ikan mas ras Taiwan, ras Jerman,

dan ras Fancy carp masing-masing dari Taiwan, Jeman dan Jepang. Pada tahun

1977 diimpor lagi ikan mas ras Yamato dan ras Koi dari Jepang. Dalam

perjalanannya ikan-ikan tersebut ada yang disilangkan dengan ras Lokal dan

hanya beberapa saja yang masih dapat ditemukan ras murninya, misalnya ikan

Page 17: Hbitat n Mrfologi

mas Koi. Indonesia memiliki beberapa ras Lokal seperti ras Sinyonya, Punten

Majalaya, Merah, Biru, Hijau, Putih, Hitam, Kumpay dan Kancra domas. Pada

awalnya ikan mas termasuk ikan liar. Karena memiliki sifat mudah berkembang

biak dalam berbagai jenis dan kualitas air tawar, maka ikan ini menyebar ke

seluruh dunia (Santoso 1999).

Morfologi ikan mas

Tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut

terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian anterior mulut

terdapat dua pasang sungut. Secara umum permukaan tubuh ikan mas tertutup

oleh sisik. Sisik ikan mas relatif besar dan digolongkan ke dalam sisik tipe sikloid

(Suseno 1994). Ikan mas biasanya memiliki 7 sirip, yaitu sepasang sirip (pektoral

dan pelvis) dan sirip tunggal (dorsal, anal dan kaudal) yang berfungsi untuk

integritas dan keseimbangan dalam pergerakan ikan. Kulit pada beberapa spesies

ikan dapat berfungsi untuk respirasi (Hoole et al. 2001). Sirip punggung (dorsal)

berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras, dan sirip

terakhir yaitu sirip ketiga dan keempat bergerigi. Letak permukaan sirip punggung

berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral), sedangkan sirip anus yang

terakhir bergerigi. Linea lateralis (gurat sisi) terletak di pertengahan tubuh,

melintang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor. Gigi

kerongkongan terdiri dari tiga baris yang berbentuk gigi geraham (Suseno 1994).

Pada ikan stadium larva, permukaan kulit merupakan komponen penting

untuk respirasi. Pada ikan dewasa, respirasi melalui kulit berfungsi lokal dengan

organ respirasi utama adalah insang. Insang terdiri dari lengkungan berbentuk

kubah keras yang tersusun atas tulang dan tulang rawan. Pada lengkungan ini

terdapat filamen-filamen, dan dari setiap filamen terdapat lamela-lamela yang

bertonjolan pada setiap sisinya. Lamela di insang berfungsi untuk pertukaran

oksigen. Lamela ini disusun dari sel-sel epitel eksternal dan sel-sel pillar yang

memfasilitasi aliran darah pada insang. Jarak antara air dengan darah di insang

pada ikan adalah 2 µm (Hoole et al. 2001).

Page 18: Hbitat n Mrfologi

Strain ikan mas

Saat ini ikan mas mempunyai banyak strain. Sampai saat ini sudah

terdapat sepuluh ikan mas yang dapat diidentifikasi berdasarkan karakteristik

morfologinya. Perbedaan sifat dan ciri dari setiap strain disebabkan oleh adanya

interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan

yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warna. Ciri-ciri dari

beberapa strain ikan mas adalah sebagai berikut: (1) Ikan mas Punten memiliki

sisik berwarna hijau gelap, potongan badan paling pendek, bagian punggung

tinggi melebar, mata agak menonjol, gerakannya gesit, perbandingan antara

panjang dan tinggi badan 2,3:1; (2) Ikan mas Majalaya memiliki sisik berwarna

hijau keabu-abuan dengan tepi sisik lebih gelap, punggung tinggi, badan relatif

pendek, gerakan lamban, bila diberi pakan suka berenang di permukaan air,

perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,2:1; (3) Ikan mas Sinyonya memiliki

sisik berwarna kuning muda, badan relatif panjang, matanya pada ikan muda tidak

menonjol, sedangkan ikan dewasa bermata sipit, gerakan lamban, lebih suka

berada di permukaan air, perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,6:1; (4)

Ikan mas Taiwan memiliki sisik berwarna hijau kekuning-kuningan, badan relatif

panjang, penampang punggung membulat, mata agak menonjol, gerakan lebih

gesit dan aktif, perbandingan panjang dengan tinggi badan 3,5:1 (Sutanmuda

2007).

Taksonomi ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya.

Menurut Sannin (1984), ikan mas dapat diklasifikasikan ke dalam

Kingdom Animalia, Filum Chordata, Subfilum Pisces, Kelas Osteichtyes ,

Subkelas Teleostei, Ordo Ostariophysi, Sub Ordo Cyprinoidea, Family

Cyprinidae, Subfamili Cyprininae, Genus Cyprinus, dan Spesies Cyprinus carpio

Linn.

Hagfish dan lamprey termasuk ke dalam kelas ikan Agnata, yang

dikarakteristikkan dengan tidak adanya rahang dengan mulut berbentuk bulat di

sebelah anterior. Lubang hidung berbentuk tunggal dan terletak di sebelah dorsal.

Selain itu, faring memiliki 7 atau lebih celah insang yang terbuka secara tidak

langsung. Notokorda (tongkat gelatinosa yang dapat menjadi kaku, terletak di

Page 19: Hbitat n Mrfologi

dorsal, dan hanya ada selama beberapa stadium pertumbuhan) persisten dan

dilengkapi vertebrae kartilago secara tidak sempurna. Agnata tidak memiliki

sistem porta ginjal dan hidup dengan menghisap cairan atau organ tubuh ikan lain

dengan mulutnya yang berbentuk bulat (Brotowidjoyo 1989).

Condrichthyes adalah kelas ikan yang dikarakteristikkan dengan adanya

mulut ventral yang disokong dengan rahang. Terdapat dua pasang sirip, dimana

sirip kaudal kebanyakan heteroserkal (lobus dorsal lebih besar). Ruang hidung

berpasangan, dengan faring memiliki 5-7 celah insang (pada chimaera, faring

tertutup oleh operkulum tunggal). Skeleton terdiri dari tulang rawan dan memiliki

kulit yang tertutup oleh sisik plakoid (yang berasal dari kombinasi mesoderem dan

ektoderem). Sebagian notokorda diganti oleh vertebrata yang lengkap. Pada ikan

dewasa terdapat mesonefros, dengan sistem porta pada ginjal. Usus memiliki

katup-katup spiral didalamnya. Kelamin terpisah dengan fertilisasi dilakukan

secara eksternal (ovipar) atau internal (ovovivipar). Semua jenis ini hidup di laut,

yakni ikan hiu, ikan pari dan ikan lonceng/chimaera (Brotowidjoyo 1989).

Osteichtyes adalah kelas ikan berahang, yang dikarakteristikkan dengan

skeleton yang seluruhnya bertulang menulang. Kraniumnya merupakan cranium

tulang rawan (kondrokranium) yang dilengkapi oleh tulang dermal untuk

membentuk tengkorak majemuk. Tipe sisiknya adalah ganoid, sikloid, ktenoid,

atau tidak bersisik. Pada stadium embrio ada 6 celah insang, pada dewasa bisanya

tinggal 4 celah yang tertutup oleh operkulum. Biasanya ada gelembung renang

yang kadang berhubungan dengan faring. Notokorda ditempati oleh vertebrae

yang menulang. Otak terdiri dari 5 bagian dengan 10 pasang saraf kranial. Pada

ikan dewasa terdapat mesonefros dan memiliki system portal renal. Pada ikan

yang lebih primitive bentuknya, terdapat katup spiral dalam ususnya. Contonhnya,

antara lain: Sturgeon (Acipenser), ikan lele, belut, bader, tuna, ikan paru, kuda

laut, ikan mas, ikan salmon, ikan sardine, ikan terbang, dan lainnya (Brotowidjoyo

1989).

Parameter kualitas air untuk ikan mas.

Suhu air maksimum yang masih dapat ditoleransi oleh Cyprinidae adalah

280C. Sebagaimana ikan yang hidup di daerah tropis, ikan mas, terutama Goldfish,

Page 20: Hbitat n Mrfologi

dapat bertahan pada suhu yang hampir membeku hingga suhu 300C. Semakin

tinggi suhu air, maka kandungan oksigen terlarut akan semakin sedikit.

Sebaliknya jika suhu air semakin rendah maka kandungan oksigen terlarut akan

semakin besar. Oksigen terlarut minimal 50% dari 8 mg/LO2 dan 100% dari 5

mg/LO2. Semakin tinggi temperatur air, akan meningkatkan metabolisme tubuh

ikan, sehingga produksi ammonia meningkat. Total ammonia maksimum di

lingkungan adalah 0,2 mg/L NH4+, sedangkan kisaran normal pH adalah 6-9.

Total maksimum residu klorin pada air adalah 0,005 mg/L HOCl. Suhu yang

sangat rendah juga tidak baik karena akan menyebabkan hipotermia. Oksigen

terlarut pada suhu air yang rendah lebih tinggi dibandingkan pada suhu tinggi,

namun suhu air yang terlalu rendah akan menurunkan denyut jantung dan

frekuensi respirasi. Hal tersebut akan menyebabkan ikan mengalami hipoksia.

Hipoksia akan menimbulkan reaksi hipotermia, yang meliputi penurunan

frekuensi respirasi dan penurunan koordinasi ikan sewaktu berenang. Selain itu,

suhu lingkungan yang terlalu rendah akan menurunkan fungsi sistem kekebalan,

sehingga ikan lebih rentan terhadap infeksi oleh bakteri dan jamur (Hoole et al.

2001). Ketidaksesuaian berbagai parameter kualitas air pada ikan, seperti pH dan

zat-zat kimia lainnya dapat menyebabkan stres (Hoole et al. 2001). Kondisi stress

akan meningkatkan kadar kortisol di dalam darah, dan akan menyebabkan depresi

pada sistem kekebalan (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006).

Pakan ikan mas

Ikan mas termasuk golongan ikan pemakan segala/omnivora (Santoso

1999). Pakan ikan mas pada umumnya adalah makrofita dan alga berfilamen,

disamping zooplankton, larva serangga dan moluska (Hoole at al. 2001). Ikan mas

muda (10 cm) senang memakan jasad hewan atau tumbuhan yang tumbuh di dasar

kolam seperti chironomidae, olighochaeta, tubificidae, epimidae dan trichoptera

(Santoso 1999).

Siklus reproduksi

Induk ikan mas betina yang dapat dipijahkan berumur 1,5-3 tahun dengan

bobot minimum 1,5 kg/ekor, sedangkan induk jantan berumur 6 bulan ke atas

Page 21: Hbitat n Mrfologi

dengan bobot minimum 0,5 kg/ekor. Badan tidak cacat, termasuk sirip, dengan

sisik yang besar dan letaknya teratur. Kepala relatif kecil dibandingkan panjang

badan. Tubuh relatif besar sehingga mampu menghasilkan banyak telur. Pangkal

ekor normal (pangkal ekor lebih panjang dibandingkan dengan tingginya), lebar

dan tebal. Induk betina yang dewasa kelamin ditandai dengan gerakan yang

lamban, perut membesar ke arah belakang, jika diraba terasa lunak, lubang anus

agak membengkak atau menonjol, dan bila perut diurut (striping) perlahan ke arah

anus akan keluar cairan berwarna kuning kemerahan. Induk jantan gerakannnya

lincah, badannya langsing, dan jika perut diurut akan keluar cairan sperma

berwarna putih seperti susu. Dalam persiapan pemijahan, perbandingan induk

jantan dan betina adalah 1:1 (kg/m2), artinya untuk satu ekor induk betina

berbobot 2 kg/ekor maka jumlah induk jantan adalah 3 ekor dengan bobot 600-

700 g/ekor (Mantau et al. 2004).

Siklus reproduksi ikan mas dimulai di dalam gonad, yaitu ovarium pada

ikan betina dan testis pada ikan jantan. Dari ovarium dihasilkan telur dan dari

testis akan di hasilkan spermatozoa. Perkawinan ikan mas dapat terjadi sepanjang

tahun karena tidak mengenal musim. Biasanya perkawinan ikan mas terjadi pada

malam hari sampai menjelang fajar. Telur ikan mas akan menempel pada rumput,

daun, atau material penutup kolam. Telur ikan mas berbentuk bulat, bening, dan

ukuran yang bervariasi menurut umur dan berat badan induk. Diameter telur ikan

mas antara 1,5-1,8 mm dan beratnya antara 0,17-0,20 mg. Embrio yang tumbuh

dalam telur yang sudah dibuahi akan menetas menjadi larva setelah 2-3 hari.

Larva ikan mas biasanya menempel dan bergerak vertikal. Ciri morfologinya

antara lain berukuran panjang antara 0,5-0,6 mm dan beratnya antara 0,18-20,0mg

(Lingga 2002). Larva ikan mas memerlukan pakan yang sesuai dengan ukuran

mulutnya, seperti plankton dan susupensi kuning telur ayam (pakan buatan).

Larva kemudian berkembang menjadi benih (2-3 cm) dan diberi pakan tepung

pelet (Mantau et al. 2004). Setelah 2-3 minggu, benih tumbuh menjadi burayak.

Burayak ini memiliki ukuran 1-3 cm dan beratnya sekitar 0,1-0,5 g. Dua sampai

tiga minggu kemudian burayak tumbuh menjadi putihan. Putihan ini berukuran

antara 3-5 cm dan beratnya antara 0,5-2,5 g. Putihan secara alami tumbuh terus

dan setelah tiga bulan menjadi gelondongan dan beratnya akan mencapai 100 gr

Page 22: Hbitat n Mrfologi

per ekornya. Setelah enam bulan ikan jantan dapat mencapai 0,5 kg dan dalam 15

bulan ikan betina dapat mencapai 1,5 kg. (Lingga 2002).

Parasit pada ikan

Kecacingan pada ikan

Monogenea adalah kelas parasit cacing pipih, dimana sebagian besar

anggotanya merupakan ektoparasit pada vertebrata berdarah dingin/poikilotermal

seperti amphibi dan ikan (Hoole et al. 2001). Cacing ini dikarakterisasikan dengan

adanya opisthaptor, yaitu organ perlekatan di bagian posterior (Buchmann &

Bresciani 2001). Organ ini dilengkapi dengan dua kait besar yang terletak di

tengah dan dikelilingi dengan 12-16 kait-kait yang lebih kecil di tepinya sehingga

membentuk seperti mahkota. Kait-kait tersebut berfungsi agar cacing dapat

melekat dengan kuat pada inangnya (Hoole et al. 2001). Buchmann dan Bresciani

(2006) melaporkan bahwa beberapa keluarga Monogenea yang menyebabkan

penyakit pada ikan, yaitu Dactylogyridae, Pseudodactylogyridae,

Ancyrocephalidae, Tetraonchidae, Diplectanidae, Gyrodactilydae,

Anoplodiscidae, Microbothriidae, Capsalidae, Diclidophoridae, Discocotylidae,

Microcotylidae. Dactylogyrus vastator dan Dactylogyrus extensus biasanya

dijumpai pada Cyprinus carpio dan Carassius auratus, sedangkan Dactylogyrus

minutes pada Cyprinus carpio. Ketiga Monogenea tersebut memiliki habitat pada

insang ikan dan endemik terutama di daerah Asia.

Digenea (trematoda) adalah cacing pipih yang mampu menginfeksi

beragam jenis hewan. Cacing ini bisanya memiliki dua batil hisap, yaitu batil

hisap ventral yang berfungsi sebagai perlekatan antara cacing dengan inangnya,

serta batil hisap oral yang terletak di ujung anterior (Hoole et al. 2001). Digenea

yang berkontribusi menyebabkan infeksi parah pada insang adalah Centrocestus

spp, dan pada otot dan jaringan adalah Bolbophorus spp (Paperna dan Dzikowski

2006).

Cestoda adalah endoparasit yang dikarakterisasikan dengan adanya

skoleks (bagian kepala) untuk melekatnya cacing dengan inang, serta strobila

yang terbagi menjadi segmen-segmen proglotid (Buchmann & Bresciani 2001).

Page 23: Hbitat n Mrfologi

Beberapa Famili Cestoda yang menginfeksi ikan adalah Amphilinidea,

Caryophylidea, Pseudophylidea, Proteocephalidea. Ikan mas adalah inang definitif

dari Bothriocephalus spp. (Pseudophylidea), Caryphyllaeus spp. dan Khawia sp.

(Pseudophylidea). Cestoda yang menjadi perhatian utama adalah

Diphyllobothrium, terutama Diphyllobothrium latum yang tersebar luas di seluruh

dunia, terdapat di otot ikan dan juga dapat menginfeksi manusia (Dick et al.

2006).

Nematoda merupakan cacing yang berbentuk silindris panjang yang

ramping dan tidak bersegmen (Buchmann & Bresciani 2001). Nematoda

menyerang ikan, antara lain famili Dioctophymatidae, Capillariidae dan

Cystiopsidae. Nematoda merupakan cacing yang banyak diteliti, sehingga

varietasnya yang bermacam-macam telah diketahui secara luas. Beberapa contoh

Nematoda pada ikan antara lain Capillaria pterophylii, Anisakis simplex, dan

Camallanus truncates (Molnar et al. 2006).

Adapun Trematoda yang merupakan fish-borne disease adalah Clonorchis

sinensis. Rute infeksinya adalah dengan memakan metaserkaria yang berada di

otot dan subkutan jaringan ikan. Cacing ini banyak terdapat pada ikan air tawar

yang sebagian besar adalah Famili Ciprinidae. Pada keadaan terinfeksi oleh cacing

ini, terjadi peningkatan persentase eosinofil (5-20%). Cestoda yang menjadi fish-

borne disease adalah Diphyllobothrium, sedangkan nematoda adalah Capillaria

philippinenis yang menyebabkan Capillariasis, Gnathostoma penyebab

Gnathostomiasis, serta Anisakis, Pseudoterranova dan Contracaecum yang

menyebabkan Anisakiasis (Ko 2006).

Infeksi parasit dapat menyebabkan gangguan patologis, yang diindikasikan

dengan beberapa gejala klinis, yaitu kelesuan, anoreksia dan inflamasi. Anoreksia

adalah menurunnya nafsu makan dan asupan pakan. Adanya parasit yang

menginfeksi akan menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan terinfeksi.

Beberapa parasit ikan melepaskan enzim yang merusak tekstur dan menurunkan

kualitas daging ikan (Buchmann & Bresciani 2001).

Pada mamalia, proses inflamasi ditandai dengan panas, kemerahan, edema,

sakit dan kehilangan fungsi. Proses inflamasi pada ikan termasuk rumit dan

melibatkan banyak faktor, yakni: (1) terjadinya peningkatan aliran darah menuju

Page 24: Hbitat n Mrfologi

daerah terinfeksi, (2) edema, merupakan peningkatan cairan berlebihan di antara

sel dan dapat terjadi di ruang abdomen (ascites), (3) fibrosis yang disebabkan

karena infeksi berkepanjangan, (5) hemorrhagi, yang menyebabkan penurunan

kadar hemoglobin sehingga menimbulkan anemia, (6) nekrosis jaringan, (7)

sirosis pada hati akibat infeksi kronis parasit, (8) splenomegali dan hepatomegali,

(9) beberapa infeksi parasit dapat menimbulkan kelainan pada tulang punggung

seperti lordosis atau skoliosis. Buchmann & Bresciani (2001).

Virus pada ikan

Infeksi oleh virus banyak ditemukan pada ikan. Salah satu contoh virus

yang terdapat di dalam darah ikan adalah Viral Erythrocytic Necrosis (VEN).

Pada banyak kasus, VEN muncul tanpa diikuti gejala eksternal yang terlihat dan

bersifat kronis. Pemeriksaan VEN dapat dilakukan dengan melihat gambaran pada

ulas darah. Gambaran darah yang mengindikasikan adanya VEN adalah adanya

badan inklusi pada sitoplasma eritrosit dan dapat dilihat dengan mikroskop

cahaya. Badan inklusi berbentuk bulat (0.8-4 µm), dan berwarna merah muda

atau magenta dengan pewarnaan Giemsa. Virus ini masuk ke dalam kelompok

icosahedral cytoplasmic deoxyribovirus (ICDV), dan berdasarkan badan

inklusinya diklasifikasikan ke dalam iridovirus. Akibat-akibat lain yang dapat

ditimbulkan oleh virus ini adalah adanya anemia (nilai hematokrit kurang dari

5%), hemolitik anemia, hemosiderosis dan eritroblastosis. Perubahan lain yang

ditemukan adalah perubahan degeneratif eritrosit, meliputi perubahan lokasi inti,

dan vakuolisasi pada sitoplasma (Dannevig & Thorud 1999).

Kematian ikan karena VEN biasanya rendah, tetapi kemungkinan dapat

meningkat jika infeksi terjadi bersama-sama dengan vibriosis atau penyakit oleh

bakteri pada ginjal (Evelyn & Traxler 1978 dalam Dannevig dan Thorud 1999).

Kematian tinggi berkaitan dengan epizootika dari VEN pernah dilaporkan hanya

pada ikan Pasifik Herring (Meyers et al. 1986 dalam Dannevig dan Thorud 1999).

Selain itu, ada juga penyakit Viral Infectious Salmon Anemia (ISA) yang

dapat didiagnosis berdasarkan perubahan histopatologi dan hematologi.

Pemeriksaan hematologi, dengan melihat nilai hematokrit dibawah 10%, adanya

Page 25: Hbitat n Mrfologi

leukopenia, degenerasi eritrosit dan eritroblastosis, dapat menjadi diagnosis

penunjang penyakit ini (Dannevig & Thorud 1999).

Virus lainnya yang telah dilaporkan menyerang ikan adalah infectious

pancreatic necrosis virus (IPNV), infectious haematopoietic necrosis virus

(IHNV), viral haemorrhagic septicemia virus (VHSV), salmon pancreas disease

virus dan channel catfish virus (CCV), serta spring viraemia of carp (SVC) yang

terutama menyerang ikan mas (Woo & Bruno 1999).

Protozoa pada ikan

Beberapa Protozoa yang menyerang ikan adalah Diplomonadida

(Hexamita dan Spironucleus) dan Kinetoplastea (Ichthyobodo, Cryptobia dan

Trypanosoma). Protozoa tersebut merupakan protozoa yang memiliki flagella

(Lee 1985 dalam Woo 2006). Kebanyakan spesies protozoa ditemukan pada

darah/cairan tubuh, saluran pencenaan dan organ internal. Protozoa lainnya adalah

Ichtyobodo necatrix, menyebabkan Ichtyobodosis yang dapat menyerang ikan air

laut dan air tawar termasuk Ciprinidae (Woo 2006).

Penyakit yang disebabkan oleh Hexamita dan Spironucleus disebut

penyakit ‘hole-in-the-head’ pada ikan salmon, ikan mas dan ikan hias akuarium.

Spironucleus telah dilaporkan bersifat sporadik pada beberapa ikan termasuk ikan

mas, dan bersifat sistemik. Infeksi sistemik pada Hexamita juga telah dilaporkan,

dengan tropozoit ditemukan di dalam darah, jaringan dan organ. Sedikitnya ada 20

spesies Hexamita dan 10 spesies Spironucleus (Woo 2006). Secara umum infeksi

Spironucleus terjadi melalui ingesti kista atau tropozoit. Parasit berada di dalam

darah pada 1-8 minggu setelah infeksi (fase darah), setelah itu menghilang dari

sirkulasi darah dan menuju organ internal, rongga mata dan otot (fase jaringan).

Parasit ini memperbanyak diri melalui pembelahan biner di dalam darah setelah

menginfeksi inang definitif, dimana jumlahnya akan meningkat 2-4 minggu

pertama. Kematian dapat terjadi, baik sepanjang fase darah maupun fase jaringan

(Woo 2006).

Cryptobia spp. adalah parasit pada ikan air tawar dan air laut. Parasit ini

dapat sebagai ektoparasit (di permukaan tubuh dan/atau insang) dan endoparasit

(di saluran pencernaan atau dalam darah). Bentuknya oval hingga seperti pita dan

Page 26: Hbitat n Mrfologi

memiliki dua flagella di anterior (satu flagella memanjang hingga ke arah

posterior). Morfologi Cryptobia spp. mirip dengan Trypanosoma, dimana

perbedaan terletak pada siklus hidup keduanya. Transmisi Trypanosoma kepada

inang definitif tidak langsung, diperantarai oleh lintah sehingga disebut spesies

haematozoik. Hal ini berbeda dengan transmisi Cryptobia yang terjadi secara

langsung sehingga disebut spesies non-haematozoik. Cryptobia salmositica dapat

menyebabkan anemia mikrositik dan hipokromik, dimana sel darah merah

berbentuk tidak oval lagi dan ada penurunan konsentrasi hemoglobin (Woo

2006). Cryptobiosis menurut Stinhagen et al. (1990) dalam Woo (2006)

menyebabkan peningkatan jumlah granuloblast dan granulosit, dan memuncak

pada hari ke 44 setelah infeksi.

Trypanosoma danilewskyi adalah spesies Trypanosoma yang pertama kali

dideskripsikan dari ulas darah Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) di Eropa oleh

Laveran dan Mesnil (1904) dalam Woo (2006). Parasit ditemukan sepanjang fase

akut melalui pemeriksaan ulas darah yang telah diwarnai dengan pewarnaan

Giemsa, sedangkan pada awal atau dalam masa infeksi kronis dapat dideteksi

melalui pemeriksaan hematokrit. Ikan yang terinfeksi oleh Trypanosoma

vittati dan Trypanosoma maguri akan mengalami penurunan jumlah sel darah

merah dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah sel darah merah yang belum

matang/abnormal dan jumlah sel darah putih total akan lebih tinggi pada ikan

yang terinfeksi (Woo 2006).

Selain Diplomonadida dan Kinetoplastea, terdapat Filum Apicomplexa

yang juga menyerang ikan. Beberapa diantaranya adalah Haemogregarina, Cyrilia

dan Desseria dari Famili Haemogregarinidae; Dactylosoma dan Babesiosoma dari

Famili Dactylosomatidae; Eimeria, Goussia, Crystallospora, Calyptospora dari

Famili Eimeriidae; Cryptosporidium, Haematractidium dan Haemohormidium

dari Famili Cryptosporidiidae. Haemogregarina dan Cyrilia spp. terdapat di dalam

sel darah merah, fase perkembangannya di dalam dan di luar eritrosit. Famili

Dactylosomatidae hanya diketahui perkembangannya pada stadium intraeritrosit

merogoni dan gamogoni (parasitemia di dalam tubuh ikan berakhir hingga

mencapai 7 bulan). Haemohormidium berbentuk amoeboid, oval atau bulat di

dalam sitoplasma eritrosit (Molnar 2006).

Page 27: Hbitat n Mrfologi

Bakteri pada ikan

Beberapa bakteri pada ikan yang menimbulkan penyakit adalah: (1)

Renibacterium salmoninarum yang menyebabkan bakterial kidney disease

(BKD), (2) dua jenis bakteri gram positif yang merupakan bakteri patogen yang

sangat penting adalah Enterococcus seriolicida dan Streptococcus iniae, (3)

Mycobacterium penyebab Mycobacteriosis dan Nocardia sebagai penyebab

Nocardiosis, (4) Aeromonas salmonicida dan Aeromonas hydrophila, (5) Yersini

ruckeri yang menyebabkan Enteric redmouth disease, (6) Vibrio spp. yang

menyebabkan Vibriosis, (7) Flavobacterium spp sebagai penyebab penyakit

Flavobakterial, (8) Pseudomonas, bakteri ini pada umumnya dapat bersifat

oportunistik patogen atau menyebabkan infeksi sekunder. Selain itu ada pula

Serratia dan Proteus yang bersifat oportunistik patogen, (9) bakteri asam laktat

seperti Lactobacillus atau Carnobacterium, yang dapat juga menyebabkan kondisi

penyakit pada ikan (Woo & Bruno 1999).

Darah

Darah merupakan bagian penting dari sistem transpor di dalam tubuh.

Darah merupakan jaringan yang berbentuk cair yang dialirkan melalui saluran

vaskular, terdiri dari dua komponen yaitu plasma dan sel-sel darah. Darah ikan

tersusun atas cairan plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah merah

(eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Di dalam

plasma darah terkandung garam-garam anorganik (natrium klorida, natrium

bikarbonat dan natrium fosfat), protein (dalam bentuk albumin, globulin, dan

fibrinogen), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol) serta zat-zat lainnya

misalnya hormon, vitamin, enzim dan nutrien (Affandi & Tang 2002).

Darah memiliki fungsi untuk transpor nutrien, oksigen dan

karbondioksida, menjaga keseimbangan suhu tubuh dan berperan penting dalam

sistem pertahanan tubuh (Rastogi 1997 dalam Ariaty 1991). Secara fungsional,

trombosit berperan dalam pembekuan darah. Monosit berfungsi sebagai makrofag,

limfosit berfungsi sebagai penghasil antibodi untuk melawan antigen yang masuk

Page 28: Hbitat n Mrfologi

ke dalam tubuh dan neutrofil mempunyai fungsi fagositik (Yasutake & Wales

1983 dalam Affandi & Tang 2002).

Proses pembentukan darah/hematopoiesis (eritrosit/eritropoiesis dan

leukosit/leukopoiesis) pada ikan berasal dari sel prekursor hemositoblast yang

dapat berasal dari bermacam-macam organ, namun biasanya akan matang setelah

memasuki sirkulasi darah. Pada Hagfish/ikan hantu, darah primer dibentuk di

selubung mesodermal pada organ usus (Jordan & Speidel 1930 dalam Moyle &

Cech 1988). Percy dan Potter (1976) dalam Moyle dan Cech (1988) juga

melaporkan bahwa sel darah pada Lamprey dewasa (Lamptera) disintesis dari

jaringan lemak di daerah dorsal saraf. Ikan elasmobranch memproduksi sel darah

dari organ Leydig (terletak di daerah esophagus), organ epigonal (sekitar gonad)

dan organ limpa.

Sel granulosit dan limfosit pada ikan hiu Etmopterus spinax dibentuk dari

organ Leydig (Mattisson & Fange 1982 dalam Moyle & Cech 1988). Berbeda

dengan ikan hiu Ginglyostoma cirratum yang memiliki sangat sedikit organ

tersebut, sehingga sel granulosit dan limfosit berasal dari organ epigonal. Bagian

pulpa putih limpa memproduksi lebih banyak limfosit, sedangkan pulpa merah

memproduksi eritrosit dan beberapa granulosit (Mattisson & Fange 1981 dalam

Moyle & Cech 1988).

Limpa pada ikan elasmobranch (subkelas dari ikan Condrichthyes) dan

teleostei (subkelas dari ikan Osteichtyes) menyediakan sel darah melalui inervasi

otonomik yang diakibatkan oleh kondisi stres. Sebagai contoh adalah hipoksia

yang menstimulasi organ limpa untuk berkontraksi (Fange & Nillson 1985 dalam

Moyle & Cech 1988). Selain akibat stimulasi saraf, stimulasi hormon (adrenergik

atau kolinergik) juga menyebabkan kontraksi limpa pada ikan Atlantik cod

(Gadus morhua) seperti dilaporkan oleh Nilson dan Grove (1974) dalam Moyle

dan Cech (1988). Organ limpa memproduksi sel darah merah yang terdiri dari

eritrosit yang belum matang ataupun sel-sel yang akan berdiferensiasi menjadi

eritrosit setelah memasuki sirkulasi darah (Fange & Johansson-Sjobeck 1975

dalam Moyle & Cech 1988).

Proses hematopoiesis pada ikan teleostei terutama terjadi di organ ginjal

dan limpa (Satchell 1971 dalam Moyle & Cech 1988), mengingat jaringan

Page 29: Hbitat n Mrfologi

lymphomyeloid (pembentuk limfosit dan granulosit) juga ditemukan di daerah

cranium ikan holocephalans (Chimaera) dan ikan sturgeons (Acipenser). Untuk

sturgeons, selain di daerah cranium juga terdapat di sekeliling organ jantung

(Fange 1984 dalam Moyle & Cech 1988). Kelenjar timus merupakan jaringan

lymphomyeloid lainnya pada banyak ikan muda yang berahang, namun seringkali

mengalami regresi pada individu yang telah mengalami kematangan seksual

(Fange 1984 dalam Moyle & Cech 1988).

Sejumlah leukosit ditemukan pada kulit dan insang (Iger & Wendelaar

Bonga 1994 dalam Van Muiswinkel & Vervoorn 2006), yang mengindikasikan

bahwa sistem imun mukosal telah berkembang pada ikan. Sumsum tulang, bursa

Fabricius, Peyer’s patches dan limfonodus yang terdapat pada unggas dan/atau

mamalia, tidak dijumpai pada ikan.

Ikan-ikan besar seperti Agnatha mempunyai volume darah yang lebih

besar dibandingkan dengan spesies ikan lainnya. Condrichthyes mempunyai

volume darah sebanyak 6,6% dari berat badan, sedangkan Osteichtyes seperti

condrestei, halostei, dan teleostei (untuk spesies ikan air tawar dan ikan air laut)

mempunyai volume lebih dari 3% dari berat badan (Randall 1970 dalam Affandi

& Tang 2002).

Darah akan mengalami perubahan komposisi, terutama apabila terkena

infeksi. Adanya gangguan di dalam tubuh ikan diperlihatkan oleh adanya

perubahan pada gambaran darah, seperti nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin,

jumlah sel darah putih total dan jumlah sel darah merah (Lagler et al. 1977 dalam

Affandi & Tang 2002).

Eritrosit

Eritrosit pada ikan berinti, berbentuk oval dengan kedua ujungnya

membulat (Canfield 2006). Eritrosit yang sudah matang berukuran panjang 13-16

mikron dan lebar 7-10 mikron. Eritrosit mempunyai sitoplasma yang homogen

dengan ulasan pewarnaan Giemsa. Inti eritrosit terletak di tengah-tengah,

berbentuk oval, berwarna merah keunguan dan mempunyai kromatin yang

kompak (Affandi & Tang2002). Ukuran sel yang belum matang lebih kecil

dibandingkan dengan sel yang sudah matang (Canfield 2006). Secara umum,

Page 30: Hbitat n Mrfologi

erirosit merupakan sel yang jumlahnya paling banyak di dalam darah ikan, yaitu

di atas 4 juta/mm3, sedangkan untuk ikan mas (Cyprinus carpio Linn) adalah

1.43x106 sel/mm

3 (Houston & Dewilde 1968 dalam Moyle & Cech 1988).

Canfield (2006) melaporkan bahwa ukuran eritrosit bervariasi pada setiap ordo

ikan yang berbeda. Semakin rendah ordo, maka ukuran eritrosit akan semakin

besar. Menurut Moyle & Cech (1988), terdapat variasi ukuran yang sangat luas di

antara spesies ikan itu sendiri.

Eritrosit memiliki inti yang berfungsi untuk mengikat oksigen (Affandi &

Tang2002). Selain itu eritrosit berisi hemoglobin yang berfungsi mengangkut

oksigen dari insang ke jaringan. Hemoglobin merupakan alat transpor oksigen dan

karbondioksida yang terdapat di dalam eritrosit (Moyle & Cech 1988). Faktor

yang mempengaruhi produksi sel darah merah adalah kebutuhan oksigen yang

bervariasi pada ikan dan kondisi lingkungan. Darah yang memiliki kadar sel darah

merah yang rendah, harus memompakan darah lebih banyak ke seluruh tubuhnya,

dibandingkan dengan darah yang memiliki kadar sel darah merah tinggi. Hal ini

untuk memenuhi kebutuhan tubuh ikan terhadap oksigen dan energi. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Cameron & Davis (1970) dalam Moyle & Cech (1988),

diketahui bahwa kondisi anemia menyebabkan peningkatan secara signifikan pada

volume darah yang dipompa oleh jantung. Perubahan suhu musim yang ekstrim

juga akan mengubah metabolisme respirasi (kebutuhan respiratori meningkat)

yang menyebabkan perubahan jumlah sel darah merah (termasuk konsentrasi

hemoglobin). Namun jika kebutuhan oksigen dalam darah relatif rendah, seperti

perubahan suhu yang tidak signifikan dan aktivitas ikan rendah, maka jumlah sel

darah merah akan turun. Selain itu faktor lingkungan lain seperti polutan juga

mampu mempengaruhi jumlah sel darah merah di dalam darah (Moyle & Cech

1988). Carbalo et al. (1995) melaporkan bahwa polutan (tembaga, ammonia,

sianida dan nitrit) akan meningkatkan jumlah kortisol di dalam plasma. Kortisol

akan menginduksi system saraf dan hormon sehingga terjadi peningkatan jumlah

sel darah merah (Moyle & Cech 1988).

Eritrosit yang belum matang sering (Retikulosit) ditemukan, khususnya

pada ikan trout. Sel-sel darah merah yang belum matang biasanya kurang

elliptikal dan mempunyai sitoplasma berwarna abu-abu kebiru-biruan. Inti sel

Page 31: Hbitat n Mrfologi

darah merah yang belum matang tidak sepadat sel darah merah yang matang

(Affandi & Tang 2002).

Eritrosit mengandung hemoglobin yang ditemukan pada seluruh jenis ikan

kecuali pada ikan Chaenichthydae (ice fish) dan larva ikan sidat (Leptocephalus

larvae), dimana pada ikan-ikan tersebut darah tidak berwarna. Secara umum

eritrosit ikan memiliki ukuran yang berbeda-beda untuk setiap spesies (Affandi &

Tang 2002).

Leukosit

Leukosit memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan sel

darah merah, yaitu berkisar antara 20.000/mm3 hingga 150.000/mm

3 (Moyle &

Cech 1988). Bentuk sel darah putih menurut Lagler et al. (1977) dalam Affandi &

Tang (2002) adalah lonjong hingga bulat. Guyton & Hall (1997) melaporkan

bahwa leukosit terdiri dari agranulosit (monosit dan limfosit) dan granulosit

(heterofil, eosinofi dan basofil).

Leukosit memiliki bermacam-macam fungsi, erat kaitannya untuk

menghilangkan benda asing (termasuk mikroorganisme patogen). Faktor-faktor

yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah kondisi dan kesehatan tubuh ikan

(Moyle & Cech 1988). Infiltrasi granulosit muncul 12-24 jam setelah diinjeksi

oleh bakteri pada ikan rainbow trout. Setelah itu persentase granulosit dan

makrofag akan meningkat hingga 2-4 hari (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006).

Limfosit

Limfosit (Gambar 2) muncul dalam jumlah besar dalam pembuluh limfe di

duktus torakokus pada mamalia. Pada ikan juga agak mirip, yaitu terdapat

sejumlah limfosit di pembuluh limfe, sebagian besar di neural duktus limfatikus

(Ardelli & Woo 2006). Ada beberapa macam penampilan dan ukuran limfosit,

yakni kecil, medium, hingga ukuran besar (Canfield 2006). Semakin besar

limfosit, maka semakin banyak jumlah sitoplasma yang dimilikinya (Feldman et

al. 2000).

Page 32: Hbitat n Mrfologi

Gambar 2. Limfosit pada darah ikan

(www.aqualex.org 2008)

Seperti pada mamalia, ikan memiliki sel T dan sel B, dimana secara

morfologi tidak dapat dibedakan jika menggunakan mikroskop cahaya. Kedua

bentuk sel ini sama-sama memiliki ukuran inti besar, yang mengisi hampir seluruh

sel. Jumlah limfosit yang bersirkulasi pada ikan adalah 12x103 limfosit/mm

3 (Ellis

1986 dalam Affandi & Tang 2002).

Kelenjar timus dimiliki oleh semua kelas ikan kecuali Agnatha (ikan yang

tidak memiliki rahang), misalnya Hagfish dan lamprey. Berbeda dengan mamalia,

ikan memiliki sangat sedikit bahkan tidak ada sumsum tulang dan limfonodus.

Bagian depan ginjal berfungsi sebagai organ limfoid utama, dengan timus dan

limpa berfungsi sebagai organ limfoid sekunder. Limfosit di dalam timus pada

ikan, setelah dewasa bermigrasi menuju limpa (Ardelli & Woo 2006).

Limfosit B dibentuk di dalam organ ginjal pada ikan, sedangkan pada

mamalia berasal dari sumsum tulang dan pada bangsa burung berasal dari Bursa

Fabrisius. Seperti pada vertebrata yang tingkatannya lebih tinggi, limfosit B dapat

dibedakan berdasarkan tampilan immunoglobulinnya, serta dari sekresi antibodi

sebagai respon dari adanya rangsangan antigen (Ardelli & Woo 2006).

Persentase limfosit ikan berkisar antara 71,12–82,88% dari total leukosit

yang bersirkulasi (Affandi dan Tang 2002). Menurut Svobodová & Vykusová

(1991), persentase limfosit pada ikan mas berkisar antara 76-97,5%.

Limfosit

Page 33: Hbitat n Mrfologi

Monosit

Monosit merupakan sel besar yang terdiri dari sitoplasma berwarna biru

keabu-abuan hingga biru yang menempati sedikitnya sebagian isi sel. Bentuk

intinya bervariasi, mulai dari bulat hingga oval dan bahkan kadang bertakuk atau

berlekuk (Feldman et al. 2000).

Monosit (Gambar 3) pada umumnya ditemukan di dalam sirkulasi darah,

dan dalam jumlah sedikit di dalam limfonodus, limpa, sumsum tulang dan

jaringan penunjang pada vertebrata yang lebih tinggi tingkatannya. Monosit

bermigrasi dari sirkulasi darah menuju ke jaringan ketika menerima rangsangan

yang sesuai dengan reseptornya. Monosit yang belum matang dapat meninggalkan

sirkulasi darah, menuju dan menetap di jaringan, lalu berkembang menjadi

matang, yang dikenal sebagai sel fagositik makrofag (Ardelli & Woo 2006).

Gambar 3. Monosit pada darah ikan

(www.aqualex.org 2008)

Monosit pada umumnya memiliki bentuk outline (tepi luar) sel yang

irregular hingga bentuk seperti pseudopoda (Moyle & Cech 1988). Lebih jauh

Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa monosit memiliki sifat fagositik,

dipengaruhi oleh sitokin, serta berpartisipasi pada banyak respon imun. Bentuk

mononuklear fagosit adalah bentuk umum monosit pada inflamasi kronis.

Monosit pada ikan mas (Cyprinus carpio) berisikan banyak organel, dengan

berbagai variasi ukuran granul (Bielek 1988 dalam Ardelli & Woo 2006).

Monosit

Page 34: Hbitat n Mrfologi

Jumlah monosit di dalam populasi sel darah putih sedikit, namun jumlah

akan meningkat jika ada substansi asing pada jaringan atau sirkulasi (Moyle &

Cech 1988). Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa persentase monosit lebih

sedikit dibandingkan dengan limfosit dan granulosit, yaitu sekitar 0,1 % dari total

leukosit yang bersirkulasi (Affandi & Tang 2002). Menurut Svobodová &

Vykusová (1991), persentase monosit pada ikan mas berkisar antara 3-5%.

Heterofil

Heterofil pada nonmamalia berwarna merah hingga coklat, bervariasi baik

ukuran maupun jumlah lobus, dan memiliki granula kasar. Unggas dan beberapa

kadal memiliki granula bilobus, sedangkan pada kebanyakan reptil dan amphibi

memiliki granula unilobus (Canfield 2006). Ada atau tidak adanya lobus pada inti

heterofil (Gambar 4) tergantung pada spesies ikan. Heterofil pada ikan dibentuk di

bagian depan organ ginjal sebagian besarnya, sedangkan pada manusia dibentuk

dari pluripoten stem sel. Neutrofil pada mamalia umumnya memiliki granula

halus dengan warna dan lobus yang berbeda-beda. Pengecualian pada kelinci yang

memiliki neutrofil dengan granula besar dan berwarna kemerahan, yang sering

disebut heterofil atau pseudo-eosinofil ( Ardelli & Woo 2006).

Gambar 4. Heterofil pada darah ikan zebrafish (Lieschke 2007)

Persentase heterofil yang bersirkulasi pada ikan umumnya lebih sedikit

dibandingkan dengan pada mamalia (Ardelli & Woo 2006). Menurut Robert

(1989) dalam Affandi & Tang (2002), persentase heterofil di dalam darah ikan

Page 35: Hbitat n Mrfologi

berkisar antara 6-8% dari total leukosit. Menurut Svobodová & Vykusová (1991),

persentase heterofil pada ikan mas berkisar antara 2-10%.

Eosinofil

Eosinofil (Gambar 5a dan 5b) atau sering disebut juga sebagai sel granular

eosinofilik, secara normal berada pada berbagai macam jaringan pada ikan. Sel ini

berakumulasi ketika terjadi proses inflamasi, khususnya sebagai akibat infeksi

parasit (Feldman et al. 2000).

(a) (b)

Gambar 5a. Eosinofil pada darah ikan zebrafish (Lieschke 2007), 5b. Eosinofil pada darah ikan Salminus maxillosus (Ranzani-Paiva 2003).

Eosinofil mengandung sejumlah besar protein dasar dalam granulanya,

sehingga memberikan afinitas pada pencelupan asam (Gleich & Loengering 1984

dalam Ardelli & Woo 2006). Eosinofil memiliki fungsi utama dalam

mensekresikan isi granularnya sebagai respon terhadap infeksi parasit (McEwen

1992 dalam Ardelli & Woo 2006). Persentase eosinofil di dalam sirkulasi darah

ikan menurut Affandi dan Tang (2002) berkisar antara 0,78-2,00%, menurut

Svobodová & Vykusová (1991), persentase limfosit pada ikan mas adalah 0-1%.

Pada mamalia, sel ini dikarakterisasikan dengan inti yang berlobus-lobus,

sejumlah besar ribosom dan mitokondria, dengan persentase 3-5 % dari

keseluruhan populasi leukosit. Sel ini memiliki kemampuan fagositik, menelan,

dan melepaskan imun kompleks (Boddamer 1986 dalam Ardelli & Woo 2006).

Page 36: Hbitat n Mrfologi

Basofil

Persentase Basofil di dalam darah ikan berkisar antara 0,17-0,194 % dan

berukuran 8-12µ (Affandi & Tang 2002). Menurut Svobodová & Vykusová

(1991), persentase basofil pada ikan mas berkisar antara 0-0,5%. Granula basofil

bersifat basofilik. Granula berisi faktor kemotaksis eosinofil dan mediator

hipersensitivitas tipe I. Ketika ada rangsangan dari alergen yang menyebabkan

terjadinya penempelan alergen pada basofil, terjadi pelepasan isi kandungan

basofil (Ardelli & Woo 2006).

Basofil memiliki morfologi yang sama pada kebanyakan ordo, kecuali

pada nonmamalia, yaitu tidak berlobus. Basofil berbentuk bulat dengan granula

basofilik yang mengisi sitoplasma, dan kadang menutupi bagian inti (Canfield

2006).

Keberadaan basofil di dalam sirkulasi darah telah diamati hanya pada

sejumlah kecil spesies ikan. Basofil bahkan lebih jarang ditemukan pada

pemeriksaan darah dibandingkan dengan eosinofil (Feldman et al. 2000). Pada

Oreochromis niloticus, basofil berbentuk seperti bola, sitoplasma mengandung

granula basofilik dengan variasi ukuran. Inti berbentuk seperti bola dengan bercak

ungu. Kadang-kadang garis tepi inti tidak dapat dikenali karena keberadaan granul

(Ueda et al. 2001).

Page 37: Hbitat n Mrfologi

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) dan Laboratorium

Patologi Klinik, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan

Juli 2007 sampai dengan Maret 2008.

Bahan dan Alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain

Sinyonya sebanyak 6 ekor dengan berat badan sekitar 200 gram per ekor. Ikan

mas yang digunakan berasal dari daerah Ciampea, Bogor. Ikan ini disimpan

selama satu hari di dalam akuarium sebelum diambil darahnya.

Bahan yang digunakan adalah heparin, alkohol 70%, metanol, Giemsa

10%, HCl 0.1 N, aquades. Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas

syringe 1 ml, tabung reaksi dan rak, refrigerator, kaca preparat, kapas, penghitung

waktu, sentrifuge, alat penghitung hematokrit, label kertas, pipet tetes dan

hemometer set.

Metode Penelitian

Koleksi sampel darah ikan

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui pembuluh darah di bagian

caudal (Intra vena). Adapun langkah-langkah pengambilan darah dengan teknik

ini, antara lain: (1) Ikan dipegang dengan kedua tangan, (2) Syringe dibasahi

dengan antikoagulan heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan darah, (3)

Jarum ditusukkan pada garis mid-ventral, di bagian belakang sirip anal. Setelah itu

jarum didorong ke dalam otot daging hingga menyentuh columna spinalis

(Backbone). Secara perlahan, syringe ditarik hingga darah masuk dan diupayakan

agar tidak ada gelembung air yang ikut masuk. Sampel darah yang diambil

sebanyak 0,5 ml, (4) Secara perlahan dan hati-hati, darah dalam syringe

Page 38: Hbitat n Mrfologi

dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah dibasahi dengan

antikoagulan heparin (Anonim 2008a).

Pembuatan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa.

Sampel darah diteteskan sebanyak satu tetes pada salah satu sudut gelas

obyek. Kemudian diambil gelas obyek kedua (tepi gelas harus rata) untuk

ditempatkan pada salah satu sisi ujung kaca preparat tersebut pada permukaan

kaca preparat pertama dengan membentuk sudut kira-kira 30-450.

Gelas obyek kedua ditarik hingga menyentuh tetes darah dan darah

menyebar sepanjang tepi kaca preparat pertama. Kaca preparat kedua didorong

sepanjang permukaan kaca preparat pertama dengan kecepatan yang cukup

sehingga terbentuk lapisan darah yang tipis dan merata. Arah dorongan

berlawanan arah dengan posisi darah menyebar. Preparat dikeringkan dengan

mengayun-ayunkannya beberapa kali di udara. Setelah kering, lalu dimasukkan ke

dalam larutan methanol selama 5 menit untuk difiksasi. Setelah itu preparat

diangkat dan dikeringkan di udara.

Preparat kemudian diwarnai dengan cara dimasukkan ke dalam larutan

pewarnaan Giemsa 10% selama 30 menit, kemudian dicuci dengan air dan

dikeringkan di udara. Terakhir, preparat diperiksa di bawah mikroskop dimulai

dengan pembesaran rendah untuk orientasi dan memilih daerah ulasan yang baik

untuk pengamatan. Pengamatan dan identifikasi sel-sel leukosit menggunakan

pembesaran 1000x dengan menggunakan minyak emersi. Penghitungan dilakukan

hingga mencapai jumlah 100 buah sel leukosit, dan hasilnya dinyatakan dalam %.

Penghitungan Jumlah eritrosit

Jumlah eritrosit dihitung menggunakan hemositometer. Penghitungan

jumlah eritrosit dilakukan dengan cara mengencerkan dahulu darah dengan larutan

Rees dan Ecker (perbandingan 1:200). Darah dihisap hingga batas 0,5 pada pipet

eritrosit, setelah itu larutan Ress dan Ecker dihisap menggunakan pipet eritrosit

hingga tanda tera 101. Setelah itu pipet diputar perlahan membentuk angka 8

hingga isinya homogen. Cairan di ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang.

Penghitungan sel dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan ruang

Page 39: Hbitat n Mrfologi

hitung untuk eritrosit dan hasilnya dinyatakan dalam “n x 106 per mm

3” (Anonim

2008a).

Pemeriksaan nilai hematokrit

Pemeriksaan nilai hematokrit dilakukan menggunakan metode

mikrohematokrit. Mikrohematokrit berheparin dimasukkan ke dalam sampel

darah yang telah dikoleksi, hingga darah mengisi kurang lebih tiga per empat (3/4)

bagian pipa kapiler tersebut. Setelah itu salah satu ujung pipa kapiler disumbat

dengan cara ditusukkan pada lilin penyumbat. Kemudian disentrifugasi selama 5

menit menggunakan micro haematocrit centrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm.

Setelah itu dibaca dengan menggunakan hematocrite reader dan hasilnya

dinyatakan dalam % (Anonim 2008a).

Pemeriksaan konsentrasi hemoglobin

Pengukuran konsentrasi hemoglobin darah dilakukan dengan

menggunakan metode Sahli (Wedemeyer & Yasutake 1977 dalam Affandi &

Tang 2002). Metode ini mengkonversikan hemoglobin darah dalam bentuk asam

hematin. Tabung Sahli diisi dengan HCl 0,1 N sampai batas tera terbawah.

Sampel darah dihisap menggunakan pipet hemoglobin sampai tanda 20 mm3.

Darah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Sahli. Perubahan yang

muncul adalah terbentuknya asam hematin yang berwarna coklat atau coklat

hitam. Dengan menggunakan pipet penetes, diteteskan aquades sambil dikocok

hati-hati. Penambahan aquades ini dilakukan sedikit demi sedikit hingga

warnanya sama dengan warna standar. Pembacaan kadar hemoglobin dilakukan

dengan melihat meniskus bawah cairan pada tabung Sahli. Satuan hemoglobin

dinyatakan dalam gram%.

Page 40: Hbitat n Mrfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi sel darah pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya

Gambaran darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya dapat

dilihat pada Gambar 7 di bawah.

H

Er

L

7a 7b 7c

M Eo

7d 7e

Gambar 7. Sel darah ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya: 7a. limfosit (L),

7b. eritrosit (Er), 7c. heterofil (H), 7d. monosit (M), 7e. eosinofil (Eo)

Eritrosit

Seperti pada reptil, amphibi dan unggas, salah satu ciri pembeda darah

ikan adalah adanya inti pada eritrosit yang matang. Ulasan darah dari ikan yang

sehat menunjukkan jumlah eritrosit yang lebih besar dibandingkan sel-sel darah

lainnya (Yasutake & Wales 1983 dalam Affandi & Tang 2002).

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati juga

memiliki eritrosit (Gambar 7b) yang berinti, sama seperti ikan dari spesies lain.

Tepi ujung eritrosit membulat sehingga bentuk sel tampak ovoid (bulat oval)

seperti telur, lebih bulat dari eritrosit unggas yang cenderung agak elips. Dengan

pewarnaan Giemsa, sitoplasma terlihat berwarna asidofilik dengan inti berwarna

biru keunguan. Inti terletak di tengah dan memiliki kromatin yang kompak

(Ranzani-Paiva et al. 2003).

Page 41: Hbitat n Mrfologi

Limfosit

Limfosit memiliki diameter berkisar antara 8-12µm (Ardelli & Woo

2006). Sitoplasma berwarna biru pucat, inti berbentuk bulat hingga oval bertakuk,

lebih sering berbentuk tidak beraturan. Sitoplasma berisi vakuola kecil dan

granula azurofilik. Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat basofilik, namun

demikian, kadang-kadang terlihat adanya granul merah pada sitoplasma limfosit

(Canfield 2006).

Limfosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya (Gambar

7a) memiliki ukuran yang kecil, kira-kira sepertiga hingga dua pertiga bagian dari

eritrosit dan bentuk tepi luar yang irregular atau tidak rata. Memiliki inti yang

mengisi sebagian besar volume sel dan berisi kromatin yang kompak. Sitoplasma

tidak terlihat dengan jelas, terutama jika inti menutupi hampir seluruh isi sel.

Umumnya sitoplasma bersifat sangat basofilik sehingga berwarna biru. Limfosit

sering kali dikelirukan dengan trombosit atau sebaliknya, karena memiliki

kemiripan morfologi. Perbedaan mendasar adalah sifat trombosit yang sering

ditemukan bergerombol pada preparat ulas darah.

Monosit

Bentuk monosit mirip dengan limfosit, dimana monosit memiliki ukuran

sel yang besar dengan inti tidak berlobus (namun kadang-kadang berlobus)

dengan sejumlah besar sitoplasma yang tidak terlalu basofilik. Sitoplasma berisi

vakuola dan granula azurofilik yang halus. Istilah azurofilik mengacu pada bentuk

monosit yang berisi sejumlah granula sitoplasmik halus berwarna merah keunguan

(Canfield 2006).

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya memiliki ukuran sel

monosit (Gambar 7d) yang besar, dengan inti yang bertakuk dan sejumlah besar

sitoplasma yang tidak terlalu basofilik. Pada umumnya berbentuk pseudopodia

pada tepi membran luarnya. Ranzani-Paiva et al. (2003) melaporkan bahwa

monosit memiliki inti yang besar dan menutupi hampir dua pertiga volume sel.

Infeksi oleh Mycobacterium dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi pada

sitoplasma monosit (Ranzani-Paiva et al. 2004).

Page 42: Hbitat n Mrfologi

Heterofil

Ukuran heterofil pada ikan bervariasi (berdiameter 8-15 µm), dengan sel

berbentuk oval dan bentuk inti tidak tetap (mulai dari bulat hingga berlobus).

Ukuran, bentuk, warna dan komposisi kimia pada granula heterofil bervariasi

(Ardelli & Woo 2006). Hal senada dijelaskan oleh Ueda et al. (2001) bahwa

bentuk sel heterofil seperti bola dengan sitoplasma basofilik yang melimpah

dengan beberapa granula azurofilik, serta inti berukuran kecil dan berbentuk

seperti bola, berwarna ungu, dan umumnya inti terletak eksentris (pada ikan

Oreochromis niloticus).

Sitoplasma berwarna pucat dan berisi sejumlah granul merah muda halus

atau pucat, tergantung pada spesies ikan. Feldman et al. (2000) melaporkan bahwa

ciri heterofil pada ikan adalah inti yang eksentrik dengan bentuk bulat hingga

oval. Pada beberapa spesies, inti berlobus. Pada umumnya sel heterofil memiliki

inti berbentuk bulat hingga oval bertakuk atau berlekuk. Inti berwarna ungu gelap

dengan gumpalan kromatin yang kasar. Sitoplasma biasanya berwarna biru pucat

dengan warna granul yang bervariasi (abu-abu, biru dan merah).

Heterofil pada ikan mas yang diamati (Gambar 7c) memiliki inti eksentrik

yang tidak tetap, mulai dari oval hingga berlobus, serta berisi kromatin yang

ramping. Ukuran sel sangat besar dengan sitoplasma basofilik dengan beberapa

granula azurofilik (granula berwarna merah keunguan) di dalamnya. Infeksi oleh

mycobacterium dapat menyebabkan terjadinya vakuolisasi pada sitoplasma

heterofil (Ranzani-Paiva et al. 2004).

Eosinofil

Eosinofil ikan memiliki diameter yang berkisar antara 9-15 µm, dengan

inti bulat eksentrik, tidak berlobus dan sitoplasma yang memiliki granula

eosinofilik besar (Ranzani-Paiva et al. 2003). Eosinofil memiliki granula yang

berbeda-beda diantara spesies. Eosinofil pada Ikan pada umumnya berwarna

pucat, dengan granula berbentuk bola hingga balok. Inti tidak berlobus dengan

sitoplasma berwarna biru (Canfield 2006).

Ueda et al. (2001) melaporkan bahwa eosinofil pada Oreochromis

niloticus berbentuk bola dengan ukuran bervariasi. Sitoplasma melimpah dengan

Page 43: Hbitat n Mrfologi

granula asidofilik besar dengan ukuran yang berbeda-beda. Inti pada umumnya

terletak di tengah, namun kadang-kadang terletak eksentrik.

Nilai hematokrit

Hematokrit merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk menghitung

konsentrasi sel darah merah (perbandingan antara sel darah merah dengan volume

darah). Penghitungan nilai hematokrit di dalam darah merupakan metode cepat

(rapid test) untuk mendeteksi adanya penyakit pada ikan. Hasil pengamatan

terhadap nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan jumlah sel darah merah

pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya disajikan pada Tabel 1 dan

Gambar 8.

Tabel 1. Nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin dan jumlah eritrosit ikan mas

(Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya

Tabel 1 dan Gambar 8 memperlihatkan rata-rata nilai hematokrit pada ikan

mas strain Sinyonya sebesar 29,30 + 4,68% atau berkisar antara 21-34%. Nilai

hematokrit tertinggi, yaitu 34% dan nilai hematokrit terendah, yaitu 21%, masing-

masing dimiliki IM 4 dan IM 3.

Sampel Hematokrit (%) Hb (g %) Eritrosit (x106sel/mm

3)

IM 1 29 10,8 1,67

IM 2 28 10 2,99

IM 3 21 6,4 2,10

IM 4 34 8 4,24

IM 5 31 6,6 4,47

IM 6 33 8 2,00

Rata-rata 29,30 + 4,68 8,30 + 1,78 2,50+1,20

Page 44: Hbitat n Mrfologi

Houston dan Dewilde (1968) dalam Moyle dan Cech (1988) melaporkan

bahwa nilai hematokrit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) adalah 27,1%. Van

vuren dan Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan pula

bahwa nilai hematokrit normal Cyprinus carpio Linn adalah 29,62% atau berkisar

antara 21,42-43,29. Menurut Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan

(2004), nilai hematokrit normal Cyprinus carpio Linn adalah 31 + 4 %. Hasil

penelitian Retno (2008) menunjukkan bahwa nilai hematokrit ikan mas Punten

berkisar antara 36,18-40,36%, ikan mas Merah berkisar antara 22,66-28,80% dan

ikan mas Lokal berkisar antara 26,7-32,90%.

Gambar 8. Nilai hematokrit pada ikan mas strain Sinyonya

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki

rata-rata nilai hematokrit yang masih berada dalam kisaran normal berdasarkan

pustaka di atas. Menurut Anonim (2008a), nilai hematokrit yang lebih rendah dari

normal dapat mengindikasikan adanya anemia.

Konsentrasi hemoglobin

Konsentrasi hemoglobin pada masing-masing ikan mas yang diamati dapat

dilihat pada Gambar 9.

Page 45: Hbitat n Mrfologi

Gambar 9. Perbandingan konsentrasi hemoglobin pada masing-masing

ikan mas strain Sinyonya

Tabel 1 dan Gambar 9 memperlihatkan konsentrasi hemoglobin pada ikan

mas strain Sinyonya. Dari hasil pengamatan diperoleh rata-rata konsentrasi

hemoglobin sebesar 8,3 + 1,78 atau berkisar antara 6,4-10,8 g%. Konsentrasi

hemoglobin tertinggi, yaitu 10,8 g% dan nilai hemoglobin terendah, yaitu 6,4 g%,

masing-masing dimiliki IM 1 dan IM 3.

Nilai tersebut masih berada dalam kisaran nilai normal. Van vuren dan

Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan bahwa konsentrasi

hemoglobin normal pada Cyprinus carpio Linn berkisar antara 5,50-8,59 g%.

Menurut Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan (2004), konsentrasi

hemoglobin normal Cyprinus carpio Linn sebesar 8,1 + 1,0 g%. Hasil dari

penelitian Retno (2008) menunjukkan pula bahwa konsentrasi hemoglobin pada

ikan mas Punten, ikan mas Merah dan ikan mas Lokal berturut-turut berkisar

antara 8,28-11,16 g/%; 9,22-11,33 g%; dan 9,47-12,75 g%.

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki

rata-rata konsentrasi hemoglobin yang masih berada dalam kisaran nilai normal

berdasarkan pustaka di atas. Konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dari

normal dapat mengindikasikan adanya anemia (Anonim 2008a).

Page 46: Hbitat n Mrfologi

Jumlah eritrosit

Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas yang diamati dapat dilihat

pada Gambar 10.

Gambar 10. Jumlah eritrosit pada masing-masing ikan mas strain Sinyonya

Jumlah eritrosit berdasarkan Tabel 1 adalah 2,50 + 1,20 atau berkisar

antara (1,67-4,47)x106 sel/mm

3. Jumlah eritrosit tertinggi, yaitu 4,47x10

6 dimiliki

IM 5 dan jumlah eritrosit terendah, yaitu 1,67x106 dimiliki oleh IM 1.

Jumlah eritrosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn), yaitu 1,43x106

sel/mm3 (Houston & Dewilde 1968 dalam Moyle & Cech 1988). Van vuren dan

Hattingh (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan bahwa jumlah

eritrosit normal pada Cyprinus carpio Linn sebesar 1,445 (1,22-1,78)x106

sel/mm3. Yamawaki et al. (1978) dalam Celik dan Bircan (2004) melaporkan

bahwa jumlah eritrosit normal Cyprinus carpio Linn adalah (1,65+19) x106

sel/mm3 . Hasil penelitian Retno (2008) menunjukkan bahwa jumlah eritrosit ikan

mas Punten berkisar antara (1,91-2,24) x106/mm3, ikan mas Merah (1,99-2,06)

x106/mm3, dan ikan mas Lokal (1,77-2,28) x10

6/mm3.

Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya yang diamati memiliki

rata-rata jumlah eritrosit 2,50+1,20 (1,67-4,47)x106 sel/mm

3 (Tabel 1). Jumlah

eritrosit pada ikan mas strain Sinyonya masih berada dalam kisaran normal

berdasarkan pustaka di atas, kecuali pada ikan IM 4 dan IM 5 yang memiliki

jumlah eritrosit lebih tinggi dari kisaran normal.

Page 47: Hbitat n Mrfologi

Rendahnya kadar eritrosit dapat menjadi indikator adanya anemia,

sedangkan tingginya jumlah eritrosit dapat menandakan ikan dalam keadaan stres

(Wedemeyer & Yasutake 1977 dalam Purwanto 2006). Tinggi atau rendahnya

jumlah eritrosit tergantung pada kondisi fisiologis ikan. Anemia adalah kondisi

yang ditandai dengan rendahnya konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit

dan/atau jumlah eritrosit (Anonim 2008a).

Jenis anemia yang penting pada ikan adalah: (1) normositik anemia

(anemia dengan ukuran sel darah merah normal) yang disebabkan oleh

hemorrhagi akut, infeksi bakteri dan virus, dan penyakit metabolit yang

menyebabkan kerusakan sel darah merah; (2) makrositik anemia (anemia dengan

ukuran sel darah merah mengecil); (3) mikrositik anemia (anemia dengan ukuran

sel darah merah membesar) yang disebabkan oleh hemorrhagi kronis, disebabkan

oleh parasit eksternal, kekurangan zat besi dan defisiensi faktor hemopoietik

(Anonim 2008a).

Stres adalah kondisi yang dapat menginduksi peningkatan kadar kortisol di

dalam darah. Stres pada ikan terjadi akibat adanya respon sistem saraf simpatik

dan poros hipotalamus-pituitari-interrenal (HPI). Kandungan jaringan interrenal di

kepala ginjal ikan menyerupai adrenal mamalia (sel yang memproduksi kortisol

dan sel kromafin). Hipotalamus melepaskan CRH (corticotrophin releasing

hormone) dan TRH (thyrotrophin releasing hormone). ACTH

(adrenocorticotrophic) adalah stimulator potensial kortisol yang diproduksi oleh

sel steroid di interrenal ginjal (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006).

Stres adalah keadaan dimana homeostasis pada ikan terganggu. Kondisi

stres akan menginduksi mobilisasi dan realokasi energi (Barton et al. 1988 dalam

Bartelme 2008), meningkatkan kebutuhan dan transfer oksigen (Maule et al.,

1989; Mock & Peters 1990; Pickering & Pottinger 1987b dalam Bartelme 2008).

Reid dan Perry (1991) dalam Koldkjær et al. (2004) melaporkan bahwa

pengaturan jumlah ß adrenergik reseptor sel darah merah meningkat ketika

konsentrasi kortisol meningkat akibat stres. Peningkatan respon ß adrenergik

reseptor tersebut berkolerasi dengan adanya peningkatan sel darah merah yang

belum matang (mengindikasikan terjadinya proses eritropoiesis) seperti yang

dilaporkan oleh Koldkjær et al. (2004). Kortisol dikerahkan melalui pompa

Page 48: Hbitat n Mrfologi

osmotik sebagai pre-adaptasi sel darah merah untuk mengatasi penyebab stres

dengan meningkatkan ikatan membran dengan ß adrenergik reseptor. Koldkjær et

al. (2004) melaporkan bahwa kortisol menginduksi berbagai efek metabolisme,

energi dan osmoregulasi pada ikan. ß adrenergik reseptor sel darah merah adalah

substansi yang sangat krusial untuk pengantaran oksigen menuju jaringan pada

sejumlah spesies ikan pada saat mengalami stress (Primmett et al. 1986; Nikinmaa

1992 dalam Koldkjær et al. 2004). Adrenergik seperti adrenalin meningkatkan

aliran darah ke insang yang membantu ikan untuk mengabsorpsi lebih banyak

oksigen dari dalam air (Folmar & Dickhoff 1980. Mazeaud et al. 1977 dalam

Bartelme 2008). Kortisol pada ikan memiliki fungsi kerja seperti glukokortikoid

maupun mineralokortikoid pada mamalia. Jenis respon kortisol tergantung dari

reseptor (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006).

Pada saat kebutuhan oksigen dan energi meningkat, maka adrenalin

dilepaskan sebagai respon stres. Oleh karena kebutuhan oksigen pada ikan

bervariasi tergantung dari kondisi lingkungan, maka jumlah sel darah merah per

milliliter bervariasi untuk menyeimbangkan penggunaan energi dalam

memproduksi sel darah merah yang dipompakan ke jaringan. Peningkatan jumlah

eritrosit berkorelasi dengan konsentrasi hemoglobin (Moyle & Cech 1988).

Van Muiswinkel dan Vervoorn (2006) melaporkan bahwa kerusakan

jaringan, kelelahan fisik dan kekurangan oksigen dapat terjadi sepanjang

perlakuan dan penangkapan ikan. Kondisi lingkungan habitat ikan juga dapat

menyebabkan stres, yaitu karena kepadatan populasi, kapal pengangkut, perlakuan

dan kualitas air yang buruk.

Diferensiasi leukosit

Diferensiasi leukosit meliputi hitung jenis sel limfosit, monosit, heterofil,

eosinofil dan basofil dalam 100 buah sel darah putih yang dilihat di bawah

mikroskop dengan pembesaran 1000x (100x10). Diferensiasi leukosit pada ikan

mas strain Sinyonya yang diamati dapat dilihat pada Tabel 2

Page 49: Hbitat n Mrfologi

Tabel 2. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit pada ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya

Ikan memiliki sistem pertahanan tubuh untuk melawan berbagai macam

penyakit. Pertahanan tubuh ikan, khususnya terhadap bakteri, virus dan protozoa

terbagi 2 sistem yaitu pertahanan non-spesifik dan pertahanan spesifik (Kamiso

2001 dalam Purwanto 2006). Pertahanan non-spesifik terdiri dari kulit, sisik dan

lender, dan merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan

berbagai mikroorganisme yang masuk, karena dapat memberikan respon secara

langsung terhadap antigen. Sistem pertahanan ini tidak ditujukan terhadap

mikroorganisme tertentu dan telah ada sejak lahir, sehingga disebut pertahanan

non spesifik (Purwanto 2006).

Pertahanan spesifik pada ikan yang terdiri dari sel-sel makrofag, leukosit

dan sel Natural Killer, baru berkembang dan berfungsi dengan baik pada umur

beberapa minggu setelah telur menetas (Ellis 1988 dalam Purwanto 2006). Sistem

pertahanan spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu

sebelum dapat memberikan respon (Purwanto 2006).

Sampel Diferensiasi leukosit

Limfosit Monosit Heterofil Esoinofil Basofil

IM 1 72 10 18 0 0

IM 2 56 17 27 0 0

IM 3 64 6 23 2 0

IM 4 63 11 25 1 0

IM 5 80 10 10 0 0

IM 6 52 12 35 1 0

Rata-rata 55,29+10,27 9,43+3,58 19,71+8,46 0,57+0,82 0

Page 50: Hbitat n Mrfologi

Gambar 11. Persentase (%) masing-masing jenis sel leukosit ikan mas (Cyprinus carpio Linn) strain Sinyonya

Respon pertahanan tubuh ikan terdiri dari respon humoral dan respon

selular (Anderson 1974 dalam Purwanto 2006). Sistem pertahanan spesifik

disebut juga sebagai respon humoral, dimana pada pertahanan ini yang berperan

adalah antibodi (Kamiso 2001 dalam Purwanto 2006). Sel yang bertanggung

jawab pada pertahanan kekebalan spesifik dan non-spesifik adalah limfosit,

monosit/makrofag, dan granulosit (Miller et al. 1998 dalam Ardelli & Woo 2006).

Mekanisme kerja respon imun spesifik dan non-spesifik saling menunjang

melalui mediator, seperti limfokin dan sitokin. Sistem pertahanan tubuh ini

diperlukan untuk proteksi tubuh terhadap serangan patogen seperti virus, bakteri,

cendawan dan parasit. Dengan demikian homeostasis tubuh tetap terkendali dan

kondisi patofisiologinya seimbang. Proses pembentukan respon imun dimulai oleh

stimulasi patogen yang merupakan protein asing dan dikenal sebagai antigen

(Purwanto 2006).

Perubahan jumlah total dan jenis leukosit dapat dijadikan indikator adanya

penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Blaxhall 1972 dalam Purwanto

2006). Anderson dan Siwicki (1993) dalam Purwanto (2006) melaporkan bahwa

aktivitas fagositik yang dilakukan oleh sel-sel leukosit akan meningkat pada awal

infeksi dan mengalami penurunan pada infeksi kronis.

Page 51: Hbitat n Mrfologi

Persentase monosit

Hasil pengamatan rata-rata monosit pada ikan mas adalah 9,43 + 3,58 atau

berkisar antara 6-17% (Tabel 2 dan Gambar 11). Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa persentase monosit pada ikan mas strain Sinyonya lebih

tinggi dari kisaran normal. Persentase monosit normal yang beredar dalam darah

ikan adalah 0,1% menurut Affandi & Tang (2002). Sedangkan menurut

Svobodová & Vykusová (1991), persentase monosit pada ikan mas berkisar antara

3-5%. Persentase monosit pada ikan mas yang diamati lebih tinggi dari kisaran

nilai normal menurut pustaka di atas. Hal ini diduga karena adanya kondisi stres

yang mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap serangan penyakit infeksius.

Menurut Reddy & Leatherland (1998), stres akan meningkatkan peluang

terjadinya penyakit infeksius.

Monosit mengalami peningkatan di dalam sirkulasi darah pada kondisi

infeksi subakut dan peradangan kronis. Monosit dapat berespon terhadap

peningkatan kadar kortisol di dalam darah. Respon yang muncul berbeda-beda

untuk masing-masing spesies. Kondisi monositopenia dapat terjadi sebagai

respon awal stres, namun setelah fase akut penyakit dilewati, akan terjadi

monositosis (Jain 1993).

Ketika mendapatkan stimuli yang tepat maka monosit bermigrasi dari

darah menuju jaringan, dan berubah menjadi makrofag. Makrofag merupakan

sistem pertahanan pertama yang akan menghancurkan antigen melalui proses

fagositosis. Antigen dapat berupa cacing, virus, bakteri, fungi dan protozoa

(Affandi & Tang 2002).

Makrofag pada ikan dapat melakukan proses fagositosis. Pada ikan mas,

makrofag dan heterofil memproduksi molekul yang memiliki struktur mirip

dengan IL-1 pada mamalia, dengan sel T yang memiliki potensi untuk

berproliferasi (Ardelli & Woo 2006). IL-1 akan manarik leukosit lain, termasuk

limfosit (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Selain itu makrofag mengolah

bahan asing sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan tanggap kebal,

mengatur reaksi kebal, membuat protein dari sistem komplemen dan

mengeluarkan bahan yang mempengaruhi proses perbarahan. Kemotaksis

makrofag tidak hanya oleh produk mikroorganisme dan produk reaksi kebal,

Page 52: Hbitat n Mrfologi

tetapi juga pada faktor yang dikeluarkan oleh sel yang rusak, terutama neutrofil

yang rusak. Jadi neutrofil yang rusak juga membantu meningkatkan pengumpulan

makrofag pada tempat invasi (Tizard 1988)

Munculnya alergen dalam tubuh ikan, akan direspon oleh makrofag yang

bekerja sebagai Antigen presenting cell (APC). Makrofag memfagositosis benda

asing, memproses dan menampilkan komponen antigen di permukaan sel dengan

bantuan molekul-molekul major histocompatibility complex (MHC class II). Hal

ini bertujuan agar antigen dipresentasikan pada sel limfosit T. Subset limfosit T

spesifik (Th) akan teraktivasi oleh interaksi antara antigen yang telah dikenali dan

limfokin (interleukin-1) yang disekresikan oleh makrofag. Sel Th yang teraktivasi

akan menstimulasi diferensiasi dan ploriferasi dari sel limfosit B dan sel T

Sitotoksik melalui sekresi interleukin-2, serta interleukin-interleukin lainnya. Sel

limfosit B kemudian akan berkembang menjadi sel memori dan sel plasma. Sel

plasma ini yang kemudian akan mensekresikan sejumlah besar antibodi

spesifik/immunoglobulin (Van Muiswinkel dan Vervoorn 2006). Antibodi

menempel pada antigen menjadi komplek antibodi-antigen. Kompleks antibodi-

antigen ini akan dihancurkan oleh makrofag (Anonim 2008a).

Persentase limfosit

Hasil pengamatan rata-rata persentase limfosit pada ikan mas yaitu 55,29 +

10,27 atau berkisar antara 52-80% (Tabel 2 dan Gambar 11). Hasil ini lebih

rendah dari kisaran nilai normal, dimana persentase normal limfosit pada ikan

berkisar antara 71,12-82,88% menurut Affandi & Tang (2002) dan pada ikan mas

berkisar antara 76-97,5% (Svobodová & Vykusová 1991). Van Muiswinkel dan

Vervoorn (2006) melaporkan bahwa jumlah limfosit yang bersirkulasi menurun

ketika jumlah neutrofil tetap atau meningkat.

Penurunan jumlah limfosit di dalam darah perifer terjadi karena sebagian

besar limfosit ditarik dari sirkulasi dan berkonsentrasi ke dalam jaringan dimana

terdapat peradangan (Jain 1993). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa stres

yang berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya limfosit di dalam sirkulasi

darah dan organ limfoid (Van Muiswinkel & Vervoorn 2006). Kondisi stres akan

meningkatkan kadar kortisol di dalam sirkulasi darah. Peningkatan kortisol ini

Page 53: Hbitat n Mrfologi

akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah limfosit yang bersirkulasi di

dalam darah (Reddy & Leatherland 1998).

Persentase heterofil

Hasil pengamatan terhadap persentase heterofil disajikan pada Tabel 2 dan

Gambar 11). Rataan persentase heterofil pada ikan mas yang diamati adalah

19,71 + 8,46 atau berkisar antara 10-35%. Persentase ini lebih tinggi dari kisaran

nilai normal. Menurut Robert (1989) dalam Affandi & Tang (2002), persentase

heterofil normal pada ikan berkisar antara 6-8. Sedangkan menurut Svobodová &

Vykusová (1991), persentase heterofil normal berkisar antara 2-10%. Tingginya

persentase heterofil pada ikan yang diamati diduga disebabkan karena kondisi

stres. Menurut Van Muiswinkel dan Vervoorn (2006), heterofil di dalam sirkulasi

darah akan meningkat pada saat stres.

Pada ikan mas, kortisol akan menginduksi apoptosis pada sel limfosit B,

namun sebaliknya mampu menyelamatkan heterofil dari apoptosis (Van

Muiswinkel & Vervoorn 2006). Ketika persentase limfosit pada ikan yang

mengalami stres menurun, konsentrasi heterofil bisa tetap konstan atau meningkat

(Van Muiswinkel dan Vervoorn 2006).

Persentase eosinofil

Hasil pengamatan terhadap persentasi eosinofil dapat dilihat pada Tabel 2

dan Gambar 11. Rataan persentase ikan mas adalah 0,57 + 0,82 atau berkisar

antara 1-2%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase eosinofil pada ikan mas

strain Sinyonya masih berada dalam kisaran nilai normal seperti yang dilaporkan

oleh Affandi & Tang (2002), yaitu berkisar antara 0,78-2,00%. Sedangkan

Svobodová & Vykusová (1991) melaporkan bahwa persentase eosinofil normal

pada ikan mas berkisar antara 0-1%.

Eosinofil jarang ditemukan di dalam sirkulasi darah pada ikan mas, nila

dan lele dumbo (Ariaty 1991). Sel-sel leukosit tersebut jarang terlihat, kecuali bila

ada reaksi dengan perantaraan sel (Nabib & Pasaribu 1989).

Peningkatan jumlah eosinofil yang persisten (eosinofilia) secara umum

merefleksikan adanya kondisi penyakit yang kronis, sedangkan penurunan

Page 54: Hbitat n Mrfologi

eosinofil (eosinopenia) biasanya terjadi pada kondisi penyakit akut. Sehingga

respon eosinofilia yang terjadi bukan merupakan akibat dari kondisi penyakit

tunggal (seperti adanya parasit atau respon alergi), melainkan sebagai akibat

adanya beragam penyakit kronis yang menyebabkan degranulasi sel mast secara

terus menerus (Jain 1993).

Eosinofil pada ikan diperlukan untuk kekebalan dalam melawan infeksi

parasit. Eosinofil melekat pada parasit untuk menetralisasikan hasil produk sekresi

parasit dan membunuhnya. Serta untuk menarik leukosit menuju area yang

terinfeksi parasit tersebut (Ardelli dan Woo 2006). Eosinofil (Gambar 7e) dan

basofil biasanya jarang ditemukan di dalam sirkulasi darah ikan.

Page 55: Hbitat n Mrfologi

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Rata-rata nilai hematokrit, konsentrasi hemoglobin, dan jumlah eritrosit

ikan mas strain Sinyonya masih berada dalam kisaran normal. Rata-rata

nilai hematokrit adalah 29,30 + 4,68 (21-34%), konsentrasi hemoglobin

8,3 + 1,78 (6,4-10,8 g%), dan jumlah eritrosit 2,50 + 1,20 (1,67-4,47)x106

sel/mm3,

2. Rata-rata persentase limfosit pada ikan mas strain Sinyonya yaitu 55,29 +

10,27%, lebih rendah dari kisaran normal, sedangkan jumlah rata-rata

monosit dan heterofil masing-masing adalah 9,43 + 3,58% dan 19,71 +

8,46%, lebih tinggi dari kisaran normal. Jumlah eosinofil rata-rata ikan

mas 0,57 + 0,82%, dan masih berada dalam kisaran normal.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik, misalnya uji serologis

dan fluoresens untuk mengetahui penyakit yang terdapat pada ikan mas,

2. Perlu dilakukan pemeriksaan darah pada strain ikan maupun spesies ikan

lainnya,

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah ikan yang lebih banyak

dan teknik perlakuan yang berbeda.

Page 56: Hbitat n Mrfologi

DAFTAR PUSTAKA

Affandi R, Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau: Uni Press.

Anonim .2008a. Basic Techniques in Fish Haematology http://www.aqualex.org/elearning/fish_haematology/english/index.html.

[31 Januari 2008].

Anonim. 2008b. http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_Mas. [3 Juli 2008].

Ardelli BF, Woo PTK. 2006. Immunocompetent Cells and Their Mediators in Fin

Fish. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 702-724.

Ariaty L. 1991. Morfologi Darah Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Nila Merah (Orechromis sp) dan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dari Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

Bartelme TD. 2008. Advanced Aquarist’s Online Magazine. http://www.

Premiumaquatics.com. [16 Juli 2008].

Brotowidjoyo MD. 1989. Zoologi Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Buchmann K, Bresciani J. 2001. An Introduction to Parasitic Disease of Freshwater Trout. Denmark: DSR Publishers.

Buchmann K, Bresciani J. 2006. Monogenea (Phylum Platyhelminthes). Di

dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 297-344.

Canfield PJ. 2006. Complemarative cell morphology in the peripheral blood film

from exotic and native animals. Aust Vet J 76: 793-800.

Carballo M, Munoz MJ, Cuellar M, Tarazona JV. 1995. Effects of Waterborne

opper, Cyanide, Ammonia, and Nitrite on Stress Parameters and Changes

in Susceptibility to Saprolegniosis in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Applied and Environmental Microbiology. 61: 2108–2112.

Celik ES, Bircan R. 2004. Determination of Haematological Parameters of the

lack Scorpion Fish (Scorpaena porcus Linnaeus, 1758) in Dardanelles. F. Ü. Fen ve Mühendislik Bilimleri Dergisi 16: 735-744.

Dannevig BH, Thorud KE. 1999. Other Viral Disease and Agents of Cold-water

Fish: Infectious Salmon Anaemia, Pancreas Disease and Viral Erythrocytic

Necrosis. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and

Page 57: Hbitat n Mrfologi

Disorders: Viral, Bacterial and Fungal Infections. Vol 3. UK: CABI Publishing. hlm 164-170.

Dick TA. Chambers C. dan Isinguzo I. 2006. Cestoda (Phylum Platyhelminthes).

Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 391-416.

Feldman BF, Zinkl JG, Jain NC, Schalm OW. 2000. Schalm's Veterinary Hematology. Blackwell Publishing.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, Tengadi

KA, Santoso A, penerjamah; Setiawan I, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan

dari: Textbook of Medical Physiology.

Hoole D, Bucke D, Burgess P, Wellby I. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Oxford: Blackwell Science.

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea &

Febiger.

Ko RC. 2006. Fish-borne Parasitic Zoonoses. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW,

editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 592-628.

Koldkjær P, Pottinger TG, Perry

SF, Cossins AR. 2004. Seasonality of the Red

Blood Cell Stress Response in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Journal of Experimental Biology. 207: 357-367.

Kubilay A, Ulukoy G. 2002. The Effects of Acute Stress on Rainbow Trout

(Oncorhynchus mykiss). Turk J Zool. 26: 249-254.

Lieschke G. 2008. Blood Cells in Zebrafish. http://www.wehi.edu.au/facweb/indexresearch.php?id=57. [30 Maret

2008].

Lingga P. 2002. Ikan Mas Kolam Air Deras. Depok: Penebar Swadaya.

Mantau Z, Rawung JBM, Sudarty. 2004. Pembenihan Ikan Mas yang Efektif dan

Efisien. Jurnal Litbang Pertanian 23: 68-73

Molnar K, Buchmann K, Szekely C. 2006. Phylum Nematoda. Di dalam: Woo

PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 417-443.

Molnar K. 2006. Phylum Apicomplexa. Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor.

Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm

101-199.

Page 58: Hbitat n Mrfologi

Moyle PB, Cech JJ. 1988. Fish an Introduction to Ichthyology Second Edition. Prentice Hall: New Jersey.

Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

[OIE]. Organization International des Epizootica. 2006. Diseases Notifiable to the OIE. http://www.oie.int/eng/maladies/en_classification.htm. [12 Juli

2008].

Oswald E, Hulse JH. Fish Quarantine and Fish Disease in Southeast Asia. Report

Of A Workshop Held in Jakarta, Indonesia, 7-10 December 1982.

Cosponsored By The UNDP/FAO South China Sea Fisheries

Development And Coordinating Program (Phillipines) And The

International Development Research Centre (Canada).

Paperna I, Dzikowski R. 2006. Digenea (Phylum Platyhelminthes). Di dalam:

Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 345-390.

Purwanto A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyprinus carpio Linn Yang Terinfeksi Koi Herpes Virus [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ranzani-Paiva MJT, Rodrigues EL, Veiga ML, Eiras AC, Campos BES. 2003.

Differential leucocyte Counts in “Doudaro”, Salminus maxillosus Valenciennes, 1840, from the Mogi-Guacuriver, Pirassununga, SP. Braz. J. Biol. 63: 517-525.

Ranzani-Paiva MJT, Ishikawa CM, Eiras AC, Silveira VR. 2004. Effects of an

experimental challenge with Mycobacterium marinum on the blood

parameters of Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1757). Braz. arch. biol. Technol 47: 945-953.

Reddy PK, Leatherland JF. 1998. Stress Physiology. Di dalam: Leatherland JF,

Woo PTK, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 2. UK: CABI Publishing. Hlm.279-301.

Retno SW. 2008. Penetapan Nilai Hematologi Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) dengan Metode Daisley. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga. [email protected] [14 Juli 2008].

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol. 1 & 2. Bina Cipta:

Jakarta.

Santoso B. 1999. Ikan Mas Mengungkap Teknik Pemeliharaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Page 59: Hbitat n Mrfologi

Suseno D. 1994. Pengelolaan Usaha Pembenihan Ikan Mas. Depok: Penebar Swadaya.

Sutanmuda 2007. http://sutanmuda.wordpress.com/2007/10/22/budidaya-ikan-

mas/. [3 Juli 2008].

Svobodová Z, Vykusová B. 1991. Haematological Examination of Fish. Di dalam:

Svobodová Z, Vykusová B, editor. Manual for International Training Course on Fresh-Water Fish Diseases and Intoxications: Diagnostics, Prophylaxis and Therapy. Czechoslovakia: Research Institute of Fish Culture and Hydrobiology Vodňany.

Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya.

Ueda IK, Egami MI, Sasso WS, Matsushima ER. 2001. Cytochemical aspects of

the peripheral blood cells of Oreochromis (Tilapia) niloticus. (Linnaeus, 1758) (Cichlidae, Teleostei) - Part II. Braz. J. Vet. Res. Anim. Sci. 38: 273-277.

Van Muiswinkel WB, Vervoorn VDWB. 2006. The Immune System of Fish. Di

dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 678-695.

Woo. 2006. Diplomonadida (Phylum Parabasalia) and Kinetoplastea (Phylum

Euglenozoa). Di dalam: Woo PTK, Bruno DW, editor. Fish Disease and Disorders. Vol 3. Ed ke-2. UK: CABI Publishing. hlm 46-204.

Woo PTK, Bruno DW. 1999. Fish Disease and Disorders: Viral, Bacterial and Fungal Infections. Vol 3. UK: CABI Publishing.

Page 60: Hbitat n Mrfologi

LAMPIRAN

Lampiran 1. Metode penghitungan jumlah eritrosit per mm

3

a. Panjang seluruh kamar hitung: 3 mm

b. Lebar seluruh kamar hitung: 3 mm

c. Kamar hitung dibagi dalam 9 bujur sangkar besar, yang masing-masing

mempunyai luas 1 mm2.

d. Satu dari 9 bujur sangkar yang besar, yang terletak di tengah-tengah,

terdiri atas 25 buah bujur sangkar kecil (dibatasi oleh garis tebal). Setiap

bujur sangkar yang kecil ini dibagi dalam 16 buah bujur sangkar yang

lebih kecil lagi dengan ukuran luas 1/20 x 1/20 mm2 =1/400 mm

2. Lima

dari 25 bujur sangkar ini (4 buah yang terdapat pada sudut, dan 1 buah

yang terletak di tengah) nantinya akan digunakan untuk menghitung butir

darah merah.

e. Kedalaman kamar hitung (tinggi) ialah jarak antara dasar kamar hitung

dengan kaca penutupnya = 1/10 mm.

f. Dengan demikian, volume ke lima bujur sangkar kecil yang dipakai untuk

menghitung eritrosit adalah 5 x (16 x 1/400 x 1/10) mm3 = 80/4000 mm

3 =

1/50 mm3.

Jumlah eritrosit per mm3 adalah: A x 1/V x Fp

A = Jumlah semua sel darah merah pada ke lima bujur sangkar kecil

V = Volume ke lima bujur sangkar kecil

Fp = Faktor pengenceran (200 kali)