Upload
yohana-dwi-sophianty
View
152
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat stase kulit
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk
dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan
Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu
yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami
reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau
Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000,
semakin meningkat pada usia lebih tua.3
Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai
ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau
neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor
seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi
malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang,
atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka
menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4
Gambar 2. Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)
Gambaran Klinis
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu
akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang
edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh,
dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster
hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul,
berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit,
kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral
dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik
akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang
terkena.4,5
Gambar 3. Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick) Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis.
Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak.
Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf
spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara
longitudinal sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti
infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul
sebagai lesi pada dermatom tertentu.6
Gambar 4. Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus)
Komplikasi
Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering
terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak
saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic
neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri
akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat
penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri
neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes
zoster menghilang.4,7
Gambar 5. Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick)
Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh
karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih
dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya
peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur.
Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma,
kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan
setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid)
juga menjadi faktor risiko.8,9
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30
hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah
timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit
yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).9
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes
zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama
masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf
sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls
abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau
rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis
meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.5,8
Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang
kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung
dan tepi hidung (Hutchinson’s sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel
pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi
adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik,
ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut.4,5
Gambar 6 – Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick)
Diagnosis
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.5 Komponen
utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya:
1. gejala prodromal berupa nyeri
2. distribusi yang khas dermatomal
3. vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul
4. beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus
sensorik
5. tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes
simpleks zosteriformis)
6. nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.10
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,
dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila
lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes
simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna
pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus
yang tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.1,10
Gambar 7 – Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant
multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau
mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster1
Diagnosis Banding
1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis,
herpes gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)11
Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal
HHV asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa
varicella. HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika
sisstem imun tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak
langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes
simpleks sendiri (HSV), bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat
eritematosa, maupun erosi kecil.
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa
vesikel serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala,
malaise, dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4
hari kemudian.
Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering
ditemukan di wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering
bermanifestasi sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung
ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada
HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi.
2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal
terdapat di daerah setinggi jantung.
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3x500mg per hari, indometasin 3x25mg per
hari, atau ibuprofen 3x400mg per hari.12 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat
diberikan antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk
pasien berikut13:
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster
oftalmikus). Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis
yang akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular
lainnya.
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun.
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena.
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan
pasca transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan
hingga seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps.
5. Pasien dengan dermatitis atopik berat.
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada
tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini
belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5x800mg per hari dan umumnya diberikan
selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet
400mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3x1000mg per hari, famsiklovir atau
pensiklovir 3x250mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari
asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari
setelah lesi baru tidak timbul lagi.4
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat
diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan
basah dapat dilakukan kompres terbuka.4,12
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi
lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi
sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal.
Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari
kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-
adherent.14
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut14:
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada
malam hari.
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-
300mg per hari.
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin
atau antidepresan trisiklik saja.
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar.
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis
dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan
tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral
untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu
diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.14 Pada
komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.
BAB IV PEMBAHASANSeorang wanita berusia 55 datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul secara mendadak di kaki kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting yang berkelompok dan tersebar hanya di tungkai bawah kiri, serta kaki kiri bagian dalam. Tidak terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi seperti ini, perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting disertai dengan nyeri yang cukup hebat (dengan VAS 6/10). Dengan melihat lesi,
tampak pada regio plantar tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, terdapat vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak dengan permukaan yang licin.Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pada pasien ditanyakan pula apakah terdapat kelemahan pada tungkai tersebut, namun pasien menyangkal kelemahan motorik. Pasien hanya mengatakan bahwa saat digunakan untuk berjalan kaki terasa sakit, bukan lemas. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan ini tidak ada. Lesi yang timbul jug akhas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya, kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah L4 hingga L5.Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri pada kedua otot paha yang terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit. Mialgia yang terjadi dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala prodromal lainnya berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien.Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi
reaktivasi. Pada literatur11
dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang
ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Penelitian oleh Schmader, et.al15
mengungkapkan bahwaherpes zoster sering terjadi pada orang yang baru-baru ini mengalami stressful recent events. Pada pasien dalam anamnesis mengatakan bahwa belakangan ini pasien cukup stres akibat cucu yang sakit dan sering membantu tetangga pasien menyiapakan acara pasien. Selain itu makan pasien dalam beberapa waktu terakhir juga tidak teratur. Kesemua faktor ini diduga dapat menjadi pemicu reaktivasi herpes zoster.Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi.Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami nyeri dan tingginya aktivitas fisik dapat meningkatkan gesekan maupun trauma pada kaki yang dapat menjadi penyebab pecahnya lenting. Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan suami, namun seringkali cucu pasien datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari.Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):340–6.2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
2012. Jakarta; 2012. 3. James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011. 4. Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York: Thieme; 2005.
7. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and associated diseases: A 5- year retrospective study at Tamathibodi Hospital. J. Med. Assoc. Thail. Chotmaihet Thangphaet. 2005 May;88(5):678–81.
8. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002 Oct;17(5):655–9.
9. Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004. 10. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ. Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1–26.
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synposis of clinical dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill Medical;
12. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia: sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia;
13. Gross G, Schöfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am. Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277–289; discussion 291–293.
14. Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections [Internet]. [cited 2013 May 6]. Available from: http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf
15. Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are stressful life events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990 Nov;38(11):1188–94.