Upload
wawan-eko-wahyudi
View
308
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tinjauan pustaka ikterus
Citation preview
HIPERBILIRUBINEMIA
Pengertian Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL atau
disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi
kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah
(BBLR). Penyebab yang sering terjadi adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk
memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel darah merah sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya,
eritrosit harus diproses oleh hati. Saat lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan
tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan
pewarnaan kuning pada bayi.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi (20%)
dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam
lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran
biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan
albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin
terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel
hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain yang
membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar
tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini
terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun
kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi
cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan, pada keadaan ini peninggian
bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul
apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga
terakumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian
hari.
Etiologi Ikterus Neonatorum
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :
a. Meningkatnya kadar bilirubin
Hemolisis disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan umur lebih pendek.
b. Penurunan eksresi bilirubin
Hal ini dapat terjadi karena :
- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam hati dan
penurunan konjugasi oleh hati
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih berfungsinya
enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan penurunan bakteri flora
normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering dan bayi
dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk
terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan
bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan
dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah
pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering
terjadi ikterus fisiologis.
Gambar Etiologi Ikterus neonatorum fisiologis
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early yang
berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk early onset
diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi
oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi bilirubin. Faktor
spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan asam lemak unsaturated yang
menghambat proses konjugasi atau adanya beta glukorunidase yang menyebabkan peningkatan
jalur enterohepatik.
Gambar Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada bayi yang mendapat
ASI dan susu formula
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :
a. Faktor maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus)
c. Faktor neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Klasifikasi Ikterus Neonatorum
Ada 2 macam ikterus neonatorum :
1. Ikterus fisiologis
a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Tidak mempuyai dasar patologis
c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak berpotensi menjadi kern
ikterus
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada hari kesepuluh
2. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;
a. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24 jam
c. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau
sepsis)
d. Ikterus yang disertai oleh :
Berat lahir kurang dari 2000 gram
Masa gestasi 36 minggu
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)
Infeksi
Trauma lahir pada kepala
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
e. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada neonatus cukup
bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan
Penegakan Diagnosis
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan
yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah
menggunakan saat timbulnya ikterus.
a. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain
infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
defisiensi G6PD
b. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus fisiologis
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau gol lain
Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya
melebihi 5 mg% per 24 jam
Defisiensi enzim G6PD
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim eritrosit lainnya
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis)
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G6PD
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi
Hipotiroidisme
Breast milk jaundice
Infeksi
Neonatal hepatitis
Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan penyaring G6PD
Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Gambar Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice
Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak menunjukkan
dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern ikterus.
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan
invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3 Umumnya yang diperiksa
adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar
bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih 2 minggu.
Gambar Pembagian ikterus menurut Kramer
Tabel Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer
Daerah
ikterusPenjelasan
Kadar bilirubin (mg/dl)
Prematur Aterm
1 Kepala dan leher 4-8 4-8
2 Dada sampai pusat 5-12 5-12
3 Pusat bagian bawah sampai lutut 7-15 8-16
4Lutut sampai pergelangan kaki dan
bahu sampai pergelangan tangan9-18 11-18
5Kaki dan tangan termasuk telapak kaki
dan telapak tangan>10 >15
Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif,
minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kern ikterus
sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut :
Minum ASI dini dan sering
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih
cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya.
Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang
cukup besar.
Tatalaksana awal ikterus neonatorum :
Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan
darah bayi dan lakukan tes Coombs
Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar
Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar
Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila
ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan
Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang dapat
dilakukan antara lain :
Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja
sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini
tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang
berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
melahirkan bayi.
Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah
pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dilakukan
karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler
sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan
kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses
hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi
terapi sinar adalah :
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar alb lebih dari 10 mg/dl
- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat
diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
- Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl
- Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl
- Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl
Tabel Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubi
n serum
(mg/dl)
< 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500
<5 Tidak perlu terapi – observasi
5-9 Terapi sinar bila hemolisis
10-14 Transfusi tukar Terapi sinar
15-19 Transfusi tukar Terapi sinar
>20 Transfusi tukar
Terapi suportif, antara lain :
Minum ASI atau pemberian ASI perah
Infus cairan dengan dosis rumatan
Monitoring yang dilakukan antara lain :
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat
terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila
sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS
Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :
a. Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari untuk
beberapa hari pertama
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta penyaringan
serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa
Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam
Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak
teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa
terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang
berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh
hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat
dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi
sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-
bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran.
Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang
diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar bayi mendapatkan
energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian
bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet
yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah
penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator
dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali
sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya,
yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar
bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak
perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi dipantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya
penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran
juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar.
Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia,
dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya
bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang
menyertainya diperbaiki.
Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah
terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi
tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu
di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin.
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah
golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal
inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah.
Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat mengganti
kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb bayi.
‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti 65 %
Hb bayi.
‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus polisitemia
atau darah pada anemia.
Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati bilirubin
adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin
tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang otak. Patogenesis kern ikterus
bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh
albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.
Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari 30
mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi
dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.
Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :
a. Bentuk akut
Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang
Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus, retrocollis, demam
Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni
b. Bentuk kronis
Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes,
keterampilan motorik yang lambat
Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor), gangguan
pendengaran
Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut :
Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
Penilaian berkala pendengaran
Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa
PEMBAHASAN (TOLONG DIPILAH PILIH LAGI YA TIK)1. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan. Manifestasi klinisnya adalah ikterus. Ikterus
secara klinis akan mulai tampak pada neonatus bila kadar bilirubin darah lebih dari 5 mg/dl.
Pada pasien ini nampak kekuningan dari daerah wajah, dada, perut, sampai umbilicus.
Ekstremitas atas mapun bawah, dan bagian telapak tangan dan kakitampak normal.
Pemeriksaan fisik secara khusus yaitu dengan metode Kramer. Pasien ini didapatkan sesuai
dengan pembagian derajat Kramer IV.
Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama
kehidupannya berkaitan dengan: (1) meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis) (2),
kurangnya albumin sebagai alat pengangkut (3) penurunan uptake oleh hati, (4) penurunan
konjugasi bilirubin oleh hati, (5) penurunan ekskresi bilirubin, dan (6) peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Pada pasien ini hiperbilirubunemia kemungkinan disebabkan oleh pemecahan eritrosit
meningkat disebabkan oleh umur eritrosit yang lebih pendek, atau dengan penyebab lain.
Pada pasien ini BBLR dan prematuritas juga menjadi penyebab hiperbilirubinemia.
Hal ini dapat terjadi karena belum maturnya fungsi hepar, kurangnya enzym glukorinil
transferase sehingga konyugasi billirubin indirek menjadi billirubin direk belum sempurna
dan kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi billirubin dari jaringan ke hepar
kurang.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
nonpatologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > 95 menurut Normogram Bhutani.
Pada pasien ini termasuk di high risk zone dengan kadar bilirubin diatas 15 mg/dl
pada umur 168 jam.
Untuk mengantisipasi kompilkasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah
letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia yang
berat.
Nomogram penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu,
Faktor resiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan > 35 mg dibagi menjadi :
a. Faktor resiko mayor
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko tinggi
- Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
- Inkompabilitas golongan darah atau penyakit hemolitik lainnya
- Umur kehamilan 35-36 minggu
- Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
- Sefalhematom atau memar yang bermakna
- ASI ekslusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang
berlebihan
- Ras Asia Timur
b. Faktor resiko minor
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko sedang
- Umur kehamilan 37-38 minggu
- Sebelum pulang, bayi tampak kuning
- Bayi makrosomia dari ibu DM
- Umur ibu ≥ 25 tahun
- Jenis kelamin laki-laki
c. Faktor resiko kurang (besar resiko sesuai dengan urutan yang tertulis, makin ke bawah
resiko makin rendah)
- Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko rendah
- Umur kehamilan ≥ 41 minggu
- Bayi mendapat susu formula penuh
- Kulit hitam
- Bayi dipulangkan setelah 72 jam
Pada pasien ini, didapatkan kadar bilirubin sebesar 15,78 pada usia 5 hari dengan
umur kehamilan 36 minggu. Berdasarkan hal tersebut, maka pada bayi ini memiliki resiko
mayor.
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek, strategi tersebut meliputi pencegahan, farmakoterapi, fototerapi,
dan transfusi tukar. Pada pasien ini dilakukan fototerapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan R, et al. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika Jakarta: Jakarta.
2. Rohsiswatmo R, et al. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Badan Penerbit IDAI: Jakarta.
3. Kosim MS, et al. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Badan Penerbit IDAI: Jakarta.
4. Winkjosastro H. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo: Jakarta.
5. William W, et al. 2006. Curent Diagnosis and Treatment Pediatrics 18th Ed. Mc Graw Hill
Companies.
6. Richard E, et al. 2003. Nelson Textbook of Paediatrics 17th edition. WB Saunders Company:
Philadelpia.
7. KemenKes. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial: Pedoman Teknis
Pelayanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta.
8. Etika, Risa. Et al. Hiperbilirubinemia pada Neonatus.Divisi Neonatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo. Surabaya. 2012. P1-14
9. Damanik, Sylviati M. Hiperbilirubinemia. Available from www.pediatrik.com Accessed
September 5, 2012.
10. Rohsiswatmo, Rinawati. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning. Available
from www.idai.com Accessed September 5, 2012.
11. Sukadi, Abdulrahman. Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. P 147-69
12. WHO.2003. Managing Newborn Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And Midwives.
Department of Reproductive Health and Research. Geneva : World Organization Health.
13. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of
Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics
114:297-316