29
BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindroma hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi insulin, atau keduanya. Lebih dari 120 juta penduduk di seluruh dunia menderita DM dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat menjadi 370 juta penduduk menjelang tahun 2030. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang insidensinya terus meningkat secara eksponensial dari tahun ke tahun. Indonesia sendiri menempati urutan keempat dari 10 negara dengan penderita DM terbanyak di dunia (Wild et al, 2004). DM biasanya ireversibel, walaupun pasien masih bisa menjalani hidup secara normal, tetapi komplikasi akhir dari penyakit DM ini bisa menurunkan harapan hidup (Gale dan Anderson, 2009). Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005), dalam perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2006), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat dari defek sekresi indulin, aksi insulin, ataupun keduanya. Peningkatan insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi dari DM baik akut maupun kronis. Komplikasi akut dapat berupa Ketoasidosis diabetik (KAD), Koma hiperosmolar hiperglikemik, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronis bisa berupa retinopati, nefropati, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, neuropati, diabetic foot (Jean, 2011). Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status

Hiperglikemia Krisis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka mengenai hiperglikemia krisis

Citation preview

Page 1: Hiperglikemia Krisis

BAB 1

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindroma hiperglikemia kronis yang

disebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi insulin, atau keduanya. Lebih dari 120 juta

penduduk di seluruh dunia menderita DM dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat

menjadi 370 juta penduduk menjelang tahun 2030. Diabetes Mellitus (DM) merupakan

penyakit yang insidensinya terus meningkat secara eksponensial dari tahun ke tahun.

Indonesia sendiri menempati urutan keempat dari 10 negara dengan penderita DM

terbanyak di dunia (Wild et al, 2004). DM biasanya ireversibel, walaupun pasien masih bisa

menjalani hidup secara normal, tetapi komplikasi akhir dari penyakit DM ini bisa menurunkan

harapan hidup (Gale dan Anderson, 2009).

Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005), dalam perkumpulan

Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2006), DM merupakan suatu kelompok penyakit

metabolic dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat dari defek sekresi indulin, aksi insulin,

ataupun keduanya. Peningkatan insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh

meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi dari DM baik akut maupun kronis.

Komplikasi akut dapat berupa Ketoasidosis diabetik (KAD), Koma hiperosmolar

hiperglikemik, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronis bisa berupa retinopati,

nefropati, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, neuropati, diabetic foot

(Jean, 2011).

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes

Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius

yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat

terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH)

atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang

ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan

SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya

lebih tinggi dari KAD murni (Abbas E et al, 2006).

Page 2: Hiperglikemia Krisis

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemi yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

(PERKENI, 2011). Manifestasi DM disebabkan karena defisiensi relatif atau absolut atau

resistensi jaringan terhadap insulin. Insulin merupakan hormon anabolik yang merangsang

sintesis glikogen, lemak dan protein. Pada defisiensi insulin, hormon antagonis insulin yang

lebih dominan sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat hiperglikemia terjadi berbagai proses

biokimia dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus.

(Guyton, 2004)

Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular (retinopati

diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun makrovaskular

(stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM

dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran

kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi

ulkus/gangren diabetic. (Wastadji, 2007)

Sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 2007, DM bisa

diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe II, diabetes dalam

kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer, 2007). DM tipe 1 atau yang dulu dikenal

dengan nama Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta

pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala DM

mulai muncul. Selain itu ada yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan 90%

dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

dan mempunyai pola familial yang kuat. DM tipe II seringkali terjadi resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (ADA, 2007).

3.2 Epidemiologi Diabetes Melitus

Penyakit Diabetes mellitus muncul sebagai suatu penyakit kronis di negara-negara

yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Ulkusnya berupa luka pada kaki yang

merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah

berukuran sedang atau besar yang terdapat pada tungkai. Hal itu dibuktikan dengan

banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe II

hingga mencapai kurang lebih 90% hingga 95% pasien. Peneliti departemen kesehatan

pada tanggal 18 januari 2007, menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke empat di

dunia setelah India, China, dan Amerika serikat. Menurut badan kesehatan dunia (WHO)

Page 3: Hiperglikemia Krisis

jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 24 juta orang

jumlah dan ini diperkirakan akan terus meningkat. (Subroto, 2006)

3.3 Patogenesis

Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II sangat kompleks, pada awalnya, terjadi

kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel ß pankreas

akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam

keadaan ini toleransi glukosa dapat normal tetapi suatu saat akan terjadi gangguan dan

menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Apabila

keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus, sel

ß pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk

menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan

penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan

pospandrial yang sangat karakteristik pada Diabetes Melitus Tipe II. Akhirnya sekresi insulin

oleh sel ß pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus

menerus berlangsung (Cohen, 2001).

3.4 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan glukosa darah dan tidak hanya

berdasarkan adanya glukosuria. Pemeriksaan darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga

cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >

200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta

murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM (table 2.1.). Ketiga dengan

tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih

sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki

keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek

sangat jarang dilakukan. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa

lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur (PERKENI, 2006).

Page 4: Hiperglikemia Krisis

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik DM menurut ADA (2004)

Normoglikemia IFG atau IGT Diabetes

Gula darah puasa

<100 mg/dl

Gula darah puasa

>100 & <126 mg/dl

Gula darah puasa >

126 mg/dl

Gula darah 2 jam PP

<140 mg/dl

Gula darah 2 jam

PP >140 mg/dl &

<200 mg/dl

Gula darah 2 jam PP

>200 mg/dl

Gejala diabetes dan

konsentrasi glukosa

darah sesaat >200

mg/dl

Sumber : American Dietetic Association, 2004.

Keterangan :

IFT = Impaired Fasting Tolerance, IGT = Impaired Glucose Tolerance

3.5 Komplikasi Diabetes Melitus

Menurut laporan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), Komplikasi

kronis paling utama adalah penyakit kardiovaskuler dan stroke, diabetic foot, retinopati, serta

nefropati diabetika, Dengan demikian sebetulnya kematian pada diabetes terjadi tidak

secara Iangsung akibat hiperglikemia tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.

Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM lima kali Iebih besar untuk

timbul gangren, tujuh belas kali Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan dua puluh

lima kali Iebih besar untuk terjadinya kebutaan (Sarwono, 1996).

Selain komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga memiliki

risiko penyakit seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh Iebih tinggi

daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita DM perlu diobati agar dapat terhindar

dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka harapan hidup menurun (Sarwono,

1996).

Page 5: Hiperglikemia Krisis

Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut

dari diabetes mellitus adalah diabetic ketoacidosis (DKA), hyperglicemic hyperosmolar state

(HHS) dan hipoglikemi. Sedangkan komplikasi kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu

komplikasi vaskular dan non vaskular. Pada komplikasi vaskular, dibagi lagi menjadi

mikrovaskular (retinopathy, neuropathy, nephropathy) dan makrovaskular (coronary artery

disease (CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular disease). Komplikasi non

vascular yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Fauci et al., 2008).

3.5.1 Komplikasi kronis

3.5.1.1. Macroangiopathy

Komplikasi macroangiopathy adalah komplikasi diabetes yang menyerang pembuluh

darah besar. Komplikasi macroangiopathy dapat menyerang pembuluh darah berikut yaitu

pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Macroangiopathy

pada pembuluh darah jantung dapat mengakibatkan CVD. Pada pembuluh darah tepi

biasanya sering tanpa gejala, dan gejala yang muncul pertama biasanya berupa ulkus di

kaki (perkeni, 2006).

3.5.1.2. Microangiopathy

Pada microangiopathy, pembuluh darah yang terkena adala pembuluh darah mikro

atau kecil. Bisa menyebabkan diabetic retinopathy dan nefropathy. Diabetic retinopathy

adalah kelainan pada retina pada mata karena diabetes.. Pada nefropathy, terjadi kelainan

dari sistem filter yang terdapat di ginjal akibat kondisi hiperglikemi. Akibatnya terjadi

kebocoran filter sehingga protein bisa terdapat di urine. Kondisi dimana terdapat protein-

protein kecil dalam urine ini disebut microalbuminuria (ADA, 2007).

3.5.1.3. Neuropathy

Neuropathy disebabkan karena kerusakan pada dinding pembuluh darah kecil yang

mensuplai makanan sel saraf. Pada peripheral neuropathy terjadi sensasi kesemutan, mati

rasa, nyeri, atau kelemahan pada otot. Pada autonomic neuropathy ditemukan kelainan

pada sistem digestive, urinary tract, organ sex, jantung dan pembuluh darah, kelenjar

keringat, dan mata (ADA, 2007).

3.5.2. Komplikasi akut

Komplikasi akut dapat berupa diabetic ketoacidosis (DKA) dan hyperglicemic

hyperosmolar state (HSS). Ketoacidosis pada penderita DM terjadi akibat penumpukan

Page 6: Hiperglikemia Krisis

badan keton dalam sirkulasi tubuh. Badan keton disintesis dari free fatty acid (FFA) di dalam

liver. Normalnya, FFA akan disintesis menjadi trigliserida atau very low density lipoprotein

(VLDL), namun karena penderita diabetes terjadi hiperglucagonemia maka FFA lebih

cenderung akan membentuk badan keton. Hal ini akan menyebabkan ketoacidosis karena

badan keton bersifat asam (Fauci et al., 2008).

HHS terjadi pada individu tua, biasanya timbul gejala2 klasik diabetes seperti

poliuria, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (perkeni,

2006). Pada HHS, kadar glukosa darah bisa mencapai lebih dari atau sama dengan 600

mg/dl. Gejala-gejalanya adalah bibir kering dan pecah-pecah, sangat kehausan, kulit hangat

namun tidak berkeringat, dan demam tinggi (ADA, 2007). Hal ini terjadi karena penumpukan

glukosa di dalam sirkulasi akan menyebabkan perbedaan tekanan osmotik, sehingga cairan

yang ada di dalam intrasel akan tertarik menuju intravaskuler (Fauci et al., 2008)

Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah sampai di bawah 60

mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,

gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun

sampai koma). Kondisi ini hipoglikemi akibat dari jatuhnya kadar glukosa darah bisa karena

penggunaan sulfonylurea atau insulin yang tidak disertai intake makanan (perkeni, 2006)

3.6 Hiperglikemia Krisis

Hiperglikemia krisis merupakan suatu komplikasi akut dari diabetes melitus ditandai

dengan tingginya kadar gula darah tubuh yang terdiri dari Ketoasidosis diabetik (disingkat

KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar (disingkat SHH). Manifestasi utamanya adalah

kekurangan insulin dan hiperglikemia yang berat. SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang

relatif (terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan dehidrasi dan akhirnya menyebabkan

kondisi hiperosmolaritas. KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja

menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga mengakibatkan produksi

keton meningkat serta asidosis. Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (≥

250 mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3) (Kitabchi AE et al, 2008).

Kebanyakan pasien DKA adalah pasien DM tipe 1; sedangkan pasien dengan DM

tipe 2 juga memiliki resiko selama terjadi stres katabolik akibat penyakit akut seperti trauma,

pembedahan, atau infeksi. Angka kematian pada KAD <5% pada rumah sakit yang

berpengalaman, sedangkan angka kematian pasien SHH masih tinggi yaitu pada angka

11%. Kematian pada kondisi ini jarang disebabkan karena komplikasi metabolik akibat

hipergikemia atau ketoasidosis tetapi lebih berhubungan dengan penyakit yang

Page 7: Hiperglikemia Krisis

mendasarinya. Prognosis pada kedua kondisi akan lebih buruk pada pasien usia tua yang

ekstrim dan pada pasien dengan koma dan hipotensi (Kitabchi AE et al, 2008)..

3.6.1 Patogenesis

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin,

relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak

adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres

ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin

dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana

hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin kurang (Gaglia JL et al, 2004)

Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi

juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan

hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh

ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan

hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular (Kitabchi AE et al, 2008).

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin pada

KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose

(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-

hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan

ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh

konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh

jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-

peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk

teori ini masih lemah ( 4). KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan

diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar (Ennis et al, 1997)

Page 8: Hiperglikemia Krisis

Gambar 3. Bagan Patofisiologi KAD dan SHH

3.6.2 Faktor Pencetus

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan yang

mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :

1.Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh

Infeksi.

Infeksinya dapat berupa : Pneumonia

- Infeksi traktus urinarius

- Abses

- Sepsis

Lain-lain.

2.Penyakit vaskular akut:

Penyakit serebrovaskuler

Infark miokard akut

Emboli paru

Thrombosis V.Mesenterika

3.Trauma, luka bakar, hematom subdural.

Page 9: Hiperglikemia Krisis

4.Heat stroke

5.Kelainan gastrointestinal:

Pankreatitis akut

Kholesistitis akut

Obstruksi intestinal

6.Obat-obatan :

Diuretika

Steroid

Lain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan

menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini terjadi

pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1, permasalahan psikologis 5

yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar 20% dari seluruh faktor yang

mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong penghentian suntikan insulin pada

pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat badan pada keadaan kontrol

metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam hypoglikemia, pemberontakan terhadap

otoritas, dan stres akibat penyakit kronis (Abbas et al, 2006).

3.6.3 Diagnosis

3.6.3.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Proses dari SHH biasanya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu,

sedangkan waktu perubahan episode KAD akut pada penderita baik DM tipe 1 atau 2

tampaknya lebih singkat. Meskipun gejala pada diabetes yang tidak terkontrol dapat muncul

selama beberapa hari, perubahan metabolik khas KAD biasanya akan nampak dalam waktu

yang cukup singkat (<24 jam). Gambaran klinis klasik pasien KAD yaitu riwayat poliuri,

polidipsi, penurunan berat badan, muntah, nyeri abdomen, dehidrasi, lemah, perubahan

status mental dan koma. Temuan fisik yaitu turgor kulit yang menurun, pernafasan

kussmaul, takikardi, hipotensi, perubahan status mental, syok, dan bahkan koma. Hampir

25% dari pasien KAD mengalami muntah-muntah, yang bewarna seperti kopi. Status mental

dapat bervariasi dari sadar penuh hingga lethargy atau koma, dimana lebih sering terjadi

pada pasien SHH. Meskipun infeksi adalah faktur pencetus utama baik pada KAD maupun

SHH, pasien dapat bersuhu normal maupun hipotermia, disebabkan vasodilatasi perifer.

Hipotermia yang parah bila terjadi, merupakan tanda prognosis yang buruk. Nyeri abdomen

terkadang dapat menjadi mirip dengan akut abdomen, muncul pada 50-75% kasus KAD.

Nyeri abdomen biasanya membaik seiring dengan koreksi dari hiperglikema dan metabolik

asidosis. Gejala klinis yang paling umum dari pasien SHH adalah perubahan sensoris.

Pemeriksaan fisik didapatkan tanda dehidrasi dengan berkurangnya turgor kulit, lemah,

Page 10: Hiperglikemia Krisis

takikardi, dan hipotensi. Demam oleh karena infeksi yang mendasari sering didapatkan, dan

tanda asidosis (nafas kussmaul, bau nafas aseton) biasanya tidak ditemukan. Pada

beberapa pasien, tanda neurologis fokal (hemiparesis, hemianopsia) dan kejang (kejang

motorik parsial lebih sering daripada kejang umum) dapat menjadi temuan klinis yang

dominan (Abbas et al, 2006)..

3.6.3.2 Pemeriksaan Laboratorium

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi

penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan

anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah

pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis. Elektrokardiogram, x-ray thorak, urin

lengkap, sputum atau kultur darah dapat diperiksakan jika terdapar indikasi. HbA1c dapat

menjadi bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini merupakan akumulasi

bertahap proses diabetes yang belum diketahui atau tidak terkontrol sebelumnya atau

merupakan episode akut nyata pada pasien diabetes yang terkontrol dengan baik.

Tabel 3. Kriteria diagnosis dan total defisit cairan dan elektrolit pada KAD dan SHH

KAD terdiri dari trias biokimia yaitu hiperglikemia, ketonemia, dan metabolik asidosis.

Akumulasi dari asam keton mengakibatkan peningkatan anion gap. Anion gap dihitung

dengan mengurangi jumlah dari klorida dan konsentrasi bikarbonat dari konsentrasi natrium

(NA+ - (Cl-+HCO30-)). Anion gap normal berkisar <12+2 mEq/l. Akan tetapi banyak

Page 11: Hiperglikemia Krisis

laboratorium belakangan ini menghitung konsentrasi sodium dan klorida menggunakan

elektroda ion-spesifik, yang menghitung konsentrasi klorida plasma 2-6 mEq/l lebih tinggi

dari metode penghitungan sebelumnya. Oleh karena itu, anion gap normal dengan

menggunakan metode tersebut berkisar antara 7 dan 9 mEq/l, dan anion gap >10-12 mEq/l

mengindikasikan adanya peningkatan anion gap asidosis. Derajat keparahan dari KAD

diklasifikasikan menjadi ringan, moderate, atau parah berdasarkan keparahan dari metabolik

asidosis (pH darah, bikarbonat, keton) dan adanya perubahan status mental.

Kebanyakan pasien dengan krisis hiperglikemi datang dengan leukositosis

berbanding proporsional dengan konsentrasi badan keton dalam darah. Akan tetapi

leukositosis >25.000 menandakan adanya infeksi dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang

terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia.

Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular

yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien

dengan konsentrasi kalium serum rendah atau lownormal pada saat masuk, mungkin akan

kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu

monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium

lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.

Penelitian terhadap osmolalitas serum dan perubahan kesadaran menunjukkan

bahwa terdapat hubungan postif linear antara kedua hal tersebut. Adanya stupor atau koma

pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) perlu

pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status mental. Pada mayoritas pasien

DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan sumber nonpankreatik.

Serum lipase bermanfaat untuk 7 menentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri

abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada DKA

dibandingkan dengan SHH (Abbas et al, 2006).

3.6.4 Diagnosa Banding

Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena kelaparan dan

ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan anamnesis dan konsentrasi glukosa plasma

yang terentang dari sedikit meningkat ( jarang > 250 mg/dl) sampai hipoglikemia. Sebagai

tambahan, walaupun KAA dapat mengakibatkan asidosis, konsentrasi bikarbonat serum

pada keadaan ketosis kelaparan biasanya tidak lebih rendah dari 18 mEq/l.

KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis metabolik yang

tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-obatan seperti salicylate, metanol,

ethylene glycol, dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis ( dimana lebih khas asidosis

Page 12: Hiperglikemia Krisis

hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi obat atau

menggunakan metformin harus dicari (Abbas et al, 2006)..

3.6.5 Terapi

Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,

hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan

faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang

ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu

dilaksanakan dengan baik.

Terapi cairan

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan

extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan

kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra

insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa

kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih

besar pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk

mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin.

Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum

meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum

rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium (

2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral. Keberhasilan

penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam

tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan

diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum

mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien dengan

gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal,

dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari

overload yang iatrogenik (Abbas et al, 2006)..

Terapi Insulin

Pada keadaan KAD ringan ( tabel 1), insulin reguler diberikan dengan infus intravena

secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ <

3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb,

diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit·

kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak

dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena secara

Page 13: Hiperglikemia Krisis

kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada pasienpasien tersebut. Dosis

insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak

50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi (1-5) . Jika plasma

glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama, periksa dulu status

hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa

yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.

Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH,

mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan

dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau

konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai

asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.

Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.

Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk

pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.

Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah

terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB dikonversi ke asam

asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh

karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak

digunakan sebagai suatu indikator terapi.

Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam untuk

memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk

DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada

umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor

resolusi asidosis. Sehingga BGA tidak diperlukan pengecekan secara berulang pada

monitor terapi KAD dengan pertimbangan menghindari nyeri dan komplikasi akibat

pengambilan darah arteri.

Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan

kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk

mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam

setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.

Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan

memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi

subkutan secara bersamaan. Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat

diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH

dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin

Page 14: Hiperglikemia Krisis

awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0 unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua

dosis dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai suatu

dosis optimal yang diinginkan. Akan tetapi, penilaian klinins yang baik dan pengecekan gula

darah yang rutin adalah hal yang sangat vital dalam inisiasi regimen baru insulin pada

pasien yang belum pernah memakai insulin (Abbas et al, 2006)..

Kalium

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar

dalam darah dibawah 5.3 mEq/l, dengan catatan output urin cukup (50ml/jam). Biasanya,

20–30 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk

mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD

jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,

penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus

ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac

arrest dan kelemahan otot pernapasan (1).

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang sering

terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan

penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum (Abbas et al,

2006).

Bikarbonat

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi ( 28). Pada

pH >7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa

penambahan bikarbonat. Pemberian bikarbonat berhubungan dengan meningkatnya resiko

hipokalemia, mengurangi upktake oksigen oleh jaringan, dan edema otak. Beberapa

penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau perbaikan pada angka

morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH

antara 6.9 dan 7.1 (10). Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan

bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.

Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat

bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat 100

mmol dalam 400 cc cairan steril (cairan isotonik) ditambah dengan 20 mEq KCl dengan

kecepatan 200 ml/jam selama 2 jam sampai ph vena >7.0. Tidak perlu tambahan bikarbonat

jika pH > 7.0. Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh

karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas

dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam

Page 15: Hiperglikemia Krisis

sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu. (Abbas

et al, 2006).

Fosfat

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat

berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal

membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD ( 32), dan

pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa

adanya gejala tetani . Sehingga penggunaan fosfat secara rutin pada terapi KAD atau SHH

tidak menghasilkan keuntungan secara klinis pada pasien. Bagaimanapun, untuk

menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena

hipofosfatemia, penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan

kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi

fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke

larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS (Abbas et al,

2006).

Page 16: Hiperglikemia Krisis

Gambar 3.2 Bagan Terapi KAD

Gambar 3.2 Bagan Terapi SHH

3.6.6 Komplikasi

Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan komplikasi

akibat pengobatan:

Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan dengan

pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan

terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin

intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan.

Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh

penggunaan larutan saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis

Page 17: Hiperglikemia Krisis

metabolik non-anion gap yang sementara dimana khlorida dari cairan intravena

menggantikan anion yang hilang dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis

osmotik. Kelainan biokimia ini adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika

terjadi gagal ginjal akut atau oliguria yang ekstrim.

Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi

KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi pada

anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang

telah diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan (1,2,6). Kasus yang fatal dari

edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara klinis, edema cerebral ditandai

oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi

mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradycardia,

dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan

ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain

dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya

7–14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari

edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada

sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD

atau SHH. Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema

cerebral pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien

orang dewasa lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat

mengurangi resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan

penggantian defisit air dan natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien yang

hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1) dan

penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada

SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan

hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil (Rosenbloom AL,

2000).

Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD.

Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid yang

mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance paru paru.

Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar

pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan

fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.

Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD

maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase

terjadi pada 16– 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih

Page 18: Hiperglikemia Krisis

dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,

pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD.

Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan hipertonisitas

merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan ini risiko untuk

terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan

naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung sebagai tindakan

profilaksis (Abbas et al, 2006).

3.6.7 Pencegahan

Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik

yang baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga

kesehatan selama belum timbulnya penyakit. Sick-day management harus

mendapat perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik pada 1) kapan

menghubungi sarana pelayanan kesehatan 2) target glukosa darah dan

penggunaan short-acting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam dan

infeksi, dan 4) inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang

mengandung karbohidrat dan garam. Yang paling penting, pasien harus

dinasehatkan untuk tidak pernah menghentikan insulin dan untuk mencari

dokter saat mulai sakit .

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan

pasien dan anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus

mampu dengan teliti mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda

keton pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin,

suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat

badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau

keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan

dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau

menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien

mengenai tanda dan gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur,

dan obat-obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring

glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya HHS (1,2).

3.6.8 Kesimpulan

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes

Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius

Page 19: Hiperglikemia Krisis

yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat

terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH)

atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang

ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan

SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya

lebih tinggi dari KAD murni (Abbas E et al, 2006). Sangat penting membedakan

hiperglikemi krisis termasuk KAD atau SHH. Karena manajemen KAD maupun SHH

berbeda satu sama lain. Semakin cepat kita mengetahui tipe hiperglikemi semakin cepat

penanganan pasien sehingga kondisi pasien akan jauh lebih baik. Untuk membedakan

hiperglikemi krisis termasuk jenis KAD atau HHS dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

seperti DL, SE, dan BGA. Selain terapi spesifik KAD maupun SHH juga sangat penting

terapi cairan untuk mencegah dehidrasi maupun mengobati dehidrasi karena pada pasien-

pasien hiperglikemi krisis rentan mengalami dehidrasi.

Pada kasus diatas, kemungkinan besar pasien mengalami penurunan kesadaran

diakibatkan oleh hiperglikemi tanpa membuang kemungkinan adanya penyebab lain seperti

hipertensif encephalopathy. Namun pada kasus diatas pasien tidak mengalami gejala yang

mendukung kearah hipertensif enchepalopathy sehingga dapat disimpulkan kemungkinan

penyebab penurunan kesadaran pada pasien tersebut adalah hiperglikemi krisis itu sendiri.

Untuk dapat memastikan penyebab pasti dari penurunan kesadaran dapat dilakukan

pemeriksaan tambahan seperti SE, dan BGA untuk mengetahui status osmolaritas dan

adanya metabolik asidosis, dimana kedua hal tersebut adalah gambaran khas dari SHH

serta KAD yang merupakan manifestasi dari hiperglikemi krisis. Penekanan dalam kasus kali

ini adalah bagaimana mendiagnosa pasien hiperglikemi krisis serta penanganannya.

Page 20: Hiperglikemia Krisis

Algoritma Hiperglikemi Krisis

Hiperglikemia >250 mg/dL disertai :Riwayat DMPerubahan status mental hingga komaTanda Dehidrasi ( takikardi, turgor menurun, hipotensi hingga syok)Demam

KADGejala muncul lebih cepat (<24 jam)nyeri abdomen (50-75% kasus KAD)- Muntah bewarna seperti kopi (25% kasus KAD)Tanda2 asidosis (nafas kussmaul, bau keton, ketonuria)

Metabolik asidodis (ph <7.00)Anion Gap >12Keton Urin (+)Bikarbonat <15Keton darah (+)

SHH Perubahan sensorisPerubahan status mental lebih sering pada SHHTanda2 asidosis (-)

Hiperosmolar >320 mOsm/kg

Cek SE, BGA, DL, GDS Serial, osmolaritas darah, UL, Ur/Cr

Rehidrasi dengan NS 0,45%-0,9% 1L/jam

Terapi sesuai bagan KAD

Terapi sesuai bagan SHH

Bolus Insulin 0,1 IU/KGBB

Drip Insulin 0,1 IU/KGBB/Jam

Cek Gds/jam

Page 21: Hiperglikemia Krisis

Daftar Pustaka

Abbas E et al, 2006. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American

Diabetes Association. Diabetes Care volume 29, num 12, december 2006.

Guyton, A.C. & Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi kesembilan,

Setiawan, Tengadi, K.A., Santoso, A., (penerjemah). EGC. Jakarta, hal. 761-

762, 1021-1022, 1053.

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med Cli N

Am 88: 1063-1084, 2004.

Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ, 2008 : Diabetic ketoacidosis and the

hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th ed.

Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770

Marshall SM, Walker M, Alberti KGMM: Diabetic ketoacidosis and hyperglycaemic non -

ketotic coma. In International Textbook of Diabetes Mellitus. 2nd ed. Alberti

KGMM, Zimmet P, DeFronzo RA, Eds. New York, John Wiley, 1997, p. 1215–

1229.

Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes Mellitus :Theory and

practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,1997, 827 844.

Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis. Diabetes

Care 13: 22-23, 2000 .