Hipotensi Pd Anestesi Spinal

Embed Size (px)

Citation preview

HIPOTENSI pd ANESTESI SPINALARIEF DARMAWAN

Pendahuluan Insidensi kejadian hipotensi pada anestesi spinal mencapai 8 33 % (Liguori, 2007). Penyebab utama dari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal adalah luasnya blokade simpatis (Covino, 1994).

Patofisiologi(Paul, 1994; Viscomi, 2004) Perubahan dalam mikrosirkulasi juga mempengaruhi tekanan arterial, faktor tersebut bertanggung jawab untuk autoregulasi terhadap aliran darah. Ada dua mekanisme utama yaitu myogenik dan Chemical. Aksi autoregulasi myogenik melalui reseptor regangan pada dinding pembuluh darah dimana akan menyebabkan konstriksi ketika tekanan menurun. Autoregulasi chemical dipengaruhi oleh konsentrasi lokal dari metabolit vasoaktif. Dengan adanya vasodilatasi akibat blokade simpatis, peningkatan aliran akan mengencerkan metabolit dan menghasilkan reflek vasokonstriksi

Arterial resistance Preload Venous Return Contactility Afterload Stroke Volume Arterial Blood Pressure Cardiac Output Heart Rate

Faktor Faktor Yang Berpengaruh Pada Tekanan Darah

Tahanan Vaskuler Periver Blok simpatis yang terbatas pada daerah thorax bagian bawah dan tengah menyebabkan vasodilatasi dari anggota badan dibawahnya dengan kompensasi vasokonstriksi anggota badan diatasnya. Jadi tahanan vaskuler perifer hanya menurun ringan yang membatasi derajat hipotensi. Bila blokade meluas lebih tinggi, vasodilatasi akan meningkat, dan beberapa saat kemudian kemampuan untuk vasokonstriksi sebagai kompensasi akan menurun. (Covino, 1994)

Curah Jantung Anestesi spinal, yang hanya sampai level torakal tengah, tidak menyebabkan perubahan yang nyata pada curah jantung asalkan posisi pasien horizontal atau head down. Anestesi spinal yang meluas sampai ke level torakal bagian atas atau servikal, menyebabkan pengurangan yang nyata pada curah jantung karena adanya perubahan pada laju nadi, venous return dan kontraktilitas. (Covino, 1994)

Laju Nadi Serabut simpatis dari T1 - T5 mengontrol laju nadi. Anestesi spinal yang memblokade serabut tersebut menyebabkan denervasi yang nyata dari persyarafan simpatis jantung. Sebagaimana normalnya derajat tonus simpatis terhadap jantung, denervasi tersebut menyebabkan penurunan laju nadi. Bradikardi yang hebat tampak pada beberapa pasien dengan anestesi spinal tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan aktifitas vagal sebagaimana terjadi selama vasovagal syncope atau oleh reflek intrakardial. (Covino, 1994; Viscomi, 2004)

Stroke Volume Stroke volume dapat berkurang selama spinal anestesi tinggi dengan pengurangan pada venous return dan penurunan kontraktilitas jantung. (Covino, 1994)

Venous Return Pada pasien yang tonus simpatisnya sudah dihilangkan, venous return akan tergantung pada gaya berat dan posisi tubuh. Kontrol simpatis pada sistem pembuluh darah sesungguhnya untuk mempertahankan venous return dan kardiovaskuler homeostasis selama perubahan postural. Gabungan dari penurunan venous return dan curah jantung serta dengan penurunan tahanan perifer dapat menyebabkan hipotensi yang hebat. (Covino, 1994)

Kontraktilitas Blokade persyarafan simpatis jantung dapat menyebabkan penurunan inotropism atau sifat inotropiknya yang mengakibatkan penurunan pada cardiac out put (5%). (Covino, 1994)

Hipotensi Hipotensi adalah suatu keadaan tekanan darah yang rendah yang abnormal, yang ditandai dengan tekanan darah sistolik yang mencapai dibawah 80 mmHg atau 90 mmHg, atau dapat juga ditandai dengan penurunan sistolik atau MAP (Mean Arterial Pressure) mencapai dibawah 30 % dari baseline. (Liguori, 2007)

Terjadinya hipotensi biasanya terlihat pada menit ke 20 30 pertama setelah injeksi, kadang dapat terjadi setelah menit ke 45 60. Derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan obat lokal anestesi ke dalam ruang subarachnoid dan meluasnya blok simpatis. Blok yang terbatas pada dermatom lumbal dan sakral menyebabkan sedikit atau tidak ada perubahan tekanan darah. Anestesi spinal yang meluas sampai ke tingkat thorax tengah berakibat dalam turunnya tekanan darah yang sedang. Anestesi spinal yang tinggi, di atas thorax 4 5, menyebabkan blokade simpatis dari serabut-serabut yang menginervasi jantung, mengakibatkan penurunan frekwensi jantung dan karena kotraktilitas jantung dan venous return menyebabkan penurunan curah jantung. Semuanya itu menyebabkan hipotensi yang dalam. (Covino, 1994; Salinas, 2009)

Faktor-faktor pada anestesi spinal yang mempengaruhi terjadinya hipotensi :

Ketinggian blok simpatis Hipotensi selama anestesi spinal dihubungkan dengan meluasnya blokade simpatis dimana mempengaruhi tahanan vaskuler perifer dan curah jantung. Blokade simpatis yang terbatas pada rongga thorax tengah atau lebih rendah menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi pada anggota gerak atas atau dengan kata lain vasokonstriksi yang terjadi diatas level dari blok, diharapkan dapat mengkompensasi terjadinya vasodilatasi yang terjadi dibawah level blok. (Covino, 1994; Liguori, 2007) Pada beberapa penelitian dikatakan efek terhadap kardiovaskuler lebih minimal pada blok yang terjadi dibawah T5. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

Posisi Pasien Kontrol simpatis pada sistem vena sangat penting dalam memelihara venous return dan karenanya kardiovaskuler memelihara homeostasis selama perubahan postural. Venavena mempunyai tekanan darah dan berisi sebagian besar darah sirkulasi (70%). Blokade simpatis pada anestesi spinal menyebabkan hilangnya fungsi kontrol dan venous return menjadi tergantung pada gravitasi.

Faktor yang berhubungan dengan kondisi pasien Pada hipovolemia, tekanan darah dipertahankan dengan peningkatan tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer. Blok simpatis oleh karena anestesi spinal mungkin mencetuskan hipotensi yang dalam. Karenanya hipovolemia merupakan kontraindikasi relative pada anestesi spinal. Pasien hamil, sensitif terhadap blokade sympatis dan hipotensi. Hal ini dikarenakan obstruksi mekanis venous return oleh uterus gravid. Pasien hamil harus ditempatkan dengan posisi miring lateral, segera setelah induksi anestesi spinal untuk mencegah kompresi vena cava Pasien-pasien tua dengan hipertensi dan ischemia jantung sering menjadi hipotensi selama anestesi spinal dibanding dengan pasien pasien muda sehat. (Covino, 1994; Tarkkila, 2007)

Faktor Agent Anestesi Spinal Derajat hipotensi tergantung juga pada agent anestesi spinal. Pada level anestesi yang sama, bupivacaine mengakibatkan hipotensi yang lebih kecil dibandingkan tetracaine. Semua obat anestesi mempunyai efek inotropik negatif terhadap otot jantung. Obat anestesi lokal tetracaine maupun bupivacaine mempunyai efek depresi miokard yang lebih besar dibandingkan dengan lidocaine ataupun mepivacaine. (Liguori, 2007)

Cont Adapun beberapa faktor resiko lain terjadinya hipotensi pada anestesi spinal, diantaranya adalah hipertensi preoperatif, usia lebih dari 40 th, obesitas, kombinasi general anestesi dan regional anestesi, alkoholisme yang kronis, dan tekanan darah baseline kurang dari 120 mmHg. (Liguori, 2007; Salinas, 2009)

PENATALAKSANAAN HIPOTENSISecara fisiologis penatalaksanaan hipotensi adalah dengan mengembalikan preload.

TINDAKAN PREVENTIF Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling. (Kleinman, 2006) prehidrasi dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun hanya dalam waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal. (Liguori, 2007) pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal. (Salinas, 2009)

Cont Hal ini disebabkan oleh karena waktu paruh kristaloid yang pendek, dimana saat mulai terjadinya hipotensi, kristaloid sudah mulai berdifusi ke ruang interstitial, sehingga tidak dapat mempertahankan venous return dan curah jantung. Berbeda dengan pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal, ternyata cara ini lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah jantung. (Mojica, et.al., 2002)

Cont Mengenai pemilihan cairan, Zorco, et al., dalam penelitiannya tentang efek posisi trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah jantung. koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka kejadiannya. (Zorco N., et al., 2009)

Cont pemberian ephedrine sebelum anestesi spinal juga dapat digunakan sebagai tindakan preventif terjadinya hipotensi. Dalam penelitiannya dengan pemberian 5 mg ephedrine IV (bolus) dapat mengurangi insidensi terjadinya hipotensi (Vercauteren, et al, 2000). Kol, et.al., dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa pemberian ephedrine 0.5 mg/kg sebagai profilaksis dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian ephedrine sebagai profilaksis dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dari 95 % menjadi 38 %. (Kol, et.al., 2009)

Penatalaksanaan hipotensi Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini disebabkan karena adanya datadata ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat ditoleransi pada pasien yang sehat. (Covino, 1994) Penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal tergantung pada penyebab dasarnya. Jika terjadi hipotensi secara mendadak yang kemudian diikuti dengan bradikardia dan nausea, hal ini mungkin disebabkan akibat vasovagal syncope. Atropine dapat diberikan pada keadaan ini, namun tidak seefektif bila diberikan vasopresor. (Covino,1994)

Cont pemberian kristaloid sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian preloading 500 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada beberapa penelitian lain tidak efektif. (Tsai, 2007) Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure, oedem paru, ataupun keduanya. (Tsai, 2007; Salinas, 2009)

Cont Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor. (Liguori, 2007; Salinas, 2009) Jika sudah ada indikasi penatalaksanaan dengan medikamentosa, vasopresor merupakan pilihan obat utamanya. Kombinasi dan adrenergik agonis lebih baik dari pada agonis murni dalam menangani penurunan tekanan darah, ephedrine merupakan obat pilihan utamanya. Dengan ephedrine curah jantung dan resistensi vaskuler perifer dapat meningkat, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. (Tsai, 2007)

Cont Cara yang efektif adalah dengan memposisikan pasien menjadi trendelenburg atau dengan head down. Posisi ini tidak boleh lebih dari 20 , karena dengan posisi trendelenburg yang terlalu ekstrim dapat menyebabkan penurunan prefusi cerebral dan dapat meningkatkan tekanan vena jugularis, dan bila ketinggian blok pada anestesi spinal belum menetap, posisi trendelenburg dapat meningkatkan ketinggian level blok pada pasien yang mendapatkan agen hiperbarik, yang dapat memperburuk keadaan hipotensinya. Hal ini dapat dihindari dengan menaikkan bagian atas tubuh menggunakan bantal dibawah bahu ketika bagian bawah tubuh sedikit dinaikkan diatas jantung. (Tsai, 2007; Salinas, 2009)

Algoritme penatalaksanaan hipotensi pada anestesi spinal : (Tsai, 2007)Pada pasien sehat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan kristaloid 500 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.

Cont Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di susunan saraf pusat Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb. Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 20 mg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV atau infus titrasi epinephrine 0.15 0.3 mcg/kg/min. Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 200 mcg IV, jika tidak ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine 0.15 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 0.1 mcg/kg/min.

EPHEDRINE Ephedrine memiliki efek kardiovaskuler seperti epinephrine, dapat meningkatkan tekanan darah, laju nadi, kontraktilitas, dan curah jantung. Ephedrine juga memiliki efek bronkodilator. Perbedaannya, ephedrine memiliki durasi yang lebih panjang, kurang poten, memiliki efek langsung maupun tidak langsung dan dapat menstimulasi susunan saraf pusat. Efek tidak langsung dari ephedrine dapat menstimulasi sentral, melepaskan norepinephrine perifer postsinaps, dan menghambat reuptake norepinephrine. (Morgan, 2006) Efek tidak langsungnya dapat meningkatkan vasokonstriksi dengan jalan meningkatkan pelepasan dari noradrenaline dan menstimulasi secara langsung kedua reseptor () beta untuk meningkatkan curah jantung, laju nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik. (Morgan, 2006)

Cont Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. (Morgan, 2006) Pada dewasa, dosis yang digunakan adalah 5 10 mg IV dengan durasi 5 10 menit atau 25 mg IM dengan durasi yang lebih panjang. Dapat pula diberikan dalam infus, dengan dosis 25 30 mg ephedrine dalam 1 liter ringer laktat. Dosis untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.1 mg/kg. (Morgan, 2006; Salinas, 2009)

PHENYLEPHRINE Obat ini bersifat langsung dan dominan terhadap 1-agonis reseptor, dengan dosis tinggi dapat menstimulasi 2 dan reseptor. Efek utamanya adalah vasokonstriksi perifer, dan dapat meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arteri. Phenylephrine dapat menimbulkan reflek bradikardi, sehingga dapat menyebabkan penurunan curah jantung. (Morgan, 2006; Salinas, 2009) Dengan pemberian dosis 50 100 g (0.5 1 g/kg) secara cepat dapat mengembalikan hipotensi yang disebabkan vasodilatasi perifer akibat anestesi spinal. Dengan infus kontinyu (0.25 1 g/kg/min) dapat mempertahankan tekanan darah arteri, namun dapat menurunkan renal blood flow. (Morgan, 2006; Salinas, 2009)

NOREPINEPHRINE Norepinephrine dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah arteri maupun vena, hal ini dipicu oleh stimulasi langsung pada reseptor 1 ketika tidak adanya aktivitas 2. Norepinephrine mempunyai efek terhadap 1 yang dapat meningkatkan kontraktilitas miokard, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah arteri. Norepinephrine memiliki efek menurunkan renal blood flow dan meningkatkan kebutuhan miokard akan oksigen, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan syok refrakter. Ekstravasasi dari norepinephrine dapat menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan. (Morgan, 2006) Norepinephrine dapat diberikan dengan dosis 0.1 g/kg, atau dapat dengan infus kontinyu dengan dosis 4 mg dalam 500 ml D5 dengan kecepatan 2 20 g/min. (Morgan, 2006)