19
1 HIRARKI ONTOLOGIS BAHASA AL-QUR’AN Dadan Rusmana A. Prawacana ahyu pada dasarnya merupakan bagian dari âyât Allah yang verbal, namun bersifat khusus. Secara konseptual, wahyu sangat menonjol dan berbeda dengan dari bentuk âyât Allah lainnya, baik yang verbal maupun non-verbal. Oleh karenanya, untuk keperluan analisis, wahyu dianalisis secara independen. Di dalam al- Qur'an, wahyu memperoleh kedudukan yang sangat khusus, sesuatu yang misterius, dan rahasia yang tidak dapat diungkap oleh pikiran manusia. Untuk itulah maka diperlukan perantara yang disebut "Nabi". Salah satu ciri khas wahyu adalah klaim tiga agama besar yang berinduk pada agama Semitik, Yahudi, Kristen, dan Islam; ketiganya memandang bahwa sumber sejarahnya, jaminan akhir, kebenaran pengalaman religius orang beriman terletak pada fakta Allah yang telah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia. Dalam al-Qur'an, wahyu seringkali disamakan dengan parafrase sebagai kalâm Allah (Fiman 1 Allah). Allah mewahyukan melalui bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti, bukan menggunakan bahasa non-manusia yang misterius. Inilah fakta awal dan menentukan. Tanpa diawali dengan perbuatan Allah, maka tidak akan ada agama yang sesungguhnya di bumi; demikianlah klaim tiga agama besar. Tidaklah heran, sejak awal Islam sangat sadar dengan bahasa, terutama dalam konteks wahyu Allah. Doktrin dan seluruh kebudayaan Islam tidaklan akan muncul tanpa adanya fakta sejarah bahwa manusia disapa Allah dengan bahasa yang ia ucapkan sendiri. Oleh karena itu, wahyu (firman Allah), pada dasarnya, merupakan konsep linguistik. Namun, persoalan Allah "menurunkan" Kitab bukanlah persoalan simplistis. 1 Istilah firman dalam bahasa Indonesia, secara etimologis, mungkin berkaitan dengan istilah sermon dan ceremony.

Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Menelisik sisi ontologis bahasa al-Qur'an, terutama dalam relasi komunikasi antara Allah, Nabi, dan manusia

Citation preview

Page 1: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

1

HIRARKI ONTOLOGIS BAHASA AL-QUR’ANDadan Rusmana

A. Prawacanaahyu pada dasarnya merupakan bagian dari âyâtAllah yang verbal, namun bersifat khusus. Secara konseptual, wahyu sangat menonjol dan berbeda dengan dari bentuk âyât Allah lainnya, baik yang

verbal maupun non-verbal. Oleh karenanya, untuk keperluan analisis, wahyu dianalisis secara independen. Di dalam al-Qur'an, wahyu memperoleh kedudukan yang sangat khusus, sesuatu yang misterius, dan rahasia yang tidak dapat diungkap oleh pikiran manusia. Untuk itulah maka diperlukan perantara yang disebut "Nabi".

Salah satu ciri khas wahyu adalah klaim tiga agama besar yang berinduk pada agama Semitik, Yahudi, Kristen, dan Islam; ketiganya memandang bahwa sumber sejarahnya, jaminan akhir, kebenaran pengalaman religius orang beriman terletak pada fakta Allah yang telah mewahyukan Diri-Nya kepada manusia. Dalam al-Qur'an, wahyu seringkali disamakan dengan parafrase sebagai kalâm Allah (Fiman1 Allah). Allah mewahyukan melalui bahasa manusia yang jelas dan dapat dimengerti, bukan menggunakan bahasa non-manusia yang misterius. Inilah fakta awal dan menentukan. Tanpa diawali dengan perbuatan Allah, maka tidak akan ada agama yang sesungguhnya di bumi; demikianlah klaim tiga agama besar.

Tidaklah heran, sejak awal Islam sangat sadar dengan bahasa, terutama dalam konteks wahyu Allah. Doktrin dan seluruh kebudayaan Islam tidaklan akan muncul tanpa adanya fakta sejarah bahwa manusia disapa Allah dengan bahasa yang ia ucapkan sendiri. Oleh karena itu, wahyu (firman Allah), pada dasarnya, merupakan konsep linguistik. Namun, persoalan Allah "menurunkan" Kitab bukanlah persoalan simplistis.

1 Istilah firman dalam bahasa Indonesia, secara etimologis, mungkin berkaitan

dengan istilah sermon dan ceremony.

Page 2: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

2

B. Karakteristik Bahasa al-Qur’an

1. Aspek Langue dan Parole Bahasa Al-Qur’anMenurut pengertian tekhnis yang sempit, istilah wahyu

(kalâm) dapat dibedakan dengan bahasa (lisân). Dengan menggunakan terminologi Saussurian, kalâm dan lisân dalam bahasa Arab dapat disejajarkan dengan konsep bahasa Perancis; masing-masing parole dan langue; bahwa kalâm merupakan sisi parole, sedangkan lisân merupakan sisi langue.2 Aspek parole wahyu sebagai kalam sudah banyak disinggung di atas, deskripsi di bawah ini ditekankan pada wahyu al-Qur'an sebagai sebuah konsep langue.

Dalam terminologi Saussurian, langue merupakan suatu sistem isyarat verbal yang telah dikenal menurut kesepakatan bersama sebagai alat komunikasi di antara semua orang yang menjadi anggota sebuah masyarakat. Langue merupakan kenyataan sosial (fact social) sebagaimana didefinisikan Emile Durkheim dalam Sosiologinya. Ia merupakan sistem simbolik masyarakat, di mana setiap anggota masyarakat harus menggunakannya dalam berbicara dengan orang lain bila ia ingin dirinya dimengerti. Tidak ada komunikasi linguistik kecuali jika dua orang terlibat dalam pembicaraan (kalâm) yang menggunakan sistem isyarat yang sama.

Al-Qur'an menunjukkan kesadaran yang sangat jelas terhadap fakta bahasa sebagai langue ini. al-Qur'an juga mendasarkan konsepsi wahyunya dan tugas kenabian berdasarkan gagasan ini. Konsepsi tersebut dimulai dari pengenalan fakta setiap qaum (golongan) memiliki languemasing-masing, terutama kaitannya dengan fenomena prophetik. Dalam QS. Ibrahim (14):4 disebutkan:

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.

2 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1997,

hlm. 166.

Page 3: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

3

Karena bangsa-bangsa di dunia berbeda dalam warna kulit, maka mereka berbeda pula dalam bahasa [QS. al-Rûm (30):22]. Mereka tidak akan saling memahami, yakni komunikasi tidak akan terjadi bila tidak ada bahasa yang dimengerti [QS. al-Kahfi (18):93]. Untuk itu dikatakan mengapa seorang Nabi berbahasa Arab diturunkan di Arab dengan wahyu berbahasa Arab.

Kami telah menurunkan al-Qur'an ini dalam bahasa Arab agar kamu memahaminya" [QS. Yûsuf (12):2]

Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan dari Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh rûh al-Amîn (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, bi lisânin 'arabiyyin mubinin (dengan bahasa Arab yang jelas)" [QS. al-Syu'arâ' (26):192-195].

Karena bila Allah memberikan wahyu-Nya bukan dalam bahasa Arab, maka orang pun tidak mau mempercayainya, karena mereka sama sekali tidak memahaminya. Demikian pula, bila Allah mewahyukan al-Qur'an berbahasa Arab ini kepada nabi yang tidak berbahasa Arab, kemudian ia membacakannya dalam bahasa Arab kepada kaumnya, tentu saja mereka tidak akan memahaminya, dan oleh karena itu mereka tidak akan mempercayainya.

Dan jikalau al-Qur'an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya". Apakah (patut al-Qur'an) dalam bahasa asing (a'jamiyyun) sedangkan (rasulnya adalah orang) Arab ('arabiyyun)? [QS. Fushshilat (41):44].

Dan kalau al-Qur'an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia

Page 4: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

4

membacakannya kepada mereka (dalam bahasa Arab) niscaya mereka tidak akan beriman kepadanya [QS. al-Syu'arâ' (26):198-199].

Al-Qur'an menjelaskan mengenai adanya tuduhan orang Arab yang menyangkal al-Qur'an bukan wahyu Ilahi, tetapi diambil Muhammad saw. dari orang Yahudi dan Kristen. Al-Qur'an membantah tuduhan ini dengan menegaskan bahwa al-Qur'an turun dalam bahasa Arab murni (fusha) Arab yang jelas (lisânun 'arabiyyun mubînun) dan siapapun yang tidak berbahasa Arab (a'jamîy) tidak akan mampu mengajar Muhammad dengan bahasa Arab murni yang jelas.

Dalam kategori ini, dapat dikatakan bahwa wahyu merupakan parole Allah; Wahyu = kalâm Allâh (parafrasa yang sering muncul dalam al-Qur'an). Dalam QS. al-Taubah (9):6 dan QS. al-Baqarah (2):75 dapat dibaca:

Dan jika ada seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalâm Allâh (firman Allah)[QS. al-Taubah (9):6].

Apakah kamu masih mengaharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui [QS. al-Baqarah (2):75].

Secara kontekstual, kalâm Allah pada kedua ayat ini mengacu kepada apa yang telah diucapkan dan dikatakan (atau diwahyukan) kepada nabi.

2. Tipologi-Dikotomik ‘Arab dan ‘AjamSatu hal yang perlu dieliminir adalah mengenai tipologi

'arab dan 'ajam. Arab kuno membagi manusia menjadi dua kelompok, yaitu Arab dan non-Arab. Kedua konsep ini bukan semata-mata bersifat linguistik, tetapi juga berdasarkan nasabdan ras; namun faktor dominannya adalah bahasa. Pada

Page 5: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

5

kategori a'jamîy adalah orang-orang yang tidak berbicara dengan bahasa Arab. Sekalipun seorang Arab asli namun bilatidak dapat berbicara Arab maka ia termasuk a'jamîy. Dalam pandangan beberapa ahli leksikografi, terdapat perbedaan antara a'jamîy dengan 'ajamîy. Yang pertama berarti seseorang yang tidak dapat berbicara bahasa Arab, sekalipun secara rasial ia benar-benar Arab. Yang kedua berarti seseorang yang secara rasial bukan orang Arab, baik berbahasa Arab atau tidak.

Pada masa jahiliyah, akar kata 'jm mempunyai makna dasar "orang yang berbicara samar-samar (tidak jelas)", baik permanen atau kadang-kadang, karena orang tersebut adalah orang asing. Sajak karya al-Husayn bin al-Human menjelaskan fenomena tersebut:

Dan mereka berkata, "Lihat benar-benar, dapatkah kau melihat antara Darij dan rainpit dari akuff seseorang yang berteriak minta tolong yang suaranya tidak jelas (a'jam)?"3

Di sini 'ajam berarti seseorang yang kehilangan suaranya karena berteriak minta tolong begitu lama, namun sia-sia. Apabila pembicaraan sangat tidak jelas, maka makna pembicaraan tersebut disamakan dengan diam (ista'jama). Dalam hadits terdapat kata-kata ھ ھ قراءت تعجمت علی maknaاسharfiahnya "diam dari membaca (kitab suci)", dalam pengertian seseorang yang tak dapat meneruskan bacaannya karena diserang kantuk berat saat membaca al-Qur'an.

Kata a'jam juga dikaitkan dengan (bahasa) binatang, hewan ternak, atau binatang buas. Dalam sebuah hadits disebutkan ار ا جب اء جرحھ Kata al-'ajmâ di sini merupakan bentuk .العجمfeminim dari a'jam yang berarti bahîmah (binatang). Makna hadits ini berkaitan dengan "luka atau kematian yang disebabkan binatang buas tidak harus dikenakan hukum pembalasan (jubâr).

Penggunaan kata a'jam di atas menunjukkan bahwa siapa saja atau apa saja yang tidak mampu berbicara jelas seperti

3 Al-Mufaddaliyyât, juz XII, sajak 36, t.t.

Page 6: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

6

manusia umumnya disebut a'jam. Istilah ini mungkin pula bermakna pejoratif, artinya orang Arab memandang rendah terhadap orang yang tidak berbahasa Arab, karena fanatisme kebahasaan mereka bahwa bahasa Arab adalah bahasa paling kaya, paling indah, dan paling sempurna di seluruh dunia. Bagi mereka, tidak bisa berbicara bahasa sempurna sama halnya dilahirkan dalam keadaan bisu atau mungkin sejajar dengan binatang.

Sangat mengagumkan bahwa ditengah-tengah dunia semacam itu, al-Qur'an mengambil sikap yang adil dan tidak memihak dalam masalah ini. Al-Qur'an tidak memandang bahasa Arab lebih unggul daripada bahasa non-Arab. Memang benar bahwa pada saat bangkitnya Islam posisi bahasa Arab benar-benar memiliki posisi khusus sebagai bahasa wahyu Ilahi. Namun, hal tersebut bukan merupakan pernyataan akan keunggulan bahasa Arab, termasuk di dalamnya tidak ada pernyataan keunggulan ras dan budaya Arab.

Pandangan Al-Qur'an mengenai masalah ini didasarkan pada kesadaran kultural yang jelas di mana setiap bangsa memiliki behasanya masing-masing, dan bahasa Arab merupakan bahasa orang Arab. Bila Allah memilih bahasa ini, hal ini bukan karena nilai intrinsiknya sebagai sebuah bahasa, tetapi semata-mata hanya kegunaannya, karena wahyu tersebut mula-mula ditujukan kepada orang yang berbahasa Arab. Dijelaskan dalam al-Qur'an bahwa kitab ini diwahyukan dalam bahasa Arab agar manusia memahaminya [QS. Yûsuf (12):2].

Sekalipun al-Qur'an selalu menekankan bahwa ia berbahasa Arab, tetapi tidak menganggap bahasa Arab per se sebagai manifestasi superioritas bahasa. Setiap kali wahyu Allah turun maka ia akan turun dalam bahasa qaum tersebut. Misalnya, ketika Allah mengirimkan wahyu-Nya kepada Bani Israil dalam bentuk Taurat, Dia memilih bahasa Ibrani sebagai alat menyampaikan pesannya.

Namun, dapat dipahami mengapa orang-orang Arab berpandangan bahwa dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa wahyu al-Qur'an membuktikan keunggulan bahasa Arab atas

Page 7: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

7

bahasa lainnya. Mereka memandang bahwa bahasa Arab dipilih sebagai bahasa wahyu disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena kegunaan pragmatisnya. Oleh karena itu, bagi mereka bahasa Arab adalah bahasa sakral.4 Dengan demikian, bahasa Arab qua bahasa berakhir dengan mengambil nilai agama yang tinggi.

Fanatisme 'ashabiyah (bahasa dan ras) Arab ini memuncak pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasyiah. Fanatisme 'ashabiyyah ini akhirnya berhadapan dengan syu'ubiyyah. Gerakan syu'ubiyyah banyak dicetuskan oleh orang a'jam (terutama Persia dan Turki). Bagi syu'ubuyyah, semua muslim itu sederajat, tanpa disekat ras, suku, bangsa, bahasa, dan budaya. Dalam bahasa, mereka berusaha melakukan desakralisasi bahasa Arab.5

3. Pemaknaan Relasional Term WahyuTerm wahyu seringkali dikaitkan dengan term tanzîl. Kata

terakhir ini, nzl, tidak pernah dipergunkan untuk menyebut peristiwa tindakan komunikasi manusia dengan manusia. Makna dasarnya, nzl bermakna "turun"; sedangkan tanzîl bermakna "menyebabkan (sesuatu) turun. Oleh karena itu, nzl dan tanzîl mensyaratkan adanya komunikasi antara dua unsur dalam hierarki yang berbeda, yaitu hierarki atas dan hierarki bawah. Kesan serupa seringkali muncul ketika memahami parafrasa nuzûl al-Qur'ân.6

Al-Qur'an juga menggunakan kata-kata lain untuk menyebut wahyu, yaitu kalimah (bermakna "kata"; seakar dengan kalâm, yaitu kalama), dan qaul (perkataan; berasal dari kata qâla). Penggunaan kalimah dapat ditemukan dalam QS. al-Syûrâ (42):24 sedangkan penggunaan kata qaul dapat ditemukan dalam QS. al-Muzzammil (73):5:

4 Toshihiko Izutsu, op.cit., hlm. 2125 Ibid, hlm. 2126 Di Indonesia dan beberapa negera Muslim seringakli memperingati nuzul al-

Qurân pada tanggal 17 Ramadhan. Istilah nuzûl al-Qur'an seringkali dikesani bahwa al-Qur'an turun dari langit.

Page 8: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

8

Dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimâtihi (kata-kata-Nya) [QS. al-Syûrâ (42):24].

إنا سنلقى علیك قوال ثقیال

"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu qaulan tsaqîla (perkataan yang berat) [QS. al-Muzzammil (73):5.

Perlu dieliminir dari dua ayat ini bahwa Allah menggunakan wahyu-Nya sendiri dengan kata kalimat (perkataan) dan qaul (perkataan), dua buah kata yang merujuk pada istilah "pembicaraan" yang bersifat manusiawi; sekalipun dalam ayat kedua kemudian disifati dengan tsaqîla (berat).

Dengan demikian, wahyu pada hakikatnya merupakan kalâm(firman); kalau tidak, al-Qur'an tentu tidak akan menggunakan parafrasa kalâm Allâh, kalimah, atau qaul untuk melukiskan wahyu. Oleh karena itu, sulit untuk menolak kesimpuan bahwa sekalipun wahyu itu merupakan sesuatu yang misterius dan tidak memiliki kesamaan dengan perilaku bahasa manusia umumnya, namun karena ia merupakan kalâm (perkataan), tentunya juga, memiliki semua sifat-sifat penting perkataan manusia.7

C. Wahyu dalam Komunikasi: Hirarki Ontologis

1. Hambatan Status Ontologis dalam Pemahaman WahyuWahyu dapat dikategorikan sebagai fenomena linguistik

yang non-ilmiah. Hal ini disebabkan karena pembicaranya adalah Allah dan pendengarnya adalah manusia. Ini berarti bahwa pembicaraan yang terjadi di sini adalah antara tataran wujud supranatural dan tataran wujud natural, sehingga tidak ada keseimbangan ontologis antara pembicara dan pendengar.

Dalam situasi saling memberi dan menerima yang wajar, komunikasi linguistik mempersyaratkan adanya kesejajaran

7Ibid, hlm. 168.

Page 9: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

9

ontologis. Misalnya, seorang manusia berbicara dan dipahami oleh manusia lainnya. Tentu tidak ada komunikasi linguistik antara seorang manusia dengan, katakanlah, hewan (kecuali dalam metafora), karena tidak ada kesejajaran wujud antara keduanya. Paling-paling yang dapat dihasilkan adalah berupa pertukaran isyarat non-verbal atau isyarat ekstra-linguistik.

Salah satu contoh komunikasi non-verbal dapat ditemukan dalam Mu'allaqah karya 'Antarah. 'Antarah menggambarkan kesedihannya ketika kuda yang sangat disayanginya mati di medan pertempuran,

Kemudian ia mengeluh kepadaku dengan mengucurkan air mata dan merengek sedih. Seandainya ia bisa berkata-kata, ia akan menyatakan rasa sakitnya. Seandainya ia tahu bagaimana berbicara, ia akan berbicara kepadaku."8

Seorang manusia dan seekor binatang tidak dapat berkomunikasi satu sama lainnya secara linguistik karena dua alasan. Pertama, tidak adanya sistem isyarat yang sama dan disepakati. Kedua, perbedaan hakiki sifat ontologisnya. Dalam kasus wahyu al-Qur'an, hambatan pertama berkaitan dengan sistem isyarat yang sama digantikan oleh kenyataan bahwa bahasa Arab dipilih oleh Allah sendiri sebagai media komunikasi antara Allah dan manusia. Allah (A) berbicara kepada Muhammadd (B) dengan menggunakan bahasa Muhammad (B). Dengan demikian terjadi perilaku bahasa yang konkret dalam bentuk kata-kata (kalâm) atau la parole9 dalam linguistik modern.

Tetapi hambatan yang kedua, yakni hambatan kesejajaran ontologis antara Allah dan Manusia tidak mudah diekplanasikan. Inilah salah satu ciri khas fenomena wahyu al-

8 Al-Mu'allaqât, ed. Aug. Arnold (Septem Mo'allakât). Leipzig, 1850 sajak 68-

69.9 Menurut terminologi Saussurian, parole adalah komunikasi linguistik yang

terjadi dalam situasi kongkret antara dua orang, salah seorang di antaranya memainkan peranan aktif, sedangkan yang lainnya memainkan peranan pasif (A B). Inilah yang dimaksudkan dengan kalâm, yang juga dikenakan dalam konsep wahy.

Page 10: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

10

Qur'an, karena komunikasi linguistik benar-benar terjadi di antara dua wujud eksistensi yang berbeda.10 Di sini Allah (A) dan Muhammad (B) tidak berhadapan secara horizontal, namun bersifat vertikal. Dalam linguistik modern disebutkan bahwa ketidaksejajaran ontologis akan menyebabkan komunikasi linguistik akan terhambat atau bahkan tidak terjadi. Oleh karena itu, menurut Toshihiko Izutsu, supaya terjadi komunikasi lnguistik yang sebenarnya harus terjadi sesuatu yang luar biasa baik pada Allah (A) atau Muhammad (B).11

Persoalan perbedaan status ontologis ini sangat disadari oleh para sarjana Muslim. Al-Kirmani, misalnya, mengatakan, "wahyu merupakan komunikasi verbal antara Allah dan manusia, namun secara teoritik tidak memungkinkan pertukaran kata (al-Tahâwur), pengajaran (ta'lîm), ataupun belajar (ta'allum). Hanya saja disadari oleh kedua belah pihak (terlebih pihak kedua) adanya bentuk persamaan pasti, yaitu hubungan (munabah) dari pembicara (al-aqâil) dan pendengar (al-sâmi').12

Lalu bagaimana hubungan luar biasa antara Allah dan manusia terwujud? Menurut al-Kirmani ada dua kemungkinan, Pertama, pendengar (B) mengalami transformasi personal yang

10 Ibid, hlm. 170-1.11 Ibid, hlm. 183.12 Syams al-Dîn Muhammad bin Yusuf 'Ali al-Kirmani (786 H), Syarh al-

Bukhari, Vol. I, Kairo, 1939, hlm. 28.

Allah (A)

Muhammad (B)

Page 11: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

11

mendalam di bawah pengaruh kekuatan spiritual pembicara (A), atau kedua, pembicara turun dan menggunakan atribut pendengarnya. Al-Kirmani menambahkan bahwa kedua kemungkinan ini terjadi pada kasus Muhammad saw.

Kategori pertama ditunjukkan oleh kasus Muhammad saw. yang mendengar suara lonceng berdentang atau seperti suara lebah yang berdengung. Sedangkan kategori kedua ditunjukkan oleh hadits dan al-Qur'an yang menyatakan bahwa Muhammad saw. melihat utusan dari langit atau Malaikat.

Berdasarkan eksplansi al-Kirmani di atas, Toshihiko Izutsu menyatakan bahwa bentuk khusus "hubungan" munasabahdalam wahyu mempersyaratkan adanya tranformasi drastis, yang dapat dikatakan sebagai denaturalisasi kepribadian manusia. Di sini sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia atau bahkan sesuatu yang bertentangan dengan hakikat dirinya, dan menghampirinya. Ini benar-benar membuat Muhammad merasa sakit dan tersiksa, baik jasmani maupun ruhani.13

Sementara itu, Ibn Khaldun memberikan penjelasan mengenai fenomena terakhir ini. Menurutnya, fenomena sakitnya secara fisik ini disebabkan karena kenyataan dalam pengalaman supranatural ini ruhani manusia pada hakikatnya tidak disiapkan untuk mengalami hal semacam itu, untuk sementara waktu dipaksa untuk meninggalkan kemanusiaannya (al-basyaraiyyah) ditukar dengan sifat malaikat (al-malakiyah), sehingga untuk sementara waktu benar-benar menjadi bagian dari dunia malaikat sampai kembali pada kemanusiaannya lagi.

2. Weltanschauung Masyarakat Arab pra-Islam tentang Fenomena Wahyu

13 Berbagai hadits memberitakan tentang keadaan ini. 'Aisyah meriwayatkan,

"Saya melihat beliau (Muhmmmad saw.) ketika wahyu turun pada saat hari sangat dingin. Pada kening belaiu terlihat butiran-butiran keringat." Hadits lain menyebutkan bahwa ketika wahyu turun, wajahnya menjadi gelap; kadang-kadang beliau jatuh ke tanah seperti pingsan; kadang-kadang belau merintih seperti unta atau sapi, dll.

Page 12: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

12

Tentu saja penjelasan teoritis atau filosofis terhadap fenomena tersebut, seperti diungkapkan al-Kirmani dan Ibn Khaldun di atas, bukanlah merupakan cara pendekatan orang Arab. Orang-orang Arab Jahiliyah, secara simplistis, menyebut fenomena ini sebagai tajnin (kesurupan oleh jin), yang menurut mereka tidak ada keistimewaannya bagi orang Arab atau Semit; atau dalam dunia modern, fenomena ini tidak lebih hanya merupakan samanisme. Beberapa wujud supranatural yang tidak terlihat, ruh atau Tuhan, secara tiba-tiba masuk dan meminjam tubuh seseorang untuk mengutarakan kata-kata--bisanya saja-- yang seringkali tidak dapat ditiru oleh manusia normal. Orang yang dirasuki jinn ini disebut majnûn (artinya "dirasuki jinn").14

Fenomena seperti itu dianggap biasa oleh Arab jahilyah karena para kahin (dukun) dan penyair menampakkan hal serupa, yang kapan saja dapat dimasuki kekuatan supranatural. Inilah satu-satunya bentuk inspirasi verbal yang dikenal oleh orang Arab pagan. Dalam masyarakat Arab pagan, konsep syâ'ir (penyair) dimaknai sebagai "orang yang memperoleh ilham". Term syâir berasal dari kata kerja sya'ara atau sya'ura yang berarti orang "yang merasakan"15 atau "memiliki pengetahuan tentang", terutama memiliki pengetahuan tentang dunia yang tidak terlihat (ghaib). Pengetahuan tentang dunia yang tidak terlihat ini merupakan hasil dari keakraban dengan wujud supranatural, jinn. Dengan demikian, syair pada tahap ini bukan merupakan "seni", tetapi "pengetahuan" supranatural yang bersumber dari komunikasi langsung dengan jinn.

Oleh karena itu, pada masa jahiliyah klasik, penyair hampir diidentikkan dengan kahin disebabkan keidentikan sya'ir dengan praktek samanisme primitif (perdukunan). Baru pada masa jahiliyah akhir, menjelang kelahiran Islam, syair diperhalus ke dalam bentuk seni dan mulai terpisah dari samanisme. Penyair-penyair besar Arab jahiliyah seperti Imr'

14 Toshihiko Izutsu, op.cit., hlm. 185.15 Montgomery Watt, Bell's Introduction to The Quran, Edinburg University,

1991, hlm.85.

Page 13: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

13

al-Qais, Tarafah, Nabighah, Alqamah, dll tidak lagi sebagai orang-orang saman, melainkan benar-benar sebagai seniman.16

Namun, karya mereka tetap merupakan gagasan sporadis yang diwarnai gagasan lama, terutama dalam cabang syair yang disebut al-hija, sejenis syair satir (bertuah magis) berdasarkan gagasan kata-magis primitif.

Kedudukan penyair, di kalangan Arab jahiliyah, sangat strategis baik pada masa damai atau masa perang. Masa damai, penyair biasanya dianggap sebagai pemimpin pengembara karena pengetahuan supranaturalnya. Dalam kaitan ini, syâir identik dengan qâ'id (kepala suku). Sedangkan pada masa perang, ia dianggap lebih kuat dari prajurit, karena mantra-mantranya yang jauh lebih berbahaya dari pada anak panah beracun sekalipun.

Dari pandangan Arab jahiliyah tersebut, dapat dimengerti mengapa mereka menuduh nabi Muhammad saw. sebagai syâ'irun, kâhin, majnûn, atau asâthîr awwalîn.17 Terlebih lagi, Nabi Muhammad saw. menampakkan gejala yang sama dengan orang yang dirasuki jinn (majnûn) ketika menerima wahyu. Bagi mereka, pengakuan Muhammad saw. yang mendapat ilham melalui wujud supranatural dipandang sama bersumber dari jinn. Dalam al-Qur'an ditemukan:

Bahkan mereka berkata (pula) '(al-Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannnya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu [QS. al-Anbiyâ (21):5].

Dan mereka berkata, 'Apakah sesungguhnya kami meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? [QS. al-Shâffât (37):36].

Oleh karena itu, al-Qur'an memandang perlu membantah dan menjustifikasi bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang

16 Toshihiko Izutsu, op.cit, hlm. 18517 Montgomery Watt, op.cit., , hlm. 88.

Page 14: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

14

kâhin atau seorang yang diberi inspirasi oleh sebangsa jin (majnûn). Al-Qur'an menegaskan diegaskan:

Dan Kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang yang dimasuki jinn! QS.al-Thûr (52):29

Dan al-Qur'an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya [al-Hâqqah (69):42).

Ada perbedaan mendasar antara kâhin dan syâ'ir (penyair). Kâhin selalu mengucapkan kata-katanya dengan bentuk ritmik tertentu yang dikenal sebagai saj', yang merupakan bentuk ekspresi pra-syair. Artinya, bentuk saj' itu merupakan tahap awal Puisi Arab yang lahir jauh sebelum rajaz. Saj' berada di antara syair dan prosa pada percakapan sehari-hari; atau mungkin dapat dikategorikan sebagai prosa bersajak yang hampir mirip dengan puisi dari segi pengulangan irama, walaupun berbeda dari segi kandungan magisnya. Saj' terdiri dari serangkaian kalimat pendek dan padat, biasanya bersama dengan irama tunggal, tetapi (berbeda dengan puisi) saj'mempunyai kekuatan magis karena dianggap bersumber dari kekuatan supranatural, terutama jinn.

Kata saj' itu sendiri berhubungan dengan kata shag' , yang secara etimologis dan sal-usulnya berarti "bunyi berdekut burung dara dan merpati". Suara ini seringkali dihubungkan dengan suara jinn. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari 'Aisyah yang melukiskan suara kâhin, Nabi Muhammad saw. bersabda, "Ia (jinn) mengketok-ketok (yuqarqiru) ke telinga teman-temannya seperti suara ketok (qarqarah)18 seekor ayam jantan".19

Sebagai contoh, sebuah saj' dari kâhin Satih yang menggambarkan bahwa pada saat dirasuki makhluk halus

18 Kata ini menjadi kata asal kata Sunda "kongkorongok" yang menggambarkan

suara ayam jantan.19 Al-Bukhari, Shahîh al-Bukharî, Bâb al-Tauhîd, jilid I, Dar al-Fikr t.t. hlm. 10

Page 15: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

15

dirinya terlipat seperti pakaian sehingga seluruh tubuhnya seperti tidak bertulang kecuali kepalanya20:

Kau lihat sebuah arang hitam رأیت حممھyang muncul dari kegelapan malam خرجت من ظلمھyang menyala di tanah landai ke arah laut فوقعت بأرض تھمھ dan melahap apa saja yang memiliki فأكلت منھا كل ذات جمجمھ

kepala

Seorang kâhin meramal tentang kemenangan oleh Raja Ethiopia (Habsyi) kalau menginvasi Yaman, kâhin itu menguatkan ramalannya dengan saj' :

والسقف Demi senjakalaوالغسق Demi gulitaوالفلق Demi fajarإذا اتسق Bila terang merekahإن ما أنبأتك بھ لحق Sungguh apa yang kuceritakan adalah

kebenaran

Dalam kaitan dengan saj' ini, dapat dimengerti mengapa al-Qur'an pada fase awal, terutama fase Makkah awal, turun dalam formasi yang mirip saj' ini. Hal ini, dimungkinkan untuk memenuhi selera atau menarik perhatian Arab Jahiliyah yang sangat gemar dengan sya'ir, yang sebagiannya adalah saj'.Penting pula diperhatikan bahwa bentuk inspirasi (ilham) dari

20 Ibn Ishâk-Ibn Hisyâm, Sirâh Rasûl Allah, Jilid I, Dar al-Fikr, t.t. hlm. 10-11.

Jinn

Sya'ir

Page 16: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

16

jinn tersebut selalu dirasakan oleh penyair sebagai sesuatu yang "turun" dari atas, yakni udara.

Mengenai aspek inspirasi syair ini, kata nuzûl (kata kerjanya nazala berarti turun) merupakan kata yang sering digandengkan dengan ilham tersebut. Hal ini juga merupakan sebab mengapa wahyu al-Qur'an sering dihubungkan dengan kata al-Tanzîl atau kata nuzûl (dalam konteks nuzûl al-Qur'ân). Berkenaan dengan ini, misalnya Hassan Ibn Tsabit melukiskan pengalaman puitisnya:

تلقیت من جّو السماء نزولھا * عّجت بلیل رزینة 21وقافیة Seringkali sajak yang penting dan berat yang bergema di malam hari; seringkali aku menerima ia turun (harfiahnya nuzûl) dari udara. 22

Bila dicoba menganalisis ciri khusus wahy al-Qur'an dibanding dengan sya'ir jahili (terutama yang kental dengan samaninsme primitifnya), menurut Toshihiko Izutsu, maka akan terlihat dua persoalan menonjol yang harus diperhatikan. Pertama, bahwa kata-kata al-Qur'an, pada hakikatnya, tidak ada kaitannya dengan ramalan tentang masa depan. Kedua, bahwa kata-kata al-Qur'an tidak memiliki kaitan dengan masalah magis.23

Menyangkut persoalan pertama, seorang nabî menurut konsepsi al-Qur'an bukanlah seorang peramal masa depan. Di dalam al-Qur'an, berita yang dibawa oleh seorang nabî selalu berita ghayb (dunia Allah yang kasat mata). Aktivitas kenabian selalu terpusat di sekitar penyampaian perintah Allah. Tentu saja dalam kaitan tertentu, gambaran detail tentang surga dan neraka di Akhirat dapat dikatakan gambaran masa depan.

21 Kata qâfiyah dalam konteks semacam ini tidak hanya bermakna "bersajak" atau

"perkataan bersajak" sebagaimana yang digunakan di Arab di kemudian hari, tetapi lebih tepat maknanya sebagai kata-kata yang memiliki kekuatan magis yang diucapkan dalam bentuk sajak, sejenis mantra, seperti kata carmen (charmed) dalam Latin Kuno

22 Hasan Ibn Tsabit, Diwân, ed. Hirchfeld, 1910, hlm. 79.23 Toshihiko Izutsu, op.cit, hlm. 201-202

Page 17: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

17

Tetapi, hal ini sangat berbeda sifatnya dengan gambaran tentang masa depan yang akan terjadi pada orang atau bangsa tertentu sebagaimana terjadi pada nabi-nabi Ibrani yang sedah mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tetapi kaitan hal ini tidak mudah dipahami oleh sebagian besar orang Arab masa Muhammad saw. Dalam benak mereka, konsep nabî tampaknya masih dipahami secara samar-samar, bahkan dikacaukan dengan konsep kâhin.

Sedangkan menyangkut persoalan kedua, bahwa kata-kata al-Qur'an tidak memiliki kaitan dengan magis, menjadi penting untuk membedakan wahyu Islam dengan semua bentuk samanisme Arab, seperti syair dan ramalan. Pada zaman pra-Islam, saj' (yang merupakan gaya dari semua inspirasi) dan rajaz (bentuk puisi pertama yang dikembangkan berdasarkan saj') telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan magis; semacam mantera-mantera atau jampi-jampi. Pada zaman kuno, kata-kata yang diucapkan dalam baris-baris yang teratur dan irama yang berulang-ulang diyakini memiliki kekuatan magis yang kuat. Dalam beberapa hadits, Nabi Muhammad saw. mengakui kekuatan yang dimiliki sajak. Nabi saw. pernah mengomentari seorang penyair, Hasan Ibn Tsabit:

syairmu lebih berbahaya bagi musuh kami daripada anak panah yang dilepaskan di kegelapan malam.24

Pendek kata, penyair itu dihormati dan ditakuti pada masa pra-Islam, tertama karena kekuatan magis yang dilepaskan terhadap musuhnya, baik secara perorangan maupun kesukuan.

Ada hal tertentu yang membuat bentuk sifat dan struktur bahasa syair hampir sama dengan al-Qur'an; yaitu kata-kata dari penyair dan nabi membentuk entitas objektif--suatu sparcwerk. Kata-kata yang diucapkan itu harus dihafal secara tepat dan disampaikan kepada orang lain dalam bentuk yang asli. Sebuah syair bersumber dari supranatural, Jinn. Ketika ia

24 Mutatruf, LXVI, 11, 189. Lihat juga Toshihiko Izutsu, Language and Magic,

1955, hlm. 130-131.

Page 18: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

18

diucapkan (atau diluncurkan), maka ia harus melewati dirinya (A B C).

Hal yang sama juga berlaku terhadap gaya saj' tukang-tukang tenung. Sebagai seorang penyair sejati, ia dapat menggunakan puisi rajaz sedemikian rupa sehingga ia dapat secara mematikan melukai musuhnya dengan pengaruh bunyi-bunyi sajak yang magis. Kata-kata magis yang diucapkan oleh seorang tukang tenung yang mahir, dalam literatur Arab kuno, sering dibandingkan dengan anak panah beracun dan mematikan yang ditembakkan (ramâ) di malam hari dan meluncur tidak terlihat oleh korbannya.

Yang menyebabkan kata-kata sajak-magis berbahaya adalah kutukannya yang tidak terkendali dan akan menimbulkan luka yang mungkin tidak akan dapat disembuhkan. Diberitakan bahwa qawafi pernah menggunakan kekuatan magis yang bertahan lama dan tidak dapat dikendalikan.25 Oleh karena itu, jika syair itu dimaksudkan untuk melukai seseorang (C), yakni musuh penyair, maka sprachwerk bukan lagi merupakan fenomena linguistik dalam arti sebenarnya; tetapi merupakan fenomena magis.

Oleh karena itu, saj' pra-Islam memiliki dua aspek yang berbeda. Pertama, ia merupakan bahasa inspirasi, semua inspirasi supranatural, apapun sumbernya secara linguistik mengambil bentuk ini. Kedua, penggunaan bahasa khusus untuk melepaskan kekuatan magis yang terkandung di dalam kata-kata tersebut. Dalam kaitan dengan al-Qur'an, fungsi pertama identik dengan al-Qur'an sebagai bahasa dan sumber inspirasi supranatural yang bersumber dari Ilahi.

Sedangkan kaitan dengan fungsi kedua, al-Qur'an sama sekali terlepas dan bahkan menolak fungsi magis dari al-Qur'an. Oleh karena itu pula, al-Qur'an membebaskan diri dari fungsi meramal masa depan yang bersifat duniawi. Hanya saja, al-Qur'an fase-fase awal menggunakan kata-kata bersajak (saj' wa al-qawafi) sebagai alat untuk membawa isi komunikasi dalam

25 Toshihiko Izutsu, op.cit., , hlm. 202-203.

Page 19: Hirarki Ontologis Bahasa Al-Quran_dadan Rusmana

19

tradisi Arab dan tentunya dengan berbagai sistem transformatifnya.

DAFTAR PUSTAKAAl-Qur'an al-Karim.Anonimus. T.T. Mutatruf, LXVI. 11. Anonimus. T.T. Al-Mufaddaliyyât, juz XII, sajak 36.Arnold, Aug. (Ed). 1850. Al-Mu'allaqât. Septem Mo'allakât.

Leipzig. sajak 68-69.Bukhari. T.T. Shahîh al-Bukharî, Bâb al-Tauhîd. jilid I, Dar al-

Fikr.Hasan Ibn Tsabit. 1910. Diwân. Hirchfeld (Ed). Izutsu, Toshihiko. 1955. Language and Magic. __________. 1997. Relasi Tuhan dan Manusia. Yogyakarta:

Tiara Wacana. Ibn Ishâk-Ibn Hisyâm. T.T. Sirâh Rasûl Allah. Jilid I. Dar al-

Fikr.Syams al-Dîn Muhammad bin Yusuf 'Ali al-Kirmani. T.T.

Syarh al-Bukhari. Vol. I. Kairo.Watt, Montgomery. 1991. Bell's Introduction to The Quran.

Edinburg University.