Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI MENONTON ANIME
KEKERASAN DENGAN AGRESIVITAS REMAJA MAHASISWA
PSIKOLOGI UKSW 2017
OLEH
ROMMY ANANDA
(802012043)
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Progdi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI MENONTON ANIME
KEKERASAN DENGAN AGRESIVITAS REMAJA MAHASISWA
PSIKOLOGI UKSW 2017
Rommy Ananda
Rudangta Arianti Sembiring
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan frekuensi menonton anime
kekerasan dengan agresifitas remaja. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan Teknik snowball sampling dengan jumlah partisipan sebanyak 51
orang. Alat ukur yang digunakan adalah angket yang dibuat oleh peneliti dengan
menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Buss and Perry (1992) ada empat
aspek, yaitu physical agression, verbal agression, anger, dan hostility. Sedangkan
angket frekuensi menggunakan pertanyaan yang membahas lama responden
menonton anime kekerasan dalam satu minggu. Dari hasil uji korelasi yang
dilakukan, diketahui bahwa koefisien korelasi antara variabel frekuensi menonton
anime kekerasan dengan tingkat agresivitas remaja adalah sebesar r = 0,656 yang
masuk pada kategori kuat (Sarwono:2006), dengan nilai sig = 0,001 (p <0,05). Dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara agresivitas
dengan frekuensi menonton anime kekerasan.
Kata kunci: frekuensi menonton anime, anime kekerasan, agresivitas remaja
ii
Abstrack
The purpose of this study was to determine the relationship of frequency of violent
anime watch with teen aggressiveness. Sampling in this study using snowball
sampling technique with the number of participants as many as 51 people. The
measuring tool used is a questionnaire created by researchers using the aspects
proposed by Buss and Perry (1992) there are four aspects, physical agression, verbal
agression, anger, and hostility. While the questionnaire frequency using questions
that discuss the length of respondents watching anime violence in one week. From the
correlation test results, it is known that the correlation coefficient between the
frequency variables of violent anime watch and teenagers aggressiveness is r = 0.656
in the strong category (Sarwono: 2006), with sig = 0.001 (p <0.05). It can be
concluded that there is a significant positive relationship between aggressiveness and
frequency of violent anime watch.
Keywords: frequency of anime watch, violent anime, teen aggressiveness
1
PENDAHULUAN
Agresivitas merupakan masalah utama pada remaja, karena remaja terkadang
sangat sulit untuk mengendalikan emosi mereka sehingga berpeluang besar
melakukan tindakan agresi kepada teman mereka. Berkowitz (1995) mendefinisikan
agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang,
baik secara fisik maupun mental. Sebagai contoh remaja yang melakukan agresi
secara mental, yaitu dengan cara mengejek teman mereka dengan memanggil mereka
dengan nama yang tidak semestinya atau mereka mengganti nama teman mereka
dengan nama yang tidak pantas untuk nama teman mereka. Remaja juga sering
melakukan agresi secara fisik yaitu dengan cara mereka melakukan tawuran di jalan
raya dan terkadang mereka juga melakukan tawuran di lingkungan sekolah mereka,
bahkan di lingkungan universitas pun juga terkadang terjadi tawuran dengan Fakultas
lain, seperti pada saat final POM UKSW pada cabang olahraga sepak bola antara
Fiskom dengan Fakultas Hukum pada Rabu 30 Maret 2015. Peristiwa ini terjadi
karena mereka terprovokasi dengan yel-yel yang dinyanyikan dari kedua belah pihak
suporter yang mengacu pada saling menjelek-jelekkan tim musuh. Lalu salah satu
dari suporter tersebut tidak terima dan langsung memukul dari salah satu suporter
kubu lawan. Lalu terjadilah tawuran antar kedua kubu suporter tersebut.
Masa remaja merupakan salah satu periode perkembangan yang dialami oleh
setiap individu, sebagai masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.
Masa ini memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode perkembangan
yang lain. Ciri yang menonjol pada masa ini adalah individu mengalami pertumbuhan
2
dan perkembangan yang amat pesat, baik fisik, emosional dan sosial. Hurlock (1991)
pada masa remaja ini ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu
meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran,
perubahan pola perilaku, nilai- nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
Di negara-negara barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang
berasal dari kata dalam bahasa latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia =
remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi
dewasa. Adapun batasan-batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli
adalah 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan
menjadi tiga kelompok, yaitu 12-15 tahun adalah usia masa remaja awal, 15-18 tahun
adalah usia masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah usia masa remaja akhir
(Desmita, 2005).
Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, maka remaja pada jaman
sekarang sangat mudah untuk mengakses internet dan banyak remaja penggemar
anime yang mencari anime kegemaran mereka di internet. Anime yang mereka sukai
tidak ditayangkan bahkan tidak boleh ditayangkan di televisi indonesia oleh KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia), karena banyak sekali mengandung unsur kekerasan
yang sangat sadis bahkan sampai membunuh dan menyiksa. Anime adalah animasi
khas Jepang, yang biasanya ditampilkan melalui gambar-gambar berwarna-warni
yang menampilkan tokoh-tokoh dalam berbagai macam lokasi dan cerita, yang
ditujukan pada beragam jenis penonton. Anime dipengaruhi oleh gambar manga
(komik khas Jepang). Kata “anime” tampil dalam bentuk tulisan dalam tiga karakter
katakana a, ni, me yang merupakan bahasa serapan dari bahasa Inggris animation dan
3
diucapkan sebagai anime-shon. Seperti anime Naruto yang sering mempertontonkan
unsur perkelahian hingga pembunuhan, dan juga anime One Piece yang juga
mengandung unsur kekerasan yang memang tergolong dalam unsur sadisme yang
sangat tinggi. Masih banyak lagi judul anime yang termasuk dalam anime kekerasan.
Karena tidak boleh tayang lagi di televisi Indonesia, maka banyak remaja yang
mencari anime kegemaran mereka di internet yang mereka bisa unduh dan mereka
tonton sesuka hati mereka.
Menurut Siregar dalam Rulia Kurniasih (2002) bahwa “film yang
mengandung unsur kekerasan adalah film dengan tema penonjolan masalah fisik
dalam suatu konflik”. Dalam L Atkinson (2001) menjelaskan, bahwa “film yang
mengandung unsur kekerasan merupakan film yang dalam tayangannya atau alur
ceritanya menampilkan adegan kekerasan. Kekerasan dalam hal ini adalah tingkah
laku seperti pembunuhan, penganiayaan, perkelahian, peperangan dan bentuk tingkah
laku lain yang sengaja dilakukan dengan tujuan merusak, mencelakai orang lain
ataupun sebagai pemecahan dari sebuah masalah”.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan film kartun yang mengandung unsur kekerasan dalam
penelitian ini adalah film kartun yang dalam ceritanya banyak memuat adegan
kekerasan, seperti pertengkaran, permusuhan, perkelahian, penganiayaan, dan
pembunuhan baik dengan tangan kosong maupun menggunakan alat-alat tertentu.
Buss & Perry (1992) menyatakan agresivitas adalah segala bentuk perilaku
yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara
verbal. Menurut Buss dan Perry (1992), terdapat empat aspek perilaku agresif yang
4
didasari dari tiga dimensi dasar yaitu motorik, afektif, dan kognitif. Empat aspek
perilaku agresif yang dimaksud yaitu, physical aggression adalah tindakan agresi
yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain
melalui respon motorik dalam bentuk fisik, seperti memukul, menendang, dan lain-
lain. Verbal aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti,
mengganggu, atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan ancaman
melalui respon vokal dalam bentuk verbal. Anger merupakan emosi negatif yang
disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat
menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Beberapa bentuk anger adalah perasaan
marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya
adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah,
dan kesulitan mengendalikan amarah. Hostility yaitu tindakan yang mengekspresikan
kebencian, permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak
lain. Hostility adalah suatu bentuk agresi yang tergolong agresi covert (tidak
kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti
cemburu dan iri terhadap orang lain, dan kecurigaan seperti adanya ketidakpercayaan,
kekhawatiran. Maka dari aspek tersebut, peneliti akan membuat alat ukur dengan
menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Buss dan Perry.
Menurut Bandura dan kawan-kawan (dalam Koeswara, 1988), agresi dapat
dipelajari dan terbentuk melalui perilaku meniru atau mencontoh perilaku agresi yang
dilakukan oleh individu lain yang dianggap sebagai contoh atau model. Dalam hal ini,
individu dapat mengendalikan perilaku yang ditirunya dan menentukan serta memilih
obyek imitasinya. Proses ini disebut proses imitasi.
5
Lowery dan De Fleur (1993) dalam Nando (2012) menyebutkan tiga perilaku
menonton yaitu :
a. Total waktu menonton televisi adalah jumlah waktu yang dihabiskan
seseorang untuk menonton televisi
b. Frekuensi menonton televisi adalah berapa kali seseorang menonton televisi
dalam jangka waktu tertentu.
c. Pilihan program acara yang ditonton adalah jenis acara televisi yang dipilih
untuk ditonton.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses
pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari
perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan
kepada orang lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses
pengamatan atau modeling proses yang terjadi dalam observational learning tersebut
adalah atensi. Dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap
model dengan cermat. Lalu retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali
perilaku yang ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki
ingatan yang bagus terhadap perilaku model. Selanjutnya adalah reproduksi, dalam
tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk mengamati dengan
cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka
selanjutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan
6
oleh model. Yang terakhir adalah motivasional, pada tahapan ini, seseorang harus
memiliki motivasi untuk belajar dari model.
Pada dasarnya remaja yang menontonton anime kekerasan akan
memperhatikan perilaku tokoh anime dengan cermat, lalu akan mengingat kembali
perilaku tokoh anime tersebut. Remaja akan mencoba menirukan perilaku agresi yang
ditampilkan oleh tokoh anime. Lalu remaja termotivasi untuk melakukan perilaku
agresi yang ditiru dari tokoh anime tersebut.
Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian mengenai hubungan
antara frekuensi menonton anime kekerasan dengan tingkat agresivitas pada remaja.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara frekuensi
menonton anime kekerasan dengan tingkat agresivitas pada remaja. Hipotesis yang
diajukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara
frekuensi menonton anime kekerasan dengan agresivitas remaja.
METODE
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah frekuensi menonton anime
kekerasan. Variabe tergantungnya adalah agresivitas remaja.
Populasi dari penelitian ini adalah remaja yang suka menonton anime
kekerasan. Teknik sampling yang digunakan oleh peneliti adalah snowball sampling.
Subjek yang digunakan adalah remaja yang senang menonton anime
kekerasan, anak psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Angkatan 2017 yang
masih remaja.
7
Alat ukur yang digunakan adalah angket yang dibuat oleh peneliti dengan
menggunakan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Buss and Perry (1992) ada empat
aspek, yaitu physical agression, verbal agression, anger, dan hostility. Sedangkan
angket frekuensi menggunakan pertanyaan yang membahas lama responden
menonton anime kekerasan dalam satu minggu.
Analisis data yaitu responden mengisi angket yang diberikan peneliti kepada
responden. Selanjutnya angket diuji menggunakan uji normalitas, uji linieritas, dan
uji korelasi. Dimana uji normalitas dimaksudkan untuk menguji persebaran data
memenuhi asumsi normalitas atau tidak. Selanjutnya diuji menggunakan uji linieritas
dengan maksud mengetahui hubungan dari frekuensi menonton anime kekerasan
dengan agresivitas remaja apakah ada hubungan yang linier atau tidak. Lalu peneliti
menguji data dengan uji korelasi dengan teknik pearson correlation.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data empirik yang diperoleh, untuk mengetahui gambaran
partisipan penelitian terkait dengan frekuensi menonton anime kekerasan, penulis
menyusun tabel analisis deskriptif seperti Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Frekuensi Menonton Anime Kekerasan
No Kategori Interval N Persentase Mean
1 Tinggi 13 < x < 18 16 31,37%
2 Sedang 5 ≤ x ≤ 13 24 47,05% 9,57
3 Rendah 1 < x < 5 11 21,58%
Jumlah 51
8
Dari hasil analisis deskriptif dari tabel frekuensi menonton anime kekerasan,
diketahui bahwa remaja yang menjadi partisipan dari penelitian ini adalah sebesar
31,37% masuk dalam kategori tinggi, dan 47,05% remaja masuk dalam kategori
sedang, sedangkan 21,58% remaja masuk dalam kategori frekuensi menonton anime
kekerasan yang rendah. Jumlah dari partisipan adalah 51 orang remaja.
Peneliti menentukan interval dengan rumus Mean + 0,75 x Standar Deviasi
(9,57 + 0,75 x 5,213 = 13). Dimana jika nilai lebih besar dari 13 masuk dalam
kategori tinggi. Rumus selanjutnya Mean - 0,75 x Standar Deviasi (9,57 - 0,75 x
5,213 = 5). Jika nilai kurang dari 5 maka masuk dalam kategori rendah. Jika nilai
antara 5 sampai 13 maka masuk dalam kategori sedang.
Selanjutnya penulis juga menyusun tabel deskriptif untuk mengetahui
gambaran tingkat agresivitas remaja pada partisipan penelitian seperti pada Tabel 2
berikut ini
Tabel 2. Kategorisasi Skor Tingkat Agresivitas Remaja
No Kategori Interval N Persentase Mean
1. Tinggi 116 < x < 135 18 35,29%
2. Sedang 73 ≤ x ≤ 116 19 37,25% 95,24
3. Rendah 49 < x < 73 14 27,46%
Jumlah 51
Dari hasil analisis deskriptif dari tabel tingkat agresivitas remaja, diketahui
bahwa remaja yang menjadi partisipan dari penelitian ini adalah sebesar 35,29%
masuk dalam kategori tinggi, 37,25% partisipan masuk dalam kategori sedang,
9
27,46% partisipan masuk dalam kategori rendah. Jumlah dari partisipan adalah
sebesar 51 orang.
Peneliti menentukan interval dengan rumus Mean + 0,75 x Standar Deviasi
(95,24 + 0,75 x 28,353 = 116). Dimana jika nilai lebih besar dari 116 masuk dalam
kategori tinggi. Rumus selanjutnya adalah Mean - 0,75 x Standar Deviasi (95,24 -
0,75 x 28,353 = 73). Jika nilai kurang dari 73 maka masuk dalam kategori rendah.
Jika nilai antara 73 sampai 116 maka masuk dalam kategori sedang.
Penulis juga membagi partisipan berdasarkan jenis kelamin mereka seperti
yang ditulis dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 9 17,65%
Perempuan 42 82,35%
Total 51
Jumlah dari partisipan perempuan sebesar 82,35%, sedangkan laki-laki
sebesar 17,65%. Lalu penulis juga mengkategorikan partisipan menurut umur
mereka. Seperti pada Tabel 4 berikut ini.
10
Tabel 4. Umur Partisipan
Umur Jumlah Persentase
17 6 11,76%
18 34 66,66%
19 7 13,72%
20 3 5,88%
21 1 1,98%
Total 51
Dibagi dari umur mereka adalah dari yang berumur 17 tahun ada 11,76%, dan
18 tahun ada 66,66%, 19 tahun ada 13,72%, yang berumur 20 tahun ada 5,88%,
sedangkan yang berumur 21 tahun ada 1,98%. Dan jumlah keseluruhan partisipan
adalah 51 orang.
Sebelum penulis melakukan pengujian pada data yang diterima, penulis
terlebih dahulu melakukan pengujian terhadap skala tersebut dengan uji seleksi item
dan uji reliabilitas. Dari 29 item dalam skala agresivitas remaja, terdapat terdapat 4
item yang gugur karena nilai corrected item- total correlation kurang dari 0,2. Yang
digunakan adalah pengujian yang kedua dengan nilai cronbach’s alpha sebesar 0,936.
UJI NORMALITAS
Selanjutnya peneliti melakukan uji normalitas data untuk mengetahui kondisi
persebaran data dalam penelitian ini. Berikut ini adalah tabel hasil uji liliefors yang
telah dilakukan oleh peneliti:
11
Tabel 5. Hasil uji liliefors
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
frekuensi .160 51 .002 .911 51 .001
agresi .180 51 .000 .888 51 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Berdasarkan dari uji normalitas menggunakan uji liliefors, diketahui bahwa
nilai signifikansi dari frekuensi menonton anime kekerasan adalah sebesar 0,001 yang
berarti persebaran data dari frekuensi menonton anime kekerasan dalam penelitian ini
tidak memenuhi asumsi normalitas. Kemudian untuk sebaran data agresivitas
diketahui memiliki nilai signifikansi sebesar 0,001 yang berarti persebaran data dari
agresivitas dalam penelitian ini juga tidak memenuhi asumsi normalitas.
UJI LINIERITAS
Selanjutnya penulis melakukan uji linieritas untuk mengetahui hubungan
linier antara variabel dalam penelitian ini. Tabel 6 berikut ini adalah hasil uji
lineiritas.
12
Tabel 6. Hasil Uji Linieritas
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
agresivitas *
frekuensi
Between
Groups
(Combined) 27644.831 15 1842.989 5.140 .000
Linearity 19162.324 1 19162.32
4
53.439 .000
Deviation from
Linearity
8482.507 14 605.893 1.690 .103
Within Groups 12550.345 35 358.581
Total 40195.176 50
Dari hasil uji linieritas, diketahui bahwa nilai F beda pada Deviation from
Linearity adalah 1,690 dan nilai sig. deviation from linearity adalah 0,103 berati
terdapat hubungan yang liner antara variabel frekuensi menonton anime kekerasan
dengan variabel tingkat agresivitas pada remaja dalam penelitian ini.
UJI HIPOTESIS
Uji Korelasi
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara
agresivitas dengan kecanduan frekuensi menonton anime kekerasan pada remaja.
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara frekuensi menonton anime
13
kekerasan dengan tingkat agresivitas pada remaja, penulis melakukan uji korelasi
dengan teknik pearson correlation dengan bantuan SPSS 25. Berikut ini adalah tabel
hasil uji korelasi spearman.
Tabel 7. Uji Korelasi Spearman
Correlations
frekuensi agresi
Spearman's rho frekuensi Correlation Coefficient 1.000 .656**
Sig. (1-tailed) . .000
N 51 51
agresi Correlation Coefficient .656** 1.000
Sig. (1-tailed) .000 .
N 51 51
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Dari hasil uji korelasi yang dilakukan, diketahui bahwa koefisien korelasi
antara variabel frekuensi menonton anime kekerasan dengan tingkat agresivitas
remaja adalah sebesar r = 0,656 yang masuk pada kategori kuat (Sarwono:2006),
dengan nilai sig = 0,001 (p <0,05). Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
positif yang signifikan antara agresivitas dengan frekuensi menonton anime
kekerasan. Hubungan yang positif dan signifikan berarti semakin tinggi frekuensi
menonton anime kekerasan, maka semakin tinggi pula tingkat agresivitas pada
remaja. Demikian pula sebaliknya, dimana semakin rendah frekuensi menonton
14
anime kekerasan maka semakin rendah pula tingkat agresivitas pada remaja. Oleh
karena itu hipotesis dalam penelitian ini diterima.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari koefisien korelasi antara frekuensi
menonton anime kekerasan dengan tingkat agresivitas remaja adalah 0,656 (p < 0,05)
yang artinya ada hubungan positif antara frekuensi menonton anime kekerasan
dengan tingkat agresivitas pada remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis
adanya hubungan positif antara frekuensi menonton anime kekerasan dengan tingkat
agresivitas remaja dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
frekuensi menonton anime kekerasan, maka akan semakin tinggi pula tingkat
agresivitas pada remaja tersebut, sebaliknya, jika semakin rendah frekuensi menonton
anime kekerasan, maka akan semakin rendah pula tingkat agresivitas pada remaja
tersebut. Dari pengisian angket tersebut, rata-rata para remaja ini menonton anime
kekerasan tersebut melalui streaming dari internet dan laptop/komputer mereka.
Teori belajar menjelaskan perilaku agresi sebagai perilaku yang dipelajari.
Para pakar teori belajar sosial, seperti Albert Bandura menyatakan bahwa perilaku
agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial (Strickland, 2001; Hanurawan,
2010:84). Belajar sosial adalah proses belajar melalui mekanisme belajar pengamatan
dalam dunia sosial. Manusia melakukan perilaku agresi karena meraka
mempelajarinya secara sosial melalui perilaku model. Dari pembahasan teori belajar
Albert Bandura, dapat diartikan bahwa remaja dapat berperilaku agresi karena remaja
15
tersebut meniru perilaku agresi yang ditampilkan oleh tokoh karakter pada anime
kekerasan yang sering ditonton oleh remaja tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mc Carthy (dalam
Rakhmat, 2009) yang melaporkan bahwa frekuensi menonton tayangan berisi
kekerasan di televisi mempunyai korelasi yang positif dengan indikator agresif,
seperti jumlah konflik dengan orang tua dan frekuensi berkelahi. Penelitian Mc
Carney dkk. (dalam Martani dan Adiyanti, 2002) menemukan bahwa faktor frekuensi
menonton televisi merupakan variabel penting dalam menjelaskan pengaruh televisi
dalam tingkah laku agresif. Anak yang jarang menonton tayangan yang mengandung
kekerasan, walaupun suka, tidak terlalu terpengaruh untuk menjadi agresif bila
dibandingkan dengan anak yang sering menonton tayangan televisi yang
mengandung kekerasan. Steinberg dkk. (2001) juga menegaskan bahwa menonton
tayangan kekerasan di televisi menyebabkan kecenderungan agresif dan anak yang
agresif lebih banyak menonton tayangan yang agresif.
Bee (2001) mengatakan bahwa film yang mengandung kekerasan ini
menampilkan ciri-cri: agresi fisik, adanya lalim dan alim, keberhasilan melalui usaha
kekerasan dan memperlihatkan luka, darah serta pengrusakan. Meningkatnya proporsi
adegan kekerasan dalam film-film televisi melahirkan kecaman akan timbulya
pengaruh negative bagi penonton.
KESIMPULAN
16
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara frekuensi menonton anime
kekerasan dengan tingkat agresivitas pada remaja. Yang artinya semakin tinggi
frekuensi menonton anime kekerasan maka akan semakin tinggi pula tingkat
agresivitas pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi menonton anime
kekerasan maka akan semakin rendah pula tingkat agresivitas pada remaja.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti
memiliki beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi orang tua
Bagi para orang tua sebaiknya mengendalikan frekuensi menonton anime
kekerasan anak remaja mereka.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti variabel-variabel lain yang berkaitan
dengan agresivitas remaja.
3. Bagi remaja
Seharusnya para remaja mampu membatasi frekuensi menonton anime
kekerasan, supaya tidak menimbulkan efek yang buruk bagi remaja itu sendiri.
17
Daftar Pustaka
Berkowitz, L. (1995). Agresi: sebab & akibatnya. Jakarta: PT Pustaka Binaman
Pressindo.
Buss, A. H,. & Perry, M. (1992). The aggression questionare. Journal of Personality
and Social Psychology. 454.
Dion, P, L., Supra, W., & Avin F. H. (1999). Pengaruh Tayangan Adegan Kekerasan
Yang Nyata Terhadap Agresivitas. Jurnal Psikologi. No. 1, 51 – 63. Universitas
Gadjah Mada.
Harganhahn, B. R., & Matthew, H, Olson. (2012). Theorles of learning. Kencana.
367.
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan anak. Edisi 6. Alih Bahasa: dr. Med.
Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan). Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Mappiare, A. (1986). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
Nando. (2011). Hubungan antara perilaku menonton film kekerasan Dengan perilaku
agresi remaja (Kasus Remaja di SMK Pelita Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi Dan
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor. Diunduh pada (4 Juni 2016) dari http://dosen.narotama.ac.id/wp-
content/uploads/2012/03/HUBUNGAN-ANTARA-PERILAKU
MENONTON-FILM-KEKERASAN-DENGAN-PERILAKU-AGRESI-
REMAJA.pdf.
Nuryoto, S. (1992). Kemandirian Remaja Ditinjau dari Tahap Perkembangan, Jenis
Kelamin dan Peran Jenis. Jurnal. Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada.
18
Pratama, P. (2013). Hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di
televisi dengan perilaku agresi pada siswa SD Negeri Trangsan 03. Skripsi.
Program psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Priliantini, A. (2008). Hubungan Antara Gaya Manajemen Konflik Dengan
Kecenderugan Perilaku Agresif Narapidana Usia Remaja Di Lapas Anak Pria
Tangerang, Jurnal Psiko-Edukasi, vol. 6, hal. 10-20.
Rakhmat, J. (2005). Psikologi Komunikasi Massa. PT. Remaja Rosda Karya,
Bandung.
Suharto. (2006). Hubungan Pola Menonton Berita Kriminal di Televisi dengan
Perilaku Remaja. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal. 110.
Susantyo, B. (2011). Memahami perilaku agresif. Di unduh pada (24 April 2016) dari
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/350d40edc66e2a381a752512210a
8d6d.pdf.
Tumengkol, I. (2009). Tayangan Kekerasan di Televisi dan Perilaku Pelajar, Jurnal
Penelitian Komunikasi dan Pembangunan, vol. 1, no. 10, hal. 88-103.
Valentine, H. V. (2009). Efek Berita Kriminal Terhadap Perilaku Khalayak Remaja
Kasus SMP Taman Siswa, Jakarta Pusat. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Widiastuti, W. 2002, Adegan Kekerasan di Televisi Terhadap Perilaku Agresif
Remaja Perkotaan, Jurnal Penelitian UNIB, vol.VIII , no. 3, hal. 140-143.
Wisnu, A. (2014). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresif
pada suporter sepakbola. Skripsi. Program psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Diunduh pada (27 Agustus 2016) dari
www.eprints.ums.ac.id.
19