Upload
truongdung
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL
EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI
TEKNOLOGI PHT PASCA SLPHT PADI DI DESA METUK,
KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Agribisnis
Oleh :
PARAMESTI MARIS
H 0808063
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL
EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI
TEKNOLOGI PHT PASCA SLPHT PADI DI DESA METUK,
KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI
Oleh:
PARAMESTI MARIS H 0808063
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal: 07 Januari 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Ketua
Dr. Sapja Anantanyu, SP. M.Si NIP. 19681227 199403 1 002
Anggota I
Ir. Suprapto_________ NIP. 19500612 198010 1 001
Anggota II
Bekti Wahyu Utami, SP. M.Si____ NIP. 19780715 200112 2 001
Surakarta,
Mengetahui Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS NIP. 19560225 198601 1 1001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan
antara Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Teknologi
PHT Pasca SLHPT Padi Di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten
Boyolali”.
Usaha dan upaya untuk melakukan yang terbaik atas setiap kerja
menjadikan akhir dari pelaksanaan penelitian terwujud dalam bentuk penulisan
skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna
memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun
materiil kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Ucapan terima kasih ini penulis tujukan terutama kepada :
1. Allah SWT atas segalanya yang telah diberikan kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS. selaku Dekan Fakultas
Pertanian UNS Surakarta.
3. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harisudin, M.Si selaku Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Nuning Setyowati, SP, M.Sc selaku Ketua Komisi Sarjana Program Studi
Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Bapak Dr. Sapja Anantanyu, SP. Msi selaku selaku Dosen Pembimbing
Utama Skripsi yang dengan kasih selalu memberikan pengarahan, nasehat,
dan petunjuk kepada penulis.
6. Bapak Ir. Suprapto selaku selaku Pembimbing Pendamping Skripsi sekaligus
Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan bimbingan, arahan
serta motivasi kepada penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
7. Ibu Bekti Wahyu Utami, SP. M.Si selaku penguji skripsi atas diskusi,
bimbingan, serta arahannya kepada penulis.
8. Bapak/Ibu Dosen serta seluruh staff/karyawan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah diberikan dan bantuannya
selama menempuh perkuliahan di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
9. Bappeda Kabupaten Boyolali, Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali, serta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali yang telah memberikan ijin
penelitian serta menyediakan data-data yang diperlukan penulis.
10. Kantor Kecamatan Mojosongo, Penyuluh Pertanian Lapangan Kecamatan
Mojosongo Bapak Wiji Sutarman,STP , dan petani responden di Desa Metuk
atas bantuan kepada penulis selama penelitian.
11. Ketua Kelompok Tani Desa Metuk, Bapak Parjini yang telah membantu saya
selama penelitian.
12. Bapak dan Ibuku, Bapak Ir.Otto Marwoto,MP dan Ibu Dra. Dwi Susilo Utami,
MP yang yang selalu membimbing serta tak henti memberikan semangat dan
doa, kakakku Mbak Mita, adikku Yura dan Niken, keluarga besar dari Bapak
maupun Ibu terimakasih banyak atas doa, dan dukungannya di setiap langkah,
demi kesuksesan penulis.
13. Sahabat-sahabatku SMA, trio MJM, Jehan dan Mutia yang telah mewarnai
hidupku, terimakasih atas semangat dan pengalaman indah bagi penulis,
kalian memang luar biasa!! Semoga silahturahim kita tetap terjaga!!
14. Sahabat-sahabat penulis Aik, Puput, Nyit-nyit, Carrine, Anin, Riana AP,
Tami, Riana Dewi, Ifa, Uli, Suryani, Ajom, Abon, Mas Nanda, Mas Nur, Mas
Abid, Ragil, Indra, Mas ikal, Ayu nilasari yang telah memberi dukungan,
semangat, dan doanya selama ini.
15. Teman-teman Agribisnis 2007, Agribisnis 2008, 2009, dan 2010 yang telah
memberi semangat, masukan, dan tambahan pengetahuan.
16. Teman-teman magang Batu Malang yang telah memberi kenangan indah
selama magang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
17. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam mengembangkan diri dan
membantu penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini
baik dari segi penyajian maupun pembahasannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi yang jauh dari sempurna ini dapat
memberikan manfaat sekaligus menambah pengetahuan bagi penulis sendiri
khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.
Surakarta, November 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
RINGKASAN ................................................................................................. xii
SUMMARY .................................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN........................................................................................ 1 A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 4 D. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 5
II. LANDASAN TEORI .................................................................................. 6 A. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 6
1. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ................................................ 6 2. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) ................. 8 3. Prinsip PHT dalam SLPHT ............................................................... 10 4. Adopsi dan Inovasi............................................................................ 17 5. Karakteristik Sosial Ekonomi ........................................................... 20 6. Petani ................................................................................................. 23
B. Kerangka Berpikir ................................................................................... 26 C. Hipotesis.................................................................................................. 27 D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...................................... 28
1. Definisi Operasional ......................................................................... 28 2. Pengukuran Variabel ......................................................................... 31
E. Pembatasan Masalah .............................................................................. 35 F. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 36
III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 37 A. Metode Dasar Penelitian ......................................................................... 37 B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian ..................................................... 37 C. Populasi dan Sampel .............................................................................. 38 D. Jenis dan Metode Pengambilan Data ...................................................... 39
1. Data Primer ....................................................................................... 39 2. Data Sekunder ................................................................................... 40
E. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 40 1. Wawancara ........................................................................................ 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
2. Observasi ........................................................................................... 40 3. Pencatatan ......................................................................................... 40
F. Metode Analisis Data ............................................................................. 41
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ........................................ 43 A. Keadaan Alam ......................................................................................... 43
1. Lokasi Daerah Penelitian ................................................................. 43 B. Keadaan Penduduk .................................................................................. 44
1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan jenis Kelamin 44 2. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ............................ 45 3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ......................... 46
C. Keadaan Pertanian ................................................................................... 47 1. Tata Guna Lahan ............................................................................... 47 2. Produksi Tanaman Pangan ................................................................ 48
D. Keadaan Kelompok Tani ........................................................................ 49 E. Pelaksanaan SLPHT ................................................................................ 51
V. HASIL PEMBAHASAN ............................................................................. 55 A. Karakteristik Sosial Ekonomi ................................................................. 55 B. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ........... 63
1. Budidaya Tanaman Sehat.................................................................. 63 2. Tingkat Pelestarian Musuh Alami..................................................... 65 3. Pengamatan Mingguan ...................................................................... 67 4. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca
SLPHT ............................................................................................. 69 C. Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ........................ 71 1. Hubungan antara Umur dengan Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .......................................... 72 2. Hubungan antara Pendidikan Formal dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ................... 73 3. Hubungan antara Pendidikan Non Formal dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ................... 73 4. Hubungan antara Pendidikan dengan Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .......................................... 74 5. Hubungan antara Tingkat Pengalaman Petani dengan
Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .............................................................................................. 75
6. Hubungan antara Keaktifan Keanggotaan Petani dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .............................................................................................. 76
7. Hubungan antara Pengusaan Lahan Usahatani dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .............................................................................................. 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
8. Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT .............................................................................................. 77
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 79 A. Kesimpulan ............................................................................................. 79
B. Saran ........................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Rata-rata Luas Areal Tanaman Pangan Nasional yang
Terkena Serangan OPT Tahun 2005 – 2009 ................................ 2 2 Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ................................................................31 3 Deskripsi Variabel, Indikator, Kriteria Tingkat Adopsi
Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ................................ 32
4 Daftar Peserta SLPHT Padi di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2011 ................................ 39
5 Komposisi Penduduk menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010 ................................45
6 Komposisi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk pada Tahun 2010 ................................................................................................46
7 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010 ................................47
8 Tata Guna Lahan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010 ................................................................................................48
9 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010 ................................49
10 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ...........................................................55 11 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ................................56 12 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal ..............................57 13 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan ................................ 58 14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengalaman
Petani ................................................................................................ 59 15 Distribusi Responden Berdasarkan Keaktifan Keanggotaan
Petani …………………………............................................... 60 16 Distribusi Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan
Usahatani ................................................................................................61 17 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Sosial
Ekonomi Petani ................................................................................................62 18 Distribusi Responden Berdasarkan Budidaya Tanaman
Sehat.......................................................................................... 64 19 Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Tingkat Budidaya
Tanaman Sehat.......................................................................... 64 20 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pelestarian musuh
alami……………………………………….............................. 66 21 Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Tingkat
Pelestarian musuh alami .......................................................... 66 22 Distribusi Responden Berdasarkan Pengamatan Mingguan
………………………………………...................................... 68 23 Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Pengamatan
Mingguan …………………………….................................... 68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
24 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ….............................
69
25 Analisis Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ……………………………............................... 71
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman 1. Bagan Kerangka Berpikir hubungan Antara Karakteristik
Sosial Ekonomi dengan Tingkat Adopsi Teknologi PHT Pasca SLPHT Padi........................................................ 27
2. Struktur Organisasi Pelaksanaan SLPHT Desa Metuk........... 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman 1. Peta Penelitian Kabupaten Boyolali ................................................................83 2 Peta Penelitian Desa Metuk ................................................................ 84 3 Surat Ijin Penelitian .............................................................................................85
4 Kuesioner Penelitian ...........................................................................................86 5 Identitas Responden ............................................................................................92 6 Tabulasi Skor Variabel Karakteristik Sosial Ekonomi dan
Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT ................................................................................................ 93
7 Hasil Analisis Hubungan Antar Variabel............................................................95 8 Foto Dokumentasi ...............................................................................................97
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PHT PASCA SLPHT PADI
DI DESA METUK, KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI
Paramesti Maris H 0808063
RINGKASAN
Paramesti Maris. H0808063. Hubungan antara Karakteristik Sosial
Ekonomi Petani dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT Padi Di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Dibimbing oleh Dr. Sapja Anantanyu, SP. Msi dan Ir. Suprapto. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Dalam upaya peningkatan produksi dan mutu hasil komoditas tanaman pangan, khususnya padi masih banyak menghadapi masalah, salah satu masalah penting adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan resiko yang harus dihadapi dan diperhitungkan oleh para petani dalam setiap usaha budidaya tanaman untuk meningkatkan hasil produksi yang sesuai dengan harapan. Untuk memecahkan masalah ini, petani diharapkan menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang merupakan suatu cara pengendalian hama yang secara prinsip berbeda dengan konsep pengendalian konvensional yang selama ini masih sangat tergantung pada penggunaan pestisida.
Salah satu metode pemberdayaan masyarakat petani yang dinilai cukup berhasil dalam menerapkan PHT adalah melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) diharapkan dapat diwujudkan kemandirian petani dalam pengambilan keputusan di lahan usaha taninya. Dengan adanya kegiatan SLPHT diharapkan adanya perwujudan tingkat penerapan PHT yang benar sesuai dengan rekomendasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi, mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani peserta SLPHT, dan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi.
Penelitian ini dilakukan di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali dengan metode deskriptif. Pengambilan responden dilakukan dengan cara sensus yakni dengan cara mencatat semua elemen (responden) yang diselidiki pada para peserta SLPHT padi di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali sebanyak 25 peserta. Metode analisis yang digunakan adalah Uji Koefisien Korelasi Rank Spearman (rs) pada tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang mengkaji hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi dengan menggunakan analisis Rank Spearman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
dan uji signifikansi pada tingkat kepercayaan 95% didapat bahwa karakteristik sosial ekonomi petani terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
RELATIONSHIP BETWEEN THE SOCIO-ECONOMIC
CHARACTERISTICS OF FARMERS AND THE ADOPTION LEVEL OF IPM TECHNOLOGY POST RICE SLPHT IN METUK VILLAGE, MOJOSONGO
SUBDISTRICT, BOYOLALI DISTRICT Paramesti Maris
H 0808063
SUMMARY
Paramesti Maris. H0808063. RELATIONSHIP BETWEEN THE SOCIO-ECONOMIC CHARACTERISTICS OF FARMERS AND THE ADOPTION LEVEL OF IPM TECHNOLOGY POST RICE SLPHT IN METUK VILLAGE, MOJOSONGO SUBDISTRICT, BOYOLALI DISTRICT. This research is being advisored by Dr. Sapja Anantanyu, SP. Msi and Ir. Suprapto. Faculty of Agriculture. Sebelas maret University. Surakarta.
In order to increase the crop yield and food crop quality, aspecially in rice, a lot of problem still have to be faced. One of the problem is pest attack. Crop pest is a risk that has to be faced by the farmers in order to increase the potential crop yields. To avoid that risk, farmers are expected to apply the Integrated Pest Management (IPM) concept. IPM is a kind of pest control method that is different from the conventional concept that is still highly depend on the use of pesticides.
SLPHT (Field School of Integrated Pest Management) is a kind of IPM method that considered as a succesful method to empower the farmers. Through this Field School, farmers are expected to be independence so they can make their own decision in their own farm. This field school is manifestasion 0f a correct IPM wich is be fit with recommendation.
The aim of this research is to determine the farmers adoption level of IPM technology post rice SLPHT, to know the socio-economic characteristics of farmers as participants of SLPHT, and to understand the relationship between socio-economic characteristics of farmers and the adoption level of IPM technology post rice SLPHT. The research was conducted in Metuk village, Mojosongo District, Boyolali with descriptive methods. The respondents were taken with census by recording all the elements (respondents). There are 25 participants. This research will be evaluated using Spearman Rank Correlation Coefficient (rs) method at the 95% confidence level. Based on the research and discussion that examines the socio-economic characteristics of farmers relationship with adoption level of farmers on IPM technology post SLPHT rice using Spearman Rank analysis and tests of significance at the 95% confidence level obtained that the socio-economic characteristics of farmers significant relationship with adoption level of farmers to post SLHPT rice IPM technology.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan tanaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem dan usaha agribisnis. Perlindungan tanaman pangan mempunyai
peranan penting selama proses produksi dalam usaha tani dalam rangka
pencapaian sasaran produksi tanaman pangan. Perlindungan tanaman
berperan dalam menjaga kuantitas, kualitas, kontinuitas, hasil dan efisiensi
produksi (Wasiati, 2007). Dalam upaya peningkatan produksi dan mutu hasil
komoditas tanaman pangan, khususnya padi masih banyak menghadapi
masalah, salah satu masalah penting adalah adanya serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman (OPT)
merupakan resiko yang harus dihadapi dan dipertimbangkan dalam setiap
upaya budidaya tanaman. Oleh karena itu perlindungan tanaman harus selalu
menjadi salah satu faktor pertimbangan setiap usaha budidaya tanaman.
Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan resiko yang harus
dihadapi dan diperhitungkan oleh para petani dalam setiap usaha budidaya
tanaman untuk meningkatkan hasil produksi yang sesuai dengan harapan.
Resiko ini merupakan konsekuensi dari setiap perubahan ekosistem sebagai
akibat dari budidaya tanaman yang dilakukan. Perubahan atau ketidaktentuan
iklim yang berlangsung saat ini merupakan suatu hal yang harus diterima
sebagai fenomena alam. Perubahan atau ketidaktentuan iklim sangat
berpengaruh terhadap perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT)
dan berpengaruh langsung terhadap usaha budidaya tanaman.
Berdasarkan data rerata luas serangan OPT pada tanaman pangan tahun
2005 – 2009 secara nasional areal tanaman pangan yang terkena serangan
OPT tercatat seluas 379.524 ha (puso: 4.109 ha) dari luas total areal tanaman
pangan 18.646 juta ha, atau dapat dikatakan 2,04% dari luas tanam terkena
serangan OPT dengan rincian sebagai berikut:
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Tabel 1. Rata-rata Luas Areal Tanaman Pangan Nasional yang Terkena Serangan OPT Tahun 2005 – 2009
Komoditi Luas areal tanaman pangan (juta ha)
Luas areal serangan OPT (ha)
Puso (ha)
Padi 12.602 350.065 3.532 Jagung 4.412 17.737 516 Kedelai 920 6.628 45 Kacang tanah 712 5.094 16 Total 18.646 379.524 4109
Sumber data : Kementrian Pertanian 2010
Dalam lingkungan pertanian, terutama hama wereng coklat dan tikus
menjadi masalah besar di banyak daerah dan telah tercatat sebagai faktor
potensial dalam penurunan produksi padi. Untuk memecahkan masalah ini,
petani diharapkan menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
yang merupakan suatu cara pengendalian hama yang secara prinsip berbeda
dengan konsep pengendalian konvensional yang selama ini masih sangat
tergantung pada penggunaan pestisida.
Sikap tegas pemerintah pemerintah tentang Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) nyata setelah dikeluarkannya Intruksi Presiden No.3/1986
tentang pengendalian hama-hama padi pada umumnya dan pengendalian
hama wereng coklat pada khususnya. Dengan Inpres tersebut pemerintah
menunjukkan dukungan dan kemauan politik yang sungguh-sungguh dalam
di dalam menerapkan dan mengembangkan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) di Indonesia (Untung, 1993).
Salah satu metode pemberdayaan masyarakat petani yang dinilai cukup
berhasil dalam menerapkan PHT adalah melalui Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). Melalui Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) diharapkan dapat diwujudkan
kemandirian petani dalam pengambilan keputusan di lahan usaha taninya.
Pada tahun 2010 jumlah pelaksanaan SLPHT sebanyak 371 unit, terdiri dari
SLPHT padi non hibrida (176 unit), padi hibrida (60 unit), jagung (100 unit),
dan kedelai (35 unit) yang tersebar di 31 provinsi, 262 kabupaten
(Kementrian Pertanian, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Program PHT ini salah satunya dilaksanakan di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali pada tahun 2011 dimana daerah
tersebut melaksanakan pelatihan petani dan kelompok tani yang dilakukan di
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) padi selama satu
musim padi. Masyarakat petani di Desa Metuk diarahkan untuk menerapkan
konsep PHT sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk
berkembang, memperluas kesempatan untuk memecahkan masalah, dan
membuat keputusan dalam kegiatan usaha taninya.
Keberhasilan SLPHT padi ini tergantung bagaimana petani mengadopsi
penerapan teknologi PHT melalui kegiatan SLPHT padi yang telah diberikan.
Prinsip yang mendasari penerapan PHT tersebut antara lain budidaya tanaman
sehat, pelestarian musuh alami, dan pengamatan mingguan. Proses adopsi ini
tidak lepas dari karakteristik sosial ekonomi petani, meliputi umur,
pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tingkat pengalaman,
keaktifan keanggotaan petani, luas penguasaan lahan.
Dengan adanya kegiatan SLPHT diharapkan adanya perwujudan
tingkat penerapan PHT yang benar sesuai dengan rekomendasi. Berdasarkan
uraian tersebut perlu diteliti kaitan antara karakteristik sosial ekonomi dengan
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT. Untuk itu peneliti ingin
mengkaji lebih dalam mengenai hubungan karakteristik sosial ekonomi
dengan tingkat adopsi teknologi PHT Pasca SLPHT padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
B. Perumusan Masalah
Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki petani
menyebabkan kurangnya pemahaman efek samping penggunaan pestisida
secara terus-menerus. Seringnya petani menggunakan pestisida dalam
pengendalian hama menyebabkan produksi hasil pertanian bisa gagal. Hal ini
dikarenakan munculnya ledakan hama dan penyakit tanaman yang semakin
bertambah yang menjadi masalah besar di banyak daerah, termasuk di Desa
Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Program-program pertanian akan berhasil bila tingkat penerapan petani
dalam kegiatan (Pengendalian Hama Terpadu) PHT tinggi. PHT memegang
peranan penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan
mempertahankannya dalam jangka panjang, sekaligus memelihara keserasian
lingkungan dan menghindari pencemaran lingkungan. Oleh karena itu
diharapkan setelah petani mendapatkan pengetahuan PHT dari kegiatan
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) tersebut, petani dapat
mengadopsi teknologi PHT dari kegiatan SLPHT yang telah dilaksanakan dan
tingkat penerapan petani dapat meningkat, khususnya mengenai pengendalian
hama secara tepat.
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT
padi di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali ?
2. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi petani yang mengikuti kegiatan
SLPHT di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali?
3. Bagaimana hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi di Desa
Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca
SLPHT padi Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
2. Untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani yang mengikuti
kegiatan SLPHT di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten
Boyolali.
3. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani
dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi
di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat berguna untuk :
1. Bagi instansi terkait, diharapkan menjadi bahan informasi dan landasan
dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan Pengendalian Hama
Terpadu (PHT).
2. Bagi peneliti, sebagai salah satu syarat kelulusan dalam memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas sebelas
Maret Surakarta.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis
ataupun untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan dasar kebijakan
pemerintah dalam program perlindungan tanaman di Indonesia, yang
secara resmi tercantum pada Inpres Nomor 3/1986, UU No.12/1992
tentang Sistem budidaya Tanaman, dan PP Nomor 6/1995 tentang
Perlindungan Tanaman. Kebijakan PHT mulai berkembang sebagai
koreksi terhadap usaha pengendalian hama secara konvensional yang
mengutamakan penggunaan pestisida secara tidak tepat dan berlebihan.
Cara ini selain meningkatkan biaya produksi juga mengakibatkan
dampak samping yang merugikan lingkungan hidup dan kesehatan
masyarakat (Wasiati, 2007).
PHT adalah strategi pengendalian hama berdasar ekologi yang
menitikberatkan pada faktor-faktor mortalitas alami seperti musuh alami
dan cuaca serta mencari taktik pengendalian yang mengganggu faktor-
faktor ini seminimal mungkin. PHT memanfaatkan pestisida, tetapi
hanya setelah dilakukan pemantauan sistematik terhadap populasi hama
dan faktor pengendali hama menunjukkan perlunya penggunaan
pestisida. Secara ideal, program PHT memperhitungkan semua tindakan
pengendalian hama yang tersedia, termasuk juga tidak bertindak apa-apa,
dan mengevaluasi interaksi antara macam-macam taktik pengendalian,
cara-cara bercocok tanam, cuaca, hama lain, dan tanaman budidaya yang
akan dilindungi (Mary dan Robert, 1990).
Menurut Untung (1993), PHT merupakan suatu cara berfikir yang
baru, sangat berbeda dengan cara berfikir lama, terutama dalam program
perlindungan tanaman dan pengelolaan ekosistem pertanian pada
umumnya. Perubahan tersebut antara lain:
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
a. Pengendalian hama yang semula bertumpukan pada pestisida
kemudian menjadi pengendalian yang mengutamakan pengendalian
alami. Pestisida yang semula menjadi keharusan karena merupakan
masukan utama dalam pengendalian hama sekarang hanya menjadi
pendukung bagi berfungsinya kembali agensia pengendali alami.
b. Petani yang semula mengambil keputusan pengendalian hama lebih
didasarkan pada emosi serta sangat tergantung pada pemerintah,
sekarang menjadi petani yang lebih mandiri dan rasional dalam
mengambil keputusan tentang pengendalian hama kedudukannya
sebagai pengelola atau manajer lahan sawahnya sendiri.
c. Petani sendiri yang bertanggungjawab didalam melaksanakan fungsi
pemantauan, pengambilan keputusan dan program tindakan pada
unit lahan sawahnya sebagai bagian dari sistem penerapan PHT.
Dalam penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT),
pengamatan ekosistem merupakan kegiatan yang sangat menentukan
keberhasilan dalam mengambilan keputusan tentang pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Kegiatan pengamatan
bertujuan untuk memperoleh informasi tentang keadaan ekosistem
meliputi keadaan cuaca, air, tanah, populasi OPT, musuh alami,
kerusakan tanaman, pertumbuhan tanaman dan lain-lain (Wasiati, 2007).
Melalui penerapan 4 prinsip dasar PHT (budidaya tanaman sehat,
pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, pengamatan agroekosistem
secara rutin serta petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya)
dikembangkan secara nyata dan benar oleh petani, diharapkan akan
tercapai tujuan sebagai berikut : (a) Dapat terkendalinya gangguan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada tingkat yang tidak
merugikan secara ekonomi, (b) Dicapainya tingkat produktivitas dan
mutu hasil yang optimal, (c) Menjaga pelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup, (d) Memperoleh peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani serta devisa negara (Dinas Perkebunan Jateng, 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Semboyan “PHT OLEH petani dan bukan UNTUK petani” dan
“petani menjadi ahli PHT” dimaksudkan agar petani dapat menolong
dirinya sendiri dalam menghadapi masalah produksi, terutama hama yang
menyerang tanamannya, baik secara berkelompok maupun sendiri-
sendiri, dengan cara yang efektif, efisien dan bersahabat dengan
lingkungan. PHT merupakan salah satu cara pengembangan sumber daya
manusia ditingkat paling “bawah”, yaitu para petani yang langsung
berkepentingan dalam proses produksi. Dengan demikian PHT ingin ikut
berperan dalam mengembangkan pertanian yang tangguh dengan
membuat petaninya tangguh terlebih dahulu (Oka, 1995).
2. Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)
Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah suatu
model percontohan latihan petani secara besar-besaran. Tujuan Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah untuk melatih
petani sehingga menjadi ahli lapangan pengendalian hama terpadu
sehingga mampu menerapkan prinsip pengendalian hama terpadu,
sekurang-kurangnya di lingkungan sawahnya sendiri. Menurut Untung
(1993) untuk menghasilkan seorang petani yang ahli dalam pengendalian
hama terpadu, ketrampilan dasar yang perlu didapatkan dari Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) adalah:
a. Pengenalan musuh alami, hama, dan pola penyerangannya.
Kemampuan mengidentifikasikan musuh alami, hama, dan pola
penyerangannya dapat dipelajari melalui analisis ekosistem.
b. Pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis yang disusun, petani
dapat mengambil keputusan yang terbaik dalam pengendalian hama,
sehingga modal yang ditanamkan di sawahnya dapat diefisiensikan
penggunaannya.
Kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)
dilaksanakan menggunakan metode pembelajaran (teori dan praktek) yang
bersifat partisipatoris. Proses belajar dilaksanakan berdasarkan siklus
belajar, mulai dari mendapatkan pengalaman, mengungkapkan, diskusi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
menganalisa, menyimpulkan, dan menerapkan. Kurikulum dirancang
berdasarkan analisis keterampilan lapangan yang perlu dimiliki oleh
seorang petani untuk menjadi ahli PHT di lahannya sendiri, dan mampu
menularkannya kepada para petani lainnya (Kementrian Pertanian, 2010).
Kriteria pemilihan lokasi atau hamparan SLPHT:
a. Luas panen/luas sawah dengan irigasi teknis atau semi teknis
b. Lokasi/hamparan yang cukup strategis dan terjangkau oleh petani di
desa
c. Adanya kelompok-kelompok tani yang aktif
d. Waktunya sesuai dengan musim tanam setempat
Menurut Simon HT,dkk pada tahun 2007 menyatakan bahwa
kriteria pemilihan kelompok tani dan peserta:
a. Memilih kelompok tani yang dinamis dan paling luas sawahnya di
hamparan terpilih, dengan irigasi teknis atau semi teknis
b. Diutamakan petani penggarap/pemilik penggarap
c. Mengikutsertakan petani perempuan (minimal 30%)
d. Adanya keaktifan dan kesanggupan peserta untuk mengikuti
pertemuan mingguan sekolah lapangan sebanyak 12 kali berturut-turut
(satu musim)
e. Kriteria lain yang ditentukan sendiri oleh PHP/PPL
Para petani yang telah mengalami SLPHT dengan suka rela mau
meneruskan pengetahuan dan ketrampilannya tentang PHT kepada rekan-
rekan mereka yang belum sempat menikmati pelatihan dalam SLPHT.
Dengan demikian terjadi proses difusi teknologi PHT secara alamiah dari
petani ke petani. Sekolah-sekolah lapang PHT (SLPHT) yang menerapkan
proses belajar partisipatif kelihatannya juga akan diterapkan dalam
penyuluhan pertanian. Untuk menerapkan metode tersebut para Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) perlu dilatih terlebih dahulu secara intensif
mengenai materi dan sistem pelatihan (Oka, 1995).
Program tindak lanjut merupakan pendekatan untuk
melembagakan PHT di tingkat petani, yaitu agar PHT dengan pengertian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
mereka terapkan di lahannya baik secara berkelompok, maupun secara
perorangan berdasarkan pengetahuan yang telah mereka peroleh dari
SLPHT. Program ini mulai dirintis dalam tahun anggaran 1992-1993 yang
masih terbatas pada enam propinsi utama padi. Sasarannya ialah
kelompok-kelompok tani yang sudah memperoleh pelatihan PHT dua
tahun yang telah lewat. Program ini merupakan sasaran jangka panjang
dengan memperhatikan kembali apakah mereka masih melaksanakan PHT
dan sampai mana. Tidak hanya itu jangkauannya diperluas yaitu
kedalamnya juga dimasukkan kegiatan-kegiatan perencanaan produksi,
penggalian dana untuk pelatihan, pengorganisasian, evaluasi, studi-studi
sederhana di lapangan untuk antara lain meningkatkan efisiensi masukan
(pemupukan kimia, jarak tanam, pengelolaan air irigasi, evaluasi varietas),
melaksanakan PHT palawija dan program dari petani ke petani
(Oka,1995).
3. Prinsip PHT dalam SLPHT
Menurut Untung (1993) strategi PHT adalah memadukan semua
teknik/metode pengendalian hama secara optimal sehingga dapat
memberikan manfaat sosial ekonomi sebanyak-banyaknya bagi petani.
Teknologi pengendalian hama yang diterapkan mengikuti beberapa
prinsip dan prioritas sebagai berikut:
1. Pemanfaatan pengendalian alami setempat dengan menciptakan
lingkungan yang memungkinkan semakin berfungsinya berbagai
agensia pengendali alami secara maksimal.
2. Pengelolaan ekosistem dengan bercocok tanam.
3. Penerapan pengendalian non kimiawi lainnya seperti pengendalian
fisik, mekanik, genetik, dan lain-lain.
4. Penggunaan pestisida secara selektif (fisiologik dan ekologik)
berdasarkan pada hasil monitoring, analisis ekosistem dan
pengambilan keputusan.
Oleh program nasional, PHT beberapa prinsip, strategi, dan
metodologi PHT tersebut di atas disingkat menjadi 4 prinsip yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
1) Budidaya tanaman sehat
2) Melestarikan musuh alami
3) Pengamatan mingguan
4) Petani ahli PHT
Pada akhirnya menurut Kevin pada tahun 1991 sasaran
ketrampilan akan mendorong tiga prinsip dasar penting PHT:
1) Budidaya tanaman yang sehat (agronomi dan varietas yang baik)
2) Melestarikan musuh alami (keseimbangan populasi dan pengelolaan
musuh alami)
3) Pengamatan mingguan (ekologi dan analisa ekosistem untuk membuat
keputusan)
1. Budidaya Tanaman Sehat
Budidaya tanaman sehat merupakan semua usaha budidaya
tanaman yang dapat menyebabkan kesehatan dan produktivitas
tanaman perlu ditingkatkan mulai dari pemilihan bibit, penentuan
waktu tanam, sampai ke masa panen (Untung K, 2001).
Kegiatan bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang
bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan hama terjadi
dengan harapan agar populasi hama tidak meningkat sampai melebihi
ambang pengendaliannya. Tujuan dari pengendalian secara bercocok
tanam atau pengendalian agronomik adalah untuk mengelola
lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut
menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangbiakan hama
sehingga dapat mengurangi laju peningkatan populasi dan
peningkatan populasi kerusakan tanaman. Ada banyak tindakan
bercocok tanam yang dapat kita lakukan diantaranya adalah:
a. Pemberoan lahan
Pemberoan lahan pada suatu tempat dilakukan dengan
tujuan mengosongkan lahan sehingga hama tidak menjumpai
makanan yang sesuai sehingga populasi hama menurun.
Pemberoan lahan dilakukan juga untuk pengawetan tanah. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
melakukan pemberoan perlu diperhatikan sifat biologi dan
perilaku hama. Apabila hama mampu berdiapause selama masa
bero, teknik pemberoan lahan menjadi kurang efektif (Untung K,
2006).
b. Sanitasi
Pada prinsipnya sanitasi dilakukan dengan membersihkan
lahan dari sisa-sisa tanaman singgang atau bagian-bagian tanaman
lain yang tertinggal setelah masa panen. Bagian tanaman tersebut
seringkali merupakan tempat berlindung hama, tempat
berdiapause, atau tempat tinggal sementara sebelum tanaman
utama kembali ditanam. Dengan membersihkan sisa-sisa tanaman
tersebut berarti kita mengurangi populasi permulaan suatu hama
yang secara potensial dapat merugikan pertanaman berikutnya
(Untung K, 2006).
Pada SLPHT, sanitasi direkomendasikan dilakukan pada
fase pratanam. Sisa tanaman, singgang, tunggul, jerami, dan
gulma merupakan tempat bertahan OPT pada fase ini. Oleh
karena itu apabila perlu dilakukan pemusnahan sisa tanaman,
tunggul, dan jerami, serta sanitasi gulma perlu dilakukan untuk
memperkecil sumber inokulum awal (Wasiati, 2007).
c. Persemaian
Pembenihan merupakan salah satu tahap dalam budidaya
padi karena umumnya ditanam dengan menggunakan benih yang
sudah disemaikan terlebih dahulu di tempat lain. Pada
pelaksanaan SLPHT perlakuan benih direkomendasikan dengan
cara perendaman benih menggunakan air hangat atau perendaman
dengan PGPR. PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria)/
Bacteri Pemacu tumbuh merupakan campuran bakteri P.
Flourescens dan B. Ploymixa yang dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan mengendalikan penyakit
(Laboratorium PHPT, 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
d. Pemilihan varietas
Varietas padi sangat berperan dalam budidaya agar
berproduksi optimal. Pemilihan varietas padi sangat ditentukan
oleh kebiasaan petani, tujuan, musim tanam, daerah kronis
endemis hama penyakit dan lain-lain. Namun secara umum
penggunaan varietas unggul tahan hama penyakit lebih dianjurkan
dalam (Laboratorium PHPT, 2011).
e. Penyiapan lahan
Penyiapan lahan pada dasarnya adalah pengolahan tanah
sawah hingga siap untuk ditanami. Prinsip pengolahan tanah
adalah pemecahan bongkahan tanah sedemikian rupa hingga
menjadi lumpur lunak dan sangat halus. Selain kehalusan tanah,
ketersediaan air yang cukup harus diperhatikan. Bila air dalam
areal penanaman cukup banyak, maka akan makin banyak unsur
hara dalam koloid yang dapat larut. Keadaan ini berakibat makin
banyak unsur hara yang dapat diserap akar tanaman
(Laboratorium PHPT, 2011).
f. Penanaman serempak
Penanaman serentak dimaksudkan agar masa ketersediaan
makanan yang sesuai bagi hama lebih pendek sehingga
perkembangan populasi hama dapat dihambat. Rekomendasi
penanaman serentak dianjurkan untuk pengendalian hama-hama
padi termasuk wereng coklat, penggerek batang padi, tikus dan
hama-hama tanaman pangan lainnya (Untung K, 2006).
g. Pengaturan jarak tanam
Penetapan jarak tanam sangat menentukan tingkat
produktivitas. Jarak tanam yang terlalu rapat mengakibatkan
jumlah tanaman per satuan luas menjadi tambah besar sehingga
dapat menurunkan hasil. Sebaliknya apabila jarak tanam yang
terlalu lebar tidak diperoleh produksi maksimal (Untung K,
2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Jarak tanam di lahanpun mempengaruhi tinggi rendahnya
produktivitas padi. Penentuan jarak tanam sendiri dipengaruhi
oleh 2 faktor yaitu sifat varietas dan kesuburan tanah. Jarak tanam
yang paling banyak digunakan petani di Indonesia adalah 25 x 25
cm dan 30 x 30 cm (Laboratorium PHPT, 2011).
h. Pengelolaan air
Meskipun secara umum air yang tergenang dibutuhkan padi
sawah namun ada saatnya sawah harus dikeringkan agar
pertumbuhan dan produktivitas tanaman menjadi baik. Untuk itu
pemasukan dan pengeluaran air harus dilakukan (Laboratorium
PHPT, 2011).
i. Pergiliran tanaman
Tujuan pergiliran tanaman adalah memutus kesinambungan
penyediaan makanan bagi hama di suatu tempat yaitu dengan
tidak menanam suatu jenis tanaman sama dari suatu musim ke
musim lain. Pergiliran atau rotasi tanaman yang baik adalah bila
jenis tanaman yang ditanam pada suatu musim berbeda dengan
jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya, dan jenis
tanaman tersebut bukan merupakan inang hama yang menyerang
tanaman yang ditanam pada musim sebelumnya (Untung K,
2006).
j. Pemupukan berimbang
Untuk mempertahankan ketersediaan hara dalam tanah
cukup untuk pertumbuhan tanaman yang optimal, maka perlu
dilakukan pengamatan pertumbuhan warna dan daun. Pemupukan
dianjurkan memakai pupuk organik, jika pupuk organik tidak
tersedia, maka dapat digunakan pupuk kimia yang bisa dipakai
petani yaitu Urea, SP-36, KCl dan ZA (Laboratorium PHPT,
2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
k. Penyiangan
Tujuan penyiangan adalah disamping membersihkan gulma
yang mengganggu pertanaman padi agar terjadi pertukaran udara,
yaitu oksigen masuk ke dalam tanah dan gas-gas yang terbentuk
dalam keadaan anaerobik didalam tanah dapat menguap. Gas-gas
anaerobik tersebut dapat menjadi racun bagi tanaman
(Laboratorium PHPT, 2011).
2. Pelestarian Musuh Alami
Musuh alami sebagai faktor pengendali secara alami terhadap
hama padi sangat diperlukan keberadaannya didalam ekosistem atau
agroekosistem tanaman padi. Untuk itu harus dijaga kelestariannya
dan ditingkatkan perannya (Untung K, 2001).
Pelestarian musuh alami dilakukan dengan menemukan,
mengenali dan mengamati musuh alami (teman petani) di lahan sawah
serta memelihara keseimbangan lingkungan lahan sawah agar
populasi musuh alami dapat berkembang, dengan tidak menggunakan
pestisida yang membunuh musuh alami (Untung K, 1993).
Menurut Untung K (2001) ketidakmampuan musuh alami
dalam mengendalikan populasi hama disebabkan oleh banyak hal
antara lain:
1) Ditempat itu tidak ada jenis musuh alami yang efektif mengatur
populasi hama karena musuh alami yang ada kurang memiliki
sifat tergantung kepadatan yang tinggi
2) Jumlah populasi musuh alami rendah sehingga tidak mampu
memberikan respon numerik yang cepat dalam mengimbangi
peningkatan populasi hama.
3) Akibat terjadinya perubahan cuaca yang menguntungkan bagi
perkembangan populasi hama dan merugikan bagi perkembangan
musuh alami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3. Pengamatan mingguan
Pengamatan mingguan dilakukan dengan mengamati tanaman,
air, penyakit, tikus, hama dan musuh alami serta menganalisis keadaan
dan membuat keputusan dengan membandingkan potensi kehilangan
hasil dengan ongkos pengelolaan.
Agroekosistem sangat dinamis, banyak faktor yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Terjadinya letusan hama pada
suatu agroekosistem merupakan hasil interaksi berbagai komponen
ekosistem yang mengakibatkan peningkatan populasi hama sampai
melampaui ambang ekonomi. Komponen ekosistem tersebut dapat
berasal dari dalam ekosistem sendiri maupun dimasukkan oleh karena
tindakan manusia (Untung K, 2001).
Di SLPHT daur pelaksanaan PHT termasuk kegiatan
pengamatan, analisis ekosistem dan pengambilan keputusan
dilaksanakan sendiri oleh petani. Petani dilatih menjadi pengamat,
penganalisis ekosistem dan sekaligus sebagai pengambil keputusan.
Model pengambilan keputusan yang dilatihkan saat ini masih
merupakan model “Ambang Petani” yang sederhana dan masih
cenderung bersifat kualitatif. Berdasarkan hasil pemantauan,
pengalaman dan kepekaan perasaan para petani diharapkan mereka
dapat mengambil keputusan yang paling baik (Untung K, 2006).
Dengan dilakukan sistem monitoring maka kepadatan populasi
hama meningkat pada tingkat ambang ekonomi dapat diketahui sedini
mungkin, sehingga akan segera diusahakan tindakan pengendaliannya.
Monitoring hama adalah komponen yang sangat penting dan
menentukan dalam menunjang keberhasilan program PHT, sebagai
upaya untuk dapat memberi informasi dan rekomendasi untuk
melakukan tindakan pengendalian antara lain dengan cara penggunaan
pestisida (Natawigena, 1990).
Dengan mengetahui situasi hama di lapangan sedini mungkin
sebelum populasi hama tinggi, maka dapat menghemat penggunaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
insektisida, sehingga menghemat biaya serta mengurangi pencemaran
lingkungan. Karena pada prinsipnya pengendalian hama adalah
menjadi kewajiban petani, maka para petani sendiri yang seharusnya
mengetahui terlebih dahulu mengenai situasi hama di lahan
pertaniannya. Pengamat hama di suatu wilayah bukan merupakan
kewajiban petugas perlindungan tanaman saja, para petani harus
melakukannya di masing-masing lahan sawahnya dengan telaten. Bila
diperlukan para petani dapat melaporkan mengenai situasi hama
kepada para penyuluh pertanian melalui pamong desa setempat untuk
memperoleh petunjuk atau bantuan (Natawigena, 1990).
4. Adopsi dan Inovasi
Adopsi adalah proses perubahan yang berupa pengetahuan
(cognitif), sikap (affective), maupun ketrampilan (psikomotorik) pada diri
seseorang setelah menerima pesan yang disampaikan oleh penyuluh
kepada sasarannya (Mardikanto, 1993). Inovasi menurut Rogers (1983)
merupakan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Ide tersebut betul-betul baru atau tidak, jika diukur dengan
selang waktu sejak digunakannya atau ditemukannya pertama kali.
Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan
individu yang menangkapnya.
Mardikanto (1993) menyatakan bahwa pada dasarnya proses
adopsi pasti melalui tahap-tahapan sebelum masyarakat mau menerima
atau menerapkan dengan keyakinan sendiri maskipun selang waktu antar
tahapan satu dengan yang lainnya tidak selalu sama sifat inovasi,
karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial) dan
kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh.
Ada 3 hal menurut Soekartawi (1998) dalam proses adopsi
inovasi, yaitu:
a. Adanya pihak lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan
berhasil dengan sukses.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
b. Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis,
sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter.
c. Adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam arti telah memberi
keuntungan, sehingga informasi ini akan memberi dorongan kepada
calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi meliputi:
1. Sifat Inovasi
a. Keuntungan relatif (relative advantage)
Setiap ide (inovasi) baru akan dipertimbangkan mengenai
seberapa jauh keuntungan relatif yang dapat diberikan, yang
diukur dengan derajat keuntungan ekonomi, besarnya
penghematan atau keamanan, atau pengaruhnya terhadap posisi
sosial yang akan diterima oleh komunikasi selaku adopter.
Menurut Rogers (1985), keuntungan relatif adalah
tingkatan dimana suatu ide baru dianggap suatu yang lebih baik
daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Keuntungan relatif
seringkali dinyatakan dengan atau dalam bentuk keuntungan
ekonomis.
b. Kompatibilitas (compatibility)
Setiap inovasi baru akan cepat diadopsi manakala
mempunyai kecocokan atau berhubungan dengan kondisi setempat
yang telah ada di masyarakat. Menurut Rogers (1985),
kompatibilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap
konsisten dengan nilai – nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan
kebutuhan penerima.
c. Kompleksitas (complexity)
Menurut Rogers (1985), kompleksitas adalah tingkat
dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan
digunakan. Inovasi – inovasi tertentu begitu mudah dapat
dipahami oleh penerima tertentu, sedangkan orang lainnya tidak.
Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Ini
berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan
makin lambat pengadopsiannya.
d. Triabilitas
Menurut Rogers (1985), triabilitas adalah suatu tingkat
dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Ide baru
yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi
yang tidak dapat dicoba lebih dulu. Petani cenderung untuk
mengadopsi inovasi jika telah dicoba dalam skala kecil di
lahannya sendiri dan terbukti lebih baik daripada megadopsi
inovasi cepat dalam skala besar.
e. Observabilitas (observability)
Inovasi baru, akan lebih cepat diadopsi manakala
pengaruhnya atau hasilnya mudah dan atau cepat dilihat atau
diamati oleh komunikannya. Menurut Rogers (1985),
observabilitas adalah tingkat dimana hasil – hasil suatu inovasi
dapat dilihat oleh orang lain.
f. Input komplementer yang diperlukan (required complementery
inputs)
2. Jenis keputusan inovasi
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), ada
beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu:
a. Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada
seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan.
b. Keputusan individual, yaitu keputusan dimana individu yang
bersangkutan ambil peranan dalam pembuatannya.
Keputusan individual ini ada 2 macam:
1) Keputusan opsional yaitu keputusan yang dibuat oleh
seseorang, terlepas dari keputusan – keputusan yang dibuat
oleh anggota sistem.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2) Keputusan kolektif yakni keputusan yang dibuat individu –
individu yang ada dalam sistem sosial melalui konsensus.
Sebagai tambahan dari ketiga tipe diatas, ada keputusan
kontingen, yaitu pemilihan untuk menerima atau menolak
inovasi setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.
3. Saluran komunikasi
Penyampaian inovasi baru lewat media massa, relatif akan
lebih lamban diadopsi oleh komunikan dibanding jika disampaikan
secara interpersonal (hubungan antar pribadi). Sedangkan Menurut
Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987), saluran komunikasi
yakni alat yang dipergunakan untuk menyebarkan suatu inovasi
mungkin juga punya pengaruh terhadap kecepatan pengadopsian
inovasi.
4. Ciri – ciri sistem sosial
a. Adopsi inovasi didalam masyarakat modern, relatif lebih cepat
dibanding dengan adopsi inovasi didalam masyarakat yang masih
tradisional.
b. Demikian pula, proses adopsi dalam masyarakat lokalite akan
lebih lamban bila dibandingkan di dalam masyarakat yang
kosmopolite.
5. Kegiatan promosi
Kecepatan adopsi inovasi, juga sangat ditentukan oleh semakin
intensif dan seringnya intensitas atau frekuensi promosi yang
dilakukan agen pembaruan (penyuluh) setempat dan atau pihak –
pihak lain yang berkompeten dengan adopsi inovasi tersebut seperti:
lembaga penelitian produsen, pedagang, dan atau sumber informasi
(inovasi) tersebut.
5. Karakteristik Sosial Ekonomi
Petani di dalam menanggapi suatu ide atau informasi yang baru
akan berbeda menurut karakteristik kepribadian dan ciri-ciri sosial
ekonomi masing-masing individu (Mardikanto, 1989). Menurut Rogers
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
(1985) parameter dalam pengukuran status sosial ekonomi adalah kasta,
umur, pendidikan, status perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi
sosial, hubungan organisasi pembangunan, pemilikan lahan, pemilikan
sarana pertanian serta penghasilan sebelumnya.
Karakter sosial ekonomi petani meliputi:
a. Umur
Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan merespon
terhadap hal-hal yang baru dalam menjalankan usahataninya. Slamet
(1994) menambahkan bahwa faktor umur sangat penting dalam
partisipasi, biasanya mereka yang masuk golongan umur (40 – 60)
dimana akan semakin aktif keterlibatannya dalam partisipasi tahap
pelaksanaan. Mardikanto (1993) menerangkan bahwa biasanya orang
tua hanya cenderung melaksanakan kegiatan – kegiatan yang sudah
biasa dilakukan oleh warga masyarakat setempat. Mereka cenderung
apatis terhadap adanya teknologi baru sehingga mereka hanya
melaksanakan kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh pendahulu
atau masyarakat sekitar.
b. Pendidikan formal
Menurut Soekartawi (1988) pendidikan formal merupakan sarana
belajar dimana selanjutnya diperkirakan akan menanamkan pengertian
sikap yang menguntungkan menuju penggunaan praktek pertanian
yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi (lebih dari
SMA) akan lebih mudah melakukan proses adopsi inovasi dalam
seluruh kegiatan yang diadakan.
c. Pendidikan non formal
Pendidikan non formal oleh Mardikanto (1982) diartikan sebagai
penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir yang berada diluar
sistem pendidikan sekolah, isi pendidikan terprogram, proses
pendidikan yang berlangsung berada dalam suatu interaksi belajar
mengajar yang banyak terkontrol.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Penyuluhan merupakan sistem pendidikan non formal bagi
(masyarakat petani) untuk membuat mereka tahu, mau dan mampu
berswadaya melaksanakan upaya peningkatan produksi,
pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga
(Mardikanto, 1993).
d. Pendapatan petani
Soekartawi (1988) menyebutkan bahwa petani dengan tingkat
pendapatan tinggi ada hubungannya dengan penggunaan suatu
inovasi. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah menerima
suatu inovasi. Penerimaan usahatani atau pendapatan akan mendorong
petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan,
seperti untuk kegiatan produktif (biaya produksi periode selanjutnya),
kegiatan konsumtif (untuk pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
rekreasi dan pajak – pajak), pemeliharaan investasi serta tabungan dan
investasi).
e. Tingkat pengalaman
Rahmat (1994) mengemukakan bahwa pengalaman seseorang tidak
selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman juga melalui
serangkaian aktivitas yang pernah dialami. Menurut Mardikanto
(1988) kurangnya pengetahuan, ketrampilan, dan pegalaman untuk
melakukan perubahan merupakan faktor penghambat terjadinya
perubahan pada individu tersebut.
Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa petani yang baru belajar
(pemula) dibandingkan dengan petani yang sudah berpengalaman
akan berbeda dalam hal kecepatannya untuk melakukan proses adopsi
inovasi. Pengalaman petani merupakan sumber informasi yang amat
penting dalam keberhasilan adopsi. Hal ini perlu didukung juga oleh
sumber – sumber informasi yang tersedia, misalnya melalui media
massa dan agen pertanian.
f. Keaktifan keanggotaan petani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Proses adopsi inovasi menyangkut proses pengambilan keputusan.
Adopsi inovasi merupakan hasil kegiatan suatu komunikasi pertanian,
oleh karena itu melibatkan interaksi sosial diantara anggota
masyarakat. Proses adopsi inovasi tidak terlepas dari pengaruh
interaksi antara individu, anggota masyarakat atau kelompok
masyarakat (Soekartawi, 1988).
g. Luas penguasaan lahan
Menurut Lionberger (1960), luas usahatani berhubungan positif
dengan adopsi inovasi. Kemampuan ekonomi yang dimiliki semakin
lebih baik sehingga berusaha untuk meningkatkan kegiatan produksi
yang lebih besar.
Petani dengan luas lahan yang sempit, lemah dalam permodalan,
lemah dalam pengetahuan dan ketrampilan dan juga kerap kali lemah
didalam semangat dan keinginannya untuk maju. Dalam hal ini, petani
yang mempunyai luas lahan sempit akan sulit menerapkan setiap
teknologi baru yang dianjurkan penyuluh dalam memperbaiki
usahataninya sedangkan petani dengan luas lahan yang lebih luas akan
cenderung lebih aktif dalam mengusahakan lahannya (Kuswardhani,
1998).
6. Petani
Menurut Mosher (1968), petani berperan sebagai manajer, juru
tani dan manusia biasa yang hidup dalam masyarakat. Petani sebagai
manajer akan berhadapan dengan berbahai alternatif yang harus
diputuskan mana yang harus dipilih untuk diusahakan. Petani harus
menentukan jenis tanaman atau ternak yang akan diusahakan, menentukan
cara-cara berproduksi, menentukan cara-cara pembelian sarana produksi,
menghadapi persoalan tentang biaya, mengusahakan permodalan, dan
sebagainya. Untuk itu, diperlukan ketrampilan, pendidikan, dan
pengalaman yang akan berpengaruh dalam proses pengambilan
keputusan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Petani sebagai juru tani harus dapat mengatur, melaksanakan, dan
mengawasi kegiatan usahataninya, baik secara teknis maupun ekonomis.
Disamping itu, tersedianya sarana produksi dan peralatan akan menunjang
keberhasilan petani sebagai juru tani.
Petani sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam suatu ikatan
keluarga akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya.
Disamping itu, petani juga harus berusaha memenuhi kebutuhan
masyarakat atas diri dan keluarganya. Sebaliknya, petani juga
membutuhkan bantuan masyarakat sekelilingnya. Besar kecilnya
kebutuhan bantuan terhadap masyarakat sekelilingnya tergantung pada
teknologi yang digunakan dan sifat masyarakat setempat. Dalam
praktiknya, peranan-peranan tersebut saling kait-mengkait, tetapi pasti ada
salah satu yang menonjol. Sebagai contoh, pada suatu daerah tidak
terdapat jenis komoditas a, b, c padahal sebetulnya sangat cocok dengan
iklim dan jenis tanah setempat dan harganya pun tinggi. Setelah diteliti
ternyata komoditas a, b, c, tersebut tidak umum diusahakan, bahkan tabu
bagi daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peranan petani sebagai
manajer sangat lemah, tetapi peranan petani sebagai anggota
masyarakatlah yang menonjol (Suratiyah, 2008).
Kesulitan-kesulitan petani dalam mengambil keputusan
dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kurang pengetahuan mengenai perubahan harga baik harga faktor
produksi maupun produksinya.
2. Kurang pengetahuan mengenai teknologi mutakhir, misalnya dosis,
cara pemberian, dan kapan harus dilaksanakan.
3. Kurang pengetahuan mengenai pemasaran, misalnya waktu, cara
penjualan, dimana harus dijual, grading dan angkutan.
4. Kurang pengetahuan mengenai:
a. Pembiayaan; jangka pendek atau operasional, seperti adanya
kredit KUT (Kredit Usaha Tani)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
b. Jangka panjang, misalnya bagaimana mencari bantuan untuk
peremajaan tanaman keras, kurang pengetahuan mengenai
pengelolaan hasil dan pendapatan, serta
5. Kurang pengetahuan mengenai:
a. Factor-product relationship
b. Factor-factor relationship
c. Product-product relationship
d. Time relationship
Petani harus selalu mencari informasi yang bersifat teknis maupun
ekonomis supaya petani dapat memanfaatkan segala kesempatan yang
ada. Disamping bimbingan yang diarahkan agar alternatif-alternatif yang
dipilih secara teknis dapat dilaksanakan dan secara ekonomis paling
menguntungkan (Suratiyah, 2008).
Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan
pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya diterima petani
setiap musim panen, sedangkan pengeluaran harus diadakan setiap hari,
setiap minggu, atau kadang-kadang dalam waktu yang sangat mendesak
sebelum panen tiba. Petani kaya dapat menyimpan hasil panennya yang
besar untuk kemudian dijual sedikit demi sedikit pada waktu
keperluannya tiba, tetapi berhubung padatnya penduduk petani maka
kepemilikan tanah pertanian menjadi sangat kecil sehingga hasil bersih
dari tanah pertaniannya biasanya tidak mencukupi keperluan hidup petani
sepanjang tahun. Itulah sebabnya kebanyakan keperluan petani yang besar
seperti memperbaiki rumah, membeli sepeda atau pakaian, hanya dapat
dipenuhi pada masa panen (Mubyarto, 1977).
Seringkali orang menganggap bahwa tugas dan kepentingan petani
hanyalah semata-mata menanam, memelihara, dan memetik hasil-hasil
pertanian. Boleh dikata hanya merupakan masalah teknis saja. Anggapan
demikian adalah keliru, yang benar adalah bahwa para petani
berkepntingan untuk meningkatkan penghasilan pertaniannya dan
penghasilan keluarganya (farm income). Untuk ini selain besarnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
produksi mereka juga berkepentingan agar biaya produksi pertaniannya
dapat ditekan serendah-rendahnya dan penerimaan dari penjualan hasilnya
dapat dinaikkan setinggi-tingginya (Mubyarto, 1977) .
B. Kerangka Berpikir
Salah satu kendala teknis dalam berusahatani ialah masalah serangan
(Organisme Pengganggu Tanaman) OPT. Semasa awal permulaan program
masalah intensifikasi masalah OPT diusahakan dan ditanggulangi dengan
menitikberatkan kepada satu cara yaitu dengan pestisida, ternyata dengan
pendekatan yang sempit ini sama sekali tidak bisa mengatasi masalah hama
penyakit yang ada, justru banyak menimbulkan masalah seperti masalah
residu pestisida (air dan udara), serta terbunuhnya organisme bukan sasaran.
Oleh karena itu pemerintah telah mengambil suatu kebijaksanaan
perlindungan tanaman yang dianut dan dikenal adalah penerapan sistem
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT merupakan pengetahuan yang
harus diterapkan petani agar petani tidak terus menggunakan pestisida yang
dapat merusak lingkungan. PHT adalah pengendalian hama yang memiliki
dasar ekologis dan menyandarkan diri pada faktor-faktor mortalitas alami
seperti musuh alami dan cuaca serta menarik taktik pengendalian yang
mendatangkan gangguan sekecil mungkin terhadap faktor-faktor tersebut.
Secara ideal, program pengendalian hama terpadu mempertimbangkan semua
kegiatan pengendalian hama yang ada. Kegiatan pengendalian ini termasuk
tanpa melakukan tindakan apapun, mengevaluasi keterkaitan berbagai taktik
pengendalian, cara-cara bercocok tanam, cuaca, hama-hama lainnya dan
tanaman yang harus dilindungi (Flint dan Van Den Bosch, 1990)
Agar petani sebagai pelaku utama dalam usaha tani dapat mengetahui
dan memahami lebih lanjut tentang (Pengendalian Hama Tanaman) PHT,
maka petani diikutkan dalam kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama
Terpadu (SLPHT). Tujuan umum dari kegiatan SLPHT adalah petani dan
pemandu lapangan diharapkan dapat memasyarakatkan PHT, sehingga
SLPHT yang pada mulanya hanya bersifat lokal, akan terus hidup dan
berkembang, dengan dukungan para (Pengamat Hama Penyakit) PHP dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), serta aparat pemerintah setempat.
Setelah petani mengikuti kegiatan ini, diharapkan agar petani mampu
mengadopsi teknologi PHT yang mereka dapat selama mengikuti kegiatan
SLPHT. Tingkat adopsi petani ini berkaitan dengan berbagai faktor – faktor
yang mempengaruhi tingkat adopsi petani dalam menerapkan PHT yaitu
karakteristik sosial ekonomi petani meliputi umur, pendidikan formal,
pendidikan non formal, pendapatan, tingkat pengalaman, keaktifan
keanggotaan petani, luas penguasaan lahan.
Berdasarkan uraian dapat digambarkan secara sistematik hubungan
antar variabel dalam penelitian sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat Adopsi Teknologi PHT Pasca SLPHT Padi
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang dibuat diajukan hipotesis sebagai
berikut :
1. Diduga terdapat hubungan yang signifikan karakteristik sosial ekonomi
dengan tingkat adopsi teknologi PHT pasca SLPHT padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
Tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT (Y):
(Y1) Budidaya tanaman sehat (Y2) Pelestarian musuh alami (Y3) Pengamatan mingguan
Umur (X1)
Pendidikan formal (X2)
Pendidikan non formal (X3)
Pendapatan (X4)
Tingkat pengalaman (X5)
Keaktifan keanggotaan petani (X6)
Luas penguasaan lahan (X7)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Definisi Operasional
1) Karakteristik sosial ekonomi petani merupakan tanda atau ciri – ciri dari
seseorang yang ada di dalam pribadi seseorang yang dapat
mempengaruhi seseorang di dalam menerapkan suatu inovasi.
Karakteristik sosial ekonomi meliputi :
a. Umur adalah umur petani (dalam tahun) pada saat penelitian
dilakukan.
b. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan terakhir yang pernah
ditempuh oleh responden berdasarkan jenjang pendidikan.
c. Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh responden
di luar pendidikan formal, meliputi mengikuti penyuluhan pertanian
dan pelatihan selama satu musim tanam terakhir pada saat penelitian
dilaksanakan serta frekuensi responden mengikuti kegiatan SLPHT.
d. Pendapatan adalah total pemasukan atau pendapatan responden dari
bidang pertanian dan pendapatan dari bidang non pertanian yang
tercermin dalam satu musim tanam pada saat penelitian
dilaksanakan.
e. Tingkat pengalaman petani merupakan lamanya petani dalam
melakukan budidaya tanaman padi hingga penelitian ini dilakukan,
dinyatakan dalam tahun.
f. Keaktifan keanggotaan petani adalah keterlibatan petani dalam
kelompok tani, meliputi frekuensi hadir dalam pertemuan rutin
kelompok, keaktifan petani didalam memberi masukan, lamanya
pengalaman berkelompok, dan kedudukan petani dalam kelompok.
g. Luas penguasaan lahan adalah luas lahan yang digarap atau
diusahakan oleh petani responden pada saat penelitian berlangsung
dan dinyatakan dalam satuan hektar (Ha).
2) Tingkat adopsi teknologi PHT pasca SLPHT padi adalah tingkat
penerapan teknik teknologi PHT sesuai dengan metode yang dianjurkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
setelah melaksanakan SLPHT. Tingkat adopsi teknologi PHT pasca
SLPHT padi diukur dalam skala ordinal.
a. Budidaya tanaman sehat
Yaitu semua usaha budidaya tanaman yang dapat menyebabkan
kesehatan dan produktivitas tanaman perlu ditingkatkan mulai dari
pemilihan bibit, penanaman sampai ke masa panen.
Menggunakan indikator:
1) Pemberoan lahan adalah kegiatan pengosongan lahan atau tidak
menanami lahan dalam jangka waktu tertentu.
2) Sanitasi adalah kegiatan membersihkan lahan dari sisa-sisa
tanaman singgang atau bagian-bagian tanaman lain yang
tertinggal setelah masa panen.
3) Persemaian adalah kegiatan penyebaran benih atau pembuatan
bibit dalam bedengan.
4) Perlakuan benih adalah kegiatan memperlakukan benih sebelum
disemaikan.
5) Penggunaan varietas tahan adalah penanaman varietas
dianjurkan untuk menggunakan varietas yang tahan terhadap
hama dan penyakit.
6) Pengolahan tanah, dilakukan untuk mempersiapkan lahan baik
untuk persemaian/penanaman, bermanfaat untuk pengendalian
hama (untuk hama yang berada dalam tanah).
7) Penanaman serempak adalah kegiatan penanaman secara
serempak dalam suatu hamparan.
8) Pengaturan jarak tanam dan sistem tanam adalah kegiatan
penentuan jarak tanam dan penggunaan sistem tanam dalam
berusaha tani.
9) Pergiliran tanaman yaitu melakukan rotasi tanaman, jenis
tanaman yang ditanam pada suatu musim berbeda dengan jenis
tanaman yang ditanam pada musim berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
10) Pengelolaan air yaitu pengaturan air pada lahan sawah yang
dilakukan dengan pengeringan atau penggenangan pada fase-
fase tertentu sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman dan juga
disesuaikan dengan sifat perilaku dan biologi serangga hama
sasaran.
11) Pemupukan berimbang adalah penggunaan pupuk organik dan
pupuk kimia untuk penerapan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) pada usaha tani padi sawah.
12) Penyiangan adalah kegiatan pencabutan tanaman-tanaman
disekitar tanaman inang yang dapat mengganggu keseimbangan
pertumbuhan tanaman inang yang dibudidayakan.
b. Pelestarian musuh alami
Dilakukan dengan menemukan, mengenali dan mengamati musuh
alami (teman petani) di lahan sawah agar populasi musuh alami
dapat berkembang, dengan tidak menggunakan pestisida yang
membunuh musuh alami.
Menggunakan indikator:
1) Kemampuan mengidentifikasi hama dan musuh alami
2) Mengamati perkembangan musuh alami
3) Memelihara keseimbangan lingkungan musuh alami
4) Pemanfaatan musuh alami
c. Pengamatan mingguan
Bertujuan untuk mengetahui situasi hama di lapangan sedini
mungkin sehingga tindakan pengendalian hama dapat dilakukan
sedini mungkin dan munculnya peletusan hama dapat dicegah.
Menggunakan indikator:
1) Pengamatan terhadap keadaan tanaman
2) Pengamatan terhadap populasi hama dan musuh alami
3) Pengamatan terhadap kondisi cuaca
4) Pengamatan terhadap intensitas serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) dan serangga lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
5) Waktu memulai pemantauan
6) Frekuensi melakukan pengamatan
7) Keputusan tindakan pengendalian hama
8) Teknik pengendalian hama
2. Pengukuran Variabel
Semua indeks yang merupakan karakteristik sosial ekonomi dan
tingkat adopsi teknologi PHT ini diukur dengan menggunakan skala
ordinal, yaitu jawaban responden dikategorikan dalam tiga kategori,
yaitu tinggi (skor 3), sedang (skor 2), dan rendah (skor 1). Adapun
pengukuran karakteristik sosial ekonomi petani dan penerapan
teknologi PHT dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 2. Deskripsi Variabel, Indikator, dan Kriteria Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
Variabel Indikator Kriteria Skor
1. Umur Rendah : < 40 tahun 1
Sedang : 40 - 60 tahun 2
Tinggi : > 60 tahun 3
2. Pendidikan formal Rendah : SD 1
Sedang : SMP – SMU 2
Tinggi : > SMU 3
3. Pendidikan non formal
Frekuensi responden mengikuti kegiatan penyuluhan dalam satu kali musim tanam
Rendah : Tidak pernah Sedang : 1 - 2 kali Tinggi : 3 kali
1 2 3
Frekuensi responden mengikuti kegiatan SLPHT
Rendah : Mengikuti < 5 pertemuan yang diadakan
Sedang : Mengikuti 5 – 10 pertemuan yang diadakan
Tinggi : Mengikuti semua pertemuan yang dilaksanakan
1
2
3
4. Pendapatan pendapatan responden dari bidang pertanian dan non pertanian selama satu musim tanam terakhir
Rendah : < Rp 8.000.000 Sedang : Rp 8.000.000 -
Rp 13.000.000 Tinggi : > Rp 13.000.000
1 2
3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
5. Tingkat pengalaman petani
Lamanya petani melakukan budidaya tanaman padi
Rendah : < 10 tahun Sedang : 10 - 20 tahun Tinggi : > 20 tahun
1 2 3
6. Keaktifan keanggotaan petani
Frekuensi responden dalam menghadiri pertemuan rutin kelompok tani keaktifan petani didalam mengajukan gagasan/pertanyaan dalam setiap kegiatan penyuluhan
Rendah : Tidak pernah Sedang : Kadang - kadang
(1 - 2 kali) Tinggi: Sering ( 3 kali)
1 2
3
Rendah : tidak pernah memberi gagasan/pertanyaan
Sedang : kadang- kadang mengajukan gagasan/pertanyaan
Tinggi: selalu mengajukan gagasan/pertanyaan
1
2
3
kedudukan responden dalam kelompok tani
Rendah : anggota pasif Sedang : anggota aktif Tinggi : pengurus Rendah : 1- 4 tahun Sedang : 5 – 9 tahun Tinggi : 10 tahun
1 2 3
1 2 3
Pengalaman berkelompok
7. Penguasaan lahan
usahatani Ukuran luas usahatani yang dikuasai responden
Rendah : < 0,2 Ha Sedang : 0,2 - 0,49 Ha Tinggi : 0,5 Ha
1 2 3
Tabel 3. Deskripsi Variabel, Indikator, Kriteria Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Variabel Indikator Kriteria Skor
1. Budidaya tanaman sehat
Pemberoan lahan Rendah : Tidak pernah melakukan Sedang : Kadang – kadang diberokan Tinggi : Setiap musim tanam ada
fase bero Rendah : Tidak pernah melakukan
sanitasi Sedang : Jarang melakukan sanitasi Tinggi : Selalu melakukan sanitasi
1 2 3
1
2 3
Sanitasi
Persemaian
Rendah : Tidak ada persemaian, membeli bibit di tempat lain
Sedang : Membuat persemaian sendiri
Tinggi : Membuat persemaian bersama kelompok tan
1
2
3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Perlakuan benih Penggunaan varietas tahan
Rendah : Perendaman dengan air hangat dan PGPR
Sedang : perendaman dengan air hangat
Tinggi : Tidak ada perlakuan Rendah : Tidak menggunakan
varietas tahan hama penyakit
Sedang : Menggunakan varietas yang kurang tahan hama penyakit
Tinggi : Menggunakan varietas yang tahan hama penyakit
1
2
3
1
2
3
Pengolahan tanah
Rendah : Bajak 1x, garu 1x, cangkul
ringan 1x Sedang : Bajak 1x, garu 2x, cangkul
ringan 2x Tinggi : Bajak 2x, garu 2x, cangkul
ringan 2x
1
2
3
penanaman serentak Penentuan jarak tanam dan sistem tanam Pergiliran tanaman Pengelolaan air
Rendah : Tidak pernah serentak dengan petani lain
Sedang : Jarang melakukan penanaman serentak dengan petani lain
Tinggi : Sering melakukan penanaman serentak dengan petani lain
Rendah : Tidak menetapkan jarak
tanam dan sistem tanam Sedang : Jarak tanam tidak sesuai
anjuran Tinggi : Jarak tanam sesuai anjuran
dan sistem tanam jajar legowo
Rendah : Tidak melakukan pergiliran
tanaman Sedang : kadang-kadang melakukan
pergiliran tanaman Tinggi : Selalu melakukan pergiliran
tanaman Rendah : tidak melakukan Sedang : Melakukan tetapi tidak
sesuai anjuran Tinggi : Melakukan sesuai anjuran
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1 2
3
Pemupukan berimbang
Rendah : dosis pupuk tidak sesuai anjuran
Sedang : dosis pupuk kadang-kadang sesuai anjuran
1
2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tinggi : dosis pupuk selalu sesuai anjuran
3
Penyiangan Rendah : Tidak pernah melakukan penyiangan sesuai anjuran
Sedang : kadang - kadang melakukan penyiangan sesuai anjuran
Tinggi : Selalu melakukan penyiangan sesuai anjuran
1
2
3
2. Tingkat pelestarian musuh alami
Kemampuan mengidentifikasi hama dan musuh alaminya
Rendah : Tidak tahu sama sekali Sedang : Kurang mengenal dengan
cermat Tinggi : Mampu mengidentifikasi
dengan cermat
1 2
3
Mengamati perkembangan musuh alami
Rendah : Jarang sekali mengamati Sedang : Kurang mengamati dengan
cermat Tinggi : Selalu mengamati dengan
cermat
1 2
3
Memelihara keseimbangan musuh alami
Rendah : Sering menggunakan pestisida berspektrum lebar
Sedang : kadang -kadang menggunakan pestisida berspektrum lebar
Tinggi : menggunakan pestisida berspektrum sempit
1
2
3
Pemanfaatan musuh alami
Rendah : Tidak memanfaatkan musuh alami (selalu menggunakan pestisida)
Sedang : Jarang memanfaatkan musuh alami
Tinggi : Sering memanfaatkan musuh alami (meminimalkan penggunaan pestisida)
1
2
3
3. Pengamatan mingguan
Pengamatan keadaan tanaman
Rendah : Tidak pernah mengamati Sedang : Kadang - kadang
mengamati Tinggi : Rutin mengamati
1 2
3
pengamatan terhadap populasi hama dan musuh alami
Rendah : Tidak pernah mengamati Sedang : Kadang - kadang
mengamati Tinggi : Rutin mengamati
1 2
3
Pengamatan kondisi cuaca
Rendah : Tidak pernah mengamati Sedang : Kadang - kadang
1 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
mengamati Tinggi : Rutin mengamati
3
Pengamatan intensitas serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Waktu memulai pemantauan
Rendah : Tidak pernah mengamati Sedang : Kadang - kadang
mengamati Tinggi : Rutin mengamati Rendah : Jika hama sudah meluas Sedang : Pertengahan tanam Tinggi : Sebelum tanam
1 2
3
1 2 3
Frekuensi pengamatan
Rendah : > 2 minggu sekali Sedang : setiap 2 minggu sekali Tinggi : setiap 1 minggu sekali
1 2 3
Tindakan pengendalian hama Teknik pengendalian hama
Rendah : Tindakan preventif Sedang : Melakukan pengamatan
sebelumnya kemudian dilakukan penyemprotan pestisida
Tinggi : Melakukan pengamatan, memanfaatkan musuh alami, penyemprotan hanya dilakukan bila perlu
Rendah : menggunakan pestisida non
organik Sedang : Biologis, fisik, kimia Tinggi : Teknik budidaya, biologis,
fisik
1 2
3
1
2 3
E. Pembatasan Masalah
1. Petani yang dijadikan responden adalah petani padi yang telah mengikuti
kegiatan SLPHT pada tahun 2011 Di Desa Metuk, Kecamatan
mojosongo, Kabupaten Boyolali.
2. Karakteristik sosial ekonomi petani dalam penelitian ini dibatasi pada
umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tingkat
pengalaman, keaktifan keanggotaan petani, luas penguasaan lahan.
3. Tingkat penerapan PHT dibatasi pada budidaya tanaman sehat,
pelestarian musuh alami dan pengamatan mingguan di lahan usahatani
padi Di Desa Metuk, Kecamatan mojosongo, Kabupaten Boyolali.
4. Waktu penelitian ini dilakukan pada satu musim tanam terakhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
F. Penelitian Terdahulu
Pada penelitian Hermin Karlina pada tahun 2005 Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan petani serta dapat
meningkatkan pendapatan usahatani padi sawah di propinsi Jawa Barat,
karakteristik petani peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
memiliki hubungan dengan peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan
Pengendalian Hama Terpadu, namun hanya karakter tingkat pendidikan dan
luas lahan garapan yang memiliki hubungan yang signifikan, berbagai
kelembagaan yang seharusnya berperan aktif dalam pemasyarakatan
Pengendalian Hama Terpadu di Propinsi Jawa Barat saat ini sebagian kurang
berperan bahkan ada yang sudah tidak berperan sama sekali dalam
pemasyarakatan Pengendalian Hama Terpadu.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemasyarakatan Pengendalian
Hama Terpadu di Jawa Barat antara lain: kurangnya jumlah penyuluhan
organisme pengganggu tanaman/pelayanan penyuluhan lapang di lapangan,
terjadinya pemekaran wilayah, tidak seragamnya kelembagaan pemerintah
yang menangani Pengendalian Hama Terpadu, belum berkembangnya
kelembagaan petani, kurangnya pelatihan Pengendalian Hama Terpadu bagi
petugas, dan pengaruh faktor-faktor teknis yang berada di luar jangkauan
petani.
Menurut penelitian Slamet Santoso tahun 2007 mengenai dampak
kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) terhadap
perubahan perilaku usahatani di Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali
diketahui terdapat perbedaan perilaku usahatani yang signifikan dalam hal
pengolahan tanah, pengelolaan air, pemupukan, penyiangan, pemberantasan
hama. Hal ini menunjukkan apabila petani berpartisipasi aktif dalam setiap
kegiatan tentunya akan terjadi peningkatan dalam penerapannya. Artinya
semakin besar keterlibatan petani dalam kegiatan SLPHT maka akan semakin
besar pula perubahan perilakunya. Petani melakukan kegiatan usahataninya
dengan baik atau sesuai anjuran penyuluh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analitik, yaitu metode yang memusatkan diri pada pemecahan
masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah
yang aktual. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan
kemudian dianalisis. Oleh karena itu, metode ini sering pula disebut metode
analitik (Surakhmad, 1994). Teknik penelitian yang digunakan adalah
penelitian survei. Menurut Musa dan Nurfitri (1988) penelitian survei adalah
pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan
yang terang dan baik terhadap suatu persoalan tertentu dan didalam suatu
daerah terterntu dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran yang mewakili
daerah itu dengan benar. Pada penelitian survei penggunaan kuisioner
merupakan hal pokok untuk pengumpulan data.
B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo,
Kabupaten Boyolali. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja atau
purposive yaitu pemilihan lokasi penelitian melalui pilihan-pilihan
berdasarkan kesesuaian karakteristik yang dimiliki calon responden dengan
kriteria tertentu yang ditetapkan/dikehendaki oleh peneliti, sesuai tujuan
penelitian (Mardikanto, 2001).
Penentuan tempat penelitian dilakukan dengan pertimbangan Desa
Metuk, Kecamatan Mojosongo telah dilakukan pelaksanaan program
percontohan yang menggunakan sistem Sekolah Lapang Pengendalian Hama
Terpadu (SLPHT) dan menerapkan program Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu telah
dilaksanakan di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali
pada bulan Mei – September 2011.
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
C. Populasi dan Sampel
Responden dalam penelitian ini yaitu seluruh petani peserta Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) Padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali yang dilakukan pada tahun
2011. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Laboratorium Pengamatan
Hama dan Penyakit Tanaman Wilayah Surakarta yaitu petani yang
merupakan peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu berjumlah
25 orang yang berasal dari sekitar lokasi kegiatan dari satu kelompok tani
yakni kelompok tani “Tani Mulyo”, Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo,
Kabupaten Boyolali.
Pengambilan responden dilakukan dengan cara sensus yakni dengan
cara mencatat semua elemen (responden) yang diselidiki. Hasil dari sensus
adalah nilai karakteristik yang sesungguhnya (true value). Kumpulan dari
seluruh elemen (responden) tersebut dinamakan populasi atau universe
(Marzuki, 2002).
Dari hasil pendataan dengan persyaratan yang ditentukan petani peserta
yang menjadi responden penelitian berjumlah 25 orang dengan rincian 17
orang berjenis kelamin laki-laki dan 8 orang berjenis kelamin perempuan.
Umur petani peserta berkisar antara 26-70 tahun. Petani peserta kegiatan
SLPHT berasal dari petani daerah setempat yakni di Desa Metuk, Kecamatan
Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Rincian responden yang merupakan para
petani peserta SLPHT dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tabel 4. Daftar Peserta SLPHT Padi di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2011
No Nama Jenis Kelamin Umur
1 Warjono L 40 2 Kismo L 65 3 Darmin L 64 4 Sunarno L 47 5 Iwan L 32 6 Wabini P 50 7 Siswomuryono L 60 8 Marjono L 57 9 Minsri P 49
10 Mulyo Diharjo L 70 11 Tutik Mundarti P 52 12 Tomorejo L 70 13 Marpuk P 65 14 Rachmat L 53 15 Yumar L 62 16 Sumardi L 59 17 Sutarmi P 49 18 Mujimin L 57 19 Aliem P 49 20 Sunarto L 65 21 Lilik Rusmianto L 27 22 Sri Lestari P 27 23 Yuli Harjiyati P 26 24 HB Sularjo L 49 25 Broto Warseno L 66
Sumber data : Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman Wilayah Surakarta
D. Jenis dan Metode Pengambilan Data
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari responden dengan
alat bantu kuesioner. Data primer meliputi : umur, pendidikan formal,
pendidikan non formal, pendapatan, tingkat pengalaman, keaktifan
keanggotaan petani, luas penguasaan lahan. Responden penelitian ialah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
para petani peserta kegiatan SLPHT Di Desa Metuk, Kecamatan
Mojosongo, Kabupaten Boyolali pada tahun 2011.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan cara
mengutip data laporan maupun dokumen dari instansi pemerintah atau
lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini, di antaranya
Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman Wilayah
Surakarta, Balai Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian Kabupaten
Boyolali, dan Kantor Kecamatan Mojosongo.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data primer dengan
melakukan wawancara langsung kepada responden berdasarkan kuisioner
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang dikumpulkan meliputi
identitas responden dan tingkat adopsi teknologi PHT (Pengendalian
Hama Terpadu).
2. Observasi
Teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung
terhadap obyek yang akan diteliti sehingga didapatkan gambaran yang
jelas mengenai daerah yang akan ditelliti. Teknik obsevasi ini digunakan
untuk mengumpulkan data primer maupun data sekunder. Data yang
dikumpulkan meliputi karakteristik responden dan kondisi wilayah.
3. Pencatatan
Teknik yang dilakukan untuk memperoleh data baik dari responden
maupun dari instansi terkait dengan penelitian maupun dokumen –
dokumen. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder dari
yang diperlukan dalam penelitian ini. Data sekunder berupa catatan
ataupun laporan, yaitu tentang monografi wilayah dan data peserta
SLPHT Desa Metuk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
F. Metode Analisis Data
Untuk menentukan tingkat adopsi petani dengan menjumlahkan skor-
skor antar sub variabel. Kemudian hasil dari penjumlahan antar sub tersebut
dikategorikan dalam tiga kelompok atau tingkat, yaitu: tinggi, sedang, rendah.
Untuk mengukur kategori tersebut digunakan rumus interval sebagai berikut:
Lebar Interval = ì S or Tertinggi – ì Skor Terendah
ì Kelas
Untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi petani
dengan tingkat adopsi petani dalam kegiatan SLPHT Padi Di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali digunaan uji korelasi rank
spearman (rs).
Rumus dari Korelasi Rank Spearman dapat dilihat pada uraian di
bawah ini :
rs = 1 – d 2 2 –
Keterangan :
rs = Koefisien korelasi Rank Spearman
N = Banyaknya sampel
di = Selisih antara rangking dari variabel
Perhitungan analisis Rank Spearman akan dibantu dengan perhitungan
komputer dengan menggunakan program SPSS versi 16.00.
Untuk menguji tingkat signifikansi rs, digunakan uji t student karena
sampel yang diambil lebih dari 10 (Siegel, 1994) dengan rumus sebagai
berikut:
t = rs – N - 2
1 – rs2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dimana
N = jumlah sampel
rs = koefisien korelasi Rank Spearman
Kriteria pengambilan keputusan:
1. Jika t hitung 0 ditolak, berarti terdapat
hubungan yang nyata antara karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT Padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
2. 0 diterima, berarti tidak terdapat
hubungan yang nyata antara karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT Padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam
1. Lokasi /Daerah Penelitian
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 35 Kabupaten di
Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 101.510,1955 Ha atau sekitar
3,11% dari luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara Administrasi,
Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 Kecamatan yang meliputi 267 desa atau
kelurahan. Kabupaten Boyolali terletak antara 110022’-110050’ Bujur
Timur (BT) dan 7036’-7071’ Lintang Selatan (LS), dengan ketinggian
antara 75-1500 meter di atas permukaan laut.
Batas-batas wilayah Kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang
Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen dan
Kabupaten Sukoharjo
Sebelah Selatan : Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Jogjakarta
Sebelah Barat : Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang
Wilayah Kabupaten Boyolali mempunyai ketinggian minimum 75
mdpl dan ketinggian maksimum 1500 mdpl dan memiliki topografi yang
bervariasi dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Topografi wilayah
Kabupaten Boyolali dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu datar,
berombak, berbukit dan bergunung. Dengan adanya kondisi topografi yang
beragam maka Kabupaten Boyolali memiliki potensi untuk budidaya
berbagai jenis tanaman yang sesuai dengan ketinggian tanah. Sedangkan
jenis tanahnya adalah tanah asosiasi litosol dan grumosol, tanah litosol
coklat, tanah regosol kelabu, tanah litosol dan regosol kelabu, tanah
regosol coklat, tanah andosol coklat, tanah kompleks regosol kelabu tua
dan grumosol, tanah grumosol kelabu tua, tanah kompleks andosol kelabu
tua dan litosol, tanah asosiasi grumosol kelabu tua dan litosol serta tanah
mediteran coklat tua.
43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Kecamatan Mojosongo merupakan salah satu kecamatan dari 19
kecamatan yang ada di Kabupaten Boyolali. Kecamatan Mojosongo
berada pada ketinggian 100 – 400 m dpl dengan iklim tropis. Luas wilayah
Kecamatan Mojosongo adalah 4341,1644 Ha atau 4,2 % dari luas wilayah
Kabupaten Boyolali dan terdiri dari 13 desa yaitu Desa Dlingo, Desa
Brajan, Desa Metuk, Desa Kragilan, Desa Mojosongo, Desa Singosari,
Desa Tambak, Desa Jurug, Desa Karangnongko, Desa Madu, Desa
Manggis, Desa Butuh, dan Desa Kemiri. Wilayah Kecamatan Mojosongo
dibatasi Kabupaten Semarang di sebelah utara, Kecamatan Teras di
sebelah timur, Kabupaten Klaten di sebelah selatan, dan Kecamatan
Boyolali dan Kecamatan Musuk di sebelah Barat.
Desa Metuk adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan
Mojosongo yang memiliki luas wilayah 402,7438 Ha. Keadaan topografi
Desa Metuk tergolong rendah. Wilayah Desa Metuk dibatasi Desa Desa
Dlingo di sebelah utara, Desa Brajan di sebelah Timur, Desa Kragilan di
Sebelah selatan, dan Kecamatan Boyolali di sebelah Barat
B. Keadaan Penduduk
1. Komposisi Penduduk menurut Umur dan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut umur digunakan untuk mengetahui
jumlah penduduk yang produktif dan yang non produktif. Menurut Badan
Pusat Statistik Kabupaten Boyolali golongan umur non produktif adalah
golongan umur antara 0-14 tahun dan golongan umur lebih dari atau sama
dengan 65 tahun, sedangkan golongan umur produktif adalah golongan
umur 15-64 tahun. Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk dapat dilihat pada Tabel 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Tabel 5. Komposisi Penduduk menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010
No Kelompok
Umur
(Thn)
Kabupaten Boyolali Desa Metuk
Laki-
laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jml
(orang)
Laki-
laki
(orang)
Perempuan
(orang)
Jml
(orang)
1.
2.
3.
0-14
15-64
65
125.147
303.939
38.676
119.597
317.410
49.070
244.744
621.349
87.746
593
1519
236
588
1583
332
1181
3102
568
Jumlah 467.762 486.077 953.839 2348 2503 4851
Sumber : BPS Kabupaten Boyolali 2010 dan Monografi Desa Metuk
Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa di Kabupaten Boyolali
maupun di Desa Metuk, penduduk usia produktif memiliki jumlah
tertinggi. Penduduk usia produktif di Kabupaten Boyolali sebanyak
621.349 orang sedangkan di Desa Metuk sebanyak 3102 orang. Golongan
umur non produktif yang berada pada kelompok umur 0-14 tahun berada
pada urutan tertinggi kedua yakni sebanyak 244.744 orang di Kabupaten
Boyolali sedangkan Di Desa Metuk sejumlah 1181 orang. Golongan umur
non produktif yang berada pada kelompok umur 65 tahun berada pada
urutan terendah sebanyak 49.070 orang di Kabupaten Boyolali dan
sebanyak 568 orang Di Desa Metuk.
2. Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian
Komposisi penduduk menurut mata pencaharian digunakan untuk
mengetahui tingkat sosial ekonomi dan karakteristik daerah dengan
melihat mata pencahariaannya yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Komposisi penduduk di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk
menurut mata pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Tabel 6. Komposisi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas menurut Mata Pencaharian di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk pada Tahun 2010
No. Mata Pencaharian
Kabupaten Boyolali
Desa Metuk
Jumlah (Jiwa)
% Jumlah
(Jiwa) %
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
Pertanian tanaman pangan Perkebunan Perikanan Peternakan Pertanian lainnya Industri Pengolahan Pedagangan Jasa Angkutan Lainnya
243.360 17.256 1.358
54.225 25.318 41.128 50.573 48.164 6.745
306.017
30,64 2,17 0,17 6,83 3,19 5,18 6,37 6,06 0,85
38,54
621 41
- 79
320 27 86
536 -
2395
15,13 1,00 0,00 1,92 7,79 0,66 2,10
13,06 0,00
58,34
Total 794.144,00 100,00 4105 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Boyolali 2010 dan Monografi Desa Metuk
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa penduduk di Kabupaten
Boyolali sebagian besar bekerja di sektor pertanian yaitu sebanyak 43%,
yang terdiri dari pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan,
peternakan dan pertanian lainnya. Hal ini menunjukkan karakter
Kabupaten Boyolali sebagai kabupaten agraris.
Demikian juga dengan Desa Metuk, dimana sebanyak 25,84%
penduduknya bekerja di sektor pertanian, yang terdiri dari pertanian
tanaman pangan, perkebunan, dan perternakan. Sebanyak 15,13%
penduduk Desa Metuk bermata pencaharian sebagai petani pertanian
tanaman pangan. Sektor pertanian memiliki prosentase terbesar kedua.
Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
penduduk di Kabupaten Boyolali masih banyak yang mengandalkan sektor
pertanian.
3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dapat digunakan
untuk mengetahui kualitas sumber daya manusia dan kemampuan
penduduk untuk menyerap teknologi yang ada dan yang baru di daerah
tersebut. Tingkat pendidikan berkaitan dengan pola berpikir dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
mempengaruhi kecepatan adopsi teknologi. Komposisi penduduk menurut
tingkat pendidikan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010
No Pendidikan Kabupaten Boyolali Desa Metuk Jumlah (orang)
% Jumlah (orang)
%
1. 2. 3. 4. 5.
Tdk/Blm Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi/PT
253.624 294.783 154.480 118.050
40.689
29,44 34,21 17,93 13,70
4,72
1164 1341
910 912 137
26,07 30,04 20,39 20,43
3,07
Total 861.626 100,00 4464 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Boyolali 2010 dan Monografi Desa Metuk
Berdasarkan Tabel 7 di atas, dapat diketahui bahwa penduduk di
Kabupaten Boyolali paling banyak adalah tamatan SD yaitu sebanyak
294.783 orang atau 34,21 % sedangkan penduduk di Desa Metuk paling
banyak adalah tamatan SD yaitu sebanyak 1341 orang atau 30,04 %. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Metuk memiliki
tingkat pendidikan yang belum cukup baik. Tingkat pendidikan yang
paling sedikit berhasil ditamatkan penduduk di Kabupaten Boyolali dan
Desa Metuk adalah Akademi/ PT yaitu sebanyak 40.689 orang atau 4,72
% dan 137 orang atau 3,07 %.
C. Keadaan Pertanian
1. Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten Boyolali dibagi menjadi dua yaitu
lahan sawah dan lahan kering. Lahan sawah terdiri dari irigasi teknis,
irigasi ½ teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan. Sedangkan lahan
kering terdiri dari pekarangan/ bangunan, tegalan/ kebun, padang gembala,
tambak/ kolam, hutan negara. Tata guna lahan di Kabupaten Boyolali dan
Desa Metuk dapat dilihat pada Tabel 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Tabel 8. Tata Guna Lahan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010
No Tata Guna Lahan Kabupaten Boyolali Desa Metuk Luas (Ha) % Luas (Ha) %
1. 2.
Lahan Sawah a. Irigasi Teknis b. Irigasi ½ Teknis c. Irigasi Sederhana d. Tadah Hujan Lahan Kering a. Pekarangan/Bangunan b. Tegalan/Kebun c. Padang Gembala d. Tambak/Kolam e. Hutan Negara f. Lain-lain
5.128,9552 4.907,3887 2.627,3625
10.171,5192
25.240,5223 30.575,4215
983,3315 821,0925
14.835,4964 6.219,1057
5,05 4,83 2,59
10,02
24,87 30,12
0,97 0,81
14,61 6,13
9,3251
94,1962 43,5841 38,1675
128,4835
77,1308 - - -
11,8566
2,32
23,39 10,82
9,48
31,90 19,15
- - -
2,94
Total 101.510,20 100,0 402,7438 100,0
Sumber : BPS Kabupaten Boyolali 2010 dan Monografi Desa Metuk
Berdasarkan Tabel 8. di atas dapat diketahui bahwa di Kabupaten
Boyolali luas lahan sawah lebih kecil daripada lahan kering. Luas lahan
kering adalah 78.674,97 hektar atau 77,50% dan sebagian besar lahan
kering digunakan untuk tegalan/ kebun yaitu sebesar 30.575,42 hektar atau
sebesar 30,12%. Lahan sawah di Kabupaten Boyolali sebagian besar
adalah lahan sawah tadah hujan yaitu seluas 10.171,5192 hektar atau
10,02%. Adapun luas lahan kering di Desa Metuk adalah 217,47 hektar
atau 54% dan sebagian besar lahan kering digunakan untuk
pekarangan/bangunan yaitu sebesar 128,4835 hektar atau 31,90% dan
digunakan untuk tegalan/kebun sebesar 77,1308 hektar atau 19,15 %.
Lahan sawah di Desa Metuk sebagian besar adalah lahan sawah irigasi
setengah teknis yaitu seluas 94,1962 hektar atau 23,39%.
2. Produksi Tanaman Pangan
Kabupaten Boyolali memiliki lahan pertanian berupa lahan sawah,
tegal, pekarangan, dan hutan negara sehingga bisa dikatakan daerah
tersebut merupakan daerah yang masih mengandalkan sektor pertanian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Jumlah produksi tanaman pangan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk Tahun 2010
No Jenis Tanaman Pangan
Kabupaten Boyolali Desa Metuk Luas Panen
(Ha) Produksi
(Ton) Luas Panen
(Ha) Produksi
(Ton) 1. Padi 45.048 273.007 292 1687 2. Jagung 32.355 173.598 187 1357 3. Ubi Kayu 7.923 138.130 48 906 4. Ubi Jalar 98 1.570 0 0 5. Kacang Tanah 4.015 4.994 29 37 6. Kedelai 4.017 4.558 0 0 Total 93.456 595.857 530 3880
Sumber : BPS Kabupaten Boyolali Tahun 2010 dan Monografi Desa Metuk
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa produksi tanaman
pangan paling tinggi di Kabupaten Boyolali dan Desa Metuk adalah
tanaman padi yaitu sebanyak 273.007 ton dan 1687 ton. Produksi tanaman
pangan terbesar kedua di Kabupaten Boyolali adalah jagung yaitu
sebanyak 173.598 ton. Tanaman ubi kayu menempati urutan ketiga dengan
jumlah produksi sebanyak 138.130 ton. Di Desa Metuk, produksi jagung
juga menempati urutan kedua yaitu sebanyak 1357 ton.
D. Keadaan Kelompok Tani
Keberadaan kelompok tani memang sangat membantu petani
terutama anggotanya dalam kegiatan usahatani mereka. Kelompok tani
dibina oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) sehingga
perkembangannya akan selalu diketahui oleh penyuluh. Jumlah kelompok
tani menurut jenis keanggotaan di Kabupaten Boyolali pada tahun 2010
berjumlah 2048 kelompok tani, 218 kelompok tani wanita, dan 264
Gapoktan. Jumlah kelompok tani menurut jenis keanggotaan di
Kecamatan Mojosongo pada tahun 2010 berjumlah 70 kelompok tani
biasa, 3 kelompok tani wanita,14 Gapoktan yang tersebar di 13 desa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Jumlah POPT/PHP (Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/
Pengamat Hama Penyakit) di Kabupaten Boyolali berjumlah 8 orang,
sedangkan THL (Tenaga Harian Lepas) berjumlah 2 orang. Untuk petugas
PPL (Petugas Penyuluh Lapangan di Kabupaten Boyolali terdapat 107
petugas dan THL PPL berjumlah 87 orang.
Satu POPT/PHP (Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/
Pengamat Hama Penyakit) di Kecamatan Mojosongo membina kelompok
tani di 2 kecamatan. Idealnya satu petugas POPT/PHP membawahi satu
kecamatan. Hal ini merupakan suatu permasalahan tersendiri di
Kecamatan Mojosongo yang dikarenakan kurangnya jumlah Petugas
POPT/PHP (Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/ Pengamat
Hama Penyakit). Kurangnya jumlah Petugas POPT/PHP ini
mengakibatkan kurang optimalnya pembinaan terhadap kelompok tani di
Kecamatan Mojosongo.
Di Desa Metuk sendiri terdapat 1 Gapoktan yang terdiri dari 6
kelompok tani. Salah satu kelompok tani yang berada di Desa Metuk
adalah kelompok tani “Tani Mulyo” yang merupakan peserta SPHT Padi
pada tahun 2011. Kegiatan yang dilaksanakan dan direncanakan bersama
oleh anggota kelompok tani “Tani Mulyo” diantaranya adalah kegiatan
penyuluhan yang dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau biasa disebut
‘selapanan’ dengan cara mengundang Petugas Penyuluh Lapangan untuk
memberikan materi.
Kegiatan pertemuan anggota kelompok rutin dilakukan dan anggota
kelompok tani “Tani Mulyo” ini sendiri cukup aktif dan berpartisipasi
dalam setiap kegiatan kelompok maupun keanggotaan dalam
mengembangkan kelompok tani. Pertemuan kelompok juga dilaksanakan
setiap 3 bulan sekali atau setelah panen untuk membicarakan penanaman
selanjutnya. Dana untuk setiap kegiatan kelompok didapat dengan cara
iuran anggota menurut besarnya luas lahan dengan perhitungan setiap
patok yang dimiliki petani membayar iuran Rp. 10.000,- per musim padi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
E. Pelaksanaan SLPHT Di Desa Metuk Kecamatan Mojosongo
Kabupaten Boyolali
Program SLPHT sendiri mulai digalakkan di seluruh provinsi di
Indonesia pada tahun 1992, termasuk di Kabupaten Boyolali, sebagaimana
diamanatkan dalam UU nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya
tanaman. Di Desa Metuk sendiri program SLPHT dilaksanakan pada tahun
2011. Pertemuan SLPHT dilaksanakan sebanyak 12 kali pertemuan, yang
dilaksanakan setiap minggu, atau selama satu musim tanam. Pada
pertemuan ini disampaikan materi dan praktek langsung pada lahan.
Kegiatan pertemuan dipandu oleh petugas dan petani pemandu.
Dalam menjalankan suatu kegiatan, perlu dibentuknya suatu struktur
organisasi. Dalam kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu
(SLPHT) terdapat pula struktur organisasi yang menggambarkan peran
dan kedudukan masing-masing dalam pencapaian tujuan SLPHT. Berikut
struktur organisasi pelaksanaan SLPHT Padi di Desa Metuk, Kecamatan
Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
Gambar 2. Struktur Organisasi Pelaksanaan SLPHT Desa Metuk
Pelaksana Kegiatan: Laboratorium PHP Surakarta
Petugas pemandu (PHP/PPL/Mantri Tani)
Petugas pemandu (PHP/PPL/Mantri Tani)
Petani pemandu Petani pemandu Petani pemandu Petani pemandu Petani pemandu
Peserta SLPHT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Berdasarkan gambar struktur organisasi pelaksanaan SLPHT di Desa
Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, pelaksana kegiatan
SLPHT adalah Laboratorium Pengamatan Penyakit dan Hama Tanaman
(PHP) dibantu oleh 2 orang petugas pemandu dari Kecamatan Mojosongo
dan 5 orang petani pemandu yang berasal dari kelompok tani. Pemilihan
calon petani pemandu ialah petani alumnus PHT atau kegiatan sejenisnya
dan orang yang berpengaruh terhadap kelompok tani. Kegiatan SLPHT
dilaksanakan dengan peserta 25 orang petani yang berasal dari kelompok
tani “Tani Mulyo”. Peserta SLPHT akan dibagi dalam kelompok –
kelompok kecil yang terdiri dari lima orang sebagai unit belajar bersama,
diketuai oleh seorang ketua kelompok yang dipilih secara bersama.
SLPHT Padi di Desa Metuk ini berhasil meningkatkan pengetahuan
dan teknik budidaya pada petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya tes
ballot box awal dan akhir yang menunjukkan peningkatan hasil yang
signifikan. Tes ballot dilakukan oleh petugas pemandu lapangan pada
pertemuan minggu pertama (pre-test) dan pertemuan minggu terakhir. Uji
ballot box dilakukan sebagai evaluasi proses belajar yang dilakukan untuk
mengetahui tingkat pemahaman peserta terhadap materi yang dipelajari.
Hasil rata-rata tes awal yang dilakukan pada petani peserta SLPHT Di
Desa Metuk sebesar 4,29 dan tes akhir dengan rata-rata 7,67 sehingga
terjadi peningkatan pengetahuan petani sebesar 78,79% (Laboratorium
PHPT, 2011). Tes ballot dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan
petani mengenai teknik budidaya tanaman padi dan pengendalian hama
yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan SLPHT dan akhir pelaksanaan
SLPHT.
Kegiatan SLPHT padi dilaksanakan menggunakan metode
pendidikan orang dewasa yakni dengan sistem cara belajar lewat
pengalaman. Petak sarana belajar atau petak praktek SLPHT Padi Di Desa
Metuk ini terdiri dari dua petak pertanaman, masing masing seluas 500 m2
yang dikelola dengan perlakuan PHT dan perlakuan konvensional/lokal.
Pada lahan praktek (petak PHT) diterapkan komponen teknologi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
pengendalian yang sesuai dengan konsep PHT sesuai rekomendasi dinas
pertanian setempat sementara pada petak non PHT menggunakan
perlakukan lokal, yakni sesuai kebiasaan petani setempat sebelum adanya
SLPHT.
Berdasarkan laporan yang diperoleh dari Laboratorium PHPT (2011)
pada petak petani (petak non PHT) di Desa Metuk, Kecamatan
Mojosongo, Kabupaten Boyolali pengendalian OPT dilakukan sesuai
kebiasaan petani setempat dengan menggunakan pestisida terutama
insektisida sebagai langkah utama untuk mengendalikan hama wereng.
Dalam budidaya, penggunaan pupuk didasarkan atas pengetahuan dan
pengalaman petani dimana petani terbiasa menggunakan pupuk kandang
dan pupuk kimia yang melebihi dosis.
SLPHT yang dilaksanakan di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo,
Kabupaten Boyolali ini diharapkan meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan petani di bidang Pengendalian Hama Tanaman (PHT), dan
kerjasama kelompok tani dalam berusahatani. Dalam SLPHT para peserta
dilatih dalam pembuatan agens hayati, pembuatan pupuk kompos, pupuk
organik, Plant Grow Promotion Rizobacterium/bakteri pemacu
pertumbuhan dan Moretan. Penggunaan pestisida juga diharapkan dapat
ditekan dan menggunakan agens hayati sehingga pelestarian lingkungan
dapat tercapai.
Petani peserta SLPHT di Desa Metuk menerima dengan terbuka
adanya kegiatan SLPHT. Kemauan dan keterbukaan petani dalam
menerima adanya SLPHT karena mereka ingin mendapatkan hasil yang
lebih baik bagi usahatani padi nya. Petani juga terus menerapkan PHT
selepas kegiatan SLPHT karena petani merasakan betul manfaat dari
teknologi PHT yang mereka dapatkan selama kegiatan SLPHT.
Pelaksanaan SLPHT sendiri di Desa Metuk tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan. Kekurangan utama dalam pelaksanaan SLPHT
adalah masalah anggaran dana. Anggaran dana dari pemerintah dirasakan
amat kurang untuk pelaksanaan SLPHT. Anggaran dana yang terbatas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
seringkali membuat kelompok tani secara swadaya mengeluarkan
anggaran dana tambahan atau tombok dikarenakan kurangnya dana
terutama untuk dana konsumsi. Waktu yang terbatas setiap pertemuan juga
merupakan kekurangan SLPHT karena kurang optimalnya dalam
pemberian materi dan praktek dalam waktu yang terbatas tersebut.
Kendala lain yang dirasakan oleh penyuluh SLPHT terhadap petani
peserta SLPHT dalam pelaksanaan SLPHT adalah kendala waktu
pelaksanaan, yaitu misalnya ketika waktu pertemuan SLPHT
dilaksanakan bertepatan dengan hajatan warga, upacara kematian, dan
acara sosial lainnya sehingga waktu pertemuan SLPHT harus diundur dan
disesuaikan. Disisi lain kendala yang dialami petani peserta SLPHT
terhadap pelaksanaan SLPHT ialah dalam penyampaian materi oleh
penyuluh. Terkadang penyampaian materi oleh penyuluh menggunakan
bahasa atau nama ilmiah sehingga sulit dimengerti. Namun kendala
tersebut dapat diatasi dengan aktifnya para petani untuk bertanya dan para
penyuluh yang juga akan memberikan penjelasan secara detail hingga para
petani peserta dapat memahami materi.
Peserta yang berhasil menyelesaikan SLPHT akan menerima
sertifikat (ditandatangani oleh kepala BPTPH setempat), dengan
persyaratan sebagai berikut yakni mengikuti pertemuan minimal 75% atau
setidaknya 10 kali pertemuan dan kelompok SLPHT mendapatkan nilai
akhir ujian ballot box minimal 60.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Sosial Ekonomi
1. Umur
Umur petani peserta SLPHT meliputi antara 26 – 70 tahun. Makin
muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang
belum mereka ketahui. Sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat
melakukan adopsi inovasi. Distribusi responden berdasarkan umur
responden ini disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
No Umur (tahun) Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 > 60 Tinggi 7 28 2 40 – 60 Sedang 14 56 3 < 40 Rendah 4 16
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa mayoritas umur petani
responden berada pada golongan sedang yakni berumur antara 40 – 60
tahun sebanyak 14 responden. Dimana petani pada umur tersebut
mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mempunyai
kemampuan fisik yang optimal serta mampu merespon dengan baik
dalam menerima inovasi untuk mengembangkan usahataninya.
Sebanyak 7 responden berada pada kategori tinggi, berumur antara
lebih dari 60 tahun. Petani yang berusia lebih dari 60 tahun tersebut
masih dipilih menjadi peserta karena mereka masih memenuhi kriteria
peserta SLPHT yakni : bisa baca tulis, aktif melakukan kegiatan
pertanian di lahan usahataninya dan dalam kelompok tani, sanggup
mengikuti kegiatan SLPHT selama satu musim tanam, responsif
terhadap inovasi teknologi, dan berasal dari satu hamparan usahatani
(Kementrian Pertanian, 2010). Mereka memiliki respon yang baik,
kemauan dan semangat yang tinggi dalam menerima teknologi PHT
dalam SLPHT. Petani pada kategori rendah biasanya sudah memiliki
55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
pengalaman berusahatani yang cukup banyak, tetapi kemampuan
fisiknya sudak tidak optimal lagi.
Pada kategori rendah, yakni responden yang berumur kurang dari
40 tahun sebanyak 14 orang. Responden yang berumur kurang dari 40
tahun jumlahnya paling sedikit dibanding kategori yang lain karena
banyaknya penduduk berusia muda yang tidak berminat menjadi petani
dan tidak mengutamakan usahatani padi sebagai pekerjaan utama
mereka, sehingga hanya sedikit yang mengusahakan budidaya padi.
2. Pendidikan Formal
Pendidikan formal dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan
terakhir yang pernah ditempuh oleh responden berdasarkan jenjang
pendidikan. Tingkat pendidikan formal dapat mempengaruhi tingkat
kecepatan petani dalam menerima suatu teknologi baru. Secara teoritis
mereka yang berpendidikan tinggi akan lebih mudah melakukan proses
adopsi. Adapun distribusi pendidikan formal dapat dilihat sebagai
berikut:
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Formal
No Tingkat Pendidikan Formal
Kategori Jumlah (orang) Presentase (%)
1 > SMU Tinggi 3 12 2 SMP- SMU Sedang 13 52 3 SD Rendah 9 36
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa responden
terbanyak berada pada kategori sedang, yakni pada tingkat pendidikan
SMP – SMU sebanyak 13 responden (52%). Sebanyak 9 responden
(36%) berada pada kategori rendah, dan sebanyak 3 responden (12%)
berada pada kategori berpendidikan tinggi.
Distribusi responden menurut pendidikan formalnya tergolong
sedang. Hal ini dikarenakan pendidikan telah mulai diperhatikan oleh
masyarakat. Responden berpendidikan rendah terjadi dikarenakan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
memiliki biaya yang cukup untuk meneruskan ke pendidikan ke tingkat
yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan rendah pada umumnya adalah
mereka yang berusia tua sedangkan responden yang berusia lebih muda
cenderung menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi.
3. Pendidikan Non Formal
Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh
responden diluar pendidikan formal, yakni mengikuti penyuluhan
pertanian dan pelatihan selama satu musim tanam terakhir pada saat
penelitian dilaksanakan serta frekuensi responden mengikuti kegiatan
SLPHT. Semakin tinggi frekuensi petani mengikuti kegiatan
penyuluhan dan pelatihan pertanian, maka pengetahuan dan ketrampilan
petani akan bertambah. Adapun distribusi frekuensi pendidikan non
formal dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 4,8 - 6,1 Tinggi 25 100 2 3,4 - 4,7 Sedang 0 0 3 2 - 3,3 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa tingkat
pendidikan non formal sebanyak 25 orang (100%) berada pada kategori
tinggi, atau dapat dikatakan keseluruhan petani responden berada pada
kategori tinggi. Salah satu kriteria peserta SLPHT ialah aktif melakukan
kegiatan pertanian di lahan usahataninya dan dalam kelompok tani.
Seluruh responden peserta SLPHT sangat aktif dalam mengikuti
penyuluhan dan kegiatan SLPHT padi yang dilaksanakan di desa
mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden mempunyai
respon dan minat yang baik dalam mengikuti berbagai kegiatan
penyuluhan dan pertanian, atau dengan kata lain para responden terbuka
untuk menerima hal – hal baru yang dapat menambah pengetahuan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
ketrampilan mereka. Mereka menerima adanya kegiatan SLPHT padi
dan merespon dengan baik.
Kegiatan penyuluhan rutin dilaksanakan setiap 35 hari sekali atau
biasa disebut ‘selapanan’ dengan cara mengundang Petugas Penyuluh
Lapangan untuk memberikan materi. SLPHT sendiri dilaksanakan
selama satu musim tanam. Pertemuan SLPHT dilaksanakan sebanyak
12 kali pertemuan, yang dilaksanakan setiap minggu. Dari 12 kali
pertemuan, hampir seluruh peserta mengikuti seluruh pertemuan dan
kegiatan dengan baik, hanya sebanyak 3 responden yang tidak
mengikuti 1-2 pertemuan dikarenakan sakit dan urusan sosial (acara
kematian, acara hajatan keluarga).
4. Pendapatan Petani
Pendapatan petani adalah total pemasukan atau pendapatan
responden dari bidang pertanian dan pendapatan dari bidang non
pertanian yang tercermin dalam satu musim tanam pada saat penelitian
dilaksanakan. Secara teoritis petani dengan pendapatan tinggi akan
lebih mudah menerima suatu inovasi. Adapun distribusi frekuensi
pendapatan responden dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 13. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan per musim tanam
No Pendapatan Petani
Kategori Jumlah (orang) Presentase (%)
1 > Rp 13.000.000 Tinggi 11 44 2 Rp 8.000.000 -
Rp 13.000.000 Sedang 12 48
3 < Rp 8.000.000 Rendah 2 8 Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa pendapatan
responden sebanyak 11 responden (44%) dalam kategori pendapatan
tinggi, 12 responden (48%) dalam kategori pendapatan sedang, dan 2
responden (8%) dalam kategori pendapatan rendah. Dari data tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa responden terbanyak mempunyai
tingkat pendapatan sedang dan yang terbanyak kedua mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
tingkat pendapatan yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki tingkat perekonomian yang baik.
Selain sebagai petani padi, responden juga memiliki pekerjaan lain.
Responden merasa pekerjaan sebagai petani penghasilannya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Pekerjaan yang
diusahakan responden selain berusahatani ialah beternak, berdagang,
buruh, dan pensiunan PNS. Adapun ternak yang diusahakan oleh
responden adalah ternak sapi, itik, dan bebek.
5. Tingkat Pengalaman Petani
Tingkat pengalaman petani merupakan lamanya petani dalam
melakukan tanaman padi hingga penelitian ini dilakukan yang
dinyatakan dalam tahun. Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa
petani yang baru belajar (pemula) dibandingkan dengan petani yang
sudah berpengalaman akan berbeda dalam hal kecepatannya untuk
melakukan proses adopsi inovasi. Responden dalam penelitian ini mulai
membudidayakan tanaman padi dalam jangka waktu yang berbeda-
beda. Adapun distribusi frekuensi tingkat pengalaman petani dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 14. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengalaman Petani
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 > 20 tahun Tinggi 17 68 2 10 - 20 tahun Sedang 4 16 3 < 10 tahun Rendah 4 16
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa tingkat
pengalaman responden sebanyak 17 responden (68%) dalam kategori
tingkat pengalaman tinggi, 4 responden (16%) dalam kategori tingkat
pengalaman sedang, dan 4 responden (16%) dalam kategori tingkat
pengalaman rendah. Responden terbesar berada pada kategori tingkat
pengalaman yang tinggi, yakni mengusahakan budidaya tanaman padi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
lebih dari 20 tahun. Disamping itu sebanyak 4 responden dengan
tingkat pengalaman sedang mengusahakan budidaya tanaman padi
selama antara 10 – 20 tahun, dan sebanyak 4 responden dengan tingkat
pengalaman rendah mengusahakan budidaya tanaman padi selama
kurang dari 10 tahun.
Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar
petani responden memiliki tingkat pengalaman tinggi yang telah
membudidayakan tanaman padi dalam jangka waktu lebih dari 20
tahun. Kegiatan ini sudah dilakukan oleh petani dalam jangka waktu
yang lama karena kegiatan ini merupakan kegiatan yang sudah
dilakukan secara turun temurun.
6. Keaktifan Keanggotaan Petani
Keaktifan keanggotaan petani adalah keterlibatan petani dalam
kelompok tani, seperti frekuensi hadir dalam pertemuan rutin
kelompok, keaktifan petani didalam memberi masukan, lamanya
pengalaman berkelompok, dan kedudukan petani dalam kelompok.
secara teoritis semakin aktif petani dalam keanggotaan tani maka
semakin mudah menerima inovasi. Distribusi keaktifan keanggotaan
petani dapat dilihat pada Tabel 15 ini:
Tabel 15. Distribusi Responden Berdasarkan Keaktifan Keanggotaan Petani Dalam Kelompok Tani
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 9,4 – 12 Tinggi 8 32 2 6,7 - 9,3 Sedang 17 68 3 4 - 6,6 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa presentase
keaktifan keanggotaan petani terbesar berada pada kategori sedang
dengan presentase 68% sebanyak 17 responden. Presentase terbesar
kedua adalah 32% berada pada kategori tinggi sebanyak 8 responden.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa petani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
responden aktif dalam keterlibatannya dalam kelompok tani. Hal ini
terwujud pada keterlibatan anggota yang aktif didalam menghadiri
pertemuan rutin kelompok tani maupun pertemuan didalam kegiatan
penyuluhan dan juga keaktifan petani didalam mengajukan gagasan dan
pertanyaan dalam setiap kegiatan diskusi. Semua anggota memiliki hak
yang sama didalam kelompok sehingga anggota diberi kebebasan untuk
berpendapat maupun bertanya. Suasana kekeluargaan yang tercipta
antar anggota kelompok tani juga mendorong anggotanya untuk aktif
dalam kelompok.
7. Luas Penguasaan Lahan
Luas penguasaan lahan adalah luas lahan yang digarap atau
diusahakan oleh petani responden pada saat penelitian berlangsung dan
dinyatakan dalam satuan hektar (Ha). Menurut Lionberger (1960), luas
usahatani berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Kemampuan
ekonomi yang dimiliki semakin lebih baik sehingga berusaha untuk
meningkatkan kegiatan produksi yang lebih besar. Adapun distribusi
frekuensi luas penguasaan lahan dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 16. Distribusi Responden Berdasarkan Penguasaan Lahan Usahatani
No Luas Lahan (ha) Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 0,5 Tinggi 0 0 2 0,2 - 0,49 Sedang 23 92 3 < 0,2 Rendah 2 8
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa tingkat
penguasaan lahan responden sebanyak 2 responden (8%) dalam
kategori tingkat penguasaan lahan rendah, 23 responden (92%) dalam
kategori tingkat penguasaan lahan sedang, dan tidak ada responden
yang berada dalam kategori tingkat penguasaan lahan tinggi.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh
responden berada pada kategori tingkat penguasaan lahan sedang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
memiliki luas lahan yang berada pada kisaran 0,2 – 0,49 Ha.
Penguasaan lahan yang dimiliki seluruh petani responden peserta
SLPHT berada pada kisaran 0,1 – 0,4 Ha. Sebagian besar luas lahan
yang dimiliki oleh patani berasal dari warisan turun temurun. Status
kepemilikan lahan responden sebagian besar merupakan pemilik
penggarap, namun ada pula yang berstatus penyakap.
8. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani (X total)
Karakteristik sosial ekonomi merupakan tanda atau ciri – ciri dari
seseorang yang ada didalam dan diluar pribadi seseorang yang diduga
dapat mempengaruhi adopsi, termasuk adopsi terhadap teknologi PHT
pasca SLPHT padi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur,
pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan, tingkat
pengalaman petani, keaktifan keanggotaan petani, dan penguasaan
lahan usahatani. Adapun distribusi frekuensi karakteristik sosial
ekonomi petani dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 17. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 31,5 – 39,2 Tinggi 0 0 2 21,8 - 30,5 Sedang 25 100 3 13 - 21,7 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa tingkat
pengalaman responden sebanyak 25 responden, atau keseluruhan
responden peserta SLPHT berada pada kategori sedang. Berdasarkan
data tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi
responden berada pada kategori sedang. Artinya bahwa responden
cukup aktif mengikuti kegiatan yang mampu meningkatkan
pengetahuan dan pengalamannya dalam membudidayakan tanaman
padi. Adanya faktor internal yang muncul dari dalam diri responden
dimana responden memiliki keinginan untuk meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
pengetahuan dan pengalamannya dalam membudidayakan tanaman padi
tanpa paksaan dari pihak lain dan adanya faktor eksternal yang
mempengaruhi petani responden, membuat petani tertarik untuk
melakukan budidaya tanaman padi dengan baik.
B. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi
adalah penerimaan inovasi teknologi pengendalian hama terpadu melalui
kegiatan SLPHT dengan tindakan nyata melalui penerapan teknologi
pengendalian hama terpadu setelah pelaksanaan SLPHT usai. Penerapan
teknologi PHT padi ini meliputi 3 prinsip utama yakni budidaya tanaman
sehat, tingkat pelestarian musuh alami, dan pengamatan mingguan. Sejauh
mana petani menerapkan PHT setelah melaksanakan kegiatan SLPHT
dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Distribusi dari Tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT dapat dilihat sebagai
berikut:
1. Budidaya Tanaman Sehat
Budidaya tanaman sehat yakni semua usaha budidaya tanaman
yang dapat menyebabkan kesehatan dan produktivitas tanaman perlu
ditingkatkan mulai dari pemilihan bibit, penanaman sampai ke masa
panen. Budidaya tanaman sehat meliputi kegiatan pemberoan lahan,
sanitasi, persemaian, perlakuan benih, penggunaan varietas tahan,
pengolahan tanah, penanaman serentak, penentuan jarak tanam dan
sistem tanam, pergiliran tanaman, pengelolaan air, pemupukan
berimbang, dan penyiangan. Distribusi budidaya tanaman sehat dapat
dilihat sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tabel 18. Distribusi Responden Berdasarkan Budidaya Tanaman Sehat
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 28,2- 36,2 Tinggi 25 100 2 20,1 - 28,1 Sedang 0 0 3 12 - 20,0 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa tingkat
penerapan budidaya tanaman sehat berada dalam kategori tinggi.seluruh
reponden yakni sebanyak 25 orang (100%) berada pada kategori tinggi.
Tahap budidaya tanaman sehat ini tergolong tinggi karena seluruh
responden peserta SLPHT mengikuti dan menerapkan metode dan saran
yang dianjurkan penyuluh. Mereka menerapkan budidaya tanaman
sehat sesuai metode karena mereka merasakan manfaat dari penerapan
budidaya tanaman sehat. Disamping populasi hama yang menurun,
produktivitas juga meningkat. Rincian data dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Tingkat Budidaya Tanaman Sehat
No Item
Jumlah Responden Kategori
rendah Kategori
sedang Kategori
tinggi 1 Pemberoan lahan - 9 16 2 Sanitasi - - 25 3 Persemaian - 25 - 4 Perlakuan benih - - 25 5 Penggunaan varietas tahan - - 25 6 Pengolahan tanah 1 24 - 7 Penanaman serentak - - 25 8 Penentuan jarak tanam dan sistem
tanam - - 25
9 Pergiliran tanaman - - 25 10 Pengelolaan air - - 25 11 Pemupukan berimbang - - 25 12 Penyiangan - - 25
Sumber : Analisis Data Primer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sebagian besar responden selalu memberokan lahannya dan hanya
sebagian kecil saja yang hanya kadang-kadang saja dalam memberokan
lahannya. Petani selalu membersihkan lahannya atau selalu melakukan
sanitasi. Petani tidak melakukan persemaian bersama kelompok tani
namun membuat persemaiannya sendiri. Petani melakukan persemaian
sendiri dengan alasan agar lebih cepat tanam kembali setelah panen atau
petuk, setiap sehabis panen petani langsung menyisihkan sebagian
lahannya untuk persemaian sehingga begitu selesai panen petani dapat
langsung tanam kembali karena bibitnya telah siap. Dengan alasan itu
pula sebagian petani tidak memberokan lahannya.
Petani juga melakukan perlakuan benih dalam berusaha tani.
Perendaman benih menggunakan air hangat dan PGPR (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria). Varietas yang ditanam petani ialah varietas
tahan hama penyakit yang direkomendasikan penyuluh yakni varietas
mekongga dan inpari 13. Petani juga menerapkan pengolahan tanah,
penanaman serentak, penggunaan jarak tanam, pengelolaan air,
penyiangan, dan dosis pupuk sesuai rekomendasi penyuluh. Pengolahan
tanah berada pada kategori sedang dikarenakan petani merasa telah
cukup melakukan pengolahan tanahnya tanpa harus mengolahnya lebih
halus lagi. Petani juga menerapkan pergiliran tanaman padi dengan pola
tanam padi – padi – palawija (jagung).
2. Tingkat Pelestarian Musuh Alami
Pelestarian musuh alami dilakukan dengan menemukan, mengenali
dan mengamati musuh alami (teman petani) di lahan sawah agar
populasi musuh alami dapat berkembang, dengan tidak menggunakan
pestisida yang membunuh musuh alami. Distribusi tingkat pelestarian
musuh alami dapat dilihat sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Tabel 20. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pelestarian Musuh Alami
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 9,4 – 12 Tinggi 25 100 2 6,7 - 9,3 Sedang 0 0 3 4 - 6,6 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 20 dapat dilihat bahwa seluruh
responden (100%) sebanyak 25 petani berada pada kategori tinggi.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa petani mengadopsi
teknologi PHT pelestarian musuh alami dengan baik dan bahkan terus
menerapkan pelestarian musuh alami setelah SLPHT usai. Rincian data
dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Tingkat Pelestarian Musuh Alami
No Item
Jumlah Responden Kategori
rendah Kategori
sedang Kategori
tinggi 1 Kemampuan mengidentifikasi hama
dan musuh alaminya - 5 20
2 Mengamati perkembangan musuh alami
- - 25
3 Memelihara keseimbangan musuh alami
- - 25
4 Pemanfaatan musuh alami - - 25
Sumber : Analisis Data Primer
Sebagian besar petani mengenal dengan cermat hama dan musuh
alami nya di lahan mereka masing-masing, hanya sebagian kecil saja
yang merasa masih kurang mengenal hama dan musuh alaminya. Petani
selalu mengamati perkembangan musuh alami di lahan mereka, karena
mereka menyadari manfaat dari keberadaan musuh alami. Mereka
memanfaatkan musuh alami untuk melawan hama penyakit padi di
lahan mereka dan meminimalkan penggunaan pestisida. Petani tidak
lagi menggunakan pestisida yang berspektrum lebar, bahkan mereka
menggunakan pestisida nabati yang dapat dibuat sendiri sesuai ajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
penyuluh pada saat SLPHT. Penggunaan pestisida kimia berspektrum
lebar akan membahayakan kelangsungan hidup dari musuh alami, tidak
hanya hama yang mati tetapi organisme lain yang bukan merupakan
organisme pengganggu tanaman dan organisme yang merupakan musuh
alami dari hama juga bisa ikut mati. Musuh alami yang dominan
berkembang di Desa Metuk adalah laba-laba yang merupakan musuh
alami dari hama wereng.
Dalam konsep PHT ini lebih menekankan pada pengendalian
hayati dengan memanfaatkan keberadaan musuh alami di lapang. Untuk
itu maka petani harus mengetahui apa itu musuh alami, dari apa yang
ada dalam golongan musuh alami, sebagai usaha memanfaatkan
keberadaan musuh alami di lapang. Musuh alami pada umumnya
dikenal sebagai predator dari hama, padahal musuh alami bisa berupa
parasit, dan pathogen meliputi cendawan, bakteri, virus, dan nematoda.
Hal ini merupakan pengetahuan baru bagi para petani. Dalam
melestarikan dan mengembangkan musuh alami, petani
direkomendasikan untuk menekankan pada pengendalian hayati yang
diatikan sebagai kegiatan musuh alami yaitu kegiatan parasit, pemangsa
(predator), dan patgohen dalam menekan kepadatan populasi jenis OPT
lain ( Laboratorium PHPT, 2011). Dalam pengendalian hayati para
petani diajarkan dalam pembuatan agens hayati seperti PGPR dan
Moretan. Pembuatan agens hayati ini merupakan inovasi yang baru bagi
para petani.
3. Pengamatan Mingguan
Pengamatan mingguan bertujuan untuk mengetahui situasi hama di
lapangan sedini mungkin sehingga tindakan pengendalian hama dapat
dilakukan sedini mungkin dan munculnya peletusan hama dapat
dicegah. Hal-hal yang perlu diamati ialah keadaan tanaman, populasi
hama dan musuh alam, kondisi cuaca, dan intensitas serangan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan serangga lain. Distribusi
tingkat pelestarian musuh alami dapat dilihat sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tabel 22. Distribusi Responden Berdasarkan Pengamatan Mingguan
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 18,8 - 24,1 Tinggi 25 100 2 13,4 - 18,7 Sedang 0 0 3 8 - 13,3 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa bahwa seluruh
responden (100%) sebanyak 25 petani berada pada kategori tinggi.
Artinya bahwa petani responden mampu mengadopsi dan menerapkan
teknologi PHT pengamatan mingguan dengan baik sesuai rekomendasi
dan anjuran penyuluh pada saat pelatihan SLPHT. Petani harus
mengadakan pemantauan ekosistem secara rutin agar petani dapat
mengikuti perkembangan populasi hama dan musuh alaminya di
lahannya, serta menentukan tindakan pengendalian yang perlu
dilaksanakan. Rincian data dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Distribusi Responden Berdasarkan Rincian Tingkat Pengamatan Mingguan
No Item
Jumlah Responden Kategori
rendah Kategori
sedang Kategori
tinggi 1 Pengamatan keadaan tanaman - - 25
2 pengamatan terhadap populasi hama dan musuh alami
- - 25
3 Pengamatan kondisi cuaca - - 25 4 Pengamatan intensitas serangan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
- 3 22
5 Waktu memulai pemantauan - - 25
6 Frekuensi pengamatan - - 25
7 Tindakan pengendalian hama - - 25
8 Teknik pengendalian hama - - 25
Sumber : Analisis Data Primer
Petani melakukan pengamatan terhadap keadaan tanaman, populasi
hama dan musuh alami, kondisi cuaca, dan intensitas serangan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan serangga lain secara rutin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
setiap seminggu sekali. Petani melakukan pengamatan dimulai pada
awal sebelum tanam sehingga dapat dilakukan pencegahan dan dapat
dideteksi secara dini apabila terdapat hama dan penyakit tanaman di
lahan. Sebanyak 3 petani langsung melakukan penyemprotan setelah
melakukan pengamatan dan di lahannya terdapat hama. Sebagian besar
lainnya melakukan pengamatan terlebih dahulu, apabila di lahannya
terdapat hama mereka menggunakan musuh alami terlebih dahulu dan
hanya menggunakan pestisida bila diperlukan. Petani melakukan
pengendalian hama dengan cara teknik budidaya dengan rotasi
tanaman, cara biologis (dengan predator, menyemprotkan cendawan
penginfeksi), fisik (dengan perangkap) sesuai rekomendasi penyuluh.
4. Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT (Y
total)
Tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi
adalah penerimaan inovasi teknologi pengendalian hama terpadu
melalui kegiatan SLPHT dengan tindakan nyata melalui penerapan
teknologi pengendalian hama terpadu setelah pelaksanaan SLPHT usai.
Tabel 24. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
No Skor Kategori Jumlah (orang) Presentase (%) 1 56,2 - 72,2 Tinggi 25 100 2 40,1 - 56,1 Sedang 0 0 3 24- 40 Rendah 0 0
Jumlah 25 100
Sumber : Analisis Data Primer
Berdasarkan data pada Tabel 24 dapat dilihat bahwa bahwa seluruh
responden (100%) sebanyak 25 petani berada pada kategori tinggi.
Artinya bahwa seluruh responden yang merupakan petani peserta
SLPHT padi mampu mengadopsi teknologi PHT dengan baik dan terus
menerapkan teknologi PHT pasca SLPHT sesuai teknik dan metode
yang diajarkan penyuluh. Mereka menyadari dan merasakan benar
manfaat dari penerapan teknologi PHT yang mereka dapatkan selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
pelaksanaan SLPHT. Dengan menerapkan teknologi PHT sesuai teknik
dan metode yang diajarkan penyuluh, maka petani dapat mendapatkan
hasil produksi yang optimal, serta menggunakan taktik pengendalian
yang alami sehingga meminimalkan biaya produksi serta tidak
menimbulkan dampak yang negatif yang merugikan lingkungan hidup
dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka akan
meningkatkan pendapatan yang diperoleh petani itu sendiri.
Keberhasilan SLPHT tidak lepas dari kemauan dan keterbukaan
petani dalam menerima adanya SLPHT karena mereka ingin
mendapatkan hasil yang lebih baik bagi usahatani padi nya. Petani juga
terus menerapkan PHT selepas kegiatan SLPHT karena petani
merasakan betul manfaat dari teknologi PHT yang mereka dapatkan
selama kegiatan SLPHT. Produksi usahatani padi mereka meningkat
setelah SLPHT. Oleh karena itu petani terus menerapkan konsep PHT
dalam usahatani nya dan bersedia untuk menyebarluaskan konsep PHT
kepada petani lain yang tidak mengikuti SLPHT.
Terlepas dari tingkat adopsi responden petani peserta SLPHT yang
tinggi terhadap teknologi PHT pasca SLPHT, pelaksanaan SLPHT
sendiri terdapat kekurangan dan kendala. Kekurangan utama dalam
pelaksanaan SLPHT adalah masalah anggaran dana. Anggaran dana
yang terbatas dari pemerintah menyebabkan terbatasnya jumlah peserta.
Minimnya dana juga berakibat pada kelompok tani peserta SLPHT.
Anggaran dana yang terbatas seringkali membuat kelompok tani secara
swadaya mengeluarkan anggaran dana tambahan. Kekurangan yang lain
ialah waktu yang terbatas setiap pertemuan, karena kurang optimalnya
dalam pemberian materi dan praktek dalam waktu yang terbatas
tersebut serta apabila waktu pertemuan bertepatan dengan hajatan
warga, upacara kematian, dan acara sosial lainnya sehingga waktu
pertemuan SLPHT harus diundur dan disesuaikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
C. Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara
karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi PHT pasca SLPHT padi. Untuk mengetahui hubungan antara
karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi PHT pasca SLPHT padi digunakan uji korelasi Rank Spearman
(rs), sedangkan untuk menguji tingkat signifikansi terhadap nilai yang
diperoleh dengan menggunakan besarnya nilai thitung dan ttabel. Hasil
analisis hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi dapat dilihat
sebagai berikut:
Tabel 25. Analisis Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Var Y1 Y2 Y3 Ytot
rs t hit rs t hit rs t hit rs t hit
X1 0,296 1,486 -0,124 -0,599 -0,171 -0,832 0,064 0,307
X2 -0,26 -1,291 0,108 0,521 0,246 1,217 0,179 0,876
X3 0,458* 2,471 0,25 1,238 0,123 0,594 0,544** 3,109
X4 0,406* 2,131 -0,185 -0,903 -0,181 -0,883 0,076 0,365
X5 0,400* 2,093 -0,093 -0,448 0,269 1,339 0,406* 2,131
X6 0,131 0,634 0,413* 2,175 0,184 0,898 0,480* 2,624
X7 0,393 2,049 -0,147 -0,713 -0,109 -0,526 0,183 0,893
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Keterangan: t tab = 2,069 ( , t tab = , rs = Korelasi rank spearman, ** = Signifikan pada = 0,01, * = Signifikan pada = 0,05, X1 = Umur, X2 = Pendidikan formal, X3 = Pendidikan non formal, X4 = Pendapatan, X5 = Tingkat Pengalaman Petani, X6 = Keaktifan Keanggotaan Petani,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
X7 = Penguasaan lahan, X tot = Karakteristik Sosial Ekonomi , Y1 = Budidaya Tanaman Sehat, Y2 = Tingkat Pelestarian Musuh Alami, Y3 = Pengamatan Mingguan, Y tot = Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT,
Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa hasil analisis menunjukkan
hubungan yang signifikan dan tidak signifikan antar variabel. Untuk
mengetahui makna angka-angka hasil analisis diatas dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Hubungan antara Umur dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap
Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara umur responden dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT dengan nilai rs sebesar
0,296 dan t hitung 0,307 lebih kecil dari t tabel 2,069. Berdasarkan hasil
analisis diatas dapat disimpulkan bahwa umur responden tidak
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT
pasca SLPHT. Hal ini karena dalam penerapan teknologi PHT tidak
mensyaratkan umur.
Responden dengan berbagai tingkatan umur dapat mengikuti
SLPHT dan mengadopsi teknologi PHT dengan baik, tergantung dari
pemahaman dan kemauan mereka dalam menerapkan teknologi PHT
yang dianjurkan dan dipelajari dalam SLPHT. Para petani yang sudah
tua masih memiliki semangat dan kemauan yang tinggi dalam
mengikuti SLPHT dan menerapkan teknologi PHT dengan tujuan
menginginkan hasil yang maksimal terhadap usahatani nya, sehingga
mereka bersungguh-sungguh dalam mengikuti SLPHT tidak kalah
dengan para petani yang masih muda sehingga mereka bisa mengadopsi
teknologi PHT pasca SLPHT dengan baik. Tidak sedikit mereka yang
pada usia sudah lanjut akan lebih banyak belajar dari pengalaman,
sehingga dia akan melakukan proses adopsi dengan tepat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Begitu pula dengan petani yang masih muda, mereka lebih cepat
dalam mengadopsi inovasi teknologi PHT. Fisik yang masih kuat serta
keingintahuan terhadap sesuatu yang baru akan menjadikan petani
berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang hal-hal yang
berkaitan dengan teknologi PHT, sehingga dalam melakukan proses
adopsi inovasi sesuai dengan anjuran. Akan tetapi tidak sedikit pula
petani yang masih muda rendah dalam proses adopsi. Hal ini
dikarenakan masih kurangnya pengalaman dan kekurangfahaman dalam
menerima informasi yang ada.
2. Hubungan antara Pendidikan Formal dengan Tingkat Adopsi
Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel yaitu 0,876 < 2,069 . Hal ini menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan formal yang ditempuh petani tidak
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT. Hal
ini disebabkan karena teknologi PHT tidak diperoleh didalam
pendidikan formal yang ditempuh oleh petani. Teknologi PHT
diperoleh dari kegiatan pendidikan non formal yaitu dari kegiatan
penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh atau dari kegiatan SLPHT,
bukan dari pendidikan formal yang ditempuh petani. Hal ini juga
disebabkan oleh tingkat pendidikan petani yang cenderung masih
rendah membuat minat responden dalam hal-hal baru juga relatif
rendah.
3. Hubungan antara Pendidikan Non Formal dengan Tingkat Adopsi
Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
besar dari t tabel yaitu 3,109 > 2,807 . Hal ini menunjukkan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
hubungan yang signifikan dengan arah hubungan yang positif antara
pendidikan non formal dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi
PHT pasca SLPHT. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi frekuensi petani mengikuti
pendidikan non formal maka tingkat adopsi petani terhadap teknologi
PHT akan semakin tinggi.
Melalui pendidikan non formal seperti kegiatan penyuluhan dan
kegiatan SLPHT yang diiikuti petani, maka petani mendapatkan banyak
informasi yang berkaitan dengan teknologi budidaya tanaman padi.
Informasi yang didapat akan menambah pengetahuan dan ketrampilan
petani serta pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam usaha
taninya.
Pendidikan non formal dalam hal ini termasuk juga Sekolah
Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) padi yang melatih petani
untuk menjadi ahli lapangan pengendalian hama terpadu sehingga
mampu menerapkan prinsip pengendalian hama terpadu, sekurang-
kurangnya di lingkungan sawahnya sendiri. Semakin tinggi frekuensi
petani mengikuti SLPHT maka pengetahuan dan ketrampilan petani
akan bertambah, hal ini mempengaruhi dalam mengadopsi teknologi
PHT. Sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan non formal maka
semakin tinggi pula tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT.
4. Hubungan antara Pendapatan dengan Tingkat Adopsi Petani
Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel yaitu 0,365 < 2,069 . Hal ini menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan antara pendapatan petani dengan
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi pendapatan yang diperoleh petani tidak berhubungan dengan
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT. Hal ini disebabkan
karena dalam kegiatan SLPHT tidak dipungut biaya sehingga petani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
dengan pendapatan tinggi ataupun rendah dapat mengikuti SLPHT.
Didalam teknologi PHT, menerapkan 3 prinsip yakni budidaya tanaman
sehat, pelestarian musuh alami, dan pengamatan mingguan yang ramah
lingkungan menggunakan pestisida dan pupuk alami yang dapat dibuat
sendiri sehingga meminimalisir penggunaan biaya. Sehingga petani
dengan pendapatan tinggi ataupun rendah dapat mengadopsi teknologi
PHT pasca SLPHT dengan baik.
Perbedaan pendapatan tidak mempengaruhi responden dalam
menerapkan teknologi PHT. Petani yang mempunyai pendapatan tinggi
biasanya memiliki usaha diluar usaha tani padi sawah. Petani yang
memiliki pendapatan tinggi dari usaha non pertanian biasanya akan
lebih menekuni usaha di luar usaha taninya itu, sehingga petani kurang
antusias dalam menanggapi inovasi teknologi PHT.
5. Hubungan antara Tingkat Pengalaman Petani dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
besar dari t tabel yaitu 2,131 > 2,069. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan dengan arah hubungan yang positif antara
tingkat pengalaman petani dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi PHT pasca SLPHT. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengalaman petani dalam
mengusahakan usahatani nya maka tingkat adopsi petani terhadap
teknologi PHT akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya
pengalaman yang telah dimiliki petani, maka sejatinya petani telah
belajar menerapkan budidaya padi sejak lama. Petani yang memiliki
tingkat pengalaman budidaya tinggi memiliki kemauan dan ketertarikan
dalam menerapkan teknologi PHT dengan tujuan hasil produksinya
lebih maksimal lagi. Adanya SLPHT padi meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan petani menjadi lebih baik.
Seorang petani yang sudah memiliki pengalaman yang tinggi
dalam budidaya tanaman padi tentu akan belajar dari pengalamannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
dan tidak ingin mengulang kesalahannya sehingga lebih mudah dalam
mengadopsi inovasi teknologi PHT. Sedangkan petani yang belum
berpengalaman biasanya masih dalam proses trial and error, sehingga
dia akan mengadopsi sesuai kemauannya.
6. Hubungan antara Keaktifan Keanggotaan Petani dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
besar dari t tabel yaitu 2,624 > 2,069 . Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan dengan arah hubungan yang positif antara
keaktifan keanggotaan petani dengan tingkat adopsi petani terhadap
teknologi PHT pasca SLPHT. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi keaktifan keanggotaan petani maka
tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT akan semakin tinggi.
Kelompok tani adalah sarana bagi petani untuk berkomunikasi
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan usahatani. Proses adopsi
inovasi tidak terlepas dari pengaruh interaksi antara individu, anggota
masyarakat, atau kelompok masyarakat (Soekartawi,1988). Didalam
setiap pertemuan kelompok tani membahas materi sesuai kebutuhan
petani saat itu. Adanya diskusi dalam pertemuan kelompok tani, petani
dapat saling bertukar ilmu dan pikiran mengenai teknologi PHT.
Pertemuan kelompok juga menjadi sarana penyebarluasan teknologi
PHT. Petani yang mengikuti SLPHT Padi dituntut untuk berpartisipasi
aktif dan saling bekerjasama baik antar anggota selama mengikuti
SLPHT.
Seorang petani akan melakukan adopsi dengan baik jika dia
memahami informasi-informasi tentang adopsi yang baik pula. Petani
yang selalu hadir dan aktif dalam keanggotaan petani akan
mendapatkan informasi tentang teknologi PHT yang lebih baik dan
lebih utuh, sehingga petani akan melakukan adopsi dengan baik pula.
Sedangkan petani yang jarang hadir dan tidak aktif dalam keanggotaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
tani tentunya akan mendapatkan informasi yang tidak utuh dan tidak
lengkap, sehingga berakibat kurang baik pula dalam melakukan adopsi.
7. Hubungan antara Penguasaan lahan Usahatani dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel yaitu 0,893 < 2,069 . Hal ini menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan antara penguasaan lahan usahatani
dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT.
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi penguasaan lahan usahatani yang dimiliki petani tidak
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT. Hal
ini disebabkan karena luas lahan yang tergolong sempit namun petani
masih dapat menerapkan teknologi PHT yang telah diajarkan selama
SLPHT.
Sempitnya luas lahan bukan menjadi hambatan bagi petani untuk
menerapkan teknologi PHT pada usahataninya. Selain itu luas atau
sempitnya lahan tidak akan mempengaruhi tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT karena petani akan menerapkan teknologi PHT
yang sama satu sama lain. Penggunaan bibit unggulan yang sama,
pupuk yang sama, dan perlakuan yang sama. Petani yang mempunyai
keyakinan tinggi tentang kelebihan adopsi akan berusaha melakukan
adopsi secara tepat. Selain itu keinginan untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik dari usaha taninya akan semakin memotivasinya untuk
melakuka adopsi sebaik mungkin.
8. Hubungan antara Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Tingkat
Adopsi Petani Terhadap Teknologi PHT Pasca SLPHT
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa nilai t hitung lebih
besar dari t tabel yaitu 5,063 > 2,807 . Hal ini menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan dengan arah hubungan yang positif antara
karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat adopsi petani terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
teknologi PHT pasca SLPHT. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi karakteristik sosial ekonomi petani
maka tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT akan semakin
tinggi. Petani didalam menanggapi suatu ide atau informasi yang baru
akan berbeda menurut karakteristik kepribadian dan ciri-ciri sosial
ekonomi masing-masing individu. Petani yang memiliki karakteristik
sosial ekonomi yang tinggi akan mengadopsi teknologi PHT yang
didapatkan selama SLPHT dengan baik. Petani dengan karakteristik
sosial ekonomi yang tinggi memiliki kemauan dan keinginan yang
tinggi dalam mengusahakan usahatani nya sehingga petani mampu
menerapkan teknologi PHT pasca SLPHT dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi di
Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali berada pada
kategori tinggi. Seluruh responden mampu mengadopsi teknologi PHT
dengan baik dan terus menerapkan teknologi PHT pasca SLPHT sesuai
teknik dan metode yang diajarkan penyuluh.
2. Karakteristik sosial ekonomi petani peserta SLPHT padi di Desa
Metuk, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali berada pada
kategori sedang. Umur petani peserta SLPHT meliputi antara 26 – 70
tahun dan sebagian besar petani menempuh jenjang pendidikan formal
SMP – SMA. Petani yang merupakan peserta SLPHT cukup aktif
mengikuti penyuluhan yang dilaksanakan. Adapun pendapatan mereka
tergolong sedang, selain mengusahakan tanaman padi untuk mencukupi
kebutuhan mereka mencari penghasilan diluar bidang pertanian. tingkat
pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman padi tergolong
tinggi, mereka juga aktif terlibat dalam kelompok tani. Luas lahan yang
dimiliki petani peserta SLPHT berkisar antara 0,1 – 0,4 Ha.
Responden cukup aktif mengikuti kegiatan yang mampu meningkatkan
pengetahuan dan pengalamannya dalam membudidayakan tanaman
padi. Adanya faktor internal dan eksternal mempengaruhi petani
responden memiliki keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam membudidayakan tanaman padi tanpa paksaan
dari pihak lain dan membuat petani tertarik untuk melakukan budidaya
tanaman padi dengan baik.
79
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
3. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT padi di Desa Metuk,
Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut:
a. Hubungan antara umur responden dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan tidak adanya
hubungan yang signifikan, artinya bahwa umur responden tidak
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT
pasca SLPHT.
b. Hubungan antara pendidikan formal responden dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan
tidak adanya hubungan yang signifikan, artinya bahwa tinggi
rendahnya tingkat pendidikan formal yang ditempuh petani tidak
berhubungan dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT.
c. Hubungan antara pendidikan non formal responden dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan
hubungan yang signifikan, artinya bahwa semakin tinggi frekuensi
petani mengikuti pendidikan non formal maka tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT akan semakin tinggi.
d. Hubungan antara pendapatan responden dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan tidak adanya
hubungan yang signifikan, artinya bahwa tinggi rendahnya
pendapatan yang diperoleh petani tidak berhubungan dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT.
e. Hubungan antara pengalaman petani dengan tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan hubungan yang
signifikan, artinya bahwa semakin tinggi tingkat pengalaman petani
dalam mengusahakan usahatani nya maka tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT akan semakin tinggi.
f. Hubungan antara keaktifan keanggotaan petani dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan
hubungan yang signifikan, artinya bahwa semakin tinggi keaktifan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
keanggotaan petani maka tingkat adopsi petani terhadap teknologi
PHT akan semakin tinggi.
g. Hubungan antara penguasaan lahan responden dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan, artinya bahwa tinggi rendahnya
penguasaan lahan usahatani yang dimiliki petani tidak berhubungan
dengan tingkat adopsi petani terhadap teknologi PHT.
h. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi PHT pasca SLPHT menunjukkan
hubungan yang signifikan, artinya bahwa semakin tinggi
karakteristik sosial ekonomi petani maka tingkat adopsi petani
terhadap teknologi PHT akan semakin tinggi.
B. Saran
1. Pendidikan non formal petani berhubungan dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi PHT. Jadi sebaiknya pendidikan non formal
ditingkatkan lagi dengan cara memperbanyak kegiatan penyuluhan
dan pelatihan yang berhubungan dengan teknik budidaya padi dan
pengendalian hama terpadu (PHT).
2. Diharapkan bagi pemerintah untuk menambah jumlah Petugas
POPT/PHP (Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan/
Pengamat Hama Penyakit). Kurangnya jumlah Petugas POPT/PHP ini
mengakibatkan kurang optimalnya pembinaan terhadap kelompok tani
di Kecamatan Mojosongo terutama dalam pembinaan PHT.
3. Keaktifan keanggotaan petani berhubungan dengan tingkat adopsi
petani terhadap teknologi PHT. Jadi sebaiknya keaktifan keanggotaan
petani ditingkatkan lagi dengan cara membuat diskusi menjadi lebih
menarik dan interaktif maupun mengadakan arisan agar anggota lebih
aktif.