Hubungan Faktor Iklim Denga Vektor Malaria

Embed Size (px)

Citation preview

Hubungan Faktor Iklim dan Topografi dengan Vektor Malaria Kota Jayapura merupakan wilayah yang dekat dengan garis katulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan lautan Pasifik sehingga kondisi di lautan Pasifik member ikan pengaruh terhadap kondisi iklim di daerah tersebut. Kota Jayapura termasu k dalam kategori iklim tropis dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim huj an yang sering bergantian secara tidak teratur. Variasi curah hujan berkisar ant ara 45-255 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata bervariasi antara 148-175 hari hujan/tahun. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Mei. Suhu udara di kota Jayapu ra dalam kurun waktu satu tahun cukup bervariasi antara satu bulan dengan bulan lainnya. Suhu udara rata-rata berkisar antara 290-31,80C dan kelembaban udara be rvariasi antara 77% - 82%. Hutan Papua dan keragaman topografi berpengaruh terha dap variasi musim hujan. Keragaman curah hujan secara langsung maupun tidak lan gsung akan mempengaruhi intensitas penularan beberapa penyakit, salah satunya ad alah penyakit malaria. Secara umum faktor-faktor iklim makro dan mikro berpengaruh terhadap perkembangb iakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi dewasa dan pradewasa nyamuk vektor mala ria (Hidayati, et al, 2009). Curah hujan, temperatur, radiasi serta kelembaban b erpengaruh terhadap tipe dan jumlah habitat perkembangbiakan. Faktor-faktor ikli m tersebut dapat meningkatkan atau mengurangi kepadatan populasi serta kontak ma nusia dengan vektor. Curah hujan dan jumlah hari hujan berkombinasi dengan fakto r lingkungan berpengaruh terhadap peningkatan habitat perkembangbiakan vektor ma laria. Peningkatan habitat perkembangbiakan juga dipengaruhi oleh siklus musima n, seperti musim penghujan dan musim kering. Penelitian Hidayati et al (2009) di Lombok Utara mendapatkan bahwa kepadatan vektor malaria berkaitan erat dengan c urah hujan dan musim. Kepadatan vektor tertinggi ditemukan pada awal musim kema rau. Pada periode ini genangan air, sebagai tempat perindukan nyamuk Anopheles, masih ada tetapi radiasi matahari telah cukup mendukung pertumbuhan ganggang. Ke padatan nyamuk dipengaruhi oleh hujan pada bulan yang bersangkutan dan sebulan s ebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Thomson et al (2005) di Botswana menemukan bahwa keragaman hujan berkaitan erat dengan keragaman tahun kejadian malaria. Selain p erubahan pola curah hujan, peningkatan temperatur akan mempercepat pertumbuhan l arva dan nyamuk vektor, mempercepat siklus gonotropik, memperpendek siklus sporo gonik sehingga meningkatkan risiko penularan malaria. Percepatan siklus gonotrop ik meningkatkan pertumbuhan populasi vektor dan frekuensi kontak antara vektor d engan manusia, sehingga dapat meningkatkan risiko penularan. Dengan bertambahnya temperatur akan memperluas distribusi vektor, dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit menjadi infektif. Natadisastra (2009) menyatakan bahwa peng aruh iklim sangat penting terhadap ada atau tidak adanya penyakit malaria. Di da erah dengan iklim dingin, transmisi hanya dapat terjadi pada waktu-waktu tertent u. Penelitian Hidayati et al (2009) menunjukkan bahwa Papua merupakan wilayah denga n indeks kerentanan tertinggi di Indonesia terhadap malaria. Penyebaran malaria di provinsi Papua telah menyebar di pegunugan yang sebelumnya tidak ditemukan ka sus malaria. Berdasarkan data dari Dinas kesehatan provinsi Papua, diketahui bah wa telah terjadi kejadian luar biasa malaria di Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya pada tahun 2010 yang menyebabkan 12 orang meninggal dunia. Salah satu penye bab penyebaran malaria hingga ke pegunungan Papua di tengarai berkaitan dengan f aktor iklim dan kejadian El nino. Bangs dan Subianto (1999), mengatakan bahwa peningkatan malaria dan tingginya angka kematian akibat malaria di dataran tingg i papua secara tidak langsung dipengaruhi oleh kemarau yang berkepanjangan. Conn or dan Matilla (2008) juga menyatakan bahwa adanya peninyimpangan iklim dari kea daan normal pada suatu musim tertentu dapat memicu serangan malaria dan demam be rdarah yang lebih luas. Selain faktor iklim, faktor topografi/ketinggian tempat (altitude), kemiringan l ereng (slope), penutupan lahan dan penggunaan lahan juga mempengaruhi distribusi dan tempat perindukan nyamuk. Pemahaman dan analisis data lingkungan serta fakt or iklim dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran vektor malaria dan men duga populasi vektor malaria. Kombinasi kedua faktor tersebut dapat digunakan da

lam penyusunan rancangan model spasial temporal untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria disuatu daerah