66
1 HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PADA ANAK TESIS SCHENNY REGINA LUBIS 077103019 /IKA PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

1

HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PADA ANAK

TESIS

SCHENNY REGINA LUBIS

077103019 /IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

2

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED-HELMINTH DENGAN HASIL

UJI TUSUK KULIT PADA ANAK

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang

Ilmu Kesehatan Anak / M. Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

SCHENNY REGINA LUBIS

077103019/IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

3

Judul Penelitian : Hubungan Infeksi Soil-Transmitted Helminth

dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Pada Anak

Nama Mahasiswa : Schenny Regina Lubis

NIM : 077103019 /IKA

Program Magister : Magister Klinis

Konsentrasi : Kesehatan Anak

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. Lily Irsa, Sp.A(K)

Ketua

dr. Supriatmo, Sp.A(K)

Anggota

Ketua Program Magister Ketua TKP-PPDS

dr. Melda Deliana, Sp.A(K) dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

Tanggal lulus : 5 Juni 2012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

4

Telah diuji pada

Tanggal : 5 Juni 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Lily Irsa, SpA (K) …………………

Anggota : dr. Supriatmo, SpA (K) …………………

dr. Endang H. Ganie, DTM&H, SpPar (K) …………………

Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.AK …………………

dr. Tina C L Tobing, Sp.AK …………………

Tanggal lulus : 5 Juni 2012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

5

PERNYATAAN

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH DENGAN HASIL

UJI TUSUK KULIT PADA ANAK

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan

dalam daftar pustaka

Medan, Juni 2012

Schenny Regina Lubis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

6

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir

pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU

/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala

kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di

masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr. Lily Irsa, Sp.AK dan dr. Supriatmo, SpAK, yang telah

memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga

dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Dokter Spesialis Anak FK-USU, dan dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K), sebagai

Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam

menyelesaikan tesis ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

7

3. dr. H. Ridwan M. Daulay, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan

Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. Dr. Endang Gani, DTM&H, SpPar(K), dr. Rita Evalina, Sp.A, yang sudah

membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP

H. Adam Malik Medan dan RS. dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan

sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

6. Kepala Puskesmas Secanggang, atas keramahtamahannya selama

penelitian di Secanggang

7. Para laboran dan analis, Fahrani Nst, Ssi yang juga membantu saya dalam

pelaksanaan penelitian ini.

8. Teman-teman rekan sesama PPDS yang tidak mungkin bisa saya lupakan

yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun

penyelesaian tesis ini. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani

pendidikan selama ini.

9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis

ini.

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya Bapak Syahrul

Lubis dan Ibu Elly Juliastuti dan mertua saya dr. Saad Sahlul Nst, Sp.OG dan Ibu Sri

Bahagia Lbs atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih

karena selalu mendo’akan saya dan memberikan bantuan moril dan materil. Begitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

8

juga suami saya tercinta dr. Janwar Sahnanda Nst, anak saya Hakem Mufthi Nst,

yang selalu mendo’akan dan memberikan dorongan serta pengertian selama

mengikuti pendidikan ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat

bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Mei 2012

Schenny Regina Lubis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

9

DAFTAR ISI

Lembaran Persetujuan Pembimbing i Lembar Panitia Penguji Tesis ii Ucapan Terima Kasih iii Daftar Isi vi Daftar Tabel viii Daftar Gambar ix Daftar Singkatan x Daftar Lambang xi Abstrak xii BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Perumusan Masalah 3 1.3. Hipotesis 3 1.4. Tujuan Penelitian 3 1.5. Manfaat Penelitian 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alergi dan atopi 4 2.2. Soil-Transmitted Helminth 6 2.3. Soil-Transmitted Helminth dan Alergi 7 2.3.1. Soil-Transmitted Helminth dan Asma 8

2.3.2. Soil-Transmitted Helminth dan Dermatitis Atopi 8 2.3.3. Soil-Transmitted Helminth dan Rinitis Alergi 9 2.4. Patofisiologi 9 2.4.1. Infeksi Akut 9 2.4.2. Infeksi Kronis 10

2.5 Uji Tusuk Kulit 10 2.6. Kerangka Konseptual 12 BAB 3. METODOLOGI

3.1. Desain 13 3.2. Tempat dan Waktu 13 3.3. Populasi dan Sampel 13 3.4. Besar Sampel 14 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi 15 3.5.2. Kriteria Eksklusi 15

3.6. Persetujuan / Informed Consent 15 3.7. Etika Penelitian 16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

10

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 16 3.9. Identifikasi Variabel 19 3.10. Definisi Operasional 19 3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 21

BAB 4. HASIL 22 BAB 5. PEMBAHASAN 28 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 33 6.2. Saran 33 BAB 7. RINGKASAN 34 DAFTAR PUSTAKA 38 Lampiran

1. Personil Penelitian 41 2. Biaya Penelitian 41 3. Jadwal Penelitian 41 4. Kuesioner Penelitian 42 5. Teknik Hapusan Tebal Kato Katz 44 6. Cara Kerja Uji Tusuk Kulit 45

7. Penjelasan Kepada Orangtua 47 8. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 49

9. Riwayat Hidup 50 10. Komite Etik Penelitian 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

11

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian 24

Tabel 4.2. Hubungan antara infeksi Soil-transmitted helminth 26

dengan hasil uji tusuk kulit

Tabel 4.3. Hubungan antara jenis cacing dan intensitas infeksi 26

Soil-transmitted helminth dengan hasil uji tusuk kulit

Tabel 4.4. Hubungan gejala penyakit atopi terhadap infeksi

Soil-transmitted helminth 27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Hubungan infeksi Soil-transmitted helminth dengan

terjadinya alergi 10

Gambar 2.6. Kerangka konsep penelitian 12

Gambar 3.8. Alur penelitian 18

Gambar 4.1. Profil penelitian 23

Gambar 4.2. Distribusi intensitas infeksi 25

Gambar 4.3. Distribusi jenis infeksi cacing 25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

13

DAFTAR SINGKATAN

STH : Soil-transmitted helminth ISSAC : International Study of Asthma and Allergy in Childhood WHO : World Health Organization RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat dkk : dan kawan-kawan SPSS : Statistic Package for the Social Sciences Ig E : Imunoglobulin E rT cell : sel T regulator IL-10 : Interleukin 10 TGF β : Transforming Growth Factor β IL-4 : Interleukin 4 IL-5 : Interleukin 5 IL-13 : Interleukin 13 Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 cm : centi meter mm : milli meter bb : berat badan kg : kilogram epg : egg per gram SPT : Skin Prick Test

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

14

DAFTAR LAMBANG

% : persentase ≥ : lebih besar atau sama dengan < : lebih kecil dari > : lebih besar dari = : sama dengan ± : tambah kurang n : jumlah sampel/subjek n1 : jumlah subjek yang masuk dalam kelompok I n2 : jumlah subjek yang masuk dalam kelompok II zα : deviat baku normal untuk α zβ : deviat baku normal untuk β α : kesalahan tipe I β : kesalahan tipe II

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

15

ABSTRAK

Latar belakang Penyakit alergi semakin meningkat dan meluas dinegara-

negara yang sedang berkembang. Prevalensi infeksi parasit khususnya soil

transmitted helminth (STH) juga meningkat pada anak-anak di negara

berkembang dan kedua hal ini saling berhubungan. Adanya infeksi parasit

cacing dikatakan akan memberikan reaktivitas uji tusuk kulit yang rendah,

tetapi hal ini masih bersifat kontroversi.

Tujuan Menilai hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada

anak

Metode Penelitian ini bersifat cross-sectional yang dilakukan pada anak

sekolah dasar usia 7-12 tahun di Rintis dan Karang Gading, Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatra Utara. Pengambilan

sampel dengan metode consecutive sampling. Infeksi STH ditentukan

dengan pemeriksaan feses metode Kato-Katz. Sampel dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok I adalah kelompok yang terinfeksi STH dan

kelompok II adalah kelompok yang tidak terinfeksi STH. Setiap kelompok

dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap tujuh alergen. Hasil uji tusuk

kulit dinilai positip jika diameter bentolan ≥ 3 mm dan negatip jika bentolan <3

mm. Penelitian ini dianalisa dengan uji kai-kuadrat.

Hasil Enam puluh delapan anak diikutkan dalam penelitian ini (kelompok I

n=34, kelompok II n=34). Terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi

STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak (P=0.002) untuk masing-masing

jenis cacing A.lumbricoides, T.trichiura dan gabungan keduanya dengan

P=0.001, P=0.01 dan P=0.006. Intensitas infeksi STH berat dengan P=0.031

Kesimpulan Adanya hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk

kulit pada anak

Kata kunci: soil-transmitted helminth, atopi, alergi, uji tusuk kulit, anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

16

ABSTRACT

Background Allergic disease caused a large and increasing burden in

developed countries and in urban in middle-income countries. Parasite

infections especially soil transmitted helminth (STH) are prevalent in

childhood in developing countries and are associated with lower prevalence

of allergen skin test reactivity, but the outcomes still remains controversial.

Objective To investigate the association between STH infection and skin

prick test result in children

Methods Cross-sectional study was conducted among primary school

student aged 7-12 years at Secanggang District, Langkat Regency, North

Sumatera Province. Participant were recruited with consecutive sampling.

STH infections were determined by stool examination with Kato-Katz method.

Subject divided into two groups, STH infection and non STH infection. Each

groups underwent skin prick test to seven allergens and determined as

positive if the wheal diameter was ≥3 mm or negative if the wheal diameter

was <3mm. Study was analysed by Chi-square test.

Results Sixty eight subjects enrolled to study (group I n=34, group II 34).

There was significant association between helminth infections with skin prick

test reactivity (P=0.002) include type of helminth for A.lumbricoides

(P=0.001), T.trichiura (P=0.01) and mixed infection (P=0.006). Intensity of

helminth infection was significant in heavy infection (P=0.031).

Conclusions There was association between soil transmitted helminth

infections and skin prick test result in children.

KEYWORDS soil-transmitted helminth, atopy, allergy, skin prick test, children

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

17

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Infeksi cacing usus merupakan infeksi kronik yang paling banyak menyerang

anak balita dan anak usia sekolah dasar. Diantara cacing usus yang menjadi

masalah kesehatan adalah kelompok soil-transmitted helminth (STH) atau

cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura dan cacing tambang yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari

satu juta populasi dunia terinfeksi STH kronis.2 Data di Cina tahun 2002

menyatakan prevalensi infeksi A.lumbricoides sebesar 24.6% terjadi pada

anak usia 8 sampai 18 tahun.3 Sedangkan penelitian di Indonesia khususnya

Sumatera Utara tahun 2004, prevalensi anak terinfeksi STH sebesar 93%.4

Penyakit alergi termasuk asma, dermatitis atopi, dan rinitis alergi

merupakan suatu reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sensitisasi

terhadap alergen lingkungan.5 Berdasarkan The International Study of

Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) tahun 1998, prevalensi gejala

asma paling tinggi dijumpai pada negara Amerika Serikat, Australia, New

Zealand dan Irlandia. Sedangkan prevalensi gejala asma paling rendah

dijumpai pada negara Afrika Selatan, Indonesia, Etiopia dan India.6 Hal ini

jelas terlihat bahwa peningkatan prevalensi gejala alergi dijumpai pada

negara industri atau negara maju, sedangkan di negara berkembang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

18

prevalensi gejala alergi rendah.7 Penelitian epidemiologi asma dan alergi di

Jakarta pada tahun 2006 mendapatkan prevalensi asma sebesar 13.9%,

rinitis alergi 12.3% dan dermatitis atopi 24.6%.8

Infeksi STH dapat menginduksi reaksi alergi pada manusia karena

dijumpai kesamaan antara reaksi inflamasi alergi yang disebabkan oleh

alergen lingkungan maupun antigen parasit.5 Namun hal ini masih

kontroversial. Penelitian di Costa Rica tahun 2007 menyatakan hubungan

sensitisasi alergen A.lumbricoides dengan keparahan terjadinya asma yaitu

pada anak remaja dengan infeksi askaris yang rendah (2%) dijumpai kejadian

asma yang meningkat (23.7%).9 Penelitian sebelumnya juga menyebutkan

prevalensi penyakit atopi yang dinilai melalui hasil uji tusuk kulit, akan

berkurang di daerah endemis infeksi cacing, hal ini tergantung kepada

keparahan infeksi dan jenis parasitnya.10 Penelitian alergi di Salvador Brazil

menyebutkan infeksi awal pada T.trichiura berhubungan dengan penurunan

risiko reaktivitas uji tusuk kulit dikemudian hari.11

Ada beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi.

Uji tusuk kulit merupakan suatu pemeriksaan yang sudah sering dilakukan

untuk mendiagnosis penyakit alergi seperti hay fever, asma, rinitis alergi dan

dermatitis atopi.12 Pemeriksaan ini menggunakan konsentrat antigen yang

sudah distandarisasi dan diujikan pada kulit untuk membuktikan adanya

immunoglobulin E (IgE) spesifik yang terikat pada mastosit kulit.13 Dengan

teknik dan interpretasi yang benar dan kualitas alergen yang baik maka uji ini

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

19

mempunyai spesivisitas dan sensitivitas yang tinggi disamping mudah, cepat,

murah dan tidak menyakitkan. Oleh karena itu, uji tusuk kulit ini sering

digunakan sebagai alat penunjang diagnosis pada penyakit alergi.14

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah

apakah terdapat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada

anak?

1.3. Hipotesis

Terdapat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan infeksi STH pada anak usia

sekolah dasar dengan hasil uji tusuk kulit.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah tentang

peranan infeksi cacing terhadap imunitas pejamu serta terhadap kejadian

penyakit atopi (hasil uji tusuk kulit)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

20

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Alergi dan atopi

Prevalensi penyakit alergi meningkat secara signifikan dalam 2 sampai 3

dekade terakhir. Data terbaru dijumpai lebih dari 130 juta orang penderita

asma dan jumlahnya terus meningkat.15 Satu dari lima anak di negara industri

menderita asma, rinitis alergi, atau dermatitis atopi dan khususnya asma,

prevalensi ini meningkat 5% setiap tahunnya.16 Namun prevalensi alergi ini

cenderung lebih rendah di negara berkembang.10

Alergi pertama kali dikemukakan oleh Clemens von Pirquet pada tahun

1960, yaitu perubahan reaktivitas sistem imun yang disebabkan oleh protein

asing.17 Namun saat ini banyak klinisi menyebutkan bahwa alergi merupakan

reaksi hipersensitivitas atau respons imun teragregasi yang menyebabkan

tingginya atau terjadi reaktivitas terhadap substansi yang berasal dari

lingkungan.13,17 Substansi asing yang meyebabkan alergi ini disebut dengan

alergen, masuk ke dalam tubuh melalui hisapan udara, menelan, suntikan,

kontak dengan kulit, mata dan jalan napas.17

Alergi bukan suatu penyakit, melainkan sebuah mekanisme yang

mempunyai peranan penting dalam sejumlah penyakit. Mekanisme dari alergi

dibagi menjadi dua bagian yaitu alergi yang diperantarai oleh IgE disebut

atopi dan yang bukan diperantarai oleh IgE.17 Di negara industri penyakit

alergi biasanya bermanifestasi dengan asma, rinitis alergi dan dermatitis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

21

atopi yang sangat berkaitan erat dengan adanya atopi.18 Atopi adalah

kecendrungan individu untuk menyebabkan sensitisasi dan peningkatan

kadar antibodi IgE total maupun spesifik terhadap alergen lingkungan berupa

reaksi inflamasi yang memberikan efek pada berbagai organ.14,18

Penelitian epidemiologi menfokuskan terhadap kemungkinan

keterlibatan faktor lingkungan dengan peningkatan risiko penyakit atopi

seperti paparan hewan pertanian, status ekonomi, status nutrisi, penggunaan

antibiotik, perbedaan gaya hidup seperti diet dan merokok.7,18 Salah satu

teori yang mendasari penyakit atopi ini adalah hipotesis higiene.18 Hipotesis

ini menyatakan anak yang terpapar dengan lingkungan sanitasi yang rendah

dan penyakit infeksi yang tinggi akan memiliki kadar sensitisasi terhadap IgE

dan penyakit alergi yang rendah.17,19 Pada hipotesis ini juga disebutkan

bahwa adanya keseimbangan antara sel T-helper 1 (Th1) yang berkaitan

dengan infeksi bakteri dan virus dan sel Th2 yang berkaitan dengan alergi

dan infeksi cacing.19,20

Penelitian cross sectional di Cuba menyatakan infeksi ascariasis

memberikan efek proteksi terhadap kejadian dermatitis atopi.21 Penelitian

observasional di Jerman juga disebutkan besarnya jumlah saudara kandung

dapat menurunkan kemungkinan anak menjadi atopi baik secara langsung

maupun tidak langsung.22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

22

2.2. Soil-transmitted helminth

Soil-transmitted helminth (STH) adalah cacing nematoda yang memerlukan

tanah untuk perkembangan bentuk infektifnya. Di Indonesia golongan cacing

ini yang paling menyebabkan masalah kesehatan masyarakat adalah Ascaris

lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang yaitu Ancylostoma

duodenale dan Necator americanus.23 Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar

penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan di negara-

negara non industri atau negara sedang berkembang.5,24

Menurut WHO diperkirakan 800 juta sampai 1 milyar penduduk

terinfeksi ascariasis, 700-900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta

terinfeksi trichuriasis. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah

kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan

intensitas tertinggi dijumpai pada anak usia sekolah dasar.2,24 Di Sumatera

Utara khususnya di Kabupaten Karo, angka kejadian cacingan masih tinggi

yaitu 70%, dan prevalensi infeksi cacing yang tersering adalah infeksi

campuran antara Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing

tambang sebanyak 55.8%.24

Prevalensi infeksi cacing semakin meningkat disebabkan oleh banyak

faktor. Diantaranya status ekonomi, pendidikan, sanitasi lingkungan yang

buruk, kuantitas dan kualitas makanan yang rendah, sumber air bersih yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

23

kurang, pelayanan kesehatan yang terbatas dan jumlah anggota keluarga

yang besar.24,25 Cacingan umumnya tidak fatal dan tidak akut, tetapi dapat

menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan berperan terhadap

terjadinya malnutrisi, defisiensi vitamin A, anemia dan perkembangan fungsi

kognitif anak.23,25

Pemberantasan infeksi cacing tidak dapat dilakukan hanya

menggunakan pendekatan medis tetapi dibutuhkan juga dukungan

pendekatan kesehatan masyarakat seperti penataan kesehatan lingkungan,

status gizi, higiene, perilaku, sanitasi dan sosial ekonomi keluarga.24 Di

Indonesia kegiatan pemberantasan cacing dilakukan dengan pengobatan

terpadu, perbaikan kebersihan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.23

2.3. Soil-transmitted helminth dan alergi

Beberapa penelitian mengatakan terdapat hubungan antara infeksi cacing

dengan alergi. Terdapat penelitian yang menyatakan infeksi parasit termasuk

infeksi STH dapat menginduksi reaksi alergi pada manusia karena dijumpai

kesamaan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh alergi dengan antigen

parasit.2 Dibawah ini ada beberapa penelitian epidemiologi yang

menunjukkan hubungan infeksi cacing dengan alergi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

24

2.3.1. Soil tranmitted helminth dan Asma.

Infeksi cacing dikaitkan dengan atopic asthma karena adanya persamaan

fenomena imunologi, eosinofilia dan peningkatan kadar antibodi serum IgE.

Hubungan ini menimbulkan dua hipotesis yang bertentangan bahwa infeksi

parasit memberikan efek proteksi terhadap asma dan infeksi parasit

merupakan predisposisi untuk asma.26

Beberapa penelitian menunjukkan adanya infeksi parasit yang berat

dan paparan terhadap hewan ternak dapat memberikan efek protektif untuk

mencegah terjadinya asma pada individu yang atopi.27,28 Sedangkan

penelitian di Kenya tahun 2002 menyatakan tidak terdapat hubungan gejala

asma pada anak yang tinggal didaerah pinggiran kota dengan perkotaan.29

Artikel alergi dan imunologi klinis tahun 2000 menyatakan belum ada bukti

infeksi parasit dapat memberikan efek proteksi terhadap asma.16

2.3.2. Soil tranmitted helminth dan Dermatitis Atopi.

Suatu penelitian cross-sectional pada anak usia sekolah di Ekuador

menunjukkan tidak ada bukti adanya hubungan dermatitis atopi dan infeksi

STH.30 Penelitian intervensi di Uganda menunjukkan bahwa bayi dari ibu

dengan infeksi STH pada saat melahirkan mempunyai risiko yang lebih

rendah untuk menderita eksim jika dibandingkan dengan bayi dari ibu tanpa

infeksi STH (masing-masing 9% dan 39%).5 Sedangkan penelitian di Cuba

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

25

tahun 2008 menyatakan infeksi askaris pada masa lampau memberikan efek

proteksi terhadap terjadinya dermatitis atopi.21

2.3.3. Soil tranmitted helminth dan Rinitis Alergi

Penelitian di Ekuador menunjukkan tidak ada hubungan antara gejala rinitis

alergi dan parasit STH.30 Sedangkan penelitian di Cuba membuktikan bahwa

infeksi cacing yang telah berlangsung lama dapat memberikan efek proteksi

untuk terjadi rinitis. Hal ini tergantung kepada jenis cacing dan waktu

investasi cacing tersebut.21

2.4. Patofisiologi

Parasit cacing memodulasi reaksi alergi melalui dua cara yaitu secara

langsung, yaitu parasit sendiri yang menginduksi reaksi alergi dan secara

tidak langsung yaitu parasit akan memodulasi respons imun melalui alergen

lingkungan. Terdapat dua mekanisme yang dapat memodulasi reaksi

inflamasi alergi baik pada infeksi akut maupun infeksi kronis.18

2.4.1. Infeksi Akut

Parasit cacing yang masuk ke dalam tubuh akan mensekresikan substansi

yang bersifat alergenik akan menstimulasi produksi IgE, menginduksi respons

sel Th2 yang ditandai dengan peningkatan IgE terhadap alergen,

mastositosis, dan eosinofilia. Degranulasi sel mast dan pelepasan mediator-

mediator yaitu interleukin-4 (IL-4), IL-5, IL-13 yang memproduksi mukus dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

26

kontraksi sel otot polos sehingga menyebabkan terjadinya gejala alergi di

jalan nafas.18

2.4.2. Infeksi Kronis

Paparan infeksi parasit cacing yang terus menerus akan menekan reaksi

alergi. Prinsip mekanisme yang terjadi bahwa sistem imun akan memproduksi

suatu sitokin anti inflamasi yaitu regulator T cell (r T cell), IL-10 dan

transforming growth factor-B (TGF- β) yang bersifat down regulator untuk

menekan reaksi alergi terhadap alergen lingkungan (Gambar 2.1).5,18

Gambar 2.1. Hubungan infeksi STH dengan terjadinya alergi.11

2.5. Uji Tusuk Kulit

Lebih dari 1 abad uji kulit sudah sering dilakukan untuk mendiagnosis alergi.

Uji tusuk kulit merupakan salah satu jenis uji kulit sebagai alat diagnosis yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

27

banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik

yang terikat pada sel mastosit kulit dan memiliki sensitivitas yang tinggi.31

Terikatnya IgE pada mastosit ini menyebabkan keluarnya histamin dan

mediator lainnya yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, akibatnya timbul flare/kemerahan dan

wheal/bentol pada kulit tersebut.14,31

Tujuan uji tusuk kulit pada alergi adalah untuk menentukan jenis

alergen sehingga di kemudian hari bisa dihindari dan menentukan dasar

pemberian imunoterapi. Uji tusuk kulit dapat dilakukan dalam waktu singkat

dan lebih sesuai untuk anak. Hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya

dalam waktu 20 menit. Efek samping dan risiko uji tusuk kulit sangat jarang

dan relatif mudah serta nyaman untuk pasien dengan biaya yang tidak begitu

mahal.14

Pada mekanisme reaksi uji tusuk kulit disebutkan bahwa di bawah

permukaan kulit terdapat sel mast. Pada sel mast ini dijumpai granula-granula

yang berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan

dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali alergen (misalnya house dust

mite) maka sel mast terpicu untuk melepaskan granul-granulnya ke jaringan

setempat, sehingga muncul reaksi alergi karena histamin berupa bentol

(wheal) dan kemerahan (flare).31 Nilai prediktif uji tusuk kulit telah

dipublikasikan dan dinyatakan dapat digunakan untuk memeriksa sensitisasi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

28

Uji tusuk kulit dinyatakan positif apabila terdapat rasa gatal dan eritema yang

dikonfirmasi dengan adanya urtikaria yang khas. Urtikaria yang khas tersebut

dapat dilihat dan diraba dengan diameter ≥ 3 mm yang muncul 15-20 menit

setelah aplikasi uji tusuk kulit.12-14

2.6. Kerangka Konseptual

Yang diamati dalam penelitian

Paparan infeksi STH ↑

Respon imun tubuh

Paparan infeksi STH ↓

rT cells, IL-10 TGF-β

Th2, IL-4, IL-5, IL-13

Alergi ↓

Uji tusuk kulit

Alergi ↑

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

29

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk menilai hubungan

infeksi Soil transmitted helminth (STH) dengan hasil uji tusuk kulit pada anak.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di sekolah dasar negeri 050706 Karang Gading dan

sekolah dasar negeri 056007 Rintis, Kecamatan Secanggang, Kabupaten

Langkat Propinsi Sumatera Utara pada bulan Juli-Agustus 2009.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak sekolah dasar yang menderita infeksi STH.

Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar yang menderita infeksi STH

yang bertempat tinggal di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,

Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang

memenuhi kriteria inklusi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

30

3.4. Besar sample

Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus uji hipotesis dua

proporsi :32

n1 = n2 = (Z √2PQ + Z √P1Q1 + P2Q2 )2

(P1 – P2)2

n1 = jumlah subjek yang terinfeksi telur STH

n2 = jumlah subjek yang tidak terinfeksi telur STH

= kesalahan tipe I = 0,05 → Tingkat kepercayaan 95%

Z = nilai baku normal = 1,96

= kesalahan tipe II = 0,2 → Power (kekuatan penelitian) 80%

Z = 0,842

P1 = proporsi anak yang terinfeksi telur STH dengan uji tusuk kulit positif

= 0,1711

Q1 = 1 – P1 = 0,83

P2 = proporsi anak yang terinfeksi telur STH dengan uji tusuk kulit positif

= 0,411

Q2 = 1 – P2 = 0,6

P = P1+P2 = 0,28

2

Q = 1 – P = 0,71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

31

Dengan menggunakan rumus di atas didapat jumlah sampel untuk masing-

masing kelompok sebanyak 34 orang.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi :

1. Anak usia 7 sampai 12 tahun

2. Orangtua bersedia mengisi kuesioner

3. Orang tua bersedia mengisi informed consent

3.5.2. Kriteria Eksklusi :

1. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung

antihistamin dalam 3 hari terakhir.

2. Anak yang pernah menggunakan antihelmintik dalam 2 bulan terakhir

3. Anak yang sedang menggunakan obat-obatan yang mengandung

kortikosteroid dalam 1 hari terakhir.

4. Anak yang mempunyai kelainan dermatografisme.

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent

Semua subjek penelitia diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan

penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan dan risiko pemeriksaan uji tusuk

kulit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

32

3.7. Etika Penelitian

- Persetujuan setelah penjelasan (informed consent) dari orang tua

- Izin komite etik kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara.

3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian.

- Peneliti memberikan penjelasan mengenai penelitian dan pemeriksaan

yang dilakukan.

- Kepada subjek penelitian diberikan kuesioner dan lembar persetujuan

penelitian yang diserahkan kepada orang tua untuk dikembalikan

kepada peneliti.

- Orang tua subjek menandatangani informed consent sebagai bukti

kesediaan anaknya diikutkan dalam penelitian ini setelah mendapat

penjelasan peneliti.

- Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan Camry dan

tinggi badan dengan Microtise 2M

- Dilakukan pemeriksaan tinja dengan menggunakan metode Kato Katz

kemudian dilihat telur dari STH.

- Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang dipilih secara consecutive

sampling. Kelompok I yaitu jika ditemukan telur dari STH sedangkan

kelompok II yaitu jika tidak ditemukan telur dari STH.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

33

- Kedua kelompok dilakukan tes uji tusuk kulit dengan prosedur sebagai

berikut :

1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan

larutan alkohol 70%

2. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm

pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian blood lancet

dimasukan pada tetesan alergen dengan posisi 450

3. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl

0,9%) dan yang terakhir adalah kontrol positif (Histamin 1%)

4. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap.

5. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi tusuk kulit.

- Alergen yang diujikan kepada masing-masing subjek adalah kutu debu

rumah, debu rumah, kapuk, bulu ayam, bulu kucing, kecoa, jamur.

Alergen yang digunakan diproduksi oleh Instalasi Farmasi RSUP Dr.

Soetomo, Surabaya.

- Jarum yang digunakan adalah Blood lancet. Setiap alergen pada

setiap subjek ditusukkan dengan satu jarum. Setiap jarum hanya

digunakan satu kali.

- Antisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis dilakukan dengan

menyediakan epinefrin 1:1.000 yang telah dimasukkan kedalam jarum

suntik. Epinefrin tersebut disiapkan terlebih dahulu sebelum uji tusuk

kulit dilakukan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

34

- Anak yang terbukti dijumpai adanya telur STH diberikan pengobatan

dengan albendazole dosis tunggal selama 3 hari

- Pelaksanaan dan penilaian terhadap reaksi yang timbul dilakukan oleh

dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan Spesialis

Anak yang telah mengikuti pelatihan uji tusuk kulit

Alur Penelitian

Uji tusuk kulit

Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi

Uji tusuk kulit (+)

Uji tusuk kulit (-)

Anak yang terinfeksi telur

STH

Anak yang tidak terinfeksi

telur STH

Uji tusuk kulit

Uji tusuk kulit (+)

Uji tusuk kulit (-)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

35

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Infeksi telur STH Nominal dikotom

Variabel tergantung Skala

Uji tusuk kulit Nominal dikotom

3.10. Definisi Operasional

1. Kelainan atopi adalah kelainan imunologi herediter terhadap alergen

sehari-hari yang umumnya terhirup atau dimakan disertai adanya

riwayat kelainan alergi seperti dermatitis, asma, dan / atau rinitis alergi

pada keluarga.

2. Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan

karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari

(nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat

asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri.

3. Dermatitis atopi adalah reaksi inflamasi pada kulit yang didasari oleh

faktor herediter dan lingkungan yang bersifat kronik residif dengan

gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang

hebat.

4. Rinitis Alergi adalah reaksi alergi mukosa hidung yang dapat

menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin dan rasa

gatal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

36

5. Urtikaria adalah erupsi kulit yang menimbul (wheal), berbatas tegas,

berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah, dan memucat bila

ditekan, disertai rasa gatal.

6. Infeksi STH disebutkan bila dijumpai telur Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura, cacing tambang yaitu Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale pada feses dengan pemeriksaan mikroskopis

melalui teknik hapusan tebal kuantitatif Kato Katz.

7. Intensitas infeksi A. lumbricoides dan T.trichiura yang diusulkan oleh

WHO Expert Comitte pada tahun 1987 sebagai berikut :

8. Jumlah telur per gram feces (epg/egg per gram) adalah jumlah telur

yang ditemukan pada sediaan slide hapusan tebal metode Kato-Katz

dikalikan 24

9. Uji tusuk kulit adalah uji in vivo untuk membuktikan adanya IgE spesifik

yang terikat pada sel mastosit kulit.

10. Sensitisasi positif adalah ruam kemerahan berdiameter ≥ 3 mm yang

muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.

11. Sensitisasi negatif adalah ruam kemerahan berdiameter < 3 mm yang

muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.

Cacing Ringan Sedang Berat

A. lumbricoides T. trichiura

1 - 4.999 epg 1 - 999 epg

5.000 - 49.999 epg 1000 – 9999 epg

≥ 50.000 epg ≥ 10.000 epg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

37

12. Pada sampel / subjek penelitian jika dijumpai hasil uji tusuk kulit positip

pada salah satu alergen maka dapat dikatakan bahwa subjek memiliki

hasil uji tusuk kulit positip.

13. Dermatografisme adalah adanya eritema yang diikuti munculnya urtika

akibat goresan pada kulit.

3.11. Analisa Data

Data diolah dengan uji kai-kuadrat untuk melihat hubungan infeksi STH

dengan hasil uji tusuk kulit pada anak dengan tingkat kemaknaan P<0.05.

Pengolahan data dilakukan dengan perangkat SPSS versi 15.0.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

38

BAB 4. HASIL

Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar negeri 050706 Karang Gading

dan sekolah dasar negeri 056007 Rintis, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Anak sekolah dasar yang

dilakukan skrining untuk pemeriksaan feses sebanyak 94 anak, dimana 20

anak diantaranya tidak mengembalikan pot feses untuk diperiksa sehingga

terdapat 74 anak yang dilakukan pemeriksaan feses untuk melihat apakah

dijumpai telur cacing STH atau tidak. Dari pemeriksaan ini didapati sebanyak

34 anak yang terinfeksi STH sedangkan sebanyak 40 anak yang tidak

terinfeksi. Dari 40 anak ini, yang tidak bersedia untuk dilakukan pemeriksaan

uji tusuk kulit sebanyak 6 orang anak. Sehingga jumlah anak yang ikut

penelitian sebanyak 68 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

kelompok I terdiri dari 34 anak yang terinfeksi STH dan kelompok II terdiri dari

34 anak yang tidak terinfeksi STH (Gambar 4.1).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

39

Gambar 4.1 Profil penelitian

94 anak yang masuk

kedalam pemeriksaan feses

74 anak yang dilakukan

pemeriksaan feses

STH (-) n=34

Anak tidak terinfeksi STH n=40

6 anak tidak bersedia

dilakukan uji tusuk kulit

anak terinfeksi STH n=34

STH (+) n=34

20 anak tidak

mengembalikan pot feses

Skin prick test

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

40

Distribusi dan karakteristik sampel pada kedua kelompok perlakuan terlihat

pada tabel.

Table 4.1 Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik Kelompok I Kelompok II STH positip

n (%) STH negatip

n(%)

Jenis kelamin n (%) laki-laki perempuan Umur (tahun), SD Berat badan (kg), SD Tinggi badan (cm), SD Riwayat atopi positip negatip

19 (27.9) 15 (22.1)

10.7 (1.05) 20.1 (5.79)

128.5 (6.42)

12 (17.6) 22 (32.3)

18 (26.5) 16 (23.5)

10.2 (1.01) 18.4 (2.05) 123.9 (5.95)

10 (14.7) 24 (35.2)

Pada tabel 4.1 dijumpai karakteristik sampel yang tidak berbeda bermakna

antara kelompok terinfeksi STH (kelompok I) dan kelompok yang tidak

terinfeksi STH (kelompok II). Pada kelompok I didapati bahwa jumlah anak

laki-laki sebanyak 19 orang dan perempuan 18 orang sedangkan pada

kelompok II jumlah anak laki-laki 15 orang dan perempuan sebanyak 16

orang. Karakteristik umur yang rata-rata berusia 10 tahun pada kedua

kelompok. Berat badan anak rata-rata pada kelompok I yaitu 20 kg dengan

tinggi badan rata-rata 128 cm sedangkan pada kelompok II 18 kg dengan

tinggi badan rata-rata 124 cm. Riwayat atopi pada kelompok I sebanyak 12

orang dan pada kelompok II sebanyak 10 anak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

41

Gambar 4.2 Distribusi intensitas infeksi* (* : intensitas infeksi berdasarkan WHO

Expert Committee 1987 , jika terdapat infeksi lebih dari 1 jenis helminth maka intensitas infeksi ditentukan oleh intensitas terberat)

Gambar 4.3 Distribusi jenis infeksi cacing

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

42

Tabel 4.2 Hubungan antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit

Variabel Kelompok I STH positip

n (%)

Kelompok II STH negatip

n (%)

P

SPT positip SPT negatip

3 (4.4) 31 (45.5)

14 (20.5) 20 (29.4)

0.002

P<0.05 Pada kedua kelompok terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi STH

dengan hasil uji tusuk kulit (P=0.002). Hasil uji tusuk kulit negatip pada

kelompok I sebanyak 45.5%. Sedangkan pada kelompok II sebesar 29.4%.

Begitu juga pada kelompok I dijumpai hasil uji tusuk kulit positip sebanyak

4.4%. Sedangkan pada kelompok II sebesar 20.5% (Tabel 4.2).

Tabel 4.3 Hubungan uji tusuk kulit dengan jenis dan intensitas infeksi STH

Variabel Uji tusuk kulit positip n (%)

Uji tusuk kulit negatip n (%)

P

Jenis cacing A.lumbricoides T.trichiura A.lumbricoides + T.trichiura Intensitas infeksi Ringan Sedang Berat

2 (66.7) 1 (33.3)

0 (0)

3 (38.2) 0 (29.4)

0 (0)

2 (6.5) 17 (54.8) 12 (38.7)

15 (2.9) 8 (29.4) 11 (8.5)

0.001 0.01 0.006

0.44 0.186 0.031

P<0.05

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

43

Pada tabel hubungan uji tusuk kulit dengan jenis cacing dijumpai perbedaan

bermakna terhadap kedua kelompok, sedangkan hanya intensitas infeksi

berat yang memiliki hubungan yang bermakna. (Tabel 4.3).

Tabel 4.4. Hubungan infeksi STH dengan penyakit atopi

Penyakit atopi

Kelompok I (STH positip)

n (%)

Kelompok II (STH negatip)

n (%)

P

Asma 4 (11.8) 18 (52.9) 0.001

Rinitis alergi 4 (5.8) 13 (19.1) 0.006

Dermatitis atopi 7 (10.2) 18 (26.4) 0.012

Riwayat atopi 12 (17.6) 10 (14.7) 0.604

P< 0.05 Pada kedua kelompok terdapat perbedaan yang bermakna antara adanya

infeksi STH dengan gejala penyakit atopi pada sampel didalam penelitian ini

kecuali adanya riwayat atopi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

44

BAB.5 PEMBAHASAN

Penelitian ini menilai hubungan antara anak yang terinfeksi STH dan anak

yang tidak terinfeksi STH terhadap hasil uji tusuk kulit termasuk didalamnya

penilaian jenis dan intensitas infeksi cacing. Didapati jumlah masing-masing

sampel pada setiap kelompok sebanyak 34 anak. Penelitian ini juga

melakukan penilaian hubungan gejala atopi pada kedua kelompok.

Pada penelitian ini, jenis cacing yang ditemukan dari pemeriksaan tinja

adalah A.lumbricoides, T.trichiura dan campuran keduanya. Persentase

masing-masing 11.6%, 52.9% dan 35.2%. Prevalensi tertinggi dijumpai pada

infeksi T.trichiura. Berdasarkan data WHO tahun 1998, sebanyak 250 juta

individu terinfeksi A.lumbricoides dan 46 juta terinfeksi T.trichiura.2 Data di

Amerika Serikat tahun 2008 menyatakan infeksi STH merupakan infeksi

cacing tertinggi terutama A.lumbricoides (807 juta) dan T.trichiura (604

juta).33 Sedangkan di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara tahun 2004,

pada penelitian uji klinis acak tersamar ganda didapatkan prevalensi

T.trichiura tertinggi (90.5%) dibandingkan A.lumbricoides (8.4%) dan cacing

tambang (1.1%).34

Rata-rata usia anak pada penelitian ini berkisar antara 10-11 tahun.

Hal ini sesuai dengan data di Amerika Serikat bahwa frekuensi infeksi

tertinggi untuk A.lumbricoides dan T.trichiura pada anak berkisar antara usia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 45: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

45

5-15 tahun.33 Begitu juga studi di Ekuador tahun 2002 menyatakan hal yang

sama.18

Banyak dikatakan pada penelitian sebelumnya bahwa terdapat

hubungan antara infeksi parasit cacing dan penyakit alergi.35 Beberapa

penelitian epidemiologi memberikan bukti dengan adanya infeksi cacing akan

memberikan efek proteksi terhadap alergi yang dinilai melalui penurunan

reaktivitas uji tusuk kulit.11,36-38 Infeksi T.trichiura pada tahun pertama

kehidupan berkaitan dengan penurunan prevalensi reaktivitas alergen uji

tusuk kulit pada anak dikemudian hari.11 Studi di daerah pinggiran tropis

Ekuador menyatakan infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura secara signifikan

memberikan efek penurunan terhadap reaktivitas uji tusuk kulit (OR = 0.66;

95% CI, 0.509-0.86; P = 0.002).37 Sebuah penelitian cross-sectional di

Vietnam juga ditemukan pernyataan yang sama bahwa sanitasi yang rendah

dan infeksi A.lumbricoides memberikan proteksi terhadap sensitisasi alergi.38

Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara infeksi STH

dengan hasil uji tusuk kulit (P=0.002). Pada kelompok infeksi STH positip

memiliki hasil uji tusuk kulit negatip (45.5%) lebih tinggi dibandingkan

kelompok yang tidak terinfeksi (29.4%).

Parasit cacing memodulasi reaksi alergi melalui dua mekanisme.

Secara langsung yaitu parasit sendiri yang menginduksi reaksi alergi

(Loeffler’s syndrome) dan secara tidak langsung yaitu parasit akan

memodulasi respons imun terhadap alergen lingkungan. Terdapat dua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 46: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

46

mekanisme yang dapat menjelaskan kapan infeksi cacing dapat menginduksi

atau menekan reaksi alergi.18

Pertama adalah infeksi akut. Pada fase akut terjadi invasi larva parasit

cacing melalui paru-paru yang merupakan target utama untuk respons imun

spesifik parasit. Selama fase awal ini, adanya infeksi akan menginduksi

inflamasi dengan peningkatan eosinofil pada paru-paru. Larva askaris akan

mensekresikan sejumlah substansi yang bersifat alergenik untuk merangsang

produksi IgE pada individu yang terinfeksi. Antigen larva ini akan

menginduksi respons sel Th2 dan pelepasan mediator-medaitor seperti IL-4,

IL-5, dan IL-13 yang akan meningkatkan sintesis IgE spesifik dan sensitisasi

sel mast pada sejumlah jaringan.11,18,39

Kedua adalah infeksi kronis. Pada fase ini parasit cacing akan

menekan respons imun spesifik terhadap parasit dan allergen inhalan melalui

beberapa mekanisme. Diantaranya terjadi saturasi sel mast. Hal ini

dikarenakan infeksi cacing kronis akan mensekresi IgE poliklonal dengan

kadar yang sangat tinggi. Biasanya pada anak yang tinggal di daerah

endemis parasit memiliki kadar IgE total lebih dari 10 000 IU/ml. Sehingga

produksi IgE total dalam jumlah besar ini akan memodulasi reaksi

hipersensitivitas dengan menghambat aktivitas sel mast dan basofil,

meyebabkan penurunan sensitivitas terhadap alergen inhalan dan inflamasi

saluran napas.18,36,39 Mekanisme lain yaitu pada infeksi cacing, berkaitan

dengan peningkatan kadar IgG4 (isotipe dari sel Th2 dependent) dan antibodi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 47: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

47

spesifik untuk parasit yang dapat menghambat degranulasi sel efektor.

Aktivasi poliklonal IgG4 akan menghasilkan sejumlah besar spesifik antibodi

IgG4 terhadap epitop reaktif IgE pada alegen lingkungan, memungkinkan

terjadinya blokade inflamasi yang disebabkan oleh IgE.18,39

Paparan infeksi persisten dan bersifat kronis memungkinkan terjadinya

penekanan reaksi inflamasi alergi. Prinsip dari mekanisme ini akibat

peningkatan produksi sitokin anti-inflamasi yang bersifat down-regulator yaitu

IL-10 dan TGF β. Produksi dari sitokin anti-inflamasi dalam jumlah besar

yang distimulasi sel T dapat menyebabkan penekanan respons imun

terhadap alergen lingkungan.18,35-36

Pada penelitian ini didapati hubungan yang bermakna antara jenis

cacing A.lumbricoides, T.trichiura dan gabungan infeksi keduanya terhadap

hasil uji tusuk kulit. Hal ini didukung oleh penelitian di Ekuador 2004

menyatakan dari 132 anak (75%) terinfeksi A.lumbricoides, hanya 25 anak

(18.9%) membuktikan reaktivitas hasil uji tusuk kulit lebih dari satu.40

Intensitas infeksi cacing juga mempengaruhi respons imun. Infeksi

cacing yang berat akan menekan regulasi sistem imun.35 Pada penelitian

epidemiologi di Cameron tahun 2008, reaktivitas sistem imun berkurang

secara signifikan pada kelompok dengan intensitas infeksi sedang dan berat

(P = 0.017).41 Penelitian lain juga menyatakan infeksi T.trichiura berat juga

menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kejadian alergi.11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 48: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

48

Pada penelitian ini dijumpai adanya hubungan bermakna antara intensitas

infeksi berat dengan hasil uji tusuk kulit pada anak (P = 0.031).

Penelitian ini mengeksklusikan penggunaan obat cacing dalam jangka

waktu 2 bulan karena terdapat efek dari pemberian obat cacing terhadap

hasil uji tusuk kulit. Penelitian randomized control trial di Gabonese tahun

2004 menyebutkan pemberian terapi anti helmintik mebendazole dan

praziquantel setiap 3 bulan selama 30 bulan pada anak yang terinfeksi cacing

secara kronis akan terjadi peningkatan reaktivitas atopi.42 Begitu juga

penelitian lain dijumpai pemberian terapi oxantel-pyrantel selama 22 bulan

secara teratur akan meningkatkan kadar total serum IgE dengan P<0,001.43

Sedangkan beberapa penelitian cluster-randomised trial di Amerika Serikat

dan Ekuador tentang efek pemberian terapi anti helmintik seperti albendazole

setiap 2 bulan selama 12 bulan tidak terjadi peningkatan prevalensi atopi

ataupun gejala alergi yang berhubungan dengan pengobatan albendazole.44

Perbedaan hasil yang didapat dari beberapa penelitian diatas, kemungkinan

disebabkan perbedaan dalam periode pengobatan anti helmintik, jenis

parasit, kemungkinan bias dan faktor perancu didalam penelitian.35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 49: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

49

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Teori menyebutkan bahwa infeksi STH memberikan efek proteksi terhadap

terjadinya alergi pada anak. Pada penelitian ini didapati hubungan yang

bermakna antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak usia

sekolah dasar dengan dijumpai hasil uji tusuk kulit yang positip lebih sedikit

pada anak yang terinfeksi STH dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi.

6.2. SARAN

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel yang

lebih besar untuk melihat hubungan infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit

pada anak.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 50: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

50

RINGKASAN

Prevalensi penyakit atopi meningkat secara signifikan dalam 2 sampai 3

dekade. Begitu juga dengan infeksi soil-transmitted helminth yang masih

merupakan masalah kesehatan di dunia. Khususnya di Indonesia prevalensi

dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar.

Namun kedua hal ini memiliki kesaman reaksi imunologis. Beberapa

penelitian menyatakan infeksi STH ini dapat menginduksi reaksi alergi pada

manusia karena dijumpai kesamaan reaksi inflamasi yang disebabkan oleh

alergen lingkungan dengan antigen parasit. Beberapa penelitian epidemiologi

menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara

infeksi STH dengan alergi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan

antara infeksi STH pada anak usia sekolah dasar dengan hasil uji tusuk kulit

dimana dikatakan anak yang terinfeksi cacing secara kronis akan

menunjukkan hasil uji tusuk kulit yang negatip. Penelitian cross-sectional ini

dilaksanakan di sekolah dasar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten

Langkat, Propinsi Sumatera Utara pada bulan Juli-Agustus 2009.

Populasi penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar yang menderita

infeksi STH. Pemeriksaan telur cacing dilakukan dengan metode Kato-Katz.

Sedangkan untuk melihat kejadian penyakit alergi dinilai melalui hasil uji

tusuk kulit. Masing-masing sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 51: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

51

kelompok terinfeksi cacing dengan yang tidak terinfeksi sebanyak 34 anak

pada tiap kelompok. Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan uji

tusuk kulit. Hasil pada penelitian didapati bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit dengan nilai

P=0,002.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

infeksi STH dengan hasil uji tusuk kulit pada anak sekolah dasar dengan

dijumpai hasil uji tusuk kulit positip lebih sedikit pada anak yang terinfeksi

STH dibandingkan yang tidak terinfeksi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 52: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

52

SUMMARY

Prevalence atopy significantly increased in 2 until 3 decades. Helminth

infection is also the most common health problem in worldwide. Especially in

Indonesia, prevalence and intensity is higher in primary school student.

Helminth parasite can induce strong allergic respons in humans. There are

close similarities between the allergic inflammation caused by the host

immune responses to environmental allergens and to parasite antigens.

Epidemiological studies that have examined the inverse relationship between

helminth infections and allergy, but still controversial.

The aimed of this study to investigate the association between

helminth infections and skin prick test in primary school student. We

hypothesis that helminth infections could suppressed allergy reactivity in

children. This cross-sectional study is carried out in Secanggang, Langkat

North Sumatera Province from July until August 2009.

The subject were primary school children who were infected helminth,

that diagnose by stool examination with Kato-Katz method. Allergy is

diagnose by skin prick test. Subject is devided into 2 groups, first group is

infected helminth and other is not infected. Each groups have examined the

skin prick test. Result of study, there were significant differences between

helminth infections with skin prick test (P=0.002).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 53: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

53

We conclude that there was significantly association between helminth

infections and skin prick test in children which the result skin prick test

positive was lower than uninfected children.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 54: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

54

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardiana, Djarismawati. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar

wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008; 7(2):769-74

2. Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis of community level. Geneve: World Health Organization; 1998. h.3-49

3. Palmer LJ, Celedon JC, Weiss ST, Wang B, Fang Z, Xu X. Ascaris lumbricoides infection is associated with increased risk of childhood asthma and atopy in rural China. Am J Resp Crit Care Med. 2002; 165:1489-93.

4. Firmansyah I, Ginting SA, Lubis M, Lubis IZ, Pasaribu S, Lubis CP. Factors associated with the transmission of soil-transmitted helminthiasis among schoolchildren. Pediatr Indones. 2004; 43:127-32

5. Cooper PJ, Barreto ML, Rodrigues LC. Human allergy and goehelminth infections: a review of the literature and proposed conceptual model to guide the investigation of possible causal associations. British Med Bulletin. 2006; 79:203-8.

6. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Comitte. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet. 1998; 351:1225-32

7. Cooper PJ. Intestinal worms and human allergy. Parasitic Immunol. 2004; 26:455-67.

8. Helmy M, Munasir Z. Pemakaian Cetrizine dan kortikosteroid pada penyakit alergi anak. Dexa Media 2007; 2(20):68-73

9. Hunninghake GM, Quiros ME, Avila L, Sylvia JS, Liang C, Klanderman BJ, dkk. Sensitization to Ascaris lumbricoides and severity of childhood asthma in Costa Rica. J Allergy Clin Immunol. 2007; 119(3):654-61

10. Flohr C, Quinnell RJ, Britton J. Do helminth parasites protect against atopy and allergic disease?. Clin and Exp Allergy. 2009; 39:20-32

11. Rodrigues LC, Newcombe PJ, Cunha SS, Genser B, Cruzz AA, Simoes SM. Early infection with Trichuris trichiura and allergen skin test reactivity in later childhood. Clin and Exp Allergy. 2008; 38:1769-77

12. Morris A. Atopy, anamnesis and allergy testing. InnovAiT. 2009; 2(3):158-65 13. Oppenheimer J, Nelson HS. Skin testing in allergy diagnosis. Division of

Allergy, NewJersey Medical School, USA. June 2006. 14. Munasir Z. Pemeriksaan penunjang klinis : uji kulit terhadap alergen. Dalam :

Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:IDAI 2007.h.445-7

15. Yazdanbakhsh M, Kremsner PG, Ree RV. Allergy, parasites and the hygiene hypothesis. Review : Immunology. 2002; 296:490-94

16. Weiss ST. Parasit and asthma/allergy: What is the relationship?. J Allergy Clin Immunol. 2000;105:205-10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 55: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

55

17. House of Lord. Allergy. Science and Technology Committee, 6th Report of Session 2006-07; 1:1-12

18. Cooper PJ. Can intestinal helminth infections (geohelminths) affect the development and expression of asthma and allergic disease?. Clin Exp Immunol. 2002; 128:398-404

19. Van den Biggelaar AHJ, Van Ree R, Rodrigues LC, Lell B, Deelder AM, Kremsner PG, dkk. Decrease atopy in children infected with Schistosoma haematobium: a role for parasite-induced interleukin-10. Lancet. 2000; 356:1723-27

20. Wills-Karp M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting the hygiene hypothesis. Nature reviews immunology. 2001; 1:69-75.

21. Wordemann M, Diaz RJ, Heredia LM, Madurga MC, Espinosa AR, Prado RC, dkk. Association of atopy, asthma, allergic rhinoconjunctivitis, atopic dermatitis and intestinal helminth infections in Cuban children. Trop Med and Inter Health. 2008; 13:180-86

22. Mutius EV. Skin test reactivity and number of siblings. BMJ. 1994; 308:692-95

23. Tjitra E. Penelitian-penelitian "Soil-Transmitted Helminth" di Indonesia. Pusat Penelitian Penyakit Menular. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 1991; 72:13-7

24. Ginting SA. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2003:h.1-19

25. Dalimunthe W, Siregar C, Lubis M, Pasaribu S, Lubis CP. Treatment of intestinal helminthiasis: mebendazole-pyrantel pamoate?. Paediatr Indones. 2007; 47:216-20

26. Masters S, Connor EB. Parasites and asthma-predictive or protective?. Epidemiology reviews. 1985; 7:49-58

27. Scrivener S, Yemaneberhan H, Zebenigus M, Tilahun D, Girma S, Ali S, dkk. Independent effects of intestinal parasite infection and domestic allergen exposure on risk of wheeze in Ethiopia: a nested case control study. Lancet. 2001; 358:1493–99

28. Riedler J, Braun-Fahrländer C, Eder W, Schreuer M, Waser M, Maisch S, dkk. Exposure to farming in early life and development of asthma and allergy: a cross-sectional survey. Lancet. 2001; 358:1129–33

29. Perzanowski MS, Ng’ang’a LW, Carter MC, Odhiambo J, Ngari P, Vaughan JW, Chapman MD, dkk. Atopy, asthma, and antibodies to Ascaris among rural and urban children in Kenya. J Pediatr. 2002; 140:582-8

30. Cooper JP, Chico ME, Bland M, Griffin GE, Nutman TB. Allergic symptoms, atopy, and geohelminth infections in rural area of Ecuador. Am J Resp Crit Care Med. 2003; 168:313-17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 56: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

56

31. Kartikawati H. Test cungkit (skin prick test) pada diagnosis penyakit alergi. Tinjauan pustaka bagian SMF THT-KL RS Dr.Kariadi Semarang. Januari 2007.h.1-10

32. Madiyono B, Moechlisan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismail S, penyunting. Dasar-dasar metodologi pene;itian klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung seto;2008.h.302-30

33. Hotez PJ, Brindley PJ, Bethony JM, King CH, Pearce EJ, Jacobson J. Helminth infections: the great neglected tropical disease. J Clin Invest. 2008; 118:1311-21

34. Lubis CP. Uji klinis acar tersamar ganda mebendazole 500 dengan oxantel pirantel pamoate pada infestasi tunggal trichuris trichiura. Medan: USU Press, 2004. h.1-6

35. Cooper PJ. Interactions between helminth parasites and allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2009; 9(1):29-37

36. Ponte EV, Rizzo JA, Cruz AA. Interrelationship among asthma, atopy, and helminth infections. J Bras Pneumol. 2007; 33(3):335-42

37. Cooper JP, Chico ME, Rodrigues LC, Ordonez M, Strachan D, Griffin GE, dkk. Reduced risk of atopy among school-age children infected with geohelminth parasites in a rural area of the tropics. J Allergy Clin Immunol. 2003; 111:995-1000

38. Flohr C, Tuyen LN, Lewis S, Quinnell R, Minh TT, Liem TH, dkk. Poor sanitation and helminth infection protect against skin sensitization in Vietnamese children: a cross-sectional study. J Allergy Clin Immunol. 2006; 118:1305-11

39. Yazdanbakhsh M. IgE, eosinophils and mast cells in helminth infections. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21(4):213-16

40. Cooper PJ, Chico ME, Sandoval C, Nutman TB. Atopic phenotype is an important determinant of immunoglobulin E-mediated inflammation and expression of T Helper cell type 2 cytokines to ascaris antigen in children exposed to ascariasis. J Infect Disease. 2004; 190:1338-46.

41. Turner JD, Jackson JA, Faulkner H, Behnke J, Else KJ, Kamngo J, dkk. Intensity of intestinal infection with multiple worm spesies is related to regulatory cytokine output ang immune hyporesponsiveness. J Infect Disease. 2008; 197:1204-12.

42. Van den Biggelaar A, Rodrigues LC, Ree R, Van der Zee JS, Hoeksma-Kruize CM, Souverijn JHM, dkk. Long-term treatment of intestinal helminths increases mite skin-test reactivity in Gabonese. J Infect Disease. 2004; 189:892-900

43. Lynch NR, Hagel I, Perez M, Prisco MC, Lopez R, Alvarez N. Effect of anthelminthic treatment on the allergic reactivity of children in a tropical slum. J Allergy Clin Immunol. 1993; 92:404-11

44. Cooper JP, Chico ME, Vaca MG, Moncayo AL, Bland JM, Mafl E, dkk. Effect of albendazole treatments on the prevalence of atopy in children living in communities endemic for geohelminth parasites: a cluster-randomised trial. Lancet. 2006; 367:1598–603

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 57: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

57

Lampiran 1

Personil Penelitian

Ketua penelitian

Nama : dr. Schenny Regina Lubis

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RSHAM

Anggota penelitian

1. dr. Lily Irsa, SpAK

2. dr. Supriatmo, SpAK

3. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin Loebis, SpAK

4. dr. Rita Evalina, SpA

5. dr. Hendri Wijaya

6. dr. Windya Sari

Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp 5.000.000,- 2. Transportasi Rp 1.000.000,-

3. Fotokopi dll Rp 1.000.000,-

Total Biaya...................................... Rp 8.000.000,-

Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

WAKTU

KEGIATAN

JULI

2009

AGUSTUS

2009

SEPTEMBER

2009

OKTOBER

2009

Persiapan

Pelaksanaan

Penyusunan laporan

Pengiriman laporan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 58: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

58

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian

No urut : Tanggal :

1. Nama : ................................……………….........……… 2. Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan 3. Tempat / Tanggal Lahir: ……………..………........…….......................... 4. Berat / Tinggi badan :...............................cm / ..................................kg 5. Anak ke : …………..............dari …………......bersaudara 6. Jenis Persalinan : Spontan / SC 7. Usia Kehamilan : Cukup bulan / Kurang bulan 8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah : ............ orang

Hasil Uji Tusuk Kulit

Kuesioner Riwayat klinis atopi

1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami ruam kemerahan yang terasa gatal pada pipi, leher atau lipatan kulit siku atau antara paha dan betis? a. Tidak pernah b. Kadan-kadang c. Sering

2. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami pilek, hidung berair, tersumbat atau

perasaan gatal di hidung atau mata yang terjadi terutama pada saat malam atau pagi hari ? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering

No Alergen Hasil Positif Hasil Negatif

1 Kutu debu rumah

2 Kecoak

3 Debu rumah

4 Kapuk

5 Bulu ayam

6 Bulu kucing

7 Jamur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 59: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

59

3. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami batuk, sesak dengan adanya suara nafas yang berbunyi (mengi) yang muncul jika berhubungan dengan perubahan suhu udara (hujan) atau terhirup debu dan lain-lain? a. Tidak pernah b. Kadang-kadang c. Sering

4. Apakah Bapak atau ibu atau anak Bapak/Ibu yang lain pernah mengalami

keluhan seperti pertanyaan no.1 sampai no.4 ? a. Pernah b. Tidak pernah

5. Jika jawaban pertanyaan no.4 adalah ”pernah” orang tersebut adalah :

a. Suami/istri b. Anak

Kecacingan

1. Pernahkah anak Bapak / Ibu mengalami cacingan / BAB keluar cacing / muntah keluar cacing ? a. Ya b. Tidak

2. Apakah Bapak / Ibu pernah memberikan obat cacing kepada anak Bapak /

Ibu ? a. Ya b. Tidak

3. Jika ya, apakah diberikan secara teratur ?

a. Ya b. Tidak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 60: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

60

Lampiran 3

TEKNIK HAPUSAN TEBAL KATO KATZ

Bahan : 1. Kertas absorben/kertas koran 2. Kertas cellophane (dalam cairan glycerine- malachyte green selama 24 jam)

3. Template 4. Kawat saring (40 mesh) 5. Objek glas 6. Spatula Cara :

1. Letakkan sedikit tinja diatas kertas untuk diabsorbsi

2. Letakkan kawat saring diatas tinja, lalu tekan agar tinja tersaring dan

bertumpuk diatas kawat saring

3. Letakkan template diatas objek glas

4. Isi lubang di template dengan tinja yang telah disaring

5. Ratakan tinja yang berlebih dengan spatula

6. Angkat template tersebut

7. Lapisi tinja yang tertinggal dengan kertas cellophane

8. Tekan slide ke permukaan yang rata agar tinja rata dan menyebar

9. Perataan yang baik jika dapat membaca kertas koran dibalik hapusan

tinja

10. Bacalah slide dengan mikroskop (10 x 10 dan 10 x 40)

11. Hitung jumlah telur di seluruh slide

12. Catat jumlah telur untuk setiap spesies

13. Kalikan jumlah tersebut dengan 24 untuk mendapat jumlah telur per

gram feses (eggs per gram)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 61: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

61

Lampiran 4

CARA KERJA UJI TUSUK KULIT

Bahan :

Ekstrak alergen Histamin (Kontrol positif ) larutan kontrol/Buffer (Kontrol negatip) jarum ukuran 26 ½ G atau 27 G atau blood lancet. Cara :

1. Daerah volar lengan bawah tiap sampel dibersihkan dengan larutan alkohol 70%

2. Setiap alergen diteteskan sebanyak 1 tetes dengan jarak 2 cm pada bagian volar lengan bawah subjek, kemudian blood lancet dimasukan pada tetesan alergen dengan posisi 450

3. Alergen yang pertama ditusukkan adalah kontrol negatif (NaCl 0,9%) dan yang terakhir adalah kontrol positif (Histamin 1%)

4. Sisa alergen pada kulit dikeringkan dengan kertas hisap. 5. Sensitisasi dinilai 15-20 menit setelah aplikasi tusuk kulit. 6. Sensitisasi positif adalah ruam kemerahan berdiameter ≥ 3 mm yang

muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.

7. Sensitisasi negatif adalah ruam kemerahan berdiameter < 3 mm yang muncul 15-20 menit sesudah aplikasi tusuk kulit.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 62: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

62

8. Pada sampel / subjek penelitian jika dijumpai hasil uji tusuk kulit positip pada salah satu alergen maka dapat dikatakan bahwa subjek memiliki hasil uji tusuk kulit positip.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 63: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

63

Lampiran 6

LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANGTUA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Yth. Bapak / Ibu....................................

Bersama surat ini saya dokter Schenny Regina Lubis yang bertugas di divisi

Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H.Adam

Malik Medan akan memberi sedikit keterangan kepada ibu/bapak.

Infeksi cacing merupakan infeksi kronis di daerah endemik parasit yang dapat

memberikan efek pertumbuhan, nutrisi dan perkembangan mental anak

Alergi adalah kelainan keturunan yang mempunyai gejala klinis seperti rinitis

alergi (pilek), asma (bengek) dan eksema. Namun alergi dapat juga bersifat

tanpa gejala. Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat alergi pada kedua

orang tua mempunyai resiko hingga 50-80% untuk terkena penyakit alergi

dibanding dengan anak tanpa riwayat keluarga (resiko hanya sebesar 20%).

Resiko akan jadi lebih tinggi jika penyakit alergi diderita oleh ibu dibanding

ayah.

Untuk mengurangi keparahan penyakit alergi pada anak, zat-zat/bahan yang

disangkakan dapat menimbulkan penyakit tersebut harus dihindari.

Kelainan atopi atau kecenderungan untuk menderita alergi pada anak dapat

diperiksa dengan pemeriksaan uji tusuk (cungkit) kulit yang merupakan

bentuk pemeriksaan yang mudah dilaksanakan, memiliki akurasi yang baik,

murah dan tak menimbulkan rasa sakit dan mempunyai hasil yang cepat

diperoleh.

Awalnya saya akan melakukan pemeriksaan fisik berupa berat badan (BB),

tinggi badan (TB) yang kemudian anak Bapak / Ibu yang mengalami

kecacingan, dilanjutkan dengan meneteskan sejumlah kecil bahan/zat yang

dicurigai sebagai penyebab alergi tersebut lalu di tekankan dengan alat

khusus pada kulit lengan bawah.

Jika bahan/zat tersebut adalah zat yang berpotensi menyebabkan alergi pada

putra/putri Bapak/Ibu maka pada tempat yang diberi bahan tersebut akan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 64: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

64

muncul bengkak ringan yang berwarna kemerahan seperti digigit nyamuk

dalam waktu hanya 15 menit, yang akan segera menghilang dalam waktu 1

hari. Selanjutnya bahan/zat tersebut harus dihindari untuk mencegah

terjadinya penyakit-penyakit alergi .

Agar hasil pemeriksaan ini tidak terganggu oleh obat-obatan maka tiga

hari sebelum pemeriksaan sampai hari pelaksanaan diharapkan

putra/putri Bapak/Ibu tidak mengkonsumsi obat/jamu-jamuan apapun

juga.

Jika dari pemeriksaan tersebut terdapat keluhan berkelanjutan pada

putra/putri Bapak/Ibu, silahkan menghubungi :

dr. Schenny Regina Lbs (HP: 061-77853536 / 0819851162)

dr. Lily Irsa, SpAK (HP : 0811 636 456)

Demikian informasi ini kami sampaikan. Atas bantuan dan partisipasinya kami

ucapkan terima kasih.

Wassalam,

dr. Schenny Regina Lbs

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 65: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

65

Lampiran 5

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ........................................ Umur : .............. tahun (L / P)

Alamat : ................................................................................................

dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan

PERSETUJUAN

untuk dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap anak saya :

Nama : ......................................... Umur : .............. tahun (L / P)

Alamat rumah : .......................................................................................

Alamat sekolah : .....................................................................................

yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut di atas, serta risiko

yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya

mengerti sepenuhnya.

Demikianlah pernyataan persetujuan ini saya perbuat dengan penuh

kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, ................................. 2009

Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan dr. .......................................... .......................................... Saksi-saksi : Tanda tangan 1. ............................................. .............................................. 2. ............................................. ..............................................

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 66: HUBUNGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH

66

Lampiran 7

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : dr. Schenny Regina Lubis, M.Ked (Ped)

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 4 Mei 1983

Alamat : Jln. Gaperta kompleks Piazza blok G 2A

Medan 20154, Indonesia

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri 001 Pekanbaru, tamat tahun 1995

Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 4 Pekanbaru, tamat tahun 1998

Sekolah Menengah Umum : SMU Negeri 1 Pekanbaru, tamat tahun 2001

Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat

tahun 2006

Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat

tahun 2010

RIWAYAT PEKERJAAN : -

PERTEMUAN ILMIAH / PELATIHAN

1. Deteksi Dini dan Pemantauan Tumbuh Kembang di Medan, 17 Februari

2007, sebagai peserta.

PENELITIAN

1. Hubungan Infeksi Soil-Transmitted Helminth Dengan Hasil Uji Tusuk Kulit

Pada Anak

ORGANISASI

1. 2006 – sekarang : IDI (Ikatan Dokter Indonesia)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA