50
BAB I PENDAHULUAN Sindrom Down merupakan salah satu kelainan kongenital yang tersering pada anak. Sindrom ini merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas kromosom 21 (Hsa21) yang tidak berhasil memisahkan diri selama proses miosis sehingga terbentuk individu dengan 47 kromosom. Kelainan ini ditandai dengan adanya retardasi mental ringan sampai sedang, abnormalitas kraniofasial, kelainan kardiovaskuler, gastrointestinal dan defisiensi imun. 1,2,3,4 Anak dengan sindrom Down mengalami keterlambatan perkembangan kognitif, perkembangan motorik, komunikasi verbal, dan memori. Sindrom Down menjadi penyebab gangguan intelektual tersering pada anak. Tingkat gangguan kognitif yang terjadi memiliki variasi yang luas, namun 80% anak dengan Down sindrom memiliki gangguan intelektual sedang. Anak dengan sindrom Down memiliki kelainan yang spesifik dibanding sindrom lainnya. Secara teori, sangat penting mengetahui aspek kelainan mana yang spesifik pada sindrom Down, untuk mengetahui profil klinis sindrom ini dan secara klinis penting untuk mengetahui fungsi area mana yang cenderung sangat terganggu untuk mempermudah merancang intervensi terhadap kelainan tersebut. 1,5 Anak dengan Sindrom Down memiliki kesulitan dalam berbicara. Hasil survey dari keluarga Anak dengan sindrom Down menyatakan bahwa lebih dari 95% orangtua melaporkan bahwa 1

Hubungan kemampuan kognitif dengan gangguan bicara bahasa pada anak dengan sindrom Down

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sari pustaka

Citation preview

BAB I

PENDAHULUANSindrom Down merupakan salah satu kelainan kongenital yang tersering pada anak. Sindrom ini merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas kromosom 21 (Hsa21) yang tidak berhasil memisahkan diri selama proses miosis sehingga terbentuk individu dengan 47 kromosom. Kelainan ini ditandai dengan adanya retardasi mental ringan sampai sedang, abnormalitas kraniofasial, kelainan kardiovaskuler, gastrointestinal dan defisiensi imun. 1,2,3,4Anak dengan sindrom Down mengalami keterlambatan perkembangan kognitif, perkembangan motorik, komunikasi verbal, dan memori. Sindrom Down menjadi penyebab gangguan intelektual tersering pada anak. Tingkat gangguan kognitif yang terjadi memiliki variasi yang luas, namun 80% anak dengan Down sindrom memiliki gangguan intelektual sedang. Anak dengan sindrom Down memiliki kelainan yang spesifik dibanding sindrom lainnya. Secara teori, sangat penting mengetahui aspek kelainan mana yang spesifik pada sindrom Down, untuk mengetahui profil klinis sindrom ini dan secara klinis penting untuk mengetahui fungsi area mana yang cenderung sangat terganggu untuk mempermudah merancang intervensi terhadap kelainan tersebut.1,5Anak dengan Sindrom Down memiliki kesulitan dalam berbicara. Hasil survey dari keluarga Anak dengan sindrom Down menyatakan bahwa lebih dari 95% orangtua melaporkan bahwa bahasa anaknya sulit dimengerti. Pada anak normal, kelancaran bicara biasanya mencapai 100% pada usia 4 tahun, sedangkan anak dengan sindrom Down tampaknya tidak mencapai kelancaran bicara 100% pada umur berapapun. Penelitian terkini menggunakan survey pada orang tua untuk mengetahui lebih lanjut tentang faktor spesifik yang mempengaruhi kelancaran bicara tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran bicara pada anak dengan sindrom Down adalah kesulitan dalam memproses, mengkombinasi, mengatur dan mengurutkan pergerakan yang dibutuhkan untuk bicara. Beberapa penelitian masih kontroversi mengenai perkembangan bicara pada anak dengan sindrom Down, apakah merupakan suatu keterlambatan atau gangguan, namun beberapa penelitian lebih cenderung menyimpulkannya sebagai keterlambatan atau keterlambatan yang diikuti beberapa gangguan. 5,6Kelancaran berbicara dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu oral motor skill dan oral motor planning skill. Oral motor skill meliputi kekuatan dan pergerakan dari otot orofacial, khususnya pergerakan yang berhubungan dengan proses berbicara. Oral motor planning skill meliputi kemampuan untuk mengkombinasi dan mengurutkan suara menjadi kata, phrasa dan kalimat. Beberapa anak dengan sindrom Down memperlihatkan kesulitan pada oral motor skill dan beberapa pada oral motor planning skill dan beberapa pada keduanya.6Oral motor skill meliputi kekuatan dan pergerakan yang berhubungan dengan proses berbicara. Anak dengan sindrom Down memiliki profil anatomi spesifik yang mempengaruhi produksi bicara. Kesulitannya untuk memproduksi artikulasi yang baik dipengaruhi oleh rongga mulut yang kecil, hipotoni otot sekitar mulut dan otot bibir.5 Disamping adanya anatomi yang berbeda, anak dengan sindrom Down juga memiliki kelemahan pada fungsi motorik, terutama kontrol motorik pada produksi suara. Barnes dkk (2006) menemukan bahwa anak dengan sindrom Down memperlihatkan kelemahan pada otot bibir, lidah, faring dan laring serta fungsi koordinasi suara dibanding anak normal. 5Oral motor planning skill meliputi kemampuan untuk mengkombinasi dan mengurutkan suara menjadi kata, phrasa dan kalimat, ini dihubungkan dengan kemampuan kognitif. Gangguan bicara-bahasa karena kognitif umumnya ditemui pada penderita sindrom Down dan Autisme. Pada penderita sindrom Down kemampuan intelektualnya sangat beragam, terbagi atas: ringan (IQ 5368), sedang (IQ 3652), berat (IQ 2035) dan sangat berat (IQ di bawah 20). Perkembangan bahasa merupakan salah satu indikator perkembangan kognitif anak. Dengan demikian kemampuan linguistiknya mengacu pada kelainan kognitif yang dialaminya. Beberapa penelitian tentang sindrom Down atau keterbelakangan mental menunjukkan adanya hubungan antara kelainan kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi linguistik sepenuhnya. 7Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari mengenai seberapa jauh hubungan kemampuan kognitif dengan gangguan bicara-bahasa yang terjadi pada anak dengan sindrom Down. BAB II

SINDROM DOWN

2.1 Definisi

Sindrom Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas kromosom Hsa21 yang tidak berhasil memisahkan diri selama proses miosis sehingga terbentuk individu dengan 47 kromosom.2 Kelainan ini ditandai dengan adanya retardasi mental ringan sampai sedang, abnormalitas kraniofasial, kelainan kardiovaskuler, gastrointestinal, defisiensi imun dan hipotoni di usia dini.3,4,8,92.2 Epidemiologi

Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang paling sering ditemukan pada anak, diperkirakan 0,45% dari hasil konsepsi manusia adalah trisomi Hsa21. Insiden trisomi ini dipengaruhi oleh umur ibu dan angka kejadiannya berbeda-beda pada berbagai populasi. 8-10 .Angka kejadian trisomi Hsa21 diperkirakan 1 per 319-1000 angka kelahiran hidup.9,11,12 Insiden sindrom Down di Amerika Serikat adalah 1 per 600-900 kelahiran hidup.4 Di Arab Saudi prevalensinya adalah 1-1,7 per 1000 kelahiran.16

15

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Idris R dkk di Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2006 didapatkan sebanyak 1987 penderita sindrom Down yang telah dilakukan pemeriksaan analisis kromosom selama tahun 1992-2004.14

Di Indonesia, kelainan ini belum mendapatkan perhatian yang cukup. Yayasan Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) pada tahun 2003 melaporkan terdapat sekitar 300 ribu kasus sindrom Down di Indonesia.13

Di Inggris pada tahun 1989 didapatkan prevalensinya 1 per 600 kelahiran hidup.2.3 Etiologi

Sindrom Down ditemukan pertama kali oleh John Langdon Down pada tahun 1866 di Inggris, saat melakukan penelitian mengenai retardasi mental pada anak. John menemukan beberapa dari pasiennya memiliki wajah yang hampir sama sehingga mereka seperti memiliki hubungan persaudaraan. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil dan hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka kelainan ini disebut juga dengan mongolisme. Pada tahun 1970-an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama kelainan tersebut dengan merujuk pada penemu pertama kali sindrom ini. Pada 1932, Waardenburg beranggapan bahwa kelainan tersebut mungkin disebabkan oleh adanya kelainan kromosom. Pada tahun 1959, Jerome Lejeune dan Patricia Jacobs pertama kali menemukan trisomi pada kromosom 21 sebagai penyebab sindrom Down.8,9,10Sebagian besar sel manusia mengandung 23 pasangan kromosom (total 46 kromosom), hanya sel reproduksi, yaitu sperma dan ovum yang memiliki 23 kromosom dan tidak memiliki pasangan. Pada penderita sindrom Down, kromosom nomor 21 jumlahnya tidak dua sebagaimana umumnya, melainkan tiga (trisomi) sehingga terdapat total 47 kromosom. Jumlah kromosom yang tidak normal ini bisa ditemukan di seluruh sel (92 persen kasus) atau di sebagian sel tubuh.8,9 Etiologi dari sindrom Down dapat dibagi menjadi 3, yaitu :2,111. Trisomi 21 (sindrom Down triplo 21) atau trisomi murni

Trisomi 21 (47 XX + 21) / (47 XY + 21) disebabkan oleh nondisjunction. Akibatnya dihasilkan sel gamet dengan tambahan salinan kromosom 21 sehingga memiliki 24 kromosom. Apabila bergabung dengan gamet normal dari pasangannya, embrio ini mempunyai 47 kromosom, maka satu gamet akan memiliki dua salinan dari kromosom 21. Kelainan ini ditemukan pada 90-95% kasus sindrom Down.

2. Translokasi RobertsonianLengan panjang dari autosom 21 melekat pada autosom lain, biasanya kromosom 14 atau 15. Penderita ini nampak seperti memiliki 46 kromosom, namun sebenarnya ada 47 kromosom dengan satu kromosomnya adalah kromosom translokasi t(14q21q). Anak ini lahir dari ibu yang memiliki 47 kromosom, dengan satu kromosomnya adalah kromosom translokasi, kemudian bertemu dengan kromosom normal milik ayahnya. Kelainan ini ditemukan pada 2-4% kasus sindrom Down.

3. Mozaisisme (Mozaic Down Syndrome) Sekitar 2-4% individu dengan sindrom Down memiliki dua macam sel, sebagian sel memiliki jumlah kromosom normal (46 kromosom), sebagian lain memiliki jumlah kromosom lebih (47 kromosom, trisomi 21). Keadaan ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu nondisjunction pada awal pembelahan sel embrio normal sehingga menyebabkan terjadinya pembelahan sel dengan trisomi 21, atau embrio sindrom Down mengalami nondisjunction pada pertengahan tahap pembelahan. 2.4 Patogenesis

Kromosom 21 merupakan autosom terkecil yang terdiri dari 33,8 juta pasang DNA dan diprediksi terdiri dari 225 gen, beberapa di antara gen tersebut terletak di Down Syndrome Critical Region (DSCR) yang berkontribusi pada patogenesis dan fenotip pada sindrom Down.17 Kromosom 21 yang berlebih pada penderita sindrom Down, menghasilkan peningkatan ekspresi dari banyak gen yang mengkode kromosom ini. 9 Trisomi Hsa21 pada sindrom Down berhubungan dengan berbagai fenotip, seperti gambaran dismorfik, defek jantung, abnormalitas kranium dan wajah, serta gangguan kognitif. 17 Studi tentang etiologi dan patologi sindrom Down ini difokuskan pada daerah ekstra copy dari regio distal 10 Mb dari lengan panjang kromosom 21 yang dikenal sebagai Down syndrome critical region (DSCR). Lokasi tersebut mengandung sekitar 30 gen yang telah diketahui melalui penelitian memiliki korelasi fenotip-genotip pada penderita trisomi 21 parsial. Duplikasi gen yang terletak di daerah DSCR disertai ketidakseimbangan ekspresi gen Hsa21 dan gen nonHsa21 memberi kontribusi yang signifikan terhadap patogenesis dari karakteristik sindrom Down termasuk gambaran morfologi, hipotonia,dan gangguan kognitif. 9Overdosis gen Hsa21 menentukan variasi ekspresi gen yang bertanggung jawab terhadap fenotip sindrom Down yang kompleks. Variasi ekspresi ini pertama kali menginduksi gangguan fungsional pada level seluler di otak, yang disebut sebagai fenotip primer. Kombinasi akhir dari gangguan neuronal ini dapat mempengaruhi defek morfologi otak, gangguan tingkah laku, dan defisit kognitif pada sindrom Down, yang disebut sebagai fenotip sekunder. Studi ekspresi pada jaringan normal dan jaringan trisomi sangat penting untuk memahami peran gen HSA21 dan kontribusinya dalam patogenesis sindrom Down.17Peningkatan jumlah gen yang merupakan protein prekursor amiloid (amyloid precursor protein, APP) pada lengan 21q21.3-22.5 akan menimbulkan plak senilis dan kerusakan neurofibrillary pada otak. Gen APP akan mengkode beberapa protein transmembran baik pada neuron maupun astrosit. Walaupun fungsi protein APP ini belum diketahui dengan jelas, namun beberapa fragmennya berhubungan dengan umur sel, stimulasi pertumbuhan neurit dan sinaptogenesis, modulasi plastisitas sinap, mengatur adhesi antar sel dan melindungi neuron dari stres oksidatif. Ekspresi gen APP ini ditemukan selama perkembangan sistem saraf pusat dan over ekspresinya dengan peningkatan insiden dementia pada sindrom Down.18Gen dual-specificity tyrosine phosporylated-regulated kinase 1A (DYRK 1A), yang terletak pada lengan panjang kromosom 21q22.2, memainkan peran penting dalam perkembangan kerusakan otak, kehilangan jaringan saraf dan demensia pada Sindrom Down. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan Dyrk 1A memiliki pengaruh terhadap perkembangan sistim saraf pusat, seperti proliferasi, neurogenesis, diferensiasi neuron, kematian sel dan plastisitas sinap. Salah satu protein yang berperan dalam terjadinya abnormalitas struktur dan fungsi otak pada penderita sindrom Down akibat DYRK 1A adalah protein TAU dan APP yang berperan dalam neurodegenerasi di otak Overekspresi dari Dyrk 1A pada otak sindrom Down berkontribusi pada degenerasi neurofibrilasi onset cepat, yang secara langsung melalui hiperphosphorilasi dari TAU dan secara tidak langsung melalui phosphorilasi dari alternative splicing factor (ASF), menyebabkan ketidak seimbangan antara 3R-tau dan 4R-tau. Overekspresi dari gen tersebut pada otak janin yang menderita sindrom Down mendukung beberapa hipotesis mengenai pengaruh gen Dyrk 1A pada perkembangan neurodevelopmental yang mendasari terjadinya defisit kognitif pada penderita Sindrom Down. 19 Down Syndrome Cell Adhesion Molecule Gene (DSCAM) yang terletak pada lengan 21q22.2-22.3 dan diekspresikan di jantung selama proses organogenesis berhubungan dengan terjadinya penyakit jantung bawaan. Perubahan ekspresi collagen VI alpha 1 (col VI A1) yang terletak pada lengan 21q22.3 dapat menyebabkan migrasi neuron yang abnormal karena kolagen berperanan dalam mengontrol proliferasi sel dan diferensiasi neuron. Over ekspresi dari col VI A1 dapat menyebabkan gangguan pada jantung. Selain itu, mutasi gen CRELD1 non-Hsa21 juga dihubungkan dengan kejadian Atrioventrikel Septal Defect (AVSD) pada sindrom Down 9,18Mutasi pada Globin Transcription Factor 1 (GATA1) ditemukan pada penderita sindrom Down yang menderita Transient Mieloproliferative Disorder (TMD) dan Acute megakaryoblastic leukemia (AMKL). Keterlibatan GATA1 pada TMD dan AMKL pada sindrom Down terjadi pada proses hemtopoeisis yang menjadi kunci regulasi diferensiasi megakariosit, erythoid, eosinofil dan sel mast. Pada tikus percobaan, over ekspresi GATA 1 menghasilkan gangguan diferensiasi megakariosit dengan peningkatan jumlah megakarioblast pada sum sum tulang dan limpa dan maturasi abnormal dari trombosit.20Gen untuk protein Superoxide dismutase 1 (SOD1) terletak pada kromosom 21 lengan q22.1. Mutasi pada gen tersebut berhubungan dengan kelainan amyotrophic lateral sclerosis (ALS) tipe familial. ALS merupakan kelainan degeneratif pada motor neuron yang terletak di otak dan medula spinalis serta bersifat progresif. Proses yang menyebabkan terjadinya degenerasi neuron tersebut diawali oleh suatu produk reaksi oksidatif yang berbahaya untuk sel. SOD1 merupakan suatu enzim sitoplasmik yang mengkatalisasi terjadinya dismutasi terhadap radikal superoxide (O2-) yang merupakan hasil akhir dari metabolisme oksidatif normal sehingga dihasilkan hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2).21 Peningkatan aktivitas SOD1 di otak janin dapat menyebabkan stres oksidatif dan lipoperoksidasi gestasional. Selain itu, over ekspresi SOD1 dapat menyebabkan penuaan dini, penurunan fungsi sistim imun serta menurunkan kemampuan kognitif.8Overekspresi gen lainnya telah dipelajari pada beberapa penelitian terkini, gen ETS2 dihubungkan dengan abnormalitas skeletal, CRYA1 dengan kejadian katarak, IFNAR dengan gangguan sistem imun pada sindrom Down. 102.5 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah gambaran wajah yang khas, keterlambatan perkembangan, abnormalitas mata dan telinga, anomali gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan leukemia. Pada tahun 1976 Jackson JF dkk mengemukakan 25 manifestasi klinis sindrom Down, yaitu brakisefali, lipatan epikantus, Brushfield spots, jembatan hidung datar, gigi yang abnormal, lidah berkerut, palatum sempit, lidah pendek, jari tangan pendek dan lebar, jari kelingking bengkok, jarak jari kaki 1 dan 2 lebar, bising jantung, hipotoni, fisura mata obliq, blefaritis/konjungtivitis, nistagmus, mulut selalu terbuka, lidah menjulur keluar, palatum tinggi, telinga dengan lipatan heliks yang berlebihan, kulit leher longgar, jari kelingking pendek, transverse palmar crease, penyakit jantung bawaan dan hiperfleksibilitas sendi.14Perbandingan milestone perkembangan antara anak yang menderita sindrom Down dengan anak normal dapat dilihat pada tabel 1 berikut.22 Tabel 1. Perbandingan milestone perkembangan antara anak yang menderita sindrom Down dengan anak normal.22Area perkembanganMilestoneRentang umur

Sindrom Down(bulan)Anak normal(bulan)

Kemampuan motorik kasar Mengangkat kepala pada posisi duduk

Duduk sendiri

Berdiri sendiri

Berjalan sendiri3-9 6-16 12-38

13-48 1-45-99-16

9-17

Kemampuan motorik halus dan koordinasi mata-tangan Mengikuti objek dengan mata

Meraih dan menggenggam objek

Memindahkan objek ke tangan yang satu lagi

Membuat menara dari 2 kubus

Menggambar lingkaran1,5-8 4-11

6-12

14-32

36-60 1-3

2-6

4-8

10-19

24-40

Kemampuan komunikasi Mengoceh dada, mama

Merespon terhadap kata yang biasa

Kata pertama yang diucapkan dengan jelas

Memperlihatkan keinginan dengan gerakan tubuh

Mengucapkan 2 buah kata7-18

10-18

13-36 14-30

18-60 5-14 5-14 10-23 11-19 15-32

Kemampuan personal dan sosial Tersenyum saat diajak bicara

Memakan biskuit

Minum dari cangkir

Mengontrol buang air besar1,5-4

6-14 12-23

20-60 1-2

4-10

9-17

16-48

Anak dengan sindrom Down akan mengalami retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85 (rata-rata 50).14,23 Perkembangan mental tampak normal dari lahir hingga usia 6 bulan dan nilai IQ akan turun secara bertahap dari hampir normal pada usia 1 tahun hingga sekitar 30 pada usia yang lebih tua.23Beberapa kelainan lain yang sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah :

1. Jantung

Anak dengan Down akan mengalami penyakit jantung bawaan dan kor pulmonal. Penyakit jantung bawaan, ditemukan pada 40-50% kasus, biasanya baru diketahui saat anak dirawat di rumah sakit (62%) dan merupakan penyebab kematian yang sering terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan yang sering ditemukan adalah endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%) dan isolated patent ductus arteriosus (4%). 242. Ortopedik

Pada tulang tengkorak dapat ditemukan brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis serta hipoplasia sinus maksilaris. Anak juga memiliki jari tangan yang pendek dan lebar, sendi jari hiperekstensi dan lebarnya jarak antara dua jari kaki pertama. Kelainan ortopedik yang dapat ditemukan pada anak yang menderita sindrom Down adalah instabilitas servikal dan patela, dislokasi sendi panggul dan skoliosis.3,143. Telinga, hidung dan tenggorokan

Anak dengan sindrom Down memiliki telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan, tulang hidung yang hipoplastik, jembatan hidung yang datar dan sumbatan saluran nafas bagian atas. Sebanyak 40-50% bayi yang lahir dengan sindrom Down mengalami stenosis pada saluran telinga eksterna dan tuba Eustachius yang sempit sehingga terjadi pengumpulan cairan di telinga bagian tengah yang menyebabkan timbulnya otitis media kronik.4 Kelainan ini menyebabkan banyak anak dengan sindrom Down juga mengalami gangguan pendengaran.4 Obstructive sleep apnoe (OSA) merupakan kelainan yang sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down. Insidennya berkisar antara 30-50%. OSA disebabkan karena adanya midfacial hypoplasia, macroglossia, hipoplasia mandibula, ruang nasofaring yang sempit, pembesaran tonsil dan adenoid.24 4. Mata

Anak dengan sindrom Down memiliki mata yang sipit dengan fisura palpebra miring ke atas (upward slant), lipatan epikantus bilateral dan brushfield spots (iris yang berbintik).414

Sekitar 20% anak dengan sindrom Down juga menderita strabismus.225

Anak juga dapat mengalami gangguan refraksi, blefaritis, obstruksi duktus nasolakrimalis, katarak kongenital, glaukoma dan nistagmus.14,24 Gangguan refraksi seperti hipermetropi dapat timbul pada 70% penderita. 5. Gastrointestinal

Kelainan gastrointestinal yang bisa ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah atresia atau stenosis duodenum, fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus imperforata, omfalokel, refluks gastroesofageal, penyakit Hirschcprung, penyakit seliak, rektum diastasis dan hernia umbilikalis.14

14

Refluks gastroesofageal dapat menyebabkan terjadinya aspirasi asam lambung sehingga mengakibatkan terjadinya inflamasi pada paru. Hipotoni dapat menyebabkan berkurangnya tonus otot faring sehingga risiko terjadinya aspirasi semakin meningkat.6. Endokrin

Kelainan endokrin yang bisa ditemukan pada anak dengan sindrom Down adalah retardasi pertumbuhan, hipotiroid, hipertiroid dan diabetes. Gejala hipotiroid yang bisa ditemukan adalah mudah lelah, penambahan berat badan, kurang aktif, tangan yang dingin, perubahan suasana hati, wajah sembab, rambut mudah rontok, kulit kering dan kasar serta konstipasi. Sedangkan gejala hipertiroid adalah penurunan berat badan, gangguan tingkah laku, mudah marah, gelisah, tremor, diare, goiter, palpitasi dan intoleransi terhadap panas.14Perawakan pendek merupakan ciri khas sindrom Down. Tinggi badan rata-rata saat dewasa adalah 145 cm untuk wanita dan 157 cm untuk laki-laki. Penyebab terjadinya perawakan pendek ini masih belum diketahui, kemungkinan disebabkan oleh adanya penyakit jantung bawaan, sumbatan saluran nafas bagian atas, hipotiroid dan kondisi lain yang sering ditemukan pada anak yang menderita sindrom Down. Pengukuran berat badan dan tinggi badan sebaiknya dilakukan secara teratur dan hasilnya diplotkan ke dalam grafik khusus. Obesitas juga sering ditemukan pada anak dengan sindrom Down. Untuk mencegahnya harus dilakukan pengukuran berat badan secara teratur dan penderita dianjurkan untuk dapat berolahraga serta mengatur pola makannnya.14

Sebagian besar remaja yang menderita sindrom Down dapat melewati masa pubertas dengan baik, walaupun terdapat beberapa macam variasi, yaitu sebagian kecil remaja laki-laki memiliki genitalia yang kecil, ditemukan subfertil pada remaja laki-laki dan perempuan, namun lebih sering pada remaja laki-laki. 14

7. Imunologi

Kelainan imunologi yang bisa ditemukan adalah imunodefisiensi dan penyakit autoimun (artropati, vitiligo, alopesia).14

Infeksi saluran nafas dan otitis media merupakan penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak dengan sindrom Down.4,23 Hal ini disebabkan karena adanya abnormalitas pada sistim imun. Komorbiditas medis dan anatomis yang ditemukan pada anak dengan sindrom Down dapat mempengaruhi respon imun sehingga membuat mereka rentan terhadap proses infeksi. 238. Hematologis

Kelainan hematologis yang bisa ditemukan pada bayi baru lahir yang menderita sindrom Down adalah transient myeloproliferative disorder (TMD), acute megakaryoblastic leukemia (AMKL), netrofilia, trombositopenia dan polisitemia. Kelainan hematologis tersebut biasanya ringan dan mengalami perbaikan secara spontan setelah berumur 3 minggu.10 TMD didefinisikan sebagai ditemukannya sel blast pada bayi umur kurang dari 3 bulan yang menderita sindrom Down. TMD biasanya dapat dideteksi pada umur 1 minggu dan mengalami perbaikan spontan setelah berumur 3 bulan. Setelah TMD mengalami perbaikan, sekitar 13-29% di antaranya akan berlanjut menjadi AMKL setelah berumur 6 bulan (rata-rata umur 20 bulan). Leukemia yang ditemukan pada anak yang menderita sindrom Down memiliki gejala yang sama dengan anak yang tidak menderita sindrom Down.99. Neuropsikiatrik

Prevalensi kelainan psikiatrik pada anak dengan sindrom Down adalah 17,6% dan pada dewasa 27,1%. Anak dan remaja berisiko tinggi untuk mengalami autisme dan attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kelainan obsesif konvulsif, sindrom Tourette dan kelainan depresi dapat terjadi selama transisi dari masa remaja menuju dewasa.19

Spasme infantil merupakan tipe kejang yang sering ditemukan pada bayi, sedangkan kejang tonik-klonik lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar.14, 21 10. Mulut dan gigi

Kelainan yang biasanya ditemukan pada penderita sindrom Down adalah mulut yang terlihat terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah, pernapasan melalui mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang berwarna merah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%), hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi serta maloklusi.14

2.6 Diagnosis

Diagnosis sindrom Down sudah bisa ditegakkan saat bayi baru lahir.14

14

Diagnosis biasanya bisa ditegakkan setelah melakukan pemeriksaan fisik terhadap bayi. Diagnosis tersebut harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan analisis kromosom yang membutuhkan waktu 48-72 jam, orangtua sebenarnya sudah bisa diberitahu tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan tersebut keluar.Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan sitogenetik (analisis kromosom)

Diagnosis klinis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan sitogenetika (analisis kromosom). Analisis kromosom merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap kromosom, meliputi struktur, turunan dan abnormalitasnya.11 Jika anak dicurigai menderita sindrom Down jenis translokasi, maka analisis kromosom dari orang tua dan anggota keluarga yang lain diperlukan untuk konseling genetik yang tepat dan mencegah lahirnya anak lain dengan kelainan yang sama.11,23 2. Amniosintesis

Amniosintesis merupakan pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis berbagai kelainan kromosom pada bayi terutama sindroma Down. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil cairan amnion dari ruang amnion secara transabdominal pada usia kehamilan 14-16 minggu. Amniosintesis dianjurkan dilakukan pada semua wanita hamil yang berusia di atas 35 tahun.23

3. Interphase fluorescence in situ hybridization (FISH)

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan diagnosis sindrom Down dengan cepat baik diagnosis pada masa prenatal maupun pada masa neonatus.26

2.7 Tatalaksana

Tatalaksana anak yang menderita sindroma Down meliputi edukasi, fisioterapi, menangani kondisi medis yang ditemukan, psikoterapi dan farmakoterapi.14

14

Dahulu beberapa keadaan yang sebenarnya masih bisa diterapi dianggap sebagai bagian dari sindrom sehingga tidak ditatalaksana sedemikian rupa. Saat ini kesehatan anak yang menderita sindrom Down diharapkan dapat dimonitor sebaik mungkin seperti anak normal sehingga setiap perkembangan yang dicapai tidak dihalangi oleh keadaan yang sebenarnya masih dapat dicegah.a. Edukasi

Edukasi yang diberikan sama dengan edukasi yang diberikan kepada anak yang mengalami retardasi mental, yaitu remediasi, tutoring dan pelatihan kemampuan sosial. Anak yang menderita sindrom Down akan mampu memberikan partisipasi yang baik dalam belajar melalui program intervensi dini dan taman kanak-kanak. Pendidikan khusus yang positif akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Stimulasi sedini mungkin terhadap bayi yang yang menderita sindrom Down, terapi bicara dan olah tubuh karena otot-ototnya cenderung lemah akan sangat bermanfaat bagi penderita. Memberikan rangsangan dengan permainan layaknya pada anak balita normal, walaupun respons dan daya tangkap tidak sama, bahkan mungkin sangat minim karena keterbatasan intelektualnya. Anak dapat diberikan latihan khusus seperti aktivitas motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian juga dengan memberikan latihan agar anak dapat menolong dirinya sendiri seperti belajar makan, belajar buang air besar/kecil, mandi dan berpakaian.25

b. Fisioterapi

Fisioterapi untuk anak yang menderita sindrom Down bertujuan untuk membantu anak agar dapat mencapai perkembangan yang maksimal pada anak dan bukan berarti menyembuhkan. Hal ini harus dikomunikasikan oleh fisioterapis dengan orangtua sejak awal terapi. Dengan fisioterapi anak diajarkan untuk mampu menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat. Misalnya hipotoni dapat menyebabkan anak berjalan dengan cara yang salah sehingga dapat mengganggu postur tubuhnya. Tanpa fisioterapi sebagian besar anak akan menyesuaikan gerakan untuk mengkompensasi kelemahan otot yang dimilikinya sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.6 Fisioterapi dapat dilakukan seminggu sekali, tetapi terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jenis fisioterapi apa yang dibutuhkan anak. Orangtua memiliki peranan penting karena berperanan dalam melakukan latihan di rumah selepas diberikannya terapi.6

Untuk anak yang mengalami keterlambatan bicara dan pemahaman kosa kata dapat dilakukan terapi wicara. Selain itu dapat juga dilakukan terapi okupasi untuk melatih anak dalam hal kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian dibutuhkan karena pada dasarnya anak dengan sindrom Down sangat tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu acuh sehingga melakukan aktifitas tanpa ada komunikasi dengan orang lain.6

c. Psikoterapi

Terapi perilaku dapat dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan anak dalam perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan destruktif. Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai dasar yang benar dan latihan relaksasi dengan mengikuti instruksi direkomendasikan untuk anak yang sudah mampu mengikuti instruksi. Terapi psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang diharapkan yang dapat mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.252.8 Prognosis

Sekitar 75% hasil konsepsi dengan trisomi 21 meninggal pada tahap embrionik atau janin. 25-30% anak akan meninggal dalam 1 tahun pertama kehidupannya. Penyebab kematian tersering adalah penyakit jantung bawaan. Selain itu kematian juga bisa disebabkan oleh adanya infeksi pernafasan (bronkopneumonia), atresia esofagus atau atresia duedenum, penyakit Hirschsprung serta leukemia. Kemajuan pengobatan saat ini secara signifikan meningkatkan angka harapan hidup penderita sindrom Down. Penderita sindrom Down saat ini dapat hidup dengan sehat mencapai usia lebih dari 55 tahun.9,25 BAB III

GANGGUAN KOGNITIF PADA ANAK DENGAN SINDROM DOWN3. 1 Anatomi dan fungsi kognitif

Fungsi kognitif adalah aktivitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi.26Fungsi kognitif terdiri dari: 26a. Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif.1,5,26b. Bahasa 1,5,26Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu :

1. Kelancaran

Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal.

2. Pemahaman

Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

3. Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

4. Penamaan

Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

c. Memori 1,5,26Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu :

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention)

2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup.

d. Visuospasial 1,5,26Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan.

e. Fungsi eksekutif 1,5,26Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah / persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan.

Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini. 26Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik: 261. Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah dan kognitif yaitu atensi.

5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei. Adapun forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

6. Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido dan siklus tidur / bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

7. Thalamus ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak / sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi

Lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain : 261. Lobus frontalis

Pada lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

2. Lobus parietalis

Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik (input visual, auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder. Karena menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik (cross modal association). Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

3. Lobus temporalis

Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan visual.

4. Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa

3.2 Patogenesis gangguan kognitif pada sindrom Down

Beberapa gen pada trisomi 21 diperkirakan memiliki peranan terhadap defisit kognitif pada penderita sindrom Down. Salah satu gen yang berperanan dalam terjadinya abnormalitas struktur dan fungsi otak pada penderita sindrom Down adalah DYRK 1A.27. Gen dual-specificity tyrosine phosporylated-regulated kinase 1A (DYRK 1A) adalah suatu gen yang mengkode protein kinase yang berfungsi penting dalam regulasi proliferasi sel dan jalur sinyal yang mengatur perkembangan otak..28 Gen DYRK 1A terletak pada lengan panjang kromosom 21q22.2. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan Dyrk 1A memiliki pengaruh terhadap perkembangan sistim saraf pusat, seperti proliferasi, neurogenesis, diferensiasi neuron, kematian sel dan plastisitas sinap. Salah satu protein yang berperan dalam terjadinya abnormalitas struktur dan fungsi otak pada penderita sindrom Down akibat DYRK 1A adalah protein TAU dan APP yang berperan dalam neurodegenerasi di otak Overekspresi dari Dyrk 1A pada otak sindrom Down berkontribusi pada degenerasi neurofibrilasi onset cepat, yang secara langsung melalui hiperphosphorilasi dari TAU dan secara tidak langsung melalui phosphorilasi dari alternative splicing factor (ASF), menyebabkan ketidak seimbangan antara 3R-tau dan 4R-tau. Overekspresi dari gen tersebut pada otak janin yang menderita sindrom Down mendukung beberapa hipotesis mengenai pengaruh gen Dyrk 1A pada perkembangan neurodevelopmental yang mendasari terjadinya defisit kognitif pada penderita Sindrom Down. 19 Gangguan kognitif dan tingkah laku pada sindrom Down dihubungkan pada 2 mekanisme yaitu hiposelularitas pada berbagai area otak seperti hippocampus, korteks serebral dan cerebellum, dan meningkatnya inhibisi GABA. Overekspresi Dyrk 1A menghambat proliferasi sel dan menginduksi diferensiasi dini dari sel progenitor neuronal pada tikus percobaan. Sesuai dengan ini, tikus percobaaan yang memiliki extra copy gen Dyrk 1A memperlihatkan penurunan densitas neuronal pada korteks serebral. Dengan ini didapatkan bahwa overekspresi Dyrk 1A berpengaruh pada penurunan densitas sel saraf pada regio otak spesifik pada penderita sindrom Down. 28Mekanisme lain yang berhubungan dengan defisit kognitif pada sindrom Down adalah peningkatan inhibisi. Beberapa studi menemukan adanya ketidakseimbangan antara aktivitas sinaps GABAergic dan glutamaergic yang mempengaruhi long-term potentiaton (LTP). LTP adalah pola aktivitas sinaps yang menghasilkan peningkatan sinyal transmisi yang bertahan lama pada 2 neuron. LTP merupakan salah satu dari mekanisme selular yang mendasari proses belajar dan memori. Penelitian terkini menemukan adanya anomali pada NMDA receptor-mediated LTP pada prefrontal korteks pada tikus percobaan, yang menghasilkan inhibisi yang berlebihan. Peranan GABA dan transmisi glutamate pada neurogenesis, LTP dan fungsi kognitif sangat penting, sehingga adanya ketidakseimbangan antara aktivitas sinaps GABAergic dan glutamaergic akan menghasilkan gangguan kognitif pada sindrom Down.28 Gangguan belajar dan memori pada sindrom Down dihubungkan dengan abnormalitas pada LTP pada dentate gyrus di hippocampus. 9Gambaran otak pasien sindrom Down, memiliki volume keseluruhan yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek normal, volume serebelum dan volume hipokampus juga lebih kecil secara disproporsional. Volume substansia grisea subkorteks dan parietal lebih besar bila dibandingkan dengan volume total otak.29. Beberapa penelitian memperlihatkan perubahan bentuk dan densitas dari dendritic spine dari neuron pyramidal pada korteks serebri dan hipokampus penderita sindrom Down. Pemeriksaan ultrasonografi kepala terhadap 57 neonatus cukup bulan dengan sindrom Down menunjukkan ventrikel III yang lebih besar daripada grup kontrol.303.3 Karakteristik gangguan kognitif pada sindrom DownPada awal masa bayi, Anak dengan sindrom Down memperlihatkan perkembangan kognitif yang terlambat, yang berujung pada retardasi mental ringan-sedang dan penurunan intelligence quotient (IQ) sejak awal tahun pertama kehidupan hingga akhir masa kanak-kanak. Pada masa dewasa, IQ anak sindrom Down menetap, sampai onset awal dari kelainan neurohistopatologi yang menyerupai penyakit Alzheimer terlihat secara sistemik pada dekade keempat. Secara keseluruhan, pasien sindrom Down memperlihatkan defisit dalam kemampuan belajar serta dalam memori jangka pendek dan jangka panjang.17Profil gangguan kognitif pada sindrom Down berbeda dari bentuk retardasi mental lainnya. Penderita sindrom Down menunjukkan gangguan relatif dalam penggunaan tata bahasa. Mereka relatif lebih baik dalam keterampilan visuomotor, namun relatif lebih lemah dalam memori jangka pendek auditorik. Berbagai studi menunjukkan bahwa sindrom Down berhubungan dengan kemampuan memori verbal jangka pendek dan memori eksplisit jangka panjang yang lebih lemah. 31Perkembangan motorik bukanlah prediktor perkembangan kognitif yang dapat diandalkan. Anak dengan retardasi mental ringan sampai sedang, biasanya mampu menguasai milestone dari motorik kasar dini pada waktu yang tepat. Namun pada sindrom Down, anak kadang-kadang telah menunjukkan keterlambatan dalam motorik kasar dini akibat hipotonia. Pada anak dengan fungsi pendengaran yang normal, perkembangan bahasa merupakan indikator terbaik dari kemampuan kognitif di masa depan.31BAB VGANGGUAN BICARA-BAHASA PADA ANAK DENGAN SINDROM DOWN4.1 Pengertian Bicara dan BahasaBicara dan bahasa merupakan 2 hal yang berbeda. Bahasa adalah proses konseptual dari komunikasi. Bahasa meliputi bahasa reseptif (pemahaman) dan bahasa ekspresif ( kemampuan untuk menyampaikan informasi, perasaan, pemikiran dan ide). Bahasa dapat diekspresikan melalui ucapan, tulisan, sinyal dan gesture tubuh. Sedangkan bicara adalah produksi verbal dari bahasa yang terdiri dari suara dan artikulasi.32Bahasa merupakan salah satu parameter dalam perkembangan kognitif. Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, memberi tanda) atau auditorik. Keterlambatan bahasa merefleksikan kelemahan pada bahasa ekspresif dan reseptif yang berhubungan dengan kelemahan kognitif secara umum.32Bicara adalah pengucapan, yang menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Terdapat dua aspek yang berperan pada proses bicara, yaitu aspek sensoris (input bahasa) yang melibatkan telinga dan mata, dan aspek motorik (output bahasa) yang melibatkan vokalisasi dan kontrolnya.26Kelancaran berbicara dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu oral motor skill dan oral motor planning skill. Oral motor skill meliputi kekuatan dan pergerakan dari otot orofacial, khususnya pergerakan yang berhubungan dengan proses berbicara. Oral motor planning skill meliputi kemampuan untuk mengkombinasi dan mengurutkan suara menjadi kata, phrasa dan kalimat, ini merupakan bagian dari proses bahasa. 6Kemampuan bicara lebih dapat dinilai dari kemampuan bahasa lainnya sehingga pembahasan mengenai kemampuan bahasa lebih sering dikaitkan dengan kemampuan berbicara, namun bahasa dan bicara merupakan dua hal yang berbeda. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak yang mengalami gangguan bicara mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata kata yang benar untuk menyatakan keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali menjadi tumpang tindih.32

Gambar1. Proses mendengar dan melihat/membaca

Gambar sebelah kiri menggambarkan jalur yang terlibat pada proses mendengar dan berbicara. Urutannya adalah sebagai berikut :261. Penerimaan sinyal suara di area auditori primer yang kemudian mengkode kata-kata

2. Interpretasi kata-kata di area Wernicke

3. Penentuan pemikiran dan kata-kata untuk diucapkan di area Wernicke

4. Transmisi sinyal dari area Wernicke ke area Broca melalui fasikulus arkuatus

5. Aktivasi program motorik terlatih di area Broca untuk kontrol pembentukan kata

6. Transmisi sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengontrol otot bicara

Gambar sebelah kanan menggambarkan tahap saat membaca dan merespon dengan bicara. Area reseptif kata-kata adalah di area visual primer. Kemudian informasi diteruskan melalui interpretasi awal di regio girus angularis dan akhirnya mencapai pengenalan sempurna di area Wernick. Tahap selanjutnya serupa dengan bicara sebagai respon dari mendengar.26Bahasa dibagi ke dalam beberapa komponen penting. Pada kemampuan verbal dasar, fonologi adalah penggunaan suara bicara yang tepat dalam membentuk kata-kata, semantik adalah penggunaan kata-kata yang benar, sementara sintaks adalah penggunaan kosakata yang tepat dalam pembentukan kalimat. Pada tingkat yang lebih abstrak, keterampilan verbal antara lain kemampuan untuk menghubungkan pemikiran dalam bentuk yang koheren dan mempertahankan topik pembicaraan. Kemampuan pragmatis adalah keterampilan verbal dan nonverbal yang memfasilitasi pertukaran pikiran, termasuk pemilihan bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dan penggunaan bahasa tubuh (postur, mata, kontak, gestur) yang tepat. Keterampilan sosial pragmatis dan perilaku juga berperan penting dalam interaksi yang efektif dengan rekan dalam berkomunikasi (mengikat, merespon, mempertahankan pertukaran resiprokal).264.2 Perkembangan bicara-bahasa pada anak dengan sindrom Down

a. Fonologi

Pada masa awal sekolah, anak dengan sindrom Down memperlihatkan kesalahan-kesalahan fonological sebagai suatu gejala khas. Mereka melanjutkan proses fonological ini lebih lama dibandingkan anak normal. Penelitian Robert dkk (2005) menemukan anak dengan sindrom Down menghasilkan konsonan yang lebih sedikit, reduksi kalimat dan delesi konsonan akhir dibanding anak normal dengan usia mental nonverbal yang sama. 26,34b. Kosakata

Beberapa penemuan yang berlawanan dilaporkan mengenai kosakata reseptif pada anak dengan sindrom Down. Beberapa penelitian, dengan menggunakan alat terstandandarisasi menemukan anak dengan sindrom Down memiliki pemahaman kosakata yang sama dengan anak normal dengan usai mental nonverbal yang sama. Pada penelitian lain, ditemukan anak dengan sindrom Down memiliki nilai yang lebih rendah. Anak dengan sindrom Down mengalami keterlambatan pada pengucapan kata pertama dan perkembangan kosakata ekspresif awal lebih lamban dibanding anak normal. Berglund dkk (2001) menemukan hanya 12% anak berusia 1 tahun pada anak dengan sindrom Down di Swedish yang termasuk dalam suatu penelitian yang menghasilkan kata pertamanya, 9% pada anak usia 3 tahun dan 94% pada anak usia 5 tahun. Chapman dkk (1998) menemukan anak dengan sindrom Down menghasilkan lebih sedikit kata dalam percakapan dibanding anak normal dengan usia mental nonverbal yang sama. 26,34c. Sintaks

Pemahaman sintaks menjadi suatu tantangan linguistik tersendiri pada anak dengan sindrom Down, pemahaman sintaks pada anak dengan sindrom Down cukup rendah. Price dkk (2007) melaporkan kelompok 45 anak dengan sindrom Down memiliki nilai yang lebih rendah pada pemahamaan gramatikal dan sintaks dibanding anak normal dengan usia mental nonverbal yang sama. Penggabungan suku kata lebih lambat dan menghasilkan kalimat yang lebih pendek. Price dkk (2008) menemukan 31 anak dengan sindrom Down menghasilkan kata benda, kata kerja, strktur kalimat yang kurang kompleks selama menjalani percakapan dengan pemeriksa dibanding anak normal dengan usia mental yang sama. 34,42,43d. Pragmatik

Anak dengan sindrom Down menguasai topik pembicaraan lebih sedikit dibanding anak normal. Pada penelitian Robert dkk (2007) dilaporkan 29 anak dengan sindrom Down memiliki kemampuan yang kurang dalam mengelaborasi topik pembicaraan dan menghasilkan respon yang sederhana dibanding anak normal.34Beberapa fondasi perkembangan bicara-bahasa meliputi pendengaran, oral motor skill, kognitif, sosial dan keterampilan komunikasi nonverbal usia dini. Berikut dijelaskan mengenai masing-masing aspek pada anak dengan sindrom Down: 34a. Pendengaran

Diperkirakan 2/3 anak dengan sindrom Down mengalami tuli konduktif, tuli sensorineural atau keduanya. 27 Otitis media merupakan salah satu penyebab tuli konduktif yang terjadi, akibat anatomi saluran pendengaran yang sempit. Otitis media ditemukan 96% pada anak dengan sindrom Down. Otitis media memiliki hubungan yang erat dengan gangguan bicara pada anak normal. Namun pada anak sindrom Down dianggap sebagai faktor risiko ekstra karena mereka telah memiliki faktor risiko tersendiri untuk gangguan bicara. Data mengenai pengaruh otitis media terhadap perkembangan bahasa pada anak dengan sindrom Down masih sangat kurang. 34b. Oral motor skill

Produksi bicara pada anak dengan sindrom Down berhubungan dengan perbedaan pada struktur dan fungsi oral. Perbedaan stuktur meliputi ruang mulut yang kecil dengan lidah yang besar, serta palatum tinggi. Perbedaan anatomis ini diperhitungkan sebagai aspek yang mempengaruhi kelancaran bicara yang menurunkan kecepatan bicara, luas pergerakan mulut dan koordinasi artikulasi, dibandingkan dengan anak normal. Pada penelitian Barnes dkk (2006) menemukan anak sindrom Down memiliki perbedaan struktur pada bibir, lidah, faring dan laring yang mempengaruhi fungsi motorik bicara dan koordinasi pergerakan bicara dibanding anak normal. 34,39c. Kognitif

Sekitar 80% anak dengan sindrom Down memiliki gangguan intelektual sedang, namun ada beberapa yang memiliki gangguan intelektual yang berat. 27 Proses visuospasial dan persepsi dinilai cukup kuat pada anak dengan sindrom Down, namun memori visual jangka panjang terganggu.29Gangguan keterampilan memori fonologi berhubungan dengan rendahnya pemahaman bahasa, menurunnya panjang ucapan dan adanya kesulitan membaca pada anak dengan sindrom Down.34d. Hubungan sosial

Interaksi sosial dianggap sebagai faktor yang cukup berperan pada pemerolehan bahasa. Interaksi sosial muncul pada awal perkembangan (usia 0-4 tahun) pada anak dengan sindrom Down. Anak dengan sindrom Down memiliki sosial yang tinggi, hubungan yang cukup erat dan mengasihi. Sosialisasi dan kehidupan sehari-hari pada anak dengan sindrom Down lebih kuat dibanding komunikasinya. Cara bersoaialisasi anak dengan sindrom Down pada umunya sama dengan anak normal. Namun, beberapa studi terdahulu menyatakan setidaknya 5-7% anak dengan sindrom Down menderita Autisme. Hepburn dkk (2008) menemukan 15% anak dengan sindrom Down memiliki kriteria Autisme.34,50e. Keterampilan komunikasi nonverbal usia dini

Frekuensi dan variasi produksi vocal dan konsonan pada anak dengan sindrom Down sama dengan anak normal. Namun, onset ocehan pada anak dengan sindrom Down ditemukan terlambat sekitar 2 bulan dibanding anak normal. Pada usia 18-48 bulan anak dengan sindrom Down menghasilkan permintaan norverbal lebih sedikit untuk meminta bantuan dibanding anak normal. Frekuensi yang permintaan non verbal yang sering untuk memnita bantuan berhubungan dengan perkembangan bahasa eksprsif yang lebih baik dikemudian hari pada anak dengan Down sindrom. 344.3 Diagnosis Gangguan bicara-bahasaSebelum membuat diagnosa, perlu dibedakan antara keterlambatan (waktu yang abnormal) dengan gangguan (pola atau urutan yang abnormal) perkembangan. Keterampilan komunikasi dan bahasa seorang anak harus diinterpretasikan dalam batasan kemampuan kognitif dan fisiknya secara keseluruhan. Diperlukan evaluasi penggunaan bahasa anak untuk berkomunikasi dengan sesama dalam arti luas (keinginan berkomunikasi). Maka sering diperlukan evaluasi multidisipliner yang setidaknya meliputi evaluasi psikologi, neurologis, dan pemeriksaan bicara-bahasa.44Evaluasi oleh ahli bicara-bahasa meliputi penilaian bahasa, bicara, dan mekanisme fisik yang berkaitan dengan produksi bicara. Bahasa ekspresif dan reseptif dinilai melalui kombinasi pemeriksaan terstandar dan interaksi serta observasi informal. Semua komponen bahasa dinilai, termasuk sintaks, semantik, pragmatik, dan fluensi. Penilaian bicara juga menggabungkan pemeriksaan terstandar dengan observasi informal. Pemeriksaan struktur fisik dilakukan pada struktur dan fungsi oral, fungsi pernafasan, dan kualitas suara. Ahli bicara-bahasa seringkali bekerjasama dengan ahli audiologi yang bisa melakukan evaluasi pendengaran. Jika tidak ada ahli audiologi, sebaiknya beri rujukan. Tidak ada anak yang terlalu muda untuk dievaluasi bicara-bahasa atau pendengarannya. Rujukan untuk evaluasi diperlukan kapanpun dicurigai adanya gangguan bahasa45Penelitian mengenai bicara bahasa menunjukkan kesenjangan dalam beberapa area spesialisasi. Disfasia lebih banyak menarik investasi, sementara pada kelainan lain hanya lebih menarik minat sehingga jumlah penelitian dan metode yang digunakan masih terbatas. Kelainan yang berkaitan dengan dunia medis dan pembedahan akan lebih awal terpapar dengan penelusuran secara medis. Sementara kelainan yang berkaitan dengan pendidikan atau ilmu sosial lebih menarik penelitian terfokus pada tatalaksana dan penyusunan hipotesis.45Bishop dkk (2009) mengidentifikasi gangguan bahasa pada anak dengan menggabungkan uji bahasa dengan laporan orangtua. Uji bahasa memberikan informasi yang penting mengenai anak mana yang berisiko mengalami masalah akademik, walau masih bervariasi. Namun, tidak cukup hanya mengandalkan uji ini saja. Laporan orangtua memberikan informasi tambahan yang juga penting untuk proses diagnosis.46Banyak dokter menggunakan skrining perkembangan terstandar berupa checklist kuesioner dan observasi untuk digunakan pada pasien anak. Semua instrumen skrining perkembangan menyertakan aspek mengenai perkembangan bahasa. (Denver Developmental Screening Test II [DDST-II], Child Development Inventory [CDI], Ages and Stages Questionnaire [ASQ], Parents' Evaluations of Developmental Status [PEDS]). Instrumen skrining bahasa yang spesifik juga tersedia, seperti the Early Language Milestone (ELM) Scale and the Clinical Linguistic and Auditory Milestone Scale (CLAMS).33 Jika diduga mengalami gangguan bicara-bahasa, anak sebaiknya dirujuk ke ahli gangguan bicara-bahasa dan ahli pendengaran. 46Laing dkk (2000) mengevaluasi 2 metode identifikasi masalah bicara-bahasa pada anak presekolah, yaitu tes skrining terstruktur dan metode yang mengandalkan orangtua. Kedua metode ini tidak bisa mendeteksi sejumlah penting anak dengan masalah bahasa yang berat dan menyebabkan over-referral untuk diagnosis lebih lanjut. Skrining sepertinya kurang efektif pada populasi ini. Secara keseluruhan anak dengan gangguan bicara menunjukkan performa yang lebih baik daripada anak dengan gangguan bahasa. Kefasihan membaca berlawanan dengan adanya gangguan bicara atau bahasa. Performa terburuk dimiliki anak yang menderita gangguan bicara, bahasa, atau gangguan belajar. Sehingga diperlukan identifikasi, pemantauan, dan menentukan masalah kefasihan membaca lebih dini pada anak dengan gangguan bicara-bahasa.484.4 Tatalaksana Gangguan bicara-bahasa pada anak dengan sindrom DownJika diduga mengalami gangguan bicara-bahasa, anak sebaiknya dirujuk ke ahli gangguan bicara-bahasa dan ahli pendengaran. Tujuan utama terapi adalah untuk mengajarkan anak suatu strategi menyelaraskan bahasa yang diucapkan dan menciptakan perilaku komunikasi yang tepat, dan membantu orangtua mempelajari cara mendukung kemampuan komunikasi anaknya. Efek dari terapi bicara-bahasa pada anak dengan gangguan bicara reseptif jauh lebih sedikit daripada anak dengan gangguan bicara ekspresif. Sebelum anak mendapatkan terapi dengan efektik, orang tua harus dilatih terlebih dahulu, terutama oleh ahli bicara bahasa.48Terapi bicara-bahasa memiliki berbagai target. Target bicara difokuskan kepada perkembangan bicara yang lebih dimengerti. Target bahasa difokuskan pada perluasan kosa kata (leksi) dan pemahaman arti kata (semantik), perbaikan sintaks dengan menggunakan bentuk yang sesuai atau belajar mengembangkan 1 kata menjadi kalimat, dan penggunaan bahasa untuk sosialisasi (pragmatik). 33 Berikut ini beberapa target terapi bicara-bahasa pada anak dengan sindrom Down :

1. Target komunikasi dini

Intervensi dini lebih efektif pada anak dengan sindrom Down. Pelatihan ketrampilan prelinguistik dan edukasi orang tua menjadi intervensi yang efektif pada anak dengan sindrom Down yang memproduksi kata lebih sedikit atau bahkan belum sama sekali. Warren dkk (2006) menggunakan Responsivisity Education/Prelinguistik Milieu Teaching (RE/PMT) sebagai target keterampilan komunikasi prelinguistik dengan mengajarkan koordinasi mata, vokalisasi, gesture tubuh pada anak dan mengajarkan orangtua untuk bertanggung jawab pada tingkah laku verbal dan nonverbal anaknya.342.Target Ketrampilan bicara Anak dengan sindrom Down yang dapat berbicara namun sulit untuk dimengerti, intervensi bicara harus menitik beratkan pada proses fonologi dan kesalahan produksi bicara. Ketepatan bicara pada anak dengan sindrom Down dapat ditingkatkan dengan terapi yang melibatkan orang tua yang memfokuskan pada latihan mendengar dan produksi bicara. Konsistensi pembentukan kata dapat ditargetkan sebelum menargetkan proses fonologi. . Intervensi dengan mengurangi struktur syllable juga meningkatkan kelancaran bicara. Pada anak dengan sindrom Down yang memiliki gangguan bicara yang berat, target awal terapi mencakup pencapaian kosa kata yang lebih banyak, seperti kata-kata untuk kebutuhan dasar atau nama-nama anggota keluarga.343. Target bahasa kompleks

Anak dengan sindrom Down banyak yang mengalami masalah pada ekspresi sintaks. Ahli terapi bicara-bahasa dapat mengedukasi orangtua cara mengevaluasi ketepatan kompleksitas bahasa anak berdasarkan bahasa formal yang digunakan. Perbaikan percakapan merupakan salah satu metode untuk membantu anak mengembangkan sintaks, pada metode ini pengucapan kata anak dapat dibentuk ulang oleh partner komunikasinya, termasuk menambahkan informasi gramatikal. Penegmbangan sintaks dapat juga dibantu dengan memberikan pendapat tentand ide ketika anak sedang bercerita menggunakan kata melalui ucapan ataupun tulisan. Penggunaan buku yang memperlihatkan pengulangan contoh dari sintaks yang kompleks direkomendasikan untuk menguatkan proses visual.Terapi kelompok dapat menjadi pilihan dalam meningkatkan sintaks, pragmatik dan ketampilan bahasa lainnya dengan turut menguatkan interaksi sosial. 344. Target ketrampilan literasiDahulunya, terapi bahasa pada anak dengan sindrom Down dianggap tidak akan memberikan keberhasilan yang berarti, sebagai konsekuensi gangguan spesifik memori fonologi yang dimilikinya. Dengan berkembangnya penelitian pada proses ini, kini disimpulkan bahwa kemampuan fonologi pada anak dengan sindrom Down dapat ditingkatkan dengan terapi, ang nantinya berpengaruh terhadap kemampuan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis. 34Intervensi literasi pada anak dengan sindrom Down dapat dimulai dengan menggunakan sight word (kata yang didapat dari hasil melihat benda), kemudian dilanjutkan dengan latihan ketrampilan fonologi. Pada banyak kasus, strategi intervensi pada anak dengan sindrom Downdapat menggunakan kekuatan pengenalan kata keseluruhan untuk meningkatkan perkembangan ketrampilan fonologi.34BAB V

HUBUNGAN KEMAMPUAN KOGNITIF DENGAN GANGGUAN BICARA BAHASA PADA ANAK DENGAN SINDROM DOWNAnak dengan sindrom Down memperlihatkan variasi dalam gangguan intelektual. Adanya gangguan pada proses bicara-bahasa serta adanya kelemahan kognitif, memberikan kesimpulan bahwa keterlambatan bicara seharusnya sepadan dengan gangguan kognitif. Dalam beberapa dekade ini, beberapa peneliti telah berdiskusi mengenai hubungan antara bahasa dan perkembangan kognitif. Beberapa pendapat mengungkapkan bahwa perkembangan bahasa dikontrol oleh kemampuan kognitif. Proses bahasa adalah proses kognitif terhadap informasi bahasa dan pembelajaran bahasa dilanjutkan dengan pembelajaran informasi lainnya seperti gesture dan pola suara. Ada ketertarikan mengenai bagaimana perkembangan bahasa berkaitan dengan kontrol kognitif atau fungsi eksekutif termasuk kontrol penghambatan, selektif dan atensi, fleksibilitas kognitif, kontrol memori dan koherensi. Proses ini penting dalam penyelesaian masalah, perencanaan dan pemikiran. Walaupun beberapa penelitian menemukan hubungan antara fungsi eksekutif dan perkembangan keterampilan bahasa, namun data yang didapatkan kurang kohesif.50

Abbeduto dkk (2007) menyatakan defisit kognitif berdampak buruk terhadap pembelajaran dan penggunaan bahasa, karena kemampuan kognitif adalah fondasi dari kesuksesan berbahasa. Owens (2010) dalam penelitiannya menemukan anak sindrom Down dengan gangguan intelektual sedang, memiliki IQ berkisar 36-51 dan memperlihatkan kelemahan kognitif dan bahasa reseptif serta ekspresif. Kumin dan Adams (2000) menyimpulkan karena anak dengan sindrom Down memiliki defisit motorik, maka ini akan berpengaruh pada gangguan kognitif pada proses pembentukan motor plan untuk bicara, yang mengakibatkan terjadinya penurunan kelancaran bicara dengan peningkatan utterance length dan kesulitan dalan pengurutan dan pengelompokan.7 Malak dkk (2013) dalam penelitiannya membuktikan perkembangan motorik anak dengan sindrom Down berhubungan dengan perkembangan kognitif, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan. 1 Hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara anak sindrom Down dapat disebabkan oleh faktor dari dalam diri anak dan faktor dari luar. Faktor dari dalam misalnya kemampuan kecerdasan yang dimilikinya yang rendah karena kecerdasan berhubungan dengan tingkat kemampuan bahasa serta profil anatomi yang dimiliki, yang berhubungan dengan proses produksi bicara. Sedangkan faktor yang muncul dari luar misalnya media pembelajaran, dan stimulus yang diberikan. Faktor-faktor tersebut berdampak terhadap perbendaharaan kata yang dimilikinya dan membangun tata bahasa yang terbatas sehingga akan mempengaruhi dalam kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.50Bahasa merupakan salah satu aspek yang dinilai dengan fungsi kognitif. Dengan adanya gangguan kognitif pada anak dengan sindrom Down, gangguan bahasa dianggap seiring dengan gangguan kognitif yang terjadi. Bicara merupakan produksi verbal dari bahasa, berbagai gangguan yang terjadi pada proses bahasa tentunya akan berdampak pada proses bicara. Namun pada beberapa penelitian memperlihatkan fakta berbeda mengenai hubungan langsung antara gangguan kognitif dan gangguan bicara. McSweeny dkk (1999) melaporkan komorbiditas keterlambatan bicara dengan gangguan kognitif hanya berkisar 2%. Ini menjelaskan bahwa gangguan bicara pada anak dengan sindrom Down bukanlah hasil langsung dari gangguan kognitif. Barnes dkk (2006) pada penelitiannya terhadap perbandingan sindrom Down dengan anak yang memiliki ganguan intelektual lainnya (Fragil X) menemukan proses bicara lebih terganggu pada anak dengan sindrom Down. John dkk (2008) pada penelitiannya di Inggris, menemukan gangguan bicara pada sindrom Down tidak secara sederhana akibat dari gangguan kognitif yang dimilikinya. 48,50BAB VIKESIMPULAN

Sindrom Down menjadi penyebab gangguan intelektual tersering pada anak. Tingkat gangguan kognitif yang terjadi memiliki variasi yang luas, namun 80% anak dengan Down sindrom memiliki gangguan intelektual sedang. Perkembangan bahasa merupakan salah satu indikator perkembangan dari kemampuan kognitif anak.1,5Kelancaran berbicara dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu oral motor skill dan oral motor planning skill. Oral motor skill meliputi kekuatan dan pergerakan dari otot orofacial, khususnya pergerakan yang berhubungan dengan proses berbicara. Oral motor planning skill meliputi kemampuan untuk mengkombinasi dan mengurutkan suara menjadi kata, phrasa dan kalimat. Beberapa anak dengan sindrom Down memperlihatkan kesulitan pada oral motor skill, beberapa pada oral motor planning skill dan beberapa pada keduanya. Beberapa penelitian tentang sindrom Down menunjukkan adanya hubungan antara kelainan kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi linguistik sepenuhnya. Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa gangguan bicara pada anak dengan sindrom Down bukan merupakan hasil langsung dari gangguan kognitif, namun juga dipengaruhi oleh aspek lainnya.5,6

DAFTAR PUSTAKA

1. Malak R, Kotwicka M, Wasielwska AK, Mojs Esaborski W. Motor skill, cognitive development and balance function of children with Down syndrome. Annal of Agricultural and environment Medicine.2013;20:803-062. Khalil A, Pandya A. Screening for Down syndrome. J Obstet Gynecol India 2006;56:205-11.

3. Brockmeyer D. Downs Syndrome and craniovertebral instability: topic review and treatment recommendations. Nepal Journal of Neuroscience. 2005;2:52-8.

4. Ram G, Chinen J. Infections and immunodeficiency in Down syndrome. Clinical and Experimental Immunology. 2011;164:9-16

5. McCann J, Wood SE, Hardcastle WJ, Wishart JG, Timmins C. The relationship between speech, oromotor, language and cognitve abilities in children with Downs syndrome. Edinburg, United Kingdom. Speech Science Researh Centre; 20086. Kumin L. Speech inteligibility and chilhood verbal apraxia in children with Down syndrome. Maryland: The Down Syndrom Educational Trust;20067. Cleland J. Speech and prosody in Developmental disorders : Autism and Down s syndrome. Queen Margaret University.2010;17-298. Dutta S, Nandagopal K, Gangopadhyay PK, Mukhopadhyay K. Molecular aspects of Down syndrome. Indian Pediatrics 2005;42:339-44.

9. Wiseman FK, Alford KA, Tybulewicz V, Fisher E. Down Syndrom-Recent progress and future prospect. Human Molecular Genetic. 2009;18:75-8310. Leshin L. Trisomy 21: The story of Down syndrome. 2009 (diakses 1 Januari 2105) Diunduh dari : http://www.ds-health.com/trisomy.htm.

11. Descartes M, Carroll AJ. Cytogenetics. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 18 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.

12. Morris JK, Mutton DE, Alberman E. Revised estimates of the maternal age specific live birth prevalence of Downs syndrome. J Med Screen 2002;9:2-6.

13. Habib FA. Antenatal screening strategies for Down syndrome: Analysis of existing protocols and implications in the Kingdom of Saudi Arabia. British Journal of Medicine & Medical Research 2011;1:105-21.

14. Marder E, Denniss J. Medical management of children with Downs syndrome. Current Paediatrics 2001;11:57-63.

15. Mengenal Down Syndrom. In: Persatuan Orangtua dengan Anak dengan Down Syndrom. Diunduh dari : http://potads.com/downsyndrome.php.

16. Idris R, Anggoro B, Hartamto H. Penderita sindrom Down berdasarkan analisis kromosom di Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia antara tahun 1992-2004. Profesi Medika 2006;6:35.

17. Barkoukis A, Reiss NSDombeck M. Childhood disorder: mental retardation. 2008 (diakses 18 Januari 2015). Diunduh dari: Http://www.mentalhelp.net.

18. Capone GT. Down syndrome: advances in molecular biology and the neurosciences. Developmental and Behavioral Pediatrics 2001;22.

19. Tejedor FJ. MNBDYRK1A as a multiple regulator of neuronal development. FEBS Journal. 2011;278: 22335.20. Ahmed M, Stenber A, Hall G, Thomas A, Smith O. Natural history of GATA1 mutation in Down Syndrome. 2004;103:2480-89.

21. DSMIG. Down's syndrome-Child development. Diunduh dari : http://www.dsmig.org.uk.

22. Tarek M. The baby with Down syndrome. ASJOG. 2005;2:362-5.

23. Banjar HH. Down's syndrome and pulmonary arterial hypertension. PVRI Review 2009;1:213-6.

24. Downs Syndrome Association Medical Series. Eye problem in children with Down's syndrome. Diunduh dari : http://www/dsmig.org.uk.

25. Weijerman WE, de Winter JP. The care of children with Down syndrome. Eur J Pediatr 2010;169:1445-52.

26. Guyton AC, Hall JE, ed. Cerebral cortex, intellectual functions of the brain, learning and memory. Dalam : Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Edisi 11. Philadelphia : Elsevier Inc ; 2006. Hal 714-27

27. Park P, Chung KC. Two key genes closely implicated with the neuropathological characteristics in Down syndrome: DYRK1A and RCAN1. BMB report.2009; 42(1): 6-1528. Cerro SG, Martinez P, Vidal V, Corrales A, Florez J, Vidal R, et al. Overexpression of Dyrk1A Is Implicated in Several Cognitive, Electrophysiological and Neuromorphological Alterations Found in a Mouse Model of Down Syndrome. Plos ONE. 2014;9:1-1629. American academy of child and adolescent psychiatry. Children who are mentally retarded. 2004 (diakses 1 Januari 2015). Diunduh dari: Http://www.aacap.org.

30. Walker WO. Mental retardation: overview and diagnosis. Peds in review. 2006.27, 204-12.

31. Rachidi M, l. C. Genetik mechanisms of the mental retardation in down syndrome. 2010. (Diakses 2 Januari 2015) Diunduh dari : Http://www.scitopics.com32. Mclaughlin MR. Speech and language delay in children. Am Fam Physician. 2011;83(10):1183-88.

33. Simms MD, Schum RL. Language development and communication disorders. In: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme III JW, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th Ed. Philadelphia: Saunders; 2011. p.154-61

34. Martin GE, Klusek J, Estigarribia B, Joanne R. Language characteristic of Individuals with Down syndrom. Top Lang Disord. 2009;29(2):112-3235. Roizen, NJ. Down syndrome. In: Batshaw, ML.; Pellegrino, L.; Roizen, NJ., editors. Children with disabilities. 6. Baltimore: Brookes; 2007. p. 263-73.36. Barnes EF, Roberts JE, Mirrett PL, Sideris J, Misenheimer J. A comparison of oral motor structure and function in young males with fragile X syndrome and Down syndrome. Journal of Speech, Language, and Hearing Research 2006;49:9031737. Jarrold C, Baddeley AD, Phillips C. Long-term memory for verbal and visual information in Down syndrome and Williams syndrome: Performance on the doors and people test. Cortex 2007;43:2334738. Hepburn S, Philofsky A, Fidler DJ, Rogers S. Autism symptoms in toddlers with Down syndrome: a descriptive study. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities 2008;21:4857

39. Roberts JE, Long SH, Malkin C, Barnes E, Skinner M, Hennon EA. A comparison of phonological skills of boys with fragile X syndrome and Down syndrome. Journal of Speech, Language, and Hearing Research 2005;48:980995

40. Berglund E, Eriksson M, Johansson I. Parental reports of spoken language skills in children with Down syndrome. Journal of Speech, Language, and Hearing Research 2001;44:17991.

41. Price JR, Roberts JE, Vandergrift N, Martin G. Language comprehension in boys with fragile X syndrome and boys with Down syndrome. Journal of Intellectual Disability Research 2007;51:31826.

42. Price JR, Roberts JE, Hennon EA, Berni MC, Anderson KL, Sideris J. Syntactic complexity during conversation of boys with fragile X syndrome and Down syndrome. American Journal on Mental Retardation 2008;112:117.

43. Roberts JE, Price JR, Barnes EF, Nelson L, Burchinal M, Hennon E, et al. Receptive vocabulary, expressive vocabulary, and speech production of boys with fragile X syndrome and Down syndrome. American Journal on Mental Retardation 2007;112:17793.

44. Bishop DVM, McDonald D. Identifying language impairment in children: combining language test scores with parental report. Int J Lang Commun Disord. 2009;44(5):6001545. Laing GJ, Law J, Levin A, Logan S. Evaluation of a structured test and a parent led method for screening for speech and language problems: prospective population based study. BMJ 2000,325:1-546. Puranik CS, Petscher Y, Al-Otaiba S, Catts HW, Lonigan CJ. Development of oral reading fluency in children with speech or language impairments: a growth curve analysis. J Learn Disabil . 2008 ; 41(6): 5456047. Gro W, Linden U, Ostermann T. Effects of music therapy in the treatment of children with delayed speech development-results of a pilot study. BMC Complementary and Alternative Medicine 2010, 10:3948. Paatsch LE, Blamey PJ, Sarant JZ, Bow CP. The effects of speech production and vocabulary training on different components of spoken language performance. Journal of Deaf Studies and Deaf Education 11:1 Winter 2006, 39-55

49. Law J, Garrett Z, Nye C. The efficacy of treatment for children with developmental speech and language delay/disorder: a meta-analysis. J Speech Lang Hear Res 47 no4 Ag 2004, 924-43

50. Brooks P, Kampe V. Interrelatioship of Language and cognitive development (overview). Encyclopedia of Language development.2014;284-291

18