Upload
ngothuan
View
255
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
Hubungan Kerapatan Lamun dan Kandungan Bahan Organik Total dengan
Kelimpahan Siput Gonggong (Strombus epidromis) di Perairan Pulau
Dompak
Indri Susanti, Winny Retna Melani, Tri Apriadi
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Kerapatan lamun di Dompak pada setiap titik sampling dengan kisaran
kerapatan antara 9-91 individu/m2. Rata-rata kerapatan lamun untuk seluruh titik
diketahui sebesar 27 individu/m2.Kandungan bahah organik di perairan Dompak
berkisar antara 3,43-30,09% dengan rata-rata bahan organik mencapai 13,29%.
Kelimpahan siput gonggong S. epidromis rata-rata diperairan Dompak sebesar
93.33 ind/ha.Hubungan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan siput
gonggong adalah negatif, sedangkan hubungan antara kandungan bahan organik
(TOM) tehadap kelimpahan siput gonggong adalah positif. Artinya Setiap
kenaikan kandungan bahan organik didalam sedimen (TOM) maka akan
meningkatkan kelimpahan siput gonggong.
Kata Kunci : kerapatan lamun, bahan organik total (TOM), kelimpahan siput
gonggong, Pulau Dompak.
2
PENDAHULUAN
Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memiliki nilai strategis berupa potensi
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir.
Salah satu sumberdaya laut yang cukup potensial untuk dimanfaatkan adalah
lamun. Menurut Kordi (2011), padang lamun merupakan tempat pemijahan
(spawning ground), pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan
(feeding ground), dan daerah pembesaran (rearing ground) bagi berbagai biota.
Salah satunya biota yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun adalah
Gonggong.
Gonggong adalah biota laut sebagai ikon Tanjungpinang yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi karena dagingnya merupakan makanan yang lezat dan
bergizi. Gonggong merupakan makanan yang sangat disukai oleh masyarakat
lokal dan juga para wisatawan domestik maupun mancanegara. Karena tingginya
minat masyarakat untuk mengkonsumsi Gonggong tersebut menyebabkan
terjadinya eksplotasi yang tinggi yang akhirnya akan menyebabkan kepunahan.
Pulau Dompak merupakan salah satu wilayah pesisir yang ada di Kepulauan
Riau yang memiliki potensi sumber daya hayati laut yang beragam, salah satunya
yaitu ekosistem padang lamun. Secara visual sebaran vegetasi lamun yang ada di
perairan Pulau Dompak cukup luas dengan kondisi yang juga cukup beragam.
Luasnya sebaran lamun di perairan tersebut, memungkinkan adanya gastropoda
(siput gonggong) yang hidup berasosiasi dengan ekosistem lamun tersebut, namun
data tentang kajian kerapatan lamun dan kelimpahan siput gonggong (strombus
epidromis) di pulau Dompak masih minim , maka perlu adanya penelitian tentang
kajian kerapatan lamun dan kelimpahan siput gonggong (S. epidromis) di pulau
Dompak kota Tanjungpinang.
Ekosistem lamun dan gonggong memiliki hubungan secara ekologis.
Berdasarkan hasil penelitian Izuan (2014), diketahui bahwa kerapatan jenis lamun
di Dompak memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,64 sumbangan pengaruh
variabel kerapatan lamun dan siput gonggong. Hasil ini menunjukkan hubungan
antara ekosistem lamun dengan kelimpahan siput gonggong memiliki hubungan
yang sedang.
Keberadaan siput laut termasuk siput gonggong dipengaruhi oleh kandungan
terhadap bahan organik yang terdapat di dalam sedimen. Karena menurut Setyono
(2006), jenis-jenis siput biasanya aktif makan pada malam hari (gelap) dengan
cara keluar dari persembunyiannya dan memotong/memepat makanan (grazing)
dengan gigi parutnya. Dengan demikian, keberadaannya sangat berpengaruh
terhadap bahan organik total sehingga penulis ingin melanjutkan penelitian
tersebut dengan judul Hubungan kerapatan lamun dan bahan organik total dengan
kelimpahan siput gonggong (S. epidromis) di perairan Pulau Dompak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Dompak pada bulan November
2017-Januari 2018. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Fakultas Kelautan
dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji. Lokasi pengambilan sampel
dapat dilihat pada Gambar 1.
3
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel
1. Pengamatan Lamun
Pengambilan sampel untuk lamun dilakukan secara bersamaan yang tersebar
sebanyak 30 titik yang mewakili lokasi penelitian di Pulau Dompak. Proses
pengambilan sampel lamun dilakukan secara bersamaan yaitu pada saat air surut
dengan meletakkan transek pada titik/stasiun pengamatan. Pada masing-masing
titik pengamatan diletakkan transek berukuran (1 x 1) m.
Pengamatan lamun dengan menghitung jumlah dari tegakan lamun yang masuk
ke dalam kuadran pengamatan. Data lamun yang ditemukan di catat per tiap
transek dan plot-plot sehingga mempermudah untuk menghitung kerapatan lamun.
Menurut Fachrul (2007), dalam Putra (2013), kondisi ekosistem padang lamun
dapat dianalisis salah satunya dengan menghitung kerapatan jenis. Kerapatan jenis
dilakukan untuk melihat perbandingan antara jumlah total individu (Ni) dengan
unit area yang diukur (A). Kerapatan jenis lamun dapat dihitung berdasarkan
persamaan:
Ki =
Keterangan:
Ki = kerapatan jenis ke-i
Ni = Jumlah total dari jenis ke-i
A = Luas pengambilan sampel (m2)
2. Analisis Kandungan Bahan Organik Total (TOM)
Pengukuran kandungan organik dalam substrat (TOM) dilakukan dengan
metode pembakaran sederhana. Material organik dalam substrat akan habis bila
terbakar. Dengan demikian, selisih berat sedimen kering dengan berat sedimen
setelah pembakaran akan menunjukan berat material organik pada substrat
(TOM). Prosedur pengukuran TOM adalah sebagai berikut :
1. Cawan porselen kosong disiapkan, dimasukan kedalam oven dengan suhu
105oC selama 15-20 menit dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit
dan ditimbang beratnya.
2. Sampel sedimen yang telah ditimbang sebanyak 25 gram diaduk rata dan
dimasukan kedalam oven, dipanaskan dengan suhu 105oC selama 1 jam.
3. Sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang
dengan timbangan analitik.
4. Sampel didalam cawan dikeringkan didalam oven pada suhu 225oC selama 30-
50 menit dan didinginkan dalam desikator selama 30-60 menit, selanjutnya
sampel sedimen ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.
4
5. Untuk menghitung Total Organic Matter (TOM) pada substrat dihitung dengan
rumus, (modifikasi Alaerts dan Santika1987 dalam Izuan 2014):
Total Organik
Keterangan :
d = berat sampel dan cawan setelah pengeringan dengan suhu 105oC
a = berat sampel dan cawan setelah pengeringan dengan suhu 275 oC
c = berat sampel (d-berat cawan) (gr)
3. Pengamatan gonggong
Pengamatan gonggong dilakukan dengan menghitung jumlah individu yang
ditemukan dalam transek pengamatan dengan cara menggali sedalam 5 cm untuk
melihat adanya keberadaan Gonggong. Dalam melakukan penelitian, usahakan
tidak merusak kelestarian biota laut lainnya untuk itu dalam melakukan aktivitas
menggali harus berhati-hati agar tidak merusak lamun yang hidup disekitarnya.
Setelah mengetahui keberadaan tiap objek, data tersebut kemudian dicatat dan
diidentifikasi setiap nama dari tiap-tiap jenisnya.
Untuk mengidentifikasi spesies yang ditemukan tidak perlu dibawa
kelaboratorium atau tempat yang jauh dari air laut, hal ini untuk menjaga
kelestarian biota laut. Sehingga alternatif lain yang dilakukan yaitu menggambil
gambar setiap objek yang dijumpai kemudian dibandingkan dengan buku
identifikasi atau literature lain yang membantu. Berikut adalah gambar alat
transek kuadran yang digunakan.
Kelimpahan merupakan jumlah individu persatuan luas, (Brower dan Zar 1997
dalam Izuan 2014) dengan formulasi sebagai berikut:
D =
Keterangan:
D = Kelimpahan Individu (ind/m2)
Ni = Jumlah Individu
A = Luas Petak Pengambilan Contoh (m2)
4. Analisis Hubungan
Hubungan antara kerapatan lamun dan kandungan bahan organik total (TOM)
terhadap kelimpahan Gonggong dapat diketahui dengan menggunakan regresi
linear berganda, dimana untuk mengetahui hasil dari uji tersebut bisa
menggunakan software SPSS. Untuk melihat hubungan antara jenis lamun dengan
kelimpahan siput gonggong digunakan analisis regresi berganda. Dari hasil
tersebut dapat diketahui hubungan antara kerapatan lamun dan kandungan bahan
organik total (TOM) terhadap kelimpahan Gonggong. Persamaan regresi yang
digunakan sebagai berikut:
Y = a + bx1 + bx2 + ei
5
Keterangan :
Y = kelimpahan siput laut gonggong
X1 = kerapatan lamun
X2 = bahan organik total (TOM)
a = intersept
b = slope
ei = error
HASIL
1. Kerapatan Lamun
Hasil pengukuran kerapatan lamun pada 4 jenis yang dijumpai di perairan
Dompak disajikan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Tingkat kerapatan lamun per jenis di perairan Dompak
Kemudian nilai kerapatan lamun di Dompak juga dihitung pertitik sampling
sebanyak 30 titik sampling. Data hasil perhitungan kerapatan pertitik sampling
dapat disajikan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Tingkat kerapatan lamun per titik di Dompak
2. Kandungan Bahan Organik (TOM)
Kandungan bahan organik (%) di perairan Dompak yang dilakukan pada titik
pengamatan (Kelam Pagi, Tanjung Siambang, Sekatap, dan Tanjung Duku)
didapatkan hasil seperti pada Gambar 4.
6
Gambar 4. Kandungan bahan organik TOM di perairan Dompak
3. Kelimpahan Gonggong
Kelimpahan siput gonggong disajikan dengan satuan jumlah individu per
satuan luas pengamatan (m2) kemudian dikonversi ke hektar. Nilai kelimpahannya
berbeda-beda pada setiap lokasi sampling seperti tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Kelimpahan siput gonggong di perairan Dompak
4. Kualitas Air
Parameter perairan yang diukur meliputi faktor fisika (suhu, arus, kecerahan,
dan substrat) sedangkan faktor kimia (salinitas, nitrat, fosfat, pH, dan oksigen
terlarut). Hasil pengukuran parameter perairan Desa Pengudang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Parameter Kualitas Perairan
Faktor Parameter Satuan Kisaran Hasil rata-
rata
Baku mutu Kep Men LH
No. 51 (2004)
Fisika
1. Suhu oC
27-28 27,36 28-30
2. Arus m/s 0,08-0,13 0,10 -
3. Kecerahan m 100% 100% >5
4. Substrat - - Pasir -
Kimia
1. Salinitas o/oo
26-32 29,65 30-33
2. Nitrat mg/L 0,26-0,41 0,30 0,008
3. Fosfat mg/L 0,15-0,31 0,21 0,015
4. pH - 7,61-8,14 8,05 7-8,5
5. DO mg/L 6,8-7,8 7,03 >5
7
PEMBAHASAN
Tingkat kerapatan lamun di perairan Dompak dari 30 titik sampling yang
diambil, diperoleh nilai tingkat kerapatan lamun berbeda-beda. Jenis lamun yang
dijumpai tergolong sedikit jika dibandingkan dengan penelitian Arkham et al.
(2015), di perairan Pulau Bintan umumnya ditemukan 10 jenis lamun dari 12 jenis
lamun yang ada di Indonesia. Jenis-jenis lamun yang ditemukan tersebut antara
lain adalah : C. rotundata, C. serrulata, E. accoroides, H. uninervis, H. pinifolia,
H. ovalis, H. spinulosa, T.hemprichii, T. ciliatum, dan S. isoetifolium. Kerapatan
lamun menggambarkan jumlah tegakan lamun yang diperoleh dalam satuan meter
persegi plot pengamatan lamun. Diketahui bahwa lamun yang dijumpai di
perairan Dompak terdiri dari 4 jenis yakni E. acoroides, T. hemprichii, C.
serrulata, dan H. uninervis.
Hasil identifikasi jenis lamun di perairan Dompak, komunitas lamun yang
dijumpai membentuk vegetasi campuran dengan berbagai jenis (4 spesies) yakni
E. accoroides, T. hemprichii, C. serrulata, dan H. uninervis, akan tetapi dominan
pada 2 spesies saja yakni Enhalus accoroides dan T. hemprichii. Menurut Patty
dan Rifai (2013), tipe padang lamun campuran adalah padang lamun yang terdiri
lebih dari satu jenis dan dapat mencapai delapan jenis. Padang lamun vegetasi
campuran terbentuk di daerah intertidal lebih rendah dan subtidal yang dangkal.
Pada substrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut sering dijumpai padang
lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi, diantaranya E. accoroides dan
T. hemprichii. Seperti yang dijumpai pada perairan Dompak, jenis Enhalus
accoroides dan T. hemprichii merupakan jenis dominan dan mencirikan terjadinya
asosiasi terhadap kedua jenis tersebut
Kerapatan lamun untuk jenis T. hemprichii merupakan kerapatan tertinggi
dengan nilai 23,1 tegakan/m2, dan terendah pada jenis lamun H. uninervis dengan
tingkat kerapatan sebesar 2,5 tegakan /m2. Total kerapatan lamun untuk semua
jenis secara keseluruhan yakni 52 tegakan/m2. Data penelitian ini menunjukkan
bahwa jenis yang memiliki kerapatan tertinggi yakni T. hemprichii sedangkan
yang paling kecil nilai kerapatannya yakani H. uninervis.
Diduga jenis T. hemprichii memiliki pertumbuhan yang lebih cepat di perairan
Dompak dengan kondisi substrat yang dominan pasir berlumpur. Menurut Patty
dan Rifai (2013), Enhalus accoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan
Syringodium isoetifolium yang tumbuh pada substrat lumpur, pasir dan puing
karang mati/koral. Namun jenis T. hemprichii tumbuh baik pada substrat halus
mencapai 48,14% dibandingkan pada substrat kasar. Untuk itu, jenis lamun T.
hemprichii yang dijumpai dengan nilai kerapatan yang lebih banyak di Dompak
karena kemampuan yag baik terhadap kondisi lingkunganya.
Selain itu, dominan jenis T. hemprichii dipengaruhi oleh kemampuan jenis ini
untuk berkembang pada berbagai tipikal substrat dasar mulai dari substrat halus
hingga kasar. Sesuai dengan pernyataan Leefan et al. (2013), bahwa T.
hemprichii umumnya ditemukan dominan pada daerah rataan terumbu yang sudah
mati dan rataan subtidal dengan substrat pasir dan pecahan karang, substrat
campuran lumpur dan pasir serta lumpur lunak. Jenis T. hemprichii memiliki
kemampuan adaptasi terhadap berbagai tipikal substrat. Lebih lanjut Supriati
(2009), menyebutkan bahwa spesies T. hemprichii tumbuh baik pada tipikal
substrat pasir hingga pecahan karang.
8
Kerapatan jenis T. hemprichii juga dipengaruhi oleh struktur akar dan
rhizomanya yang erat menempel dan terbenam pada substrat. Sehingga kokoh
meskipun diterpa oleh harus dan gelombang. Sesuai dengan pernyataan Supriati
(2009), bahwa T. hemprichii memiliki rhizoma yang kokoh, terdapat garis-garis
yang mencolok diantara dua tunas tegak yang berturutan. Buku-buku (nodus-
nodus) diantara dua tunas tegak yang berturutan, memiliki sisik yang dapat dilihat
dengan jelas. Dari permukaan bawah rhizoma, keluar akar- akar yang
mengeratkan pada susbtrat sehingga jenis lamun ini mampu menahan terpaan arus
gelombang.
Kerapatan lamun di Dompak pada setiap titik sampling dengan kisaran
kerapatan antara 9-91 individu/m2. Rata-rata kerapatan lamun dari seluruh titik
diketahui sebesar 27 individu/m2. Gosari dan Haris (2012), menyatakan bahwa
kerapatan lamun memiliki kelas nilai yang berbeda-beda. Kerapatan lamun dibagi
atas 5 skala yakni kerapatan <25 ind/m2 tergolong sangat jarang, kerapatan 25-75
ind/m2 tergolong jarang, kerapatan >75-125 ind/m
2 tergolong agak rapat,
kerapatan >125-175 ind/m2 tergolong rapat, dan kerapatan <175 ind/m
2 tergolong
sangat rapat. Jika melihat dari nilai kerapatan lamun di perairan Dompak, maka
termasuk kerapatan yang jarang. Jarangnya kerapatan lamun dipengaruhi oleh
faktor manusia, salah satunya yakni berlimpahnya sampah-sampah plastik dan
kain, serta botol bekas.
Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa banyak sampah-sampah plastik dan
sampah-sampah kain yang dibuang ke laut sehingga menempel pada permukaan
substrat dan lamun. Kondisi paling buruk terjadi pada titik stasiun di perairan
Kelam Pagi yang jumlah sampahnya paling banyak (Lampiran 7). Diketahui
bahwa pada titik di perairan Kelam Pagi berdekatan dengan permukiman warga
serta kompleks perkantoran provinsi. Selain itu, bekas penambangan bauksit di
wilayah perairan Dompak juga masih memengaruhi ekosistem disekitarnya. Dari
hasil pengamatan, limbah bekas tambang bauksit (lumpur bauksit) masih
ditemukan dipermukaan substrat yang ditumbuhi lamun, sehingga daun lamun
tertutupi substrat bauksit. Kondisi ini terjadi pada titik stasiun di sekitaran Sekatap
dan Tanjung Siambang. Sedangkan pada titik stasiun di sekitar Kampung Duku
yang berdekatan dengan pelabuhan Ferry Terminal Internasional dan jembatan
penghubung Dompak-Tanjungpinang secara visual terjadi sedimentasi dengan
lapisan lumpur yang tebal. Kondisi-kondisi tersebut, diduga dapat mengakibatkan
rendahnya kerapatan lamun.
Berdasarkan hasil penelitian Mandasari (2014), diketahui bahwa tertutupinya
lamun oleh sampah dapat menyebabkan penetrasi sinar matahari sulit mencapai
permukaan daun lamun, sehingga lamun sulit berfotosintesis dan mengakibatkan
perubahan warna daun, morofomertik daun lamun, dan kematian pada lamun.
terhambatnya fotosintesis pada lamun juga dipengaruhi oleh adanya sedimentasi
ke perairan yang ditumbuhi oleh lamun. Partikel sedimen yang halus akan
menempel pada daun lamun dan akan membentuk lumut sehingga juga akan
memengaruhi fotosintesis. Sedimentasi pada lamun disebabkan oleh masukan
partikel secara berlebihan ke perairan.
Kandungan bahah organik di perairan Dompak berkisar 3,43-30,09% dengan
rata-rata bahan organik mencapai 13,29%. Kandungan bahan organik di perairan
Dompak termasuk rendah. Kandungan bahan organik sangat penting bagi
kehidupan organisme siput gonggong sebagai makanan. Menurut Nasution
9
(2011), siput laut biasanya makan dengan cara mengerik permukaan substrat yang
ditempeli atau ditumbuhi oleh flora dan fauna renik (grazer), sangat
memungkinkan bagi siput untuk mengkonsumsi bahan organik. Bahan organik
berasal dari aktivitas manusia yang ada sekitar perairan dan adanya organisme
yang mati.
Menurut Amin et al. (2012), aktivitas manusia bisa menjadi penyebab utama
terjadinya pencemaran pada perairan yang akan menghasilkan material organik
dan anorganik yang dapat memengaruhi tingkat kesuburan perairan yang
menyebabkan terganggunya keseimbangan organisme yang ada. Penambahan
bahan organik maupun anorganik berupa limbah ke dalam perairan akan
memengaruhi sifat-sifat biologi dari perairan tersebut. Rendahnya kandungan
bahan organik dapat disebabkan oleh jenis substrat yang agak kasar dengan
dominan bertipe pasir berlumpur. Meskipun terdapat jenis fraksi lumpur, namun
persentase butir lebih dominan pasir. Umumnya kandungan bahan organik lebih
tinggi pada substrat dengan tipikal halus. Seperti penelitian Nariratih et al. (2013),
ada 3 jenis substrat yang umum dijumpai di indonesia yakni jenis Entisol
bertekstur kasar, Inceptisol bertekstur agak kasar dan Ultisol merupakan tanah
yang mengalami perkembangan sudah lanjut, bertekstur halus. Dari hasil
penelitiannya, jenis tekstur entisol dengan rata-rata 1,05%, tekstur inceptisol
dengan rata-rata 0,97%, sedangkan pada jenis tekstur inceptisol sebesar 1,18%.
Kandungan bahan organik total (TOM) pada perairan nilainya berbeda-beda
berdasarkan jenis fraksi dan asupan bahan organik dari darat. Dari hasil penelitian
Manengkey (2010), diketahui bahwa kandungan bahan organik di perairan
berkisar antara 9,14-20,7% tergantung pada jenis fraksinya. Fraksi yang lebih
halus menyumbang persentase bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan
fraksi sedimen kasar. Berdasarkan data di lapangan, bahwa kandungan bahan
organik tertinggi pada titik 28 di lokasi Tanjung Duku yang bertipikal substrat
halus lumpur dan lumpur berpasir.
Lebih lanjut menurut Putri et al. (2016), terkait dengan hubungan tekstur
sedimen dengan kandungan bahan organik yang memperoleh hasil bahwa fraksi
pasir memiliki nilai kandungan bahan organik yang lebih rendah dan berhubungan
negatif. Sedangkan fraksi lumpur dan liat memiliki keterkaitan positif terhadap
kandungan bahan organik di perairan dan lebih tinggi persentasenya dibandingkan
pada substrat pasir. Dari penelitian Putri et al. (2016), tersebut dapat disimpulkan
bahwa adanya pengaruh positif nyata antara tekstur sedimen dalam berbagai fraksi
dengan kandungan bahan organik dalam substrat. Kondisi tersebut menyatakan
bahwa jenis substrat/sedimen cukup signifikan memengaruhi kandungan bahan
organik.
Bahan organik menjadi parameter penting untuk kehidupan organisme siput
gonggong. Menurut Riniatsih (2015), bahan organik merupakan sumber nutrien
yang penting, yang sangat dibutuhkan oleh organisme laut. Melalui proses
dekomposisi oleh organisme pengurai, bahan organik di perairan akan dirombak
untuk menjadi bahan anorganik sebagai nutrien penting di perairan. Selanjutnya
nutrien tersebut akan dipergunakan dalam proses produksi oleh produsen perairan
dan sangat menentukan produktivitas primer di perairan tersebut. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa keberadaan organisme bentos salah satunya
siput gonggong sangat bergantung pada kandungan bahan organik yang
terkandung pada substrat.
10
Kelimpahan rata-rata siput gonggong S. epidromis di perairan Dompak sebesar
9333 ind/ha. Jika dibandingkan dengan penelitian Marwoto et al. (1993), hasil
pengamatan menunjukkan bahwa kelimpahan keong gonggong di stasiun Dompak
rata-rata sebesar 6000 ind/ha, maka kelimpahan keong gonggong di Dompak
dapat dikatakan relatif rendah. Dengan demikian nilai kelimpahan siput gonggong
di dompak tergolong tinggi. Akan tetapi, jika dilihat dari penelitian Hasniar et al.
(2013) bahwa nilai kelimpahan siput Strombus sp., dapat mencapai 18.500 ind/ha.
Dibandingkan dengan penelitian tersebut, kelimpahan siput gonggong di perairan
Dompak tergolong rendah. Namun penelitian Rosady et al. (2016), bahwa
kelimpahan siput gonggong (S. turturella) yakni antara 400-500 ind/ha.
Kelimpahan tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan nilai kelimpahan
yang diperoleh dari hasil kelimpahan siput gonggong di perairan Dompak.
Kelimpahan yang rendah, diduga karena penelitian dilakukan pada bulan
November- Januari, bukan musim tangkapan optimal. Berdasarkan penelitian
Waris (2014), bahwa produksi siput gonggong berkisar 500 - 600
ekor/nelayan/hari, bahkan pada saat musim puncak pada bulan Mei sampai
Oktober produksinya bisa mencapai 3000 - 4000 ekor/nelayan/hari. Dengan
demikian, bahwa kelimpahan siput gonggong optimum pada bulan Mei-Oktober.
Hasil pengukuran suhu di perairan Dompak berkisar 27,4-29,8oC dengan
ratarata suhu 29,29 o
C. Jika dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004, yang menganjurkan suhu perairan bagi organisme
akuatik yakni 28-30 o
C. Hasil pengukuran suhu di perairan Dompak masih sangat
cocok bagi kehidupan siput gonggong dengan kondisi suhu yang sesuai. Menurut
Hasniar et al. (2013), bahwa temperatur normal kehidupan organisme di air laut
adalah sekitar 26-32°C, tetapi jenis avertebrata dapat mentolerir suhu yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan bentuk morfologi dari gastropoda umumnya memiliki
cangkang, sehingga dapat bertahan sampai pada suhu tertentu yang cukup tinggi.
Karakteristik substrat perairan Dompak yakni beragam mulai dari pasir halus
hingga substrat lumpur. Akan tetapi jika dianalisis dengan segitiga shepard
substrat, karakteristik substratnya yakni pasir berlumpur. Menurut Marwoto et al.
(1993), bahwa keong gonggong lebih menyukai tipe habitat lumpur berpasir
karena lumpur ini berguna untuk membenamkan diri atau berlindung dari
perubahan fisik lingkungan, seperti gelombang dan kondisi lain yang
mengharuskan dia bersembunyi. Dengan demikian, kondisi substrat di perairan
Dompak masih baik bagi kehidupan siput gonggong. Penelitian Rosady et al.
(2016), terkait dengan kelimpahan siput gonggong, menyatakan bahwa
kelimpahan siput gonggong lebih tinggi terjadi pada kawasan dengan persentase
lumpur lebih tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan siput gonggong lebih
menyukai sedimen yang berukuran halus atau pasir berlumpur (dominan lumpur).
Berdasarkan hasil pengukuran oksigen terlarut di perairan Dompak berkisar
antara 6,2-8,7 mg/L dengan rata-rata oksigen terlarut yakni 8,01 mg/L. Mengacu
pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004, bahwa
oksigen terlarut yang baik bagi kehidupan organisme akuatik yakni >5 mg/L.
Dengan demikian, hasil pengukuran oksigen terlarut di perairan Dompak masih
sangat baik bagi kehidupan lamun dan siput gonggong. Kandungan bahan organik
pada dasar substrat akan memengaruhi oksigen terlarut, karena pada proses
penguraian oleh bakteri akan berlangsung secara aerob yang membutuhkan
oksigen. Seperti yang dikemukakan oleh Mushthofa et al. (2014), bahwa bahan
11
organik di dalam perairan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut di
dalam perairan karena akan digunakan untuk penguraian bahan organik.
Pengukuran salinitas di perairan Dompak berkisar 30-32o/oo dengan rata-rata
salinitas 30,9 o
/oo. Jika dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 51 tahun 2004, yang menganjurkan salinitas bagi organisme akuatik
yakni 28-30 o/oo. Hasil pengukuran di lapangan diketahui lebih tinggi
dibandingkan dengan kisaran baku mutu yang ditentukan, akan tetapi tidak terlalu
signifikan dan masih dapat ditoleransi oleh siput gonggong. Hal ini didukung oleh
pernyataan Rosady et al. (2016), bahwa siput gonggong mampu hidup dengan
kadar salinitas mencapai 31,66 o/oo. Dengan demikian menjelaskan bahwa siput
gonggong di perairan Dompak masih dapat beradaptasi meskipun kandungan
salinitasnya lebih tinggi.
Hasil pengukuran derajat keasaman di perairan Dompak berkisar 7,57-7,87
dengan rata-rata salinitas 7,72. Jika dibandingkan dengan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004, yang menganjurkan keasaman perairan
bagi organisme akuatik yakni antara 7-8,5. Hasil pengukuran derajat keasaman di
perairan Dompak masih sangat cocok bagi kehidupan siput gonggong dengan
kondisi derajat keasaman yang netral. Kondisi pH masih baik bagi kehidupan
siput gonggong di perairan Dompak.
Setelah dilakukan analisis dengan software SPSS diketahui hubungan tingkat
kerapatan lamun dan kandungan bahan organik (TOM) dengan kelimpahan siput
gonggong. Hubungan antara kerapatan lamun dan bahan organik total terhadap
kelimpahan siput gonggong dianalisis dengan model persamaan sebagai berikut:
Nilai koefisien korelasi r antara yaitu 0,47, artinya hubungan antara kerapatan
lamun dan bahan organik total terhadap kelimpahan siput gonggong adalah adalah
positif sedang. Jika dibandingkan dengan penelitian Amin et al. (2012), bahwa
Tingginya kandungan bahan organik sangat mendukung kelimpahan organisme
makrozoobenthos, termasuk siput gonggong. Hasil analisis regresi berganda
antara kandungan bahan organik sedimen dengan kelimpahan makrozoobenthos
diperoleh hubungan yang positif. Selanjutnya penelitian Putri et al. (2016),
menyatakan bahwa banyak sedikitnya kandungan bahan organik dalam substrat
akan sangat memengaruhi penyebaran dan jumlah kelimpahan makrobenthos di
dalamnya. Menurut hasil penelitiannya diperoleh hubungan positif sedang antara
kandungan bahan organik sedimen dengan kelimpahan gonggong. Data-data
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kandungan bahan
organik pada sedimen dengan kelimpahan siput gonggong, demikian juga yang
terjadi di perairan Dompak.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, tersusun arahan
pengelolaan siput gonggong serta ekosistem lamun di perairan Dompak sebagai
berikut:
1. Kelimpahan Siput Gonggong
Kelimpahan siput gonggong semakin mengkhawatirkan dan kelimpahannya
semakin rendah (9333 ind/ha). Memberikan pemahaman kepada masyarakat
Y= 0,140 – 0,009 X1 + 0,078 X2 + ei
12
yang menangkap siput gonggong agar tidak berlebihan sehingga
mengakibatkan penurunan populasi.
2. Kerapatan Lamun
Kerapatan lamun di perairan Dompak juga telah mengalami penurunan
kerapatan, tidak lain imbasnya ialah adanya pengaruh oleh aktivitas sekitar
perairan Dompak meliputi aktivitas penangkapan ikan, permukiman,
perkantoran, serta bekas tambang bauksit. Untuk itu, perlu dilakukan langkah
rehabilitasi lamun berupa transplantasi pada kawasan-kawasan dengan
kerapatan rendah. Transpantasi akan menambah tegakan-tegakan lamun baru
sehingga dapat berfungsi sebagai habitat bagi biota.
3. Bahan Organik
Kandungan bahan organik pada substrat masih tergolong rendah, karena jenis
substrat yang dominan pasir dibandingkan dengan lumpur. Transplantasi
lamun dapat memperkaya kerapatan jenis sehingga bahan organik akan
meningkat oleh adanya produktivitas lamun yang di transplantasi.
4. Hubungan antara Kerapatan Lamun dan Bahan Organik Total (TOM) dengan
Kelimpahan Siput Gonggong
Berdasarkan hasil analisis hubungan Kerapatan Lamun dan Bahan Organik
Total (TOM) dengan Kelimpahan Siput Gonggong yang tergolong sedang.
Dengan demikian, untuk menjaga keberlangsungan populasi siput gonggong
di perairan Dompak diperlukan untuk menjaga kondisi padang lamun serta
kandungan bahan organik pada sedimen.
5. Kualitas Air
Kualitas air secara keseluruhan masih tergolong sesuai, baik parameter fisika
dan kimia. Untuk itu, diharapkan bagi seluruh masyarakat sekitar perairan
Dompak untuk dapat menjaga kualitas perairan Dompak dengan tidak
membuang sampah ke perairan laut.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini diantaranya yakni :
1. Rata-rata kerapatan lamun perairan Pulau Dompak sebesar 27 individu/m2. Jika
melihat dari nilai kerapatan lamun di perairan Dompak, maka termasuk
kerapatan yang jarang.
2. Kandungan bahah organik rata-rata bahan organik mencapai 13,29% tergolong
rendah.
3. Kelimpahan siput gonggong S. epidromis rata-rata di perairan Dompak sebesar
9333 ind/ha. Kelimpahan yang rendah, diduga penelitian dilakukan pada bulan
November- Januari, bukan musim tangkapan optimal.
4. Korelasi antara kerapatan lamun dan kandungan bahan organik (TOM)
terhadap kelimpahan gonggong adalah ”positif sedang” dengan nilai koefisien
korelasi r sebesar 0,47.
DAFTAR PUSTAKA
Amin. B, Nurrachmi. I, Dan Marwan., 2012. Kandungan Bahan Organik Sedimen
Dan Kelimpahan Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Perairan
Pantai Tanjung Uban Kepulauan Riau. Lembaga Penelitian Universitas
13
Riau, Pekanbaru. Hal 1-9.
Dody, S. 2011. Pola Sebaran Kondisi Habitat dan Pemanfaatan Siput Gonggong
(Strombus turturella) di Kepaulauan Bangka Belitung. Oseanologi dan
Limnologi Indonesia 37 (2): 339-353.
Hasniar, Litaay. M, dan Priosambodo. D., 2013. Biodiversitas Gastropoda Di
Padang Lamun Perairan Mara’bombang Kabupaten Pinrang Sulawesi
Selatan. Torani 23 (3): 127-136.
Izuan, M, 2014. Kajian Kerapatan Lamun Terhadap Kepadatan Siput Gonggong
(Strombus epidromis) di Pulau Dompak. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja
Ali Haji, Tanjungpinang.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku
Mutu Air Laut. Hal 1489-1498.
Leefan. P. t, Setiadi. D, dan Djokosetyanto. D., 2013. Struktur Komunitas
Lamun di Perairan Pesisir Manokwari. Maspari 5 (2): 69-
Mandasari. M., 2014. Hubungan Kondisi Padang Lamun Dengan Sampah Laut
Di Pulau Barranglompo. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin.
Manengkey. H. W. K., 2010. Kandungan Bahan Organik Pada Sedimen Di
Perairan Teluk Buyat Dan Sekitarnya. Perikanan dan Kelautan Tropis 6 (3):
114-119.
Marwoto. R. M, Andiarto. H, dan Widodo. R., 1993. Komunitas Keong
Canarium Linne, 1758 dan Asosiasinya Dengan Moluska Lin di Perairan
Pulau Bintan, Riau. Ilmu-Ilmu Perikanan Indonesia 1 (2): 44-55.
Mushthofa. A, Muskananfola. M. R, dan Rudiyanti. S., 2014. Analisis Struktur
Komunitas MakrozoobenthosSebagai Bioindikator Kualitas Perairan
Sungai Wedung Kabupaten Demak. Maquares 3 (1): 81-88.
Nasution. S., 2011. Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dan Tembaga (Cu)
pada Sedimen dan Siput Strombus Canarium Pantai Pulau Bintan. Natur
Indonesia 13 (3): 262-268.
Patty. S. I, dan Rifai. H., 2013. Struktur Komunitas Padang LamunDi
Perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax 1 (4): 177-
186.
Putra, I. P., 2014. Kajian Kerapatan Lamun Terhadap Kepadatan Siput
Gonggong (Strombus Canarium) Di Perairan Pulau Penyengat Kepulauan
Riau. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.
Putri. M. S. P, Suryanti, dan Widyorini, N., 2016. The Relation of Sediment
Texture to Organic Matter and Macrozoobenthos Abundance in the
Estuarine of Banjir Kanal Timur River. Saintek Perikanan 12 (1): 75-80.
Riniatsih. I., 2015. Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di Padang
Lamun di Perairan Teluk Awur dan Pantai Prawean Jepara. Jurnal Kelautan
Tropis 18 (3): 121-126.
Rosady. V. P, Astuti. S, dan Prihadi. D. J., 2016. The Abundance and Habitat
Conditions of Gonggong Snails (Strombus turturella) on the Coast of Bintan
Regency, Riau Islands. Jurnal Perikanan Kelautan 7 (2): 35-44.
Setyono. D. E. D., 2006. Karakteristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut.
14
Oseana 31 (1): 1-7.
Supriati. R., 2009. Sea Grasses Diversity And Distribution In Intertidal Area Of
Teluk Sepang Selebar Region The City Of Bengkulu. Konservasi Hayati 5
(1): 74-80.
Waris. R. W., 2014. Kajian Stok Siput Gonggong (Strombus canarium) di
Perairan Madong. [Skripsi]. Universitas Maritim Raja Ali Haji,
Tanjungpinang.